Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 01
HUJAN turun
sejak sore tadi dan malam ini hujan masih turun rintik-rintik. Walau pun sudah
tak sederas sore tadi, tapi hujan itu masih membuat orang enggan keluar rumah.
Apa lagi malam itu dingin sekali. Dari pada di luar rumah, akan terasa lebih
enak berada di dalam rumah sambil menghangatkan diri di dekat perapian atau di
atas pembaringan menyusup ke bawah selimut.
Kota
Nan-king yang biasanya sangat ramai dengan kehidupan malamnya itu kini nampak
sunyi sepi seperti kota mati. Hanya satu dua orang saja nampak melangkah di
atas jalan raya yang basah dan sunyi lagi gelap itu, orang-orang yang mempunyai
urusan penting sekali. Mereka itu melindungi tubuh dengan jubah dan mantel,
juga memegang payung.
Di sebuah
rumah besar dan kuno yang terletak di pinggir jembatan di ujung timur kota itu,
suasananya juga sangat sunyi. Rumah itu milik keluarga Siangkoan Leng yang
terkenal sebagai keluarga jagoan, memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga
dihormati orang karena mereka itu berdagang obat-obatan dan terkenal amat
pandai pula mengobati orang sakit.
Karena
kepandaiannya mengobati orang, maka oleh penduduk kota Nan-king Siangkoan Leng
sendiri disebut Siangkoan Sinshe yang pandai mengobati orang dengan tusuk
jarum. Perdagangan obatnya laris sehingga keluarga itu memiliki penghasilan
cukup besar.
Akan tetapi
keluarga ini pun, yang terdiri dari ayah ibu dan seorang anak, dengan dibantu
oleh empat orang pelayan, semenjak sore sudah berada di kamar masing-masing,
segan keluar kamar pada malam yang sunyi dan dingin itu.
Siangkoan
Leng dan isterinya adalah sepasang suami isteri yang mempunyai ilmu silat
tinggi. Tidak ada orang di Nan-king yang pernah mengira, apa lagi mengetahui,
bahwa sebelum tinggal di Nan-king tujuh tahun yang lalu, suami isteri itu
pernah dikenal sebagai penjahat-penjahat besar di sepanjang pantai selatan!
Selama belasan tahun mereka merajalela di daerah selatan, merampok, membajak,
membunuh dan tidak ada kejahatan yang mereka pantang.
Akan tetapi
ketika isteri Siangkoan Leng yang bernama Ma Kim Li itu mengandung dalam usia
hampir empat puluh tahun, peristiwa ini bagai menyadarkan mereka sehingga
mereka berdua mengambil keputusan untuk memulai hidup baru bersama dengan anak
yang akan dilahirkan. Mereka kemudian merantau ke utara sehingga akhirnya menetap
di Nan-king meninggalkan pekerjaan jahat dan mencari uang secara halal.
Mereka telah
tinggal di situ selama tujuh tahun dan anak yang terlahir laki-laki itu mereka
beri nama Siangkoan Hay dan kini sudah berusia tujuh tahun. Sejak anak ini
masih kecil, kedua suami isteri itu sudah menggembleng tubuh anak mereka dengan
berbagai ramuan obat-obatan dan mendidiknya dengan ilmu silat.
Sebagai
suami isteri yang pernah malang melintang sebagai tokoh sesat di dunia selatan,
tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sudah menanam bibit-bibit permusuhan
dengan banyak golongan atau perorangan. Pada saat mereka masih malang-melintang
di selatan, mereka selalu hidup dalam keadaan siap siaga karena setiap waktu
bisa saja ada musuh datang menyerang karena setiap saat ada saja yang mengintai
untuk mencelakai mereka sebagai pembalasan dendam.
Oleh karena
cara hidup yang tak aman inilah maka suami isteri itu mengambil keputusan untuk
melarikan diri dan meninggalkan dunia hitam. Mereka tak ingin anak mereka
terlahir di tengah keluarga yang keselamatannya selalu terancam. Dan sejak
tinggal di Nan-king, mereka hidup dengan tenang dan tenteram, tak pernah lagi
merasa khawatir karena tidak ada yang mengenal mereka dan mereka merasa tidak
punya musuh.
Biar pun
demikian, karena semenjak muda suami isteri itu adalah orang-orang yang selalu
berkecimpung di dunia persilatan, apa lagi kini mereka bermaksud menggembleng
putera tunggal mereka menjadi seorang yang akan mewarisi ilmu-ilmu mereka, maka
keduanya tidak pernah lalai berlatih, bahkan berusaha untuk memperdalam ilmu
mereka. Malam itu pun mereka tidak tidur seperti diperkirakan orang melainkan
duduk bersemedhi di dalam kamar mereka, bersila di atas tempat tidur sambil
melatih ilmu baru yang sedang mereka ciptakan bersama untuk diturunkan kepada
putera mereka.
Dan
bagaimana dengan Siangkoan Hay? Dasar putera tunggal dari suami isteri jagoan,
anak ini pun senang sekali dengan ilmu silat dan malam itu pun dia duduk
bersila untuk melatih diri menghimpun hawa murni dalam tubuhnya, sendirian di
dalam kamarnya.
Akan tetapi
empat orang pelayan, dua lelaki dan dua wanita, yang tidur di kamar-kamar
belakang sejak tadi sudah tidur keenakan dalam udara dingin yang menerobos
masuk ke dalam kamar mereka. Tidak seorang pun dari tujuh penghuni rumah besar
itu yang tahu bahwa ada dua sosok tubuh manusia yang berjalan sambil berlindung
di bawah sebatang payung, berhimpitan dan keduanya mengenakan mantel yang
lebar, kini berhenti di depan rumah, menoleh ke kanan kiri.
Sepi di
sekitar tempat itu dan kedua orang itu lalu memasuki pekarangan rumah keluarga
Siangkoan. Di bawah cahaya lampu yang tergantung di luar pada pojok rumah,
nampak sekelebatan wajah dua orang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki
bertubuh jangkung kurus dan yang perempuan bertubuh sedang. Wajah mereka hanya
nampak sekelebatan saja karena keduanya segera menyelinap ke dalam bayangan
gelap sehingga hanya dua pasang mata mereka yang mencorong dalam kegelapan
malam.
Dengan
tenang mereka lantas menutup payung, membuka mantel, membungkus payung dalam
mantel dan mengikat mantel-mantel itu di atas punggung. Kini mereka berpakaian
ringkas, pakaian berwarna hitam yang membuat bayangan mereka sukar dapat
dilihat.
Sesudah
saling berbisik, dengan gerakan yang sangat cekatan keduanya lantas meloncat ke
atas tembok pagar dan terus berloncatan ke atas genteng rumah besar itu.
Gerakan mereka demikian ringan dan cepat, seperti dua ekor kucing ketika kaki
mereka menginjak genteng tanpa menimbulkan suara sama sekali, dan bagaikan dua
ekor burung pada saat mereka meloncat.
Dua orang
itu berloncatan turun di ruangan belakang rumah itu. Dengan tenang mereka lalu
menghampiri dua buah kamar di mana empat orang pelayan itu tidur. Masing-masing
menghampiri sebuah kamar, yang laki-laki menghampiri pintu kamar pertama
sedangkan yang perempuan menghampiri pintu kamar ke dua. Mereka berdua lantas
menggunakan tangan kanan mendorong daun pintu.
"Krekkk...!"
Daun pintu
yang terkunci dari dalam itu jebol dan terbuka. Di dalam kamar pertama tidur
dua orang pelayan pria dan laki-laki jangkung itu lalu menggerakkan tangan
kirinya. Sinar hitam menyambar ke arah pembaringan lantas dua tubuh pelayan
lelaki yang sedang tidur pulas itu berkelojotan dan tewas tidak lama kemudian
tanpa sempat membuka mata atau mengeluarkan suara.
Akan tetapi
dua orang pelayan wanita yang berada di dalam kamar ke dua ternyata belum pulas
benar. Suara jebolnya daun pintu sangat mengejutkan mereka. Keduanya bangkit
duduk lantas terbelalak memandang ke arah daun pintu yang sudah jebol. Mereka
terkejut dan ketakutan sesudah melihat munculnya seorang wanita yang bermuka
pucat dingin di tengah ambang pintu.
Akan tetapi
wanita itu pun sudah menggerakkan tangan kirinya dan sinar hitam langsung
menyambar ke arah dua orang pelayan wanita. Salah seorang di antara mereka
sempat menjerit kecil sebelum ia kembali roboh di atas pembaringan seperti
temannya, kemudian tubuh mereka berkelojotan dan akhirnya terdiam, mati.
Cahaya lampu
di ruangan luar kamar itu kini menyinari dua muka pembunuh itu. Wajah seorang
laki-laki yang kurus akan tetapi cukup tampan, kumisnya kecil panjang berjuntai
ke bawah lalu bersatu dengan jenggotnya yang pendek dan telah berwarna dua.
Usianya sekitar lima puluh tahun.
Wajah wanita
itu pucat akan tetapi cantik, dengan hidung dan mulut yang membayangkan
keangkuhan. Kini mereka saling pandang dan tersenyum, akan tetapi senyum mereka
itu bagi orang lain tentu sangat mengerikan karena laksana senyum iblis yang
mengandung kekejaman.
Kini nampak
dua ekor anjing yang berlari dari belakang, datang sambil menggonggong dan
hendak menyerang dua orang itu. Akan tetapi, dua orang itu menggerakkan tangan
seperti orang menampar ke arah dua ekor anjing itu lantas suara anjing itu pun
terhenti seketika dan mereka pun terpelanting kemudian tewas dengan mulut,
hidung dan telinga mengeluarkan darah.
Dua orang
itu lalu berkelebatan ke belakang rumah. Beberapa kali terdengar suara ayam
berkeok diikuti jeritan pendek babi-babi yang berada di kandang belakang. Kalau
saja air hujan rintik-rintik tidak membuat suara gaduh di atas genteng, agaknya
dua orang suami isteri yang sedang bersemedhi itu akan dapat mengetahui
datangnya dua orang penyebar maut itu.
Betapa pun
tingginya ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang dimiliki tamu-tamu gelap itu,
agaknya pendengaran suami isteri yang tengah bersemedhi itu akan bisa
menangkapnya, karena pendengaran mereka sangat tajam dan sudah terlatih dengan
baik. Suara gaduh yang ditimbulkan oleh air hujan yang merintik di atas genteng
menutupi semua suara lain. Akan tetapi jerit pelayan wanita tadi masih dapat
menembus celah-celah dan memasuki kamar.
"Suara
apa itu?" Ma Kim Li bertanya, sadar dari semedhinya.
Suaminya
juga sudah membuka mata dan memandangnya, menggelengkan kepala. Akan tetapi
karena tidak terdengar suara apa-apa lagi yang mencurigakan, mereka pun merasa
lega.
"Mungkin
mereka mengigau dalam tidur," kata Siangkoan Leng, sama sekali tak menduga
buruk karena selama bertahun-tahun ini tak pernah terjadi sesuatu menimpa
keluarganya.
Akan tetapi
kelegaan hati mereka itu hanya berlangsung sejenak. Kecurigaan hati mereka
kembali diusik ketika terdengar gonggong kedua ekor anjing peliharaan mereka,
apa lagi ketika suara menggonggong kedua ekor anjing itu tiba-tiba saja
terhenti.
Hal ini
tidak wajar, pikir mereka. Dari pandang mata saja pasangan suami isteri itu
sudah saling sepakat untuk melakukan penyelidikan. Hampir berbareng mereka
melompat turun dari pembaringan, mengenakan sepatu kemudian keluar dari dalam
kamar. Pertama-tama, mereka membuka daun pintu kamar putera mereka dan melihat
betapa putera mereka masih duduk bersila, akan tetapi agaknya juga terganggu
oleh suara gonggongan anjing-anjing itu.
"Mengapa
dengan anjing-anjing itu, Ibu?" tanya Siangkoan Hay yang sangat menyayang
anjing peliharaan mereka.
"Kau
tetaplah di sini, kami akan melihat ke belakang." kata ibunya.
Mereka lalu
keluar dari kamar itu, menutup kembali daun pintunya dan dengan langkah ringan
akan tetapi cepat, suami isteri itu lalu berlari ke belakang. Dan apa yang
dilihatnya pertama-tama langsung membuat mereka terbelalak dan wajah mereka
berubah. Dua ekor anjing peliharaan mereka yang setia itu telah menggeletak
mati dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah!
Siangkoan
Leng cepat-cepat menghampiri dan sebagai seorang ahli pengobatan, begitu
meraba, tahulah dia bahwa dua ekor anjing itu tewas karena pukulan yang amat
ampuh, pukulan yang tidak membekas pada kulit anjing akan tetapi yang merusak
bagian dalam sehingga dua ekor binatang itu tewas dengan mulut, hidung serta
telinga mengeluarkan darah.
Jeritan
tertahan isterinya membuat Siangkoan Leng cepat meloncat dan menghampiri dua
kamar itu. Dia menahan napas melihat betapa empat orang pelayan itu pun sudah
tewas dan ketika mereka berdua melakukan pemeriksaan, mereka semakin terkejut
akan tetapi juga marah bukan kepalang karena empat orang itu tewas dengan leher
menghitam dan membengkak, tanda bahwa mereka telah dibunuh dengan menggunakan
senjata rahasia jarum yang mengandung racun jahat!
Mereka
saling pandang dengan mata terbelalak. "Perbuatan siapa ini...?"
bisik isterinya.
Suaminya
menggelengkan kepala, akan tetapi kelihatan marah. "Mari kita
mencarinya!"
Mereka
berloncatan ke belakang dan ketika melakukan pemeriksaan mereka menemukan semua
binatang peliharaan mereka, babi, ayam, bahkan seekor kucing, telah mati semua!
Tidak ada seekor pun binatang peliharaan mereka yang masih hidup!
"Cepat,
anak kita...!" Ma Kim Li setengah menjerit ketika teringat anaknya.
Seperti
berlomba saja kedua orang suami isteri itu lalu berlari kembali ke dalam
ruangan besar dan segera menuju ke kamar anak mereka. Daun pintu masih tertutup
dan dengan hati penuh ketegangan Ma Kim Li yang datang lebih dahulu dari pada
suaminya itu cepat mendorong daun pintu. Legalah hatinya sesudah melihat betapa
puteranya masih duduk bersila seperti tadi!
"Ehh,
ada apakah Ibu?" tanya Siangkoan Hay, terkejut melihat cara masuknya ibu
dan ayahnya itu dan melihat wajah mereka pucat, dibayangi ketegangan dan
kegelisahan.
Ma Kim Li
merangkul puteranya. "Tidak ada apa-apa, hanya ada orang jahat memasuki
rumah kita," bisiknya.
"Wah,
kalau begitu mari kita tangkap dan hajar dia, Ibu!" Siangkoan Hay berkata
penuh semangat. Dia sudah meloncat turun dan tentu akan berlari keluar kalau
tidak dipegang ibunya.
"Ssttttt...,"
kata ibunya.
Pada saat
itu terdengar suara ketawa bergelak dari luar. "Ha-ha-ha, jelas nampak
betapa orang tuanya sangat pengecut akan tetapi anaknya berwatak gagah berani!
Hari ini kami membunuhi semua pelayan dan binatang peliharaan, satu minggu
kemudian kami datang mengambil kembali anak kami dan sebulan kemudian kami akan
datang untuk mengambil nyawa suami isteri Siangkoan!"
"Keparat!"
Siangkoan Leng meloncat keluar melalui jendela sedangkan isterinya juga telah
meloncat keluar melalui pintu setelah memesan agar puteranya tinggal saja dalam
kamar.
Suami isteri
itu muncul di pekarangan depan rumah mereka dari dua jurusan pada waktu yang
sama dan di tengah pekarangan itu, di bawah cahaya lampu yang temaram karena
walau pun hujan tinggal sedikit sekali namun cuaca masih sangat gelap, berdiri
dua orang yang berpakaian serba hitam dan menggendong buntalan hitam. Yang
seorang bertubuh jangkung kurus, seorang lagi bertubuh kecil ramping.
Dengan
hati-hati sekali Siangkoan Leng dan Ma Kim Li mendekati dua orang itu kemudian
memandang penuh perhatian. Setelah berhasil mengenal wajah dua orang itu, suami
isteri ini menjadi marah bukan main.
Kiranya kalian... suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan?"
Laki-laki
jangkung kurus berusia kurang lebih lima puluh tahun itu tertawa bergelak, ada
pun isterinya yang cantik dan hanya beberapa tahun lebih muda, tersenyum, akan
tetapi baik suara ketawa mau pun senyum itu mengerikan, mengandung ejekan dan
kekejaman luar biasa.
Sekilas
terbayanglah pengalaman kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika suami
isteri Siangkoan masih merajalela di selatan. Di antara banyak sekali musuh dan
saingannya di dalam rimba raya persilatan dan dunia hitam, suami isteri dari
Goa Iblis Pantai Selatan ini merupakan musuh terbesar mereka. Tentu saja
sebabnya hanya karena memperebutkan kekuasaan dan wilayah kekuasaan.
Beberapa
kali dua pasang suami isteri ini saling bentrok. Akan tetapi dalam
perkelahian-perkelahian yang berlangsung seimbang dan seru, Siangkoan Leng dan
Ma Kim Li selalu menang dan suami isteri Goa Iblis itu selalu melarikan diri
dengan luka-luka.
Setelah
melihat bahwa musuh yang datang hanya suami isteri yang beberapa kali pernah
kalah oleh mereka, tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li memandang rendah dan
mereka menjadi marah sekali.
"Kalian
datang mengantar nyawa!" bentak Siangkoan Leng.
"Ha-ha-ha-ha,
yang jelas kami datang mencabut nyawa para pelayan dan semua binatang
peliharaanmu. Seminggu kemudian kami akan datang mengambil kembali anak kami,
dan sebulan kemudian baru kami akan mengambil nyawa kalian."
"Jahanam
busuk!" Ma Kim Li memaki wanita yang menjadi musuhnya itu. "Lancang
sekali kau mengatakan bahwa putera kami adalah anak kalian!"
"Tentu
saja anak kami!" jawab wanita berpakaian hitam itu. "Kalian sudah
merampasnya dari tangan kami, mendahului kami yang memang merencanakan untuk
mengambil anak itu. Dia anak kami, maka seminggu lagi kami akan
mengambilnya."
"Mulut
besar, sekarang juga kami akan membunuh kalian untuk perbuatan kalian malam
ini!" bentak Siangkoan Leng dan tanpa banyak cakap lagi dia pun
mengeluarkan suara melengking nyaring yang disusul oleh isterinya.
Dan kedua
suami isteri ini lalu menubruk ke depan. Kedua lengan mereka dikembangkan,
jari-jari tangan dibuka membentuk cakar dan bukan main dahsyatnya serangan itu
karena mereka yang marah sekali sudah mengeluarkan ilmu baru yang sedang mereka
ciptakan agar cepat-cepat dapat membunuh dua orang musuh besar itu.
Dua orang
tokoh Goa Iblis Pantai Selatan itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan
tiba-tiba mereka bertiarap ke atas tanah, kemudian mencelat ke atas memapaki
serangan lawan. Sungguh aneh sekali gerakan mereka berdua, akan tetapi ternyata
mereka mampu menyambut serangan lawan dengan dorongan telapak tangan terbuka
yang amat kuat.
"Desss...!
Dessss...!"
Empat tangan
itu saling bertemu di udara dan terjadi benturan tenaga sinkang yang amat
dahsyat sehingga keadaan sekeliling tempat itu seperti tergetar.
Siangkoan
Leng dan Ma Kim Li sama-sama terdorong dan terhuyung ke belakang, muka mereka
menjadi pucat. Sedangkan dua orang berpakaian hitam itu berdiri tegak sambil
tertawa-tawa.
"Siangkoan
Leng, kami tak ingin membunuh kalian sekarang. Seminggu lagi kami datang untuk
mengambil anak itu, dan sebulan kemudian barulah kami akan membunuh kalian.
Ha-ha-ha, selamat tinggal!" Dua orang itu tertawa-tawa lantas sekali
berkelebat keduanya lenyap dari depan suami isteri yang masih tertegun itu.
Ma Kim Li
teringat akan puteranya dan cepat dia berlari memasuki rumah lagi, diikuti oleh
suaminya yang juga merasa khawatir sekali. Ketika mereka membuka daun pintu,
dapat dibayangkan alangkah kaget dan gelisah rasa hati mereka sesudah melihat
bahwa kamar putera mereka itu telah kosong dan tidak nampak bayangan Siangkoan
Hay!
"Hay
Hay !" Ma Kim Li menjerit dan segera keluar lagi, berlari ke sana-sini
mencari-cari puteranya. Juga Siangkoan Leng mencari-cari dan memanggil-manggil
nama anaknya.
Akan tetapi
mereka tak dapat menemukan Siangkoan Hay yang seolah-olah telah lenyap ditelan
bumi, tidak meninggalkan bekas! Mereka mencari-cari sampai jauh ke luar rumah,
bahkan mengejar ke sana-sini di seluruh kota, tetapi sampai pagi tetap saja
mereka tidak dapat menemukan putera mereka.
Dapat
dibayangkan betapa gelisah rasa hati orang tua itu sesudah mencari-cari semalam
suntuk tanpa hasil dan pada pagi harinya berjalan pulang dengan tubuh lemas.
Meski pun tidak sampai mengeluarkan air mata karena wanita seperti Ma Kim Li
itu sudah tak dapat menangis lagi, akan tetapi wajahnya menjadi sangat pucat.
Juga wajah Siangkoan Leng berubah pucat sekali.
Sesudah
sampai di rumah, keduanya kembali mencari anak mereka tanpa hasil. Mereka
melakukan penyelidikan di kamar Siangkoan Hay namun tidak menemukan sesuatu
yang mencurigakan atau sesuatu yang dapat memberi petunjuk ke mana perginya
anak itu.
"Jangan-jangan
mereka telah membawanya!" kata Ma Kim Li.
"Kalau
memang mereka yang menculik Hay Hay, berarti mereka tentu memiliki pembantu.
Mereka sendiri tidak mungkin karena mereka bentrok dengan kita dan ketika
mereka pergi kita juga langsung pergi ke kamar Hay Hay. Kurasa bukan mereka
berdua penculiknya. Bukankah mereka sudah mengatakan akan mengambil Hay Hay
seminggu lagi?"
"Iblis-iblis
macam mereka itu mana bisa dipercaya?"
"Jangan
kau memandang rendah mereka! Kukira mereka itu tak boleh disamakan dengan
keadaan mereka sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun yang silam, kepandaian
mereka hanya berada sedikit di bawah tingkat kita, akan tetapi engkau tentu
merasakan ketika kita beradu tenaga dengan mereka tadi. Kita menggunakan ilmu
kita yang baru, dengan pengerahan seluruh tenaga, akan tetapi tangkisan mereka
membuat kita hampir jatuh! Itu saja membuktikan bahwa mereka kini sudah
mempunyai tingkat kepandaian yang berada di atas tingkat kita!"
"Aku
tidak takut!"
"Aku
juga tidak takut, akan tetapi aku hanya mengatakan keadaan sebenarnya. Dengan
kepandaian yang setinggi itu, mereka tentu tidak hanya menggertak saja. Mereka
bahkan sengaja menentukan waktu-waktunya untuk bertindak agar kita dapat
membuat persiapan lebih dahulu. Kesombongan seperti itu tentu hanya mereka
lakukan karena mereka yakin benar dengan kepandaian mereka. Mereka seolah-olah
memberi kesempatan kepada kita untuk melarikan diri, atau minta bantuan orang
lain, dan agaknya mereka sudah siap akan semua kemungkinan itu."
"Kalau
bukan mereka, lalu siapa yang mengambil anak kita?"
"Aku
tidak tahu... ahhh, begitu banyak musuh kita di selatan, mana kita dapat
menduga siapa yang menculiknya?"
"Sudah
tujuh tahun tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang
mengganggu..."
"Buktinya
malam tadi sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan datang, siapa tahu
ada pula yang lain-lain datang untuk mengganggu kita."
"Kalau
begitu, bagaimana baiknya ?" Ma Kim Li nampak bingung dan putus asa.
Wajahnya
yang biasanya cerah dan masih kelihatan cantik itu sekarang menjadi muram dan
sepasang matanya yang biasanya bersinar-sinar penuh keramahan yang
berseri-seri, kini nampak layu dan membayangkan ketajaman yang penuh kekejaman
dan kemarahan. Kedua tangannya sebentar terbuka dan sebentar tertutup seperti
hendak mencengkeram sesuatu, ada pun sepuluh batang jari-jari tangannya itu
dimasuki tenaga dahsyat sehingga kadang-kadang mengeluarkan bunyi berkerotokan.
Sungguh mengerikan sekali!
"Sudahlah,
lebih baik sekarang kita mengurus mayat empat orang pelayan kita itu namun
jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kita kubur mereka diam-diam di kebun
kita dan semenjak hari ini kita tutup toko kita. Sesudah itu baru kita akan
mencari akal bagaimana untuk menghadapi mereka dan juga ke mana kita harus
mencari anak kita."
"Akan
tetapi Hay Hay... bagaimana kalau anak kita itu dibunuh...?"
"Bodoh!
Jika mereka memang ingin membunuhnya, kenapa harus susah-susah menculik dia?
Kalau sudah mampu menculiknya, apa susahnya membunuhnya di sini juga? Jangan
bodoh, penculik itu tak akan membunuhnya, hanya ingin menculiknya untuk
membikin kita merasa tersiksa."
"Seperti
juga dua iblis itu yang sengaja memberi waktu kepada kita agar kita gelisah dan
tersiksa sebelum mereka turun tangan."
"Benar,
dan mari kita bekerja membereskan mayat-mayat itu."
Suami isteri
itu menutup pintu rapat-rapat dan diam-diam lantas bekerja keras, membuat
lubang yang cukup besar di dalam kebun belakang mereka untuk mengubur empat
mayat pelayan mereka menjadi satu. Juga bangkai-bangkai babi, anjing serta ayam
itu mereka kuburkan ke dalam satu lubang yang lain!
Sebetulnya,
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li bukanlah orang biasa. Ketika mereka berdua masih
merajalela di selatan, mereka merupakan sepasang manusia iblis yang tak pantang
melakukan perbuatan jahat apa pun. Di samping kekejaman mereka, suami isteri
ini pun amat lihai. Jarang ada orang yang mampu menandingi mereka.
Nama besar
Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) sebagai julukan yang sudah
diberikan oleh dunia kang-ouw kepada mereka sangat terkenal dan ditakuti orang.
Entah sudah berapa banyak orang yang terbunuh atau kalah oleh mereka berdua
sehingga tidak mengherankan apa bila banyak orang menaruh dendam kepada mereka.
Sejak mereka
pindah ke Nan-king, mereka 'mencuci tangan' dan tidak pernah melakukan
kejahatan lagi, memelihara dan mendidik anak tunggal mereka dan bekerja dengan
halal. Mereka tidak tahu bahwa semua perbuatan mereka yang lampau itu tak habis
begitu saja, namun mengandung akibat-akibat yang agaknya baru sekarang timbul
dan mengganggu kehidupan mereka yang tadinya tenteram.
Sambil
bekerja mengubur mayat-mayat dan bangkai-bangkai, pekerjaan yang bagi mereka
biasa saja karena menghadapi kematian sudah tidak aneh lagi bagi mereka, kedua
orang suami isteri itu bercakap-cakap dan menduga-duga siapa kiranya
musuh-musuh lain yang berani mengganggu mereka dan menculik Siangkoan Hay.
"Sungguh
aneh sekali, apa maksudnya tikus-tikus dari Goa Iblis itu mengaku Siangkoan Hay
sebagai anak mereka?" antara lain Ma Kim Li bertanya.
"Semenjak
tadi aku juga telah memikirkan hal itu," jawab suaminya. "Dan aku
mengambil kesimpulan bahwa agaknya mereka sudah tahu akan rahasia kita dan
agaknya pula pada waktu itu mereka pun bermaksud untuk menculik anak itu. Hanya
bedanya, mereka ingin menculik sedangkan kita menukarnya dengan anak yang mati.
Tapi anehnya, bagaimana mereka bisa tahu? Bukankah dua orang saksi telah kita
bunuh semua?"
Sesudah
pekerjaan mengubur itu selesai, Siangkoan Leng dan isterinya masuk ke dalam
rumah lalu keduanya termenung. Mereka membayangkan peristiwa tujuh tahun yang
lalu. Ketika Ma Kim Li mulai mengandung, dia dan suaminya mendengar akan adanya
suami isteri pendekar yang baru tiba di selatan dari pelariannya keluar dari
Tibet.
Suami isteri
itu terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Ketika mereka merantau ke Tibet
dan si isteri mengandung, muncul petunjuk kepada para pendeta Lama bahwa anak
yang dikandung oleh isteri pendekar itu merupakan penitisan (reinkarnasi) dari
Dalai Lama dan bahwa anak itu kelak akan menjadi Dalai Lama atau seorang yang
suci. Oleh karena itu, suami isteri pendekar itu menjadi ketakutan. Petunjuk
itu berarti bahwa mereka harus melepaskan anak mereka bila mana sudah terlahir,
untuk dirawat dalam biara oleh para pendeta Lama.
Dengan kepandaian
mereka, suami isteri itu akhirnya dapat meloloskan diri dari kepungan para
pendeta Lama kemudian melarikan diri sampai ke pantai selatan. Akan tetapi
berita itu ramai dibicarakan orang sehingga terdengar pula oleh Lam-hai
Siang-mo. Ramai orang membicarakan bahwa anak yang akan terlahir dari isteri
pendekar itu tentu seorang anak yang disebut Sin-tong (Anak Ajaib). Kebetulan
sekali, kandungan dalam perut Ma Kim Li sama tua dengan kandungan isteri
pendekar itu. Ketika Ma Kim Li melahirkan, ternyata bayi laki-laki itu memiliki
tubuh yang lemah sekali. Suami isteri itu berusaha mengobatinya, akan tetapi
sia-sia belaka bahkan setelah dua bulan pertumbuhan anak itu tidak berjalan
normal dan amat terbelakang.
Tentu saja
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li menjadi kecewa bukan kepalang. Akan tetapi mereka
adalah orang-orang yang tidak pernah mau mengalah terhadap nasib dan dengan
cara apa pun juga mereka ingin mengubah nasib diri mereka.
Mereka
mendengar bahwa suami isteri pendekar itu, yang untuk sementara ini mondok di
dalam sebuah kuil para nikouw (pendeta wanita) yang terpencil di luar kota,
juga sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang kelahirannya hanya berselisih
satu dua hari dengan kelahiran anak mereka yang diberi nama Siangkoan Hay itu.
Pada suatu malam, pergilah suami isteri ini membawa anak mereka yang baru
berusia dua bulan, memasuki kuil dari kebun belakang.
Siangkoan
Leng menyuruh isterinya bersembunyi di balik rumpun bunga dan mendekap mulut
anak mereka agar tidak mengeluarkan suara, ada pun dia sendiri cepat menyelinap
hendak menyelidiki keadaan di dalam kuil itu. Dia merasa sangat terheran-heran
melihat betapa kuil itu sunyi senyap dan terdengar suara orang-orang tidur
mendengkur di dalam kamar-kamar kuil itu, tanda bahwa para penghuninya sudah
tidur lelap.
Cepat dia
memberi isyarat kepada isterinya dan mereka lantas mengadakan pemeriksaan dan
mengintai ke dalam setiap kamar. Akhirnya mereka pun melihat seorang wanita
yang berpakaian seperti pengasuh anak-anak, bersama seorang nikouw, yaitu
seorang pendeta wanita yang berkepala gundul, berada di dalam sebuah kamar dan
anehnya, mereka pun agaknya tidur nyenyak. Seorang anak laki-laki berusia
kurang lebih dua bulan juga tertidur di atas pembaringan.
"Cepat...!"
Bisik Siangkoan Leng kepada isterinya.
Tanpa
mengeluarkan suara mereka berloncatan ke dalam kamar itu. Ma Kim Li kemudian
menaruh anaknya sendiri di atas pembaringan dan cepat menyambar anak laki-laki
yang sedang tidur nyenyak itu, seorang anak laki-laki yang bertubuh montok dan
berkulit putih bersih. Akan tetapi anaknya sendiri menangis, maka tanpa banyak
cakap lagi Siangkoan Leng segera menggerakkan tangan menampar sehingga anak itu
pun terdiam dan tewas dengan muka yang tak dapat dikenal lagi karena sudah
remuk!
Sementara
itu, Ma Kim Li juga mempergunakan tangannya yang bergerak menyambitkan
jarum-jarum hitam. Jarum-jarum itu berubah menjadi sinar hitam dan menyambar ke
arah leher dua orang wanita itu yang tak sempat berteriak lagi karena langsung
tewas dengan jarum-jarum itu terbenam dalam-dalam pada leher mereka! Setelah
itu, kedua suami isteri itu berloncatan ke luar.
Pekerjaan
terkutuk itu mereka lakukan dengan sikap tenang saja. Membunuh anak sendiri
serta dua orang wanita tidur itu bagi mereka bukanlah apa-apa, karena membunuh
anak sendiri dan merusak mukanya agar tidak bisa dikenali itu memang sudah
termasuk dalam rencana mereka.
Setelah
menukarkan anak mereka yang lemah dan tidak normal itu dengan putera suami
isteri pendekar, anak yang dihebohkan sebagai seorang Sin-tong, anak yang sejak
dalam kandungan sudah ditentukan oleh para pendeta Lama di Tibet sebagai calon
orang besar, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li merasa gembira sekali. Akan tetapi
mereka pun maklum bahwa orang-orang tidak akan tinggal diam saja, maka mereka pun
seperti memperoleh dorongan lebih kuat lagi untuk segera meninggalkan daerah
selatan.
Semenjak Ma
Kim Li mengandung memang mereka sudah ingin meninggalkan pekerjaan sebagai
penjahat demi anak mereka. Sekarang setengah terpaksa mereka meninggalkan
daerah selatan pada malam hari itu juga dan sesudah merantau berbulan-bulan
lamanya, berusaha menghilangkan jejak mereka agar tidak bisa disusul oleh
mereka yang mungkin melakukan pengejaran, akhirnya mereka tinggal di kota
Nan-king sebagai pedagang dan ahli obat.
Suami isteri
itu mengenangkan semua kejadian itu dan sekarang menduga-duga siapakah yang
membocorkan rahasia mereka sehingga dapat diketahui oleh suami isteri Goa Iblis
itu? Kenapa yang mencari mereka, yang ingin merampas anak itu adalah dua orang
dari Goa Iblis itu, dan bukan orang tua anak itu, yaitu sepasang pendekar yang
menjadi orang tua asli dari anak yang kini bernama Siangkoan Hay dan menjadi
anak mereka selama tujuh tahun? Dan siapa pula yang sebenarnya telah menculik
anak mereka?
"Apa
yang harus kita lakukan sekarang?" berkali-kali Ma Kim Li bertanya, baik
kepada suaminya mau pun kepada diri sendiri karena dia merasa bingung sekali.
Walau pun
Siangkoan Hay bukan anak yang dikandungnya dan dilahirkannya, akan tetapi
karena dia telah memelihara dan mendidik anak itu semenjak berusia dua bulan,
dia telah merasa amat mencinta anak itu dan dianggapnya seperti anak kandungnya
sendiri saja.
"Kita
menghadapi dua hal yang sangat gawat," kata suaminya sesudah lama
berpikir-pikir mencari akal. "Pertama, dua orang itu tentu tak mau
melepaskan kita begitu saja. Mereka memberi waktu, dan selama itu pula mereka
tentu akan selalu mengamati gerak-gerik kita sehingga andai kata kita melarikan
diri pun mereka akan tahu dan membayangi kita. Ilmu kepandaian mereka amat
tinggi sehingga kita harus mencari daya upaya untuk melawan mereka dan menang. Ke
dua, kita pun harus cepat-cepat mencari anak kita yang diculik orang. Sungguh
tidak leluasa sekali apa bila mencari anak kita dalam keadaan kita selalu
dibayangi, sedangkan menghadapi mereka secara begitu saja, juga amat berbahaya.
Ilmu kita yang paling baru saja tidak mampu merobohkan mereka!"
"Habis,
bagaimana?" tanya isterinya yang diam-diam merasa jeri juga walau pun dia
tidak menyatakan dengan mulut.
Dia pun
merasa ketika menyerang wanita yang menjadi lawannya malam itu, dia sudah
mengeluarkan ilmunya yang terbaru dan mengerahkan tenaga penuh. Akan tetapi
dengan gerakan bertiarap lalu meloncat bangun, lawan itu sanggup menahan
pukulannya, bahkan membuat dia terdorong ke belakang dan terhuyung hampir
roboh!
Padahal
dulu, wanita itu yang bernama Tong Ci Ki berjuluk Si Jarum Sakti, sudah pernah
dikalahkannya dalam perkelahian sampai beberapa kali. Suami wanita itu, yang
bernama Kwee Siong berjuluk Si Tangan Maut, juga beberapa kali kalah oleh
suaminya. Ternyata mereka telah memperoleh kemajuan yang amat hebat selama
sepuluh tahun ini.
"Kita
harus menggunakan akal sehingga untuk sementara kita dapat lolos dari ancaman
mereka dan di lain pihak kita pun dapat bebas melakukan pengintaian terhadap
mereka apakah mereka itu menculik anak kita atau tidak."
"Bagaimana
akalnya?" isterinya bertanya khawatir .
"Yang
paling penting kita harus dapat meloloskan diri dari pengamatan mereka agar
kita dapat leluasa bergerak lantas dapat berbalik membayangi mereka, dan
satu-satunya akal kita adalah begini..."
Suami itu
mendekati isterinya kemudian berbisik-bisik di dekat telinganya karena khawatir
kalau-kalau pihak musuh tengah mengadakan pengintaian dan akan dapat
mendengarkan siasatnya. Isterinya mengangguk-angguk setuju. Ya... ya... yaaa!
***************
Berita
kematian Siangkoan Sinshe dan isterinya amat menggemparkan seluruh penduduk
kota Nan-king. Banyak sekali orang yang berdatangan untuk melayat. Menurut
penuturan empat orang pelayan laki-laki yang baru beberapa hari bekerja di
sana, karena kabarnya pelayan-pelayan lama keluar dan pulang kampung, mereka
mendapatkan majikan mereka itu kedua-duanya telah mati di dalam kamar tidur
mereka.
Memang agak
aneh. Apa lagi sesudah para tetangga itu mendapatkan bahwa dua mayat Siangkoan
Leng serta isterinya itu telah dimasukkan ke dalam dua buah peti yang sudah
tertutup. Akan tetapi tidak ada yang meributkan soal ini. Tidak ada jalan lain
bagi mereka kecuali melayat dan ikut berkabung karena bagaimana pun juga, suami
isteri itu dikenal sebagai pedagang obat yang pandai mengobati orang sakit dan
sudah banyak orang sakit yang sembuh oleh pengobatan mereka.
Kepala
daerah yang sudah mengenal baik Siangkoan Leng dan isterinya, datang melayat
pula begitu mendengar berita itu, tetapi dia merasa curiga, maka dia pun
memaksa empat orang pelayan itu, dibantu oleh orang-orangnya kepala daerah itu
sendiri, untuk membuka sedikit peti-peti mati itu supaya dia dapat melihat
wajah suami isteri yang dikabarkan mati mendadak itu.
Dua buah
peti mati itu lalu dibuka sedikit dan digeser penutupnya. Nampaklah wajah dua
orang suami isteri itu, wajah yang pucat tak mengandung darah lagi, wajah
jenazah yang sudah tak bernyawa lagi! Si Kepala Daerah baru percaya dan peti
itu pun ditutup kembali lalu dipaku. Dan para tetangga juga kini percaya bahwa
suami isteri itu benar-benar telah mati. Hanya, tidak ada yang tahu bagaimana
dua orang yang tadinya sehat-sehat saja itu tiba-tiba bisa meninggal dunia.
Selama dua
hari banyak tamu berdatangan dan bersembahyang di depan dua buah peti mati itu.
Asap hio mengepul dan bau dupa wangi yang dibakar memenuhi ruangan. Pada hari
ke tiga, anak tunggal suami isteri yang baru mati itu, yang selama beberapa
hari ini menjadi pertanyaan para tetangga dan kenalan Siangkoan Leng
sekeluarga, tiba-tiba saja muncul, dan berlari-lari sambil menangis dan
memanggil ayah ibunya!
Keadaan
segera menjadi gempar dan mengharukan ketika Siangkoan Hay, yang menjadi buah
bibir dan pertanyaan para tetangga karena tak terlihat di situ, apa lagi karena
empat orang pelayan baru itu mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat
putera majikan mereka itu karena sejak mereka dipekerjakan, tuan muda itu sudah
tak berada di rumah, menangis tersedu-sedu di depan dua peti mati itu.
"Ayah...,
Ibu... kenapa kalian mati? Kenapa... ? Apa yang telah terjadi...?" Dia
menangis dan bertanya, akan tetapi tak seorang pun mampu menjawabnya.
Dari luar
terdengar suara ketawa. Tentu saja semua tamu menjadi terkejut dan menengok
dengan pandang mata mereka membayangkan kemarahan. Sungguh tak sopan sekali di
dalam ruangan berkabung itu ada orang tertawa! Akan tetapi pandang mata mereka
yang tadinya mengandung kemarahan segera berubah menjadi ketakutan dan
kengerian ketika mereka melihat siapa yang tertawa tadi.
Mereka
adalah seorang lelaki dan seorang wanita. Yang lelaki bertubuh jangkung kurus,
wajahnya tampan akan tetapi mengerikan, dingin dan kaku bagaikan kedok saja,
hanya sepasang matanya yang hidup dan mencorong menakutkan.
Yang wanita
bertubuh kecil ramping. Wajahnya berbentuk bagus dan cantik, akan tetapi muka
itu pucat sekali laksana muka mayat dan bibir yang pucat membiru itu tersenyum,
akan tetapi senyum yang mengandung kekejaman, sedangkan sepasang matanya juga
mencorong seperti mata laki-laki jangkung di sampingnya.
Ternyata
yang mengeluarkan suara ketawa tadi adalah wanita itu, dan sekarang mereka
berdua melangkah memasuki ruangan di mana terdapat dua buah peti mati yang
berjajar. Sejenak dua orang itu memandang ke sekeliling, ke arah para tamu yang
nampak terkejut dan bengong memandang kedua orang yang baru datang itu.
Tidak ada
seorang pun di antara para tamu itu yang mengenal suami isteri ini. Akan tetapi
di selatan, di sepanjang pantai selatan, semua orang di dunia kang-ouw,
terutama di dunia hitam, mengenal sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai
selatan.
Laki-laki
yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu bernama Kwee Siong akan tetapi
lebih terkenal dengan julukan Si Tangan Maut. Sedangkan wanita yang sedikit
lebih muda dari pada dia itu adalah isterinya bernama Tong Ci Ki yang terkenal
dengan julukannya Si Jarum sakti. Mereka adalah pasangan suami isteri yang
terkenal ganas, kejam dan lihai seperti sepasang iblis, penghuni Goa Iblis di
pantai selatan, ditakuti oleh semua orang.
Kini suami
isteri yang sikapnya amat dingin dan mengerikan itu memandang ke arah anak
laki-laki yang sedang menangis di antara dua buah peti mati. Si Jarum Sakti
Tong Ci Ki menghampiri anak ini, kemudian bibirnya yang pucat kebiruan itu
bergerak-gerak.
"Apakah
engkau anak dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?"
Anak itu
memang Siangkoan Hay dan sambil mengusap air matanya, dia kini memandang kepada
dua orang itu. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika mereka menyebut
nama ayah ibunya, dia mengangguk.
"Benar,
aku adalah anak mereka, namaku Siangkoan Hay."
"Sin-tong...!"
kata Tong Ci Ki lantas dia pun melangkah maju mendekati Siangkoan Hay sambil
mengulurkan tangannya.
"Apa...
?" Hay Hay bertanya heran, akan tetapi pada saat itu tubuhnya seperti
ditarik oleh tenaga yang luar biasa dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah
ditangkap oleh tangan wanita itu yang berkulit halus namun dingin.
Tubuh Hay
Hay menggigil kedinginan. Ia hendak menarik kembali tangannya, akan tetapi
tiba-tiba saja tangan yang lain dari wanita itu mengelus kepalanya dan dia pun
tak mampu menggerakkan tangannya itu, bahkan ketika hendak mengeluarkan suara,
tidak ada suara keluar dari tenggorokannya. Hay Hay terkejut sekali sehingga
hanya berdiri bengong, tak mampu bersuara atau bergerak, dan masih bergantungan
pada tangan wanita itu yang memegang pergelangan tangannya.
Sementara
itu, dengan senyum yang lebih pantas dinamakan senyum iblis karena hanya
menyeringai dengan mulut saja tapi bagian lain dari mukanya sama sekali tidak
bergerak, Si Tangan Maut Kwee Siong menghampiri dua buah peti mati itu.
"Heii!
Siapa kalian dan mau apa?" seorang di antara para tamu, yang merasa tak
senang melihat sikap suami isteri itu, menegur.
Si Tangan
Maut menoleh kepada orang itu, kemudian menyeringai. "Kami adalah
sahabat-sahabat baik dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, sungguh tidak disangka
bahwa hari ini kami melihat mereka telah berada di dalam peti mati."
Mendengar
ini, semua orang tertegun. Betapa anehnya dua orang yang berpakaian serba hitam
itu, pikir mereka. Sementara itu, Si Tangan Maut Kwee Siong sudah menghampiri
kedua peti mati itu lantas kedua tangannya menekan dan menepuk-nepuk kedua peti
itu seperti orang menepuk-nepuk bahu sahabat baiknya
"Siangkoan
Leng dan Ma Kim Li, semoga kalian bisa senang di alam baka." Dan setelah
menepuk beberapa kali, dia pun mundur dan menoleh kepada isterinya.
"Apakah engkau tidak ingin membekali sesuatu kepada mereka melalui
lubang-lubang kecil di samping peti itu?"
Wanita itu
pun tersenyum. Andai kata mukanya tidak seperti mayat, tentu wajahnya yang
belum tampak keriputan itu akan terlihat cantik. Ia masih menggandeng tangan
Siangkoan Hay dan sekarang dia menggerakkan sebelah tangannya ke arah peti.
Sinar hitam lembut menyambar ke arah kedua peti itu dan tepat sekali
sinar-sinar kecil itu memasuki lubang-lubang di samping peti.
Memang aneh
peti mati itu karena ada lubang-lubang kecil di kanan kiri peti, seolah-olah
dua peti mati itu diberi lubang hawa! Hal ini tidak nampak oleh para tamu
lainnya karena tertutup bunga-bunga, akan tetapi ternyata kelihatan oleh suami
isteri luar biasa itu.
Semua orang
tidak mengerti akan sikap mereka dan tidak tahu apa yang mereka lakukan tadi.
Akan tetapi tiba-tiba semua orang yang berada di dekat kedua peti itu
mengeluarkan seruan kaget. Dengan mata terbelalak mereka menuding ke arah bawah
peti karena kini dari dua peti itu keluar darah menetes-netes dan tergenang di
bawah peti!
Melihat ini,
Si Tangan Maut Kwee Siong dan isterinya, Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, tertawa
bergelak dan mereka lantas pergi dari ruangan itu sambil membawa Siangkoan Hay
yang masih digandeng oleh Tong Ci Ki.
"Hai,
apa yang telah kalian lakukan?"
"Tunggu
dulu...!"
Beberapa
orang tamu sudah menghadang mereka. Mereka adalah orang-orang yang ahli ilmu
silat, yang mulai curiga dan menduga bahwa tentu telah terjadi peristiwa
mengerikan sekali, ada pun dua orang laki-laki dan wanita pakaian hitam ini
tentu bukan sahabat baik keluarga Siangkoan, apa lagi melihat mereka hendak
pergi membawa Siangkoan Hay.
Akan tetapi
suami isteri iblis itu dengan tenang melanjutkan langkahnya dan ketika tiba di
dekat mereka yang berani menghadang, dua orang suami isteri itu hanya berseru,
"Minggir
kalian!"
Keduanya
menggerakkan tangan seperti orang mengusir lalat saja akan tetapi akibatnya,
empat orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti diamuk gajah! Padahal, empat
orang itu termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu silat cukup tangguh dan
merupakan jagoan-jagoan di Nan-king!
Melihat
betapa empat orang lihai itu sedemikian mudah dirobohkan oleh suami isteri yang
berpakaian hitam ini, semua orang segera menjadi jeri sehingga tak ada lagi
yang berani menghalangi mereka. Apa lagi ketika semua orang melihat betapa pria
jangkung bermuka laksana topeng itu tiba-tiba saja menarik tangan Siangkoan Hay
sehingga tubuh anak itu terpental ke atas lalu dipondongnya dan bersama wanita
muka mayat itu kini mereka lari dengan kecepatan yang membuat mereka
terbelalak. Tak seorang pun berani melakukan pengejaran.
Dalam
sekejap mata saja kedua orang itu telah lenyap dan barulah semua orang menjadi
panik dan bising. Mereka berlari mendekati dua peti mati dan dapat dibayangkan
betapa terkejut dan ngeri hati mereka sesudah melihat bahwa selain dari dua
buah peti itu masih menetes-netes darah melalui lubang-Iubang kecil yang
tersembunyi itu, juga empat orang pelayan laki-Iaki yang tadi duduk di belakang
peti-peti itu sekarang sudah terkapar dan tak bernyawa lagi, dengan muka
berubah kehitaman!
Padahal
mereka sama sekali tak melihat dua orang tamu aneh tadi turun tangan terhadap
empat orang pelayan itu dan tidak salah lagi, mereka berempat itu tewas pada
saat terjadi ribut-ribut penghadangan terhadap dua orang tamu yang melarikan
Siangkoan Hay. Tidak ada seorang pun melihat bagaimana empat orang pelayan itu
bisa tewas dan siapa yang membunuhnya.
Gegerlah
tempat itu! Terlebih lagi kepala daerah Nan-king yang pernah diobati oleh suami
isteri Siangkoan, yang tadinya memang telah menaruh curiga sehingga pernah
menyuruh membuka tutup peti mati di hari pertama, menjadi marah sekali
mendengar berita itu. Dia bersama orang-orangnya segera datang ke sana dan
memerintahkan para pengawalnya untuk membuka tutup peti dengan paksa.
Kembali dua
buah peti itu dibuka tutupnya dan semua orang terbelalak, bahkan ada yang
mengeluarkan pekik keheranan dan kengerian. Kiranya yang berada di dalam peti
mati itu bukan Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, bukan suami isteri pedagang obat itu,
melainkan dua orang laki-laki dan perempuan lain lagi, yang usianya sekitar
empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah
petani-petani sederhana!
Kemana
perginya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, atau lebih tepat lagi, kemana hilangnya
jenazah-jenazah mereka yang tadinya telah berada di dalam peti mati? Kenapa
tubuh dua orang petani itu tahu-tahu sudah berada di dalam peti dan agaknya
mereka belum mati ketika berada dalam peti?
Jelas bahwa
mereka mati karena serangan gelap dari kedua orang tamu aneh itu karena di
sebelah dalam peti nampak bekas jari-jari tangan dan juga di lambung mereka
nampak luka-luka menghitam yang kecil-kecil dan sesudah dibedah, ternyata di
dalamnya terdapat jarum-jarum hitam kecil. Dan siapa pula yang membunuh empat
orang pelayan itu?
Semuanya itu
terjadi karena ulah suami isteri Siangkoan sediri! Seperti kita ketahui, suami
isteri itu mengatur siasat untuk meloloskan diri dari pengamatan dua orang
musuh mereka yang amat lihai agar mereka dapat leluasa bergerak dan berbalik
melakukan pengintaian dan pengamatan. Diam-diam mereka lalu minta bantuan empat
orang yang pernah belajar silat kepada Siangkoan Leng untuk menjadi pengganti
pelayan, dan memberi tahu kepada mereka bahwa para pelayan di rumah itu sudah
pulang ke kampung karena takut dengan ancaman musuh.
Kemudian,
dibantu oleh empat orang pelayan yang juga murid mereka itu, suami isteri ini
lalu menggali lubang terowongan yang menembus ke luar pagar tembok sehingga
suami isteri itu dapat keluar dengan leluasa pada waktu malam. Hal ini mereka
lakukan supaya tidak sampai ketahuan pihak musuh yang tentu selalu melakukan
pengintaian.
Sesudah
melakukan perundingan dengan keempat orang pelayan itu bahwa mereka akan
melakukan siasat untuk mengelabui musuh, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li
berpura-pura mati bunuh diri dengan minum racun. Pada saat kepala daerah
melakukan pemeriksaan, tubuh mereka memang berada di dalam peti mati itu.
Dengan ilmu
kepandaian mereka yang sangat tinggi, suami isteri itu dapat menghentikan
pernapasan mereka, bahkan jalan darah mereka menjadi sedemikian lemahnya
sehingga tidak dapat dilihat orang begitu saja, dan wajah mereka menjadi pucat
seperti mayat, juga mereka sanggup menahan napas sampai beberapa lamanya.
Dengan
kepandaian itu, mereka berhasil mengelabui kepala daerah dan orang-orangnya.
Untuk keperluan pernapasan pada saat peti itu tertutup, mereka sengaja membuat
lubang-lubang kecil di kanan kiri peti yang agak tersembunyi di antara bunga
hiasan peti.
Malam hari
sebelum terjadi kunjungan dua orang suami isteri iblis itu, secara diam-diam
Siangkoan Leng bersama Ma Kim Li keluar dari peti mati dan melalui jalan
terowongan di bawah tanah, mereka kemudian pergi ke dusun di luar kota. Tak
sukar bagi mereka untuk menemukan sebuah rumah terpencil di pinggir dusun.
Sesudah
melakukan pengintaian, mereka merasa girang sekali karena menemukan suami
isteri yang mereka cari-cari, yakni sepasang suami isteri yang usianya kurang
lebih tiga puluh lima tahun. Dan yang lebih cocok lagi dengan siasat mereka
adalah bahwa mereka itu hanya tinggal berdua saja di rumah kecil miskin yang
sunyi terpencil itu.
Suami isteri
petani itu belum tidur, dan tentu saja mereka merasa sangat terkejut melihat
munculnya Siangkoan Leng beserta isterinya yang begitu saja mendorong daun
pintu dari luar sampai jebol.
"Ehh...apa...
siapa...?" teriak petani itu. Akan tetapi Siangkoan Leng sudah menotoknya
sehingga dia tak mampu lagi bergerak atau pun berteriak, ada pun Ma Kim Li
melakukan hal yang sama terhadap isteri petani.
"Itu
ada pakaian anak-anak," bisik Ma Kim Li kepada suaminya.
Mereka
mencari dan menggeledah rumah kecil itu, akan tetapi tidak menemukan orang
lain. Walau pun mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perbuatan jahat,
akan tetapi sekali ini mereka bekerja secara rahasia dan bersembunyi dari
pengintaian musuh, maka keduanya tidak berani mencari lebih jauh dan cepat memanggul
tubuh suami isteri petani yang sudah lemas itu, kembaIi ke kota Nan-king.
MelaIui
jalan terowongan itu mereka menyeret dua tubuh petani memasuki rumah mereka
kemudian cepat memasukkan tubuh suami isteri petani itu ke dalam peti-peti mati
untuk menggantikan tubuh mereka sendiri. Sebelum itu, mereka menggunakan obat
bius untuk membuat suami isteri petani itu pingsan selama sehari semalam.
Setelah
melakukan perbuatan yang hanya disaksikan oleh empat orang pembantu mereka itu,
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li lantas keluar dari pekarangan rumah mereka melalui
jalan rahasia dan mulailah mereka melakukan pengintaian dari tempat tersembunyi
di luar pekarangan. Kini mereka melakukan pengintaian terhadap rumah mereka
sendiri!
Mereka dapat
melihat kesibukan yang terjadi di pekarangan dan juga di ruangan pendapa di
mana dua buah peti mati diletakkan, juga melihat orang-orang yang datang
melayat dan bersembahyang untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah
mereka.
Tentu saja
mereka terkejut setengah mati melihat seorang anak laki-laki berpakaian kotor
dan berambut kusut memasuki pekarangan itu, anak yang bukan lain adalah
Siangkoan Hay yang mereka cari-cari. Hampir saja Ma Kim Li berteriak saat
melihat puteranya, akan tetapi suaminya sudah memegang lengannya dan cepat
memberi isyarat supaya jangan mengeluarkan suara atau pun bergerak. Sekali
mereka keluar dan kelihatan orang, berarti terbukalah semua rahasia mereka!
Boleh jadi
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li merupakan dua orang yang sudah kehilangan peri
kemanusiaan. Perasaan mereka telah membeku terhadap kehalusan. Keadaan hidup
mereka yang lampau sebagai dua orang sesat yang berkecimpung di dalam dunia
hitam dan bergelimang dengan kejahatan membuat hati mereka mengeras dan tidak
mengenal keharuan.
Akan tetapi
ketika melihat Siangkoan Hay menangis di antara dua buah peti itu, menangis
sambil memanggil-manggil ayah ibunya, dua orang ini nampak bengong dan
termenung. Bahkan Ma Kim Li sampai mengusap kedua matanya dan Siangkoan Leng
beberapa kali menelan ludah.
Bagaimana
pun juga, mereka berdua telah menganggap Hay Hay sebagai anak kandung sendiri.
Walau pun anak itu bukanlah anak kandung, akan tetapi mereka memeliharanya,
membesarkan serta mendidiknya, sejak bayi berusia dua bulan sampai anak itu
sekarang berusia tujuh tahun. Dan anak itu sangat cerdas, tabah dan lincah,
selalu bergembira dan merupakan cahaya terang dalam kehidupan mereka.
Karena watak
yang baik dari Siangkoan Hay itulah yang banyak mendorong suami isteri ini
untuk memaksa diri melalui jalan benar, tidak pernah lagi mengulangi perbuatan
jahat mereka. Demi untuk kehidupan anak mereka itu di kemudian hari maka mereka
memaksa diri untuk menjadi 'orang baik-baik'. Karena paksaan dan bukan
sewajarnya, maka semua kebaikan yang mereka pertahankan itu pun mudah luntur
sehingga begitu ada ancaman bahaya kepada mereka, maka timbul kembali watak
jahat mereka!
Hidup baik
atau pun kebaikan tidak mungkin bisa dilatih! Kebaikan bukanlah suatu hasil
usaha atau hasil latihan, tidak mungkin juga dilakukan karena ketaatan atau
karena ingin memperoleh balas jasa. Bukanlah suatu kebaikan kalau dilakukan
dengan kesengajaan untuk menjadi baik, bukan pula kebaikan kalau dilakukan
dengan pamrih apa pun juga, bahkan bukan suatu kebaikan namanya bila pelakunya
menyadari bahwa yang dilakukan itu adalah suatu kebaikan!
Kesadaran
melakukan kebaikan ini pun jelas menyembunyikan pamrih, betapa pun halus pamrih
itu, tapi sedikitnya tentu merupakan kesadaran akan kebaikan dirinya yang akan
membentuk suatu gambaran mengenai diri sendiri yang penuh dengan kebaikan!
Menjadi suatu kesombongan yang terselubung, dan pamrihnya ingin mengulang rasa
nikmat yang timbul dalam hati karena telah 'berbuat baik'!
Kebaikan
adalah suatu keadaan seseorang yang batinnya dipenuhi dengan cahaya cinta
kasih. Perbuatan yang didasari cinta kasih pasti benar dan baik, dan bukan
kebaikan lagi namanya, tetapi suatu perbuatan wajar penuh peri kemanusiaan yang
berlandaskan cinta kasih.
Ada pun
kebaikan yang dilakukan orang tanpa dasar cinta kasih, namun kebaikan yang
dilakukan karena kesadaran bahwa dia 'harus' berbuat baik, maka perbuatan
seperti itu, bagaimana pun baik nampaknya, tiada lain hanyalah kemunafikan,
atau kepalsuan yang menyembunyikan pamrih untuk diri sendiri, betapa halus pun
pamrih itu.
Kebaikan
seperti ini akan mudah luntur. Sekali pamrihnya tidak didapat, maka perbuatan
baiknya pun akan berhenti. Kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran seperti itu
hanya merupakan suatu jalan atau cara untuk memperoleh suatu tujuan tertentu,
dan kebaikan seperti itu tidak ada artinya, baik untuk diri sendiri mau pun
untuk orang lain.
Tidak
anehlah kalau orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, setelah selama
tujuh tahun menjadi 'orang-orang baik' lantas tiba-tiba saja dapat kembali
menjadi kejam. Kekejaman dalam batin mereka belum lenyap, hanya ditekan-tekan
saja selama itu, 'demi sesuatu' yang mereka harapkan dalam hal ini, mungkin
demi anak mereka!
Kebaikan itu
seperti harum bunga. Bunganya adalah cinta kasih dan keharumannya itulah
kebaikan. Cinta kasih selalu akan menyebarkan kebaikan, tanpa disengaja, karena
cinta kasih itu kebaikan, keduanya tak terpisahkan, seperti matahari dengan
cahayanya.
Keharuan
yang menyentuh hati Siangkoan Leng dan Ma Kim Li segera buyar pada saat mereka
melihat munculnya Si Tangan Maut Kwee Siong dan Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, dua
musuh yang ditunggu-tunggu itu! Kembali Ma Kim Li hendak bergerak ketika
melihat betapa anaknya ditotok dan ditangkap oleh Tong Ci Ki. Akan tetapi
suaminya memegang tangannya.
"Jangan
bergerak...," bisik Siangkoan Leng kepada isterinya.
"Tapi...
bagaimana kalau mereka mencelakakan Hay Hay...?"
"Tidak.
Mereka hendak merampas Hay Hay, bukan hendak membunuhnya! Apa bila kita muncul
dan rahasia kita terbuka, tentu lebih repot lagi bagi kita. Biarkan saja
mereka, kita dapat membayangi dan setiap waktu dapat berusaha menyelamatkan
anak itu."
Mereka
berdua terus mengintai dan ngeri juga rasa hati mereka pada saat melihat betapa
dengan kekuatan sinkang-nya yang sangat dahsyat, iblis dari Goa Iblis Pantai
Selatan itu menyerang ke dalam peti, sedangkan isterinya menyerang pula dengan
jarumnya melalui lubang-lubang angin. Andai kata tubuh mereka yang berada di
dalam peti, agaknya sukar bagi mereka untuk dapat menyelamatkan diri.
Ketika
keadaan menjadi kacau karena suami isteri iblis itu membawa Hay Hay keluar dan
merobohkan orang-orang yang berani menghadang mereka, Siangkoan Leng dan Ma Kim
Li cepat menggerakkan tangan dan menyerang empat orang pembantu yang juga
pernah menjadi murid mereka dari jarak jauh.
Tentu saja
keempat orang itu tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum maut
Ma Kim Li yang dalam hal penggunaan senjata rahasia beracun ini tidak kalah
oleh Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Empat orang itu lalu roboh dan tewas seketika,
dan peristiwa pembunuhan ini tidak nampak oleh orang lain karena suasana sedang
kacau dan bising.
Tentu saja
para tamu yang melayat di rumah keluarga Siangkoan itu menjadi geger ketika
memperoleh kenyataan bahwa mayat-mayat yang berada di dalam dua buah peti mati
itu bukanlah Siangkoan Leng dan isterinya dan betapa empat orang pelayan itu
tiba-tiba saja mati seperti tanpa sebab. Bahkan ada yang bisik-bisik dengan
muka pucat bahwa semua ini tentulah perbuatan setan.
Siangkoan
Leng dan Ma Kim Li tidak mau peduli lagi akan keributan yang terjadi di rumah
mereka. Mereka sudah cepat membayangi dua orang musuh mereka yang kini membawa
pergi Hay Hay dengan melakukan perjalanan cepat sekali keluar dari kota
Nan-king.
Akan tetapi
suami isteri iblis ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa jauh di belakang
mereka ada sepasang suami isteri yang tidak kalah kejamnya melakukan pengejaran
dan selalu membayangi mereka sejak mereka melarikan diri dari Nan-king sambil
membawa anak laki-laki itu. Mereka ini adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.
Sesudah tiba
di atas bukit kecil itu, Kwee Siong dan Tong Ci Ki menghentikan lari mereka dan
membawa Hay Hay menuju ke bawah sebatang pohon besar yang berada di puncak
bukit. Di bawah pohon itu nampak bersih dan agaknya mereka sudah pernah ke
tempat itu, dan tempat itu memang menjadi tempat mengaso bagi mereka yang
berani melewati daerah rawan ini. Tempat itu yang paling tinggi, bersih
terlindung oleh pohon besar, dan rumput yang tebal itu masih bertilamkan daun-daun
kering yang lunak, enak untuk duduk mau pun untuk tidur.
Kwee Siong
menurunkan tubuh Hay Hay yang semenjak tadi dipondongnya, dan cara dia
menurunkan tubuh itu, dengan hati-hati dan lembut sekali, menunjukkan bahwa dia
tidak bersikap keras terhadap anak itu. Hal ini pun dirasakan oleh Hay Hay, apa
lagi ketika pria jangkung kurus itu tiba-tiba saja mengusap tengkuknya sehingga
seketika dia pun dapat bergerak mau pun mengeluarkan suara kembali, maka Hay
Hay menjadi berani dan dia pun segera bangkit berdiri dari keadaan rebah
miring.....
No comments:
Post a Comment