Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 28
TANG GUN
amat terkejut, mencoba untuk mengelak sambil menangkis, namun masih saja
tendangan kaki orang itu menyerempet pahanya. Dia pun cepat-cepat meloncat dari
atas pembaringan sambil mencabut pedang Kwan-im-kiam!
“Sumoi....!”
Han Siong memanggil lirih saat melihat sumoi-nya tergeletak terlentang dalam
keadaan sudah telanjang bulat sama sekali. Cepat dia menggerakkan tangannya
menotok jalan darah di pundak dan tengkuk gadis itu. "Cepat berpakaian,
Sumoi!"
Kini Bi Lian
dapat bergerak. Biar pun kaki tangannya masih terasa kaku, dia cepat meraih
pakaiannya dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa.
Tang Gun
marah bukan main. Diumpamakan daging sudah di depan mulut, kini tergelincir
lepas. "Keparat busuk!" bentaknya.
Dia pun
langsung menyerang dengan pedang Kwa-im-kiam. Akan tetapi Han Siong telah
mengerahkan kekuatan sihirnya kemudian dia menuding ke arah pedang di tangan
Tang Gun sambil membentak dengan suara nyaring penuh wibawa.
"Engkau
memegang ular itu untuk apa?"
Tang Gun
tertegun. "Ular...?" Dan otomatis dia memandang ke arah pedang pada
tangan kanannya dan matanya terbelalak lebar, mukanya pucat seketika.
"Ular....!"
teriaknya.
Dia pun
cepat melemparkan pedang itu ke atas lantai dengan jijik karena yang dilihatnya
bukan lagi pedang, tetapi seekor ular yang dipegang tangan kanannya. Timbul
perasaan takut di hatinya sehingga dia hendak melarikan diri melalui pintu yang
dijebol itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu sumoi-nya,
Siangkoan Bi Lian, sudah berdiri di ambang pintu menghadangnya!
"Suheng,
serahkan keparat ini kepadaku. Tolonglah Cia Kui Hong, dia berada di kamar
sebelah!" kata Siangkoan Bi Lian. Mendengar ini Han Siong segera meloncat
keluar dari dalam kamar itu.
"Jahanam
busuk, sekarang saatnya kita menyelesaikan perhitungan sampai tuntas!"
kata Bi Lian dengan sikap tenang, tetapi sepasang matanya mencorong seperti
mata naga dan mukanya merah karena dia sudah marah sekali. Tang Gun merasa jeri
sekali.
"Sumoi....
tadi aku telah khilaf... maafkanlah aku, Sumoi, dan biarkan aku pergi. Aku amat
menyesal...”
"Jahanam
busuk! Engkau sudah membohongi dan menipu orang tuaku sehingga engkau berhasil
mencuri ilmu silat kami! Kemudian, aku yang menjadi sumoi-mu sudah
bersusah-payah hendak membantumu mencari musuhmu. Ternyata engkau adalah anak
Ang-hong-cu, sudah bersekongkol dengan ayahmu untuk menawanku secara curang dan
pengecut! Semua ini masih ditambah lagi dengan perbuatanmu yang terkutuk tadi.
Engkau hendak memperkosa aku! Dan sekarang engkau minta maaf? Hemmm, orang she
Tang! Biar pun engkau kubunuh sampai seratus kali, hutangmu masih belum
lunas!"
Tang Gun
merasa takut sekali. Ketika sumoi-nya itu menjadi tawanan, dia pun tidak lagi
menyembunyikan kenyataan dirinya bahwa dia bernama Tang Gun dan putera
Ang-hong-cu, maka sekarang Bi Lian sudah mengetahui semua rahasianya. Bagaikan
seekor anjing tersudut, matanya melirik ke sana-sini mencari lubang untuk
melarikan diri.
Pandang
matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu
berubah menjadi ular. Sekarang pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi
berbentuk ular melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia
berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana,
matanya berkilat dan tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke
arah pedang itu.
"Deessss....!"
Tubuhnya
terpelanting akibat sebuah tendangan yang datang dari kiri dan tepat mengenai
lambungnya. Tang Gun segera meloncat bangun lagi dan ternyata pedang
Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek.
"Pedang
ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotor,” katanya dan menyimpan
kembali pedang itu ke dalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja,
lantas memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka
miliknya itu, berarti dia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapinya
dengan tangan kosong saja.
Tang Gun
tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap
seperti asap tipis tertiup angin, dan sekarang yang ada hanyalah kebencian dan
keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan
diri dari ancaman sumoi-nya ini.
Cinta nafsu
memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah
nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanya pun akan segera
luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian.
Dia
menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari
ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan sanggup menandingi
Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itu pun tidak mempergunakan pedangnya.
Tang Gun
menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil
mengeluarkan bentakan nyaring dia segera menyerang dengan pukulan dahsyat.
Melihat betapa suheng-nya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu
silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi makin
penasaran dan marah. Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di
depannya sudah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun
sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya.
Maka Bi Lian
juga memainkan ilmu silat itu dan mereka pun bertanding dengan seru dan
mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka mereka nampak seperti sedang
latihan saja. Akan tetapi sebenarnya mereka saling serang dengan dahsyat,
dengan jurus-jurus maut. Biar pun Bi Lian menang matang latihannya, di samping
tingkat kepandaian gadis ini memang lebih tinggi, namun Tang Gun masih dapat
bertahan dengan kenekatannya.
Sementara
itu Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu sesudah mendengar ucapan Bi Lian
tadi. Dia percaya sepenuhnya bahwa sumoi-nya itu pasti akan marnpu rnengalahkan
lawannya. Sekarang dia harus lebih dahulu menolong Cia Kui Hong yang berada di
kamar sebelah.
Seperti juga
tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ
terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang menggeluti Cia Kui Hong! Akan
tetapi agaknya Tang Cun Sek tidak tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba
untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu
menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak
rnemperkosanya.
Berbeda
dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini keadaan Kui Hong masih
mengenakan pakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan
menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis ini pun lemas
tertotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, juga tidak mampu
berteriak.
"Brakkkkk....!"
Sesudah daun
pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya pemuda ini tadi tidak begitu
memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah karena dibakar nafsu
birahinya. Sesudah daun pintu kamar itu jebol baru dia terkejut dan cepat-cepat
meloncat turun dari pembaringan, membalik sambil mencabut sepasang pedang
Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong.
"Keparat!"
bentak Han Siong dan dia pun telah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar
perak berkilat menyilaukan mata.
Cun Sek
terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun
pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah dikalahkan oleh
pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, maka dia pun cepat
menggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, menangkis sambil mengerahkan
tenaganya.
“Trangggg...!”
Sepasang
pedang di tangan Cun Sek terpental hingga hampir terlepas dari pegangan. Dia
terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu
langsung digunakan oleh Han Siong untuk melompat ke dekat pembaringan. Tangan
kirinya cepat membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis ini pun
terbebas dari totokan.
Cun Sek yang
ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan
menghadang di pintu sambil membentak. "Engkau hendak lari ke mana?!”
Cun Sek
terkejut dan semakin jeri, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia
pun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun serangannya
dapat ditangkis dengan mudah oleh Han Siong. Sementara itu Kui Hong
menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, lalu
dia meloncat ke depan.
"Saudara
Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskan keparat
ini!"
Pek Han
Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, karena itu setelah mendesak lawan
sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada
gadis itu.
"Nona
Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Ini adalah pedang rampasan dari Sim Ki Liong,
sekarang kuserahkan kepadamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!"
"Gin-hwa-kiam....!"
Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang itu dari tangan Han Siong.
Sesudah
menyerahkan pedang Gin-hwa-kiam itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu
mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi
Lian. Bagaimana pun juga dia mengkhawatirkan keselamatan sumoi-nya atau gadis
yang dicintainya itu.
***************
"Trang...!
Cring...! Tranggg…!"
Bunga api
berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu
di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, namun lawannya, Si Kumbang Merah
yang merupakan ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat
pula.
Pertandingan
antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, namun
pertandingan itu merupakan pertarungan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu
Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya
yang amat dikagumi juga sangat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya.
Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum
kematian, mungkin dihukum buang atau dihukum seumur hidup, mungkin juga mati
dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya.
Tidak, dia
harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka pertandingan itu
merupakan persoalan mati hidup baginya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu
simpanannya dan mengerahkan semua tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkan,
yaitu bila pemuda itu mempergunakan sihirnya. Dia sendiri memiliki kekuatan
untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu
terlalu kuat maka dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka.
Namun
sedikit pun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya.
Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia
seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap
orang tua itu.
Hal yang
membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tak mau membunuh
lawannya, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi
dengan tekad membunuh, kiranya tak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia
membatasi serangannya agar tidak sampai membunuh lawan bila sampai mengenai
sasaran, dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan
serangan itu.
"Trang…!
Tranggg...!”
“Haiiiiittt....!”
Setelah dua
kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si
Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu
menyambar ganas. Ujung lain ini berupa kaitan runcing. Hay Hay kembali
menggerakkan pedangnya menangkis karena sambaran itu amat cepat sampai
mengeluarkan suara berdesing,.
"Cringgg...!"
Ujung rantai
yang berbentuk kaitan itu sekarang melibat pedang dan kaitannya mengkait
pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan
rantai itu, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya!
Serangan
susulan ini hanya mungkin terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh
lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mukjijat
yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sinkang yang diperkuat tenaga sihir
sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan.
Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawannya ini, maka dia mengerahkan
tenaga hanya untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh
peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai.
Dalam
keadaan terdesak itu Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Gerakan ini pun
kembali merupakan mengalah, hanya untuk menghindarkan diri. Apa bila dia mau,
maka dengan kekuatan tangannya yang dahsyat dia dapat menyambar dan menangkap
rantai di balik pisau itu, kemudian melontar balikkan pisau ke arah
penyerangnya.
Keadaannya
makin terdesak Karena sikap mengalah ini, dan selagi dia mengelak dengan
merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak
tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba.
"Dessss...!"
Tubuh Hay
Hay terlempar. Dia cepat bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran
pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan
menghujankan serangannya. Walau pun dia tidak terluka, namun dadanya yang
tertendang terasa nyeri.
Dia berhasil
menghindarkan desakan senjata lawan kemudian meloncat berdiri. Namun Si Kumbang
Merah tidak memberinya kesempatan untuk mengatur kedudukannya dan terus
melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib
Jiauw-pouw Poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran
senjata itu.
Pertandingan
antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah
mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk bisa merobohkan puteranya,
akan tetapi semua serangannya itu sia-sia belaka dan karena usianya, juga
karena dia seorang yang semenjak muda sering menghamburkan tenaga melalui
keroyalannya dengan kaum wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya
penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang.
“Tar-tarr-tarrr...!"
Tiba-tiba
terdengar suara ledakan-ledakan kecil, dan sebatang cambuk dengan ganasnya
menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah hingga membuat dia terkejut
dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang.
"Mayang....!"
kata Hay Hay yang juga langsung menghentikan serangannya. Dia merasa girang
sekali melihat adiknya selamat, namun juga khawatir melihat gadis itu menyerang
Ang-hong-cu. "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini
adalah urusan antara aku dan dia!"
Mayang
mengerutkan sepasang alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan
tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong
marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu.
"Tidak,
Koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia telah mempermainkan
ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, walau pun dia tahu bahwa aku adalah
anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong
dan enci Bi Lian dengan niat yang amat jahat. Aku harus membunuhnya!"
Dia kembali
menerjang dan cambuknya segera meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An
yang cepat menggerakkan sepasang senjata pada kedua ujung rantai untuk membela
diri sambil balas menyerang. Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang telah
menerjang maju pula untuk membantu Mayang.
"Sim Ki
Liong, kau pengkhianat!" bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim
Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya.
Melihat ini
Hay Hay merasa tak enak sekali. “Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah
dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!” Dia meloncat ke dalam pertempuran
dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi
penonton.
Dia masih
merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimana pun juga, tadinya dia
adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia
sudah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai
Merah.
Hay Hay
melompat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia
merasa malu untuk mengeroyok, karena itu dia membiarkan saja Mayang menyerang
ayah mereka ini, sedangkan dia hanya bergerak untuk melindungi Mayang dari
serangan Ang-hong-cu.
Tentu saja
Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimana pun juga Mayang memiliki
kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu dahsyat bukan
main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat
dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu
melindungi Mayang!
"Tarrrrrr....!"
Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu.
Orang tua
ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping kiri, dan sambil
mengelak kaitan di ujung rantainya lantas menyambar dari bawah ke arah perut
gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Dia melompat ke
kanan untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan cambuknya lagi.
"Tarrr...!”
Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan.
"Prattt!"
Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke
kiri.
Mayang agak
bingung ketika melihat gerakan bergulingan ini. Akan tetapi karena lawan
menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka dia pun segera mengejar
dengan loncatan.
"Singgg...!"
Kini pisau
di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut
dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke
arah perut.
“Tranggg…!"
Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya
mengancam adiknya.
“Jahanam!"
Mayang memaki, kemudian cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun.
"Tar-tarr-tarrr....!”
Ang-hong-cu
kembali bergulingan mengelak sambil menjauh, akan tetapi tetap saja ujung
cambuk itu menyambar ke arah punggung.
"Bretttt....!"
Robeklah punggung baju itu, bahkan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung
cambuk sehingga terluka dan berdarah!
Ang-hong-cu
mengeluarkan teriakan nyaring dan sekarang rantainya menyambar-nyambar
sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang
untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang
Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu bisa dibendung, bahkan
kemudian serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan.
Keadaan Si
Kumbang Merah ini makin payah karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya
sedangkan dia tak mampu membalas karena gadis itu terus dilindungi pedang
ditangan Hay Hay. Kini napasnya semakin memburu dan pakaiannya sudah basah oleh
keringat sehingga bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya.
Sementara
itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong yang menghadapi Tang Cun
Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi
Lian dan Tang Gun telah berpindah keluar kamar. Tang Gun membela diri
mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia
menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan
apa saja, tapi semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur
oleh Bi Lian yang sudah marah sekali.
Tang Gun
berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi dengan cepat sekali Bi
Lian langsung mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena
didesak terus oleh Bi Lian. Ketika Han Siong muncul, pemuda ini pun hanya
berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok,
apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan.
Sepasang mata
Tang Gun melotot karena marah dan juga merasa takut, mulutnya kering berbusa
dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi
Lian. Juga kini gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah
tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit serta
dagingnya terobek dan berdarah.
"Hyaaaattt....!"
Bi Lian menyerang kembali, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke
Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun.
Melihat ini
tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan
tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam
yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis.
Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan
yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke
belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat.
Dia tidak
tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis ini pun
bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba
gadis itu pun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara
melengking.
Tang Gun
terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apa
lagi ketika dara itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba
jantungnya terasa bagaikan diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua
tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut
dan dadanya, dia pun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas
seketika!
Memang Bi
Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu
pukulan yang dibarengi dengan ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung
lawan, yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang
menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)!
Dia pun
meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah
tak bernyawa lagi. Dia membayangkan betapa tadi Tang Gun telah menggelutinya,
bahkan menelanjanginya, maka dia pun meludah ke arah mayat itu.
"Sumoi...!"
Pek Han Siong memanggil.
Bi Lian
memutar tubuhnya. Begitu melihat Han Siong, bayangannya lalu berlanjut. Betapa
Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu
membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut
menyerang Tang Gun.
"Suheng....!"
Bi Lian pun menggigil teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya.
"Kenapa,
Sumoi... ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau
kenapa?"
Bi Lian
menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, Suheng... hanya aku teringat tadi...
kalau engkau tidak cepat datang menolongku.... ahhhh.... si keparat itu...”
"Sudahlah,
Sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong.
Lihat, dia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Bahkan kini mereka berkelahi
di luar rumah."
Keduanya
lantas berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih
bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai
dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong
menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan.
Tang Cun Sek
maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong
membebaskan totokan Kui Hong sehingga membuat gadis itu dapat bergerak lagi,
kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia
merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia
Kui Hong.
Menghadapi
Pek Han Siong seorang diri saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah saat
bertanding melawan Kui Hong dalam memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai.
Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu
singkat. Akan tetapi kemudian Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat
dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari
dalam kamar.
"Jahanam
busuk, engkau hendak lari ke mana?!" Kui Hong mengejar.
Ketika tiba
di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit
itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi!
Dia menjadi bingung, namun pada saat itu pula Kui Hong sudah menyusulnya dan
langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun
Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong.
Seperti juga
pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, sekarang
pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar
saudara seperguruan. Seperti yang kita ketahui, Cun Sek sudah mewarisi
ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua
Cin-ling-pai, bahkan kini dia adalah ketuanya!
Akan tetapi
Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat
Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga dia
sudah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah
kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek.
Dan Kui Hong
benar-benar memanfaatkan kelebihannya ini. Walau pun Cun Sek mampu membela diri
dengan baik dan rapat, akan tetapi lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui
Hong. Sekarang Gin-hwa-kiam telah berada di tangannya, maka dia pun memainkan
ilmu pedang tunggal Gin-hwa Kiam-sut yang dipelajari dari kakeknya, sambil
kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang
(Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya.
Ketika Pek
Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di sana, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek
dengan hebatnya. Melihat ini Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu tetapi
hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya.
Jelas bahwa gadis ini sudah memperoleh kemajuan pesat sekali dan semakin hebat
saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kui Hong
tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka dia pun dapat menduga bahwa Bi
Lian sudah berhasil ‘membereskan’ Tang Gun. Ia merasa penasaran karena dia
sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka dia segera mengeluarkan
seruan melengking nyaring dan memutar pedang Gin-bwa-kiam dengan cepat serta
mengandung tenaga yang amat kuat untuk menempel dua batang pedang lawan.
Cun Sek
terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan
dirinya, dia cepat menarik sepasang pedang itu sambil meloncat mundur.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong. Dia menancapkan pedangnya di atas
tanah, lalu melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok
sambil kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking.
"Hyaaaaattt...!"
Tenaga
dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong
Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang
sangat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya, dan merupakan
ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis.
"Desssss...!"
Walau pun
dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan dara itu
menerobos sehingga hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, lalu
bagian bawah dada Cun Sek kena dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia
mengeluarkan suara parau lantas terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam
terlempar ke atas dan dia pun tewas seketika.
Kui Hong
meloncat ke atas dan dengan dua tangannya dia menyambut sepasang pedang
miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan
tenang dia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian.
"Jahanam
itu sudah kau bereskan?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk.
Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong.
"Saudara
Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini aku
kembalikan Gin-hwa-kiam yang kau pinjamkan kepadaku tadi."
Han Siong
memberi hormat dan menolak dengan halus. "Ahh, nona Cia Kui Hong, kenapa
berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada hanyalah
saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini
adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku
hanya meminjam dari saudara Tang Hay... ahh, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak
nampak...?”
"Kau
maksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong tertarik.
"Memang
kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Ia mengambil jalan belakang, aku dari
depan dan... ahhh, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa
digunakan Mayang. Mari!" Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok
dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok
itu.
Mereka
bertiga berlari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang
pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan
kumis.
"Hemm,
agaknya inilah wajah yang asli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong.
Mereka
melihat betapa Mayang terus mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada
Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas lagi karena gadis itu dilindungi oleh Hay
Hay. Pakaiannya sudah tercabik-cabik dan mukanya sudah penuh guratan merah
akibat terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga.
"Jahanam,
kiranya engkau masih di sini?" tiba-tiba Kui Hong membentak, kemudian
sekali loncat tubuhnya sudah berada di depan Sim Ki Liong.
Sim Ki Liong
nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan
atau sikap melawan. Melihat ini Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal
untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang minggat melarikan diri
dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang
jahat dan ikut pula menangkapnya.
"Sim Ki
Liong, hayo cepat gunakan senjatamu. Di sini kita selesaikan semua perhitungan
di antara kita. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah untuk
menghukum engkau, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi
kejahatanmu."
"Nona,
aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di
Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul
dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku,
silakan, Nona. Aku siap menerima hukuman mati sekali pun, aku tidak akan
melawan dan aku menerima kesalahanku."
Kui Hong
tertegun. Tidak percaya. Dia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai dan belum tentu dia
akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini secara mudah.
Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekali pun
tanpa melawan?
"Sim Ki
Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi
menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!"
Mendadak Ki
Liong menjatuhkan diri berlutut, tidak menghadap Kui Hong melainkan ke arah
selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan, "Suhu dan
subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan
ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu
merasa bersalah dan jika suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk
menghukum teecu, maka teecu akan menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo
memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa."
Mendengar
ini Kui Hong mengerutkan alisnya. Dia masih menganggap bahwa Ki Liong
berpura-pura atau bersandiwara agar dia merasa iba. Maka dia berkata lantang,
"Bagus! Kalau begitu biarlah aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman
mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan
dunia!"
Ia melangkah
maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya dan siap
untuk menerima pancungan pedang Kui Hong.
"Enci
Kui Hong, jangan...!" Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu.
Teriakan ini
mengejutkan Kui Hong sehingga dia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini
berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut.
"Enci
Kui Hong, jangan bunuh dia!"
Kui Hong
mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak. “Mayang, dia ini seorang yang
jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!”
“Tidak, enci
Kui Hong! Biar pun dia pernah tersesat, namun dia sudah menyadarinya dan
bertobat. Bahkan dia sudah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa
hendak membunuhnya, kau bunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!” Ucapan Mayang ini
membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang
matanya.
“Adik
Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga..."
"Mayang,
minggir kau!” Kui Hong membentak.
"Tidak,
enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun.
"Aihh,
Mayang. Ada apa dengan engkau? Mengapa engkau mendadak melindungi Sim Ki
Liong?" tanyanya penasaran.
"Enci
Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku... aku juga cinta padanya. Aku pernah
mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga
terpaksa aku harus berpisah darinya. Sekarang jangan engkau memaksa aku
berpisah pula dari orang yang kucinta."
Semua orang
terbelalak, kagum dengan keberanian serta ketulusan hati gadis peranakan Tibet
itu, juga merasa terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki
Liong, mengerutkan alisnya.
"Mayang,
jangan memaksa aku untuk merobohkanmu terlebih dahulu supaya aku dapat membunuh
keparat itu."
"Aku
bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!"
Pada saat
yang menegangkan itu Hay Hay sudah bertanding kembali melawan Ang-hong-cu. Akan
tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu, dan hatinya menjadi
gelisah bukan main.
Dia tahu
bahwa ada hubungan kasih antara Sim Ki Liong dengan adiknya, dan kini malah
adiknya membuat pengakuan yang begitu terbuka bahwa dia pun mencintai pemuda
itu. Maka Hay Hay menjadi semakin khawatir saat mendengar suara Kui Hong yang
agaknya berkeras hendak membunuh Ki Liong.
Karena
perhatiannya terpecah, bahkan sebagian besar ditujukan ke arah adiknya dan Kui
Hong, maka perlawanannya terhadap desakan Ang-hong-cu menjadi lemah sehingga
dia pun terdesak. Saking khawatirnya, Hay Hay cepat meloncat ke belakang dan
menoleh ke arah Kui Hong.
“Hong-moi...,
jangan bunuh dia. Dia telah membantu kami melawan para penjahat...”
“Crattt...!
Augghhh...!”
Hay Hay
sudah mengelak namun tetap saja pangkal lengan kirinya tersabet pisau di ujung
rantai yang digerakkan Ang-hong-cu Tang Bun An secara curang karena tadi dia
melihat kesempatan bagus sekali ketika Hay Hay meloncat dan menoleh ke arah Kui
Hong. Hay Hay terhuyung dan melihat ini, Si Kumbang Merah menerjang dengan
senjatanya. Kaitan itu menyambar ganas ke arah leher Hay Hay.
"Trangggg...!”
Kaitan itu membalik ketika ditangkis oleh pedang di tangan Kui Hong yang sudah
menolong Hay Hay.
"Ang-hong-cu
iblis busuk! Engkau curang dan pengecut sekali!" bentak Kui Hong sambil
menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu, sedangkan pedang
Gin-hwa-kiam siap di tangan kanan.
Ang-hong-cu
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Kui Hong! Katanya engkau ketua
Cin-ling-pai, akan tetapi ternyata hanya menjadi seorang pengeroyok saja. Siapa
yang curang dan pengecut? Ha-ha-ha, nona manis, engkau boleh membantu Hay Hay
dan maju bersama dia untuk mengeroyok aku!"
"Hong-moi,
mundur. Aku masih sanggup menghadapinya!" kata Hay Hay setelah memberi
obat bubuk pada luka di pangkal lengan kirinya. Kui Hong memandang kepada Hay
Hay dengan alis berkerut.
"Aku
pun tidak sudi mengeroyok, dan aku pun percaya bahwa engkau tentu akan mampu
mengalahkannya, Hay-ko. Aku juga percaya bahwa engkau sudah tahu kalau
kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, setiap penjahat harus dihukum, tak
peduli siapa pun dia! Hubungan keluarga tidak boleh mempengaruhi keadilan!"
Setelah berkata demikain, Kui Hong melangkah mundur.
Gadis ini
melihat betapa ketika membantu Mayang tadi Hay Hay sama sekali tak pernah
menyerang Ang-hong-cu, seolah-olah dia tidak tega dan sengaja mengalah terhadap
ayah kandungnya itu. Maka kini dia mengingatkan Hay Hay agar tidak bersikap
lemah. Dialah orangnya yang akan merasa menyesal dan kecewa bukan main kalau
karena hubungan keluarga, Hay Hay sampai melupakan kebenaran dan keadilan, dan
sengaja melindungi ayah kandungnya yang jahat sekali itu.
Hay Hay
memandang pada Kui Hong dan dua pasang mata itu saling tatap, dua pasang sinar
mata bertaut sebentar.
"Aku
mengerti, Kui Hong!"
Kini Hay Hay
menghadapi Ang-hong-cu dan begitu dia mengeluarkan suara melengking nyaring
yang memekakkan telinga dan mengguncang jantung, dia pun menerjang dengan
pedang Hong-cu-kiam diputar cepat. Nampak sinar emas bergulung-gulung,
menyambar ke arah Ang-hong-cu yang cepat menyambut dengan senjata rantainya.
"Tranggg…!
Cringgg...!"
Si Kumbang
Merah terkejut bukan main karena kini Hay Hay menggunakan tenaga sakti yang
amat dahsyat sehingga dua senjata itu, yaitu pisau dan kaitan, menjadi patah
ketika kedua ujung rantainya bertemu dengan pedang! Dan sinar pedang emas itu
masih terus menyambar ke arah kepalanya, demikian cepatnya sehingga kembali
Ang-hong-cu harus menangkis dengan rantainya yang dipegang kedua tangan pada
ujung yang sudah tidak ada senjatanya lagi.
"Trangggg....!"
Rantai itu
putus menjadi dua dan tubuh Ang-hong-cu terjengkang lantas dia bergulingan
sampai jauh. Dia cepat melompat bangun, wajahnya berubah pucat dan kedua
matanya terbelalak, akan tetapi wajah itu menjadi merah kembali dan dia
tersenyum menyeringai.
"Bagus,
Hay Hay! Engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah. Senjataku sudah
putus dan tidak ada gunanya lagi, akan tetapi aku rnasih mempunyai tangan dan
kaki!"
Dia lalu
membuang dua potong rantai itu dan mernasang kuda-kuda dengan sikup gagah
sekali. Tubuhnya tegak lurus, kaki kanan diangkat sehingga tumitnya menempel
lutut kiri, tangan kanan menempel pada pinggang dengan jari tangan terbuka dan
tangan kiri agak bengkok ke depan, juga dengan jari tangan terbuka.
Hay Hay
memasukkan pedang Hong-cu-kiam ke sarungnya yang terselip di pinggangnya. Dia
adalah seorang gagah, tentu saja tak sudi melawan orang bertangan kosong dengan
senjata, apa lagi dia memang ingin menangkap Ang-hong-cu saja, bukan
membunuhnya. Melihat Ang-hong-cu masih hendak melawannya dengan tangan kosong,
bahkan bersikap menantang, Hay Hay menyimpan pedangnya dan dia pun melompat ke
depan lawan.
Ang-hong-cu
menyambut Hay Hay dengan serangan gencar. Dia menyerang dengan dua tangan
terbuka, kadang-kadang menusuk dan kedua tangannya dipergunakan membacok dan
menusuk seperti golok, kadang-kadang tangan itu terbuka untuk mencengkeram,
tapi di lain saat sudah dirubah lagi dengan kepalan yang memukul dahsyat.
Namun dalam
hal ilmu silat tangan kosong Hay Hay jauh lebih unggul dibandingkan ayah
kandungnya itu. Bukan hanya dia sudah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh
Delapan Dewa, namun juga semua ilmunya itu menjadi matang oleh gemblengan kakek
sakti Song Lojin.
Betapa pun
hebatnya ilmu silat tangan kosong Ang-hong-cu yang mengandung banyak kembangan
dan tipu muslihat, namun segera dia menjadi bingung dan repot sekali begitu Hay
Hay memainkan ilmu silat Cui-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa
Arak). Ang-hong-cu sama sekali tidak mengenal gerakan puteranya itu dan tidak
dapat menduga bagaimana perubahannya, tetapi dia hanya melihat betapa lawannya
seolah-olah berubah menjadi banyak, padahal Hay Hay sama sekali tidak
mempergunakan ilmu sihir .
Namun
Ang-hong-cu tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan semua ilmunya dan
mengerahkan segenap tenaganya. Akan tetapi dia sudah terlampau lelah, tenaganya
semakin berkurang dan setiap kali mereka mengadu lengan, dia terdorong dan
terhuyung ke belakang, lantas menyeringai kesakitan. Hay Hay mendesak terus.
Kui Hong,
Mayang, Han Siong dan Bi Lian hanya menoton dan mereka berempat merasa lega
serta kagum karena melihat betapa Hay Hay dapat mengungguli lawan yang sangat
tangguh itu. Dalam kesempatan ini, dengan suara lirih Mayang menceritakan
tentang Sim Ki Liong kepada Kui Hong.
Ki Liong
sendiri berdiri agak menjauh, juga turut menonton pertandingan walau pun lebih
banyak menunduk. Kini matanya baru terbuka benar betapa selama ini dia lebih
banyak bergaul dengan orang-orang sesat. Memang hal ini diakuinya, akan tetapi
dia pun merasa terpaksa sekali melakukan semua perbuatan itu.
Dia sudah
salah langkah untuk pertama kalinya ketika dia tergila-gila terhadap Kui Hong
lantas melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka
Gin-hwa-kiam. Itulah kesalahannya yang pertama, yang memaksa dia bergaul dengan
para penjahat dan orang sesat karena perbuatan itu tidak memungkinkan dia untuk
berdekatan dengan para pendekar.
Kini sungguh
terasa olehnya betapa ilmu silat baru bisa mendatangkan perasaan bangga dan
bahagia bila digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kalau digunakan
untuk menentang kejahatan. Sebaliknya, kalau dipergunakan untuk mengejar
kesenangan nafsu, hidupnya akan berlepotan kejahatan dan tidak akan merasakan
ketentraman lagi.
Pada suatu
saat Hay Hay menerjang lawannya dengan pukulan dari bawah depan. Gaya
permainannya memang amat aneh dan sulit diduga. Maklum, karena penciptanya
adalah Ciu-sian Sin-kai, si pengemis dewa arak sehingga gerakan itu mirip
gerakan orang mabok kebanyakan minum arak. Tetapi justru gerakan seperti itu
malah membuat lawan menjadi bingung.
Ketika
melihat tangan Hay Hay meluncur ke arah dadanya dengan gerakan yang sangat aneh
dan cepat sehingga dia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri lagi,
Ang-hong-cu menjadi nekat. Dia tak peduli lagi akan keselamatan dirinya dan
menerima begitu saja pukulan itu, akan tetapi membarengi dengan gerakan kedua
tangannya mencengkeram ke arah leher Hay Hay dari kanan kiri!
"Dukkk!"
Dada Ang-hong-cu terpukul.
"Plakkk!"
Pukulan dua
tangan terbuka dari Ang-hong-cu juga mengenai leher Hay Hay, akan tetapi
alangkah kagetnya Ang-hong-cu ketika merasa betapa dadanya nyeri sehingga
napasnya menjadi sesak. Pada waktu kedua tangan itu mengenai leher, dia merasa
seakan-akan menampar leher yang terbuat dari baja yang keras dan licin. Kedua
tangannya meleset ke bawah dan kini mencengkeram kedua pundak Hay Hay.
"Brettttt...!"
Baju pada
kedua pundak Hay Hay robek dan jari-jari tangan itu mencengkeram kulit serta
daging sehingga kedua pundak Hay Hay luka berdarah! Hay Hay menggerakkan
kakinya dan lututnya menendang.
"Brukkk!"
Perut Si Kumbang Merah tertendang lutut dan dia pun roboh telentang, meringis
kesakitan. Dia masih berusaha untuk bangkit berdiri sambil kedua tangannya
memegangi dada, akan tetapi dia terjatuh kembali, jatuh terduduk.
Kui Hong, Bi
Lian, Mayang, dan Han Siong kini berloncatan mendekati Ang-hong-cu dan tangan
mereka siap untuk memukul. Jelas nampak dari sikap dan pandang mata mereka
bahwa empat orang itu hendak membunuh Ang-hong-cu. Melihat ini, tanpa
mempedulikan kedua pundak serta pangkal lengan kiri yang terluka parah, Hay Hay
mendahului mereka, meloncat menghadang antara mereka berempat dan tubuh
Ang-hong-cu yang kini masih terduduk sambil meringis kesakitan.
"Jangan...!
Kalian tidak boleh membunuh dia!" katanya sambil mengembangkan sepasang
lengannya melindungi Ang-hong-cu yang meski pun masih meringis kesakitan akan tetapi
kini dia mengangkat muka memandang dan wajah yang kesakitan itu berseri
gembira!
"Hay-koko,
aku harus membunuh dia untuk membalaskan sakit hati ibuku!" kata Mayang
yang sudah siap dengan cambuknya.
"Hay
'Hay, ingatlah engkau kepada adikku Pek Eng?" kata Han Siong.
"Dan
ingat pula kepada Cia Ling. Aku harus membunuhnya!" kata Kui hong.
"Hay-ko,
orang ini terlalu jahat, kejam seperti iblis. Sudah sepatutnya kita bunuh
dia!" kata pula Bi Lian.
Hay Hay
menggeleng kepalanya dengan tegas. "Tidak, siapa pun tidak boleh membunuh
dia. Aku sudah berjanji untuk menangkapnya dan menyeret dia ke pengadilan
supaya dia dapat mempertanggung jawabkan semua dosanya. Aku menangkapnya untuk
menentang kejahatannya. Sekarang dia sudah tertangkap, dalam keadaan tidak
berdaya sama sekali, jika ada yang hendak membunuhnya maka terpaksa aku akan
melindunginya. Bagaimana pun dia ini adalah... ayah kandungku!"
“Bagus!
Engkau seorang lelaki sejati, Hay-ko!" Kui Hong berseru dengan wajah
gembira sekali dan dia pun kini melangkah maju lalu berdiri di sisi Hay Hay,
sikapnya menantang. "Hay-ko benar! Aku akan membantu dia melindungi Si
Kumbang Merah kalau ada yang hendak membunuhnya!"
Bi Lian dan
Han Siong mengerutkan alisnya, sementara itu Mayang memandang bingung.
Tiba-tiba mereka semua memandang kepada Ang-hong-cu yang tertawa bergelak
sambil duduk bersila.
“Ha-ha-ha!
Semua anak-anakku yang tidak mampu mengalahkan aku ingin membunuhku. Sebaliknya
Tang Hay, satu-satunya anakku yang mampu mengalahkan aku justru hendak
melindungiku dan tidak mau membunuhku. Ha-ha-ha! Engkau memang hebat, Tang Hay.
Engkau lebih hebat dari ayahmu. Sayang sekali engkau lemah dan tidak dapat
menikmati hidupmu. Engkau mata keranjang namun hanya lahirnya saja. Engkau
tidak sepenuhnya mewarisi watakku. Akan tetapi aku cukup puas. Aku kalah oleh
anakku sendiri. Tang Hay, sekarang apa yang akan kau lakukan terhadap
diriku?"
Hay Hay
memandang dengan alis berkerut. "Aku akan rnenyerahkanmu kepada Menteri
Cang. Beliau seorang pembesar yang adil dan bijaksana, tentu akan memberi
hukuman yang adil. Nah itu, beliau datang...”
Memang pada
saat itu terdengar suara gaduh, kemudian muncullah Cang Taijin bersama puluhan
orang prajurit pengawal. Mereka berhasil menemukan terowongan bawah tanah
sehingga akhirnya dapat sampai di tempat itu.
"Ha-ha-ha,
di dunia ini tidak ada seorang pun yang berhak membunuhku!" Ang-hong-cu
berseru sambil tertawa bergelak.
Semua orang
memandang, sementara Hay Hay cepat menangkap lengan Ang-hong-cu. Akan tetapi
terlambat. Orang itu sudah menelan sebutir pil hitam, lantas tiba-tiba saja dia
terkulai roboh. Wajahnya berubah menghitam, namun dia masih tertawa
terkekeh-kekeh. Suara ketawa itu lalu berhenti dan Si Kumbang Merah terkulai
lemas, tewas dengan mata terbelalak dan mulut masih terbuka seperti orang
tertawa.
Hay Hay
menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya, kemudian dia memejamkan mata
seperti orang berdoa. Bagaimana pun juga pria ini adalah ayah kandungnya!
Tidak lama
kemudian Hay Hay bangkit dan memondong mayat ayahnya, mencari tempat yang
terbaik di bukit itu, lalu menggali lubang kuburan. Tanpa banyak cakap lagi Pek
Han Siong membantunya, bahkan Mayang turut pula menangisi mayat ayah kandungnya
yang pernah dirindukannya itu.
Yang
terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan
perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggota badan. Tubuh
yang mestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya akhirnya justru
menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang kendali juga
telah dikuasai oleh kuda-kuda nafsu.
Badan
bagaikan kereta. Baik kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir mau pun kendalinya,
semestinya semua menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya
kuda-kuda nafsu maka kereta badan tak akan dapat bergerak maju. Tanpa adanya
kusir pikiran dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan
tetapi bila kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi dan menjadi liar, maka
nafsu akan kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang,
segalanya ikut menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang
Jiwa.
Sebaliknya,
kalau jiwa yang menjadi majikannya sedangkan semua alat itu hanya menjadi
hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Hanya
kalau jiwa ini bisa bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Kasih,
Allah Yang Maha Kuasa, maka jiwa akan mendapatkan kembali kekuasaannya atas
semua hambanya, yaitu jasmani.
Sesudah
jenazah Ang-hong-cu Tang Bun An atau Si Kumbang Merah dimakamkan, juga jenazah
Tang Gun dan Tang Cun Sek yang dikubur di sebelah kiri Ang-hong-cu, Hay Hay
bersama Mayang lalu menyembahyangi kuburan mereka secara sederhana.
Menteri Cang
Ku Ceng menyatakan penghargaan serta rasa terima kasihnya kepada para pendekar
yang untuk kedua kalinya membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan yang
dianggap berbahaya. Akan tetapi seperti biasa, Hay Hay dan para pendekar
lainnya tidak bersedia menerima anugerah jabatan, juga menolak pemberian hadiah
berupa harta kekayaan. Hal ini membuat Menteri Cang menjadi semakin kagum dan
hormat terhadap mereka.
***************
"Nona
Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar
Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku," kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong,
didengar pula oleh para pendekar lainnya.
"Benar,
enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan aku pun berharap agar
sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko."
“Menyerahkan
Gin-hwa-kiam kepadamu?" Kui Hong mengulang kata-kata itu dengan hati
heran. "Untuk apa?" Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki
Liong.
"Nona
Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Akulah yang dulu
mencurinya dan melarikannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa kini aku
telah sadar dan bertobat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada
suhu dan subo. Aku akan menghadap suhu dan subo, dan seandainya suhu dan subo
marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela."
"Aku
akan menemaninya, enci Hong. Andai kata engkau belum dapat percaya kepadanya
tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" kata Mayang.
Kui Hong
terlihat bimbang, kemudian dia menoleh kepada Hay Hay dan biar pun mulutnya
tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar
itu. Sungguh aneh, dia sendiri tidak mengerti mengapa dia berpaling kepada Hay
Hay untuk meminta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu dan
dia menghela napas panjang.
"Beruntunglah
orang yang sakit tapi dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya,
berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi
suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya
lalu bertobat dari pada orang baik yang membanggakan serta menyombongkan
kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong
karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih."
"Aku
setuju dengan pendapat Hay-ko," kata Siangkoan Bi Lian.
Gadis ini
bukan saja teringat betapa dia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, tapi
juga dia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya
adalah puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja
dan ratu!
Kui Hong
termenung. Dia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Dulu neneknya
adalah seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat
Selatan), akan tetapi sesudah menikah dengan kakeknya kemudian berubah menjadi
seorang pendekar yang menentang kejahatan.
"Baiklah,
kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andai kata
engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan."
Sim Ki Liong
yang sejak bertobat wajahnya selalu kelihatan muram, kini nampak gembira bukan
main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia lantas menerima
pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong.
"Nona
Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang
tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau
sangat bijaksana. Terima kasih, Nona, engkau telah menghidupkan kembali
semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke
Pulau Teratai Merah!"
Mayang lari
menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu. "Hay-ko, engkau tidak
marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?"
Hay Hay
tersenyum. "Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali
dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku
baik-baik."
Sim Ki Liong
dan Mayang lalu berpamit kepada semua orang dan mereka pun berangkat
meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Sesudah bayangan
kedua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui
Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan
yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merubah
segalanya!
Tiba-tiba
Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan
pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong.
"Suheng,
engkau terimalah pedang ini," katanya lirih.
Han Siong
memandang dengan mata terbelalak. “Kwan-im-kiam? Akan tetapi ini adalah
pedangmu, Sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!"
"Tidak,
Suheng. Pedang ini milikmu. Ingat, ayah dan ibu telah memberikan Kwan-im-kiam
ini kepadamu."
"Tapi...
tapi...” Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit
itu, suhu dan subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu telah
putus." Dia tidak berani menjelaskan dengan kata ‘perjodohan’ karena di
situ terdapat Kui Hong dan Hay Hay.
Siangkoan Bi
Lian tersenyum sehingga wajahnya nampak manis sekali. "Benar, Suheng. Itu
dahulu. Sesudah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan
perjodohan itu telah bersambung kembali?"
Wajah Han
Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar
kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu. "Bi Lian..., Sumoi...
ini... ini... benarkah ini... ehh, maksudku, engkau... engkau mau..." Dia
tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar oleh Hay Hay dan
Kui Hong.
Bi Lian
mengangguk sambil tersenyum. "Terserah padamu, Suheng. Kini ada dua jalan.
Engkau dapat menghadap ayah dan ibu lantas mengembalikan pusaka ini, atau
engkau boleh datang bersama orang tuamu ke sana. Nah, aku pergi dahulu,
menunggu di sana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!"
Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke
jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu
jalan menuju ke terowongan bawah tanah.
Han Siong
masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Dia baru sadar ketika Hay
Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira.
"Han
Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat),
Han Siong!"
"Hay
Hay..., kau... kau pikir, dia... dia...” Han Siong masih salah tingkah karena
hatinya terguncang oleh keharuan dan kegembiraan.
"Dia
menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!"
Han Siong
tersenyum, lantas mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong,
"Selamat tinggal... selamat tinggal dan terima kasih!" Dan dia pun
melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong.
Mereka
berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu
bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu terbayanglah di dalam
ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Mereka pernah mengalami banyak
hal yang sangat hebat ketika melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar
Mata Keranjang).
Kui Hong teringat
bahwa Hay Hay merupakan laki-laki pertama yang sudah menjatuhkan hatinya! Juga
Hay Hay teringat betapa dia pernah tertarik sekali kepada Kui Hong, namun
dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai
suami isteri. Baru sekarang dia menyadari bahwa sesungguhnya dia sudah ingin
sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta,
seorang calon ibu anak-anaknya.
Dan dalam
diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu
bahwa gadis ini mencintanya. Pandangan mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga
ketika tadi meminta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri
Sim Ki Liong. Dia lantas melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan
pandang matanya, tidak menjauh.
"Kui
Hong...”
"Hay
Hay...”
Gelora
perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan
sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan dia pun
menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu.
"Pangcu...”
"Hushh,
aku tidak sudi disebut pangcu olehmu. Tidak enak...!"
"Tetapi
engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan
Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan secara
kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek."
"Engkau
bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh
kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu di sana...,” kata Kui Hong,
teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi.
Hay Hay
tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang. "Hong-moi,
Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi
aku...? Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi…"
"Takutkah
engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku? Biasanya engkau begitu
pemberani, Hay-ko!"
"Tapi...
tapi.... bagaimana kalau aku ditolak?"
"Hemm,
keputusan sepenuhnya berada di tanganku."
"Hong-moi,
engkau... engkau... sudikah engkau menjadi isteriku?"
Kui Hong
memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya tidak perlu lagi
mereka bicara. Sinar mata mereka sudah berbicara banyak dan tanpa bertanya
sekali pun mereka telah sama-sama mengetahui bahwa mereka saling mencinta,
bahwa dengan hati bahagia mereka suka menjadi suami isteri.
"Hay-ko,
salah satu di antara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu. Akan
tetapi katakanlah, mengapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?"
"Hemm,
mengapa? Karena aku clnta padamu tentu saja."
"Aneh!
Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta
itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat biar pun engkau memuji-muji diriku.
Engkau senang dengan keindahan akan tetapi tidak mau terikat...”
"Dulu
aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar? Untuk menjadi
pintar tentu harus melalui kebodohan dulu, bukan? Sekarang mataku terbuka
sudah. Engkaulah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan
kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu di antara kodrat
manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri
tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!"
"Huh,
engkau mata keranjang, siapa bilang alim?" Kui Hong mencela akan tetapi
sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa.
"Biar
pun mata keranjang tetapi aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku,
aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku...”
“Hushh,
cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?"
"Jadi
engkau mau?"
"Kalau
engkau melamarku kepada orang tuaku!"
"Hong-moi...!"
Hay Hay menangkap Kui Hong lantas melemparkan tubuh gadis itu ke atas,
diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong
tertawa dan menjerit-jerit. Permainan itu baru berhenti sesudah Hay Hay
menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut
dan mesra.
"Ahh…
Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa
ragaku, mari kita pergi ke Cin-ling-pai, sayang...”
Kui Hong
tertawa geli, akan tetapi juga senang. "Dasar perayu kau, mata keranjang
kau!"
Mereka
bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati
penuh kebahagiaan dan harapan.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Jodoh Si Mata Keranjang
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
Terimakasih ya
ReplyDelete