Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 22
SETELAH
pengumuman itu, pesta pun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh
Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan
itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apa lagi ditambah
dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta.
Berbeda
dengan dahulu ketika mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta di mana selalu
diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari
para penari-penari muda yang cantik dan genit. Suasana menjadi meriah sekali
ketika di antara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada pula
yang ikut menari bersama para penari genit itu. Terdengar suara ketawa di
sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Sesudah beberapa tarian dimainkan,
akhirnya sebagai pengatur acara hiburan Menteri Abigan mengumumkan dengan suara
lantang.
“Hadirin
yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi
(anda sekalian) dengan menampilkan seorang pemuda yang ahli bermain sulap,
meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas dan menarik,
Hauw Lam!”
Terdengar
tepuk sorak pada saat Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang
bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa
Biauw itu! Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil
tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi
minum arak agak banyak. juga dia pun sebenarnya merasa canggung harus
berhadapan dengan begitu banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia
merasa seolah-olah kini dia sudah menjadi seorang badut!
“Cu-wi yang
terhormat,” kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya bagaikan orang
bernyanyi. “Hari ini merupakan hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda
yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Sebagai seorang pengembara, saya
hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!”
Setelah
mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali,
tiba-tiba Thian Sin berseru. “Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!”
Dan
tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang
diangkat tinggi-tinggi itu sudah terdapat seekor burung dara putih yang
menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara
sampai tinggi dan lenyap.
“Aku tidak
melihat burung dara!” Tiba-tiba saja terdengar suara mengguntur dan Thian Sin
langsung menengok. “Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat
burung dara!”
Kiranya yang
bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang
matanya yang tajam dan berpengaruh itu. Tahulan Thian Sin bahwa orang ini
adalah lawan yang cukup berbahaya, yang tak terpengaruh oleh daya sihirnya tadi.
Akan tetapi, Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia menjura
dengan hormat kepada orang tua itu dan tersenyum ramah.
“Ahhh,
maafkan saya, Koksu. Paduka adalah Koksu Torgan yang bijaksana, mengatakan
tidak tahu burung dara berada di mana!” Thian Sin segera menghadapi semua tamu
lalu bertanya dengan suara ramah dan lagak yang lucu. “Mohon bertanya kepada
cu-wi yang mulia, apakah tadi ada seekor burung dara?”
“Ada…!
Ada…!” Terdengar jawaban di sana-sini yang disusul oleh yang lain, bahkan para
selir raja sendiri pun berteriak mengatakan ada.
Thian Sin
menghadapi Koksu Torgan sambil membentang lengan dan mengangkat bahu
seolah-olah dia tidak berdaya melawan pendapat banyak orang. “Maaf, Koksu,
kalau tadi Koksu belum melihat burung-burung dara, sekarang hamba persembahkan
untuk Anda!”
Tiba-tiba
Thian Sin membuat gerakan dengan tangannya lantas berteriak nyaring, “Inilah
seekor burung bangau botak untuk Koksu!”
Dan sungguh
mengherankan, di tangannya sudah terdapat seekor burung bangau besar yang
kepalanya botak. Pemuda itu mengulurkan tangannya, menyerahkan burung jelek itu
kepada Sang Koksu. Tentu saja sekali ini Thian Sin mengerahkan seluruh
tenaganya untuk mencoba ‘kekuatan’ koksu itu dan ternyata koksu itu dapat
terpengaruh. Matanya terbelalak melihat burung bangau yang hendak mematuknya
itu, maka dia cepat mundur tiga langkah.
“Ilmu
setan…!” gumamnya dan dia pun terus menjauh.
“Sayang,
bangau, rupamu begini buruk sehingga Sang Koksu tak menghendakimu! Nah, kini
terbanglah melayang, kembali ke sarang!” Dan bangau itu pun terbang ke atas
lalu lenyap!
Semua orang
bersorak dan bertepuk tangan memuji, sedangkan koksu itu memandang dengan penuh
kecurigaan. Menteri Abigan berdiri di dekatnya, dan koksu ini lalu berbisik
kepadanya.
“Menteri
Abigan, dari mana engkau menemukan bocah setan ini?”
“Bocah setan
mana…? Ahhh, dia bukan bocah setan, melainkan seorang pemuda yang pandai dan menarik
sekali, Koksu.”
“Bodoh! Dia
itu amat berbahaya!” Koksu berkata lirih sehingga diam-diam Menteri Abigan
merasa terkejut sekali. Koksu ini sungguh amat cerdik dan berbahaya sehingga
dia amat mengkhawatirkan keselamatan cucu Puteri Khamila itu.
Akan tetapi
yang dikhawatirkan itu nampak tenang-tenang dan gembira saja. Memang hati Thian
Sin merasa tenang karena kini dia sudah menguji kekuatan batin Sang Koksu dan
dia mengerti bahwa walau pun dia tidak akan mampu menguasai koksu itu
sepenuhnya, namun koksu itu bukan seorang ahli sihir dan juga tidak perlu
mengkhawatirkan kekuatan batinnya.
Betapa pun
juga, sesudah melihat Sang Koksu berbisik-bisik dengan Menteri Abigan dan
kemudian koksu itu memanggil komandan jaga seakan-akan memberi perintah sesuatu,
dan melihat betapa penjagaan semakin diperketat, tahulah dia bahwa koksu itu
menaruh curiga kepadanya sehingga dia tidak boleh turun tangan pada saat itu,
karena tentu akan menghadapi pengeroyokan ratusan orang pengawal.
Maka Thian
Sin segera memainkan mangkok-mangkok dengan sepasang sumpit seperti yang pernah
dia perlihatkan kepada Menteri Abigan serta rekan-rekannya, dan permainan ini
pun mendapatkan sambutan tepuk tangan.
“Cu-wi,
sekarang saya hendak memperlihatkan permainan yang menarik. Kalau tak salah,
saya tadi melihat ada kacang goreng di antara hidangan itu, bukan? Nah,
sekarang biarlah saya menjadi sasaran. Cu-wi semua yang duduk di sebelah depan
boleh menyambitkan kacang itu kepada saya dan semua kacang itu akan saya sambut
dengan kedua tangan!”
Terdengar
seruan-seruan tidak percaya dari para tamu. Akan tetapi karena mereka amat
tertarik, maka ada beberapa orang mulai menyambitkan beberapa buah kacang
kepada pemuda itu. Dan benar saja. Pemuda itu menyambut kacang-kacang itu
dengan kedua telapak tangan dikembangkan keluar. Anehnya, kacang-kacang itu
beterbangan ke arah dua telapak tangan itu, ke bagian tubuh mana pun mereka
menyambit.
Melihat ini,
semua tamu menjadi tertarik dan beterbanganlah kacang-kacang yang banyak sekali
seperti hujan ke arah tubuh Thian Sin. Dan sungguh mengherankan sekali, semua
kacang itu beterbangan hanya menuju ke arah kedua telapak tangannya kemudian
jatuh di depan kaki Thian Sin sehingga sebentar saja di sana telah bertumpuk
banyak kacang goreng!
Hal ini
sangat menggembirakan sehingga beberapa orang selir raja ikut pula menyambit!
Terutama sekali selir bangsa Biauw itu yang menyambit dengan sikap yang amat
menarik dan dengan senyum simpul penuh daya pikat!
“Plakkk!”
Tiba-tiba
ada sambitan yang keras mengenai telapak tangan kiri Thian Sin dan pemuda itu
melirik. Kiranya yang menyambitnya adalah koksu. Maka tahulah dia bahwa koksu
ini memang memiliki kelebihan dari pada orang lain, akan tetapi dia tidak
khawatir. Karena sambitan koksu itu pun tersedot oleh kekuatan yang
dikerahkannya pada kedua telapak tangannya, maka dia pun dapat mengukur tenaga
koksu itu.
Sebaliknya,
diam-diam Sang Koksu terkejut bukan main. Dia adalah orang yang sangat
berpengalaman, baik dalam hal sastera mau pun silat. Maka kini dia pun menduga
bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Selain pandai sihir, pemuda ini pun
pandai ilmu silat tinggi! Makin curiga hatinya.
Tidak
mungkin kalau seorang pemuda dengan ilmu kepandaian seperti itu hanya menjual
kepandaiannya dengan menjadi seorang tukang sulap penghibur tamu! Tentu ada
maksud tertentu yang tersembunyi dalam pertunjukannya ini! Dia tadi telah
mengerahkan pasukan pengawal untuk memperketat penjagaan dan terutama sekali
untuk menjaga keselamatan rajanya.
“Cukup…!
Cukup…! Sayang sekali jika makanan dibuang-buang begitu saja!” kata Thian Sin
sambil tertawa dan… kacang-kacang yang masih melayang membalik ke arah para
penyambitnya. Akan tetapi tenaga membalik ini tidak terlampau kuat sehingga tak
sampai melukai yang menyambit, melainkan justru membuat mereka tertawa-tawa
sebab kacang-kacang itu ada yang mengenai kepala, muka dan tubuh mereka.
“Sekarang
saya akan memainkan suling. Harap cu-wi jangan mentertawakan, permainan suling
saya ini hanya permainan dusun, dan untuk selingan saya juga akan membacakan
sajak!”
Semua orang
menghentikan ketawa mereka hingga keadaan menjadi sunyi, seolah-olah semua
orang terpesona oleh daya pikat yang keluar dari pemuda ini. Semua orang, juga
termasuk keluarga sang raja, seakan-akan dengan sungguh-sungguh hendak
mendengar permainan suling dan pembacaan sajak dari pemuda yang makin lama
makin menarik hati mereka itu. Mereka tidak lagi melihat Thlan Sin sebagai
orang Han, karena sungguh pun pemuda itu memakai pakaian Han, akan tetapi
pemuda itu bicara bahasa daerah dengan lancar sekali dan sama sekali tidak kaku
seperti orang-orang Han lainnya.
“Pertama-tama,
perkenankan saya memainkan lagu ‘Sebatang kara’.” Maka mulailah dia meniup
sulingnya.
Semenjak
kecil Thian Sin memang senang bermain suling dan dia berbakat sekali. Bakat
meniup suling ini menjadi semakin sempurna dengan tenaga khikang yang kini
dimilikinya sehingga pada waktu meniup, bukan sekedar tupan angin belaka,
melainkan tiupan yang mengandung tenaga khikang yang kuat. Dia meniup lagu yang
sedih dengan sulingnya, maka terdengarlah suara suling yang melengking,
mengalun tinggi rendah dan membuat jantung para pendengarnya bergetar.
Para
pendengar itu seakan-akan dapat menangkap keluh-kesah, rintihan dan ratap
tangis yang memilukan terkandung dalam lengkingan suara suling yang mengalun
itu. Suasana menjadi sunyi, semua semua orang tenggelam ke dalam perasaan,
hanyut dalam buaian suara suling, bahkan tak terasa lagi, beberapa orang selir
raja menyentuh-nyentuh bawah mata mereka dengan sapu tangan.
Dengan nada
yang semakin merendah seperti tangis yang kehabisan suara dan napas, akhirnya
suling berhenti. Sebelum semua orang yang perasaannya terhanyut itu normal
kembali, terdengarlah pemuda itu menyanyi, lagunya seperti yang dimainkan
suling tadi, kata-katanya satu-satu dan jelas, dengan suara yang menggetar
penuh perasaan pula.
Bagai awan
tunggal di angkasa terbawa angin semilir lembut tanpa tujuan tiada pangkalan
sebatang kara tanpa harapan ayah bunda tewas bersama dikeroyok anjing serigala
dendam membara membakar dada haruskah diam seribu kata biar diri banjir air
mata? atau menjadi kilat bercahaya menggelepar gegap-gempita membersihkan noda
dan dosa hutang dibayar budi dibalas?
Semua orang
menjadi terharu mendengar nyanyian ini, apa lagi karena dinyanyikan penuh
perasaan. Para selir raja memandang bengong dan tidak terasa lagi ada yang
menangis, menyembunyikan mata dan hidung di balik sapu tangan-sapu tangan
sutera harum.
Para tamu
juga terpesona hingga sejenak terdiam. Mereka adalah orang-orang utara dan
mereka tak merasa heran tentang orang-orang yang mati dikeroyok anjing
serigala. Akan tetapi kepedihan dan kedukaan hati seorang anak yang agaknya
ditinggal mati oleh ayah bundanya yang dikeroyok anjing serigala, baru sekarang
ini terasa menusuk hati mereka.
Menteri
Abigan memandang dengan wajah pucat. Cucu Puteri Khamila itu terlalu berani!
Nyanyiannya tadi terlampau mendekati kenyataan, terlalu mengandung sindiran.
Untung agaknya Raja Agahai tidak sadar dan dialah yang pertama-tama bertepuk
tangan memuji yang segera dituruti oleh semua orang.
Pecahlah
sorak-sorai dan tepuk tangan memuji kepandaian pemuda itu. Akan tetapi ada satu
orang yang tidak bertepuk tangan, dan orang ini adalah Koksu Torgan! Tentu saja
Thian Sin juga tidak lengah dan diam-diam dia mengikuti gerak-gerik koksu ini.
Dia melihat
betapa di tengah-tengah tepuk sorak itu, Torgan menghampiri Raja Agahai dan
bicara dengan asyik kepada raja itu yang mendengarkannya dengan alis berkerut
dan pandang mata penuh selidik ke arah Thian Sin. Pemuda ini cepat mengerahkan
kekuatan pendengarannya dan mendengar bisikan-bisikan koksu itu kepada rajanya.
“Harap
Paduka berhati-hati. Pemuda itu pandai sihir, pandai silat dan sastera. Jelas
dia bukanlah orang biasa dan kedatangannya yang menyamar sebagai tukang sulap
ini tentu mengandung maksud yang tidak baik. Hamba akan mengawasi dia!”
Demikian antara lain dia mendengar bisikan koksu itu kepada rajanya.
Akan tetapi
Thian Sin mengambil sikap tidak peduli dan dia sudah siap meniup sulingnya
lagi, akan tetapi sekarang dia meniup dan memainkan lagu-lagu yang gembira
sehingga wajah para tamu kembali cerah, terbawa oleh suara suling itu. Sesudah
menghentikan tiupan sulingnya, Thian Sin lantas menyanyikan lagu itu dengan
kata-kata yang memang sudah dirangkai dan dihafalkan sebelumnya.
Kuhaturkan
nyanyian ini sebagai doa dan puji kepada Pangeran Temuyin semoga berbahagia
abadi bagaikan cahaya bulan bertahta di angkasa bebas dari rintangan awan yang
lewat di bawahnya akan tetapi… ya Tuhan…
“Ada yang
tidak beres…!” Tiba-tiba pemuda itu menghentikan sajaknya dan mengeluarkan
seruan ini dengan mata terbelalak memandang ke arah tempat ayunan di mana
pangeran yang masih bayi itu diletakkan. Kemudian, pemuda ini lari menghampiri
tempat itu, dan karena perbuatannya ini begitu tiba-tiba, bahkan Koksu Torgan
sendiri tidak menduganya dan tahu-tahu pemuda itu telah tiba di dekat ayunan
itu, menjenguk ke dalam.
“Heiiii…
mundur, jangan mendekati Pangeran!” Koksu Torgan berteriak sambil meloncat
menghampiri dan para pengawal juga sudah memburu ke tempat itu.
Akan tetapi
dengan gerakan begitu cepatnya sehingga tak nampak oleh siapa pun, Thian Sin
sudah menjamah pundak bayi itu dan pemuda ini berseru, “Celaka… Pangeran telah
diracuni orang…!”
Tentu saja
ucapannya ini mendatangkan kejutan luar biasa. Raja Agahai sendiri meloncat
menghampiri, demikian pula semua isterinya atau selirnya, dan tak ketinggalan
selir suku bangsa Biauw yang cantik jelita itu.
Semua orang
memandang kepada bayi itu dan terkejutlah mereka. Bayi itu pucat sekali dan
matanya mendelik, napasnya senin-kemis terengah-engah! Ibunya menjerit-jerit
dan suasana menjadi panik.
Dalam
keadaan berjubel dan panik itu, tiba-tiba selir bangsa Biauw itu merasa
pinggulnya dibelai dan dicubit tangan nakal. Ia terkejut sekali dan cepat
menoleh dan ia melihat wajah tampan itu tersenyum. Ternyata kini Thian Sin
sudah berada di belakangnya dan jelaslah bahwa pemuda ini yang tadi mencubit
dan membelai bukit pinggulnya.
Wajah selir
ini menjadi merah sekali dan dia menahan senyumnya, matanya yang jeli itu mengerling
penuh teguran. Thian Sin tersenyum dan kembali jari-jari tangannya mengelus
punggung dan pinggul. Selir itu agaknya takut ketahuan orang, segera menjauhi
Thian Sin dan mendesak mendekati ayunan.
“Jangan
kerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkan
Pangeran…!” Mendadak Thian Sin berseru lalu dengan sikap halus dia menyuruh
semua orang mundur.
Ketika Koksu
Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan serta pundak
koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, “Maaf, Koksu, harap suka mundur
karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!”
“Minggir
kau, setan!” kata Koksu Torgan marah kemudian mengibaskan tangan Thian Sin dan
mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti
orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Koksu Torgan
bersama Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat
pembantunya ini memeriksa dengan teliti, lalu bertanya, “Bagaimana keadaannya?”
“Ahhh,
sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar? Hamba sendiri tidak
tahu kenapa beliau tiba-tiba bisa begini…,” kata Koksu itu bingung melihat
keadaan Sang Pangeran. “Sebaiknya dipanggilkan tabib…”
“Tabib tua
akan dapat menolongnya!” Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di
situ berkata.
“Tidak,
sebaiknya tabib muda saja,” kata Koksu.
Di istana
terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan
tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersemedhi.
“Tapi tabib
tua adalah ahli tentang racun!” kata Menteri Abigan.
“Siapa bilang
Sang Pangeran keracunan?” bentak Koksu Torgan.
Akan tetapi
Sang Raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka cepat-cepat dia
berteriak, “Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!”
Pengawal
berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu,
sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta sudah memeriksa bayi itu. Tentu
saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, yakni seorang tokoh tua yang
juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang
tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa
beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan
kepala, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main.
“Bagaimana
dengan anakku?” Mendadak Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada
suara membentak.
“Ampun, Sri
Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang
keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang
mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya…”
“Omong
kosong!” Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. “Ini tabib muda sudah hamba panggil,
sekarang biarlah dia yang memeriksa!”
Dalam
keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib
muda pun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung.
Tabib ini
memang seorang yang pandai, walau pun tidak sepandai tabib tua yang sangat
berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada dirinya sendiri.
“Ada hawa aneh menguasai tubuhnya… tetapi beliau ini sebenarnya tidak sakit…
hamba harus memeriksa lebih teliti lagi…”
“Hemmm,
pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa
melawan setan yang mengerikan? Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai
Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?”
Ucapan ini
terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walau pun tidak terdengar
orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan…
hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang
menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya
menggigil.
“Ehh, kau
kenapa?” Koksu Torgan membentak.
Tabib muda
yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang tadi diucapkan oleh Thian Sin
dengan pengiriman suara melalui khikang itu, kini menggigil dan berkata gagap,
“Hamba… hamba tidak sanggup… melawan…”
Tentu saja
sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang hingga tangis ibu
pangeran itu semakin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada
saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia lalu berkata,
“Sri
Baginda, apa bila paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba
yang menyembuhkan beliau.”
Raja Agahai
baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang serta penuh harapan dia
segera menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, “Hauw
Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu.”
“Tapi… tapi
hamba takut kepada Koksu…”
“Takut apa?”
bentak Koksu Torgan marah. “Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran,
hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!”
Namun Thian
Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, “Hamba mohon supaya
semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri bersama Sang Pangeran. Kalau
dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau.”
Mendengar
ini, tentu saja Raja Agahai segera memerintahkan dengan suara lantang agar
semua orang mundur, bahkan dia sendiri pun lalu mundur kembali ke tempat
duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke
tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan tegang.
Koksu Torgan
sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata
penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap
gerak-geriknya. Secara diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya
untuk bersikap waspada dan panggung itu pun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan
panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu.
Setelah semua
orang mundur, barulah Thian Sin menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya
berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan begini adalah
karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi.
Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya,
maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apa lagi menyembuhkannya.
Dan meski
pun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, akan tetapi
cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam
keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi
jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya.
Thian Sin
memondong bayi itu keluar dari ayunan, dan membawanya ke tengah-tengah
panggung. Hal ini memang disengajanya agar semua orang dapat melihatnya dan
agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi
semakin curiga maka diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau
pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran.
Pada saat
memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin telah memulihkan totokannya, akan
tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan
kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam dia pun menekan
urat gagunya sehingga walau pun anak itu sudah normal kembali, namun masih
belum dapat menangis.
Sekarang
Thian Sin meletakkan anak yang terbungkus selimut itu di atas lantai panggung!
Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya
sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan
tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena
mengandung khikang.
“Sang
Pangeran sedang dipengaruhi roh jahat…! Dan aku akan menandingi setan jahat
itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang
Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!”
Suasana
menjadi tegang kembali walau pun tadinya semua orang sudah merasa lega dan
gembira melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik
lagi. Kini semua orang bagai tersihir memandang setiap gerak-gerik Thian Sin.
Mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh
jahat!
Sesudah
mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan
suling dan meniup suling itu dengan suara yang melengking-lengking mengerikan.
Semua orang terbelalak, dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa
pemuda itu bersandiwara, sungguh pun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah
menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya
terpengaruh dan dia tetap saja memandang dengan penuh kecurigaan dan
kewaspadaan.
Sesudah
merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan
keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya semakin menurun dan akhirnya
berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak
nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring.
“Iblis
jahat, siapa takut padamu?!”
Maka
terjadilah ‘perkelahian’ yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak
sehingga tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar
sedang ‘berkelahi’ melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Kadang-kadang
terdengar suara seperti ledakan dan nampaklah asap mengepul ketika lengan
pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang kala pemuda itu
terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kadang-kadang pemuda itu juga seperti
mendesak lawan.
Thian Sin
bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sinkang untuk
menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga
mengeluarkan uap seperti asap! Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah.
“Iblis
jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!” katanya, seolah-olah bicara
dengan lawannya yang melarikan diri.
Dia pun
lantas membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu
saja bayi itu menangis sebab Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan
sekalian mencubit pahanya!
Terdengar
sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu
kepada Sang Raja yang menyambutnya dengan mata basah, bahkan ibu pangeran itu
tersedu-sedu! Semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada
seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja,
“Sri
Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang sudah menyuruh roh jahat itu
mengancam Sang Pangeran?”
“Katakan
siapa!” Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju.
“Biarkan
hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang turut mendengarkan
rahasia ini,” bisik Thian Sin. Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu,
diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka,
bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih
kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu.
Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan
pemuda yang hebat itu.
Sementara
itu Thian Sin berbisik-bisik, “Harap Paduka bersikap tenang dan jangan dulu
menunjukkan kemarahan sebelum orangnya dapat tertangkap. Paduka tentu akan
terkejut sekali melihat adanya musuh di dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda,
yang melakukan perbuatan biadab ini adalah orang kepercayaan Paduka sendiri,
yaitu Koksu Torgan.”
“Ahhh…!”
Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. “Mana mungkin…?”
Thian Sin
tersenyum. “Tentu saja Paduka tidak boleh percaya begitu saja. Hamba sama sekali
tidak melakukan fitnah, karena nanti Paduka bisa membuktikan sendiri. Dan Koksu
Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan salah seorang
isteri Paduka sendiri…”
“Hehhh…! Be…
benarkah…? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, maka sekarang juga
tentu engkau sudah kubunuh!” Raja itu berkata dengan kemarahan yang
ditahan-tahan.
“Hamba tahu,
Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang
bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu…”
Raja Agahai
semakin marah. “Berani engkau menuduh demikian terhadap selirku tercinta dan
pembantuku yang paling setia?”
“Dapat
dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya.
Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka
itu diam-diam menyerahkan sesuatu benda kepada Koksu…”
“Benda apa?
Benda apa, keparat?!” Raja Agahai sudah marah sekali.
“Hamba tidak
tahu secara pasti, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong
merah…”
Wajah raja
itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta
mempunyai benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya yang sebelah dalam,
untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal
sekali benda itu karena sering dia membukanya!
Timbul
keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak
melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah
nampak dari luar.
“Be…
benarkah…?”
“Sri
baginda, mengapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di
dalam saku bajunya.” Kemudian disambungnya berbisik, “Sri baginda harap tenang
dan sabar. Apa bila hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama
Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap
isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri
Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu.”
Raja Agahai
mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, “Koksu…!”
Sejak tadi
Koksu Torgan mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu.
Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga,
apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia
terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya
pada waktu raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya!
Koksu Torgan
terbelalak, seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja
itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, “Geledah dia!”
Apa bila
dalam keadaan biasa, dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani
menjamahnya, Akan tetapi kini, dengan adanya perintah raja, tentu saja dia
tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan
dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya.
Menyaksikan
pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para
pengawal kebingungan. Dan di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat
panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh
tidak melihatnya.
Sementara
itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi dia siap untuk turun
tangan kalau-kalau koksu itu hendak melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja
dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia
dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han
itu.
Dia merasa
tenang sekali karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu dan tak merasa
bersalah sedikit pun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika di
antara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya,
terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah
berbentuk burung hong merah!
Melihat ini,
maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir
suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di
bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu!
Hampir saja
raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan
Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya,
tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor. Karena itu, dengan muka
merah dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras,
“Tangkap jahanam ini!”
Koksu Torgan
terkejut bukan main. “Tapi… Sri Baginda…!”
Thian Sin
telah melangkah maju, tersenyum dan berkata, “Koksu Torgan, apakah engkau
hendak melawan perintah raja?”
Torgan
memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang
keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di
hadapan rajanya. Dia lalu mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia
sudah menubruk maju lantas menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan
yang cukup dahsyat!
Akan tetapi,
Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak,
maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua
lengan yang diisi penuh dengan tenaga sinkang itu.
“Dessss…!”
Diam-diam
Thian Sin kagum dengan kekuatan lawan yang mampu membuat dia merasa terdorong
ke belakang sehingga kedudukan kakinya tergeser. Akan tetapi, Torgan sendiri
terpental lalu terhuyung ke belakang.
Empat orang
pengawal raja langsung menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai
dengan perintah raja tadi. Akan tetapi bekas koksu itu meronta lalu kaki
tangannya bergerak dan… empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting
dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin
berkata,
“Harap
kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!”
Sementara
itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata
membelalak raja membentak, “Torgan! Beranikah engkau hendak menentang
perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?”
Torgan
memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan
berarti membunuh diri, apa lagi pemuda yang berada di depannya itu
sungguh-sungguh memiliki kepandaian hebat. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Hamba tidak
melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah…”
“Hemm, hal
itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!” kata raja kepada para
pengawal.
Dan sekali
ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal.
Semua orang terkejut bukan kepalang, tidak tahu apa yang telah terjadi maka
koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu! Sementara
itu, Menteri Abigan yang diam-diam merasa girang sekali akan hasil usaha cucu
Puteri Khamila ini, cepat-cepat berlutut di hadapan raja.
“Sri
Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?”
Raja Agahai
yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya
yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum
terbebas dari rasa heran yang amat sangat.
Pada saat
Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin
mendekati raja dan berbisik, “Sebaiknya jika Paduka mengajak semua keluarga ke
dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak
menimbulkan keributan.”
Raja Agahai
mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu
memerintahkan supaya semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau
selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir
lainnya, dia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh
raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu. Maka, bersama keluarga raja,
selir yang cantik ini pun lalu ikut masuk kembali ke dalam istana.
Raja Agahai
mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana. Menteri Abigan dan
rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan.
***************
Selir bangsa
Biauw itu memandang dengan kedua matanya yang indah terbelalak penuh keheranan
pada waktu melihat Thian Sin berada dalam kamar raja itu. Dia tadi menerima
panggilan raja melalui dayang pelayan dan dia tidak merasa heran oleh panggilan
ini.
Memang raja
amat mencintanya dan sering kali dia menerima panggilan pada siang hari, tidak
hanya pada malam hari saja. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar itu dan
melihat pemuda tukang sulap yang amat menarik hatinya tadi berada pula di situ,
dia terkejut dan terheran-heran sehingga dia segera menahan langkahnya, merasa
ragu-ragu apakah dia harus terus masuk ataukah tidak.
“Leng Ci, ke
sinilah!” Raja memanggilnya, akan tetapi suara raja begitu kakunya sehingga
membuat wanita Biauw yang bernama Leng Ci itu terkejut dan ketakutan.
Ia melangkah
maju sambil memandang wajah raja dengan penuh keheranan. Melihat raja marah,
dia pun langsung menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat, apa lagi di
situ terdapat orang luar. Kalau sedang berdua saja, tentu dia tidak banyak
melakukan upacara penghormatan ini, melainkan langsung merangkul dan merayu
raja untuk menghibur hati raja yang agaknya sedang dalam keadaan gundah.
“Leng Ci,
apakah engkau sudah merasa akan kesalahanmu?” Tiba-tiba raja bertanya dan
wanita itu menjadi makin terkejut.
Leng Ci
mengangkat muka dan memandang wajah raja. Tubuhnya gemetar dan suaranya juga
gagap ketika dia menjawab dengan pertanyaan pula, “Apa… apa… maksud Paduka?
Hamba tidak mengerti…”
Raja telah
bangkit dari kursinya dengan marah, akan tetapi Thian Sin yang duduk di kursi
lainnya segera bangkit dan berkata halus, “Ingat, Sri baginda, harap tenang.
Perkenankan hamba yang bertanya. Ingatlah bahwa dia sedang tidak dalam keadaan
wajar melainkan dikuasai oleh pengaruh jahat.”
Sebelumnya
tadi memang Thian Sin sempat memberi tahukan raja bahwa wanita itu pun berada
di bawah pengaruh kekuasaan koksu yang mempergunakan ilmu hitam, sehingga
wanita itu tidak sadar apa yang dilakukannya! Tentu saja semua ini adalah
karangannya sendiri saja.
Sebetulnya,
dalam keadaan berdesakan panik tadi, pada waktu mencubit pinggul Leng Ci Thian
Sin telah mempergunakan kepandaiannya untuk mencuri peniti burung hong merah
itu tanpa diketahui oleh pemiliknya. Kemudian ketika dia mencegah koksu
mendekati bayi, dia pun berhasil memindahkan peniti itu ke dalam saku baju Sang
Koksu tanpa diketahui oleh orang itu pula.
Raja
menghela napas panjang. “Baiklah… baiklah…”
Thian Sin
kini menghadapi Leng Ci yang masih berlutut. Wanita itu mengangkat muka memandang
kepadanya dan betapa herannya melihat pemuda itu tersenyum, kemudian
mengejapkan sebelah mata kepadanya! Pemuda itu sungguh berani sekali, akan
tetapi karena ketika itu berdiri membelakangi raja, tentu saja Agahai tidak
melihat perbuatan ini. Sedangkan Leng Ci menduga-duga apa yang sedang terjadi
dan mengapa pula pemuda itu berani bersikap demikian kepadanya.
“Nyonya,”
Thian Sin mulai berbicara dengan suara halus, akan tetapi dari nada suaranya
terdengar sungguh-sungguh, “apakah nyonya kenal dengan benda ini?” tanyanya
sambil membuka tangan kanan, memperlihatkan peniti yang tadi diterimanya dari
raja.
Leng Ci
memandang benda itu, kemudian tangan kirinya tiba-tiba meraba dada. “Aihhh…
bagaimana bisa berada di situ…? Itu… itu penitiku…”
“Nah, peniti
bajumu ini tadi terdapat oleh Sri Baginda berada di dalam saku baju koksu,
nyonya.”
Wajah Ceng
Li menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak tidak percaya. “Ah, mana
mungkin…?”
“Kenyataannya
demikian, masih mau mungkir?!” Tiba-tiba Raja Agahai membentak dan wanita itu
menjadi semakin ketakutan.
“Hamba…
hamba tidak tahu…”
“Nyonya,
jangan takut. Mengakulah saja.” Sambil berkata begini, Thian Sin mencurahkan
padang matanya yang mengandung penuh kekuatan sihir kepada wajah yang cantik
itu. “Engkau disuruh oleh Koksu Torgan supaya membakar kertas jimat hu di bawah
ayunan Sang Pangeran, benar tidak?”
Leng Ci
menundukkan mukanya dan mengangguk sambil menjawab lirih, “Benar…”
Raja Agahai
mengepal tinju, akan tetapi diam saja dan mendengarkan terus.
“Kemudian,
di dalam pesta dia menyuruhmu memberikan peniti kepadanya sebagai tanda bahwa
engkau telah berhasil melakukan perintah itu, bukan? Benar tidak?”
“Be… benar…”
“Engkau mau
melakukannya karena engkau dibujuknya, dan karena engkau pun merasa iri dengan
lahirnya seorang pangeran dari isteri raja yang lain. Engkau mau melakukan hal
ini karena engkau tidak menyangka buruk terhadap niat Koksu, bukan? Dia
mengatakan bahwa jika engkau menuruti perintahnya, engkau kelak akan bisa
mempunyai keturunan. Benar tidak?”
“Benar…”
Thian Sin
menghadapi raja. “Nah, Paduka telah mendengar sendiri. Memang selir Paduka ini
sudah bersalah, tapi dia bertindak bukan atas kehendak sendiri melainkan
tepengaruh sihir. Koksu yang bersalah, karenanya dia patut diberi hukuman yang
berat!”
“Dia harus
dihukum, sekarang juga!” teriak Raja Agahai dengah penuh kemarahan.
“Akan
tetapi, hamba harap Paduka mengampuni isteri Paduka yang melakukan hal itu di
luar kesadarannya. Bahkan sampai sekarang pun dia masih berada dalam
cengkeraman kekuatan sihir dari Koksu. Kalau Paduka tidak percaya, cobalah
Paduka pandang dengan teliti, bukankah ada bayangan Koksu di atas kepalanya?”
Raja Agahai
memandang kepada selirnya yang tercinta itu dan dia pun terbelalak. Tanpa
diketahuinya, Thian Sin telah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini raja itu
melihat ada bayangan di atas kepala selirnya. Bayangan koksu Torgan! Maka dia
mengangguk-angguk dan menjadi semakin marah kepada koksu, juga merasa seram.
“Lalu
bagaimana baiknya? Apa yang harus kami lakukan terhadap dirinya agar ia
terlepas dari cengkeraman kekuasaan itu.”
“Hamba
sanggup mengobatinya seperti hamba mengobati Sang Pangeran. Akan tetapi,
melawan iblis lebih ringan dari pada melawan koksu. Dia akan melawan sekuatnya
untuk membebaskan sang puteri. Oleh karena itu perkenankan hamba mengobatinya
di dalam kamar tertutup selama sehari semalam.”
“Baik,
bawalah dia ke kamarmu yang akan kami sediakan, dan obatilah sampai sembuh.
Kalau dia sudah sembuh, barulah kami akan memutuskan, apa yang harus kami
lakukan untuknya.”
Raja Agahai
sendiri merasa bimbang apakah dia harus menjatuhkan hukuman terhadap selirnya
itu. Selir itu paling cantik dan paling menggairahkan, dia masih sayang
padanya, apa lagi keterangan Thian Sin menimbulkan keraguan hatinya.
Raja
mengutus dayang untuk mengantarkan Thian ke dalam sebuah kamar tamu terbaik di
dalam istana. Dan ketika Thian Sin menggandeng lengan selir itu, sang selir
bangkit berdiri dan ikut dengan pemuda itu seperti boneka berjalan karena
wanita itu sendirl juga masih bingung dengan peristiwa yang telah menimpa
dirinya sehingga terjadi hal-hal yang dianggapnya amat aneh itu.
Raja Agahai
lalu memanggil semua pembantunya. Para menteri dan panglima berkumpul dan di
dalam persidangan ini, Raja Agahai mengumumkan hukuman mati kepada Koksu
Torgan. Tentu saja para pembesar itu, kecuali Menteri Abigan dan para rekannya,
terkejut bukan main.
Mereka semua
masih belum mengerti mengapa koksu ditangkap atas perintah raja sendiri di
dalam pesta itu, dan kini malah raja memutuskan hukuman mati terhadap koksu!
Tentu saja sebagian di antara para teman Torgan merasa amat terkejut dan
penasaran. Mereka semua tahu bahwa Torgan adalah seorang yang amat setia
terhadap Raja Agahai serta menjadi pembantu terbaik dan terpercaya.
Tentu saja
beberapa orang pembesar segera mengajukan protes dan pertanyaan, kenapa
dijatuhkan hukuman mati kepada koksu. Raja Agahai kemudian berkata,
“Kalian
semua telah melihat betapa putera kami telah mengalami gangguan roh jahat yang
hampir saja menewaskannya. Untung ada pemuda sakti itu yang menyelamatkan
jiwanya. Dan tahukah kalian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu? Bukan
lain adalah Koksu Torgan!”
“Ahhhh…!”
Semua pembesar terkejut, bahkan Menteri Abigan sendiri terheran-heran dan kagum
bukan main terhadap cucu Puteri Khamila itu, bagaimana siasatnya dapat berhasil
sejauh ini.
“Ampun, Sri
Baginda. Harap Paduka suka memeriksa dengan seksama sebelum Paduka menjatuhkan
keputusan. Siapa tahu ini hanya fitnah belaka,” kata mereka.
“Hemm, kami
sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada bukti dan ada saksi. Torgan telah
berkhianat dan bermaksud memberontak. Dia sudah menggunakan sihir menguasai
seorang di antara isteri kami, lalu membakar jimat di bawah ayunan pangeran dan
sampai sekarang pun isteri kami itu masih di dalam kekuasaan sihirnya dan
sedang diobati oleh Hauw Lam.”
Perintah
raja tak dapat dibantah lagi dan hari itu juga, Torgan menerima hukuman penggal
kepala. Seperti biasa, kepalanya dipancangkan di tempat umum untuk menjadi
peringatan bagi mereka yang berhati bengkok, yaitu mereka yang ingin menentang
kekuasaan raja.
***************
Sementara
itu, setelah membawa selir bangsa Biauw yang bernama Leng Ci itu ke dalam
sebuah kamar tamu mewah yang diperuntukkan baginya, Thian Sin segera menutup
dan memalang daun pintu kamar, kemudian dia pun melepaskan kekuatan sihirnya
atas diri wanita itu.
Wanita itu
tersadar dan terkejut sekali mendapatkan dirinya berada di dalam kamar tamu,
dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia melihat Thian Sin berada di situ,
duduk dan memandang kepadanya. Meski pun wanita itu merasa jantungnya berdebar
dan mukanya merah, akan tetapi bukan karena marah, sungguh pun dia mengambil
sikap seperti orang marah.
“Kenapa aku
berada di sini? Biarkan aku keluar!” Ucapannya ini dengan nada membentak dan
marah.
Thian Sin
tersenyum. “Mau keluar? Silakan. Sri Baginda telah menanti untuk menjatuhkan
hukuman berat padamu. Lupakah engkau bahwa perhiasan pakaian dalammu berada di
dalam saku baju Koksu?”
Mendengar
ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, maka
mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. “Ahh…
apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?”
“Koksu
menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh
pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi.”
Muka itu
semakin pucat. “Ahh, mana mungkin begitu? Aku… aku tidak pernah membantu Koksu,
aku tidak pernah melakukan hal itu…”
“Karena
engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah
mengakui semua hal kepada Sri Baginda maka sudah semestinya kalau engkau
dihukum berat, mungkin hukuman mati.”
“Ahhh…!”
Wanita cantik itu nampak ketakutan sekali. “Tapi… tapi mengapa aku berada di
kamar ini bersamamu…?”
“Aku sudah
menyelamatkanmu dari hukuman mati. Aku yang minta kepada Sri Baginda agar
engkau tidak dihukum karena engkau hanya diperalat oleh Koksu. Aku menyanggupi
Sri Baginda untuk membebaskan engkau dari pengaruh sihir itu, dan kini engkau
sudah terbebas dan engkau sudah teringat dan sadar kembali. Kalau tidak ada
aku, Nona Leng Ci, engkau sekarang tentu telah menjadi setan tanpa kepala.”
“Aihhh…”
Leng Ci menggerakkan tangannya sehingga otomatis tangannya itu memegang
lehernya. Sepasang mata yang indah itu memandang kepada Thian Sin, rasa takut
dan ngeri masih membayangi mukanya dan dengan suara mengandung rasa takut ia
berkata, “Ahh, kalau begitu… engkau sudah menyelamatkan nyawaku… tetapi… tetapi
bagaimana selanjutnya? Apakah Sri Baginda mau mengampuniku…?”
Thian Sin
tersenyum. “Aku yang menanggung, engkau takkan diganggu oleh Sri Baginda. Akan
tetapi, sesudah aku menolongmu dan sekarang aku menjamin keselamatanmu, lalu
imbalan atau hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?”
Wanita itu
segera melangkah maju menghampiri. Wajahnya serius sekali. Hal ini adalah
menyangkut kehidupannya dan keselamatannya. Sesudah dia teringat akan segala
yang telah terjadi, maka harapan satu-satunya ia gantungkan kepada pemuda ini
yang agaknya dapat mempengaruhi raja dan menjadi satu-satunya orang yang mampu
menyelamatkan dirinya.
“Kongcu…
tolonglah saya… imbalan apa saja yang kongcu kehendaki, pasti akan saya
berikan! Perhiasan? Akan saya serahkan semua milik saya.”
Thian Sin
tersenyum. “Perhiasan? Agaknya aku bisa memperoleh yang lebih banyak dari raja.
Tidak, nona manis, aku tidak butuh perhiasan.”
“Lalu apa
lagi yang dapat kuserahkan? Aku tidak punya apa-apa lagi…!” Leng Ci berkata
dengan bingung dan rasa khawatirnya bertambah.
Thian Sin
tersenyum, girang hatinya melihat wanita itu dicekam ketakutan hebat. “Nona
Leng Ci, pada saat belum terjadi sesuatu dan aku diperkenalkan kepada raja, aku
melihat sinar matamu ketika memandangku dan gerak bibirmu saat tersenyum
kepadaku. Kemudian, ketika aku meraba dan membelai pinggulmu, engkau sama
sekali tidak marah atau berteriak, apakah artinya semua itu?”
Menerima
pertanyaan seperti ini, pertanyaan yang langsung menyerang perasaan hatinya,
seketika wajah yang tadinya pucat itu kini berubah merah sekali. Sesaat dia
lupa akan rasa takutnya dan dengan sikap menarik sekali dia cemberut, matanya
mengerling penuh tantangan mesra, ada pun bibirnya memperlihatkan ejekan-ejekan
yang membuat bibir itu tampak makin menggairahkan, lalu katanya lirih, “Habis,
engkau mengartikan bagaimana? Aku tidak tahu…”
“Bukankah
itu berarti bahwa engkau tertarik kepadaku? Bahwa kalau aku yang juga amat
tertarik dan jatuh cinta padamu mengulurkan tangan kepadamu lantas mengajakmu
saling menumpahkan kasih sayang dan bermain cinta, maka engkau akan menerimanya
dengan hati girang?”
Menghadapi
kata-kata yang luar biasa beraninya itu, dan membuka segala-galanya tanpa
pura-pura lagi itu, Leng Ci cepat menundukkan mukanya karena dia merasa malu
sekali. Malu bercampur tegang karena memang harus diakuinya bahwa dia amat
tertarik kepada pemuda tampan yang amat pandai mengambil hati orang ini.
“Ihhhh…
siapa jatuh cinta…?” Hanya ini yang dapat diucapkannya sambil tunduk dan dari
bawah, kedua matanya mengerling demikian tajamnya melebihi sepasang pedang
pusaka yang langsung menembus jantung Thian Sin.
“Nona Leng
Ci, kalau saya menolong nona, menyelamatkan nona dari ancaman hukuman mati, dan
sekarang akan melindungi nona dari raja, hal itu bukan sekali-kali karena saya
mengharapkan balasan. Melainkan karena saya memang tertarik dan jatuh cinta
kepada nona yang sangat cantik menarik ini. Tentu saja ada harapan di dalam
hati ini agar nona juga dapat membuka perasaan hati nona yang kalau saya tidak
salah taksir, juga tertarik kepada saya. Nah, sekarang bagaimana? Maukah engkau
menyambut uluran tanganku ini? Akan tetapi, penyambutan yang suka rela, dengan
sepenuh perasaan, bukan karena terpaksa, dan bukan pula karena hanya sekedar
membalas jasa…” Sambil menghentikan kata-katanya dan menatap dengan sinar mata
penuh ajakan, Thian Sin mengembangkan kedua lengannya ke depan, ke arah wanita
itu.
Biar pun
wajahnya merah sekali dan kepalanya masih ditundukkan, malu sekali dan tidak
dibuat-buat, akan tetapi Leng Ci melangkah maju dan masuk ke dalam pelukan
Thian Sin, membiarkan dua lengan itu melingkari tubuhnya dan dia pun tak
menolak ketika pemuda itu menariknya sehingga dia terduduk di atas pangkuan
pemuda itu.
“Engkau
senang begini?” tanya Thian Sin. “Bukan hanya untuk membalas budi?”
Wanita itu
tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mesra, akan tetapi
tubuhnya gemetar dan dia pun berkata, “Tapi… tapi… Sri Baginda…”
Thian Sin
melepaskan rangkulannya dan menurunkan wanita itu, lalu bangkit berdiri.
“Ahh,
kiranya dalam keadaan begini pun engkau masih teringat kepada Sri Baginda? Jadi
engkau mencinta raja dan tidak mau mengkhianatinya?”
“Bukan…
bukan, kongcu! Siapa mencinta tua bangka itu? Dia memaksaku menjadi selir,
sesudah pasukannya membasmi perkampungan kami, bahkan orang tuaku tewas dalam
serbuan itu. Aku lalu dipaksanya menjadi selir, dan hanya untuk menyelamatkan
diri serta untuk menikmati kehidupan mulia dan mewah saja aku bersikap manis
kepadanya. Siapa sih yang sudi berdekatan dengan tua bangka mata keranjang itu?
Akan tetapi… tadi aku teringat dia karena takut. Bagaimana kalau dia mengetahui
hubungan kita?”
“Aku tertarik
dan suka padamu, dan aku berani menempuh bahaya untuk mendapatkan cintamu.
Kalau engkau takut, kembalilah sana kepada raja!”
“Tidak…
tidak, kongcu… ahh, tentu saja aku lebih suka padamu. Kalau memang engkau mau
melindungiku, aku akan mentaati segala kehendakmu, biarlah mati hidup aku
selalu bersamamu.” Wanita itu menubruk dan merangkulnya.
Melihat
wanita ini telah menjadi jinak, Thian Sin tersenyum. “Bagus! Nah, mulai
sekarang ini, engkau harus taat kepadaku, mengerti?”
Wanita
cantik itu mengangguk dan menahan isaknya pada saat Thian Sin mendekap dan
menciumnya, bahkan membalas peluk cium itu dengan hangat. Thian Sin
memondongnya dan segera keduanya tenggelam di dalam buaian natsu birahi yang
amat panas.
Sejak pergi
meninggalkan So Cian Ling, wanita terakhir yang menjadi kekasihnya, sudah lebih
dari setengah tahun Than Sin sama sekali tak pernah berdekatan atau berhubungan
dengan wanita. Selama berbulan-bulan dia menggembleng diri bertapa dan
memperdalam ilmunya sambil menahan nafsunya.
Sedangkan
Leng Ci adalah seorang wanita muda yang selama ini harus melayani seorang pria
tua yang sesungguhnya dibencinya dan baru sekarang selama hidupnya dia bertemu
dan berhubungan dengan seorang pria muda tampan yang menarik hatinya. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan apa bila pertemuan antara mereka tak ubahnya
seperti seekor ikan kekeringan bertemu dengan air danau yang segar, di mana
ikan itu dapat berenang sepuasnya.
Dengan dalih
‘mengobati’ Leng Ci, maka Thian Sin dapat bersenang-senang sepuasnya dengan
wanita itu, bahkan Raja Agahai sendiri tak berani mengganggunya. Raja itu hanya
dapat bertanya dari luar pintu saja bila mana menanyakan keadaan selirnya
tercinta.
“Sedikit
lagi Sri Baginda,” Thian Sin menjawab dari dalam kamar. “Harap Paduka bersabar
dan jangan diganggu…”
“Tapi,
Torgan telah dihukum mati. Bagaimana dia dapat mengganggu lagi?” bantah Sang
Raja yang sudah merasa rindu kepada selirnya itu.
“Justru
itulah!” jawab Thian Sin cepat, “Rohnya yang jahat itu sedang membalas dendam
dan hendak mempertahankan pengaruhnya atas diri selir Paduka.”
Dengan
alasan ini, Thian Sin dapat berdiam berdua saja dengan wanita itu, bahkan para
dayang yang melayani mereka, yang mengantar makan minum dan sebagainya, hanya
dibolehkan sampai di pintu saja dan tidak terus masuk. Mereka itu hanya dapat
melihat selir raja itu rebah terlentang di balik kelambu!
Tentu saja
semua ini hanyalah permainan Thian Sin yang dibantu oleh Leng Ci. Sekarang
wanita itu sepenuhnya berpihak kepadanya, amat tunduk dan taat karena memang
wanita itu sudah betul-betul jatuh cinta kepada Thian Sin. Dan pada waktu
malamnya, Thian Sin meninggalkan Leng Ci di dalam kamar, menyuruh wanita itu
mengunci semua pintu dan jendela.
Dia sendiri
keluar melalui jendela untuk mengadakan pertemuan dengan Menteri Abigan dan
rekan-rekannya yang menyiapkan segala untuk kepentingan rencana pemberontakan
mereka menentang Raja Agahai. Dengan cerdiknya, Menteri Abigan mulai
menyadarkan para panglima serta pembesar akan kelaliman Agahai, juga mulai
memindah-mindahkan tugas penjagaan melalui beberapa orang panglima yang
berpihak kepada komplotan ini sehingga pada saat yang telah direncanakan, para
pengawal yang menjaga istana adalah sebagian besar orang-orang mereka!
Tiga hari
kemudian, setelah rencana mereka matang, Thian Sin memberi tahu kepada para
dayang di luar pintu agar mereka memberi tahu kepada Raja Agahai bahwa dia kini
sudah siap menerima kunjungan raja dan bahwa selir raja itu sudah sembuh sama
sekali.
Tentu saja
berita ini amat menggirangkan hati Raja Agahai yang pada pagi hari itu sudah
mulai kehabisan kesabarannya menanti-nanti. Betapa pun juga, di dalam hatinya
ada rasa cemburu mengingat betapa selirnya yang tercinta, yang cantik jelita
dan manis itu, sudah berada di dalam kamar berdua saja dengan tukang sulap muda
dan tampan itu selama dua malam tiga hari. Maka, begitu mendengar berita dari
para dayang, Raja Agahai cepat bergegas mendatangi kamar itu dan mengetuk pintu
kamar.
Karena
keinginan tahu yang sangat besar, ditambah dengan rasa rindu terhadap selirnya,
maka Raja Agahai menjadi lengah dan langsung dia setengah berlari menuju ke
kamar tamu itu tanpa minta perlindungan para pengawal pribadinya. Dia sudah
tidak sabar lagi, selain ingin segera melihat dan mengetahui keadaan
kekasihnya, juga ingin segera dapat memeluknya kembali.
“Silakan
masuk!” terdengar suara Thian Sin, “Daun pintu tidak terkunci.”
Raja Agahai
mendorong daun pintu lantas memasuki kamar itu, sedangkan para dayang yang duduk
di luar pintu sudah menjatuhkan diri berlutut ketika raja itu muncul.
Ketika Raja
Agahai memasuki kamar itu dan daun pintu kamar ditariknya tertutup kembali, dan
dia lalu melangkah maju menembus tirai sutera hijau itu, dia melihat sesuatu di
dalam cuaca remang-remang dalam kamar, sesuatu yang membuat dia terbelalak dan
langkah kakinya seketika terhenti.
Dia tidak
percaya akan apa yang dilihatnya itu, maka digosok-gosoknya matanya dan dia
kini kembali melangkah maju menghampiri untuk bisa melihat lebih jelas lagi.
Akan tetapi, penglihatan matanya tidak berubah, masih tetap seperti tadi, yaitu
Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan selirnya, Leng Ci yang cantik jelita
dan manis, selirnya yang tercinta itu, dengan pakaian dalam yang tipis dan
kusut, seperti juga rambutnya, tengah duduk di atas pangkuan pemuda itu!
Seperti seekor
kucing manja, wanita itu duduk di atas pangkuan, bergantung kepada leher pemuda
itu dengan sepasang lengannya yang berkulit halus, mengangkat mukanya dekat
dengan muka pemuda itu dan memandang penuh kemesraan! Dan Thian Sin seolah-olah
tidak melihat kedatangan raja itu, kemudian menunduk dan pada lain saat
keduanya telah berciuman dengan mesra sekali.
Raja itu
melihat betapa kedua lengan selirnya merangkul makin ketat. Mereka berciuman
lama sekali dan Thian Sin baru menghentikan ciumannya setelah mendengar sang
Raja membentak.
“Keparat!
Apa artinya ini?” Raja Agahai yang tadinya menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada Thian Sin yang dianggap sebagai penyelamat puteranya dan pembongkar
rahasia pengkhianatan Torgan, kini masih merasa ragu. Siapa tahu apa yang
dilakukan pemuda itu adalah dalam rangka pengobatan dan penyembuhan selirnya!
Thian Sin
mengangkat muka memandang, lalu tersenyum mengejek. Leng Ci yang masih duduk di
atas pangkuan pemuda itu dan masih merangkul lehernya, juga menengok dan Sang Raja
langsung terheran. Belum pernah dia melihat selirnya itu berwajah sedemikian
cantiknya, dengan sepasang mata yang redup dan sayu, entah karena sedang
kehausan ataukah terlalu puas, akan tetapi sepenuhnya selirnya itu membayangkan
seorang wanita yang sedang dalam puncak birahi.
Thian Sin
mengecup bibir Leng Ci lalu berkata, “Manis, si tua bangka ini telah datang,
kau istirahatlah dulu, dan lihat apa yang akan kulakukan padanya.”
Leng Ci
tersenyum dan mengangguk, lalu turun dari atas pangkuan dan duduk di
tengah-tengah pembaringan. Baju dalamnya tersingkap hingga nampak bukit buah
dadanya yang biasanya sangat dikagumi oleh Raja Agahai. Akan tetapi, kini wajah
Agahai telah berubah sebentar pucat dan sebentar merah saking terkejut dan
marahnya sesudah mendengar ucapan Thian Sin tadi.
“Hauw Lam!
Apa artinya ini?” Kembali dia membentak.
Thian Sin
turun dari pembaringan dan melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi
mulutnya tersenyum mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong
yang menakutkan Sang Raja.
“Artinya,
Agahai, sudah jelas. Yaitu bahwa Leng Ci sudah menjadi kekasihku, bahwa kini
tibalah saat terakhir dari kejayaan dan kelalimanmu. Selama ini engkau sudah
buta, tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!”
Mendengar
kata-kata kasar dan melihat sikap yang sama sekali berubah ini Raja Agahai
terkejut bukan main. Dia memandang dengan mata terbelalak.
“Apa artinya
ini…? Siapa… siapa engkau…?”
“Hemmm, raja
lalim, manusia jahat dan busuk, engkau sungguh tolol. Si Torgan itu lebih
cerdik, akan tetapi dia telah kau hukum mati. Ha-ha-ha, sungguh engkau manusia
yang paling busuk di dunia ini. Selirmu Leng Ci sama sekali tidak pernah
berhubungan dengan Torgan, melainkan dengan aku, menjadi kekasihku. Dan Torgan
tidak pernah berbuat apa pun terhadap anakmu. Akulah yang telah membuat anakmu
sakit dan melemparkan fitnah kepada Torgan. Mengertikah engkau sekarang,
Agahai?”
Tentu saja
Raja Agahai menjadi terkejut dan marah bukan main. “Tapi… mengapa? Apa yang
terjadi?” Raja itu berteriak bingung.
“Kepadamu
aku pernah mengaku bernama Hauw Lam dan memang aku adalah seorang hauw-lam
(putera berbakti). Dahulu, pernah aku datang mengunjungi tempat ini, sebagai
seorang anak berusia sepuluh tahun dan ketika itu namaku adalah Ceng Thian
Sin…”
Raja Agahai
undur selangkah. “Apa…?! Kau… kau Ceng… Ceng Thian Sin…!”
“Ha-ha-ha,
baru engkau teringat sekarang?”
“Thian Sin!
Engkau… cucu keponakanku sendiri…!”
“Tak perlu
kau bersandiwara lagi, Agahai. Ayah bundaku tewas karena pengeroyokan, dan engkau
juga memegang peran dalam pembunuhan itu. Engkau mengirim pasukan pilihan untuk
ikut mengeroyoknya. Engkau berhutang nyawa ayah bundaku!”
Mendengar
ucapan ini, Raja Agahai baru sadar bahwa dirinya terancam bahaya. Cepat dia
membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba ada
bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin telah berdiri di depannya,
menghadang antara dia dan pintu. Marahlah Agahai. Betapa pun juga, dia bukanlah
seorang pria lemah. Dicabutnya pedang dari pinggangnya.
“Pengkhianat
busuk!” bentaknya dan pedangnya menyambar.
Akan tetapi,
dengan tenang saja Thian Sin menggerakkan tangannya menyambut pedang itu,
mencengkeram pedang dengan tangan kirinya.
“Kraakkk!”
Pedang itu
pun patah-patah, seolah-olah terbuat dari pada benda yang lunak saja. Agahai
memandang dengan mata terbelalak dan kini wajahnya menjadi benar-benar pucat.
“Pengawal…!”
teriaknya dengan suara lantang memanggil para pengawal pribadinya.
Akan tetapi
tidak ada jawaban sama sekali. Sunyi saja di luar kamar itu, hanya terdengar
suara beradunya senjata agak jauh dari situ, dan suara hiruk-pikuk orang
berkelahi.
Thian Sin
tersenyum. “Semua pengawal serta pembantumu pada saat ini sedang diserbu dan
dibasmi. Engkau harus berhadapan dengan aku tanpa bantuan siapa pun!”
Raja Agahai
menjadi amat ketakutan dan karena ingin meloloskan diri, dia menjadi nekat.
Sambil mengeluarkan suara bagai seekor srigala kelaparan, dia meloncat dan
menerkam pemuda itu dengan kedua tangan menyerang dari kanan kiri.
“Plakkk!”
Thian Sin
menampar, tidak mengerahkan tenaga terlalu besar hingga raja itu terpelanting,
pipi kanannya bengkak dan membiru. Sejenak Agahai nanar dan matanya liar,
bagaikan mata seekor harimau yang sedang tersudut. Thian Sin berdiri dengan
bertolak pinggang, menghadang di depan pintu, tersenyum, namun senyuman yang
mengandung kebencian mengerikan....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment