Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Siluman Goa Tengkorak
Jilid 01
PESTA
pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada
pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti
mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati
mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri.
Pesta
pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan
berlebihan. Ada pun kegembiraan yang timbul lebih disebabkan oleh pengaruh arak
yang terlalu banyak memenuhi perut, kemudian arak itu menguap memenuhi benak
membuat orang menjadi lupa diri.
Pesta di
kota hanyalah merupakan perlombaan memamerkan kekayaan saja. Akan tetapi di
dusun lebih terasa keakraban dan kegotong royongan, sehingga para tamu
seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang turut ambil bagian
dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu
yang datang untuk makan minum.
Pesta
pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh
sangat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng turut serta merayakannya. Hal
ini tidak mengherankan karena keluarga Thio itu dikenal sebagai keluarga yang
ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis
cantik di dusun itu.
Bahkan
banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar
tentang kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik
kembang cantik ini adalah The Si Kun, yaitu putera seorang saudagar ikan yang
cukup kaya di kota Tai-goan.
Seperti
sudah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan
perhitungan, pertemuan kedua pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan
dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh
pada jam enam sore!
Sore itu,
rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi semakin meriah
dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara
sembahyang di depan meja para leluhur.
Biar pun
wajah pengantin perempuan tidak bisa terlihat jelas karena terhalang oleh
rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, akan tetapi
masih kelihatan jelas bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, juga sebagian
dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus.
Pengantin
laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak
berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu sebab banyak teman-temannya
yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya.
Kedua
mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang
Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, seperti
bunga yang tengah mekar. Ada pun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya
dua puluh tahun, tampan dan sehat, juga pandai berdagang karena semenjak kecil
telah membantu ayahnya.
Keluarganya
merupakan pedagang ikan yang membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho,
lalu mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian dijualnya ke kota Tai-goan dan
sebagian lagi dibuat menjadi ikan asin.
Mula-mula
pasangan mempelai melakukan upacara sembahyang, dan setelah itu mereka mohon
doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua. Kemudian, setelah keduanya
lelah menjalankan semua upacara itu, barulah mereka diperbolehkan duduk
bersanding di tempat yang telah dipersiapkan, dan ketika itu para tamu mulai
dengan perjamuan makan.
Hari telah
mulai gelap, karena itu para pelayan mulai menyalakan lilin serta lampu-lampu
yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan
itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh elok seperti
penari-penari yang sedang bergembira menari-nari.
Suasana
gembira ini menjadi agak bising karena kini para tamu saling bicara sendiri dan
bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya
sepasang mempelai hingga ke urusan yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya
dengan pesta pernikahan itu.
Tiba-tiba
terdengar teriakan kaget dan salah seorang pelayan yang sedang memasang lilin
di bagian luar, melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang
menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar.
"Ada
apa?" tanyanya pada pelayan itu dengan alis berkerut karena kecerobohan
pelayan itu.
Akan tetapi
tubuh pelayan itu nampak menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di
depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda
itu ke atas sambil mendekati dinding, kemudian tiba-tiba mukanya pun berubah
pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair
yang digunakan untuk menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah,
tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang!
Agaknya
pelayan tadi menyalakan lilin di dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka
dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiri pun terkejut.
"Aihhh...!"
Para tamu
berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua
memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat. Sudah ada
tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada
rumah-rumah orang, di pintu atau di dinding depan dan akibatnya, pada malam
harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis
tuan rumah merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah
itu!
"Siluman
Goa Tengkorak...!" Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang
menggigil ketakutan. Nama ini, biar pun baru muncul beberapa kali, telah
menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya.
Pengantin
pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal
tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia
sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik
gadis-gadis itu adalah gerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para
nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa
menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai.
"Biarkan
dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, teman-teman?"
teriaknya.
Belasan
orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan
pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas sambil berteriak,
"Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"
Betapa pun
juga, para tamu sudah merasa ketakutan sehingga perjamuan itu dilanjutkan dalam
suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari
tempat duduk, kemudian berbondong-bondong minta diri dan pulang meninggalkan
rumah keluarga Thio.
Suasana
menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih
tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat
pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat
pesta yang telah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai juga sudah
meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka
karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di
malam pertama itu.
Seluruh
keluarga Thio yang telah memasuki kamar masing-masing tak bisa memejamkan mata
karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan
rumah, dua belas orang nelayan muda, kawan-kawan dari The Si Kun itu kini
pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di
tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga
kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu.
Sesudah
melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan
kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan dia pun pergi ke dalam
kamamya untuk mengaso. Akan tetapi, di dalam kamar ini pun dia dan isterinya
rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali.
Malam
semakin larut dan amat sunyi. Hanya terdengar suara anjing menggonggong dari
kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan, yang kemudian berubah menjadi
suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan
anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan, dan
orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para
iblis bergentayangan di permukaan bumi!
Kedua belas
orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan
depan kamar pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat
menikmati malam pengantinnya, bahkan tadi sejenak dia terpaksa meninggalkan
isterinya untuk turut berjaga bersama kawan-kawannya. Pengantin pria baru
memasuki kamarnya lagi sesudah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah
menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam
kamar.
"Aku
mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga-jaga
di dalam kamar," katanya, sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada
kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu.
"Hayaaaa...
kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya.
"Sudahlah,
engkau nikmati saja malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan
menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."
"Hushh!"
cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini.
Dan masuklah Si Kun, engkau pasti akan merasa aman di dalam pelukan istrimu,
ha-ha-ha!" Dua belas orang itu tersenyum.
"Aihh,
kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa yang dapat bersenang dalam keadaan
seperti ini?" The Si Kun lantas membuka pintu kamar dan masuk ke dalam,
menutupkan kembali kamarnya.
Isterinya
juga tidak tidur, melainkan duduk di pinggir pembaringan sambil menundukkan
muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup
kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biar pun tadinya dia
merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tidak
dapat menahan hatinya maka duduklah dia disamping isterinya, tangannya
merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya.
Tiba-tiba
saja lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh
para penjaga di luar kamar sehingga mereka pun tertawa-tawa karena padamnya
lilin di dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru
itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan
hati mereka berdua dengan leluasa.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba
terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tidak
lama kemudian terdengarlah jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu
terdengar jauh dari situ!
Dua belas
orang itu segera menghampiri pintu kamar lantas mendobraknya karena tidak ada
jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya
beserta seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar
semua dari kamar masing-masing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu
kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang
dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan.
The Si Kun,
pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya mengenakan celana
saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir
dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin
wanitanya tidak nampak bayangannya.
Langit-langit
kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat itu
telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Tedengar
suara para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman
Goa Tengkorak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh
pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng!
Mengapa
penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan
sekitarnya dijuluki orang Siluman Goa Tengkorak? Pertama-tama adalah karena
gambar itu. Setiap kali akan melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri
perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, pada
siang atau sore harinya penjahat itu selalu tentu memberi tanda gambar
tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang
mula-mula membuat dia dinamakan Siluman Tengkorak.
Kemudian,
pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis,
dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh
batu-batu besar dan goa-goa. Tempat ini dikenal dengan sebutan Goa Tengkorak,
karena memang di situ terdapat banyak sekali goa-goa yang besar dan di
antaranya memang ada goa-goa yang bentuknya mirip seperti tengkorak. Karena
ini, maka penjahat yang sudah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan
Siluman Goa Tengkorak.
Pemerintah
daerah dengan dibantu oleh para pendekar setempat sudah berusaha untuk mencari
dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Goa-goa itu telah
diperiksa, akan tetapi tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang
berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya sangat licin
sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya
itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya,
yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat sejak penjahat itu muncul
hampir dua bulan yang lalu.
Biar pun
orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu sangat pandai
bergerak cepat seperti menghilang saja, akan tetapi orang-orang tahu bahwa
penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yang sama,
yang mereka juluki Siluman Goa Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu
sebelum datang sudah memberi tanda gambar tengkorak darah, dan caranya bekerja
juga sama, sangat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang.
Seperti
terjadinya penculikan atas diri Thio Siang Ci, sungguh sangat mengherankan dan
menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan
muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tak ada yang tidur.
Namun penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya,
lantas membunuh pengantin pria yang mungkin melawan kemudian menculik pengantin
wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya
teriakan pengantin pria dan saat kamar didobrak, penjahat itu telah lenyap
bersama pengantin wanita yang diculiknya.
Daerah Goa
Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, yakni di sebelah selatan, di lereng
Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Goa-goa ini selain sukar
dikunjungi dan tak pernah didatangi manusia, juga amat angker dan menurut
penduduk yang masih percaya dengan cerita-cerita tahyul, kabarnya tempat itu
merupakan sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran.
Ada yang
mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan
menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam.
Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat
orang semakin tidak berani mendekati.
Para
pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itu
pun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi
buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri.
Goa-goa itu
memiliki banyak terowongan-terowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung
sehingga sekali sang buronan lari memasuki goa yang ada terowongannya, maka
amat sukarlah untuk bisa ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena
tempat itu memang berbahaya sekali.
Daerah Goa
Siluman ini hanya indah dilihat dari kejauhan, dari kaki bukit, dan dapat pula
dilihat dari Sungai Fen-ho bila mana orang naik perahu lewat di kaki bukit itu.
Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu serta berlubang-lubang
dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, sehingga dari jauh seakan-akan
terlihat seperti tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret pada dinding
batu karang itu.
Akan tetapi
keindahan ini mengandung sesuatu yang sangat menyeramkan, seakan-akan ada
sesuatu yang mengancam mereka yang terlalu lama memandang ke arah tempat itu.
Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat, karena itu mereka
selalu menundukkan muka apa bila melewati tempat ini dan tidak berani memandang
langsung terlampau lama ke arah Goa-goa Tengkorak itu. Nama Siluman Goa
Tengkorak sudah menggegerkan kota Tai-goan dan daerah sekitarnya selama kurang
lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu.
Letak daerah
Goa Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di
kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda
mala petaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan
penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka.
Mereka,
bersama pasukan penjaga keamanan kota sudah berusaha untuk mencari dan
menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau
nampak bayangannya, maka sukar disusul dan ketika dicari di daerah Goa
Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di
kota Tai-goan yang diculiknya, juga beberapa orang hartawan sudah dicuri
barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam
tempat-tempat rahasia.
Di antara
para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Goa Tengkorak ini, terdapat
seorang lelaki bernama Cia Kok Heng yang bekerja sebagai ahli bangunan pada
bagian pertukangan kayu. Nama Cia Kok Heng ini sudah cukup terkenal di kota
Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia
merupakan salah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan
Pedang Angin) di Tai-goan.
Hong-kiam-pai
ini merupakan suatu perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari perguruan
besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu
pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang
ini, maka tidak menggunakan nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang
menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah
memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja mempunyai dasar ilmu silat
dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang
Hong-kiam-sut.
Akan tetapi,
Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai asli sehingga dia memiliki
dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini
maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dengan menjadi murid atau
anggota, dan karena dia sendiri adalah seorang anggota Hong-kiam-pai, maka
tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggota
perkumpulan itu.
Kok Heng
hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga
puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah
seorang wanita yang amat cantik jelita dan biar pun sekarang telah mempunyai
dua orang anak, namun kecantikannya tak berkurang. Anak mereka, yang pertama
lelaki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun.
Hidup mereka tidak bisa dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai
tukang kayu yang ahli sudah cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu.
Cia Kok Heng
bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah salah
seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biar pun di antara mereka
bertujuh dia termasuk yang paling muda, akan tetapi bukan berarti bahwa
kepandaiannya yang paling rendah.
Meski pun
tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang
mengacau kota mereka, namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka
bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling
berdebat, ada yang percaya akan desas-desus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman
dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya.
Percaya dan
tidak percaya memiliki dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidak tahuan. Hanya
orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang
yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan
yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka
percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau
tidak tahu. Apa bila sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak
percaya lagi.
Sebelum
manusia bisa mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan
percaya atau tidak percaya, tergantung pada siapa yang menceritakan dan siapa
yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi membutuhkan percaya
atau tidak percaya. Anehnya, bagaimana pun juga orang-orang yang percaya atau
pun yang tidak percaya inilah, di dalam ketidak tahuan merupakan orang-orang
yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya.
Pada pagi
hari itu, dengan hati sedikit kesal Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya
di pusat kota di mana sedang dilakukan pembangunan oleh kepala daerah. Tadi
malam pada saat berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu,
putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar.
Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya
lantas mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikianlah
kata isterinya.
Meski Kok
Heng menganggap kekurang ajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu
merupakan penyakit umum dan bukan sesuatu yang aneh, namun tetap saja hatinya
diliputi oleh rasa cemburu dan penasaran. Namun, sebagai seorang pendekar dia
mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah agak muram.
Siang hari
itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua
orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, bermain-main dengan anak-anak tetangga.
Akan tetapi timbul keheranannya pada saat melihat anak-anak itu berdiri
berkerumun di depan dinding dekat pintu, dan terlihat keheranan memandang ke
arah dinding sambil menunjuk-nunjuk.
Dia pun
cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar ini berubah merah
lalu pucat, dan kembali merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah
dinding yang dirubung anak-anak itu. Pada permukaan dinding putih itu tampak
jelas gambar tengkorak yang dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah!
"Ayah,
apakah itu?" tanya Cia Ling.
Kok Heng
menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah sesudah dia
menyuruh anak-anak lain pulang ke rumahnya masing-masing. Jantungnya tergetar
penuh ketegangan dan barulah hatinya terasa lega sesudah dia melihat isterinya
menyongsong kedatangannya dari dalam dapur.
"Ehhh,
ada apakah? Engkau kelihatan..." Isterinya bertanya khawatir ketika
melihat wajah suaminya.
"Tidak
apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata
suaminya.
Walau pun
sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah
terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar
tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka.
"Siluman
Goa Tengkorak...? Isterinya berbisik, bibirnya gemetar dan mukanya pucat.
"Jangan
khawatir. Siapa pun adanya badut atau penjahat itu, sekarang dia akan ketemu
batunya. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Telah
tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu,"
kata Kok Heng dengan penuh semangat.
Sikap dan
ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, walau pun nyonya muda
itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng segera menulis sepucuk surat dan minta
kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya.
Setelah itu
keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi
isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka
bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah,
Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lantas tidur di
kamar mereka pada siang hari itu.
Kok Heng
lalu bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam. Baru sekarang mereka
mendapatkan kesempatan untuk membicarakan ancaman itu sesudah kedua orang anak
mereka tertidur.
Kok Heng
mengambil pedangnya, lantas mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk
memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di
punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.
"Akan
tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat.
Kok Heng
memegang lengan isterinya. "Tenanglah, wajahmu begini pucat. Percayalah,
kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh
siluman itu."
"Tapi...
mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..."
"Engkau
tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya senang mencuri barang-barang berharga,
bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu kini berubah
merah.
"Tapi...
yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..."
Kok Heng
menatap wajah isterinya lantas tersenyum bangga. "Dan engkau adalah wanita
yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."
"Ah,
jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua
orang anak..."
"Aku
tidak bergurau. Biar pun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan
tetapi engkau masih kelihatan sangat muda dan cantik jelita. Ingat saja
kekurang ajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba saja pendekar itu
mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu
menjadi semakin merah.
"Si
keparat itu... ahh, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"
"Pemuda
she Phang itu... kemarin dia sudah menggodamu dan pada hari ini siluman itu
memberi tandanya! Hemm... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa
ini...?"
"Hubungan
bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah
putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu
seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"
"Aku
pun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan
saudara-saudaraku."
Jauh lewat
tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng, segera
disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan
lega. Bahkan sekarang nyonya rumah sudah dapat tersenyum dan wajahnya tidak
pucat lagi. Bagaimana pun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan,
apakah yang perlu ditakuti lagi? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh
Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.
Pertama
adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling
rendah ilmunya. Orang ke dua ialah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan
dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat
pendekar she Cia itu.
Orang ini
bernama Kwee Siu, usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia adalah murid
perguruan Siauw-lim-pai yang sangat lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang
pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia pun masih terhitung saudara seperkumpulan
dengan Cia Kok Heng. Walau pun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari
Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini
memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Orang ke
tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Bu-tong-pai yang
sangat lihai dengan senjata rantai bajanya. Ada pun orang ke empat dan ke lima
adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan
Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari
Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja.
Tentu saja
keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu
tangan besi. Hanya bedanya, kalau Ciok Lun biasa menggunakan senjata toya, maka
adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.
Orang ke
enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, tidak mempunyai partai dan
murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak
pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, usianya empat puluh lima tahun, seorang
tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli melempar piauw dan pedang. Pendeknya, untuk
Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai
orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan sering kali membantu pemerintah
dalam menghadapi penjahat lihai.
Begitu enam
orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka
bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba
lukisan itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Tangannya yang mempunyai Ilmu
Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.
"Hemm,
darah tulen...!" gumamnya.
"Mungkin
ini bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam,
siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan
darah binatang."
Louw Ciang
Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum
tentu. Dahulu aku pernah mendengar mengenai seorang penjahat yang mempelajari
ilmu hitam dan sering kali menggunakan darah dalam surat ancamannya dan
ternyata darah itu darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang
orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."
Para
pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang akan mereka hadapi adalah
seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman,
maka mereka pun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah
dan ketika Kok Heng menceritakan mengenai pemuda bangsawan Phang yang menggoda
isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar
Liu Ji berkata,
"Tidak
mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu"
"Memang,
dia adalah seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tak
segan-segan untuk menggunakan kedudukan serta hartanya untuk bisa mendapatkan
dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Namun dia belum pernah
mempergunakan kekerasan, terlebih lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus
apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya."
Cia Kong Heng mengangguk-angguk.
"Aku
pun tidak mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah
mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini
siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali sehingga mau tidak mau,
menimbulkan kecurigaan."
Tiba-tiba
saja Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu
mengepal tinju lantas memukul meja.
"Brakkk!"
Semua orang
memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapa pun
adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita
akan menangkap atau membunuhnya!"
"Aku
bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut isteri Heng-te saja, aku
akan mematahkan tangannya!" teriak Ciok Lun, orang tertua di antara
mereka, lantas menarik napas panjang.
"Menghadapi
seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu
oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus
bersikap tenang. Betapa pun juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia
selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban pada saat siang atau
sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih
memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi
tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."
Setelah
malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu sudah mengatur siasat. Cia Kok Heng
sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri serta dua orang anaknya dengan
pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan
pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw
Ciang Su yang senjata rantai bajanya dililitkan di pinggang.
Siok Bu Ham
dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh
Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Sedangkan
kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar
keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya
iblis sendiri pun tidak akan sanggup memasuki kamar itu tanpa diketahui, dan
akan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.
Malam
semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah
itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah tertidur pulas, tidak seorang pun
yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di
dalam rumah itu hanya Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, serta enam
orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi.
Menjelang
tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini
terletak agak di pinggir kota, semua perumahan di situ memiliki pekarangan dan
kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga.
Tidak ada
bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang
remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang sangat mencekam itu kadang kala
dipecahkan oleh suara burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan,
dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam yang terbang
berlalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam
di dalam hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan
tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah
dan takut.
Sudah
beberapa kali ini para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan
masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada dalam kamar. Hati
mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan agar siluman
itu menjadi jeri dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar
Tai-goan.
Akan tetapi
ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam
dan kelepak sayapnya, seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh
burung-burung malam. Dan para pendekar itu mulai merasa seolah-olah mereka atau
tempat itu sudah terkepung.
Terdengar
suara batuk-batuk Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah, batuk buatan yang
biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa seram dalam hati. Suara batuk-batuk
ini segera dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama
kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati
para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena
naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh
sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga. Tiba-tiba...
鈥淣geonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan
gedobrakan di atas genteng rumah tetangga.
Jantung
mereka yang sedang tegang itu terasa seperti copot, akan tetapi mereka segera
mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara
dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan
dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini sangat mengejutkan dan tiba-tiba,
perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu.
Dan ketika
perhatian dua saudara Ciok kembali kepada penjagaan mereka, dengan kaget mereka
melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah
keluarga Cia, hanya berjarak beberapa tombak saja dari mereka! Tentu saja kedua
orang saudara Ciok itu terkejut sehingga sejenak mereka memandang bengong.
Kini mereka
dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari
sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu
lukisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes.
"Iblis
keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan,
lantas menyerang orang itu dengan goloknya.
Gerakannya
amat cepat dan kuat, dan meski pun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya
tak lebih dari satu kaki saja, tetapi Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan
menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja
menggerakkan tangan menyambut ke depan.
"Tringgg...!"
Dan mata
golok yang tajam itu sudah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangannya yang
memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang menggenggam golok
tergetar hebat, tanda alangkah kuatnya tangkisan itu. Orang itu pun sudah
meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat.
"Siluman
jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya.
Mula-mula
toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ringan dan mudah
toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah
dilanjutkannya dengan sebuah tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak
merah itu. Akan tetapi, hebatnya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bahkan
seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat.
"Dukkk!"
Toya itu
tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan
untuk meminjam tenaganya sehingga sekarang tubuh itu terjengkang jauh ke
belakang, lantas membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke
bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan
tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar
mempunyai kekebalan yang amat kuat.....!
"Keparat,
mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang
turun.
Setibanya di
bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka
kebingungan dan mencari dengan pandangan matanya, mereka melihat lawan tadi sudah
berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka
terkejut.
Lawan ini
sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar
penerangan lampu, mereka baru dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu
memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan
menyerang.
Teriakan itu
mereka lakukan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat
itu, teman-teman mereka pun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian
belakang rumah, tadi pun terkejut sekali ketika mendengar suara kucing dan
tentu saja perhatiannya langsung tertuju ke genteng tetangga dari mana suara
hiruk-pikuk itu datang. Dan pada saat dia mengembalikan perhatiannya kepada
tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang
memakai topeng tengkorak, dengan pakaian sutera putih yang pada dadanya
terdapat gambar tengkorak darah!
"Siluman
jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera
menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak
dua cahaya menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat
gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri.
Akan tetapi,
orang yang diserangnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda
itu pun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu
sudah meloncat ke depan.
"Bangsat,
jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan
rumah.
Akan tetapi
bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji
sedang bertanding dengan seseorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya
tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main
sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itu pun terdesak hebat.
Pada saat
Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang sedang terdesak itu terkena tamparan pada
pundaknya sehingga pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan
kirinya bergerak.
Tahulah Siok
Bu Ham bahwa rekannya itu tentu menggunakan senjata rahasianya, yaitu piauw
yang memang menjadi keahliannya. Tiga cahaya menyambar ke arah perut, dada dan
leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak.
Terdengar
suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga
batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat hal ini,
Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu
hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, dia pun membentak
marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya.
"Siluman
keparat, rasakan tombakku!" Dan dia pun sudah menerjang dengan dahsyat.
Siluman itu
mengeluarkan suara dari hidungnya dan langsung mengelak. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan
pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak
kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit saja akan tetapi
rasanya panas dan perih sekali.
Baru
mengeroyok sebentar saja, dua orang pendekar ini maklum bahwa lawan mereka
sungguh sangat lihai, maka mereka berdua pun bersuit-suit untuk memberi tanda
kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang muncul.
Mereka tidak
tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang
siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di
ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja!
Kedua orang
ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, lantas tiba-tiba
saja muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya
digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka
berdua dapat melihat jelas.
Tentu saja
mereka berdua terkejut sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara
tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai
menghilang saja. Tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu,
keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangnya
sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai
sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini
mengeroyok siluman itu.
"Cia-hiante,
hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng.
Akan tetapi
Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Dia pun tidak mungkin tinggal
diam saja. Cepat dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya
mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, dia pun
menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri langsung melompat
keluar dengan pedang di tangan.
"Siluman
keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan dia pun membantu kedua
orang rekannya mengeroyok.
Karena marah
bukan main melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di
hadapannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh
dari Hong-kiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong Bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara).
Jurus ampuh ini dilakukan dengan tusukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu
hanyalah merupakan gertakan belaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran
pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat
dibayangkan betapa dahsyatnya.
Akan tetapi,
alangkah kaget hati Kok Heng melihat lawan itu hanya mengeluarkan suara
mendengus dan agaknya tidak mempedulikan tusukan gertakan itu, namun ketika
pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu sudah meloncat tinggi di
udara sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu
seolah-olah sudah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi
meloncat, tidak hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan
loncatan itu segera disambung dengan gerakan pok-sai (salto) jungkir balik dan
tahu-tahu tubuh yang jangkung itu sudah meluncur dan melayang ke dalam kamar
melalui pintunya yang terbuka.
Tentu saja
hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh ketiga orang pendekar itu yang sejenak
memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar
sambil membentak marah,
"Siluman
curang, mari hadapi pedangku!"
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat
isterinya sudah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang
anaknya juga dicengkeram, kemudian sambil tertawa mengejek siluman itu meloncat
keluar lewat jendela belakang!
"Lepaskan
isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang
rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar.
Siluman itu
sama sekali tidak menemukan perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang
tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu
Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih memondong tubuh isteri Kok
Heng sambil mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas
wuwungan rumah.
"Lepaskan
mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya.
"Jahanam
curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar.
"Kalau
jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula
mengejar ke atas genteng.
"Kejar...!"
Kok Heng berteriak lagi.
"Ha-ha-ha!"
Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali.
Mendadak
siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang mencengkeram baju dua orang anak
itu. Tubuh dua orang anak itu segera melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang
Su! Tentu saja dua orang pendekar terkejut bukan main, juga Kok Heng lantas
berteriak dengan gelisah.
"Sambut
anak-anakku itu...!"
Untung bahwa
dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua
orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat melempar senjata mereka lantas
membalik dan nyaris saja anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau
tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka!
Terdengar
suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan
Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia melompat ke atas, terus saja
melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah
tetangga.
Tentu saja
Kok Heng cepat melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan
isteriku!"
Kwee Siu
agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok
Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan
dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat
ini Louw Ciang Su berkata,
"Kwee-twako,
sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan biar aku yang akan
membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil
senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia
menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu.
"Baik!"
kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil
dan menahan isak tangis itu.
Louw Ciang
Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman
yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu
mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa sangat heran
kenapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa amat tidak
enak dan sambil menggandeng kedua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah.
Hampir saja
dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham
dan Liu Ji sudah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Pada waktu dia
menghampiri dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini sudah tewas!
Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus
dadanya, ada pun Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri
yang terletak di dekatnya!
Dengan
sepasang kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan
Cia Ling keluar. Kembali dia mengalami guncangan batin hebat sesudah melihat
dua orang rekan lainnya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim
ternyata juga telah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti
juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah, kedua orang
saudara Ciok ini pun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka
yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata
mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri.
Melihat
betapa empat orang rekan atau sahabat yang seakan sudah menjadi saudaranya
sendiri itu tewas dalam keadaan yang begitu menyedihkan, hati Kwee Siu penuh
dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang
rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus
membantu mereka!
Maka, dia
segera membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang langsung menjadi
panik ketika mendengar bahwa di rumah keluarga Cia telah terjadi
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Goa Tengkorak. Tetangga ini
memberi tahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu, dan sebentar
saja gegerlah keadaan di perkampungan itu.
Akan tetapi,
sesudah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri langsung
berloncatan dan cepat menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh
Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga
dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya.
Akan tetapi
Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat
bayangan yang berlari terhuyung-huyung, dan sesudah dia mendekati, ternyata
bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua
tangannya mendekap leher karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah
luka yang menganga!
"Cia-hiante...!
Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya sekaligus juga
saudara seperguruan di Hong-kiam-pai.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di leher pendekar she
Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan jika Cia Kok Heng masih
dapat berlari. Begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng langsung roboh terguling
namun tubuhnya cepat disambar dan dipeluk oleh Kwee Siu.
"Anak-anakku...anak-anakku..."
Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu.
"Mereka
sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana
Louw-te...?"
"Louw-twako...
su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat...
ahhhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari lehernya hanya
terdengar suara mengorok.
"Apa
katamu, hiante? Kau bilang apa...?" Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur
itu cepat mendekatkan telinganya ke mulut yang masih tampak bergerak-gerak dan
berbisik lemah sekali itu. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi
pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula!
Kwee Siu
tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya segera menetes-netes ketika dia
memandang tubuh rekannya ini. Sambil menangis dia pun segera memondong tubuh
yang kini sudah menjadi mayat itu, lalu berlari cepat kembali ke rumah keluarga
Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat.
Mereka semua
yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi
semakin ngeri dan ketakutan ketika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia
Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan.
Sebelum
malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam
orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan sudah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak
dan isteri pendekar Cia Kok Heng sudah diculik oleh siluman itu! Tentu saja
berita ini bukan hanya menggegerkan seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh
sampai ke luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di
dunia kang-ouw.
***************
Kereta yang
ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan sangat cepat, menembus kabut pagi.
Namun sesudah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang
lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan
becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya
masih sangat pucat dan diliputi kedukaan.
Di dalam
kereta itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang
sudah hancur oleh perbuatan Siluman Goa Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak
diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk
mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan dilakukan oleh para
tetangga. Setelah terjadinya peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan
harinya pagi-pagi buta Kwee Siu segera membawa mereka pergi dengan kereta ini.
"Paman
Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah
sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan
diajak pergi oleh Kwee Siu.
Dua orang
anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan oleh
penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga
merasa ketakutan.
Akan tetapi,
kedukaan hati seorang anak tidak sama dengan kedukaan hati seorang tua.
Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka
sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat
seperti puncak cemara sehingga biar pun digerakkan angin ribut ke arah mana pun
juga, sesudah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah.
Bagi
anak-anak tangis adalah obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin.
Sebaliknya orang tua malah menggunakan tangis untuk memperhebat luka di dalam
hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.
"Kita
pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku
mengantarkan kalian ke sana, jadi untuk sementara kalian tinggal di situ
bersama sukong kalian..."
"Aku
tidak mau..." Tiba-tiba saja Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal
di rumah bersama ibu!"
Kwee Siu
merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu
saja, bila mana ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu.
Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal bersama kakek gurumu dahulu.
Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."
Akhirnya dua
orang itu dapat dibujuk, lalu dengan membawa pakaian dan semua barang berharga
yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu segera mengantar dua orang anak itu
pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju kuil yang letaknya di
luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan.
Setelah
meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, kereta mulai memasuki hutan.
Terpaksa Kwee Siu harus memperlambat laju kereta karena jalanan menjadi buruk,
tidak rata dan becek.
Pagi itu
sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorang pun manusia nampak di
sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi
mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walau pun
kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang
dirundung kedukaan dan juga dendam membara.
Dia pun
seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, mala petaka yang menimpa diri Cia
Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Terlebih lagi,
seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas
dalam keadaan mengenaskan.
Jenazah Louw
Ciang Su pun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah
enam orang pendekar itu sekarang telah berada di dalam peti, di rumah
masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok
Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak berada di dekat peti mati.
"Aku
harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan
sinar matanya berkilat.
Dia akan
mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai
mendengar tentang hal ini, tentu mereka tidak akan tinggal diam saja. Tiba-tiba
Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang
didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng kemudian hatinya menjadi
bimbang dan bingung.
Jalan itu
makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena
sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua ekor
kuda itu meringkik-ringkik dan kelihatan panik. Kwee Siu cepat memegang kendali
kuda erat-erat untuk menguasainya.
Kuda,
seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang sangat kuat. Kepekaan
ini terdapat di dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan. Namun
sayang, oleh nafsu-nafsu dalam mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan
itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu terasa kurang, untuk
memiliki kepekaan ini manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin.
Kesenangan
untuk memenuhi nafsu keinginan, sebagian besar telah merusak kepekaan diri
lahir batin dan hal ini tidak dipedulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak
baik bagi kesehatan badan pun dimakan saja karena terasa enak.
Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan
menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin sering dilanggar demi
memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tak mengherankan kalau manusia kehilangan
kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat
pemuas nafsu belaka.
Kwee Siu
masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor
kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia
tidak merasa takut, lalu dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan
menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya.
Mendadak
kedua ekor kuda itu meringkik lagi, bahkan mereka mencoba mengangkat kaki
depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba salah seekor di antara dua
kuda itu mengeluarkan suara memekik kemudian roboh. Di lehernya menancap
sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan
sebentar saja.
Barulah Kwee
Siu terkejut dan dengan cekatan dia pun meloncat turun sambil mencabut
pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang pada waktu dia
melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan.
Seorang
laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah
pada dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Goa Tengkorak!
Rasa takutnya lenyap sesudah dia membayangkan kematian enam orang saudaranya.
Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil
memutar pedangnya.
"Siluman
keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu segera
menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.
Siluman itu
mengeluarkan suara ketawa panjang dan langsung menyambut serangan itu dengan
gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Tetapi Kwe Siu yang sedang dikuasai
dendam dan kemarahan juga terus menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.
Sementara
itu, Cia Liong dan Cia Ling yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta
berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan.
Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya
menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap
mulut adiknya.
"Diam...
jangan menangis, kita harus pergi dari sini...," bisik anak laki-laki itu
dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap
mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih
berkelahi dan didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak.
Kwee Siu
melawan mati-matian, akan tetapi siluman itu sungguh sangat lihai, terlalu
lihai baginya. Terlebih lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal
baik oleh lawan sehingga lawan ini dapat menghindarkan semua serangannya itu
dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak
dan kewalahan. Bagaimana pun juga, pendekar yang merasa dendam, marah serta
penasaran ini terus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan
dengan tekad bulat melawan sampai mati.
Sementara
itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat
dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu
nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersenda gurau dengan sikap amat
mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka,
senyum mereka, pandang mata dan kata-kata mereka, dapat diketahui bahwa mereka
adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka adalah pasangan
yang amat setimpal.
Yang pria
masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah amat
tampan, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah. Biar pun dia bukan
seorang pesolek, akan tetapi mukanya terawat baik-baik tanpa ia merias muka,
sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias oleh hiasan rambut terbuat dari
batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru.
Pendek kata,
dia seorang pemuda yang sangat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda
terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci,
dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang
pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya pasti
menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum!
Ada pun
temannya yang gadis juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya
dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan
raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan sepasang
mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang
semanis madu dan suaranya yang bening merdu.
Gadis ini
juga memakai pakaian sutera halus yang indah. Gerakannya ketika mengejar
kelinci juga sangat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan
gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang.
Kalau saja
orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu tak akan heran melihat
kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin
lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan
ini bukan lain adalah seorang pendekar yang dahulu namanya pernah menggemparkan
kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah
Pendekar Sadis!
Dia adalah
seorang pemuda yang berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang
pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang
Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng
Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain
pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang dulu pernah
menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan Nomor Satu
Di Dunia.
Yang sudah
mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng
Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang
ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri,
bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat
yang hebat dari Cin-ling-pai.
Bukan hanya
itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mukjijat dari pendekar-pendekar sakti
yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong
bersama isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu
mereka kepadanya. Juga Pendekar Lembah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu
mukjijat kepadanya.
Di samping
semua itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh
peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendek kata, Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda
gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu.
Temannya
itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan seorang wanita sembarangan
pula. Jauh dari pada itu! Dara ini bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh
bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin.
Wanita ini
bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena dia adalah puteri kandung
dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki
ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi
ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.
Dengan ilmu
kepandaian yang tinggi warisan dari ayah bundanya, Toan Kim Hong pernah
menjagoi dunia selatan, bahkan dengan menyamar sebagai seorang nenek tua, gadis
ini menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan liok-lim, kemudian sebagai seorang
nenek tua dia diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai
seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).
Ilmu
silatnya amat hebat dan ketika dia untuk pertama kalinya bertemu dengan
Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa
hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu
mengalahkan nenek itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya dan berubah
menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa dia akan
menyerahkan dirinya kepada pria yang mampu mengalahkannya, juga karena merasa
saling tertarik, Kim Hong lalu menyerahkan diri kepada Thian Sin.
Semenjak itu
keduanya lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, dan hidup sebagai suami
istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tak mau saling mengikat, akan
tetapi di dalam hati mereka terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua
orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga
Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang dulu terkenal sebagai Pendekar
Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam sehingga para pendekar
menentangnya.
Karena
kemudian berhadapan dengan keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali dengan ayah
angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah
dan tak berani melawan. Akhirnya dia beserta kekasihnya diampuni dan dia pun
berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat
itu.
Mereka
berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat
ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung
Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia masih menjadi buronan
pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar.
Demikianlah
perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Di
waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali pergi meninggalkan pulau
mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan
petualangan bersama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala
peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang selalu menentang
kejahatan.
Pada hari
itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota
Tai-goan, pada waktu melewati hutan itu timbul kegembiraan mereka untuk
menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan
sehat.
"Lihat
kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan
dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari
semak-semak.
"Gemuknya!
Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan
sedaaappp...!" Thian Sin tertawa.
Mendengar
suara tawa yang tak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya segera
menengok lalu memandang wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan
menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu? Mentertawakan aku?"
Thian Sin
tertawa semakin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus
dipanggang, menimbulkan selera seperti jika membayangkan tubuhmu... aihh,
seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."
"Tarrrrr...!"
Pecut kuda
di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin,
membuat kuda itu meringkik kaget lantas mengangkat kedua kaki depan
tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada pada punggungnya, tentu
gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung
kuda!
"Porno
kau! Cabul kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa.
Mereka lalu berlomba untuk berburu kelinci.
"Yang
dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang
dagingnya!" kata Kim Hong. Akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya
telah meloncat ke depan dan dia pun segera mengejar seekor kelinci putih yang
berlari-larian ketakutan setengah mati akibat dikejar kuda besar.
Thian Sin
tertawa dan tidak mau kalah. Lalu dia pun membedal kudanya mengejar kelinci.
Mereka berdua adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, malah
dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka
kadang kala bersikap seperti kanak-kanak.
Namun mereka
bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja,
tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi pikiran ini sama
sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu
sebab mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk
berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tak berniat
untuk menggunakan ilmu kepandaian mereka.
Justru di
sinilah letak kegembiraannya. Menggunakan kelincahan kuda saja untuk berburu
kelinci tanpa mengandalkan senjata atau pun kepandaian, sungguh bukan merupakan
hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh
besar, lagi pula beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap kemudian lenyap
di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang.
Mereka
tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu ke mana
kuda mereka menuju. Mendadak mereka mendengar suara anak menahan tangis.
Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.
Di situ,
seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha
mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan
tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda
dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia
Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh
siluman itu.
Pada saat
mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang
tertawa-tawa sambil mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul,
dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah
orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan
tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak
memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.
Melihat dua
orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, dengan sekali melompat Kim
Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang amat luar biasa dan
akan membuat seorang ahli silat atau seorang ahli ginkang melongo dan kagum
disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu,
tanpa membuat kuda itu terkejut, lantas di udara membuat pok-sai (salto) sampai
dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti
seekor burung terbang saja.
Dan memang
ini adalah salah satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang sangat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua
orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi
ketakutan.
"Ehhh,
siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan mengapa berdua saja di dalam hutan dan
kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"
Dalam
keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia
Ling memandang wajah yang cantik itu, kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis
di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya.
"Ceritakan,
apa yang sudah terjadi? Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga
sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu.
Agaknya Cia
Liong juga sudah bisa mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak
kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..."
"Apa...?!"
Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut.
Kim Hong
mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan dia pun
segera mendekati anak laki-laki itu, "Mengapa ayahmu dibunuh siluman dan
di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya.
"Ayah
kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."
"Ahhh...!"
Kim Hong juga terkejut. "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"
"Kami
dibawa lari oleh paman Kwee Siu dengan naik kereta. Akan tetapi di tengah
jalan... siluman... siluman itu menghadang dan sekarang sedang berkelahi dengan
paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."
"Di
mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya.
"Di
sana..." Cia Liong menuding ke belakang.
"Kim
Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya
sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap.
Kim Hong
menuntun dua ekor kuda kemudian mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung
kuda, lalu dia pun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di
tempat perkelahian itu, dia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat
sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha
membuat orang yang belum tewas benar itu agar memperoleh kekuatan dengan jalan
menotok sana-sini. Ia pun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.
"Paman
Kwee..." Dan dua orang anak itu menangis.
Maka
mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang sudah
melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan
diri dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput.
Akhirnya
usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya terluka oleh tusukan pedangnya
sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu mulai menggerakkan mata serta
bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik
lemah,
"Si...
siluman... goa... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..."
Kwee Siu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan
nyawanya melayang.
"Paman...!"
Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis.
Akan tetapi
Kim Hong berhasil membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam
kereta. Kemudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah
Kwee Siu di dalam hutan itu.
Mereka
berdua maklum bahwa di belakang semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka
dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah
maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan dengan diam-diam mengubur jenazah
Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini, dan selain
menghukum penjahat-penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang
katanya diculik siluman. Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua
orang anak itu tentang Siluman Goa Tengkorak!
Mereka belum
pernah mendengar nama ini, namun mudah diduga bahwa tentu penjahat-penjahat
itulah yang memakai nama Siluman Goa Tengkorak. Sesudah selesai mengubur
jenazah itu secara sederhana, mereka lantas menghampiri Cia Liong dan Cia Ling
yang masih terisak-isak dan nampak bingung.
"Anak-anak,
janganlah kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian dan kami juga akan
melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana
kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk.
"Sebaiknya
katakan dahulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin
ikut bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap
air matanya dengan punggung tangannya.
"Nama
saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok
Heng..."
"She
Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra
terhadap mereka.
Hal ini
tidak mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat
dalam hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin
Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di
dalam dunia semenjak dia masih kecil.
Oleh karena
itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak ini pun she Cia, maka timbul
perasaan mesra terhadap mereka, walau pun dia tahu bahwa belum tentu persamaan
she itu menunjukkan bahwa mereka berdua masih keluarga dekat dengan Pendekar
Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga
dirasakan oleh kebanyakan dari kita.
Hal ini
timbul karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang
dipusatkan terhadap si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku
tidak hanya terbatas pada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas
menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan
sebagainya. Jadi, sesungguhnya si akulah yang dipentingkan atau apa pun juga
yang menguntungkan atau merugikan aku.
Kedua orang
anak kecil itu pun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia
mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan
jauh berbeda andai kata mereka itu tidak bermarga Cia.
Di sini
telah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidak
adilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku
sebagai diri pribadi mau pun aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan
konflik dengan akunya orang lain pula.
Biar pun dia
sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong bisa
menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari
Siluman Goa Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima
orang sahabat ayahnya tewas akibat penyerbuan siluman itu. Betapa kemudian
mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh
siluman.
"Jadi
tadi malam ibumu diculik penjahat?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan
alisnya.
Sayang, anak
ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Goa Tengkorak itu
melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Kim Hong tidak tahu apakah dia
sedang menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan
di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.
"Ibu
dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua kemudian
dilempar ke bawah, untunglah ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan
tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak ini pun
menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar
Tai-goan.
"Kim
Hong, sekarang kita harus membagi tugas. Kau bawalah mereka ini pergi dari
sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota
Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa
tahu dia belum pergi jauh."
Kim Hong
mengangguk. "Baik, aku akan memakai kereta ini. Lalu di manakah kita akan
bertemu dan kapan?"
"Lewat
tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."
Kim Hong
mengangguk. Dua orang yang tadinya bersenda gurau seperti kanak-kanak itu kini
sama sekali sudah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan
agaknya hanya dengan gerak-gerik serta pandang mata saja, mereka telah mampu
untuk saling mengerti.
Memang, dua
orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu
sama lain, juga mempunyai pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka
dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa
seolah-olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan.
Kim Hong
segera mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu
pergi meninggalkan hutan dan menuju ke kota Tai-goan dengan maksud hendak
mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua
orang anak itu untuk sementara.
Sedangkan
Thian Sin juga segera meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak
di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya,
memeriksa tanah dan rumput sehingga akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung
sepatu yang menginjak tanah dan meninggalkan bekas atau jejak yang ringan
sekali.
Dia tahu
bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang mempunyai ginkang yang amat
tinggi, walau pun tidak sehebat ginkang yang dikuasai oleh Kim Hong, namun
cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia
pun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu.
Sementara
itu, Kim Hong sudah berhasil menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat
dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri
mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap
sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal
sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta
berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk
selama beberapa pekan lamanya.
"Jaga
mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain-main terlalu jauh, sebaiknya
bermain di dalam rumah saja. Sesudah urusanku ini selesai, aku akan datang
menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong
berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa
juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai
dapat." demikian dia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa
girang dan terhibur.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment