Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 08
Thian Sin
merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia
kemudian bertanya, “Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kau lakukan
selanjutnya, nona?”
Dara itu
memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang
tergenang pada pelupuk matanya. “Aku akan mengantar kembali lima orang gadis
ini ke dusun mereka…”
“Sesudah
itu…?” Thian Sin mendesak.
“Sesudah
itu… aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!”
“Apakah…
apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?”
Gadis itu
menggelengkan kepala. “Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini…”
Tiba-tiba
seorang di antara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya. “Adik
yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah kau ikut dan tinggal
bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai
penolong, dan pelindung kami…” Empat orang gadis yang lain menyetujui dan
membujuk-bujuk dara itu.
“Bagus
sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku turut mendukungnya!
Ketahuilah, nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku,
Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di
dusun itu… kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat.”
Han Tiong
memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri.
Agaknya adiknya ini benar-benar sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini,
pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah
melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing.
Dara itu
bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah kedua orang pemuda gagah
perkasa itu. “Ahh, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat.
Aihh, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang
tidur! Ji-wi sangat gagah perkasa dan baik, saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan
berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggota gerombolan
pengacau.”
Karena
bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di
dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira
sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi
Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan mulai saat itu menganggapnya
sebagai pelindung dusun.
Cia Sin
Liong dan isterinya merasa gembira dan bangga mendengar penuturan dua orang
muda itu mengenai hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi
Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu
sudah putus sebelah lengannya.
“Memang dia
seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau juga agak keterlaluan jika
membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya sudah cukup dengan mematahkan
tulang lengannya saja.”
“Maaf, ayah,
saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan
golok, dan mengingat betapa dia sudah membunuh orang dusun, menculik wanita,
maka…”
“Sudahlah,
mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Tetapi yang amat
menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang itu. Apa pula maksud mereka memancingku
keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan
denganku?”
“Ayah,
apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?” tanya Han Tiong.
“Aku tahu
siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang dahulu ikut membunuh ayah
bundaku!” tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan
dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak
angkatnya itu.
Sejenak dua
pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia
membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong
diam-diam merasa khawatir sekali karena mendapatkan kenyataan bahwa
sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian
Sin.
“Jeng-hwa-pang
adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu
aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka hingga
sekarang mereka masih menaruh dendam. Bagaimana pun juga, mudah-mudahan mereka
tidak berani lagi mengacau setelah menerima hajaran kalian.”
Sin Liong
merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua
orang muda itu pun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka
kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi
untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka berdua, yaitu Ilmu Thi-khi
I-beng kepada Thian Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong!
Ia
menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin sebab
dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh
Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di
dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi I-beng adalah ilmu yang mengandung
kelemasan sehingga diharapkan ilmu itu akan dapat mengendalikan Thian Sin,
memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras.
Maka
berlatihlah dua orang muda itu dengan sangat tekunnya, dan sesuai dengan pesan
Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu
tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada
satu orang saja.
Akan tetapi
di samping menurunkan kedua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada
masing-masing, secara diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk
melindungi diri terhadap Thi-khi I-beng kepada Han Tiong. Hal ini dilakukan
bukan karena dia pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak
putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan
kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok
jalan darah yang memang diciptakannya sendiri, khusus untuk melindungi diri
terhadap penyedotan hawa Thi-khi I-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari
Tunggal Sakti).
Mudah sekali
diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali
berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi
Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama semakin erat,
dan mudah diduga bahwa Hwi Leng pun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika
berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga dia pun
jatuh cinta!
Dan karena
dia tidak bertepuk sebelah tangan, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering
kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan ada
kalanya ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat sunyi itu, dengan leluasa
keduanya saling menumpahkan kerinduan hati mereka dan kasih sayang mereka
dengan bercumbu, akan tetapi Thian Sin selalu dapat mempertahankan nafsu
birahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas pada cumbu-cumbuan dan peluk
cium belaka, tak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam
perjinahan hubungan kelamin.
Maka
terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing
dan sekarang seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka
bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi
Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan
berani mati sudah melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok.
Sekali ini,
tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapa pun, karena Hwi Leng
adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk
menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang
berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai!
Han Tiong
juga melihat perkembangan ini, dan Han Tiong inilah yang lantas membisikkan
nasehat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan
nafsunya. “Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu
kemudian melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik
gadis yang kau cinta. Maka hati-hatilah engkau.”
Thian Sin
tersenyum dan mukanya berubah menjadi merah. “Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku
selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan
cinta kami dengan pelanggaran nafsu birahi.”
Hemmm,
begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han
Tiong, akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya. “Kalau begitu,
apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?”
Ditanya
demikian, Thian Sin kelihatan terkejut sehingga sejenak dia menatap wajah kakak
angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala bagai
orang bingung dan berkata, “Menikah? Ahhh, itu… itu… entahlah, Tiong-ko, sama
sekali tidak pernah terpikirkan olehku.”
“Aihhh, kau
ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau
tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?”
Kini
sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia
bertanya, “Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?”
“Cinta
antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria
dan wanita yang sudah berpacaran, apa lagi kalau tidak diakhiri dengan
pernikahan?”
“Apakah
tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?”
“Ah,
pertanyaanmu amat aneh, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan
kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan
pernikahan?”
“Aku ingin
ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko.”
“Hemmm,
kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu dapat terjadi. Akan
tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka
semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin
dan terikat erat-erat!”
Semenjak
percakapan itu, sering kali Thian Sin kelihatan termenung dan menarik napas
panjang. Dia juga mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena
setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan langsung
muncul dan menghantuinya. Dia tak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah,
dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang,
merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi dia pun senang sekali berdekatan
dengan wanita cantik seperti Hwi Leng.
***************
Petani tua
itu datang dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana
Lembah Naga pagi itu sedang duduk lengkap di serambi depan, Cia Sin Liong,
isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan
sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu
mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh!
Perayaan
keluarga yang sangat sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan ini pun bukan
kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apa pun untuk peringatan
genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Sejak pagi
sekali Bi Cu telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu
mereka telah menghadapi sarapan besar dengan gembira.
Kedatangan
petani tua itu tentu saja amat mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat
menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak
demikian ketakutan. Dengan halus dia cepat mempersilakan orang itu duduk dan
bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu.
“Celaka,
taihiap… semalam dusun kami kembali didatangi penjahat-penjahat!” kata petani
itu dengan suara gemetar.
Keluarga itu
menjadi terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata
terbelalak.
“Ahh, mereka
masih berani datang lagi?” seru Han Tiong.
“Jahanam-jahanam
itu menjemukan!” Thian Sin juga berseru.
“Lalu apakah
yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?” Cia Sin Liong bertanya
penuh kekhawatiran.
“Hanya satu
pembunuhan, taihiap… Nona Hwi Leng mereka bunuh…”
“Ahhhh…!”
Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia sudah meloncat dan
lari dari situ.
“Sin-te…!”
Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata,
“Tiong-ji,
biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu
melakukan hal-hal yang tidak semestinya.”
“Baik,
ayah.” Dan pemuda ini pun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang
lari menuju ke arah dusun di mana tinggal Loa Hwi Leng itu.
“Sekarang
harap kau ceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman,” kata Sin
Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu.
Kakek itu
dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam
terdengar derap kaki banyak kuda. Karena sudah pernah mengalami gangguan para
perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak
kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu
dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali
tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar
masing-masing.
“Saya
memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan
rumah di mana Nona Hwi Leng tinggal.” kata kakek itu melanjutkan. “Saya melihat
Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan dan dengan berani dia
lalu menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu.” Dia
berhenti dan kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke
kanan kiri seakan-akan dia takut kalau-kalau di tempat itu sewaktu-waktu akan
muncul perampok-perampok.
“Lalu
bagaimana, paman? Jangan takut, di sini aman,” kata Sin Liong.
“Terjadi
pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan
oleh mereka. Kemudian… kemudian…” Kakek itu tidak mampu melanjutkan ceritanya
lagi dan menutupi mukanya dengan dua tangannya, seolah-olah dia hendak
menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya.
Sin Liong
dan Bi Cu sudah dapat menduga. “Mereka itu membunuhnya?” tanya Sin Liong kepada
petani itu.
“Bukan hanya
dibunub. Dia disiksa… saya tidak berani lagi melihatnya… dan kami semua tidak
berani keluar biar pun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada
keesokan harinya kami berani keluar dan melihat… mayat Nona Leng sudah
tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat…”
“Keparat
jahanam!” Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal sebab
nyonya ini sudah menjadi marah bukan main.
Sin Liong
memegang lengan isterinya dan dengan pandangan matanya dia menenangkan
isterinya. Bi Cu yang mukanya berubah menjadi merah sekali itu menarik napas
panjang untuk menenangkan diri, lalu duduk kembali.
“Paman,
apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?”
“Mereka itu
orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya
mendengar suara Nona Leng merintih, akan tetapi ada yang bersuara besar dan
berkata: Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang? Hanya itulah yang saya
dengar…”
“Hemm,
Jeng-hwa-pang lagi…!” Sin Liong berkata. “terima kasih atas laporanmu, paman.”
Setelah
petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya, “Jeng-hwa-pang
tak boleh dipandang ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak
kita.”
Bi Cu
mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut supaya dapat mengamuk dan
memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang. Akan tetapi karena kedua orang puteranya
itu kini telah mempunyai kepandaian tinggi, bahkan lebih lihai dari pada dia
sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya
bagi dia untuk menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan
cepat untuk menyusul dua orang puteranya.
Ketika Thian
Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya
dan melihat peti mati dengan hio mengepul di depan pintu, bagaikan orang gila
dia segera menjerit. “Hwi Leng…!” Dan dia segera menghampiri peti mati.
Semua orang
terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan
tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah.
“Brakkk…!”
Sekali
renggut, tutup peti mati itu pun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan
putih, namun masih nampak cantik biar pun muka itu penuh luka tersayat-sayat
kulitnya. Dari pipi sampai ke dagu dan lehernya penuh dengan goresan senjata
tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin bisa menduga bahwa seluruh tubuh
itu tentu juga penuh dengan luka-luka goresan pedang.
“Hwi Leng…!”
Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, lantas
dia memekik sangat mengerikan. “Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang
Jeng-hwa-pang!” Dan dia pun melesat dan lari cepat sekali dari tempat itu.
Kurang lebih
setengah jam kemudian Han Tiong baru tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa
adiknya telah tiba di situ dan sudah pergi dalam keadaan marah hendak mengejar
orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali. Maka dia pun tidak
lama berada di situ dan cepat dia pergi mengejar adiknya.
Sekali ini
Han Tiong berlari cepat bukan kepalang, mengikuti jejak rombongan kuda orang
Jeng-hwa-pang yang keluar dari daerah itu menuju ke selatan. Dia merasa yakin
bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu.
Menjelang
tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput
itu dia melihat bahwa kiranya kekhawatirannya terbukti. Hingga di situlah jejak
rombongan berkuda itu dan tidak lama kemudian dia berdiri sambil bertolak
pinggang memandang ke sekeliling, di mana terdapat mayat-mayat dua belas orang
berserakan.
Dua belas
orang itu semua tewas dalam keadaan sangat mengerikan dan kepala mereka
pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya,
karena itu wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan perutnya
langsung terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya
itu!
“Thian
Sin…!” dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang
basah. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat
sehingga dia dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan
oleh Thian Sin.
Han Tiong
lalu menggali lubang besar, hanya menggunakan golok yang banyak terdapat di
tempat itu. Golok, pedang serta tombak malang melintang dan patah-patah. Dia
dapat membayangkan betapa adiknya telah mengamuk bagaikan seekor naga di tempat
itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih
basah.
Ingin dia
cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu.
Tak mungkin dia membiarkan saja mayat-mayat itu, apa lagi mayat-mayat yang
terbunuh oleh tangan adiknya. Dengan khidmat dia kemudian mengangkat semua
mayat itu, lantas memasukkannya ke dalam lubang besar yang sudah dibuatnya.
Dalam lubuk
hatinya dia menganggap bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman
adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan adiknya. Dia lantas
menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan
pengejarannya.
***************
Thian Sin
melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia sudah membunuh seluruh anggota
Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa
yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental
semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada tiga empat orang yang melakukan
perlawanan agak keras karena ilmu kepandaian mereka yang lumayan.
Akan tetapi
akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu,
dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak, “Siapa yang
menyiksa dan membunuh Hwi Leng?!”
Akan tetapi
mereka semua tidak mau mengaku, maka satu demi satu dipukulnya kepala mereka
itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala
pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya
selalu berkata. “Ini untuk Hwi Leng!” dan….
“Prakk!”
sekali tampar saja kepala itu tentu pecah!
Thian Sin
berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan
orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama
sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan
penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanya
utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang!
Dan kini dia
harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, dan membunuh mereka
semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga
untuk ayah bundanya!
Mengingat
hal ini, membayangkan betapa dia akan menghancur leburkan Jeng-hwa-pang, wajah
Thian Sin yang agak pucat itu berseri-seri dan mulutnya tersenyum, hatinya
terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah
keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas
kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini!
Tiba-tiba di
dalam benaknya muncul wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua
nasehat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang pernah
menasehatkan betapa buruknya jika dendam disimpan di hati.
“Tidak, aku
tak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!” demikian bibirnya
bergerak dan dia pun mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan
keinginan hatinya. “Aku adalah anak pendekar, semenjak kecil dididik menjadi
pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang,
bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan
bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan
berusaha membasmi mereka.”
Dengan
melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu
senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada
di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali karena
teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.
Menurut
cerita ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang sangat
kuat, dan para anggotanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya.
Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang
sangat ditakuti dan disegani.
Pendirinya
adalah mendiang Jeng-hwa Sianjin, yaitu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang
kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa
(bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar.
Belasan
tahun yang lalu, ketuanya adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sianjin yang
saking lihai dan pandainya mengenai racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun).
Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan
Cia Sin Liong. Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu
terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong.
Dan Thian
Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan
sekarang dia pun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan oleh Jeng-hwa-pang
di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka kepada Cia Sin Liong.
Maka tugasnya kali ini selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian
Hwi Leng, sekaligus untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak
dengan waspada, tidak ceroboh ketika menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan
berbahaya itu.
Akan tetapi
Thian Sin tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu.
Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sianjin
yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah
kandung dan ayah angkatnya.
Tokoh ini
adalah murid utama Jeng-hwa Sianjin yang bernama Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.
Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa
dia pun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya.
Dan bukan
hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua
orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang
memakai nama julukan Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu, dua orang kakek
berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta
alim dan memiliki ilmu kepandaian yang hanya berselisih sedikit dibandingkan
tingkat kepandaian Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam sendiri!
Dan mungkin
karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, ada pun kedua
orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini
agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya
Pek-lian-kauw, dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di
utara.
Thian Sin
tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam
goa di sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan
harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa
murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan
Jeng-hwa-pang itu.
Udara pagi
itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini
berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa
udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah
lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan
sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam goa.
Hatinya dan
pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua
penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia dapat berpikir dengan
jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah.
Dia akan
membalas dendam kematian ayah bundanya, termasuk kematian Hwi Leng, dan
membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran yang jernih dan dingin,
dengan perhitungan matang. Dia akan menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka
dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam
belaka.
Maka para
penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika
melihat munculnya seorang pemuda remaja yang sangat tampan, gagah dan sopan
pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga telah
menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.
“Heiii,
orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat
ini?” tanya kepala jaga sambil memandang heran.
Dari
pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han,
dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang
penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang
halus budi.
Wajah yang
ramah dan tampan itu tersenyum, lantas Thian Sin menjura dengan sikap hormat
dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen. “Harap cu-wi (anda sekalian)
sudi memaafkan apa bila saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang
untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di
sini adalah markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?”
“Benar, akan
tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?”
Kepala jaga dan teman-temannya mulai memandang dengan sinar mata curiga.
“Nama saya
Thian Sin dan saya perlu berjumpa dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang
terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah
lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya
amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di
markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya
untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang sangat
penting itu.”
Kecurigaan
para penjaga itu berkurang dan kepala jaga lalu memandang kepada pemuda remaja
itu sambil tersenyum. “Orang muda, memang Jeng-hwa-pang merupakan sebuah
perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk
minta bertemu dengan para pimpinan. Apa bila ada urusan, sampaikan kepada kami
maka kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, kini katakanlah, urusan
apa yang ingin kau sampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?”
Thian Sin
menggelengkan kepala. “Maaf, toako. Urusan ini menyangkut diri pribadi para
pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka
sendiri. Urusan yang amat penting sekali.”
Para penjaga
itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat
marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, terlebih lagi
karena pemuda remaja ini mengaku datang dengan membawa berita yang sangat
penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak
berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar
mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka
akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka apa bila mereka
mengganggu pemuda ini.
“Baiklah,”
akhirnya kepala jaga berkata. “Kau tunggulah di sini, biar kami melaporkannya
dulu kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?”
“Nama saya
Thian Sin…” Thian Sin tak mau memperkenalkan she-nya yang sebenarnya karena she
Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han
Houw, ayah kandungnya, yang tentunya sangat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka
mengira aku she Thian, pikirnya.
Dia harus
berhati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, maka
tipislah harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan
Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena
untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah.
Sementara
itu, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat
dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang sudah membangun
kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia
Sin Liong itu, sedang duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya
yang sangat diandalkannya, yaitu Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu. Mereka
bertiga sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di
daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng.
Ketua
Jeng-hwa-pang ini menjadi marah sekali pada saat mendengar laporan Loa Song,
kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang
dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang
pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mengenai pengkhianatan yang dilakukan oleh
puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng.
Pasukan itu,
ditambah dengan beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki
kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh
Loa Hwi Leng sebagai hukuman. Dengan perbuatan itu, maka pasukan ini diharapkan
akan dapat memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, yaitu musuh besarnya, ke
markas Jeng-hwa-pang.
Pagi hari
itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan
yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu
tiba kembali.
Ketika
datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda ‘pelajar’ yang
ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali
kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu segera saling
pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak
pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah terhadap laporan adanya
‘pemuda pelajar’ itu dan mereka merasa curiga.
Akan tetapi
dengan tenang Ciu Hek Lam cepat memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk
saja ke ruangan itu, di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang
pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan dari pada
menemui tamu di luar. Apa lagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak
cukup pantas kiranya untuk disambut di luar.
Tidak lama
kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu.
Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya
penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap
hormat.
“Harap
sam-wi locianpwe sudi memaafkan bila mana saya datang mengganggu sam-wi,”
katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan
ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang.
Diam-diam
Thian Sin menyapu ketiga orang kakek itu dengan pandangan matanya. Dia melihat
kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua,
tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat
seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia
pun menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang
benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.
Kemudian dia
juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu.
Kim Thian Sengcu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, tubuhnya kurus
dan mukanya hitam, ada pun Gin Thian Sengcu, sute-nya, berusia dua tiga tahun
lebih muda, tubuhnya gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.
Karena
tamunya ini hanyalah seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang
Sianjin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum sambil berkata,
“Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang
hendak bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, kini engkau sedang
berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kau
sampaikan kepada kami?”
Thian Sin
merasa jantungnya berdebar tegang, namun wajahnya masih tersenyum manis ketika
dia bertanya. “Apakah saya sedang berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang?
Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang
mulia?”
Karena
pemuda itu mempunyai wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan
menyenangkan, Tok-ciang Sianjin mengelus-elus jenggotnya kemudian menjawab
sambil tersenyum.
“Orang muda
yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, ketua
Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku.”
“Pinto
adalah Kim Thian Sengcu.”
“Pinto Gin
Thian Sengcu.”
Dua orang
tosu itu juga merasa amat tertarik dan suka kepada Thian Sin, maka mereka pun
masing-masing memperkenalkan diri.
“Sekarang
katakanlah, apa keperluanmu ingin berjumpa dengan kami,” Tok-ciang Sianjin
bertanya mendesak.
“Sam-wi
Locianpwe, sejak lama sekali saya telah mendengar nama besar dan kehebatan
Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya
memiliki kesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri tentang kebesaran
Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!”
“Ha-ha-ha-ha,
engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?” Gin Thian Sengcu
bertanya sambil tertawa. “Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk
menjadi anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera… wah,
siapa yang dapat mengajarmu?”
“Orang muda,
apakah engkau ingin belajar silat?” Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil
tersenyum karena dia merasa suka sekali jika dapat mempunyai murid setampan
ini.
“Memang
benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang merupakan
gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini.”
“Ha-ha-ha,
kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Sengcu tadi, engkau
boleh menjadi anggota Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang nanti akan melatihmu,”
kata Tok-ciang Sianjin sambil mengelus jenggotnya. Bagi seorang kakek seperti
dia, kini sudah agak jauh dari wanita, malah dia akan lebih senang berdekatan
dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.
“Terima
kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan ingin
berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat.”
Muka tiga
orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka
saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.
“Orang muda,
apakah engkau pernah belajar silat?” tanya Tok-ciang Sianjin atau Dewa
Bertangan Racun itu.
“Saya sudah
belajar dari banyak guru silat, tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu,
hanya hendak mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena
itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan sekarang saya hanya akan berguru
kepada orang yang dapat mengalahkan saya.”
Ketua
Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. “Bagus, memang engkau sungguh cerdik.
Biarlah kami juga hendak melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah
untuk membimbingmu apa bila engkau belajar di sini.” Tok-ciang itu kemudian
bertepuk tangan memanggil.
Para
pengawal datang dan Tok-ciang lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat
dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya
kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan tampaknya kuat,
gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang,
maka makin tak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya
masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memamerkan diri dengan bermacam
lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, mau pun
melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Hanya sekali pandang saja
maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan
tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.
“Nah, Thian
Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini,” Tok-ciang
berkata sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seakan-akan dia
memanggil seorang murid saja.
Secara
diam-diam Thian Sin merasa girang karena ternyata dia sudah dapat memperoleh
kepercayaan dari ketua Jeng-hwa-pang ini. Sekarang dia akan dapat menghadapi
mereka secara halus, dengan bertanding satu melawan satu sehingga akan lebih
mudah baginya untuk dapat merobohkan ketiga orang ini tanpa harus menghadapi
pengeroyokan banyak sekali orang.
“Baik,
locianpwe,” katanya dan dia pun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas
itu.
“Kau boleh
merobohkan dia, akan tetapi jangan sekali-kali menggunakan pukulan maut,” pesan
Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia juga
berkata kepada Thian Sin. “Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah,
engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi
muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!”
Murid
Jeng-hwa-pang itu sudah memasang kuda-kuda dengan gaya yang sangat gagah,
dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan
kiri di depan dada dan tangan kanannya di depan pusar. Otot-otot kedua
lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan
sinar mata merendahkan.
Melihat ini,
Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan
membunuh lawannya, tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa
saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan dan kaki kiri di belakang, kuda-kuda
seorang yang baru belajar silat.
“Haiiiiitttttt…!”
Murid
Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya telah menyerang
bagaikan seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim
pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin.
Pemuda
remaja ini berpura-pura kewalahan dan terdesak, akan tetapi dia dapat mengelak
ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau sambil terhuyung, namun tak pernah
pukulan lawan bisa mengenainya. Dia pun sambil mengelak balas memukul secara
sembarangan saja, maka tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau
dielakkan oleh lawannya. Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua
fihak sama kuat.
Pada saat ketua
Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu mampu menghadapi murid ke empat dari
Jeng-hwa-pang, biar pun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan
gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan
seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.
Setelah
lewat lima puluh jurus, Thian Sin pun merasa cukup. Apa lagi dia mulai tidak
kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras
dan kalau dia tak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, pada saat
lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia telah siap
sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.
“Haiiii…
ekkk…!”
Bentakan
orang tinggi tegap itu terpaksa berhenti di tengah jalan karena perutnya kena
disodok pukulan Thian Sin, ada pun pemuda itu membiarkan pukulan lawan
menyerempet pundaknya sehingga membuat dirinya terdorong mundur sampai lima
langkah akan tetapi lawannya telah berjongkok sambil menyeringai kesakitan,
menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas!
Terdengar
Gin Thian Sengcu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid
tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, maka dia tidak mampu
menahan geli hatinya dan dia pun berkata, “Wah, usus buntumu terkena agaknya.
Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!”
Murid itu
bangkit berdiri dengan kedua tangan masih menekan perut, lalu mundur dengan
muka penuh keringat dingin.
“Bagus! Kau
sudah menang, maka kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!” kata
Tok-ciang dengan girang. Biar pun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas
dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.
“Akan
tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan hanya akan berguru bila saya
telah dikalahkan,” kata Thian Sin dengan sikap bandel, bagai sikap seorang
pemuda yang masih hijau dan bodoh.
“Hemm,
mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak
enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadi pun engkau sudah
nyaris kalah dan hanya dapat menang dengan susah payah. Apa bila kami
mendatangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah.”
“Biarlah
saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru,” jawab
Thian Sin.
“Panggil
saja murid tingkat ke tiga,” Kim Thian Sengcu memberi usul.
“Jangan,”
kata Tong-ciang “Murid tingkat tiga meski pun dapat menang, akan tetapi tentu
tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau
terkena pukulan yang terlampau kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju
dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih
jauh dan dia perlu berguru di tempat ini.”
Yang disebut
Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja
mempunyai kepandaian yang sudah tinggi karena dia adalah murid dari ketua
sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng
segera dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di
tempat itu.
“Lim Seng,
anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya, dan boleh merobohkan dia,
akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apa lagi tewas. Ingat, dia adalah
calon sute-mu yang termuda,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya.
Lim Seng
yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya pun
berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti
ini? Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan
kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah,
mengertilah dia dan dia pun tidak mau banyak cerewet lagi.
“Baik,
suhu,” Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan
itu. “Orang muda, kau jagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai
menyerangmu!” Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju lantas tangannya
menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup
kuat.
Maka tahulah
Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang ‘berisi’, dan
bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat dia pun mengelak sambil
kakinya melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa
dia pun telah melawan dengan ‘sungguh-sungguh’. Padahal seperti tadi, tentu
saja dia pun hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid
Jeng-hwa-pang itu terlihat seimbang!
Para murid
Jeng-hwa-pang, sejak tingkat paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang
merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan
tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu,
seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun
atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun.
Bahkan
sampai murid tingkat dua pun baru mempelajari cara penggunaan luar ini karena
tingkat sinkang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan
beracun dengan jalan merendam dan melatih tangan di dalam racun sehingga dapat
dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa
beracun.
Akan tetapi
Lim Seng, sebagai murid tingkatan pertama, atau boleh dibilang murid kepala
dari Jeng-hwa-pang, tentu saja dia pun telah mempelajari ilmu pukulan beracun
yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau). Ilmu pukulan
ini sangat lihai, karena sepasang tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam
dalam sari racun bunga hijau. Jangankan tangan itu sampai berhasil mengenai
sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan!
Dilihat dari
tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang sangat lihai,
tetapi karena dia dipesan oleh suhu-nya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa
melukainya sampai parah apa lagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan
hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.
Betapa pun
lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apa lagi dia tidak berani
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andai kata dia mengeluarkan seluruh
kelihaiannya sekali pun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar
sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?
“Hyaaaattt…!”
Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang
dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan, ada pun
tangan kiri mencengkeram ke arah pusar.
Serangan ini
memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin pun mengerti bahwa
serangan yang nampak hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa
serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura
tidak tahu akan hal itu. Karena itu, melihat serangan kedua tangan lawan itu,
cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki
oleh Lim Seng.
Melihat
pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki
kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu
tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja ini pun terpelanting.
Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh
terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak
diduganya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat
salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim
tendangan berantai kepadanya sehingga membuat dia terhuyung lantas berusaha
menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan
ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim
Seng yang kena didesak!
Melihat ini,
Tok-ciang Sianjin gembira bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi
muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Maka tahulah dia sekarang bahwa
dia sudah mendapatkan seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih
muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki
bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat!
“Bagus…!”
dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu
berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari
Jeng-hwa-pang itu terhuyung.
Pujian ini
mengingatkan Thian Sin, sebab itu dia pun menahan diri dan membiarkan lawan
mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga kini dialah yang didesak. Dia
teringat bahwa dia tak boleh tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia
tidak dicurigai dan akhirnya dia pun bisa berhadapan dengan musuh-musuh
besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan.
Terkena
tendangan itu, walau pun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi
membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus namun dia sudah
terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi!
Dengan
demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan
tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali!
Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya
yang beracun.
Agaknya
Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh
jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu!
Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak
sadar betapa anehnya melihat pemuda yang tadi hanya mampu mengalahkan murid ke
empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai
begitu lamanya! Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng,
menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi
yang pernah diajarkannya kepada murid ini.
“Lim Seng,
pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!”
Ilmu silat
ini adalah hasil ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong
Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat
ini! Dan hati Lim Seng gembira sekali mendengarkan ucapan suhu-nya karena
tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apa lagi
karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia tak
berani untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu.
Akan tetapi
kini gurunya sendiri yang memerintahkan. Maka, andai kata sampai bocah itu
terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!
“Baik,
suhu!” jawabnya.
Tanpa
membuang waktu lagi, dia pun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan
serangan yang amat keras dan dahsyat sehingga tiap kali lengannya bergerak
memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya
berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit!
Melihat ini,
Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya
terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seakan-akan gerakan
lawan amat membingungkannya.
Ciu Hek Lam
memandang dengan dua mata terbelalak. Dia memang menyuruh muridnya
mempergunakan ilmu itu, bukan hendak mencelakai Thian Sin, melainkan dia
sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana
tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam dia pun merasa heran dan penasaran
sekali, mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat
yang dimainkan oleh pemuda remaja itu!
Sekarang
pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng
bergerak, makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya
terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakah tenaga, ternyata
semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang
sangat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah melewatkan
dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin!
Sementara
itu, mengingat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, maka Thian Sin
mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Sesudah dia tadi
menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia segera tahu bahwa bila dia
menghendaki, maka dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan!
Dia lantas
mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan
gerakan lain untuk menyembunyikan keaslian ilmunya, maka tidak mengherankan
kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak dapat mengenal ilmu silatnya. Andai kata
dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekali pun, belum tentu Tok-ciang
mengenal ilmu itu, apa lagi kalau dicampur-campur seperti itu!
“Plakk!”
Pipi kanan
Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan
pipi itu menjadi merah kehitaman.
Tentu saja
Lim Seng menjadi amat marah dan malu, sedangkan Tok-ciang dan dua orang
pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat
betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu
tidaklah besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng
sampai kena ditampar? Padahal kalau melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim
Seng masih menang cepat dan menang kuat pula!
“Plakk!”
Kembali
tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini
menjadi merah dan bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena
kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tampar saja tentu kepala
itu akan pecah! Betapa pun juga, tamparan itu sudah cukup memanaskan, terutama
sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya
menjadi marah bukan main.
Dengan suara
menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawannya dengan mata melotot. Dia
merasa malu sekali, apa lagi karena secara diam-diam tempat itu sekarang
ternyata telah penuh dengan murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik
untuk turut menonton pertandingan itu. Dia dihina di hadapan gurunya, juga di
hadapan banyak murid Jeng-hwa-pang!
Maka dengan
kemarahan meluap-luap, dia menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan
pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan
Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung
racun bunga hijau yang sangat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau
warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis
menyambar ke arah kepala Thian Sin!
“Lim Seng,
jangan kau bunuh dia!” Tok-ciang Sianjin berseru kaget melihat muridnya itu
menggunakan pukulan beracun.
Akan tetapi
seruannya itu terlambat sudah, karena pukulan telah dilakukan dengan amat
dahsyatnya. Semua orang menyangka bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu,
lantas akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua
Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.
“Desssss…!”
Pemuda
remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lim Seng sendiri terlempar
ke belakang lalu terbanting keras. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi roboh
lagi dan hanya dapat bangkit duduk kemudian mengeluh panjang pendek dan
memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung di
pergelangan tangannya. Agaknya keseleo.
Semua orang
menjadi bengong, malah Tok-ciang juga terbelalak. Mana mungkin ini? Jelas bahwa
muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi kenapa hanya sekali
tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkilir atau
terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang digunakan oleh pemuda remaja itu
dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa
beracun dari Jeng-hwa-ciang?
Saat dia
masih terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun
sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur,
dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan
mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat
kepandaian mereka biar pun tak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak
dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan
Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan sangat
baiknya.
“Suhu,
biarkanlah teecu berlima menghadapinya!” kata orang pertama dari mereka.
Tok-ciang
Sianjin memandang kepada Thian Sin, kemudian bertanya, “Thian Sin, apakah
engkau tidak terluka?”
Thian Sin
melangkah maju lantas menjura dengan hormatnya. “Saudara Lim tadi memang hebat
dan sungguh baik hati sekali suka mengalah.”
“Thian Sin,
engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tak perlu
diadakan percobaan lagi,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, dan diam-diam merasa
kagum sekali.
Thian Sin
menggelengkan kepalanya. “Maaf, locianpwe. Saya tak biasa menarik kembali
keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan.”
“Hemm, jadi
apa bila aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus mengalahkanmu lebih
dulu?” Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.
“Kalau
locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya akan tunduk
kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai
guru.”
“Hemm,
engkau sungguh berhati baja. Bagaimana jika aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan
membunuhmu?”
“Kalau sudah
begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk.”
Sementara
itu, Lim Seng sudah mampu berdiri lagi. Dengan muka yang masih merah dan agak
bengkak akibat tamparan-tamparan tadi, dan masih sambil memegangi pergelangan
tangannya yang salah urat, dia lalu berkata, “Suhu, dia itu mencurigakan
sekali!”
Akan tetapi
Tok-ciang Sianjin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya,
“Masuklah dan obati tanganmu!”
“Suhu,
biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!” kata pula
pimpinan dari Ngo-heng-tin.
Mendengar
ini Tok-ciang Sianjin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum
percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena ilmunya menang
tinggi. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru
menggunakan tenaganya.
Ngo-heng-tin
adalah ilmu yang amat kuat, apa lagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat
jika dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri tidak
begitu gampang untuk melumpuhkan tin atau barisan itu pada waktu melatih mereka
dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu. Sebab itu dia
yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian
Sin tak akan berdaya dan sekali telah terkurung, maka tidak akan mampu
melepaskan diri lagi sehingga tentu dapat diringkus dan dikalahkan.
“Thian Sin,
sebelum menghadapi aku sendiri, cobalah kau hadapi Ngo-heng-tin dari lima orang
muridku ini. Beranikah engkau?”
“Kalau
locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru
yang pandai dan meyakinkan.”
Tok-ciang
mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepala, menyuruh kelima
orang murid itu maju menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi
pengeroyokan lima orang bukan hal yang boleh dipandang ringan, maka telah
mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati.
Lima orang
anggota Ngo-heng-tin itu pun sudah berloncatan ke depan, kemudian dengan
gerakan kaki lincah mereka segera berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi
lima. Oleh karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur), maka mereka
berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam.
Mereka bisa
bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai
dengan isyarat yang diberikan oleh Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan
senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja
ini.
Lima orang
anggota Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi. Setelah mereka
mengurung, mereka langsung mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan
saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut
juga.
Biar pun dia
sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman
sehingga ketika mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia
menjadi kaget dan merasa kerepotan juga. Dia mengelak dan berloncatan ke
sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke mana pun dia
meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang
mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.
Selagi Thian
Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar
suara teriakan orang,
“Benar
dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga!
Dialah yang membuntungi lenganku!”
Yang
berteriak ini adalah Loa Song, anggota Jeng-hwa-pang yang dulu pernah memimpin
orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga, ayah tiri Hwi
Leng yang lengan kirinya sudah buntung pada waktu melawan Thian Sin itu! Semua
anak buahnya sudah turut bersama rombongan baru yang pergi menyiksa dan
membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam
perawatan, maka dia tidak ikut.
Seperti kita
ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian
Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut di dalam rombongan
itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya
karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan
tetapi juga membuatnya berduka sekali.
Ketika
mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua
Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, sudah mengalahkan Lim
Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu sambil menahan rasa sakit, dia
keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan
marahnya ketika dia mengenal pemuda itu, maka dia pun lalu berteriak.
Di lain
fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu,
kemarahan membuat mukanya berubah menjadi merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang
jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.
“Ha-ha-ha,
babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!”
Tiba-tiba
tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang
anggota Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena sekali berkelebat
pemuda itu telah lenyap! Maka terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat
betapa tubuh Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah
dipegang oleh Thian Sin!
Orang yang
buntung lengan kirinya ini langsung berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan
Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah
bangkit berdiri dan berteriak marah.
“Bunuh dia!”
Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak mengira bahwa pemuda remaja
yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari
Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi marah bukan main!
Akan tetapi
Thian Sin yang sudah marah itu kini tak mau berpura-pura lagi. Dengan tubuh Loa
Song sebagai ‘senjata’ dia langsung menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang
kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin!
“Prakk!
Prakk!” terdengar bunyi berkali-kali.
Orang-orang
di sana tidak ada yang tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh kelima
orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah!
Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat
dengan kepala yang tak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai
oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu
berturut-turut. Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa
Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk akibat lima kali diadu dengan kepala
lima orang!
Thian Sin
kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan
sikap amat angkuh. Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan
ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.
“Jeng-hwa-pang,
dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah
bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah
Naga, tapi sekaligus juga untuk membalaskan kematian ayahku, Pangeran Ceng Han
Houw dan ibuku!”
Mendengar
ini, seketika wajah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua
pembantunya, Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu sudah berdiri.
“Bunuh dia!
Kepung, jangan sampai lolos!” bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu.
Akan tetapi
Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan bagaikan seekor
harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan
tamparan Thian-te Sin-ciang.
Tok-ciang
Sianjin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya,
menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan
pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan
berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras. Diam-diam
dia terkejut bukan main.
Pemuda
remaja itu ternyata mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya! Untung
bagi Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, dua orang tosu Pek-lian-kauw yang
menjadi pembantu-pembantunya sudah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin.
Kim Thian Sengcu sudah menyerang dengan pedangnya, sedangkan Gin Thian Sengcu
menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh.
Melihat
serangan-serangan ini, Thian Sin lalu meloncat ke belakang dan karena dari arah
belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa beraneka macam
senjata, maka dia pun segera mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang menimpanya
bagai hujan, dielakkannya dengan gerakan cekatan, dan setiap serangan yang
dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.
Demikian
cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan
tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun
lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau
pedang, lengan bajunya sudah robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu
Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya
yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh!
Melihat
kelihaian pemuda itu, Tok-ciang segera mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu
pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut
bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu
pun meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin.
Pemuda ini
maklum akan bahaya maut ini, maka dia pun cepat mengelak dan berusaha menangkap
ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang
menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke
depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment