Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 23
AGAHAI sudah
bangkit kembali lantas mundur-mundur, seperti hendak melakukan ancang-ancang
untuk menyerang lagi. Akan tetapi, raja yang cerdik dan licik ini tiba-tiba
meloncat ke belakang, ke arah pembaringan! Thian Sin kaget bukan main, akan
tetapi Raja Agahai telah dapat menerkam tubuh Leng Ci, menarik dan mencekik
leher wanita itu.
“Kalau kau
maju, akan kupatahkan batang lehernya!” Dia mengancam kepada Thian Sin,
sedangkan Leng Ci meronta-ronta tidak berdaya. “Hayo buka pintu dan minggir,
biarkan aku lewat!”
Diam-diam
Thian Sin kagum juga akan kecerdikan raja itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia
tertawa. Suara tawanya demikian mengerikan dan aneh sebab memang dia
mengerahkan tenaga khikang dalam suaranya.
Raja Agahai
memandang dengan heran dan merasa aneh, namun inilah kesalahannya. Begitu dia
memandang dengan perasaan tertarik, dia sudah terperangkap dan berada di dalam
pengaruh kekuasaan ilmu sihir yang dikerahkan pemuda itu.
“Ha-ha-ha,
Agahai, apakah engkau sudah gila? Lihat baik-baik apa yang kau cengkeram itu?
Yang kau cekik hanya sebuah bantal!”
Agahai
terkejut, kemudian dia cepat memandang kepada Leng Ci yang tadi diringkus dan
dicekiknya. Dan hampir saja dia berteriak kaget serta penuh kekecewaan karena
ternyata memang benar, yang diringkusnya itu tidak lain hanyalah sebuah bantal!
Kemarahan yang meluap-luap membuat dia mengangkat ‘bantal’ itu dan
melemparkannya dengan tenaga sepenuhnya ke arah dinding.
Kini Thian
Sin yang terkejut bukan kepalang. Tentu saja yang diringkus oleh raja itu sama
sekali bukan bantal, namun tubuh Leng Ci yang denok! Dan ketika tubuh itu
dilemparkan oleh raja, Thian Sin yang tidak menyangkanya sama sekali tidak
mampu lagi mencegah.
Terdengar
suara keras ketika tubuh itu terbanting dan menghantam dinding. Saat terjatuh
ke lantai, tubuh itu sudah tidak bergerak lagi dan dari kepala yang mengalirkan
darah, dari kedudukan leher yang terkulai, tahulah Thian Sin bahwa mata indah
yang terbuka lebar itu tidak melihat apa-apa lagi. Leng Ci telah tewas dengan
kepala retak!
“Agahai,
manusia busuk! Manusia keparat kau! Kau membunuh dia… ah, kau membunuh Leng
Ci…!” Thian Sin marah sekali.
Dia belum
pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sesungguhnya sehingga permainannya
dengan Leng Ci itu pun tidak dapat dikatakan cinta, melainkan lebih terdorong
oleh nafsu birahi belaka. Akan tetapi, melihat Leng Ci yang sama sekali tak
berdosa itu harus tewas dalam keadaan demikian menyedihkan, dan semua itu
karena ulahnya sehingga Leng Ci dapat dibilang mati karena dia, hal ini membuat
Thian Sin merasa berduka dan marah sekali. Diterjangnya Raja Agahai.
Raja ini
mencoba untuk membela diri dan berteriak-teriak memanggil pengawal-pengawal.
Akan tetapi tidak ada seorang pun pengawal yang datang, dan dia pun tentu saja
tidak berdaya sama sekali menghadapi tamparan-tamparan Thian Sin. Terdengar
suara keras berkali-kali dan pada waktu raja itu terpelanting dengan muka yang
bengkak-bengkak dan berdarah, Thian Sin masih terus menyusulkan
tendangan-tendangan yang membuat raja itu jungkir balik dan jatuh bangun.
Akan tetapi
pemuda ini tidak pernah menggunakan tenaga saktinya, karena dia tidak mau
membunuh Agahai begitu saja. Dia masih belum selesai berurusan dengan raja ini,
maka betapa pun marah dan menyesalnya atas pembunuhan terhadap diri Leng Ci,
dia belum mau membunuh raja itu, hanya menyiksanya dengan tamparan-tamparan dan
tendangan-tendangan.
Yang membuat
pemuda ini menyesal adalah, bahwa terbunuhnya Leng Ci sesungguhnya karena dia.
Raja itu membunuhnya tanpa sengaja, mengira bahwa yang dicengkeramnya tadi
benar-benar bantal sehingga saking kecewanya bantal itu lantas dilemparkan.
Tiba-tiba
pintu kamar itu terbuka, dan Thian Sin menghentikan pemukulan-pemukulannya
terhadap raja itu pada saat melihat bahwa yang muncul adalah Ratu Khamila,
neneknya. Ternyata sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Menteri Abigan
bersama rekan-rekannya, bekas Ratu Khamila yang dipenjara ini cepat-cepat
dibebaskan dan dibawa ke istana, setelah para pasukan pemberontak berhasil
menguasai istana dan sebagian besar dari para pengawal Raja Agahai yang setia
dibinasakan dan sebagian lagi yang menyerah lalu ditangkap.
Istana
dibersihkan dari pengikut-pengikut Agahai, dan sekarang istana telah dikuasai
oleh pasukan penjaga pemberontak. Setelah itu Ratu Khamila baru dibebaskan dan
dijemput, dibawa ke istana. Dan ratu ini, bersama Menteri Abigan serta beberapa
orang panglima dan pengawal, lantas datang ke kamar Thian Sin di mana pemuda
itu sedang menghajar Raja Agahai.
Raja Agahai
yang melihat munculnya Ratu Khamila dengan beberapa orang menteri dan panglima,
maklum bahwa dia terancam. Dia belum tahu apa yang terjadi di luar, tidak tahu
bahwa para pengawalnya sudah terbasmi. Namun, melihat kenyataan bahwa tidak ada
seorang pun pengawal yang muncul ketika dia berteriak-teriak minta tolong, dia
pun telah dapat menduga apa yang telah terjadi.
Maka kini
melihat munculnya Puteri Khamila, tahulah dia bahwa permainan telah berakhir
dan bahwa dia telah kalah total. Pemuda itu adalah putera tunggal Pangeran
Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw dan pemuda itu sudah tahu bahwa dia ikut
ambil bagian dalam pengeroyokan pangeran itu dan isterinya sampai mati. Tiada
harapan lagi baginya, maka dia pun tidak banyak tingkah lagi.
“Agahai,
sudah tahukah engkau akan semua dosa-dosamu?” kata Ratu Khamila dengan suara
halus namun penuh teguran. Rasa sakit hati ratu ini akibat dia ditawan tak sedalam
saat dia mendengar bahwa puteranya tewas oleh pengeroyokan yang sebagian
dilakukan orang-orangnya Agahai.
Agahai yang
sudah putus asa itu tertawa. “Hemm, kalian lihat saja nanti kalau
pasukan-pasukanku bergerak dan menghancurkan kalian semua!”
Seolah-olah
menjawab kata-kata Agahai ini, tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk dan
teriakan-teriakan banyak orang yang datangnya dari luar istana. Dan seorang
pengawal datang tergopoh-gopoh, melapor kepada Menteri Abigan, didengarkan oleh
Thian Sin dan juga oleh Agahai.
“Taijin, di
luar istana sudah penuh dengan pasukan dan rakyat. Mereka itu berteriak-teriak
menuntut penjelasan akan apa yang terjadi di dalam istana. Suasana buruk
sekali, dan di antara mereka itu telah terjadi perpecahan. Agaknya masih banyak
di antara mereka yang mendukung dia!” kata pengawal itu sambil menuding ke arah
Agahai dengan wajah penuh kebencian.
Mendengar
ini, Agahai lalu tertawa bergelak. Wajahnya menyeramkan sekali. Wajah yang
bengkak-bengkak dan matang biru, berdarah-darah pula, dan kini wajah itu
terangkat dan bergoyang-goyang ketika tertawa, seperti iblis dalam dongeng.
Tiba-tiba
Thian Sin menangkap leher bajunya, menotoknya sehingga raja itu tidak mampu
bergerak lagi, lantas menyeretnya keluar. “Silakan mengikuti saya ke menara
istana, saya akan bicara dengan mereka!”
Mendengar
ini, Ratu Khamila mengangguk, dan para menteri bersama panglima itu juga
mengikuti dari belakang. Thian Sin membawa bekas raja itu naik ke loteng menara
dan tidak lama kemudian nampaklah dia bersama raja itu di atas menara, di
panggung atas bersama Ratu Khamila dan para menteri yang setia. Melihat ini,
pasukan dan rakyat yang berjubel di luar istana, semua memandang ke arah
panggung menara itu.
Terdengarlah
teriakan-teriakan yang simpang-siur.
“Hidup
Puteri Khamila…!”
“Hidup Raja
Agahai…!”
Dari
teriakan-teriakan ini saja jelaslah bahwa memang sudah terjadi perpecahan di
antara rakyat dan pasukan. Keadaan sungguh gawat dan timbul ancaman perang
saudara.
Meski pun
sudah tertotok dan tidak berdaya, Raja Agahai tersenyum mendengar
teriakan-teriakan yang jelas menyanjungnya itu, dan masih ada secercah harapan
pada wajahnya. Akan tetapi, ketika Thian Sin menariknya agar berdiri lebih
tinggi sehingga seluruh orang yang berada di bawah melihatnya dengan jelas,
melihat mukanya yang bengkak-bengkak, penghias kepalanya yang khas sebagai raja
itu sudah tidak ada lagi dan rambutnya dalam keadaan awut-awutan, maka
timbullah rasa khawatir pula di dalam hatinya.
“Rakyatku,
pasukanku, dengarlah!” Mendadak terdengar suara Puteri Khamila, suaranya halus
namun cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua orang dan keadaan menjadi
amat sunyi karena semua orang yang berada di bawah ingin sekali mendengar apa
yang hendak dikatakan oleh bekas ratu ini.
“Kalian
semua tentu masih ingat kepada putera tunggalku, putera tunggal mendiang Raja
Sabutai yang kalian cinta, yaitu Pangeran Oguthai, bukan?”
Terdengar
sorakan menyambut pertanyaan ini. Tentu saja tak ada seorang pun di antara
mereka yang tidak tahu siapa adanya Pangeran Oguthai yang dahulu pernah
berkunjung bersama isteri dan puteranya, dan betapa pangeran yang mempunyai
kepandaian tinggi dan membuat semua orang bangga itu menolak ketika hendak
diminta untuk membantu pemerintahan Raja Agahai.
Puteri
Khamila mengangkat kedua tangannya ke atas dan semua orang pun segera diam.
Keadaan menjadi sunyi kembali.
“Sekarang
dengarlah baik-baik, rakyatku. Kalian tentu tahu betapa Agahai yang menjadi
raja sudah menyalah gunakan kekuasaan, senang merampas anak gadis dan isteri
orang, mengejar kesenangan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan rakyatnya.
Lihat, betapa kita telah menjadi amat lemah dan yang lebih celaka lagi, Agahai
tak segan-segan untuk bertindak khianat dan curang. Aku yang menentang dan
menasehatinya supaya dia suka menghentikan penyelewengannya, telah dia tahan
sebagai seorang penjahat! Akan tetapi, hal ini tidak menyakiti hatiku. Yang
lebih menyakitkan adalah bahwa dia sudah menyuruh pasukan, bersekongkol dengan
pasukan Beng dari selatan, untuk mengeroyok kemudian membunuh Pangeran Oguthai
dan isterinya!”
Semua orang
terkejut, baik yang pro mau pun yang anti kepada Agahai. Tak disangkanya raja
mereka itu melakukan hal yang kejam ini.
“Untung
bahwa putera Pangeran Oguthai, yang pernah berkunjung ke sini ketika masih
kecil, berhasil lolos dari pengkhianatan itu. Dan kalian hendak tahu siapa
pemuda ini? Dia inilah Ceng Thian Sin, putera tunggal Pangeran Oguthai! Dialah
keturunan langsung dari mendiang Raja Sabutai!”
Puteri
Khamila meneriakkan ucapan ini, sungguh pun bertentangan dengan suara hatinya.
Hanya dia sendiri yang tahu bahwa Thian Sin sama sekali bukan keturunan
Sabutai, akan tetapi keturunan Kaisar Beng-tiauw!
Mendengar
ini, semua orang bersorak-sorai! Kemudian Thian Sin yang maju dan dengan suara
lantang, dia pun berkata,
“Saudara-saudara
sekalian! Setelah mendengar keterangan Puteri Khamila yang menjadi nenekku,
apakah masih ada yang hendak membela Agahai? Dia seorang raja lalim! Dia malah
telah membunuh Koksu Torgan yang membantunya! Dan dia baru saja membunuh
selirnya yang berbangsa Biauw itu! Dan kedatanganku di sini di samping untuk
membalas kematian ayah bundaku, juga untuk menyelamatkan rakyat orang tuaku
dari cengkeraman raja lalim semacam Agahai ini! Nah, katakanlah, siapa yang
hendak membelanya? Para panglima telah berpihak kepada kami dan istana sudah
kami duduki. Siapa yang hendak membela dia?”
Tidak ada
yang menjawab. Semua orang maklum bahwa memang raja mereka itu tidak sebaik
mendiang raja yang lalu, dan telah melakukan hal-hal yang membuat rakyat tidak
puas dan juga membuat mereka menjadi bangsa lemah yang tersudut.
“Nah, kalau
begitu, aku hendak menyerahkan kepada kalian apa yang harus kita lakukan pada
Agahai yang telah membunuh ayahku Pangeran Oguthai, dan yang telah melakukan
penindasan terhadap kalian. Apa yang harus kita lakukan?”
“Bunuh dia!”
“Bunuh
Agahai raja lalim!”
“Jangan
ampunkan dia!”
Teriakan itu
makin lama semakin banyak disusul oleh yang lain-lain dan akhirnya hampir semua
di antara orang-orang itu berteriak-teriak untuk membunuh Agahai. Mendengar
ini, menggigil seluruh tubuh Agahai dan habislah harapannya. Memang ini yang
dikehendeki oleh Thian Sin. Dia lalu mengangkat tubuh Agahai tinggi-tinggi dan
terdengarlah suaranya yang lantang.
“Kalau
begitu, kuserahkan kepada kalian! Terserah apa yang akan kalian lakukan dengan
binatang busuk ini!” Dan sekali menggerakkan kedua lengannya maka melayanglah
tubuh Agahai ke bawah dan pada saat itu pula dia pun membebaskan totokannya.
Terdengar
jerit mengerikan, jeritan dari mulut Agahai yang bukannya merasa ngeri karena
melayang ke bawah, melainkan ngeri melihat ratusan pasang tangan seperti cakar-cakar
harimau hendak mengkoyak-koyak tubuhnya.
Dan memang
tubuhnya segera terkoyak-koyak ketika dia disambut oleh orang-orang yang
mendendam padanya itu. Semua orang ingin memukulinya, menendangnya, menjambak
rambutnya sehingga akhirnya tubuhnya benar-benar terkoyak habis, dan hanya
darah dan potongan-potongan daging saja yang tertinggal di situ sesudah semua
orang memuaskan nafsu dendam mereka terhadap raja lalim itu.
Bersama
dengan tewasnya Agahai, tewas pulalah para pembantunya dan para panglima yang
dahulu memimpin pasukan dan ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. Thian Sin
menyaksikan sendiri hukuman pancung kepala terhadap pasukan dan komandannya
itu, akan tetapi ketika para panglima yang setia kepadanya hendak menangkapi
keluarga Agahai, Puteri Khamila melarangnya.
“Betapa pun
juga, Agahai adalah keluarga mendiang Raja Sabutai, dan karena hanya dia yang
berdosa, maka biarlah keluarganya dibebaskan dari pada hukuman.”
Thian Sin
tidak membantah keputusan neneknya ini, karena dia pun sudah puas melihat semua
pengeroyok ayah bundanya telah dijatuhi hukuman mati. Malah sesudah tujuannya
datang di tempat ini telah terlaksana, yaitu untuk membalas dendam atas
kematian orang tuanya terhadap Raja Agahai, Thian Sin tidak ingin tinggal lebih
lama lagi di tempat itu.
Para menteri
dan panglima yang tahu bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw itu adalah seorang
pemuda yang sakti, mengajukan usul kepada Puteri Khamlia supaya pemuda itu
dapat menjadi raja, menggantikan Agahai dan hal itu dianggap sudah sepatutnya
dan sah karena walau pun pemuda itu mempunyai seorang ibu berbangsa Han, namun
dia adalah keturunan langsung dari Raja Sabutai. Tentu saja hanya Puteri
Khamila yang tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai darah Raja
Sabutai sedikitpun juga!
Tapi usul
ini amat berkenan di hati Sang Puteri, maka dia pun mencoba untuk membujuk
Thian Sin agar mau menerima usul itu. Akan tetapi, dengan tegas Thian Sin
menolaknya, bahkan kemudian memperingatkan kepada para menteri agar mengangkat
Ratu Khamila sebagai ibu suri sekaligus juga sebagai pejabat raja sebelum
memilih pengganti raja, dan kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan Ratu
Khamila untuk memilih raja.
Tentu saja
Ratu Khamila menjadi kecewa sekali. Akan tetapi cucunya itu berkata dengan suara
tegas, “Harap nenek mengerti bahwa masih banyak hal lainnya yang harus saya
selesaikan, dan terutama sekali membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah
membunuh ayah bundaku. Selain itu, juga sedikit pun saya tidak berminat untuk
menjadi raja, maka terserahlah kepada nenek untuk menentukan siapa yang patut
untuk menjadi seorang raja yang baik.”
Akhirnya
Ratu Khamila terpaksa menyetujui dan pada hari Thian Sin pergi meninggalkan
tempat itu, Ratu Khamila mengumumkan bahwa yang diangkat menjadi calon raja
tetap saja adalah putera Agahai, sebagai satu-satunya pangeran yang merupakan
keturunan keluarga Raja Sabutai. Akan tetapi, sebelum anak itu besar, Ratu
Khamila sendiri yang memegang jabatan wakil raja.
Bukan hanya
Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan
kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang
menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil,
memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan?
Dapat kita
rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan
sesuatu, baik ‘sesuatu’ itu merupakan benda atau pun gagasan, sudah pasti
disebabkan karena sang pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan itu,
membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar
itu.
Kepuasan
ialah keinginan yang terpenuhi, yang kemudian dilanjutkan dengan kenikmatan
kesenangan yang didapat itu. Tetapi, seperti juga kepuasan yang hanya dapat
dinikmati sebentar saja, demikian pula kesenangan ini tidaklah bertahan lama.
Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya
dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan
kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain dan baru lagi, yang dianggap
lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya.
Sesuatu yang
pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan
orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena
sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya,
melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik
oleh sesuatu yang ke dua.
Dan kita pun
terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih
hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita,
melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan tidak akan
pernah dapat dinikmatinya, tetapi yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat
selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini
lalu disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan
kemajuan.
Padahal
keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita,
yang kita rasakan setiap saat. Karena kita tidak pernah mengamati yang ‘ini’
dan selalu mencari-cari serta memandang kepada yang ‘itu’, maka hanya yang
begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi.
Kita sudah
demikian mabuk oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat
sendiri, oleh cita-cita, sehingga kehidupan kita tak pernah bersentuhan dengan
kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang
belum ada sehingga dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang
terkandung di dalam apa yang sudah ada.
Inilah
sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain
tampak lebih nikmat dari pada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di
kebun orang lain nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di kebun
sendiri.
Dapatkah
kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membayangkan gambaran gagasan
khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang
kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang
ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimana pun juga?
Susah dan
sengsara itu BARU MUNCUL jika kita membandingkan keadaan kita dengan orang
lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini
jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula
kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan
seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?
Setelah
meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Ia menunggang
seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan
memang ketika itu Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang,
pemberian bekal dari neneknya.
Orang yang
bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia adalah
seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang
berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan bukan main, berpakaian
indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan
sopan seperti layaknya seorang terpelajar.
Akan tetapi,
kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini pada saat berhadapan dengan
penjahat maka dia akan bergidik dan merasa seram. Pemuda itu ternyata berubah
sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main.
Ketika Thian
Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa
sisa para anggota Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan
tetapi Jeng-hwa-pang sendiri telah bubar dan musuh besarnya yang dulu ikut
mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, kini tidak berada
di situ. Akan tetapi, mungkin juga di antara mereka ada yang mengetahui di mana
adanya kakek itu sekarang, maka dia pun lalu membelokkan kudanya menuju ke
perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan
itu.
Daerah ini
merupakan daerah yang amat berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di
pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar
yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon
raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh.
Karena dia
sendiri adalah orang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa
dengan tempat-tempat yang liar macam itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan
pada waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam
di atas pohon besar di tengah hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
barulah Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang
yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur.
Selagi dia
menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar
suara hiruk-pikuk disertai teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang
datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat-cepat menggerakkan
kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya
suara.
Dia
menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada batang
pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat ada lima
orang sedang berteriak-teriak dan mengepung sebuah lubang jebakan di dalam
tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang sudah
berhasil menjebak seekor binatang buas.
Dia
mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan secara
diam-diam dia terkejut sekali. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang
telah terjebak itu, pikirnya.
Suaranya
bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara beruang. Akan tetapi yang
telah tertangkap itu tentunya seekor beruang yang besar sekali. Dia hanya
mengintai dan kemudian melihat betapa kelima orang itu mempergunakan
tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi jelas
nampak bahwa mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil
berteriak kaget dan ketakutan.
Dan Thian
Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah setelah dipakai
menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main,
pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam
lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya
kalau binatang itu dapat meloncat keluar.
“Cepatlah,
kami hampir kewalahan!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil
menoleh ke belakang.
Thian Sin
memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang
sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup
dalam karena lima orang itu tak nampak lagi berada di dalam lubang, dan hanya
nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang.
Apa yang
mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu
agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang yang pertama, Thian
Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam
ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini!
Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu
perbuatan yang amat berani dan berbahaya!
Dan
dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan
cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu
lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah.
“Kita mulai
sekarang!” kata salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala
kelompok pemburu itu. “Kalian cepat berdiri di seberang lubang dan menggodanya,
untuk memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya.”
“Tapi…
berbahaya sekali untukmu, toako…”
“Tidak, aku
dapat lari lantas naik ke pohon itu.” kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini
sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu.
Setelah
menerima perintah, sembilan orang itu segera meninggalkan lubang,
berlari-larian dengan cepat mengelilingi jebakan batu lantas berdiri di
seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Sekarang si
pemimpin sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang
dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan.
“Toako,
pergilah!”
“Larilah!”
teriak mereka dengan khawatir.
Pemimpin
rombongan pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak
yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke
bawah untuk mencegah binatang itu yang agaknya hendak merangkak keluar dari
dalam lubang.
Akan tetapi,
tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu telah tertangkap oleh binatang itu hingga
terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak
menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba
saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu
gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya.
“Dukk…!”
Pemburu ini
terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua
tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan
dia pun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Walau
pun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan
mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar
gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar
dari dalam lubang jebakan!
Thian Sin
terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat
kuat itu. Seekor orang hutan yang amat marah hingga nampak moncongnya meringis
dan memperlihatkan giginya yang bertaring mengerikan. Kedua lengannya panjang
sekali dan penuh dengan bulu yang kasar.
Jarang Thian
Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biar pun di sekitar Lembah Naga
terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat
menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan,
membuatnya kebal terhadap senjata tajam. Kini orang hutan itu lari mengejar si
kepala pemburu!
Thian Sin
merasa terkejut dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana
mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu
itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia akan
dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak.
Betapa bodohnya!
Kini, ketika
melihat gerakan orang hutan itu serta melihat larinya si kepala pemburu, dia
tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan
mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam
batin Thian Sin. Dia pun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia
sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si
kepala pemburu.
Wajah semua
pemburu sudah pucat melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir saja
terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda
tampan berpakaian sasterawan yang berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang
itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali.
Sementara
itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka
pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di
atas cabang pohon dan menengok, dia pun melihat pemuda itu dan dia lalu
memandang dengan mata terbelalak.
Sedangkan
para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu
akan membunuh pemuda itu, maka mereka pun berteriak-teriak, “Orang muda, lekas
lari ke sini…! Cepat…!”
Akan tetapi,
betapa heran hati mereka karena melihat pemuda itu tersenyum saja sambil
memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan
ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu
melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini hanya berdiri
tenang saja.
Ketika
bertemu pandang, binatang ini menggeram lantas mengalihkan pandang matanya. Tak
tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlampau lama. Kemudian, binatang
ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat
cepatnya.
Binatang itu
besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu
cepat sehingga jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari
serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itu pun menahan napas dan memandang penuh
kengerian sebab mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tidak
seberapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang
dan amat kuat itu.
Thian Sin
juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia langsung mengelak dengan loncatan
ke kiri. Binatang itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah
melihat betapa manusia ini sanggup menghindarkan diri dari terkamannya. Maka
sambil melempar tubuh ke kiri, dan dengan gerakan refleks yang sangat cepat
seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia
menubruk lagi.
Serangan ke
dua ini lebih cepat dari pada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai
oleh manusia, kecepatan yang bersifat alamiah karena kehidupan binatang ini
yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan.
Biar pun
Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, akan tetapi dia masih kalah
cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu telah menyentuh pundaknya dan
jika sampai jari-jari tangan yang kuat itu berhasil mencengkeram pundaknya,
tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin segera mengerahkan tenaga
sambil memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan
sebuah hantaman keras ke arah perut binatang itu.
“Dukkk!
Desss…!”
Tangkisannya
itu bertemu dengan lengan yang sangat kuatnya, namun cukup membuat terkaman
tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu dengan perut yang
seperti penuh dengan angin sehingga kuat bukan main.
Orang hutan
itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tak merasa nyeri dan cepat
binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang
panjang. Sekarang dia marah bukan main, lantas kedua lengan panjang itu
menyerang bertubi-tubi dengan gerakan yang lucu dan tidak karuan, namun amat
dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring,
kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari
lehernya keluar suara menggereng yang seakan-akan menggetarkan tanah dan
pohon-pohon di sekitar tempat itu.
Semua
serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini
maklum bahwa binatang itu hanya mempunyai kecepatan dan kekuatan alamiah saja,
akan tetapi tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya
untuk mempermainkan binatang itu dan bila mana dia menghendaki, tidak sukar
baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari
binatang itu.
Dua kali dia
memukul dan menendang hingga membuat orang hutan itu terjengkang dan
bergulingan. Akan tetapi binatang itu mempunyai kekebalan yang luar biasa,
telah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas.
Sepuluh
orang yang tadinya merasa ketakutan dan khawatir akan keselamatan Thian Sin,
sekarang memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah
mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang
hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Dan mengertilah mereka
bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi.
“Taihiap,
harap jangan bunuh dia!”
“Kami hendak
menangkapnya hidup-hidup!”
“Kalau dia
mati, kami tentu tak akan diampuni!”
Mendengar
seruan orang-orang itu, Thian Sin cepat menahan tangannya yang sudah siap
merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau
tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada
tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini.
Akan tetapi
seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apa lagi kalimat terakhir itu.
Kalau binatang itu mati, maka mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu?
Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi dia pun menghentikan niatnya merobohkan
orang hutan ini.
Dia kemudian
teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia
menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di pinggir
perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun.
Orang hutan
yang sudah beberapa kali terkena pukulan serta tendangan itu marah sekali dan
terus menerjang secara dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan
pada waktu tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan
tendangan kaki pada pinggul binatang itu.
Binatang itu
terdorong ke depan, lantas tanpa dapat dihindarkan lagi dia terjatuh ke atas
ranting dan daun penutup perangkap. Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah,
juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang.
Binatang itu lalu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak
mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang.
Thian Sin
mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu. Sepuluh orang
itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan
melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka
kemudian menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat
lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman.
“Taihiap
telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga
nyawa kami semua. Apa bila tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib
kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan
itu.” Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang.
Thian Sin
lalu menengok ke arah lubang itu. “Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi
korban?”
Dia
menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak
tubuh seorang laki-laki yang sudah tak karuan bentuknya, sudah dikoyak-koyak,
bahkan sebuah lengan telah terlepas dari pundaknya.
“Hemm,
apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang
hutan yang sudah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku sudah
menyelamatkan kalian? Siapa yang mengancam kalian?”
Sepuluh
orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab,
bahkan Si Tinggi Besar itu lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, taihiap… kami…
sudah salah bicara tadi… dan kami menghaturkan terima kasih atas bantuan
taihiap menangkap orang hutan itu.”
Melihat
sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan dia pun melangkah ke arah lubang
jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan
marah.
“Baiklah,
kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu.”
Tiba-tiba
orang tinggi besar itu berseru, “A Pin… jangan…!”
Namun,
seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan
tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin.
Pemuda sakti
itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka dia pun
membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang
tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya
yang lebar sehingga jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah.
Akan tetapi
A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan melihat
pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut. Seperti juga
jarum-jarum halus tadi, pedang ini juga mengandung racun yang sangat hebat. Hal
ini dapat diketahuinya dari baunya.
Ketika
serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang
itu sudah terampas olehnya, lantas tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam
lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu disusul hiruk-pikuk di
dalam lubang itu, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan
geraman-geraman marah dari orang hutan.
Sembilan
orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka pun tahu apa yang
sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka itu sedang dikoyak-koyak oleh orang
hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja kemudian
suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang
tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas mendapat
seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya.
Thian Sin
memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas
tanah. “Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?” tiba-tiba dia membentak.
Sembilan
orang itu terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala. Si Tinggi Besar berkata
gugup, “Tidak… bukan, taihiap Jeng-hwa-pang sudah tidak ada…” Dia saling
memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, “kami hanyalah
pemburu-pemburu biasa…”
Thian Sin
tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya.
“Tak perlu lagi kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu
bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Apa kalian telah lupa kepadaku,
putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang pada beberapa tahun yang lalu pernah
membasmi Jeng-hwa-pang?”
Mereka makin
kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar
menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang mereka pun
ingatlah kepada pemuda ini.
“Ampun,
taihiap… ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenali taihiap. Memang kami
adalah bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang
Jeng-hwa-pang sudah tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu…”
“Sikap
kalian aneh sekali, seperti ada yang kalian takutkan. Temanmu yang menyerangku
tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau
tidak, kalian akan kulemparkan satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak
kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukah yang lain itu.”
Mendengar
ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apa lagi jika mengingat bahwa
pemuda ini adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap
Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut bukan main. Si Tinggi
Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu
bercerita.
Sisa para
anggota Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan
karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, sesudah rasa takut mereka hilang
terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke
sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka lalu membentuk
perkampungan.
Akan tetapi
mereka sudah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat. Mereka tak mau
lagi mengganggu para pelancong dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu
perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain.
Mereka hidup
sebagai pemburu-pemburu karena sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, selain
mereka rata-rata memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di
sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan.
Selama bertahun-tahun
mereka hidup aman dan tenteram, keluarga mereka berkembang biak dan
perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan untuk
berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar
perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat.
Akan tetapi,
semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan setelah muncul seorang
laki-laki yang bernama Su Lo To, yaitu seorang peranakan Han dan Rusia Kazak.
Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan sungguh pun
rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan
bulu-bulu tubuhnya juga putih.
Su Lo To ini
tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan
mereka pun kemudian menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan
belangnya dan dia pun menjagoi di perkampungan itu. Ternyata orang ini
mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tinggi sehingga dia sanggup merobohkan
semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya.
Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang
racun, karena Su Lo To ini pun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya
seperti gajah!
Maka,
tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi
pemimpin mereka. Memang betul bahwa Su Lo To tak pernah menyeret mereka ke
dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim.
Dia memaksa orang-orangnya untuk bekerja berat, tetapi sebagian dari hasil
buruan diamblinya sendiri.
Maka
sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di
antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini
saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana
saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya!
Pendeknya,
Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang selalu memeras orang-orangnya dan
menggunakan tangan besi. Semua orang takut padanya, karena Su Lo To ini amat
kejam. Banyak orang yang sudah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau
pelanggaran perintahnya.
LAKI-LAKI
tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu
tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini
bernama Gak Song dan telah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi
wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka meski pun dia
diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela
kawan-kawannya.
Akan tetapi,
akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song
mempunyai seorang menantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu
perempuan ini berasal dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan dia
termasuk seorang wanita yang cantik dan manis.
Kecantikan
mantu perempuan inilah yang mendatangkan mala petaka bagi keluarganya, karena,
seperti mudah diduga, Su Lo To sangat tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap
wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan.
Lantas timbullah akalnya yang busuk!
Selama
beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar yang tidak jauh dari daerah perburuan
mereka, terdapat seekor orang hutan yang amat ganas dan kuat. Karena mereka
merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan sudah kehilangan
seorang teman menjadi korban orang hutan ini, maka para pemburu lalu
meninggalkannya dan menjauhi hutan itu.
Su Lo To
juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi,
sesudah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song
dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu
hidup-hidup!
“Orang hutan
itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku
hendak menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka
dia pun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!”
Gak Song dan
kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan
membuat kepala itu marah dan celakalah mereka bila mana Su Lo To sudah marah.
Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang.
Akhirnya, setelah menunggu dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk
memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak hingga orang hutan
itu terjerumus ke dalam perangkap.
“Demikianiah,
taihiap, selanjutnya taihiap telah melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa
bantuan taihiap, tak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban
orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami
sendiri.”
Thian Sin
mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu bisa berada di dalam
perangkap itu?”
“Kami semua
mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar
dari lubang. Sayang sekali bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa
dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar kembali. Dan
binatang itu sangat hebat. Tusukan tombak tidak melukainya, dan bahkan dia
berhasil menangkap sebatang tombak lalu menarik tombak itu dan membuat teman
kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,”
Gak Song menarik napas panjang. “Dan… teman kami yang menyerang taihiap tadi
mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut terhadap ketua kami. Maka,
harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut
ini…”
Thian Sin
mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di
dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?”
“Kami tadi
tidak berani menggunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang dia
sudah tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami
dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah
ditangkap.”
Pada saat
itu pula terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah
seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama
dua orang di antara mereka.
“Su Bwee…!”
teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang langsung berlari maju
menyambut wanita itu.
Mereka
berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu amat manis,
namun pakaiannya dan juga rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya
basah karena tangis.
“Apa yang
terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis
berkerut.
“Dia adalah
mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku… entah apa yang telah
terjadi, taihiap…” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini
melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga
melangkah maju.
“Su Bwee,
berhentilah menangis dan lekas ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau
menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song.
Mendengar
suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu kemudian mengangkat mukanya
dari dada suaminya dan menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis
dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya.
“Ayah…
bunuhlah saja saya…” tangisnya.
Mendengar
ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu ia pun
membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan lekas
ceritakan apa yang telah terjadi!”
Su Bwee
menceritakan dengan suara tak jelas karena betapa pun dia menahannya, tetap
saja dia berbicara sambil menangis sesenggukan.
“Setelah
ayah bersama suami saya pergi… ketua kedatangan seorang tamu… dan untuk menjamu
tamu itu… saya beserta beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka
makan… kemudian… ketua memaksa saya… uh-hu-huuh… dia… dia menyeret saya ke
dalam kamarnya dan… dan… uh-huu-huuh…” Wanita itu tak dapat melanjutkan
ceritanya karena dia sudah terguling dan roboh pingsan.
Agaknya dia
sudah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis
dan berlari-larian, maka dia kehabisan napas dan juga kesedihan yang sangat
besar menghimpit perasaannya. Biar pun ceritanya tidak jelas, namun semua orang
dapat menangkap dan membayangkan apa yang sudah terjadi, apa yang sudah
dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, terhadap Su Bwee ini.
Suaminya,
pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua
matanya, seakan-akan hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa
isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali.
Pria tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangannya dikepal dan dia pun lalu
berteriak dengan geramnya.
“Su Lo To,
manusia jahanam! Berani engkau menghinaku seperti ini?”
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kau lihat saja,
sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang sudah berani menentangku!”
Lantas muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan.
Melihat
bahwa yang datang itu adalah Su Lo To bersama seorang laki-laki setengah tua
lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan.
Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika
dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan
mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali dia mengedipkan matanya, seolah-olah
tidak percaya akan penglihatannya sendiri.
Betapa dia
tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah
Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu sudah dihukum
mati, dipenggal di lehernya dan bahkan kepalanya digantungkan di depan pintu
gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain?
Kenapa orang
yang telah mati itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini? Apakah arwah atau
setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena
pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah
Torgan.
Sementara
itu Gak Song yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi, begitu melihat
munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul
kenekatan hatinya.
“Su Lo To
manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song menggunakan tombaknya
untuk menyerang.
Melihat
serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini,
Su Lo To hanya tertawa saja. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh
tahun ini tubuhnya gendut dan agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya
kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan pada saat tertawa,
nampaklah giginya yang berwarna kuning menghitam.
Pada waktu
mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba saja Su Lo To
menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring, lantas sekali sambar dia sudah
berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan kuat sekali, lalu kakinya
melangkah maju dan sekali diayun, dia pun sudah menendang.
Gak Song
tidak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat
itu pula, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, sudah menerjang
dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia
menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak pada tangan pemuda itu
patah. Dan sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan
mengenai pahanya hingga pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat
ayahnya.
“Ha-ha-ha,
ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha-ha, sudah bosan
hidup, ya?”
Tiba-tiba
terdengar gerengan yang sangat dahsyat. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah
lubang jebakan itu dan dia pun mengerti, lalu tertawa girang.
“Aha, si
liar itu telah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah dia kuberi hadiah pertama
agar mudah menjadi jinak!” Kemudian dia melangkah menghampiri Gak Song dan
puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian berdua yang
akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!”
Semua orang
menjadi ketakutan sehingga mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dengan
tubuh menggigil. Mereka sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak
Song bersama puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap supaya
dibunuh oleh orang hutan!
Akan tetapi,
sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar kedua orang
itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu
seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang
pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah
kepadanya.
“Apakah
engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus.
Su Lo To
mengernyitkan sepasang alisnya lantas memandang tajam. Baru sekarang dia
melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnya.
“Benar, aku
bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau dapat berada di
sini?”
“Suheng!
Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan
kepadamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju
pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah.
Thian Sin
tersenyum. “Aha, ternyata dua ekor srigala busuk sudah berkumpul di sini, dan
kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang amat cocok untuk
menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu
saja!”
Memang orang
itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana secara tiba-tiba saja dia dapat muncul
di sini? Bukankah dia sudah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah
sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu
saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di
depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan
diri lagi kalau begitu.
Maka, biar
pun dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan
membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Namun masih ada bekas kaki
tangannya yang dapat menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukannya
dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya.
Dengan jalan
mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan pun berhasil lolos dan
membiarkan seorang korban, yaitu orang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah
dibikin tidak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan
dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala
orang lain yang mirip sekali dengan dirinya!
Dan dia
sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suheng-nya yang sudah
menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak
adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para
pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka.
Keduanya
lari dan Torgan lebih pandai dari pada suheng-nya karena Torgan bisa menjadi
orang kepercayaan Raja Agahai, kemudian dijadikan pembantunya yang amat
dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam hal ilmu silat dan racun,
tetapi tidak secerdik sute-nya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah
Jeng-hwa-pang.
Mendengar ucapan
Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su
Lo To membentak.
Ketika
tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya
ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri
sehingga tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu
lalu menancap pada batang pohon sampai setengahnya!
“Hayo lekas
kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak
buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu.
Akan tetapi
tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tak ada
seorang pun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biar
pun mereka sangat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorang pun yang mau
mengeroyok Thian Sin.
Sementara
itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To
dengan marah, akan tetapi juga gembira melihat Thian Sin sudah maju. Mereka
percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka
yang kejam itu.
“Hemm, tidak
ada seorang pun yang mau mentaati perintahku, ya? Baiklah, tunggu saja, sesudah
dia kubereskan, maka kalian pun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu
seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah
Gak Song.
Hatinya
semakin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu sudah saling rangkul
dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, ketika
melihat wanita itu lenyap dari kamarnya pada saat dia sedang bercakap-cakap
dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah
diperkosanya itu.
Dia memang
sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia
dengan bebas dapat memiliki wanita itu. Tetapi tak disangkanya dia malah akan
menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing
yang menentangnya.
“Suheng,
hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo
To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sute-nya itu
sudah tinggi sekali dan hanya sedikit saja selisihnya dengan kepandaiannya
sendiri, maka pujian sute-nya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar.
“Sute,
apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat
adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di hadapannya, dia
kemudian melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu.
Batu yang
amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dengan
mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat
kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu
saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai
orang-orang lain. Maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan menerima
sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya.
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak, dan menyangka bahwa pemuda itu terancam
bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengan mudah dan enaknya Thian
Sin bahkan mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas
beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu
itu ke arah kiri.
Batu
berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung
kemudian terhenti saat menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan
tumbang!
Melihat
betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak
Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah.
“Bagus,
kiranya engkau memiliki sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, terimalah seranganku
ini!”
Su Lo To
segera maju menerjang ke depan, sepasang lengannya yang pendek besar itu
bergerak aneh. lalu terbit angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri,
didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang
itu. Mengerikan sekali.
Thian Sin
yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, cepat
menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja
dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu pula Torgan juga sudah
menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang.
“Singggg…!”
Sinar pedang
menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak. Pemuda ini mengelak sambil
mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan, pada saat Su Lo To sudah menubruk
maju lagi.
“Plakkk!”
Ujung lengan
baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To. Ujung lengan
baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To
menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti
ditusuki jarum-jarum panas!
Tahulah dia
kini mengapa sute-nya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini
merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun lalu mencabut senjatanya, yaitu
sebatang golok yang tadi tergantung pada punggungnya. Golok tipis lebar yang
berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan
pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung
tubuh Thian Sin!
Melihat ini,
Gak Song dan teman-temannya yang semuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan
main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebut sute oleh
ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan
keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata tetapi harus menghadapi
pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan
kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini
membuat Gak Song menjadi nekad.
“Mari kita
bantu taihiap!” berkata demikian, dia pun mencari tombak dan para pengikutnya
juga bangkit dan siap melawan sampai mati.
“Mundurlah
kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum
membutuhkan bantuan!”
Ucapan Thian
Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi sekaligus menggirangkan hati Gak
Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat
Thian Sin masih berdiri tegak namun terus diancam oleh dua gulungan sinar yang
menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya.
Tiba-tiba
terdengar Su Lo To membentak keras kemudian sinar goloknya menyambar dan
mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sute-nya yang juga amat membenci
pemuda yang telah membuat dirinya terjungkal dari kursi kedudukannya di
kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar
dari pada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya
merupakan seorang pengacau saja.
Thian Sin
maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi sehingga tidak
boleh dipandang ringan. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi
seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah
kandungnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya.
Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu
menandinginya!
Kiranya,
dengan ilmu mana pun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan
mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan
itu. Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di
Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh.
Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji
ilmu-ilmu peninggalan ayahnya yang sudah dilatihnya secara masak, di bawah
bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di
dalam pertapaannya itu.
Oleh karena
itu, dia pun segera menghadapi serangan-serangan kedua orang itu dengan Ilmu
Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas
jurus ini memang hebat bukan main. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya
menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sinkang yang terkumpul melalui siulian
menurut ajaran di dalam kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar
dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan
yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu.
Gerakan
kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu
mendekatinya, apa lagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali
mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin
bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia
menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru
tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak sanggup bertahan
lagi dan terus terhuyung ke belakang!
“Hemmm, dua
ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!” Thian Sin membentak dan sekarang
dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun, maka tiba-tiba saja
tubuhnya berjungkir-balik!
Dua orang
lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika
tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh
sekali. Dan sebelum mereka tahu apa yang sedang terjadi, ujung kedua sepatu itu
telah menendang sehingga membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba
saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut kemudian mereka pun terpelanting
dan jatuh!
Dua orang
itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah
selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah berjumpa dengan lawan
sehebat ini. Mereka telah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan
tangan. Jarum-jarum berikut paku-paku beracun langsung bertaburan keluar dari
tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin.
Akan tetapi
pemuda itu hanya tersenyum saja. Tangan kirinya mencabut kipas, kemudian dengan
beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu pun runtuh.
Bahkan di bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki, seperti mengenai baja saja
dan runtuh tanpa menimbulkan luka.
Dan sambil
tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka. Dua orang itu
memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya,
tapi hendak melawan merasa takut!
“Engkau
hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat
kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo kalian
masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?” Thian Sin berkata, suaranya halus
dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah
lehernya yang sedikit berkeringat.
Su Lo To dan
Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggelengkan kepala. Mereka
belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap yang di dalamnya ada seekor
orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka juga tahu bahwa
pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana.
Tiba-tiba
saja Thian Sin berseru, “Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke
sana!”
Kipasnya
lalu menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka
mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak
menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat.
Dua orang
yang sudah merasa jeri itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat-cepat
mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa
tubuh mereka terdorong lantas terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi. Ternyata
Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangannya untuk menarik perhatian mereka
ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sinkang sambil menendang ke arah mereka,
tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka
terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu.
Semua orang
yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan
tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang
parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diselingi oleh
seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu.
Thian Sin,
Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari
atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang
hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali,
pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi
sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan
karena lubang itu terlampau sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga
itu lebih tepat bergumul dari pada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan.
Akhirnya,
sesudah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua
orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki serta sebuah tangan, kemudian
mereka mengerahkan tenaga menarik.
Terdengar
orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, namun akhirnya
terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua
potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari
lubang.
Semua orang
meloncat mundur dan tidak lama kemudian, kedua orang itu pun melayang keluar
dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan
dan muka mereka pun berdarah, keadaan mereka sungguh menyeramkan sekali.
Thian Sin
tersenyum saat menghadapi mereka. “Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan
orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.”
Dua orang
itu saling pandang dan nampak terkejut sekali. Mereka tadinya mengira bahwa
sesudah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu lantas berkelahi mati-matian
melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan
mereka.
Karena
merasa jeri, maka tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, “Taihiap… harap suka
ampunkan kami…”
“Hemmm,
mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira
arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada
mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan
engkau, Su Lo To, biar pun di antara kita tidak terdapat permusuhan, akan
tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja!
Juga para wanita yang pernah kau permainkan dan saudara-saudara yang dulu
pernah kau siksa atau kau bunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak
kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, aku tentu akan membuat perhitungan
dengan semua penjahat!”
Dua orang
yang sudah merasa jeri itu, sesudah saling memberi isyarat dengan pandang mata,
tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang
lagi ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan
berpencar agar salah seorang di antara mereka dapat lolos!
Melihat ini,
Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan. Sekali loncat saja dia sudah
berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang
itu terguling sehingga tidak mampu bangkit kembali.
Thian Sin
langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh,
akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tidak lama kemudian
Thian Sin sudah dapat mengejarnya.
Begitu
mendengar gerakan dari arah belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu sudah
mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik lalu mengirim serangan
dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk
menerkam laksana gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya,
karena maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo
To telah mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali
dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, maka dia akan dapat
menghancurkan pemuda itu!
Akan tetapi,
Thian Sin langsung menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia
mengerahkan tenaganya, maka terdengar suara nyaring.
“Krekk!
Krekk!” dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu!
Thian Sin
menendang dan lawannya pun roboh tidak mampu bangkit lagi, hanya merintih
karena kedua pergelangan tangannya terasa nyeri bukan kepalang! Gak Song dan
teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang
sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat
pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya.
Setelah
melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian
Sin kemudian berkata, “Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu
menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap
kedua orang ini?”
Thian Sin
tersenyum. “Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh
orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada
perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada
kalian untuk diadili!”
“Biar
kubalaskan sakit hati isteriku!” Putera Gak Song berteriak dan dia sudah
mencabut goloknya, kemudian mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang
sudah tidak mampu mengelak lagi.
“Plakk!”
Golok itu
terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini
lantas mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song
yang terbelalak heran dan kaget.
“Bukan
begitu caranya menghukum orang jahat. Terlampau enak baginya apa bila hanya
langsung dipenggal lehernya. Dia adalah perusak wanita, suka memperkosa wanita,
nah beginilah hukumannya untuk itu!”
Nampak sinar
berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi
ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To
berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana
orang itu, maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu
sudah mempergunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To!
Hanya
seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan hal itu tanpa melukai
kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang
menusuk-nusuk jantung sehingga tubuhnya berkelojotan.
“Dan dia
juga telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya
dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!”
Kembali
tampak sinar golok berkelebat dan sekarang yang menjadi sasaran adalah kedua
tangan Su Lo To yang tahu-tahu sudah menjadi buntung! Darah bercucuran dari
kedua lengan yang telah kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To semakin keras
berkelojotan, mukanya penuh peluh dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang
dan membusa.
Semua orang
menjadi ngeri sekali menyaksikan peristiwa ini, bahkan menantu Gak Song yang
tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan di dalam
rangkulan suaminya. Wajah Gak Song sendiri menjadi pucat bukan main. Selamanya
belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan
Thian Sin itu!
“Nah,
biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan semua kejahatannya. Dan
sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!” Dia menghampiri Torgan yang
sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suheng-nya itu.
“Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?”
Baru
sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali
melihat suheng-nya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda yang
sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan,
dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tidak mampu
berkata-kata lagi, hanya dapat memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh
dengan keringat dingin.
“Engkau
tidak mau bicara? Padahal, di hadapan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling
busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang dulu menganjurkan agar Raja Agahai
ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok kedua orang tuaku. Maka, pertama-tama
mulutmu yang harus dihukum!” Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat
dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada.
Kini mulut
itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya,
lenyap akibat terbabat golok sehingga pada bagian itu hanya nampak sebuah
lubang hitam yang penuh berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari
tenggorokannya, sedangkan semua orang memandang dengan hati ngeri.
“Engkau pun
harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!”
Golok itu
berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya,
hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan
kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai
membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu.
Thian Sin
juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song serta
kawan-kawannya lantas berkata, “Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas-bekas
anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak mau melakukan kejahatan lagi.
Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan
mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini.”
Gak Song
cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya. “Kami
menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap,” Suaranya menggetar, tanda
bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu.
“Dan kalian
harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, karena itu, jika
sampai kelak aku mendengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa
perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!”
Putera Gak
Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa dia sama sekali tidak
bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya.”
“Bagus kalau
begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek
Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!”
Mendengar
pertanyaan ini, Gak Song lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Kami semua
benar-benar tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah
mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh
dari kota raja. Tentu saja dia telah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin
mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han
Houw.”
“Apa
maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?”
“Ada dua
orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda
taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin
Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap.”
Thian Sin
mengangguk-angguk. “Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!”
Dan sekali
dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang
menjadi terkejut dan juga kagum bukan main.
Sementara
itu, dua tubuh yang sudah tak karuan rupanya itu masih berkelojotan dan dari
tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat
hal ini, Gak Song menjadi tidak tega. Walau pun Su Lo To pernah melakukan
banyak kejahatan dan menindas dia serta semua temannya, namun melihat tubuh itu
berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega.
Cepat dia
menyambar dua batang tombak, lantas dengan gerakan kuat dia menancapkan
tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung.
Seketika itu juga tewaslah kedua orang itu.
Gak Song
kemudian memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang,
bersama mayat kawan mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang
hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu,
beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang,
karena mereka melihat masa depan yang cerah sesudah Su Lo To tidak ada.
***************
Perkumpulan
pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah
perkumpulan pengemis yang terbesar di kota raja dan sekitarnya. Dahulu, ketika
perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan
perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan
untuk menentang para pejabat pemerintah apa bila para pejabat itu menindas
rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang
membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah
ketika dia dituduh menjadi pemberontak.
Ketika itu,
Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah
pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, sesudah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar
Ceng Tung sendiri juga sudah tak ada lagi dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar
Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati
pemerintah, apa lagi sesudah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan
Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu
terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah.
Dan
biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu
yang tidak kenal puas. Selain kepuasan sesaat saja, kesenangan selalu
mendatangkan keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan
lebih besar lagi.
Makin kita
memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam
lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita
sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu
yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka.
Sudah
jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tak ada
guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah
kehancuran, baik jasmani mau pun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran
kitab-kitab suci atau pun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya
teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Akan tetapi,
bagaimana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua
pelajaran kebatinan? Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu?
Yang
mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka
aku ingin supaya dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, supaya menjadi baik.
Aku melihat bahwa menuruti nafsu akan membawa kepada kesengsaraan, maka aku
ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh
keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang
menyenangkan.
Bila mana
kita mau mendalami hal ini, maka akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita
sendiri, pikiran kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang. Sedangkan
yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara
nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku
yang ingin selalu senang.
Terjadilah
konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin
mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi
nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tak akan mematikan nafsu, hanya akan
menyeilmuti saja untuk sementara. Dan dalam konflik pengekangan ini, kita
membuang energi yang amat besar dan sangat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan
lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.
Yang
terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu apa bila
timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini
atau begitu yang semuanya tentu menuju ke satu arah, yaitu ingin bebas, ingin
selamat, ingin aman, yang sesungguhnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu
keinginan, yaitu keinginan untuk senang.
Pengamatan
yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada di dalam satu
lingkaran setan, karena si pengamat ini adalah si aku pula, si nafsu untuk
memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah
pengamatannya saja, tanpa aku si pengamat. Di dalam pengamatan ini terdapat
kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya
pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan
perubahan.
Setelah kini
menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apa lagi di kota raja di
mana perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar dari
tingkat yang tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan
kekuasaannya terasa oleh penduduk.
Kai-pang ini
sangat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu
diterima sebagai orang yang dihormati dan disegani, padahal sebenarnya adalah
merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis
baju kembang untuk mendapat sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, mau
pun orang-orang.
Tidak ada
sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapa pun juga. Selama suatu
pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut
pemberian atau sumbangan atau dermaan dan lain sebagainya, maka di dalam
pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu.
Mungkin
sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati
sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya
disebut sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali
tidak rela! Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah
yang bahkan pemberiannya tidak dianggap sebagai pemberian atau sumbangan lagi,
akan tetapi merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi.
Orang-orang
Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan
seperti lajimnya pakaian pengemis, akan tetapi sama sekali tidak kotor apa lagi
butut, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan
terbuat dari pada kain yang bersih dan baru. Dan mereka ini yang menjadi
semacam ‘pelindung’ dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk.
Memang benar
bahwa semenjak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi
pencoleng yang berani beroperasi karena mereka ini akan berhadapan dengan Hwa-i
Kai-pang yang sangat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk
beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja.
Akan tetapi,
tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota
raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para ‘pelindung’ itu sendirilah
yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, apa bila para
pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau
menggertak dengan kasar, sebaliknya para ‘pelindung’ itu melakukannya dengan
halus, dengan dalih hendak melindungi, sumbangan dan sebagainya.
Akan tetapi,
apa bedanya bagi rakyat yang harus menderita rugi karenanya? Sama saja!
Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah
menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman.
Inilah
ciri-ciri dari penyalah gunaan kekuasaan dan hal ini sudah terjadi semenjak
jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka
perbedaan itu hanyalah terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula
halus. Akan tetapi pada hakekatnya kekuasaan telah disalah gunakan untuk
mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan bagi
diri sendiri.
Karena
kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tak
mengherankan apa bila seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan
kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan
pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada
antara bangsa dan negara!
Setelah kita
melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka jalan
satu-satunya bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tak pernah ikut
memperebutkan kekuasaan lagi!
Sekarang
para penjaga keamanan kota boleh tinggal enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan
para prajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari satu toko ke toko lain
untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i
Kai-pang!
Betapa pun
juga, sekarang kota raja kelihatan aman dan tenteram, dan Hwa-i Kai-pang
seolah-olah menjadi semacam pasukan khusus yang menjamin keamanan di dalam kota
raja. Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang
mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu.
Pada suatu
hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak
orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak
memuji. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama
seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang mengadakan pertunjukkan silat
untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu
obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keseleo, juga
menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya.
Permainan
silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis itu
menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir
pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian sambil bertelanjang dada
dan punggung, dia pun menghadap ke empat penjuru.
“Untuk
membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan menunjukkan betapa koyo itu
dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat.”
Puterinya
mengambil sebatang toya kuningan, kemudian dengan toya ini mulailah dara itu
mengayunkan toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak
tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa
ngeri juga. Walau pun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai
sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya
menjadi matang biru.
Atas isyarat
ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu
berjalan berkeliling mendekati para penonton memperlihatkan keadaan kulit
punggung dan dadanya itu dari dekat. Sesudah itu, dengan dibantu oleh puterinya
dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu.
Sambil
menanti dan membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali menunjukkan
kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya
berubah menjadi banyak sekali, terus menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si
dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan.
Sesudah dara
itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan
semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada
kulit dada dan punggung itu lenyap sudah.
“Cu-wi telah
menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di
rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri atau pun anak-anak cu-wi, terjatuh
lalu terluka atau membengkak. Harganya sangat murah karena koyo ini adalah
buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami
tidak setiap hari lewat di kota raja ini…”
Dara itu
membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton
yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri
kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum dengan kemahiran ayah dan anak
itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati. Sebentar saja
seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang
sehingga berkali-kali dia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum
manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli.
“Cu-wi
sekalian sudah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai
habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat
lagi,” kata si tukang koyo.
Akan tetapi
tiba-tiba saja para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang
pengemis baju kembang. Semua orang merasa sangat khawatir karena biasanya apa
bila ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul
keributan.
Mereka itu
adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih
dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka berdua sudah biasa berbuat
ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka langsung memasuki
lingkaran itu dengan tersenyum mengejek.
Seorang di
antara mereka yang pada pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari
hidung hingga ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan
menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran sebab sebagai orang
luar dia tak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara
galak,
“Hei, tukang
penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk
berdagang di sini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?”
Menerima
pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukang obat yang sudah
sangat berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari
keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar.
“Maaf,
karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual
koyo guna menyambung biaya perjalanan kami.”
“Huh, enak
saja bicara!” kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. “Siapa pun
juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak
boleh sembarangan membuka pertunjukan di sini!”
“Kami sudah
terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami
akan minta ijin lebih dulu,” kata tukang penjual obat itu dengan sikap
merendah.
“Mana ada
aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo lekas serahkan
setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru boleh bicara tentang maaf!”
kata Si Muka Codet.
Tukang obat
itu mengerutkan alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata
dengan suara keras, “Mana bisa begitu? Keuntungan kami pun tidak ada
setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?”
“Aha, nona,
siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah
lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal, jadi biar pun membayar kepada kami
setengahnya sekali pun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!”
kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali.
Mendengar
ini, kemarahan tukang obat itu tak sanggup ditahannya lagi. “Harap ji-wi tidak
main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau selalu mengandalkan
biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang
mengambil keuntungan terlampau banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan di
sini, maka kami telah melanggarnya dan harap ji-wi suka memaafkan. Kini biarlah
kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi.” Sambil berkata demikian, tukang
obat yang belum tahu dengan pengemis macam apa dia berhadapan itu, telah
menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka.
“Plakk!” Si
Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu segera
terlempar.
“Hemmm,
siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami,
memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kau kira kami ini orang-orang
kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini.
Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kau ganti saja dengan
puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?”
Inilah
penghinaan yang sudah amat jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang
kang-ouw yang sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan
ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah
orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka dia pun melompat maju dan bertolak
pinggang.
“Sahabat,
aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela
kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah,
jangan kalian kira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng
pengemis macam kalian ini!”
Dua orang
pengemis itu melotot. “Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?”
Sudah biasalah bagi orang-orang yang mengandalkan nama perkumpulan,
sedikit-sedikit menyinggung kepada perkumpulannya di mana dia bersandar.
“Apakah engkau sudah bosan hidup?” bentak Si Codet.
Dan dia pun
sudah menyerang dengan pukulan keras ke arah muka tukang obat itu. Akan tetapi
tukang obat itu mengelak, lantas balas memukul ke arah lambung. Si Codet cepat
menangkis.
“Dukkk…!”
Dua lengan
bertemu dan akibatnya mereka sama-sama terhuyung dan merasa lengan mereka
nyeri. Ini menandakan bahwa tenaga kedua orang ini berimbang.
Si Codet
yang merasa sebagai seorang jagoan dan selama ini di kota raja belum pernah ada
orang yang berani menentangnya, merasa penasaran lantas menyerang lagi dengan
cepatnya. Seperti para anggota Hwa-i Kai-pang lainnya, dia juga mengandalkan
ilmu silat Ta-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Memukul Harimau). Gerakannya memang
sangat cepat dan setiap pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat.
Tukang obat
itu harus mengeluarkan seluruh kepandaian untuk mengimbangi serangan-serangan
lawannya yang ternyata tangguh itu. Mereka lantas saling serang dan keadaan
mereka seimbang, walau pun tukang obat itu merasa sibuk juga menghadapi ilmu
silat yang lihai itu.
Melihat
betapa temannya belum juga mampu mengalahkan Si Tukang Obat, Si Muka Hitam
menyerbu ke depan. Akan tetapi, dara itu berseru marah.
“Pengecut,
jangan main keroyok!” Dan dia pun menerjang ke depan menyambut Si Muka Hitam.
Karena maklum betapa lihainya para pengemis ini, tukang obat itu berseru kepada
puterinya agar mundur.
“Cin-ji,
mundurlah, biarkan aku yang menghadapi mereka!”
Akan tetapi,
tentu saja dara itu tidak mau mundur dan dengan cepat dia telah menyerang Si
Muka Hitam yang melayaninya sambil tertawa-tawa. Dan memang benar, kepandaian
dara itu masih terlampau rendah untuk menandingi Si Muka Hitam, apa lagi dia
juga kalah tenaga. Setiap terkena tangkisan Si Muka Hitam itu, lengannya terasa
nyeri sekali dan dia terhuyung. Akhirnya, sebuah tendangan dari Si Muka Hitam
mengenai lutut dara itu yang membuatnya terpelanting roboh. Kakinya terkilir
dan dara itu tidak dapat berdiri lagi.
“Ha-ha-ha,
malam nanti kupijiti kakimu yang terkilir, manis!” kata Si Muka Hitam yang kini
cepat membantu temannya menghadapi Si Tukang Obat yang sudah terdesak.
Melawan Si
Codet seorang saja, dia sudah terdesak, apa lagi setelah Si Muka Hitam ikut
maju. Maka Si Tukang Obat mulai menerima pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangan yang membuatnya babak bundas dan jatuh bangun. Akan tetapi
dia masih terus melawan meski pun setiap kali dia bangkit, hanya untuk
menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan belaka.
“Ha-ha-ha,
nah cobalah sekarang obati luka-lukamu dengan koyo itu! Ha-ha-ha!” Si Muka
Hitam tertawa-tawa.
“Hayo kau
ikut bersama kami!” Si Codet maju dan menangkap lengan dara yang masih duduk di
atas tanah karena kakinya terkilir sehingga sia tidak mampu bangkit berdiri.
Ketika
lengannya ditangkap, dara itu meronta-ronta sambil menangis. Akan tetapi, semua
orang yang tadinya menjadi penonton, kini mundur dan tidak ada seorang pun yang
berani melerai, apa lagi menolong dara dan ayahnya itu.
“Dunia sudah
kacau, dunia sudah gila binatang buas berkedok manusia merajalela di kota raja
seenaknya tanpa ada yang berani merintanginya!”
Semua orang
merasa terheran-heran ketika melihat seorang pemuda tampan berpakaian
sasterawan, membawa kipas dan mengebut-ngebutkan kipas mengusir panas, membaca
sajak dengan suara merdu, mendekati tempat kedua orang pengemis Hwa-i Kai-pang
itu beraksi. Kedua orang pengemis ini pun melihat Si Pemuda dan mereka menjadi
marah sekali.
“Heh, engkau
inilah yang agaknya sudah gila. Hayo lekas pergi, atau kupatahkan
tulang-tulangmu bersama kipasmu!” bentak Si Muka Hitam yang sudah merasa lelah
memukuli Si Tukang Obat dan sekarang agaknya hendak mencari sasaran lain untuk
memamerkan kekuatannya.
Akan tetapi
Thian Sin, pemuda itu, tidak mempedulikan Si Muka Hitam, melainkan malah
menghampiri dara yang telah dilepaskan oleh Si Codet yang kini juga memandang
marah kepada Thian Sin yang dianggapnya mencampuri urusannya. Tetap saja Thian
Sin tidak mempedulikan dua orang pengemis itu, melainkan menggunakan kipasnya
yang ditutup untuk menotok ke arah kaki kiri dara itu.
“Tuk-tukk!”
Dua kali dia menotok dan dara itu merasa betapa kakinya sembuh kembali! Maka
dia pun cepat bangkit berdiri dan memandang heran kepada pemuda itu.
Thian Sin
lalu menjura kepada dara itu. “Nona, dua ekor anjing belang ini telah memukuli
ayahmu dan bersikap kurang ajar kepadamu, mengapa engkau diam saja, nona?
Engkau adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat, mengapa dihina orang diam
saja? Hayo kau hajar dua ekor anjing belang yang kurang ajar ini!” Berkata
demikian, tanpa dilihat orang lain, Thian Sin mengedip kepada dara itu.
Entah apa
yang menyebabkan dara itu seketika menjadi percaya sekali kepada Thian Sin.
Mungkin melihat sikap aneh dari pemuda ini, dan mungkin pula melihat betapa
dengan totokan kipasnya saja pemuda itu sudah mampu membuat kakinya yang
terkilir menjadi sembuh kembali. Tiba-tiba dara itu telah meloncat ke depan
menyerang kepada pengemis muka codet.
“Cin-ji…
hati-hatilah…!” Ayahnya yang babak-belur itu memperingatkan karena dia tahu
bahwa puterinya itu sama sekali bukan tandingan pengemis-pengemis yang lihai
itu. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika melihat betapa pukulan tangan
dara itu dengan tepat mengenai leher pengemis muka codet.
“Plakkk!”
Pukulan itu
cukup keras sehingga kepala Si Codet itu sampai miring dan tubuhnya juga
terhuyung ke belakang.
“Bagus,
nona! Itu aniing belang muka hitam minta bagian!” seru Thian Sin dengan suara
gembira.
Semua orang
yang melihat peristiwa ini menjadi terheran-heran, juga tukang obat sendiri.
Kini, mendapatkan semangat baru karena hasil pukulannya tadi dan mendengar
dorongan pemuda sasterawan, dara itu menyerang dengan tendangan kaki ke arah
perut Si Muka Hitam.
“Desss…!”
Si Muka
Hitam terjengkang dengan mata terbelalak dan muka merah, memegangi bagian
perutnya yang tertendang karena terasa nyeri. Si Codet dan Si Muka Hitam sudah
bangkit lagi, mata mereka terbelalak karena tanpa ada yang tahu, mereka tadi
tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar dan ditendang oleh nona itu, akan
tetapi sungguh luar biasa, setiap kali mereka ingin menggerakkan tangan atau
kaki untuk menangkis atau mengelak, tubuh mereka mogok dan sama sekali tidak
dapat digerakkan sehingga tentu saja pukulan serta tendangan gadis itu selalu
tepat mengenai sasaran dan tubuh mereka terpelanting atau terhuyung, baru
setelah itu mereka mampu bergerak lagi!
Dara itu
menjadi gembira bukan main melihat betapa setiap pukulan dan tendangannya
mengenai sasaran. Maka dia pun terus menyerang kedua orang pengemis itu
bergantian, dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan sekuatnya.
Akibatnya, tubuh kedua orang pengemis itu iatuh bangun seperti ketika ayahnya
dihajar tadi....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment