Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 14
DUA orang
pengemis itu menjura ke arah Siangkoan Wi Hong. Salah seorang di antara mereka,
yang hidungnya melengkung seperti hidung burung hantu, lalu berkata, “Selamat
berjumpa lagi, Siangkoan-kongcu dan bukankah sam-wi (tuan bertiga) adalah
Pak-thian Sam-liong yang gagah perkasa? Selamat jumpa!” Pak-thian Sam-liong,
tiga orang murid Pak-san-kui menjura dengan hormat.
“Dan selamat
bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!” pengemis ke dua,
yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang
cepat membalas pemghormatan mereka pula.
Diam-diam
mereka pun merasa terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka,
menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin
sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang
diadakan oleh Tung-hai-sian.
Ciang Gu Sik
yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, “Kami merasa terhormat
sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!”
“Akan tetapi
kenapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe
Tung-hai-sian?” So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran
bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi.
“Dan
memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?”
Jawab si hidung melengkung. “Ahh, mana kami berani?”
Han Tiong
dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan
dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah berjumpa dengan orang-orang dari
empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah
orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin!
Akan tetapi
Kong Liang sudah merasa amat marah. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan
memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi,
namun sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling
bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau
dia dianggap sebagai patung atau semut saja!
Di dalam
pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan
kini orang-orang ini pun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa
panas!
“Jalan ini
adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!” kata
Kong Liang.
Dia sudah
melangkah ke depan kemudian menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua
orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan. Dorongannya ini
disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras.
Kedua orang
pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut
tongkat mereka, lalu membentak.
“Hemm,
inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo
lebih dulu kau hadapi kami!” si hidung melengkung membentak sambil melintangkan
tongkat di depan dadanya.
Kiranya
tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya mirip seperti tubuh ular.
Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat dari pada batang tumbuh-tumbuhan di
dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil
dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, yaitu semacam kayu akar bahar yang
kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung
kekuatan mukjijat!
“Akulah Cia
Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan
mengapa memusuhi Cin-ling-pai?”
“Kami adalah
anggota Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang
mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak
dulu Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera
ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian
Locianpwe! Sungguh tidak tahu malu dan bosan hidup!”
“Pendapat
Bu-tek Kai-pang cocok sekalidengan pendapat kami!” kata Siangkoan Wi Hong
dengan girang dan sebagai penambah semangat bagi kedua orang pengemis itu. Kini
hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang
memperkuat fihaknya.
Wajah Cia
Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikit pun juga
dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama
saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut.
“Jembel
busuk lancang mulut. Apa pun yang akan kuperbuat, apa pula sangkut-pautnya
dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian
roboh!”
“Bagus! Kau
coba saja, orang Cin-ling-pai yang sombong!” Dua orang pengemis itu sudah
menggerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri.
Kong Liang
tidak mau memberi hati, karena itu pemuda perkasa ini pun sudah mencabut
Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya sehingga nampak sinar emas
bergulung-gulung.
Seperti
sebagian besar dari pada anggota Bu-tek Kai-pang, dahulu dua orang pengemis ini
merupakan tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia
Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian
Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan kemudian
menguasai seluruh pengemis, bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu
dijadikan pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah
selatan menjadi anggota Bu-tek Kai-pang.
Jumlah
mereka tidak banyak, hanya ada dua puluh empat orang karena Lam-sin tak mau
mengambil pengemis sebagai anggotanya tanpa diuji dahulu. Ujian yang sangat
berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah
yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang
untuk seluruh wilayah selatan! Tentu saja, dengan para anggota yang memiliki
kepandaian tinggi itu, maka nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali.
Dan seperti
para anggota lain, dua orang tokoh ini pun amat lihai, terutama sekali dalam
menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari
ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin. Sejenis ilmu tongkat
yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).
Mereka
berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan
Tung-hai-sian. Akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara
keempat datuk, dan selalu ingin merahasiakan dirinya, maka dia pun memesan
kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja!
Baru sesudah
terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka
memiliki pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau
sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai menantu, maka kekuatan
empat datuk akan menjadi retak dan hat itu amat membahayakan mereka sendiri.
Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang.
Akan tetapi,
kali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat
mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut sekali karena lengan
tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat sehingga hampir saja
tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan
mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah
perkelahian yang amat seru!
Han Tiong
memandang dengan ails berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan
permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian
Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah
tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum.
Dia tahu
bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw
yang dulu terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang
jagoan tanpa tanding sehingga pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah
seorang pemuda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Ingin sekali dia
berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya keadaan membuat
mereka harus berdiri saling berhadapan sebagai lawan.
Sementara
itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis
Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena sekarang dua orang pengemis itu
makin penasaran. Mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga, dan juga mengeluarkan
semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Akan tetapi, kiranya
masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat
mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang telah mewarisi kepandaian ketua
Cin-ling-pai itu. Sekarang perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu
semakin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka.
Melihat
betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, maka diam-diam
Siangkoan Wi Hong langsung memberi isyarat kepada tiga orang suheng-nya yang
juga menjadi anggota atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong.
Tiga orang
laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, walau pun
termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang
mempunyai kedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggap rendah
seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka
tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang benar-benar berwatak
jantan atau gagah.
Maka,
melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya
saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak
pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan pada punggung
masing-masing nampak sebatang pedang.
“Ji-wi
Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!” kata salah seorang di
antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu.
“Kami belum
kalah!” teriak seorang di antara kedua pengemis itu sambil mencoba untuk
membalas serangan lawan dengan tongkatnya.
Melihat
kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong merasa dongkol sekali.
Sudah jelas terdesak dan tinggal menunggu mampus saja, mengapa masih berlagak,
pikir mereka.
“Orang she
Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong apa bila engkau memang jagoan!” Mereka
berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu.
Kong Liang
juga amat mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil
merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat.
Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia lalu berseru keras. “Jika
kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya
Pak-san-kui?”
Tantangan
ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya.
“Paman, biarkan
aku yang menghadapi mereka!” katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau
sampai dikeroyok lima!
“Han Tiong,
jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!” jawab Kong Liang tegas, ucapan
yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia
sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata ‘merobohkan’ mereka.
Han Tiong
tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat
Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua
orang kakek pengemis. Karena mereka tadi ditantang, jadi mereka pun tidak
segan-segan lagi untuk mengeroyok!
“Tiong-ko,
di fihak mereka masih ada lainnya, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang
she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau
engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!”
Siangkoan Wi
Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya pada waktu diingatkan
akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di
depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin.
“Ha-ha-ha-ha,
bocah sombong, jika engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau
boleh membuka mulut lebar!”
Akan tetapi
mendadak berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin
sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, “Siangkoan-kongcu, biar aku saja yang
menghadapi dia ini!” Kemudian tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang
dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih!
Thian Sin
cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan.
“Hemm,
kukira engkau sudah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata
sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!”
Akan tetapi
So Cian Ling sudah menyerang kembali sambil berkata, “Orang she Ceng, keluarkanlah
senjata dan kepandaianmu!”
Dara ini
memang merasa amat tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan,
kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di
mana ilmu kepandaian pemuda ini. Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan salah
seorang di antara ketiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang
tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah, ada pun dia sendiri belum
menguji sampai di mana kelihaian Thian Sin.
Oleh karena
itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera
menandingi Thian Sin, biar pun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci
atau memusuhi Thian Sin. Bahkan sebaliknya, dia ingin sekali mengenal Thian Sin
lebih dekat, sebagai sahabat baik!
Akan tetapi
Thian Sin masih tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu
Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya sebagai benda pusaka warisan neneknya. Dan
dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang
perlu dia hadapi dengan pedang.
Dengan
sangat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar
putih itu, dan sambil mengelak dia pun balas menyerang dengan tamparan-tamparan
yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.
“Wuut-wuuut-singgggg…!”
Pedang di
tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar dengan kuatnya.
Akan tetapi Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan pada saat pedang itu
masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya
cepat menangkis.
“Ehhh…?” So
Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin
pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan
itu tentu akan robek atau putus apa bila bertemu dengan pedang pusakanya. Akan
tetapi gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian
Sin.
“Plakkk!”
Dara itu
terpekik dan segera meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat
lunaknya, terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali
tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main.
Tahulah dia
bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sinkang yang tingkatnya sudah amat
tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan
tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat
terluka! Itulah tingkat sinkang yang baginya masih terlalu tinggi dan mungkin
hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu!
“Engkau
hebat…!” katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thlan Sin.
Pemuda ini
merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat
pujian lawannya. Maka dia pun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya
dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru
Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apa
lagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat ginkang dan sinkang
seperti dia!
Ilmu Silat
Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tak mungkin bisa
dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajarinya selama sebulan
saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini sudah memiliki
ilmu-ilmu silat tinggi, terutama sesudah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek
Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat
cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat
membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini sangat
mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji.
Siangkoan Wi
Hong semenjak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa makin tidak
senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han
Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia
ini tak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat
kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan kini, selagi dia ingin
membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya
yang paling diandalkan, didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling
memuji-muji Thian Sin.
“Bocah
sombong!” teriaknya dan dia sudah menerjang maju.
“Plakkk!”
Ujung
yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan
ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan
tenang,
“Saudara
Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?”
Kemarahan
Siangkoan Wi Hong makin berkobar-kobar, “Keparat, siapa takut berhadapan dengan
putera Pendekar Lembah Naga?” Setelah berkata demikian, yang-kimnya lantas
bergerak cepat sekali sehingga mengeluarkan suara berdering dan yang-kim itu
langsung menyambar ke arah kepala Han Tiong.
Dengan
sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu, dengan sangat mudah Han Tiong
mengelak hingga belasan kali sambil diam-diam dia mempelajari gerakan-gerakan
senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan
Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan
amat berbahaya itu.
Sementara
itu, melihat betapa sumoi-nya yang berpedang, yang dia tahu mempunyai ilmu
kepandaian lebih tingi dari pada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak
lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoi-nya itu memuji-muji
lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah.
Diam-diam
perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila pada sumoi-nya,
maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoi-nya tertarik kepada pemuda
ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati. Maka tanpa
banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan
nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang
Thian Sin.
“Suheng!
Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!” Cian Ling berseru kaget melihat
gerakan suheng-nya.
Akan tetapi
Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian
Sin dengan senjatanya. Akan tetapi dengan mudahnya Thian Sin mengelak, malah
dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja
terselaput emas itu membalik sehingga mengejutkan pemegangnya.
Sementara
itu, Cia Kong Liang telah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis
dari Bu-tek Kai-pang bersama tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda
putera dari ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima
orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, maka dia terkepung rapat
oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang
pengemis yang masing-masing memegang tongkat.
Kong Liang
terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang
yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang sangat kuat
dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti
tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima
orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah berhasil menembus benteng
gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu.
Betapa pun
juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk dapat balas menyerang karena lima
orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama
setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga),
dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai.
Juga
pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan
tampaknya seimbang. Padahal, sebetulnya bukanlah demikian. Memang harus diakui
bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan
Wi Hong kini jauh lebih lihai dari pada ketika dia dengan tangan kosong melawan
Thian Sin, bagai seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dia masih kalah jauh
jika dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, terlebih lagi dalam
kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu.
Biar pun Han
Tiong bertangan kosong, akan tetapi jika dia menghendaki, dia akan dapat
mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Namun Han Tiong sama sekali
tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan.
Antara dia
dengan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apa pun, dan dia pun tidak
membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkan dan melukainya? Dia
lebih banyak bertahan saja sambil mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa
melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi
Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali.
Berbeda
dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera
menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia sudah mainkan Pat-hong Sin-kun
untuk menghadapi Cian Ling, sekalian hendak melatih ilmu silat baru ini, dan
begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya
dengan hebat, dia cepat mencoba ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap
Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang.
Begitu dia
mengerahkan sinkang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya sambil mengerahkan
Pek-in-ciang, maka nampaklah uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah
sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih).
Ciang Gu Sik
adalah murid pertama See-thian-ong, sungguh pun tingkat kepandaiannya masih di
bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan
termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa
uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan
untuk menyerang itu membalik!
Pada saat
itu pula Cian Ling telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil
membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan supaya pemuda itu mendapat
peringatan terlebih dahulu sebelum dia menyerang karena majunya suheng-nya yang
mengeroyok ini sudah membuat hatinya tidak enak.
Thian Sin
yang ingin sekali memamerkan kepandaiannya masih tetap mempergunakan
Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah
pedang sehingga pedang itu pun menyeleweng. Akan tetapi Thian Sin masih kurang
pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang akan lebih tepat dan ampuh apa
bila digunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong.
Kini dia
mengandalkan Pek-in-ciang menghadapi dua lawan yang bersenjata, tentu saja
kurang tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan
tangan lawan, sedangkan jika untuk menghadapi senjata tajam yang keras, maka
hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan
akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil melecut pundaknya,
kemudian ujung joan-pian yang digerakkan secara lihai itu terus melilit
lehernya!
“Aihh…!”
Cian Ling memekik kaget dan menahan tusukan pedangnya. Akan tetapi sesaat
kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri.
“Auhhhh…
ahhh, lepaskan…!” Murid See-thian-ong ini terbelalak, napasnya terengah dan dia
terus menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin!
Sungguh
suatu pemandangan yang sangat aneh. Jelas nampak betapa joan-pian itu tadi
mengenai pundak Thian Sin, bahkan ujungnya seperti seekor ular melilit leher
pemuda itu. Akan tetapi mengapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya
malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu?
Ternyata
bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sinkang di dalam tubuhnya tersedot keluar
melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini tentu saja amat mengejutkannya.
Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian itu, maka semakin hebat
pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Hal ini sangat mengejutkan dan
mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan!
Thian Sin telah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar.
“Plakk!”
Tubuh Gu Sik
terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya. Akan tetapi Thian Sin
masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya
yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan
sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya.
Pada saat Gu
Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling sangat terkejut dan dia ingin membantu
suheng-nya. Akan tetapi dia pun tak ingin mencelakai Thian Sin, karena itu
tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu.
Akan tetapi
Thian Sin sama sekali tidak mengelak, bahkan membiarkan saja pundaknya
dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan
dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak.
“Ehhh…!”
Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sinkang-nya
tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat
itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar!
Cian Ling
terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang
telah tersedot sinkang-nya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa,
hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya.
Justru daya
tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata
itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu menatap kepadanya
seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu tiba-tiba saja
mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan… meraba
dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur
melepaskan tenaga Thi-khi I-beng.
Cian Ling
mengeluh lirih kemudian meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas
dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi,
sementara itu mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan
mencubit dagunya!
“Ahhh… kau…
kau…” dan dia tersenyum malu-malu, lantas menundukkan mukanya yang menjadi
semakin merah. “Kenapa kau… tidak memukulku…?” bisiknya.
“Aku tidak
bisa memukul wanita…,” kata Thian Sin.
Tepat pada
saat itu juga, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia
menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia tentu akan mampu
merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu. Akan tetapi Han Tiong tidak ingin
merobohkan orang, apa lagi membunuhnya.
Pada saat
Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan,
tiba-tiba saja terdengar suara halus, “Tahan, jangan berkelahi…!”
Kemudian
muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw serta belasan orang anak buah
Tung-hai-sian.
Melihat
betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek
cebol itu cepat memasuki medan perkelahian, kemudian dengan tenang dia beberapa
kali menggerakkan dua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang
sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari dua tangan kakek itu menyambar
hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat para
pengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang
apa bila tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah
putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga
sinkang yang amat luar biasa.
“Tahan,
jangan berkelahi di antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan
baik!” kata pula Tung-hai-sian.
Sementara
itu, sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya ada pun
Siangkoan Wi Hong juga tak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat
adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tak
peduli dan terus memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran.
Di antara
lima orang itu, sudah ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari
pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, sungguh
pun bukan luka yang berat. Sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena
dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin supaya dapat membendung
serangan bertubi-tubi dari lima orang pengeroyoknya.
Tung-hai-sian
memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para
murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, akhirnya menarik napas
panjang. “Hemmm, ternyata para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong,
Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai.
Kalian semua adalah tamu-tamu kami, maka kami harap menghabisi urusan dan tidak
berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki
tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami.”
Ucapannya itu halus tetapi mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa
kekuasaan atas wilayahnya dilanggar.
“Maaf,
locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tak mau mencari permusuhan, akan
tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja
kami tidak akan undur selangkah pun!” jawab Kong Liang dengan sikap gagah.
Tung-hai-sian
menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda ini pun segera berkata dengan
suara mengandung rasa penasaran, “Paman, semenjak dahulu Cin-ling-pai adalah
musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita
harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang secara tidak tahu malu
mengangkat diri mereka sebagai pendekar-pendekar?”
Tung-hai-sian
menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah mengerti akan maksud
kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang
datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan
dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu
dianggap musuh oleh golongan hitam!
Akan tetapi,
jika bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya
merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itu pun terlampau rendah baginya.
Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka
dia pun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa.
“Cu-wi, kami
tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami maka
keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada di dalam wilayah kami!
Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik, sebab itu selama menjadi
tamu kami maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetaplah
tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami
pula. Oleh sebab itu, kami melarang siapa pun juga untuk menggunakan kekerasan
di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi.
Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!”
Cia Kong
Liang menjura sambil menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum
simpul manis sekali dari Bin Biauw, lantas dia berkata, “Kami dari Cin-ling-pai
pun sama sekali tak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Nah, kami
mohon diri, locianpwe.”
Tung-hai-sian
yang diam-diam merasa suka untuk memiliki seorang mantu yang demikian lihai,
halus dan sopan, segera mengangguk dan balas menjura. “Selamat jalan, Cia-sicu,
dan sampai jumpa.”
“Selamat
jalan, Cia-koko…,” kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis
sekali.
Terpaksa
Kong Liang menjawab, “Selamat tinggal, nona.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Han
Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan
tempat itu.
Sesudah tiga
orang pemuda itu pergi, barulah kini sikap dan cara mereka bicara sungguh
berlainan sekali dibandingkan dengan tadi pada saat mereka bicara di hadapan
tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Sekarang sikap orang-orang muda itu
tidak sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka. Kong
Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran apa bila mereka
bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang.
“Paman
Tung-hai-sian!” kata Siangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh
teguran. “Kita adalah golongan srigala atau harimau. Apakah patut kalau srigala
berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Dan kini
datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa
menyebaikan!”
“Ha-ha-ha-ha,
agaknya locianpwe dari timur kini sudah mulai lemah dan jeri menghadapi
Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!” Seorang di antara dua pengemis
Bu-tek Kai-pang juga berkata, nada suaranya mengejek.
“Kalian ini
cacing-cacing busuk!” Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap sangat halus
dan sopan itu kini memaki-maki. “Urusan perjodohanku apa perlunya kalian turut
bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?”
Tung-hai-sian
memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil
memandang bergantian kepada Siangkoan Wi Hong dan pengemis itu, “Jika tidak
ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu mulut kalian yang
lancang ini sudah kurobek-robek! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai?
Andai kata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta
ijin dari datuk lain terlebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan
jangan membuat aku marah.”
“Hemmm, aku
akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!” kata
Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suheng-nya pergi dari situ.
“Orang-orang
lelaki memang mulutnya busuk!” tiba-tiba So Cian Ling mengomel. “Mereka sendiri
seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki!
Huh, menyebalkan!” Dan dia pun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik.
“Kami pun
akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan bagus untuk pimpinan kami. Selamat
tinggal, locianpwe!” kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula
dari situ.
Tung-hai-sian
tidak menjawab karena sopan santun memang tidak berlaku di dalam dunia mereka,
kecuali hanya untuk berpura-pura di hadapan tamu-tamu lain. Di antara golongan
mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan,
suatu kepura-puraan palsu.
Bin Biauw
masih merasa dongkol sekali dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak
menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya
tergila-gila itu, maka dia pun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh
ayahnya dan orang-orangnya.
***************
Sementara
itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. “Sumoi, sikapmu
tadi benar-benar memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen
Han Houw itu!”
Cian Ling
berhenti melangkah, sepasang matanya menatap tajam. Matanya masih indah, akan
tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan.
“Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka kepadanya! Apa salahnya kalau
timbul birahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau
mau apakah?” Suaranya penuh nada tantangan, dadanya yang sudah membayangkan
tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek.
Wajah Ciang
Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali lagi menjadi warna
aslinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan. “Mau apa? Aku hanya
ingin membunuhnya!”
“Hi-hi-hik!
Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!”
“Tentu saja
aku mampu! Aku tadi kalah karena kaget oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu
yang dinamakan Thi-khi I-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana cara
untuk menundukkan Thi-khi I-beng itu!”
“Sesukamulah!
Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmm… dia ganteng dan menarik sekali!” Dara
itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya.
***************
Memang
mengejutkan jika melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk
yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan
segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa peduli akan tata susila
dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu hal yang palsu,
kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan.
Pandangan
mereka itu bagaikan bumi dengan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari
pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum
pendekar. Mereka mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan. Bagi
seorang pendekar, kehormatan lebih berharga dari pada jiwanya sendiri. Nama
baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga
dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan.
Manakah yang
benar di antara kedua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan
kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka
akan nampak kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi.
Yang paling penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal
apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal.
Karena
kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan
mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti jika
kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran lantas kita
melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi!
Semenjak
kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling
kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal
yang dianggap tidak sopan dan tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan dan
bersusila. Ditekankan pada kita hingga mendalam sekali bahwa yang tidak sopan
itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa
hidup haruslah baik dan sebagainya.
Tekanan-tekanan
inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Supaya dianggap baik! Dan
keinginan baik ini yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai
sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan
supaya ‘menjadi orang baik’ termasuk orang sopan, bersusila dan sebagainya,
sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi
batin sendiri, hanya demi supaya dianggap sebagai orang baik. Maka kemudian
timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang
sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan di dalam hampir setiap
gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kita
mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya
pada diri sendiri, maka akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan
kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua,
terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita pada saat
sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita adalah orang-orang munafik. Tapi
beranikah kita melihat kenyataan ini?
Melihat
kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan
para datuk, bisa bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras
sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat
kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari
sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan
itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita
mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin
juga penuh dengan kasih sayang itu!
Belajar
hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA
HATI, KATA DAN PERBUATAN! Alangkah akan indahnya! Bebas dari segala kepalsuan
dan kepura-puraan. Dapatkah… atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang
juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa
hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori
belaka!
Dua orang
pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di sebuah
persimpangan jalan, dan jika Han Tiong memandang kepada pamannya dengan
bayangan perasaan heran dan iba, maka sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya
dan kelihatan penasaran sekali.
“Akan
tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman
menghadapi musuh yang mengeroyok paman?” Thian Sin mencoba membantah dengan
suara yang bernada penasaran.
“Kalian
sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian
terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Akulah yang bertanggung
jawab terhadap keselamatan kalian,” Kong Liang mengomel.
“Tetapi kami
dapat menjaga diri, paman,” Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak
terdengar penasaran seperti adiknya.
“Hemm,
betapa pun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua.
Tanpa bantuan kalian pun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua
akan roboh oleh pedangku.”
Dua orang
pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. “Maafkan kami, paman.”
akhirnya Han Tiong berkata. “Dan sekarang kami hendak melanjutkan perjalanan
kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman.”
“Tolong
sampaikan pula hormat beserta terima kasihku kepada mereka, terutama kepada
nenek, paman,” kata pula Thian Sin.
Kong Liang
mengangguk. “Baik, nanti akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian di dalam
perjalanan. Kalian belum memiliki banyak pengalaman dan di dunia ini banyak
orang jahat yang amat lihai, maka hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan
orang-orang kang-ouw.” Dia menasehati dengan sikap seperti seorang dewasa
menasehati anak-anak yang masih bodoh.
Setelah
mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke
Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran bila mengenangkan sikap Cia Kong Liang.
Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau
dibandingkan dengan kakaknya, maka sepatutnyalah jika Han Tiong kakaknya itu
yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan.
Sikap
kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tak
suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh
lebih ‘matang’ dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun
mentah itu.
“Tiong-ko,
kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?” Akhirnya dia tak dapat menahan rasa
penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya.
Han Tiong
menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, “Sudahlah, adikku, Paman Kong
Liang itu memang paman kita akan tetapi dia pun masih muda.”
Dari jawaban
ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih ‘tua’ dan matang
dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia pun merasa yakin sekali bahwa dalam
hal kepandaian pun kakaknya itu agaknya tak akan kalah dibandingkan dengan
putera ketua Cin-ling-pai.
***************
Lok-yang
adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti sudah kita ketahui, di kota
inilah Ciu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar
Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera
Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh belas tahun dan Ciu Lian Hong
puteri Kui Lan yang kini sudah berusia enam belas tahun.
Ciu Khai
Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya,
membuka perusahaan pengawalan barang yang bernama Ui-eng Piauwkiok (Perusahaan
Ekspedisi Garuda Terbang). Mereka melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang
oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama.
Sesudah
dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai anak murid Siauw-lim-pai yang
pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya
untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim
atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya.
Bendera
kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu menjadi amat terkenal di
kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tak ada
penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu semua rombongan yang dikawal oleh
piauwsu (pengawal) dari Ui-eng Piauwkiok. Baru melihat kereta-kereta yang pada
bagian atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang
itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya.
Tentu saja
bukan merupakan hal yang mudah untuk mendapat nama besar yang ditakuti oleh
para penjahat ini. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun turun tangan dan mengawal
sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia
harus mempergunakan kepandaiannya menundukkan para perampok untuk merampas
kembali barang-barang yang dirampok mereka.
Setelah
melihat kegagahan pimpinan Ui-eng Piauwkiok ini, barulah kemudian perusahaan
itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tak pernah
mendapat gangguan di dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah
berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya
mengandalkan nama besarnya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal
oleh para pembantunya.
Sedangkan
dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak
mempercayakan barang-barang mau pun keluarga mereka untuk dikawal, dan semua
sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu
Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan
kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang
pandai.
Sekarang Ciu
Bun Hong sudah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh
tinggi besar seperti ayahnya. Ada pun Ciu Lian Hong kini telah menjadi seorang
dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang
sedang dan langsing, seperti ibunya.
Kecantikan
Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia amat terkenal di kota
Lok-yang, terkenal sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya. Orang
tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya beserta dua orang
ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tak kalah
bila dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan
kesenian, dia bahkan meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang.
Memang, Lian
Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain
menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di
Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih
belum dapat menentukan jodohnya.
Agaknya bagi
tiga orang tua dara ini, tidak ada seorang pun pemuda yang pantas menjadi jodoh
puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka sudah menolak entah berapa banyak
lamaran yang datang. Ada pun Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum
memikirkan soal perjodohan.
Cia Han
Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal
kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan
megah, dan kantor yang berpapan Ui-eng Piauwkiok dengan huruf-huruf besar itu
pun agaknya sudah diperbesar. Dari keadaan rumah serta kantor ini saja Han
Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh
kemajuan pesat, maka diam-diam dia pun merasa gembira.
Pagi telah
melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki
pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri
dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu yang sedang
duduk di ruangan depan, dan dia sendiri pun bingung karena tidak dapat
membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya
bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh mereka pun tiada bedanya.
Ada pun dua
orang nyonya kembar itu, yang sekarang sudah menjadi nyonya setengah tua
berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan
memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan
rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu akan datang ke kantor di sebelah dan
kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu ada pegawai
kantor yang melaporkan kepada majikannya, kemudian Khai Sun akan menemui tamu
itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang
ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang
wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka
keduanya memandang heran.
Dengan wajah
gembira Han Tiong segera melangkah ke depan dan langsung menjura dengan
hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin.
“Saya harap
selama ini bibi berdua dan keluarga berada dalam keadaan baik-baik saja,” kata
Han Tiong dengan sikap halus.
“Siapa
kalian…?” tanya Kui Lan.
“Dan ada
keperluan apakah?” sambung Kui Lin.
Han Tiong
tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua.
“Ahh, harap
bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak
mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong…”
“Han
Tiong…?”
“Putera
Sin-koko…?”
Dua orang
wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong
dengan wajah gembira sekali.
“Aihhh,
sudah menjadi seorang dewasa!”
“Dan gagah
benar kau, Han Tiong!”
“Mana
mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan
sekarang telah menjadi begini besar!”
Han Tiong
menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang
bicara saling sambung itu.
“Maaf… maaf…
saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan di antara bibi berdua…”
Kedua orang
wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang
yang tidak dapat membedakan antara mereka.
“Aku Bibi
Lan,” dan kata Kui Lan.
“Dan aku
Bibi Lin,” kata yang kedua.
“Dan
siapakah pemuda ini?” Kui Lan dan Kui Lin memandang pada Thian Sin yang sejak
tadi hanya diam saja, hanya melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang
bibinya itu.
Dia sudah
tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya dan
merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat
mengenali perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguh pun memang pada
lahirnya mereka itu serupa benar.
Thian Sin
memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang
cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku
sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau
kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu memiliki sinar mata
yang lebih dalam, dan juga pendiam dan lebih tenang. Dan hanya kalau keduanya
dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan
mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya
berseri-seri.
“Dia ini
adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw
Si.” Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura.
Karena dia
menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah
kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak saat mendengar
nama Ceng Han Houw. Thian Sin hanya mendengar saat kakaknya segera menyambung
kata-katanya dengan agak tergesa-gesa.
“Thian Sin
ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia
boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula.”
“Ahhh…
syukurlah kalau begitu,” kata Kui Lin.
“Dia tampan
sekali!” puji Kui Lan. “Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih
silat kepada Bun Hong dan Lian Hong.”
Dengan ramah
dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan
mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang
untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua
orang anak mereka.
Tidak lama
kemudian wanita itu datang kembali bersama suaminya dan dua orang anak mereka.
Han Tiong dan Thian Sin cepat-cepat bangkit dari tempat duduk mereka lantas
menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu.
Ciu Khai Sun
sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih,
akan tetapi dia masih terlihat gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak
kokoh kuat. Pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan
Thian Sin dengan wajah berseri sambil tertawa. Dia memegang kedua pundak Han
Tiong.
“Ah, engkau
telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!” katanya dengan ramah sekali,
kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. “Dan ini Ceng Thian Sin, adik
angkatmu? Tampan dan gagah dia!”
Hati Thian
Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan ketika mendengar bahwa dia adalah
putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat bila mana dia
diperkenalkan sebagai putera pangeran itu.
“Tiong-koko!”
kata Bun Hong sambil maju memberi hormat.
“Hai, engkau
sudah menjadi seorang pemuda yang lebih tinggi dari pada aku!” Han Tiong
berseru gembira sambil membalas penghormatan pemuda yang bertubuh seperti
ayahnya itu. Memang Bun Hong nampak gagah perkasa seperti ayahnya, apa lagi
pada waktu dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian berlatih silat sehingga
nampaklah bentuk tubuhnya yang kekar.
“Tiong-koko!”
Dara itu memberi hormat dan memanggil pula.
Han Tiong
memandang dan jantungnya langsung berdebar. Belum pernah dia merasakan
jantungnya berdebar seperti ini kalau dia bertemu dengan seorang dara. Akan
tetapi gadis ini memang luar biasa sekali, sukar baginya untuk menggambarkan
bagaimana cantiknya.
Semua bagian
tubuh dara itu, dari rambutnya yang agak kusut karena habis berlatih silat,
dahinya yang masih agak basah oleh peluh, sampai kepada cara dia berdiri dan
memberi hormat, semua itu mempunyai daya tarik yang demikian mempesonakan
sehingga untuk sekejap Han Tiong seperti terpesona dan tidak dapat mengeluarkan
kata-kata. Akhirnya, dengan kekuatan hatinya dia dapat juga membuat dirinya
bergerak dan keluar dari pesona yang melumpuhkan itu.
“Ahh, adik
Lian Hong! Engkau pun sudah menjadi seorang gadis yang dewasa…!” hanya demikian
saja dia mampu berkata, sesudah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak
mengatakan “yang sangat cantik jelita” sungguh pun hatinya meneriakkan
demikian.
Kemudian dia
teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, “O ya, Bun-te dan Lian
Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh
dibilang sute-ku sendiri sebab dia pun menjadi anak angkat dan murid ayah.
Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu.”
Akan tetapi
sudah semenjak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian
Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu
dan dia laksana melihat seorang bidadari turun dari kahyangan! Kedua matanya
hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona.
Banyak sudah
dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan
seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpi pun belum. Begitu melihat, dia
telah jatuh cinta sepenuhnya.
Sesungguhnya,
kurang tepatlah apa bila dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang
cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan
tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan hal jarang seorang wanita
berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, apa bila pria
itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila.
Setiap
gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apa pun juga yang menempel pada wanita
yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad!
Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang
yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan
demikian selanjutnya.
Hal itu
bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang sudah menjatuhkan
hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang
berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang
bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukannya melekat pada sang
bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat
betapa indahnya bunga itu.
“Sin-te…!”
Dengan suara halus Han Tiong menegur.
Thian Sin
terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan
mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai
membawa diri, maka dengan riang dia berkata, “Maaf, maafkan, karena
sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik
berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara
yang sudah dewasa. Maafkan…”
Mereka semua
tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang
pelayan datang sambil membawa minuman, dan Han Tiong yang menjadi pusat
perhatian dan pertanyaan harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh
keluarga itu.
Dengan sikap
hormat Han Tiong segera menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada
Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Lalu, sesudah membaca surat itu,
wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu
kepada kedua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan
surat itu.
Di samping
mengabarkan keselamatan dan memperkenalkan dua orang pemuda itu, isi surat dari
Pendekar Lembah Naga itu adalah juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk
menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka.
Pertemuan
itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggota keluarga
di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu
terdapat kebingungan dan keraguan pula, karena sungguh tidaklah mudah bagi
mereka untuk memilih salah seorang di antara Han Tiong dan Thian Sin!
Apa bila
melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan
dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, walau pun Thian Sin tidak sependiam
seperti Han Tiong, akan tetapi dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan
pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang
hanya bicara kalau perlu saja.
Akan tetapi,
bila mana mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini lebih condong
memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga
tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera dari Pangeran
Ceng Han Houw yang demikian jahatnya!
“Kita tidak
boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!” kata Kui Lin dan
ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan.
Bukankah
mereka berdua pun anak kandung dari seorang ayah yang tidak dapat dibilang
mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka dia
pun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk
menyatakan setuju.
“Maka
sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri,” kata
Kui Lan.
Ciu Khai Sun
kembali mengangguk. “Apa yang kalian katakan memang benar dan tepat. Betapa pun
juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata bila melihat
puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita
membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak
menyesal. Memang sangat sukar untuk memilih di antara dua orang pemuda itu.
Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari
Pendekar Lembah Naga. Dan kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai
menantu seorang di antara mereka. Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan
membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih
cocok untuk menjadi suami anak kita.”
Selama
beberapa hari sejak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga
Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat
akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat
kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itu pun dengan senang
hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandainya berusaha
menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik
terhadap diri gadis itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment