Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 01
PAGI yang
sangat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati,
juga begitu indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan
datang membawa kegembiraan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan
bumi, memandikan segala sesuatu dengan sinarnya yang keemasan dan yang menjadi
sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak.
Cahaya
matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan
kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, menimbulkan kembali semangat
hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang
terkecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara mau pun yang
berjalan dan merayap di atas bumi.
Matahari
pagi yang demikian indahnya, sinar keemasan yang menerobos lewat di antara
gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit,
embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira,
semua itu seakan-akan mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan
keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi,
tetapi hanya sementara saja. Demikian pula dengan sebaliknya, kecerahan dan
keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang
malam yang membawa kegelapan.
Baik
buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Bila kita sudah menilai
bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke
dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya, bila kita
menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa
penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin
bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan dan kesunyian malam itu!
Pagi hari
yang sangat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua
makhluk, kecuali manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul
karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlampau mudah mengeluh, juga
terlampau mudah mabuk. Pada waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan,
manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini,
tetapi pada waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk
dan lupa diri!
Pada pagi
hari itu, pemandangan di dalam hutan di lereng bukit amatlah indahnya. Dari
ujung daun-daun dan rumput sampai kepada awan, semua seakan-akan tersenyum
riang bersama cahaya matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi,
seorang wanita yang berjalan mendaki lereng bukit itu, yang memanggul tubuh
seorang laki-laki, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di mana pun juga di
dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam
kedukaan.
Wanita itu
masih sangat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun
usianya, berwajah serius dan gagah. Meski pun dia memanggul tubuh seorang pria
pada pundaknya, namun langkahnya yang tegap serta ringan itu jelas menunjukkan
bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Memang
sebenarnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita yang amat
lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan
karena dia adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal.
Wanita ini
bernama Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah
satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima penggemblengan langsung dari
mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti yang pernah
menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya
karena dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, walau pun harus diakui
bahwa dia tidak atau belum menguasai ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna
seperti kakeknya.
Tubuh
laki-laki yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya
pucat seperti mayat, di ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal
satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda, bahkan masih sangat muda,
kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan dan
pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan.
Pria ini
adalah suami Lie Ciauw Si! Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari
dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari Puteri Khamila yang menjadi isteri
Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu saja dia
adalah seorang Pangeran di kerajaan utara ini.
Akan tetapi,
ayah kandungnya bukanlah Raja Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung,
Kaisar Kerajaan Beng-tiauw. Dan hal ini selain diketahui oleh Raja Sabutai,
juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga secara
resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Sebagai
pangeran di utara, pria ini bernama Pangeran Oguthai, dan sebagai pangeran Kerajaan
Beng-tiauw dia bernama Pangeran Ceng Han Houw.
Ceng Han
Houw ini adalah seorang pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan
suka sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, bahkan telah berhasil
mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari orang-orang sakti sehingga dalam hal
ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya yang lihai
itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan
sombong, di samping ambisinya yang sangat besar untuk menjadi jagoan nomor satu
di dunia, bahkan kaiau mungkin untuk merampas tahta Kerajaan Beng-tiauw. Sikap
inilah yang telah menjatuhkannya!
Di bawah
pimpinan Pangeran Hung Chih yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para
pendekar yang sakti telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh
dan terluka secara hebat bukan main ketika terjadi pertempuran. Juga semua
pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua usahanya itu
mengalami kehancuran dan kegagalan.
Pangeran
Ceng Han Houw sudah kehilangan segala-galanya, kecuali isterinya yang amat
setia dan sangat mencintanya itu. Isterinya inilah yang membawa tubuhnya yang
terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran di mana
suaminya mengalami kegagalan, terus melarikannya siang malam hingga pada pagi
hari itu, dengan tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng
bukit itu sambil menangis.
Hampir dia
tak kuat melangkah lagi, akan tetapi terus dipaksanya karena dia harus dapat
membawa suaminya yang sudah lebih mendekati mati dibandingkan hidup itu sampai
ke puncak. Dia mendengar bahwa di puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang
pandai sekali mengobati orang, karena itu harapan satu-satunya hanyalah membawa
suaminya menghadap pertapa itu. Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam
kisah Pendekar Lembah Naga.
Sudah selama
dua hari dua malam ini dia melakukan perjalanan, hanya sesekali berhenti untuk
memberi minum, atau lebih tepat memasukkan air ke dalam perut suaminya, sebab
suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tak sadar. Dan selama itu dia
sendiri hanya minum sedikit air saja! Maka, saat dia mendaki lereng bukit ini,
sepasang kakinya sudah gemetar sehingga dia harus menggigit bibir dengan air
mata menetes-netes untuk menguatkan dirinya.
Bagaimana
pun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masih terlihat ringan
ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah
kelihatan dari bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat
cahaya yang penuh harapan, tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia
lalu berloncatan naik ke atas puncak.
Pondok itu
kecil dan sederhana, pintunya pun terbuka! Maka Ciauw Si yang telah merasa
betapa matanya berkunang dan kepalanya pening, terus melangkah masuk.
Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk bersila di dalam pondok. Dia cepat
melangkah maju dan sempat berkata lirih,
"Mohon...
mohon Locianpwe sudi... menolong suami saya..., lantas tergulinglah isteri
setia ini bersama tubuh suami yang dipanggulnya, roboh ke hadapan kaki pria tua
yang duduk bersila itu.
"Siancai...
siancai...! Di dunia ini jarang sekali ditemui wanita seperti dia ini..."
Kakek itu berkata lembut, lalu turun dari atas pembaringan dan dengan tak mudah
karena dia telah tua dan tenaganya sudah lemah, dia mengangkat suami isteri itu
seorang demi seorang lalu merebahkan mereka di atas pembaringan kayu sederhana.
Dia berdiri
menggelengkan kepala dan menarik napas panjang memandang pada suami isteri yang
tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan
kelihatan sungguh menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati
Han Houw dan dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung
pria muda itu. Wajah yang keriput itu nampak terkejut sekali.
"Aihhh...?
kacau dan remuk keadaan di dalam tubuh orang muda ini! Hemm...? aku tak tahu
apakah aku akan dapat mengobatinya? sungguh hebat, kenapa kekerasan saja yang
timbul dari penumpukan kepandaian?!?
Setelah
memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggelengkan kepala, kemudian dia
memeriksa keadaan Ciauw Si lantas mengangguk-angguk. Terlalu lelah, terlalu
berduka dan gelisah, menderita kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar
biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan?
Karena
maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw
sangat berbahaya, maka kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar,
mengirisnya tipis-tipis kemudian menggodoknya di dalam periuk, mencampurinya
dengan beberapa macam daun dan bubukan buah kering. Sambil mengipasi api arang,
dia lantas bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan.
Siapakah
kakek renta ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang telah lama
bertapa di puncak bukit yang sunyi itu, menjauhkan diri dari dunia ramai dan
hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati. Hanya di waktu timbul wabah
yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari tempat
pertapaannya untuk memerangi wabah itu.
Selain ini,
setiap kali ada orang sakit datang kepadanya, maka dia selalu mengobatinya dan
ternyata obatnya sangat manjur sehingga sebentar saja namanya terkenal di
seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Oleh karena dia tidak pernah
mau mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang
diterimanya dengan senyum saja.
Setelah
godokan obat itu masak, dia mendinginkannya dahulu di atas cawan lalu dengan
hati-hati dia memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han
Houw yang dalam keadaan setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah.
Tidak lama kemudian Ciauw Si sadar dari pingsannya, mengeluh dan membuka mata.
Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya, dia cepat bangkit
duduk.
"Mengasolah
dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan"
"Tidak,
Locianpwe, saya tidak apa-apa" Ciauw Si memaksa diri turun dari
pembaringan. Pada saat itu pula, Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat
itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang kepada Ciauw Si sambil tersenyum
ramah.
"Engkau
kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku
masih mempunyai bubur, di meja itu..."
Ciauw Si
telah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, harap
jangan memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia?" Dia
pun menoleh ke arah suaminya yang masih rebah terlentang dengan muka pucat
seperti mayat.
Kakek itu
memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus lantas mengangkatnya bangun.
"Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan
tenang"
Ucapan yang
halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu
bangkit dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja
kecil yang penuh rempah-rempah dan obat-obatan.
"Harap
Locianpwe katakan, bagaimana dengan dia?" dia bertanya, sinar matanya
penuh permohonan, mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan
sekali.
"Engkau
adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan
tidak lemah. Terus terang saja, keadaannya sangat parah, luka-luka di dalam
tubuhnya sangat hebat. Akan tetapi, tentu saja aku tidak berani mendahului
kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan sanggup menyembuhkannya
atau tidak. Betapa pun juga, aku hendak mencobanya"
"Ah,
terima kasih, Locianpwe, terima kasih..." Suara Clauw Si mengandung isak
keharuan karena pengharapannya timbul kembali. "Hanya Locianpwe yang dapat
saya harapkan... hanya Locianpwe yang dapat menyembuhkannya"
"Apamukah
dia itu?"
"Dia
suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam..."
"Dan
kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ahh, engkau harus makan dulu, nah,
kau makanlah bubur ini, kemudian istirahatlah. Nanti masih banyak waktu bagi
kita untuk bicara"
Setelah
mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun
obat segar yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu.
Diam-diam dia menduga-duga apa yang telah terjadi dengan orang itu dan siapa
adanya pasangan suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orang-orang
sembarangan itu.
Diam-diam
hatinya khawatir. Kakek ini lebih senang menolong dan berhubungan dengan
penduduk dusun yang sederhana dari pada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw
yang mempunyai kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai, bahkan saling
membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali.
Sementara
itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus
tetap sehat agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di
dalam hatinya. Setelah sampai di sini, melihat Han Houw, dia hampir putus
harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Han Houw di sampingnya?
Kini dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau
anak durhaka!
Terbayanglah
dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah
menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiri pun juga menentang. Dia
maklum bahwa tak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka
melihat dia menjadi isteri Han Houw!
Dan sesudah
dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han
Houw seoranglah yang dia miliki. Dan dia sangat mencinta Pangeran itu, lepas
dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak, jahat atau tidak.
Harapan
untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si dan mulailah dia makan bubur
dengan sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya
segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali sesudah dia makan bubur dan
minum air teh.
Kemudian dia
mencuci mangkok piring dan membersihkan meja dan ruangan pondok itu. Dilihatnya
suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang tadi telah
diminumkan oleh kakek itu, maka hatinya terasa lapang dan dia pun menanti
kembalinya kakek ahli obat itu.
Sesudah
matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun dan akar
obat. Ciauw Si menyongsongnya, kemudian membantunya membawa rempah-rempah itu
memasuki pondok.
"Engkau
sudah makan??"
Ciauw Si
mengangguk. "Terima kasih Locianpwe?"
Ketika kakek
itu memasuki pondok dan melihat pondoknya bersih dan rapi, dia tersenyum
girang, lalu dia langsung memeriksa keadaan Han Houw.
"Kau
taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan jemur
di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung
baginya bahwa tidak ada hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya"
"Saya...
saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe"
Kakek itu
memandangnya dengan heran.
"Apa maksudmu?
Mengeluarkannya bagaimana?"
"Dengan
pengerahan sinkang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya"
"Ahhh,
engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat
tinggi ilmunya. Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau
mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya"
"Mengapa,
Locianpwe?"
Kakek itu
menarik napas panjang. "Terus terang saja, keadaannya sangat parah, entah
mengapa keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan
penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk
menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar,
sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat serta perawatan alam yang
wajar. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara demikian
barulah dapat diharapkan dia sembuh..."
"Baik,
baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe,..." kata Ciauw Si dengan
hati khawatir karena dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat
yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan.
"Sekarang
ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu hingga
keadaannya sampai sedemikian rupa?"
Sejenak
Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia segera mengambil keputusan untuk
menceritakan keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah orang
luar biasa yang diharapkannya akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka
sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada kakek ini.
"Locianpwe,
saya hanyalah seorang anak durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu
kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie
Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua
Cin-ling-pai"
"Ahhh,
Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang
budiman itu. Pengakuanmu sebagai anak durhaka tadi justru menandakan bahwa
engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu..."
"Saya
telah saling mencinta dengan suami saya ini, lalu kami menikah di luar
persetujuan keluarga saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu
besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh seorang sakti
lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang
kegagalan cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu dan terus terang
saja, saya sendiri juga tidak setuju dengan semua yang sudah dia lakukan itu,
akan tetapi Locianpwe, saya... saya cinta padanya..." Dan Ciauw Si pun
menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seakan-akan pantang
bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air
mata.
Sejenak
sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kekaguman pada kepala yang menunduk
itu, juga terkandung perasaan iba yang besar. "Berbahagialah dia yang
sudah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu, cinta yang tanpa
kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya,
berikut obat-obat apa yang harus kau berikan setiap hari karena terus terang
saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin pula
bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi
masa yang sangat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu
ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu..."
Demikianlah,
kakek itu mulai membuat ramu-ramuan obat-obatan sambil dia mengajarkan kepada
Ciauw Si mengenai obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian
kakek itu hebat sekali. Setelah menerima pengobatan selama kurang lebih
sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam
nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguh pun keadaan tubuhnya masih
amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan.
Bekas
pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis
mengguguk ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya
dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua sepak terjangnya untuk
mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan
mengalami kesengsaraan sebagai akibat dari pada pengejaran cita-citanya itu,
nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya
semua cita-cita yang ingin dijangkaunya.
Memang
demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu kelihatan indah cemerlang, jauh lebih
indah dari pada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi
pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita,
karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tak
akan maju! Apakah benar demikian?
Tidak sehat
dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau
begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau
kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?
Cita-cita
ialah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan
lebih baik, lebih menyenangkan dari pada keadaan yang ada sekarang ini.
Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah
demikian?
Jadi,
cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan
lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita ingin
menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya dibandingkan keadaannya
sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggap akan
mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul
karena dianggap bahwa hal itu akan dapat mendatangkan kesenangan dalam
hidupnya.
Pendapat
umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah
pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti dapat mendatangkan
kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai
tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan!
Dan seperti
dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan
ambisi atau cita-cita itu hanya merupakan kesenangan yang pada kenyataannya
tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya
itu didapatkan, maka apa yang didapat itu hanya akan mendatangkan kesenangan
sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke
depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit
yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita
anggap lebih menyenangkan.
Dan
pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan
keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya
menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja.
Apakah
sesungguhnya kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu? Apa bila kita mau
meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan pada kebendaan,
kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata 'kemajuan' bagi kita tidak lain
adalah uang dan kedudukan!
Apakah
seseorang maju kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang?
Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang bila mana
dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Apa bila kita
menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar,
maka jawabannya ternyata akan berbunyi: TIDAK!
Pengejaran
kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan
menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu manusia tidak segan-segan
untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan
melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal,
perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita
atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu.
Dan apakah
artinya semua 'kemajuan' lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya
cinta kasih antar manusia di dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya.
Semua 'kemajuan' yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, bahkan
lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling
membunuh.
Mari kita
sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di
dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah
kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihat kelicikan-kelicikan dalam perdagangan.
Lihat perbedaan-perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Lihat negara ini
berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada
umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati kemudian membusungkan dada dan
mengatakan bahwa kita manusia ini telah 'maju'. Betapa menyedihkan!
Setelah
Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia kemudian
mencari sebuah rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan
sisa-sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli
sebidang tanah dengan rumah yang sederhana dan di situlah dia merawat suaminya
sambil menggunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya hingga cukup untuk keperluan
sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan.
Ciauw Si
amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, meski pun dia
hidup sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun
wanita muda ini nampak amat segar sehingga kedua pipinya kemerahan seperti buah
tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di
tempat ini dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh
tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit
kebutuhan hidup mereka secara wajar.
Han Houw
semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan
tetapi sebagai seorang ahli silat yang mempunyai kepandaian tinggi, dia pun
tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang sudah rusak hingga dia tak akan
mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sinkang seperti dulu. Kepandaian, yaitu
ilmu-ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apalah artinya bila
sinkang-nya sudah lenyap dan hanya tersisa sedikit tenaga dalam yang tidak ada
artinya itu?
Maka, dalam
keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan,
dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang dahulu
dia dapatkan dari pelajaran dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Dia
menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu
menghimpun tenaga, dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia
dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua
isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka
orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri!
Dengan
tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan
kitab itu. Seperti isterinya, dia pun mulai bisa merasakan ketenteraman hidup,
mendapat ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran
hawa gunung dan sinar matahari.
Yok-sian
kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang
berkunjung ke puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasehat tentang
pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam
kagum dengan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han
Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah serta kesusasteraan. Ketika Han
Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian
untuk meramal, dia pun tertawa.
"Ahh,
kalau begitu, tolonglah engkau tunjukkan garis nasibku, Locianpwe,"
katanya sambil bangkit duduk dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah
lumpuh itu supaya dia dapat duduk di pembaringan. Yok-sian juga tertawa melihat
kegembiraan di wajah tampan dari Pangeran muda itu.
"Aihh,
ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng belaka, Pangeran. Perlu apa mengetahui
keadaan yang belum tiba"
"Aku
juga hanya sekedar iseng mau tahu saja, Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe
mempelajari ilmu meramal apa bila tidak mau melihat garis nasib orang"
kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya.
Pada saat
itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk
iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia lantas duduk di samping Han
Houw dengan sikap gembira. Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa
garis-garis tangan Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan
sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia
berkata,
"Pangeran,
dari garis-garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan
sembuh dan selamat dari bahaya maut ini"
Suami isteri
itu saling pandang dengan gembira, dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar,
"Ahh, tanpa melihat garis tangan sekali pun Locianpwe tentu tahu bahwa aku
sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe sendiri yang telah mengobati dan
juga menyelamatkan diriku"
"Ah,
jangan mencela dan memandang rendah!" Ciauw Si menegur suaminya.
"Locianpwe, harap teruskan membaca garis nasibnya"
Kakek itu
terus menyusuri garis-garis pada telapak tangan Han Houw, kemudian, tanpa
mempedulikan teguran Pangeran itu tadi, dia berkata lagi, "Pangeran akan
mempunyai keturunan, seorang putera"
Han Houw
menoleh kepada isterinya dan mereka pun saling pandang dengan penuh arti.
Semenjak Han Houw terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan
lumpuh sehingga dia tak mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami.
Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera?
"Tapi...
tapi... katanya ragu.
"Ini
hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut
garis nasib, sungguh jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan
tetapi yang lebih penting lagi" Kakek itu mengerutkan alisnya dan meneliti
garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw dan Ciauw Si
ikut pula merasa tegang.
"Ada
apakah, Locianpwe" tanya Ciauw Si khawatir.
"Inilah
kebaikannya ilmu meramal," akhirnya kakek itu berkata, "manusia dapat
bersikap hati-hati menghadapi bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali
dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam bila Pangeran
mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar
Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan
sekali-kali mendekati keluarga"
"Yang
Locianpwe maksudkan, keluarga yang mana?" Ciauw Si bertanya khawatir, ada
pun Han Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.
"Tidak
dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu datang
melalui keluarga. Maka sebaiknya jika ji-wi (kalian berdua) tinggal tenteram
saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan keluarga"
Ramalan yang
dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam di dalam hati
Clauw Si. Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguh pun untuk waktu itu
dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya.
Keluarga mana yang akan dihubunginya?
Kini ayah
kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di
Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan
pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya
karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk berjumpa dengan
siapa pun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini.
Demikianlah,
dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa
dan cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit,
kesehatan Han Houw makin membaik hingga kedua kakinya pun mulai dapat
digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran.
Han Houw
yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan
setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia sudah sembuh sama sekali! Dia
telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami
yang normal, dan dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguh pun
tenaga sinkang-nya telah banyak hilang sehingga biar pun dia dapat mainkan
kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja
dia telah kehilangan kelihaiannya.
Bahkan
dengan sisa-sisa tenaga sinkang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi
mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dulu dipelajarinya dari kitab-kitab Bu
Beng Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi sangat kecewa dan berduka, akan
tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya sehingga mereka berdua hidup
rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu.
Beberapa
bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan
kenyataan bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian
terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat
dan mungil!
Akan tetapi,
kegembiraan bagi suami isteri itu lalu disuramkan dengan peristiwa kematian
Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal
dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han
Houw bersama Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka,
lantas merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun
mereka.
Anak
laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu
merasa amat berbahagia dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak
kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat cerdik di samping
mempunyai wajah yang sangat tampan sekali.
Dengan
adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah
tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah merasa cukup berbahagia hidup bertiga di
dusun itu, memiliki para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan
hidupnya bersahaja, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena
ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan
uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu
mereka.
Bertahun-tahun
lewat dengan cepatnya tanpa terasa, dan tahu-tahu delapan tahun sudah lewat
semenjak Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Sesudah berusia delapan tahun,
makin nampak betapa anak ini mempunyai wajah yang sangat tampan, wajah yang
sedemikian eloknya sehingga tampak manis seperti wajah seorang anak perempuan
saja! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga
memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah
digembleng oleh ayahnya sendiri.
Biar pun dia
sendiri sudah kehilangan sinkang-nya, akan tetapi tentu saja Han Houw tahu
bagaimana caranya mendidik serta melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang
sangat disayangnya. Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak
itu semenjak anak itu berusia lima tahun.
Bukan hanya
ilmu silat, bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca
karena ayah bundanya menghendaki agar putera mereka ini kelak bukan hanya
menjadi seorang ahli silat, namun juga seorang ahli dalam kesusasteraan,
sehingga patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga
Cin-ling-pai!
Han Houw dan
Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu sudah mendengar
penuturan orang tuanya bahwa sebetulnya ayahnya adalah Pangeran Oguthai atau
Pangeran Ceng Han Houw, yaitu salah seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar
Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya ialah Permaisuri Khamila di utara.
Ada pun ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat
yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan.
Penuturan
ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, sebab itu semenjak
mendengar mengenai keturunan ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi
dalam hal keturunan dan derajat dari pada semua anak di dalam dusun itu. Dia
tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti
menyimpan suatu rahasia yang membuatnya merasa amat bangga!
Dari ibunya,
Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang pendekar besar yang selalu
harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas dan
harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak
sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong.
Pada suatu
hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki
halaman rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sangat sederhana berwarna
kuning, memegang tongkat dan sebuah mangkok butut.
Hwesio itu
masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan
nampak kuat, wajahnya tampan dan bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar
ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat.
Melihat
hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin
bangkit dan memandang tajam. Memang dia adalah seorang anak yang sejak lahir
berada di dalam dusun, akan tetapi pengetahuannya sudah cukup banyak berkat
bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang
dikehendaki oleh pendeta itu. Apa lagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat
hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan
sekedarnya untuk penyambung hidup.
"Losuhu,
apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan
kebetulan lewat di tempat ini" tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan
pandang matanya tajam.
Hwesio itu
tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki
yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum.
"Benar,
dugaanmu, sahabat kecil..."
"Dan
apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?" Dia memandang
ke arah mangkok kosong di tangan kanan hwesio itu.
"Sekali
lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa
rumah ini adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka
pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada
makanan lebih di dalam rumah ini"
"Tentu
saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu pada
ibu untuk menyediakan makanan"
"Omitohud...
sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, jika engkau suka
mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng" Dia
lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin.
Anak itu
menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat
hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa
mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.
"Anak
baik... anak baik...!" Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga
heran bagaimana di dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat berjumpa
dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai membawa diri
seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak
itu.
Sementara
itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam
dapur, dia cepat-cepat berkata, "Ibu... Ibu... Di luar ada seorang hwesio
minta sedekah makanan!"
Ciauw Si
tersenyum. Nyonya yang kini usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih
nampak amat muda dan cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan
berkat keadaan batin yang tenteram dan bahagia. Dia tersenyum memandang
puteranya penuh kasih sayang.
"Aihh,
Sin-cu (Anak Sin), kenapa engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih dengan kedatangan
seorang hwesio yang minta sedekah? Engkau kelihatan amat tegang dan
terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apa lagi hanya seorang
hwesio minta sumbangan..."
"Tetapi
dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya
bahwa dia tentu seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat
huruf apa yang tertulis di sini!" Dia memperilhatkan mangkok putih itu
kepada ibunya.
Ciauw Si
masih tersenyum saat menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya
lenyap, dan mukanya berubah penuh keheranan pada saat dia membaca huruf LIE
yang tertulis pada mangkok itu.
"Dia
she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie!"
Ciauw Si termangu-mangu.
Akan tetapi
dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam masakan
sayuran tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi
makanan itu keluar, Ciauw Si tidak dapat menahan keinginan tahunya dan dia
mengikuti dari belakang.
Hwesio itu
bangkit berdiri sambil tersenyum ramah setelah dia melihat Thian Sin datang
membawa mangkoknya yang sudah terisi, akan tetapi pada saat dia melihat nyonya
muda yang berjalan di belakang anak itu, dia pun memandang terbelalak dan
kelihatan terkejut sekali.
Demikian
pula ketika Ciauw Si melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat
dan kedua matanya terbelalak. Sejenak mereka berdua berdiri bengong saling
pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum lagi, agaknya hanya sedetik saja
dia terangsang oleh rasa kaget.
"Omitohud...
semoga Sang Buddha memberkahi kita semua, bukankah engkau Ciauw Si,
adikku?"
"Seng-koko..."
Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki
hwesio itu sambil menangis sesenggukan. "Seng-ko? bagaimana engkau...
engkau bisa menjadi begini?" Ciauw Si kemudian menangis sesenggukan sambil
mengangkat muka memandang.
"Ini
kehendak Tuhan... kehendak Tuhan pun terjadilah" kata hwesio itu yang kemudian
berdoa. "Berkah Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan
kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia puteramu?"
Thian Sin
juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil
menangis dan menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan
lari menghampiri, ikut berlutut di dekat ibunya.
"Ibu
apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?" anak itu
sudah bertanya dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak
ibunya yang bernama Lie Seng, seorang pendekar perkasa.
"Betul,
anakku, dia ini adalah Toapek-mu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin,
anakku"
'Ceng?"
Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya.
Tentu saja
dia merasa terheran-heran, karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak
pernah mencampuri urusan dunia, tekun mempelajari agama sehingga dia tidak tahu
apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan adiknya ini.
Hwesio itu
dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok
Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, cucu luar
dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Bila dibandingkan dengan adik kandungnya itu,
keadaannya malah lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang menimpa kehidupannya
membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio!
Seperti juga
adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh
keluarga Cin-ling-pai. Memang dia pun tak dapat menyalahkan sikap keluarga
Cin-ling-pai oleh karena dara yang dicintanya itu, yang bernama Sun Eng, adalah
seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah menyerahkan
diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang.
Walau pun kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni,
yang tidak mau mengingat lagi hal-hal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai
tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua bersama Sun Eng dan hidup
sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya!
Lalu, Sun
Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga
Cin-ling-pai yang difitnah hingga menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu
dan berhasil memikat hati Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih
mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian perbuatan Sun Eng ini diketahui
oleh Han Houw hingga akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa oleh anak
buah Pangeran Ceng Han Houw!
Lie Seng
hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi
keluarga Cin-ling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang
hwesio tua yang berhasil mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun
kemudian pergi meninggalkan dunia ramai, ikut bersama hwesio tua itu
mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula.
Semua ini
sudah diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil
Thian-to-tang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tak pernah lagi
mencampuri urusan dunia.
Saking
tekunnya mempelajari agama, maka setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu
meninggal dunia, dialah yang lalu dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu
dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para hwesio lainnya, Hong San
Hwesio juga sering mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan pelajaran agama
sambil mendatangkan penerangan kepada banyak orang, dan di samping itu juga
tekun berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang
orang-orang lain saja. Maka pada hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik
kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan belaka.
Mendengar
pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya mempunyai she Ceng,
Ciauw Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan
tamu. "Mari kita duduk dan bicara dengan leluasa, koko"
Lie Seng
atau lebih tepat kalau kita sebut Hong San Hwesio sudah kembali memperoleh
ketenangannya ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul
puteranya. Dia menatap wajah adiknya. Melihat wajah adiknya yang cantik segar
dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia memuji syukur dan merasa
ikut berbahagia.
"Seng-ko,
bagaimana mendadak engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya
Sun Eng!"
Mulut itu
masih tersenyum, dan memang peristiwa yang dahulu pernah membuat hatinya
berdarah itu kini sudah tak membekas lagi.
"Dia
sudah bebas dari kesengsaraan, dia sudah meninggalkan dunia yang penuh dengan
kepalsuan dan kesengsaraan ini," jawabnya lembut.
"Ahhh...!"
Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. "Dan...
sejak itu... engkau lalu menjadi hwesio?"
"Ya,
semenjak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, permusuhan,
dendam, kebencian, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang
bersih dan diterangi oleh sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana
tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang sekali melihat bahwa engkau
hidup berbahagia"
Adik itu
memandang kepada kakaknya, dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah
berseri itu, dia pun tak lagi merasa berduka dan sekarang wajahnya malah
berseri. "Memang aku hidup berbahagia, koko! Lihat, inilah keponakanmu,
Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh dari pada segala macam
kekerasan dan permusuhan"
Hong San
Hwesio meraih pundak anak itu, lantas memangkunya sambil mengelus-elus
kepalanya. "Anak baik... anakmu ini sungguh baik sekali..." dia
memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu.
Thian Sin
hanya tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran.
Tak dikiranya sama sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar
perkasa itu kini telah menjadi seorang hwesio!
"Si-moi,
anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi...?"
"Ceng
Han Houw adalah suamiku, koko," jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah
kakaknya.
Dia tidak
akan heran apa bila melihat wajah itu terkejut. Akan tetapi kini dia malah agak
heran namun juga lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang
saja, sungguh pun ada sinar keheranan pada pandang mata yang lembut itu.
"Ya,
aku sudah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak
kami. Dan... koko... perjodohan antara kami juga tak ada bedanya dengan
perjodohanmu dengan Sun Eng sehingga aku mengalami penderitaan batin yang
hebat. Hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan tetapi semua itu
telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguh pun putus dengan
keluarga"
Kemudian
Ciauw Si lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat
namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan
Pangeran Ceng Han Houw karena dianggapnya suaminya itu benar, dan kaisar yang
lalim dan telah memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Kemudian betapa keluarga
Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan suaminya, maka sebagai
akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas
kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara
teliti selama dua tahun.
"Pengalaman
yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap
sebagai mimpi buruk saja. Sekarang kami bertiga hidup penuh bahagia di tempat
sunyi ini"
Hong San
Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang perubahan yang terjadi
dalam batin hwesio ini hebat bukan main. Adik kandungnya kini telah menjadi
isteri Pangeran Ceng Han Houw, padahal Pangeran itulah yang dahulu menyebabkan
kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan tetapi, mendengar semua
itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau kebencian
terhadap Pangeran Ceng Han Houw!
"Bersyukurlah
pada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Di mana adanya
suamimu sekarang?"
"Tadi
dia sedang mencangkul di sawah," kata Ciauw Si.
Hong San
Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang dulu demikian tinggi kedudukannya, kini
mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya.
"Itu
ayah pulang..." Thian Sin cepat turun dari atas pangkuan Toapek-nya lalu
menuding keluar, menyambut ayahnya yang datang memanggul cangkul.
"Ehh,
ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio" Ceng Han Houw yang kini sama
sekali tidak kelihatan sebagai seorang pangeran melainkan seperti seorang
petani yang tampan dan gagah itu bertanya sambil memandang ke dalam dengan
heran.
Ketika dia
memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua
tangannya memberi hormat. "Selamat bertemu, Pangeran," katanya
hormat.
"Ehhh,
siapakah... suhu?" Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkejut
disebut pangeran oleh hwesio itu.
"Dia
ini adalah kakakku Lie Seng," Ciauw Si yang merasa gembira dengan
pertemuan ini cepat memperkenalkan setelah keharuan mereda.
"Lie
Seng?" Ceng Han Houw terkejut bukan kepalang dan memandang dengan mata
terbelalak keheranan. "Pendekar Cin-ling-pai itu!"
"Omitohud....
bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah," kata Hong
San Hwesio sambil menjura.
Tiba-tiba Ceng
Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya.
"Ha-ha-ha-ha, betapa dunia ini sudah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai
Lie Seng yang gagah perkasa kini sudah menjadi seorang hwesio peminta-minta
sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin
sederhana. Ha-ha-ha-ha!"
Mereka
saling pandang dan setelah melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan
sejujurnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga
tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira.
"Mari,
duduklah, Lie-toako... ehhh, apakah aku harus menyebut suhu? Bagaimana
ini?" tanya Han Houw bingung.
"Meski
dia menjadi hwesio seratus kali pun, dia tetap saja kakakku Lie Seng. Di dunia
ini aku hanya mempunyai seorang kakak, apakah itu pun akan diambil dariku?
Tidak, engkau panggil saja dia Toako"
"Bolehkah
itu, Lie-toako?" tanya Han Houw.
Hong San
Hwesio tersenyum. "Apakah artinya nama? Pinceng boleh disebut apa pun, dan
karena engkau adalah Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh
menyebut pinceng Toako"
Tentu saja
Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya
dia pun cepat mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan
bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. Thian Sin kelihatan
amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali pada
Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang memiliki tulang baik sekali.
Selesai makan, mereka duduk di ruangan depan.
"Koko,
engkau harus bermalam di sini, tinggal di sini barang seminggu!" Ciauw Si
berkata dengan suara menuntut.
"Ya,
tinggallah di sini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri," kata
Han Houw.
"Terima
kasih, aku akan tinggal di sini barang beberapa hari sebelum kembali
melanjutkan perjalananku. Kalian tentu tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas
untuk menyebarkan pelajaran agama serta memberi penerangan kepada yang sedang
kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku"
Hong San Hwesio menolak halus.
Akhirnya
Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal
terlalu lama di situ dan mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama
tiga hari di rumah adik kandungnya.
"Seng-koko,
semenjak tadi engkau belum menceritakan tentang bagaimana matinya Sun
Eng," tiba-tiba Ciauw Si bertanya.
"Sun
Eng siapa!" Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan
perasaan kagetnya, lalu memandang kepada Hong San Hwesio.
Hwesio ini
menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan
tetapi pandang matanya tetap lembut dan tenang. "Si-moi, dia sudah mati,
sudah terbebas dari pada kekejaman dunia, kiranya tak perlu dibicarakan lagi.
Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana
dia mati"
Jantung di
dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung
isterinya ini tahu apa yang sudah terjadi dengan diri Sun Eng, dan tahu pula
siapa yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang sudah
menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak
sedikit pun rasa penasaran di dalam pandang matanya!
"Sun
Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?" Dia memberanikan diri bertanya
kepada isterinya.
Dengan suara
amat terharu Ciauw Si berkata. "Dia adalah isterinya yang sangat dicintai
Seng-koko dan juga amat mencintanya, keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko
tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita"
Wajah
pangeran itu berubah menjadi pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau
Hong San Hwesio. Isterinya malah! Cepat dia bangkit berdiri dan menjura dengan
penuh keharuan dan penuh penyesalan, akan tetapi dengan sikap yang jujur dan
suara gemetar, "Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas mala
petaka yang menimpa dirimu"
Lie Seng
atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum sambil merangkap kedua
tangan di depan dada. "Omitohud, kehendak Tuhan tidak mungkin dapat
dielakkan. Yang sudah lewat tak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong dari
segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian
memberkahi kita semua!"
Pelarian
dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka
juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan
tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api di dalam sekam. Api
duka itu masih belum padam, hanya tertutup tetapi masih membara di sebelah
dalam. Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka
duka akan muncul kembali sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang
lain lagi.
Mengapa kita
harus lari dari kenyataan? Jika timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang
lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri
lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajari segala
sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini!
Hong San
Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya
selama tiga hari itu sangat membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu
pula di mana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat kota raja.
Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan lantas
dia meninggalkan dusun itu diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai
ke pinggir dusun.
***************
Dua tahun
telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar,
anak ini menjadi semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada
ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap nenek-neneknya.
"Kata
ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu mau pun ibu dari ayah. Kenapa aku
tidak boleh bertemu dengan nenekku? Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan
keluarga ayah dan ibu?"
Mendengar
puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tidak mampu menahan hatinya lagi. Selama
ini, dia sudah berusaha menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu
kandungnya. Dia merasa sangat rindu kepada ibunya itu dan ingin melihat
bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lantas mengajak isterinya untuk pergi
berkunjung kepada Ratu Khamila, ibu kandungnya.
"Akan
tetapi, bukankah kita telah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan
keluarga kita lagi dan hidup menyendiri di sini"
Han Houw
menarik napas panjang, "Memang benar, isteriku, dan bagaimana pun rinduku
terhadap ibuku, agaknya aku masih akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus
kasihan kepada anak kita. Betapa akan senangnya kalau dia bertemu dengan ibuku,
juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya"
Ciauw Si
mengerutkan alisnya. "Tapi... tapi... mendiang Yok-sian...!"
"Ahh,
isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, di mana
banyak orang yang memusuhiku. Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di
utara, apakah bahayanya? Lagi pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan mempunyai
kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak
sembarangan, maka siapakah yang akan berani mengganggu kita?"
Walau pun
merasa ragu, akan tetapi melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu
kandungnya, dan melihat pula Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud
kepergian itu menjadi demikian gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan
menyetujui. Bukan main gembiranya Han Houw mendapat persetujuan isterinya. Dia
seolah-olah menjadi seperti kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, begitu girangnya
sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia nampak luar biasa gembiranya.
Demikian
pula dengan Thian Sin yang ikut terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan
penuh semangat. Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si
menjadi semakin tidak tega dan demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga
berangkat menuju ke utara!
Mereka tidak
mau mengambil jalan melewati Lembah Naga, pertama karena hal itu akan memakan
waktu lebih lama dan jaraknya menjadi lebih jauh, juga terutama sekali karena
pasangan suami isteri itu tak mau mendekati Lembah Naga lagi, tempat yang hanya
akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke
kerajaan kecil yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan
kini berada di sebelah timur Huhehot.
Setelah
melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada
halangan sesuatu berkat kepandaian suami isteri itu, biar pun Han Houw kini
tidaklah sehebat dulu, tibalah mereka di kerajaan kecil itu yang lebih tepat
merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dahulu dipimpin
oleh Raja Sabutai yang terkenal perkasa.
Mereka
disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai
atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam
istana kecil Sang Permaisuri. Di situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai
telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang adik
misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang
semenjak mudanya telah menjadi pembantu Raja Sabutai yang paling setia.
Puteri
Khamila merangkul puteranya sambil menangis. Dalam tangisnya ini samar-samar
dia menyesalkan kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini
yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai! Puteri Khamila yang cantik
dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena
memikiran puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam
pemberontakannya.
Raja Agahai
yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, malah dengan
sikap manis menawarkan kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau
tinggal di situ dan membantu raja.
"Kami
sangat membutuhkan bantuanmu, Pangeran," antara lain raja ini berkata,
"karena kita harus dapat menundukkan kembali suku-suku dan
kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol.
Kita harus menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang
ayahmu"
Akan tetapi
Han Houw hanya menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini,
karena dia sudah berjanji kepada isterinya bahwa kedatangan mereka itu hanya
untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan mencampuri urusan
kerajaan lagi.
Han Houw dan
isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit
dan diantar oleh tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil
itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja Agahai, bahkan mereka diberi
tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang.
Perjalanan
itu sangat berkesan dalam hati Thian Sin, dan diam-diam dia merasa bangga dapat
melihat sendiri bahwa ayahnya adalah seorang pangeran, bahwa dia merupakan
keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak lain di dalam dusunnya. Akan
tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya
disimpannya dalam hati saja sehingga pada lahirnya, anak ini tidak
menyombongkan keadaan keturunannya.
Ciauw Si
merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah
benar-benar tidak mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat
dibuktikannya dengan sikap suaminya pada waktu diminta oleh Raja Agahai untuk
tinggal di sana dan membantu raja itu.
Akan tetapi,
nyonya muda beserta sekeluarganya ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya
besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka
kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir
sekali melihat munculnya Han Houw.
Tadinya dia
sendiri menyangka bahwa pangeran itu telah tewas pada waktu gagal dalam
pemberontakannya di Lembah Naga. Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia
maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apa lagi melihat sikap Puteri Khamila
yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja,
maka diam-diam raja ini mengatur rencana untuk melenyapkan bahaya bagi
kedudukannya ini. Dia khawatir sekali kalau-kalau Pangeran Oguthai akan merebut
kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak terlebih
dahulu.
Beginilah
kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber
kenikmatan dan kesenangan hidupnya. Selalu merasa khawatir dan berprasangka
pada orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap. Maka
dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan
orang lain yang dianggap sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala
perbuatan kejam dan jahat.
Raja Agahai
mengirim berita kepada Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang dulu
telah memberontak itu masih hidup dan memberitahukan tempat sembunyinya. Bahkan
kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai
beserta pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang amat
berbahaya itu!
Demikianlah,
kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya
mengunjungi Puteri Khamila, pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak
ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri ke arah rumah
para penduduk dusun. Kedatangan dua orang tua itu menarik perhatian karena
dusun itu memang agak terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi
karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu kelihatan juga
tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tak terlalu menaruh perhatian.
Akhirnya dua
orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang
terdapat di dusun itu. Dengan sikap hormat pemilik warung mempersilakan mereka
duduk.
Mereka
duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai melindungi kepala dari terik matahari
siang itu kemudian mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil
membuka kancing baju bagian atas. Hari itu memang agak panas, apa lagi kalau
orang melakukan perjalanan mendaki bukit itu. Mereka memesan arak dingin.
Sambil menghidangkan
arak kasar, pemilik warung itu pun bertanya, "Agaknya ji-wi baru datang
dari tempat jauh?"
Dua orang
kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang di antara mereka
bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling,
membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan, sungguh pun dia
bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang
juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya.
Ada pun
kakek ke dua yang usianya sebaya, bertubuh tinggi besar dan suaranya besar
lantang, kelihatan kokoh kuat walau pun dia berusaha menutupi keadaannya itu
dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut.
"Kami
memang telah melakukan perjalanan jauh," jawab Si Mata Juling.
Pada saat
itu, ada seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat
anak ini, pemilik warung tersenyum dan menyambutnya dengan ramah,
"Thian
Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?" tegurnya ramah.
Anak itu
memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun
mengenalnya dan sayang kepadanya. Walau pun anak ini tahu benar bahwa dia masih
keturunan kaisar dan raja, dan bahwa sesungguhnya orang-orang dusun itu tidak
berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan
membiarkan semua orang memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap
anak-anak lain.
Ayah
bundanya juga tidak pernah merasa keberatan, karena memang ayahnya hendak
menyembunyikan keadaan dirinya sehingga tidak ada seorang pun tahu bahwa
ayahnya adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu,
dan ayahnya hanya dikenal sebagai Ceng-siauwya atau tuan muda Ceng karena semua
orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani biasa saja.
"Paman
A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu sedang kehabisan
tao-co," katanya sambil menyerahkan panci kecil.
"Baik...
baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam,"
kata pemilik warung sambil tersenyum ramah.
Sementara
itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa
mempedulikan anak itu lalu bertanya, "Eh, A-coan, kami ingin bertanya
sesuatu padamu"
Mendengar
nada suara yang agak sombong ini, Si Pemilik Warung menengok dengan alis
berkerut. Tidak biasa penghuni dusun mendengar nada suara yang sombong seperti
itu, apa lagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya disebut oleh
Thian Sin tadi.
"Hemmm,
bertanya tentang apakah!" jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik
warung ini, seperti para penghuni lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi
sehingga cara bicara mereka pun agak kasar sungguh pun kekasaran itu
berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan.
"Di
dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?"
Pemilik
warung itu terkejut bukan main, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak
melihat betapa Thian Sin sudah keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co,
dan anak itu kini memandang dengan mata terbelatak dan jantung berdebar. Siapa
lagi yang dimaksudkan oleh orang itu kalau bukan ayahnya. Hanya ayahnyalah
pangeran di dusun itu, akan tetapi mengapa disebut pemberontak?
"A-coan,
demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, di manakah rumah pangeran
pemberontak itu?" kata Kakek Mata Juling dengan suara meninggi.
A-coan,
pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata
penuh keheranan dan penasaran.
"Apakah
ji-wi sudah gila?" tanyanya dengan marah, "Di dalam dusun kami ini, mana
ada seorang pangeran, pemberontak pula? Yang ada hanyalah petani-petani yang
bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang bukan-bukan!"
Tiba-tiba Si
Mata Juling yang kelihatan lemah lembut itu menggebrak meja.
"Krakkk!"
Ujung meja
segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman
telapak tangannya. Kemudian, sekali dia bergerak, Si Mata Juling itu sudah
meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat, dia telah mencengkeram punggung
baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu
melotot dan menjadi makin juling.
"Kau
berani mengatakan kami gila? Ehh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu
itu, atau ingin kuhancurkan seperti ujung meja itu?" Si Mata Juling
mengancam.
Tentu saja
tukang warung itu menjadi ketakutan. Mula-mula dia hendak melawan, akan tetapi
ketika dia tahu betapa tubuhnya tidak mampu bergerak dan cengkeraman itu amat
kuat, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai.
"Maaf...
maafkan saya..." katanya gugup.
"Katakan
dahulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!" Si
Mata Juling berkata dengan suara penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram
tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan kiri.
"Plak!
Plak!" Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak,
bibirnya pecah berdarah.
"Hayo
katakan!"
Akan tetapi,
tepat pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah
menerjang ke depan, memukul ke arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling
terkejut bukan kepalang karena pukulan itu tidak boleh dipandang ringan,
melainkan pukulan yang cukup keras sehingga mungkin saja dapat mendatangkan
rasa nyeri, bahkan luka dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan
menangkis pukulan anak itu.
"Dukkk!"
Tubuh Thian
Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu amat terkejut
karena dia merasa lengannya agak tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu
mengandung tenaga dalam!
"Ehh,
bocah setan, siapa kau?!" bentaknya.
"Manusia
kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!" Thian Sin berkata,
wajahnya yang tampan itu berubah merah, matanya yang bening indah itu
bersinar-sinar. "Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku! Kalian
mau apa"
Dua orang
kakek itu saling pandang dan nampak girang sekaligus terkejut. Anak itu masih
kecil, paling banyak baru sepuluh tahun usianya dan tubuhnya sedang, malah agak
kurus, kulit mukanya halus bagaikan kulit muka anak perempuan, nampaknya lemah
lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa
sinkang!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment