Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 40
KETIKA
Lam-hai Giam-lo mengangkat muka memandang dan mengenal suami isteri yang amat
ditakuti itu, wajahnya berubah pucat. Sudah beberapa kali dia harus
menyelamatkan diri dari suami lsteri ini, bahkan dia sampai melarikan diri dan
menyamar sebagai seorang hwesio di kuil Siauw-lim-pai saking takutnya
dikejar-kejar suami isteri ini.
Tak
diduganya bahwa perbuatan yang iseng dan jahat di waktu yang lalu mengakibatkan
munculnya dua orang musuh yang luar biasa tangguhnya ini. Kini dua orang musuh
besar ini muncul kembali sebagai pembantu pasukan pemerintah, pada waktu anak
buahnya sudah mulai tersudut dan terhimpit.
Dia mulai
mencari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi ketika membalik, di sana
telah ada Bi Lian yang siap menerjangnya! Celaka, pikirnya, menghadapi Bi Lian
seorang saja dia masih belum mampu mengalahkannya, apa lagi dengan munculnya
suami isteri yang ditakutinya itu.
Pasukannya
menghadapi kehancuran, ada pun pembantu-pembantunya tidak tampak ada yang
muncul, bahkan dia tidak melihat adanya Kulana dan Sim Ki Liong yang
diandalkan, yang entah berada di mana. Karena tidak metihat jalan keluar,
Lam-hai Giam-lo menjadi nekat.
"Baik,
aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dengan suaranya yang
parau seperti ringkik kuda.
Tubuhnya
lalu berputar-putar dan dia mulai memainkan ilmu silat yang dia andalkan, yaitu
ilmu silat dengan tubuh berputaran. Di dalam putaran tubuhnya ini terkandung
kekuatan seperti angin puyuh yang berpusing, bahkan nampak daun kering dan debu
ikut berpusing di sekeliling tubuhnya disertai angin menyambar-nyambar di
sekitarnya!
Hebat bukan
main ilmu dari Lam-hai Giam-lo ini sehingga beberapa orang pendekar dan banyak
anak buah pasukan pemerintah tidak ada yang berani mendekat, membiarkan tiga
orang perkasa itu menghadapi pemimpin pemberontak yang amat sakti itu.
Su Kiat dan
Hui Lian tidak mengenal Bi Lian, akan tetapi mereka berdua merasa kagum sekali.
Dara yang cantik jelita itu, yang usianya belum menginjak dua puluh tahun,
berani menghadapi Lam-hai Giam-lo seorang diri saja tanpa senjata, bahkan mampu
menandingi iblis itu sehingga terjadi perkelahian yang seru. Padahal Lam-hai
Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya!
Sementara
itu Bi Lian juga memperhatikan dengan heran saat melihat munculnya seorang
laki-laki berlengan kiri buntung bersama seorang wanita yang cantik dan mereka
berdua itu langsung menyerang Lam-hai Giam-lo dengan dahsyatnya, bahkan membuat
Lam-hai Giam-lo kelihatan seperti orang ketakutan.
Akan tetapi
gadis ini maklum bahwa mereka berdua itu adalah kawan-kawan, setidaknya juga
membantu pasukan pemerintah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun siap bekerja
sama dengan mereka untuk membasmi manusia jahat macam Lam-hai Giam-lo. Tanpa
mengucapkan sepatah pun kata, ketiga orang ini sudah membentuk Sha-kak-tin
(Barisan Segitiga) mengepung Lam-hai Giam-lo yang berputaran seperti gasing
itu!
Bi Lian
sudah mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan melalui kedua lengannya dan dia
memainkan ilmu silat gabungan dari Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, ilmu silat
yang aneh gerak-geriknya. Kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih,
lengannya bisa mulur dan memendek seperti karet, tubuhnya dengan ringan dan
cekatan dapat berlompatan ke sana-sini dan kadang-kadang tangannya mencuat ke
depan seakan hendak menembus tubuh yang berpusing itu.
Dengan
lengan kiri buntung yang kini digantikan oleh ujung lengan baju yang dapat
dibuat lemas dan kadang kala keras seperti besi, Ciang Su Kiat memainkan Ilmu
Silat Sian-eng Sin-kun yang cepatnya bukan main. Ilmu silat tangan kosong
Sian-eng Sin-kun (Pukulan Sakti Bayangan Dewa) ini merupakan peninggalan dari
Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan orang sakti yang dikenal dengan
julukan Delapan Dewa.
Dengan ilmu
silat ini tubuhnya seperti dapat terbang saja, atau bahkan saking cepatnya
gerakannya, bagi pandang mata biasa yang nampak hanyalah bayangan saja dan
setiap kali menyerang, baik dengan ujung lengan bajunya yang kiri atau pun
tangan kanannya, maka serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya
bagi lawan.
Kok Hui Lian
juga mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk menghadapi Lam-hai
Giam-lo yang lihai. Dia langsung memainkan In-liong Kiam-sut dengan pedang
Kiok-hwa-kiam. In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) adalah ciptaan
mendiang In Liong Nio-nio, juga salah seorang di antara Delapan Dewa.
Gerakannya
sangat tangkas dan gagah, tepat seperti nama ilmu itu sendiri, seakan-akan
seekor naga sedang melayang-layang di angkasa. Gulungan sinar pedang itu
membentuk lingkaran lebar dan dari dalamnya menyambar-nyambar sinar pedang yang
dahsyat.
Menghadapi
tiga orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu, Lam-hai Giam-lo menjadi repot
bukan main. Lawan lain tentu akan menjadi gentar menghadapi ilmunya itu, akan
tetapi tiga orang ini mempunyai tingkat yang mampu menandinginya, maka tentu
saja dia tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk menyerang mereka. Dalam
keadaan berpusing itu dia hanya mampu mempertahankan diri untuk menangkis atau
bersembunyi di dalam pusingan tubuhnya yang sukar dijadikan sasaran serangan
itu.
"Singgg...!
Singgg...!"
Gulungan
sinar pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan cahaya mencuat dua kali, pertama
menyarnbar ke arah leher, kemudian seperti meluncur turun dan menyambar ke arah
kaki dari tubuh Lam-hai Giam-lo yang berpusing. Lam-hai Giam-lo mampu
menghindarkan diri dengan dua kali elakan, akan tetapi pada saat itu pula
tangan Bi Lian yang mulur sudah mencengkeram ke arah lehernya.
"Dukkk!"
Dia
menangkis dan benturan kedua lengan membuat tubuhnya tergetar walau pun Bi Lian
juga terhuyung. Getaran tubuh ini menghentikan pusingan tubuh Lam-hai Giam-lo.
Pada saat itu pula ujung lengan baju yang menjadi lemas seperti cambuk telah
melecut ke arah matanya, dan ketika Lam-hai Giam-lo menarik tubuhnya ke
belakang, ujung lengan baju itu sudah berubah kaku dan kini menotok ke arah pinggang.
Totokan maut ini nyaris saja mengenai pinggangnya. Lam-hai Giam-lo cepat
membuang dirinya ke samping kemudian bergulingan.
Sinar pedang
menyambar-nyambar mengejar tubuh yang bergulingan itu. Dalam keadaan terhimpit
itu Lam-hai Giam-lo mencengkeram tanah, kemudian sekali menggerakkan dua
tangannya, ada pasir dan tanah menyambar ke arah mata ketiga orang
pengeroyoknya!
Kakek ini
memang hebat! Akan tetapi yang dihadapinya juga merupakan tiga orang lawan yang
amat tangguh, yang tidak mudah digertak dengan senjata rahasia seperti itu.
Hanya dengan memiringkan kepala, tiga orang itu dapat menghindarkan diri dari
sambaran pasir dan tanah itu tanpa harus menghentikan pengejaran mereka
terhadap tubuh yang masih bergulingan itu.
"Singggg...!"
Sinar pedang
Kiok-hwa-kiam menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo yang sudah tidak memiliki
kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya ke
arah sinar pedang berkilauan itu.
"Crokkk!"
Pedang tertahan dan tidak mengenai leher, akan tetapi lengan Lam-hai Giam-lo
terbabat buntung sebatas siku.
Lam-hai
Giam-lo sama sekali tidak mengeluarkan teriakan walau pun lengan kirinya telah
buntung. Dengan tangan kanan dia cepat menotok jalan darah pada pangkal
lengannya untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar, kemudian tubuhnya
membalik ke arah Hui Lian dan dengan marah disertai kenekatan, Lam-hai Giam-lo
lalu menubruk dengan serangan tangan kanan yang ampuh. Orang ini memang
memiliki daya tahan yang kuat sekali sehingga dalam keadaan terluka parah itu
serangannya bahkan lebih dahsyat dari pada tadi.
Hui Lian
terkejut, cepat mengelebatkan pedangnya namun pedang itu dapat ditampar dari
samping oleh tangan kanan Lam-hai Giam-lo sehingga hampir terlepas, dan seperti
cakar setan tangan itu sudah menyambar ke arah dada Hui Lian! Keadaan wanita
itu sungguh kritis dan berbahaya sekali. Akan tetapi suaminya, Ciang Su Kiat,
sudah siap siaga dan melihat bahaya mengancam isterinya, dia pun menubruk ke
depan lalu menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lam-hai Giam-lo.
"Plakkk!"
Tubuh
Lam-hai Giam-lo terpelanting keras dan roboh tak mampu bergerak lagi. Tewaslah
Lam-hai Giam-lo, datuk sesat yang mempunyai ambisi besar itu. Setelah Lam-hai
Giam-lo tewas, Hui Lian, Su Kiat dan Bi Lian saling berpencaran lagi,
masing-masing melanjutkan amukan mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang
kini mulai berhasil mendesak pasukan pemberontak yang sudah kehilangan banyak
pemimpin itu.
Sementara
itu, Can Sun Hok yang berkelahi melawan Kim San Ketua Kui-kok-pang juga sudah
berhasil merobohkan lawan itu dengan sulingnya yang lihai, kemudian membantu
Ling Ling yang masih mengamuk dikeroyok oleh belasan orang anak buah
Kui-kok-pang. Mereka berdua mengamuk dan biar pun anak buah Kui-kok-pang
berdatangan membantu teman-teman mereka, tetapi satu demi satu mereka roboh dan
tewas di tangan sepasang orang muda perkasa ini.
Kui Hong
yang bersama belasan anak buahnya menjaga di atas tebing sebelah kiri telah
melihat betapa tebing di seberang sudah dikuasai pula oleh pihak pasukan
pemerintah, bahkan kini ditinggalkan sesudah tadi dia melihat betapa pendekar
lengan buntung Ciang Su Kiat menarik putus sumbu panjang itu. Melihat ini, Kui
Hong juga meniru perbuatan Su Kiat. Dia kemudian menarik sumbu panjang yang
menjulur ke bawah dari puncak tebing itu dan mempergunakan tenaga menyentak
sehingga sumbu itu putus pula dekat tempat pemasangan bahan peledak.
"Kalian
berjaga di sini saja, aku mau turun membantu pertempuran di bawah,"
pesannya kepada para prajurit, dan dia pun berlari turun dengan cepatnya.
Selagi dia
berloncatan menuruni tebing itu, dia melihat seorang wanita cantik berpakaian
merah bergegas hendak melarikan diri, tersaruk-saruk di tebing. Kui Hong belum
pernah melihat wanita ini, akan tetapi dia pernah mendengar dari Hay Hay
mengenai datuk-datuk sesat yang membantu pemberontakan, di antaranya terdapat
orang-orang lihai seperti Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko dan orang-orang
Pek-lian-kauw.
Sesudah
melihat keadaan wanita itu, dia segera menduga bahwa agaknya wanita itulah yang
berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) dan bernama Ji Sun Bi itu.
Maka cepat dia menghadang. Setelah wanita itu tiba di depannya, dia lalu
menudingkan telunjuk kanannya dan membentak.
"Heii!
Bukankah engkau ini Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi?!"
Pertanyaan
ini dikeluarkan secara tiba-tiba dengan bentakan sehingga wanita itu terkejut
dan marah, tak sempat berpikir panjang lagi lalu balas membentak. "Kalau
benar, kenapa engkau tidak lekas berlutut agar aku tidak membunuhmu?!"
Wanita itu
memang Ji Sun Bi. Melihat betapa Min-san Mo-ko yang menjadi gurunya dan juga
kekasihnya itu tewas, demikian pula banyak kawan yang membantu Lam-hai Giam-lo
roboh dan tewas, Ji Sun Bi pun merasa kecil hati dan ketakutan. Seperti juga
para datuk sesat, orang seperti dia memang tak memiliki kesetiaan. Segala sepak
terjangnya dalam hidup hanya mempunyai satu dasar, yaitu ingin menyenangkan dan
menguntungkan diri sendiri belaka. Seperti yang lain, apa bila dia membantu
Lam-hai Giam-lo adalah karena mereka itu melihat kemungkinan untuk memperoleh
kemuliaan kalau gerakan itu menang.
Kini,
melihat betapa gerakan pemberontakan itu terancam kehancuran di kandang sendiri
sebelum sempat bergerak keluar, Ji Sun Bi cepat mengumpulkan barang-barang
berharga lantas diam-diam dia meninggalkan medan pertempuran. Tidak ada jalan
lari melalui jalan terusan, juga tidak mungkin ke belakang lembah karena di
sana pun sudah penuh dengan pasukan pemerintah. Maka jalan satu-satunya
hanyalah mencoba untuk menyelamatkan diri lewat tebing di kanan kiri jalan
terusan.
Dia memilih
tebing kiri, tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seorang gadis cantik
yang mengenalinya dan bertanya tanpa sopan santun sama sekali. Maka dia pun
menjadi marah, apa lagi gadis itu hanya seorang diri dan tentu saja Ji Sun Bi
memandang rendah gadis itu. Hal ini tidaklah aneh mengingat bahwa Ji Sun Bi
adalah seorang datuk sesat wanita yang berilmu tinggi dan jarang menemukan
tanding.
Kui Hong
adalah seorang gadis yang galak dan berandalan, gagah dan tidak kenal takut,
bahkan masih dapat tersenyum manis dalam keadaan mendongkol melihat keangkuhan
Ji Sun Bi. Pada dasarnya, Kui Hong memiliki watak jenaka, hanya kadang-kadang
watak itu tertutup oleh kegalakan dan keberandalannya.
"Wah,
kalau engkau berjuluk Iblis Betina Berhati Racun, maka sebentar lagi engkau
harus mengubah julukanmu itu menjadi Mayat Iblis Tak Berjantung karena engkau
akan mati di tanganku. Aku adalah Cia Kui Hong dan julukanku adalah Hok-mo
Sian-li (Dewi Penakluk Iblis)!" Tentu saja julukan ini hanya buatan Kui
Hong saja untuk menggoda orang. Wanita itu berjuluk Iblis maka dia sengaja memakai
julukan Penakluk Iblis!
"Srattttt...!"
Nampak dua
sinar berkelebat saat Ji Sun Bi mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang
pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dengan pedang kiri diangkat di atas
kepala dan pedang kanan menodong ke arah Kui Hong, Ji Sun Bi mengeluarkan
bentakan nyaring.
"Bocah
lancang, akan kupotong lidahmu!"
Akan tetapi
terdengar suara berdesing dan kini tahu-tahu di kedua tangan Kui Hong telah
terlihat masing-masing sebatang pedang. Kiranya dara itu telah mencabut keluar
Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam, pedang
pemberian neneknya, yaitu Toan Kim Hong di Pulau Teratai Merah.
Melihat
sepasang pedang berwarna hitam yang mengeluarkan sinar menyeramkan itu, Ji Sun
Bi terkejut sekali. Akan tetapi dia tidak mengenal pedang itu dan masih
memandang ringan.
"Keparat,
makanlah pedangku!" bentak Ji Sun Bi saat melihat Kui Hong sambil
tersenyum mengejek melintangkan pedangnya di depan muka. Dia membacok dengan
pedang kanan sedangkan pedang kirinya meluncur ke arah perut Kui Hong.
"Heiiittt...
ihhhh...!" Kui Hong berseru lantas dua batang pedangnya berubah menjadi
dua gulungan sinar hitam.
"Cringgg...!
Tranggg...!"
Kini
terkejutlah Ji Sun Bi sebab dia merasa betapa kedua tangannya tergetar keras
ketika sepasang pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawannya. Ji Sun Bi boleh
jadi memiliki watak yang angkuh dan sombong, akan tetapi dia cukup cerdik dan
benturan dua pasang senjata itu memberi tahu kepadanya bahwa biar pun masih
muda, ternyata lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan tenaga kuat
sehingga tak boleh dipandang ringan sama sekali.
Maka tanpa
banyak cakap lagi dia telah menyerang dengan ganas, mengeluarkan semua ilmunya
yang paling diandalkan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar laksana dua ekor
naga mencari mangsa.
Namun yang
dihadapinya adalah Cia Kui Hong yang ilmu pedangnya amat hebat, apa lagi
sesudah dia menerima gemblengan dari kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis
dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dengan lincahnya Kui Hong memainkan Ilmu
Pedang Hok-mo Siang-kiam yang telah disempurnakan oleh gemblengan neneknya.
Di samping
menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dari latihan yang
diberikan oleh ayah ibunya, juga ilmu ginkang Kui Hong sudah diperdalam oleh
kakek dan neneknya sehingga kini dia dapat bergerak sangat lincah dan ringannya.
Bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya berkelebatan di seputar lawannya,
membuat Ji Sun Bi makin kaget dan khawatir.
Tingkat
kepandaian Kui Hong agaknya akan seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Sun Bi
sebelum dia digembleng oleh kakek dan neneknya. Akan tetapi kini dia menang
jauh, terutama sekali dalam hal sinkang dan ginkang. Tenaga saktinya lebih kuat
dan dia pun memiliki gerakan yang lebih ringan, lincah dan cepat sehingga lewat
tiga puluh jurus saja, Ji Sun Bi mulai terdesak dan kewalahan.
"Hyaaaattttt...!"
Tiba-tiba Ji Sun Bi mengeluarkan lengking panjang dan kedua pedangnya diputar
sedemikian rupa hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri, lalu
dari gulungan sinar pedang itu mencuat dua sinar yang menyambar ke arah leher
serta dada Kui Hong.
Namun dara
itu dengan tenang saja meloncat ke belakang dan ketika lawannya mengejar,
tiba-tiba dia mengelebatkan kedua pedangnya. Dua sinar hitam menyambar dari
atas dan bawah. Ji Sun Bi tidak sempat mengelak karena dia sedang meloncat ke
depan, terpaksa dia menangkis dengan kedua pedangnya.
"Singgg...!
Singgg...!"
Mendadak Kui
Hong menarik kembali sepasang pedangnya sehingga tangkisan itu hanya meluncur
ke tempat kosong dan pada saat itu sepasang pedang hitam sudah menyerang lagi
dari kanan kiri. Ji Sun Bi semakin kaget, terpaksa memutar pergelangan
tangannya dan menggunakan pedang untuk menangkis.
"Tranggg...!
Tranggg...!"
Terdengar
dua kali suara nyaring, lantas pedang kiri Ji Sun Bi terlepas dan terlempar,
sedangkan tangan kanannya hampir saja melepaskan pedang karena telapak
tangannya terasa panas dan perih. Tanpa banyak cakap lagi dia langsung meloncat
ke belakang dan melarikan diri! Ji Sun Bi maklum bahwa kalau dia melanjutkan
perkelahian itu, tentu dia akan kalah dan akhirnya tewas di tangan lawannya
yang amat tangguh itu.
"Heiii,
iblis betina pengecut, hendak lari ke mana engkau?!" Kui Hong memaki dan
cepat mengejar. Karena dia memang mempunyai ginkang yang amat hebat, maka
sebentar saja dia hampir dapat menyusul Ji Sun Bi yang menjadi semakin gelisah.
Ketika
melihat bahwa dia telah mengambil jalan yang salah, yaitu yang menuju ke jurang
yang curam, Ji Sun Bi menjadi semakin bingung. Ada pun Kui Hong justru tertawa
girang melihat lawannya terjebak dan berada di jalan buntu.
"Heh-heh,
Tok-sim Mo-li, engkau hendak lari ke mana lagi sekarang?" Kui Hong
mengejek dan dengan gerakan cepat sekali dia mengejar lawan yang sudah
ketakutan itu.
Ji Sun Bi
menoleh dan melihat Kui Hong mengejarnya. Dia maklum bahwa sekali ini dia tidak
akan mampu menyelamatkan diri lagi. Dalam ketakutannya ini dia lalu menjadi
nekat dan meloncat ke depan! Tubuhnya meluncur ke bawah.
"Ehhh...!"
Kui Hong berseru dan cepat meloncat ke tepi jurang, lalu menjenguk ke bawah.
Dia masih
sempat melihat tubuh wanita itu terbanting dan terpental, lantas menggelinding
terus ke bawah sampai tidak nampak lagi. Kui Hong menghela napas panjang,
kemudian menyarungkan sepasang pedangnya. Wanita iblis itu tidak mungkin dapat
meloloskan diri lagi. Terjatuh dari tempat setinggi itu pasti akan mati. Dia
pun tidak dapat mengejar sebab tak mungkin menuruni jurang itu. Maka Kui Hong
lalu melanjutkan larinya menuruni tebing untuk membantu pertempuran pasukan
pemerintah melawan pasukan pemberontak.
Sementara
itu Hay Hay terus mencari Ki Liong sambil merobohkan prajurit pemberontak yang
menghadang di jalan. Akhirnya dia melihat pemuda itu sedang mengamuk dengan
hebat di luar jalan terusan.
Memang benar
apa yang dikatakan Kui Hong kepadanya. Pemuda yang menjadi murid Pendekar Sadis
dan isterinya itu sungguh lihai bukan main. Sudah belasan orang menjadi korban
pedang pusaka Gin-hwa-kiam, pedang pusaka Pulau Teratai Merah yang menurut
cerita Kui Hong telah dicuri Ki Liong berikut beberapa benda pusaka dari pulau
itu.
Gerakan
pedang pemuda itu demikian matang dan mantap sehingga para prajurit kerajaan
merasa gentar juga menghadapi pemuda ini sesudah ada beberapa orang perwira
roboh dan tewas. Mereka mengepung dari jarak jauh dengan mempergunakan tombak
panjang. Melihat keadaan ini, Hay Hay lalu meloncat dekat dan Ki Liong segera
melihatnya.
"Saudara
Tang Hay...!" kata Ki Liong. "Bantulah aku keluar dari tempat ini dan
nanti akan kubagikan pusaka-pusaka indah kepadamu!"
Akan tetapi
Hay Hay melangkah maju sambil berseru kepada para prajurit. "Harap kalian
mundur dan biarkan aku menghadapinya!"
Para
prajurit cepat-cepat mundur dan mengepung tempat itu dari jarak jauh. Kini Hay
Hay berhadapan dengan Ki Liong yang mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh
selidik karena dia masih belum yakin benar di pihak mana Hay Hay berdiri.
"Sim Ki
Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap Pek Eng?" Hay Hay bertanya
lirih karena tak ingin hal itu didengar lain orang, akan tetapi di dalam
pertanyaan yang lirih itu terkandung ancaman serta kemarahan besar. Ki Liong
melebarkan matanya memandang Hay Hay dengan heran.
"Apa
yang sudah kulakukan? Tidak apa-apa, Saudara Tang Hay. Gadis itu pergi dan tak
seorang pun tahu ke mana. Aku tidak pernah mengganggunya..."
"Bohong!
Malam itu, di dalam pondok taman! Apa yang sudah kau lakukan? Jangan kau
menyangkal, hayo ikut bersamaku dan membuat pengakuan di depan Pek Eng, atau
aku akan memaksamu!"
"Tang
Hay manusia sombong! Aku tidak punya urusan dengan Pek Eng atau denganmu! Kalau
engkau tidak suka membantu aku keluar dari tempat ini, sudahlah, aku tidak
punya waktu untuk melayani obrolanmu yang tidak karuan ujung pangkalnya!"
"Ki
Liong! Kalau engkau menyangkal, terpaksa aku harus memaksamu untuk
menyerah!" bentak Hay Hay sambil melompat menghadang pada saat melihat Ki
Liong hendak pergi meninggalkannya.
Marahlah Ki
Liong, "Keparat! Engkau seorang jai-hwa-cat hina berani mengancam
aku?" Dia mengacungkan pedang Gin-hwa-kiam.
Hay Hay juga
marah sekali. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihirnya untuk melawan Ki Liong
karena dia hendak mencoba sampai di mana kelihaian murid dari Pulau Teratai
Merah ini.
"Mulutmu
busuk seperti hatimu!" Hay Hay balas memaki sesudah mendengar dia dimaki
sebagai jai-hwa-cat.
Akan tetapi
pada saat itu Ki Liong sudah menggerakkan Gin-hwa-kiam menyerangnya.
Serangannya hebat bukan main, dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga
sinkang yang amat kuat. Ilmu pedang yang dimainkannya adalah Hok-mo Kiam-sut,
ada pun jurus yang dipergunakan untuk penyerangan pertama itu adalah jurus
Sin-liong Hok-mo (Naga Sakti Menaklukkan Iblis).
Pedang itu
meluncur ke arah dada lawan untuk dilanjutkan dengan putaran pergelangan tangan
sehingga pedang dapat dilanjutkan dengan bacokan memutar yang mengancam semua
bagian tubuh depan lawan! Jurus ini hebat bukan kepalang dan karena dia sudah
menerima gemblengan dari suami isteri pendekar yang sakti, maka gerakannya itu
sangat mantap sekaligus juga ganas.
Menghadapi
sebatang pedang pusaka, Hay Hay tidak berani bertangan kosong saja. Dia
mengenal pusaka ampuh, maka dia pun cepat mencabut sulingnya dari ikat pinggang
dan sambil meloncat ke belakang untuk mengelak, dia langsung memutar sulingnya
sehingga terdengarlah suara melengking tinggi rendah. Pedang itu telah
dilanjutkan dengan putaran yang menyerang leher, dan Hay Hay kini menangkis
dari samping dengan sulingnya.
"Tranggg...!"
Suling dan
pedang bertemu lalu keduanya melangkah mundur dua tindak, masing-masing
mengakui akan kehebatan tenaga sinkang lawan. Namun Ki Liong sudah menerjang
lagi ke depan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari tempat berbahaya itu dan untuk
itu dia harus cepat pula menyelesaikan perkelahian ini.
Pedangnya
lenyap berubah menjadi gulungan cahaya perak yang menyelimuti tubuhnya.
Bagaikan roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju ke
arah Hay Hay, dengan suara mendesing-desing memekakkan telinga dan angin
sambaran pedang terasa sampai beberapa meter jauhnya.
Hay Hay
bersikap hati-hati. Maklum dengan kelihaian lawan yang memiliki ilmu silat
tinggi dan pilihan itu, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu
Langkah Ajaib Jiauw-paow-poan-soan. Tubuhnya berputar-putar dan dengan langkah
ajaib itu dia mampu menghindarkan diri dari tekanan dan sambaran sinar pedang
lawan, bahkan membalas pula dengan totokan ke arah jalan darah dengan ujung
sulingnya.
Terjadilah
perkelahian yang sangat hebat sehingga membuat daun-daun kering dan pasir
berhamburan serta debu mengepul di sekitar tempat itu. Suara mengaung dan
berdesing memekakkan telinga disertai sambaran angin berputar-putar membuat
para penonton baik dari pihak pasukan pemerintah mau pun pemberontak terpaksa
mundur beberapa langkah lagi.
Setelah
lewat dua puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hay Hay melakukan serangan dengan
sulingnya, menotok ke arah muka lawan antara kedua matanya. Serangan ini hanya
untuk memancing perhatian lawan, karena tangan kirinya telah siap untuk
melakukan serangan inti, pada saat lawan terpaksa mencurahkan perhatian kepada
serangan pertama.
Akan tetapi
Ki Liong cukup lihai untuk menduga siasat lawan ini. Pedang Gin-hwa-kiam
dikelebatkan dari samping menangkis suling, sambil sekaligus dia mengerahkan
tenaga sinkang yang mempunyai daya tempel yang kuat.
Pemuda ini
memang belum diberi pelajaran Thi-ki-i-beng, yaitu ilmu sinkang yang dapat
membetot dan menghisap tenaga sakti lawan, merupakan ilmu mukjijat dan simpanan
dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi dia sudah mempelajari sinkang
yang dilatih dengan jungkir balik dan dapat menggunakan tenaga sakti ini untuk
mendorong, menarik, membetot, bahkan menempel.
Begitu
pedangnya bertemu suling yang ditangkisnya, maka pedang itu melekat dan hal ini
terasa oleh Hay Hay yang menjadi terkejut juga karena sulingnya melekat pada
pedang itu bagaikan besi melekat pada besi semberani! Dan kekagetannya itu
membuat dia agak lambat menggunakan tangan kiri yang sudah dipersiapkan.
Serangan suling yang tadinya dilakukan untuk mengejutkan lawan itu kini bahkan
membuat dia sendiri menjadi terkejut ketika sulingnya melekat pada pedang
lawan.
Dan pada
saat itu pula tangan kiri Ki Liong sudah menghantam ke arah dadanya dengan
tangan terbuka! Kiranya Ki Liong mempunyai siasat yang sama, yaitu menggunakan
daya lekat sinkang-nya untuk mengejutkan lawan sehingga lawan dalam keadaan
lengah ketika tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut. Pukulan itu adalah
pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti
Bumi Langit) merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari Pendekar Sadis!
Dalam
keadaan kritis itu Hay Hay tak kehilangan akal. Tangan kirinya memang sejak
tadi sudah dia persiapkan untuk menyerang akan tetapi dia kedahuluan lawan,
maka kini dia pun mendorong dengan tangan kirinya itu, dengan jari tangan
terbuka. Itulah sebuah jurus ampuh dari Ciu-sian Cak-pek-ciang (Delapan Belas
Jurus Silat Dewa Arak) yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lokai, seorang
di antara Delapan Dewa.
"Plakkk!"
Dua buah
tangan itu saling bertemu dan saling menempel! Kini kedua orang muda itu tak
dapat melepaskan diri lagi. Pedang dan suling saling melekat dan kedua tangan
kiri saling menempel sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan
hanyalah mengerahkan sinkang, mengadu tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Dan
di dalam pertandingan ini keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga karena
siapa kalah dalam adu sinkang ini tentu akan putus nyawanya!
Perlahan-lahan
Ki Liong merasa betapa tenaga lawannya menjadi semakin kuat saja dan mulailah
dia gemetar. Keringat membasahi muka serta lehernya, dan uap putih mengepul
dari kepalanya.
"Mati
aku sekali ini..." pikir Ki Liong. Tapi bagaimana pun juga dia harus
mempertahankan diri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari himpitan ini, karena
itu tak ada jalan lain kecuali mempertahankan sampai saat terakhir!
Di saat yang
amat berbahaya bagi Ki Liong karena dia memang kalah tenaga itu, tiba-tiba saja
nampak bayangan orang berkelebat dan dua buah tangan mendorong dari samping.
Dua buah tangan ini mengandung tenaga sinkang yang kuat pula, dan karena
dorongan itu, Ki Liong dan Hay Hay menjadi miring sehingga benturan atau adu
tenaga dari mereka berdua menyeleweng lantas terlepaslah telapak tangan mereka.
Hay Hay meloncat
ke belakang sementara Ki Liong terguling! Dia terus bergulingan, lalu meloncat
bangun dengan muka pucat. Dia nyaris tewas di dalam adu tenaga tadi dan kini
dia melihat bahwa orang yang melerai tadi adalah seorang pemuda yang usianya
sebaya dengan dia mau pun Hay Hay, bermuka putih bulat dan bersikap tenang.
Akan tetapi
pemuda yang tidak dikenalnya itu tidak memperhatikannya, bahkan sekarang
menghadapi Hay Hay yang juga menatap dengan penuh perhatian. Melihat kesempatan
yang amat baik ini, diam-diam Ki Liong lalu melarikan diri dan melompat jauh.
"Heiii!
Mau lari ke mana kau?!" Hay Hay membentak dan hendak mengejar, akan tetapi
pemuda muka putih yang bukan lain adalah Pek Han Siong itu menghadang di
depannya.
"Tahan
dulu...!"
Hay Hay yang
tak ingin melihat Ki Liong melarikan diri hendak mengejar terus, dan karena Han
Siong menghadang di jalan, Hay Hay mengibaskan lengannya untuk mendorongnya
minggir.
"Dukkk!"
Kedua lengan mereka bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur.
Maka
terkejutlah Hay Hay. Orang ini ternyata lihai sekali! Karena Ki Liong sudah
lenyap di antara para prajurit yang masih bertempur, dan karena pemuda di
depannya itu agaknya bersungguh-sungguh hendak menghadangnya, maka terpaksa dia
membiarkan Ki Liong pergi dan sekarang menghadapi Han Siong dengan sinar mata
tajam penuh selidik. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini dan tidak tahu
apakah orang ini memihak kepada pemberontak ataukah pemerintah.
"Saudara
yang gagah, siapakah engkau dan kenapa engkau menghadangku?" tanya Hay
Hay, diam-diam terkejut melihat betapa sinar mata pemuda ini mencorong dan
wajahnya penuh wibawa, menunjukkan bahwa pemuda ini mempunyai kekuatan
tersembunyi yang sangat dahsyat.
"Betulkah
engkau yang bernama Tang Hay?" Han Siong berbalik mengajukan pertanyaan
sambil memandang tajam.
Hay Hay
mengerutkan alisnya, lantas mengangguk, "Benar, namaku Tang Hay. Siapakah
engkau dan ada urusan apakah..."
Han Siong
memotong. "Namaku Pek Han Siong dan..."
"Ahh!
Kiranya engkau yang dijuluki Sin-tong...!"
"Benar
sekali, akan tetapi aku datang bukan untuk meributkan persoalan itu. Aku datang
untuk meminta pertanggungan jawabmu, Tang Hay. Bersikaplah sebagai seorang
jantan yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Apa
maksudmu?" tanya Hay Hay, akan tetapi dia segera mengerti sebelum pemuda
itu menjawab karena pada saat itu dia melihat munculnya Pek Eng!
"Jangan
engkau menyangkal tentang perbuatanmu terhadap adik kandungku, Eng-moi!"
Hay Hay
cepat menggelengkan kepala dan matanya tetap memandang ke arah Pek Eng
seakan-akan jawaban itu dia ajukan kepada Pek Eng. "Tidak... tidak...! Aku
tidak pernah melakukan kekejian itu! Aku sama sekali tidak melakukannya!"
Han Siong
memandang dengan muka merah. Benar kata adiknya. Pemuda ini sungguh pengecut
walau pun berilmu tinggi, berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab.
Teringat dia bahwa menurut keterangan orang tuanya, pemuda ini adalah putera
seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita dan amarahnya
makin memuncak.
Adik
kandungnya telah menjadi korban kecabulan laki-laki ini dan sekarang dia tidak
mau bertanggung jawab, bahkan menyangkal! Padahal buktinya sudah jelas, adiknya
menjadi saksi utama. Tidak mungkin adik kandungnya melakukan fitnah, menuduh
orang yang tak berdosa sebagai pelakunya.
"Tang
Hay, apakah engkau hendak mengikuti jejak ayah kandungmu? Jika engkau secara
pengecut menyangkal perbuatanmu sendiri, maka terpaksa aku akan
menghajarmu!"
Wajah Hay
Hay berubah merah. Dia tahu bahwa orang ini marah karena percaya bahwa dia
telah merenggut kegadisan Pek Eng dan meminta dia bertanggung jawab. Akan
tetapi karena dia benar-benar merasa tidak melakukan hal itu, dan kini dia
diingatkan tentang ayahnya yang jahat, hal yang amat menyakitkan hatinya, maka
dia pun menjadi marah.
"Sampai
mati pun tak mungkin aku dapat mengakui perbuatan yang tidak kulakukan. Nah,
terserah apa yang hendak kau lakukan kepadaku, aku tidak takut!" jawabnya.
Bagi Han Siong,
jawaban ini dianggap sebagai ucapan seorang yang keras hati dan yang nekat
hendak menyangkal perbuatannya, maka dia pun semakin penasaran. Akan tetapi
niatnya bertemu dengan Hay Hay bukan hendak menyerangnya, apa lagi membunuhnya.
Dia hanya
hendak membujuk pemuda itu bertanggung jawab, apa lagi karena menurut pengakuan
Pek Eng, adiknya itu mencinta Hay Hay. Kalau tidak dapat dibujuk, dia hendak
menggunakan akal agar Hay Hay suka menyerah dan sadar lalu mau menerima Pek Eng
sebagai jodohnya.
Oleh karena
itu Han Siong hendak menakut-nakuti Hay Hay dengan ilmu sihirnya, hendak
menaklukkan pemuda itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Maka diam-diam dia
pun mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian sekali mencabut pedangnya,
tampaklah sinar berkilauan dari pedang Kwan-im-kiam yang ditodongkan ke arah
muka Hay Hay, sambil terdengar suaranya yang menggeledek.
"Tang
Hay, lihat baik-baik! Aku adalah seorang yang jauh lebih sakti darimu, aku
seorang raksasa setinggi pohon, dan engkau hanya seorang manusia kecil, tidak
akan ada artinya melawan aku!"
Pada waktu
dia menggerakkan pedangnya, nampak kilatan pedangnya dan tiba-tiba saja semua
orang yang mengelilingi tempat itu menjadi terbelalak dan terkejut bukan
kepalang ketika melihat betapa tiba-tiba saja keadaan tubuh Pek Han Siong
berubah. Kini pemuda itu menjadi tinggi besar, setinggi pohon besar, seorang
raksasa yang sangat mengerikan dan menakutkan karena Hay Hay kini hanya
setinggi lututnya saja!
Akan tetapi
Hay Hay tetap bersikap tenang walau pun dia juga terkejut, tidak menyangka
bahwa pemuda yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Sin-tong
dan yang menjadi rebutan itu memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Timbul
kegembiraannya dan dia pun tidak mau kalah. Dia lalu mengerahkan kesaktiannya
dan suaranya terdengar penuh wibawa yang menggetarkan jantung para penonton
pertandingan itu.
"Bagus
sekali, Pek Han Siong! Sekarang engkau menjadi raksasa, akan tetapi aku juga
sanggup mengembarimu! Lihatlah baik-baik!"
Hay Hay
mengibaskan tangan yang memegang suling, terdengar suara melengking tinggi dan
tubuhnya pun tumbuh menjadi besar, sebesar Han Siong! Mereka berdiri berhadapan
dalam keadaan yang menyeramkan semua orang.
Kini Han
Siong yang terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hay Hay akan
sehebat ini! Karena sudah terlanjur mengeluarkan ilmu sihirnya, ketika melihat
lawan telah mengembarinya menjadi besar pula, Han Siong lalu menggerakkan
pedangnya dan mulai menyerang.
Hay Hay
menggerakkan sulingnya menangkis, kemudian balas menyerang. Dan terjadilah
pertempuran yang hebat dan dahsyat bukan main, mengguncangkan tanah di
sekitarnya. Pohon-pohon bergoyang seperti tertiup angin taufan, bahkan banyak
dahan pohon yang patah, batu-batu beterbangan tertendang kaki mereka dan debu
mengebul tinggi. Kembali keduanya terkejut dan kagum.
Walau pun
Kwan-im Kiam-sut yang dimainkan Han Siong merupakan ilmu pedang yang jarang
tandingannya, namun Hay Hay mampu menandinginya dengan sulingnya. Bahkan
setelah lewat belasan jurus Han Siong sudah dapat menilai bahwa akan sulitlah
baginya mengalahkan pemuda itu dengan pedangnya, apa lagi setelah keduanya
menjadi sebesar raksasa itu. Dan bila perkelahian itu dilanjutkan maka dapat
membahayakan orang-orang yang menonton di sekeliling tempat itu.
"Tang
Hay, tidak perlu menakut-nakuti orang lain. Aku akan menjadi kecil sampai
engkau tidak akan dapat melihatku lagi!"
Kembali
'raksasa' Han Siong menggerakkan pedangnya dan mendadak tubuhnya lenyap sebab
dari keadaan tinggi besar seperti raksasa tiba-tiba saja tubuh itu menyusut
menjadi kecil, hanya sebesar jari tangan manusia biasa! Kehilangan lawannya,
sejenak Hay Hay merasa bingung namun dia pun segera tahu apa yang telah
dilakukan lawannya.
"Pek
Han Siong, sudah kukatakan, aku akan mengembari ilmumu. Lihat, aku pun menjadi
kecil sebesar kamu!"
Dan tubuh
Hay Hay kini lenyap dari pandangan orang-orang yang berada di situ, menjadi
kecil seperti tubuh Han Siong, lalu keduanya melanjutkan perkelahian dengan
suling dan pedang dalam keadaan tubuh sebesar jari tangan manusia biasa. Mereka
yang menonton perkelahian aneh itu akhirnya dapat melihat mereka berdua dan
terdengar seruan-seruan kaget, heran dan kagum!
Kalau tadi
mereka menyaksikan perkelahian dua orang raksasa yang tingginya empat kali
ukuran manusia biasa hingga mengguncangkan tanah di sekeliling tempat itu, kini
mereka melihat perkelahian dua orang yang sangat kecil, hanya sebesar jari
tangan mereka. Tadi mereka merasa seram dan takut, kini merasa ngeri dan juga
lucu bercampur tegang.
Han Siong
dan Hay Hay kembali saling serang. Meski pun keduanya sudah mengerahkan seluruh
tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan mereka, namun masing-masing selalu
menjaga agar jangan sampai saling membunuh. Han Siong sama sekali tidak ingin
membunuh Hay Hay yang dicinta oleh Pek Eng, akan tetapi ingin menaklukkannya.
Dan sebaliknya, tentu saja Hay Hay tidak ingin membunuh Han Siong yang membela
adiknya, hanya ingin memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai dipandang
rendah sebagai putera seorang jai-hwa-cat.
Apa bila
dibuat ukuran, sebetulnya Hay Hay telah menerima gemblengan yang lebih kuat
dari pada Han Siong. Dalam hal ilmu silat mereka berdua menerima pelajaran
peninggalan dari orang-orang yang menjadi anggota Delapan Dewa, akan tetapi Hay
Hay memperoleh gemblengan secara langsung. Juga dalam hal ilmu sihir, Hay Hay
telah digembleng oleh dua orang, apa lagi gemblengan terakhir dari Song Lojin
sudah membuat kedua macam ilmu kepandaiannya itu menjadi matang betul.
Akan tetapi
karena dia selalu mengalah dan tidak ada niat di hatinya untuk mengalahkan Han Siong,
apa lagi sampai melukai atau membunuh, maka pertandingan antara mereka itu
menjadi seimbang dan seru bukan main.
Sementara
itu, kini pertempuran antara kedua pasukan sudah mulai terhenti di sana-sini.
Setelah sebagian pemimpin mereka tewas atau melarikan diri, makin gentarlah
hati para pasukan pemberontak. Mereka kalah banyak dan terhimpit dari depan
belakang. Apa lagi di pihak pemerintah terdapat para pendekar yang amat lihai.
Orang-orang
yang mereka andalkan kini sudah habis. Lam-hai Giam-lo sudah tewas, juga Kulana
yang sangat mereka harapkan itu. Para pembantu Lam-hai Giam-lo juga sudah roboh
satu demi satu.
Suami isteri
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li yang terkenal dengan julukan Sepasang Iblis Laut
Selatan itu telah tewas di tangan Pek Han Siong. Suami isteri Kwee Siong dan
Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukan suami isteri Goa Iblls Pantai Selatan
tewas di tangan Bi Lian. Lam-hai Giam-lo sendiri tewas di tangan suami isteri
Cang Su Kiat dan Kok Hui Lian, musuh besarnya.
Ji Sun Bi
yang juga merupakan seorang tangan kanan Lam-hai Giam-lo, terjatuh ke dalam
jurang yang curam pada saat berkelahi melawan Cia Kui Hong. Gurunya, Min-san
Mo-ko, tewas di tangan Kok Hui Lian pula. Ketua Kui-kok-pang, yaitu Kim San,
tewas di tangan Can Sun Hok dan anak buahnya hampir habis terbasmi oleh Sun Hok
dan Ling Ling.
Begitu pula
dengan Hek-hiat Mo-ko yang ditewaskan oleh Sun Hok dan Ling Ling. Kulana
sendiri tewas sampyuh bersama Mulana. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sesat yang
turut membantu pemberontakan itu dan menjadi korban dalam pertempuran itu,
termasuk para pendeta Pek-lian-kauw.
Meski pun
pada pihak pemerintah banyak pula pendekar, perwira dan prajurit yang tewas,
namun jelas bahwa pihak pemberontak mengalami kekalahan dan kini sisanya yang
tidak mampu lagi melarikan diri cepat-cepat berlutut dan menyerah! Pertempuran
lalu berhenti, akan tetapi masih ada pertempuran yang amat hebat terjadi antara
Hay Hay dan Pek Han Siong sehingga menarik perhatian para pendekar dan para
perwira untuk datang dan ikut menonton.
Banyak orang
menjadi saksi betapa tadi baik Hay Hay mau pun Han Siong sudah berjasa karena
turut mengamuk untuk membantu pemerintah, maka kini semua orang yang tidak tahu
urusannya merasa heran melihat mereka saling gempur sendiri, tetapi tak ada
yang berani melerai. Apa lagi melihat betapa kedua orang itu mempergunakan
ilmu-ilmu yang aneh.
Para
pendekar yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran itu, kini satu demi
satu menghampiri tempat perkelahian yang amat seru itu untuk ikut menonton.
Mereka semua takjub menyaksikan perkelahian yang luar biasa itu. Su Kiat dan
Hui Lian melihat dengan penuh kagum, juga Kui Hong, Ling Ling dan Sun Hok,
demikian pula Pek Eng yang tidak melihat bahwa di antara para pendekar yang
mengelilingi tempat pertempuran itu terdapat pula ayahnya, Pek Kong dan juga
Song Un Tek bekas calon ayah mertuanya.
Pek Kong
yang amat tertarik melihat puteranya, Pek Han Siong, bertanding melawan Hay
Hay, suatu hal yang amat mengherankan hatinya, juga belum melihat kehadiran Pek
Eng di seberang. Pek Kong sangat terkejut dan heran melihat perkelahian itu,
akan tetapi dia tak mau lancang melerai dan membiarkan saja perkelahian itu
sambil bersiap-siap untuk membantu puteranya kalau perlu.
Pertempuran
itu memang berjalan dengan sangat serunya. Sesudah mendapat kenyataan bahwa
dengan merubah diri menjadi kecil yang diturut pula oleh Hay Hay namun dia
tidak mampu mendesak pemuda yang menjadi lawannya, Han Siong merubah dirinya
menjadi seekor harimau besar yang mengaum-ngaum sambil mencakar-cakar. Dan
hebatnya, Hay Hay juga mengubah diri menjadi seekor harimau yang sama besarnya.
Kedua binatang itu lantas bertarung dengan hebatnya, menggetarkan jantung para
penonton yang memenuhi tempat itu.
Berulang
kali Han Siong mengubah diri menjadi naga, menjadi rajawali, bahkan menjadi
beruang, namun selalu Hay Hay dapat mengembari dan menyainginya, dan akhirnya
Han Siong terpaksa mengubah dirinya menjadi normal kembali. Hal ini segera
diikuti oleh Hay Hay, kemudian kedua orang muda yang sama gagah dan sama perkasanya
itu bertempur kembali! Suling dan pedang sudah ratusan kali beradu sambil
memercikkan bara api yang menyilaukan mata.
"Aih,
kalau dilanjutkan tentu salah seorang di antara mereka akan celaka...,"
bisik Hui Lian di dekat telinga suaminya, Su Kiat.
"Kurasa
tidak," bisik Su Kiat kembali. "Lihat, mereka itu seperti orang yang
berlatih saja. Tampaknya keduanya sangat berhati-hati agar jangan sampai
mencelakai lawan. Hemm, benar-benar membuat hatiku kagum bukan main. Mereka
adalah dua orang pemuda yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan."
Kui Hong
yang berdiri seorang diri menonton dengan jantung berdebar. Melihat Hay Hay,
teringatlah dara ini tentang pengalamannya yang mesra dengan pemuda itu. Kini,
melihat Hay Hay berkelahi menemukan lawan yang demikian tangguhnya, diam-diam
dia merasa khawatir. Memang ada kalanya dia merasa benci sekali terhadap Hay
Hay yang dianggap sudah mempermainkan dirinya, telah menolak cintanya. Akan
tetapi harus diakuinya pula bahwa dia masih mencinta pemuda itu!
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. "Engkau harus mati...!"
Nampak Ling
Ling meloncat ke medan pertempuran itu, menggunakan sebatang pedang menerjang
dengan nekat, lalu menyerang Hay Hay! Tentu saja Hay Hay merasa terkejut sekali
dan cepat dia mengelak. Pek Han Siong juga terkejut. Dia tidak menghendaki ada
orang lain mencampuri perkelahiannya dengan Hay Hay, akan tetapi dia pun tidak
dapat mencegah gadis ini.
"Engkau
harus mati...!" Kembali Ling Ling berseru sambil menyerang dengan
dahsyatnya.
Hay Hay
merasa betapa perasaan hatinya sangat tertusuk. Dia tahu mengapa Ling Ling
menyerangnya. Gadis itu masih menganggap bahwa dialah yang telah memperkosa
gadis itu! Perasaan tertusuk ini membuat dia menjadi lengah, apa lagi karena
sulingnya masih terus dipergunakan melindungi dirinya dari desakan Han Siong.
Karena itu serangan Ling Ling agak terlambat dielakkan dan bahu kirinya
tergurat pedang sehingga bajunya robek berikut kulitnya dan darah membasahi
bajunya.
Pek Han
Siong sudah mengenal Ling Ling dan tidak tahu mengapa gadis itu menyerang Hay
Hay. Akan tetapi karena dia sendiri merasa cukup kewalahan menghadapi Hay Hay,
maka dia segera mendesak dengan tusukan pedangnya ketika melihat pemuda
lawannya yang amat tangguh itu terluka.
"Tranggg...!"
Hay Hay
menangkis, lantas melompat menjauhi Ling Ling yang marah itu. Kembali terjadi
pertarungan sengit antara Hay Hay melawan Han Siong. Ling Ling juga sudah siap
untuk menyerang lagi dan mengeroyok Hay Hay.
"Ling
Ling, jangan...!" Tiba-tiba Kui Hong melompat ke depan, lalu dia memegang
lengan kiri Ling Ling dan menariknya mundur dari medan pertempuran.
Ling Ling
membalikkan tubuhnya dan dia pun langsung menangis sesudah melihat bahwa yang
menariknya adalah Kui Hong. Kui Hong terkejut dan merangkul Ling Ling.
"Ehhh,
Ling Ling, engkau kenapakah...?" bisiknya, semakin heran melihat keadaan
gadis itu.
"Bibi
Kui Hong...!" Ling Ling mengeluh dan tangisnya semakin sesenggukan.
Semenjak
mala petaka yang menimpa dirinya itu, Ling Ling telah menderita tekanan batin
yang hebat namun dia selalu menahan dan menyembunyikannya, tak mau menceritakan
kepada siapa pun juga. Sekarang, ketika bertemu Kui Hong yang masih terhitung
bibinya sendiri dan dengan siapa dia telah menjalin persahabatan yang akrab
ketika dia berada di Cin-ling-pai, kesedihannya mengalir bersama air mata
seperti lepas dari bendungannya.
"Ling
Ling, kenapa engkau ingin membunuh dia?" bisik Kui Hong.
Ling Ling
dapat menguasai dirinya setelah mengalirkan banyak air mata, dan ketika masih
di dalam rangkulan Kui Hong, dia pun berbisik dengan hati hancur, "Bibi
Hong, dia... dia adalah jai-hwa-cat yang jahat... dia harus mati di tanganku...
dia... telah memperkosa aku, menotok aku selagi tidur kemudian
memperkosaku..."
Kui Hong
mendorong tubuh Ling Ling saking kagetnya, wajahnya pucat dan dua matanya
terbelalak. Kemudian dia menoleh ke arah perkelahian yang masih berlangsung
seru itu, mukanya perlahan-lahan berubah merah sekali dan sepasang matanya yang
amat jeli itu mengeluarkan sinar berapi. Kemudian, tiba-tiba saja dia berkata
kepada Ling Ling. "Kalau begitu akulah yang akan membunuhnya!"
Kui Hong
segera mencabut Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang yang berwarna hitam itu,
lalu menerjang ke medan perkelahian, menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali.
Hay Hay
terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang. "Kui Hong, kau...
kau...!"
Akan tetapi
gadis itu sudah menyerang lagi sehingga Hay Hay kembali mengelak dengan
loncatan ke samping.
"Engkau
manusia busuk dan jahat, engkau harus mati di tanganku!" bentak Kui Hong.
Terpaksa Hay
Hay cepat memutar sulingnya untuk melindungi diri sebab Han Siong yang tadinya
merasa bingung dan ragu ketika melihat munculnya seorang gadis lain yang lebih
lihai menyerang Hay Hay, kini sudah maju lagi menggerakkan pedang pusakanya.
Melihat Kui
Hong menyerang Hay Hay, Ling Ling lalu meloncat maju dan dia pun cepat
menyerang. Sekarang Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang dan karena dia sama
sekali tak ingin merobohkan atau melukai seorang pun di antara mereka bertiga,
maka dia hanya mencurahkan semua tenaga serta kepandaiannya untuk menjaga dan
melindungi dirinya. Hal ini membuat dia makin terdesak hebat sehingga kembali
dia terluka oleh serempetan pedang hitam di tangan kiri Kui Hong yang mengenai
paha kanannya sehingga celananya robek berdarah.
"Heiii!
Jangan main keroyokan...!" Hui Lian berteriak dan meloncat ke depan,
hatinya tidak tega melihat betapa Hay Hay dikeroyok oleh ketiga orang itu, dan
dia pun merasa sangat heran mengapa gadis-gadis she Cia itu kini ikut pula
menyerang Hay Hay.
Akan tetapi
suaminya segera memegang lengannya dan berbisik, "Sebaiknya kalau kita
tidak mencampuri karena kita tidak tahu perkaranya." Hui Lian menghentikan
gerakannya, akan tetapi matanya masih memandang ke arah perkelahian itu dengan
cemas.
"Bunuh
jai-hwa-cat itu!" Terdengar teriakan-teriakan dan nampaklah Tiong Gi
Cinjin diikuti oleh Bu-tong Liok-eng berlompatan maju, lantas mengepung
perkelahian dan mengeroyok Hay Hay.
Tentu saja
hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin repot. Betapa pun lihainya, yang mengeroyoknya
adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka kembali dia
menerima tusukan dan bacokan yang biar pun telah dilawan dengan kekebalan,
tetap saja melukai kulitnya dan membuat luka-luka kecil yang mengeluarkan
darah.
Sementara itu
pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak sudah selesai.
Sisa para pemberontak menyerah dan menjadi tawanan. Ada pun para pendekar dan
perwira kini telah menjadi penonton perkelahian antara Hay Hay yang dikeroyok
oleh puluhan orang lihai itu.
Untung bagi
Hay Hay bahwa kini Han Siong tidak mendesaknya lagi. Pemuda itu merasa rikuh
harus mengeroyok seperti itu, akan tetapi dia semakin penasaran karena dari
sikap para pengeroyok, jelaslah bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda jai-hwa-cat
yang amat jahat.
Selagi Hay
Hay terdesak hebat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang
perwira, "Atas nama Cang-taijin, harap perkelahian segera
dihentikan!"
Memang tugas
perwira ini adalah menjadi juru bicara sehingga telah biasa mengeluarkan
bentakan nyaring. Sesudah para pengeroyok melihat bahwa yang muncul adalah
Menteri Cang, dengan sikapnya yang halus ramah namun penuh wibawa, mereka
merasa tidak enak hati dan segera berlompatan mundur walau pun masih dalam
keadaan mengepung Hay Hay.
Hay Hay
sendiri kini berdiri lemas dengan tubuh penuh luka-luka yang walau pun tidak
berbahaya namun membuat pakaiannya berlepotan darah. Dia menundukkan wajahnya
dan diam-diam bersyukur bahwa Menteri Cang datang melerai, karena kalau tidak,
entah sampai kapan dia mampu bertahan sebelum akhirnya pasti akan roboh binasa
di bawah senjata para pengeroyoknya.
Sesudah
memandang kepada mereka yang berkelahi itu satu demi satu, dan diam-diam
terkejut melihat bahwa yang terlibat di dalam perkelahian itu adalah
pendekar-pendekar pilihan, Menteri Cang lalu berkata.
"Cu-wi
Enghiong (Para Orang Gagah Sekalian), sesudah kita semua berhasil menumpas para
pemberontak, mengapa di antara Cu-wi malah terjadi perkelahian sendiri?
Bukankah kemenangan kita seharusnya mendatangkan kegembiraan dan bukan
perkelahian antara teman sendiri? Apakah yang telah terjadi?"
Hay Hay
adalah seorang pemuda yang berpandangan luas lagi pula bijaksana. Otaknya
bekerja dengan cepatnya. Dia tahu bahwa perkelahian itu menyangkut soal kehormatan
dua orang gadis yang tentu saja tidak mungkin diumumkan. Bila dia menceritakan
sebab perkelahian itu, berarti akan melempar aib kepada Ling Ling dan Pek Eng,
mencemarkan nama baik dua orang gadis yang tertimpa mala petaka itu. Tidak, dia
harus mencegah hal itu terjadi.
Karena itu,
ketika mendengar pertanyaan Menteri Cang dan sebelum ada orang lain yang
mendahuluinya, dia sudah cepat maju memberi hormat kepada menteri itu. Menteri
Cang memandang kepadanya penuh selidik. Dari para penyelidiknya, pembesar ini
mendengar bahwa Hay Hay merupakan salah seorang di antara para pendekar yang
tadi mengamuk mati-matian membantu pasukan pemerintah, bahkan pemuda ini yang
sudah menempur Sim Ki Liong, tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai itu.
"Harap
Taijin sudi memaafkan kami. Sebenarnya perkelahian ini hanyalah urusan pribadi.
Mereka semuanya menuduh bahwa hamba adalah seorang penjahat, seorang
jai-hwa-cat yang jahat dan keji. Karena hal itu tidak benar, maka hamba
menyangkal dan mereka lalu menyerang hamba sehingga terjadilah perkelahian
itu."
Lega rasa
hati Ling Ling dan Pek Eng yang tadinya sudah pucat dan cemas kalau-kalau aib
yang menimpa diri mereka akan dibicarakan di tempat umum seperti itu.
"Bohong,
Taijin! Dia memang benar jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Kami melihat
buktinya, dan anak murid kami yang sudah menjadi korbannya!" terdengar
Tiong Gi Cinjin dari Bu-tong-pai berseru marah. "Sebab itu pinto harus
membunuhnya!" Saking marahnya kakek ini sudah menggerakkan tongkatnya dan
menghantam dengan sepenuh tenaga ke arah kepala Hay Hay. Pemuda itu mengangkat
kedua lengannya.
"Dukkk!"
Tongkat itu
tertangkis, kemudian sekali memutar kedua tangannya Hay Hay telah berhasil
merenggut tongkat itu hingga terlepas dari kedua tangan lawan. Demikian cepat
dan kuat gerakannya sehingga Tiong Gi Cinjin tak mampu mempertahankan
tongkatnya lagi. Akan tetapi Hay Hay menyodorkan kembali tongkatnya itu dan
berkata dengan tenang.
"Harap
Totiang suka bersikap jantan dan tenang, dan tidak membuat ribut di depan Cang
Taijin."
Tosu itu
menerima kembali tongkatnya dan mukanya berubah merah karena merasa rikuh
terhadap Menteri Cang.
"Sudahlah,"
kata pembesar itu, "Urusan Cu-wi merupakan urusan pribadi, sebab itu harus
diselesaikan secara pribadi pula. Cu-wi adalah pendekar-pendekar yang sudah
berjasa kepada negara, akan tetapi kalau di sini membuat ribut, berarti
melanggar peraturan dan larangan perintah. Kalau Cu-wi masih berkeras membuat
ribut di sini, maka terpaksa kami akan menggunakan kekuatan kami untuk
menangkap Cu-wi dan untuk diajukan didepan pengadilan untuk menemukan siapa
yang salah. Kami tidak menghendaki hal itu terjadi, maka biarlah kami menjadi
saksi dan Cu-wi selesaikan urusan ini dengan jalan damai di depan kami."
"Taijin,
mohon Paduka suka mempertimbangkan dengan adil," kata pula Tiong Gi
Cinjin. "Seorang anak murid Bu-tong-pai, yakni gadis yang masih muda,
sudah menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu, penjahat jai-hwa-cat yang terkenal
di dunia kang-ouw. Anak murid Bu-tong-pai kami sebar untuk mencari penjahat itu
dan pada suatu hari, murid-murid kami menemukan pemuda ini sedang bermain-main
dengan perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang ditinggalkan pada
mayat murid perempuan kami yang telah dihina dan dibunuhnya. Jelas bahwa dia
ini Ang-hong-cu pemerkosa dan pembunuh murid perempuan kami, oleh karena itu,
bukankah sudah adil dan sepatutnya jika kami hendak membunuh dia? Bukan sekedar
membalas kematian murid kami, juga sekalian melenyapkan seorang penjahat besar
yang mengancam keamanan dunia, terutama kaum wanitanya!"
Menteri Cang
mengangguk-angguk kemudian menoleh kepada Hay Hay, di dalam hatinya kurang
percaya bahwa pemuda gagah ini adalah seorang jai-hwa-cat yang memperkosa dan
membunuh wanita dengan kejam.
"Bagaimana
pembelaanmu terhadap tuduhan ini, orang muda?" tanyanya.
"Taijin,
dengan tegas hamba menyatakan bahwa hamba bukan jai-hwa-cat Ang-hong-cu. Tetapi
kalau satu pihak menuduh dan lain pihak menyangkal maka takkan ada habisnya.
Hamba berjanji kepada Bu-tong-pai bahwa hamba akan mencari jai-hwa-cat
Ang-hong-cu yang sesungguhnya dan kalau perlu menyeretnya ke Bu-tong-pai untuk
mengakui semua kejahatannya itu. Jika hamba tidak berhasil boleh saja
Bu-tong-pai minta pertanggungan jawab hamba. Ang-hong-cu adalah seorang
jai-hwa-cat yang sudah mengganas di dunia kang-ouw semenjak hamba belum lahir,
jadi tak mungkin hamba yang menjadi jai-hwa-cat Ang-hong-cu."
"Enak
saja kau berjanji!" kata seorang di antara Bu-tong Liok-eng. "Apakah
engkau sudah mengenal Ang-hong-cu yang sebenarnya?"
"Aku
tahu siapa adanya dia walau pun aku belum sempat berjumpa dengan Ang-hong-cu
yang memang sedang kucari," jawab Hay Hay.
"Ang-hong-cu
adalah ayah kandungnya!" tiba-tiba terdengar Pek Eng berseru.
Semua orang
amat terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Hui Lian langsung
menutup mulutnya menahan teriakan kaget. Kui Hong dan Ling Ling memandang
dengan mata terbelalak pula. Kini semua orang memandang kepada Hay Hay.
Wajah Hay
Hay nampak pucat sekali ketika sejenak dia mengangkat muka memandang kepada Pek
Eng, lalu cepat menundukkan mukanya yang ternyata berubah merah sekali.
Rahasianya telah dibuka gadis yang merasa penasaran itu. Biarlah, biarlah semua
orang tahu bahwa dia adalah anak jai-hwa-cat. Biarlah dunia tahu bahwa dia
adalah anak haram dari Ang-hong-cu, penjahat cabul yang amat jahat itu.
Kenyataan ini tak perlu ditutupi lagi, tak perlu dirahasiakan lagi karena hal
itu bukanlah kesalahannya.
Dengan
perlahan kini Hay Hay mengangkat mukanya yang telah normal kembali, bahkan
mulutnya tersenyum duka, dan dia pun memandang orang sekelilingnya, lalu
memandang kepada Menteri Cang dan mengangguk.
"Ucapan
tadi memang benar. Aku adalah anak dari seorang wanita yang menjadi korban
kejahatan Ang-hong-cu. Karena itu harap para Enghiong dan Locianpwe dari
Bu-tong-pai menyadari. Dia adalah ayah kandungku, maka aku akan mencarinya
sampai dapat untuk memaksa dia mempertanggung jawabkan perbuatannya, baik
terhadap murid Bu-tong-pai, terhadap mendiang ibuku, atau terhadap semua wanita
yang pernah menjadi korbannya!"
"Siancai...!"
Tiong Gi Cinjin berseru. "Sekarang pinto mengerti dan maafkanlah
kekhilafan kami. Kalau saja semenjak dulu engkau mengatakan hal ini. Ahh, kalau
begitu, perhiasan tawon merah yang berada di tanganmu itu..."
"Itu
adalah perhiasan yang ditinggalkan oleh ibuku untukku, sebagai tanda bahwa
beliau menjadi korban Si Tawon Merah."
"Sekarang
kami merasa puas dan baiklah, kami menerima kesanggupanmu, orang muda yang
gagah. Bu-tong-pai tak akan bertindak apa-apa lagi, hanya akan menunggu sampai
engkau berhasil menangkap Ang-hong-cu." Lalu Tiong Gi Cinjin menoleh
kepada Menteri Cang. "Taijin, kami dari Bu-tong-pai sudah tidak ada urusan
lagi dengan orang muda ini, harap Taijin sudi memaafkan keributan yang kami
lakukan tadi."
Menteri Cang
tersenyum girang, diam-diam dia merasa terharu atas pengakuan Hay Hay tadi.
Seorang pemuda yang gagah perkasa, mengaku sebagai putera kandung yang tidak
sah dari seorang jai-hwa-cat yang dicari-cari para pendekar untuk dibunuh!
"Bagus,
segala urusan bisa diselesaikan dengan musyawarah, asal dilakukan dengan hati
jernih dan kepala dingin. Bagaimana, apakah masih ada orang lain yang memiliki
urusan pribadi dengan Saudara Tang Hay?" tanyanya sambil memandang pada
Han Siong, Ling Ling dan Kui Hong yang tadi mengeroyok Hay Hay.
"Taijin,
perkenankanlah hamba bicara empat mata dengan Saudara Tang Hay," kata Han
Siong yang mulai merasa sangsi dengan keterangan adiknya.
Harus diakuinya
bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat luar biasa, memiliki ilmu sihir
dan silat yang amat tinggi sehingga dia sendiri kewalahan menghadapinya. Biar
pun keturunan jai-hwa-cat, namun sikap Hay Hay tidak menunjukkan bahwa dia
seorang pengecut yang jahat, maka dia hendak membicarakan urusan itu dengan Hay
Hay, tentu saja tanpa didengar orang lain kecuali dia dan Pek Eng.
"Baik
sekali, silakan. Pek-enghiong." kata pembesar itu.
Han Siong
lalu mengajak Hay Hay untuk menyingkir dari situ dan memilih tempat sunyi di
antara pohon-pohon, cukup jauh dari situ. Dia pun memberi isyarat kepada
adiknya untuk ikut dan kini mereka bertiga berdiri saling berhadapan di bawah
pohon, dapat terlihat oleh Menteri Cang akan tetapi semua yang mereka bicarakan
tidak dapat terdengar.
"Saudara
Tang Hay, sekarang aku minta pengakuanmu tentang..."
"Aku
sudah tahu, Saudara Pek Han Siong," Hay Hay memotong. "Adik Eng
sendiri sudah pernah menyerangku mati-matian."
"Apakah
engkau tetap akan bersikap demikian pengecut untuk menyangkal perbuatanmu
terhadap adikku?"
Hay Hay
tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Entah mengapa, agaknya Tuhan
telah menakdirkan bahwa semenjak lahir hingga sekarang hidupku selalu menjadi
korban keadaan. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang menjadi korban perkosaan
kemudian mati membunuh diri, lalu dijadikan penggantimu, seorang Sin-tong
sehingga aku diperebutkan seperti sebuah benda pusaka! Kemudian setelah dewasa,
aku dijadikan korban fitnah dari sana-sini. Sungguh mati, Saudara Pek Han
Siong, bukan aku yang sudah menodai Adik Eng..."
"Hay-ko,
begitu kejamkah hatimu untuk tetap menyangkal? Jangan kira bahwa aku begitu
kejam dan tak tahu malu untuk menjatuhkan fitnah kepadamu, Hay-ko. Karena
engkaulah orangnya yang melakukan, maka tentu saja aku minta pertanggungan
jawabmu, sebagai seorang jantan, sebagai seorang pendekar gagah! Hay-ko, begitu
kejamkah hatimu untuk menghancurkan perasaan dan kehormatanku?" Pek Eng
menangis.
Hay Hay menarik
napas panjang dan memandang kepada Han Siong. "Saudara Pek Han Siong,
bolehkah aku menggunakan kekuatan batin untuk memaksa adikmu mengucapkan
pengakuan yang sebenarnya akan apa yang sudah menimpa dirinya? Agar dia
menjawab semua pertanyaanku dengan sepenuh hati dan sejujurnya? Ataukah engkau
yang hendak mempergunakan kekuatan batin itu atas dirinya?"
Han Siong
mengerti apa yang dimaksudkan Hay Hay dan dia pun mengangguk. Dia mulai
meragukan apakah benar Hay Hay telah melakukan perbuatan itu lalu menyangkal
secara pengecut. Melihat sikapnya, agaknya Hay Hay bukan seorang pengecut.
"Baik,
lakukanlah," katanya lirih.
Han Siong
segera memasang perhatian sepenuhnya untuk mengamati supaya Hay Hay tidak
menyalah gunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi jawaban Pek Eng. Sementara
itu Hay Hay lalu berkata, suaranya berpengaruh dan menggetar.
"Eng-moi,
kau pandanglah mataku kemudian jawablah sejujurnya apa yang kutanyakan
kepadamu!"
Pek Eng
mengangkat muka memandang. Dia terkejut bertemu pandang dengan sepasang mata
yang mengeluarkan sinar mencorong itu akan tetapi sia-sia belaka untuk membuang
pandang mata atau mengelak karena dia tak mampu lagi melepaskan pandang matanya
yang sudah bertaut dan melekat dengan pandang mata Hay Hay.
"Eng-moi,
katakanlah sejujurnya, siapakah yang malam itu memasuki pondok taman dan
menggaulimu?"
Sambil
memandang wajah Hay Hay dengan mata yang tidak pernah berkedip, Pek Eng lalu
menjawab, suaranya datar, "Dia adalah Hay-ko."
Jawaban ini
sudah diduga oleh Hay Hay, maka dia tidak merasa terpukul. Dia tahu bahwa Pek
Eng tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar merasa yakin bahwa orang yang
menggaulinya itu adalah dia. Dia harus dapat mengorek rahasia ini, tanda-tanda
pada pria itu yang akan dapat memberikan jejak kepadanya.
"Eng-moi,
pada waktu laki-laki itu memasuki pondok, bagaimana cuaca di dalam pondok itu?
Gelap ataukah terang?"
"Gelap..."
"Apakah
engkau dapat melihat wajah laki-laki itu?"
"Tidak..."
"Lalu
bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia adalah Hay-ko?" tanya Hay Hay.
"Sudah
pasti dia. Hay-ko tadinya meninggalkan aku, lalu dia kembali dan aku mengenal
bentuk tubuhnya, juga wajahnya ketika tanganku merabanya."
"Apakah
dia mengeluarkan suara?"
"Tidak..."
Hay Hay
menjadi bingung, lalu berpikir keras. "Apakah tidak ada sesuatu yang khas
pada orang itu, suaranya, tanda sesuatu pada tubuhnya, atau... mungkin bau
badannya?"
Sampai
beberapa detik lamanya Pek Eng tidak menjawab, tetapi kemudian dia berseru,
"Bau badannya... ahh, aku teringat bau badannya, bau harum
cendana..."
Hay Hay
menyudahi pengaruh sihirnya dan Pek Eng merasa seperti orang baru sadar dari
tidur. Hay Hay memandang kepada Pek Han Siong, lantas berkata. "Memang
keterangan Eng-moi tak begitu jelas akan tetapi engkau pasti tahu bahwa aku
tidak berbau cendana, Saudara Pek Han Siong."
Han Siong
mengerutkan alisnya. "Lalu, siapa kiranya orang itu kalau bukan
engkau?"
Hay Hay
menggeleng kepala. "Aku belum tahu, aku belum dapat menduga, akan
tetapi... rasanya bau cendana itu tak asing bagiku. Harap engkau dan Eng-moi
menanti sebentar, biar aku mengambil keputusan apa yang dapat kujanjikan
kepadamu, Saudara Pek. Tapi kalau engkau dan Eng-moi kukuh berkeyakinan bahwa
akulah yang berdosa, nah, silakan kalau hendak membunuhku. Aku tidak akan
melawan, namun kuperingatkan kalian bahwa kalian akan menanggung dosa yang amat
besar karena aku sungguh tidak bersalah!"
Pek Han
Siong adalah seorang pemuda yang cukup bijaksana, dahulu pernah menerima
gemblengan dari para hwesio yang hidup bersih di kuil Siauw-lim-si. Oleh karena
itu dia dapat menangkap kebenaran kata-kata Hay Hay tadi. Maka dia pun
menggandeng tangan adiknya, diajak pergi, kembali ke tempat di mana Menteri
Cang dan para pendekar lainnya masih menunggu, setelah berkata kepada Hay Hay,
"Baik,
kami percaya kepadamu dan kami akan menunggu!"
"Tapi,
Koko...," Pek Eng membantah.
"Sudahlah,
kau percaya saja kepadaku, adikku." kata Han Siong.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment