Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 23



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 23


AGAHAI sudah bangkit kembali lantas mundur-mundur, seperti hendak melakukan ancang-ancang untuk menyerang lagi. Akan tetapi, raja yang cerdik dan licik ini tiba-tiba meloncat ke belakang, ke arah pembaringan! Thian Sin kaget bukan main, akan tetapi Raja Agahai telah dapat menerkam tubuh Leng Ci, menarik dan mencekik leher wanita itu.

“Kalau kau maju, akan kupatahkan batang lehernya!” Dia mengancam kepada Thian Sin, sedangkan Leng Ci meronta-ronta tidak berdaya. “Hayo buka pintu dan minggir, biarkan aku lewat!”

Diam-diam Thian Sin kagum juga akan kecerdikan raja itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia tertawa. Suara tawanya demikian mengerikan dan aneh sebab memang dia mengerahkan tenaga khikang dalam suaranya.

Raja Agahai memandang dengan heran dan merasa aneh, namun inilah kesalahannya. Begitu dia memandang dengan perasaan tertarik, dia sudah terperangkap dan berada di dalam pengaruh kekuasaan ilmu sihir yang dikerahkan pemuda itu.

“Ha-ha-ha, Agahai, apakah engkau sudah gila? Lihat baik-baik apa yang kau cengkeram itu? Yang kau cekik hanya sebuah bantal!”

Agahai terkejut, kemudian dia cepat memandang kepada Leng Ci yang tadi diringkus dan dicekiknya. Dan hampir saja dia berteriak kaget serta penuh kekecewaan karena ternyata memang benar, yang diringkusnya itu tidak lain hanyalah sebuah bantal! Kemarahan yang meluap-luap membuat dia mengangkat ‘bantal’ itu dan melemparkannya dengan tenaga sepenuhnya ke arah dinding.

Kini Thian Sin yang terkejut bukan kepalang. Tentu saja yang diringkus oleh raja itu sama sekali bukan bantal, namun tubuh Leng Ci yang denok! Dan ketika tubuh itu dilemparkan oleh raja, Thian Sin yang tidak menyangkanya sama sekali tidak mampu lagi mencegah.

Terdengar suara keras ketika tubuh itu terbanting dan menghantam dinding. Saat terjatuh ke lantai, tubuh itu sudah tidak bergerak lagi dan dari kepala yang mengalirkan darah, dari kedudukan leher yang terkulai, tahulah Thian Sin bahwa mata indah yang terbuka lebar itu tidak melihat apa-apa lagi. Leng Ci telah tewas dengan kepala retak!

“Agahai, manusia busuk! Manusia keparat kau! Kau membunuh dia… ah, kau membunuh Leng Ci…!” Thian Sin marah sekali.

Dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sesungguhnya sehingga permainannya dengan Leng Ci itu pun tidak dapat dikatakan cinta, melainkan lebih terdorong oleh nafsu birahi belaka. Akan tetapi, melihat Leng Ci yang sama sekali tak berdosa itu harus tewas dalam keadaan demikian menyedihkan, dan semua itu karena ulahnya sehingga Leng Ci dapat dibilang mati karena dia, hal ini membuat Thian Sin merasa berduka dan marah sekali. Diterjangnya Raja Agahai.

Raja ini mencoba untuk membela diri dan berteriak-teriak memanggil pengawal-pengawal. Akan tetapi tidak ada seorang pun pengawal yang datang, dan dia pun tentu saja tidak berdaya sama sekali menghadapi tamparan-tamparan Thian Sin. Terdengar suara keras berkali-kali dan pada waktu raja itu terpelanting dengan muka yang bengkak-bengkak dan berdarah, Thian Sin masih terus menyusulkan tendangan-tendangan yang membuat raja itu jungkir balik dan jatuh bangun.

Akan tetapi pemuda ini tidak pernah menggunakan tenaga saktinya, karena dia tidak mau membunuh Agahai begitu saja. Dia masih belum selesai berurusan dengan raja ini, maka betapa pun marah dan menyesalnya atas pembunuhan terhadap diri Leng Ci, dia belum mau membunuh raja itu, hanya menyiksanya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.

Yang membuat pemuda ini menyesal adalah, bahwa terbunuhnya Leng Ci sesungguhnya karena dia. Raja itu membunuhnya tanpa sengaja, mengira bahwa yang dicengkeramnya tadi benar-benar bantal sehingga saking kecewanya bantal itu lantas dilemparkan.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, dan Thian Sin menghentikan pemukulan-pemukulannya terhadap raja itu pada saat melihat bahwa yang muncul adalah Ratu Khamila, neneknya. Ternyata sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Menteri Abigan bersama rekan-rekannya, bekas Ratu Khamila yang dipenjara ini cepat-cepat dibebaskan dan dibawa ke istana, setelah para pasukan pemberontak berhasil menguasai istana dan sebagian besar dari para pengawal Raja Agahai yang setia dibinasakan dan sebagian lagi yang menyerah lalu ditangkap.

Istana dibersihkan dari pengikut-pengikut Agahai, dan sekarang istana telah dikuasai oleh pasukan penjaga pemberontak. Setelah itu Ratu Khamila baru dibebaskan dan dijemput, dibawa ke istana. Dan ratu ini, bersama Menteri Abigan serta beberapa orang panglima dan pengawal, lantas datang ke kamar Thian Sin di mana pemuda itu sedang menghajar Raja Agahai.

Raja Agahai yang melihat munculnya Ratu Khamila dengan beberapa orang menteri dan panglima, maklum bahwa dia terancam. Dia belum tahu apa yang terjadi di luar, tidak tahu bahwa para pengawalnya sudah terbasmi. Namun, melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun pengawal yang muncul ketika dia berteriak-teriak minta tolong, dia pun telah dapat menduga apa yang telah terjadi.

Maka kini melihat munculnya Puteri Khamila, tahulah dia bahwa permainan telah berakhir dan bahwa dia telah kalah total. Pemuda itu adalah putera tunggal Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw dan pemuda itu sudah tahu bahwa dia ikut ambil bagian dalam pengeroyokan pangeran itu dan isterinya sampai mati. Tiada harapan lagi baginya, maka dia pun tidak banyak tingkah lagi.

“Agahai, sudah tahukah engkau akan semua dosa-dosamu?” kata Ratu Khamila dengan suara halus namun penuh teguran. Rasa sakit hati ratu ini akibat dia ditawan tak sedalam saat dia mendengar bahwa puteranya tewas oleh pengeroyokan yang sebagian dilakukan orang-orangnya Agahai.

Agahai yang sudah putus asa itu tertawa. “Hemm, kalian lihat saja nanti kalau pasukan-pasukanku bergerak dan menghancurkan kalian semua!”

Seolah-olah menjawab kata-kata Agahai ini, tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan banyak orang yang datangnya dari luar istana. Dan seorang pengawal datang tergopoh-gopoh, melapor kepada Menteri Abigan, didengarkan oleh Thian Sin dan juga oleh Agahai.

“Taijin, di luar istana sudah penuh dengan pasukan dan rakyat. Mereka itu berteriak-teriak menuntut penjelasan akan apa yang terjadi di dalam istana. Suasana buruk sekali, dan di antara mereka itu telah terjadi perpecahan. Agaknya masih banyak di antara mereka yang mendukung dia!” kata pengawal itu sambil menuding ke arah Agahai dengan wajah penuh kebencian.

Mendengar ini, Agahai lalu tertawa bergelak. Wajahnya menyeramkan sekali. Wajah yang bengkak-bengkak dan matang biru, berdarah-darah pula, dan kini wajah itu terangkat dan bergoyang-goyang ketika tertawa, seperti iblis dalam dongeng.

Tiba-tiba Thian Sin menangkap leher bajunya, menotoknya sehingga raja itu tidak mampu bergerak lagi, lantas menyeretnya keluar. “Silakan mengikuti saya ke menara istana, saya akan bicara dengan mereka!”

Mendengar ini, Ratu Khamila mengangguk, dan para menteri bersama panglima itu juga mengikuti dari belakang. Thian Sin membawa bekas raja itu naik ke loteng menara dan tidak lama kemudian nampaklah dia bersama raja itu di atas menara, di panggung atas bersama Ratu Khamila dan para menteri yang setia. Melihat ini, pasukan dan rakyat yang berjubel di luar istana, semua memandang ke arah panggung menara itu.

Terdengarlah teriakan-teriakan yang simpang-siur.

“Hidup Puteri Khamila…!”

“Hidup Raja Agahai…!”

Dari teriakan-teriakan ini saja jelaslah bahwa memang sudah terjadi perpecahan di antara rakyat dan pasukan. Keadaan sungguh gawat dan timbul ancaman perang saudara.

Meski pun sudah tertotok dan tidak berdaya, Raja Agahai tersenyum mendengar teriakan-teriakan yang jelas menyanjungnya itu, dan masih ada secercah harapan pada wajahnya. Akan tetapi, ketika Thian Sin menariknya agar berdiri lebih tinggi sehingga seluruh orang yang berada di bawah melihatnya dengan jelas, melihat mukanya yang bengkak-bengkak, penghias kepalanya yang khas sebagai raja itu sudah tidak ada lagi dan rambutnya dalam keadaan awut-awutan, maka timbullah rasa khawatir pula di dalam hatinya.

“Rakyatku, pasukanku, dengarlah!” Mendadak terdengar suara Puteri Khamila, suaranya halus namun cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua orang dan keadaan menjadi amat sunyi karena semua orang yang berada di bawah ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan oleh bekas ratu ini.

“Kalian semua tentu masih ingat kepada putera tunggalku, putera tunggal mendiang Raja Sabutai yang kalian cinta, yaitu Pangeran Oguthai, bukan?”

Terdengar sorakan menyambut pertanyaan ini. Tentu saja tak ada seorang pun di antara mereka yang tidak tahu siapa adanya Pangeran Oguthai yang dahulu pernah berkunjung bersama isteri dan puteranya, dan betapa pangeran yang mempunyai kepandaian tinggi dan membuat semua orang bangga itu menolak ketika hendak diminta untuk membantu pemerintahan Raja Agahai.

Puteri Khamila mengangkat kedua tangannya ke atas dan semua orang pun segera diam. Keadaan menjadi sunyi kembali.

“Sekarang dengarlah baik-baik, rakyatku. Kalian tentu tahu betapa Agahai yang menjadi raja sudah menyalah gunakan kekuasaan, senang merampas anak gadis dan isteri orang, mengejar kesenangan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan rakyatnya. Lihat, betapa kita telah menjadi amat lemah dan yang lebih celaka lagi, Agahai tak segan-segan untuk bertindak khianat dan curang. Aku yang menentang dan menasehatinya supaya dia suka menghentikan penyelewengannya, telah dia tahan sebagai seorang penjahat! Akan tetapi, hal ini tidak menyakiti hatiku. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dia sudah menyuruh pasukan, bersekongkol dengan pasukan Beng dari selatan, untuk mengeroyok kemudian membunuh Pangeran Oguthai dan isterinya!”

Semua orang terkejut, baik yang pro mau pun yang anti kepada Agahai. Tak disangkanya raja mereka itu melakukan hal yang kejam ini.

“Untung bahwa putera Pangeran Oguthai, yang pernah berkunjung ke sini ketika masih kecil, berhasil lolos dari pengkhianatan itu. Dan kalian hendak tahu siapa pemuda ini? Dia inilah Ceng Thian Sin, putera tunggal Pangeran Oguthai! Dialah keturunan langsung dari mendiang Raja Sabutai!”

Puteri Khamila meneriakkan ucapan ini, sungguh pun bertentangan dengan suara hatinya. Hanya dia sendiri yang tahu bahwa Thian Sin sama sekali bukan keturunan Sabutai, akan tetapi keturunan Kaisar Beng-tiauw!

Mendengar ini, semua orang bersorak-sorai! Kemudian Thian Sin yang maju dan dengan suara lantang, dia pun berkata,

“Saudara-saudara sekalian! Setelah mendengar keterangan Puteri Khamila yang menjadi nenekku, apakah masih ada yang hendak membela Agahai? Dia seorang raja lalim! Dia malah telah membunuh Koksu Torgan yang membantunya! Dan dia baru saja membunuh selirnya yang berbangsa Biauw itu! Dan kedatanganku di sini di samping untuk membalas kematian ayah bundaku, juga untuk menyelamatkan rakyat orang tuaku dari cengkeraman raja lalim semacam Agahai ini! Nah, katakanlah, siapa yang hendak membelanya? Para panglima telah berpihak kepada kami dan istana sudah kami duduki. Siapa yang hendak membela dia?”

Tidak ada yang menjawab. Semua orang maklum bahwa memang raja mereka itu tidak sebaik mendiang raja yang lalu, dan telah melakukan hal-hal yang membuat rakyat tidak puas dan juga membuat mereka menjadi bangsa lemah yang tersudut.

“Nah, kalau begitu, aku hendak menyerahkan kepada kalian apa yang harus kita lakukan pada Agahai yang telah membunuh ayahku Pangeran Oguthai, dan yang telah melakukan penindasan terhadap kalian. Apa yang harus kita lakukan?”

“Bunuh dia!”

“Bunuh Agahai raja lalim!”

“Jangan ampunkan dia!”

Teriakan itu makin lama semakin banyak disusul oleh yang lain-lain dan akhirnya hampir semua di antara orang-orang itu berteriak-teriak untuk membunuh Agahai. Mendengar ini, menggigil seluruh tubuh Agahai dan habislah harapannya. Memang ini yang dikehendeki oleh Thian Sin. Dia lalu mengangkat tubuh Agahai tinggi-tinggi dan terdengarlah suaranya yang lantang.

“Kalau begitu, kuserahkan kepada kalian! Terserah apa yang akan kalian lakukan dengan binatang busuk ini!” Dan sekali menggerakkan kedua lengannya maka melayanglah tubuh Agahai ke bawah dan pada saat itu pula dia pun membebaskan totokannya.

Terdengar jerit mengerikan, jeritan dari mulut Agahai yang bukannya merasa ngeri karena melayang ke bawah, melainkan ngeri melihat ratusan pasang tangan seperti cakar-cakar harimau hendak mengkoyak-koyak tubuhnya.

Dan memang tubuhnya segera terkoyak-koyak ketika dia disambut oleh orang-orang yang mendendam padanya itu. Semua orang ingin memukulinya, menendangnya, menjambak rambutnya sehingga akhirnya tubuhnya benar-benar terkoyak habis, dan hanya darah dan potongan-potongan daging saja yang tertinggal di situ sesudah semua orang memuaskan nafsu dendam mereka terhadap raja lalim itu.

Bersama dengan tewasnya Agahai, tewas pulalah para pembantunya dan para panglima yang dahulu memimpin pasukan dan ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. Thian Sin menyaksikan sendiri hukuman pancung kepala terhadap pasukan dan komandannya itu, akan tetapi ketika para panglima yang setia kepadanya hendak menangkapi keluarga Agahai, Puteri Khamila melarangnya.

“Betapa pun juga, Agahai adalah keluarga mendiang Raja Sabutai, dan karena hanya dia yang berdosa, maka biarlah keluarganya dibebaskan dari pada hukuman.”

Thian Sin tidak membantah keputusan neneknya ini, karena dia pun sudah puas melihat semua pengeroyok ayah bundanya telah dijatuhi hukuman mati. Malah sesudah tujuannya datang di tempat ini telah terlaksana, yaitu untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya terhadap Raja Agahai, Thian Sin tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat itu.

Para menteri dan panglima yang tahu bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw itu adalah seorang pemuda yang sakti, mengajukan usul kepada Puteri Khamlia supaya pemuda itu dapat menjadi raja, menggantikan Agahai dan hal itu dianggap sudah sepatutnya dan sah karena walau pun pemuda itu mempunyai seorang ibu berbangsa Han, namun dia adalah keturunan langsung dari Raja Sabutai. Tentu saja hanya Puteri Khamila yang tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai darah Raja Sabutai sedikitpun juga!

Tapi usul ini amat berkenan di hati Sang Puteri, maka dia pun mencoba untuk membujuk Thian Sin agar mau menerima usul itu. Akan tetapi, dengan tegas Thian Sin menolaknya, bahkan kemudian memperingatkan kepada para menteri agar mengangkat Ratu Khamila sebagai ibu suri sekaligus juga sebagai pejabat raja sebelum memilih pengganti raja, dan kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan Ratu Khamila untuk memilih raja.

Tentu saja Ratu Khamila menjadi kecewa sekali. Akan tetapi cucunya itu berkata dengan suara tegas, “Harap nenek mengerti bahwa masih banyak hal lainnya yang harus saya selesaikan, dan terutama sekali membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membunuh ayah bundaku. Selain itu, juga sedikit pun saya tidak berminat untuk menjadi raja, maka terserahlah kepada nenek untuk menentukan siapa yang patut untuk menjadi seorang raja yang baik.”

Akhirnya Ratu Khamila terpaksa menyetujui dan pada hari Thian Sin pergi meninggalkan tempat itu, Ratu Khamila mengumumkan bahwa yang diangkat menjadi calon raja tetap saja adalah putera Agahai, sebagai satu-satunya pangeran yang merupakan keturunan keluarga Raja Sabutai. Akan tetapi, sebelum anak itu besar, Ratu Khamila sendiri yang memegang jabatan wakil raja.

Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan?

Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik ‘sesuatu’ itu merupakan benda atau pun gagasan, sudah pasti disebabkan karena sang pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan itu, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu.

Kepuasan ialah keinginan yang terpenuhi, yang kemudian dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Tetapi, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sebentar saja, demikian pula kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain dan baru lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya.

Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua.

Dan kita pun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan tidak akan pernah dapat dinikmatinya, tetapi yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini lalu disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.

Padahal keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena kita tidak pernah mengamati yang ‘ini’ dan selalu mencari-cari serta memandang kepada yang ‘itu’, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi.

Kita sudah demikian mabuk oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, oleh cita-cita, sehingga kehidupan kita tak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada sehingga dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada.

Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain tampak lebih nikmat dari pada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di kebun sendiri.

Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membayangkan gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimana pun juga?

Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL jika kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?

Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Ia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang ketika itu Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya.

Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan bukan main, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar.

Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini pada saat berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa seram. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main.

Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggota Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri telah bubar dan musuh besarnya yang dulu ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ. Akan tetapi, mungkin juga di antara mereka ada yang mengetahui di mana adanya kakek itu sekarang, maka dia pun lalu membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan itu.

Daerah ini merupakan daerah yang amat berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh.

Karena dia sendiri adalah orang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan pada waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di atas pohon besar di tengah hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur.

Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk disertai teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat-cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara.

Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada batang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat ada lima orang sedang berteriak-teriak dan mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang sudah berhasil menjebak seekor binatang buas.

Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan secara diam-diam dia terkejut sekali. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya.

Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara beruang. Akan tetapi yang telah tertangkap itu tentunya seekor beruang yang besar sekali. Dia hanya mengintai dan kemudian melihat betapa kelima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi jelas nampak bahwa mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan.

Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah setelah dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar.

“Cepatlah, kami hampir kewalahan!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang.

Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tak nampak lagi berada di dalam lubang, dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang.

Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang yang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya!

Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah.

“Kita mulai sekarang!” kata salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu. “Kalian cepat berdiri di seberang lubang dan menggodanya, untuk memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya.”

“Tapi… berbahaya sekali untukmu, toako…”

“Tidak, aku dapat lari lantas naik ke pohon itu.” kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu.

Setelah menerima perintah, sembilan orang itu segera meninggalkan lubang, berlari-larian dengan cepat mengelilingi jebakan batu lantas berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Sekarang si pemimpin sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan.

“Toako, pergilah!”

“Larilah!” teriak mereka dengan khawatir.

Pemimpin rombongan pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah untuk mencegah binatang itu yang agaknya hendak merangkak keluar dari dalam lubang.

Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu telah tertangkap oleh binatang itu hingga terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya.

“Dukk…!”

Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan dia pun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Walau pun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan!

Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang amat marah hingga nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya yang bertaring mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar.

Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biar pun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam. Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu!

Thian Sin merasa terkejut dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia akan dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya!

Kini, ketika melihat gerakan orang hutan itu serta melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Dia pun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu.

Wajah semua pemburu sudah pucat melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir saja terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan yang berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali.

Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, dia pun melihat pemuda itu dan dia lalu memandang dengan mata terbelalak.

Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka mereka pun berteriak-teriak, “Orang muda, lekas lari ke sini…! Cepat…!”

Akan tetapi, betapa heran hati mereka karena melihat pemuda itu tersenyum saja sambil memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini hanya berdiri tenang saja.

Ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram lantas mengalihkan pandang matanya. Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlampau lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya.

Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat sehingga jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itu pun menahan napas dan memandang penuh kengerian sebab mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tidak seberapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu.

Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia langsung mengelak dengan loncatan ke kiri. Binatang itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini sanggup menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri, dan dengan gerakan refleks yang sangat cepat seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi.

Serangan ke dua ini lebih cepat dari pada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang bersifat alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan.

Biar pun Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu telah menyentuh pundaknya dan jika sampai jari-jari tangan yang kuat itu berhasil mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin segera mengerahkan tenaga sambil memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan sebuah hantaman keras ke arah perut binatang itu.

“Dukkk! Desss…!”

Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang sangat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu dengan perut yang seperti penuh dengan angin sehingga kuat bukan main.

Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Sekarang dia marah bukan main, lantas kedua lengan panjang itu menyerang bertubi-tubi dengan gerakan yang lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seakan-akan menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu.

Semua serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya mempunyai kecepatan dan kekuatan alamiah saja, akan tetapi tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan bila mana dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binatang itu.

Dua kali dia memukul dan menendang hingga membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu mempunyai kekebalan yang luar biasa, telah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas.

Sepuluh orang yang tadinya merasa ketakutan dan khawatir akan keselamatan Thian Sin, sekarang memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Dan mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi.

“Taihiap, harap jangan bunuh dia!”

“Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!”

“Kalau dia mati, kami tentu tak akan diampuni!”

Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin cepat menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini.

Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apa lagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, maka mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi dia pun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini.

Dia kemudian teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di pinggir perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun.

Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan serta tendangan itu marah sekali dan terus menerjang secara dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada waktu tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu.

Binatang itu terdorong ke depan, lantas tanpa dapat dihindarkan lagi dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap. Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang. Binatang itu lalu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang.

Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu. Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka kemudian menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman.

“Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Apa bila tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu.” Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang.

Thian Sin lalu menengok ke arah lubang itu. “Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?”

Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tak karuan bentuknya, sudah dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan telah terlepas dari pundaknya.

“Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang sudah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku sudah menyelamatkan kalian? Siapa yang mengancam kalian?”

Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab, bahkan Si Tinggi Besar itu lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, taihiap… kami… sudah salah bicara tadi… dan kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu.”

Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan dia pun melangkah ke arah lubang jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah.

“Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu.”

Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru, “A Pin… jangan…!”

Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin.

Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka dia pun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar sehingga jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah.

Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan melihat pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut. Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang ini juga mengandung racun yang sangat hebat. Hal ini dapat diketahuinya dari baunya.

Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang itu sudah terampas olehnya, lantas tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu disusul hiruk-pikuk di dalam lubang itu, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan.

Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka pun tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka itu sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja kemudian suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas mendapat seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya.

Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah. “Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?” tiba-tiba dia membentak.

Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup, “Tidak… bukan, taihiap Jeng-hwa-pang sudah tidak ada…” Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, “kami hanyalah pemburu-pemburu biasa…”

Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya. “Tak perlu lagi kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Apa kalian telah lupa kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang pada beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?”

Mereka makin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang mereka pun ingatlah kepada pemuda ini.

“Ampun, taihiap… ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenali taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang sudah tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu…”

“Sikap kalian aneh sekali, seperti ada yang kalian takutkan. Temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulemparkan satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukah yang lain itu.”

Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apa lagi jika mengingat bahwa pemuda ini adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut bukan main. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita.

Sisa para anggota Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, sesudah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka lalu membentuk perkampungan.

Akan tetapi mereka sudah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat. Mereka tak mau lagi mengganggu para pelancong dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain.

Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, selain mereka rata-rata memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan.

Selama bertahun-tahun mereka hidup aman dan tenteram, keluarga mereka berkembang biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan untuk berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat.

Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan setelah muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, yaitu seorang peranakan Han dan Rusia Kazak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan sungguh pun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih.

Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan mereka pun kemudian menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan dia pun menjagoi di perkampungan itu. Ternyata orang ini mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tinggi sehingga dia sanggup merobohkan semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To ini pun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah!

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka. Memang betul bahwa Su Lo To tak pernah menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekerja berat, tetapi sebagian dari hasil buruan diamblinya sendiri.

Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya!

Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang selalu memeras orang-orangnya dan menggunakan tangan besi. Semua orang takut padanya, karena Su Lo To ini amat kejam. Banyak orang yang sudah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya.

LAKI-LAKI tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan telah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka meski pun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya.

Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang menantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini berasal dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan dia termasuk seorang wanita yang cantik dan manis.

Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan mala petaka bagi keluarganya, karena, seperti mudah diduga, Su Lo To sangat tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Lantas timbullah akalnya yang busuk!

Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar yang tidak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang amat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan sudah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan ini, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu.

Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, sesudah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup!

“Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku hendak menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka dia pun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!”

Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka bila mana Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menunggu dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak hingga orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap.

“Demikianiah, taihiap, selanjutnya taihiap telah melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu bisa berada di dalam perangkap itu?”

“Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang sekali bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar kembali. Dan binatang itu sangat hebat. Tusukan tombak tidak melukainya, dan bahkan dia berhasil menangkap sebatang tombak lalu menarik tombak itu dan membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,” Gak Song menarik napas panjang. “Dan… teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut terhadap ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini…”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?”

“Kami tadi tidak berani menggunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang dia sudah tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap.”

Pada saat itu pula terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka.

“Su Bwee…!” teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang langsung berlari maju menyambut wanita itu.

Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu amat manis, namun pakaiannya dan juga rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis.

“Apa yang terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut.

“Dia adalah mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku… entah apa yang telah terjadi, taihiap…” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju.

“Su Bwee, berhentilah menangis dan lekas ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song.

Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu kemudian mengangkat mukanya dari dada suaminya dan menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya.

“Ayah… bunuhlah saja saya…” tangisnya.

Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu ia pun membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan lekas ceritakan apa yang telah terjadi!”

Su Bwee menceritakan dengan suara tak jelas karena betapa pun dia menahannya, tetap saja dia berbicara sambil menangis sesenggukan.

“Setelah ayah bersama suami saya pergi… ketua kedatangan seorang tamu… dan untuk menjamu tamu itu… saya beserta beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan… kemudian… ketua memaksa saya… uh-hu-huuh… dia… dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan… dan… uh-huu-huuh…” Wanita itu tak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah terguling dan roboh pingsan.

Agaknya dia sudah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka dia kehabisan napas dan juga kesedihan yang sangat besar menghimpit perasaannya. Biar pun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang sudah terjadi, apa yang sudah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, terhadap Su Bwee ini.

Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Pria tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangannya dikepal dan dia pun lalu berteriak dengan geramnya.

“Su Lo To, manusia jahanam! Berani engkau menghinaku seperti ini?”

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kau lihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang sudah berani menentangku!” Lantas muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan.

Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To bersama seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan. Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali dia mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri.

Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu sudah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan bahkan kepalanya digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain?

Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan.

Sementara itu Gak Song yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi, begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya.

“Su Lo To manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song menggunakan tombaknya untuk menyerang.

Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To hanya tertawa saja. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut dan agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan pada saat tertawa, nampaklah giginya yang berwarna kuning menghitam.

Pada waktu mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba saja Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring, lantas sekali sambar dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan kuat sekali, lalu kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia pun sudah menendang.

Gak Song tidak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat itu pula, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, sudah menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak pada tangan pemuda itu patah. Dan sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya hingga pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya.

“Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha-ha, sudah bosan hidup, ya?”

Tiba-tiba terdengar gerengan yang sangat dahsyat. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan dia pun mengerti, lalu tertawa girang.

“Aha, si liar itu telah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah dia kuberi hadiah pertama agar mudah menjadi jinak!” Kemudian dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian berdua yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!”

Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song bersama puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap supaya dibunuh oleh orang hutan!

Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar kedua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya.

“Apakah engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus.

Su Lo To mengernyitkan sepasang alisnya lantas memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnya.

“Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau dapat berada di sini?”

“Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan kepadamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah.

Thian Sin tersenyum. “Aha, ternyata dua ekor srigala busuk sudah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang amat cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!”

Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana secara tiba-tiba saja dia dapat muncul di sini? Bukankah dia sudah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu.

Maka, biar pun dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Namun masih ada bekas kaki tangannya yang dapat menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukannya dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya.

Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan pun berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, yaitu orang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tidak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya!


cerita silat online karya kho ping hoo


Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suheng-nya yang sudah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka.


Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suheng-nya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai, kemudian dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam hal ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sute-nya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang.

Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su Lo To membentak.

Ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri sehingga tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu lalu menancap pada batang pohon sampai setengahnya!

“Hayo lekas kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu.

Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tak ada seorang pun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biar pun mereka sangat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorang pun yang mau mengeroyok Thian Sin.

Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga gembira melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu.

“Hemm, tidak ada seorang pun yang mau mentaati perintahku, ya? Baiklah, tunggu saja, sesudah dia kubereskan, maka kalian pun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah Gak Song.

Hatinya semakin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu sudah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, ketika melihat wanita itu lenyap dari kamarnya pada saat dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu.

Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dengan bebas dapat memiliki wanita itu. Tetapi tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya.

“Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sute-nya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit saja selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sute-nya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar.

“Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di hadapannya, dia kemudian melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu.

Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dengan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan menyangka bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengan mudah dan enaknya Thian Sin bahkan mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri.

Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti saat menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang!

Melihat betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah.

“Bagus, kiranya engkau memiliki sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, terimalah seranganku ini!”

Su Lo To segera maju menerjang ke depan, sepasang lengannya yang pendek besar itu bergerak aneh. lalu terbit angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri, didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang itu. Mengerikan sekali.

Thian Sin yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, cepat menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu pula Torgan juga sudah menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang.

“Singggg…!”

Sinar pedang menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak. Pemuda ini mengelak sambil mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan, pada saat Su Lo To sudah menubruk maju lagi.

“Plakkk!”

Ujung lengan baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To. Ujung lengan baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti ditusuki jarum-jarum panas!

Tahulah dia kini mengapa sute-nya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun lalu mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok yang tadi tergantung pada punggungnya. Golok tipis lebar yang berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung tubuh Thian Sin!

Melihat ini, Gak Song dan teman-temannya yang semuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebut sute oleh ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata tetapi harus menghadapi pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini membuat Gak Song menjadi nekad.

“Mari kita bantu taihiap!” berkata demikian, dia pun mencari tombak dan para pengikutnya juga bangkit dan siap melawan sampai mati.

“Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum membutuhkan bantuan!”

Ucapan Thian Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi sekaligus menggirangkan hati Gak Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat Thian Sin masih berdiri tegak namun terus diancam oleh dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya.

Tiba-tiba terdengar Su Lo To membentak keras kemudian sinar goloknya menyambar dan mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sute-nya yang juga amat membenci pemuda yang telah membuat dirinya terjungkal dari kursi kedudukannya di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar dari pada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya merupakan seorang pengacau saja.

Thian Sin maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi sehingga tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya. Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandinginya!

Kiranya, dengan ilmu mana pun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan itu. Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji ilmu-ilmu peninggalan ayahnya yang sudah dilatihnya secara masak, di bawah bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di dalam pertapaannya itu.

Oleh karena itu, dia pun segera menghadapi serangan-serangan kedua orang itu dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas jurus ini memang hebat bukan main. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sinkang yang terkumpul melalui siulian menurut ajaran di dalam kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu.

Gerakan kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu mendekatinya, apa lagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak sanggup bertahan lagi dan terus terhuyung ke belakang!

“Hemmm, dua ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!” Thian Sin membentak dan sekarang dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun, maka tiba-tiba saja tubuhnya berjungkir-balik!

Dua orang lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh sekali. Dan sebelum mereka tahu apa yang sedang terjadi, ujung kedua sepatu itu telah menendang sehingga membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut kemudian mereka pun terpelanting dan jatuh!

Dua orang itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah berjumpa dengan lawan sehebat ini. Mereka telah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan tangan. Jarum-jarum berikut paku-paku beracun langsung bertaburan keluar dari tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. Tangan kirinya mencabut kipas, kemudian dengan beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu pun runtuh. Bahkan di bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki, seperti mengenai baja saja dan runtuh tanpa menimbulkan luka.

Dan sambil tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka. Dua orang itu memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya, tapi hendak melawan merasa takut!

“Engkau hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo kalian masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?” Thian Sin berkata, suaranya halus dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah lehernya yang sedikit berkeringat.

Su Lo To dan Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggelengkan kepala. Mereka belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap yang di dalamnya ada seekor orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka juga tahu bahwa pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Tiba-tiba saja Thian Sin berseru, “Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke sana!”

Kipasnya lalu menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat.

Dua orang yang sudah merasa jeri itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat-cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terdorong lantas terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi. Ternyata Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangannya untuk menarik perhatian mereka ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sinkang sambil menendang ke arah mereka, tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu.

Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diselingi oleh seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu.

Thian Sin, Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali, pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan karena lubang itu terlampau sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga itu lebih tepat bergumul dari pada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan.

Akhirnya, sesudah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki serta sebuah tangan, kemudian mereka mengerahkan tenaga menarik.

Terdengar orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, namun akhirnya terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari lubang.

Semua orang meloncat mundur dan tidak lama kemudian, kedua orang itu pun melayang keluar dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan dan muka mereka pun berdarah, keadaan mereka sungguh menyeramkan sekali.

Thian Sin tersenyum saat menghadapi mereka. “Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.”

Dua orang itu saling pandang dan nampak terkejut sekali. Mereka tadinya mengira bahwa sesudah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu lantas berkelahi mati-matian melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan mereka.

Karena merasa jeri, maka tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, “Taihiap… harap suka ampunkan kami…”

“Hemmm, mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan engkau, Su Lo To, biar pun di antara kita tidak terdapat permusuhan, akan tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja! Juga para wanita yang pernah kau permainkan dan saudara-saudara yang dulu pernah kau siksa atau kau bunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, aku tentu akan membuat perhitungan dengan semua penjahat!”

Dua orang yang sudah merasa jeri itu, sesudah saling memberi isyarat dengan pandang mata, tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang lagi ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan berpencar agar salah seorang di antara mereka dapat lolos!

Melihat ini, Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan. Sekali loncat saja dia sudah berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang itu terguling sehingga tidak mampu bangkit kembali.

Thian Sin langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh, akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tidak lama kemudian Thian Sin sudah dapat mengejarnya.

Begitu mendengar gerakan dari arah belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu sudah mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik lalu mengirim serangan dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk menerkam laksana gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya, karena maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo To telah mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, maka dia akan dapat menghancurkan pemuda itu!

Akan tetapi, Thian Sin langsung menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia mengerahkan tenaganya, maka terdengar suara nyaring.

“Krekk! Krekk!” dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu!

Thian Sin menendang dan lawannya pun roboh tidak mampu bangkit lagi, hanya merintih karena kedua pergelangan tangannya terasa nyeri bukan kepalang! Gak Song dan teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya.

Setelah melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian Sin kemudian berkata, “Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap kedua orang ini?”

Thian Sin tersenyum. “Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada kalian untuk diadili!”

“Biar kubalaskan sakit hati isteriku!” Putera Gak Song berteriak dan dia sudah mencabut goloknya, kemudian mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang sudah tidak mampu mengelak lagi.

“Plakk!”

Golok itu terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini lantas mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song yang terbelalak heran dan kaget.

“Bukan begitu caranya menghukum orang jahat. Terlampau enak baginya apa bila hanya langsung dipenggal lehernya. Dia adalah perusak wanita, suka memperkosa wanita, nah beginilah hukumannya untuk itu!”

Nampak sinar berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana orang itu, maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu sudah mempergunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To!

Hanya seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan hal itu tanpa melukai kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang menusuk-nusuk jantung sehingga tubuhnya berkelojotan.

“Dan dia juga telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!”

Kembali tampak sinar golok berkelebat dan sekarang yang menjadi sasaran adalah kedua tangan Su Lo To yang tahu-tahu sudah menjadi buntung! Darah bercucuran dari kedua lengan yang telah kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To semakin keras berkelojotan, mukanya penuh peluh dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang dan membusa.

Semua orang menjadi ngeri sekali menyaksikan peristiwa ini, bahkan menantu Gak Song yang tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan di dalam rangkulan suaminya. Wajah Gak Song sendiri menjadi pucat bukan main. Selamanya belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan Thian Sin itu!

“Nah, biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan semua kejahatannya. Dan sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!” Dia menghampiri Torgan yang sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suheng-nya itu. “Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?”

Baru sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali melihat suheng-nya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda yang sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan, dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tidak mampu berkata-kata lagi, hanya dapat memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh dengan keringat dingin.

“Engkau tidak mau bicara? Padahal, di hadapan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang dulu menganjurkan agar Raja Agahai ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok kedua orang tuaku. Maka, pertama-tama mulutmu yang harus dihukum!” Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada.

Kini mulut itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya, lenyap akibat terbabat golok sehingga pada bagian itu hanya nampak sebuah lubang hitam yang penuh berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari tenggorokannya, sedangkan semua orang memandang dengan hati ngeri.

“Engkau pun harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!”

Golok itu berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya, hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu.

Thian Sin juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song serta kawan-kawannya lantas berkata, “Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak mau melakukan kejahatan lagi. Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini.”

Gak Song cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya. “Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap,” Suaranya menggetar, tanda bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu.

“Dan kalian harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, karena itu, jika sampai kelak aku mendengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!”

Putera Gak Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya.”

“Bagus kalau begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!”

Mendengar pertanyaan ini, Gak Song lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Kami semua benar-benar tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh dari kota raja. Tentu saja dia telah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han Houw.”

“Apa maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?”

“Ada dua orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!”

Dan sekali dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang menjadi terkejut dan juga kagum bukan main.

Sementara itu, dua tubuh yang sudah tak karuan rupanya itu masih berkelojotan dan dari tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat hal ini, Gak Song menjadi tidak tega. Walau pun Su Lo To pernah melakukan banyak kejahatan dan menindas dia serta semua temannya, namun melihat tubuh itu berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega.

Cepat dia menyambar dua batang tombak, lantas dengan gerakan kuat dia menancapkan tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung. Seketika itu juga tewaslah kedua orang itu.

Gak Song kemudian memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang, bersama mayat kawan mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu, beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang, karena mereka melihat masa depan yang cerah sesudah Su Lo To tidak ada.


                   ***************


Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang terbesar di kota raja dan sekitarnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah apa bila para pejabat itu menindas rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak.

Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, sesudah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tak ada lagi dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apa lagi sesudah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah.

Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tidak kenal puas. Selain kepuasan sesaat saja, kesenangan selalu mendatangkan keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka.

Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tak ada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani mau pun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci atau pun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari.

Akan tetapi, bagaimana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan? Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu?

Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin supaya dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, supaya menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu akan membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan.

Bila mana kita mau mendalami hal ini, maka akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang. Sedangkan yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku yang ingin selalu senang.

Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan sangat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.

Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu apa bila timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini atau begitu yang semuanya tentu menuju ke satu arah, yaitu ingin bebas, ingin selamat, ingin aman, yang sesungguhnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang.

Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada di dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat ini adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatannya saja, tanpa aku si pengamat. Di dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan.

Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apa lagi di kota raja di mana perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar dari tingkat yang tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk.

Kai-pang ini sangat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai orang yang dihormati dan disegani, padahal sebenarnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk mendapat sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, mau pun orang-orang.

Tidak ada sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapa pun juga. Selama suatu pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut pemberian atau sumbangan atau dermaan dan lain sebagainya, maka di dalam pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu.

Mungkin sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya disebut sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali tidak rela! Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah yang bahkan pemberiannya tidak dianggap sebagai pemberian atau sumbangan lagi, akan tetapi merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi.

Orang-orang Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan seperti lajimnya pakaian pengemis, akan tetapi sama sekali tidak kotor apa lagi butut, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan terbuat dari pada kain yang bersih dan baru. Dan mereka ini yang menjadi semacam ‘pelindung’ dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk.

Memang benar bahwa semenjak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena mereka ini akan berhadapan dengan Hwa-i Kai-pang yang sangat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja.

Akan tetapi, tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para ‘pelindung’ itu sendirilah yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, apa bila para pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau menggertak dengan kasar, sebaliknya para ‘pelindung’ itu melakukannya dengan halus, dengan dalih hendak melindungi, sumbangan dan sebagainya.

Akan tetapi, apa bedanya bagi rakyat yang harus menderita rugi karenanya? Sama saja! Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman.

Inilah ciri-ciri dari penyalah gunaan kekuasaan dan hal ini sudah terjadi semenjak jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanyalah terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula halus. Akan tetapi pada hakekatnya kekuasaan telah disalah gunakan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan bagi diri sendiri.

Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tak mengherankan apa bila seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara!

Setelah kita melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka jalan satu-satunya bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tak pernah ikut memperebutkan kekuasaan lagi!

Sekarang para penjaga keamanan kota boleh tinggal enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan para prajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari satu toko ke toko lain untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i Kai-pang!

Betapa pun juga, sekarang kota raja kelihatan aman dan tenteram, dan Hwa-i Kai-pang seolah-olah menjadi semacam pasukan khusus yang menjamin keamanan di dalam kota raja. Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu.

Pada suatu hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak memuji. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang mengadakan pertunjukkan silat untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keseleo, juga menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya.

Permainan silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis itu menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian sambil bertelanjang dada dan punggung, dia pun menghadap ke empat penjuru.

“Untuk membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan menunjukkan betapa koyo itu dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat.”

Puterinya mengambil sebatang toya kuningan, kemudian dengan toya ini mulailah dara itu mengayunkan toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa ngeri juga. Walau pun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya menjadi matang biru.

Atas isyarat ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu berjalan berkeliling mendekati para penonton memperlihatkan keadaan kulit punggung dan dadanya itu dari dekat. Sesudah itu, dengan dibantu oleh puterinya dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu.

Sambil menanti dan membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali menunjukkan kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya berubah menjadi banyak sekali, terus menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan.

Sesudah dara itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada kulit dada dan punggung itu lenyap sudah.

“Cu-wi telah menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri atau pun anak-anak cu-wi, terjatuh lalu terluka atau membengkak. Harganya sangat murah karena koyo ini adalah buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami tidak setiap hari lewat di kota raja ini…”

Dara itu membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum dengan kemahiran ayah dan anak itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati. Sebentar saja seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang sehingga berkali-kali dia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli.

“Cu-wi sekalian sudah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat lagi,” kata si tukang koyo.

Akan tetapi tiba-tiba saja para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang pengemis baju kembang. Semua orang merasa sangat khawatir karena biasanya apa bila ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul keributan.

Mereka itu adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka berdua sudah biasa berbuat ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka langsung memasuki lingkaran itu dengan tersenyum mengejek.

Seorang di antara mereka yang pada pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari hidung hingga ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran sebab sebagai orang luar dia tak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara galak,

“Hei, tukang penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk berdagang di sini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?”

Menerima pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukang obat yang sudah sangat berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar.

“Maaf, karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual koyo guna menyambung biaya perjalanan kami.”

“Huh, enak saja bicara!” kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. “Siapa pun juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak boleh sembarangan membuka pertunjukan di sini!”

“Kami sudah terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami akan minta ijin lebih dulu,” kata tukang penjual obat itu dengan sikap merendah.

“Mana ada aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo lekas serahkan setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru boleh bicara tentang maaf!” kata Si Muka Codet.

Tukang obat itu mengerutkan alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata dengan suara keras, “Mana bisa begitu? Keuntungan kami pun tidak ada setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?”

“Aha, nona, siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal, jadi biar pun membayar kepada kami setengahnya sekali pun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!” kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali.

Mendengar ini, kemarahan tukang obat itu tak sanggup ditahannya lagi. “Harap ji-wi tidak main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau selalu mengandalkan biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang mengambil keuntungan terlampau banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan di sini, maka kami telah melanggarnya dan harap ji-wi suka memaafkan. Kini biarlah kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi.” Sambil berkata demikian, tukang obat yang belum tahu dengan pengemis macam apa dia berhadapan itu, telah menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka.

“Plakk!” Si Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu segera terlempar.

“Hemmm, siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami, memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kau kira kami ini orang-orang kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini. Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kau ganti saja dengan puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?”

Inilah penghinaan yang sudah amat jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka dia pun melompat maju dan bertolak pinggang.

“Sahabat, aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah, jangan kalian kira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng pengemis macam kalian ini!”

Dua orang pengemis itu melotot. “Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?” Sudah biasalah bagi orang-orang yang mengandalkan nama perkumpulan, sedikit-sedikit menyinggung kepada perkumpulannya di mana dia bersandar. “Apakah engkau sudah bosan hidup?” bentak Si Codet.

Dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan keras ke arah muka tukang obat itu. Akan tetapi tukang obat itu mengelak, lantas balas memukul ke arah lambung. Si Codet cepat menangkis.

“Dukkk…!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya mereka sama-sama terhuyung dan merasa lengan mereka nyeri. Ini menandakan bahwa tenaga kedua orang ini berimbang.

Si Codet yang merasa sebagai seorang jagoan dan selama ini di kota raja belum pernah ada orang yang berani menentangnya, merasa penasaran lantas menyerang lagi dengan cepatnya. Seperti para anggota Hwa-i Kai-pang lainnya, dia juga mengandalkan ilmu silat Ta-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Memukul Harimau). Gerakannya memang sangat cepat dan setiap pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat.

Tukang obat itu harus mengeluarkan seluruh kepandaian untuk mengimbangi serangan-serangan lawannya yang ternyata tangguh itu. Mereka lantas saling serang dan keadaan mereka seimbang, walau pun tukang obat itu merasa sibuk juga menghadapi ilmu silat yang lihai itu.

Melihat betapa temannya belum juga mampu mengalahkan Si Tukang Obat, Si Muka Hitam menyerbu ke depan. Akan tetapi, dara itu berseru marah.

“Pengecut, jangan main keroyok!” Dan dia pun menerjang ke depan menyambut Si Muka Hitam. Karena maklum betapa lihainya para pengemis ini, tukang obat itu berseru kepada puterinya agar mundur.

“Cin-ji, mundurlah, biarkan aku yang menghadapi mereka!”

Akan tetapi, tentu saja dara itu tidak mau mundur dan dengan cepat dia telah menyerang Si Muka Hitam yang melayaninya sambil tertawa-tawa. Dan memang benar, kepandaian dara itu masih terlampau rendah untuk menandingi Si Muka Hitam, apa lagi dia juga kalah tenaga. Setiap terkena tangkisan Si Muka Hitam itu, lengannya terasa nyeri sekali dan dia terhuyung. Akhirnya, sebuah tendangan dari Si Muka Hitam mengenai lutut dara itu yang membuatnya terpelanting roboh. Kakinya terkilir dan dara itu tidak dapat berdiri lagi.

“Ha-ha-ha, malam nanti kupijiti kakimu yang terkilir, manis!” kata Si Muka Hitam yang kini cepat membantu temannya menghadapi Si Tukang Obat yang sudah terdesak.

Melawan Si Codet seorang saja, dia sudah terdesak, apa lagi setelah Si Muka Hitam ikut maju. Maka Si Tukang Obat mulai menerima pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang membuatnya babak bundas dan jatuh bangun. Akan tetapi dia masih terus melawan meski pun setiap kali dia bangkit, hanya untuk menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan belaka.

“Ha-ha-ha, nah cobalah sekarang obati luka-lukamu dengan koyo itu! Ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tertawa-tawa.

“Hayo kau ikut bersama kami!” Si Codet maju dan menangkap lengan dara yang masih duduk di atas tanah karena kakinya terkilir sehingga sia tidak mampu bangkit berdiri.

Ketika lengannya ditangkap, dara itu meronta-ronta sambil menangis. Akan tetapi, semua orang yang tadinya menjadi penonton, kini mundur dan tidak ada seorang pun yang berani melerai, apa lagi menolong dara dan ayahnya itu.

“Dunia sudah kacau, dunia sudah gila binatang buas berkedok manusia merajalela di kota raja seenaknya tanpa ada yang berani merintanginya!”

Semua orang merasa terheran-heran ketika melihat seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan, membawa kipas dan mengebut-ngebutkan kipas mengusir panas, membaca sajak dengan suara merdu, mendekati tempat kedua orang pengemis Hwa-i Kai-pang itu beraksi. Kedua orang pengemis ini pun melihat Si Pemuda dan mereka menjadi marah sekali.

“Heh, engkau inilah yang agaknya sudah gila. Hayo lekas pergi, atau kupatahkan tulang-tulangmu bersama kipasmu!” bentak Si Muka Hitam yang sudah merasa lelah memukuli Si Tukang Obat dan sekarang agaknya hendak mencari sasaran lain untuk memamerkan kekuatannya.

Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, tidak mempedulikan Si Muka Hitam, melainkan malah menghampiri dara yang telah dilepaskan oleh Si Codet yang kini juga memandang marah kepada Thian Sin yang dianggapnya mencampuri urusannya. Tetap saja Thian Sin tidak mempedulikan dua orang pengemis itu, melainkan menggunakan kipasnya yang ditutup untuk menotok ke arah kaki kiri dara itu.

“Tuk-tukk!” Dua kali dia menotok dan dara itu merasa betapa kakinya sembuh kembali! Maka dia pun cepat bangkit berdiri dan memandang heran kepada pemuda itu.

Thian Sin lalu menjura kepada dara itu. “Nona, dua ekor anjing belang ini telah memukuli ayahmu dan bersikap kurang ajar kepadamu, mengapa engkau diam saja, nona? Engkau adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat, mengapa dihina orang diam saja? Hayo kau hajar dua ekor anjing belang yang kurang ajar ini!” Berkata demikian, tanpa dilihat orang lain, Thian Sin mengedip kepada dara itu.

Entah apa yang menyebabkan dara itu seketika menjadi percaya sekali kepada Thian Sin. Mungkin melihat sikap aneh dari pemuda ini, dan mungkin pula melihat betapa dengan totokan kipasnya saja pemuda itu sudah mampu membuat kakinya yang terkilir menjadi sembuh kembali. Tiba-tiba dara itu telah meloncat ke depan menyerang kepada pengemis muka codet.

“Cin-ji… hati-hatilah…!” Ayahnya yang babak-belur itu memperingatkan karena dia tahu bahwa puterinya itu sama sekali bukan tandingan pengemis-pengemis yang lihai itu. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika melihat betapa pukulan tangan dara itu dengan tepat mengenai leher pengemis muka codet.

“Plakkk!”

Pukulan itu cukup keras sehingga kepala Si Codet itu sampai miring dan tubuhnya juga terhuyung ke belakang.

“Bagus, nona! Itu aniing belang muka hitam minta bagian!” seru Thian Sin dengan suara gembira.

Semua orang yang melihat peristiwa ini menjadi terheran-heran, juga tukang obat sendiri. Kini, mendapatkan semangat baru karena hasil pukulannya tadi dan mendengar dorongan pemuda sasterawan, dara itu menyerang dengan tendangan kaki ke arah perut Si Muka Hitam.

“Desss…!”

Si Muka Hitam terjengkang dengan mata terbelalak dan muka merah, memegangi bagian perutnya yang tertendang karena terasa nyeri. Si Codet dan Si Muka Hitam sudah bangkit lagi, mata mereka terbelalak karena tanpa ada yang tahu, mereka tadi tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar dan ditendang oleh nona itu, akan tetapi sungguh luar biasa, setiap kali mereka ingin menggerakkan tangan atau kaki untuk menangkis atau mengelak, tubuh mereka mogok dan sama sekali tidak dapat digerakkan sehingga tentu saja pukulan serta tendangan gadis itu selalu tepat mengenai sasaran dan tubuh mereka terpelanting atau terhuyung, baru setelah itu mereka mampu bergerak lagi!

Dara itu menjadi gembira bukan main melihat betapa setiap pukulan dan tendangannya mengenai sasaran. Maka dia pun terus menyerang kedua orang pengemis itu bergantian, dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan sekuatnya. Akibatnya, tubuh kedua orang pengemis itu iatuh bangun seperti ketika ayahnya dihajar tadi....























Terima kasih telah membaca Serial ini.


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12