Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 39
MENDADAK
terdengar suara gerengan aneh dan dahsyat, lalu disusul datangnya angin dari
arah jalan terusan. Mulana cepat memberi isyarat kepada para pembantunya yang
segera mengerjakan tugas yang telah diatur sebelumnya, yaitu dengan golok-golok
tajam mereka menyembelih tiga ekor anjing hitam itu.
Anjing-anjing
itu tak sempat mengeluarkan suara lagi. Darah mengucur dari leher mereka yang
putus, dan segera darah itu ditampung ke dalam ember-ember yang telah
disiapkan.
Sekarang
angin yang menyambar-nyambar menjadi makin dahsyat dan nampaklah asap hitam
bergumpal-gumpal keluar dari dalam jalan terusan, mengerikan sekali. Akan
tetapi Mulana yang sudah siap dengan pakaian pendeta berwarna kuning dan rambut
terurai, kini melangkah maju dengan pedang di tangan kanan.
Dia mencelup
pedang itu ke dalam darah anjing sampai ke gagangnya, lalu mengangkat pedang
itu tinggi-tinggi sambil melangkah maju dan mulutnya berkemak-kemik. Belasan
orang itu mengikutinya dan dengan gayung kecil, mereka itu menciduk darah
anjing lalu memercikkannya ke arah asap hitam yang bergumpal-gumpal. Sungguh
aneh, asap hitam yang bergulung-gulung itu segera lenyap, angin pun berhenti
bertiup dan cuaca menjadi bersih kembali, jalan terusan itu nampak kembali.
Akan tetapi
kini terdengar gerengan yang semakin keras dan dari dalam jalan terusan itu
kembali muncul asap hitam bergumpal-gumpal, lalu dari dalam asap itu muncullah
seekor naga hijau yang menyeramkan. Naga itu besar sekali, sepasang matanya
mencorong dan moncongnya yang terbuka lebar mengeluarkan api menyala-nyala, dua
lubang hidungnya mengeluarkan asap putih yang panas sedangkan kedua cakar depan
dengan kuku-kuku yang mengerikan seperti hendak menubruk ke arah Mulana.
Akan tetapi
Mulana tidak menjadi gentar dan dia pun terus maju dengan pedangnya yang kini
berubah merah oleh darah anjing, sedangkan para pembantunya sibuk memercikkan
darah anjing ke arah asap hitam yang semakin menjalar.
Anak buah
pasukan yang berada di belakang melihat dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Tentu saja mereka merasa nyeri dan takut. Akan tetapi para tokoh pendekar yang
melihat ini, maklum bahwa mereka menghadapi ilmu hitam yang dahsyat, maka
mereka segera mengerahkan sinkang untuk memperkuat batin dan menolak pengaruh
ilmu hitam ini.
Can Sun Hok
dan Cia Ling yang sudah mempunyai tingkat kepandaian yang cukup tinggi, sesudah
mengerahkan sinkang berhasil membuat mata mereka menjadi terang sehingga
bayangan naga yang menyeramkan itu pun menipis walau pun belum lenyap. Mereka
pun tidak dapat berbuat sesuatu menghadapi ilmu hitam seperti ini, dan hanya
percaya bahwa Mulana akan mampu memunahkannya.
Mulana
melangkah maju, lalu pedangnya menyambar menyerang ke arah naga hijau itu,
sedangkan orang-orangnya terus memercikkan darah anjing. Terdengar bunyi
melengking dahsyat kemudian naga hijau itu pun lenyap, asap hitam pun
bergulung-gulung naik dan mundur hingga lenyap. Mulana memberi isyarat kepada
orang-orangnya untuk maju terus, sedangkan pasukan di belakangnya, dengan
didahului oleh para pendekar, juga bergerak maju lagi dan mulai memasuki jalan
terusan.
Kini sunyi
di jalan terusan itu. Dengan hati-hati sekali pasukan yang dipimpin sendiri
oleh Menteri Cang itu memasuki terusan. Karena maklum bahwa mereka memasuki
perangkap yang mengerikan, mau tidak mau jantung pejabat tinggi itu berdebar
penuh ketegangan pula. Dia memandang ke atas, kanan kiri dan merasa seram.
Dinding
bukit itu menjulang tinggi dan kalau ada batu-batu runtuh ke bawah, pasukannya
akan celaka, apa lagi kalau sampai dinding itu diledakkan! Dia hanya
mengharapkan agar mereka yang bertugas merayap ke atas bukit di kanan kiri itu
akan berhasil menyergap dan menggagalkan rencana peledakan dinding bukit.
Akan tetapi
kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh beberapa suara jeritan di sana-sini,
dilakukan oleh anak buah pasukan. Dan Mulana melihat betapa kembali ada asap
hitam bergulung-gulung dan di atas dinding bukit di kanan kiri nampak segala
macam serangga beracun merayap turun. Ular, kalajengking, kelabang dan banyak
lagi macamnya, sangat mengerikan dan juga menjijikkan!
Ia tahu
bahwa semua itu bukanlah binatang-binatang asli, melainkan jadi-jadian hasil
ilmu hitam. Maka dia segera memimpin orang-orangnya untuk memercikkan darah
anjing, ada pun pedangnya yang berlumuran darah anjing hitam itu sudah
mengamuk, membabat ke arah binatang-binatang kecil yang menjijikkan itu. Dan
seperti juga tadi, penglihatan yang mengerikan itu pun lenyap bersama asap
hitam.
Kini semua
pasukan pemerintah itu telah memasuki jalan terusan dan berbareng dengan bunyi
tambur yang dipukul gencar, sekarang dari luar jalan terusan bermunculan
pasukan pemberontak yang menerjang dari belakang. Pada saat itu juga terdengar
sorak-sorai dan pasukan pemberontak yang bersembunyi di dalam, kini pun
bermunculan dan menyerang dari depan. Dengan demikian pasukan induk pemerintah
itu kini tergencet dari depan dan belakang, dan berada di dalam jalan terusan
yang memanjang itu.
Tepat seperti
yang telah diperhitungkan oleh Mulana. Akan tetapi yang membikin pasukan
pemerintah merasa bingung adalah mengepulnya asap hitam yang membuat
penglihatan mereka menjadi gelap, akan tetapi agaknya tidak demikian bagi
pasukan pemberontak.
Jika tidak
ada Mulana, tentu pasukan pemerintah akan celaka bertempur dalam keadaan
seperti itu. Mulana dan para pembantunya sibuk memercikkan darah anjing ke
kanan kiri dan akhirnya, asap hitam yang bergulung-gulung itu pun
perlahan-lahan lenyap sehingga kini mereka dapat bertempur dalam keadaan cuaca
terang karena matahari sudah mulai muncul!
Melihat
betapa pada pihak pemberontak terdapat orang-orang Kui-kok-pang yang mudah
dikenal dengan pakaian mereka yang putih dan gerakan mereka yang ganas dan
dahsyat, Can Sun Hok dan Cia Ling segera terjun dan menerjang mereka,
merobohkan beberapa orang anggota Kui-kok-pang.
Can Sun Hok
segera melihat kepala gerombolan ini, yaitu Kim San yang mudah diketahui dari
keadaan pakaiannya dan kelihaian gerakannya. Can Sun Hok segera menerjang Kim
San yang bertangan kosong. Segera terjadi perkelahian yang amat seru.
Biar pun
bertangan kosong, namun kedua tangan Ketua Kui-kok-pang yang membentuk cakar
itu sangat berbahaya dan mengandung hawa beracun yang jahat. Namun Can Sun Hok
yang memegang suling itu tidak mau memberi kesempatan kepada lawan yang lihai
ini. Dia lalu memutar sulingnya dan memainkan ilmu pedang simpanannya, yaitu
Kwi-ong Kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Iblis) yang amat dahsyat.
Walau pun
dia memainkannya dengan suling, namun keampuhannya tidak kalah dengan pedang,
dan ilmu pedang ini dahulu adalah ciptaan Si Raja Iblis, datuk sakti kaum sesat
itu. Maka, betapa pun lihainya Kim San, menghadapi ilmu pedang ini dia segera
terdesak hebat dan hanya karena bantuan anak buahnya saja dia masih mampu
mempertahankan diri.
Ling Ling
sendiri telah mengamuk pula dan gadis ini biasanya juga bertangan kosong. Dia
telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari ayahnya, maka meski pun dia
bertangan kosong, kedua tangan dan kedua kakinya merupakan senjata-senjata yang
amat ampuh. Dengan gerakan amat lincah laksana seekor burung walet, gadis ini
berloncatan dan menyambar-nyambar ke sana-sini, dan setiap kali tangan atau
kakinya mencuat ke samping atau ke depan, tentu ada seorang anggota pasukan
musuh yang terjungkal roboh.
Sementara itu,
di atas sebatang pohon yang tumbuh di tebing, ada dua orang sejak tadi menonton
pertempuran. Mereka adalah Pek Han Siong dan Cu Bi Lian atau lebih tepat lagi,
Siangkoan Bi Lian walau pun gadis itu sendiri belum tahu akan nama keturunannya
yang sesungguhnya.
Seperti
telah kita ketahui, Han Siong bertemu dengan Bi Lian secara kebetulan sekali.
Pada saat itu Bi Lian sedang dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang
hendak menangkapnya. Hampir saja Bi Lian celaka dan dapat tertangkap akibat
ilmu sihir yang dipergunakan Kulana, akan tetapi tiba-tiba muncul Han Siong
yang menyelamatkan gadis itu dengan kekuatan sihirnya pula.
Kemudian
mereka berkenalan dan saling mengetahui bahwa mereka masih suheng dan sumoi,
walau pun Han Siong belum menceritakan bahwa sumoi-nya itu sesungguhnya adalah
puteri kedua orang gurunya, bahkan juga sudah menjadi calon jodohnya! Mereka
berdua bertemu dengan Mulana dan menjadi tamu orang Birma aneh ini, bahkan
menjadi saksi akan peristiwa mengharukan ketika Yasmina, isteri Mulana,
membunuh diri.
Setelah
meninggalkan Mulana yang kemudian mereka lihat dari jauh membakar istananya
sendiri, Han Siong dan Bi Lian kemudian melakukan penyelidikan ke sarang
gerombolan pemberontak. Bi Lian ingin membalas kematian kedua orang gurunya, yaitu
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, yang mati sampyuh karena saling bertentangan
sendiri ketika Bi Lian dilamar oleh Kulana. Bi Lian menganggap bahwa kematian
kedua orang gurunya adalah akibat ulah Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka dara
ini hendak membalas kepada kedua orang sakti itu.
Ada pun Pek
Han Siong, selain siap menentang gerombolan pemberontak itu, juga ingin mencari
adik kandungnya, Pek Eng, yang menurut Bi Lian kini sedang berada di sarang
gerombolan pemberontak, bahkan telah menjadi murid dan anak angkat Lam-hai
Giam-lo, Bengcu dari gerombolan pemberontak.
Namun
sepasang orang muda perkasa ini mendapat kenyataan betapa kuatnya keadaan di
sarang gerombolan. Bahkan sekarang seribu lebih orang anak buah gerombolan
telah berkumpul, berlatih perang-perangan sehingga sangat berbahayalah kalau
mereka berani memasuki sarang itu. Karena itu mereka hanya melakukan
penyelidikan di luar saja dan menanti kesempatan baik untuk melaksanakan niat
mereka.
Pada pagi
hari itu mereka melihat penyerbuan pasukan pemerintah, kemudian dari tempat
pengintaian itu mereka melihat pula betapa Kulana segera melakukan sambutan
dengan ilmu hitam yang sangat dahsyat, yang membuat Bi Lian merasa terkejut dan
juga ngeri. Melihat hal ini Han Siong lalu berkata,
"Orang
yang bernama Kulana itu memang hebat. Yang dia lakukan itu bukan sekedar ilmu
sihir saja, melainkan ilmu hitam yang menggunakan tenaga gaib dan kotor yang
berasal dari iblis dan setan. Untung bahwa di sana agaknya ada orang yang dapat
memunahkan kekuatan ilmu hitamnya, kalau tidak, tentu pasukan pemerintah akan
celaka."
"Akan
tetapi engkau sendiri bukankah seorang yang mengerti akan ilmu sihir,
Suheng?"
"Benar,
aku pernah mempelajari ilmu sihir. Akan tetapi ilmu sihir hanya dapat digunakan
untuk mempengaruhi pikiran dan panca indera seorang atau beberapa orang lawan
saja. Sebaliknya, ilmu hitam dapat mengeluarkan jadi-jadian yang datangnya dari
alam rendah sehingga dapat mempengaruhi ribuan orang pasukan musuh. Sungguh
berbahaya sekali orang itu."
"Lihat,
Suheng, pertempuran menjadi semakin hebat dan tampaknya pasukan pemerintah yang
berada di tengah-tengah itu kini terdesak karena digencet dari depan dan
belakang. Mereka terjebak ke dalam jalan terusan yang terapit dinding bukit
itu! Mari, Suheng, mari kita bantu pasukan pemerintah! Aku akan turun dan
menyerang Kulana si jahanam itu!"
"Hati-hatilah,
Sumoi. Biar aku menghadapi dia," pesan Han Siong yang merasa khawatir
karena Kulana sungguh terlalu berbahaya bagi Bi Lian.
Mereka
lantas meninggalkan batang pohon itu dan merayap turun melalui tebing lain yang
tidak begitu terjal seperti kedua tebing bukit pada kanan kiri jalan terusan
itu. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dengan cepat mereka bisa turun
ke tempat pertempuran.
Akan tetapi
ketika mereka terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mereka tidak melihat lagi
Kulana yang tadi mereka lihat dari atas batu besar. Karena itu kedua orang muda
ini lalu terjun dan segera mengamuk di antara para anggota gerombolan
pemberontak yang menjadi kocar-kacir karena tidak ada yang mampu menahan kedua
orang muda perkasa ini.
Akan tetapi,
dari pihak pemberontak segera bermunculan orang-orang lihai sekali. Suami
isteri Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sudah cepat melihat
sepak terjang yang hebat dari pemuda dan gadis yang baru muncul itu dan bersama
sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci
Ki, mereka segera menerjang ke dalam pertempuran.
Lam-hai
Siang-mo segera mengeroyok Han Siong, ada pun Si Tangan Maut dan isterinya, Si
Jarum Sakti, atau sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan itu lalu
mengeroyok Bi Lian yang mereka kenal sebagai murid mendiang Pak-kwi-ong dan
Tung-hek-kwi yang amat lihai. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan
mati-matian di antara mereka.
Menteri Cang
yang melihat betapa pasukan pemberontak sudah dikerahkan lalu memberi isyarat
dan terdengarlah suara sorak-sorai disertai suara terompet dan tambur, dan enam
kelompok pasukan yang tadinya mengepung sarang kini bermunculan dari enam
jurusan, semua menuju ke jalan terusan dan dengan demikian maka kini berbalik
pihak pasukan pemberontak yang terkepung dari dalam dan luar!
Sekarang
keadaan menjadi kacau balau dan pertempuran berlangsung semakin seru dan
mati-matian. Kini para pendekar juga sudah bertemu langsung dengan para tokoh
sesat sehingga mereka merupakan kelompok tersendiri yang saling gempur
menggunakan ilmu silat tinggi, dan terjadilah pertempuran yang amat hebat di
luar dan di dalam jalan terusan.
Bagaimana
Can Sun Hok dan Cia Ling dapat muncul di dalam pertempuran itu, padahal mereka bertugas
bersama Cia Kui Hong untuk mencegah peledakan dinding tebing bukit sebelah
kiri? Mari kita tengok apa yang terjadi di kedua puncak tebing itu.
Dengan
diikuti belasan orang anak buah pasukan, Cia Kui Hong, Can Sun Hok serta Cia
Ling mendaki bukit sebelah kiri jalan terusan. Memang tepat seperti yang
diperhitungkan oleh Mulana, mereka melihat gerombolan berjumlah dua belas orang
dikepalai seorang kakek cebol gendut dengan kepala kecil, berkulit hitam, duduk
bergerombol mengelilingi sebuah batu besar.
Melihat ini,
Cia Kui Hong menyuruh teman-temannya supaya bersembunyi dan dia sendiri
mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara batu-batu dan
pohon-pohon, mendekati untuk melakukan pemeriksaan. Untung baginya bahwa
matahari sudah mulai memancarkan sinarnya sehingga dia bisa meneliti dari jarak
agak jauh dan melihat bahwa yang berada di atas batu besar itu adalah benda
seperti tali putih yang dipasang dari atas batu itu terus menuruni tebing.
Tidak salah
lagi, pikirnya, tentu itulah sumbu bahan peledak, siap untuk dinyalakan oleh
gerombolan orang itu setelah terdapat isyarat dari Kulana! Ia dan
kawan-kawannya harus bisa menguasai sumbu itu, jika tidak, pasukan pemerintah
di bawah tentu akan terancam bahaya maut!
Ia segera
menyelinap lagi dan kembali ke tempat teman-temannya bersembunyi. Setelah
merundingkannya dengan Sun Hok dan Ling Ling, mereka bertiga mengambil
keputusan untuk melakukan penyergapan secara tiba-tiba.
"Kalian
menyergap Si Cebol yang agaknya lihai itu, sedangkan pasukan menyerbu dan
menyerang anak buahnya. Aku sendiri akan menguasai sumbu itu dan menjaganya
agar pihak lawan tidak ada yang dapat mendekat!" bisik Kui Hong. Sesudah
mengatur siasat, mereka lalu berindap-indap menghampiri batu yang dikurung oleh
tiga belas orang itu.
Penyergapan
itu dilakukan serentak sehingga Si Cebol yang bukan lain adalah Hek-hiat Mo-ko
dan anak buahnya menjadi terkejut sekali. Apa lagi ketika Hek-hiat Mo-ko
melihat betapa dirinya diserang secara dahsyat oleh seorang pemuda dan seorang
pemudi. Dia mengeluarkan suara mencicit seperti tikus, tubuhnya yang cebol itu
melompat dan terus bergulingan membebaskan diri dari serangan kedua orang muda
yang lihai itu.
Sedangkan
belasan orang anak buahnya juga telah sibuk menghadapi serangan belasan orang
anak buah pasukan pemerintah. Kui Hong sendiri merobohkan dua orang dengan
tamparannya lalu dia pun meloncat ke atas batu besar itu. Dengan gagahnya dia
menjaga sumbu di atas batu, dan untuk penjagaan, dia mengeluarkan sepasang
pedangnya.
Ketika dia
memandang, dengan lega dia mendapat kenyataan betapa Can Sun Hok dan Ling Ling
sudah dapat mendesak kakek cebol itu, bahkan anak buah yang belasan orang
banyaknya itu pun telah menyerbu dan mendesak anak buah gerombolan pemberontak.
Hek-hiat
Mo-ko adalah keturunan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo dan dia juga sudah
mewarisi ilmu sesat yang hebat dari neneknya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Demikian
mendalam dia menguasai ilmu Hek-hiat (Darah Hitam) itu sehingga darah di
tubuhnya benar-benar agak kehitaman!
Dan tentu
saja kedua tangannya sudah dialiri hawa beracun yang menjadi pukulan maut. Dia
lihai dan kejam bukan main, disamping wataknya yang cabul dan jahat. Entah
berapa puluh atau bahkan berapa ratus orang wanita yang sudah menjadi korban
kebiadabannya selama puluhan tahun ini.
Betapa
hebatnya ilmu kepandaian Hek-hiat Mo-ko, namun menghadapi Can Sun Hok dan Cia
Ling, dia seperti mati kutu. Apa lagi harus dikeroyok dua. Baru menghadapi
seorang di antara mereka saja dia belum tentu akan mampu menang, biar pun bagi
Sun Hok atau Ling Ling juga tidak akan demikian mudahnya menundukkan Si Cebol
ini kalau saja harus turun tangan sendiri tanpa bantuan.
Akan tetapi
kini mereka maju bersama. Perkelahian ini bukan urusan pribadi, melainkan
urusan perang, maka dua orang muda perkasa ini pun tidak merasa sungkan untuk
maju bersama mengeroyok Hek-hiat Mo-ko.
Biar pun
Hek-hiat Mo-ko telah mengerahkan seluruh tenaga racunnya dan mengeluarkan semua
ilmu silatnya, namun tetap saja dia terdesak hebat dan akhirnya tidak mampu
lagi membalas, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja. Akhirnya sebuah
tamparan dari tangan kiri Ling Ling menyerempet pelipisnya.
Dia
terjungkir namun cepat melompat bangun lagi, akan tetapi langsung disambut
totokan suling di tangan Sun Hok yang tepat mengenai dada kirinya. Dari
mulutnya keluar suara mencicit nyaring, disusul keluarnya darah hitam dan tubuh
Hek-hiat Mo-ko kini tersungkur.
Akan tetapi
orang ini memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Meski pun totokan tadi
telah mengenai jalan darah yang membawa maut, tetap saja dia masih dapat
bergulingan, hanya arahnya ngawur sehingga dia bergulingan ke tepi tebing dan
tak dapat dihindarkan lagi, tubuhnya tergelincir dan meluncur turun ke bawah
tebing yang amat curam itu dalam keadaan sudah hampir mati!.
Kedua belas
orang anak buah Hek-hiat Mo-ko juga telah roboh semua oleh Sun Hok dan Ling
Ling. Setelah tidak nampak seorang pun lagi musuh di puncak tebing itu, mereka
lalu memandang ke bawah dan melihat pertempuran masih berlangsung.
Melihat
betapa pasukan pemerintah dihimpit dari depan dan belakang, Sun Hok kemudian
berkata, "Ah, di bawah sana telah terjadi pertempuran. Untuk apa kita
menganggur saja di sini? Lebih baik membantu di bawah."
"Akan
tetapi tempat ini harus terus kita jaga agar jangan sampai ada musuh yang dapat
meledakkan tebing," bantah Ling Ling.
"Kalian
berdua turunlah dan bantulah menggempur gerombolan pemberontak. Biarlah aku dan
pasukan ini yang berjaga di sini!" kata Kui Hong yang juga melihat betapa
tidak ada gunanya mereka bertiga menganggur di tempat itu.
Demikianlah,
mendengar kesanggupan Kui Hong untuk menjaga sumbu bahan peledak di situ, Ling
Ling dan Sun Hok cepat menuruni tebing kemudian mereka ikut pula bertempur
membantu pasukan pemerintah, menerjang Kui-kok-pangcu Kim San dan anak buahnya.
Keadaan pada
puncak tebing sebelah kanan juga tidak banyak bedanya dengan apa yang terjadi
di puncak tebing sebelah kiri. Pasukan belasan orang yang mendaki puncak tebing
sebelah kanan dipimpin oleh suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian, yaitu
pasangan suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu.
Ada pun
tokoh sesat yang diberi tugas untuk memimpin belasan orang meledakkan tebing
kanan ini apa bila ada isyarat dari Kulana bukan lain adalah Min-san Mo-ko,
bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai ilmu pedang dan ilmu sihirnya itu. Karena
usianya sudah enam puluh lebih, Min-san Mo-ko tidak begitu bernafsu untuk ikut
bertempur dalam peperangan, maka dia memilih untuk menjaga sumbu bahan peledak yang
dipasang di puncak tebing sebelah kanan. Dia sudah siap untuk meledakkannya,
dengan menyulut sumbunya begitu menerima isyarat dari Kulana.
Diam-diam
dia merasa gembira sekali karena dia akan dapat menonton kalau nanti tebing itu
runtuh menimpa pasukan pemerintah sehingga akan terkubur hidup-hidup! Akan
tetapi dia harus menanti isyarat dari Kulana lebih dulu. Karena kalau tidak,
mungkin yang akan terkubur hidup-hidup oleh ledakan tebing itu justru pasukan
kawan sendiri.
Tiba-tiba
saja muncul belasan orang prajurit pemerintah yang mendaki puncak tebing itu.
Melihat belasan orang prajurit musuh ini, Min-san Mo-ko langsung tertawa dan
suaranya melengking tinggi ketika dia berkata, "Ha-ha-ha-ha, hayo bunuh
bebeberapa ekor cacing busuk itu!"
Dia terlalu
memandang rendah kepada belasan orang prajurit musuh yang disangkanya secara
kebetulan saja naik ke puncak ini. Akan tetapi pada saat itu muncullah Kok Hui
Lian yang bergerak cepat, dengan gerakan indah sekali telah menampar roboh dua
orang prajurit pemberontak.
Melihat
munculnya seorang wanita muda yang demikian cantiknya, juga gerakannya amat
cepat sehingga dengan mudahnya dapat merobohkan dua orang anak buahnya, Min-san
Mo-ko amat terkejut akan tetapi juga gembira sekali. Wanita itu cantik menarik.
"Ha-ha-ha,
kebetulan sekali. Aku sedang kesepian dan kini engkau datang menemaniku,
manis!" kata Min-san Mo-ko yang biar pun sudah berusia enam puluh tahun
lebih namun masih amat mata keranjang itu.
Dia
memandang ringan wanita cantik itu, maka sekali meloncat dia sudah meninggalkan
benda yang dijaganya sejak tadi, yaitu ujung sumbu bahan peledak yang
menghubungkan sumbu dengan bahan peledak yang ditanam di bawah puncak tebing.
Ujung sumbu itu ditindih beberapa buah batu dan nampak mencuat putih. Dengan
kedua tangannya yang panjang dan kurus Min-san Mo-ko menubruk dari belakang
untuk menangkap Hui Lian.
Namun sekali
ini orang yang kurus pucat tetapi lihai ini kecelik bukan main. Tubuh wanita
cantik yang ditubruknya dari belakang itu mendadak berputar di atas tumit kiri,
kemudian kaki kanannya telah mengirim tendangan yang sangat cepatnya, demikian
cepat sehingga orang selihai Min-san Mo-ko sampai tidak sempat mengelak atau
menangkis lagi. Tentu saja hal ini dapat terjadi terutama sekali karena Min-san
Mo-ko memandang lawan terlalu ringan.
"Dukkk...!"
"Ihhhhhh...!"
Min-san Mo-ko mengeluarkan suara melengking nyaring, kemudian tubuhnya
terhuyung ke belakang, matanya terbelalak dan dia mulai marah sekali. Tak
disangkanya bahwa dia akan terkena tendangan pada dadanya, dan tendangan itu
membuat dadanya terasa agak nyeri.
"Perempuan
setan, kiranya engkau mempunyai kepandaian juga? Kalau begitu bersiaplah untuk
mampus!" Min-san Mo-ko mencabut pedangnya, dengan sekali melompat dia
sudah berada di depan Hui Lian dan tiba-tiba dia menudingkan pedangnya pada
wajah Hui Lian sambil mengeluarkan suara lengking panjang disusul kata-kata
yang nyaring melengking dan berpengaruh.
"Perempuan
muda, berlutut dan menyerahlah engkau!" Dia mengerahkan sihirnya sambil
menggerak-gerakkan pedangnya, kedua matanya mencorong aneh dan menyeramkan.
Hui Lian
tidak menyangka bahwa dia akan diserang dengan ilmu sihir, maka tiba-tiba saja
dia menekuk lututnya. Hal ini terjadi di luar kehendaknya, maka dia pun kaget
sekali dan sambil meloncat ke atas dia mengeluarkan bentakan nyaring sambil
mengerahkan tenaga saktinya dan seketika buyarlah kekuatan sihir yang tadi
hampir mempengaruhi. Hui Lian menjadi marah sekali dan sepasang matanya
berkilat ketika memandang wajah Min-san Mo-ko.
"Iblis
busuk, ilmu iblismu itu tidak ada artinya bagiku!" dan kini wanita perkasa
ini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Entah kapan dia
mengeluarkan pedang itu, tahu-tahu sudah berada di tangannya. Itulah pedang
Kiok-hwa-kiam peninggalan orang sakti yang dia temukan di dalam goa di tebing
curam.
Min-san
Mo-ko tidak berani main-main lagi, sama sekali tidak berani memandang rendah.
Bahkan dia terkejut bukan main melihat betapa wanita cantik itu mampu
membuyarkan kekuatan sihirnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan lawan
yang tangguh, maka melihat lawan memegang pedang, tanpa banyak cakap lagi dia
pun mencabut pedangnya dan mendahului lawan menyerang dengan pedangnya.
Gerakannya cepat dan kuat sekali.
Min-san
Mo-ko memang terkenal sebagai seorang ahli pedang yang mempunyai banyak macam
ilmu pedang yang bermutu tinggi. Sekarang begitu dia memutar pedang, senjata
itu segera lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar putih yang
panjang dan menyambar-nyambar.
Melihat ini,
Hui Lian pun tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang yang sangat lihai,
maka dia pun memutar Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dan segera mainkan
Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan), yaitu satu di antara
ilmu yang dipelajarinya bersama suaminya di dalam goa tebing. Ilmu pedang ini
adalah peninggalan mendiang In Liong Nio-nio, seorang di antara tokoh sakti
Delapan Dewa.
Begitu dia
memutar pedang, terdengar suara mengaung panjang dan terkejutlah Min-san Mo-ko
karena gulungan sinar pedangnya segera tertekan dan terdesak oleh ilmu pedang
yang aneh dan belum pernah dilihatnya itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan
semua kepandaiannya untuk mengimbangi permainan pedang lawan, tetapi percuma
saja karena gulungan sinar pedang di tangan wanita sakti itu ternyata jauh
lebih kuat. Dia terdesak hebat sehingga harus mundur terus.
Sementara
itu belasan orang anggota pasukan yang dikepalai Min-san Mo-ko tentu saja bukan
lawan Ciang Su Kiat, sebab itu sebentar saja pendekar lengan buntung ini dengan
mudah merobohkan mereka semua, menendangi mereka hingga tubuh mereka terlempar
ke bawah tebing. Setelah membasmi belasan orang itu, Su Kiat menoleh ke arah
isterinya dan dia tidak merasa khawatir karena isterinya kelihatan mendesak
Min-san Mo-ko.
Akan tetapi
pada saat itu pula, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja muncul seorang
lelaki yang berusia empat puluh lebih bertubuh sedang dengan wajah anggun
berwibawa, mengenakan jubah seperti pendeta, dengan rambut riap-riapan dan
sebatang pedang di tangan, telah berdiri dekat sumbu yang tadi dijaga oleh
Min-san Mo-ko dan anak buahnya.
Ciang Su
Kiat memandang kaget, bahkan lebih terkejut lagi sesudah melihat laki-laki itu
mengeluarkan sebuah benda dari saku jubahnya dan tiba-tiba benda itu bernyala
lalu dia membuat gerakan untuk membakar sumbu bahan peledak itu!
"Tahan...!"
Su Kiat membentak dan dengan ringan sekali, seperti seekor burung rajawali
terbang menyambar, tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu lantas lengan
kanannya yang utuh sudah menusuk dengan jari tangan terbuka ke arah dada.
Serangannya
ini cepat bukan main, juga mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara
mencicit sehingga pria itu terkejut sekali. Dia cepat-cepat menyimpan kembali
alat pembakar yang sudah padam lagi itu, dan sambil meloncat ke samping untuk
mengelak, pedangnya cepat menyambar untuk membacok leher lawan yang
menyerangnya sambil meluncur seperti terbang.
"Wuuuuuttt...!
Takkk...!"
Kulana,
laki-laki itu, terkejut bukan main karena lawannya yang hanya berlengan sebelah
itu sudah mampu menangkis pedangnya dengan ujung baju lengan kirinya yang
buntung. Begitu bertemu pedang, ujung lengan baju itu menjadi keras bagaikan
tongkat baja! Hal ini menunjukkan bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang
amat hebat!
Benar-benar
seorang lawan yang tangguh, pikirnya, apa lagi ketika tadi dia melihat betapa
Min-san Mo-ko juga terdesak hebat oleh seorang wanita cantik. Akan tetapi,
Kulana yang naik ke situ untuk meledakkan tebing tanpa mempedulikan bahwa
pasukan pemberontak masih berada di atas jalan terusan dan akan menjadi korban
pula kalau tebing runtuh, kini tidak merasa gentar dan masih mengandalkan ilmu
hitamnya.
Ciang Su
Kiat yang maklum betapa berbahayanya apa bila sumbu itu sempat dinyalakan,
sudah cepat-cepat meloncat ke dekat sumbu dan melindunginya, kedua matanya
dengan tajam menatap ke arah laki-laki berambut riap-riapan yang berpakaian
jubah pendeta itu, menduga-duga siapa adanya orang aneh itu. Dia sama sekali
tak menduga bahwa orang ini adalah Kulana, pemimpin yang sesungguhnya dari
pemberontakani.
Kulana
maklum bahwa Si Lengan Buntung itu lihai sekali, maka cepat dia mengelebatkan
pedangnya lantas berkemak-kemik membaca mantera dan berkata dengan suara
lantang yang berlogat asing. "Hemmm, orang berlengan satu, betapa pun
lihainya engkau, mana mungkin dapat melawan aku? Lihat, engkau hanya seorang
diri, sedangkan aku berlima!"
Su Kiat
membelalakkan kedua matanya ketika melihat bahwa kini orang itu benar-benar
telah berubah menjadi lima orang! Lima orang kembar yang menyeringai dan
memandang kepadanya dengan mata mencorong beringas. Dia menganggap hal ini
mustahil dan tahu bahwa ini tentulah permainan sihir, maka dia pun mengerahkan
sinkang-nya kemudian membentak nyaring untuk membuyarkan kekuatan sihir lawan.
Namun
kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana jauh berbeda dibandingkan dengan ilmu
sihir yang dikuasai Min-san Mo-ko. Dengan pengerahan tenaga batin maka kekuatan
sihir Min-san Mo-ko dapat dibuyarkan oleh Hui Lian, akan tetapi sihir dari
Kulana adalah ilmu hitam yang jahat dan mengandung kekuatan roh jahat atau
setan yang menyeramkan.
Sedangkan
Ciang Su Kiat, betapa pun lihai ilmu silatnya, tidak pernah mempelajari ilmu
sihir, maka pengerahan tenaga sinkang-nya tidak mampu membuyarkan ilmu sihir
Kulana dan matanya masih tetap melihat betapa kelima orang lawan yang kembar
itu kini mulai mengepungnya!
"Iblis
busuk, aku tak akan gentar menghadapimu meski engkau menjadi seratus!" Su
Kiat membentak dan laki-laki tinggi besar ini berdiri dengan gagahnya di atas
tempat di mana terdapat sumbu yang dijaganya itu. Bagaimana pun juga dia akan
melindungi sumbu itu agar jangan sampai dibakar musuh.
Ketika
melihat lima orang kembar itu mulai menggerakkan pedang menyerangnya dengan
kepungan, dia pun memutar lengan kirinya yang buntung sehingga ujung lengan
baju itu membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya! Tangan kanannya
juga melakukan tamparan dan pukulan ke kanan kiri, dibantu oleh kedua kakinya.
Bagaimana
pun juga, tentu saja dia menjadi repot dikeroyok lima orang kembar itu, yang
semuanya amat lihai. Setelah mempertahankan diri selama dua puluh jurus lebih,
tiba-tiba ujung lengan baju kirinya itu terbabat pedang sehingga putus! Hal ini
dapat terjadi karena pada detik itu, untuk menghimpun hawa segar, dia
melepaskan pengerahan sinkang-nya. Hanya sedetik dua detik saja, akan tetapi
sudah cukup bagi Kulana yang pandai untuk mempergunakan kesempatan itu membabat
putus ujung lengan baju yang ampuh itu.
Setelah
ujung lengan baju yang dipergunakan sebagai senjata dan perisai itu putus,
tentu saja Su Kiat menjadi makin repot. Lawannya amat lihai, dengan ilmu pedang
yang aneh, dengan tenaga sakti yang amat kuat, ditambah lawannya berubah
menjadi lima orang. Tentu saja Su Kiat terdesak hebat dan dengan mati-matian
dia bertahan untuk menjaga agar sumbu itu tidak sampai dinyalakan lawan.
Pada saat
itu nampak sebatang pedang yang merah karena berlepotan darah, meluncur dan
menangkis pedang di tangan Kulana.
"Tringgg...!"
Bunga api
berpijar dan mata Su Kiat terbelalak. Yang muncul adalah orang yang serupa
benar dengan penyerangnya. Dan aneh sekali, lawan yang tadinya berubah menjadi
lima orang itu kini telah kembali menjadi seorang saja. Dan sekarang dua orang
itu telah saling berhadapan, dua orang yang serupa benar baik wajah mau pun
bentuk badannya, yang berbeda hanya warna jubah mereka.
Orang
pertama berjubah putih, sedangkan orang ke dua berjubah kuning. Orang pertama
memegang pedang putih, sedangkan orang ke dua memegang pedang yang berlepotan
darah merah!
Orang ke dua
itu bukan lain adalah Mulana! Karena pedangnya berlepotan darah anjing,
ditambah lagi dengan ilmunya memunahkan sihir, maka kekuatan sihir Kulana tadi
sudah buyar dan dia pun nampak hanya satu orang saja, bukan lima seperti tadi.
Dan marahlah Kulana ketika dia melihat saudara kembarnya.
"Ahh,
bangsat keparat! Kiranya engkau Mulana? Engkau berani mengkhianati saudaramu
sendiri dan membantu musuh?"
"Kulana,
justru engkaulah yang telah menyeleweng! Engkau menganggap aku musuh dan engkau
hendak menimbulkan pemberontakan, malah kini hendak meledakkan tebing, tak
peduli siapa yang berada di bawah sana. Engkau jahat, Kulana, aihhh, engkau
jahat dan terpaksa aku harus menantangmu!"
"Huh,
pantas! Pantas saja tadi semua ilmu sihirku buyar, dan di kedua puncak tebing
ini datang musuh menyerang. Tentu karena ulahmu, Mulana!"
"Memang
benar, Kulana. Kini lebih baik engkau segera mengakhiri petualanganmu yang
jahat ini dan marilah kita berdua pergi, kembali ke selatan. Marilah, Kulana,
aku saudara kembarmu, aku mengingatkanmu sebelum semuanya terlambat..."
"Engkaulah
yang terlambat, Mulana, sebab sekarang sudah pasti aku akan membunuhmu dengan
pedangku ini!" Setelah berkata demikian, Kulana menerjang dengan
pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat yang amat kuat dan cepat. Mulana
melompat ke samping sambil menangkis dengan pedangnya yang berlepotan darah
anjing.
"Tringgg...!
Tranggg...! Cringgg...!" Kembali nampak bunga api berpijar-pijar
menyilaukan mata dan kedua orang ini sudah saling terjang dengan hebatnya.
Melihat ini
Ciang Su Kiat tertegun. Munculnya Mulana tadi membuat dia bingung. Dia tak
mengenal kedua orang itu akan tetapi dari percakapan mereka, biar pun dilakukan
dalam bahasa Birma yang hanya dimengerti sedikit, dia dapat menduga bahwa
mereka adalah dua orang saudara kembar yang kini saling bermusuhan.
Melihat
betapa orang pertama yang kini diketahuinya bernama Kulana itu membantu para
pemberontak, maka tentulah orang kedua yang bernama Mulana itu membantu pasukan
pemerintah. Akan tetapi dia masih merasa ragu untuk turun tangan membantu. Apa
lagi melihat betapa mereka adalah dua orang saudara kembar yang demikian mirip
sehingga sukar membedakan antara mereka kecuali warna jubah mereka, Su Kiat pun
merasa tidak enak dan tidak tega untuk mencampuri urusan mereka. Maka dia pun
hanya mendekati sumbu dan menjaga agar benda itu tidak diganggu orang.
Sementara
itu perkelahian antara Hui Lian dan Min-san Mo-ko sudah mendekati akhirnya.
Min-san Mo-ko mempertahankan diri mati-matian, akan tetapi semakin lama dia
semakin terdesak oleh wanita sakti itu sehingga dia hanya mampu menangkis dan
mengelak saja, tanpa mampu membalas serangan Hui Lian yang semakin mendesak
keras.
"Haiiii!
Rebah kamuuu...!" tiba-tiba Min-san Mo-ko berteriak lantang dan mengisi
suara itu dengan seluruh kekuatan sihirnya.
Hal ini
merupakan serangan yang mendadak bagi Hui Lian. Dia terkejut dan tergetar,
kedua kakinya lemas dan hampir dia terpelanting. Kesempatan ini segera
dipergunakan oleh Min-san Mo-ko untuk menerjang dengan pedangnya. Dalam keadaan
terhuyung itu Hui Lian menangkis, namun hal ini bahkan membuat dia terguling
jatuh. Dengan girang Min-san Mo-ko langsung menubruk, akan tetapi pada saat itu
pula sebuah batu sebesar telur ayam meluncur dan mengenai hidungnya.
"Tukkk!"
"Aduuhhhh...!"
Min-san Mo-ko memegangi hidungnya dengan tangan kiri dan tangan itu berlepotan
darah. Hidungnya pecah dan darah bercucuran deras.
Saat itu Hui
Lian yang tadinya terjatuh sudah meloncat dengan meminjam tanah sebagai penahan
loncatan kaki, dan sebelum Min-san Mo-ko sempat mengelak atau menangkis karena
dia masih sibuk memeriksa hidungnya, pedang Kiok-hwa-kiam telah menghilang ke
dalam dadanya, dari bawah menembus jantung! Dia terbelalak heran, seolah-olah
tak percaya bahwa dia telah menjadi korban penusukan itu.
Hui Lian
menarik kembali pedangnya sambil menendang supaya pakaiannya tidak sampai
terkena percikan darah. Tubuh Min-san Mo-ko yang sudah tak berdaya itu
terlempar dan kebetulan jatuh terguling ke bagian yang menurun sehingga tubuh
itu terus menggelinding turun dan terjatuh dari tepi tebing yang curam!
Hui Lian
cepat meloncat ke dekat suaminya, menyentuh lengan suaminya sambil berkata,
"Terima kasih..." bisiknya.
Dia tahu
bahwa tadi, dalam keadaan terdesak karena lawan menggunakan sihir, biar pun
belum tentu dia akan celaka, suaminya sudah membantunya dengan lontaran batu
yang membikin remuk hidung Min-san Mo-ko.
"Sshhh..."
Su Kiat berbisik dan menunjuk ke depan.
Hui Lian
memandang dan dia pun terheran-heran melihat kedua orang kembar itu saling
serang dengan hebatnya. Dia segera tahu bahwa kedua orang yang sedang bertempur
itu memiliki ilmu pedang aneh dan kepandaian yang tinggi.
"Siapa...
siapa mereka...?" bisiknya sambil memegang tangan suaminya.
"Mereka
saudara kembar, yang jubah putih membantu pemberontak, yang jubah kuning
membantu pemerintah." kata Su Kiat.
Tiba-tiba
saja terdengar suara melengking tinggi dan benturan pedang yang hebat sekali,
membuat Kulana dan Mulana masing-masing terdorong mundur. Kulana lalu
mengangkat pedangnya, berkemak-kemik dan kembali memekik. Terlihat asap hitam
bergulung-gulung di atas tebing itu. Segera segala sesuatu menjadi gelap. Suami
isteri pendekar itu terkejut sekali. Mereka cepat mengerahkan sinkang, namun
tetap saja tempat itu menjadi gelap.
"Kita
jaga sumbu ini, kau di kanan aku di kiri...," bisik Su Kiat. "Siapkan
pedangmu dan setiap kali mendengar gerakan mendekatimu, serang!" Suami
isteri itu lalu berdiri dengan sikap waspada di kanan kiri sumbu yang harus
mereka jaga.
"Heii,
kedua orang gagah di sana...!" tiba-tiba terdengar suara Mulana dari asap
hitam, "Hati-hati berjaga di situ, jangan perkenankan iblis itu mendekati
sumbu itu. Aku... aku... tak berdaya, darah di pedangku telah bersih..."
Kiranya
dalam perkelahian tadi pedang di tangan Mulana berkali-kali telah beradu dengan
pedang Kulana sehingga darah anjing yang berlepotan di situ sudah memercik
lepas dan kini pedang itu telah bersih. Tanpa adanya darah anjing, kini Mulana
tidak berdaya untuk menolak dan membuyarkan pengaruh ilmu hitam yang
dipergunakan Kulana.
Menyusul
suara Mulana ini, terdengarlah suara ketawa yang menyeramkan, suara ketawa
Kulana dan suara itu menunjukkan bahwa orang yang tertawa mempunyai gejala
kelainan jiwa alias gila!
Tiba-tiba
terdengar gerakan pedang dan Hui Lian cepat menangkis dengan pedangnya ke arah
suara itu.
"Cringgg...!"
Bunga api
berpijar ketika pedangnya berhasil menangkis pedang yang tadi dipergunakan
Kulana untuk menyerangnya dalam kegelapan yang tidak wajar itu. Beberapa kali
Kulana mencoba untuk menyerang lagi, namun selalu dapat ditangkis oleh Hui
Lian, bahkan ada sambaran tangan yang amat ampuh dari Su Kiat menyerangnya.
Biar pun suami isteri itu tidak dapat melihat lawan di dalam kegelapan itu,
namun pendengaran mereka amat peka sehingga suami isteri yang mempunyai ilmu
kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya itu seolah-olah dapat melihatnya.
Kulana
menjadi amat sibuk dan tak berdaya menghadapi suami isteri yang kini bergabung
menjaga sumbu itu. Dia tahu bahwa meski pun dalam kegelapan, sukar untuk
menghalau suami isteri itu meninggalkan sumbu bahan peledak, apa lagi
mengalahkan mereka! Dia menjadi marah dan penasaran sekali.
"Jahanam
Mulana, pengkhianat saudara sendiri! Engkau biang keladinya hingga usahaku
gagal!" bentaknya yang disambut oleh Mulana dengan suara ketawa cerah.
"Ha-ha-ha,
Kulana! Ingatlah bahwa semua usaha jahat selalu akan menimpa diri sendiri,
seperti mengalirnya air ke tempat rendah."
"Jahanam,
mampuslah kau lebih dulu sebelum aku meledakkan tebing ini!" Kulana sudah
menyerang dengan gemas sekali.
"Trang-trang-trang...!"
Sampai tiga kali
Mulana berhasil menangkis serangan pedang saudara kembarnya yang bersembunyi di
dalam kegelapan itu. Mulana juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka seperti
kedua orang suami isteri itu, dia pun memiliki panca indera yang amat peka.
Biar pun dia tak dapat melihat dengan jelas gerakan Kulana yang masih
bersembunyi di dalam kegelapan asap hitam, tetapi Mulana dapat menangkis
serangan bertubi yang dilancarkan oleh saudara kandungnya.
Betapa pun
juga, karena kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana semakin kuat, maka
pengaruhnya bukan hanya menimbulkan kegelapan namun juga mendatangkan perasaan
ngeri dan seram, apa lagi ketika terdengar suara yang aneh-aneh, bukan suara
manusia melainkan suara yang lebih mirip suara setan dan iblis dari neraka.
Mulana mulai
menjadi sibuk dan permainan pedangnya yang digunakan untuk melindungi tubuhnya
menjadi kacau. Dia terdesak hebat dan di antara suara tawa dari mulut Kulana
yang terdengar menyeramkan, Mulana kini terhimpit sehingga hanya mampu
menangkis dan mengelak dengan susah payah.
"Dessss...!"
Sebuah tendangan yang mengikuti bacokan pedang mengenai lutut Mulana, membuat
dia terpelanting.
"Ha-ha-ha,
Mulana, bersiaplah untuk mampus...!" Kulana tertawa bergelak dan siap
untuk menubruk saudara kembarnya yang sudah jatuh terlentang sehingga tidak
akan sanggup menyelamatkan diri lagi itu.
Akan tetapi
tiba-tiba suara ketawanya terhenti karena mendadak saja semua asap hitam lenyap
dan cuaca menjadi terang lagi, cuaca dari matahari pagi yang mulai muncul di
ufuk timur. Kulana marah dan menyangka bahwa Mulana yang sudah memunahkan
kekuatan sihirnya, maka dia menubruk ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah
dada Mulana yang masih rebah terlentang.
"Trangggg...!"
Pedang itu tertangkis.
Kulana cepat
meloncat ke belakang dengan muka berubah pucat karena tangkisan pada pedangnya
tadi membuat dia merasa kulit telapak tangannya seperti akan pecah-pecah. Panas
dan perih sekali! Dia lalu mengangkat muka dan memandang.
Dan ternyata
yang berdiri di depannya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh
tahun, wajahnya cerah, matanya mencorong dan pemuda tampan yang berpakaian biru
muda dengan garis pinggir kuning ini tersenyum-senyum dengan tenang.
Dia tidak
mengenal Hay Hay, karena ketika pemuda ini diterima oleh Lam-hai Giam-lo, dia
tidak berada di sana dan sebelum Kulana datang ke sarang pemberontak untuk
mengatur gerakan pasukan pemberontak, Hay Hay sudah pergi meninggalkan sarang
itu karena dia penasaran dituduh menggauli Pek Eng.
Seperti kita
ketahui, tadinya Hay Hay membayangi Han Lojin yang sedang membuat peta di
daerah sarang pemberontak. Setelah melihat Han Lojin menghadap Menteri Cang
yang memimpin pasukan pemerintah, maka Hay Hay tidak lagi mencurigai Han Lojin
dan dapat menduga bahwa tentu Han Lojin kini menjadi mata-mata pemerintah yang
sengaja datang ke sarang pemberontak untuk melakukan penyelidikan.
Hay Hay
menganggap bahwa sungguh merupakan perbuatan berbahaya dan nekat kalau memaksa
masuk ke sarang pemberontak untuk mencari Ki Liong. Oleh karena itu dia lalu
membayangi pasukan pemerintah itu dan hendak membantunya di samping niatnya
untuk menemui Ki Liong dan menyelidiki siapakah para perusak Pek Eng dan Ling
Ling itu.
Ketika melihat
jalannya pertempuran, Hay Hay tidak merasa khawatir karena yakin bahwa pasukan
pemerintah pasti akan menang. Maka dia lalu membantu sana-sini dan akhirnya dia
naik ke tebing karena melihat ada perkelahian di sana.
Dia melihat
betapa dua orang laki-laki yang berpakaian pendeta saling serang, akan tetapi
yang seorang mempergunakan ilmu hitam menciptakan asap hitam bergulung-gulung.
Dia melihat pula Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian berdiri dengan tegang saling
membelakangi, agaknya juga terpengaruh oleh ilmu hitam itu. Maka Hay Hay segera
mengerahkan ilmu sihirnya dan dalam sekejap mata saja dia sudah berhasil
mengusir semua asap hitam dan memunahkan kekuatan sihir Kulana.
Ketika
melihat betapa orang yang melakukan ilmu hitam itu hampir membunuh pendeta lain
yang mempunyai wajah dan tubuh yang mirip sekali, Hay Hay langsung meloncat ke
depan kemudian menggunakan sulingnya untuk menangkis, sambil mengerahkan tenaga
saktinya.
"Keparat!
Siapa engkau?!" Kulana membentak. Dari sinar mata mencorong pemuda itu dia
dapat menduga bahwa kiranya pemuda inilah yang tadi sudah memunahkan kekuatan
sihirnya.
"Namaku
Hay Hay, dan siapakah engkau? Mengapa main-main dengan sulap dan seperti sedang
menghibur anak-anak saja?"
"Jahanam
muda! Engkau belum mengenal Kulana, ya? Kini rasakan pembalasanku!"
"Amboi...!
Inikah yang bernama Kulana, yang dijagokan oleh Lam-hai Giam-lo? Hemmm, ingin
aku melihat pembalasan apa yang kau maksudkan, karena aku tidak berhutang apa
pun padamu!" Hay Hay mengejek.
Kulana sudah
berkemak-kemik membaca mantera sambil pedangnya diacungkan ke atas. Tiba-tiba
nampak api berkobar keluar dari pedang itu, lantas bagaikan hidup saja kobaran
api itu melepaskan diri dari ujung pedang dan melayang ke arah Hay Hay,
seakan-akan mengancam dan hendak membakar pemuda itu.
"Hay
Hay, awasss...!" Hui Lian berseru khawatir, bahkan hendak meloncat ke
depan akan tetapi lengannya dipegang suaminya.
"Sssttt,
tenanglah, kurasa dia pasti mampu mengatasi ilmu hitam itu!" kata suaminya
yang sudah menduga bahwa tentu pemuda aneh itu yang tadi sudah membuyarkan ilmu
hitam yang mendatangkan asap hitam.
Mendengar
ucapan suaminya, Hui Lian lalu teringat akan kehebatan Hay Hay, maka dia pun
diam saja, apa lagi mengingat bahwa dia dan suaminya harus menjaga sumbu bahan
peledak itu secara mati-matian sehingga dia tidak boleh meninggalkan tempat
itu. Dengan jantung berdebar tegang dia memandang ke arah Hay Hay yang
menghadapi gumpalan api berkobar. Juga Mulana memandang dengan mata terbelalak.
Dia telah bangkit berdiri dan kini menjadi penonton pertandingan aneh ini,
bersama suami isteri pendekar itu.
Hay Hay
bersikap tenang menghadapi serangan api yang berkobar itu. Dia sadar bahwa
lawannya sangat lihai, memiliki kekuatan sihir yang tidak boleh dipandang
ringan, apa lagi disertai ilmu hitam yang menjadi ilmu setan. Tapi dia adalah
murid Pek Mau San-jin yang merupakan ahli sihir yang jarang ditemui
tandingannya, bahkan kemudian dia digembleng oleh Song Lojin sehingga ilmu silat
dan ilmu sihirnya menjadi semakin kuat.
Dari Pek Mau
San-jin dia telah banyak mempelajari tentang ilmu hitam, bukan belajar cara
penggunaannya, tetapi cara penanggulangannya, cara melumpuhkan dan
mengatasinya. Kini, melihat datangnya api berkobar, bukan sekedar khayal
seperti juga nampak oleh tiga orang berilmu tinggi yang menjadi saksi, dia
segera mengacungkan sulingnya.
"Kulana,
api akan kehilangan kekuatannya jika bertemu dengan air, bukan? Nah, mari kita
lihat apimu padam oleh airku!"
Sungguh luar
biasa, dari ujung suling itu kini memancur air seolah-olah suling itu menjadi
pipa yang dialiri air. Pancaran air itu lalu jatuh menimpa kobaran api.
"Cesss...!"
terdengar suara disusul padamnya api yang tersiram air. Begitu api padam, air
yang memancar keluar dari suling pun terhenti.
Wajah Kulana
menjadi merah padam. "Keparat, engkau suka air, ya? Nah, terimalah air ini
secukupnya!" Dan ketika dia mengacungkan pedangnya ke atas, dari atas kini
turun air yang banyak sekali, seperti dituangkan dari atas, seolah-olah di atas
terdapat sungai yang kini membanjir ke bawah!
Hay Hay
kembali mengacungkan sulingnya ke atas, wajahnya agak pucat dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Betapa pun banyaknya, air bisa
dibendung dan diarahkan alirannya. Kulana!" Terdengar suara Hay Hay
tenang, lantas tiba-tiba saja dari ujung sulingnya itu tercipta sebuah
bendungan yang menerima air yang tumpah dari atas, dan karena bendungan itu
miring ke depan, maka air yang ditampungnya mengalir turun dan menimpa ke arah
Kulana sendiri!
Terpaksa
Kulana cepat menarik kembali ilmu sihirnya dan begitu air itu lenyap, bendungan
itu pun lenyap. Kini Kulana menjadi marah bukan main, sepasang matanya menjadi
jalang dan merah, mulutnya mengeluarkan buih, cuping hidungnya kembang kempis
dan lubang hidungnya mengeluarkan uap putih. Kegilaan nampak pada wajahnya yang
tertarik-tarik aneh itu.
"Hay
Hay, hari ini aku Kulana akan mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah untuk mampus
di ujung pedangku!" Sambil berkata demikian Kulana melontarkan pedangnya
ke atas dan seperti bernyawa, pedang itu mendadak meluncur turun ke arah Hay
Hay, mengeluarkan suara mencicit mengerikan seolah-olah dibawa oleh tangan
iblis yang tidak nampak untuk menyerang pemuda itu.
Hay Hay
mengenal ilmu ini yang termasuk ilmu sihir pula, akan tetapi dia juga tahu
bahwa pedang itu bergerak menurut kehendak hati pemiliknya, seakan-akan Kulana
sendiri yang memainkannya dengan ilmu pedangnya. Dia pun segera mengerahkan
tenaga batinnya dan melontarkan sulingnya ke atas.
"Sulingku
akan menyambut pedangmu seperti aku yang akan menyambut semua ilmumu,
Kulana!" katanya dengan tenang namun penuh wibawa.
Suling itu
meluncur ke atas, lalu membalik, bagaikan seekor naga memandang ke arah lawan,
kemudian meluncur ke depan menyambut pedang itu. Dan terjadilah 'perkelahian'
yang amat menarik, aneh, hebat dan seru antara pedang dan suling. Pedang masih
terus mengeluarkan suara mencicit, suling mengeluarkan suara mengaung-ngaung,
dan setiap kali pedang dan suling bertemu, terdengar suara nyaring dibarengi
muncratnya bunga api!
Hui Lian dan
Su Kiat yang menjadi penonton tentu saja memandang dengan takjub dan kagum,
sedangkan Mulana juga memandang dengan kagum. Alisnya berkerut karena dia tahu
bahwa kini saudara kembarnya bertemu dengan seorang lawan yang amat tangguh,
baik dalam ilmu silat mau pun ilmu sihir.
Hay Hay juga
tidak berani main-main. Di dalam hatinya pemuda ini harus mengaku bahwa selama
dia berkelana, belum pernah dia bertemu tanding yang begini tangguh, baik ilmu
silat mau pun ilmu sihirnya. Selama ini baru dua kali dia bertemu tanding yang
agaknya setingkat dengannya, yaitu Sim Ki Liong dan Han Lojin.
Walau pun
dia sendiri belum pernah bentrok secara sungguh-sungguh dengan Ki Liong, namun
dia pernah melihat Sim Ki Liong melawan jagoan-jagoan Bu-tong-pai itu dan dia
tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai dan merupakan lawan berat. Demikian pula
dengan Han Lojin. Walau pun dia hanya baru melakukan pibu (adu ilmu silat)
dengan Han Lojin dan bukan berkelahi sungguh-sungguh, tapi dia tahu bahwa orang
tua itu pun merupakan lawan yang tangguh sekali. Sekarang dia bertemu Kulana
yang bukan hanya hebat ilmu silatnya, namun juga berbahaya sekali ilmu
sihirnya.
Pertandingan
antara pedang dan suling itu berlangsung semakin seru dan kini nampaklah betapa
wajah Kulana penuh dengan keringat, juga dari kepalanya yang tidak tertutup dan
rambutnya terurai itu keluar uap putih yang tebal. Kulana berdiri dengan kedua
tangan diangkat ke atas, kedua lengannya itu kini gemetar, kedua kakinya
menggigil.
Sebaliknya
Hay Hay berdiri dengan tenang, kedua tangannya juga diangkat ke atas dan
mulutnya tersenyum, tetapi sepasang matanya bersinar mencorong memandang ke
arah pertempuran antara pedang dan sulingnya itu. Ternyata Hay Hay lebih unggul
dalam adu ilmu senjata ini. Pemuda ini pernah digembleng dengan tekun oleh tiga
orang sakti, tiga orang di antara Delapan Dewa, maka tentu saja dia telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang kemudian telah dimatangkan pula oleh
gemblengan Song Lojin.
Kulana yang
keras kepala itu merasa sangat penasaran, tidak mau percaya bahwa dia akan
dikalahkan oleh seorang pemuda yang tidak ternama! Dia tidak menerima keadaan,
tak menyadari akan kelemahannya dan dengan nekat dia melawan terus, bahkan
segera mengerahkan seluruh tenaganya.
Akan tetapi
kini jelas nampak oleh tiga orang penonton itu betapa gerakan pedang makin
melemah, sedangkan suling itu makin mengganas. Suara suling terdengar makin
nyaring mengaung-ngaung, sedangkan suara pedang yang tadi mencicit garang
sekarang berubah mengecil, seperti bunyi cicit tikus yang ketakutan. Suling
mendesak terus dan akhirnya, dengan hantaman yang amat kuat, pedang itu dibuat
terpental oleh suling lalu pedang itu meluncur turun ke arah Kulana!
"Kulana,
awas...!" Mulana memperingatkan sambil meloncat ke depan. Namun terlambat!
Kulana yang
masih juga keras kepala itu masih berusaha untuk mengerahkan seluruh semangat
dan tenaganya untuk mengirim kembali pedangnya yang seperti melarikan diri itu.
Tetapi betapa pun juga dia tidak kuat dan pedangnya tetap meluncur turun, lalu
tanpa dapat dielakkannya lagi, pedangnya itu menancap di dadanya sendiri!
Kulana
terkejut sekali, mengeluh seperti orang tidak percaya. Dengan kedua tangannya
dia mencabut pedang yang lebih setengahnya menancap ke dalam dadanya. Kemudian
dia menunduk, dua matanya terbelalak memandang darahnya yang mengucur dari dada
hingga membasahi jubahnya yang putih, membuat jubah itu menjadi merah pada
bagian dada, kemudian dia pun roboh terjengkang.
"Kulana...!"
Mulana menubruk saudara kembarnya, berlutut dan berusaha merangkulnya.
Bagaimana pun juga mereka adalah saudara kembar, maka terdapat hubungan dan
ikatan batin yang amat dekat antara mereka. Melihat Kulana kini terkapar dengan
mandi darah, Mulana merasa seolah-olah dadanya sendiri yang terluka.
"Mulana...
kau... kau... biang keladinya...!"
Dengan
sisa-sisa tenaganya yang masih ada, tiba-tiba Kulana menusukkan pedangnya itu
ke dada saudara kembar yang merangkulnya. Pedang menancap di dada Mulana sampai
setengahnya. Mulana terbelalak, namun dia tidak melepaskan rangkulannya, bahkan
dia tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Baiklah,
kutemani engkau... pulang... pulang..., Kulana..." Dia pun lantas
tergelimpang, jatuh di samping saudaranya, kedua lengannya masih merangkul
Kulana yang juga sudah menghembuskan napas pada saat itu pula.
Hay Hay
berdiri dengan muka pucat. Dia menghapus peluhnya dan memandang dengan mata
sayu. Hatinya merasa sedih dan terharu. Mengapa manusia harus saling bunuh?
Jika di dunia ini ada kebaikan, mengapa manusia malah memilih kejahatan untuk
mengisi hidupnya? Kalau ada kasih sayang, mengapa manusia saling membenci?
"Hay
Hay...!" Panggilan Hui Lian ini menyadarkannya. Wanita yang dulu pernah
hampir menaklukkan hatinya itu sudah berdiri di hadapannya dan memegang kedua
pundaknya, mengguncangnya karena Hui Lian tadi melihat Hay Hay berdiri diam
dengan muka pucat seperti patung.
"Enci...
Enci Hui Lian..." Dia berkata dan cepat-cepat melangkah mundur, dengan
lembut melepaskan diri dari rangkulan Hui Lian ketika dia melihat pendekar
lengan kiri buntung, suami wanita itu berdiri di situ.
"Lihat,
di bawah masih terjadi pertempuran, sebaiknya kita membantu ke sana," kata
Su Kiat yang dapat merasakan kecanggungan yang diperlihatkan Hay Hay.
Diam-diam Su
Kiat merasa kagum sekali terhadap Hay Hay. Pemuda itu memang hebat, dan seorang
pemuda seperti itu memang patut mendapatkan kasih sayang dari Hui Lian. Seorang
pemuda yang tampan, mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi, sikapnya
sederhana dan gembira, namun harus diakuinya bahwa Hay Hay memang memiliki
watak yang agak mata keranjang terhadap wanita.
"Akan
tetapi kita harus menjaga sumbu itu...," kata Hui Lian yang sudah bisa
memulihkan ketenangannya setelah tadi diliputi keharuan dan kebanggaan terhadap
Hay Hay.
"Kita
dapat menarik sumbu ini sampai putus di bawah sana sehingga takkan dapat
disulut orang lagi," kata Su Kiat dan dia lalu memegang ujung sumbu itu
dan menariknya.
Sumbu itu
sangat panjang menuju ke bawah, ke tempat bahan peledak ditanam. Sambil
mengerahkan tenaga, sekali tarik sumbu itu pun putus di sekitar timbunan bahan
peledak.
"Nah,
sekarang kita boleh meninggalkan tempat ini dengan aman," kata Su Kiat dan
dia pun berlari menuruni bukit itu, diikuti oleh Hui Lian dan Hay Hay.
Pertempuran di bawah memang masih terjadi dengan serunya, dan Hay Hay ingin
segera mencari Ki Liong untuk diminta pertanggungan jawabnya tentang diri Pek
Eng.
Sementara
itu di bagian lain, di bawah dekat jalan terusan di mana terjadi pertempuran
pula, kita kembali melihat perkelahian yang amat seru antara Pek Han Siong dan
Bi Lian yang menghadapi dua pasang suami isteri iblis yang lihai.
Han Siong
dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo, yaitu suami isteri Siang-koan Leng dan Ma Kim
Li yang keduanya merupakan tokoh sesat yang amat lihai dan kejam. Namun sekali
ini mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai. Han Siong
menghadapi dua orang lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong saja karena
tadi dia sudah menyerahkan pedang Kwan-im-kiam kepada Bi Lian. Meski pun hanya
bertangan kosong, dia sama sekali tidak terdesak, bahkan tamparan-tamparannya
yang mengandung tenaga sinkang hebat sekali itu membuat Lam-hai Siang-mo sangat
kewalahan dan beberapa kali nampak mereka itu terhuyung seperti dilanda angin
badai yang kuat.
Keadaan
suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tiong Ci Ki,
ternyata juga sama saja. Mereka berdua menggunakan pedang menghadapi Bi Lian
yang sudah menerima pedang dari Han Siong.
Ketika
mereka terjun ke dalam pertempuran dan dihadapi dua pasang suami isteri, Han
Siong merasa khawatir akan keselamatan Bi Lian, maka dia segera mengambil
pedang Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya, melemparkannya
kepada Bi Lian sambil berkata. "Sumoi, kau pergunakan pedang ini!"
Bi Lian
menyambut pedang itu dan ketika mencabutnya, dia merasa girang sekali melihat
bahwa senjata itu merupakan sebuah pedang pusaka yang sangat indah, ringan dan
juga ampuh, mengeluarkan sinar berkilauan. Dengan pedang Kwan-im-kiam di
tangan, dengan tenang dan tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga, Bi
Lian lantas menghadapi pengeroyokan suami isteri itu.
Akan tetapi
gadis ini mengalami suatu keanehan saat dia memainkan pedang itu. Pedang di
tangannya itu merupakan senjata yang amat baik untuk melindungi diri, bahkan
pedang itu seperti mengeluarkan hawa yang sangat kuat setiap kali dipergunakan
untuk bertahan. Akan tetapi setiap kali dipakai untuk menyerang, pedang itu
terasa berat dan gerakannya lamban, seolah-olah pedang itu tidak suka dipakai
untuk menyerang manusia!
Bi Lian
merupakan murid terkasih dari dua orang datuk sesat, maka tentu saja dia sudah
digembleng dengan berbagai ilmu yang jahat dan kejam oleh Pak Kwi Ong dan Tung
Hek Kwi. Akan tetapi karena di dalam darahnya mengalir darah pendekar maka dia
tidak suka, bahkan selalu menentang perbuatan jahat dan kejam.
Ketika
melihat betapa dua orang suami lsteri itu tidak berdaya menghadapi gulungan
sinar pedang yang diputarnya, Bi Lian lalu mulai melakukan serangan dengan
tangan kirinya.
"Tranggg...!"
Bi Lian
mengerahkan sinkang-nya ketika menangkis pedang Tong Ci Ki yang menusuk
dadanya. Tangkisan itu demikian kuatnya hingga Tong Ci Ki mengeluarkan suara
jeritan halus. Pedangnya hampir terlepas dari pegangannya dan tubuhnya
terhuyung. Pada saat terhuyung ini, tangan kirinya bergerak dan sinar halus
hitam menyambar ke arah Bi Lian!
Gadis ini
maklum bahwa lawan telah menggunakan senjata rahasia. Jarum-jarum beracun
memang menjadi keistimewaan Tong Ci Ki hingga wanita ini mendapat julukan Si
Jarum sakti. Akan tetapi, sebagai murid dua orang datuk sesat, tentu saja Bi
Lian mengenal baik segala macam serangan gelap dan curang. Tubuhnya telah
melayang ke atas, kemudian dengan kemarahan meluap tangan kirinya menyambar ke
arah kepala Tong Ci Ki.
Wanita ini
terkejut, cepat mengelak mundur, akan tetapi tangan kiri Bi Lian itu dapat
mulur dan mengejar terus. Hal ini tentu saja sama sekali tidak pernah disangka
oleh Tong Ci Ki sehingga dia terkejut sekali dan tanpa dapat dihindarkannya
lagi, tangan kiri Bi Lian yang kini mengeluarkan uap putih itu telah mengenai
pelipisnya.
"Plakkk!"
Tubuh Tong
Ci Ki terpelanting dan wanita itu mengeluarkan jerit kecil, lalu terkulai lemas
dan tewas seketika!
Melihat
isterinya roboh, Kwee Siong marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan
laksana seekor harimau terluka, dia menyerang dengan pedangnya, membarengi
dengan hantaman tangan kirinya.
Serangan ini
ganas sekali karena tangan kiri Kwee Siong tidak kalah ampuh dibandingkan
pedang pada tangan kanannya. Dia berjuluk Si Tangan Maut karena kehebatan
tangan kirinya itu.
Tetapi
sambil membalik tubuhnya Bi Lian menghadapi serangan dahsyat itu dengan pekik
melengking yang amat hebat. Itulah ilmu Ho-kang, gerengan atau pekik melengking
yang mengandung tenaga khikang hebat, yang dipelajari dari Tung Hek Kwi.
Mendengar
pekik yang amat hebat ini seketika Kwee Siong menjadi seperti lumpuh, kaki
tangannya seperti kaku sehingga tak dapat digerakkan. Sebelum dia sempat
memulihkan keadaannya, karena jantungnya tergetar hebat oleh pekikan itu,
tangan kiri Bi Lian sudah menampar.
"Takkk...!"
Jari-jari
tangan mungil dari tangan Bi Lian menyambar ke arah tengkuk, lantas robohlah
Kwee Siong, tak dapat bangkit kembali karena nyawanya telah menyusul nyawa
isterinya.
"Sumoi,
mengapa engkau tidak mempergunakan pedang itu? Pedang itu kuterima dari
Subo..."
Bi Lian
membalik menghadapi suheng-nya, dan dia melihat bahwa Han Siong juga sudah
merobohkan Lam-hai Siang-mo. Tidak terlalu sulit bagi Han Siong untuk
merobohkan dua orang pengeroyoknya itu karena tingkat kepandaian mereka jauh di
bawah tingkatnya. Dia merobohkan Siangkoan Leng dengan cara menyentil pedang di
tangan Siangkoan Leng sehingga membalik dan menusuk tenggorokan pemegangnya
sendiri, sedangkan Ma Kim Li dirobohkannya dengan totokan maut yang mengenai
pangkal leher kiri.
Tadi Han
Siong sempat menyaksikan ketika Bi Lian merobohkan dua orang suami isteri itu,
maka dia merasa heran dan bertanya mengapa gadis itu tidak menggunakan pedang
untuk merobohkan mereka.
Bi Lian
tersenyum, "Sayang kalau pedang ini dikotori dengan darah mereka, Suheng.
Nih, kukembalikan pedangmu dan terima kasih." Han Siong lalu menerima
kembali pedang itu, pedang yang menjadi tanda ikatan jodoh antara dia dengan
gadis itu.
"Heiii,
lihat siapa di sana itu...!" Tiba-tiba Bi Lian menunjuk ke depan.
Han Siong
cepat menengok dan dia melihat seorang gadis mengamuk di antara pasukan
pemberontak. Seorang gadis yang masih muda sekali, antara tujuh belas sampai
delapan belas tahun, tinggi ramping dengan wajah manis. Gerakan gadis itu
lincah dan Han Siong melihat bahwa tingkat kepandaian silat gadis itu biasa
saja, namun sudah cukup tangguh untuk merobohkan anggota-anggota pasukan
pemberontak. Dara yang tadinya bertangan kosong itu dapat merampas sebuah golok
dan kini ia mengamuk dengan golok rampasan itu.
"Siapakah
dia?" Han Siong bertanya, tidak begitu tertarik, bertanya hanya karena Bi
Lian menunjukkan gadis itu kepadanya.
"Dia
adalah gadis yang kau cari-cari, Pek Eng adikmu, Suheng."
"Ahh
...!" Mendengar ini Han Siong langsung melompat, kemudian dengan tendangan-tendangannya
dia merobohkan beberapa orang anggota pemberontak yang mengeroyok Pek Eng,
diikuti oleh Bi Lian yang tersenyum melihat ulah suheng-nya itu.
"Enci
Bi Lian...!" Pek Eng berseru girang ketika melihat Bi Lian dan dia menoleh
kepada Han Siong, lalu mengangguk.
"Terima
kasih atas bantuan kalian."
"Eng-moi,
tahukah engkau siapa adanya dia ini? Dia adalah kakakmu yang bernama Pek Han
Siong!"
Wajah Pek
Eng berubah, dua matanya terbelalak dan dia memandang kepada Han Siong yang
sebaliknya juga memandang adiknya dengan mata mengandung keharuan.
"Adik
Eng...!"
"Kakak
Han Siong..., kakakku...!" Pek Eng lari maju dan menubruk kakaknya yang
cepat merangkulnya dan tiba-tiba Pek Eng menangis tersedu-sedu di atas dada
kakaknya yang sudah banyak didengarnya namun yang selamanya belum pernah
ditemuinya itu. Bahkan ketika dia terlahir, kakaknya sudah tidak berada di
rumah orang tuanya.
Melihat
pertemuan yang sangat mengharukan itu, Bi Lian sengaja menjauhkan diri lantas
melanjutkan amukannya di antara pasukan pemberontak karena pertempuran masih
terus berlangsung dengan amat serunya.
Sementara
itu diam-diam Han Siong terkejut dan agak kecewa. Kenapa adik kandungnya ini
ternyata seorang gadis yang cengeng? Memang pertemuan di antara mereka itu amat
menyentuh perasaan dan mengharukan, akan tetapi bukankah mereka berada di
tengah pertempuran dan tadi adiknya ini terlihat demikian gagah menghadapi
pengeroyokan para pemberontak? Kenapa tiba-tiba menjadi begini cengeng setelah
bertemu dengan dia?
Akan tetapi
dia pun merasa khawatir saat memperhatikan adik kandungnya itu. Bukankah
menurut keterangan ayah ibunya, Pek Eng merupakan seorang gadis yang cerdik, berani
dan tabah ? Dan kini tangisnya begitu menyedihkan, seolah-olah ada sesuatu yang
amat mengganggu perasaan gadis ini, maka dia merangkulnya lebih erat untuk
menghiburnya.
"Tenangkan
hatimu, adikku. Kenapa engkau menangis begini sedih? Bukankah pertemuan antara
kita ini sangat menggembirakan? Tahukah engkau betapa aku sudah mencarimu
sampai beberapa lamanya? Aku mendengar tentang engkau dari Sumoi Bi Lian.
Kenapa engkau seperti orang berduka, adikku?"
Mendengar
kata-kata itu, tangis Pek Eng makin menjadi-jadi! Dia kini sesenggukan dan Han
Siong merasa betapa dadanya basah akibat air mata adiknya itu menembus bajunya.
Ahh, tentu ada sesuatu yang menghancurkan hati adiknya, pikir Han Siong
khawatir.
"Katakanlah
saja kepada kakakmu ini, adikku. Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang telah
membuatmu begini berduka?"
Mendengar
pertanyaan itu, Pek Eng langsung mengangkat mukanya memandang kepada wajah
kakaknya penuh harap. "Koko, apakah engkau sayang kepadaku? Apakah engkau
kasihan kepadaku?"
Hampir saja
Han Siong tertawa mendengar ini. Mendadak dia menggerakkan kaki kirinya dan
seorang prajurit pemberontak segera terlempar jauh. Tadi prajurit itu agaknya
hendak mempergunakan kesempatan untuk menyerang dengan goloknya selagi kakak
beradik itu lengah.
"Tentu
saja aku sayang dan kasihan kepadamu, adikku."
"Dan
engkau mau memaafkan kalau aku membuat kesalahan?"
"Tentu,
tentu saja..."
"Koko,
aku... aku telah dicemarkan orang..."
Han Siong
terkejut sekali, bagaikan disambar halilintar. Dia memegang pundak adiknya
dengan dua tangannya dan mendorongnya untuk dapat melihat wajah adiknya lebih
jelas. "Kau... telah diperkosa orang?"
Pek Eng
menggelengkan kepala. " Aku... aku menyerahkan diri dengan suka rela,
Koko, aku... aku terlampau lemah dan aku... aku cinta padanya. Akan tetapi
dia... dia... ahhh..." Gadis itu menangis lagi.
"Dia
mengapa? Dia siapa? Katakanlah, adikku!" kata Han Siong dengan hati tidak
enak.
"Dia...
mengingkarinya, Koko. Dia tak mau bertanggung jawab, bahkan dia
menyangkal!" Kini Pek Eng tak menangis lagi, akan tetapi mengepal tinju
dengan marah. "Bantulah aku, Koko, untuk menyadarkannya, atau kalau dia
tetap menyangkal, untuk membunuhya!"
Han Siong
mengerutkan alisnya. "Sungguh aku tak mengerti, adikku. Bagaimana mungkin
dia mengingkarinya, menyangkal kalau memang benar dia telah melakukannya?"
Dengan
singkat Pek Eng lalu menceritakan peristiwa malam itu di dalam pondok taman
yang sunyi, betapa pemuda itu sudah menggaulinya, akan tetapi kemudian
melarikan diri dan menyangkal perbuatan itu.
"Siapa
dia?" Han Siong bertanya marah.
"Dia
Hay-ko..."
"Hay...?
Maksudmu, Hay Hay yang menjadi penggantiku di keluarga orang tua kita
itu?"
"Benar,
Koko, dialah orangnya. Temuilah dia, Koko. Hanya ada dua pilihan baginya, mau
memperisteriku dengan baik-baik atau dia harus mati di tanganku."
"Di
mana dia?"
"Aku
tidak tahu, Koko, aku pun sedang mencarinya. Mungkin sekarang dia berada pula
di dalam medan pertempuran ini."
"Hayo
kita cari dia!" kata Han Siong dan mereka pun segera pergi, mencari Hay
Hay.
***************
Bi Lian
meninggalkan Han Siong, mulai mencari sendiri musuh-musuhnya, yaitu Lam-hai
Giam-lo dan Kulana. Dara ini masih merasa sakit hati terhadap kedua orang itu
karena kematian kedua orang gurunya. Dan tak lama kemudian, dia melihat Lam-hai
Giam-lo!
Kakek ini
sedang mengamuk dan pada punggungnya terdapat sebuah gendongan kain. Mudah saja
diduga bahwa kakek ini agaknya telah siap untuk melarikan diri, dan di dalam
gendongannya itu terdapat batangan emas yang diterimanya dari Kulana.
Para
prajurit kerajaan yang melihat kakek ini segera mengepung, akan tetapi mereka
ini bagaikan sekawanan nyamuk yang menyambar api saja. Lam-hai Giam-lo
terlampau lihai sehingga setiap orang prajurit yang berani mendekat langsung
roboh oleh tamparan atau tendangannya. Bahkan beberapa orang pendekar anggota
Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai roboh pula menjadi korban
kelihaian pemimpin pemberontak itu.
Melihat
Lam-hai Giam-lo, Bi Lian yang tadinya telah khawatir kalau-kalau musuh besarnya
ini sudah melarikan diri, segera menghampiri dengan cepat sambil membentak,
"Lam-hai Giam-lo, iblis busuk! Bersiaplah untuk menebus nyawa kedua orang
guruku!"
Setelah
mengeluarkan bentakan, Bi Lian sudah menerjang maju dan menyerang dengan
ganasnya karena gadis ini maklum akan kelihaian lawan, maka begitu menyerangnya
dia sudah mengerahkan tenaga sekuatnya.
Lam-hai
Giam-lo juga mengenal Bi Lian. Dia pun maklum bahwa sebagai murid paman
gurunya, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tentu gadis itu berbahaya sekali, maka
dia pun menyambut serangan itu dengan sepenuh tenaganya, menangkis dengan
tangan kiri ke arah lengan kanan Bi Lian yang mencengkeram ke arah lambungnya,
sedangkan tangan kanannya sudah menampar dari atas mengarah ubun-ubun kepala Bi
Lian.
"Ciuuuttt...!"
Bi Lian
sudah melompat ke samping sehingga hantaman maut itu hanya lewat di samping
kepalanya. Bi Lian segera membalas dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke
arah dada lawan. Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang ringan jari-jari tangan
mungil ini karena tangan mungil itu sudah diisi dengan tenaga sinkang yang
membuat tangan itu dapat tajam seperti golok sehingga jika mengenai sasaran,
dapat menembus kekebalan, merobek kulit daging dan mematahkan tulang.
"Dukkk!"
Lam-hai
Giam-lo menangkis dari samping dan ketika kedua lengan bertemu, tubuh Bi Lian
langsung terdorong mundur sedangkan tubuh Lam-hai Giam-lo hanya tergetar saja.
Hal ini membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sinkang, pemimpin
pemberontak itu masih lebih kuat dibandingkan adik misan seperguruannya.
Terjadilah serang menyerang yang sengit antara kedua orang ini.
Para
pendekar lain yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih belum mampu
menandingi Lam-hai Glam-lo dan maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya
akan mengantar nyawa, segera menonton dari jarak jauh. Perkelahian antara dua
orang itu makin lama semakin seru dan akhirnya Bi Lian mulai terdesak juga.
Bi Lian
maklum akan ketangguhan lawan, maka dia mulai melirik ke sana-sini menunggu
kemunculan Pek Han Siong untuk mengharapkan bantuan pemuda itu. Akan tetapi
yang muncul bukan Han Siong, melainkan dua orang yang amat ditakuti oleh
Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian!
"Lam-hai
Giam-lo, bersiaplah untuk mampus!" terdengar Hui Lian membentak nyaring
dan begitu dia menyerang, nampak sinar terang menyambar ke arah leher Lam-hai
Giam-lo.
"Singggg...!"
Pedang itu berhasil dielakkan oleh Lam-hai Giam-lo yang membuang diri ke
belakang.
"Wuuuttt...!"
Angin dingin
menyambar dari arah lain dan Lam-hai Giam-lo kembali harus melempar diri ke
samping untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung lengan baju kiri milik Su
Kiat yang tidak kalah berbahayanya dibandingkan pedang Kiok-hwa-kiam di tangan
isterinya itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment