Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 31
PENDEKAR Yap
Kun Liong kini sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak muda dan
gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh
enam tahun itu kelihatan sehat gagah, biar pun di wajahnya yang tampan
terbayang kekhawatiran. Tentu saja pendekar ini merasa amat gelisah bila
mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi
buronan seperti itu.
Suara derap
kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu. Dua orang
pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian
mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh
mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke sana,
melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat.
Tentu saja
dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walau pun orang itu berpakaian
petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu
adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas
mengandung kekuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat
kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar ini
pun cepat meninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudian berlari
mengejar. Tentu saja mereka tak begitu khawatir karena isteri mereka bukan
orang-orang lemah, apa lagi yang datang berkunjung secara mencurigakan ini
hanya satu orang saja.
Baru saja
penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu,
orang ini sudah berteriak dengan suara lantang. "Cia-taihiap! Yap-taihiap!
Harap lekas keluar!"
Yang keluar
adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi
telah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada saat itu
juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.
"Siapakah
engkau dan mau apa?" Yap Kun Liong berkata dengan suara halus akan tetapi
penuh wibawa.
Orang itu
sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka
dengan mereka, namun dia telah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua
orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan
hormat.
"Harap
ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi.
Kedatangan saya ini membawa berita penting sekali, yaitu bahwa pada hari ini
juga akan ada pasukan yang datang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap
dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."
Sekali
menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw sudah mencengkeram leher baju orang
itu tanpa dia mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini
untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang
tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat.
Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk membikin takut orang itu
agar jangan membohong.
"Siapa
engkau?!"
Orang itu
kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai
iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek," jawabnya cepat.
"Mengapa
engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal
kami?" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Harap
Cia-taihiap tidak salah sangka. Biar pun saya belum pernah bertemu dengan ji-wi
taihiap, namun kami semua sudah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi.
Saya adalah salah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran
Hung Chih untuk menyelamatkan ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang
dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi
peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang
menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."
Cia Bun Houw
melepaskan cengkeramannya. Dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang
yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk bercerita selengkapnya tentang mereka
yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih.
Lie Tek,
mata-mata itu lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih.
Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar mengenai keluarga
Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, pada saat melihat betapa Kim Hong
Liu-nio berhasil merayu kaisar lalu mendapatkan kekuasaan untuk mengerahkan
pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan pula
menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua hingga akhirnya
mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu
agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.
"Pangeran
Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh
karena itu beliau berusaha melindungi, sungguh pun tentu saja tidak berani
secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio telah memperoleh dukungan dari sri
baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat.
Empat orang
pendekar yang mendengarkan menjadi terharu kemudian diam-diam mereka mencatat
nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.
"Kalau
begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata
Cia Bun Houw.
Mata-mata
itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi
berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat,
dan saya pun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi
taihiap!"
Cia Bun Houw
dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas
punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang
berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar
itu yang masih bersikap tenang.
Empat orang
pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik
bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari
pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan
menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, akan tetapi Lie Tek
tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan!
Kemudian
para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang lantas
mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!
***************
Ketika itu
Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat
kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka
sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah
berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai
sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya.
Dia merantau
sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke
selatan. Dia sudah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini,
namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan
kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguh pun mereka itu
tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.
Pada suatu
hari Ciauw Si tiba di kota Yen-ping. Ketika sedang berjalan-jalan di sepanjang
tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hokkian dan tiba di dekat sarang perkumpulan
Sin-ciang Tiat-thouw-pang, secara kebetulan Ciauw Si melihat empat orang sedang
ribut mulut.
Dia tidak
mengenal empat orang itu, namun sangat tertarik karena melihat bahwa empat
orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas
dari sikap dan gerak-gerik mereka. Di tempat itu terdapat pula dua kelompok
orang-orang yang sedang menonton, semuanya memperlihatkan sikap orang-orang
yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan
untuk mencampuri percekcokan itu.
Empat orang
itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua
orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi
besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan
dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek
yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.
Kakek ke dua
yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan
tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali
karena dia hanya memakai celana hitam hingga di bawah betis, sedangkan tubuh
atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya.
Suaranya lantang dan nyaring.
Kakek muka
brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua
yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui,
mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan
Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan).
Tadinya
mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, namun seperti sudah
diceritakan di bagian depan, orang ini telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw
ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Kemudian seperti yang telah
diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua
orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin)
dari dunia sesat di selatan!
Ada pun dua
orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang
bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok
Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui bahwa ketika dalam pemilihan
bengcu di selatan, memang sudah terjadi bentrokan antara kedua orang tokoh ini
dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena ketika itu fihak Sin-ciang
Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah.
Akan tetapi mengapa kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin
Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?
Walau pun
dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa
tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam kalangan kang-ouw, maka
diam-diam dia pun mendengarkan dengan penuh perhatian.
Tiat-thouw
Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng
terkenal lebih keras wataknya dari pada suheng-nya. Dengan kedua mata
terbelalak lebar serta kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak,
"Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada
bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak
perut sendiri. Peraturan manakah ini?"
Kim-liong-ong
Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan
berkata, "Eh-ehh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu?
Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan juga mengubah
peraturan lama dengan peraturan baru! Kami pun demikian. Sebagai bengcu baru
kami telah menjatuhkan keputusan bahwa tiap perkumpulan yang berlindung di
bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksir
dan keputusan kami inilah peraturan baru!"
Sebelum
sute-nya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat
berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan
kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima
seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tenti kami akan berusaha
memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."
"Pangcu,"
kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat
dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri,
maka hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."
"Habis,
kalau kami tidak sanggup membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?"
bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah
tergetar dalam genggaman tangannya.
"He-heh-heh!"
Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa
mengejek. "Apa bila kalian tidak mau membayar, hanya ada dua kemungkinan.
Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya dengan orang yang
lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Yang ke dua, bubarkan saja
perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"
"Kami
tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, juga tidak mau
membayar uang paksa, kalian mau apa?" Tiat-thouw Tong Siok membentak,
tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.
"Bagus!
Kalau begitu kami akan mengirim kalian berdua ke neraka!" kata Hai-liong-ong
(Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari
dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.
Kim-liong-ong
Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek
ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan
tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan.
Ciauw Si
yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan
pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja
kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian
lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang,
berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat
pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan
kiri menangkis.
"Ting-ting-cringgg...!"
Tiga kali
tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga
terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang itu terhuyung.
Pada saat
itu pula, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan
tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, segera dia mencabut
sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang
amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat
kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau
mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir!
Betapa pun
nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tak mampu membendung datangnya serangan
lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu
memang mempunyai ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka
jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot sehingga harus
memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.
"Cinggg-cinggg...!
Wuuuutttt...!"
Tong Siok
terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan
kakek kecil itu hampir saja menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat
melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu
kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa
dan menendang.
Tanpa dapat
dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat kemudian
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya
terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat!
Tetapi,
sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu
seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan amat hebatnya!
Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan
bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!
"Ehh...
ehhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun kaget bukan main sebab semua
tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali kemudian dengan
kecepatan kilat telah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang,
maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.
Ternyata
begitu menerjang Ciauw Si telah menggunakan jurus Ilmu Silat San-in Kun-hoat
yang ampuh. San-in Kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan
jurus, akan tetapi setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya
sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si sudah menyerang dengan jurus ke lima yang
disebut San-in Ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja
Kim-liong-ong menjadi kaget bukan main.
Sebaliknya,
Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena dia memang
maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka dia pun lalu menerjang
lagi, sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus
mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!
Terjadilah
perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut
bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi
yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini,
Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang
lihai sudah menerjang lagi dengan tongkat besi.
Tentu saja
Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini
sehingga dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang menggunakan gelang
emasnya untuk menangkis. Dua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang
berbau amis sebab kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang amat keji, yaitu
pukulan-pukulan beracun!
Betapa pun
juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah
mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang
bergulung-gulung bagai seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang
Pek-kong-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat dari pada baja
putih, pemberian dari kakeknya.
Di lain
fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong
Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia
mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya.
Didesak
secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup sehingga kakinya kena ditendang dan
membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya,
mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.
"Tranggg...!"
Tongkatnya
terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah cahaya putih yang diikuti
pedang Pek-kong-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat
bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan
kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat
bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, sekarang dibantu
oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos
dari ancaman maut.
Kini
Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya
Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh
Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru bukan main di
mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara
dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!
Munculnya
dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang
Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang
turut menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat
dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai
Sam-lo.
Dan ternyata
dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak
berani turun tangan, karena mereka semua merasa jeri terhadap Lam-hai Sam-lo
yang kini tinggal dua orang itu.
Karena Ciauw
Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap
terdesak oleh dua orang kakek sakti itu dan jika dilanjutkan, agaknya tentu
akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat
perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,
"Lam-hai
Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!"
Dua orang
kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka
itu. Cepat mereka meloncat mundur dan menghampiri pemuda yang berpakaian indah
itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap
paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-liong-ong
Phang Tek dengan muka ketakutan.
Yang muncul
itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua
orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek,
sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suheng-nya itu
untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping
dan kebetulan melihat perkelahian itu.
Meski pun
ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun, namun pada saat itu sang pangeran
sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw
Si yang berdiri dengan pedang Pek-kong-kiam di tangan, berdiri dengan sikap
gagah. Keringat yang membasahi kening dan lehernya, dan rambut yang kusut
terjurai di atas keningnya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw
memandang laksana orang terkena pesona, penuh kagum.
Ciauw Si
sendiri merasa sangat terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu
dan terheran-heran sesudah melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan
menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian
mewah itu. Akan tetapi pada waktu melihat pemuda yang tampan gagah ini
memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan
mukanya.
Sesudah dara
itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah
memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang
dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.
"Hemm,
Ji-lo, apa lagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."
"Pangeran,
mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru
atas pengangkatan paduka," kata Hai-liong-ong dengan harapan untuk
mendapatkan dukungan dari pangeran ini.
Ceng Han
Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang
itu berdiri dengan sikap hormat.
"Benarkan
ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?"
"Sama
sekali tidak, pangeran!" Gu Kok Ban menjawab tegas. "Biasanya,
semenjak dulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela
kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang
bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga
tidak dapat terbayar. Kami telah minta kelonggaran akan tetapi mereka malah
marah lalu mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untunglah ada lihiap
ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan
mereka."
"Hemm,
benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.
"Mereka...
mereka sengaja tidak mau taat...," Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.
"Hemm,
seorang pemimpin baru dapat disebut baik bila dia itu tidak hanya mementingkan
diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak
buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian
masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"
"Ampun,
pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tata tertib..."
"Diam!
Kalian tak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri
saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan lebih dulu disetujui oleh
semua anggota dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita.
Mengertikah kalian?"
"Hamba...
hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.
"Syukur...
kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong!
Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"
Dua orang
kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura
kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.
"Juga
kepada nona itu!" kata pula Han Houw.
Muka dua
orang kakek itu menjadi merah. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi
karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura
kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu,
karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia
membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak
dan ditindas.
"Sekarang
pergilah dan tunggu perintahku," kata Han Houw.
Dua orang
kakek itu mengangguk, kembali memberi hormat dan tanpa sepatah pun kata mereka
lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh
majikannya.
Melihat
semuanya ini, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum.
Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang
seperti dua orang kakek tadi yang mempunyai kepandaian hebat sekali, bahkan
setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap
demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh
dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya.
Akan tetapi
dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap
kali bertemu pandang dia melihat seolah-olah pandang mata pemuda bangsawan ini
menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar
aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Walau pun dia
sudah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali,
namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-gila kepada
seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali
ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!
Sekarang Han
Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang
masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke
dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang
wajah yang menunduk itu, kemudian berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,
"Aihh,
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh
seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."
"Maaf,
pangeran, sebenarnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini,
sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan
lihiap ini yang datang-datang langsung menolong kami. Bahkan kami belum sempat
menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Ahhh...
sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah
perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya bagaikan orang yang lebih
dewasa, padahal usia pangeran ini baru sekitar delapan belas atau sembilan
belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun.
Melihat
betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu semakin menunduk mendengar pujian
ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama
nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"
Dengan jantung
berdebar karena merasa sangat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang sangat
mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi
kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu
berkata, suaranya halus,
"Namaku
adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah apa bila aku lancang mencampuri urusan
orang-orang lain yang sama sekali belum kukenal. Kalau tadi aku sampai turun
tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan
sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi."
Semenjak
kecil Ciauw Si ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia
tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka
serta jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di hadapan seorang pangeran, dia
masih bersikap begitu bersahaja dan seakan-akan tidak menghormati pangeran itu
yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di
sekitarnya.
Sikap dara
ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang sangat besar di dalam dada Han
Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itu
pun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat
tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini
makin memperbesar rasa sukanya.
Dengan wajah
berseri Han Houw berseru, "Ahhh, ternyata nona seorang pendekar yang gagah
perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak
tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"
"Dan
kami berdua beserta seluruh anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga menghaturkan
banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," Gu Kok Ban berkata
sambil menjura, lalu dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang sudah
mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si,
untuk duduk di dalam.
Mula-mula
Ciauw Si menolak. "Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan
setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."
"Aihh,
Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini,
agaknya kita sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apa lagi kalau mengingat
bahwa baru saja nona sudah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang,
maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan berbicara di
dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.
Ciauw Si
tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk
lalu memerintah anak buahnya agar mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati
pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.
"Perkenalkanlah,
Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku
adalah kuasanya dalam melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dan dia ini
bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!"
Han Houw
tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin
Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia
tak mau menyinggung perasaan adiknya itu. Dua orang ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan
segala kehormatan itu.
Semenjak
tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu
mempedulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.
"Apa
bila kami boleh mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu
silatmu sungguh sangat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang
tua yang bodoh tak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang
parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan
mukanya yang bopeng kasar.
"Ah,
ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada
harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas
bahwa gadis ini memang tak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini,
Pangeran Ceng Han Houw tertawa.
"Hemm,
pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia
ini agaknya juga termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh
rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang
tinggi."
Mereka makan
minum dan seperti biasanya, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan
menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini,
apa lagi karena hatinya memang sangat tertarik kepada gadis itu, maka dia
bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik.
Secara
memutar dan tak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang
masih amat muda ini menyatakan betapa dia sangat dikasihi oleh sri baginda,
dipercaya sekali sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu
diceritakannya tanpa disengaja agaknya, bahwa dia masih belum menemukan seorang
wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.
"Sebagai
seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan
kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan kedua pundak
seakan-akan dia terpaksa oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku
sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi
atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal sejak
kecil aku paling suka akan kegagahan!"
"Ilmu
kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata
Tong Siok, bukan untuk menjilat tetapi berkata dengan sejujurnya karena dia pun
sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
Mendengar
ini, semakin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya.
Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi
bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang
kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah mempunyai kepandaian yang
tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!
Agaknya Han
Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang
saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandangan mata pangeran
itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu
penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya.
Juga sang
pangeran merasa betapa gadis itu kini tidak mengelak lagi, bahkan berusaha
untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum pada bibirnya yang
indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si, kemudian
berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang
teratur rapi seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.
"Lie-siocia,
sudah semenjak jaman dulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui
ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini,
biar pun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini
kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah
kehormatan dan kebahagiaan padaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!" Ini
merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan.
Wajah Ciauw
Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat-cepat membalas penghormatan pangeran
itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.
"Ahh,
mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu
memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang
begitu tinggi, apa sulitnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan
adalah permainan yang berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang
tidak bermata ini akan mendatangkan malapetaka."
Ini bukan
penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau
sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona, jangan
mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian
tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan sudah bermata, mana
mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap
nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian
nona."
"Kami
pun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi
dan agar pertemuan ini menjadi semakin menggembirakan," kata pula
Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini pun
ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah
didengarnya saja.
Oleh karena
pada dasarnya Ciauw Si memang ingin sekali menguji kepandaian silat dari
pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang kecuali
Sin Liong membujuknya, dia lantas berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi
kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."
"Ha-ha-ha,
nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai
aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."
Han Houw
sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu
menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, ada pun Sin
Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran
yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak
senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan
adu ilmu itu.
"Mulailah,
pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, segera
memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan
kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang.
Memang
kekuasaan cinta asmara benar-benar mengherankan. Sekali Ciauw Si terpikat, maka
secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam
dirinya, karena terbawa naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar
ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin bila
menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria
mengeluarkan kata-kata yang menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh
kagum ditujukan kepadanya. Sekarang dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah
dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!
"Ahhh,
engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu,
maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang
cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sinkang-nya yang kuat. Memang pangeran
ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya
ini.
"Hiaattttt...!"
Dia
menyusulkan serangan lain sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah
mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, sangat cepat dan angin pukulan
sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu
terkejut bukan main karena dari serangan pertama ini saja sudah membuktikan
bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.
"Haaaiiitttt...!"
Ciauw Si
bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti
menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan sangat mudahnya,
seolah-olah serangan yang sangat cepat serta bertenaga itu bukan apa-apa
baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum.
Akan tetapi,
pada saat itu Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu silat yang
dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek Sin-kun! Tidak salah
lagi! Thai-kek Sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu.
Mudahlah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek Sin-kun dari
tangan pertama!
Ada hubungan
apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya?
Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan sekarang dia pun mengikuti jalannya
pertandingan itu dengan penuh perhatian.
Diam-diam
Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah
seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu
silatnya bersumber dari ilmu silat yang amat tinggi! Maka makin hebatlah dia
melancarkan serangannya.
Akan tetapi
semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh
gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu
lengan untuk menguji tenaga lawannya, dia merasakan lengannya tergetar, tanda
bahwa lengan halus itu penuh berisi tenaga sinkang pula! Makin kagum dan
tertarik pula hatinya. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang
gadis pilihan!
Di lain
fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biar pun dia mengenal ilmu
silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu
silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki
pangeran itu amat hebat, dan tenaga sinkang-nya juga amat kuat! Kiranya
pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan
kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba saja
tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!
"Ehhhh...!"
Pangeran Ceng Han Houw terkejut sekali.
Terpaksa dia
main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing
sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang
secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak,
namun harus menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat.
Kembali Sin
Liong menahan napas. Itu adalah In-keng Hong-wi (Awan Mencipta Angin dan
Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang
ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi!
Dengan jurus
yang hebat ini, Pangeran Han Houw langsung terdesak. Pangeran ini cepat
menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po maka barulah dia berhasil menghindarkan
diri dari serangan dahsyat itu.
"Hebat...!"
serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa
itu.
Tiba-tiba
saja Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa
dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga
ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang
makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.
"Plakkk!"
Dua pasang
telapak tangan itu saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka
saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan, dan dia hampir saja tidak
mampu menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga
kekuatan mereka berimbang.
Tentu saja
Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran
halus menjalar melalui dua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran
yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung, yang membuat pipi mereka
berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang bagaikan tidak mau
berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari
sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu
kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru,
"Aku
mengaku kalah...!"
Ceng Han
Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlampau merendah! Selama hidup
belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw berjumpa dengan seorang yang demikian
lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali,
Lie-siocia!"
"Pangeran
terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi isi hatinya hanya
dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!
Mereka
melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw
dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi
kini dia pun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat
ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.
Ia teringat
akan cucu perempuan yang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun
Houw, ayahnya! Gadis inikah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya?
Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima
semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, karena melihat
betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya.
Sayang bahwa
dahulu dia tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali lupa akan nama cucu
kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara
sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan
tetapi, oleh karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan
fihak Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk
memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari mara bahaya!
"Eh,
Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat
ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"
Sin Liong
terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu
memandang kepadanya.
"Lie-siocia,
engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi,
jauh lebih tinggi dari pada tingkat ilmuku sendiri!" kata pula sang
pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.
Mendengar
ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan
pendiam itu, tetapi sama sekali tidak memperhatikannya. Namun sekarang pangeran
itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini mempunyai kepandaian lebih tinggi
lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat!
Maka gadis
ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, lalu dia pun
berkata, "Ahh, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."
Mendengar
ini, Sin Liong merasa kasihan terhadap nona ini. Seorang nona yang gagah
perkasa, tetapi di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu
terkandung keramahan dan agaknya nona ini sudah terdidik baik untuk merendahkan
diri, maka dia cepat bangkit berdiri kemudian menjura. "Ilmu silat
Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungguh aku merasa kagum."
Ciauw Si
balas menjura dan mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas
bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya
Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal
selama beberapa hari di situ.
Selain fihak
tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ
merupakan daya tarik yang sangat kuat karena diam-diam gadis ini ingin
berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong
selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapa pun
juga.
"Nona
Lie Ciauw Si, aku tak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh
cinta kepadamu, nona."
Hening
sekali di dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk saling
berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman
bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi
sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja
itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus
terang menyatakan cintanya!
Mendengar
ucapan itu, Ciauw Si segera mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan
sinar mata tajam penuh selidik. Sekarang dia sudah bisa menguasai rasa malu dan
sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan
saat mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa
pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.
"Jangan
kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama
kali berjumpa, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan
kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup
bersamamu sebagai suami isteri."
Meski pun
usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw sudah memiliki banyak
pengalaman dengan para wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan
seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan
tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walau pun usianya sudah dua
puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam
hidupnya!
"Pangeran,
sesungguhnyakah apa yang kau ucapkan tadi?" akhirnya terdengar Ciauw Si
bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu.
Pangeran itu
memegang tangan Ciauw Si, dan dari pertemuan antara kedua tangan itu kembali
terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.
"Ciauw
Si, apakah engkau tak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu
dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali
ini aku jatuh cinta, walau pun sudah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai
selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si.
Aku cinta kepadamu, perlukah aku bersumpah?"
"Mungkinkah
itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, ada pun
aku... aku hanyalah seorang gadis..."
"Yang
cantik dan manis, yang gagah perkasa, yang budiman, juga aku percaya dan yakin
bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung
pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat
itu. Namun dengan lembut Ciauw Si menarik tangannya dari genggaman sang
pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.
"Tetapi,
pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua
dari padamu! Ingat, usiaku sekarang sudah dua puluh empat tahun dan engkau
tentu paling banyak dua puluh... dan..."
Akan tetapi
Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di
pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat
telinga Ciauw Si.
"Ciauw
Si... kenapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak
mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu,
dan usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, apakah kini
engkau masih ragu, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku,
aku akan mengambilmu sebagai isteri!"
"Tapi...
tapi..."
Tiba-tiba
saja Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, lalu mendorongnya halus ke
belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar
baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat
menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu apa bila engkau tidak dapat
menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku
benar-benar yakin bahwa engkau pun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku,
Ciauw Si?"
Sejenak
mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir
turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya
berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."
Gadis itu
tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi
seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu ke
dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!
Ciauw Si
tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat
tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria
yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu lalu dia pun balas
merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena
ciuman mesra itu.
Bagai dalam
keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja ketika dipeluk,
dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang
membuat dirinya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu
agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan
lemas laksana kehabisan tenaga.
Dia
mendengar suara jantung pangeran itu yang berdentaman keras di dekat telinganya
dan dia merasa sangat berbahagia, perasaan yang baru sekarang dirasakannya
selama hidupnya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu terasa amat
mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.
"Yakinkah
engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Lenyapkah sudah
keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa
sebenarnya engkau pun mencintaku?"
"...aku
yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tak ragu-ragu lagi,
pangeran...," bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum
penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan
yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.
"Kekasihku...
calon isteriku yang baik, kalau begitu mari kau ikut bersamaku ke kamarku, akan
kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."
Akan tetapi,
begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari
pelukan pangeran itu, cepat meloncat ke belakang lalu memandang dengan mata
berkilat kepada pangeran itu.
"Kau...
kau..."
Pangeran
Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini.
"Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?"
"Pangeran,
seperti itukah cintamu?"
"Ehh...?
Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"
Wajah itu
menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau masih
bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan
rendah cintamu!"
Kini
pangeran itulah yang terbelalak. "Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi
kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara
kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh
aku tak mengerti..."
"Hemmm,
jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kau kira aku semacam perempuan yang
mudah saja kau rayu kemudian kau bujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku
bukan perempuan murah seperti itu!"
"Ehh,
ehhh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta
padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku
kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud yang tidak baik. Apa salahnya bila
kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"
Kini Ciauw
Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal
seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita? "Pangeran, seorang wanita
yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya
kepada pria mana pun, kecuali kepada laki-laki yang telah resmi menjadi
suaminya!"
"Ahhh...!"
Kini wajah pangeran itu berseri. "Ahh, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau
benar, sungguh aku sudah lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang
menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa.
Maka aku pun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau
berbeda dengan mereka! Tentu saja! Aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi
sebelum kita resmi menjadi pengantin! Kau maafkanlah aku, Ciauw Si, bukan
maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."
Pelan-pelan
muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan amarahnya mereda.
Akhirnya wanita itu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya.
"Kaulah
yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi
marah ahhh, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau
tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi
menjadi suami isteri, aku tentu bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu
dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."
Sang
pangeran lalu merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada
pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa
pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta kepadanya, bukan sekedar hendak
mempermainkan dirinya!
Mereka
berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai
dan mata ini adalah mata Sin Liong! Sejak tadi pemuda ini selalu mendengarkan
percakapan mereka. Tadi dia mengalami ketegangan, tetapi akhirnya dia merasa
lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh
cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Dia pun tidak mengintai
lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi.
Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.
"Ciauw
Si, sungguh sikapmu tadi juga sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku,
akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis
idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ahhh,
sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini, akan tetapi aku belum
pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar
aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."
Dengan hati
terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah
menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri
dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia sedang
pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari seorang pamannya, yaitu Cia Bun
Houw yang amat dirindukan oleh kakeknya.
Dapatlah
dibayangkan alangkah kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis
yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri
dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan!
Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapa pun juga, secara pribadi dia sama
sekali tidak memiliki permusuhan apa pun dengan para pendekar itu. Yang
memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong
Liu-nio, guru dan kakak seperguruannya, namun dia sendiri secara pribadi sama
sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apa lagi, gadis ini biar pun
masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia
atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara
penuh kebanggaan.
"Aihh!
Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja
ilmu kepandaianmu demikian hebatnya, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si
yang merasa girang akan pujian itu.
Biar pun
melakukan hubungan kelamin sebelum dia menikah merupakan pantangan keras bagi
Ciauw Si, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali
mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa
ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya
untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini.
Sampai senja
terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang
mencari mereka, barulah mereka berdua bangkit dan sambil berpegangan tangan
mereka pergi meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran
itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan
pinangan.
"Sudah
terlalu lama aku meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari
sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku
di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."
Diam-diam
hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat
membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat
kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan
betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!
"Baiklah,
kekasihku, engkau tunggu saja. Kelak akan tiba waktunya aku mencarimu dan
meminangmu dari ibumu. Sementara itu, jika engkau membutuhkan bantuanku, atau
bila hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai
tunanganku atau sahabatku kemudian memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan
diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung."
Setelah
berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di
jari manis tangan kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang amat indah,
kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke
jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!
Ciauw Si
mencium cincin di jari tangannya itu dan barulah mereka memasuki ruangan di
mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah
berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang
terjadi di antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di
situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.
Pada
keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat
lagi, dia mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati
ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin
Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.
***************
Sementara
itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap
Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali
ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke
lereng itu.
Terlambat,
pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang
menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu sudah tertangkap. Akan tetapi,
mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul
dan mereka harus cepat bertindak.
Mengingat
akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, Kun Liong lantas menyuruh
isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dahulu melarikan diri ke
utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang
menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju
dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.
"Apa
artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan
ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua
harus pergi lebih dulu, apa lagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk
mempergunakan tenaga melakukan pertempuran."
"Apa
yang dikatakan oleh Liong-ko itu sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu
lagi," sambung Bun Houw. "Apa lagi kita bukanlah pemberontak, dan
sama sekali tidak pernah terkandung di dalam hati kita hendak menentang
pemerintah, apa lagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka
biarlah kalian melarikan diri lebih dahulu, kami berdua akan menahan mereka
kemudian setelah mendapat kesempatan, kami pun tentu akan melarikan diri."
"Akan
tetapi ke mana kami harus pergi?" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih
amat bersemangat itu membantah.
In Hong yang
di dalam hatinya juga tidak setuju, akan tetapi karena maklum bahwa dalam
keadaan mengandung tak mungkin baginya untuk bisa mengerahkan tenaga sepenuhnya
tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.
"Kau
ajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara kalian
bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," Kun Liong
berkata dengan tergesa-gesa karena suara bising kini semakin mendekat. "Jangan
lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki
Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa."
Karena kini
pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu
lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang
naik ke bukit dari selatan.
Biar pun
sedang mengandung, tetapi karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat
tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya,
tanpa mengerahkan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa
ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan
pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah
berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu yang cepat sekali telah muncul puluhan
orang prajurit, bahkan agaknya tak kurang dari seratus orang! Dan seorang
perwira telah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak
menangkap dua orang pendekar wanita itu!
Yap In Hong
adalah seorang wanita yang cantik jelita meski pun dalam keadaan sedang
mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, walau pun usianya sudah
mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para prajurit itu
segera tersenyum dan menyeringai girang pada waktu menerima perintah yang
dianggapnya menyenangkan dan sangat ringan itu.
Mereka
seperti segerombolan srigala yang berebut saling mendahului hendak menerkam dua
ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah
bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang
amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu langsung menggerakkan kaki tangan dan
dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh,
tak mampu bangkit berdiri lagi!
Gegerlah
para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa kedua orang wanita ini
adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian amat tinggi!
Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah
pertempuran yang hebat karena betapa pun juga, dua orang itu tidak mau menyerah
begitu saja.
Sayang bahwa
Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga
sinkang terlalu kuat. Andai kata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat
seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apa lagi ada Cia Giok Keng yang
membantunya. Sekarang mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan
bertubi-tubi, biar pun tidak mudah pula bagi para prajurit itu untuk dapat merobohkan
dua orang wanita perkasa ini.
"In
Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.
"Tidak,
kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.
Mendadak Cia
Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan
melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian!
Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan
diri!"
Setelah
berkata demikian, nyonya yang perkasa ini sudah mencabut pedangnya sehingga
nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu sudah mencabut pedangnya yang
sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam.
Memang kedua
orang nyonya ini sudah beberapa kali menerima pesan dari suami-suami mereka
bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, oleh karena itu mereka tak
boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasannya. Maka
ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga
diri.
Menghadapi
ancaman itu, tentu saja para prajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kini pun
mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan
ketat.
"Lebih
baik kalian berdua menyerah saja dari pada harus menghadapi kekerasan!"
bentak seorang perwira.
"Majulah!
Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah marah
itu pun membentak.
Empat orang
prajurit menyeringai, kemudian dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah
nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan
empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka telah
menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh
Yap In Hong tadi. Gegerlah para prajurit dan mereka itu segera menerjang dengan
senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan
sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku
datang membantumu!"
"Ciauw
Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan pada saat dia mengenal
suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu.
Kepungan itu
mulai bobol dan rusak akibat mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara
ini marah bukan kepalang melihat ibunya terkepung, maka dia melempar-lemparkan
para prajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!
Tingkat
kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya,
dan walau pun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, akan tetapi nyonya ini
sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.
Munculnya
dara yang mengamuk hebat itu membuat para prajurit yang tadinya memang sudah
sangat gentar menghadapi kedua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi
kalang kabut.
"Ibu...
bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu.
Mereka
kemudian melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di
belakang sambil menahan para prajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan
ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah
merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini
dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para prajurit.
Sementara
itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung
oleh banyak sekali prajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para
pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah. Memang mereka sengaja mengamuk hanya
untuk menahan agar para prajurit tidak melakukan pengejaran kepada
isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam beserta seorang
wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan, dan tahulah dua orang pendekar
ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama
mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!
Melihat
mereka, dua orang pendekar ini menjadi amat marah, akan tetapi juga kaget dan
khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri.
Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya
kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun
Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru.
"Bun
Houw, lari...!"
Bun Houw
tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua
melarikan diri ke barat.
Memang sejak
tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa amat heran melihat bahwa dua orang wanita
isteri kedua orang pendekar tidak nampak. Tidak mungkin kedua orang wanita itu
bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi.
Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua
orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk
melakukan pengejaran.
Dia maklum
akan kelihaian kedua orang pendekar itu, maka walau pun dia dibantu oleh gurunya,
dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar
jumlahnya. Kim Hong Liu-nio mengira bahwa tentu dua orang pendekar itu akan
memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau
bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.
Tentu saja
Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk
memancing mereka itu mengejar supaya isteri-isteri mereka sempat meloloskan
diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa
isteri-isteri mereka itu kini tengah menghadapi pengeroyokan para prajurit yang
oleh Kim Hong Liu-nio memang telah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di
sekeliling bukit itu!
Setelah
merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tak lagi berlari terlalu cepat
sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu
berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti
datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu.
Setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang
berwibawa,
"Berhenti
kalian semua! Sebagai prajurit-prajurit kerajaan, apakan kalian telah lupa
bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang
selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia
Keng Hong, bahkan menjadi sahabat baik dari mendiang Panglima The Hoo! Kalau
sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata!
Dan pada suatu hari kami pasti akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk
ini!"
Melihat
sikap pendekar yang amat gagah itu, dan juga mendengar ucapan itu, maka para
prajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga
Cin-ling-pai, nampak gentar. Dan benar saja, mereka berhenti bergerak dan hanya
berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.
Melihat ini,
Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing telah
menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut
serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik yang aneh
seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya
gembira sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang
musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali
ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment