Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 04
DAPAT
dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba
di ruangan dalam. Dia melihat Kui Lin langsung menutupkan semua pintu dan
jendela, ada pun isterinya, Kui Lan kembali menubruk kakinya dan menangis
tersedu-sedu. Sesudah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis
dan duduk di atas bangku tidak jauh dari situ.
Jantung
pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah
terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti
isterinya bersikap seperti ini.
Memang harus
dia akui bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat
yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu
yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na
Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, apa lagi dia
melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang turut pula bersama mereka ke ruangan
itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua
ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar
atau dilihat orang lain!
“Lan-moi,
ada apakah? Engkau tenanglah dan ceritakan kepadaku,” akhirnya dia berkata
sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di hadapannya itu sambil mencoba
untuk membangunkan Kui Lan.
Akan tetapi
Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan
tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar
suaranya tersendat-sendat, “Sun-koko… kau… kau bunuhlah saja aku…”
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini.
Dia terbelalak, mengerutkan alisnya kemudian merangkul isterinya yang masih
berlutut.
“Ahh… apakah
yang telah terjadi? Mengapa engkau… berkata demikian, isteriku?”
“Koko… dia…
dia itu…,” Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan jari telunjuknya keluar
dengan tangan menggigil, “…akulah yang… membunuhnya…”
“Aihhh…?”
Khai Sun merasa kepalanya laksana disambar kilat hingga dia bangkit berdiri,
mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang
masih terus menunduk itu.
Kui Lin
cepat menghampiri enci-nya dan juga berlutut merangkul enci-nya, lalu dengan
air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami enci-nya. “Bukan!
Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang
mengeroyoknya dan membunuhnya!”
Mendengar
ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua
tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak
penuh penasaran, “Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian… kalian yang telah
membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?”
Melihat
keadaan pria yang tinggi besar serta gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin
khawatir akan keselamatan enci-nya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil
terisak menangis, “Bukan kami… melainkan dialah yang gila… dia layak mati…
karena dia telah memperkosa Enci Lan…!”
“Ohhhhh…?”
Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya
sehingga dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan
matanya memandang ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya. Tangan
kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu.
Ada perasaan
marah yang sangat hebat membakar hatinya, namun dia tidak tahu harus menumpahkan
kemarahannya kepada siapa. Tanpa disadari, tangannya mencengkeram dan meremas
ujung meja yang terbuat dari pada kayu yang keras itu. Terdengar suara
berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman
tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya.
Dengan mata
nanar dia membuka tangannya kemudian memandang kepada tepung kayu di dalam
genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak.
Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir
apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya bagaikan terapung di
dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang
ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia pun sadar
kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seakan-akan hendak melepaskan
semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu.
Setelah tiga
kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam
untuk menyedot hawa murni, pikirannya kembali menjadi terang dan tenang, lantas
terdengarlah suaranya yang parau dan berat,
“Lan-moi,
bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku.”
Akan tetapi
Kui Lan tidak sanggup mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, hingga
akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun dan berkata dengan
suara gemetar, “Enci Lan, duduklah… biar aku yang akan menceritakan…”
Kui Lin
membawa enci-nya duduk di atas bangku di hadapan Khai Sun, dan dia sendiri
berdiri di samping enci-nya, merangkulnya kemudian mempergunakan lengan baju
untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda
bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan batin yang amat mendalam.
“I-thio Khai
Sun, harap kau dengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena
dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah
selayaknya dia tewas. Malam itu… dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat
Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan
sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan
setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan
mengeroyoknya hingga akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa
yang terjadi, I-thio, dan… untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami
menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat…”
Mendengar
ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang
tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan
suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu
akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isterinya sendiri!
Melihat
bahwa setelah mendengar cerita itu keadaan suaminya seperti orang kehilangan
ingatan, Kui Lan menjerit lirih dan dia langsung menubruk kaki suaminya kembali
sambil menangis.
“Suamiku…
kau…kau bunuhlah aku… aku tidak dapat membunuh diri… karena… karena Lin-moi…”
Dia terus menangis tersedu-sedu.
Khai Sun
yang masih merasa pikirannya hampa dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa,
memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia
lalu bertanya. “Mengapa kau minta kubunuh?”
Kui Lan
menengadah, memandang pada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air
mata. “Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini… aku telah menjadi
seorang perempuan ternoda dan kotor… aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan
tidak pantas bertemu muka denganmu… dan aku… aku sudah membunuh suami Lin-moi…
aku sudah merusak hidup Lin-moi…”
“Tidak…
tidak…!” Kui Lin berseru sambil terisak. “Enci Lan tidak bersalah, dia terbius
dan tak berdaya melawan… dan tentang pembunuhan itu… kami berdua yang
melakukannya dan memang dia sudah layak mati…! Kalau Enci Lan hendak mengambil
nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian
untuk menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, aku pun
tidak sudi hidup lagi di dunia ini…!”
“Lin-moi…!”
“Enci Lan.
Jangan kau kejam kepadaku!”
Dua orang
wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai
Sun menjadi makin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah bisa membayangkan
apa yang sudah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan
merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang
adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya
merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek
mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu.
“Sudahlah,
Lan-moi… aku… aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar… peristiwa ini tidak
perlu sampai terdengar orang lain.” Dengan suara tenang pendekar itu menghibur
isterinya.
Dengan mata
merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. “Kau… kau tidak benci kepadaku?”
Khai Sun
menggelengkan kepala dan tersenyum duka. “Apakah aku sudah gila? Tidak,
isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu.”
Kui Lan
masih meragu. “Tapi… tapi aku… aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup
Lin-moi…”
“Sudahlah,
Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu bijaksana sekali,
dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk
menyambut tamu yang datang berlayat.”
“Benar,
isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang
luar,” kata pula Khai Sun.
Mereka
segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu
yang datang berlayat. Di antara para tamu itu terdapat pula Kui Beng Sin, kakak
tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na
Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu.
Kui Beng Sin
adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di
Ho-nan. Sesudah mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik
iparnya, maka dia segera berangkat ke Kun-ting dan tiba di sana sebelum Khai
Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang.
Kurang lebih
satu bulan sesudah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu kelihatan sunyi
dan masih dalam suasana berkabung, meski pun pekerjaan Ui-eng Piauwkiok telah
dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan
hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya.
Pada malam
itu, sudah jauh malam dan suasana telah sunyi sekali, terjadilah percakapan
antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biar pun
percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, akan tetapi mereka
lakukan dengan bisik-bisik sehingga andai kata ada orang berdiri di luar kamar
itu pun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan.
“Enci Lan,
apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, sungguh
memalukan dan amat merendahkan aku!”
“Tenanglah,
adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkanlah masak-masak sebab aku bukan
hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini telah kupikirkan
sejak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk bisa
terus hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu
bahwa di dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan
bersalah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan
selamanya. Betapa pun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya
diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, maka hal itu
tidak akan terjadi dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah,
perasaan salahku terhadapmu ini tak akan dapat terhapus kecuali… kecuali kalau
engkau sudi mempertimbangkan usulku.”
“Gila! Gila
dan memalukan, Enci Lan!”
“Sama sekali
tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik jika hidup
sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang
baik. Dan engkau adalah adikku, malah adik kembarku hingga di antara kita
seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Jika engkau sebagai janda muda,
cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha
menggodamu. Kita tidak tahu bagai mana jika sampai engkau kelak terpikat oleh
seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah
kukenal benar, dia adalah laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang
budiman dan setia. Kita… kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi.”
“Memalukan
sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu.”
“Serahkan
saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tak pernah
berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku
kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah
kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan
dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku.”
“Enci,
usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apa lagi aku
sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunuh suamiku, kalau kemudian aku
menjadi… ehhh…, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku
seakan-akan sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan
orang lain?”
“Ahh, peduli
apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagai mana
duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikiran semacam itu.
Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan sesudah setahun engkau
berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena
kalau tidak…”
“Kalau
tidak, mengapa, Enci?”
“Kalau
engkau tidak mau… aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, akan tetapi
agar kau ketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau
saja engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan
dengan demikian menghapus rasa bersalah di dalam hatiku.”
“Enci Lan…!”
“Aku
bersungguh-sungguh, adikku, dan bila engkau mau mempertimbangkan dengan hati
tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini.”
“Enci,
kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku… berilah aku waktu untuk dapat
mempertimbangkan urusan ini, aku bingung, Enci…”
“Baiklah,
kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan
suamiku.”
Semenjak
percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu
setiap hari nampak termenung dan kadang kala dia menangis seorang diri di
kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian sesudah Ciu Khai Sun pulang
dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.
“Lan-moi,
isteriku sayang, mengapa sekarang engkau selalu menjauhkan diri? Aku… aku rindu
padamu, Lan-moi…” kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya
yang duduk di tepi pembaringan.
Namun Kui
Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di
pinggir pembaringan dan saling memandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan
pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air
mata.
“Aku…
rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu… aku akan selalu merasa kotor dan
hina…”
“Aihh,
Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku telah mengatakan kepadamu
berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap hal itu tak
pernah terjadi padamu dan…”
“Aku
mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap
saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali
kalau…”
“Kecuali
apa, isteriku?”
“Kecuali
kalau engkau mau memperisteri Lin-moi…”
“Aahhh…!
Sudah gilakah engkau?”
Seperti juga
Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan
memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak.
Kui Lan
menggeleng kepalanya. “Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan secara
masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan
rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali
kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tak mungkin lagi aku dapat
melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin
lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku.”
“Akan
tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu dapat
terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina
adikmu sendiri yang sudah tertimpa mala petaka itu?”
Kembali Kui
Lan menggeleng kepalanya. “Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak
memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan
selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu
merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya
dapat terhapus apa bila engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi
sebagai isterimu di samping aku.”
“Tapi…
tapi…”
“Hanya
itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali
tanpa ada ganjalan hati.”
“Tapi…
Lin-i…”
“Hal ini
sudah kubicarakan dengan Lin-moi. Kini Lin-moi telah menjadi seorang janda, dia
muda, cantik dan berharta. Maka dia juga memerlukan seorang suami sebagai
pelindung, dan satu-satunya orang yang amat pantas menjadi suaminya adalah
engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki
aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan jika menghendaki aku dapat
melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini.”
“Tapi, kau
kira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita
lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu…”
“Aku tahu,
akan tetapi Lin-moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan
jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau
engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya
inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua.”
Dengan tubuh
lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, dua
tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali.
“Ahhh,
alangkah akan malu rasanya di dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek!
Seolah-olah aku menggunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri!
Isteriku, berilah aku waktu… aku harus memikirkan hal ini secara mendalam…”
“Baiklah,
dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu
tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin
mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju,
rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor,
suamiku.”
Begitulah
keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang sudah
dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan
mendiang Na Tiong Pek.
***************
Marilah
sekarang kita mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu.
Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong
mengajak isteri serta puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai
dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, tetapi juga
Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah selalu berada
di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama
dan jauh sehingga merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan
pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka sekarang mereka dapat
pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan.
Atas
kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan
kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga
melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan
mereka untuk dapat menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga
mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk
biaya dalam perjalanan.
Pada saat mereka
menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya
sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, akan tetapi dari
sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat
menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani ‘biasa’ karena
langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.
Pada jaman
itu Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar sehingga namanya sebagai
Pendekar Lembah Naga sangat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan
tetapi karena sejak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah
mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal,
akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Karena itu, apa bila ada
yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu,
tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga
yang amat terkenal kesaktiannya itu!
Akan tetapi,
justru keadaan mereka yang bagaikan petani sederhana itulah agaknya yang membuat
perjalanan itu bisa dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka
pun dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena jika orang mengenalnya
sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian.
Setelah
melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan yang seenaknya dan
kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, maka sampailah mereka di
Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebenarnya hanyalah
merupakan satu di antara banyak gunung-gunung lainnya yang indah sehingga
merupakan pegunungan biasa saja. Tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang
karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Nama
Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat
keluarga Cin-ling-pai yang sakti.
Ketika itu,
yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan
sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun
Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang
mempunyai ilmu tinggi bernama Yap In Hong.
Pada waktu
itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh
dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan laksana orang berusia empat
puluh tahun saja, tidak seperti biasanya lelaki yang berumur sekian, kalau
tidak perutnya menggendut karena terlalu banyak makan gajih dan daging, tentu
menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran!
Isterinya,
Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekas-bekasnya sebagai seorang wanita cantik,
tubuhnya masih ramping dan padat kuat, walau pun rambutnya mulai terhias uban.
Akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa
dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!
Seperti
dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, biar pun semenjak muda suami
isteri pendekar sakti ini telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun
baru sesudah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami
isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan
tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui
oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan
menyembunyikan diri selama belasan tahun.
Baru pada
pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng
Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia
kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang
putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak
laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang.
Cia Sin
Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama
Liong Si Kwi, yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga
oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu
kemudian menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia
Kong Liang. Karena hubungan yang sangat baik antara Sin Liong dengan ayah
kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya beserta
puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.
Sesudah
mereka bertiga sampai di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa
pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup
ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah
kelihatan tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada.
Ternyata
bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tak terurus itu kini telah
dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka
sudah memiliki banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan
silat yang besar menjadi terkenal kembali.
Begitu
keluarga ini sampai di pintu gerbang, mereka sudah disambut oleh beberapa orang
pemuda yang bertubuh tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian
murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama
yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan
gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang datang
menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.
“Selamat
datang di Cin-ling-pai,” kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin
mereka yang bertugas jaga pada pagi hari itu. “Ada keperluan apakah saudara
sekalian datang mengunjungi tempat kami?” Pertanyaan itu singkat dan tegas,
namun diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah.
Melihat
sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah apa bila
Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya
seperti ini!
“Kami ingin
bertemu dengan ketua Cin-ling-pai,” jawab Sin Liong dengan ramah pula.
Para murid
Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu menatap
penuh perhatian kepada Sin Liong sambil berkata. “Maaf, ketua kami tak mudah
diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan lebih
dulu siapa adanya saudara dan dari mana…?”
Sin Liong
tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu
alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga
kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata,
“Baik
sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami bertiga
datang dari jauh, dari luar Tembok Besar…”
“Kami datang
dari Lembah Naga!” sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya
bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.
“Kami ingin
bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kongkong-ku!” kata pula Han
Tiong yang juga tak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang
didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu.
Mendengar
ucapan Bi Cu dan Han Tiong, maka semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah
mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya
tersenyum ramah itu.
“Ahh,…
apakah… taihiap ini Cia Sin Liong…?”
Melihat
kegugupan orang, Sin Liong berkata, “Benar, itulah namaku.”
“Maaf… maaf…
kami tidak mengenal… silakan masuk…” kata mereka.
Beberapa
orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang
sangat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin
Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin
Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih
tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan
yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga.
Tak pernah
disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biar pun
gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap sangat sederhana
pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai
juga bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup
sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka.
Ketika para
murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat,
yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga
bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka
berlarian keluar untuk menyambut dan melihat.
Cia Bun Houw
yang sudah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama
Yap In Hong dan putera mereka, Cia Kong Liang yang kini berusia empat belas
tahun. Semua murid Cin-ling-pai segera membuka jalan dan berdiri di pinggiran
dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar
menyambut.
Sejenak
mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang
sungguh pun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak
rambut putihnya. Ibu tirinya juga masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik
tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia
Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata
yang terang dan lembut.
“Ayah…!” Sin
Liong segera menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong.
Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada
Yap In Hong pula.
“Engkau
tentu adikku Kong Liang! Ahh, engkau sudah besar, tegap dan gagah!” kata Sin
Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.
“Inikah
putera kalian?” kata Yap In Hong ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.
“Ha-ha-ha,
ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus… sudah besar dan
sehat pula!” kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak
gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan
bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal
ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid
Cin-ling-pai.
Pada waktu
Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak
menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang sekarang telah menjadi Hong San
Hwesio untuk dididik budi pekerti, maka dia pun mengangguk-angguk.
“Memang
tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar
bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah
selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Ahhh…, engkau
memang benar, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat
tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin,
sebab ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan
mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat
membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup
untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, keponakanku Hong
San Hwesio itu memang boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Ahhh, aku gembira
sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh sangat menggelisahkan, dengan
munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam.”
“Benarkah itu,
Ayah? Saya sudah terlampau lama hanya bersembunyi saja, tidak pernah lagi
mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw.”
Ayahnya
menarik napas panjang. “Aku sendiri pun tidak pernah mau mencampuri urusan
luar. Bahkan kepada semua anak murid Cin-ling-pai telah kutekankan dengan keras
agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguh
pun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja apa bila menyaksikan
orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa
sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan
tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari
empat penjuru dunia, benar-benar membuat aku merasa khawatir sekali.”
“Apakah ada
tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?” tanya Sin Liong,
sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Ada
pun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong.
Pendekar
sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. “Akhir-akhir ini, di dunia kang-ouw
banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru. Nama mereka memang baru,
akan tetapi sebenarnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi
orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di
empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang sekarang
seolah-olah menjadi raja-raja kecil di dalam dunia hitam.”
“Apakah
mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?”
“Aku tak
mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar bahwa mereka itu berpengaruh
sekali dan selain memiliki banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para
pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu
kepandaian setinggi langit! Betapa pun juga, aku selalu memperingatkan anak
murid Cin-ling-pai supaya tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti
bahwa kami takut, hanya aku tidak suka jika sampai terjadi permusuhan dan
keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja.”
Diam-diam
Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang
dahulu merupakan pendekar yang sangat sakti dan selalu menentang kejahatan ini
mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja.
Cia Bun Houw
lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti
yang sudah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang
sesungguhnya.
Yang menjadi
datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang
tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian
See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya mempunyai ilmu silat yang luar
biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga amat ditakuti dan di
dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat.
Kemudian, di
sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat
yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara), yang tinggal di kota
Tai-goan di Propinsi Shan-si.
Di sebelah
timur muncul seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di
sepanjang pantai timur. Dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan amat
terkenal dengan ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di
pinggir pantai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Ada pun tokoh selatan,
setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia,
kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di
Propinsi Hu-nan.
Itulah
mereka yang sekarang merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan
kabarnya mereka itu mempunyai kepandaian yang hebat, memilliki keistimewaan
masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
“Ahh…! Kalau
begitu mereka itu berbahaya sekali!” kata Sin Liong terkejut.
“Bahkan yang
lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan
mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahh, aku telah terlalu tua
untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita,
perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?”
Sin Liong
tidak berkata apa-apa. Memang dia juga dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya
itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dahulu dialami dan
dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia
kang-ouw, apa lagi jika berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan
kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.
Akan tetapi,
diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati sangat tertarik, bahkan di
dalam hatinya dia mencatat nama-nama berikut tempat tinggal para tokoh atau
kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi.
Kong Liang,
yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu,
nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk
itu, maka dia tidak begitu tertarik lagi seperti Han Tiong. Bahkan dia kemudian
mengajak keponakannya itu untuk keluar lalu mereka pun bermain di taman bunga
di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat.
Di tempat
ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang
sudah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Sesuai dengan watak yang selalu
ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya lalu saling memuji dan merendahkan
diri sendiri.
Cia Sin
Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka
bertiga pergi meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di
Ho-nan karena setahunya, Kui Lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di
Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, ada pun Kui Lin yang
menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan
lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi
sahabat baiknya.
Akan tetapi,
ketika keluarga ini tiba di Su-couw, mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan
suaminya yang sudah pindah dari sana, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi
Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini.
“Apa? Na
Tiong Pek tewas terbunuh orang?” Sin Liong mengulang berita itu dengan mata
terbelalak kaget. “Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?”
Kui Beng Sin
yang biasanya gembira itu menarik napas panjang, dan wajahnya nampak sangat
berduka. “Sudah lama sekali terjadinya, sudah terjadi kurang lebih sembilan
tahun yang lalu.”
Beng Sin
lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari
kota Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan
perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup
dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi mala petaka itu.
“Aku sendiri
tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak ada yang tahu siapa
yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek lantas membunuhnya itu.”
Kemudian
diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di
rumah Na Tiong Pek, di mana Kui Lan tengah menginap karena suaminya sedang
pergi mengawal barang-barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan
menyerang penjahat itu, lantas datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan
tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan
dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.
“Kalau
Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya,” kata Sin
Liong.
“Mereka pun
mengatakan bahwa mereka tak mengenal orang itu, yang katanya memakai kedok
hitam, apa lagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarang pun
mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu.”
Sin Liong
mengerutkan alisnya. “Tidak mengherankan kalau sebagai seorang piauwsu, Tiong
Pek mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh
penasaran bila sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana
dengan Lin-moi setelah dia ditinggal mati suaminya?” tanya Sin Liong dan
hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan
ayah itu.
Tiba-tiba
saja sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar
untuk menjawab karena di sana terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong,
maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. “Mari kita masuk sebentar. Sin Liong,
ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja.”
Mendengar
ini, Sin Liong merasa heran sekali, akan tetapi dia mengangguk dan setelah
menoleh kepada isterinya dia segera mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam
di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka.
“Beng Sin,
urusan apa yang hendak kau katakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia.”
Beng Sin
menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Memang bukan hal yang
menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi sebagai saudara
seibu, engkau juga berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik.
Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi turut bersama Lan-moi dan suaminya yang
masih melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun sesudah kematian Tiong Pek,
mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi… ah,
dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya.”
“Ahhh…!” Sin
Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut.
Terdapat
keraguan di dalam hatinya, maka dia tidak dapat segera mengambil kesimpulan
apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin sudah
menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang dia
berhak untuk menikah lagi, sungguh pun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu
dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi
isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri?
“Hemm, lalu
bagaimana kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?” tanya Sin Liong.
Beng Sin
menghela napas dan menggeleng kepala. “Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi.
Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa… ehh, segan dan sungkan
untuk mengunjungi mereka, dan… agaknya karena itu pula mereka meninggalkan
Kun-ting dan pindah ke Lok-yang.”
“Kalau
begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang,” kata Sin Liong.
Dan memang
begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota
besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Ui-eng
Piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.
Karena Sin
Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin,
tentu akan mendatangkan suasana yang tidak enak, maka dia menyewa kamar di
sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian sesudah mendapatkan persetujuan Bi Cu
yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann
isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Ui-eng
Piauwkiok.
Dari jauh
sudah kelihatan papan nama Ui-eng Piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor
yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang
cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga
dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu,
maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi
itu.
Sebuah rumah
yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan
bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semuanya ini karena
pandang matanya sudah tertuju ke arah beranda depan rumah itu, di mana dia
melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama
dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin!
Tidak nampak
orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang
isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, dan ada
kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin!
Ketika dia
memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan
menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan segera menghentikan
percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan
sesudah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.
“Liong-ko…!”
Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah
meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua
tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan
Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang
kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata sudah
bercucuran di atas pipi mereka.
“Liong-koko,
betapa rinduku kepadamu!” kata Kui Lin.
“Bagaimanakah
tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?” tanya Kui Lan.
Sementara
itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata.
“Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!”
Sejak
dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang sangat menghormati Sin Liong dan
amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biar pun Sin Liong
adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar
Besar).
Akan tetapi Sin
Liong hanya sedikit mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya
dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya
memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah
hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu
saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini.
Melihat
sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat
mengerti, maka Kui Lan lantas menarik tangan Sin Liong dan berkata, “Liong-ko,
silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali.”
“Duduklah,
koko,” kata pula Kui Lin.
“Cia-taihiap,
silakan duduk,” Ciu Khai Sun juga menyambung.
Biar pun
dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. “Aku telah mencari kalian ke
Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin…,” dia berkata, suaranya dingin.
Khai Sun dan
kedua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata,
“Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kau
dengar darinya?”
Sekarang Sin
Liong memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran,
kemudian berkata, “Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya
mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya
melainkan menikah lagi dengan suami enci-nya. Benarkah ini?”
Melihat
sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat
Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja.
“Brakkk…!”
“Lin-moi,
benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?” Pendekar itu
bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan.
Kui Lan
menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang
wanita kembar yang maklum akan kemarahan kakak mereka itu langsung menangis dan
seperti hendak saling melindungi.
“Ciu Khai
Sun, apa artinya ini? Engkau yang mempunyai kepandaian tinggi, melihat suami
adik iparmu dibunuh orang, kenapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat
melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu? Apakah perbuatan macam itu
patut dilakukan oleh seorang pendekar?” Pertanyaan ini penuh teguran serta
penyesalan, dan sekarang pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai
Sun penuh kemarahan.
Akan tetapi
tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan
tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, kedua matanya menentang pandang
mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata,
“Cia-taihiap,
biar diriku ini akan kau bunuh sekali pun, aku tidak akan mau bicara tentang
hal ini. Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri.”
Melihat
sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari
sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah
sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka
kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti
itu sikapnya!
“Liong-ko,
jangan kau salahkan suami kami, dia sama sekali tak bersalah dalam hal ini…”
kata Kui Lan.
“Akulah yang
bersalah, Liong-ko,” kata Kui Lin.
“Tidak! Sama
sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang
bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!”
Mendengar
kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia lalu
mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan pandang mata tajam,
kemudian menoleh kepada Kui Lin.
Sekarang dua
orang wanita itu tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan
tabah. Pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah!
“Apa pula
ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah
mati? Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah…”
“Tidak perlu
lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!” tiba-tiba Kui Lin
menjawab. Jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak hingga dia memandang wajah
dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah
sekali.
“Kalian… kalian
sudah gila…?” tanyanya gagap.
“Tidak,
Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia
membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami
berdua lalu mengeroyoknya dan membunuhnya!”
“Ohhh…!” Sin
Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus
berkata apa.
Terbayang
olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak
memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na
Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya
watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk
memperkosa kakak iparnya sendiri!
“Mengertikah
engkau sekarang, Liong-ko?” Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, “Aku
telah ternoda, walau pun itu terjadi di luar kesadaranku, akan tetapi hampir
saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan
serta melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau
menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh
penjahat yang tak kami kenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi
untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tak berpisah lagi, dan kami
bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih
suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang
pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat dari pada suamiku untuk menjadi
suaminya seperti sekarang ini?”
Sin Liong
tidak mampu menjawab dan pada saat itu masuklah dua orang anak berlari-lari
dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu
berusia kurang lebih lima enam tahun, yang lelaki berusia enam tahun dan yang
perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja
dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin!
Anak
laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan dan merangkul pangkuan wanita ini,
sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan
agaknya mereka tadi memang berlomba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat
ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak
perempuan itu puteri Kui Lin.
“Mereka
anak-anak kalian…?” Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua
kemarahan lenyap sudah dari suaranya.
Melihat
sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, barulah Khai Sun menjawab sambil
tersenyum. “Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua.”
Tentu saja
jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang
anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah
sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin,
sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justru
puteri Kui Lan!
“Hayo kalian
memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!” kata dua orang
wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira
sungguh pun masih ada bekas air mata pada pipi mereka.
“Paman, saya
Ciu Bun Hong memberi hormat!” kata anak laki-laki itu dengan sikap gagah.
“Paman, saya
Ciu Lian Hong memberi hormat!” sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan
manja.
Sin Liong
meraih keduanya dan merangkul mereka. “Anak-anak baik…,” katanya terharu.
Baru dia
sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya
bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan,
demikian pula Ciu Khai Sun yang tidak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya
ribut-ribut? Mereka berdua sudah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh
Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak.
Karena
mereka masih akan berbicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu
menyuruh dua orang anak itu supaya bermain-main di luar. Mereka menjura dan
keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka.
“Aku yang
lebih dulu menyentuh ibu Lan!” kata anak laki-laki itu.
“Tidak, aku
yang lebih dulu merangkul ibu Lin!” bantah adiknya.
Sin Liong
tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing memiliki
dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua
orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini, agaknya sedikit pun tidak mempunyai
rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi
kebahagiaan berdua!
“Liong-ko,
kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?” Kui Lin bertanya.
“Mereka,
isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen.”
“Ahh? Kenapa
di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?” Kui Lin menegur.
Wajah Sin
Liong menjadi merah. “Karena tadinya… ehhh, kupikir… tidak enaklah dengan
adanya urusan… tetapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biarlah
kuambil mereka.”
Keluarga Ciu
merasa gembira sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan
seorang putera mereka. Oleh karena itu, pada waktu Sin Liong meninggalkan rumah
itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin langsung sibuk
mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu.
Dengan hati
lapang karena melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke
losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan
berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang
dihadapinya ketika dia tiba di losmen?
Anak isterinya
sudah tidak ada di situ! Sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan
wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu cepat
menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul yang panjang dan ditulisi
dengan huruf-huruf berwarna merah!
PAK-SAN-KUI
MENGUNDANG PENDEKAR LEMBAH NAGA UNTUK DATANG BERKUNJUNG!
Mata Sin
Liong terbelalak memandang sampul itu. Dia pun teringat akan percakapannya
dengan ayah kandungnya yang menuturkan tentang munculnya datuk-datuk kaum
sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara)
yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk
itu telah mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan
anak isterinya?
Dengan sikap
tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu, dan suaranya berwibawa
ketika dia bertanya, “Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi
dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!”
Pengurus
losmen itu tampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. “Maafkan
kami semua, sicu…” Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu
mulai menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di
situ.
Sesudah
ditinggalkan oleh Sin Liong, Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, duduk di serambi
depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu.
Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat
sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk
ke dalam kamar mereka. Tidak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut
dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun
pintu yang dibukanya sedikit.
Terdengar
suara keras membentak-bentak pengurus losmen. “Hayo cepat periksa dalam buku
tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?”
Mendengar
ini, tentu saja Bi Cu menjadi terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya.
Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap,
“Ada… ada…
tapi dia sedang keluar.”
“Ke mana?
Hayo katakan ke mana!”
“Tidak…
tidak tahu…”
“Plakk!
Plakk!” Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus
losmen itu.
“Sungguh
mati, dia keluar tanpa memberi tahu ke mana… ampunkan saya… ampunkan saya…”
“Hemm, kalau
tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?” bentak suara kasar tadi.
Mendengar
ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan dia
pun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu.
Dia melihat seorang lelaki tinggi besar yang mencengkeram punggung baju
pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ
bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya
menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai
seolah-olah sedang menghadapi tontonan yang menyenangkan.
“Aku adalah
isteri Cia Sin Liong! Siapa yang mencari suamiku?!” Bi Cu membentak sambil
melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada
di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya.
Orang tinggi
besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke
sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang
kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak
hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi
besar-besar nampak ketika dia menyeringai.
“Bagus!
Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?”
“Hemmm,
engkau orang kasar mengapa hendak mencari suamiku?” bentak Bi Cu yang sudah
marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan
telah menampar sampai muka orang itu matang biru.
“Ehem,
suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?” tanya orang kasar itu dengan sikap
yang amat memanaskan hati Bi Cu. Sementara itu sedikitnya delapan orang teman
Si Kasar itu sudah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga
berada di situ.
“Han Tiong,
mundurlah!” Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan
keluar lagi karena tempat itu telah terkurung.
“Suamiku
benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?!” Bi Cu membentak.
“Ha-ha-ha-ha,
tuan besar kami hendak mengundang Pendekar Lembah Naga, tapi Sang Pendekar
tidak ada, yang ada hanyalah isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah
kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya
nanti! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulurkan tangan
hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu,
disambut suara tawa ha-ha he-he oleh para temannya.
“Keparat
jahanam kau!” Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka
yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlampau cepat atau
memang laki-laki itu memandang terlalu rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak
tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu!
“Plakkk!”
Orang itu
terkejut, terhuyung sambil mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak.
Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah karena bibirnya telah
pecah.
“Serbu!
Tangkap!” bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan
yang keras ke arah Bi Cu.
Akan tetapi
dengan mudah saja nyonya ini mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar
masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai
pusarnya tentu dia tak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu,
dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar.
Akan tetapi
tiba-tiba Han Tiong berteriak, “Lepaskan aku!”
Bi Cu
terkejut dan cepat menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan
ditangkap orang, dan kini sebatang golok sudah ditempelkan di leher anak itu.
Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya.
“Mundur!
Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!” bentak
orang yang menangkap Han Tiong.
“Hemm, apa
maksud kalian?!” bentak Bi Cu, sedikit pun tidak merasa takut sungguh pun
diam-diam dia sangat mengkhawatirkan puteranya. “Sedikit saja kau ganggu dia,
kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut
kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!”
Si Tinggi besar
dan teman-temannya merasa jeri juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu,
yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Tentu mereka percaya
bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, pastilah akan
sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya apa bila mereka sampai berani
mengganggu puteranya.
“Toanio,
kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk
memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan
kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus mau pun kasar.
Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, maka kami
pun tidak berani bersikap kasar.”
Bi Cu
berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di
situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau saja
sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka.
Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan jika hanya mengandalkan
kepandaiannya sendiri saja maka amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya,
kalau dia menurut dan membiarkan dia beserta puteranya dibawa, tentu nanti Sin
Liong akan dapat membebaskan mereka.
“Baik, kami
ikut asal tidak dilakukan kekerasan!” katanya dengan tegas dan dia pun lalu
menghampiri puteranya.
Sambil
menggandeng tangan Han Tiong, dia lantas keluar diiringkan oleh sembilan orang
laki-laki itu dan ternyata sebuah kereta sudah menunggu di luar. Bi Cu beserta
puteranya dipersilakan naik kereta yang segera dibalapkan, diikuti oleh mereka
yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya.
Demikianlah
keterangan yang didapatkan Sin Liong dari pengurus losmen yang mukanya masih
biru-biru. Sesudah mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan kedua alisnya
dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam
sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari
penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu.
“Di manakah
rumah Pak-san-kui ini?” tanyanya kepada pengurus losmen.
Pengurus
losmen itu menggeleng kepala. “Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di
sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini
tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadi pun
agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang dari utara.”
Hati Sin
Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya,
Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di
kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Mengapa kini anak buahnya berada di
Lok-yang dan bagai mana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ,
lantas mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu?
Dia teringat
kepada Ciu Khai Sun. Ahh, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat
memecahkan teka-teki ini, kemudian memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari
dan menemukan isteri dan puteranya.
Dia tahu
bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena
isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia
pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya!
Sesudah
memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong
lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua
orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mereka memandang heran
dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri
dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat
wajah Sin Liong yang nampak muram.
“Liong-koko,
mana dia? Mana isterimu dan puteramu?” tanya Kui Lin.
“Mari kita
berbicara di dalam,” kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada
wajahhya jelas membayangkan kegelisahan.
Dengan hati
penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama
Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan
kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen
itu.
“Inilah
sampul undangan itu,” katanya sebagai penutup dan menunjukkan sampul dengan
tulisan merah itu kepada mereka.
“Sungguh
kurang ajar!” seru Kui Lan.
“Mengundang
dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?” seru Kui Lin.
Kedua orang
nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin
Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang sekali. Dia
mengamati sampul itu dan alisnya berkerut.
“Hemm…
Pak-san-kui…”
“Engkau
mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?” tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik
ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu.
Ciu Khai Sun
menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah bertemu dengan dia, akan tetapi namanya
sangat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah
mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah pula mengganggu pekerjaanku, dan
dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali.
Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga amat besar. Dia bergerak di kalangan
atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di
kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main hingga terkenal sebagai
datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan
di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan
bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?”
“Tai-goan
tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu
dari sana. Sudah pasti dia berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di
dalam kota,” kata Sin Liong.
“Ahh, benar!
Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru
saja datang, baru pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu
terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali
apa bila dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota
ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota
ini, Cia-taihiap?”
“Hal itu
dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin
itu? Aku akan menyelidiki ke sana.”
“Mari
kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!”
“Jangan,
Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, sangat tidak baik apa
bila engkau sampai tersangkut, apa lagi menentang seorang pembesar kota. Kau
tunggulah saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku.”
Karena
alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi
tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima
penjelasan, Sin Liong segera berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh
pandangan mata penuh rasa khawatir dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan
dan Kui Lin.
Sin Liong
memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa
dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal
ini menyangkut keselamatan anak dan isterinya, jangankan hanya gedung pembesar
kejaksaan, biar pun istana kaisar sekali pun akan dimasuki kalau perlu!
Beberapa
orang prajurit penjaga langsung maju menghadangnya dan seorang di antara mereka
menegurnya, “Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?”
Dengan sikap
gagah Sin Liong berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui!
Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi
undangannya!”
Enam orang
prajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari
Ciong-taijin, dan karena mereka pun datang dari Tai-goan, maka tentu saja
mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan mereka pun tahu bahwa datuk itu
kini menjadi tamu majikan mereka. Walau pun hanya kabar angin dan tidak secara
langsung, mereka sudah mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang
pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga. Maka, ketika mendengar pengakuan
Sin Liong mereka menjadi terkejut.
“Tunggulah…
tunggulah kami melapor dulu…” kata mereka dan seorang di antara mereka segera
lari masuk ke dalam.
Sin Liong
menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu
rumah gedung itu. Apakah anak dan isterinya berada di dalam gedung itu? Apakah
masih dalam keadaan selamat?
Tiba-tiba
muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh
tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu lantas
menghampirinya dengan lagak memandang rendah sambil tertawa-tawa. Seorang di
antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari
atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar
Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan
tubuhnya yang sedang.
“Engkaukah
yang bernama Cia Sin Liong?” tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang
pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk
di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya.
Sin Liong adalah
seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya
tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa yang melihat tingkah
seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik
angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini.
Akan tetapi dia pun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan
pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang
pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak dari pada si
pembesar itu sendiri!
Memang
demikianlah keadaan kita manusia di dalam dunia ini. Kita selalu ingin merasa
lebih tinggi dari pada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat,
lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian
hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu?
Kita selalu
menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari
segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka
kita bersikap angkuh terhadap orang lain yang kita anggap lebih rendah dari
kita. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang demikian
tingginya akibat kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu
pembesar itu.
Kenyataannya
sehari-hari, mereka itu merupakan bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa
mereka itu jauh lebih redah dari pada atasan mereka. Oleh karena itu timbul
keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan
sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi
kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu.
Setiap orang
ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala
macam ‘paling’ lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik
dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar
menghadapi orang lain.
Gambaran
diri ini pasti timbul kalau kita tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau
kita mau membuka mata dan setiap saat waspada kepada diri sendiri, menghadapi
kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran
diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri
itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah
juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah!
Penglihatan
yang amat jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran
sehingga kita pun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan
diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri
kita....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment