Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 01
USIA pria
itu sudah lima puluh lima tahun, akan tetapi masih nampak tampan dan gagah
dengan pakaiannya yang rapi. Rambutnya yang sudah terhias oleh uban itu
tersisir rapi dan halus mengkilap karena minyak harum. Sepasang matanya
memancarkan gairah dan kegembiraan hidup, bibirnya selalu tersenyum dan
wajahnya tidak dikotori kumis mau pun jenggot karena dicukur licin halus
seperti wajah seorang pemuda.
Pada pagi
itu dengan langkah-langkah santai dia berjalan menuruni bukit, menyongsong
matahari pagi yang baru muncul dari balik bukit di depan. Pagi yang cerah itu
menambah kegembiraan pria tampan gagah itu, dan agaknya kegembiraan pula yang
mendorongnya untuk bernyanyi di tempat yang sunyi itu. Suaranya lepas dan
merdu, dan lagunya juga gembira.
Bebas lepas
beterbangan dari taman ke taman mencari kembang harum jelita untuk kuhisap sari
madunya setelah puas kumenikmatinya kutinggalkan kembang layu merana untuk
mencari kembang segar yang baru Si Kumbang Merah, inilah aku!
Pria itu
bernyanyi dengan suara lantang. Padahal dia pasti akan menghadapi kesukaran
bila nyanyiannya itu terdengar orang, apa lagi jika tertangkap oleh pendengaran
seorang pendekar, tentu dia akan menghadapi kesulitan.
Nama Si
Kumbang Merah memang sudah amat terkenal di dunia persilatan. Ang-hong-cu (Si
Kumbang Merah) adalah julukan seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga),
yaitu penjahat cabul yang suka mempermainkan dan memperkosa wanita, yang
dimusuhi oleh semua pendekar.
Dia dijuluki
si Kumbang Merah karena ketika meninggalkan korbannya, baik yang masih hidup
mau pun yang telah mati, dia selalu meninggalkan pula sebuah tanda mata berupa
perhiasan yang berbentuk kumbang merah dan terbuat dari pada tembaga berlapis
emas. Jarang ada orang yang sempat melihat mukanya karena penjahat ini bekerja
amat cepat, memperkosa wanita dalam kegelapan atau kalau hal itu dilakukan di
siang hari, dia selalu menyembunyikan mukanya di balik bermacam topeng.
Selain
tinggi ilmu silatnya, Ang-hong-cu ini pun sangat ahli dalam hal menyamar
sehingga mukanya dapat berubah-ubah dan tidak ada seorang pun pernah melihat
wajahnya yang sejati. Karena inilah maka semenjak dia malang melintang di dunia
kang-ouw dan menjadi seorang jai-hwa-cat yang telah mengorbankan banyak sekali
anak gadis atau isteri orang, ratusan mungkin sudah ribuan, dia selalu dapat
lolos dari pengejaran para pendekar yang berusaha untuk menangkap atau
membunuhnya.
Siapakah
pria berusia lima puluh lima tahun yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang dibenci
oleh semua pendekar ini? Dan kenapa pula seorang yang memilki ilmu kepandaian
tinggi dan wajah yang tampan gagah seperti dia itu, yang juga agaknya pandai
membuat sajak tanda bahwa dia berpendidikan, dapat menjadi seorang penjahat
cabul yang begitu kejam dan ganas? Mari kita menengok ke belakang untuk melihat
riwayat hidup Ang-hong-cu ini, semenjak dia masih kanak-kanak.
Tang Siok
adalah seorang pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan penting di kota raja.
Pada saat itu Kaisar Ceng Tek baru saja dinobatkan menjadi kaisar dalam usia
lima belas tahun. Karena kaisar yang masih sangat muda ini sama sekali tidak
berwibawa dan hanya mengejar kesenangan, maka pengawasan terhadap para pembesar
tentu saja sangatlah kurang. Keadaan ini membuat para pejabat bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat, berlomba untuk menggendutkan kantung uang dan
perut sendiri.
Tang Siok
atau Tang-taijin juga tidak mau ketinggalan. Dia hidup mewah dan walau pun
usianya sudah lebih dari setengah abad, dia masih terus menambah penghuni
harem-nya yang sudah penuh dengan selir-selir yang cantik jelita dan muda
belia. Di antara seluruh selirnya, yang paling disayang adalah Kui Hui, seorang
wanita cantik menarik dan pandai memikat hati.
Kui Hui
menjadi selir Tang-taijin ketika dia berusia tujuh belas tahun. Kini dia telah
berusia dua puluh enam tahun dan memiliki seorang anak laki-laki berusia tujuh
tahun yang diberi nama Tang Bun An. Agaknya karena bisa mempunyai anak
laki-laki inilah yang kemudian membuat Tang Siok semakin sayang kepadanya.
Selir cantik
ini sangat dimanja, lebih dari pada selir lainnya, bahkan lebih dari pada
isteri pertamanya. Karena itu para selir tentu saja merasa iri hati, tetapi tak
seorang pun berani menentang atau menyatakan kebencian mereka terhadap Kui Hui
dengan berterang.
Tang-taijin
sudah berusia enam puluh tahun ketika Kui Hui berusia dua puluh enam tahun.
Selain terhadap selir terkasih itu, pembesar ini juga sangat sayang kepada Tang
Bu An. Sejak kecil Tang Bun An dimanja oleh ayah bundanya. Dia memperoleh
pendidikan yang baik, mempelajari ilmu baca tulisan dari seorang guru sastra
yang dipanggil oleh ayahnya untuk mengajar Tang Bun An beserta saudara-saudara
tirinya.
Dia
merupakan anak yang paling tampan di antara para saudaranya, dan hal inilah
yang membuat ayahnya paling sayang kepadanya. Apa lagi, selain tampan ternyata
Tang Bun An juga memiliki otak yang cerdas sekali dan dia selalu menonjol dalam
mata pelajaran baca dan tulis. Bahkan dalam usianya yang baru tujuh tahun itu
dia telah pandai membuat sajak dan syair berpasangan, yaitu suatu bentuk
kesenian yang memerlukan penguasaan bahasa, keahlian menulis dan bakat seni
yang besar.
Tetapi di
dunia ini tiada satu pun yang sempurna dan tiada satu pun yang kekal. Keadaan yang
penuh kemuliaan dan kebahagiaan itu tiba-tiba saja mengalami perubahan yang tak
disangka-sangka oleh Tang Bun An. Anak ini tidak tahu betapa ibu kandungnya
kini mulai merasakan penderitaan hidup dengan semakin menuanya suaminya.
Sebagai
seorang wanita cantik jelita berusia dua puluh enam tahun yang sering menerima
pandangan mata penuh kagum dari banyak mata laki-laki muda, tentu saja Kui Hui
masih mempunyai gairah yang besar. Oleh karena itu mulailah dia merasa kesepian
ketika Tang Siok makin lama semakin lemah dan tidak hangat lagi seperti
dulu-dulu, bahkan semakin jarang tidur di dalam kamar selir tersayang ini.
Hal ini
bukan disebabkan Tang Siok telah bosan kepadanya, melainkan karena akhir-akhir
ini kesehatan Tang Siok memang menurun banyak. Maklumlah, semenjak masih muda
dia sudah terlalu mengumbar nafsu sehingga dia mulai loyo dalam usia enam puluh
tahun.
Karena
didera oleh perasaan kesepian, apa lagi ditambah dorongan gairahnya yang masih
menyala-nyala, maka mudahlah bagi setan dan iblis untuk menggoda wanita muda
ini. Di dalam gedung Tang-taijin yang besar dan luas bagaikan istana itu
terdapat belasan orang pengawal di sebelah dalam gedung, dan lebih banyak lagi
pengawal jaga di luar gedung. Mereka bertugas menjaga keselamatan Tang-taijin sekeluarga.
Di antara
para pengawal dalam itu terdapat komandan pengawal bernama Ma Cun, yaitu
seorang pria berusia tiga puluh tahun lebih, tinggi besar dan tampan gagah
seperti tokoh Si Jin Kui dalam dongeng. Mula-mula dua pasang mata bertemu
pandang, hanya sekilas saja. Sebagai seorang wanita akhirnya Kui Hui
menundukkan muka, dan sebagai seorang pegawai terhadap nyonya majikannya
akhirnya Ma Cun mengalihkan pandangan matanya karena merasa rikuh. Namun api
gairah cinta mulai membara di dalam lubuk hati masing-masing. Pada kesempatan
lain, adu pandang mata itu berlangsung lebih lama, kemudian disusul dengan
iringan senyum simpul.
Rasa saling
tertarik antara pria dan wanita adalah suatu hal yang wajar. Sudah menjadi
pembawaan setiap orang manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya. Hal ini
memang penting untuk mendorong dua orang berlawanan jenis saling berdekatan
sehingga terjadi hubungan antara keduanya yang menjadi sarana perkembang biakan
manusia di muka bumi.
Akan tetapi
manusia adalah makhluk yang berakal budi sehingga membentuk hukum dan tata
susila, meletakkan batas-batas dan mengenal apa yang mereka namakan baik dan
buruk sesuai dengan kebiasaan atau hukum yang dibentuk lingkungannya. Saling
tertarik di antara pria dan wanita ini biasanya hanya boleh dilanjutkan bagi
pria dan wanita yang masih bebas, yang belum terikat dalam keluarga sebagai
suami isteri. Rasa saling tertarik itu harus segera diusir keluar lagi dari
lubuk hati oleh seorang yang sudah terikat menjadi suami atau isteri orang
lain, terutama sekali bagi wanita yang telah menjadi isteri orang lain seperti
Kui Hui.
Pada mulanya
memang demikian, tapi rasa kesepian mendorongnya dan menggodanya. Akhirnya
pertemuan yang dimulai dengan dua pasang mata yang saling beradu pandang itu
berkelanjutan menjadi hubungan yang mesra antara Ma Cun dan Kui Hui yang tentu
saja dilakukan dengan rahasia dan sembunyi-sembunyi.
Hal ini
tidak begitu sulit mereka lakukan karena Ma Cun memang seorang komandan atau
pengawal dalam, sedangkan Kui Hui adalah selir terkasih yang bisa bergerak
bebas pula. Ditambah lagi jarangnya Tang-taijin datang berkunjung, maka membuat
kedua orang yang dimabok nafsu birahi itu leluasa menyalurkan gairah memuaskan
birahi mereka.
Pada suatu
pagi, Bun An yang semestinya berada di ruangan belajar, tiba-tiba pulang ke
kamar ibunya tidak seperti biasa. Ternyata hari itu guru sastra jatuh sakit dan
tidak dapat mengajar, maka anak-anak itu diliburkan.
Bun An
berlari pulang ke tempat tinggal ibunya yang merupakan bagian sebelah belakang
kiri dari perumahan besar Tang-taijin, kemudian langsung saja dia berlari masuk
ke kamar ibunya. Begitu membuka daun pintu, mata anak laki-laki yang baru
berusia tujuh tahun itu terbelalak, mukanya berubah penuh keheranan.
Biar pun dia
belum begitu mengerti, namun melihat ibunya dalam keadaan bugil berada di atas
pembaringan bersama perwira Ma Cun yang juga bugil, dia segera dapat menduga
apa yang terjadi antara ibunya dan perwira itu. Pengertian yang timbul akibat
dia melihat perkawinan binatang seperti ayam, cecak, anjing, kucing dan
sebagainya, ditambah pula percakapan sembunyi-sembunyi dengan kakak-kakak
tirinya yang lebih tahu akan hal itu. Ibunya sedang bermain cinta dengan
Ma-ciangkun! Perasaannya tidak karuan, berbagai pikiran menyelinap di dalam
benaknya.
Kui Hui dan
Ma Cun terkejut bukan kepalang. Di tengah desakan gairah yang menggelora
keduanya sampai lengah sehingga lupa mengunci pintu kamar dari dalam. Hal ini
wajar saja karena siapakah berani memasuki kamar Kui Hui tanpa ijin?
Tang-taijin tak mungkin muncul pada pagi hari itu, dan Bun An, satu-satunya
orang yang berani masuk tanpa ijin selain Tang-taijin, sedang sibuk di ruangan
belajar. Sungguh tidak mereka sangka bahwa anak itu akan pulang lagi karena
tidak jadi belajar.
Sesudah
hilang rasa kaget yang membuat kedua orang yang sedang berjinah itu seperti
lumpuh, keduanya langsung meloncat turun dari pembaringan sambil membungkus
tubuh dengan selimut. Kui Hui cepat menghampiri Bun An yang masih bengong,
lantas menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Saking malu, kaget dan
takutnya kalau perbuatannya sampai terlihat oleh orang lain atau terdengar oleh
Tang-taijin, tangan ibu ini menampar keras pipi puteranya.
"Plakkk!"
Tamparan itu
keras sekali, membuat muka Bun An tersentak ke samping dan pipi kirinya menjadi
biru kemerahan. Matanya terbelalak, bukan hanya karena nyeri yang dideritanya,
melainkan lebih lagi karena kagetnya. Belum pernah dia ditampar ibunya seperti
sekarang ini.
"Bocah
bengal! Kenapa kau berani membuka pintu ini? Kau... kau tidak belajar?!"
bentak Kui Hui.
Saking
kagetnya, sejenak Bun An tidak mampu bicara, hanya memandang kepada ibunya dengan
bengong, kedua matanya basah oleh air mata.
"Hayo
jawab!" bentak ibunya yang mengguncang tubuhnya sambil mencengkeram pundak
dengan tangan kanan, ada pun tangan kirinya memegangi selimut yang hanya
menutupi setengah tubuhnya.
"Aku...
aku... siang-seng sakit, tidak mengajar...!"
Ma Cun yang
menggunakan kesempatan itu untuk mengenakan pakaian kembali secara tergesa-gesa
sehingga terbalik-balik dan salah memasukkan kancing, tiba-tiba saja sudah
menghampiri Bun An. Dia mencabut pedangnya, kemudian dengan cepat tangan
kirinya mencengkeram tengkuk anak itu, tangan kanan yang memegang pedang
menempelkan mata pedang ke leher Bun An.
"Anak
bodoh! Apa kau ingin aku menyembelih lehermu?" bentak Ma Cun.
Perwira ini
tiba-tiba saja bersikap keras karena takutnya. Kalau sampai anak ini membuka
rahasia hingga hubungannya dengan Kui Hui diketahui Tang-taijin, maka dia akan
celaka. Tentu dia akan disiksa dan dibunuh. Karena takutnya, maka kini dia
dapat bersikap kejam dan galak.
Ada pun Kui
Hui sendiri, juga karena takut rahasianya ketahuan, pada saat itu lupa akan
kasih sayangnya kepada anaknya sendiri. Dia tahu bahwa tanpa diancam, Bun An
tentu akan membuka rahasia itu dan kalau suaminya tahu bahwa dia berjinah
dengan Ma Cun, pasti dia akan celaka, disiksa dan dibunuh pula,
setidak-tidaknya tentu akan diusir dari situ, dari kemuliaan dan kemewahan!
Wajah Bun An
seketika pucat saat pedang itu ditempelkan pada lehernya. Baru sekali ini
selama hidupnya dia merasa ketakutan. Dia tidak mampu menjawab, hanya
menggeleng-geleng kepalanya.
"Plakkk!"
Kini tangan kiri Ma Cun menamparnya dan Bun An merasa kepalanya pening, semua
yang dilihatnya berputar dan tubuhnya terpelating roboh terbanting keras.
"Hayo
kau berjanji untuk tidak menceritakan apa yang kau lihat di sini kepada siapa
pun juga!" bentak Ma Cun.
Bun An hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Rambutnya dijambak oleh ibunya kemudian dia pun
ditarik bangkit berdiri. Dia melihat wajah ibunya tak seperti wajah cantik
biasanya, melainkan nampak seperti wajah setan yang mengerikan. Hampir dia
menjerit, akan tetapi segera ditahannya karena dia tahu bahwa sekali menjerit
maka Ma Cun dan ibunya akan membunuhnya.
"Bun
An, hayo berjanji!" bentak ibunya sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
Dengan air
mata bercucuran Bun An mengeluarkan kata-kata dengan gagap, "Aku... aku
berjanji..."
"Kau
harus bersumpah!" kata pula Ma Cun dan pedangnya sudah mengancam dada anak
itu untuk ditusukkan.
"Aku...
aku bersumpah...," kata Bun An ketakutan.
"Bersumpah
apa? Hayo yang jelas!" bentak pula Ma Cun dan jari tangan Kui Hui menjiwir
telinga kiri Bun An dengan keras sehingga anak itu menyeringai kesakitan.
"Ibu...,
sakit!" Bun An mengeluh.
"Lekas
bersumpah! Katakan bahwa engkau tak akan memberi tahukan kepada siapa pun juga
apa yang kau lihat di sini!" Kui Hui juga membentak dan tidak melepaskan
jiwirannya kepada telinga anaknya.
Sungguh
mengherankan sekali betapa seorang ibu yang tadinya sangat sayang terhadap
puteranya, dalam keadaan ketakutan hebat berubah menjadi sedemikian kejamnya.
Rasa takut memang dapat membuat orang menjadi kejam dan jahat.
Kini Bun An
memandang kepada ibunya dan kepada Ma Cun bergantian. Di dalam sinar matanya yang
basah oleh air mata itu, di samping rasa takut juga terdapat perasaan benci
yang luar biasa.
"Aku
bersumpah tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga apa yang kulihat di
sini," katanya.
Jiwiran
telinganya dilepaskan dan tiba-tiba saja Kui Hui merangkul dan menciumi anaknya
sambil menangis. "kau anakku yang baik! Kau anak ibu yang tersayang.
Ketahuilah, Bun An. Paman Ma Cun ini amat sayang kepada ibu, dan kepadamu juga.
Akan tetapi kalau kau bicara tentang apa yang terjadi di sini, maka kita semua
termasuk kau akan celaka. Mengertikah kau anakku?"
Tentu saja
Bun An tidak mengerti. Tadi ibunya menyiksanya, bersikap begitu kejam, tetapi
sekarang tiba-tiba merangkulnya dan menciuminya. Entah bagaimana dia merasa
jijik dan cepat menarik mukanya ke belakang agar tidak diciumi lagi oleh
ibunya.
Ma Cun
menyimpan pedangnya. Kui Hui mengenakan pakaiannya. Perwira itu kini duduk di
kursi dan menarik kedua tangan Bun An anak itu agar mendekat.
"Dengar,
Bun An. Aku sayang kepada ibumu dan sayang kepadamu juga. Mulai sekarang engkau
harus ikut pula merahasiakan pertemuan antara ibumu dan aku, bahkan engkau
harus membantu kami melakukan penjagaan agar kalau ada orang datang, engkau
dapat memberi tahu lebih dulu kepada kami. Mengertikah engkau?"
Karena takut,
Bun An mengangguk dan demikianlah, mulai hari itu kedua orang hamba nafsu
birahi itu lebih leluasa lagi mengadakan pertemuan dan hubungan rahasia karena
ada Bun An yang 'membantu' mereka dan melakukan pengawasan di luar kamar apa
bila ibunya sedang bermain cinta dengan kekasihnya.
Bun An taat
karena takut, tetapi jauh di lubuk hatinya dia merasa muak melihat perbuatan
ibunya dan dia amat membenci Ma Cun. Peristiwa yang terjadi sewaktu dia berusia
tujuh tahun ini benar-benar merupakan guncangan batin yang hebat sekali,
menggores hatinya dalam-dalam dan merupakan kesan yang tidak akan terlupakan
selama hidupnya, bahkan menjadi dasar pembentukan wataknya di kemudian hari.
Asap tidak
dapat ditutupi. Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai busuk, baunya akan
tersebar ke mana-mana dan akhirnya akan ketahuan juga. Biar pun di jaga dengan
hati-hati, namun hubungan antara Ma Cun dan selir terkasih dari Tang-taijin itu
tetap saja diketahui oleh beberapa orang anggota pengawal dalam.
Sudah wajar
saja kalau di antara mereka itu ada yang merasa iri hati terhadap Ma Cun.
Bayangkan saja! Ma Cun hampir setiap hari bermain cinta dengan selir yang
cantik jelita itu, tanpa ingat kepada kawan-kawannya! Siapa tidak akan menjadi
iri? Mulailah peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan sehingga akhirnya
desas-desus bahwa selirnya tersayang itu menyeleweng, sampai pula ke telinga
Tang-taijin.
Tang-taijin
marah bukan main. Saking marahnya kakek ini bersikap kurang cerdik. Dia tak mau
menanti sampai dia dapat membuktikan sendiri dan menangkap basah selirnya yang
melakukan penyelewengan, namun langsung mendatangi Kui Hui di kamarnya kemudian
pembesar ini memaki-maki Kui Hui.
Kui Hui
menangis, berlutut di depan kaki suaminya dan dengan gaya yang memikat, yang
menimbulkan keharuan, dia bersumpah bahwa dia tidak pernah menyelewengan
"Saya
adalah isteri yang paling setia. Walau pun sekarang paduka jarang sekali datang
berkunjung, saya selalu tetap menunggu dengan setia. Saya mendapatkan kasih
sayang paduka dan saya pun amat mencinta kepada paduka, bukti buah kasih sayang
antara kita adalah Bun An. Bagaimana saya berani melakukan penyelewengan?
Desas-desus yang paduka dengar itu hanyalah disebarkan oleh mereka yang iri
hati kepada saya, yang tidak suka karena paduka terlalu sayang kepada saya!
"Kui Hui menangis sesenggukan. "mana buktinya bahwa saya melakukan
penyelewengan? Kalau memang ada buktinya, saya tak akan ribut-ribut dan saya
rela di hukum mati sekarang juga!"
Karena
Tang-taijin memang sayang sekali kepada selirnya yang cantik molek dan pandai
merayu ini, dia pun menjadi bimbang. Dia memang tidak melihat buktinya.
"Sudahlah,"
katanya sambil merangkul tubuh yang molek itu pada saat selirnya menangis
sambil memeluk kakinya, "walau pun aku tidak melihat buktinya, namun
desas-desus itu menunjukkan bahwa ada orang-orang yang memusuhimu. Oleh karena
itu mulai sekarang engkau harus berhati-hati menjaga diri. Jangan meninggalkan
kamar jika tidak perlu agar tidak ada orang yang dapat menyangka engkau
melakukan hal yang bukan-bukan."
Mulai hari
itu pula Tang-taijin menugaskan Ma Cun di bagian luar gedung, juga mengutus
pengawal pribadi yang dipercayainya untuk mengamati 'keamanan' di dalam
gedungnya agar tidak terjadi hal-hal yang akan mengganggu ketentraman rumah
tangganya dan bisa mencemarkan nama kehormatan keluarganya.
Secara diam-diam
tentu saja Kui Hui menjadi marah sekali atas tindakan Tang-taijin ini. Kini dia
dikurung, dijaga dan diawasi. Kekasihnya, Ma Cun, dipindahkan keluar sehingga
dia tidak berdaya sama sekali. Jangankan untuk mengadakan hubungan atau
pertemuan rahasia, bahkan untuk melihat wajah kekasihnya saja sudah tidak ada
kemungkinan lagi. Padahal gairah birahinya sudah menyesak sampai ke ubun-ubun!
Kui Hui
berpaling kepada puteranya lagi. Dengan berbagai bujukan dan ancaman akhirnya
wanita ini berhasil mengirim surat kepada Ma Cun melalui Bun An yang sebagai
seorang anak laki-laki tentu saja dapat keluar dan berjumpa dengan Ma Cun tanpa
menimbulkan kecurigaan. Surat menyurat pun terjadilah dan isi surat itu
menjalin rencana yang sangat keji.
Ma Cun
mencarikan racun yang amat keras dan tidak berbau, lantas dikirimnya racun itu
melalui tangan Bun An yang tidak menyangka sesuatu. Kemudian, oleh Kui Hui
racun itu disuguhkan kepada Tang-taijin ketika pembesar itu datang menggilirnya
dan bermalam di dalam kamarnya.
Tang-taijin
jatuh sakit! Sakit yang berat sekali. Tidak ada tabib sanggup menyembuhkan
pembesar ini dan seminggu setelah dia bermalam di kamar Kui Hui, Tang-taijin
meninggal dunia. Diam-diam Kui Hui telah mengumpulkan banyak barang berharga,
perhiasan emas berlian yang diselundupkan keluar, diserahkan kepada Ma Cun
melalui tangan Bun An.
Meski pun
desas-desus tentang Kui Hui yang menyeleweng itu tidak ada buktinya, namun hal
itu membuat Kui Hui dipandang rendah oleh isteri dan para selir mendiang
Tang-taijin. Malah kematian Tang-taijin kemudian dikaitkan dengan desas-desus
itu, dianggap bahwa matinya pembesar itu karena malu dan sakit hati akibat ulah
selir tersayang itu. Maka Kui Hui dan Bun An memperoleh sikap yang tidak ramah.
Hal ini bahkan merupakan hal yang diharapkan oleh Kui Hui karena dia mendapat
alasan untuk keluar dari rumah itu dengan baik-baik, dengan alasan ingin pulang
ke kampungnya.
Sesudah Kui
Hui dan Bun An keluar dari rumah keluarga Tang, wanita itu sama sekali bukan
pulang ke kampung asalnya, melainkan diterima dengan tangan terbuka oleh Ma
Cun, kekasihnya! Apa lagi karena di samping telah menitipkan banyak perhiasan,
wanita itu juga membawa pula barang-barang berharga.
Kehidupan
Bun An mengalami perubahan besar. Ma Cun yang juga segera minta keluar sebagai
kepala pengawal di rumah keluarga Tang-taijin ternyata menghambur-hamburkan
harta yang dibawa oleh Kui Hui. Sikapnya sangat keras terhadap Bun An sebagai
anak tirinya, dan Bun An diperlakukan sebagai seorang kacung pelayan saja. Bahkan
kadang-kadang Bun An dipukul oleh Ma Cun dengan alasan pemuda cilik itu malas.
Kui Hui yang mabok oleh rayuan dan kejantanan Ma Cun yang tentu saja jauh lebih
muda dan gagah dari pada mendiang Tang-taijin, tidak pernah menentang suami
barunya, bahkan kadang-kadang ikut mengomeli Bun An.
Baru
beberapa bulan saja ikut dengan ayah tirinya, Bun An sudah tidak kuat bertahan
dan pada suatu malam larilah dia minggat dari rumah ibu dan ayah tirinya. Dalam
usia kurang lebih delapan tahun Bun An melarikan diri, tanpa membawa apa-apa.
Ayah tirinya merasa kebetulan sekali sehingga tak mau mencarinya, sedangkan Kui
Hui yang tadinya merasa kehilangan, hanya dalam beberapa hari saja sudah
terhibur oleh Ma Cun.
Bun An hidup
sengsara dan terlunta-lunta. Kadang-kadang bila ada orang yang menaruh kasihan
kepadanya maka anak ini bisa mendapatkan pekerjaan ringan, membantu rumah
tangga sebagai kacung dan sebagainya. Namun dia tidak pernah mau lama-lama di
suatu tempat sebagai kacung orang, maka dia lebih banyak minta-minta untuk
mengisi perutnya setiap hari. Pakaiannya sudah compang-camping dan tubuhnya
amat kurus karena sering kali dia menderita kelaparan.
Dua tahun
lebih Bun An hidup sebagai pengemis kecil. Hidup penuh duka dan sengsara bagi
anak kecil ini. Pada suatu hari, dalam perantauannya dia pun tiba di kota Wuhan
di Propinsi Hopei. Di kota besar ini dia mencoba pula untuk mencari pekerjaan.
Akan tetapi siapakah mau memberi pekerjaan seorang anak jembel yang kurus?
Dia malah
dicurigai, dituduh hendak mencuri, maka Bun An menjadi putus asa dan untuk
mengisi perutnya kembali dia harus minta-minta untuk mempertahankan hidupnya.
Ketika malam tiba dia pun tidur di mana saja, ada kalanya di bawah jembatan, di
emper rumah orang, dan bila mana sedang mujur dia mendapatkan tempat di sebuah
kuil di mana para pendetanya cukup ramah untuk menerimanya, atau juga di kuil
kuno yang kosong.
Akan tetapi
di kota Wuhan ini dia mengalami nasib sial. Baru dua hari dia berada di sana
dan setiap hari dia bisa memperoleh makanan yang cukup mengenyangkan perutnya
dari rumah-rumah makan yang memberikan sisa-sisa makanan kepadanya. Akan
tetapi, pada hari ketiga hampir semua restoran tutup! Bahkan yang buka nampak
betapa para pelayan dan pengurusnya takut-takut sehingga tidak ada seorang pun
yang mau mempedulikan anak jembel itu. Bahkan di mana-mana dia dibentak dan
diusir.
Ketika Bun
An menyelidiki dan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa tadi malam sudah terjadi
kerusuhan. Segerombolan perampok datang dan mengganas di kota itu sehingga
keesokan harinya banyak rumah makan dan toko tidak berani buka! Kabarnya
semalam banyak toko yang dirampok.
Bun An
kembali ke kuil tua dengan hati mengkal. Hari itu terpaksa dia berpuasa.
"Huhh! Gara-gara perampok jahanam itu aku menderita kelaparan!"
Berulang kali dia menyumpah sambil mengepal kedua tinju tangannya yang kurus.
Apa boleh
buat, karena malam hampir tiba dia lalu memasuki kuil tua di luar kota Wuhan
untuk melewatkan malam yang tentu sengsara karena perutnya kosong! Dan hawa
mulai dingin bukan main.
Karena
tubuhnya terasa letih dan lemas akibat kelaparan, dapat juga dia tertidur
nyenyak, melingkar, menarik kedua kakinya merapat ke dadanya untuk mengurangi
rasa lapar dan dingin. Malam sudah gelap benar ketika dia terbangun karena
ditendang-tendang orang. Bun An membuka matanya dan bangkit duduk, matanya agak
silau oleh sinar api unggun yang dinyalakan orang beberapa meter jauhnya dari
tempat dia tidur.
"Hayo
bangun dan pindah ke sana! Jangan di sini!" terdengar bentakan dan kembali
ada kaki yang mendorong-dorongnya untuk pergi.
Bun An
membuka mata, kini sudah sadar benar. Dia melihat tujuh orang yang sikapnya
kasar, tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, wajahnya menyeramkan, berada di
dalam kuil tua itu. Memang kamar yang dia pakai adalah ruangan yang terbersih
dan terlindung oleh dinding yang belum runtuh benar seperti bagian lain kuil
itu, dan agaknya tempat ini juga dipilih oleh tujuh orang itu untuk
beristirahat.
Melihat
sikap mereka yang kasar dan menyeramkan, tanpa banyak cakap lagi Bun An lalu
meninggalkan ruangan itu ke ruangan sebelah, lantas dia pun duduk di atas
lantai sambil memandang kepada mereka yang kini duduk mengelilingi api unggun.
Mereka
bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, semuanya mengeluarkan bingkisan berisi
makanan dan minuman yang serba lezat. Arak wangi, daging dan roti! Mereka lalu
makan minum sambil bersenda gurau.
"Ha-ha-ha-ha,
hari ini Wuhan geger! Banyak toko dan rumah makan tidak berani buka!"
"Heh-heh-heh,
bahkan tadi kulihat banyak orang kaya yang mengungsi ke kota lain, takut
kalau-kalau kita datang lagi!"
"Baru
mereka tahu siapa adanya Yang-ce Jit-houw (Tujuh Harimau Sungai Yang-ce)!"
Bun An
mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia mendengar ada suara gerakan di
belakangnya. Dengan bantuan cahaya api unggun dia dapat melihat bahwa di
ruangan itu ternyata ada seorang laki-laki berpakaian pengemis yang sedang
tertidur nyenyak dan agaknya pengemis tua inilah yang membuat gerakan tadi.
Akan tetapi dia sudah menoleh lagi kepada tujuh orang laki-laki kasar itu
dengan alis berkerut.
Dari
percakapan mereka selanjutnya, yakinlah Bun An bahwa mereka yang menyebut diri
mereka Tujuh Harimau Sungai Yang-ce adalah gerombolan perampok yang mengganggu
kota Wuhan sehingga membuat kota itu seharian tadi menjadi kota mati dan
rumah-rumah banyak yang tutup! Hatinya mulai terasa panas.
Jadi mereka
inilah yang sudah membuat dia kelaparan, yang merampas rejekinya! Lebih lagi
ketika melihat betapa mereka makan dan minum dengan lahapnya, membuat gigitan
kelaparan di dalam perutnya semakin merasa!
"Ha-ha-ha-ha,
biar tahu rasa para hartawan yang kita ambil sebagian hartanya itu! Kita
mewakili golongan miskin menuntut keadilan!"
"Benar!
Kalau tidak begitu, mereka tidak tahu betapa kaum miskin membutuhkan uluran
tangan, membutuhkan bantuan!"
"Kita
mewakili pengadilan. Hidup haruslah adil, tidak baik jika ada yang terlalu kaya
akan tetapi banyak yang terlalu miskin!"
Mendengar
ucapan-ucapan itu, Bun An merasa betapa perutnya semakin panas.
"Bohong
semua itu!" Tiba-tiba saja mulutnya membentak dan dia pun bangkit berdiri
lalu melangkah ke pintu tembusan yang menghubungkan kedua ruangan itu.
Tujuh orang
itu terkejut dan mereka semua memandang kepada anak kecil yang muncul di ambang
pintu tanpa daun itu, dan mengenalnya sebagai jembel kecil yang tadi mereka
usir dari dalam ruangan yang kini mereka tempati.
Tujuh orang
itu adalah jagoan-jagoan besar, orang-orang yang telah biasa mengandalkan
kekuatan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka, bahkan pernah mereka
menjadi bajak-bajak Sungai Yang-ce sehingga mereka mendapat julukan Tujuh
Harimau Sungai Yang-ce. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus
dengan kepala besar yang tidak lumrah, dua kali besar kepala manusia biasa,
bangkit berdiri menatap Bun An dengan sinar mengancam.
"Gembel
cilik! Apa maksudmu mengatakan bahwa semua itu bohong? Apa yang bohong?"
"Percakapan
kalian tadi yang semua bohong!" kata Bun An tanpa takut sedikit pun karena
dia telah marah sekali. Orang-orang inilah yang membuat dia kelaparan, kemudian
masih merampas tempat tidurnya di kuil itu pula, di samping membuat dia semakin
lapar dengan makan minum di tempat itu dan percakapan mereka tadi sama sekali
bohong.
Si kepala
besar melangkah maju lantas menghardik, "Bocah setan! Jangan lancang mulut
kau! Apa kau ingin aku menampar hancur mulutmu? Bagaimana engkau berani berkata
bahwa percakapan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce semua bohong?"
Dengan
beraninya Bun An memandang mata orang itu, lalu berkata lantang agar keruyuk
perutnya tidak sampai terdengar orang. "Kalian tadi berbicara seolah-olah
kalian mewakili golongan miskin, seakan-akan kalian ini pembela-pembela
keadilan dan penolong rakyat miskin! Akan tetapi mana buktinya? Kalian makan
minum tanpa mempedulikan orang lain, bahkan kalian mengusir aku si jembel cilik!
Kalian adalah perampok-perampok jahat yang mengacau kota Wuhan sehingga
orang-orang seperti aku ini tidak mendapatkan makanan karena warung-warung dan
toko-toko tutup semua akibat takut kepada kalian! Nah, apa salah jika aku
mengatakan kalian tadi bohong semua? Mulut mengatakan pembela rakyat miskin
akan tetapi kaki tangan malah menindas kaum miskin?"
"Wah,
wah, anak setan ini memang bosan hidup!" bentak si kepala besar lantas dia
pun cepat melayangkan tangannya yang lebar dan besar, menampar ke arah Bun An.
Kalau muka anak itu terkena tamparan tangan yang mengandung tenaga raksasa itu,
tentu akan terkelupas kulitnya, hancur dagingnya dan remuk-remuk tulang dan
giginya. Atau mungkin kepala anak itu akan retak-retak dan tewas seketika.
Akan tetapi
sungguh aneh! Sebelum tangan itu mengenai muka Bun An, tiba-tiba saja si kepala
besar itu mengeluarkan seruan kesakitan dan tangannya terhenti di udara, tidak
jadi melakukan tamparan kuat itu. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi kakinya
kemudian bergerak melakukan tendangan ke arah perut Bun An.
Tendangan
ini akan lebih hebat akibatnya jika mengenai sasaran. Isi perut anak itu akan
remuk dan dia pun pasti akan tewas seketika, tubuhnya akan terlempar jauh
menghantam dinding ruangan kuil.
Akan tetapi
kembali terjadi keanehan. Dan sekali ini bukan saja kaki yang menendang itu
terhenti di udara, bahkan tubuh si kepala besar itu lalu terpelanting roboh!
Hanya dia yang tahu betapa terjadi keanehan pada dirinya.
Ketika dia
memukul tadi, tiba-tiba lengan tangan yang melakukan pukulan itu terasa nyeri
dan lumpuh, ada sesuatu seperti seekor lebah yang menyengat sikunya! Dan ketika
dia menendang, bukan hanya lutut yang menendang yang di sengat lebah, juga
lutut kirinya sehingga dia terjungkal dan tidak mampu berdiri lagi.
Peristiwa
ini tentu saja mengejutkan enam orang perampok yang lain. Mereka berloncatan
berdiri, dua orang lalu membantu pimpinan mereka, si kepala besar, untuk
bangkit berdiri lagi. Semua mata ditujukan kepada Bun An dengan heran dan
marah.
Namun anak
itu sendiri berdiri bengong saking herannya karena dia sendiri tidak mengerti
mengapa perampok yang memukul dan menendangnya itu mengurungkan niatnya bahkan
jatuh sendiri!
"Bocah
siluman! Berani engkau melawan kami?" bentak mereka dan kini ketujuh orang
itu serentak maju mengepung Bun An yang sudah melangkah maju untuk melihat
lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi. Kini tujuh orang itu sudah
mengepungnya dan sikap mereka buas, tangan mereka sudah siap untuk mengeroyok
dan menghajar Bun An.
Pada saat
itu pula terdengar suara halus. "Anjing-anjing srigala pengecut tidak tahu
malu, mengeroyok satu domba kecil! Kalian ini hanya namanya saja Tujuh Harimau,
akan tetapi bernyali srigala yang pengecut!"
Tujuh orang
itu amat terkejut dan cepat memandang orang yang mengeluarkan kata-kata itu.
Kiranya hanya seorang kakek tua renta yang melihat pakaiannya tentu hanya
seorang pengemis jembel. Kakek itu usianya tentu telah tua sekali, pakaiannya
compang-camping dan di sana-sini penuh dengan tambalan. Seperti jenggot dan
kumisnya, rambutnya juga telah putih semua dan awut-awutan tidak terpelihara.
Sepasang matanya terpejam seperti orang buta, sementara tangan kanannya
memegang sebatang tongkat butut!
Tentu saja
tujuh orang jagoan itu amat terkejut dan sekarang mereka pun mengerti bahwa
agaknya jembel tua inilah yang tadi sudah membantu si jembel cilik. Karena
merasa malu telah mengepung dan hendak mengeroyok seorang anak kecil yang baru
berusia sepuluh tahun, maka mereka segera membalik dan kini bergerak mengepung
pengemis tua itu.
"Gembel
tua, berani engkau mengatakan kami srigala pengecut?!"
"Tua
bangka ini harus dibunuh, mulutnya terlalu lancang!"
"Hai,
pengemis tua, siapakah namamu?"
Menghadapi
pertanyaan terakhir ini, jembel tua itu tersenyum memperlihatkan mulutnya yang
ompong tanpa gigi lagi, akan tetapi matanya tetap terpejam.
"Namaku
ya yang seperti kau katakan tadi, ialah Lo-kai (Pengemis Tua)!"
Orang yang
bertanya merasa dipermainkan, "Aku tahu engkau pengemis tua yang busuk,
akan tetapi siapa namamu?"
"Namaku
tidak ada, orang menyebut aku Lo-kai (Pengemis Tua)."
"Aliok,
untuk apa ribut-ribut dengan pengemis tua tanpa nama ini? Orang macam dia ini
ada nama pun percuma. Bereskan saja!" kata pimpinan Yang-ce Jit-houw yang
berkepala besar.
Temannya
yang bermuka hitam itu lalu maju menghantam ke arah dada kakek yang minta
disebut Lo-kai saja itu. Pukulan yang kerasnya bukan main. Si muka hitam agaknya
telah menduga bahwa kakek ini tentu mempunyai kepandaian, maka dia pun menonjok
dengan pengerahan tenaga pada kepalan tangan kirinya, sekuatnya diarahkan ke
ulu hati Lo-kai.
Anehnya,
kakek tua renta yang selalu memejamkan mata itu agaknya tidak tahu bahwa dia
dipukul orang. Dia diam saja! Agaknya karena memejamkan mata, dia tidak melihat
serangan itu, ataukah memang dia buta?
Tetapi si
muka hitam adalah jagoan tukang pukul yang sudah biasa melakukan kejahatan dan
tindakan sewenang-wenang. Memukuli orang lemah yang tidak bisa melawan adalah
hal yang biasa baginya. Maka kini, melihat betapa Lo-kai tidak mengelak atau
menangkis, dia tak mengendurkan tenaga pukulannya apa lagi menghentikannya.
Pukulan yang keras itu dengan tepatnya menghantam ulu hati kakek tua renta.
"Krekkk...!"
Pukulan
keras itu menghasilkan suara tulang patah, akan tetapi agaknya bukan tulang iga
kakek itu yang patah karena dia sama sekali tidak terguncang, masih tetap
berdiri tegak. Sebaliknya pemukulnya, si muka hitam itu mengaduh-aduh sambil
melompat ke belakang lalu memegang-megang tangan kirinya dengan tangan kanan.
Kiranya bunyi tulang patah tadi berasal dari tulang tangan kiri si muka hitam.
Muka hitam
itu dari kesakitan kini menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan lagi tangan
kirinya yang nyeri, tangan kanannya mencabut golok. Enam orang kawannya juga
sudah mencabut golok semua dan sekarang mereka serentak menerjang maju
menyerang kakek jembel itu dengan golok mereka, seolah-olah tujuh orang itu
hendak berlomba siapa yang lebih dulu merobohkan kakek jembel itu!
Bun An
terbelalak menonton. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika ia melihat
tujuh batang golok berkelebatan mengeluarkan cahaya yang mengerikan, menyambar
ke arah tubuh kakek yang agaknya buta itu karena sejak tadi tidak membuka
matanya.
Akan tetapi,
dalam pandangan Bun An tiba-tiba saja kakek itu lenyap dan yang nampak hanyalah
sesosok bayangan berkelebatan, lantas disusul robohnya tujuh orang perampok itu
seorang demi seorang. Golok mereka terlepas dan jatuh berkerontangan di atas
lantai dan tubuh mereka kini terkulai lemas tak mampu bergerak lagi! Ternyata
kakek jembel itu tadi mempergunakan tongkat bututnya dengan kecepatan luar
biasa, menotok tujuh orang penyerangnya dan merobohkan mereka dengan hanya satu
kali totokan saja!
Melihat ini,
tanpa disadarinya Bun An bertepuk tangan memuji, "Bagus! Bagus! Kalau saja
aku mampu, aku pun akan menghajar mereka yang jahat ini!"
Kakek jembel
itu tersenyum, lalu menggunakan tongkatnya mencongkel tubuh tujuh orang itu,
satu demi satu dicongkel untuk dilontarkan keluar kuil dengan mempergunakan
ujung tongkat bututnya, seperti mencongkel dan membuang tujuh ekor cacing saja!
Sambil
melontarkan, kakek itu pun membebaskan totokan sehingga pada saat tubuh tujuh
orang itu satu demi satu terlempar kemudian terbanting jatuh berdebuk di luar
kuil, segera mereka mengaduh-aduh dan tanpa menoleh lagi mereka langsung lari
tunggang langgang meninggalkan kuil!
"Lo-kai,
engkau hebat sekali!" Bun An memuji sambil menghampiri kakek jembel itu
dan memegang tangan kirinya.
"Jiauw-kai
(jembel kecil), engkau pun berani sekali!" Kakek itu tertawa dan
menggunakan tangan kirinya untuk mengusap kepala Bun An.
Bun An
menyangka kakek itu buta, maka dia pun menuntun kakek itu menghampiri api
unggun. "Kita duduk di sini, Lo-kai, dekat api unggun. Biar kutambah lagi
kayunya."
Kakek itu
menghela napas panjang, lega dan nyaman rasanya sesudah dia duduk di atas lantai
dekat api unggun. Bun An cepat menambahkan kayu pada api unggun itu sehingga
ruangan itu menjadi lebih hangat dan terang. Ketika Bun An menengok, kakek itu
ternyata masih saja memejamkan kedua matanya.
Melihat di
sana masih terdapat banyak roti dan daging sisa makanan perampok tadi, Bun An
berkata, "Lo-kai..., apakah engkau lapar?"
"Hemm...?"
kakek itu menengok ke kanan, ke arah anak itu duduk, akan tetapi sepasang
matanya tetap terpejam. "Kalau aku lapar, lalu mengapa?"
Bun An
memandang ke arah roti dan daging, masih amat banyak, cukup untuk dimakan empat
lima orang dan mulutnya menjadi basah. Dia menelan ludah sebelum menjawab,
"Kalau kau lapar, di sini ada roti dan daging, boleh kau makan,
Lo-kai."
Pada saat
itu perut Bun An berkeruyuk. Sejak kemarin malam dia belum makan apa-apa.
Seharian tadi pun sama sekali perutnya tidak diisi apa-apa kecuali air jernih.
Dia cepat menengok pada kakek itu, merasa malu kalau-kalau kakek itu mendengar
bunyi perutnya. Selama dua tahun lebih dalam perantauannya ini sudah terlampau
sering dia menderita kelaparan. Dia sampai hafal bagaimana rasanya kelaparan
itu.
Saat mulai
lapar, mula-mula perut berkeruyuk dan melilit-lilit, seolah di dalam lambungnya
ada jari-jari tangan yang bergerak-gerak, menggapai-gapai dan mencakar-cakar.
Air bisa mengurangi rasa melilit-lilit ini. Semakin lama tubuh terasa lemas dan
ringan, kepala mulai agak pening dan mata terasa mengantuk. Kemudian terasa
kembali perut yang melilit-lilit, sebentar saja, lalu kembali lemas dan ringan.
Kini
perutnya mulai melilit-lilit dan berkeruyuk. Maka dengan cepat dia menelan
ludahnya untuk menghentikan suara berkeruyuk itu. Biasanya tindakan ini bisa
menghilangkan atau sedikitnya mengurangi kebisingan perutnya yang menuntut isi.
"Jiauw-kai,
apakah engkau juga lapar?"
Bun An
mengangguk karena merasa agak malu untuk menjawab, akan tetapi dia teringat
akan kebutaan kakek jembel itu, maka dia pun menjawab lirih. "Ha, sejak
kemarin malam memang aku tidak makan apa-apa, akibat ulah tujuh orang perampok
itu yang mengacau kota sehingga rumah-rumah makan tutup semua, tak seorang pun
mau memberi sedekah makanan kepadaku."
"Kalau
begitu, mari kita makan," kata Lo-kai dengan wajah gembira.
Bun An
mengambilkan roti dan daging yang terbaik untuk kakek itu dan mereka pun mulai
makan dengan hati lega. Bun An sudah berpengalaman. Pernah dia hampir mati
karena ketika amat kelaparan dan kemudian memperoleh makanan, dia langsung
makan dengan lahap. Perut yang tadinya kosong itu secara tiba-tiba diisi dengan
dijejal, dan hampir saja dia mati karena ini. Dia jatuh sakit sampai beberapa
hari lamanya.
Setelah
peristiwa itu dia sangat berhati-hati dan kini, biar pun menurut nafsunya dia
ingin melahap roti dan daging itu, namun pengertiannya membuat dia makan dengan
hati-hati. Dia makan sedikit demi sedikit dan itu pun dikunyah hingga lembut
benar baru ditelannya. Dia melihat bahwa kakek itu pun makan dengan
perlahan-lahan dan hati-hati. Akan tetapi ternyata kakek yang sudah tak bergigi
lagi itu dapat mengunyah daging yang agak keras.
Setelah
selesai makan dan sisa makanan dibungkus kembali oleh Bun An, kakek itu lalu
minum arak. Bun An juga minum sedikit arak. Dia lebih suka minum teh atau air
jernih.
"Jiauw-kai,
di manakah rumahmu?" Tiba-tiba kakek itu bertanya.
Bun An
menundukkan mukanya, teringat akan ibunya yang kini menikah dengan Ma Cun yang
menjadi ayah tirinya itu. Lalu dia menggeleng kepala. "Aku tidak mempunyai
rumah, Lo-kai."
"Yatim
piatu?"
Bun An ingin
mengiyakan, akan tetapi tidak tega membohongi kakek tua renta yang buta ini,
apa lagi kakek ini tadi sudah menyelamatkannya dari tangan para perampok.
"Ayahku telah meninggal, lalu ibuku menikah lagi tapi ayah tiriku terlalu
galak kepadaku, maka dua tahun lebih yang lalu aku minggat dari rumah."
Kakek itu terdiam, merenung lama. "Dan kau sendiri, Lo-kai? Di mana
rumahmu?"
Kakek itu
tersadar dari lamunannya. "Aku tidak punya rumah, akan tetapi aku
mempunyai tempat tinggal di dalam goa, di Pegunungan Himalaya sana. Sudah lima
tahun aku pergi meninggalkan tempat tinggal itu dan sekarang aku sudah bosan
merantau, ingin tinggal di sana karena aku rindu akan keheningan. Kau mau ikut?鈥?
"Ikut
padamu, Lo-kai? Lalu dia teringat akan peristiwa aneh tadi. "Lo-kai, kalau
aku ikut, apakah kau mau mengajarkan aku cara mengalahkan para perampok seperti
tadi?
Kakek itu
mengangguk. "Tentu saja, kau kira untuk apa aku mengajakmu ikut aku? Tentu
saja untuk menjadi muridku. Dan kalau engkau telah tamat belajar, jangankan
tujuh orang itu, biar ada seratus orang seperti mereka, engkau takkan dapat
terganggu oleh mereka!?
Bun An
adalah seorang anak yang cerdik. Biar pun baru sepuluh tahun namun kepahitan
hidup membuat dia matang. Sudah banyak dia mendengar cerita dari para jembel
lainnya tentang adanya orang-orang sakti dan para pendekar yang gagah perkasa.
Dia pun dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang di antara para tokoh
sakti itu, maka dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu,
teecu (murid) suka sekali ikut denganmu dan menjadi muridmu!鈥?
Kakek itu
tertawa. Suara tawanya demikian nyaring sehingga membuat Bun An terheran dan
dia pun mengangkat muka. Ketika itulah dia melihat kakek itu sedang memandang
kepadanya dengan sepasang mata terbuka dan mata itu mencorong laksana mata naga
di dalam dongeng! Kakek itu sama sekali tidak buta!
"Suhu...!?
katanya terkejut dan agak ngeri ketakutan.
Kakek itu
menyentuh kepalanya. 鈥淪iauw-kai, tidak perlu engkau merubah
sebutanku. Aku tetaplah Lo-kai, baik bagimu atau bagi siapa pun, karena hanya kebetulan
saja kita saling bertemu. Aku tidak pernah mencampuri urusan dunia, karena itu
tidak ada yang mengenal namaku di dunia persilatan. Dan aku tidak mau engkau
kelak memperkenalkan namaku. Maka bagiku engkau tetap Siauw-kai dan bagimu aku
adalah Lo-kai! Mengerti?"
"Baik,
su... ehh, Lo-kai!"
Demikianlah,
pada keesokan harinya Lo-kai mengajak Bun An meninggalkan kuil.
"Akan
tetapi di sini banyak sekali barang berharga, hasil rampokan Tujuh Harimau
malam tadi, Lo-kai, lihat, ada satu buntalan besar berisi perhiasan, emas dan
perak!"
"Hemm,
untuk apa?"
"Lo-kai,
sering kali kita mengemis demi sepiring makanan, dan sekarang di sini ada harta
yang akan dapat kita pergunakan untuk membeli laksaan piring makanan, cukup
untuk kita makan selama hidup puluhan tahun!"
"Huh,
aku tidak butuh semua itu! Di tempat tinggalku sana, emas tidak laku, dan kita
tidak bisa makan emas."
"Tetapi
kalau barang ini ditinggalkan di sini tentu para perampok itu akan kembali
datang mengambilnya!"
"Kalau
begitu bawalah, kita akan bagikan kepada mereka yang membutuhkan di dalam
perjalanan nanti."
Biar pun
masih merasa penasaran dan heran, Bun An tidak membantah lagi dan mereka pun
berangkat menuju ke barat. Lebih besar lagi rasa heran di dalam hati Bun An
ketika melihat betapa kakek itu benar-benar membagikan barang rampokan itu
kepada rakyat di dusun yang miskin. Tentu saja dalam waktu sebentar saja barang
itu habis dan mereka berdua tidak punya apa-apa lagi. Untuk mengisi perut, di
sepanjang perjalanan guru dan murid itu kembali harus mengemis!
Lo-kai
mengajak Bun An ke Pegunungan Himalaya. Ternyata benar saja, kakek itu tinggal
di sebuah goa yang terpencil, di puncak sebuah bukit. Hawa di sana dingin bukan
main, juga sangat sunyi. Namun Bun An sudah mengambil keputusan bulat untuk
mempelajari ilmu dari kakek itu, dan biar pun mereka hidup menghadapi keadaan
yang serba kurang dan hawa udara yang kadang-kadang demikian dinginnya hampir
tak tertahankan, namun anak itu mempunyai kenekatan luar biasa dan dia dapat
mengatasi semua kesulitan hidup di tempat terasing ini.
Dan meski
pun sama sekali tidak terkenal di dunia ramai, ternyata kakek itu memiliki ilmu
kepandaian yang hebat! Banyak tokoh-tokoh sakti seperti kakek ini yang tak
pernah mau memperkenalkan diri dan lebih suka bersembunyi di tempat-tempat
terasing, seakan-akan hendak membawa kepandaian dan kesaktian mereka mati
bersama mereka! Dari Lo-kai, Bun An mempelajari banyak macam ilmu. Bukan hanya
ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu lain seperti menyamar dan merobah
wajah, ilmu pengobatan dan lain-lain.
Tidak kurang
dari sepuluh tahun lamanya Bun An menerima gemblengan dari kakek sakti yang
hanya dikenalnya sebagai Lo-kai dan dia sendiri disebut Siauw-kai oleh kakek
sakti itu. Dengan amat tekun Bun An mempelajari ilmu-ilmu dari kakek itu, akan
tetapi akhirnya, betapa pun saktinya, Lo-kai tidak dapat melawan usia tua.
Kalau ditanya
oleh Bun An, Lo-kai sendiri tidak tahu berapa usianya, mungkin sudah ada
seratus tahun! Dan pada suatu pagi, ketika Bun An baru terjaga dari tidurnya
dan melihat gurunya, ternyata kakek itu sudah tidak bernapas lagi dalam keadaan
duduk bersila!
Bun An tidak
menangis, malah berduka pun tidak. Kakek itu sering kali mengingatkan dia bahwa
di antara mereka tidak ada ikatan apa pun! Karena hal ini selalu disinggung dan
karena dia sendiri tak pernah memperlihatkan keakraban dan menunjukkan kasih
sayang, maka meski pun Bun An berterima kasih sekali kepada kakek yang menjadi
gurunya itu, namun di dalam perasaannya tidak ada ikatan apa pun terhadap
Lo-kai.
Sesudah
membakar jenazah gurunya, Bun An segera meninggalkan goa itu. Pakaiannya
tambal-tambalan seperti seorang pengemis muda, tetapi kini Bun An merupakan
seorang pemuda yang tampan sekali, penuh semangat dan gairah hidup karena dia
percaya penuh kepada diri sendiri yang sudah diisi ilmu-ilmu oleh gurunya, yang
membuatnya menjadi seorang pemuda yang amat lihai!
Tentu saja
Bun An meninggalkan Himalaya, langsung menuju ke kota raja untuk mencari
ibunya. Dia tidak takut lagi kepada Ma Cun, bahkan diam-diam dia mengambil
keputusan untuk menghajar ayah tirinya itu kalau berani menghinanya lagi!
Akan tetapi,
sesudah sampai di kota raja dia mendapatkan kenyataan yang sama sekali berubah!
Ibu dan ayah tirinya sudah tidak berada di rumah lama itu, dan menurut para
tetangga, ayah dan ibunya sudah bercerai! Dia lalu melakukan penyelidikan dan
akhirnya dia memperoleh keterangan yang menyayat perasaan hatinya.
Menurut
keterangan itu, harta benda yang dibawa oleh ibunya dihambur-hamburkan dan
dihabiskan oleh Ma Cun, kemudian terjadi percekcokan setiap hari dan akhirnya
ibunya disia-siakan oleh Ma Cun! Dalam keadaan yang sangat terjepit itu ibunya
dijual ke sarang pelacuran dan kini menjadi seorang pelacur!
Pukulan
batin ini sangat hebat bagi Bun An. Dia ingin mendengar lebih jelas, maka dia
cepat pergi ke rumah pelacuran untuk mencari ibunya. Para penjaga rumah
pelacuran itu, yang juga bertindak sebagai tukang pukul dan pelindung mucikari
dan para pelacur, tentu saja menerima kedatangannya dengan marah.
Seorang
pemuda, meski pun wajahnya tampan tetapi kalau berpakaian seperti pengemis, mau
apa datang ke rumah pelacuran? Yang datang ke situ hanyalah pria-pria tua muda
yang berpakaian mewah, yang sakunya padat uang, bukan segala macam kaum jembel!
"Heiii!
Mau apa kau datang ke sini?!" bentak seorang tukang pukul yang bertubuh
kurus kering karena suka menghisap madat.
"Kalau
engkau mau mengemis jangan di tempat ini! Pergi ke pasar sana!" bentak
orang kedua yang perutnya gendut seperti perut babi dan mukanya yang bulat
membayangkan ketinggian hati. Tentu saja sikap kedua orang ini memanaskan hati
Bun An, akan tetapi dia masih dapat menahan diri dan masih dapat tersenyum.
"Aku
datang bukan untuk mengemis, tapi untuk mengambil seorang wanita yang bernama
Kui Hui. Suruh dia keluar menemuiku, ada urusan penting yang akan kubicarakan
dengan dia."
Mendengar
disebutnya nama ini, dua orang tukang pukul itu saling pandang lalu tertawa.
Yang kurus terkekeh menghina dan berkata. "Kui Hui? Ha-ha-ha! Memang dia
paling tua di sini, akan tetapi bukan yang paling murah. Di sini dikenal
istilah tua-tua keladi, makin tua semakin jadi! Apakah engkau memiliki uang
maka berani hendak memesan Kui Hui?"
"Keluarkan
dulu uangmu, perlihatkan kepada kami!" kata si gendut.
Bun An
mengerutkan alis. Memang dia sudah marah sekali karena mendapat kenyataan bahwa
sekarang ibunya menjadi pelacur. Hal ini saja sudah mendatangkan kemarahan dan
kebencian terhadap wanita yang menjadi ibunya. Maka dia tidak dapat menahan
lagi kesabarannya.
"Mulut
kalian sungguh busuk dan pantas dihajar!" Secepat kilat tangannya bergerak
ke depan.
"Plakk!
Plakkk!"
Dua orang
itu terpelanting, tubuh mereka terbanting keras dan mereka memegangi pipi yang
ditampar sambil mengaduh-aduh. Sedikitnya ada tiga buah gigi yang copot
sehingga darah mengalir keluar dari ujung bibir mereka yang menjadi bengkak
sampai ke telinga.
Akan tetapi
kini mereka menjadi marah sekali. Dengan suara tidak jelas karena mulutnya
bengkak sebelah, keduanya memaki-maki dan sudah mencabut golok, lantas
menyerang kalang kabut.
Akan tetapi
tentu saja tidak ada artinya bagi Bun An dalam menghadapi dua orang tukang
pukul penjaga rumah pelacuran ini. Kembali tangannya bergerak, lantas dua
batang golok terlempar dan lengan yang memegang golok menjadi lumpuh akibat
tulang lengan itu telah patah ditekuk tangan Bun An. Kini kedua orang itu mengaduh-aduh
dan berteriak minta tolong.
Muncul empat
orang kawan mereka, jagoan-jagoan yang menjadi tukang pukul di tempat pelesir
itu. Melihat betapa dua orang teman mereka mengaduh-aduh dan agaknya sudah
dihajar oleh seorang pemuda berpakaian jembel, keempat orang itu langsung
menyerang dengan golok mereka.
Kembali
tubuh Bun An berkelebatan dan empat batang golok kembali beterbangan, diikuti
robohnya empat orang itu yang merintih kesakitan, tangan kiri memegangi lengan
kanan yang patah tulangnya! Melihat kenyataan ini, betapa enam orang tukang
pukul itu dalam segebrakan saja roboh dengan tulang lengan patah, barulah
mereka sadar bahwa mereka tengah berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali. Mereka menjadi ketakutan ketika Bun An melangkah
maju.
"Kalian
masih belum mau memanggil keluar Kui Hui? Ataukah batang leher kalian harus
kupatahkan dulu?" kata pemuda itu.
Si tinggi
kurus cepat-cepat memberi hormat dengan gerakan kaku karena lengannya tak bisa
digerakkan. "Harap ampunkan kami, taihiap (pendekar besar), saya akan
memanggil keluar wanita itu...!" Lalu dengan terpincang-pincang si kurus
itu berlari masuk.
Tidak lama
kemudian keluarlah dia bersama seorang wanita cantik. Usia wanita itu sudah
mendekati empat puluh tahun namun masih nampak cantik, apa lagi karena
pakaiannya indah dan mukanya dirias dengan bedak tebal dan gincu, juga
penghitam alis.
Bun An
segera mengenal ibunya dan dia merasa muak. Ibu kandungnya seorang pelacur!
Hampir saja dia meloncat pergi lagi, akan tetapi segera terbayang olehnya betapa
ketika dia masih kecil, ibunya ini amat sayang kepadanya.
Wanita itu
memang Kui Hui, ibu Bun An. Tadi oleh si kurus yang ketakutan dia diberi tahu
bahwa ada seorang tamu, yaitu seorang pemuda berpakaian jembel akan tetapi
memiliki kepandaian tinggi, yang minta agar dia keluar. Kini Kui Hui menjadi
heran melihat seorang pemuda berpakaian tambal-tambalan tapi berwajah tampan
berdiri di situ sedangkan para tukang pukul masih mengaduh-aduh.
Wajah pemuda
tampan yang tidak asing baginya, akan tetapi dia lupa lagi di mana pernah
bertemu dengan pemuda itu. Meski pun dia merasa ragu-ragu untuk menerima tamu
yang berpakaian tambal-tambalan, akan tetapi karena takut, dia pun segera
tersenyum manis dan melangkah maju lalu memberi hormat.
"Selamat
datang, tuan muda. Siapakah tuan muda dan ada keperluan..."
"Aku
Tang Bun An!" Bun An memotong dengan suara lirih, akan tetapi pandang
matanya mencorong penuh kemarahan.
Kui Hui
menahan jeritnya, menutupi mulut dengan punggung tangan, matanya terbelalak dan
wajahnya pucat sekali ketika dia memandang kepada wajah pemuda itu. Kini dia
pun teringat puteranya! Tanpa dapat dicegah lagi kedua mata yang terbelalak itu
dipenuhi air mata dan berderailah air matanya berjatuhan di atas kedua pipinya.
"Bun
An... Bun An..., kau..."
Bun An tidak
ingin ibunya bicara di tempat itu, didengarkan oleh banyak orang, maka dia lalu
memegang tangan ibunya. "Sudahlah, mari kita pergi dan bicara di tempat
lain!" Dia menarik tangan ibunya.
Wanita itu
menahan karena bagaimana mungkin dia pergi begitu saja tanpa pamit? Dan
pakaiannya, barang-barangnya masih berada di dalam kamarnya.
"Nanti
dulu... aku... aku pamit dan mengambil barang-barangku dulu..."
"Tidak
usah. Mari kita pergi!" Bun An menarik tangan ibunya.
Wanita itu
merasa betapa kuatnya tarikan tangan puteranya. Dia sama sekali tak mampu
menahan sehingga tubuhnya ikut tertarik. Melihat sikap puteranya yang begitu
marah dan tidak sabar, dia pun tidak membantah lagi dan keduanya lalu melangkah
untuk keluar dari pekarangan rumah pelacuran itu.
Dari dalam
rumah pelesir tiba-tiba keluar seorang wanita tua, usianya kurang lebih enam
puluh tahun dan tubuhnya gendut sekali. "Heiiii! Mau kemana kau, Kui Hui?
Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Engkau harus membayar dulu
hutang-hutangmu!"
Kui Hui
tidak berani menjawab, hanya dapat memandang dengan gelisah. Bun An segera
membalikkan tubuh dan menghadapi nyonya gendut itu.
"Aku
hendak mengajaknya pergi dari tempat terkutuk ini, engkau mau apa?"
Nyonya itu
pun tadi telah mendengar betapa pemuda ini sudah merobohkan enam orang tukang
pukulnya, maka dia tidak berani bersikap galak. "Orang muda, kalau kau
hendak membela dia pergi harus ada tebusannya, harus ada uang
penggantinya!"
"Babi
betina, kuganti dia dengan nyawamu!" kata Bun An dan sekali menendang,
tubuh nyonya itu langsung terjengkang.
Wanita itu
menguik-nguik seperti babi disembelih, namun Bun An tidak mempedulikannya lagi.
Dia menarik tangan ibunya kemudian dengan cepat meninggalkan tempat itu. Dalam waktu
sebentar saja mereka sampai di sebuah tempat sunyi di luar pintu gerbang kota.
Di tempat sunyi ini Bun An menyuruh ibunya bercerita tentang keadaan
sebenarnya.
Sambil
menangis Kui Hui menuturkan bahwa memang benar Ma Cun telah berubah sejak Bun
An minggat. Orang itu menghambur-hamburkan harta yang dibawanya dari keluarga
Tang, selalu berfoya-foya, main perempuan, berjudi dan akhirnya, setelah harta
itu ludes, Ma Cun memaksa dia untuk mencari uang dengan menjual diri! Kalau dia
menolak maka Ma Cun memukuli dan menyiksanya!
Keadaan
seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka lalu bercerai. Akan
tetapi Ma Cun masih menyeret Kui Hui ke rumah pelacuran itu dan menjual
isterinya kepada mucikari. Demikianlah, Kui Hui lalu menjadi anak buah mucikari
itu dan dia harus bekerja siang malam melayani tamu untuk mencari uang karena
dia dianggap mempunyai hutang yang makin lama makin besar sesuai dengan
perhitungan bunganya yang amat berat!
"Itulah
nasib buruk ibumu, anakku...," kata Kui Hui yang menceritakan semua itu
sambil menangis. "Aku... aku menjadi pelacur... aku.... aku menderita
sakit, kadang kala batuk darah... tapi sekarang engkau mengajak aku pergi
sedangkan semua pakaianku berada di sana, juga sedikit tabunganku, padahal
engkau... ahh, engkau sendiri berpakaian tambal-tambalan seperti seorang
pengemis...! Bagaimana kita akan hidup selanjutnya, Bun An?"
Bun An
mengerutkan alisnya. Ibunya sudah terperosok sedemikian dalam sehingga yang
dipikirkan hanyalah harta benda dan uang saja, pikirnya!
"Kika
harta yang ibu inginkan, nanti malam aku akan mencarikannya untuk ibu. Sekarang
ibu ikut saja dengan aku!" Bun An lalu mengajak ibunya ke sebuah kuil tua
kosong yang berada di dalam hutan kecil di atas bukit di luar kota. Di kuil
inilah dia menginap selama beberapa malam ini.
Tentu saja
Kui Hui hanya bisa menangis karena dia tidak biasa hidup seperti itu. Di dalam
hatinya sekarang merasa menyesal sekali mengapa puteranya muncul dan memaksanya
keluar dari rumah pelacuran itu. Di sana dia sudah mulai dapat menyesuaikan
diri, dapat bersenang-senang dengan para pria yang membelinya, makan dan
pakaian tidak pernah kurang, juga kamarnya indah. Tapi sekarang, tanpa bekal
sepotong pun pakaian sebagai pengganti, dia harus rebah di atas lantai kotor
sebuah kuil yang amat menyeramkan, yang pantasnya hanya menjadi tempat tinggal
iblis dan siluman!
Malam itu
Bun An meninggalkan ibunya. Pemuda ini tidak banyak bicara, bahkan ketika
ibunya bertanya mengenai pengalamannya, dia hanya menjawab singkat bahwa
sepuluh tahun lebih ini dia hidup sebagai pengemis dan mempelajari ilmu silat.
"Ibu
tunggu saja di sini, aku akan mencarikan harta benda yang ibu inginkan itu.
Jangan ibu pergi dari sini kalau ibu ingin selamat, karena di luar tentu banyak
bahaya mengintai!"
Setelah
berkata demikian, sekali berkelebat Bun An lenyap dari depan ibunya. Wanita itu
terbelalak, lantas menangis di atas lantai kuil itu, ketakutan dan mengira
bahwa puteranya itu agaknya telah menjadi iblis yang pandai menghilang!
Bun An
mengintai dari luar kuil dan membiarkan ibunya menangis. Sedikit pun dia tidak
merasa kasihan, bahkan dia merasa betapa hatinya membenci wanita ini. Ibunya
sudah membunuh ayahnya. Hal ini dia ketahui benar.
Dia masih
teringat akan semua percakapan antara ibunya dengan kekasihnya, Ma Cun. Dialah
yang menerima bungkusan racun itu dari Ma Cun untuk diserahkan kepada ibunya.
Sesudah mencuri banyak barang perhiasan keluarga Tang, ibunya yang berjinah
dengan Ma Cun kemudian menjadi isteri Ma Cun. Lebih menggemaskan lagi, kini
ibunya menjadi seorang pelacur!
Akan tetapi,
bagaimana pun juga dia adalah putera kandung ibunya, karena itu dia harus
memelihara ibunya. Dan yang lebih dari itu, dia harus membuat perhitungan
dengan Ma Cun!
Siang tadi
dia sudah menyelidiki di mana adanya orang itu. Tidak sukar untuk mencari Ma
Cun yang biasa berjudi di Hok Pokoan (Rumah Judi Mujur). Tempat judi besar di
kota raja ini menjadi pusat perjudian dan di sana terdapat banyak orang dari
golongan sesat yang mengadu nasib dengan berjudi. Sebuah tempat berbahaya dan
tidak ada orang baik-baik berani mengunjungi tempat ini. Orang yang bukan
penjudi ulung, yang baru saja datang dan berani mencoba-coba untuk berjudi,
tentu akan habis di curangi oleh ular-ular judi.
Segala macam
maling, perampok dan penjahat lain mempergunakan Hok Pokoan sebagai tempat
pelesir dan di sana banyak terdapat pelacur-pelacur yang digunakan oleh bandar
judi untuk memikat para langganan. Ramailah keadaan di rumah perjudian itu.
Dari sore sampai pagi meriah penuh gelak tawa.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment