Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 02
SEPERTI tadi
ketika dia datang berkunjung ke rumah pelacuran, kini Bun An juga disambut
dengan alis berkerut oleh para penjaga keamanan, tukang-tukang pukul rumah
perjudian itu. Tukang-tukang pukul di tempat itu tidak boleh disamakan dengan
tukang-tukang pukul di rumah pelacuran. Di sini merupakan tempat para penjahat
berkumpul, di mana terdapat banyak uang diperjudikan, maka penjagaannya amat
ketat. Bandar judi sudah membayar tinggi jagoan-jagoan pilihan untuk menjaga
tempat itu.
“Heuii, kau
jembel gila! Mau apa kau ke sini?” bentak seorang jagoan pada saat melihat Bun
An memasuki pintu pekarangan.
“A-boan,
lemparkan saja sekeping uang kecil padanya agar tidak membikin kotor tempat
ini!” kata orang kedua.
Bun An
merasa betapa perutnya panas mendengar ucapan yang nadanya menghina itu, akan
tetapi dia berusaha menahan sabar, “Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan
untuk mencari seorang bernama Ma Cun. Harap kalian suka memanggil dia keluar.”
Ma Cun sudah
sangat terkenal di rumah perjudian itu. Selain merupakan langganan lama, juga
Ma Cun terkenal sebagai seorang jagoan pula, bekas perwira pengawal pembesar
yang mempunyai ilmu silat tinggi. Mendengar betapa pengemis muda ini menyebut
nama jagoan dan penjudi itu begitu saja dan minta dipanggilkan, maka beberapa
orang penjaga itu menjadi marah.
“Cuhh!”
orang pertama meludah. “Jembel macam kau berani menyuruh kami memanggil orang?”
“Tidak
seorang pun langganan kami boleh diganggu, apa lagi di ganggu jembel...”
“Kalau
kalian tidak mau memanggilnya, biarlah aku mencarinya sendiri ke dalam!” Bun An
segera memotong karena dia mulai kehilangan kesabarannya, lantas dia pun
melangkah hendak masuk ke dalam ruangan depan rumah judi itu.
“Heii!
Berhenti!” bentak seorang tukang pukul.
Ia pun
memegang lengan kiri Bun An kemudian menariknya dengan pengerahan tenaga,
dengan maksud agar pemuda jembel itu tertarik dan terpelanting. Namun tubuh
pemuda jembel itu sama sekali tidak bergeming, bahkan si tukang pukul merasa
seolah-olah yang dipegangnya itu bukan lengan tangan, melainkan sepotong besi
yang keras!
Beberapa
kali dia mengerahkan tenaga untuk membetot, akan tetapi percuma saja. Hal ini
membuat dia merasa amat penasaran kemudian marah, dan langsung saja dia memukul
dengan tinjunya ke arah muka Bun An.
“Wuutttt…!”
Dengan
miringkan mukanya, pukulan itu meluncur dekat pipi Bun An. Pemuda ini menjadi
marah dan sekali dia mengangkat lutut, maka lututnya telah masuk ke dalam perut
orang itu.
“Ngokkk…!”
Orang itu
menekuk perutnya dan memegangi perut yang terasa nyeri bukan main. Bun An
menendang tubuh orang itu yang langsung terlempar lalu terbanting jatuh.
Melihat ini,
tujuh orang tukang pukul itu menjadi marah. Salah seorang di antaranya telah
menubruk dari belakang dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangan terbuka,
siap untuk mencengkeram dan mencekik leher pengemis muda itu.
Bun An
membiarkan saja tangan itu mencengkeram lehernya dan si pencengkeram amat
terkejut ketika merasakan betapa leher yang dicekiknya itu keras seperti besi!
Pada saat itu Bun An sedikit miringkan tubuhnya dan siku kanannya menghantam ke
belakang.
“Dukkk!”
“Aughhhh...!”
Orang yang kena disiku dadanya itu terpental dan terbanting jatuh, seketika
muntah darah karena dadanya seperti dihantam oleh toya besi saja!
Kini para
tukang pukul itu baru sadar bahwa pengemis muda ini sama sekali tidak boleh
dibuat main-main. Mereka segera mencabut senjata lalu menyerang Bun An dari
berbagai jurusan.
Melihat
gerakan mereka, maka tahulah Bun An bahwa mereka itu tidak boleh disamakan
dengan para jagoan di rumah pelacuran. Karena itu dia pun segera mendahului
mereka, tubuhnya bergerak cepat sekali sehingga bagi para pengepungnya tubuh
itu bagai lenyap berubah menjadi bayangan yang terbang menyambar-nyambar,
lantas tujuh orang jagoan itu roboh malang melintang di pekarangan itu!
Dengan
tenang Bun An melangkah memasuki ambang pintu, mendorong pintu ke dua lalu
masuk ke ruangan perjudian yang amat luas itu. Ada belasan meja judi
dikelilingi banyak orang. Suasana di sana sangat pengap bagi dia yang baru
masuk dari tempat terbuka. Ruangan itu penuh asap berbau tembakau, bercampur
bau minyak wangi dari pakaian para pelacur yang menghibur para penjudi, dan bau
keringat semua orang!
Dua orang
jagoan yang berjaga di sebelah dalam sudah tahu akan peristiwa yang terjadi di
luar. Mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada mereka yang
berada di luar tadi. Maka, begitu melihat Bun An melangkah masuk, dengan cepat
dua orang ini sudah menyambutnya dengan serangan pedang dari kanan kiri. Pedang
kiri menusuk ke arah lambung, pedang kanan membacok kepala dari atas.
Menghadapi kedua
serangan pedang yang dilakukan serentak dan mendadak ini, Bun An yang semenjak
tadi tak pernah kehilangan kewaspadaan sedetik pun, mengangkat kedua tangan
menyambut. Tangan kanan bergerak ke samping dan tangan kiri bergerak ke atas.
Dua orang
penyerang itu terbelalak ketika merasa betapa pedang mereka tiba-tiba saja
berhenti meluncur, dan ternyata mereka melihat betapa pedang mereka terjepit di
antara jari-jari tangan pemuda jembel itu. Mereka segera mengerahkan tenaga
membetot untuk melepaskan pedang dari jepitan jari tangan, akan tetapi sia-sia
karena pedang itu seperti terjepit oleh jepitan baja saja.
Sebelum
mereka sempat mengetahui apa yang akan terjadi, kedua kaki Bun An dengan
bergantian tetapi cepat sekali seolah-olah kedua kaki itu bergerak berbarengan
saja, telah menendang sehingga kedua orang itu terpelanting roboh dan tak mampu
bangkit kembali karena sambungan lutut kaki mereka terlepas! Pedang mereka
telah berpindah ke kedua tangan Bun An.
Lima orang
jagoan lain cepat maju mengepung dan langsung mengeroyok, menggerakkan senjata
mereka, akan tetapi nampak sinar bergulung-gulung dari dua batang pedang yang
berada di tangan Bun An. Terdengar teriakan-teriakan yang disusul robohnya lima
orang itu karena lengan mereka telah terluka dan mengucurkan darah!
Kini semua
orang merasa gentar, bahkan jagoan-jagoan lain mengundurkan diri menjauh.
Karena tidak ada yang berani menyerangnya, Bun An melempar kedua pedang ke atas
lantai, kemudian melangkah perlahan-lahan ke tengah ruangan. Semua mata memandang
kepadanya, mata yang terbelalak dan muka yang pucat karena ketakutan.
Bun An
memandang ke sana sini, mencari-cari sampai akhirnya dia melihat orang yang
dicarinya. Tentu saja dia masih mengenal Ma Cun, orang yang sangat dibencinya
itu. Bekas pengawal itu kini sudah berusia empat puluh tahun lebih, rambut
kepalanya sudah bercampur uban, namun wajahnya yang gagah tidak berubah. Hanya
perutnya yang kini menggendut, namun tubuhnya masih nampak kokoh kuat. Melihat
orang yang dicarinya ini, Bun An menghampiri dan kini dia berdiri di depan Ma
Cun dalam jarak lima meter.
“Ma Cun,
tinggalkan mejamu dan majulah ke sini!” kata Bun An, suaranya halus namun
mengandung getaran dendam kebencian.
Ma Cun
mengerutkan alisnya. Dia sendiri adalah seorang jagoan yang memiliki ilmu silat
yang cukup tinggi, maka tentu saja dia tidak gentar melihat pengemis muda yang
tadi mengamuk. Akan tetapi, ketika pengemis muda itu memanggilnya, dia merasa
penasaran dan juga marah.
“Bocah
pengemis! Aku Ma Cun tidak punya urusan dengan engkau. Pergilah dan jangan
menggangguku!” Dia membesarkan suaranya agar lebih berwibawa karena pada saat
itu semua orang memandang kepadanya dan kepada pengemis muda yang tidak
dikenalnya itu.
“Ma Cun,
buka matamu lebar-lebar dan lihat siapa aku!” Bun An berkata lagi, suaranya
tetap halus, namun mengandung sesuatu yang membuat semua orang bergidik.
Ma Cun
memandang dengan penuh selidik, lantas mengerutkan alisnya lebih dalam dan
menghardik, “Jembel busuk! Aku tidak mengenal orang macam engkau, pergilah
sebelum hilang kesabaranku!” Ma Cun yang percaya akan kemampuannya sendiri itu
menggertak, ada pun tangannya telah meraba gagang pedangnya yang selalu berada
di dekatnya dan pada saat itu pedangnya berikut sarung pedang terletak di atas
meja judi.
Bun An
tersenyum mengejek, sepasang matanya menyorotkan sinar dingin yang mau tak mau
terasa juga oleh Ma Cun sehingga membuat tengkuknya terasa agak dingin.
“Ma Cun,
namaku Tang Bun An!”
Ma Cun
terbelalak. “Ha-ha-ha, engkau setan cilik ternyata kini sudah menjadi orang
yang tidak berharga!” katanya sambil meninggalkan meja menghampiri Bun An.
Setelah kini dia mengenal Bun An, seketika lenyaplah rasa jeri yang tadi
sedikit banyak ada padanya dan terganti dengan pandangan rendah dan menghina.
Sejak
melihat Ma Cun tadi, Bun An sudah merasa seolah-olah ada api bernyala panas di
dalam dadanya. Mendengar penghinaan itu kemarahannya langsung meluap-luap dan
dia pun melangkah maju sehingga kini mereka berhadapan dalam jarak dua meter
saja, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian.
“Bun An
jembel busuk, apakah engkau datang untuk mengemis padaku? Nih, uang kecil
untukmu!” Sambil berkata demikian, dengan sikap dan pandang mata menghina
sekali Ma Cun mengambil tiga keping uang kecil dari sakunya dan dilemparkan ke
depan.
Tiga keping
uang itu mengenai tubuh Bun An, lantas jatuh ke bawah mengeluarkan suara
berkeritikan. Tidak terlalu nyaring, akan tetapi karena semua orang diam
menahan napas dengan hati tegang, jatuhnya tiga buah mata uang itu menimbulkan
suara yang nyaring.
“Ma Cun,
dengarlah, buka telingamu lebar-lebar. Aku datang bukan untuk meminta uang,
melainkan untuk mengambil nyawamu!”
Suasana
menjadi semakin tegang setelah kata-kata ini keluar dari mulut pengemis muda
itu. Tidak lantang, namun karena suasana amat sepi dan hening seolah-olah di
situ tidak ada manusia lain, maka terdengar jelas dan menimbulkan ketegangan
mendalam. Wajah Ma Cun berubah merah sekali saking marahnya.
“Singgg…!”
Pedang itu telah dicabutnya.
Dengan
tangan kiri memegang pedang Ma Cun sudah menubruk maju ke depan, segera
menyerang Bun An dengan sabetan pedangnya, tidak malu-malu lagi menyerang
seorang pemuda yang tidak memegang senjata apa pun. Namun Bun An menghadapi
serangan pedang itu dengan tenang saja. Tingkat kepandaiannya sudah jauh lebih
tinggi dari pada Ma Cun, maka ketika pedang berkelebat menyambar ke arahnya,
dia segera menangkis dari samping dengan menampar ke arah pedang itu.
“Plakkk!”
Pedang itu dapat ditangkapnya!
Semua mata
terbelalak memandang, hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin pemuda jembel itu
berani menangkap pedang yang amat tajam dan digerakkan oleh seorang yang
bertenaga besar seperti Ma Cun? Akan tetapi kenyataannya pedang itu dapat
ditangkap dan kini nampak Ma Cun bersitegang hendak menarik pedangnya agar
tangan pemuda itu terbabat buntung. Akan tetapi sama sekali tidak berhasil.
Sekali lagi
dia membetot akan tetapi tiba-tiba Bun An melepaskan pegangannya sehingga tubuh
Ma Cun segera terjengkang! Sambil tersenyum mengejek Bun An memberi isyarat
kepadanya agar bangkit kembali.
“Berdirilah
dan keluarkan semua kepandaianmu sebelum kau kubunuh!”
Wajah Ma Cun
menjadi pucat sekali dan mulailah dia meragukan kemampuannya sendiri, hal yang
belum pernah dia lakukan. Apa yang dialaminya tadi terlalu hebat dan nyalinya
sudah menciut, bahkan kedua kakinya mulai gemetar.
“Kawan-kawan,
bantulah aku!” teriaknya tiba-tiba, lantas dia pun mendahului menyerang dengan
membabi buta.
Kini semua
jagoan yang berada di sana seperti baru sadar bahwa ada seorang pemuda
berpakaian seperti pengemis yang lihai sekali sedang mengacau di rumah judi
itu, bahkan mengancam nyawa seorang kawan mereka. Belasan orang jagoan, baik
yang bertugas sebagai penjaga keamanan di situ mau pun yang datang sebagai tamu
dan penjudi, cepat mencabut senjata masing-masing dan menyerbu ke arah Bun An!
Pemuda itu
sudah marah sekali. Serangan Ma Cun yang membabi buta itu disambutnya dengan
tamparan keras ke arah lengan Ma Cun. Ma Cun berteriak kesakitan, kemudian
pedangnya terlepas dari pegangan karena lengan kanannya terasa nyeri bukan
kepalang seperti dipukul dengan toya baja. Pada saat itu teman-temannya sudah
menyerbu, maka dengan cerdik Ma Cun menyelinap di antara orang banyak lalu
melarikan diri ke loteng.
Bun An
mengamuk hebat. Tubuhnya lantas berkelebatan di antara para pengepung dan
pengeroyoknya, akan tetapi matanya tidak melepaskan pintu keluar, takut
kalau-kalau Ma Cun lolos keluar. Dia marah karena kehilangan Ma Cun yang
menyelinap di antara orang banyak.
Bun An
menggerakkan kaki dan tangannya, maka mulailah pengeroyok berpelantingan ke
kanan kiri. Bukan hanya tubuh para pengeroyok, akan tetapi juga meja judi dan
bangku-bangku beterbangan karena ditendangi oleh Bun An yang mengamuk sambil
mencari-cari Ma Cun. Dalam waktu beberapa menit saja belasan orang jagoan sudah
roboh malang melintang tidak sanggup bangun lagi dan hanya dapat merintih
kesakitan. Para tamu yang tidak ikut mengeroyok sudah merapatkan diri di
dinding dengan wajah pucat.
Sesudah
tidak ada lagi yang menyerangnya, Bun An mulai mencari-cari dengan matanya. Dia
melihat seorang laki-laki gendut yang tadi bersikap angkuh dan sekelebatan
dilihatnya sebagai majikan tempat itu. Sekarang orang itu sedang bersembunyi di
balik meja yang roboh, tubuhnya yang gendut itu menggigil seperti diserang
demam.
Dengan
sekali loncatan saja Bun An sudah tiba di belakang orang itu, lalu dengan
sekali cengkeraman pada pundak si gendut itu, dia menariknya berdiri dan si
gendut menahan jerit seperti seekor tikus terjepit.
“Hayo
katakan, di mana adanya Ma Cun?” Bun An merasa yakin sekali bahwa orang yang
dicarinya tentu masih berada di situ karena sejak tadi dia memperhatikan pintu
keluar dan tidak melihat Ma Cun keluar dalam keributan tadi.
“Ti…
tidak... tahu....” Si gendut menggeleng kepalanya.
“Hemm, apa
kau minta mati?” Bun An menekan pundak si gendut itu yang tiba-tiba saja merasa
betapa tubuhnya bagaikan ditusuk-tusuk seribu jarum. Dia kini tidak lagi
menahan jeritnya, melainkan menguik-nguik seperti seekor babi dimasukkan
keranjang, “Kau masih tidak mau mengatakan di mana dia?”
“Di... di
loteng...,” kata si gendut yang tiba-tiba saja terkencing-kencing di celana.
Bun An
mendorongnya sehingga dia roboh terguling-guling dan cepat lari menaiki tangga
menuju ke loteng. Semua orang yang berada di ruangan bawah itu kini memandang
ke atas.
Di loteng
itu ada ruangan besar berikut beberapa buah kamar di mana para pemenang
permainan judi boleh menghamburkan uangnya kepada para pelacur yang siap
melayani mereka. Bun An segera memeriksa setiap kamar dan pada kamar ke tiga,
tiba-tiba saja dia diserang orang dari dalam kamar dengan sebatang pedang.
Penyerang itu bukan lain adalah Ma Cun yang sudah memperoleh sebatang pedang
lagi.
Akan tetapi
Bun An sudah waspada. Begitu pedang meluncur dia segera mengelak, lalu
tangannya menangkap pedang sambil kakinya menendang lengan kanan lawan.
Terpaksa Ma Cun melepaskan pedangnya dan dia hendak lari turun. Akan tetapi
tangan kiri Bun An segera menampar dan mengenai tengkuknya sehingga dia pun
terjungkal roboh. Semua orang melihat peristiwa di loteng itu dengan mata
terbelalak. Dilihat dari bawah, apa yang terjadi di atas itu seperti permainan
wayang saja!
Karena
melihat sudah tidak ada jalan keluar lagi maka timbullah rasa takut di hati Ma
Cun. Tanpa malu-malu lagi dia lalu berlutut dan meyembah-nyembah kepada Bun An.
“Bun An,
ampunkanlah aku... ahhh, ingatlah bahwa aku adalah ayah tirimu... dahulu aku
pernah menyayangimu... ingatkah engkau ketika dahulu aku memberi hadiah
kepadamu? Ampunkan aku, Bun An!”
Kemarahan
Bun An semakin menjadi ketika diingatkan akan peristiwa yang lalu. Memang dulu,
pada waktu masih menjadi kekasih ibunya di rumah keluarga Tang, orang ini
sering mengambil hatinya dengan memberi barang-barang mainan, juga mengancamnya
karena dialah yang menjadi jembatan antara ibunya dengan orang ini!
“Keparat
jahanam! Masih ada muka engkau untuk minta ampun dan mengaku ayah tiriku?
Apakah engkau juga masih ingat saat memukuli dan menyiksaku, bahkan
menendangku? Sudah lupakah engkau dengan apa yang kau lakukan terhadap ibuku?
Engkau hamburkan semua harta benda ibuku dan setelah habis, engkau sia-siakan
ibuku, engkau siksa dia, kau pukul dan tendang, dan akhirnya kau jual!”
“Ampun...
ampun....” Ma Cun menyembah-nyembah ketakutan, keringat dingin sebesar kedelai
keluar dari tubuhnya.
“Dan
ingatkah engkau betapa engkau sudah merencanakan pembunuhan terhadap ayah
kandungku? Kau racuni dia sampai mati!”
“Bukan
aku... ampun, tapi ibumu... ampunkan aku...”
“Pengecut
hina! Biar pun kau tebus dengan kedua tanganmu, engkau masih belum dapat
membayar hutangmu kepadaku. Kini berikan kedua tanganmu!” Sambil berkata
demikian nampaklah sinar pedang berkelebat, yaitu pedang yang tadi dirampas Bun
An dari tangan Ma Cun.
Ma Cun
menjerit dan kedua tangannya sebatas bawah siku terbabat buntung! Demikian
cepatnya pedang itu berkelebat sehingga kedua lengan itu buntung tanpa
dirasakan Ma Cun yang baru menjerit setelah melihat betapa kedua lengannya tak
bertangan lagi!
Dengan
kakinya Bun An menendang kedua potongan lengan itu ke bawah loteng! Semua orang
memandang terbelalak, muka mereka pucat karena ngeri melihat dua buah tangan
itu melayang jatuh di atas meja judi!
Ma Cun
langsung menjerit-jerit ketika Bun An menghardik, “Dan serahkan kedua kakimu
untuk membayar hutangmu kepada ibuku!”
Kembali
pedang berkelebat dan Ma Cun mengeluarkan jeritan yang lebih mengerikan lagi
ketika tiba-tiba saja kedua kakinya sebatas lutut terbabat buntung oleh pedang.
Tubuhnya terpelanting, berkelojotan sambil mulutnya masih merintih-rintih, Bun
An juga menendang kedua potongan kaki itu ke bawah loteng. Kini semua orang
menggigil.
“Sekarang
berikan kepalamu untuk membayar hutangmu kepada ayah!”
Pedang
berkelebat dan tubuh Ma Cun tidak bergerak lagi, tidak menjerit lagi, melainkan
terlihat darah muncrat-muncrat ketika lehernya terbabat buntung oleh pedang.
Kepalanya ditendang dan menggelinding ke bawah loteng!
Bun An
melemparkan pedangnya dan sekali lompat, dia sudah melayang turun ke bawah
loteng. Melihat tumpukan uang di atas meja-meja, juga berserakan di bawah, dia
teringat akan kebutuhan ibunya. Dia lalu mengambil semua uang itu, dimasukkan
ke dalam taplak meja, dibungkusnya lantas dipanggulnya. Sebelum pergi dia
memandang kepada semua orang dan berkata lantang,
“Aku
mengambil uang ini bukan merampok, melainkan mengambil kembali sebagian dari
harta ibuku yang dihamburkannya di tempat ini. Kalau ada yang penasaran,
carilah aku, Siauw-kai!” Lalu dia keluar dari tempat judi itu dengan tenang.
Tak ada seorang pun yang berani bergerak melarangnya, bahkan tidak ada yang
berani bergerak sebelum Bun An pergi jauh dari tempat itu.
Dengan uang
yang diambilnya dari tempat judi, Bun An mengajak ibunya untuk pulang ke dusun
tempat asal ibunya. Di dusun ini Bun An membeli rumah sederhana dan sebidang
tanah. Atas desakan ibunya dia membuang pakaian jembelnya dan mengenakan
pakaian biasa. Kini jadilah dia seorang pemuda yang tampan.
Karena uang
yang diambilnya dari rumah judi itu tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk
membeli sebidang tanah, pakaian untuk dia dan ibunya, juga perabot rumah
sederhana, maka uang itu pun lantas habis sehingga Bun An bersama ibunya harus
bekerja di ladang untuk keperluan sehari-hari.
Beberapa
bulan kemudian, sesudah ibu dan anak itu hidup tenang di dusun itu, Kui Hui
mulai membujuk puteranya untuk menikah. “Usiamu sudah cukup, anakku, dan aku
pun sudah ingin sekali menggendong cucu. Gadis keluarga Lui di dusun sebelah
amat cantik, menjadi kembang dusun-dusun di daerah ini. Aku ingin melamarnya
untukmu, anakku.”
Bun An
tersenyum. Memang usianya kini sudah dua puluh tahun lebih, dan dia pun sudah
pernah melihat gadis yang dimaksudkan oleh ibunya. Gadis keluarga Lui itu
bernama Kim Bwe, berusia delapan belas tahun dan memang cantik sekali bagaikan
setangkai bunga Bwe! Maka dia pun mengangguk dengan senang, menyatakan setuju.
Pinangan
segera diajukan dan diterima dengan senang oleh keluarga Lui, apa lagi karena
keluarga itu melihat Bun An adalah seorang pemuda yang amat tampan, juga rajin
bekerja dan masih berdarah bangsawan, karena kepada perantara Kui Hui
membisikkan bahwa puteranya adalah keturunan keluarga Tang di kota raja yang
pernah menjabat kedudukan tinggi.
Pernikahan
dilangsungkan dengan sederhana namun cukup meriah bagi penghuni dusun, lantas
Bun An memboyong isterinya ke rumahnya. Karena isterinya memang cantik manis
dan lembut, maka mudah saja bagi Bun An untuk jatuh cinta kepada Lui Kim Bwe.
Sejak pernikahan mereka, selama berbulan-bulan berikutnya kedua orang suami
isteri muda ini hidup berenang di dalam lautan kemesraan dan nampaknya saling
mencinta.
Namun
diam-diam wanita muda yang pernah menjadi kembang dusun itu kadang-kadang
merasa menyesal dan kecewa bukan main. Sesudah gairah api birahi mulai mengecil
dan tidak sepanas pada masa pengantin baru, isteri yang masih muda belia ini
mulai melihat kenyataan betapa dia masuk ke dalam kehidupan keluarga yang
sangat sederhana, kalau tidak dapat dinamakan miskin.
Suaminya
memang tampan, akan tetapi apa artinya ketampanan kalau kehidupan mereka
demikian sederhana, bahkan sama sekali tidak mewah? Memang harus diakuinya
bahwa sebagai isteri petani muda, dia tak kekurangan makan. Akan tetapi makanan
sederhana, dengan sayur-sayur dan jarang bertemu daging. Dan pakaiannya! Sudah
hampir setahun dia menikah tapi belum satu juga pakaiannya bertambah dan dia
harus memakai pakaian-pakaian yang dibawanya dari rumah, walau pun memang
pakaian itu belum rusak.
Sejak masih
muda sekali Kim Bwe menjadi kembang di dusunnya, bahkan kecantikannya terkenal
hingga ke dusun-dusun tetangga dan banyak sudah pemuda-pemuda anak orang kaya,
bahkan orang-orang yang mempunyai kedudukan seperti kepala dusun dan lain-lain
yang tergila-gila kepadanya. Namun orang tuanya malah memilih dan menerima
pinangan Tang Bun An!
Tadinya dia
menyangka bahwa selain seorang pemuda tampan, tentu Tang Bun An juga anak
seorang kaya raya karena bukankah dikabarkan bahwa Tang Bun An adalah putera
bangsawan tinggi di kota raja yang telah meninggal? Sebagai putera seorang
bangsawan tentu dia sudah menerima banyak warisan! Akan tetapi setelah menjadi
isteri Bun An, dia melihat kenyataan bahwa pemuda itu sama sekali tidak
memiliki apa pun kecuali sawah ladangnya yang tidak berapa luas, dan rumah yang
sangat sederhana pula!
Setelah
pernikahan itu berjalan setahun lamanya, barulah wanita muda bernama Lui Kim
Bwe itu melihat kenyataan bahwa ketampanan wajah suaminya saja tidak dapat
membuat dia merasa bahagia. Selama beberapa bulan wajah tampan itu memang
mengasyikkan, tetapi kemudian dia menjadi bosan, apa lagi jika dia melihat
wanita-wanita lain yang kaya di dusun itu atau pendatang dari kota, yang
mengenakan perhiasan gemerlapan, pakaian sutera halus indah yang mahal, sepatu
yang indah pula, naik kereta yang mewah!
Mulailah
nyonya muda ini bersikap tidak manis kepada suaminya, bahkan dia mulai suka
berkunjung ke rumah tetangganya, seorang janda setengah tua yang disebut Bibi
Ciok dan di sini dia melampiaskan kekecewaan dan penyesalan hatinya kepada
tetangga ini. Ia sama sekali tidak pernah mau membantu suaminya yang sibuk di
sawah ladang, bahkan tidak mau membantu ibu mertuanya yang sibuk di dapur dan
di rumah.
Bibi Ciok
adalah seorang wanita yang dulu menjadi pelacur di kota, yang setelah tua dan
berhasil mengumpulkan banyak uang lalu pulang ke dusun ini dan hidup sebagai
seorang janda yang tidak akan kekurangan makan karena memiliki sawah yang
cukup. Mendengar keluhan serta celaan Kim Bwe ini, dia tidak tinggal diam
melainkan menanggapi, bahkan menyatakan turut menyesal mengapa Kim Bwe yang
pernah menjadi kembang beberapa buah dusun di sekitar situ, yang diperebutkan
oleh banyak orang kaya, sekarang menjadi seorang isteri seorang pria yang
miskin!
“Kasihan
sekali engkau ini, Kim Bwe,” demikian antara lain Bi Ciok berkata dan karena
dia sudah akrab sekali dengan nyonya muda ini maka dia memanggil namanya begitu
saja. “Seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis seperti engkau ini,
kalau di kota raja pasti sudah menjadi isteri seorang pemuda kaya raya, bahkan
tidak aneh kalau engkau menjadi isteri bangsawan! Sedikitnya isteri muda yang
hidup berenang dalam kemuliaan dan kekayaan. Namun di sini engkau hanya menjadi
isteri seorang petani. Memang Tang Bun An itu seorang putera bangsawan, akan
tetapi bangsawan itu telah meninggal dunia dan kau tahu? Ibunya diusir dari
sana karena disangsikan bahwa Tang Bun An itu putera bangsawan Tang, mungkin
anak dari hasil hubungan gelapnya dengan perwira pengawal! Dan setelah keluar
dari keluarga Tang, ibu Bun An itu menjadi seorang pelacur!”
“Ahhh...!”
Kim Bwe terbelalak dan mukanya berubah merah.
“Aku berani
bersumpah, Kim Bwe! Aku melihat dengan kedua mataku sendiri!” kata Bibi Ciok
dan hal ini memang bukan bohong. Karena dia sendiri pernah menjadi pelacur maka
pernah pula melihat ibu Bun An yang sangat terkenal ketika mula-mula jadi
pelacur.
Demikianlah,
Kim Bwe mulai keracunan hatinya dan dia merasa lebih dekat dengan Bibi Ciok
dari pada dengan ibu mertuanya. Dan kesempatan ini tak disia-siakan oleh Bibi
Ciok yang bermata tajam! Seorang wanita muda seperti Kim Bwe ini, yang sedang
mengalami kekecewaan dan penyesalan terhadap suaminya, yang haus akan
kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, merupakan seekor domba yang jinak dan daging
yang lunak bagi para serigala dan buaya. Dia pun melihat kesempatan terbuka
lebar baginya untuk mengeduk keuntungan sebanyaknya.
Demikianlah,
sebagai seorang wanita yang berpengalaman Bibi Ciok dapat menghubungi
Lai-jung-cu (Lurah Lai), yaitu lurah dari dusun tempat Kim Bwe yang pernah
tergila-gila kepada Kim Bwe. Lurah ini kaya raya dan terkenal mata keranjang,
dan pernah Bibi Ciok mencarikan seorang gadis dusun untuk menjadi mangsa lurah
yang haus perempuan ini. Oleh karena itu maka dia berani menghubungi
Lai-jung-cu dan menceritakan bahwa dia mampu membantu lurah itu kalau masih ada
gairah besar terhadap Lui Kim Bwe yang kini telah menjadi nyonya Tang Bun An.
Mendengar
ini tentu saja sang lurah yang mata keranjang menjadi girang sekali. Bibi Ciok
menceritakan pula betapa setelah menikah, Kim Bwe kini bagaikan setangkai bunga
yang menjadi mekar semerbak harum dan sangat menggairahkan. Tentu saja
mula-mula sang lurah merasa khawatir dan tidak percaya, namun Bibi Ciok
menenangkan hatinya.
“Kalau
memang Jung-cu berhasrat, jangan khawatir. Saya akan mengaturnya dan takkan ada
seorang pun yang mengetahuinya. Setiap hari suaminya sibuk di sawah, ada pun
ibu mertuanya sibuk di dapur. Hampir setiap hari si denok cantik itu
bermain-main ke rumah saya dan dia seperti anak saya sendiri!”
Lalu
keduanya mengatur siasat. Sang lurah akan berkunjung ke rumah janda tua ini,
dan sang janda yang akan mengatur agar kedua orang itu akan dapat bertemu di
rumahnya!
Bibi Ciok
juga mulai mengatur siasat di rumahnya, bagai seekor laba-laba yang membuat
jaring halus untuk membuat perangkap dan menangkap lalat yang bukan lain adalah
Kim Bwe! Seperti sambil lalu mulailah dia bercerita kepada Kim Bwe ketika
nyonya itu datang berkunjung, betapa dia baru saja pulang dari dusun tempat
asal Kim Bwe. Wanita muda itu tentu saja segera tertarik dan mendengarkan
dengan penuh perhatian.
“Kebetulan
sekali aku bertemu dengan Lai-jung-cu. Engkau tahu lurah dari dusunmu itu, yang
masih gagah dan ramah sekali? Juga dia terkenal kaya dan dermawan.”
Kim Bwe
mengangguk. Tentu saja dia mengenal lurah itu, bahkan sudah dikenalnya sejak
dia masih kecil.
“Kau tahu,
Kim Bwe, Lai-jung-cu itu masih terhitung saudara misanku. Ketika kuceritakan
bahwa engkau kini tinggal bertetangga dengan aku dan sering kali datang
berkunjung, dia kegirangan bukan main dan bertanya banyak sekali tentang
dirimu. Nampaknya dia rindu sekali kepadamu, Kim Bwe.”
Kim Bwe
mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. “Ahh, kenapa begitu? Dia tidak
mempunyai hubungan dengan aku.”
“Aihhh!
Benarkah engkau tidak tahu, Kim Bwe? Semenjak dahulu lurahmu itu tergila-gila
kepadamu dan dia sangat mencintaimu, Kim Bwe. Mencintai setengah mati dan dia
mau mengorbankan apa pun asal dapat bertemu denganmu!”
“Ah, Bibi
Ciok...!” Kim Bwe menjerit kecil dan pura-pura marah. “Aku tak mau mendengar
orbrolanmu ini dan biarlah aku pulang saja!” Dia memperlihatkan sikap marah dan
bilang hendak pulang, akan tetapi tidak beranjak dari kursinya!
Bibi Ciok
yang berpengalaman itu lalu menubruk dan merangkulnya. “Maafkan aku, anak baik.
Bukan maksudku untuk membikin kau kikuk dan tidak enak hati. Aku hanya berkata
yang sesungguhnya saja. Dan dia, lurah itu, juga tidak bermaksud menghinamu.
Dia amat menghormatimu dan menghargaimu seperti seorang bidadari dari langit!”
Demikianlah,
sedikit demi sedikit sang laba-laba mulai memancing dan memasang umpan pada
perangkapnya untuk menjebak lalat itu! Dengan rayuan mautnya, Bibi Ciok
akhirnya berhasil membujuk Kim Bwe untuk berwajah cerah lagi, bahkan
mendengarkan wanita tua itu mengobrol dan memuji-muji lurah Lai itu.
Dia
mengatakan bahwa lurah itu belum begitu tua dan masih amat kuat, bahkan sangat
terkenal di kalangan para wanita sebagai seorang pencinta dan perayu besar yang
pandai menyenangkan hati wanita. Selain itu dia royal pula dengan hadiahnya
sehingga banyak wanita-wanita muda, baik masih perawan, janda mau pun yang
masih bersuami, bermimpi untuk dapat dipilih lurah itu menjadi kekasihnya!
Malam itu
Kim Bwe tidak dapat tidur setelah dijejali banyak pujian-pujian atas diri lurah
itu. Dia membayangkan wajah Lurah Lai yang selamanya belum pernah diingatnya!
Sesuai
dengan siasat yang telah diatur oleh Bibi Ciok, beberapa hari kemudian
muncullah Lurah Lai selagi Kim Bwe pagi-pagi sudah datang berkunjung! Dari luar
lurah itu sudah berteriak-teriak memanggil Bibi Ciok yang berpura-pura kaget.
Tentu saja
muka Kim Bwe seketika menjadi merah dan dia pun bangkit hendak pergi dari situ.
Akan tetapi Bibi Ciok cepat mencegahnya.
”Aihh, Kim
Bwe, ini terjadi hanya secara kebetulan saja. Engkau tamuku, dan dia datang
bertamu, apa salahnya? Kalau engkau pergi berarti menghinanya dan juga membuat
aku merasa tidak enak sekali. Duduklah dan tinggallah sebentar saja!” Kim Bwe
pun terpaksa duduk kembali.
Muncullah
lurah itu dengan pakaian mewah dan rambutnya yang tersisir rapi! Dan kedua
tangannya membawa beberapa gulung kain sutera beraneka warna, indah sekali.
“Bibi Ciok,
aku datang membawa hadiah untukmu!” katanya pura-pura tidak melihat Kim Bwe
yang duduk di sudut.
Bibi Ciok
menyambut dengan girang bukan main. Ia menerima gulungan-gulungan sutera itu
dan memuji-mujinya. Pada saat itu agaknya barulah lurah itu melihat Kim Bwe dan
dia pun berseru kaget.
“Aih, Bibi
Ciok...! Siapa... siapa... ah, apakah ada seorang dewi dari langit yang
turun...?”
Bibi Ciok
tertawa genit. “Ihh, masa Jung-cu lupa? Dia adalah Kim Bwe!”
“Ya
Tuhan...!” Lurah itu berseru dan matanya terbelalak, memandang kagum sekali.
“Dia tiada ubahnya seorang bidadari... ahhh, maaf, sungguh aku tidak mengenalmu
lagi nona Kim Bwe... ehh, sekarang nyonya ya, maafkan aku.”
Semenjak
tadi Kim Bwe menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali bagai udang direbus,
akan tetapi membuat mukanya menjadi semakin cantik, mulutnya menyungging senyum
dan matanya melirik dari bawah. “Ahh, Jung-cu terlalu memuji... Bibi, aku pamit
pulang saja...”
“Nanti
dulu... engkau duduklah sebentar...!” kata Bibi Ciok yang segera pergi ke
belakang pura-pura hendak mengambil minuman.
“Benar,
nyonya, bukankah sejak dahulu kita telah saling mengenal. Ahh, kebetulan sekali
hari ini hari baik, aku menerima banyak keuntungan dari kota raja, dari
penjualan rempah-rempah dan aku sedang suka sekali memberi hadiah. Bibi Ciok
kuhadiahi kain-kain sutera dan aku pun ingin memberikan hadiah kepadamu. Wah,
tapi apa ya? Tak ada yang cukup berharga untukmu. Biar kuambilkan dari rumah,
kupilih yang paling berharga. Akan tetapi, sementara ini terimalah sedikit
barang ini...” Dia lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku bajunya,
membuka kotak kecil itu dan menyerahkannya kepada Kim Bwe.
Dari sudut
matanya Kim Bwe melihat kotak kecil terbuka itu dan mukanya berubah pucat
kemudian merah kembali. Kotak itu berisi perhiasan dari emas permata yang
membuat jantungnya berdebar tidak karuan! Belum pernah dia melihat perhiasan
seindah itu, apa lagi memakainya! Dia tidak berani menerima dan hanya
menundukkan mukanya.
Pada saat
itu pula Bibi Ciok keluar membawa seguci arak. Melihat lurah itu meletakkan
sebuah kotak terbuka berisi perhiasan di atas meja di depan Kim Bwe, dia
mengeluarkan seruan kagum.
“Aihhh...!
Perhiasan yang begini indah! Kim Bwe, engkau boleh menerima pemberian itu. Ahh,
cobalah betapa pantasnya engkau memakai perhiasan ini!”
Setengah
memaksa nenek itu segera mengenakan gelang dan cincin di tangan Kim Bwe yang
membiarkannya saja sambil menundukkan mukanya. Pada waktu Bibi Ciok hendak
memasangkan hiasan rambut dan kalung, lurah itu menghampiri dan berkata,
“Biarlah aku
yang membantu memakaikannya!”
Antara lurah
itu dengan Bibi Ciok lalu terjadi permainan mata. Dan seperti sudah mereka
rencanakan, setelah melihat betapa Kim Bwe mandah saja, hal itu berarti bahwa
umpan serta pancingan mereka mengena. Bibi Ciok tersenyum, mengangguk dan dia
pun keluar dari rumahnya sendiri untuk berjaga di luar!
Lurah Lai
lalu mengambil hiasan rambut dan mengenakan hiasan itu di rambut kepala Kim
Bwe. Wanita ini menggerakkan kepala seperti hendak mencegah dan dia kelihatan
gugup melihat betapa pintu depan ditutup dari luar oleh Bibi Ciok. Akan tetapi
Lurah Lai berseru,
“Aihh,
alangkah indahnya rambutmu! Betapa hitam, halus, panjang, dan harum pula. Dan
cocok sekali memakai hiasan rambut. Dan ini kalungnya, biarlah kupakaikan
juga...”
Dan dia pun
mengenakan kalung itu di leher Kim Bwe, menyetuh kulit leher, membelainya dan
di lain saat, lurah itu telah merangkul leher Kim Bwe, menciumi leher itu, lalu
ke muka dan akhirnya memondong Kim Bwe memasuki kamar Bibi Ciok!
Kim Bwe
hampir pingsan karena malu dan jantungnya berdebar tegang, namun dia tidak
berani berteriak karena malu, dan juga pemberian itu telah melunakkan hatinya
maka dia pun mandah saja ketika Lurah Lai menyatakan cinta dan kagum dengan
perbuatan.
Demikianlah,
betapa berbahayanya menjadi seorang wanita apa bila menghadapi rayuan pria.
Pria yang sudah tergila-gila kepada seorang wanita akan menggunakan segala daya
upaya untuk menjatuhkannya! Dia tahu saja apa yang menjadi kelemahan hati
seorang wanita! Dan kelemahan itu yang disinggungnya sehingga si wanita akan
jatuh dan takluk!
Ketika
perbuatan hina itu dilakukan oleh kedua orang dalam kamarnya, Bibi Ciok duduk
di luar, tersenyum-senyum sambil menghitung-hitung keuntungan yang akan
didapatnya dari perjinahan antara dua orang yang sudah lupa diri itu.
Tiada
kesenangan yang tidak diulang oleh manusia yang lemah ini. Setiap pengalaman
yang menyenangkan akan dicatat di dalam ingatan, kemudian kita selalu
mendambakan pengulangannya.
Demikian
pula dengan Lurah Lai dan Lui Kim Bwe. Keduanya mendapatkan kesenangan dari
perjinahan itu, bukan hanya kesenangan karena nafsu jalang mereka
terlampiaskan, melainkan juga karena Kim Bwe menerima hadiah yang banyak.
Hadiah-hadiah itu tentu saja tidak dibawa pulang oleh Kim Bwe, melainkan
dititipkan kepada Bibi Ciok dan hanya dipakai kalau dia berkunjung ke rumah
wanita itu.
Namun
sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, bau busuknya akan tercium juga,
sepandai-pandainya orang menyembunyikan api, asapnya akan mengepul juga.
Demikian pula dengan hubungan gelap antara Lui Kim Bwe dan Lurah Lai.
Hubungan ini
mulai menjadi pergunjingan para tetangga sesudah ada seorang anak kecil yang
kebetulan bermain-main di dekat rumah Bibi Ciok tanpa disengaja melihat dua
orang tamu itu, dan pada hari-hari berikutnya anak itu sering melihat mereka.
Hal ini diceritakan di luar sehingga ramailah penduduk membicarakan hal-hal
yang mencurigakan ini.
Akhirnya
berita itu sampai pula ke telinga Tang Bun An! Mula-mula Bun An tidak percaya.
Isterinya demikian lembut, nampak demikian sayang kepadanya, menyambutnya dengan
mesra dan manis setiap kali dia pulang dari sawah ladang.
Isterinya
memiliki hubungan gelap dengan seorang lelaki lain? Tidak mungkin! Pada saat
dia bertanya kepada ibunya, ibunya juga tidak tahu. Biar pun mendengar pula
akan hal itu, Kui Hui pura-pura tidak tahu saja! Wanita ini agaknya juga tidak
menganggap perbuatan mantunya itu terlalu buruk!
Pada suatu
hari Bun An meninggalkan sawah ladangnya ketika hari masih pagi. Dengan
menggunakan kepandaiannya dia kembali ke dusun tanpa diketahui orang. Dengan
cepat dia menyelinap masuk ke rumahnya dan sesudah melihat isterinya tidak
berada di rumah, dia lalu bertanya kepada ibunya.
“Ahh, dia
merasa kesepian kalau engkau ke sawah. Mungkin dia bermain ke rumah Bibi Ciok.
Kenapa harus ribut-ribut? Dia masih muda dan membutuhkan hiburan. Biarkan saja
dia main-main dan kau kembalilah ke sawah,” kata Kui Hui dengan sikap acuh
saja.
“Aku akan
mencarinya ke sana!” kata Bun An, hatinya merasa tidak enak.
“Jangan nak.
Perlu apa? Biar nanti aku yang menyusulnya, engkau kembalilah ke sawah!” Ibunya
membujuk, merasa tidak enak juga karena dia pun sudah menduga bahwa berita yang
didesas-desuskan itu boleh jadi ada benarnya.
Akan tetapi
tanpa pamit lagi Bun An sudah melompat dan keluar dari rumahnya, menuju ke rumah
sebelah dengan mengambil jalan dari belakang, yaitu dengan melompati pagar! Dia
melihat Bibi Ciok sedang duduk seorang diri di luar rumahnya, maka dia pun
cepat menyelinap ke belakang dan memasuki rumah itu dari pintu belakang yang
dibongkarnya.
Tak lama
kemudian dia telah mengintai dari jendela kamar dan dapat dibayangkan betapa
perasaan hatinya mengalami keguncangan hebat pada waktu dia melihat isterinya
berada di atas pangkuan seorang laki-laki dan mereka saling berciuman dan
bercanda! Agaknya mereka baru saja selesai makan minum karena meja mereka masih
penuh makanan dan arak!
“Brakkk…!”
Daun jendela itu hancur berantakan dan tubuh Bun An melayang masuk dari
jendela.
Dua orang
yang sedang bermesraan di dalam kamar itu terkejut bukan kepalang. Apa lagi
ketika mereka mengenal siapa yang memasuki kamar melalui jendela itu! Selama
menjadi isteri Bun An, Kim Bwe tak pernah tahu bahwa suaminya itu bukan hanya
seorang petani biasa saja, tidak pernah menduga bahwa suaminya adalah seorang
yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Lurah Lai juga tidak tahu, maka kini
lurah itu hendak mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya.
“Kami telah
bersalah, biarlah aku akan menebus kesalahan ini dengan uang! Berapa saja yang
kau minta!” katanya sambil melepaskan tubuh kekasihnya.
Kim Bwe
sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar dan dia pun telah berlutut sambil
menundukkan mukanya. Bun An memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu,
seorang pria berusia hampir lima puluh tahun, lalu memandang kepada isterinya.
Isterinya
mengenakan pakaian sutera yang amat indah, ada pun tubuhnya penuh dengan
perhiasan emas permata yang tidak pernah dilihatnya. Mendengar ucapan lelaki
itu, Bun An melangkah maju, tangannya menampar. Tangan kiri Bun An seperti
petir menyambar sudah mengenai pinggir kepalanya.
“Prakkk…!”
Tubuh lurah
itu terjungkal dan dia roboh tak dapat bangkit kembali karena tamparan yang
mengenai kepala itu membuat batok kepalanya retak sehingga lurah itu tewas
seketika.
Tiba-tiba
saja daun pintu kamar itu terbuka dari luar, dibuka oleh Bibi Ciok yang
bergegas masuk bersama Kui Hui. Tadi Bibi Ciok mendengar suara hiruk pikuk di
dalam kamar dan merasa khawatir. Bibi Ciok lalu membuka pintu dan pada saat itu
Kui Hui datang dan ikut masuk karena mengkhawatirkan anak dan mantunya. Begitu
daun pintu terbuka, mereka terbelalak melihat lurah itu sudah rebah di atas
tanah dan darah mengalir dari kepalanya yang retak!
“Ahhh...!
Apa yang terjadi ini? Kau... bagaimana berani memasuki rumahku...?” Bibi Ciok
yang melihat lurah itu tewas, kini menuding kepada Bun An dengan marah.
Sejak tadi
Bun An sudah memandang nenek ini dengan wajah bengis. Dia tahu bahwa isterinya
telah terbujuk oleh nenek ini, yang agaknya menjadi comblang dan menyediakan
rumahnya untuk dijadikan tempat perjinahan yang hina! Sekarang melihat Bibi
Ciok marah kepadanya dan melangkah maju, dia pun mengayun kakinya menendang.
“Desss...!”
Bibi Ciok
mengeluarkan suara menjerit ketika tubuhnya terpental dan terbanting di dinding
kamar itu, lalu jatuh ke atas lantai. Ia merangkak dan mencoba untuk bangkit,
akan tetapi kembali Bun An mengayun kakinya dan kini mengenai leher nenek itu.
“Klokkk…!”
Leher itu
pun patah dan Bibi Ciok menggelepar, lalu diam tak bergerak karena nyawanya
telah melayang.
“Ibu...
Ibu.....!” Kim Bwe kini merangkul ibu mertuanya dengan ketakutan. Tidak
dikiranya sama sekali akan begini akibatnya, betapa suaminya demikian marahnya
dan melakukan pembunuhan-pembunuhan secara mengerikan.
Kui Hui
merangkul mantunya dan berkata kepada Bun An, “Bun An, apakah engkau telah
gila? Engkau membunuhi orang begitu saja! Engkau tentu akan ditangkap dan
dihukum mati, dan engkau pun turut mencelakakan kami, ibu dan isterimu!”
Perlahan-lahan
wajah Bun An berubah merah sekali dan sepasang matanya mencorong laksana
mengeluarkan api ketika dia menatap wajah ibunya dan isterinya. “Kalian...
kalian perempuan... makhluk jahat, kalian sama saja! Kalian benar-benar jahat,
berkedok wajah yang cantik, tubuh yang mulus, sikap manis lemah lembut, namun
batinmu kotor, kalian adalah makhluk-makhluk berhati jahat penuh racun!
Terkutuklah kalian...!”
“Bun An! Aku
ibumu sendiri, yang melahirkanmu!” Kui Hui membentak, marah mendengar anaknya
mengutuk dan memaki-makinya.
Bun An
tertawa, suara ketawanya bergelak dan menyeramkan sekali seperti suara ketawa
iblis, bukan suara manusia lagi, dan mukanya kini pucat seperti mayat tertawa
saja!
“Ha-ha-ha-ha!
Ibuku seorang perempuan jahanam! Seorang perempuan jahat, lebih hina dari
pelacur! Ibuku telah mengkhianati suaminya sendiri, ayah kandungku! Ibuku
berjinah dengan lelaki lain, kemudian meracuni suami sendiri, ayahku. Ibu lalu
mencuri hartanya, hidup bersama laki-laki yang sudah kubunuh itu, kemudian
menjadi pelacur! Ya, ibuku seorang pelacur! Ibuku iblis betina!”
“Bun An...!”
Kui Hui menjerit dengan wajah pucat dan matanya terbelalak.
“Dan kau...
kau Lui Kim Bwe, kau isteriku, kau cantik jelita, manis, mesra, bukan hanya
wajahmu yang amat jelita, tubuhmu juga mulus, tapi kau tidak ada bedanya dengan
ibuku. Engkau hanya seorang isteri yang menyeleweng, seorang perempuan yang
berhati penuh racun busuk! Kalau dilanjutkan penyelewenganmu, bukan tak mungkin
suatu hari engkau akan meracuni aku pula. Engkau pun iblis betina dan kau layak
mampus!” Tiba-tiba tubuh Bun An menerjang kedepan, tangannya bergerak.
“Prakkk…!”
Kui Hui
menjerit, dua matanya terbelalak dan dia cepat-cepat melepaskan rangkulan pada
pundak mantunya ketika melihat betapa tubuh mantunya berkelojotan dalam
dekapannya dan betapa kepala Kim Bwe telah pecah berantakan dengan otak dan
darah bermuncratan yang sebagian banyak membasahi bajunya sendiri!
“Ibu, kalau
saja engkau bukan ibuku, tentu kini sudah kubunuh pula! Akan tetapi engkau juga
jahat, sama dengan mereka. Aku malu untuk tinggal dan hidup bersamamu. Semua
perempuan memang jahat, palsu dan penuh racun!”
Setelah
berkata demikian Bun An lalu meloncat keluar dari rumah itu, tidak mempedulikan
ibunya yang menjerit-jerit seperti orang gila karena merasa takut, ngeri dan
juga batinnya terguncang oleh sikap dan kata-kata anak kandungnya sendiri tadi.
Akhirnya
para tetangga berdatangan dan mereka menemukan Kui Hui pingsan di antara tiga
sosok mayat di dalam kamar itu! Kui Hui jatuh sakit, selalu mengigau dan
berteriak-teriak. Dia terserang demam hebat dan beberapa hari kemudian dia pun
menghembuskan napas terkahir!
Dan
orang-orang tidak berhasil menemukan Tang Bun An, kemana pun mereka mencari.
Bahkan kematian Lurah Lai juga sudah membuat pasukan keamanan sibuk
mencari-cari Bun An, akan tetapi tanpa hasil.
Memang Bun
An telah melarikan diri jauh meninggalkan dusun itu! Pemuda ini tidak akan
kembali lagi kepada ibunya, wanita pertama yang membuat dia membenci wanita!
Setelah terjadi peristiwa dengan isterinya, hatinya semakin dipenuhi perasaan
sakit hati dan benci kepada perempuan. Padahal setiap kali melihat seorang
perempuan, perhatiannya segera tertarik dan birahinya langsung berkobar, namun
di lubuk hatinya terdapat kebencian yang makin membesar terhadap kaum lemah
ini.
***************
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam kehidupannya itu, terutama sekali penyelewengan ibunya,
kemudian isterinya yang amat melukai hatinya, masih belum membuat Tang Bun An
menjadi seorang jai-hwa-cat. Biar pun dia mengalami guncangan batin, kepahitan
yang bisa membuat hatinya mendendam, namun dia masih menganggap bahwa mungkin
hanya kebetulan saja terjadi kepadanya, karena nasibnya yang sial sehingga dia
dilahirkan oleh seorang wanita jahanam dan berjodoh dengan wanita jahanam lain
pula.
Dia
meninggalkan dusunnya dan mulailah Bun An merantau. Dia sudah menyelidiki siapa
adanya lelaki setengah tua yang menjinahi isterinya itu, dan ketika dia
mendengar bahwa lelaki itu adalah lurah kaya dari dusun isterinya, dia pun
cepat pergi ke dusun itu. Dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi dia
memasuki rumah Lurah Lai, lantas mencuri harta lurah itu yang cukup banyak.
Dengan harta curian inilah Bun An hidup merantau ke kota-kota dan dusun-dusun
tanpa tujuan tertentu.
Pada suatu
hari tibalah Bun An di sebuah kota. Karena perutnya terasa lapar sekali, maka
dia pun memasuki sebuah rumah makan lantas memesan makanan. Dia melihat seorang
wanita muda yang amat manis berada di dalam kantor rumah makan itu dan melihat
sikap wanita muda yang berusia kurang lebih dua puluh lima tahun itu, dia pun
dapat menduga bahwa wanita cantik itu tentulah majikan rumah makan itu.
Tanpa
disengaja wanita yang tadinya sedang menghitung uang itu mengangkat mukanya.
Pandang mata mereka bertemu dan hati Bun An tertarik sekali. Wanita itu memiliki
mata yang indah sekali, dan bibir itu pun tersenyum simpul. Bibir yang merah
basah dan segar menantang!
Bun An
kemudian makan sambil mencurahkan perhatian ke kantor itu, biar pun matanya
tidak memandang secara langsung. Dugaannya ternyata benar. Dia mendengar wanita
itu bicara dengan seorang laki-laki berperut gendut yang menjadi majikan rumah
makan, juga sebagai suaminya. Ketika dia melirik dan memperhatikan, lelaki yang
menjadi suaminya itu sedang menyerahkan sekantung uang kepada isterinya yang
manis.
Menurut
pandangan Bun An, lelaki ini sama sekali tidak serasi sebagai suami wanita yang
demikian manis dan memiliki daya tarik yang sangat kuatnya. Laki-laki itu
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya dan tubuhnya seperti bola,
serba bulat! Perutnya gendut sekali dan muka yang bulat itu seperti muka
kanak-kanak. Melihat caranya bicara dengan isterinya, pria itu amat
mencintainya.
Sambil makan
Bun An merasa iri hati mendengar suara perempuan ini. Agaknya dia amat
mencintai suaminya dan juga dicintai sehingga dalam suaranya terdengar
kemanjaan dan kemesraan. Betapa bahagia suami yang memiliki seorang isteri
seperti ini! Selain pandai membantu pekerjaan suami, agaknya juga amat mencinta
suami dan wanita ini tentu setia kepada suaminya! Tidak seperti isterinya,
tidak pula seperti ibunya.
Sesudah dia
membayar harga makanan dan keluar dari rumah makan itu, hatinya tidak pernah
dapat melupakan wanita pemilik rumah makan tadi. Seorang wanita yang sangat
hebat! Seorang isteri pilihan! Kalau hidup didampingi seorang isteri seperti
itu, alangkah bahagianya!
Malam itu
Bun An tak dapat tidur. Dengan perasaan gelisah dia berbaring di dalam kamar
rumah penginapan sebab wajah wanita pemilik rumah makan itu terus terbayang di
depan matanya! Akhirnya dia keluar dari kamarnya, bahkan lalu keluar dari rumah
penginapan.
Seperti
orang mimpi saja, kakinya melangkah menuju ke arah rumah makan tadi! Rumah
makan itu sudah tutup, seperti toko-toko lainnya di jalan raya itu, dan keadaan
di jalan itu telah sunyi. Malam itu memang dingin sekali sehingga membuat orang
malas sekali untuk keluar rumah.
Bun An lalu
menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk meloncat ke atas genteng dan bagaikan
seekor kucing saja, dia berloncatan di atas genteng tanpa mengeluarkan suara
berisik. Akhirnya dia mendekam di atas sebuah kamar, lantas mengintai ke dalam
kamar melalui genteng yang dibukanya. Kamar inilah yang dicarinya setelah dia
tadi mencari-cari dan mengintai ke dalam rumah. Kamar dari suami gendut bersama
isterinya yang manis.
Sedikit pun
tidak ada niat dalam hati Bun An untuk datang mengganggu wanita manis itu. Dia
memang tertarik dan kagum sekali karena menganggap wanita itu seorang isteri
yang dapat membahagiakan suami, dan dia hanya ingin tahu benarkah dugaannya
itu.
Saat dia
mengintai ke dalam, dia melihat wanita yang terus dipikirkannya sejak siang
tadi sudah berada di atas pembaringan. Memang seorang wanita yang sangat
menarik sekali, pikirnya sambil memandang dengan jantung berdebar.
Wanita itu
mengenakan pakaian dalam yang tipis dan merangsang, tubuhnya berbaring
telentang dengan sikap yang menantang dan memikat pula. Dia belum tidur, hanya
rebah telentang sambil bermain-main dengan mata kalungnya. Baju di dadanya
terbuka hingga memperlihatkan bukit dada yang membusung. Suami itu tidak
nampak.
Tak lama
kemudian terdengar langkah kaki berat dan suami gendut itu pun menggelinding
masuk! Kalau dilihat dari atas, maka kaki pria itu tertutup oleh kepala dan
perutnya yang bulat sehingga memang kelihatan seperti menggelinding saja dan
Bun An tersenyum.
Pria itu
memang lucu dan menggelikan, akan tetapi isterinya betul-betul memikat. Seperti
juga isterinya, pria itu mengenakan pakaian tidur yang longgar dan membuatnya
nampak semakin lucu. Pada saat sang suami memasuki kamar, isterinya langsung
menghentikan permainannya dengan mata kalung, lalu bangkit duduk dan tersenyum
manis sekali.
“Lama amat
sih, aku sudah menantimu sejak tadi...,” kata sang isteri dengan suara manja
dan sikap mesra sekali, bahkan wanita itu mengembangkan kedua lengannya
seolah-olah memberi isyarat bahwa dia sudah siap untuk menerima pria gendut itu
dalam pelukannya.
Akan tetapi
pria itu menghela napas panjang dan mengelus perutnya yang gendut, “Aku
menghabiskan sisa bakmi tadi dan kini perutku kenyang sekali. Aaahh, tubuhku
lelah dan aku ngantuk sekali. Aku mau tidur saja, besok harus bangun pagi-pagi
sebab persediaan daging babi sudah habis, besok harus mengatur penyembelihan
babi... auuhhhhh....”
Pria itu
menguap lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan. Pembaringan itu bergoyang
dan mengeluarkan suara menjerit seperti tersiksa sekali karena menerima
tubuhnya yang gembrot. Akan tetapi dia segera miringkan tubuh, membelakangi
isterinya dan belum ada lima menit dia sudah tidur mendengkur seperti babi yang
disembelih!
Isteri itu
mengerutkan alis, masih duduk memandang suaminya, menggeleng-gelengkan kepala
lantas beberapa kali menghela napas panjang, nampaknya jengkel sekali. Setelah
suami itu mendengkur dengan nyenyaknya, wanita yang manis itu perlahan-lahan
turun dari atas pembaringan, memadamkan lilin di atas meja.
Bun An sudah
siap untuk pergi, akan tetapi dia tertarik ketika melihat bayangan wanita itu
berjingkat-jingkat menuju ke pintu kamar! Sesudah memadamkan api lilin, wanita
itu tidak kembali tidur di atas pembaringan, melainkan keluar dari kamar itu!
Dengan hati
tertarik sekali Bun An pun melayang turun dari atas genteng, lalu menyelinap ke
dalam rumah itu dan mengintai dari bawah, mengikuti bayangan wanita itu yang
kini dengan hati-hati melangkah menuju ke belakang. Di dekat dapur terdapat
sebuah kamar lain yang bentuknya kecil, dan nampak wanita itu dengan perlahan
mengetuk pintu kamar ini. Tiga kali, berhenti, lalu tiga kali lagi, berhenti,
lalu tiga kali lagi dan berhenti, demikian berkali-kali sehingga Bun An dapat
menduga bahwa ketukan itu adalah ketukan rahasia yang merupakan isyarat.
Daun pintu
kamar itu terbuka dan nampak muncul sesosok tubuh pria yang tinggi besar. Biar
pun cuaca tidak begitu terang, akan tetapi Bun An segera mengenal wajah orang
itu sebagai wajah pelayan rumah makan yang tadi siang melayaninya! Di samping
bekerja di rumah makan, agaknya pelayan rumah makan itu juga memperoleh
pondokan di situ.
“Aihh, masih
sore begini engkau berani ke sini....?” pria itu berbisik.
“Ssstttt,
dia sudah tidur mendengkur seperti babi!” kata si wanita yang segera menubruk
pria itu.
Pria itu
menyambut dengan pelukan dan mereka pun berciuman, kemudian daun pintu itu
ditutup kembali! Hampir saja Bun An tertawa bergelak melihat adegan ini!
Tertawa karena dianggapnya lucu dan alangkah tololnya dia! Dikiranya wanita itu
seorang isteri yang setia dan baik, yang membahagiakan suaminya! Ternyata
seujung rambut pun tiada bedanya dengan isterinya sendiri. Wanita iblis berhati
kotor penuh racun!
Dengan
beberapa loncatan saja Bun An sudah berada di dalam kamar pria gendut, suami
yang tidur mendengkur itu. Dia menyalakan lilin, kemudian menotok leher dan
pundak pria gendut pemilik rumah makan itu sehingga lelaki itu seketika menjadi
gagu dan tubuhnya terkulai lemas.
Laksana
orang menyeret seekor babi, Bun An menyeret pria itu keluar dari dalam kamar,
menuju ke kamar belakang di mana isteri pemilik restoran tadi sedang bercumbu
dengan pelayannya. Dengan sekali tendang daun pintu itu roboh, lantas Bun An
menepuk pundak dan leher si gendut untuk memulihkannya dari pengaruh totokan.
Ia masih sempat melihat dua insan yang tidak tahu malu itu bergumul di atas
pembaringan, lalu Bun An berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu.
Sambil
tertawa bergelak Bun An meloncat ke atas genteng. Dia masih sempat mendengar
suara ribut-ribut di bawah. Suara makian dan jerit tangis wanita. Namun dia tak
peduli lagi dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin.
Aneh, kini
dia merasa lega di dalam dadanya! Kenyataan bahwa wanita yang manis dan menarik
perhatiannya itu ternyata tiada bedanya dengan mendiang isterinya, membuat dia
merasa lega karena kini tidak ada lagi iri hati menggoda hatinya!
Ia melihat
kenyataan akan kelemahan wanita cantik. Isterinya lemah akibat menginginkan
kekayaan sehingga terjatuh ke dalam lembah kehinaan karena mengejar kekayaan.
Isteri pemilik rumah makan itu lemah dan terjatuh ke dalam lembah kehinaan
karena mengejar kenikmatan sex yang tidak bisa didapatkannya dari suaminya.
Mendiang isterinya juga tak akan mungkin mendapatkan kekayaan darinya,
suaminya. Kalau begitu, untuk membuat seorang isteri setia, apakah dua hal itu
harus dipenuhinya, yaitu kekayaan dan sex yang cukup?
Tang Bun An
masih juga merasa bimbang, kemudian di dalam perantauannya dia mulai mengadakan
penyelidikan sendiri. Setiap kali dia bertemu dengan isteri orang yang cantik
maka dia lalu menggodanya! Dia menggunakan rayuan atau uang untuk menjatuhkan
hati mereka dan dia pun memperoleh kenyataan yang pahit, yang membuat dia
semakin tidak percaya kepada wanita, bahwa sedikit sekali isteri orang yang
menolak semua rayuannya dan setia kepada suaminya. Dari sepuluh wanita yang
menjadi isteri orang, hanya dua atau tiga orang saja yang setia dan mereka yang
setia ini bukan termasuk yang tercantik!
Semua
pengalaman dengan wanita yang dicobanya inilah yang kemudian membuat suatu
watak yang aneh di dalam diri Tang Bun An! Dia mulai menanam benih-benih
kebencian dan memupuk benih yang mulai timbul karena ulah ibunya dan isterinya
itu. Dia tidak mau menikah lagi karena tidak percaya kepada wanita, dan
mulailah dia bertualang di antara wanita-wanita cantik.
Dia juga
berkeliaran di antara rumah-rumah pelacuran yang paling terkenal di setiap
kota, bahkan mendatangi kota raja dan mengenal semua wanita pelacur di kota
raja. Baginya mudah saja untuk mendapatkan uang. Dengan mempergunakan
kepandaiannya dia bisa memasuki gudang harta setiap orang bangsawan atau
hartawan, lantas mengambil yang dibutuhkannya.
Semua hasil
pencuriannya itu kemudian dihamburkan habis dalam rumah-rumah pelesir. Maka
jadilah Tang Bun An seorang laki-laki yang penuh pengalaman dan dia mempelajari
segala macam kepandaian merayu dari wanita-wanita pelacur itu.
Sesudah
benih kebencian itu tumbuh subur, bersama dengan benih mata keranjang yang
membuat dia mudah tertarik dan timbul gairah setiap kali melihat seorang wanita
cantik, mulailah Bun An menggoda wanita-wanita yang dianggapnya cantik dan
menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya. Dia tak peduli apakah wanita itu
masih perawan ataukah isteri orang!
Dia
menggunakan rayuan dengan modal wajah tampan dan mulut manis, menggunakan uang
atau dengan bantuan obat perangsang, dan kalau semua itu tidak berhasil membuat
wanita yang ditaksirnya bertekuk lutut menyerahkan diri dengan suka rela, maka
dia pun tidak segan-segan menggunakan kekerasan! Hal ini mudah baginya karena
memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Tang Bun An
lalu menjadi seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat pemetik bunga, seorang
tukang pemerkosa wanita, atau seekor kumbang yang suka menghisap madu kembang!
Dia lupa bahwa penyebab banyak wanita yang menjadi isteri orang jatuh olehnya
bukanlah semata karena kelemahan wanita itu sendiri, melainkan juga disebabkan
terutama sekali oleh ketampanan dan kegagahannya, juga kepandaiannya merayu.
Tang Bun An
suka akan keindahan, dan tidak segan-segan pula merusak keindahan yang
dikaguminya itu demi kesenangannya, demi memuaskan hatinya, dan demi
pelaksanaan dendam sakit hati dan kebenciannya. Dia menganggap dirinya bagaikan
seekor kumbang yang beterbangan di antara kembang-kembang.
Pada suatu
hari dia melihat betapa ganasnya seekor kumbang merah yang menghisap kembang
sampai layu dan rontok, dan betapa kumbang merah ini ganas pula menerjang
setiap saingannya, yaitu kumbang lainnya untuk memperebutkan setangkai bunga
yang segar dan harum. Karena tertarik dan kagum sekali kepada kumbang ini, maka
Tang Bun An lalu membuat perhiasan berbentuk kumbang merah dan selanjutnya dia
meninggalkan sebuah perhiasan ini kepada setiap orang wanita yang menjadi
korbannya!
Ada kalanya
wanita itu dibunuh, yaitu mereka yang tidak mau menyerahkan diri dengan suka
rela, mereka yang melawannya, atau mereka yang mengecewakan hatinya karena
ternyata tak sehebat yang dibayangkannya semula! Entah sudah berapa ribu wanita
yang menjadi korbannya selama puluhan tahun ini, dan berapa ratus yang telah
dibunuhnya!
Dan semenjak
dia meninggalkan sebuah kumbang merah pada setiap orang wanita yang menjadi
korbannya, hidup atau mati, dunia kang-ouw mengenalnya sebagai Si Kumbang Merah
(Ang Hong Cu)! Namun si Kumbang Merah ini tidak pernah memperlihatkan wajah
aslinya! Dia memang pandai menyamar dan selalu muncul dalam penyamaran. Karena
itu tidak ada seorang pun yang pernah melihat wajah aslinya, dan hal ini
menyukarkan para pendekar mau pun para petugas keamanan untuk dapat
menangkapnya!
Para
korbannya, wanita cantik yang bagaikan kembang sudah dihisap habis-habisan oleh
kumbang merah ini, hanya mengatakan bahwa si Kumbang Merah itu adalah seorang
pria yang perkasa dan tampan, namun wajah yang digambarkan oleh semua wanita
itu selalu berbeda-beda! Karena itulah, walau pun namanya amat terkenal, namun
sampai puluhan tahun Ang Hong Cu tidak pernah dapat ditangkap biar pun para
pendekar mengerahkan tenaga mereka untuk mencarinya.
***************
Demikianlah
riwayat singkat dari Ang-hong-cu yang bernama Tang Bun An! Nama Tang Bun An
jarang dikenal orang, bahkan Ang-hong-cu sendiri sudah hampir tidak mengingat
lagi namanya. Hanya pada wanita-wanita tertentu saja, yaitu korbannya yang
benar-benar memikat hatinya, kadang-kadang dia memperkenalkan she (nama
keturunan) Tang. Tapi hal ini jarang sekali terjadi.
Jika bertemu
seorang wanita yang amat memikatnya, yang membuat dia hampir jatuh hati dan
benar-benar mencintanya, dia hanya membuat wanita itu menjadi kekasihnya,
sering kali dikunjunginya dan dilimpahkan kasih sayangnya, akan tetapi sesudah
itu pun selesai. Ia kemudian berusaha secepat mungkin melupakannya dan
mematahkan ikatan batinnya terhadap wanita itu, dengan jalan mencari dan
mendapatkan seorang korban baru!
Ang-hong-cu
juga tak peduli apakah korbannya itu seorang murid dari sebuah perguruan besar.
Sudah beberapa kali dia tak segan-segan untuk mencemarkan nama perkumpulan
besar dengan memperkosa pendekar-pendekar wanita yang menarik hatinya! Dan
karena dia melakukan hal itu dalam penyamaran, maka para pimpinan perguruan
silat yang besar itu pun dibuat tidak berdaya, hanya tahu bahwa murid perempuan
mereka diperkosa oleh Ang-hong-cu. Akan tetapi mereka tidak tahu siapa itu
Ang-hong-cu atau di mana dapat menemukannya!
Itulah kakek
yang berusia lima puluh lima tahun itu, yang pada permulaan cerita ini kita
temui sedang menuruni bukit pada pagi hari itu dengan santai, dan wajah pria
itu masih nampak gagah dan tampan. Itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya,
wajah yang asli.
Wajah itu
halus dan sama sekali tidak dikotori kumis atau jenggot, masih segar bagaikan
wajah seorang pemuda. Langkahnya tegap dan tenang, laksana langkah seekor
harimau, dan dari mulutnya terdengar lagu yang dinyanyikan dengan suara yang
lepas dan merdu, suara yang mengandung kegembiraan dan kebanggaan pada diri
sendiri yang mengarah kesombongan!
Bebas lepas
beterbangan dari taman ke taman mencari kembang harum jelita untuk kuhisap sari
madunya setelah puas kunikmati kutinggalkan kembang layu merana untuk mencari
kembang segar yang baru Si Kumbang Merah, inilah aku!
Dialah
Ang-hong-cu si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang tiada
duanya di dunia ini! Pria yang nampak jauh lebih muda dari pada usia yang
sebenarnya itu tiba-tiba berhenti melangkahkan kakinya dan dia lalu duduk di
atas rumput di lereng bukit itu. Dari tempat dia duduk, di hadapannya
terbentang keindahan alam yang sangat menakjubkan. Dia duduk membelakangi
matahari, memandang ke bawah sana.
Semua
bermandikan cahaya matahari pagi yang seakan-akan memberi kehidupan baru kepada
segala yang tampak. Pohon-pohon menjadi cerah, warna hijau bercampur dengan
cahaya matahari yang masih lembut kuning keemasan, padi-padian menghampar luas
di depan, seolah-olah hanya dengan satu langkah saja dia akan dapat melampaui
hamparan di bawah itu. Dan duduk menghadapi tamasya alam yang amat indah itu,
di bawah sinar matahari pagi yang cerah, di hembus angin bersilir nyaman,
seakan-akan menghanyutkan semangat Si Kumbang Merah kepada masa lampau.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment