Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 02
SIAPAKAH dua
orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga
di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja
dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti, untuk pergi menyelidiki dusun di mana
kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua
orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa.
Mereka
adalah tentara-tentara kasar yang sudah biasa melakukan perbuatan
sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka
berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang
hendak mereka selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali.
Di dusun itu
mereka bersikap kasar, sebab mereka memandang rendah kepada pangeran yang
kabarnya pemberontak itu. Kini, mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran
yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan
juga kaget.
Sebenarnya
dua orang perwira tinggi ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, maka
mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun sudah mempunyai kedudukan,
hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku,
maka terhadap A-coan mereka pun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu
mengaku. Namun kini, sikap mereka lain ketika menghadapi anak itu.
“Eh, bocah
lancang, jangan main-main kau!” kata Si Tinggi Besar muka hitam. “Kami tidak
mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?”
“Ayah she
Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam
mau apakah mencari Ayahku?”
Dua orang
itu girang bukan kepalang. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap
ayahmu yang memberontak!”
Sungguh Si
Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan
menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya
untuk menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama
sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah
mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya.
Akan tetapi,
mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah
terlalu percaya kepada diri sendiri, karena itu mereka berpikir bahwa kalau
mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan
selain naik pangkat tentu akan menerima banyak hadiah.
Sementara
itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian
Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi amat marah. “Ayah bukan pemberontak,
kalian bohong dan jahat!”
Dia lalu
menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara
anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar
dicari tandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya
dia masih akan menang.
Akan tetapi
yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah mempunyai
kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapa pun cepat dan kuat serangannya
itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah
menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.
“Plakkk!”
Lengan
tangan Thian Sin yang kecil mungil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan
besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin mempergunakan
sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang
memegangnya.
Cepat sekali
pukulan ini sehingga Si Tinggi Besar berteriak kaget. Tangannya kesemutan karena
yang terkena pukulan adalah tepat pada sambungan siku bawah, maka tentu saja
pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan
memutar ke belakang!
“Bocah
setan!” Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main.
Sambil
mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah
Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu
luput, mengenai tempat kosong karena anak itu sudah menggeser ke tempat lain
secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi
kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya.
Dengan
kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin
hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang
mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Akan tetapi anak itu
sulit sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya
bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke
sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran.
Tidaklah
aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah
yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya.
Melihat
kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan
mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih
kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah
dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini.
Akan tetapi,
betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk
mengatur langkah-langkah secara cukup sempurna bagi orang dewasa, maka tentu
saja langkah-langkahnya kurang lebar dan sekarang dicegat oleh Si Mata Juling,
akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si
Mata Juling!
“He-heh-heh,
engkau hendak lari ke mana, anak pemberontak?” Si Mata Juling mengejek dengan
bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu. “Hayo cepat ajak
kami ke rumah orang tuamu!”
Meski pun
dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri,
namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu
membentak, “Aku tidak sudi!”
“Ehhh, bocah
setan! Apakah kau sudah bosan hidup?” Si Mata Juling mengancam sambil
memperkuat cengkeramannya.
“Siapa takut
mampus?!” Thian Sin juga membentak.
Melihat ini,
A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di hadapan Si Mata Juling dan
berkata dengan suara memohon, “Harap ji-wi tidak mengganggu dia… apa bila ji-wi
ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar…”
“Paman
A-coan!” Thian Sin membentak.
Akan tetapi
Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh
ancaman. “Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!”
Kemudian dia
mengerahkan sedikit tenaga sehingga membuat pemilik warung itu meringis
kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya.
“Baik… baik…
tidak bohong… tidak bohong…”
Dua orang
kakek itu kemudian keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh
A-coan sambil memegang lengannya, ada pun Si Mata Juling masih mengangkat Thian
Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, bagaikan orang membawa seekor
kucing saja.
A-coan
menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang
melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lantas mengikuti mereka dari
jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang
setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi
banyak pula yang mencegah niat ini ketika melihat betapa pemilik warung dan
anak itu telah berada dalam kekuasaan kedua orang kakek asing itu sehingga
kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka
mereka hanya mengikuti dari belakang.
Dua orang
kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari
belakang dengan pandang mata penuh kemarahan, sebab tentu saja mereka sama
sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu.
Ketika
rombongan yang diikuti banyak orang ini sampai di pekarangan rumah Han Houw,
nampaklah seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia
terbelalak kaget saat melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek
bermata juling dan pundaknya dicengkeram. Wanita itu bukan lain adalah Lie
Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini.
Dua orang
kakek itu memandang rendah pada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk
sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi.
Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan,
“Inikah
rumah pangeran pemberontak itu?!”
“Saya… saya
tidak tahu pangeran mana… tapi inilah rumah orang tua anak itu…” A-coan berkata
dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar hingga tubuhnya terbanting dan
terguling-guling sampai jauh. Sambil merintih pemilik warung ini lantas
tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni
dusun yang sekarang berdiri menonton di luar pekarangan.
Mendadak
nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang
mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas,
berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata
Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan
dahsyatnya!
Bukan main
kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia mempergunakan tangan kanan
untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu pula, Thian Sin yang
melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat pula betapa tangan kanan kakek
itu sudah tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya.
“Dukkkk!”
dengan tepat sepatu kecil itu menghantam hidung yang agak pesek itu dengan
cukup keras.
“Auhhh…!” Si
Mata Juling terkejut sehingga cengkeramannya terlepas.
Thian Sin
langsung meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw
Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya
berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat
menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi
tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan.
“Ngekkk!”
Cepat sekali
gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak lagi
sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung
sepatu Ciauw Si.
“Aduhhh…!”
Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas.
Kini dua
orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur
dari hidungnya, sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang
tertendang. Mereka marah dan malu bukan main.
“Srattt!
Srattt!”
Keduanya
menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw
Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu
tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda.
“Ibu, mereka
ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!” Thian Sin berkata sambil
menuding ke arah dua orang kakek itu.
Ciauw Si
terkejut sekali. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat sehingga pemberontakan
suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut
orang, pikirnya. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang.
“Kau
mundurlah,” bisiknya dan kini dia menghadapi kedua orang kakek itu, memandang
tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan
mereka.
“Siapakah
kalian? Dan apakah keperluan kalian datang ke sini?” dia bertanya kepada dua
orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu.
Akan tetapi
dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagai mana
pun juga, mereka masih terlampau memandang ringan kepada nyonya muda yang
cantik itu. Mereka telah dibikin malu di hadapan banyak orang, yaitu para
penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi amat
penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab.
Bahkan sebaliknya mereka lantas mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor
biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan
golok diputar dan dibacokkan!
Tentu saja
para penghuni dusun memandang dengan muka pucat. Meski mereka semua dapat
menduga bahwa tetangga mereka itu bukanlah orang-orang dusun sembarangan, akan
tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi
mereka melihat betapa nyonya itu dapat ‘terbang’ bagaikan burung, akan tetapi
kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti
itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara
itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil
ayahnya yang dia tahu berada di ladang!
Para
penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa
nyonya cantik itu dengan sangat mudah mengelak dari sambaran dua batang golok
yang berupa dua gulung sinar putih itu. Ke mana pun golok membacok, selalu
hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlalu gesit dan ringan sehingga
gerakannya jauh lebih cepat dari pada sambaran dua batang golok.
Lie Ciauw Si
adalah cucu luar sekaligus juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah
mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in Kun-hoat
yang terdiri dari delapan jurus dan Thai-kek Sin-kun yang penuh dengan
jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan sudah menguasai ilmu silat
pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai.
Maka, menghadapi serangan kedua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan
baginya.
Dia
membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya. Setelah mengelak dan
berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba saja
dia lantas mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang
penyerangnya.
Gerakannya
luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh para penonton, bahkan dua orang
itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja
tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok pada tangan mereka terlepas dan
sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan
kepala pening dan mata berkunang-kunang!
“Isteriku,
jangan membunuh orang…!” Tiba-tiba terdengar suara mencegah.
Ciauw Si
yang telah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok.
Kiranya Han Houw dan Thian Sin sudah berada di situ. Han Houw mengerutkan
alisnya ketika dia memandang kedua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu.
Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar
pekarangannya, maka dihampirinya mereka.
“Harap
saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di
sini, hanya ada sedikit kesalah pahaman.”
Mereka semua
amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong
mereka, maka sesudah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai
celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu.
Sesudah
semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih
duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa
sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apa lagi kini suaminya sudah
datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik, ada pun fihak atasan sudah
mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga
yang sakti!
“Hemm,
kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing
keributan?”
Dua orang
itu sudah mati kutunya sehingga tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling
berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut
oleh temannya yang tinggi besar.
“Harap
paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan… apakah… apakah paduka Pangeran
Ceng Han Houw…?”
“Hemmm,
kalau betul mengapa? Kalian mau apa?” tanya Han Houw sambil memandang tajam.
“Ampun…
ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di
sini… dan… ahhh, hamba berdua telah lancang karena tidak menyangka bahwa
betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar… mohon ampun…”
Diam-diam
Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng ingin menyelidikinya? Dia
lalu mengerutkan alisnya. “Mengapa kalian disuruh menyelidiki?”
“Hamba…
hamba tidak tahu… hanya ada utusan dari kota raja yang memerintahkan kami
berdua untuk menyelidiki…”
Han Houw
merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua
orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut
yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang terhadap sesamanya yang
lebih rendah. Hanya orang-orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita
ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang.
“Pergilah
kalian!” katanya.
Ketika dua
kali kakinya bergerak, maka tubuh dua orang itu pun terpental dan bergulingan
sampai keluar pintu pekarangan! Mereka segera bangkit sambil merangkak-rangkak,
lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor
anjing dipukul!
Melihat ini,
Thian Sin bertepuk tangan. “Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut
ditendangi!”
Han Houw
memegang lengan puteranya, cepat ditariknya masuk ke dalam rumah. “Thian Sin,
tadi ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera
dan takut, akan tetapi sebenarnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah
cukup banyak kekerasan membuat kami dulu hidup menderita, karena itu engkau
ingat baik-baik, jangan sekali-kali kau menggunakan ilmu silat untuk melakukan
kekerasan. Mengerti?” Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan
takut, maka dia pun mengangguk.
Pada malam
hari itu, sesudah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw
mengajak isterinya bercakap-cakap mengenai peristiwa itu.
“Aku
khawatir peristiwa belasan tahun yang lalu akan terulang,” Ciauw Si berkata
sambil menarik napas panjang. “Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan
menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang
mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu? Apa
yang menimbulkan bencana ini?”
Ceng Han
Houw mengerutkan kedua alisnya. “Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk
menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan
kalau terpaksa kita harus tidur bergantian.”
“Ya, dan
terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita.”
Akan tetapi
malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka
gelisah. Dan menjelang pagi, pada saat mereka masih duduk di atas pembaringan
sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang
terlatih baik itu menangkap sesuatu.
Bagaikan
disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan,
kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka
lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah,
sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya.
Hati Ciauw
Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tertidur nyenak, dan
dia lalu duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia
mendengar suara bising di luar, seperti ada orang bertempur di arah ruangan
depan, dia pun cepat-cepat membangunkan puteranya.
Sebagai
seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela
diri yang tinggi tingkatnya, maka begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan
sudah sadar benar, sepasang matanya menatap wajah ibunya, ada pun telinganya
segera menangkap suara tidak wajar di luar itu.
“Apa yang
terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?”
“Sstttt,
kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan
tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini.” Ciauw Si segera menggandeng
tangan puteranya dan mereka lalu berlari keluar.
Sementara
itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan
gerakan sangat ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan
rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup
menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan
cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu.
Ketika dia
memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan
terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari
kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa
macam ular sendok, dan ada pula yang membunyikan ekornya dengan suara berderik.
Han Houw
maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena
gigitannya, kalau tidak mendapat obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa
akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau pun kaget, melainkan marah
sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu
banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja
melepasnya di situ.
Ular-ular
itu menerjangnya dari bawah. Han Houw cepat mencabut pedang lantas dengan
beberapa kali gerakan pedangnya, keenam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh
putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biar pun Han Houw sudah kehilangan
sebagian besar tenaga sinkang-nya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu
lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apa lagi dia memegang
sebatang pedang.
“Wirrr…!
Siuuuuuttt…!”
Han Houw
memutar pedangnya.
“Tringg!
Tringgg…!”
Beberapa
batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak
ronce-ronce hijau bergoyang-goyang pada ujung senjata kecil itu yang tidak ikut
masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw
terkejut lantas berkata lantang,
“Hemm,
bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!”
Jeng-hwa-pang
(Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dulu pernah menjadi
perkumpulan yang amat terkenal dan juga amat ditakuti orang. Pernah merajalela
sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar.
Dulunya
perkumpulan ini didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sianjin, seorang tokoh besar
Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh
di daerah perbatasan itu, lalu mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun
paling hebat itu dan menjadi ahli racun.
Ketika
Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki
pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam. Akan
tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang kini dipimpin oleh ketua mereka yang bernama
Gan Song Kam, yaitu salah seorang murid Jeng-hwa Sianjin, diobrak-abrik oleh
Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu kehilangan
pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw.
Apa lagi
sesudah ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu dapat
dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh
dendam atas kehancuran perkumpulan mereka, dan dendam ini ditujukan kepada Ceng
Han Houw.
Seperti
diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini
pernah mengakibatkan kemunculan seorang tosu bernama Tok-siang Sianjin Ciu Hek
Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama mendiang Jeng-hwa
Sianjin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada
Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri.
Kini,
melihat kemunculan orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah
melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul
senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw menjadi terkejut
dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang.
Tiba-tiba
terdengar suara gedebrugan keras, lalu dari pintu-pintu dan jendela berlompatan
masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri ada pun
tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang nampak
berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu langsung
mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan
terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai
dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan
seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas.
Han Houw
terkejut juga ketika menyaksikan ketangkasan serta kerapian gerakan mereka yang
demikian teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian
tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan
dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa
heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan
Jeng-hwa-pang.
“Siapa
kalian?!” dia membentak.
Seorang di
antara mereka yang berada di hadapannya, menjawab dari balik perisainya,
“Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan semua dosa-dosamu terhadap
Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!”
Setelah
berkata demikian, tujuh orang itu segera bergerak, berjalan atau setengah
berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama
dan saling susul.
Melihat ini,
Han Houw menjadi marah bukan main. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan
orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, akan tetapi yang sama
sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang sudah
dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya
sendiri yang sudah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan
tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia
datang berkunjung?
Hampir dia
tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama
raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan
dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik
apa bila dia berada di tempat yang sempit, maka dia kemudian menerjang ke kanan
dengan maksud membobolkan kepungan itu sehingga dia dapat meloncat keluar, ke
pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk
menghadapi kepungan itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja tujuh buah perisai membentuk benteng baja diikuti tujuh buah
golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke
tengah ruangan di mana dia dikepung ketat!
Pada saat
itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Begitu melihat
suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan
melihat pula bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si
terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya.
“Keparat,
kalian datang mengantar nyawa!” bentak Ciauw Si.
Dia pun
segera menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan
Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang
menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu.
Melihat
munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan
selamat, hati Han Houw menjadi tenang dan dia pun sudah menerjang dari dalam
sambil memutar pedangnya!
Tujuh orang
itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari
Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Mereka sudah melatih diri dalam barisan Jit-seng
Twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar
sekali dikalahkan lawan.
Akan tetapi,
keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli apakah
lawan itu seorang atau pun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan
juga bisa mengadakan perubahan-perubahan yang tak terduga-duga oleh lawan
membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi selama ini
mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang menyerang secara serentak
atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan!
Dan lebih
lagi, kini yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian
silat yang sangat tinggi sungguh pun tenaga sinkang-nya banyak berkurang
sesudah dia menderita sakit dan karena itu kepandaiannya menurun lebih
setengahnya. Dan lebih lagi, karena kini di luar kepungan terdapat seorang
wanita sakti yang juga turut mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua
Cin-ling-pai, bahkan sudah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu,
maka tentu saja mempunyai ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu
yang dimiliki oleh tujuh orang anggota Jit-seng Twa-to-tin itu.
Maka kini
tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin
untuk mengatur barisan, akan tetapi tujuh orang itu menjadi sibuk sekali karena
menghadapi serangan-serangan dahsyat, baik dari dalam mau pun luar barisan,
terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk ketika melihat suaminya
dikepung,.
“Crokkk…!
Aughhhh…!”
Pedang Ciauw
Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher
pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika.
Melihat ini,
terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas
walau pun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan
panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk
menggerakkan pedang mereka sehingga dalam waktu singkat saja enam orang itu
telah roboh semua.
Ciauw Si
merobohkan seorang di antara mereka tanpa mempergunakan seluruh tenaga hingga
pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah
mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena
yang enam lainnya sudah tewas semua!
“Ayo lekas
katakan yang sebetulnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang
kami?!” bentak Ciauw Si.
Akan tetapi
orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak
memaksanya, dia terkejut bukan kepalang melihat orang itu sudah kaku dan mati!
Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh
terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat.
Dia tahu
pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh
orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata setelah melihat semua
temannya tewas, orang yang terluka ini lalu membunuh diri!
“Tidak
perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk
menangkapku, hidup atau mati!” kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.
“Apa?
Pamanmu sendiri?” Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.
“Lebih baik
kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!” katanya dan dia cepat memanggil para
tetangga.
Mereka
menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular
berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah
perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu
sudah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur
jenazah-jenazah itu.
“Sekarang
aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar,” kata Han Houw
setelah semua jenazah selesai dikubur.
“Maksudmu?”
Ciauw Si bertanya.
“Mereka itu
adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga
mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja
Agahai. Jadi tepatlah dengan ramalan mendiang Yok-sian dulu bahwa kita tak
boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya mala petaka.”
“Tetapi
mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap
amat baik.”
“Sikap
palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan
merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar
bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan
memberontak kembali lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan
kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang
Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku.”
“Ah, dan dia
tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!” kata Ciauw Si. “Demikian pula
tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar.”
“Hemmm,
boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!” kata
Han Houw dengan marah.
“Aku pun
tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayatku. Akan
tetapi kita harus mengingat Thian Sian…”
Diingatkan
akan hal ini, Han Houw langsung termangu-mangu dan memandang kepada putera
mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu
dengan penuh perhatian.
“Aku pun
tidak takut!” kata anak itu.
Ciauw Si
tersenyum bangga dan merangkul puteranya. “Engkau tidak takut, akan tetapi kami
khawatir, Thian Sin.”
“Dia harus
pergi dahulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana…?” Han Houw
berkata, dalam suaranya terdengar penuh sesal.
Baru kini
dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak memiliki siapa-siapa
lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka adalah keluarga yang
sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, malah
keluarganya sendiri kini memusuhinya.
“Ah, kenapa
tidak ke tempat Seng-koko saja?” tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw
berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri.
“Ah, mengapa
aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia
ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan
juga untuk mendidiknya!”
“Bagus, aku
pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana,” kata Ciauw Si.
“Aku tidak
mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!” Tiba-tiba Thian Sin berkata pula
dengan lantang.
“Thian Sin,
engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibumu! Kami tahu apa yang baik
untukmu!” bentak Han Houw.
“Ayah dan
ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?”
Thian Sin merengek.
Ibunya sudah
merangkulnya sambil berkata dengan halus, “Thian Sin, jangan berkeras. Kami
mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan
mati pula bersama kami, habis bagaimana?”
“Siapa yang
akan mati? Kita tak akan mudah mati begitu saja!” Han Houw berkata keras.
“Pendek kata, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan
menghadapi musuh-musuh yang sangat banyak, kami tidak akan dapat leluasa
melawan kalau harus melindungimu di sini.”
Akhirnya
Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang
laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang
petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada
pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek
itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja,
menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, kemudian menyerahkan surat dan Thian
Sin kepada hwesio itu.
Sambil
menangis Thian Sin berpamit kepada ayah bundanya, dan pada pagi hari itu juga
pergi meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya.
Setelah anak itu pergi jauh sehingga tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si
yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil
menangis.
Sejenak Han
Houw membiarkan isterinya menangis, kemudian mengelus rambutnya dan mengajaknya
memasuki rumah untuk duduk di ruangan dalam. “Sudahlah, isteriku, tidak perlu
kita bersedih, bahkan kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari
ancaman bahaya.”
“Suamiku,
apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan
dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara
mau pun dari selatan?”
Ceng Han
Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. “Tidak!” Namun dia lalu
menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan sangat pucat. “Dengar
baik-baik, isteriku sayang, tidak sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata
karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku
adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan
diri, apa lagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke
dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk
melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di
selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu
akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi
buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan
tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat
terbuka ini.”
Ciauw Si
tidak berkata apa-apa lagi, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air
matanya membasahi baju di dada suaminya.
“Isteriku,
tak seharusnya engkau terancam bahaya bersamaku. Sudah terlampau banyak aku
menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karena aku. Dan baik
Raja Agahai mau pun kaisar tidak memusuhimu. Karena itu engkau pergilah
menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku.”
“Tidak!”
Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras sambil merenggutkan badannya dari rangkulan
suaminya. “Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau bisa
berkata demikian? Ahhh, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?”
Han Houw
cepat memeluknya. “Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku
meragukan kesetiaanmu, melainkan aku… aku tidak ingin melihat engkau tewas
dalam membelaku. Aku… aku ingin agar engkau hidup terus… demi anak kita…”
Ciauw Si
balas merangkul. “Tidak! Aku harus selalu berada di sampingmu, hidup atau mati!
Tentang anak kita… di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya.”
Han Houw
mengenal kekerasan hati isterinya, maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam
keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa
mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan
ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau
saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin
baru saja.
Lewat tengah
hari terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan
Lie Ciauw Si segera maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati
gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah
tenang mereka berdua lantas keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap
mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang.
Pasukan
berkuda itu datang dari sebelah timur, berbondong-bondong memasuki pintu
gerbang dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam
yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw,
dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan
tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek.
Mereka ini
juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan
tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat,
pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian tokoh pengemis di dunia
kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar
Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota
raja.
Orang ke dua
adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka
hitam sekali namun leher serta kedua tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai
berusia enam puluh tahun lebih, sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih sepuluh
tahun lebih muda dari suheng-nya.
Dahulu Hwa-i
Kai-pang adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan
tetapi semenjak Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa,
pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik dibandingkan Kaisar Ceng
Hwa, maka kaisar baru ini lalu mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Baju Kembang) sehingga kini dapat mempergunakan tenaga tokoh-tokohnya yang
berilmu tinggi.
Melihat
pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu pula oleh
dua orang pengemis tua yang melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han
Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan isterinya itu diam-diam
sangat terkejut sungguh pun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah
bukan main melihat betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw.
Sebelum
mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh lalu dari
pintu gerbang sebelah barat nampaklah debu mengepul disusul masuknya puluhan
orang prajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh
orang prajurit itu adalah prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh besar dan
berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, yang dipimpin
oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok.
Akan tetapi
yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat
perwira pasukan itu, yaitu seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka
pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah
Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam
kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya.
Mengertilah
dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal
menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan
golok yang menyerangnya malam tadi. Sekarang makin yakinlah dia akan tepatnya
dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang
timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja
Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang
berkhianat.
“Kalian ini
pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng,
ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?” Terdengar suara Ceng Han Houw
membentak lantang.
Suara
pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng mau pun
tentara Raja Agahai, sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang
disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago
nomor satu yang tak terkalahkan di dunia ini!
Menurut
kabar, satu-satunya orang yang sanggup mengalahkannya hanyalah Pendekar Lembah
Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Karena itu, tentu saja di dalam
hati mereka merasa gentar juga, apa lagi karena mereka mendengar bahwa isteri
pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main.
Akan tetapi,
Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, termasuk juga Tok-ciang Sianjin Ci Hek
Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, sekarang melangkah maju dengan
sikap mengancam.
“Ceng Han
Houw, engkau pemberontak hina, lekas menyerahlah atau terpaksa kami akan
membunuhmu!” kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya
di depan dada.
“Ceng Han
Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kau bayar, tapi
sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya
kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!” kata Tok-ciang Sianjin pula
sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan
melingkar-lingkar.
Cambuk itu
terbuat dari bahan baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak,
merupakan senjata yang sangat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini, terlebih lagi
karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan
sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun
yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang luar biasa keji. Memang
Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan
racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan
kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang
Jeng-hwa-pang saja.
Ceng Han
Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. “Hemm, sekali
ini kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu
denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul
bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau
memang memiliki kepandaian dan berani, kalian majulah!”
Mendengar
tantangan ini, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi marah sekali dan dia
mengeluarkan teriakan nyaring lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya
sehingga terdengar suara meledak-ledak pada saat ujung cambuk itu mematuk ke
arah kedua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali!
Akan tetapi,
biar pun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sinkang-nya, ilmu
kepandaiannya masih lengkap dan dia bisa mengenal kedahsyatan serangan ini.
Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk.
Cambuk itu
membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya
meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal ini pun sudah diduga
oleh Han Houw, maka dia pun sudah mencabut pedangnya dan menangkis.
“Tringgg…!”
Terdengar
suara nyaring sekali pada saat pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api
berhamburan. Sinar api ini seakan-akan merupakan isyarat bagi mereka semua,
karena dengan suara gemuruh, para anggota pasukan sudah menyerang, didahului
oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu
yang telah menerjang Lie Ciauw Si.
Nyonya muda
ini sudah mencabut Pek-kong-kiam hingga nampak sinar putih bergulung-gulung
ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek
tokoh Hwa-i Kai-pang itu kemudian sekaligus membalas dengan dua kali tusukan
yang berkelebat seperti kilat menyambar.
Dua orang
kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu memainkan Ilmu
Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang merupakan andalan
para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagahnya Ciauw Si lantas menghadapi
mereka dan memainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu
kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu pedang yang sangat indah dipandang akan tetapi
mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan.
Seperti
namanya, Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) sesungguhnya adalah ilmu
pedang yang dimainkan dengan pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang sangat
hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong,
kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari
semacam kayu cendana yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan
dikenal di seluruh dunia kang-ouw.
Kini, cucu
perempuannya mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, walau pun tidak selihai
kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang ini membuat dua orang tokoh
Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut hingga seketika terdesak mundur. Akan tetapi,
pasukan yang berada di belakang mereka lantas maju mengepung, bersama pasukan
Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok.
Suami isteri
itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dalam sebuah pertempuran yang
sebetulnya berat sebelah, akan tetapi sekaligus juga mengerikan melihat betapa
suami itu mengamuk laksana sepasang naga sakti. Ke mana pun pedang mereka
berkelebat, maka robohlah seorang pengeroyok sehingga sebentar saja halaman di
depan pondok itu telah banjir darah dan mayat-mayat berserakan.
Suara
orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu, dan
sepasang suami isteri itu sendiri pun tak terluput dari luka-luka yang terdapat
pada hampir seluruh tubuh mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka,
mereka masih bisa terus bertahan dan hanya menderita luka-luka ringan saja.
Andai kata
Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sinkang-nya, jika hanya dikeroyok hampir
dua ratus orang pasukan itu, kiranya dia beserta isterinya akan dapat
menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka! Akan tetapi
sayang baginya, tenaga sinkang-nya sudah banyak hilang setelah dia sembuh dari
sakit akibat luka dalam yang sangat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal
sedikit. Meski pun ilmu silatnya masih lihai, namun karena tenaga sinkang-nya lemah,
hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang mantap
sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si.
Tok-ciang
Sianjin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang sangat tinggi
ilmunya, bahkan dia masih menang setingkat dibandingkan dengan Ciauw Si! Meski
pun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum pangeran ini
menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh
jurus saja!
Kini, biar
pun dia telah dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu
silatnya yang aneh sedemikian rapatnya sehingga sekian lamanya belum juga dia
mampu merobohkan pangeran ini biar pun tubuh pangeran itu sudah menderita
banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh
pedang pangeran ini!
Di lain
fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas dari pada suaminya. Dia telah
merobohkan tiga puluh orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi,
gerakannya makin menjadi lemah karena dia pun sudah menderita banyak luka
seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Pada saat dia
menengok dan melihat keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si
pun mengeluh.
“Suamiku,
jangan kau tinggalkan aku…!” dia berseru lirih.
Seruannya
ini terdengar oleh Han Houw yang cepat memutar pedangnya membuka jalan darah
untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini maka dia
pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi
musuh sambil beradu punggung, dengan saling menjaga, dan memutar pedang di
depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan atas. Suami
isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, meski pun keduanya sudah tahu
dengan pasti bahwa mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun
mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin melawan sampai akhir.
“Ciauw Si…
isteriku…” Han Houw merintih ketika untuk kesekian kali pundaknya tertusuk
tombak lawan. Dia membabat dan seorang prajurit yang menusuknya itu roboh.
“Pangeran…
suamiku…” Ciauw Si juga merintih karena pahanya kembali kena disambar tongkat
sehingga rasanya seperti patah tulangnya.
Dia menusuk
ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia cepat
membalik maka robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia
terguling karena kakinya yang kiri tidak dapat dipakai berdiri lagi.
“Si-moi…!”
Han Houw berseru.
Dengan
tangan kiri dia merangkul isterinya, dan tangan kanannya masih diputarnya untuk
melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun lalu
menggerakkan pedangnya untuk menangkis ke kanan kiri dan ke atas.
Hebat bukan
main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlalu
banyak dan luka-luka mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan
darah segar hingga membuat mereka merasa lemas sekali. Kini mereka berdua tidak
lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu
menangkis terus menerus.
Akan tetapi
tentu saja tenaga mereka semakin lama semakin lemah dan habis sehingga
tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi. Mulailah mereka menerima
bacokan atau tusukan senjata tajam dan beberapa kali terpukul oleh tongkat.
Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu mempertahankan diri lagi.
Wajah mereka
pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka mereka
dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di
tangan dan nyawa sudah melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan,
karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang luar biasa ini
benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir.
Sesudah
berhasil membunuh suami isteri itu, para anggota pasukan, baik pasukan Raja
Agahai mau pun pasukan Kerajaan Beng, bersorak-sorai dan mulailah terjadi
kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa ‘pembersihan’ seperti itu.
Mereka lalu memasuki rumah-rumah para penduduk dusun, dan senjata mereka pun
berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa!
Karena
Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu
saja para penduduk dusun yang berada di sana semuanya dianggap sebagai kaki
tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan yang tak kenal kasihan
terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka
perkosa dan permainkan. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya
sangat tenang dan tenteram itu.
Lewat tengah
hari, para pasukan itu mulai pergi meninggalkan dusun sambil membawa
mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka
mengeroyok suami isteri itu. Keadaan di dusun itu masih memperlihatkan jejak
kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda penduduk dusun itu berserakan,
darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang
melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga
mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan.
Akan tetapi
akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak akan ada
gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek serta wanita-wanita muda korban
perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat
itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si
mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk
menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat
mungkin semua kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang
ada, amat sederhana dan tipis.
Pada esok
harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti
mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari
memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk
mengantarnya. Ternyata, setelah tiba di tengah jalan, anak itu tidak dapat
menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang
menariknya.
Ketika
melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi
peti-peti mati yang berjajar memanjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah
pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu,
satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, “Ayaaah…! Ibuuu…!” Dan
berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil.
“Ayaaaah…!
Ibuuuuu…!” Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat keadaan di
dalam rumah orang tuanya yang berantakan, juga di sana-sini nampak darah dan
bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar kembali sambil
berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lantas
berteriak kepada mereka dengan suara parau,
“Di mana ayah
dan ibuku?”
Seorang
wanita menjerit dan maju menubruknya. “Ayahmu… Ibu…”
Dia tidak
dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua
buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah.
Sepasang
mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk,
kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri,
matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip menatap kepada dua peti itu,
bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidak
percayaan,
“Ayahku…
Ibuku… mereka… mereka tewas…?”
Ketika
melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang
bukan main mengerikan karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar
hatinya yang seperti tersayat. Dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan
terguling, pingsan!
Kematian
merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh
siapa pun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Karena
peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar mau pun
pengemis, tak peduli apakah dia itu pendeta mau pun penjahat, maka kita semua
tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap
peristiwa kematian selalu menimbulkan duka?
Duka itu
timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bila mana di
sana terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu
yang kita anggap menyenangkan, yang amat enak sehingga kita tidak ingin
terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat
dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu
direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri.
Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apa bila direnggut oleh
kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih.
Sebagian
besar dari ratap tangis yang ditumpahkan orang di dalam peristiwa kematian
adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan oleh
orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan
kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa
kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu
atau rasa senang dalam hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa
kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan
karena rasa iba diri dari yang hidup.
Kematian
terjadi setiap saat, menimpa siapa pun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan
kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita,
melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya.
Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati.
Tidak ada
kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati
yang terjadi sebagai rangkaian dari hidup adalah sebuah proses yang wajar,
suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari pada senja
hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari
kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan,
menakutkan, penuh rahasia. Kenapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi
kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu?
Karena kita
tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena
kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di
dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang
menyenangkan itu dan kita merasa enggan memasuki sesuatu yang belum kita
ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.
Kematian
adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Makin erat kita
terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan
kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu.
Bukan
kematian yang menakutkan, tetapi perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan
keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan,
dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup kita. Untuk
menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat
kita merasa tak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.
Tidak
dapatkah kita ‘mati’ selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari
segala ikatan batin ini? Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan
kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian, yang tak
mungkin dielakkan itu.
Bukan
berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga,
pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari
ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itu. Kesenangan dan keinginan
untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang
mengikat.
Tanpa
kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara
atau jalan agar sesudah mati kita pun akan senang dan enak! Kita akan mencari
segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah
mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus makin
dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat
makin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah
mati di sana!
***************
Akibat dari
guncangan batin yang sangat hebat, dengan terjadinya peristiwa yang amat
mengejutkan serta menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh
tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia
menderita sakit demam. Dia dirawat oleh para tetangga dan tiga hari kemudian,
setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, maka Thian Sin
bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu.
“Ayah, ibu,
kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!” katanya
berkali-kali.
Setelah
dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh
mendiang ayah bundanya untuk mengantarkannya kepada pamannya yang menjadi
hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat
melanjutkan perjalanan.
“Sebagai
anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi
menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kau
bawa serta,” kata kakek Lai Sui yang sabar.
Akan tetapi
Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan
kitab-kitab yang oleh ayahnya telah diberikan kepadanya, kitab-kitab tulisan
ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu
sudah dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan
dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian
Sin.
“Rumah
beserta semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek.” kata Thian Sin kepada Lai
Sui. “boleh kau pakai dan kau tinggali sampai aku kembali.”
Maka
berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang sangat jauh dan
sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang
di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja.
Akan tetapi
karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak
dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat
dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan untuk
mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek
Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapa pun
juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sejak kecil sudah
digembleng oleh ayah bundanya itu.
Akhirnya,
tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil
Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan
tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah.
Di ruangan
depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan
tenteram. Seorang hwesio berusia tiga puluh tahun yang tengah membersihkan
halaman di sebelah kanan kuil cepat melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk
menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang disangkanya tamu-tamu yang hendak datang
bersembahyang, walau pun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk
bersembahyang.
“Apakah
ji-wi (kalian berdua) akan bersembahyang?” tanya hwesio itu setelah merangkap
kedua tangan di depan dada tanda menghormati, suaranya halus dan sopan.
Melihat
sikap ini saja Thian Sin telah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya
dengan orang-orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata
memandang rendah dan bersikap angkuh pada mereka berdua yang berpakaian seperti
orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah ramah
dan sikap yang sopan, dan memang agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua
tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya.
“Maaf,
Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, tetapi mohon menghadap Hong
San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang,” kata Lan Sui.
Kini hwesio
itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu
memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada
tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab. “Sayang sekali,
Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi.”
Lai Sui dan
Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa yang diikuti irama
ketukan genta kayu yang dipukul.
“Kalau
begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa),”
kata Lai Sui.
“Silakan
duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya
dia lalu duduk semedhi.”
“Biarlah,
Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, dan kami telah melakukan perjalanan
berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya
bagi kami.” jawab Lai Sui sambil tersenyum.
Setelah
mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu pergi meninggalkan mereka
untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil
dan ketika melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu
melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu.
“Omitohud…!
Sepagi ini sudah ada tamu yang datang mencari pinceng?” kata Hong San Hwesio.
“Entah dari mana gerangan mereka?”
“Teecu juga
tidak tahu, akan tetapi mereka tampak lelah sekali dan mengaku telah datang
dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya.”
“Omitohud…!
Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang sangat penting
sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja,”
hwesio itu berkata dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari
tempat demikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali.
Tidak lama
kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini
memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio menatap penuh perhatian,
dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu
tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan
anak ini.
“Paman,
apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang, menghadap paman
memenuhi pesan ayah…,” kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya
mengandung kedukaan besar.
Disebut
paman oleh anak itu, Hong San Hwesio menjadi terkejut, “Ah, kiranya engkau….”
dia meragu.
“Dua tahun
yang lalu paman mengunjungi kami…”
“Ahh, benar,
engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan
siapakah Saudara ini?”
Lai Sui
memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu, kemudian dengan suara
terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga
anak itu telah tertimpa mala petaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar
dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun.
“Mereka
telah merasa akan datangnya mala petaka, maka mereka telah mengutus saya untuk
mengantar anak ini ke sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini,”
Kakek itu mengakhiri ceritanya. “Ternyata surat ini merupakan pesan terakhir
mereka.”
Tentu saja
Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu.
Sejenak dia terdiam, kedua alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu,
lalu sejenak dia memejamkan kedua matanya sambil berdoa untuk kematian adik
kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan
memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment