Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 09
PADA waktu
yang hampir berbarengan, Kim Thian Sengcu juga sudah menyerang dengan
pedangnya, lantas disusul pula oleh Gin Thian Sengcu yang menyerang dengan
kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu
saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung
dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari
tempat itu.
Dikeroyok
tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan kedua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot
juga Thian Sin harus menghindarkan diri dari kejaran tiga macam senjata itu.
Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum
berpengalaman, dan apa lagi pada waktu itu dia yang hanya bertangan kosong
harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli.
Betapa pun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang
menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat bukan kepalang.
Sepasang
matanya yang bagus itu mengeluarkan cahaya dingin, dan tiga orang kakek itu
merasa ngeri setelah melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu
mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikit pun! Dan meski pun
dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai msmpu
melakukan serangan balasan yang cukup hebat!
Dia mainkan
Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia
mampu menghindarkan diri dari semua serangan, lalu sebagai balasan dia
menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya
bila dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi
lawannya.
Karena
dikeroyok tiga orang, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang
selalu menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat
ke pinggir, akan tetapi dia langsung disambut oleh tusukan atau bacokan dari
para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu.
Akan tetapi,
dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dalam waktu cepat dia mampu
merobohkan satu dua orang, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan
tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah
sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak
muridnya.
“Kurung dia
dengan api!” teriaknya.
Kini para
murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan setiap kali Thian Sin meloncat ke
pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala!
Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api itu karena dia tidak kebal
terhadap api, maka terpaksa dia kembali mendesak ke tengah lantas menyambut
tiga orang kakek itu dengan mati-matian.
“Mampuslah!”
Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke
arah dada Thian Sin.
Melihat ini,
Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk
mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat
baik sehingga saat ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan
lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin.
Pemuda itu
merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut
baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sinkang seperti yang
pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang hebat sekali karena
begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka,
dari luka kecil itu keluar darah lalu semua racun yang dibawa ujung pecut dan
mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah!
“Ha-ha-ha!”
Tok-ciang Sianjin tertawa bergelak karena dia merasa amat yakin bahwa luka
dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup, dan dia merasa yakin bahwa
dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang
terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.
Akan tetapi,
betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras
dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung
elang rajawali menyambar seekor ular. Tok-ciang mengeluarkan seruan kaget,
berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya.
Thian Sin
tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan
mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan
kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan
hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi.
Akan tetapi
pada saat itu dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri.
Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan amat tiba-tiba
hingga cambuk itu melecut ke arah muka pemiliknya. Baiknya Tok-ciang sudah
melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban senjatanya
sendiri.
Dia meloncat
bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tidak disangkanya pemuda itu sedemikian
hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh
setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun?
Kini Thian
Sin sudah marah sekali. Biar pun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya
maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka pada
pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri.
Pada saat
dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh
sehingga pedang itu lewat saja, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan
Kim Thian Sengcu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng! Dia telah melanggar
pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu
ini.
“Heiii…?!”
Kim Thian Sengcu berteriak aneh ketika mendadak dia merasa betapa tenaga
sinkang dari tubuhnya mengalir keluar bagaikan air bah, tersedot melalui tangan
pemuda remaja itu! Dia belum pernah mendengar, apa lagi merasakan hal seperti
ini, maka dia terkejut bukan main.
Gin Thian
Sengcu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung
Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.
“Prattt!”
Kebutan itu
mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Sengcu
karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sinkang-nya juga
membanjir keluar. Dia berusaha untuk menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat
dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sinkang yang mengalir keluar
dari tubuhnya!
Dia
mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Sengcu, karena kakek ini pun merasa
betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dengan erat dan
makin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar.
Melihat ini,
mula-mula Tok-ciang terkejut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu
aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi
I-beng yang bisa menyedot tenaga sinkang lawan. Teringat akan hal ini, dia
cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak dan
menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu!
Melihat ini,
tentu saja Thian Sin menjadi terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya
kebal terhadap tusukan pecut. Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan
sambil menundukkan mukanya dia lalu berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi
Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya.
Dua orang
tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga
sinkang mereka yang memberobot keluar, membuat kepala mereka terasa agak
pening. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi,
akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami
hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati
mereka.
“Siapkan
jala langit!” tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sianjin berteriak sambil
memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu.
Thian Sin
tidak tahu apa maksud perintah itu. Akan tetapi karena dia diserang secara
gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan
perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga
orang musuhnya ini.
Dia tidak
tahu bahwa di atas langit-langit itu sudah dipasangi jala yang tadinya
tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali dari
bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk
ketika tiba-tiba saja dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu,
tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat
menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala
dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan
menyelimuti dirinya.
Thian Sin
menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan
tetapi ternyata jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat kuat, tidak
dapat dibikin putus karena dapat mulur dan ulet bukan main.
Selagi dia
meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan
tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu ikut terbawa naik pula! Thian Sin
berusaha untuk melepaskan diri, akan tetapi sia-sia belaka dan kini tubuhnya
sudah tergantung di udara, terselimut jala yang amat kuat itu, ada pun para
anggota Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan
mengejeknya.
Tok-ciang
Sianjin yang sudah menjadi sangat marah setelah melihat demikian banyaknya anak
buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan
dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh
yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan
sangat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin.
“Dukkk…!”
Tombak itu seperti mengenai besi saja sehingga terpental dan jatuh terbanting
berkerontangan di atas lantai.
Semua orang
terkejut sekali. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan
tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak
mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te
Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam
atau runcing.
“Hemm, ingin
kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!” Tiba-tiba Tok-ciang Sianjin
berkata sambil tertawa. “Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han
Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha-ha!”
Semua murid
Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke
dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.
“Ha-ha-ha,
Ceng Thian Sin, apa lagi yang hendak kau katakan sekarang? Apakah engkau hendak
minta ampun?” Tok-ciang mengejek.
Dia merasa
sangat marah apabila melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di
tempat itu. Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar
sekali, tidak hanya kerugian akibat kematian banyak anak murid, akan tetapi
juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.
“Kakek iblis
terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan
gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Thian Sin memaki dan menantang.
“Lekas
bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang sangat berbahaya!” kata
Kim Thian Sengcu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu
Thi-khi I-beng tadi. Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai
untuk dibiarkan hidup.
Tok-ciang
Sianjin cepat mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya, kemudian
melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan
bernyala, makin lama makin tinggi.
Thian Sin
telah merasakan hawa panas dari bawah, maka dia mengumpulkan hawa murni untuk
mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya lalu bekerja dan dia mengharapkan
bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari pada jala itu. Jika jala itu lebih dulu
terbakar dari pada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat
turun lalu mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan terhadap
api dari pada tubuhnya, maka dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia
akan menyusul ayah bundanya!
Meski pun
api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas sudah membuat seluruh
tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap telah membuat
dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikit pun tidak ada keluhan
terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tawa dan ejekan orang-orang
Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi.
Tiba-tiba
terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi
kacau-balau. Thian Sin cepat membuka matanya kemudian memandang ke bawah.
Timbul pula semangatnya pada saat dia melihat Han Tiong sedang mengamuk di
antara orang-orang Jeng-hwa-pang.
“Tiong-ko,
lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!” teriak Thian Sin dengan girang.
Han Tiong
memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang lalu meloncat ke atas,
pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin
meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk.
Thian Sin
bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu dilakukan sepenuh tenaga
sehingga setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh dan tidak dapat bangun
kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang
adiknya ini, apa lagi melihat bahwa di sana sudah berserakan mayat belasan
orang banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri.
“Sin-te,
jangan membunuh orang!” teriaknya lantang.
Mendengar
teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga
penasaran. “Koko, mereka hampir saja membunuhku!”
Mereka
berdua menerjang sedemikian hebatnya hingga para anak buah Jeng-hwa-pang
terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sianjin beserta dua orang
pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh
berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu segera berloncatan
keluar mengejar.
“Sin-te,
sudah terlampau banyak orang yang kau bunuh!” kembali Han Tiong menegur,
suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran.
“Baiklah,
Tiong-ko…!”
Tok-ciang
Sianjin telah menerjang maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, ada
pun Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran
terjadi di luar rumah dan amat serunya.
Akan tetapi
di antara para anak buah Jeng-hwa-pang tidak seorang satu pun yang berani
mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda
perkasa itu. Mereka sudah berusaha menggunakan racun-racun, bahkan telah
menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak
ada gunanya karena kedua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun
itu.
Senjata-senjata
mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong
mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu
kalang-kabut. Mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian
Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.
“Plakk!
Plakk!”
Untuk
pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te
Sin-ciang dan mereka menjerit lantas roboh terpelanting. Thian Sin mengejar dan
dua kali kakinya menginjak.
“Krekk-krekk!”
terdengar bunyi tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang
iga dan tulang leher patah-patah!
“Sin-te…!”
Han Tiong berteriak marah.
Tok-ciang
Sianjin sendiri sudah terdesak amat hebat dan ketika melihat betapa dua orang
pembantunya telah tewas dalam keadaan mengerikan itu, dia pun lalu meloncat
jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat.
“Tiong-ko,
aku harus membunuh mereka berdua. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat,
dan kalau tadi engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi
panggang!” kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat
pandangan mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia pun segera
menunduk.
Han Tiong
memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak kelihatan seorang pun
anggota Jeng-hwa-pang. Mereka semua sudah lari dan meninggalkan mereka yang
tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan
telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas
panjang.
“Sin-te,
berapa banyak orang yang telah kau bunuh? Rombongan yang sudah kau bunuh di
hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari
Paman Hong San Hwesio? Dan lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita
tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!”
Thian Sin
mengangkat muka dan memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua
perbuatannya dan dia pun merasa menyesal sekali. “Mereka… mereka membunuh
ayahku… ibuku… dan mereka membunuh Hwi Leng! Ahh… Tiong-ko, mereka… mereka
merenggut nyawa orang-orang yang kucinta… aku menjadi mata gelap, kau
maafkanlah aku, Tiong-ko…” Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua
tangan. Pemuda remaja ini menangis!
Han Tiong
merasa terharu dan kasihan sekali. Dia sangat sayang kepada adiknya ini dan dia
pun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng,
apa lagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang
dahulu ikut mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu. Betapa pun
juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan
segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimana pun juga, harus
diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka
itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan
jahat.
Didekatinya
adiknya kemudian dirangkulnya. “Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya
kuminta agar lain kali engkau jangan terlampau membiarkan dirimu terhanyut
dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata.”
Thian Sin
terisak dan balas merangkul kakaknya. “Terima kasih, Tiong-ko, tentu aku akan
memperhatikan nasehatmu. Harap… harap engkau… tak melaporkannya kepada ayah…
aku takut akan tegurannya…”
Han Tiong
menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya. “Eh,
engkau terluka? Parahkah lukamu?”
Thian Sin
tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggelengkan kepala, “Terkena tusukan
pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi sudah
kukeluarkan dengan dorongan tenaga sinkang.”
“Baik kalau
begitu, nah, mari kita urus mereka.”
“Urus
mereka? Siapa?”
Han Tiong
menuding ke arah orang-orang yang tubuhnya menggeletak di sana sini. “Urus
mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka,” katanya dengan nada suara agak
dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan
Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan.
Thian Sin
masih belum begitu mengerti akan tetapi dia mengikuti kakaknya, lantas tanpa
banyak cakap lagi dia membantu kakaknya pada saat Han Tiong mulai membuat
lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang
terluka parah.
Menjelang
senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Wajah Thian Sin
nampak muram sekali di sepanjang perjalanan.
“Jangan khawatir,
adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan
itu.”
Thian Sin
menarik napas panjang. “Aku percaya sepenuhnya padamu, koko. Akan tetapi, bukan
itu yang menjadikan pikiran… aku… aku tak dapat melupakan Hwi Leng…” Dan dia
menarik napas panjang berulang-ulang.
Diam-diam
Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau
menghadapi wanita cantik? Dia juga tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan
akibat kematian Hwi Leng, dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu
kehilangan Cu Ing.
Sesudah
keduanya sampai di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu
mereka. Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua sudah
mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu
hingga ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka.
“Engkau
terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat.”
Cia Sin
Liong memeriksa luka itu. “Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus
sekali. Ehh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kau bunuh?”
Ditanya
secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin lantas berubah, akan tetapi dia
cepat menekan perasaan hatinya. “Saya… saya tidak tahu, ayah…, mereka
mengeroyok maka saya membela diri sedapat saya…”
“Ayah,
Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris
dibakar hidup-hidup.”
“Untunglah
Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya, dan kami berdua lalu
mengamuk dan mengalahkan mereka…”
Cia Sin
Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah
menyusul mereka lalu secara diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia
sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin
dan Han Tiong, maka dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan
putera angkatnya itu.
Hatinya
sangat khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin tetapi dia pun kagum melihat
keberaniannya ketika sudah tertawan namun masih sangat berani itu. Dan melihat
betapa Han Tiong sangat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam
saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin
itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu.
Thian Sin
lalu menceritakan dengan panjang lebar mengenai pertempuran itu, akan tetapi
tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng.
Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang dia
menggunakan Thi-khi I-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya. Terhadap
kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu,
bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat
hatinya tertekan kepada kakaknya.
Semenjak
terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu
berlatih silat di bawah pengawasannya langsung. Dia melihat betapa sejak
terjadinya peristiwa Jeng-hwa-pang itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk
termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan.
Karena itu,
sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, dia pun bisa menduga bahwa pemuda
yang romantis itu tentu sudah mengalami patah hati yang agak parah karena hal
itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai
pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, baik latihan ilmu
silat mau pun berlatih siulian untuk menghimpun sinkang.
Pada suatu
hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya
yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).
Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh
mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang
pada otot-otot mereka.
Sungguh amat
menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat.
Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han
Tiong begitu mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat
dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin laksana gerakan ombak samudera yang
bergelombang dan tidak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang
di tepi samudera yang kokoh kuat. Tetapi keduanya mempunyai daya kekuatan
masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang asyik menonton kedua
orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku
tangan.
Pada saat
itu, sambil mengeluarkan pekik melengking Thian Sin meloncat dan menyerang
dengan tendangan yang disusul oleh cengkeraman tangan kanan, seperti seekor
harimau yang menubruk mangsanya. Namun dengan tenangnya Han Tiong menangkis
tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang cepat
dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis
tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan.
Thian Sin
juga dapat menangkis, maka selanjutnya dua orang pemuda itu saling serang
dengan hebatnya. Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia
itu sehingga diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan
bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam
hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang
mendalam itu.
Dia melihat
bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua
ilmu silat yang mereka pelajari sudah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak
berselisih jauh dengan dia sendiri. Tentu saja mereka masih belum memiliki
kematangan pendekar karena mereka masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan
tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi
mereka!
Tak lama
kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan
wanita yang cerdas ini pun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah
tampan anak angkat mereka, maka dia pun lantas memberi isyarat kepada suaminya
dan mereka berdua pergi meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam,
di mana mereka membicarakan keadaan Thian Sin.
“Dia agaknya
tidak dapat melupakan gadis itu,” kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di
dalam kamar.
“Ahh, dia
seperti mendiang ayahnya, amat lemah menghadapi wanita,” kata Sin Liong.
“Dia amat
mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga
mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing,
akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng.
Aku yakin bahwa kalau dia berjumpa dengan gadis lain yang dapat memikat
hatinya, dia pun akan lupa kepada Hwi Leng,” kata Bi Cu dengan hati tidak puas.
Sin Liong
menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah
biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar. “Pemuda semacam dia itu
sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan.”
Bi Cu
mengerutkan sepasang alisnya. “Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan
jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal
itu tak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang
bahagia.”
“Tentu saja
harus dengan persetujuannya. Ahh, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi
mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ahh, aku lupa lagi…”
“Namanya Ciu
Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!” kata Bhe Bi Cu yang
juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan
Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut.
“Aihh, masih
kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun sudah
lewat, apa kau sudah lupa? Tentu usianya sudah belasan tahun sekarang!”
“Benar, akan
tetapi usianya paling banyak hanya baru tiga belas tahun, dia masih belum
dewasa benar.”
“Betapa pun
juga, usia belasan tahun tidak dapat dinamakan anak-anak lagi dan apa bila
sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, salah
seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka…”
“Seorang di
antara mereka?”
“Ya,
bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan
andai kata salah seorang di antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, maka
alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!”
“Hemm, lalu
maksudmu bagaimana?”
“Tiong-ji
dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik,
hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang
menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi
melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar
ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan
dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?”
“Ahh, dan
membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak
terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, sekarang di dunia kang-ouw muncul
raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain…,” kata Bi Cu
khawatir.
“Ah, justru
karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka mereka
perlu untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukanlah
anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kau ingat ini. Sekarang mereka sudah
dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan.”
Demikianlah,
Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan
rencananya dan tentu saja Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan
kegembiraan. Bahkan mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja!
Mereka menerima banyak nasehat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar
penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah
di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di
dalam perantauan.
“Kalian
ingat baik-baik,” demikian antara lain pendekar itu memberikan nasehat,
“sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, di mana kalian
berada, kalian harus membela orang-orang lemah yang tertindas. Akan tetapi,
kalian tidak boleh menggunakan ilmu untuk membunuh orang, betapa pun jahat
orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan
penjahat-penjahat itu sendiri. Di dalam membela orang-orang lemah, tentu saja
kalian harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan
tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar mau pun halus agar
mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan
perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apa lagi membunuhnya.
Apakah kalian mengerti?” Biar pun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda
itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua
orang muda itu mengangguk.
Sesudah
membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan
Thian Sin meninggalkan Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan
senanglah Han Tiong ketika melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian
Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan.
Mereka
berangkat dengan hati lapang, laksana dua ekor burung yang baru terlepas dari
sarang, diikuti pandangan mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai
bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan.
***************
Melihat
adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali, maka Han Tiong ikut
merasa gembira pula. Mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai
tiba dan mereka lalu mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai
bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun,
keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.
“Senangkah
engkau melakukan perjalanan ini, Sin-te?”
“Tentu saja,
apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa bagaikan seekor
burung yang keluar dari sarang, terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan
terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?”
Han Tiong
tersenyum. Jika pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau
karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya
untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu.
“Selama
beberapa pekan ini engkau tampak amat berduka dan kecewa di rumah. Apakah
kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?”
Thian Sin
menggelengkan kepala, membuat kakaknya terheran. “Hwi Leng telah mati, hal itu
tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekali pun. Aku
hanya merasa menyesal kalau melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan,
baik yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio mau pun dari ayah, atau dari
kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali.”
“Ehh? Apa
maksudmu?” Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan
itu.
“Maksudku?
Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik
menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri
sendiri belaka.”
“Hemm, aku
masih belum mengerti.”
“Coba engkau
ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andai kata aku tidak mentaati
semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andai kata dulu aku tidak bersikap alim,
andai kata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku,
menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang
tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Begitu pula dengan Hwi Leng, andai
kata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati
oleh penjahat-penjahat itu!”
“Ahh,
omongan apa yang kau keluarkan ini, Sin-te?” Han Tiong memandang dengan sinar
mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi
akhirnya Thian Sin menunduk.
“Maafkan
aku, Tiong-ko.”
Han Tiong
menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga
mengandung teguran halus, “Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat
yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanyalah didasarkan rugi untung, susah
senang bagi diri sendiri belaka. Engkau merasa kecewa karena Cu Ing dikawinkan
dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal
sebab dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sebenarnya engkau tidak
mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin
memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa
kecewa dan menyesal.”
Thian Sin
kelihatan terkejut mendengar ucapan itu. “Apa… maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu
bahwa aku benar-benar mencinta mereka!”
Han Tiong
menggelengkan kepala. “Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus
bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi
keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah
dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan mengenai Hwi Leng, dia mati pun
hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang
anggota Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh.
Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut
dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa
kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau
menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari
sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka.”
Thian Sin
mengangguk-angguk. “Kini aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat
menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlampau mementingkan
diri sendiri saja.”
“Bagus,
adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Agaknya
engkau terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah
patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena tak
semestinya kalau seorang pendekar sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang
mengandung lebih banyak segi yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya
melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala
persoalan yang betapa pahit pun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang
selama ini kita terima?”
Thian Sin
memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri. “Jangan khawatir,
adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tak akan mengulang kebodohannya
lagi.”
Thian Sin
lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di
malam yang amat sunyi itu terdengar alunan suara tiupan suling yang merdu. Han
Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu hingga
akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun.
Karena
perjalanan itu melewati perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang
perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah dahulu
di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka
memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa kini perkampungan itu ditempati
oleh sedikitnya tiga puluh orang anggota Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat
munculnya dua orang pemuda ini, para anggota Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.
“Harap
kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!” Han Tiong berseru nyaring.
Mereka yang
mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat
serta sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang
amat mereka takuti itu.
Han Tiong
dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka. “Kami bukan datang sebagai
musuh,” kata Thian Sin. “Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan
di sini.”
Tiba-tiba
seorang di antara para anggota Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke
arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ lalu mengikuti
contoh ini. Mereka semua berlutut.
“Ji-wi
taihiap harap sudi memaafkan kami semua…,” kata orang itu.
Han Tiong
saling pandang dengan Thian Sin dan tersenyum, “Bangkitlah, kalian tak perlu
berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan
tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap
berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?”
“Tidak,
tidak, taihiap. Para pimpinan sudah meninggalkan kami. Kami hanyalah
anggota-anggota yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami
kembali ke sini dan tinggal di sini,” jawab orang pertama.
Kini dua
orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik
pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka.
Kemudian
orang itu menceritakan bahwa sejak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh
kedua orang pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sianjin Ciu
Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para
anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka
berturut-turut mereka kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman
kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang sudah
melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang memiliki keluarga saja tidak
berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan.
Sesudah
mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu.
Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meninggalkan banyak
juga harta benda untuk mereka.
“Saudara-saudara
sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tak ada
bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga
mempunyai anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh
karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup
kalian, menjauhi pekerjaan yang tidak baik dan jangan sekali-kali mempergunakan
ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain. Kalian dapat bekerja sebagai
petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja
sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau
kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi
menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau
kalian kembali pada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak
apa bila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar
kalian dan mengusir kalian dari tempat ini.”
Orang-orang
itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan
pesan pendekar muda itu. Kedua orang pemuda itu kemudian meninggalkan sarang
Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua
tentu tidak mau lagi menggunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan
mereka menyeberangi Tembok Besar.
***************
Melihat
betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, “Ada apakah,
Sin-te?”
“Tiong-ko,
aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka
adalah orang-orang jahat, maka di hadapan kita tentu saja mereka berjanji akan
mentaati pesanmu sebab mereka merasa takut. Akan tetapi kelak, aku yakin sekali
bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apa lagi kalau ada yang
memimpin mereka.”
“Hemmm,
habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?”
“Kurasa
lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka.
Karena dengan berkelompok itu mereka tentu akan menjadi lebih berani untuk
melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat semacam mereka itu tidak
boleh diberi hati, Tiong-ko!”
Han Tiong
tersenyum, “Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang
pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Apakah engkau lupa akan wejangan
Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang
jahat, adalah orang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit,
melainkan batinnya. Nah, bila kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita
memberi obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu juga dapat
sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja
sewaktu-waktu jatuh sakit! Tapi bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang
sangat lemah, baik badan mau pun batinnya. Karena itulah kita harus mengasihani
mereka, adikku, bukan malah membenci mereka.”
“Mengasihani
orang jahat?”
“Tentu saja,
karena mereka itu sedang menderita sakit…”
“Dan kalau
ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, apakah kita harus
mengasihani penjahat itu juga?”
Dibantah
seperti ini, Han Tiong tak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk
membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang amat mendendam
atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya.
Tentu saja
dia tak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat dari pada
perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan
hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh
jawaban yang dianggapnya tepat.
“Adikku,
apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai
pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, mau pun nona Loa Hwi Leng, mereka adalah
orang-orang yang sejak kecil telah berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya
sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tak ada yang harus menjadi
penasaran. Andai kata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi
kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?”
“Aku
mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan
seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang
jahat.”
Han Tiong
tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang
tidak enak saja. Maka dia pun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain.
Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tak menyenangkan itu kemudian
melanjutkan perjalanan dengan gembira sebab pemandangan pada sepanjang
perjalanan yang melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan.
Biar pun
pada tujuh tahun yang lalu mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota
raja bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil
Thian-to-tang, namun ketika itu selain sudah lewat lama sekali, juga mereka
tidak begitu lama berada di kota raja. Apa lagi Han Tiong sendiri yang pernah
datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah pada saat dia baru berusia
sebelas tahun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh dan dia sama sekali sudah
tak ingat lagi jalannya, maka sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah
memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui.
Pertama-tama,
mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu
dengan pesan dari Cia Sin Liong supaya di kota raja mereka tidak sampai
terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang
pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan
kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang
berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari
Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat
tinggal Ciu Khai Sun.
“Kalian
boleh pergi merantau sampai selama satu tahun,” demikian pesan Cia Sin Liong.
“Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian berdua untuk mengunjungi ketiga
tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja,
yang penting adalah mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian
mengunjungi bibi kalian di kota Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama.”
Di antara
banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan
pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini
adalah karena semenjak dulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami
gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi
kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah
bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar.
Hal ini
tidaklah aneh, karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan
utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota
raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan
luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja,
sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.
Pada waktu
itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau
pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lampau agaknya mendatangkan
hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan
sehingga hubungan dagang juga bisa diperbesar, baik dengan negara-negara barat
hingga ke India dan Arab, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai
di Kepulauan Indonesia, yaitu Sumatera dan Jawa.
Bukan hanya
itu saja, bahkan kemakmuran serta kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw juga sudah
menarik minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan
mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah semenjak puluhan
tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk
berdagang.
Biar pun
penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, akan tetapi dua orang muda yang
masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi
pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan
kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.
Cia Sin
Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan
secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar
Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu
terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah
Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak.
Hanya
disebabkan pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima,
karena andai kata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang
panglima. Meski pun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau
menonjolkan diri, apa lagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang
puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di
kota raja, dia memesan agar jangan sembarangan memperkenalkan diri dan agar
jangan sampai berhubungan dengan pihak kerajaan.
Han Tiong
mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiri pun adalah seorang pemuda yang
batinnya sederhana, tidak suka akan nama besar serta kesohoran, maka diam-diam
dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan.
Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan
itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati.
Akan tetapi
tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapa
pun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biar
pun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapa pun juga, dia adalah
keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama
keturunannya masih sama!
Akan tetapi,
di samping ini dia pun tahu pula bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi
pamannya ini mengirim pasukan untuk ‘menghukum’ ayahnya sebagai seorang
pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa dulu ayahnya
menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi
pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya.
Meski pun di
dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, akan tetapi
keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota
raja dan melihat bangunan-bangunan besar yang indah, jalan-jalan raya yang lebar
dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan
bermacam pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda
yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang
lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka
merasa kagum sekali.
“Sin-te,
mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu,” kata Han Tiong kepada adiknya.
“Mengapa
kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana
saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok,” kata Thian Sin.
“Tidak,
adikku. Justru kalau kita bermalam di kuil tua atau sebagainya, maka lebih
banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw sehingga
malah akan menimbulkan kecurigaan karena kita berpakaian seperti
pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak
kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, hanya
menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar dahulu, lalu menyimpan buntalan
pakaian, dan baru kita jalan-jalan,” jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian
Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat terhadap Han Tiong, bukan taat
secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu sudah benar
dan tepat.
Di dalam
hatinya, Thian Sin sangat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga
kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak
seperti dirinya yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa
kalau mereka sama-sama menggunakan ilmu simpanan mereka, maka dia tidak akan
menang melawan kakaknya.
Biar pun
Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia,
namun di antara kedua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan
mereka pernah saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka
pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka
sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi I-beng dan Cap-sha-ciang, atau
lebih lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang, hanya boleh diturunkan kepada satu orang
saja.
Bahkan
dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa dia pun diberi pelajaran ilmu
totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi I-beng itu kepada adiknya. Hal
ini pun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalau kalah oleh
Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.
Mereka
menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan sesudah mandi serta berganti
pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian
di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku.
Karena kini mereka tidak lagi menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin
tidak menarik perhatian sebab mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota
raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment