Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 02
SEMENJAK dia
diculik dari dekat peti-peti jenazah itu, dia merasa terkejut dan juga secara
diam-diam marah sekali. Apa lagi ketika dia melihat betapa dua buah peti mati
itu setelah diraba oleh Si Jangkung lantas mengeluarkan darah. Dia merasa ngeri
dan tak mengerti. Jika ayah ibunya memang sudah mati, kenapa dari kedua petinya
keluar darah menetes-netes?
Ketika dia
dilarikan dalam keadaan tidak mampu bergerak mau pun bersuara. Hay Hay
membayangkan semua peristiwa yang dialaminya, sejak malam yang sangat
mengerikan itu. Ketika ayah ibunya menjenguknya malam-malam itu, dia merasa
curiga dan menduga bahwa melihat wajah ayah bundanya yang tegang, tentu sudah
terjadi sesuatu yang luar biasa.
Dia seorang
anak pemberani. Maka, sesudah ayah ibunya keluar lagi, diam-diam dia pun lalu
cepat meninggalkan kamarnya dan berindap-indap menuju ke belakang rumah. Dan
dia pun melihat apa yang sudah ditemukan ayah ibunya, bangkai-bangkai binatang
serta mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah keluarganya!
Dia lalu
berlari pula mencari-cari sehingga akhirnya dia melihat ayah ibunya berhadapan
dengan laki-laki dan perempuan yang keadaannya mengerikan, laksana dua sosok
mayat hidup. Akan tetapi yang sangat menarik perhatiannya adalah percakapan
yang terjadi di antara ayah ibunya dan dua orang aneh itu. Dua orang itu
agaknya memperebutkan dia!
Walau pun
dia tidak dapat mengerti sepenuhnya akan maksud perbantahan empat orang itu,
akan tetapi dia mendengar betapa laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam
itu mengaku dia sebagai anak mereka! Seminggu lagi mereka akan datang untuk
mengambil dirinya dan sebulan kemudian akan membunuh ayah ibunya!
Melihat
bangkai-bangkai dan mayat-mayat tadi sudah mengguncang perasaan Hay Hay, kini
mendengar perbantahan itu, dia menjadi semakin bingung. Benarkah dia bukan anak
kandung ayah ibunya, melainkan anak kandung sepasang manusia seperti mayat
hidup ini? Dia merasa semakin ngeri dan bingung. Mereka datang untuk
mengambilnya! Ingatan ini saja yang mengejarnya dan anak ini pun lari
meninggalkan rumahnya.
Sebagai
seorang anak laki-laki yang lincah dan senang berkeliaran. Hay Hay mengenal
tempat-tempat yang sangat tersembunyi dan ketika ayah ibunya mencari-carinya,
dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil.
Dia sering
kali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat
tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, maka orang
takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena
tertutup dengan semak-semak.
Maka tidak
mengherankan apa bila orang-orang lihai seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li
tidak berhasil menemukan putera mereka itu. Siapa yang menyangka bahwa anak itu
akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati oleh
katak dan belut-belut? Lagi pula Siangkoan Leng dan isterinya menduga bahwa
anak mereka diculik orang, bukan melarikan diri.
Hay Hay
tinggal di bawah jembatan sampai tiga hari. Hanya kalau perutnya merasa amat
lapar saja dia keluar pada waktu malam gelap lantas mendatangi kawan-kawannya
untuk meminta makanan. Dan teman-teman itu pun, seperti biasanya anak-anak
kecil yang suka akan petualangan, merahasiakan tempat sembunyinya dan setia
kawan padanya.
Pada hari ke
empat, pada saat dia masih tidur nyenyak, salah seorang kawannya datang
menjenguknya dan mengguncang-guncang tubuhnya, membangunkannya dengan berita,
bahwa ayah ibunya sudah meninggal dunia dan kini telah dilayat orang! Mendengar
berita hebat itu, Hay Hay lupa akan segala kengerian dan dia pun berlari pulang.
Dapat
dibayangkan betapa sedih dan bingungnya ketika dia melihat dua buah peti mati
di ruangan depan. Apa lagi ketika ada seorang tetangga yang mengenalnya ketika
dia baru memasuki pekarangan. Tetangga itu segera merangkulnya dan mengeluh.
"Kasihan
kau, Hay Hay. Masih begini kecil ditinggal mati ayah ibu secara
mendadak..."
Hay Hay
tidak ragu-ragu lagi. Ayah ibunya telah mati dan telah dimasukkan peti mati!
Dia lantas menghampiri, berlutut di depan kedua peti dan menangislah dia dengan
hati sedih dan bingung. Diam-diam dia merasa menyesal bukan main kenapa dia
telah melarikan diri sehingga dia tidak tahu mengapa ayah ibunya mati dan apa
yang menyebabkan kematian mereka.
Kemudian
muncul dua orang yang membuatnya merasa seram itu dan dia pun dibuat tak dapat
bergerak mau pun bersuara sehingga ketika dia dipondong dan dibawa pergi, dia
tidak mampu melawan sama sekali. Sehari semalam dia dibawa pergi dan mereka
hanya berhenti untuk makan minum. Akan tetapi Hay Hay tidak pernah mau makan
dan minum.
Tiap kali
dibebaskan dari totokan, dia segera bertanya apa yang telah terjadi dengan ayah
ibunya kepada orang-orang itu. Akan tetapi mereka tak pernah mau bicara dan
memaksa kalau dia tidak mau makan. Dia hanya ditotok lagi dan dibawa pergi
lagi.
Betapa pun
juga, suami isteri yang seperti mayat hidup atau iblis itu tak pernah bertindak
kasar terhadap dirinya. Sebaliknya malah, mereka selalu mencoba membujuknya
dengan kata-kata manis agar dia mau makan atau minum. Namun selalu ditolaknya.
Ketika pagi
hari itu mereka berhenti di puncak bukit dan dia diturunkan lantas dibebaskan
dari totokan, Hay Hay langsung bangkit berdiri kemudian memandang kepada suami
isteri itu dengan mata terbelalak penuh penasaran, kemarahan dan keberanian.
"Sebetulnya,
apakah yang telah kalian lakukan? Di mana ayah ibuku, dan apa yang telah
terjadi dengan mereka?"
Dua orang
itu saling memandang dan agaknya dalam bertukar pandang itu mereka juga
bertukar pikiran karena Kwee Siong segera mengangguk dan membiarkan isterinya
yang bicara dengan anak itu.
"Sin-tong..."
"Namaku
bukan Sin-tong, namaku Siangkoan Hay dan biasa disebut Hay Hay!" kata Hay
Hay dengan sikap angkuh karena hatinya penuh kemengkalan terhadap mereka.
Wanita itu
tersenyum. Memang wajahnya manis sekali bila sedang tersenyum walau pun usianya
telah mendekati setengah abad. Akan tetapi karena muka itu pucat seperti mayat
dan hanya kedua matanya saja yang nampak hidup dan indah, maka kemanisan wajah
itu mengandung keseraman.
"Anak
baik, namamu sekarang ini adalah palsu. Engkau disebut Sin-tong (Anak Ajaib)
dan belum diberi nama, sebab itu kusebut Sin-tong padamu. Ketahuilah bahwa yang
bernama Siangkoan Leng itu bukan ayahmu, dan Ma Kim Li itu bukan ibumu!"
Hal ini
sudah didengarnya malam itu, pada waktu dua orang ini berbantahan dengan ayah
ibunya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu mudah. Dia adalah seorang anak
cerdik yang biasanya berwatak lincah jenaka, dan walau pun ketika itu dia
merasa berduka dan bingung, akan tetapi dia tak kehilangan kecerdikan dan
keberaniannya yang memang luar biasa.
"Bukan
anak kandung mereka akan tetapi anak kalian, begitukah? Hemmm, jangan harap aku
dapat mempercayai keterangan itu. Kalau aku bukan anak mereka, bagaimana sejak
bayi aku berada bersama mereka?"
"Karena
pada saat engkau berusia dua bulan engkau sudah diculik oleh mereka, mereka
datang membawa bayi mereka yang berpenyakitan, lalu menukarkan bayi mereka
dengan engkau, membunuh dua orang, tiga dengan bayi mereka sendiri dan melarikan
engkau ke utara, ke kota Nan-king."
Hay Hay
mengerutkan alisnya. "Membunuh bayi mereka sendiri kemudian menukar bayi
itu dengan aku? Tidak mungkin Ayah dan Ibu melakukan perbuatan seperti
itu!"
"Anak
baik, tentu engkau belum mengenal benar siapa adanya orang-orang yang selama
ini kau anggap sebagai ayah dan ibu kandungmu itu."
"Tentu
saja aku mengenal mereka! Ayahku bernama Siangkoan Leng dan ibuku bernama Ma
Kim Li. Mereka adalah ahli-ahli pengobatan dan berdagang obat-obatan, dan
mereka adalah orang-orang baik yang suka menolong orang, mengobati banyak
orang, bila perlu mengobati orang-orang miskin tanpa bayar."
"Ha-ha-ha-ha!"
Si Tangan Maut Kwee Siong tertawa.
Hay Hay
memandang pada wajah orang itu dengan dua mata terbelalak dan hati merasa
ngeri. Orang itu benar-benar memiliki muka seperti kedok. Ketika tertawa hanya
mulutnya saja ternganga dan mengeluarkan suara bergelak itu, akan tetapi bagian
lain dari muka itu sama sekali tidak ikut tertawa.
"Sin-tong,
ketahuilah bahwa ayah dan ibumu itu bukanlah orang tua kandungmu. Mereka adalah
tokoh-tokoh yang terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut
Selatan)! Pada tujuh tahun yang lampau mereka menukarkan anak kandung mereka
yang berpenyakitan denganmu, membunuh dua orang yang mengasuhmu dan juga
membunuh anak mereka sendiri untuk menghilangkan jejak. Mereka lantas membawamu
lari ke kota Nan-king dan mereka pura-pura berdagang obat untuk menyembunyikan
diri. Akan tetapi akhirnya kami bisa menemukan mereka dan telah menghukum
mereka. Sekarang mereka telah tewas, ha-ha-ha...!"
Diam-diam
anak itu sangat terkejut dan masih ragu-ragu, sukar untuk dapat mempercayai
keterangan dua orang yang nampak seperti mayat hidup itu, tetapi juga mulai
meragukan keaslian ayah bundanya. "Kalau benar aku ini anak kalian, kenapa
kalian membiarkan aku diculik orang?"
"Ketika
mereka datang lalu membawamu, kami sedang pergi dan engkau hanya bersama dengan
seorang pengasuh yang ditemani seorang nikouw dan..."
Tiba-tiba
saja Kwee Siong berhenti bicara dan telah meloncat berdiri diikuti isterinya.
Juga Hay Hay kaget bukan main ketika secara tiba-tiba saja datang angin besar
yang membuat daun-daun kering yang berserakan di bawah pohon itu beterbangan!
Dan
tiba-tiba saja, ketika daun-daun yang tadinya beterbangan dan menutupi
pandangan mata itu turun kembali ke atas tanah bersama debu yang tadi mengepul
tinggi, terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ, hanya beberapa meter saja
dari mereka, telah berdiri seorang kakek berkepala botak!
Kakek itu
tubuhnya bundar seperti bola karet, kepalanya bundar, perutnya bundar bahkan
kaki dan tangannya itu pun seperti bundar-bundar saking gemuknya. Matanya,
hidungnya, mulutnya, telinganya, semuanya berbentuk bundar. Karena gemuk dan
berkulit kuning, dia nampak seperti seekor babi raksasa yang sedang berdiri di
atas kedua kaki belakangnya dan memakai pakaian!
Pakaiannya
kedodoran, celananya lebar dengan jubah yang terbuka di bagian depannya hingga
nampak dada dan perut yang penuh daging, kulit yang kuning mulus tanpa rambut
seperti tubuh seorang bayi. Sukar menaksir berapa usia kakek ini, dan melihat
mukanya yang selalu menyeringai serta matanya yang lebar itu selalu bercahaya,
mukanya selalu berseri, orang akan menduga bahwa kakek ini seorang yang peramah
dan baik hati.
"Heh-heh-heh-heh,
ada orang-orang yang tidak tahu diri, berani sekali mengotori tempat ini."
Kakek itu memandang kepada Kwee Siong, Tong Ci Ki dan Hay Hay bergantian, lalu
melanjutkan. "Hayo kalian bersihkan tempat ini, sapu bersih daun-daun ini
dan setelah itu cepat pergi tinggalkan tempat ini!"
Semua ini
diucapkan dengan wajah masih berseri dan ramah sehingga amat berlawanan.
Wajahnya saja kelihatan tersenyum menyeringai dan ramah, akan tetapi isi
kata-katanya memerintah dan bahkan mengandung nada mengancam.
Pasangan
suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan ini adalah dua orang tokoh hitam
yang amat terkenal di daerah pantai laut selatan. Mereka adalah orang-orang
yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan sudah biasa pula dihormati dan
ditakuti orang. Hal ini mendatangkan suatu watak sombong dan memandang rendah
orang lain.
Oleh karena
itu, biar pun kemunculan kakek bulat tadi sempat mengejutkan hati mereka,
sesudah melihat bahwa kakek itu nampaknya tidak mengesankan dan tidak
menakutkan, apa lagi mendengar ucapannya yang mereka anggap sebagai penghinaan,
suami isteri itu menjadi marah sekali.
"Tua
bangka bermulut tancang! Engkau telah bosan hidup rupanya!" Si Jarum Sakti
Tong Ci Ki membentak marah lantas sekali tangan kirinya bergerak, sinar hitam
menyambar ke arah dada dan perut yang tidak terlindung itu.
Kakek gendut
itu agaknya tidak tahu akan serangan itu, atau memang tidak sempat untuk
mengelak atau menangkis. Selain sambitan jarum itu amat cepat dan jarak mereka
tidak terlampau jauh, juga kakek gendut itu tentu saja sangat lamban
gerakannya, mengingat tubuhnya yang amat gendut itu.
Jelas nampak
betapa belasan batang jarum halus berwarna hitam itu menyambar deras lantas
mengenai leher, dada dan perut yang tak terlindung baju itu. Nampak jelas
betapa jarum-jarum hitam itu menancap pada kulit leher, dada dan perut, akan
tetapi kakek botak gendut yang sedang tersenyum itu seperti tidak pernah
merasakan dan senyumnya tidak pernah putus, bahkan berkedip pun tidak!
Tentu saja
Tong Ci Ki terbelalak dan mulutnya ternganga, tidak percaya akan penglihatan
matanya sendiri. Jarum-jarum hitam itu adalah senjata rahasia yang ampuh,
mengandung racun yang seketika dapat mencabut nyawa lawan yang terkena jarum
itu. Akan tetapi, kini jarum-jarumnya menancap di tubuh itu seperti menancap
batang pohon saja!
Kwee Siong
yang juga sangat marah, menyusul serangan isterinya itu dengan terjangan
dahsyat. Dia tadi juga terkejut melihat betapa jarum-jarum yang dilepas
isterinya itu tepat mengenai tubuh lawan akan tetapi kakek gendut itu tidak
roboh, maka dia pun langsung mempercepat serangannya dan tangannya yang kanan
menyambar ke arah kepala kakek botak itu.
Kembali
kakek itu tidak mengelak atau pun menangkis, hanya memandang dengan mulut
tersenyum menyeringai saja, bahkan matanya berkedip-kedip lucu. Akan tetapi
pada saat tangan yang menampar itu, tangan yang mengandung tenaga sinkang amat
kuatnya telah menyambar dekat, tinggal beberapa senti lagi dari kepala botak
itu, tiba-tiba saja tangan itu menyeleweng bagai terpeleset oleh sesuatu yang
amat licin sehingga sama sekali tak mengenai kepala itu, hanya menyerong ke
samping lantas lewat beberapa senti jauhnya dari kepala itu.
Selain
terkejut dan heran, suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan itu juga
merasa penasaran dan marah sekali. Orang-orang seperti mereka selalu memandang
diri sendiri terlalu tinggi dan tidak menghargai orang lain, maka setiap kali
mereka gagal, tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa
penasaran dan kemarahan.
Tiba-tiba
saja mereka cepat menjatuhkan diri bertiarap di atas tanah, lalu bergulingan
dari dua jurusan menuju ke arah kakek gendut dan sesudah dekat, keduanya
menggerakkan tubuh, serentak menyerang dari bawah dengan pukulan yang dahsyat
luar biasa. Pukulan mereka itu datang dari kanan kiri dan menghantam ke arah
tubuh gendut kakek itu yang masih saja tersenyum-senyum seperti seorang dewasa
menghadapi kenakalan dua orang anak kecil.
Suami isteri
yang tadinya bergulingan dan bertiarap itu, pada saat memukul tubuh kakek itu,
mereka tiba-tiba meloncat ke atas sehingga tenaga pukulan yang bertolak dari
tanah itu amatlah kuatnya.
"Desss...!
Desss...!"
Dua pukulan
itu laksana berlomba mengenai tubuh kakek gendut dari kanan kiri. Seperti juga
tadi, kakek itu sama sekali tak mengelak, hanya berdiri tegak dengan kedua
kakinya terpentang lebar dan agaknya membiarkan saja dua pukulan dari kanan
kiri itu mengenai tubuhnya. Hanya ketika pukulan itu tiba, dia mengembangkan
dua lengannya, kemudian setelah pukulan mengenai tubuhnya, dia mengibaskan
kedua tangannya yang jari-jarinya juga bulat-bulat itu ke bawah, seperti orang
mengusir dua ekor lalat yang mengganggu saja layaknya.
Dan
akibatnya, tubuh yang menerima pukulan itu tidak bergoyang sedikit pun,
sebaliknya, dua tubuh yang sedang meloncat sambil memukul dari bawah tadi, kini
terpelanting lantas berguling-guling di atas tanah. Suami isteri itu merasa
tubuh mereka amat panas seperti baru saja disambar petir.
Ketika
mereka mampu menguasai tubuh dan hendak meloncat bangun, kakek gendut itu
menggerakkan tangannya lantas angin yang kuat menyambar, membuat dua orang
suami isteri itu roboh kembali setiap kali mereka mau bangkit! Tentu saja dua
orang itu terkejut setengah mati.
Setelah
mengerahkan seluruh tenaga dan mencoba untuk bangkit dengan segala cara dan
akal namun selalu dirobohkan kembali oleh pukulan jarak jauh dari kakek itu,
akhirnya keduanya baru yakin benar bahwa sesungguhnya mereka berdua itu
berhadapan dengan seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa, yang tingkat
kepandaiannya beberapa kali lebih tinggi dari pada tingkat mereka.
Maklumlah
mereka bahwa bagaimana pun juga, mereka tidak akan sanggup menandingi kakek itu
dan jika kakek itu menghendaki, agaknya dengan mudah kakek itu akan dapat
membunuh mereka. Oleh karena ini, Si Tangan Maut Kwee Siong langsung berlutut
dan memberi hormat kepada kakek itu, diturut oleh isterinya walau pun dengan hati
segan.
"Kami
berdua seperti buta, tidak mengenal Locianpwe yang sangat sakti sehingga
berbuat kurang ajar, harap Locianpwe sudi memaafkan kami," kata Kwee Siong
tanpa malu-malu lagi karena selain di situ tak ada orang yang menyaksikan
kekalahan mereka kecuali Hay Hay yang hanya berdiri dan menonton dengan mata
terbelalak kagum, juga mereka harus mengubah sikap untuk mencari keselamatan
diri.
Kakek itu
hanya tertawa dan pada saat itu, kembali pasangan suami isteri dari Goa Iblis
Pantai Selatan itu terkejut karena tiba-tiba saja ada angin yang menyambar
kuat. Nampak bayangan orang berkelebat lalu bayangan itu membuat gerakan
berputar, lantas timbullah angin berpusing, angin puyuh yang menerbangkan
daun-daun pepohonan. Semakin lama angin itu berpusing, maka semakin cepat dan
makin banyak pula daun-daun beterbangan ikut dalam pusingan yang kuat itu.
Setelah
angin puyuh itu mereda dan daun-daun juga sudah turun kembali, di situ nampak
seorang kakek tinggi besar yang berkulit hitam. Kakek itu sukar ditaksir berapa
usianya, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, nampak makin kuat
karena kulit muka, leher dan tangannya yang hitam kasar.
Wajah kakek
hitam ini penuh dengan alis tebal, kumis dan jenggot lebat hitam dan muka itu
membayangkan kegalakan serta kekejaman yang amat keras. Pakaiannya sederhana
namun kuat dan ringkas, sepatunya dari kulit tebal dan di bagian bawahnya
berlapis besi. Sungguh keadaan kakek ini menjadi kebalikan dari keadaan kakek
gendut yang nampak halus dan ramah itu.
Tiba-tiba
kakek hitam itu melangkah lebar ke arah semak-semak belukar yang agak jauh dari
situ. Tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li suami isteri yang yang semenjak
tadi melakukan pengintaian sambil menanti kesempatan baik untuk merampas
kembali anak mereka, menjadi terkejut sekali ketika melihat kakek tinggi besar
itu melangkah lebar dan tahu-tahu berada di depan mereka yang sedang
bersembunyi.
Celaka,
pikir mereka. Sepasang suami isteri Goa Iblis itu saja tadi seperti anak-anak
kecil yang tidak berdaya terhadap kakek gendut, dan kini muncul lagi kakek
tinggi besar yang aneh ini. Agaknya, dengan adanya mereka, merampas kembali
anak mereka merupakan hal yang kecil sekali kemungkinannya. Paling perlu
menyelamatkan diri lebih dahulu, pikir mereka. Karena itu, tanpa banyak cakap
lagi Siangkoan Leng memegang tangan isterinya untuk diajak meloncat pergi dari
tempat berbahaya itu.
Akan tetapi,
begitu mereka meloncat, keduanya segera terpelanting dan roboh terbanting,
seolah-olah ada tenaga tidak nampak yang menarik mereka dari samping. Padahal,
ketika terjatuh Siangkoan Leng masih dapat melihat bahwa kakek tinggi besar itu
hanya sedikit menggerakkan tangan kirinya saja, dari mana tenaga yang membuat
mereka terpelanting tadi.
Karena
panik, Siangkoan Leng pun menjadi nekat. Dia membuat gerakan meloncat sambil
melengking, langsung diikuti oleh isterinya. Itulah ilmu yang mereka andalkan
dan karena mereka melakukan serangan berbareng, maka daya serang mereka berdua
menjadi hebat bukan main. Dari atas, kanan kiri, mereka menerkam ke arah kakek
hitam dengan kedua tangan terbuka dan membentuk cakar, dari mana keluar tenaga
yang amat kuat.
Kakek tinggi
besar hitam berdiri tegak tanpa mengeluarkan suara apa-apa, lantas tiba-tiba
dia menggerakkan kedua tangan menyambut. Dua tangan yang besar itu hanya
mengibas saja ke arah kedua orang lawannya dan tubuh dua orang suami isteri itu
pun terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah!
Sebelum
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sempat bergerak, tahu-tahu kakek tinggi besar itu
sudah tiba di dekat mereka. Dua tangan yang besar itu menyambar tengkuk,
kemudian bagaikan dua ekor kelinci saja, dua orang itu sudah diangkat oleh Si
Kakek Hitam yang melangkah lebar mendekati kakek gendut lalu melemparkan
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li ke atas tanah!
"Pak-kwi-ong,
engkau dimata-matai orang sampai tidak tahu. Sungguh ceroboh!" Si Tinggi
Besar muka hitam mengomel. Sejak tadi Kakek gendut yang disebut Pak-kwi-ong
(Raja Setan Utara) itu tersenyum menyeringai saja dan kini dia tertawa
bergelak.
"Ha-ha-ha-ha,
Setan Hitam, kedatanganmu pun aku sudah tahu sebelumnya, apa lagi dua ekor
tikus itu!"
Sementara
itu, Ma Kim Li yang merasa sudah terlanjur memasuki tempat berbahaya itu,
segera menghampiri Hay Hay dan berkata. "Hay Hay, Anakku...! Mari ikut
Ibu, Nak."
Akan tetapi,
Hay Hay yang sedang mengalami pukulan-pukulan batin dan kebingungan itu
mendadak saja merasa asing terhadap ibunya sendiri dan ketika ibunya
memanggilnya, dia malah melangkah mundur sambil memandang dengan wajah agak
pucat. Melihat ini, Ma Kim Li lalu menghampirinya.
Akan tetapi
Tong Ci Ki yang tadinya berlutut di depan kakek gendut, tiba-tiba saja bangkit
berdiri dan menerjang ke arah Ma Kim Li sambil membentak, "Jangan ambil
lagi anak itu!"
Ma Kim Li
marah dan menyambut dengan serangan. Pukulannya meluncur ke arah dada Tong Ci
Ki. Wanita baju hitam ini mengelak lantas membalas dengan tendangan kakinya
yang berhasil dielakkan pula oleh lawan. Melihat isteri mereka berkelahi,
Siangkoan Leng dan Kwee Siong tidak tinggal diam. Mereka segera menyerbu dan
keduanya juga sudah berkelahi dengan sengit.
Melihat
empat orang itu berkelahi, dua orang kakek itu saling pandang. Si Kakek Hitam
hanya mengerutkan alisnya, akan tetapi Si Kakek Gendut tertawa-tawa.
"Wah,
bocah-bocah kurang ajar ini memang terlalu sekali! Di hadapan kakek-kakek buyut
mereka masih berani berkelahi tanpa minta ijin lebih dulu." Dia mengomel,
kemudian dia mengeluarkan suara memerintah, "Hayo kalian berempat berlutut
semua!"
Kemudian dua
tangannya bergerak-gerak seperti orang menggapai namun akibatnya luar biasa.
Empat orang yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja roboh terguling.
Mereka
terkejut bukan kepalang. Mereka itu, baik suami isteri penghuni Goa Iblis
Pantai Selatan, mau pun Lam-hai Siang-mo, keempatnya sudah memperoleh julukan
'iblis' yang menunjukkan bahwa mereka sudah berada pada tingkat puncak dari
dunia hitam, menjadi datuk-datuk golongan sesat yang mempunyai ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi kenapa sekarang mereka seperti anak-anak kecil yang tidak
bisa apa-apa dan amat lemah saja? Dan yang lebih mengejutkan lagi, kakek gendut
itu tak pernah menyentuh mereka, hanya dengan hawa pukulan saja mampu
merobohkan mereka!
Karena
maklum bahwa mereka semua sama sekali tidak akan mampu menandingi kedua orang
kakek itu, maka mereka segera menjatuhkan dirinya berlutut. Mereka memiliki
jalan pikiran yang sama. Kini mereka berhadapan dengan dua orang yang
tingkatnya jauh lebih tinggi, maka sebaiknya tidak melawan dan bahkan minta
pertimbangan mereka!
"Harap
Locianpwe maafkan kami..." Demikian terdengar suara lirih dari mulut
mereka.
Melihat
betapa dua orang yang tadinya dianggap ayah bundanya, juga musuh mereka, yaitu
suami isteri yang menculiknya, sekarang nampak tak berdaya sama sekali, seperti
orang-orang yang lemah saja, kehilangan kegalakan mereka terhadap dua orang
kakek aneh ini, tiba-tiba saja Hay Hay mendapat pikiran untuk mengorek rahasia
tentang dirinya dari mereka berempat. Kalau saja dua orang kakek itu mau
membantunya!
Maka dia pun
cepat berlari menghampiri dua orang kakek itu yang sekarang sudah duduk
berdampingan sambil bersila di atas batu-batu di puncak itu, lantas dia berkata
dengan suara lantang.
"Ji-wi
Locianpwe yang baik. Karena aku masih kecil dan tidak mampu bertindak sendiri,
maka aku mengharap Ji-wi suka membantuku untuk mencari rahasia tentang diriku.
Akan tetapi kalau Ji-wi menolak, berarti aku salah menilai orang."
Kedua orang
kakek itu kembali saling pandang dan kakek hitam memancarkan sinar mata berkilat
tanda marah kepada anak kecil itu, ada pun kakek gendut masih tersenyum lebar,
akan tetapi alisnya berkerut juga ketika dia mendengar ucapan anak itu.
"Salah
menilai bagaimana ?" tanya kakek gendut.
"Aku
menilai bahwa Ji-wi tentu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah mempunyai
kedudukan tinggi sekali, penuh wibawa dan adil, maka tentu Ji-wi akan mau
membantuku. Jika tidak berarti penilaianku salah dan ternyata Ji-wi juga hanya
dua orang kakek usil dan suka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa itu
untuk mengganggu orang yang lebih lemah saja."
Hay Hay
memang pandai bicara, lincah dan cerdik. Akan tetapi sikap serta ucapannya
sekarang ini malah membuat suami isteri yang selama ini mengaku orang tuanya
menjadi khawatir bukan main.
"Kepandaian
yang tidak seberapa katamu?!" bentak kakek hitam tinggi besar.
Selama
hidupnya belum pernah ada orang yang berani memandang rendah kepadanya, tetapi
kini seorang anak kecil berusia tujuh tahun berani mengatakan dia dan
Pak-kwi-ong sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa.
"Ya,
tidak seberapa. Coba Ji-wi lihat. Sebatang pohon yang tidak mampu bergerak
dapat menghasilkan daun hijau, bunga indah dan buah. Apakah Ji-wi mampu membuat
semua itu? Kalau tidak dapat berarti Ji-wi kalah oleh sebatang pohon saja. Dan
lihat kupu-kupu itu. Apa Ji-wi dapat terbang seperti mereka? Berarti Ji-wi
kalah oleh kupu-kupu kecil saja. Apakah semua ini bukan membuktikan bahwa
kepandaian Ji-wi tidak seberapa? Apabila dipakai menolongku masih ada gunanya,
tapi sebaliknya jika hanya untuk main sombong-sombongan, apa gunanya?"
Dua orang
kakek itu bangkit berdiri dan memandang kepada anak kecil itu dengan mata
terbelalak. Mereka seolah-olah mendengar suara seorang yang lebih tinggi
kedudukannya dan kepandaiannya dari pada mereka!
"Kau
siapa?!" bentak kakek hitam.
Hay Hay
menggeleng kepalanya. "Aku sendiri pun amat bingung, Locianpwe. Menurut
dua orang yang memeliharaku semenjak kecil ini, yang mengaku sebagai ayah
ibuku, namaku adalah Siangkoan Hay, anak mereka. Tapi menurut mereka berdua
itu, yang menculikku, katanya aku bukan anak mereka dan namaku itu palsu, bahwa
aku adalah Sin-tong..."
"Sin-tong...?
Ha-ha, sungguh menarik!" Kakek gendut terkekeh dan memandang dengan penuh
perhatian kepada Hay Hay.
Akan tetapi
kakek hitam yang berjuluk Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur) itu tidak banyak
bicara lagi. Dengan matanya yang mencorong aneh itu, tiba-tiba dia memandang
suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan.
"Coba
ceritakan tentang anak ini. Kalau membohong tebusannya nyawa kalian!"
Biar pun
merasa terhina dan rendah sekali diperlakukan seperti itu, namun suami isteri
ini mengenal orang yang jauh melebihi mereka, maka sikap yang menghina itu pun
mereka telan saja. Bahkan mereka mengharapkan untuk mendapat bantuan dan
dukungan kakek sakti itu untuk dapat mempertahankan Hay Hay yang sudah mereka
rampas dari tangan Siangkoan Leng dan isterinya.
"Heh-heh,
kalian juga harus menceritakan yang sebenarnya tentang anak ini!" kata
pula Pak-kwi-ong kepada Lam-hai Siang-mo.
"Anak
itu memang anak tunggal kami, Locianpwe, dan namanya Siangkoan Hay...,"
kata Siangkoan Leng.
"Bohong!
Dia berbohong, Locianpwe!" bantah Kwee Siong.
"Kalian
tidak perlu cekcok, kau ceritakan lebih dahulu yang sebenarnya." kini
kakek hitam Tung-hek-kwi berkata kereng. "Yang lain diam saja!"
Si Tangan
Maut Kwee Siong lalu bercerita dan merasa dirinya remeh sekali terhadap dua
orang kakek sakti itu. "Tujuh tahun yang lalu, suami isteri pendekar Pek
melarikan diri dari Tibet ketika isteri pendekar itu mengandung tua. Mereka
terpaksa melarikan diri karena di antara para pimpinan Lama ada ramalan yang
menyatakan bahwa anak yang dikandung itu adalah calon Dalai Lama, calon seorang
suci, maka setelah terlahir tentu akan diambil dan dibawa ke dalam kuil untuk
dididik..."
"Nanti
dulu!" bentak Tung-hek-kwi. "Kau maksudkan pendekar Pek yang mana?
Apakah pendiri dari Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di barat?"
"Kalau
tidak keliru, muridnya atau puteranya, Locianpwe. Tapi mungkin puteranya karena
dia terkenal dengan nama marga Pek."
Teruskan!"
"Berita
itu segera tersiar luas dan terkenallah bahwa ada Sin-tong yang akan terlahir.
Hal ini tentu saja amat menarik perhatian. Dan pada suatu malam, saat suami
isteri pendekar itu menyembunyikan diri dalam kuil setelah anak mereka
terlahir, baru berusia dua bulan, datanglah Lam-hai Siang-mo ini dan mereka pun
mempunyai seorang anak yang sebaya. Anak mereka itu berpenyakitan dan agaknya,
mendengar berita tentang Sin-tong, mereka lalu membunuh seorang nikouw dan
pengasuh anak itu, kemudian menculik Sin-tong dan meninggalkan anak mereka
sendiri sebagai gantinya setelah mereka membunuh anak itu dan merusak mukanya
supaya tidak dikenal orang dan disangka Sin-tong yang terbunuh. Kami tiba di
tempat kejadian itu dan setelah memeriksa luka dan jarum-jarum yang ada di
tubuh para korban, kami segera dapat menduga bahwa pembunuhnya tentulah Lam-hai
Siang-mo. Kami lantas melakukan pencarian dan setelah tujuh tahun, baru kami
berhasil menemukan mereka. Kami lalu merampas kembali Sin-tong dan kami bawa
lari sampai di sini dengan maksud untuk mengembalikannya kepada orang tuanya
yang sebenarnya..."
"Benarkah
cerita itu?!" bentak Tung-hek-kwi bengis kepada Lam-hai Siang-mo.
Suami isteri
ini tidak berani menyangkal lagi karena memang cerita itu benar. "Memang
benar, akan tetapi mereka itu berbohong jika mengatakan bahwa mereka akan
membawa Hay Hay kepada pendekar Pek. Mereka jelas berbohong! Yang benar, mereka
tentu akan membawa Hay Hay kepada para pendeta Lama untuk memperoleh
ganjaran!" Ma Kim Li berhenti sebentar kemudian memandang kepada Tong Ci
Ki dan suaminya penuh geram. "Mereka berdua adalah penghuni-penghuni Goa
Iblis Pantai Selatan, mana mungkin mau membantu pendekar Pek?"
Mendengar
percakapan mereka itu, sejak tadi Hay Hay memandang kepada orang tuanya dengan
mata terbelalak dan tanpa disadarinya lagi, kedua matanya itu basah. Akan
tetapi dia tak menangis. Tidak, dia malah mengepal kedua tinjunya dan menekan
perasaannya yang terguncang.
Ternyata
benar bahwa dia bukan anak Siangkoan Leng dan Ma Kim Li! Dia bukan she (nama
keturunan) Siangkoan, melainkan she Pek! Putera pendekar Pek! Dengan tabah dia
lalu melangkah maju menghadapi suami isteri yang tadinya dianggap ayah
bundanya. Mereka tidak pernah memperlihatkan sikap sayang mereka kepadanya,
akan tetapi harus diakuinya pula bahwa mereka pun tak pernah bersikap kasar.
Mereka itu menyayangnya dengan cara mereka sendiri!
"Benarkah
bahwa aku bukan anak kandung kalian dan bukan she Siangkoan, melainkan she
Pek?" Dia bertanya kepada suami isteri itu tanpa menyebut ayah atau ibu.
Ma Kim Li
mengangguk. "Benar, Hay Hay, akan tetapi kami menyayangimu seperti anak
kandung kami sendiri. Hal ini tentu kau tahu."
Hay Hay
adalah seorang anak yang selain cerdik, juga amat keras hati sehingga dia pun
bukan anak cengeng dan tidak mudah dikuasai perasaannya. Sekarang dia memandang
kepada wanita yang biasa dipanggil ibu itu dengan sinar mata dingin.
"Anak
kandung sendiri kalian bunuh dan mukanya dirusak untuk ditukarkan dengan aku,
anak orang lain. Apa sebabnya kalian sampai hati melakukan hal itu?"
Lam-hai
Siang-mo tidak menjawab.
"Apa
sebabnya?" Anak itu mendesak.
Kedua orang
itu tetap tidak mengeluarkan suara jawaban. Dengan tiga langkah lebar saja
Tung-hek-kwi sudah menghampiri mereka dan kedua tangannya menyambar. Suami
isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) itu
berusaha mengelak atau menangkis, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu mereka
kehilangan tenaga dan tengkuk mereka sudah dicengkeram, tubuh mereka diangkat
dan kakek tinggi besar hitam itu membanting.
"Bresss...!"
Tubuh suami isteri itu terbanting keras sampai mereka terguling-guling.
"Masih
juga tidak mau menjawab pertanyaan Sin-tong?!" bentak kakek itu.
Siangkoan
Leng dan isterinya terkejut sekali dan kesakitan, mereka mengangguk-angguk dan
cepat Ma Kim Li berkata kepada anak yang biasanya dianggap sebagai anak sendiri
yang disayangnya. "Anak kandung kami... berpenyakitan, jadi kami ingin
menukarkan dia dengan anak yang sehat, kami bunuh dua orang itu supaya tidak
membuka rahasia kami dan kami rusak muka anak kandung kami agar tidak dikenal
lagi."
"Bohong!"
Tiba-tiba terdengar Tong Ci Ki berseru "Apa bila hanya ingin memperoleh
anak sehat, kenapa yang dipilihnya justru Sin-tong, putera keluarga pendekar
Pek yang banyak dibicarakan orang itu? Mereka tentu mempunyai keinginan yang
sama dengan kami, yaitu ingin mendapatkan pahala dengan menyerahkan anak itu
kepada para pendeta Lama di Tibet."
Mendengar
kata-kata ini, Hay Hay kembali mendesak wanita yang pernah menjadi ibunya.
"Betulkah begitu?"
Sambil
melirik ke arah kakek tinggi besar yang galak dan sakti itu, Ma Kim Li
menjawab. "Benar, Hay Hay. Pada mulanya memang kami hendak menukarkan
engkau kepada para pimpinan pendeta Lama di Tibet yang mempunyai banyak
benda-benda indah yang tidak ternilai harganya, akan tetapi kami lalu merasa
suka kepadamu dan menganggap engkau sebagai anak kandung kami sendiri."
Sekarang Hay
Hay memandang kepada empat orang itu bergantian. Di dalam hatinya dia merasa
sangat heran dan juga ngeri membayangkan betapa empat orang ini merupakan
orang-orang yang jahat luar biasa. Tak disangkanya ada orang-orang demikian
jahatnya, terutama sekali dua orang di antara mereka adalah orang-orang yang
selama ini dianggap sebagai ayah ibunya! Diam-diam dia merasa lega dan
bersyukur bahwa dua orang yang demikian jahatnya itu bukan ayah dan ibu
kandungnya.
"Kalian
adalah orang-orang yang amat jahat!" Akhirnya dia berkata. "Kalian
yang menjadi penghuni Goa Iblis Pantai Selatan sudah membunuh semua binatang
peliharaan dan juga empat orang pelayan keluarga Siangkoan, kemudian kalian
membunuh pula dua orang di dalam peti mati yang menggantikan mereka ini!"
Berkata demikian, dia menuding ke arah Kwee Siong dan Tong Ci Ki penuh teguran.
Suami isteri
itu hanya menundukkan muka saja tidak berani menjawab, takut kalau harus
berurusan dengan kakek hitam tinggi besar atau kakek gendut yang luar biasa
lihainya itu. Kini Hay Hay memandang kepada suami isteri yang pernah menjadi
orang tuanya.
"Dan
kalian pun tak kalah jahatnya, pantas sekali berjuluk Lam-hai Siang-mo. Kalian
telah membunuh dua orang wanita yang tak berdosa, bahkan sudah membunuh anak
kandung sendiri! Betapa kejinya itu. Dan tentu kalian pula yang memasukkan
tubuh dua orang tidak berdosa ke dalam peti mati itu menggantikan tubuh kalian,
sehingga mereka yang tewas menggantikan kalian."
Semenjak
tadi Siangkoan Leng sudah kehilangan rasa sayangnya kepada Hay Hay yang
bersikap memusuhinya itu. Dia tersenyum sinis dan menjawab, "Memang benar,
bahkan kami juga membunuh empat orang murid kami yang bertugas menjaga peti.
Semuanya itu kami lakukan agar mereka tidak dapat membuka rahasia kami. Hay
Hay, itu bukan kejam atau jahat, melainkan cerdik sekali!"
"Kalian
berempat ini orang-orang jahat dan kalau sekiranya aku memiliki ilmu kepandaian
tinggi, tentu kalian sudah kubasmi habis!" kembali Hay Hay berkata dengan
nada suara gemas.
"Heh-heh-heh-heh,
Sin-tong. Apakah engkau ingin agar empat orang ini dibunuh? Dengan mudah saja
aku akan melakukannya untukmu! Memang empat ekor tikus ini sudah patut sekali
dibunuh!" kata kakek gendut yang berjuluk Pak-kwi-ong itu sambil
tertawa-tawa.
Empat orang
itu bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah datuk-datuk kaum sesat di daerah
pantai selatan. Mereka belum pernah berjumpa dengan orang-orang seperti dua
orang kakek ajaib itu, namun mereka sudah maklum akan kehebatan dua orang kakek
itu yang tidak akan dapat mereka tandingi. Akan tetapi dibunuh begitu saja?
Mereka tentu akan melawan sekuat tenaga dan akan melindungi nyawa sendiri
selama mereka masih hidup!
Dan agaknya
mereka berempat memang memiliki kecerdikan atau kelicikan yang sama, karena
kini begitu mereka mendengar ucapan kakek gendut, mereka lalu bangkit berdiri
dan seperti dikomando saja, empat orang itu langsung menyerbu ke arah Hay Hay
untuk menangkap anak itu!
Ditubruk
oleh empat orang yang sangat lihai itu dari semua jurusan, tentu saja Hay Hay
tidak mampu menghindarkan diri. Bahkan dua orang kakek sakti itu pun sama
sekali tidak menyangka bahwa empat orang itu akan melakukan hal itu, maka anak
itu sudah berhasil ditangkap oleh Kwee Siong dan Siangkoan Leng. Dan anehnya,
dalam sekejap mata saja, empat orang yang tadi yang bermusuhan karena
memperebutkan Hay Hay itu, kini dalam keadaan terancam oleh pihak yang lebih
kuat, mereka mendadak dapat bersatu!
"Heh-heh-heh,
tikus-tikus pecomberan! Berani kalian melakukan itu? Hayo cepat lepaskan atau
harus kuhancurkan dahulu kepala kalian yang tidak berharga itu?!" bentak
si gendut Pak-kwi-ong, masih sambil tersenyum namun sinar matanya mencorong
penuh ancaman maut.
"Ji-wi
Locianpwe, jangan bergerak! Sekali bergerak atau melakukan hal-hal yang membuat
kami curiga, maka lebih dahulu kami akan membunuh anak ini sebelum membela diri
dan melawan mati-matian sebelum kami semuanya mati!" bentak Siangkoan Leng
yang sudah menaruh telapak tangannya menempel di ubun-ubun kepala Hay Hay.
Hay Hay sama
sekali tidak merasa takut, hanya marah dan juga semakin heran melihat betapa
orang yang selama ini dianggap ayahnya itu kini mengancam hendak membunuh
dirinya! Timbul rasa penasaran di dalam hatinya dan dia pun berteriak, tidak
peduli bahwa dia telah dicengkeram dan diancam oleh empat orang lihai itu.
"Ji-wi
Locianpwe, jangan dengarkan gertak sambal mereka! Biar mereka membunuhku, aku
tidak takut. Akan tetapi Ji-wi hajarlah mereka sampai mereka itu lenyap dari
muka bumi. Mereka ini orang-orang jahat yang perlu dibasmi!"
Akan tetapi
dua orang kakek itu kini nampak ragu-ragu dan saling pandang. Tung-hek-kwi yang
memandang kakek gendut itu bertanya. "Kau... tidak turun tangan?"
Si Kakek
Gendut masih menyeringai, akan tetapi dia menggelengkan kepala. "Mana
bisa? Dia... dia itu Sin-tong, sayang kalau terbunuh." Lalu dia memandang
kepada empat orang yang masih siap siaga sambil mengancam Hay Hay itu.
"Ehh, sebenarnya apa kehendak kalian?"
"Kami
ingin pergi membawa anak ini. Sedikit saja Ji-wi membuat gerakan mencurigakan,
kami akan bunuh anak ini lebih dahulu." kata Kwee Siong dan mereka
berempat itu tanpa menanti jawaban sudah mulai menggiring dan menyeret Hay Hay
meninggalkan puncak bukit itu.
Dua orang
kakek itu, yang memiliki kesaktian jauh lebih tinggi dibandingkan empat orang
itu, hanya saling pandang tetapi tidak mampu berbuat sesuatu. Tentu saja dengan
sekali gerakan tangan mereka itu akan mampu membunuh empat orang itu, akan
tetapi mereka juga maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mencegah empat orang
itu lebih dahulu membunuh Hay Hay, dan karena inilah keduanya menjadi
ragu-ragu, bahkan tak berdaya melakukan sesuatu ketika empat orang itu hendak
meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi,
baru saja empat orang itu pergi beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar
suara melengking yang mengandung getaran amat kuat sehingga seolah-olah menusuk
telinga dan menggetarkan jantung.
Hay Hay yang
mula-mula roboh tidak sadarkan diri, sedangkan wajah empat orang yang
mengepungnya itu pun tiba-tiba menjadi pucat dan mereka berempat itu maklum
bahwa suara itu merupakan serangan melalui tenaga khikang yang amat dahsyat.
Mereka cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang mereka untuk melindungi diri
mereka.
Karena
adanya serangan tiba-tiba melalui suara itu, sejenak keempat orang ini lupa
akan pengamatan mereka terhadap Hay Hay. Dan pada beberapa detik itu, mendadak
nampak sesosok bayangan seperti seekor burung raksasa menyambar ke arah mereka.
Tadi keempat
orang itu hanya melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik Pak-kwi-ong dan
Tung-hek-kwi saja, dan mereka pun sedang mengalami kekagetan karena datangnya
serangan suara yang bukan datang dari dua orang kakek sakti itu. Oleh karena
itu, begitu ada bayangan yang seperti burung raksasa menyambar ke arah mereka
ini, empat orang itu terkejut bukan main.
Mereka
sedang melawan pengaruh suara melengking, namun kini disambar oleh burung
raksasa yang mendatangkan angin sambaran sangat dahsyat, Tentu saja mereka
terkejut bukan kepalang dan berusaha untuk membela diri. Akan tetapi sambaran
angin dari sayap 'burung raksasa' itu sedemikian kuatnya sehingga mereka itu
terdorong ke belakang dan pada saat itu pula makhluk itu telah menyambar turun
dan tahu-tahu tubuh Hay Hay telah dipondongnya dan dibawa melompat agak jauh
dari situ.
Ketika empat
orang yang hendak melarikan Hay Hay itu kini terbebas dari pengaruh suara
melengking yang tiba-tiba sudah terhenti dan mereka memandang, ternyata di sana
telah muncul dua orang aneh lainnya.
Salah
seorang di antara mereka ialah kakek berpakaian pengemis dengan baju
kembang-kembang dan bertambal-tambal akan tetapi bersih. Tubuhnya kurus dan
tingginya sedang saja, kakinya memakai sepatu butut, rambutnya kusut dan awut-awutan,
demikian pula kumis dan jenggotnya, akan tetapi sepasang matanya tajam bukan
main.
Di
punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak) yang berpinggang, dan di
tangannya tampak sebatang suling yang panjangnya ada tiga kaki, terbuat dari
kayu hitam. Kakek ini muncul seperti dari dalam bumi saja, dan begitu muncul
dia tersenyum menyeringai, dan wajahnya selalu berseri-seri gembira seperti
orang yang selalu merasa geli akan keadaan sekelilingnya.
Dan tidak
jauh dari sana, sudah muncul pula seorang kakek tinggi besar yang berkepala
gundul. Kakek inilah yang tadi disangka burung raksasa oleh Siangkoan Leng dan
Kwee Siong serta isteri mereka. Kakek yang memakai jubah seorang pendeta Lama,
jubahnya lebar berkotak-kotak merah dan kuning dan tadi saat kakek itu meloncat
seperti terbang, jubahnya ini berkembang seperti sepasang sayap.
Kakek
pendeta Lama ini berwajah alim. Alisnya tebal namun pandangan matanya lembut,
mukanya bulat dan sepasang telinganya amat panjang. Kini tangan kirinya
menggandeng tangan Hay Hay sedangkan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh,
mulutnya terus berkemak-kemik seperti orang membaca doa.
Tentu saja
Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki terkejut dan merasa gentar
bukan main. Baru saja mereka bertemu dengan dua orang kakek yang luar biasa
lihainya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dan sekarang muncul lagi dua
orang kakek yang juga mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi
dibandingkan tingkat kepandaian mereka sendiri.
Dengan suara
sulingnya kakek berpakaian pengemis itu telah membuat mereka kerepotan dan
mereka segera maklum betapa saktinya kakek yang dapat mengeluarkan suara yang
memiliki daya serang demikian kuatnya. Juga pendeta raksasa itu jelas mempunyai
ilmu kepandaian luar biasa, karena sekali gebrakan saja sudah dapat merampas
Hay Hay dari tangan mereka. Kini anak itu yang sudah terbebas pula dari
pengaruh suara suling, sudah berdiri digandeng kakek pendeta Lama itu,
memandang kagum kepada penolongnya.
Karena
maklum bahwa berdiam di tempat itu lebih lama merupakan bahaya besar bagi
mereka, sepasang suami isteri Goa Iblis dan sepasang suami isteri Laut Selatan
segera menggerakkan tubuh mereka berlompatan dan melarikan diri turun dari atas
puncak itu.
Empat orang
kakek aneh yang berkumpul di puncak bukit itu kini agaknya sudah tidak
mempedulikan lagi kepada mereka yang melarikan diri. Walau pun Siangkoan Leng
dan Kwee Siong beserta isteri mereka itu merupakan tokoh-tokoh besar di antara
kaum sesat, namun agaknya bagi empat kakek sakti itu mereka tidak lebih
hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tak ada artinya dan karena itu, begitu
mereka melarikan diri, mereka pun tidak mempedulikan sama sekali, bahkan telah
melupakan mereka karena mereka lebih tertarik akan pertemuan antara mereka
berempat itu.
Sungguh aneh
bukan main. Siangkoan Leng bersama isterinya dan Kwee Siong bersama isterinya,
empat orang yang tadinya saling bermusuhan itu, kini bersama-sama melarikan
diri turun dari bukit secepatnya bagaikan orang-orang yang dikejar setan saja.
Dan ketika mereka sudah berada jauh dari bukit itu, mereka berhenti di sebuah
hutan dan lenyaplah semua permusuhan yang tadinya berada di dalam batin mereka.
Agaknya
peristiwa di puncak bukit tadi, bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih
lihai, membuka mata mereka bahwa mereka itu sebenarnya bukan apa-apa. Apa lagi
karena Hay Hay yang menjadi perebutan di antara mereka itu kini terjatuh ke
tangan orang yang jauh lebih lihai, maka mereka kini agaknya telah melupakan semua
permusuhan di antara mereka!
"Bukan
main... sungguh gila mereka itu! Belum pernah aku bertemu dengan orang-orang
selihai mereka!" Kwee Siong berkata sambil mengusap keringat dari leher
dan mukanya, menggunakan sehelai sapu tangan hitam. Wajah isterinya yang
biasanya memang sudah amat pucat seperti mayat itu, kini nampak kehijauan.
"Tentu
mereka itu bukan manusia lagi...," kata pula isterinya yang masih merasa
tegang dan gentar.
Siangkoan
Leng menarik napas panjang. "Ahh, setelah bertemu dengan mereka, baru aku
tahu bahwa apa yang kita miliki ini tidak ada artinya sama sekali. Kita masih
harus belajar banyak! Dan kita saling gempur sendiri...hemm, betapa
bodohnya..."
"Engkau
benar, Siangkoan Leng. Sekarang tidak ada artinya lagi bagi kita apa bila
saling bermusuhan. Bahkan dengan bersatu pun kita masih tak mampu menandingi
mereka, apa lagi kalau kita saling bermusuhan sendiri. Lalu apa yang mampu kita
lakukan supaya bisa merampas kembali Sin-tong?"
Siangkoan
Leng menggerakkan kedua pundaknya. "Apa lagi yang bisa kita lakukan? Kita
tidak mengenal mereka, kecuali dua orang kakek pertama yang berjuluk
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Entah siapakah jembel tua yang amat lihai dengan
suara sulingnya itu. Dan aku pun tidak mengenal siapa adanya pendeta yang
merampas Hay Hay itu."
"Pendeta
itu terang seorang pendeta Lama dari Tibet. Entah dia mewakili para pimpinan
Dalai Lama atau tidak, kita tidak tahu. Dan pengemis Jembel itu... hemmm,
jangan-jangan dia itulah yang dikenal seperti tokoh dongeng dari Pulau
Hiu!" kata Kwee Siong.
"Apa?!
Majikan Pulau Hiu yang berjuluk Ciu-sian Sin-kai (Pengemis Sakti Dewa Arak)?
Benarkah tokoh dongeng itu masih hidup?" kata Ma Kim Li dengan mata
terbelalak.
"Wah,
jika benar dia, berarti tokoh-tokoh dongeng yang kabarnya mempunyai kepandaian
seperti dewa itu, kini bermunculan di dunia ramai!" kata Tong Ci Ki.
"Bukankah Pengemis Sakti itu termasuk kelompok tokoh yang dinamakan Pat
Sian (Delapan Dewa)?"
"Kabarnya
begitu." jawab suaminya. "Akan tetapi karena mereka disebut sebagai
tokoh dongeng karena tidak pernah keluar sejak puluhan tahun, tidak ada yang
memperhatikan lagi. Dan sekarang agaknya salah seorang di antara mereka muncul,
dan mungkin yang tiga orang itu pun termasuk kelompok Delapan Dewa. Kalau benar
demikian, benar-benar kita berempat ini mengalami kesialan luar biasa. Ahh,
semua gagal. Apa yang dapat kita lakukan sekarang?"
"Satu-satunya
jalan bagi kita agar bisa membalas semua penghinaan ini adalah mengadu domba di
antara mereka. Sebaiknya kita kabarkan kepada para pimpinan Dalai Lama di Tibet
tentang Hay Hay... maksudku Sin-tong. Mereka tentu tidak akan tinggal diam
kalau menemukan jejak Sin-tong. Juga kita kabarkan kepada keluarga pendekar
Pek. Mereka pun tentu tidak akan tinggal diam. Harus kita ketahui bahwa
keluarga Pek yang menjadi pendiri dan pimpinan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati
Putih) tak boleh dibuat main-main. Kita adu dombakan mereka." kata
Siangkoan Leng.
"Baik
sekali itu. Mari kita membagi-bagi tugas," kata Kwee Siong.
Dan mereka
pun segera berunding seperti empat orang sahabat baik. Sungguh lucu dan aneh
sekali. Baru beberapa waktu yang lalu, dengan segala senang hati mereka hendak
saling serang dan saling membunuh, dengan kebencian luar biasa. Akan tetapi
sekarang mereka berunding seperti empat orang sahabat baik.
Memang
demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing
hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan
bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang
dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam
pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang
menimbulkan permusuhan.
Dan
sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, maka orang akan
condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, berharap bantuan dari
orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang
lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi
pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu.
***************
Matahari
memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahayanya yang keemasan. Masih
jelas terlihat sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak
bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat
menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan aroma daun-daun
kering membusuk, mendatangkan bau yang khas. Suara desir angin pagi di antara
daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, akan
tetapi kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut
hangat dan ramah.
Di bawah
puncak nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur
malam tadi, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa
nampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dengan latar
belakang langit biru yang makin lama warnanya menjadi makin muda menuju keputihan.
Keindahan
terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya bisa dinikmati, hanya dapat dilihat
oleh batin yang tidak disibukkan atau dipenuhi kebisingan pikiran yang resah.
Di dalam batin yang terbebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati akan terbuka
sehingga dapat menampung cahaya cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun
pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang.
Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih sehingga dapat
menikmati keindahan yang nampak di mana pun juga!
Keindahan
nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga. Keindahan terletak pada
kewajaran, di mana hati tidak dicampuri oleh segala kecondongan dan seleranya.
Keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya,
yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau
burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu,
bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat.
Sayang
sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah
menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang
diciptakan oleh pikiran kita sendiri.
Sumber
keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta
kasih akan melihat keindahan, keindahan itu yang berada di mana pun juga.
Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah,
penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin semacam itu membuat mata,
telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan,
bahkan yang nampak hanya yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala
sesuatu akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini.
Tidak ada
cara-cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan
menciptakan ikatan-ikatan baru saja dan menjadi beban baru bagi batin. Akan
tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu
yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul
pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin.
Hal ini
mengurangi beban batin, walau pun tidak dapat dikatakan bahwa dengan demikian
batin ini telah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita
sebagai mana adanya, sebagai suatu kewajaran saja, tanpa keluhan, dengan penuh
perhatian dan penuh pengamatan, kemudian menghabiskannya pada waktu itu juga,
tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita?
Orang yang
berada di atas puncak bukit itu, andai kata dia sendirian dan tidak sedang
menghadapi persoalan, sedikit banyak tentu akan terbawa oleh suasana yang
hening dan penuh damai. Akan tetapi sayang, mereka yang kini berada di puncak
itu, tidak mampu menikmati segala keindahan itu karena mereka saling berhadapan,
bahkan dengan sinar mata saling menentang.
"He-he-heh-heh,
Tung-hek-kwi, apakah engkau yang mengundang jembel tua ini datang ke sini untuk
menjadi saksi, ataukah malah untuk membantumu?" terdengar Pak-kwi-ong
berkata dengan nada suara mengejek kepada Si Raksasa Hitam ketika Siangkoan Leng
dan isterinya, serta Kwee Siong dan isterinya, sudah melarikan diri
meninggalkan puncak bukit itu.
"Huh,
siapa mengundang jembel tua yang usilan ini? Aku tidak butuh bantuannya untuk
menandingimu, Pak-kwi-ong! Sebaliknya, engkau malah mengajak pendeta Lama
gundul ini ke sini untuk membantumu!" jawab Tung-hek-kwi.
"Siapa
sudi mengekor kepada seorang pendeta palsu?" Pak-kwi-ong mengejek.
"Ha-ha-ha-ha,
See-thian Lama, lihatlah dua orang ini. Ternyata mereka ini yang berjuluk
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Setan Empat Penjuru Dunia!
Dan memang mereka ini kurang ajar, berani mati, dan sombong seperti nama
mereka. Kiranya masih ada sisa mereka, tadinya kukira bahwa Empat Setan itu
sudah kembali ke neraka semua, ha-ha-ha!"
Pendeta Lama
yang tinggi besar itu, yang lebih tinggi besar dibandingkan Tung-hek-kwi,
menarik napas panjang dan jari-jari tangan kanannya memutar-mutar biji tasbeh,
ada pun tangan kiri mengelus kepala Hay Hay.
"Omitohud...!
Tak pernah pinceng mengira bahwa mereka ini masih ada, seperti juga tidak
pernah pinceng bermimpi akan bertemu denganmu di sini, Ciu-sian Sin-kai!"
Kini dua
orang datuk sesat itulah yang terkejut bukan main. Akan tetapi mereka itu sama
sekali tidak kelihatan kaget. biar pun jantung mereka mengalami guncangan.
Pak-kwi-ong malah terkekeh gembira.
"He-he-heh-heh!
Mimpikah aku?" Dia mencubit lengannya sendiri. "Hayaaa, bukan mimpi
akan tetapi bahkan lebih aneh dari pada mimpi! Tung-hek-kwi, kita berdua
berjanji akan mengadakan pertemuan di sini, dan siapa tahu di sini kita bertemu
dengan Sin-tong, dan juga bertemu dengan dua orang dari Delapan Dewa!
Heh-heh-heh, aku tidak tahu apakah ini merupakan suatu keberuntungan ataukah
kesialan."
"Omitohud...
semoga diberkahi seluruh umat di dunia ini!" See-thian Lama berkata dengan
kaget dan gembira. "Ji-wi tadi bicara tentang Sin-tong? Siancai... apakah
anak ini adalah Sin-tong, putera pendekar Pek?"
"Wah?
Sin-tong yang dahulu pernah diributkan dan pernah menggegerkan para Lama di
Tibet itu? Beberapa tahun yang lalu aku juga pernah mendengar tentang
itu!" kata pula Ciu-sian Sin-kai.
Pak-kwi-ong
terkekeh. "Begitulah menurut keterangan empat ekor tikus tadi. Akan tetapi
benar tidaknya, mana aku tahu? Kalian adalah dua di antara Delapan Dewa, dan
kabarnya menurut dongeng, para dewa itu tahu segala, kenapa tanya aku?"
Tentu saja
maksud kakek gendut ini bukan untuk berkelakar saja seperti memang sudah
menjadi wataknya yang suka berkelakar, akan tetapi juga untuk mengejek,
menunjukkan sikap tidak takut dan tidak tunduk biar pun dia pernah mendengar
bahwa ilmu kepandaian Delapan Dewa amatlah hebatnya.
"Omitohud,
tidak ada yang lebih tahu dari pada anak ini sendiri. Anak baik鈥?," katanya sambil mengelus kepala Hay Hay,
"benarkah engkau ini anak pendekar Pek yang pernah melarikan diri dari
Tibet ketika engkau masih dalam kandungan ibumu?"
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Baru saja dia terlepas dari tangan empat orang jahat yang
memperebutkannya, dan sekarang agaknya dia kembali jatuh ke tangan orang-orang
yang lebih sakti lagi, akan tetapi yang juga agaknya tertarik oleh keturunannya
dan kini hendak menyelidiki asal-usulnya. Hal ini membuatnya merasa sebal.
"Tak
tahulah, Lo-suhu. Aku ini entah anak pendekar Pek ataukah anak setan. Yang
jelas, aku mengenal namaku sebagai Hay Hay dan semenjak kecil aku ikut
Siangkoan Leng dan isterinya yang ternyata adalah Lam-hai Siang-mo. Menurut
keterangan empat orang yang memperebutkan diriku tadi, memang katanya aku ini
anak pendekar Pek, akan tetapi aku sendiri mana tahu?"
Kembali
pendeta Lama itu mengelus-elus kepala Hay Hay, dan sekarang Hay Hay tahu bahwa
kakek itu bukan mengelus sembarangan saja, melainkan meraba-raba kepalanya
seperti ingin mengukur atau melihat bentuk kepala itu.
"Pinceng
dapat menentukan apakah engkau memang Sin-tong atau bukan."
Tiba-tiba
saja Hay Hay merasa betapa seluruh pakaiannya terlepas dari tubuhnya. Dia tak
melihat bagaimana pendeta itu melakukannya, akan tetapi tiba-tiba saja, dengan
sangat cepat sehingga tidak ada waktu baginya untuk menolak atau menegur, semua
pakaiannya itu terlepas dari tubuhnya.
Kini dia
berdiri dengan tubuh telanjang bulat di tengah-tengah, ada pun empat orang
kakek itu berdiri di sekelilingnya. Mereka mengamati seluruh tubuhnya,
menaksir-naksir seperti empat orang pedagang sapi di pasar sedang menaksir
seekor sapi sebelum menentukan harganya.
"Omitohud,
pinceng tidak melihat tanda merah di punggungnya yang telah ditentukan oleh
ramalan di Tibet bahwa Sin-tong itu ada tanda merah pada bagian punggungnya.
Anak ini bukan Sin-tong!" Akhirnya See-thian Lama berkata.
Tiga orang
sakti itu mengangguk-angguk percaya. Nama See-thian Lama sebagai seorang di
antara Delapan Dewa tentu saja menjadi jaminan akan kebenaran keterangannya
itu.
"Biar
pun demikian, aku melihat bakat yang baik bersinar dari matanya! See-thian
Lama, berikan saja dia kepadaku untuk menjadi muridku. Sudah lama aku mencari
seorang anak yang cocok untuk kuberikan peninggalan semua ilmuku,
he-he-he!" kata Ciu-sian Sin-kai dengan girang.
"Omitohud,
penglihatanmu masih awas sekali, Sin-kai!" See-thian Lama memuji.
"Akan tetapi sebelum engkau melihatnya, sejak tadi pinceng telah
mengetahui bakat terpendam anak ini dari bentuk kepalanya sehingga sejak tadi
pinceng sudah mengambil keputusan bahwa apa bila anak ini bukan Sin-tong yang
harus diserahkan kepada para Dalai Lama, maka pinceng akan mengambilnya sebagai
murid pinceng."'
"Wah-wah-wah,
engkau telah menjadi pendeta harus mau mengalah kepadaku, See-thian Lama.
Apakah engkau tidak merasa kasihan kepadaku kalau aku membawa mati ilmuku tanpa
kusalurkan kepada murid yang berbakat?"
"Heiii,
nanti dulu!" Mendadak Tunghek-kwi membentak marah. "Kalian ini enak
saja bicara tentang anak itu seakan-akan kami tidak mempunyai hak. Sebelum
kalian datang, kami yang berhak atas diri anak ini dan bicara tentang murid,
kami juga belum punya murid dan merasa bahwa kami yang mempunyai hak pertama
untuk menjadi gurunya." Sebenarnya Tung-hek-kwi atau pun Pak-kwi-ong tidak
ingin mengambil murid Hay Hay, hanya karena merasa dikesampingkan, maka
Tung-hek-kwi menegur dan merasa penasaran.
"Benar!
Sejak dahulu kami sudah mendengar nama Delapan Dewa sebagai orang-orang yang
tinggi hati dan tidak memandang sebelah mata kepada golongan lain,"
Pak-kwi-ong menyambung. "Aku pun ingin mengambil anak ini sebagai
murid!"
"Wah-wah-wah,
berabe sekarang!" Ciu-sian Sin-kai berkata sambil tertawa gembira. Bagi
dia keadaan yang berabe itu malah menggelikan dan menggembirakan.
"See-thian Lama, bagaimana sekarang? Dua orang dari Empat Setan ini pun
ternyata menghendaki anak itu. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau rela
menyerahkan anak ini agar kelak menjadi calon datuk sesat yang hanya akan
mengeruhkan dunia? Dosamu besar sekali kalau kau berikan dia kepada mereka,
ha-ha-ha!"
"Omitohud,
segala bentuk kekerasan tiada gunanya dan hanya merusak. Memaksa anak ini
menjadi muridku pun akan merusaknya. Karena anak ini yang akan menjadi murid
dan begini banyaknya orang yang ingin mengambilnya sebagai murid, maka biarlah
pinceng serahkan kepada anak itu sendiri, siapa yang akan diangkat menjadi
gurunya. Anak baik, kau tentukanlah pilihanmu."
Semenjak
tadi Hay Hay telah mendengarkan semua perkataan mereka itu dan diam-diam dia
pun merasa gembira bukan main. Agaknya empat orang ini, yang dia tahu merupakan
orang-orang yang luar biasa, memiliki niat yang berbeda kalau dibandingkan
dengan dua pasang suami isteri tadi. Mereka ini agaknya memperebutkan dia untuk
diambil murid!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment