Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 32
Kun Liong
yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu melihat si
nenek menangkis pukulannya dengan tangan kirinya, sengaja dia mengadukan
lengannya kemudian seketika itu pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng!
Memang ilmu ini tidak boleh sembarangan dipergunakan, tetapi menghadapi seorang
tokoh besar selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.
"Dukkk!"
Dua lengan
bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan tenaga menyedot.
"Iihhh-heh-heh-heh…!"
Hek-hiat Mo-li terkekeh.
Tiba-tiba
Kun Liong merasa betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu
telah berhenti sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang
hitam dan mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke
arah nadi pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali maka terpaksa
dia menyimpan tenaga Thi-khi I-beng dan menarik kembali lengannya!
Ternyata
Ilmu Thi-khi I-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan liciknya
oleh nenek itu, yaitu dengan menyimpan sinkang dan menyerang tempat berbahaya
yang berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Memang selama ini nenek itu
sudah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan
menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi I-beng yang ditakuti!
Sesudah tahu
bahwa Thi-khi I-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek ini, Yap Kun
Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu silat aneh
yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan
Bun Ong!
“Ahhh…!
Ohhh…!”
Terdengar
nenek itu berkali-kali berseru karena heran dan bingungnya menghadapi ilmu
silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di dunia kang-ouw, merupakan
ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Akan tetapi, nenek itu pun hebat bukan main.
Meski pun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun Liong, namun dia
pun selalu berhasil menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh pendekar itu.
Keanehan
ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan satu atau dua kali
pukulan, akan tetapi semua pukulan yang mengandung hawa sinkang amat kuat itu
tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.
Sementara
itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga amat seru
dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw masih jauh
lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sinkang. Pendekar ini maklum bahwa
lawannya sangat lihai dan mahir bermacam-macam ilmu silat, sehingga jika dia hanya
mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sulit baginya untuk memperoleh
kemenangan. Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang
sangat kuat dan memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim
Hong Liu-nio tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali
tidak berani mengadu lengan.
Kalau
dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan bahwa
Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu
Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong
itu pun akan celaka bila mana dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio bisa melihat
kenyataan ini, maka dia segera berteriak memerintahkan pasukan untuk turut
mengeroyok! Majulah seratus lebih prajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun
Liong dan Bun Houw.
"Bun
Houw, marilah kita pergi!" Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka
maklum bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apa lagi karena
mereka tidak ingin membunuh para prajurit itu.
Keduanya
lalu mengirim serangan yang dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa
mereka itu mundur lantas menggunakan kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke
atas, melampaui kepala para pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi
dari tempat itu memasuki hutan.
Pasukan itu
mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi sekali ini dua orang pendekar itu
memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu berlari
cepat, pasukan itu tidak mungkin sanggup menyusul mereka, sedangkan guru dan
murid yang kalau mau dapat menyusul itu pun merasa jeri untuk menghadapi mereka
berdua saja.
Dengan jalan
memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar ini pun dapat melakukan
perjalanan secepatnya, bergegas menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota
pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan,
puteri dari pendekar Yap Kun Liong.
***************
"Suheng,
aku sute-mu Sin Liong datang menghadap!"
Sudah tiga
kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan goa-goa besar itu bersama Han
Houw, namun belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin Liong
mengajak Han Houw mendaki ke puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan
Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan goa-goa puncak itu yang menjadi tempat
tinggal suheng-nya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun,
sampai tiga kali dia berteriak, suheng-nya itu tidak pernah menjawab atau
muncul.
"Jangan-jangan
suheng-mu itu tidak berada di sini, sedang pergi," kata Han Houw dengan
suara bernada kecewa.
"Dia
pasti ada, Houw-ko, tadi aku sempat melihat bayangannya berkelebat ketika kita
tiba di puncak."
"Kalau
begitu, mengapa dia tidak keluar?" Han Houw bertanya heran, tidak enak dan
juga sangat kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu
sedangkan dia tidak.
Sin Liong
kembali menghadap ke goa, mengerahkan khikang dan berseru dengan sangat
nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru, "Suheng Ouwyang Bu
Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting
sekali!"
Setelah gema
suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran Ceng Han
Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di atas,
meski pun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas,
seakan-akan turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang telah
mencapai tingkat amat tinggi, sehingga dengan kekuatan khikang pemilik ilmu itu
dapat mengirim suaranya dari mana pun.
"Sute,
mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?"
Walau pun
suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suheng-nya itu memang
bersembunyi di dalam goa di depannya. Maka dia menjura ke arah goa itu dan
berkata, "Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan
kakak angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara
dengan baik."
"Kalau
aku tidak mau keluar, kau mau apa?"
Sin Liong
tidak merasa heran lagi dengan keanehan watak suheng-nya itu. Dia telah tahu
bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia
berkata, "Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu
Sek bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!"
Tiba-tiba
nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda itu
telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan kepalang.
Kakek itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar
sekali dan botak, dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi,
melainkan wajah seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana
dan kedua kakinya telanjang.
Sekarang
dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin Liong sambil
bertolak pinggang dan berkata penuh teguran, "Kalau engkau hendak
mengatakan bahwa aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Hehh,
satu kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku
harus mengingat budi itu terus?"
"Maaf,
suheng, bukan maksudku demikian. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan
berbicara denganmu," kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi
hanya dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini,
dan dia telah berhasil.
"Ho-ho,
sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku? Ha-ha,
bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek buruk
macam aku ini!" Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka
lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.
"Tidak,
suheng, aku tidak rindu kepadamu." Sin Liong menjawab sejujurnya karena
akan percuma saja membohongi suheng-nya ini. "Namun aku datang karena aku
perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng."
Kini kakek
itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling itu
memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang sangat tampan
dan gagah, yang berdiri sambil menjura padanya, yang mempunyai sepasang mata
amat tajam dan dari gerak-geriknya dia bisa menduga bahwa pemuda remaja ini
tentu memiliki kepandaian yang lumayan.
"Hemmm,
aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng lagi,
seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kau bawa dia berjumpa
denganku?"
"Suheng,
karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya dia pun terhitung
sute-mu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah
pimpinan suheng."
"Wah,
aku tidak mau menerima murid, apa lagi setampan ini!"
"Bukan
murid suheng, melainkan sute-mu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita."
"Ahh,
mana bisa itu?, Sute, kenapa kau ceritakan tentang suhu...?"
"Ingat,
suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia ini
seorang yang bercita-cita besar, malah lebih besar dari pada cita-citaku. Dia
ingin menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor
satu!"
"Uwah,
mana bisa? Orang yang halus seperti ini mana tahan uji? Mana tahan derita? Aku
tidak mau...!"
Sejak tadi
Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan karena dia
mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap omongan, dan
pangeran yang sangat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan dari kakek
aneh ini, maka kini dialah yang berkata, "Locianpwe, menilai orang lain
jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini, siapa
orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang
hebat? Demikian pula dengan aku, biar pun aku kelihatan begini, jangan dikira
bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan
membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau pun sute,
terserah. Apa bila hal itu sampai tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa
locianpwe menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?"
Sejenak
kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil. "Wah-wah,
kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya dibandingkan engkau, sute!
Dan lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku
menjadi guru atau pun suheng dari seorang bangsawan kecil?"
Han Houw
sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam merupakan
seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa meragu lagi
dia berkata, "Locianwe, harap jangan memandang rendah padaku! Aku memang
seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik kaisar yang
sekarang ini!"
Benar saja.
Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan kedua mata terbelalak kepada
pemuda tampan itu, lantas menoleh kepada Sin Liong dengan mata mengandung penuh
pertanyaan.
Sin Liong
mengangguk dan berkata, "Memang betul apa yang dikatakannya itu,
suheng."
Sejenak
kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Han
Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang
pangeran!
"Hei,
apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas dan
kedua lengan bersedakap?"
Han Houw
tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan kakek itu
yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat menduga bahwa
kakek itu sangat terkesan, dan kini hendak mengujinya.
"Apa
sih sukarnya begitu saja?" katanya.
Dia memilih
sebuah batu halus di depan goa, kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah
berjungkir balik, dengan kepala yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di
atas, kedua lengannya bersedakap.
"Hemm,
jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!" kata Ouwyang Bu Sek, kemudian
dia menggandeng tangan Sin Liong. "Hayo sute, aku mau bicara
denganmu!"
Keduanya
lalu memasuki goa dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara mereka.
Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi sehingga
akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap dalam
keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian dan
mematikan semua panca inderanya!
Ouwyang Bu
Sek mengajak Sin Liong ke dalam goa dan di sini dengan suara berbisik agar
jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata kepada Sin
Liong, "Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau bersusah
payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!"
Walau pun
kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang dan
kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu, apa
lagi mengingat bahwa mereka sudah bersumpah mengangkat saudara. Maka sedikit
pun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam mala petaka dan
sekarang pun dia masih ingin melindunginya, biar pun dia masih teingat apa yang
pernah dilakukan oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena
itulah pada saat ditanya oleh suheng-nya ini, dia masih hendak menutupi
pemaksaan yang dilakukan oleh Han Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.
"Kami
memang sudah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah
diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan sri baginda kaisar yang
sekarang. Dia amat disayang oleh kaisar dan mempunyai kedudukan tinggi sekali
di istana. Dia juga bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling
lihai, ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia."
Wajah kakek
itu berseri. "Engkau tidak membohongi aku, bukan sute? Kini aku sudah tua
sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murld,
engkau pun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di
sini?"
"Aku
bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan aku pun
tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana kalau
suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya? Dia sudah kuceritakan tentang
suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau."
Kakek itu
nampak terkejut. "Hemm, ahhh, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi murid
suhu, harus kulihat dulu orang itu..."
"Terserah
kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini untuk kemudian
mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya."
"Nanti
dulu..., bagaimana wataknya? Apakah dia seorang yang mengenal budi?"
Sin Liong
berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu lagi dia mengangguk. Dia mengenal watak
pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguh pun agaknya juga tidak
akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan
pembayar budi yang kuat!
"Jangan
khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya, dan dia
tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya."
Memang benar
dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biar pun Han Houw suka
membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, akan tetapi dia lebih pendendam dan
tidak akan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.
Watak
seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-cepat
menolak dan membantah bila kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng Han
Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan
sejujurnya? Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi
orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain
terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan?
Kita condong
untuk membalas kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi
keramahan orang dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kita pun ingin
membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau
kita diberi sejengkal kita ingin membalas sedepa, apa bila kita dicubit kita
ingin balas memukul.
Tidakkah
semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu? Karena aku lebih
dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik lagi dari dia,
dari siapa pun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang terbaik! Tetapi
sebaliknya, kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan gangguan
yang lebih kejam lagi supaya hati yang mendendam, dan hati ialah si aku itu
pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak
mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut
lebih kejam, melainkan lebih berani!
Inilah
sebabnya kenapa di antara saudara, di antara sahabat baik, di antara suami
isteri, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali
kebaikan dari saudara, sahabat, suami atau isteri akan lenyap tanpa bekas oleh
adanya sekali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar
kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang
tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!
Apa bila
setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada hakekatnya
adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang berpusat
pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini sudah
jelas! Setelah kita membuka mata dan memandang dengan waspada dan kita dapat
melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah
kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang
mengandung pertentangan ini?
Sesudah dia
merasa yakin akan keadaan Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek kemudian mengajak Sin
Liong keluar.
"Sekarang
kau boleh pergi, sute, apa bila engkau mau meninggalkan bocah itu di sini,
terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak ada gunanya, maka dia akan
kulemparkan ke dalam jurang!" kata kakek itu dengan lantang karena memang
disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata masih berdiri dengan
jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.
"Didik dia
baik-baik, suheng, ingat, dia adalah kakak angkatku. Katakan kepada Houw-ko
bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, suheng."
"Selamat
jalan, sute."
Ceng Han
Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua
matanya. Dia maklum bahwa kakek cebol itu sedang mengujinya, maka dia pun
hendak memperlihatkan bahwa dia merupakan seorang calon murid yang baik!
Bagi orang
yang belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti
itu tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai
lama. Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah mempunyai
kepandaian yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya
merupakan permainan kanak-kanak saja baginya.
Dia
mendengar semua percakapan antara adik angkatnya dan kakek itu sesudah mereka
keluar dari dalam goa, juga mendengar langkah kaki Sin Liong pergi dari situ.
Kemudian dia dapat mendengar kakek itu pergi pula meninggalkan tempat itu
sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi sekali.
Han Houw
masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima jam!
Celaka, pikirnya. Apa bila hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa
jam saja dia masih kuat, akan tetapi kalau terus dilanjutkan tanpa ada
ketentuan kapan kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat.
Celaka! Dia merasa serba salah!
Jika terus
berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam kepalanya mulai pening dan
terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan lelah. Akan tetapi kalau
menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentunya akan disalahkan oleh
kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian!
Bukankah
kakek cebol tadi sudah mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua
kakinya sebelum diperintah oleh si kakek itu? Dan sekarang kakek itu tak pernah
muncul! Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau bisa juga
menjebaknya. Kalau dia menurunkan kakinya, tentu si kakek itu akan muncul dan
menyatakan bahwa dia tidak memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol
itu sungguh sadis!
Han Houw
mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk
melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan sangat
melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Sungguh pun dia tidak membuka mata, akan
tetapi dia dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk
matanya. Kini hari telah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang
membebaskannya!
Bukan main
hebatnya penderitaan yang dirasakan oleh Han Houw pada saat-saat itu. Dan malam
terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa kepalanya
sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu! Bermacam
warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti sudah
berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!
Celaka, akan
matikah dia? Tetapi, Han Houw adalah seorang pemuda yang sangat keras hati dan
penuh semangat, terlebih lagi di dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya
ini. Dia berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh
dengan sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik
seperti itu sampai semalam suntuk lewat!
Menjelang
pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu sebagai
iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat caci dan kutuk memenuhi
benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup dan
kedua matanya terus terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat
cahaya di luar pelupuk matanya, akhirnya telinganya mendengar langkah kaki dan
tahulah dia bahwa kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya
lalu terdengar suara kakek itu mengomel.
"Masih
bertahan juga? Hemmm, menjemukan benar anak ini! Namun aku masih belum
memerintahkanmu untuk menurunkan kaki, dan coba sekarang kau taati perintahku.
Nah, kau tahan pernapasanmu sesudah menyedot sebanyak mungkin hawa, kemudian
dorong hawa itu ke pusar, lalu tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan
lagi...!"
"Brukkkk!"
Tubuh Han
Houw terguling bagaikan sebatang balok, kepalanya terasa nyeri bukan main,
terputar-putar rasanya hingga matanya berkunang-kunang, seluruh bagian atas
tubuhnya nyeri semua!
"Ha-ha-ha,
heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya? Sakit? Hayo
katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku? Akan kuajarkan lain ilmu
yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?"
Han Houw
memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat kepalanya
seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia mempertahankan,
bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab,
"Aku
masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai mati pun aku tidak
gentar!"
Diam-diam
Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya bahwa
seorang pangeran akan sanggup bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan
tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!
"Engkau
benar-benar ingin belajar?" tanyanya, mulai merasa kalah.
"Benar,
locianpwe."
"Dan
engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?"
"Hal
itu mudah dilaksanakan."
"Bagaimana
kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?"
"Kedudukan
yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi. Apa bila
memang dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula."
Tiba-tiba
kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah menguji
pangeran ini dan andai kata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan hal
yang tak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong
kemarin, yaitu hendak melemparkan pemuda ini ke dalam jurang! Akan tetapi,
sikap Han Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang
diberikan oleh pangeran ini kepadanya telah membuat hatinya puas sekali.
Dia
membandingkan pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini
malah lebih baik, lebih berguna baginya dari pada sute-nya itu! Kakek ini sama
sekali tidak pernah menduga bahwa terdapat perbedaan besar sekali antara Sin
Liong dan Han Houw.
Sin Liong
memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, namun sebaliknya,
pangeran ini angkuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapa pun juga, di samping
itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, akan tetapi semua
itu ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membuktikan betapa cerdik dan
berbahaya dia.
Di lubuk
hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali terhadap kakek ini yang
bukan hanya sudah mempermainkannya, bahkan sudah menyakitinya dan menyiksanya.
Namun kebenciannya itu sedikit pun tidak nampak pada wajahnya yang tampan!
"Heh-heh-heh,
baik, baiklah! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!" Sambil
berkata demikian tangannya bergerak.
Han Houw
merasa betapa leher dan punggungnya tertotok kemudian kesehatannya pulih
kembali, peningnya lenyap, bahkan dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh
pada tubuhnya.
"Tubuhku
terasa nyaman sekali, locianpwe!"
"Tentu
saja, heh-heh-heh. Apa kau kira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak
ada gunanya?"
Han Houw
merasa tidak puas pada waktu kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi
muridnya. Bukan itu yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru
mereka, yaitu Bu Beng Hud-couw! Akan tetapi Han Houw amat cerdik, maka dia
tidak menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau kakek itu menjadi
tidak senang hatinya.
"Locianpwe,
aku adalah seorang pangeran dan juga kakak dari Liong-te, akan tetapi ilmu
silatku kalah jauh apa bila dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat
memenuhi cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh
adik angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!"
"Ha-ha-ha!
Heh-heh! Tentu saja engkau tak akan menang melawan sute, sedangkan aku sendiri
pun tidak akan mampu mengalahkannya!"
Han Houw
mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti berbicara
kepada diri sendiri, "Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang
besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Ternyata dia demikian lihai
sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suheng-nya masih kalah lihai olehnya!
Sungguh penasaran dan sukar untuk dipercaya bagaimana seorang suheng yang
menurut Liong-te bahkan sudah membimbing dirinya dapat dikalahkan oleh sute
sendiri yang dibimbingnya ini!"
"Aha,
mana kau tahu, pangeran? Memang benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi
kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu
saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu."
"Maksud
locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?"
"Ha,
engkau sudah tahu?"
"Liong-te
pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling pandai itu
menyombongkan diri mengatakan bahwa sesudah dia mempelajari semua kitab dari Bu
Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suheng-nya, meski Bu Beng
Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!"
"Omong
kosong! Sombong dia!" kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw
merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.
"Dan
buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!"
"Memang
benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah yang telah
membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu? Berani benar dia
bicara seperti itu!"
"Jalan
satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu,
kemudian menunjukkan bahwa tidak benar locianpwe sebagai suheng-nya kalah oleh
sute-nya!"
Kakek itu
menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin pendek dan
sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.
"Tidak
mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari..."
"Jika
begitu, tentu Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan
kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suheng-nya yang sakti, yang sangat terkenal
dan bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhu-nya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw
tidak akan mampu menandinginya."
"Tidak
boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!" Kakek yang sudah
panas hatinya itu sekarang meloncat dan berjingkrak bagai cacing terkena abu
panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.
"Sebaiknya
dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw." Han Houw memancing
karena dia ingin sekali dapat berjumpa dengan manusia dewa yang ilmu-ilmunya
sudah dipelajari oleh adik angkatnya itu.
"Tidak
bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian dunia...
ah, tidak mungkin itu."
"Kalau
begitu, masih ada satu jalan lain untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan
mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw."
"Ehh?
Kau ada jalan, pangeran? Bagaimana?"
"Biarlah
aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan akulah yang
akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!"
Wajah kakek
itu berseri, akan tetapi hanya sebentar. "Hemm, tetapi kitab-kitab itu
sudah kubakar..., sungguh pun masih ada kitab-kitab yang belum pernah
dipelajari orang, akan tetapi... ahhh, kurasa tidaklah mudah mempelajari
kitab-kitab itu... dan memang sute Sin Liong lihai sekali..."
"Ilmu
apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?"
"Hanya
tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan main
dan sukar dikalahkan."
"Bukankah
dahulu locianpwe yang membimbingnya? Tentu locianpwe dapat mengajarkan
kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi
Liong-te."
Kembali
kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin... kitab-kitab itu sudah
kubakar dan aku tidak hafal semua isinya, hanya sebagian saja dan tentu tidak
cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia."
Akan tetapi
Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai bukan
main, mungkin lebih lihai dari pada suci-nya atau subo-nya, akan tetapi kalau
dia hanya menerima bimbingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan
Sin Liong! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!
"Locianpwe,
bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain itu?"
"Wah,
sulit sekali... sulit sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri sudah
pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku..."
"Harap
locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di istana
yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku pun telah banyak
mempelajari isinya. Barang kali aku dapat membantu locianpwe, kemudian aku melatih
ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe."
Kakek itu
berseru girang. "Benarkah itu? Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari
Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau
menjadi sute-ku pula, jangan banyak membuang waktu!"
Bukan main
girangnya hati Han Houw. Dia sudah berhasil! Maka dengan taat dia segera
mengikuti kakek itu memasuki sebuah goa besar yang gelap. Goa ini berbeda
dengan goa di mana dulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu
memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikannya.
"Berlututlah,
sute, dan ikuti kata-kataku."
Han Houw
berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam goa. Dia mencoba untuk
menembus kegelapan itu dengan matanya, akan tetapi dia tidak melihat apa-apa,
hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu
tengkuknya meremang dan dia merasa seram sekali, seolah-olah ada hawa aneh
berada di dalam goa itu, maka cepat-cepat dia pun mengikuti kakak seperguruan
yang aneh ini memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan
kata-kata sumpah yang diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.
"Teecu
(murid) bersumpah untuk mempelaiari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka suhu Bu
Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menjunjung
tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapa pun tanpa ijin dari
suhu."
Demikianlah,
Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti isinya. Apakah artinya
‘menjunjung tinggi nama suhu’ itu? Dan kalau dia tidak akan pernah bertemu
dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperoleh ijin suhu itu
apa bila hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain? Akan tetapi dia
tidak peduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang akibat usahanya
sudah hampir berhasil.
Kakek itu
lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka dan leher
juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubuh Han Houw
yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih.
"Racun
yang dioleskan pada peti ini dapat membunuh seketika apa bila tersentuh tangan
yang tidak memakai obat penawar ini, pangeran," kata kakek itu dan Han
Houw bergidik ngeri.
Diam-diam
dia memperhatikan bahwa biar pun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng
Hud-couw, berarti dia sudah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih
tetap menyebutnya ‘pangeran’, hal ini berarti bahwa kakek ini tetap
menghargainya dan tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu!
Ouwyang Bu
Sek membuka tutup peti, maka muncullah seekor ular merah. Han Houw mengenal
jenis ular yang sangat berbisa. Ular macam ini jarang ada, dan di daerah utara
memang kadang-kadang muncul ular seperti ini, akan tetapi kemunculannya tentu
selalu menggemparkan karena mengakibatkan banyak manusia atau binatang lain yang
jauh lebih besar, mati berserakan di mana ular itu muncul!
"Kim-coa-ko,
tenanglah, aku hendak mengambil tiga kitab terakhir itu," kata Ouwyang Bu
Sek dan sesudah ‘berdiri’ dan menggerak-gerakkan kepalanya, ular itu lalu
melingkar lagi seperti tidur.
Ouwyang Bu
Sek mengambil tiga buah kitab kuno yang lapuk dari dalam peti, kemudian dia
menutupkan kembali petinya. Di bagian belakang peti itu telah diberinya lubang
kecil sehingga ular itu sewaktu-waktu dapat keluar kalau lapar, untuk mencari
makanan. Akan tetapi, biar pun peti itu sudah kosong, dia tidak mau
membuangnya, membiarkan peti itu di sana agar kelak kalau ada orang yang hendak
mencuri kitab, hanya akan menemukan peti kosong yang mengandung racun, ditambah
lagi penjaganya yang amat berbahaya itu! Mereka lalu keluar membawa tiga buah
kitab itu.
"Pangeran,
tiga buah kitab inilah yang masih belum selesai kuterjemahkan. Kalau engkau
mampu membantuku, kemudian kau latih isinya, hemm, engkau tentu akan
mendapatkan ilmu-ilmu aneh yang tidak kalah oleh Hok-mo Cap-sha-ciang yang
dikuasai oleh sute Sin Liong."
Han Houw
menyembunyikan kegembiraan hatinya. "Akan kucoba, suheng. Akan tetapi,
apakah hanyalah ini sisa kitab dari suhu? Bukankah peti itu besar sekali dan
baru sebuah kitab saja yang diambil untuk Liong-te?"
"Bukan
hanya sebuah, melainkan sute Sin Liong juga mempelajari hingga tiga buah kitab.
Sedangkan kitab-kitab lain... ahh, yang tiga ini saja sudah cukup, pangeran.
Kalau terlalu banyak, kita tak akan mempunyai waktu, selain melatihnya, juga harus
mentafsirkannya. Ini saja kalau sudah kau kuasai dengan baik, agaknya akan
sukar engkau mencari orang yang akan mampu menandingimu."
"Akan
tetapi, tentu masih ada kitab-kitab lainnya itu, bukan suheng? Kita adalah
saudara seperguruan, tentu suheng percaya kepadaku, bukan?"
"Tentu
saja! Ada kitab-kitab itu, dan kusimpan baik-baik agar jangan sampai diambil
oleh orang yang tidak berhak. Jangan khawatir, kalau memang kelak engkau masih
ada waktu, engkau dapat saja menambah ilmumu dari kitab-kitab yang lain itu,
pangeran."
Han Houw
tidak berani mendesak lagi, takut kalau-kalau kakek itu curiga lantas menjadi
tidak suka kepadanya. Dia membuka-buka lembaran kitab-kitab itu dan mulai hari
itu juga, bersama Ouwyang Bu Sek, Han Houw mulai membantu suheng-nya itu
menyelesaikan penterjemahan.
Dan memang
Han Houw tidak membobong atau membual ketika dia mengatakan bahwa dia sanggup
membantu tadi. Bahasa yang dipergunakan dalam kitab itu adalah bahasa kuno, dan
bahasa suku pedalaman di utara masih dekat dengan bahasa ini sehingga Han Houw
yang sejak kecil banyak mempelajari bahasa-bahasa itu di utara, benar saja
dapat membantu banyak sehingga menggirangkan hati Ouwyang Bu Sek.
Mulailah
Pangeran Ceng Han Houw mempelajari ilmu-ilmu silat aneh-aneh dari tiga buah
kitab itu di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek. Pangeran ini sangat tekun. Memang
dia keras hati dan besar keinginannya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia,
di samping memang dia berbakat baik sehingga makin sukalah Ouwyang Bu Sek
kepada pangeran ini.
Hampir tidak
ada waktu yang terluang begitu saja oleh Han Houw, selalu diisinya dengan
berlatih silat menurut kitab itu atau berlatih sinkang menurut petunjuk kitab
pula. Secara kebetulan sekali, di dalam kitab itu terdapat pula pelajaran
semacam yoga dari India yang mengharuskan dia berjungkir balik seperti yang
dilakukannya pada hari pertama ketika diuji oleh Ouwyang Bu Sek, maka kini
sering kali pemuda bangsawan ini berdiri dengan kaki di atas kepala di bawah,
kadang-kadang dia sanggup berlatih seperti ini sampai tiga hari tiga malam!
Kemajuan yang diperolehnya pesat sekali.
***************
Harap-harap
cemas memenuhi hati Lie Seng pada saat pemuda itu memasuki hutan itu. Hari itu sudah
diperhitungkannya benar-benar, bahkan semenjak setahun yang lalu, boleh
dibilang setiap saat dia menghitung hari. Dia tidak akan salah hitung.
Hari itu
adalah genap satu tahun dari janjinya dengan Sun Eng untuk saling berjumpa di
hutan itu! Hitungannya tidak akan keliru, akan tetapi bagaimana kalau wanita
itu yang lupa akan hari itu, keliru hitung, atau lebih celaka lagi kalau...
telah lupa kepadanya?
Ahh, tidak
mungkin! Dia yakin akan cinta kasih dalam hati Sun Eng terhadap dirinya. Dan
dia lebih yakin lagi akan cinta kasih di dalam hatinya terhadap gadis itu. Dia
sadar bahwa Sun Eng bukanlah seorang gadis lagi, bukan seorang perawan
melainkan seorang wanita yang sudah banyak melakukan penyelewengan dalam
hidupnya sehingga sudah banyak mengalami penderitaan batin.
Kenyataan
ini bukan membuat muak atau membenci, sebaliknya malah, semakin diingat akan
semua penderitaan yang dialami gadis itu, makin besar pula rasa belas kasih
dalam hatinya terhadap Sun Eng, dan belas kasih ini agaknya memperdalam
cintanya. Dia harus melindungi Sun Eng, harus menuntunnya dan menunjukkan bahwa
hidup tidaklah seburuk yang pernah dialaminya, bahwa tidak semua laki-laki yang
mendekatinya hanya mengaku cinta semata-mata untuk menikmati tubuhnya belaka!
Pagi hari
itu amat cerah, bahkan sinar matahari pagi yang berkilauan berhasil menerobos
masuk ke dalam hutan, melewati celah-celah daun pohon. Pagi yang cerah, secerah
hati yang penuh harapan itu, penuh keyakinan dan penuh cinta!
Dengan
langkah ringan Lie Seng menuju ke tempat di mana pada setahun yang lalu dia
bertemu dan mencurahkan kasih sayang dengan Sun Eng, kemudian membuat janji
untuk saling bertemu pula di situ setahun kemudian. Ini adalah kehendak Sun
Eng, gadis yang merasa rendah diri itu, yang masih juga belum percaya benar
bahwa orang seperti Lie Seng dapat mencinta gadis yang pernah menyeleweng
seperti Sun Eng!
Ahh,
kerendahan hati ini amat mengharukan hati Lie Seng. Itu saja sudah menjadi
tanda betapa Sun Eng sudah menyesali semua perbuatannya dan orang yang telah
menyesali semua perbuatannya jauh lebih baik dari pada orang yang selalu
membanggakan semua perbuatannya sebagai orang yang bersih! Sun Eng minta waktu
setahun untuk menguji perasaan kasih sayang di antara mereka, pertama karena
merasa rendah diri, ke dua mungkin untuk menguji Lie Seng setelah berulang kali
dia dikecewakan oleh kaum pria.
Akan tetapi
kecerahan pada pagi itu tetap saja tak dapat mengusir bayang-bayang hitam gelap
yang diciptakan oleh pohon-pohon yang rindang daunnya. Bayang-bayang panjang
yang rebah ke barat. Bayangan-bayangan gelap berupa kecemasan juga mengganggu
kegembiraan hati Lie Seng. Dia cemas dan gelisah membayangkan bagaimana kalau
Sun Eng sampai tidak datang! Ke mana dia harus mencari gadis itu? Dia merasa
cemas sekali membayangkan ini sehingga kini kakinya yang melangkah terasa amat
berat.
Akhirnya
tibalah dia di depan pohon. Dia tak pernah melupakan pohon itu dan huruf-huruf
yang setahun lalu diukirnya pada batang pohon itu masih ada! Akan tetapi, Sun
Eng tidak ada! Dia memandang ke sekeliling, lalu duduk di atas akar pohon itu.
Mungkin dia datang terlalu pagi! Dan hatinya mulai cemas.
Mengapa dia
begitu bodoh ketika dahulu mereka saling berjanji? Mengapa yang dijanjikan
hanya harinya saja, ada pun jamnya tidak dijanjikan? Bagaimana bila Sun Eng
baru akan datang pada sore hari nanti? Tidak apa! Dia akan menanti, biar pun
sampai sore, bahkan sampai malam sekali pun! Dia sudah bertahan menanti selama
setahun, dan apa artinya ditambah sehari atau dua hari?
Lie Seng
lalu duduk termenung di bawah pohon itu. Dia merenungi perjalanan hidupnya,
terutama sekali mengenai cintanya dengan Sun Eng. Usianya kini sudah dua puluh
tujuh tahun, sudah cukup dewasa. Akan tetapi, selama ini belum pernah dia jatuh
cinta kepada seorang wanita.
Hatinya
selalu merasa dingin terhadap wanita, dan dia seakan-akan merasa ngeri kalau
memikirkan pernikahan. Mungkin karena dia melihat begitu banyak kepahitan yang
terjadi dalam kehidupan rumah tangga, banyak peristiwa menyedihkan yang terjadi
akibat cinta dan pernikahan.
Dia melihat
atau mendengar tentang kehidupan paman Yap Kun Liong, tentang kehidupan ibunya
sendiri yang kini menjadi isteri paman Yap Kun Liong, melihat akibat cinta
kasih dari pamannya yang lain, adik kandung ibunya, yaitu Cia Bun Houw.
Banyak sudah
dia mendengar mengenai kegagalan cinta dan rumah tangga dan mungkin hal-hal
inilah yang mendatangkan kesan mendalam hingga dia merasa ngeri untuk jatuh
cinta dan menikah. Akan tetapi sungguh luar biasa, begitu dia bertemu dengan
Sun Eng seketika dia jatuh cinta! Bahkan sesudah mendengar penuturan gadis itu
tentang riwayat Sun Eng yang tidak harum, cintanya bahkan makin mendalam!
Bagi orang
yang sedang menantikan sesuatu, waktu berjalan melebihi lambatnya seekor siput
merayap. Terlampau lama waktu merayap, seolah-olah tidak pernah maju! Memang
demikianlah anehnya waktu. Kalau dilupakan, dia meluncur seperti pesatnya anak
panah dilepas dari busur, sebaiknya kalau diperhatikan, dia merayap sangat
lambat!
Tentu saja
bukan sang waktu yang bertingkah seperti ini, melainkan sang pikiran! Pikiran
selalu menginginkan hal-hal yang lain dari pada apa yang ada, sehingga apa yang
ada itu selalu nampak tidak menyenangkan, selalu berlawanan dengan apa yang
dikehendaki agar waktu segera berlalu dan dia dapat bertemu dengan yang
dinantikannya itu secepat mungkin, dan tentu saja, kenyataan yang ada sangat
berlawanan dengan keinginannya sehingga terasa amat menyiksa. Konflik batin
memang selalu menyiksa diri!
Lie Seng
merasa sangat tersiksa. Sampai siang dia menanti, waktu merayap terus dan yang
dinanti-nantinya belum juga muncul! Dia sampai lupa akan waktu, tidak sadar
bahwa hari telah siang, hanya dia merasakan betapa lamanya sudah dia menanti.
Serasa sudah bertahun-tahun! Waktu dari pagi sampai siang itu bahkan
dirasakannya lebih menyiksa, lebih lama dari pada waktu setahun yang telah
lalu!
Namun dia
masih terus menanti di bawah pohon itu. Bayang-bayang pohon yang tadinya
panjang rebah ke barat itu kini menjadi semakin pendek, sampai kemudian hanya
berada di bawah pohon, tanda bahwa matahari telah berada di atas benar. Kini
perlahan-lahan, bayangan pohon itu menggeser ke timur dan matahari pun mulai
turun ke barat. Sebentar lagi, senja pun tibalah!
Lie Seng
sudah tidak sabar lagi. Jangan-jangan Sun Eng lupa, atau salah hitung! Mungkin
besok dia baru datang! Jangan-jangan... tiba-tiba saja Lie Seng menjadi pucat
dan cepat dia menggoyang kepalanya membantahnya sendiri. Tidak, tidak ada
apa-apa yang buruk terjadi atas diri wanita yang dikasihinya itu. Atau mungkin
sengaja tidak mau datang?
Bermacam
bayangan pikiran inilah yang menyiksa batin Lie Seng, membuatnya semakin
gelisah hingga akhirnya dia tidak kuat bertahan lagi. Dia bangkit berdiri, dan
mulailah dia berjalan-jalan, mula-mula hanya di bawah pohon, mengelilingi
batang pohon, kemudian semakin menjauh seakan-akan dia hendak mencari Sun Eng
di antara semak-semak dan pohon-pohon.
Mendadak dia
mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Cepat Lie Seng meloncat ke arah
suara itu dan bukan main kagetnya ketika dia melihat seorang wanita duduk di
atas rumput di balik semak-semak sambil menangis, menutupi muka dengan dua
tangannya, terisak-isak.
"Eng-moi...!"
Dia meloncat, menubruk dan merangkul.
Akan tetapi
Sun Eng terus menangis, bahkan kini mengguguk dalam rangkulan pemuda itu.
"Eng-moi,
ada apakah? Apa yang terjadi? Kenapa engkau di sini dan bersembunyi, dan
menangis?"
Akan tetapi
Sun Eng tidak mampu menjawab, tangisnya makin mengguguk membuatnya tidak
mungkin bicara, hanya kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu dan dia
menyusupkan muka di dada yang bidang itu. Lie Seng mengelus rambut itu,
membiarkan Sun Eng menangis karena dia pun maklum bahwa dalam keadaan seperti
itu tak mungkin bagi gadis itu untuk bicara. Akhirnya Sun Eng mulai dapat
menguasai hatinya, tangisnya mereda.
Lie Seng
mengangkat muka yang basah itu, lalu menggunakan sapu tangan mengusap air mata
yang membasahi pipi, kemudian dia mencium dahi yang halus putih itu dengan sepenuh
hatinya. Hati yang lega seperti bunga kering tertimpa tetesan embun setelah dia
bertemu dengan orang yang dinanti-nantinya sejak pagi tadi dengan gelisah.
"Nah,
sekarang hentikanlah tangismu dan ceritakan mengapa engkau bersembunyi di sini
dan mengapa engkau menangis?"
"Aku...
aku tidak berani keluar...," jawabnya di sela isak.
"Ehh,
kenapa? Sejak kapan engkau berada di sini, Eng-moi?"
"Sejak
kemarin pagi!"
"Hah?"
Lie Seng terkejut bukan main. "Akan tetapi... salahkah hitunganku? Setahun
sejak dahulu itu adalah hari ini! Salahkah aku...?"
"Tidak,
memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi, aku
ingin cepat-cepat ke sini..."
"Lalu
kenapa engkau bersembunyi di sini? Apakah engkau tidak melihat aku datang pagi
tadi di bawah pohon kita itu?"
Gadis itu
mengangguk dan sesenggukan. "Aku... aku melihatmu... aku takut untuk
keluar, ahhh, kau ampunkan aku, koko..."
Lie Seng
memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum. "Betapa anehnya
engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin
cepat-cepat ke sini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau
malah bersembunyi! Apa artinya ini?"
"Entah,
koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin sekali
aku cepat-cepat bertemu denganmu..."
"Eng-moi
kekasihku..., percayalah bahwa aku pun demikian..." Lie Seng mendekap
kepala gadis itu penuh kasih sayang.
Sejenak
mereka berdekapan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, begitu ketat mereka
saling dekap sampai keduanya dapat saling merasakan denyut jantung
masing-masing.
"Akan
tetapi... begitu melihatmu... ahhh, aku takut, koko. Engkau demikian
mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan ketika melihat betapa
engkau menanti di situ dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama
ini... aku makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau
tidak patut menjadi..."
Sun Eng
tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah ditutup oleh bibir
Lie Seng yang menciumnya. Mata pemuda ini menjadi basah. Sun Eng meronta
lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu
dan membalas ciuman itu dengan penuh pasrah dan kasih sayang, juga dengan air
mata bercucuran!
Akhirnya
mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie Seng
mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu. "Eng-moi, jangan kau
ulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang wanita
yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan diri,
kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?"
Sun Eng
mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak pemuda yang masih terus
mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia
tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat
mencinta dirinya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan
mimpi belaka!
"Koko..."
"Ya...?"
"Aku
bersumpah..."
"Tak
perlu bersumpah..."
"Aku
bersumpah bahwa selama hidupku aku akan setia kepadamu, bahwa baru sekali ini
aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya pada seorang pria, yaitu
engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk membahagiakanmu,
mengawanimu, membantumu..."
"Cukuplah,
moi-moi, aku percaya kepadamu, kita saling mencinta, kenapa engkau harus
bersumpah seperti itu?"
"Karena
aku berhutang budi kepadamu, koko."
"Ahh,
menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak disebut
budi..."
"Bukan
soal itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara
orang-orang kang-ouw, apa lagi seorang pendekar sepertimu. Akan tetapi maksudku
budi yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku,
koko..."
"Hushhh...!
Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi segala? Kalau
engkau hutang budi, aku pun berhutang budi kepadamu. Nah, kita saling hutang,
sudah lunas, bukan?"
"Tidak,
belum lunas, sampai mati pun belum lunas, kita harus saling membayar selama
kita hidup."
"Kau
benar..."
Mereka
kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena dorongan
hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat hingga bibir mereka
saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan kasih
mereka.
Dunia
seakan-akan berhenti berputar dan mereka berdua seperti tenggelam dalam lautan
madu asmara, mabuk dan lupa segala, seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka
berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, ketika senja mulai gelap, Lie Seng
menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan berkata,
"Mari,
Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita."
"Mau...
mau kaubawa ke mana aku ini...?" Sun Eng bertanya khawatir, namun hatinya
ikhlas mau diajak ke mana pun oleh kekasihnya.
"Kepada
keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon isteriku agar
kita memperoleh doa restu mereka."
Tiba-tiba
wajah gadis itu menjadi pucat sekali. "Tapi... suhu dan subo..."
Lie Seng
mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu. "Eng-moi, setelah
engkau menjadi calon jodohku, setelah aku mencintamu dengan sepenuh jiwaku, apa
lagi yang engkau khawatirkan? Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah dalam
pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu adalah
hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan sudah
mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tak ada seorang pun di dunia
ini yang boleh mencelamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku,
Eng-moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih
hidup!"
"Ahhh,
koko..." Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan
tetapi juga bahagia.
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap itu. Dalam
perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatiran hatinya sebab ibu dari kekasihnya
itu juga termasuk seorang di antara mereka dianggap pemberontak buronan oleh
pemerintah.
"Ke
mana kita harus mencari ibumu?"
"Ibu
dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah menyembunyikan
diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi ke sana, akan tetapi aku belum bicara
tentang dirimu, karena kupikir belum tiba waktunya sebelum ada ketentuan antara
kita seperti yang kita janjikan akan diadakan dalam pertemuan kita hari ini.
Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita ke sana. Tempat itu harus
dirahasiakan, dan mengunjungi mereka di sana amat berbahaya, apa lagi kita
berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh."
"Siapakah
fihak musuh itu, koko? Dan kenapa dulu suhu dan subo ditangkap dan dituduh
pemberontak?"
"Hemmm,
semua ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga
Cin-ling-pai. Telah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah
musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai."
"Siapakah
mereka?"
"Hek-hiat
Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-pai,
terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada mendiang
Tio Sun yang telah dapat terbunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh muridnya
yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kongkong Cia Keng Hong
juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami
luka."
"Ah,
jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan membasmi
guru serta murid itu? Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!"
kata Sun Eng dengan sikap gagah.
Lie Seng
tersenyum pahit, "Aihh, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Ilmu
kepandaian Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu demikian tinggi, dan agaknya
yang akan sanggup menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat
kepandaiannya telah tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita
berdua, walau pun aku tidak takut, akan tetapi melawan mereka sama halnya
dengan membunuh diri tanpa guna. Tidak, kita harus lebih dahulu menyelesaikan
urusan kita di depan keluargaku, dan mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang
kurang enak di antara engkau dan paman Bun Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya
kalau kita pergi menemui suci-ku dan minta dia yang menjadi penengah sehingga
lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka tanpa timbul kesalah pahaman antara
keluarga."
"Suci-mu?
Siapakah dia itu, koko?"
"Dia
adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Setahun yang lalu dia
sudah menikah dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu
suci-ku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya,
Yap Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan
perantaraan suci-ku, maka agaknya akan lebih mudah untuk menyelesaikan urusan
kita di depan ibu. Yang penting bagiku adalah ibu kandungku. Jika beliau sudah
setuju dengan perjodohan antara kita, orang lain peduli apa? Kalau setuju
syukur, kalau tidak pun tidak apa-apa!"
Bukan main
besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasihnya ini, maka dia
menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang sangat
dicintanya dan dikaguminya ini. Mereka bermalam dalam sebuah rumah penginapan
kecil dalam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika melihat
kekasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar.
Sungguh pun
dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-benar
sudah insyaf dan tidak mau menjadi budak nafsu birahi, pandai menjaga diri dan
pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biar pun dia sudah pasrah
dan rela kepada Lie Seng yang dicintanya.
"Percayalah,
koko, aku berkeras melakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin melihat kau
menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing. Pelanggaran
yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu birahinya menunjukkan tipisnya
cinta." Demikian katanya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji di
dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah
dengan resmi!
Pada suatu
hari mereka memasuki kota besar Cin-an yang terletak di Propinsi Shan-tung.
Mereka bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi
Lautan Po-hai.
Akan tetapi,
baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-tiba terdengar
derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampak pasukan besar menunggang kuda
keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima tua yang gagah
didampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek pendek kecil yang masing-masing
juga menunggang seekor kuda yang besar.
Lie Seng dan
Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biar pun
hanya sepintas lalu, oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri
pendekar, maka sekarang Lie Seng tak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan
tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua
orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka!
Berdebar
jantung Lie Seng. Dia memberi isyarat dengan kerling mata kepada Sun Eng agar
kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan membiarkan dia
yang bicara bila mana datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya terpaksa
membalikkan tubuhnya karena komandan pasukan beserta dua orang kakek itu telah
berdiri dekat, Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan tidak
diperlihatkan pada wajahnya.
Ia mengenal
komandan itu, seorang komandan tua, seorang panglima pasukan pengawal kaisar,
pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal baju bersulam emas, dan komandan itu
bernama Lee Cin, seorang komandan yang gagah perkasa dan lihai, juga dahulu
sering bekerja sama dengan keluarga Cin-ling-pai! Komandan itu kini sudah tua,
sedikitnya tentu enam puluh lima tahun usianya, namun masih nampak gagah dan
gerak-geriknya halus dan sabar.
Lie Seng
pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat, seolah-olah
tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk menemuinya!
Akhirnya, sesudah menatap dengan tajam beberapa saat lamanya, terdengar
komandan itu berkata dengan suara halus,
"Harap
ji-wi (anda berdua) suka menyerah saja untuk kami tangkap!"
Barulah Lie
Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang sedang diincar, maka dia pun
mengangkat muka, tidak pura-pura lagi meski pun dia tak mau memperkenalkan
diri. "Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap? Kami tidak
merasa melakukan kejahatan apa pun!"
Komadan Lee
Cin tersenyum getir, "Lie Seng taihiap, jangan menyangka bahwa kami pun
senang menerima tugas ini. Taihiap merupakan cucu dari ketua Cin-ling-pai yang
gagah perkasa, ada pun ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan seorang di
antara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik
ji-wi telah diawasi."
"Tapi...
tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!" bantah Lie Seng.
"Biarlah
kelak pengadilan yang akan memutuskan soal itu. Kami hanya mentaati perintah
dan amat tidak baik kalau taihiap menambah dosa keluarga dengan membangkang
pula. Menyerahlah ji-wi!" bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa canggung
sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai, padahal
semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering kali dia
bekerja sama menghadapi pemberontak dengan para pendekar Cin-ling-pai itu.
"Baik,
aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka kuminta agar
dia dibebaskan!"
"Koko,
tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!" teriak Sun Eng dengan kedua
mata terbelalak.
"Perintah
yang diberikan kepada kami adalah untuk menangkap kalian berdua, tak dapat
ditawar-tawar lagi!" Kata pula Lee Cin yang mulai hilang kesabaran karena
sebetulnya dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi sudah
bersikap terlalu manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini,
sehingga dia merasa tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu.
Dua orang
kakek ini adalah dua orang tokoh dari daerah selatan yang sengaja dikirim oleh
Pangeran Ceng Han Houw untuk membantu kerajaan menangkap para pemberontak
buronan. Mereka berdua adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dua orang
‘bengcu’ atau pemimpin kaum kang-ouw di selatan, yang tinggi besar bernama
Hai-liong Phang Tek dan yang pendek kecil bernama Kim-liong-ong Phang Sun.
Karena
membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja kedua orang kakek
ini diterima dengan hormat oleh komandan di kota raja, dan kini dibantukan
kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas menangkap para pemberontak buronan
membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini selain merupakan kakak kandung dari
mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh para pemberontak, juga dianggap
mengenal baik wajah-wajah para keluarga pemberontak, maka dianggap tepat untuk
memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-nio, kini ditemani oleh dua orang kakek
lihai itu.
Dan memang
Lee Cin mengenal mereka semua, bahkan juga mengenal Lie Seng yang jarang
dijumpainya karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, apa lagi
setelah dia mendengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda
lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya.
Lie Seng
merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia mengkhawatirkan
keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian atasnya
tertutup jubah prajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak dikancingkan
ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang, terkekeh aneh dan
kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang prajurit, tahu-tahu dia telah
merampas empat batang tombak yang dilemparkannya ke depan.
"Cep-cep-cep-cep!"
Empat batang
tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah Lie Seng dan Sun Eng, akan
tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka, melainkan menancap sampai lenyap
setengahnya di empat penjuru, mengurung dua orang muda itu! Benar-benar
demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan sinkang yang hebat
sekaligus kepandaian yang tinggi karena empat batang tombak itu dilontarkan
berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus!
Panglima Lee
Cin berkata, suaranya berwibawa, "Sebaiknya ji-wi menyerah saja. Kami tahu
bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-siap dan
dua orang locianpwe ini pun memiliki kepandaian tinggi. Dari pada kami
harus..."
"Eng-moi,
larilah, biar kutahan mereka!" tiba-tiba saja Lie Seng berteriak dan dia
segera menerjang ke depan, menangkap dua orang prajurit lantas melemparkan
mereka ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu. Dua orang
kakek ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh
dua orang prajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!
"Mati
hidup di sampingmu, koko!" teriak Sun Eng pula, lantas dengan sigapnya dia
pun menerjang ke depan merobohkan dua orang prajurit lain dengan pukulan dan
tendangan kakinya. Gegerlah para prajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin cepat
berseru menyuruh mereka untuk mundur.
"Biarkan
ji-wi locianpwe menangkap mereka!" teriaknya dan ini merupakan permintaan
pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu.
Dengan lagak
angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek maju menghadapi Lie Seng, sedangkan
Kim-liong-ong Phang Sun sambil cengar-cengir menghadapi Sun Eng. "Nona
manis, mari kita main-main sejenak!"
Sun Eng
marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa tubuh
kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah. Tubuhnya
segera menerjang ke depan hingga tubuh itu menjadi bayangan merah karena
pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya yang membabat ke
leher, seakan-akan dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil
dari Kim-liong-ong Phang Sun!
"Cringgg…!"
Sun Eng
terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika bertemu dengan
gelang di lengan kiri kakek itu!
"Awas,
Eng-moi!" Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini meloncat ke
kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kanan kakek pendek yang
menampar ke arah kepala Sun Eng.
"Dukkk!"
Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim-liong-ong
juga terpental ke belakang!
"Ehh,
kau boleh juga...!" Kakek kecil pendek ini berseru.
"Serahkan
dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!"
Setelah
berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan kemudian menyerang
Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang kakek ini
mempunyai tenaga besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara
angin mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga
bermain-main.
Melihat itu,
Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh,
akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus menghadapi kakek
kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa menggeser kaki dia
cepat menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan
dengan menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirik ke
arah kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang
Sun.
Kakek kecil
pendek ini sengaja tidak mau cepat-cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi
menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan, termasuk menusuk
mata, mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan
mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati
sasaran!
Repotlah Sun
Eng harus mempertahankan diri, hingga akhirnya dengan langkah-langkah Thai-kek
Sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan mempertahankan diri
biar pun sama sekali tak sempat lagi membalas karena memang tingkat
kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke dua dari Lam-hai
Sam-lo ini.
Selagi dua
orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba saja terdengar teriakan tinggi
melengking kemudian nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar
putih diputar cepat!
"Tahan!
Atas nama Pangeran Ceng Han Houw, mundurlah kalian!"
Hai-liong-ong
Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah mereka ketika
mengenal nona muda yang dahulu pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang!
"Ehh,
kau mau apa? Mengantar nyawa?"
"Hemm,
nyawa kalian yang berada di tanganku!" bentak Lie Ciauw Si, dara itu.
"Si-moi...!"
Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi Ciauw Si cepat
menghampiri Panglima Lee Cin.
"Ciangkun,
apakah engkau komandan pasukan ini?"
"Benar,
nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu ketua
Cin-ling-pai...?" Kini dia mengenalnya dan merasa heran.
"Betul,
dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan agar engkau membawa
pasukanmu beserta dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada
kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang sudah memperoleh kekuasaan
dari Pangeran Ceng Han Houw?" Sambil berkata demikian, Ciauw Si
memindahkan pedang Pek-kong-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan
kanan dan memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment