Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 05
Sin Liong
tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk
itu. Dia mengangguk dan berkata. “Benar, aku bernama Cia Sin Liong.”
“Hemmmm…” Si
Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. “Jadi engkau inikah orangnya yang
berjuluk Pendekar Lembah Naga?”
Sin Liong
tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.
“Bagus, tuan
besar kami memanggilmu, marilah kau ikuti kami untuk menghadap beliau!” setelah
berkata demikian, Si Cambang Bauk itu bersama dengan empat orang temannya,
segera melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda
mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar.
“Pendekar
Lembah Naga, mari kau ikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha-ha!” Si
Cambang Bauk tertawa bergelak.
Sin Liong
maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya, atau mungkin juga
mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan
mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi
lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka lalu menuju ke barat, ke tepi
kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang
cukup lebar.
Mereka
sengaja membalapkan kuda sambil beberapa kali mereka menengok ke belakang dan
tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka
menyeberang jembatan lantas membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman
bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman,
lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah
taman itu. Mereka menengok ke belakang dan ketika tidak melihat Sin Liong, maka
mereka tertawa makin keras.
Akan tetapi
tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah setelah mereka
melihat ada seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan
mereka mengenal laki-laki itu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka
tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua
orang di antara mereka menggosok-gosok mata mereka karena tidak percaya akan
apa yang dilihatnya.
Tadi pria
itu mereka tinggalkan dan mereka terus membalapkan kuda. Tidak nampak pria itu
menyusul atau pun melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah
mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang
pandai menghilang?
Tentu saja
tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong menggunakan ginkang, berlari cepat
bagaikan terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk
mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu.
“Nah, di
mana adanya Pak-san-kui?” tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.
“Ada… ada…,
mari silakan masuk…” kata Si Cambang Bauk, kini sikapnya agak berbeda dan agak
merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar
Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka.
Demikianlah
ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu
bermuka-muka dan menjilat-jilat apa bila bertemu dengan orang yang dianggapnya
lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih dari pada gambaran dirinya sendiri, akan
tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang
dianggapnya lebih rendah dari pada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah
seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan
menindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri
sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.
Apakah kita
dapat hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan menindas bawahan? Tentu dapat
selama kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar
terhadap semua orang dari segala macam tingkat.
Dengan
diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si
Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah
terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok
itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si
Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat,
“Lo-ya,
Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!”
Sin Liong
yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega
bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa
orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah
ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas.
Isterinya
duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia. Puteranya juga
duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia.
“Ayah! Aku
tahu ayah pasti datang menyusul kami!”
Sin Liong
melihat seorang kakek memandang kepadanya sambil tersenyum lebar. Kakek ini
berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung.
Dia mengenakan pakaian seperti seorang hartawan, tangan kanannya memegang
sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap dan sikapnya ramah. Kuncirnya tebal
dan panjang dan kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas.
Orang yang
duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, tidak sukar
dikenal dari pakaiannya. Orang ini sudah berusia lima puluhan tahun, dengan
sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda
sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan
tegang, sebentar dia memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian
ke arah si hartawan itu.
Selain dua
orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria
yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat
dan sikap mereka amat menghormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang
yang memiliki kepandaian silat tinggi.
Belasan
orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari
pakaian mereka, berdiri di sekeliling tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar
seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu
tertawa.
“Ha-ha,
anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu,
sudah lama aku mendengar nama besarmu, dan sekarang gembira sekali dapat
bertemu. Silakan duduk…” Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang
agaknya sudah dipersiapkan.
Sin Liong
lantas memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian dia pun duduk di atas
bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang
dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi
sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar
berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-kata pun, hanya dengan saling
bertukar pandang, dia sudah bisa mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.
“Apakah
wan-gwe (tuan hartawan) yang mengundangku ke sini?” tanya Sin Liong sambil
mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya.
Melihat sikap
pendekar itu yang demikian tenang, sama sekali tidak mau memberi hormat
kepadanya dan kepada si pembesar, lantas mendengar pendekar itu menyebut
wan-gwe kepadanya, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya
bergema di dalam ruangan itu sehingga ruangan itu seolah-olah tergetar hebat.
Diam-diam
Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khikang yang kuat
sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki
kepandaian yang tinggi, bahkan kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan
kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan
dia pun mengerti mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu
isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di
tempat itu.
“Ha-ha-ha,
sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke
sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Sudah
lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau sudah menjadi orang
kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga
engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga tidak
termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga,
sungguh pun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali.”
Sin Liong
memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu,
lalu dia berkata, “Apa yang locianpwe maksudkan?”
Wajah tua
yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali
mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe tapi locianpwe
(sebutan bagi golongan tua yang gagah perkasa), sebab sebutan itu menandakan
bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam dunia
persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang digunakan oleh Sin Liong itu
bukanlah suatu penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin
Liong untuk bersikap rendah hati.
“Ingatkah
sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?” Ketika dia melihat
wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia lalu tertawa. “Ya, Hek-hiat
Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan itu memang salahnya
sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li masih
terhitung bibi guru luar dariku, sungguh pun di antara kami tidak pernah ada
hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu,
Cia-sicu, dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal
kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku.
Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari
Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul
itu, tentu saja aku langsung mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan
sesudah tiba di sini, karena kebetulan sekali aku pun sedang berada di
Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu.”
Diam-dian
Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan
juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat
dan orang ini pun tak luput dari pada penyakit sombong dan congkak sekali.
Betapa pun juga, harus diakui bahwa orang ini sangat lihai dan mempunyai
pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Sekarang
tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang
bekerja di losmen itu.
“Locianpwe
telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku pula, untuk
kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di
sini, apa yang locianpwe kehendaki?”
“Ha-ha-ha-ha,
pertama-tama hanya ingin berjumpa dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio
dan kau anak yang baik, ehhh, siapa tadi namamu?” tanya kakek itu kepada Han
Tiong.
“Namaku Cia
Han Tiong,” jawab anak itu.
“Nah,
marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin
yang terhormat.”
Orang yang
berpakaian pembesar itu pun lalu berkata, “Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita
berkumpul sebagai sahabat!”
Diam-diam
Sin Liong merasa heran sekali dengan sikap orang itu. Apa artinya semua ini?
Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya,
lalu di sini diperlakukan dengan hormat!
“Terima
kasih,” katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum
bersama.
“Tadi sudah
kukatakan bahwa biar pun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat
pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan
engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar sangat patut
menjadi sahabatku, Cia-sicu. Maka biarlah undangan ini bisa juga kau anggap
sebagai tanda persahabatanku kepadamu.”
Hemm, tentu
ada udang di balik batu, pikir Sin Liong.
“Terima
kasih. Locianpwe sudah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih.
Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku.”
“Cara aku
mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!”
Kembali Sin
Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini. Dia harus berhati-hati sekali
terhadap orang yang memiliki kecerdikan ini. “Benar, locianpwe. Aku tidak
mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak
isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?”
“Ha-ha-ha, tentu
saja! Apa kau kira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa
yang kuperintahkan?”
“Hemm, kalau
begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?” tanya
Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak
isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang.
Sebelum
menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan salah seorang di
antara para pengawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api
untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Sesudah mengisap-isap dan tembakau itu
mulai terbakar, maka asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek
ini kemudian menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong
lalu berkata,
“Semua itu
dilakukan untuk mengujimu, sicu!”
“Mengujiku?”
“Ya, untuk
mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya
kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali
menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu sangat mengagumkan,
layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku.”
Sesudah
makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda
dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari
atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat
ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan
minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapa
pun juga, maka dia pun cepat berkata,
“Locianpwe,
kami bertiga sudah menerima kehormatan dan kebaikan lodanpwe, mudah-mudahan
lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga.
Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini.”
Kakek itu
bangkit berdiri dan mengangkat tangan kirinya ke atas, mengepulkan asap dari
mulutnya. “Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam
ilmu silat, tentu saja. Kini kita telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat
sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu,
mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, dan boleh dibilang
mewakili aku di dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh
karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara
kita dapat lebih matang.”
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah maksud tuan
rumah dan tentu saja sedikit pun dia tidak merasa gentar untuk berhadapan
dengan siapa pun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, sesudah
bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai
nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan,
maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu.
“Locianpwe,
telah bertahun-tahun aku tak pernah lagi berurusan dengan dunia persilatan dan
tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku
kalah saja,” katanya sambil menjura.
Melihat ini,
Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han
Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia serta
Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali. Kalau sekarang suaminya secara
begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan
sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri?
Dia sendiri
tidak menginginkan puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat
mengangkat diri, akan tetapi lebih-lebih dia tidak menghendaki puteranya kelak
menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!
“Locianpwe
ini sudah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak
melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?” Di
dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong,
betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan namun disembunyikan di dalam
kata ‘kebaikan’ itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya
itu.
“Pula sejak
tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan
rumah setelah dia diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan,”
sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.
“Ha-ha-ha,
Cia-sicu terlalu merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga memiliki
suami seperti Cia-sicu. Nah, lekas kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada
Cia-sicu!” katanya sambil menggerakkan huncwenya.
Tiga orang
laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu, dan yang sejak tadi memang sudah
siap-siap, sekarang bangkit dari tempat duduk mereka kemudian memberi hormat
kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.
“Teecu
bertiga mentaati perintah suhu,” kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu
menjura kepada Sin Liong.
“Kami
bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!”
Sin Liong
tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu,
yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya
sendiri dan sekarang hanya mengutus tiga muridnya untuk maju, karena memang
niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya.
Aku tidak
boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Bila dianggap
terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan
mengalahkannya. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia tidak dianggap sebagai
saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit
permusuhan.
Maka dia pun
lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. “Harap locianpwe tidak
mentertawai kebodohanku. Sudah lama sekali aku tidak pernah bertanding, rasanya
kaku dan canggung.” Dan dia pun lalu menuju ke tengah ruangan yang sudah
dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.
“Hemm,
kalian hendak maju berbareng?” Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu
untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jeri dan ragu.
“Ha-ha-ha,
jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian,
dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh
tiga orang.” kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya
congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah pada Sin Liong setelah
melihat sikap pendekar itu.
Bi Cu yang
sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tidak
pernah mengenal takut, kini merasa sangat penasaran. Dia tahu bahwa suaminya
sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti hingga membuatnya
amat penasaran.
Mengapa
suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa
adanya Pendekar Lembah Naga? Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu
dengan alis berkerut.
Sementara
itu, ketiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka
hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru.
Mereka tampak tegap dan kokoh kuat, dengan sikap pendiam yang membuat mereka
berwibawa sekali.
Setelah
melempar jubah mereka ke sudut ruang, lemparan yang disertai tenaga sinkang
teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk
oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura
lagi kepada Sin Liong lantas dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka
sudah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang
ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi
tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang
khas, yaitu Sha-kak-tin itu.
Sin Liong
sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti
Pak-san-kui yang dikabarkan mempunyai kepandaian hebat itu, tentulah mereka itu
bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar.
Dia menghadapi
sesuatu yang amat sulit, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka
ini, tapi di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian
sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan
susah payah!
“Cia-sicu,
awas, kami mulai menyerang!” bentak orang yang berada di sebelah kanan.
Diam-diam
Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini. Ternyata bahwa murid-murid
Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak
curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung
Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan
mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka sangat cepat dan serangan itu
mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, ada pun kedudukan
mereka selalu kembali menjadi pengepungan segi tiga lagi.
Sin Liong
mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidak bergerak terlalu
cepat, hanya cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya
dilakukan dengan tenaga secukupnya pula, hanya untuk mengimbangi mereka. Dan
biar pun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga
yang cukup hebat, namun kalau saja dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama
sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.
Pendekar
Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han
Houw yang sedemikian lihainya sekali pun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin
Liong sudah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu
tinggi.
Dia sudah
‘mengoper’ tenaga sinkang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang dahulu
menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal
tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang bahwa sekarang dialah tokoh utamanya.
Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri
Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu
simpanan seperti Thi-khi I-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat. Semua ini
masih ditambah lagi dengan ilmu mukjijat yang dahulu dipelajarinya dari kitab
Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.
Akan tetapi,
karena dia tak ingin membangkitkan rasa penasaran dalam hati datuk sesat baru
ini, maka Sin Liong sengaja hanya memainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja sekedar
untuk mempertahankan diri. Bahkan kadang dia membiarkan ketiga orang
pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga dia nampak terkurung
dan terdesak hebat. Sin Liong mengelak dan menangkis sehingga tubuhnya sampai
berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga
jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat.
Menyaksikan
ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alis dan kembali dia merasa penasaran. Tentu
saja dia mengenal suaminya dan tahu bahwa apa bila suaminya menghendaki, tiga
orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apa
lagi sampai mendesak suaminya seperti itu!
Dia dapat
menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak.
Akan tetapi isteri yang sangat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat
suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas.
Sedangkan
Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biar
pun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya
perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa sangat khawatir karena
dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang
karena ketiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu
saja hatinya merasa khawatir sekali.
Memang,
dalam pandangan orang lain kecuali Bi Cu yang telah mengenal betul kelihaian
suaminya, kelihatannya Sin Liong terdesak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk
utara yang mempunyai kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabui. Demikian
baiknya Sin Liong dalam menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tak
nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena ilmu silat Sin Liong sudah demikian matang
sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan
wajarnya hingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguh pun
menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu!
Kakek itu
mengepul-ngepulkan asap huncwenya sambil mengangguk-angguk, tersenyum girang.
Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang banyak
dipuji-puji orang sampai ke kota raja!
Dia sendiri
memang tak berniat untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini
amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, maka hal itu
hanya akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik.
Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan
dapat diharapkan dan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh
atau saingannya.
Dia sudah
memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak
pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apa lagi membunuhnya.
Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu
saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa.
Kalau yang
disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan
sahabat? Bantuannya tentu tak akan berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia
memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut.
Meski pun
tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga
dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin
Liong, bahkan kadang kala nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Kalau
begitu hebat juga pendekar ini, pikirnya.
Sementara
itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba
terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan lantas dia melakukan
serangan yang hebat dan bertubi-tubi ke arah tiga orang lawannya, menubruk
dengan nekat.
Terjadi
serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga
orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena ternyata mereka
telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong, sedangkan pendekar ini sendiri pun
terguling roboh!
“Ayah!” Han
Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya. Akan tetapi Sin Liong sudah
bangkit berdiri kembali dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang
Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.
“Kepandaian
murid-murid locianpwe sungguh hebat, aku mengaku kalah,” katanya sambil
menghampiri isterinya.
Begitu
bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya
kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas
bahkan marah kepadanya!
Pak-san-kui
tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas
tamparan dari Sin Liong. Setelah melihat betapa tiga orang muridnya hanya
terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia pun tersenyum kembali.
Pendekar
Lembah Naga itu hanya menang sedikit saja dibandingkan tiga orang muridnya,
akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu
bahwa dia masih lebih lihai dari pada pendekar yang disohorkan hingga ke istana
kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan di dalam diri Sin
Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya.
Maka dia pun
cepat menjura. “Ahhh, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang
akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari
tiga orang muridku, apa lagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. Sicu hebat dan
aku girang sekali telah mengundang sicu dan menjadi sahabat sicu!”
Diam-diam
Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia
sahabat! Dia harus berhati-hati sekali menghadapi kakek seperti ini. Kelak,
bila mana ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian
kakek ini.
Sin Liong
lalu minta diri. Sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan
bungkusan-bungkusan uang serta pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah
Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan
setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor
kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang
dan kemarahan orang.
Maka
berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Keluarga Ciu Khai
Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan
apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong dan keluarganya.
Kui Lan dan
Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu. Tadinya Bi Cu masih kurang senang
terhadap mereka karena kematian suheng-nya, Na Tiong Pek, serta menikahnya Kui
Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, pada saat meninggalkan taman itu, Sin
Liong sudah menceritakan semuanya hingga Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga
bersyukur bahwa kini kedua orang kakak beradik kembar itu sudah hidup rukun dan
penuh cinta bersama suami mereka.
Sin Liong
juga menceritakan alasannya kenapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi
sehingga Bi Cu dapat mengerti, lebih lagi Han Tiong juga diperbolehkan
mendengar sehingga anak itu pun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak
kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat
memaklumi dan diam-diam bahkan membenarkan ayahnya.
Karena
pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa
hari kemudian dia sudah meninggalkan kota Lok-yang dan mengajak anak isterinya
untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara
kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja
***************
Thian Sin
yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah cahaya bulan purnama
malam itu, terkejut sekali ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu.
Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan hwesio itu.
“Paman, ayah
dan ibu sendiri yang telah mempunyai ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat
celaka akibat perbuatan orang-orang jahat, maka aku hendak mempelajari ilmu
silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh
ayah dan ibu.”
“Omitohud…
pikiran yang sungguh menyeleweng dari pada kebenaran. Lekas hapus dan keringkan
keringatmu lalu masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku.”
Hwesio itu
lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai
kembali bajunya karena tadi ketika berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak
basah oleh peluh. Tidak lama kemudian dia sudah duduk berhadapan dengan
pamannya yang duduk bersila di alas papan, sedangkan Thian Sin juga duduk
bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan.
“Dengar
baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang dapat mencelakakan
orang karena betapa pun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah
pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi dari pada
dirinya. Setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di samping
kelebihan yang membuat dia unggul atas diri orang lain, pasti terdapat kekurangan
yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau
tidaknya dia di dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu
silat atau pun kepandaian lainnya lagi. Semuanya itu tergantung dalam tangan si
orang sendiri. Ilmu bisa saja menjadi alat untuk bermusuhan, saling serang dan
saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia.
Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja, ilmu silat adalah ilmu olah raga yang
dapat menyehatkan manusia lahir dan batin karena ilmu ini bukan hanya latihan
jasmani belaka, akan tetapi ada juga hubungan yang erat dengan latihan batin.
Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia mampu
melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, ketika
bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan
menyakitinya, dan sebagainya. Dan selain itu, dengan ilmu silat ini pun manusia
dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang
dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah.
Nah, sekali-kali jangan kau menganggap bahwa ilmu silat harus
setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Apa bila engkau tidak ingin
mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikit pun tidak
mengapa.”
“Tetapi,
paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar
belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman mempunyai ilmu
silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai mempunyai ilmu
silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang
pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman.”
“Omitohud…
anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar dan mana penjahat! Yang
menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu
silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapa pun
tinggi ilmu silatnya, jika dia menggunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk
mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka
perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar
adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran
dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap
perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah
tertindas.”
“Kalau
mendiang ayah… apakah dia seorang pendekar, paman?” Sepasang mata anak itu
bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin, maka di dalam hatinya yang penuh belas
kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.
“Mendiang
ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah
ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya
ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya
sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak
segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak,
ayahmu tak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara
sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar
menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Tetapi ayahmu itu mempunyai
seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang
pendekar besar. Sekarang pun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga.”
Sepasang
mata yang tadinya agak muram karena mendengar jawaban tentang ayahnya yang
mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali. “Betulkah, paman? Ayah
dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat
ayah itu?”
“Namanya
adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong,
pendiri Cin-ling-pai…”
“Ahhh…!”
Thian Sin berseru heran. “Ibu telah bercerita mengenai kakek buyut Cia Keng
Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita mengenai keluarga
Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek
Cia Bun Houw yang sekarang menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak
pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu.
Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?”
“Benar, dia
adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu,
dia pun merupakan adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena dahulu ayahmu
pernah bentrok dengan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita
tentang dia kepadamu.”
“Bentrok?
Antara saudara misan dan saudara angkat?”
“Omitohud…
memang asap tidak dapat dibungkus, rahasia tidak perlu ditutup-tutupi, dan
sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah
kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan
pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justru merupakan seorang
pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara
mereka…”
“Dan
agaknya… agaknya… dia tentu lebih lihai dari pada ayah!”
Kembali
hwesio itu menarik napas panjang. “Memang begitulah, akan tetapi hanya sedikit
sekali selisihnya. Padahal, sebenarnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin
Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu…”
“Hemm, ayah
memang orang lemah dan menyeleweng!” Tiba-tiba saja Thian Sin berkata sehingga
mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, “Paman,
aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!”
“Hal itu
bukan tak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera
dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan padamu, Thian Sin. Kelak bukan
tak mungkin kau akan bertemu dengan dia.”
Semenjak
hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu
silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan
dari Hong San Hwesio, maka sesudah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi
banyak perubahan pada diri anak itu.
Dia menjadi
anak yang pendiam, tak banyak bicara, selalu tekun mempelajari kitab-kitab
agama serta ilmu membaca dan menulis. Pada waktu malam hari, sering kali dia
meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar sangat merdu
namun seperti mengandung rintihan sehingga kalau mendengar suara ini diam-diam
Hong San Hwesio suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu.
Pada suatu
hari, ketika hari masih pagi sekali, seperti biasanya Thian Sin dengan rajinnya
menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng. Dia merasa sangat segar
setelah tadi berlatih semedhi lalu mandi air dingin, maka dia menyapu sambil
berdendang. Banyak lagu-lagu yang dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu
saja kata-kata lagu itu juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha
saja, akan tetapi juga condong kepada Agama To.
Kata-kata
bijasana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana, sang budiman tidak
melawan yang melawan tidak budiman, sang arif bijaksana tidak terpelajar yang
terpelajar tidak arif bijaksana!
Suara yang
bening itu dinyanyikan perlahan namun satu-satu terdengar amat jelas di pagi
hari yang sunyi itu, disambut oleh suara burung yang berkicau dan
berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.
“Bagus
sekali…!” Tiba-tiba terdengar suara orang memuji.
Thian Sin
cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana,
bersikap sederhana pula, lelaki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima
tahun, mukanya bundar tampan, sepasang matanya tajam. Wajah yang ramah dan
mulut yang tersenyum jenaka.
“Nyanyianmu
indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari
To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah
engkau tahu pula artinya?”
Thian Sin
mengira bahwa orang ini tentulah seorang tamu yang hendak sembahyang dan
melihat wajah yang tampan dan bersih itu, dia langsung merasa suka. Dia
tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio,
“Omitohud,
dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung
beo belaka? Aku mempelajari kata-kata nyayiannya, tentulah sambil mempelajari
pula artinya.”
“Bagus
sekali, anak baik. Nah, apakah artinya kalimat pertama: Kata-kata bijaksana
tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?”
Thian Sin
sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan
pamannya, sedikit banyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai
dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno.
Dia segera mengerutkan alisnya sehingga wajahnya yang tampan sekali itu
kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia
berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli
sajak yang pandai.
“Kata-kata
yang baik dan bisa dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk mau pun
merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu,
yang halus memikat, sama sekali tidak dapat dipercaya kebenarannya.”
“Bagus,
sekarang kalimat ke dua: Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak
budiman?” Laki-laki itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka
sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.
“Yang
melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka
hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, karena itu tentu saja
orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa
kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan.”
Orang itu
nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu,
sinar matanya memandang penuh kagum. “Anak yang amat baik… lanjutkan…
lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi: Sang arif bijaksana
tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?”
Thian Sin
terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. “Wah, yang ini aku sendiri
masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau
tahu bagai mana artinya, paman yang baik?”
“Artinya
amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar
berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan hanya mengandalkan
segala sesuatu yang dihafal belaka takkan membuat orang menjadi arif dan
bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya
orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala
sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat
kecil?”
Thian Sin
menggeleng kepala. “Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti.”
“Bagus!
Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?”
“Namaku
Thian Sin, she Ceng…”
“She Ceng?”
Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.
“Omitohud…
selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu
pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat
selesai dengan sempurna…”
“Lie Seng
Koko…!” tiba-tiba orang itu maju, kemudian memberi hormat kepada Hong San
Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin.
“Apa?
Siapa…? Omitohud…!” Hong San Hwesio merangkapkan kedua tangan ke depan dada dan
memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri,
“Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang…!”
“Pendekar
Lembah Naga…!” Thian Sin berseru dan sekarang dia memandang pada Sin Liong
dengan kedua mata terbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar
julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.
“Betul,
Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin
Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu
mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw…”
Wajah Sin
Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan ‘mendiang’ itu. Sejenak dia
bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin
lantas memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan
main.
“Thian Sin…
anakku yang baik… keponakanku…,” demikian bisiknya.
“Ayah,
siapakah dia?” Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah
muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil
Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih
dahulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu.
Mendengar
suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia
bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya.
“Lie Seng
toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng
toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapek-mu.”
Bi Cu dan
Han Tiong cepat-cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil
membalas penghormatan itu.
“Omitohud… alangkah
menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih
etas kunjungan kalian… mari silakah masuk, kita bicara di dalam.”
Hong San
Hwesio mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri
kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio, juga termasuk Hong San Hwesio
yang menjadi ketua di sana, dan dengan amat ramahnya dia menggandeng tangan Han
Tiong. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu
berkata,
“Engkau pun
ikut masuk, Thian Sin. Marilah!”
Meski pun
agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama
dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah
Thian Sin berseri dan dia pun ikut masuk bersama-sama.
Sesudah
mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak
sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang sudah terjadi
dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ.
Hong San
Hwesio menarik napas panjang. “Omitohud…, segala macam sebab di dunia ini
berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa
manusia dapat berbuat apa pun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah
dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa…”
Kemudian
diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si
seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar
Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa pasangan suami
isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu
diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok
oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya bersama suaminya yang melihat
ancaman bahaya, sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk
mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.
“Demikianlah
cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di
sini.” Hwesio itu mengakhiri penuturannya.
Tidak karuan
rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya hatinya
masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali
harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya dia
merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu sangat keras dan
ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan
itu.
Ketika dia
berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di dalam hatinya untuk
menanyakan kepada kakak misan ini mengenai keadaan Lie Ciauw Si dan tentang
Ceng Han Houw yang disangkanya tentu sudah tewas itu. Siapa kira, ternyata
kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang
putera!
Akan tetapi
kegembiraan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa
akhirnya kakak angkatnya itu harus tewas secara menyedihkan, karena sekaligus
tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan!
“Akan tetapi
mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?” Dia bertanya,
suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan.
“Apakah
engkau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?” Bi Cu memperingatkan.
Memang di
dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal
itu tidaklah mengherankan apa bila mengingat betapa selama beberapa kali dia selalu
hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong,
suaminya sekarang.
“Aku tahu,
akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini,
tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah
kehidupan mereka mulai tenteram dan berbahagia, sesudah dia sama sekali tidak
lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?”
Untuk ini Bi
Cu tak mampu menjawab. Nyonya ini pun merasa kasihan bila dia mengingat nasib
Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar
dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran
Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam
pengeroyokan itu.
“Hemm,
pinceng sendiri pun tidak tahu mengapa demikian…,” Hong San Hwesio berkata
sambil menghela napas.
“Aku… aku
tahu…” Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak ini pun lalu terdiam karena baru
dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung!
Sin Liong
merangkul pundak anak itu. “Anak baik, ceritakanlah apa bila engkau memang tahu
akan hal itu.”
Thian Sin
memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda
bahwa dia boleh bicara secara jujur.
“Dulu ayah
dan ibu pernah memberi tahu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh
seorang ahli obat dan peramal yang dulu telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan
ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana.
Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi
mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari
ayah. Memang kami disambut secara baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah
yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan
tetapi, setelah setahun berlalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut
para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, kiranya ada pula pasukan dari
utara, pasukan Raja Agahai. Jelas bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja
Agahai, karena hanya dialah yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup
saya tak akan dapat melupakan saat orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu
ayah dan ibu, dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai.”
Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan sepasang matanya dan ada
air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya,
kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata. “Aku tak akan lupa kepada
Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti
dapat kucari satu demi satu!”
“Omitohud…,
Thian Sin, ingatlah…!” dengan suara bernada memperingatkan Hong San Hwesio
berkata.
Mendengar
suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya terbelalak lantas menjatuhkan diri
berlutut di depan hwesio itu.
“Ahhh…
paman… ampunkan saya…!”
Melihat ini,
Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedangkan Bi Cu
juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw,
pikirnya marah, kesesatannya sudah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan turut
binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan
dendam.
“Sudahlah,
Thian Sin, hal-hal yang sudah lampau tidak perlu kau ingat lagi. Segala akibat
tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab-sebab yang
baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak
melawan dan mempergunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah
bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka ada
baiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!”
“Omitohud…
itu baik sekali…!” kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main.
Dia memang
menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan
apa bila Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga,
maka berarti segala ganjalan lama di antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han
Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik
yang sangat baik!
“Setiap niat
yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat
semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari
pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi
saksinya.”
Biar pun di
dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa
karena dia pun merasa kasihan terhadap Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika
dua orang anak laki-laki itu berlutut di hadapan meja sembahyang dan
mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat
itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup saling membela, saling
melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada saat itu Cia Han
Tiong berusia sebelas tahun, ada pun Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun,
karena itu Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik.
Setelah mereka
berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara, kakak beradik ini lalu
berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami
isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berdua pun berlutut di hadapan Hong
San Hwesio yang segera membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena
gembira bahwa Thian Sin telah memperoleh ‘tempat’ yang baik sebagai anak angkat
Sin Liong.
“Twako,
sebenarnya kedatangan kami mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan
pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh
amat menggirangkan hati.”
“Ahh, tentu
saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku,” jawab
pendeta itu dengan gembira.
Sin Liong
lalu menyampaikan kehendak hati dia serta isterinya untuk membiarkan putera
mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. “Toako
tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki
seseorang yang tidak mempunyai kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu,
sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi pada anak kami, kami
ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat
bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap
toako tidak menolak permintaan tolong kami ini.”
“Omitohud…
bagaimana kau dapat berkata begitu? Tentu saja pinceng sama sekali tidak
menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!”
Sin Liong
dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa
sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat
menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja.
Meski pun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan
sangat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan
isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong
dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San
Hwesio selama tiga tahun.
“Kalian
belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran toapek kalian.
Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian,” demikian
pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya
akan meninggalkan tempat itu.
Bersama
dengan Hong San Hwesio, kedua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri
itu hingga keluar pekarangan kuil. Mereka berdua terlihat tenang-tenang saja,
dan sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak.
Adik
angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak
bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama
sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, bahkan wajahnya yang membayangkan
kejujuran itu kelihatan tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia
melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya
ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.
Semenjak
hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San
Hwesio. Segera dia melihat bahwa Han Tiong mempunyai dasar yang jauh lebih kuat
dari pada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang mempunyai
dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja.
Sebaliknya
Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, namun perasaannya
terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apa lagi di
dasar batin Thian Sin sudah tergores secara mendalam tentang kematian ayah
bundanya, yang merupakan dendam yang sangat mendalam. Oleh karena itu, walau
pun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun,
akan tetapi segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.
“Kalian
harus belajar semedhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna
memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat
tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin.”
Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersemedhi yang baik, duduk bersila dan
bersemedhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di
waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja
pada waktu matahari sedang tenggelam.
Di dalam
kamar semedhinya yang tenang, Hong San Hwesio mulai melatih kedua orang
keponakannya itu duduk bersemedhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap
hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu.
Dua orang
anak laki-laki itu duduk bersila, dengan dua kaki terlentang di atas kedua
paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan dua jari
telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain
terbuka. Duduk dengan tenang, sedikit pun tak bergerak, kedua mata terpejam dan
bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf di dalam tubuh seakan-akan
mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang hingga hanya dada dan perut
mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya
pernapasan yang halus panjang.
Selain
pelajaran bersemedhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengajarkan ujar-ujar
dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan
dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak
laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan
kesusasteraan.
Hanya di
waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang
pernah mereka pelajari dari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya
memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tetapi tidak
mengajarkan ilmu silat karena apa artinya kalau dia mengajarkan ilmu silat
kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga?
Karena
terbawa oleh Thian Sin yang selalu gembira, Han Tiong juga ikut-ikut
mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi di dalam dua hal ini,
Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni
yang besar.
Kakak beradik
angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling menyayang. Thian
Sin memang mempunyai watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguh pun
gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong
yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin
menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan
sayang kepada adik angkatnya ini.
Demikian
pula Thian Sin. Karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan
jujur serta terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat
terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau membuat dia
tunduk dan jadi penurut. Di samping kakaknya ini, dia merasa terlindung dan
memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang
tua dan juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh
dipercaya sepenuhnya.
Diam-diam
Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan
dia pun merasa amat lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan
seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biar pun Thian Sin
amat taat kepadanya, juga dengan sangat tekun mempelajari soal-soal keagamaan,
kebatinan serta kesusasteraan, akan tetapi di dasar hati anak ini kadang-kadang
terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya. Kalau sampai dendam di dalam hati
anak ini kelak bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan
terjadi.
Sebagai
seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar
watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi dia pun melihat betapa
Thian Sin amat sayang, amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andai
kata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu
bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat
menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar.
Memang dua
orang anak itu rukun sekali. Apa pun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu
diturut pula oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah tampak
jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya
sering terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri.
Sebaliknya
Han Tiong hanya berpegang pada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan
sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnya pun tenang dan tegap, matang dan
biar pun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh
kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian
Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia
memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan
yang asli namun kokoh dan kuat.
Kalau
dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang
anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang
sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan sepasang kaki
kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang
melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan.
Thian Sin
memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti
muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berbentuk indah, sehingga dia
tampan sekali, malah terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap
orang yang bertemu dengannya.
Sedangkan
Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan
walau pun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang,
seperti lautan. Sikapnya serta gerak-geriknya juga sangat tenang dan
membayangkan kekuatan luar biasa.
Akhirnya
waktu tiga tahun itu lewat sudah. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan
tidak terasa jika tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga
hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu sekarang Han Tiong telah menjadi seorang
pemuda tanggung berusia empat belas tahun!
Dan selama
tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio hingga
mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik
kitab-kitab Agama Buddha mau pun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng!
Berkat latihan-latihan ilmu silat yang terus mereka latih dengan tekun, juga
karena mereka sudah mempunyai dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia
tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda
dewasa!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment