Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 13
Thian Sin
dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari
jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka
amat terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di sana.
Pemuda itu tak lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain
yang-kim yang pandai.
Agaknya
pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai
datuk utara. Tidaklah mengherankan jika dia disambut sebagai tamu agung,
ditempatkan di ruang kehormatan, yaitu panggung yang sengaja dibuat untuk
menyambut tamu-tamu yang dihormati.
Siangkoan Wi
Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia
teringat betapa dulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga
orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid
Pak-san-kui yang lihai.
Dan tiga
orang pemuda itu pun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang
tidak lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan
penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun
Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhu-nya,
ditemani oleh seorang murid suhu-nya yang kelihatan gagah dan berusia kurang
lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh
kursi di panggung kehormatan.
Tiga orang
pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak mendapat kursi di panggung
kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang
tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan
perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguh pun sebenarnya hati
merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya.
Betapa pun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat
duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan
Wi Hong dan So Cian Ling.
Semua tokoh
kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran kenapa seorang di antara empat datuk,
yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama
Lam-sin juga amat terkenal sungguh pun jarang ada orang yang pernah bertemu
dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat
terkenal oleh para anggotanya, yaitu golongan pengemis!
Lam-sin ini
di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan
nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa
Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki
anggota-anggota yang semuanya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan
anggota mereka tidaklah banyak, katanya hanya dua puluh orang lebih namun
rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang,
apa lagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan.
Lam-sin
sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek
Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama
Lam-sin semakin terangkat sebab setiap pengemis sakti itu amat menjunjung
tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai kini
nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum
dikenal rupanya itu.
Pesta ulang
tahun itu berjalan dengan amat meriah. Suguhan-suguhan yang dihidangkan adalah
masakan-masakan yang mahal, sedangkan araknya juga arak pilihan, pendeknya
benar-benar merupakan pesta dari seorang yang kaya raya. Semua ini masih
diramaikan dengan hadirnya serombongan penari dan penyanyi yang didatangkan
dari Nan-king, yang tentu saja amat mahal bayarannya.
Selagi pesta
itu berlangsung meriah, tiba-tiba seorang pembantu fihak tuan rumah yang
bertugas sebagai pembawa acara bangkit berdiri di atas panggung di mana para
penari baru saja mengundurkan diri. Musik pun berhenti dan terdengar suara
orang itu lantang,
“Dimohon
perhatian cu-wi yang mulia! Atas perintah dari fihak tuan rumah, kami memberi
tahukan bahwa acara hiburan ditunda untuk memberi kesempatan kepada Bin-siocia
yang hendak memberikan selamat kepada Bin-loya (tuan Besar Bin). Hendaknya
cu-wi maklum bahwa Bin-siocia adalah puteri tunggal dari Tuan Besar Bin Mo To
yang mulia. Sebagai hadiah untuk ayahnya, Bin-siocia berkenan hendak
mempertunjukkan tarian pedang!”
Tentu saja
pengumuman itu disambut dengan tepuk sorak riuh karena para tamu tentu saja
ingin sekali melihat ilmu pedang dari puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. Hanya
beberapa orang saja di antara para tamu, termasuk para pembesar di Ceng-tao,
yang sudah tahu bahwa Bin-siocia adalah seorang dara yang sangat cantik dan
manis, dan yang kabarnya mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, paling tinggi
di antara anak buah atau murid-murid datuk itu sendiri!
Tiba-tiba
saja terdengar musik ditabuh, yaitu tambur dan gembreng serta terompet. Selagi
tambur dipukul gencar, dari dalam keluarlah seorang dara berpakaian serba
merah, baju dan celana merah muda, ikat pinggang merah tua, pita rambut merah
tua dan di dadanya terdapat hiasan dari sutera kuning, kedua kakinya mengenakan
sepatu hitam yang masih mengkilap.
Bukan main
cantik manis serta gagahnya dara itu nampaknya. Pakaiannya yang terbuat dari
sutera tipis itu menempel ketat pada tubuhnya, membuat tubuhnya nampak menonjol
dan padat menggairahkan, namun juga menimbulkan rasa segan karena sikapnya
sangat gagah.
Dia berlari
keluar, berlari kecil bagaikan seorang penari yang lincah, dan wajahnya yang
manis itu tersenyum ketika dia memandang kepada para tamu dan mengangguk
sebagai tanda terima kasih karena para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan
riuh. Ketika dara itu tersenyum, nampak dua buah lesung pipit di kanan kiri
mulutnya, dan memang dara ini manis sekali.
Mulutnya
merupakan daya tarik yang paling kuat dari wajahnya, sebuah mulut yang amat
indah, dengan bibir melengkung penuh berkulit tipis seolah-olah setiap saat
bibir itu akan pecah dan mengeluarkan darah karena bibir itu nampak demikian
merah dan basah. Saat dia tersenyum hingga kedua bibir itu agak terpisah
merenggang, tampak kilauan gigi putih seperti mutiara. Pada punggungnya
tergantung sebatang pedang dengan ronce berwarna kuning emas.
Dara itu
adalah Bin Biauw, puteri remaja berusia tujuh belas tahun yang merupakan anak
tunggal dari Tung-hai-sian Bin Mo To! Setelah berlari berputaran di atas
panggung sambil memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada
kepada para penonton yang menjadi tamu, barulah Bin Biauw menghampiri panggung
di mana ayahnya duduk. Semua mata kini memandang ke arah tuan rumah.
Tung-hai-sian
adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berpakaian mewah, di kanan
kirinya duduk dua orang wanita setengah tua yang juga berpakaian mewah. Di
sebelah kanan itu adalah isterinya yang pertama, sedangkan di sebelah kirinya
adalah isterinya yang ke dua atau ibu kandung Bin Biauw. Isteri pertamanya
tidak mempunyai anak dan dia adalah seorang wanita Jepang, tidak seperti ibu
Bin Biauw yang merupakan wanita Korea, bertubuh tinggi langsing seperti Bin
Biauw.
Tung-hai-sian
sendiri bertubuh pendek tegap dan bersikap gagah, biar pun usianya sudah enam
puluh tahun namun dia masih nampak kuat, hanya kepalanya saja yang telah botak
kelimis, hanya ditumbuhi rambut di bagian belakang dari dekat telinga sampai ke
pelipis. Ubun-ubun dan atas dahinya sudah tidak ada rambutnya sama sekali.
Di
pinggangnya tergantung sebatang pedang samurai yang sarungnya amat indah. Kedua
matanya yang lebar itu sangat tajam, dan alisnya hanya merupakan bundaran hitam
kecil saja yang ditumbuhi rambut pendek-pendek. Biar pun Tung-hai-sian sudah
menjadi datuk dunia persilatan di daratan Tiongkok, bahkan sudah berganti nama
dengan nama Bin Mo To sebagai pengganti nama Minamoto, namun di dalam
kesempatan gembira merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun itu,
kini kakek ini mengenakan pakaian seorang Samurai Jepang! Kakinya juga memakai
sandal model Jepang dan dia kelihatan bangga sekali berpakaian seperti itu!
Bin Biauw
menghampiri ayahnya lantas menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.
Kakek ini lalu merangkul dan mencium kepala puterinya sambil tertawa gembira.
Sesudah mengucapkan selamat dengan suara lirih yang tertindih dengan suara
musik, dara itu lalu bangkit dan berlari lagi ke atas panggung.
Sesudah
menghormat ke empat penjuru, tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking
nyaring dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan
cahaya kilat sehingga mengejutkan semua orang. Itu adalah sebatang pedang
pusaka yang amat hebat, pikir mereka.
Kemudian
dara itu mulai bersilat pedang, atau menari pedang karena gerakannya lemah
gemulai seperti orang menari mengikuti irama tambur dan gembreng, akan tetapi
di dalam gerakan tari lemah gemulai ini terkandung kekuatan yang amat dahsyat,
yang menyambar setiap kali pedang berkelebat.
Semua orang
yang hadir, kebanyakan ahli-ahli silat, dapat melihat betapa ujung pedang itu
tergetar setiap kali digerakkan, getaran yang mendatangan suara mengaung!
Jelaslah bahwa dara ini bukan sekedar menari biasa. Biar pun tari-tarian itu
merupakan gerakan-gerakan yang amat indah, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi
langsing, akan tetapi jelas bahwa dara itu sedang mainkan ilmu silat yang
selain indah juga amat tangguh sekali!
Dan benarlah
dugaan mereka karena semakin lama, gerakan itu makin cepat dan ketika bunyi
tambur dan gembreng sudah menjadi cepat sekali, dara itu lenyap, yang nampak
hanyalah bayangan merah terbungkus oleh gulungan cahaya pedang putih
berkeredepan menyilaukan mata. Semua orang bertepuk tangan memuji karena memang
harus mereka akui bahwa jarang mereka menyaksikan ilmu pedang yang demikian
hebatnya.
Tiba-tiba
Tung-hai-sian mengambil sebatang lilin merah yang bernyala, dan dia langsung
melontarkan lilin itu ke arah puterinya sambil berseru. “Sambutlah, anak
Biauw!”
Tiba-tiba
saja bayangan yang dibungkus gulungan sinar itu berhenti dan nampak dara itu
berdiri tegak menunggu hingga lilin yang dilontarkan itu tiba di atasnya,
kemudian secepat kilat pedangnya bergerak ke kanan kiri… dan lilin bernyala itu
nampaknya seperti tertahan oleh sesuatu di udara, dan sesudah dara itu
menghentikan gerakannya, barulah lilin itu jatuh ke atas lantai dan… berserakan
menjadi belasan potong, sedangkan ujung lilin yang bernyala kini ternyata telah
menempel di ujung pedang!
Tentu saja kepandaian
semacam itu adalah kepandaian yang merupakan keahlian karena dilatih, akan
tetapi betapa pun juga, tanpa mempunyai gerakan yang cepat dan kuat, tidak
mungkin dapat melakukan seperti itu. Oleh karena itu meledaklah tepuk tangan
para tamu yang merasa kagum sekali.
“Bagus,
kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!” Mendadak terdengar seruan nyaring
mengatasi kegaduhan tepuk tangan itu.
Semua orang
menoleh, juga Bin Biauw menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Thian Sin!
Saking kagumnya, bukan hanya karena melihat ilmu pedang itu melainkan terutama
sekali melihat kecantikan dara itu, Thian Sin menjadi lupa diri sehingga dia
memuji sambil bangkit berdiri.
Melihat ulah
adiknya ini, Han Tiong menjadi kaget sekali dan dia maklum bahwa adiknya itu
tentu merasa tertarik sekali pada dara yang cantik itu, karena dia pun sudah
tahu akan kelemahan hati adiknya terhadap wanita cantik.
Sementara
itu, pada saat menengok dan melihat pemuda yang sangat tampan itu, muka Bin
Biauw menjadi merah, akan tetapi dia menahan senyum dan mengerling malu-malu.
Hati siapa tak akan merasa girang dan bangga kalau dipuji, terutama sekali hati
seorang wanita yang selalu haus akan pujian, dan lebih-lebih lagi kalau
pemujinya adalah seorang pemuda yang demikian gantengnya?
Juga Bin Mo
To yang bangkit berdiri, dari atas dapat melihat pemuda tampan gagah yang
mengeluarkan seruan pujian itu, maka dia lalu tersenyum dan memberi perintah
kepada pembawa acara dengan kata-kata lirih.
Pembawa
acara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, kemudian berkata dengan
lantang, “Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat,
bahwa untuk meramaikan pesta ini dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka
kepada para pendekar muda yang ingin menambah kemeriahan pesta ini dipersilakan
untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!”
Ucapan itu
tentu saja langsung disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa.
Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Jika
seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan
puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi
puterinya!
Hampir semua
tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka
selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya
datuk wilayah timur ini pun tak mau ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang
berani untuk maju?
Sebagian
besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin
Biauw tadi, yang memang sangat lihai. Apa lagi kalau diingat bahwa dara itu
adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan
lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu!
Semua orang
memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang
kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin
memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis
itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya
dan terdengar bisikan Kong Liang,
“Thian Sin,
kau duduklah!”
Thian Sin
segera teringat bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama
sekali tak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang,
maka dia pun lalu duduk kembali.
Bin Biauw
tampak kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, sebab datuk ini
tentu saja tidak menghendaki seorang menantu dari golongan rendah, yaitu
golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju
kepada Siangkoan Wi Hong.
Pemuda yang
baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, apa lagi
setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup gagah
dan tampan, terlebih lagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan
yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia
mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat
kelihaian pemuda itu yang sebagai putera Pak-san-kui dia yakin tentu
berkepandaian tinggi.
Ternyata
tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan
Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jeri untuk menandingi
ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar
di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri.
Apa lagi
mereka yang duduk di bawah panggung, andai kata di antara mereka ada yang
merasa kuat melawan Bin Biauw sekali pun, agaknya mereka pun masih harus
pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di hadapan datuk
itu, apa lagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar
dunia persilatan.
Pembicara
atau pengatur acara tadi sudah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian,
maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia
segera angkat bicara lagi dengan sikap ramah,
“Bin-loya
sudah memohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia
beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini sudah
hadir wakil-wakil dari para tokoh besar, bahkan ada pula wakil-wakil dari
See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili
kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk
memeriahkan pesta ini juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan,
demikian pesan Bin-loya.”
Mendengar
ucapan itu, So Cian Ling sudah bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia
dilarang oleh suheng-nya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia
adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh
tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari
kain berwarna kuning.
Laki-laki
ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari
See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal
ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguh pun dara
itu merupakan sumoi-nya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling sangat disayang
oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu
simpanan Sang Datuk!
Bagaimana
pun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena
sudah percaya penuh terhadap kepandaiannya, maka dia telah dipercaya untuk
mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, ada pun So
Cian Ling hanya ikut suheng-nya untuk menambah pengalaman saja.
Ketika tadi
melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga
merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia
akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia
tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin
menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak.
Akan tetapi,
ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan
dia lalu mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya
pada saat dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak
Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa… cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka
dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu,
akan tetapi terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia
tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah.
Akan tetapi
suheng-nya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh
tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukanlah seorang pria
yang suka kepada wanita sehingga sampai kini berusia tiga puluh lima tahun dia
masih belum menikah.
Dia tidak
merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini sangat menjunjung
tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, pada saat nama gurunya disebut-sebut, dia
merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan
mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah
dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah.
Begitu Ciang
Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke
depan, semua tamu segera memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga
gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu
yang duduk di bagian kehormatan.
Bin Biauw
juga sudah memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia telah
bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju
ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini! Sungguh pun dia
tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari
See-thian-ong!
Ciang Gu Sik
segera maklum bahwa majunya itu telah diikuti oleh pandang mata semua tokoh
kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat
main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia cepat memberi hormat ke arah
tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, dan barulah
dia berbicara, ditujukan kepada para tamu,
“Cu-wi yang
mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk
memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe sudah
menyebutkan nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan
murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan
pesta ini.”
Sesudah
berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan
berkata,
“Maafkan
saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona.”
“Ahhh, aku
malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau maju
dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh,” Bin Biauw berkata dengan gayanya
yang lincah.
Sementara
itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari
majikannya, dan dia pun berkata dengan lantang. “Permainan silat bersama
diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada
fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan mempunyai tingkat
yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!”
Bin Biauw
tersenyum manis, lalu menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata.
“Silakan Ciang-sicu memilih senjata!”
Ciang Gu Sik
meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah
senjata yang disebut Kim-coa Joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas
yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular
terbuat dari pada emas.
“Tarr!
Tarrr…!” Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya.
“Bin-siocia,
saya sudah siap!” katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas
kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di
depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali.
Bin Biauw
tersenyum, lalu membentak. “Lihat serangan!”
Pedangnya
sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan.
“Tar!
Tringgg…!”
Joan-pian
itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian meluncur ke
samping. Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut
itu dari samping langsung menyambar ke arah pundak serta sambungan siku yang
memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang.
“Hemmm…!”
Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannya pun batal, dan
diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia
berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga
tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan!
Melihat ini,
murid See-thian-ong itu pun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga
nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat
dari emas murni sedangkan joan-piannya sendiri terbuat dari pada baja diselaput
emas maka sinarnya menjadi keemasan. Kini tampaklah pemandangan yang amat indah
menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan
saling sambar dan saling desak.
Bagi mata
orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti
gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka amat cepat dan kuat, dan keduanya
mengadu kepandaian dengan mengerahkan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang
karena bagi mereka pertandingan itu merupakan adu kepandaian untuk
mempertahankan nama guru mereka masing-masing.
Bin Biauw
tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang laki-laki yang mungkin
menjadi calon jodohnya, akan tetapi hendak mempertahankan nama ayah sekaligus
juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu.
Sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik
kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah
dari Tung-hai-sian!
Jadi
pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tak mau
kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu berjalan hebat sekali dan hal ini
dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan
jelas.
So Cian Ling
memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa
suheng-nya itu terus didesak dan dia merasa menyesal kenapa suheng-nya tidak
membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa sanggup menandingi puteri
dari Tung-hai-sian itu. Biar pun suheng-nya cukup lihai dengan joan-piannya,
akan tetapi jika dibandingkan dengan lawan, maka dia itu kalah senjata, dalam
arti kata senjatanya kalah ampuh sehingga keunggulan senjata itu sudah membuat lawan
dapat lebih menindih dan mendesaknya.
Memang kalau
hanya dalam lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan
suheng-nya, akan tetapi sekarang jelas tampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa
suheng-nya itu sudah terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang!
Dan semua orang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat
menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suheng-nya itu
tentu akan kalah!
Penglihatan
So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw
mulai mendesak lawannya dan betapa pun murid See-thian-ong itu berusaha untuk
balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri terlebih dahulu dan
sesudah lawan menyerang tiga jurus barulah dia dapat membalas, itu pun dengan
satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih
mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru,
“Lima puluh
jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama
kuat!”
Bin Biauw
segera menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan
pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, lantas dia
menjura.
“Ilmu pedang
Bin Siocia sungguh amat tangguh!” katanya dengan jujur.
“Ah,
Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!” kata Bin Biauw sambil tetap
bersenyum.
Para
penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan
untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu
kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut
karena betapa pun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan
tersinggung.
Bin Biauw
masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan
di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya,
tentu dia akan merasa gembira sekali! Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik
kepada dua orang keponakannya itu.
“Janganlah
kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang
lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-ling-pai. Hemmm, kalian
lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!”
“Apakah
paman hendak melayani nona itu?” Thian Sin berbisik.
“Kalau
perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah dengan mereka yang duduk di
atas panggung!” Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah sekali karena
dia dan dua orang keponakannya, meski pun telah mengaku sebagai wakil
Cin-ling-pai, tetapi tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini
dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai!
“Ahh, di
sini pun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?” Han
Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa
penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu.
“Bagi kita
pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita sedang membawa nama
Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, maka aku tidak
bisa tinggal diam saja!”
“Biarlah aku
menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai,” kata Thian Sin.
“Thian Sin,
jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili
Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai semakin
hancur lagi? Pula, apa bila engkau sampai terluka oleh pedang nona itu,
bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas
keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih
baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi
kecurangan terhadap diriku.”
Thian Sin
hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia segera terdiam.
Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang
dan gembira,
“Siapa lagi
di antara para pendekar yang hendak memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari
fihak Locianpwe See-thian-ong sudah ada wakilnya yang maju, maka oleh Bin-loya
diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin
Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar
menunggu!”
Siangkoan Wi
Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang
menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga telah setuju kalau Siangkoan
Wi Hong maju karena mereka juga tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki
ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka sendiri dan lebih pantas
kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan
nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis
puteri Tung-hai-sian itu.
“Akan tetapi
kalian tahu bahwa aku tak ingin menikah, suheng!” kata Siangkoan Wi Hong
berbisik.
Tiga orang
suheng itu pun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang
sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai
selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau
mengikatkan diri dengan pernikahan, maka meski pun dia kagum melihat kecantikan
Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon
suami nona itu. Apa bila hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan
menyambutnya dengan senang sekali!
“Kongcu,
saat ini soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah untuk
mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri
datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata
orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani
muncul!”
Siangkoan Wi
Hong menarik napas panjang dan dia pun bangkit berdiri. Melihat ini, hati
Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian
putera dari Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai
dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang sangat kaya raya. Kiranya sudah
cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi lebih dulu dia
harus melihat kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang
dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan
kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak,
“Siangkoan-kongcu,
putera dari Locianpwe Pak-san-kui berkenan untuk maju meramaikan pesta!”
Mendengar
ini, maka semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan
dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik
yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing seperti pedang,
mereka lalu bertepuk tangan.
Akan tetapi
Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan
hormat. “Paman Tung-hai-sian,” dia berkata dengan sikap ramah dan dia sengaja
menyebut ‘paman’ agar lebih akrab. “Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan
Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah
panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya
berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman
tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya
tidak setuju bila main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Maka biarlah
saya menemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta.”
Hati
Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda
ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. “Baiklah, dan
terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat.”
Siangkoan Wi
Hong lalu menghampiri panggung, kemudian menjura ke empat penjuru dan berkata
lantang. “Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa
maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fihak kami jangan
dianggap tidak bersedia memeriahkan pesta,” ucapannya mendapat sambutan tepuk
tangen pula.
“Nona, harap
jangan bersikap kejam terhadap saya,” Siangkoan Wi Hong berkata sambil
tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw.
Semenjak
tadi nona ini memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera
Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan, gagah dan pesolek. Akan tetapi
sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka
kepada pemuda ini sebab pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang
yang bersikap meremehkan! Pemuda ini sangat angkuh terhadap wanita! Sungguh pun
pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti
ini tentu akan selalu memandang ringan terhadap kaum wanita.
“Sebaliknya,
saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu,” jawabnya dengan ramah pula. Dia
sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat,
tentu keduanya akan merasa cocok.
“Bin-siocia,
engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan
yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku memainkan yang-kim, bukankah
cocok sekali?” Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim
yang seperti gagang pedang itu, mengayunkan benda itu, jari-jari tangan kirinya
mengejar dan terdengarlah bunyi ‘tang-ting-tang-ting’ yang berirama dan merdu!
Banyak tamu
tertawa melihat lagak kongcu ini, dan menyangka bahwa kongcu itu hanya
berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, amat
terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran
yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja!
Dan sekarang yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang
kokoh kuat.
“Silakan,
nona!”
Bin Biauw
juga sudah dapat menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal
Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apa lagi ketika yang-kim itu
berbunyi tadi dia pun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia
cepat menggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Sekarang melihat fihak lawan
sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak.
“Lihat
pedang!”
Dan
pedangnya kemudian menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan
gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagai halilintar
menyambar-nyambar ke atas kepala lawan!
“Bagus!”
Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis.
“Tranggg…!”
Kemudian dia
pun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam
sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu! Kiranya pemuda itu telah mainkan
yang-kim, memainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan
jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang
ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak
perpaduan yang amat indah.
Nona itu
seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu
lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari dan yang pria mengikutinya
dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan
kepandaian masing-masing.
Diam-diam,
Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan
mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa sesudah mempergunakan yang-kim
sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main!
Kiranya
memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau
dulu pada waktu berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu,
agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya.
Memang hebat
pemuda itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari
logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara
yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah jantung dan
batin lawan! Jantung fihak lawan dapat digetarkan lewat suara-suara itu, bahkan
dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum
diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa sangat penasaran ketika
melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan.
Bin Biauw
mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan
tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek
dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seakan-akan
mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali
sehingga akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring
dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong
menjadi kelabakan dan terdesak juga.
Akan tetapi
tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali
dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi
kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat
hebat hingga membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya,
jantungnya berdebar-debar! Maka, apa bila tadi dia mendesak, sekarang
sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia
terhuyung!
Melihat ini,
diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Kiranya kepandaian
pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada
pembantunya supaya membiarkan kedua orang muda itu melanjutkan pertempuran
karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin
bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya.
Dan memang
sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, sekarang keadaannya
menjadi berbalik dan apa bila Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan
dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan
tetapi dia adalah seorang yang cerdik.
Sungguh pun
dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus
bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan
dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan merasa
gembira sekali! Maka dia pun hanya menyerang tanpa mendesak, walau pun sekarang
permainan Bin Biauw sudah tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh
suara yang-kim yang seperti terus menerus menusuk-nusuk telinganya itu.
Tiba-tiba
saja mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah. Tentu saja
suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh
ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim.
Dia merasa
penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang
dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin
Biauw kembali mengamuk sehingga kembali Siangkoan Wi Hong terdesak.
Pada saat
itu pula Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa.
“Cukup… cukup… sudah mendekati seratus jurus!”
Sungguh
hebat kakek ini. Begitu dia ‘masuk’, dia mampu menolak yang-kim dan pedang
dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang
muda itu terdorong ke belakang! Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali,
maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, barang kali
setingkat dengan ayahnya.
“Maafkan
kebodohan saya!” Siangkoan Wi Hong menjura.
Kembali
Tung-hai-sian tertawa. “Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!” kata
datuk timur itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk
menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang sehingga
dapat terdengar oleh semua tamu.
“Paman, saya
kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh
karena itu, apa bila diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani
orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan
pesta.”
Tung-hai-sian
tertawa. “Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu, dan kami menghargai sekali
bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara para
sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan
kepandaian dan meramaikan pesta?”
“Paman
Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung ini masih terdapat
banyak sekali tamu yang lihai?” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan
secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah
kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sin. “Bahkan jumlah tamu di bawah itu
jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas
panggung.”
“Aihh, anak
yang baik, kau jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas
panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apa lagi yang
berada di bawah panggung.”
“Ehh, apakah
paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan
saja? Ha-ha, tidak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng
Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!”
“Keturunan
Pangeran Ceng Han Houw?” Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan
memandang heran.
Bahkan semua
tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi amat terkejut. Mereka lantas
memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang dahulu pernah
menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat
terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu?
Sementara
itu, saat mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan
kemarahannya sehingga tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia
sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak.
“Siangkoan
Wi Hong, siapa yang takut kepadamu? Hayo majulah kalau engkau memang
laki-laki!”
Melihat
majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga
memandang heran.
“Apakah…
apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” tanya kakek itu.
“Benar, saya
Ceng Thian Sin memang adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang
she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut
tantangannya itu!” kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu.
Tung-hai-sian
menjadi sangat gembira. Sebagai seorang datuk persilatan, tentu saja dia pun
mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apa
lagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai.
Putera
Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang
sudah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai
seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang
didengarnya.
Tentu saja
dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia pun ingin sekali
melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu. Dan pemuda
ini putera seorang pangeran! Meski pun pangeran yang sudah menjadi pemberontak,
betapa pun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Hal ini saja sudah
sangat menarik perhatiannya, maka dia segera mundur sambil berkata,
“Silakan…
silakan…!”
Siangkoan Wi
Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya
Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo
hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan
orang banyak, tetapi kalau tidak mungkin, maka dia ingin mengadu domba antara
mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan
mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu
rendahan saja oleh Tung-hai-sian!
Namun
sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga
dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi
dia sama sekali tidak merasa takut!
Memang dia
pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia
menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak menyangka bahwa
putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi I-beng yang sangat lihai itu.
Sekarang dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi
I-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan
kalah! Maka sambil tersenyum dia lalu menghadapi Thian Sin.
“Ha-ha-ha,
engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan lekas
keluarkan senjatamu!” Siangkoan Wi Hong menantang.
Thian Sin
tersenyum mengejek. “Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata
yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan
kedua tangan kosong saja!”
Semua orang
termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan
Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati. Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui
yang amat lihai itu dengan tangan kosong?
Akan tetapi,
sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadi pun dia
sudah mengharapkan agar pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini mau naik ke
panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul
dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan
melihat pula kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang
bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw cepat melangkah maju dan
berkata kepada Siangkoan Wi Hong.
“Harap
Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!”
Siangkoan Wi
Hong pura-pura kaget, sungguh pun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapa
pun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak
tuan rumah!
“Ahh, tapi
aku sudah sanggup untuk menandinginya…”
“Siangkoan-kongcu,
ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku
mau kau wakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak
ingin kau wakili untuk menghadapi siapa pun yang naik ke panggung ini. Aku
hendak menghadapinya sendiri!” Bin Biauw tidak tersenyum lagi, namun memandang
Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan!
Siangkoan Wi
Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, kemudian memandang
kepada Thian Sin. “Hemmm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku,
Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!” Dia lalu menghadapi
Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, “Silakan, nona. Akan tetapi
berhati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia
menggunakan Thi-khi I-beng!”
Mendengar
disebutnya ilmu mukjijat yang bagi kebanyakan orang-orang kang-ouw hanya
merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali
Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah.
“Aku tahu
bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!” bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu
kembali ke tempat duduknya.
Thian Sin
menjadi bingung sesudah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan kini
berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak
tahu harus berbuat apa.
“Akan
tetapi… aku… aku tidak hendak melawanmu, nona…”
Bin Biauw
tersenyum manis. “Apakah engkau menganggap bahwa aku kurang berharga untuk
menandingimu dalam ilmu silat?”
“Bukan…
bukan begitu… tapi…”
Pada saat
itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di
atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan
cepatnya, membayangkan ginkang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan
kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan
memandang kepada Thian Sin lalu berkata,
“Thian Sin,
kau kembalilah ke tempatmu!”
Thian Sin
memandang pamannya dan dia segera tahu bahwa pamannya itu marah sekali
kepadanya. Lantas teringatlah dia bahwa dia datang sebagai ‘anggota’ rombongan
wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan
pamannya, maka dia merasa bersalah.
Tadi dia
berbuat seperti itu karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama
ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Dan kini, berhadapan dengan
pamannya yang marah, dia hanya dapat mengangguk saja.
“Maafkan,
paman,” katanya dan dia pun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat
Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan satu
tepukan tangan pada bahunya.
Sementara
itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi
hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah
penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh.
Memang
semenjak tadi dia sudah marah sekali. Pertama-tama, karena sebagai wakil, apa
lagi sebagai putera ketua Cin-ling-pai, dia hanya diberi tempat duduk di bawah
panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui
itu sungguh telah menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di
bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja!
Hal ini tak
mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia
mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan ‘kelas rendahan’ dan hal ini
tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw bila mendengar bahwa putera
ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapa pun juga,
dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan
membikin ribut di luar.
Akan tetapi,
dengan majunya Thian Sin, tak mungkin lagi dia dapat mendiamkannya saja. Thian
Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan
keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka jika maju
bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar
Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi I-beng yang dikatakannya
dimiliki oleh Thian Sin.
Ia sendiri
belum tahu bahwa ilmu mukjijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu
telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini sedang
menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apa lagi dia! Benarkah
ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han
Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia langsung meloncat
ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya
itu.
Sekarang dia
harus memberi penjelasan akan sikapnya. “Cu-wi yang terhormat,” katanya
ditujukan kepada fihak tuan rumah, berikut juga para tamu. “Saya adalah Cia
Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai,
memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang
seorang di antaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil
Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan
memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tak dapat diukur dari kekayaan atau
nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami
sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah
panggung!”
Ucapan Cia
Kong Liang ini nadanya keras bukan main, seolah-olah menampar muka tuan rumah
sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah.
Dia merasa tak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang
kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar
diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga
diberi tempat di bawah panggung!
Akan tetapi,
diam-diam dia pun gembira melihat bahwa pemuda perkasa deri Cin-ling-pai itu mau
melayani puterinya. Dengan demikian, kini makin banyak bermunculan
pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan
Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di
mana tingkat ilmu silatnya sungguh pun dia sudah girang sekali mendengar dari
Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mukjijat Thi-khi
I-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai!
Dia sendiri
pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali
Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka kini nama
Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar.
Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh
kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya
perkumpulan itu.
Sejak tadi
Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki
dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Meski pun tidak
setampan pemuda putera pangeran tadi, akan tetapi pemuda ini gagah perkasa dan
sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian!
Kalau saja
ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia merupakan seorang pemuda yang
sangat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah
selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu?
Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan
memandangnya dengan sekilas saja, dengan pandang mata sopan!
“Terima
kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh ini,” dia
berkata sambil tersenyum manis.
Akan tetapi
sikap Kong Liang biasa saja, tidak membalas senyum itu, melainkan berkata
dengan sikap hormat dan tegas, “Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai,
namun saya kira saya akan mampu menjaga diri.”
Bin Biauw
gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat.
Kong Liang juga segera melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari
pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata.
Melihat ini,
Bin Biauw lalu memuji, “Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong,
bersiaplah dan lihat serangan!” Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda
yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera
Cin-ling-pai ini!
Bin Biauw
sudah menyerang dengan gerakan yang sangat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak
pindah dari tempat dia berdiri, bahkan sedikit pun kakinya tidak tergeser. Dia
tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali
cahaya pedang berkelebat ke arahnya, dia baru menggerakkan Hong-cu-kiam untuk
menangkis.
“Cringgg…!”
Tangkisan
pertama itu amat mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya
tergetar hebat. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang
sangat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan
pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih
cepat.
Namun, ke
mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang
menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan
ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itu pun telah menangkis di
belakang tubuh pemuda itu.
Berkali-kali
terdengar bunyi berdencing nyaring dan nampaklah bunga api yang berpijaran
menyilaukan mata ketika semakin lama semakin sering pula pedang Bin Biauw
bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan
mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tak pernah membalas serangan, juga
tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan
atau kiri dan ke mana pun sinar pedang Bin Biauw datang menyambar, tentu selalu
bertemu dengan cahaya emas yang menangkisnya.
Dengan ilmu
Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang mampu membangun pertahanan yang kokohnya
bagaikan benteng baja dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apa
lagi dia memang memiliki sinkang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan
yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat sekali.
Makin lama serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus
kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis, maka terdengar
bunyi keras sekali.
“Tranggg…!”
Tubuh Bin
Biauw terhuyung ke belakang. Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh
keringat sedangkan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu
dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan dia pun menjura.
“Cia-enghiong
sungguh pandai, saya mengaku kalah!”
Setelah
berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya
dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat hal ini, Tung-hai-sian mengerti
bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari pada
puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mau
mengalah sebelum dirinya dikalahkan.
Tung-hai-sian
pun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut
kemenangan Cia Kong Liang dengan rasa girang, terutama mereka yang duduk di
bawah panggung, karena bagaimana pun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia
mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu.
“Cia-sicu
sungguh memiliki ilmu pedang yang sangat lihai. Itukah yang disohorkan orang
sebagai Siang-bhok Kiam-sut?” kata datuk itu sambil tersenyum.
Secara
diam-diam Kong Liang terkejut juga. Menurut ayahnya, selama belasan tahun ilmu pedang
ini tak pernah dimainkan di depan umum, apa lagi digunakan dalam pertandingan,
maka sekarang begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan
saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini
memang memiliki pengetahuan yang luas sekali.
“Pandangan
locianpwe sangat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari
perkumpulan kami.”
“Bagus,
bagus… dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu beserta
rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu
dengan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat
bicara dengan enak.”
Kong Liang
adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka
disanjung. Jika tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar
orang jangan memandang rendah pada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin
disanjung dan dipuji.
Andai kata
nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andai kata para tamu yang duduk di
bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya dia pun akan
tetap menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, sesudah dia berhasil
memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri
tuan rumah atau para tamu dari panggung, maka sudah cukuplah baginya.
“Terima
kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggung pun tidak mengapa asal
orang tidak memandang rendah terhadap kami yang duduk di bawah!” jawabnya
sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas
panggung.
“Cia-sicu,
sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!” Kakek itu berseru dari
atas panggung.
“Baik,
locianpwe.” jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula.
Dia disambut
oleh Han Tiong dengan senyuman, akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya.
Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya tadi. Cia Kong Liang
terlampau sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seakan-akan dia yang paling
lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih
kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw tadi
benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi dia pun tidak banyak
cakap, hanya menunduk saja.
Setelah para
tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras
agar terdengar pula oleh Kong Liang, “Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus
segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun.”
“Engkau
benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami
berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang.”
Kong Liang
bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika
beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa
dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis.
Tadi, pada
saat dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikit pun tidak
mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan walau pun seperti para tamu
lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sebenarnya
untuk mencari jodoh, namun sedikit pun juga dia tidak mempunyai niat untuk
memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu.
Kini,
setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan serta melihat sikap
Tung-hai-sian, diam-diam dia kemudian mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu
tertarik kepadanya dan diam-diam dia pun baru merasa bingung karena sesungguhnya
dia sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mencari jodoh, sungguh pun ayah
bundanya sudah sering mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu.
Bersama-sama
para tamu yang lain mereka bertiga lalu menghampiri panggung di mana
Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit. Ketika melihat Kong Liang dan
kedua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget lantas memegang
tangan ayahnya. Alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan
kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak pergi meninggalkan tempat
itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang,
Han Tiong dan Thian Sin.
“Locianpwe,
kami bertiga hendak mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala
penyambutan Locianpwe sekeluarga,” kata Kong Liang sambil memberi hormat,
diturut oleh dua orang keponakannya.
“Ehh,
Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu… penting sekali…,”
kata kakek itu.
Akan tetapi
pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak
dapat berbicara dengan leluasa. Sesudah rombongan tamu itu disambutnya dan
terbuka kesempatan, barulah Kong Liang berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Maaf,
locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang
harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama
lagi. Kami mohon diri.”
“Cia-sicu…
kalau begitu, begini saja. Harap sampaikan hormat dan salamku kepada ketua
Cin-ling-pai, ayahmu, dan harap sampaikan pula kepada beliau bahwa dalam waktu
dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk…
bicara… eh, untuk mempererat persahabatan antara kita.”
Wajah Kong
Liang berubah merah, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang
dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu hendak membicarakan urusan
perjodohan. Apa lagi? Antara Cin-ling-pai dengan para datuk kaum sesat tak ada
sangkut-paut dan urusan apa-apa.
“Baiklah,
tentu nanti akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan… Nona Bin,
selamat tinggal dan terima kasih.”
Bin Biauw
cepat membalas penghormatan pemuda itu. “Sampai berjumpa kembali, Cia… koko…,”
kata dara itu dengan sikap manis sekali.
Sesudah
mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak
dapat menahan perasaan hatinya lagi kemudian berkata sambil tersenyum masam.
“Ahh, sekali ini Paman Kong Liang telah berhasil.”
Kong Liang
memandang kepada putera pangeran itu. “Berhasil? Apa maksudmu?”
“Paman tidak
hanya sudah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah berhasil
menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya.”
“Hemm, Thian
Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!”
“Kenapa
paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian telah menjelaskan sikapnya, hendak
datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apa lagi kalau tidak hendak membicarakan
mengenai urusan pernikahan? Ahh, kionghi (selamat), paman!” Dan Thian Sin
benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.
“Gila!” Kong
Liang membentak, mukanya berubah merah. “Apa kau sangka begitu mudah menentukan
urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!”
“Wah, sikap
Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi dia pun tiba-tiba saja menyebutmu… dengan
sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?”
“Thian Sin,
jangan sembarangan bicara kau!” Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah,
atau pura-pura marah.
Melihat ini,
Han Tiong yang semenjak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan
berkata, “Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kau goda paman.
Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh.”
Akan tetapi
saat mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan
yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah
jalan sehingga ketiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka
segera mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tetap
memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan
lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni
Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam terhadap Kakek Yap Kun
Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu!
Di samping
dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han
Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang
pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara
manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga
puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai
dengan joan-pian berselaput emas itu.
Melihat
betapa keenam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya
kemudian berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan, “Kalian diamlah
saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka apa bila terpaksa aku
harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk
membela diri kalau diserang.”
Thian Sin
tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, lantas menyentuh lengan
adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu.
Dengan sikap
yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang cepat
mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak
melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di
depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas,
“Harap cu-wi
suka minggir dan membiarkan kami lewat.”
Bagaimanakah
putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu
kemudian menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu
See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka See-thian-ong datuk
dari barat dan Pak-san-kui dari utara sudah lama saling mengadakan hubungan
seperti rekan seangkatan atau segolongan, sebab itu tidak mengherankan apa bila
Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling.
Ketika
Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu mampu
mengalahkan sekaligus menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian
nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong
merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin
Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang satu
golongan dengan ayahnya sebagai datuk timur.
Ada pun
pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya ‘kaum
pendekar’ dan yang semenjak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan
ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua
Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah
sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid
See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan
penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu.
Hal ini
disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong,
sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang pemuda itu
sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan
Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini.
Demikianlah,
Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid
See-thian-ong itu kemudian bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga
orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu.
“Tring-tranggg…!”
Yang-kim di
tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tawa pemuda tampan pesolek
itu.
“Ha-ha-ha,
sekarang sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua
Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw!
Wah, wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!”
Han Tiong
yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai
sahabat dan dijamu makan, merasa tak enak kalau harus bermusuhan dengannya,
maka dia sudah cepat berkata,
“Saudara
Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak
ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami.”
“Han Tiong,
mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!” Cia Kong Liang
berkata dengan suara nyaring dan tajam.
Memang dia
sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong tadi. Mendengar ucapan
Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu, kemarahannya makin
berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi
Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa. Sepasang matanya kini mencorong
seperti mata seekor naga saja.
“Memang
benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti
bahwa kami takut menghadapi siapa pun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku
tidak salah lihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan
See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan
bersikap seperti ini?”
Enam orang
itu nampak jeri juga saat menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua
Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan
tertawa-tawa itu, yang biasanya sangat mengandalkan kepada diri sendiri, kini
diam-diam merasa gembira bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena
terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang
diri saja, dia masih akan berpikir panjang.
Akan tetapi
pada saat itu pula, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang tadi,
terdengar suara keras, “Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!”
Dan
nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon, kemudian dua tubuh yang
melayang itu berjungkir balik bagaikan bola-bola besar, berputar-putar dan baru
turun di depan Kong Liang. Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik
itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih
baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua
orang laki-laki berpakaian pengemis!
Usia mereka
sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan
beraneka macam dan warna, tetapi pakaian mereka tidak butut seperti pakaian
pengemis-pengemis biasa, namun bersih dan agaknya memang hanya merupakan
pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel sehingga
menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti cara orang membawa pedang,
terlihat sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam
dan butut.
“Aha,
kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?” seru Siangkoan Wi Hong dengan
girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini.
Dia tidak
mengenal pribadi semua anggota Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat
orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan
‘Hok-mo-pang’ (Tongkat Penakluk Iblis) itu, maka tahulah dia bahwa mereka itu
adalah dua orang anggota Bu-tek Kai-pang yang dipimpin atau diketuai oleh
Lam-sin (Malaikat Selatan), yaitu datuk selatan....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment