Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Siluman Goa Tengkorak
Jilid 02
MENANTI
merupakan pekerjaan yang paling mengesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu
rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan merayap perlahan seperti
gerak maju seekor siput. Apa lagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan
yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika dia menanti kedatangan
Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi.
Kim Hong
membiarkan kudanya makan rumput dan dia sendiri duduk di atas batu besar di
pinggir jalan. Kadang-kadang pandang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah
yang menjadi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan.
Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang
mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan.
Orang yang dikubur
itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang
pendekar, dalam usahanya hendak menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah
saat-saat terakhir seorang pendekar? Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang
mengetahui, malah mungkin juga orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang
masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah
nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan.
Mendadak
gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung
tangannya. Ahh, mengapa tiba-tiba dia menjadi selemah itu? Kalau perlu, boleh
saja mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu!
Kematian tak
akan mungkin dapat dihindarkan oleh siapa pun juga, soal kapan waktunya
merupakan rahasia yang tidak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang
dialami oleh orang she Kwee ini cukup terhormat! Mati sebagai seorang pendekar
yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain,
melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau
menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan
bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap
saat?
Bukan
kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati
dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan
seperti yang dialami orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibanggakan
dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukanlah soal, melainkan suatu kewajaran.
Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang paling penting.
Andai kata
yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita
seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu
akan marah-marah pada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong
bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada
itu dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa
menggunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam
menghadapi urusan penting dan gawat.
Maka, biar
pun dia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum juga
muncul, dia sama sekali tak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu.
Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi
seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Dia merasa yakin bahwa
kalau Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang
belum sempat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan
sesuatu dalam penyelidikannya!
Dan, meski
pun kecil sekali kemungkinannya karena dia tahu dan mengenal benar orang macam
apa adanya Thian Sin, mungkin saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan
halangan! Hal inilah yang dipikirkannya dan setelah hari mulai gelap,
kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya
menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang
ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada
jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu.
Malam yang
tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti
kedatangan orang yang tidak kunjung muncul. Untunglah masih ada kudanya,
setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat
bergerak.
Kim Hong
membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin
tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah
agar malam itu cepat berlalu dan dia dapat segera mulai menyusul kekasihnya.
Malam seperti itu tentu menjadi malam yang sangat menyeramkan dan menakutkan
bagi orang lain, apa lagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi
seorang diri saja.
Orang mudah
dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apa lagi di malam hari yang sangat gelap
seperti itu, lebih-lebih pula kalau di sana terdapat sebuah kuburan yang baru
siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh
yang sangat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun,
seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini.
Seperti para
pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka
dia pun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang, biar
yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak mempunyai andalan untuk
melindungi diri sebaiknya, bisa saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan
ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu
sendiri.
Apakah rasa
takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin,
karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut
timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan
diri. Rasa takut tak pernah terpisahkan dari bayangan yang diciptakan oleh
pikiran yang sering kali mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan membayangkan
hal-hal yang mungkin terjadi pada masa depan.
Rasa takut
sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan ke masa depan yang
dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada
atau belum ada! Yang takut akan setan belum pernah melihat setan itu sendiri,
rasa takutnya timbul akibat pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan.
Demikian
pula yang takut dengan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, yang takut
akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbul
bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tidak
mungkin takut akan setan, yang tak pernah membayangkan kematian tak mungkin
takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita
selidiki sendiri.
Maka
jelaslah bahwa rasa takut merupakan bayangan pikiran kita yang dipengaruhi oleh
pengalaman di masa lalu, baik itu pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang
lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tak
menguntungkan diri. Lantas timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali
tidak ada manfaatnya bagi hidup. Malah rasa takut ini membuat kita kehilangan
kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya.
Biasanya
kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari batin kita. Kita
ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan
hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanyalah
merupakan pelarian yang sia-sia belaka.
Rasa takut
akan setan umpamanya, tidak mungkin bisa lenyap hanya dengan melarikan diri
dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari kawan, pergi ke
tempat-tempat ramai dan sebagainya. Lain waktu rasa takut itu akan muncul lagi
setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-kengerian bertemu
setan.
Mengapa
tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau sewaktu-waktu rasa
takut itu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat
berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik
rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, mala petaka, mau pun rasa takut
akan kematian, kenapa kita tidak menghadapi rasa takut itu saja tanpa ingin
melarikan diri darinya?
Hadapi saja,
amati saja penuh perhatian sehingga kita bisa melihat dengan sepenuhnya, dapat
mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang
menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap
dari lubuk hati kita? Kenapa kita tidak membebaskan diri dari rasa takut yang
dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup
kita?
Semalam
suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak
seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, maka
dia bergerak sebentar kemudian duduk lagi.
Suara api membakar
kayu menimbulkan bunyi yang menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara
lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara
pohon-pohon di sekelilingnya dan sejak tadi ada sepasang mata mengintainya.
Ketika itu malam sudah hampir habis dan fajar mulai menyingsing di ufuk timur.
Akan tetapi
karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong
masih terus menyalakan api unggun sambil duduk dengan tenangnya. Hatinya mulai
gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan.
Ringkik
kudanya yang mula-mula membuat gadis ini waspada. Dia segera mencurahkan
perhatiannya ke sekeliling sehingga pandangan matanya yang tajam itu bisa
menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya
mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu
bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja
dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya.
Apakah
kemunculan orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua
orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Apa
bila orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia
mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi
kalau ternyata ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau ternyata
orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali dia pun
berhati-hati terhadapnya. Sungguh tidak enak hanya menunggu sambil menduga-duga
seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing supaya orang itu
bergerak turun tangan.
Kini api
unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya,
dara itu nampak melenggut. Kemudian dia membiarkan dirinya diserang hawa dingin
pagi, menggigil sedikit lalu menguap, menutupkan punggung tangan di depan
mulut, kemudian merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur.
Sikap serta
gerakannya demikian wajar sehingga siapa pun juga tentu akan menyangka bahwa
gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk lantas dengan mudahnya jatuh pulas
ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang
yang mengintainya dari balik batang pohon itu pun menduga demikian.
Dia
membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan
gerakan kaki yang sangat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri.
Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di hadapannya itu
dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum.
Memang,
melihat Kim Hong rebah terlentang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi
hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa tak akan tergerak
melihat tubuh yang padat serta matang itu setengah terlentang, dan melihat
wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan
mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum
senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih
mulus itu menantang pandang mata?
Ada pun Kim
Hong sejak tadi sudah melihat orang itu dan jantungnya berdebar tegang. Orang
itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan pada dadanya
terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau pun darah, dan muka orang itu
memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan
orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti
itu.
Akan tetapi
di dalam hatinya Kim Hong merasa geli, namun juga marah. Inikah orangnya yang
telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak
itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin,
kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya?
Orang
bertopeng itu agaknya sudah puas memandang Kim Hong. Dia pun mengangguk-angguk,
kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia
melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia
mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim
Hong! Akan tetapi, pada saat itu Kim Hong sudah bergerak dengan sangat
cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang.
"Wuuuttt...!
Dukkk!" Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang.
Tentu saja
siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa
dara yang cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim
tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih dapat menangkis,
akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, maka tendangan
yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke
belakang.
Akan tetapi,
begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun
kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh
oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar
dilawan oleh orang yang pandai sekali pun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan
sehelai sapu tangan, Kim Hong mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan
sinkang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai
mukanya.
Karena
kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan
gerengan marah dan tiba-tiba saja tubuhnya telah meluncur ke depan dan dia pun
sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kanannya meraih ke arah leher
bagaikan hendak mencengkeram, ada pun jari tangan kirinya meluncur dan menotok
ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena
selain tertutup? oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan
darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi
lemas tak akan mampu bergerak lagi!
Akan tetapi,
tentu saja serangan semacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah
dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa biar pun siluman ini mempunyai
kepandaian lumayan yang lebih dari pada penjahat-penjahat biasa dan mempunyai
tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya.
Oleh karena
itu Kim Hong menjadi marah. Dia ingin mempermainkan lawan, hendak lebih dulu
menghajarnya, baru kemudian dia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya
mengaku tentang peran Siluman Goa Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah
diculiknya itu.
Maka, begitu
serangan itu datang, dia cepat menyambutnya dengan mudah sekali. Tanpa
mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, dia telah dapat menghindarkan diri
dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu
menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat
kepandaian lawan.
Setelah dia
membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, dia pun mengerti bahwa
lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan
sebagai seorang ahli yang sudah matang. Karena itu dia pun ingin menghentikan
perkelahian itu dan pada waktu orang itu kembali menyerangnya dengan tangan
kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tidak tahu malu dari
seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke
samping dan begitu kakinya melayang, dia telah menendang perut orang itu dengan
keras.
"Desss...!"
Tubuh orang
itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh lantas terbanting
jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik.
Tendangan
tadi amat keras dan biar pun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum
lagi, akan tetapi tendangan itu cukup kuat untuk membuat orang itu memuntahkan
darah segar dari mulutnya. Akan tetapi orang itu memang memiliki tubuh yang
kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan
darah, dia langsung meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung
kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu pun dibedalkannya dengan cepat sekali
meninggalkan tempat itu.
"Hei,
badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?" Kim Hong terkejut dan marah
sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar.
Dara ini
adalah seorang ahli ginkang, maka gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak
kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu tampaknya jeri sekali
dan tak mau tersusul, maka kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan
terbuka sehingga kuda itu berlari sangat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan
saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali
kudanya.
Sekarang
kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya
sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar
dan amat dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman
itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan hendak membawa kudanya meloncati
jurang!
"Heiii,
jangan...!" Kim Hong berteriak karena dari jauh saja dia sudah dapat
melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruhkan nyawa
dengan sia-sia.
Jurang itu
terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini terbang di atas
jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat
betapa kaki depan kuda itu memang telah mencapai tepi jurang di seberang, akan
tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu
terjengkang dan bersama dengan penunggangnya meluncur jatuh ke dalam jurang
yang amat dalam itu!
Kim Hong
mengepal tinju sambil lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan dia melihat
betapa kuda serta penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang
berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Keparat!"
Kim Hong mendesis.
Dia merasa
kecewa dan menyesal sekali mengapa tidak sejak tadi dia merobohkan saja orang
itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu
telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa dia
kembali ke tempat tadi dan mulailah dia mencari jejak kuda yang ditunggangi
Thian Sin kemarin siang.
Tentu saja
tidaklah mudah untuk mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput
yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Tapi untung
baginya, tanah di hutan itu lembab sehingga hal ini membuat jejak kaki kuda itu
menjadi agak tahan lama.
Dengan
hati-hati dia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu lantas mengikutinya dengan
jalan kaki. Dia harus menemukan Thian Sin. Dia tak percaya bahwa riwayat
Siluman Goa Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan
kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang yang
kepandaiannya semacam itu, maka tak mungkin orang-orang yang telah dijuluki
Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya.
Apa lagi,
tak mungkin bila Thian Sin sampai tak mampu menemukannya setelah pemuda itu
mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada
kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak
tadi.
Tanpa setahu
Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah
Goa Tongkorak! Dia tidak menyadari hal ini karena memang dia belum mengenal
daerah itu. Belum ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk
menyelidiki keadaan Siluman Goa Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar
dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat, lalu peristiwa
demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya.
Mula-mula
pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang menuturkan bahwa ayah dan
paman-paman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian
pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian
Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti
yang sudah mereka janjikan. Kemudian muncul siluman yang mencoba untuk
membiusnya, yang berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum
Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi hanya dalam waktu semalam
saja dan kini dia telah mengikuti jejak kekasihnya.
Melihat
keadaan yang sangat liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya,
Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya dia dibawa ke tempat yang berbahaya,
karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorang pun manusia
dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatu-batu karang, jejak
itu pun lenyap.
Tentu Thian
Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan
sangat sukar dilewati manusia, apa lagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan
perjalanannya. Dia meragu, sebab tidak tahu ke mana dia harus melanjutkan
perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah
tebing yang curam dan dia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah
atas itu. Dia juga tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan
tidak dapat menduga pula apa yang telah terjadi sesudah kekasihnya itu tiba di
tempat ini.
Tiba-tiba,
ketika dia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil
pada sebelah kiri terlihat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri
terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja
untuk tempat tinggal seorang pertapa, namun bukan tidak mungkin tempat
terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat!
Timbul
semangatnya karena dia berpendapat bahwa jika Thian Sin sudah tiba di sini dan
melihat kuil itu, tentu kekasihnya itu juga akan mengunjungi serta memeriksa
tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Goa
Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan
tetapi karena dia mempunyai ginkang yang amat hebat, dia pun dapat mendaki
tempat itu dengan cepat dan tidak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran dia
sudah tiba di pekarangan kuil kuno.
Namun
pekarangan itu nampak bersih dan ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan
bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang kini
sedang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hati-hati, maka
dia pun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika dia
melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya
segera berdebar tegang dan girang.
Dia mengenal
kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuknya
punggung kuda itu. Kuda itu pun mengenal Kim Hong, lantas membelai tangan dara
itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang
bisa diceritakannya dan dia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang
sudah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan.
"Hei,
siapa yang berani mencoba mencuri kuda?"
Kim Hong
terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya yang menegurnya itu
adalah seorang lelaki berusia enam puluhan tahun, mengenakan pakaian seperti
seorang tosu, tubuhnya kurus serta kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok
tengkorak sekali pun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak.
Namun kakek
itu jelas seorang tosu, bukan seorang penjahat yang memakai jubah putih
bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud
ingin mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya.
"Totiang,
ke mana perginya pemilik kuda ini?"
Tosu itu
berjalan menghampiri dan sejenak menatap Kim Hong penuh perhatian.
"Pemilik kuda ini? Ahhh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang
malam tadi menunggu dia di dalam hutan?"
Kim Hong
mengangguk lantas memandang tajam. "Totiang, ke mana perginya sahabatku
itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?"
"Ahh,
pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib
kongcu itu..."
"Ada
apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!" Kim Hong tertarik sekali
namun juga merasa khawatir.
"Kemarin
siang kongcu yang menjadi temanmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya
ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Goa Tengkorak." Dia berhenti
sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong namun mengandung
rasa takut.
"Lanjutkanlah,
totiang," Kim Hong mendesak tak sabar.
"Pinto
sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar namun
tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia
membujuk pinto sehingga akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami
tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi
kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah goa besar di sana. Pinto segera
memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan
meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang
sedang menanti di dalam hutan, dan apa bila pinto berjumpa dengan nona supaya
pinto memberi tahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan dia
pun memasuki goa. Pinto menunggu di luar goa sampai malam dan dia belum juga
keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..."
Kim Hong
mengerutkan alisnya. "Apakah totiang tidak menyusul dan
memanggilnya?"
Tosu itu
nampak terkejut. "Ahh, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat
dan juga berbahaya. Apa bila pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki goa,
tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Goa-goa itu merupakan
goa-goa keramat yang tak pernah didatangi manusia dan kabarnya siapa yang
berani masuk goa tak akan dapat keluar kembali. Maka pinto tidak berani
memasukinya untuk menyusul kongcu."
"Hemmm,
apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Goa Tengkorak? Di situkah
sarangnya?"
Tosu itu
menggelengkan kepala. "Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah
pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir sekali
kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa mala
petaka di dalam goa itu..."
"Totiang,
kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!" Kim Hong yang merasa
khawatir sekali itu mendesaknya.
"Apa...?!
Nona... nona hendak menyusul ke sana?"
"Benar,
akan saya susul dia ke dalam goa! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki
goa menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?"
"Tapi
itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!"
"Totiang
tidak usah masuk, biarlah aku sendiri yang masuk!" kata Kim Hong agak
jengkel karena melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta
ini dapat diduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang
lemah.
"Tapi
itu pun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam goa dan tidak
keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa,
bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan
susiok..."
"Susiok?
Siapa dia?"
"Pinto
mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai
melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita
memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada."
Kim Hong
tidak mau percaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini.
Yang terpenting dia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian
Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu.
"Tidak,
totiang, aku ingin mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana
tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri."
Kakek itu
menarik napas panjang dan setelah menggeleng-gelengkan kepalanya dia pun
berkata, "Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mempunyai hati yang
keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi kini
pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya.
Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan
ke daerah Goa Tengkorak."
Berangkatlah
mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada
jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini
dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu
bukanlah seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal
dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan ginkang yang
lumayan. Karena itu, di tengah perjalanan mendaki tebing dia pun tidak dapat
menahan keinginan tahunya.
"Kulihat
totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang
begitu ketakutan terhadap Goa Tengkorak? Ada apanya sih di sana?"
Pendeta itu
berhenti kemudian berpegangan pada batu karang yang menonjol. "Aih, apa
sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para
siluman?"
Lalu dia
berjalan lagi dan kali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak
meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu ini sengaja
hendak memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan
mengujinya.....
Tentu saja
Kim Hong menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau dia mau, dia bisa
bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi dia tak mau
memamerkan kepandaian maka dia hanya bergerak mengikuti tosu itu saja.
Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di hadapan mereka terbentang
dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan goa-goa yang bentuknya
menyeramkan, karena banyak di antara goa goa itu yang bentuknya mirip seperti
tengkorak manusia.
"Inikah
Goa Tengkorak...?" Kim Hong bertanya, seperti kepada diri sendiri ketika
melihat kakek itu berhenti bergerak kemudian memandang ke arah dinding karang
yang tinggi dan panjang itu.
Memang
tempat itu sangat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar
sekali didatangi. Tempat yang sangat patut menjadi tempat sembunyi sebangsa
siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari
pengejaran.
"Lalu
di goa yang manakah temanku itu masuk?"
"Di goa
yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ahhh, sungguh berbahaya
sekali, nona."
"Bagaimana
totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?" Kim Hong bertanya secara
tiba-tiba sambil menatap tajam wajah kakek itu.
"Bukankah
kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi? Bagaimana kalau nona juga tak
keluar lagi?"
"Sudahlah,
lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi,
di goa itu masuknya?"
"Benar,
nona. Dan pinto akan menanti di sini..."
Kim Hong
sudah berloncatan menuju ke goa yang ditunjukkan oleh kakek itu. Sebuah goa
yang bentuknya seperti tengkorak dan kelihatan hitam gelap karena cahaya
matahari tak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sinkang-nya
dan memasuki goa itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga menghadapi
segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat
rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya.
Akan tetapi
kkhawatirannya itu tak terbukti. Di dalam goa itu tidak ditemukan sesuatu pun
juga. Goa yang lebar dan dalam akan tetapi kosong, dan penyelidikannya
terbentur pada dinding-dinding batu goa itu. Tidak terdapat terowongan atau
pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ dia tidak menemukan
jejak Thian Sin.
Dengan
kecewa dia pun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menunggu di tempat yang
tadi. Melihat dia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri.
"Siancai...
siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona sudah keluar dalam
keadaan selamat!"
"Totiang,
benarkah temanku itu masuk ke dalam goa ini?"
"Benar,
nona."
"Namun
tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Goa biasa dan tidak ada jalan tembusan.
Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?"
"Aih,
nona, di tempat seperti ini, apakah yang tak mungkin? Siapa tahu akan
rahasianya. Pinto rasa, yang dapat membantu dan menerangkan kepada nona
hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke
sana menjumpainya."
Hati Kim
Hong mulai tertarik. Apa bila dia harus mencari sendiri tanpa adanya jejak sama
sekali, mana mungkin? Tempat ini penuh dengan goa-goa dan daerah ini
berbatu-batu, sedikit pun tidak kelihatan jejak Thian Sin. Pemuda itu lenyap
secara aneh di dalam goa yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong
padanya? Dan kakek ini menjanjikan bantuan lewat seorang susiok-nya yang pandai
ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik sekali.
Ada dua
kemungkinan yang menguntungkan baginya. Pertama, siapa tahu kalau-kalau paman
guru dari pendeta ini benar-benar sakti dan dapat memberi tahu di mana adanya
Thian Sin. Ke dua, andai kata pendeta ini berbohong, tentu ada sebabnya dan
tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Thin Sin.
Agaknya
inilah satu-satunya jejak yang harus ditelusurinya dan dihadapinya, sungguh pun
bukan tidak mungkin kalau dia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin,
dia sanggup menghadapi bahaya yang bagaimana pun juga besarnya.
"Baiklah,
totiang. Tentu saja aku mau memperoleh segala macam bentuk bantuan untuk dapat
menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari
totiang itu..."
"Nama
pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup
aman tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Ada pun susiok pinto itu adalah
seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, namun tentu saja nona
boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau
tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang
membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok
sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah,
nona."
Kim Hong
mengikutinya dan secara diam-diam dia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah
menanyakan namanya atau nama Thian Sin? Sikap ini memperlihatkan sikap tidak
peduli, akan tetapi pada lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar
mereka ke goa dan sekarang sedang berusaha untuk menolong dengan membawanya
kepada susiok-nya. Ini menunjukkan sikap yang sangat peduli.
Dan bila
mana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini
memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Maka sebaiknya kalau
dia pun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi
di balik layar.
***************
Gubuk kecil
itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan
Kim Hong kepada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari
mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho
dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil
itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang
sore.
"Harap
nona menunggu sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar
suka menerima nona."
Kim Hong
mengangguk. Akan tetapi pada waktu tosu itu memasuki pintu depan pondok, dia
segera mempergunakan ginkang-nya untuk menyelinap mendekati pondok kemudian
memasukinya dari belakang.
Pondok itu
kecil namun panjang. Ketika dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari
ruangan dalam, dia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah
ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di
atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap,
hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang
seperti mencorong di dalam gelap.
Pendeta itu,
yang dapat dikenal dari pakaiannya yang bentuknya seperti jubah kebesaran, duduk
bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti patung yang menyeramkan
karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan.
"Susiok,
harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu sedang
mengantarkan seorang nona yang menghadapi kegelisahan besar karena dia
kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk bisa
memberikan petunjuk kepadanya."
"Siancai...
siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu
menentang siluman-siluman Goa Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena
engkau sudah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba
menolongnya. Suruh dia masuk."
Setelah
melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya
berdebar heran. Bagaimana kakek itu langsung dapat mengetahui bahwa dia dan
Thian Sin menentang siluman-siluman Goa Tengkorak? Melihat sikap Siok Cin Cu
pada waktu menghadap tadi, maka keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai
berkurang dan dia pun mulai percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi
memang mempunyai ilmu kepandaian yang luar biasa.
Ketika tosu
itu muncul, Kim Hong berlagak seperti sedang melihat-lihat keadaan di bawah
bukit. Dia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si
tosu, bagian bawah dari daerah Goa Siluman dapat nampak sehingga setiap ada
orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat
ini.
"Nona, sungguh
beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk."
Kim Hong
mengangguk lantas mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu
masuk, dia melihat betapa di sebelah dalam rumah itu gelap sekali karena semua
jendela tertutup. Hanya ada sedikit cahaya yang menerobos masuk melewati
celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu
remang-remang.
"Silakan,
nona," bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju
ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong. Kim Hong masih
tetap bersikap waspada.
Memang sudah
semestinya seorang pendekar tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan
kewaspadaannya, begitulah pelajaran yang sejak dahulu ditekankan di dalam
hatinya oleh orang tuanya. Maka, biar pun dia mulai percaya kepada Siok Cin Cu
yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini
bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari mana pun juga
datangnya. Dia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut
ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu.
"Ahhh,
selamat datang, nona. Silakan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak memiliki
kursi dan meja, maka terpaksa kita duduk di atas lantai saja. Silakan."
Sosok tubuh itu berkata tanpa bergerak.
"Terima
kasih, locianpwe," jawab Kim Hong yang segera duduk bersimpuh di atas
lantai.
Dia lalu
menggunakan tangannya menekan lantai sambil mengerahkan sinkang-nya untuk
melihat apakah lantai itu asli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap.
Namun hatinya terasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu
merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan.
"Sekarang
katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?"
Diam-diam
Kim Hong memuji kakek itu. Biar pun dia tidak dapat melihat dengan jelas, dia
dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi
bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu? Betapa pun juga,
kakek ini tidak sombong, biar pun sudah jelas tahu apa yang menjadi
kesulitannya, akan tetapi kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya
menyombongkan pengetahuannya.
"Locianpwe,
saya mencari seorang sahabat saya yang hilang setelah dia memasuki salah sebuah
goa dan saya tak dapat menemukan jejaknya lagi. Mohon pertolongan locianpwe
untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu."
Hening
sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari
sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menunggu
agak lama, kakek itu menjawab.
"Hemm,
bukankah temanmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi,
she-nya Ceng?"
Diam-diam
Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat!
"Dan
engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?"
Kim Hong
makin terkejut dan makin tertarik. "Benar, locianpwe," jawabnya dan
kini dia mulai percaya bahwa dia memang berhadapan dengan seorang tua yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan dia mulai memelihara harapan bahwa
kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberi tahu di mana
adanya Thian Sin.
"Kalau
begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apakah yang
bisa nampak olehmu?"
Kim Hong
mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang
remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar laksana lampu
yang amat terang dan menyilaukan mata.
"Engkau
merasa silau, nona? Jika silau, pejamkanlah matamu sejenak. Nah... begitulah,
pejamkan matamu dan terasa amat nikmat bukan? Nikmat untuk tidur. Kini engkau
mulai mengantuk, karena itu tidurlah, nona. Di sini aman, dan aku akan
melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak."
Kim Hong
tadinya tidak tahu bahwa dia sudah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan
begitu dia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau
melihat sinar menyilaukan, dia seakan-akan telah membiarkan semangatnya
dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir!
Ketika suara
itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, maka otomatis dia pun
memejamkan matanya, dan ketika mendengar suara menyuruhnya tidur, dia seperti
tidak sanggup lagi menahan rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak
dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan
betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu!
Akan tetapi,
Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat
tinggi dan tenaga sinkang amat kuat, juga dia sudah hidup berdua bersama Ceng
Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka
kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Walau pun
dia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi dia sudah mulai mengerti akan
seluk-beluknya.
Karena itu,
ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhi serta membelenggu
dirinya, dia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkang-nya untuk
memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan
tetapi, saat dia masih sedang bersitegang melepaskan diri dari keadaan tidak
sadar itu, tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak
Kim Hong telah ditotok orang.
Dara perkasa
ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir,
maka biar pun nalurinya yang amat kuat itu membuat dia berusaha mengelak,
tetapi tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya
yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh.
Pada saat
itu pula dia langsung diringkus lantas kaki tangannya dibelenggu, kemudian jari
tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Dia tertotok
dan tidak mampu bergerak lagi!
"Bagus!"
katanya sambil menekan kemarahannya. "Ternyata engkau adalah Siluman Goa
Tengkorak!"
Akan tetapi
yang menjawabnya hanya suara ketawa saja. Tanpa dapat melawannya, Kim Hong
melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam kemudian dia dipondong
orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok
Cin Cu, karena orang ini memiliki ginkang yang jauh lebih lihai dari pada tosu
itu.
Kim Hong
tidak tahu ke mana dirinya dibawa. Dari dalam karung hitam itu dia tidak dapat
melihat sesuatu dan dia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Sesudah
lewat waktu cukup lama, akhirnya dia dikeluarkan dari dalam karung dan
dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan
terbelenggu kaki tangannya!
Ternyata
kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan
pintunya dari besi, ada lubang-lubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar
tahanan yang sangat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang
terdapat di bagian atas pintu besi, dia dapat melihat ada orang di luar pintu.
Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di
dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak!
Tentu saja
Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu sudah tewas bersama kudanya di
dasar jurang? Akan tetapi dia segera dapat menenangkan dirinya dan mengertilah
dia bahwa Siluman Goa Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja.
Hari sudah
menjadi malam dan kamar itu hanya menerima cahaya lampu yang berada di luar
kamar, melewati lubang-lubang angin dan jeruji pintu besi. Kim Hong
mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari dia pun berhasil membebaskan
diri dari pengaruh totokan.
Setelah
pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sinkang dia dapat mematahkan
belenggu di kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja dia bangkit dan hendak
mencari jalan keluar, terdengar suara mendesis-desis dan dia melihat asap putih
menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin.
Begitu
mencium asap ini maka tahulah dia bahwa asap itu adalah asap yang mengandung
racun bius! Maka dia pun cepat-cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi
tindakannya ini hanya memperpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya dia
terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan.
Malam telah
larut ketika Kim Hong siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap, tapi dia
merasakan kepalanya agak pening. Kaki tangannya telah terbelenggu kembali,
malah kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Terdengar suara di
pintu dan ketika dia menengok, dia melihat ada orang bertopeng tengkorak di
luar pintu.
"Nona,
jika sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu
lebih berat. Asap bius itu tidak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah
saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik." Sesudah berkata
demikian, orang itu meninggalkan pintu.
Kim Hong
maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan dia
pun tahu bahwa pada saat itu dia tidak berdaya sehingga tak mungkin meloloskan
diri dengan kekerasan. Asap pembius yang sewaktu-waktu bisa masuk melalui
lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan
biar pun tidak nampak adanya penjaga, dia tahu bahwa ada penjaga-penjaga
bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya.
Celaka,
pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, dia mencela
diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang
mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka dia pun lalu
memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali.
***************
Ke manakah
perginya Ceng Thian Sin? Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar.
Pemuda itu pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang sudah dijanjikannya
kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal
itu.
Seperti yang
telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian
mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu,
Thian Sin lantas membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong
menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat yang
aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee
Siu.
Jejak itu
membawanya ke daerah Goa Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di
mana terdapat tebing Goa Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil
kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana
adanya Goa Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah goa itu terdapat di atas tebing,
maka dia pun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu
mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit.
Ketika tiba
di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil
itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan
pandang mata heran.
"Maaf
totiang apa bila saya mengganggu ketenteraman tempat ini," kata Thian Sin
sambil menjura dengan hormat.
Tosu itu
cepat membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada.
"Siancai... siancai...! Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan
melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!" jawab tosu itu yang
bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu pada Kim Hong.
"Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan apakah
gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?"
"Maaf,
totiang. Saya hendak mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Goa
Tengkorak. Saya sedang mencari tempat itu."
Tosu itu
tidak menunjukkan perubahan pada wajahnya, tetapi pandang matanya bersinar dan
tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian
Sin.
"Goa
Tengkorak...?"
"Benar,
apakah totiang mengetahui tempat itu?"
Kakek itu
mengangguk kemudian memandang pada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu.
"Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?"
"Tempat
seperti itu? Apakah yang totiang maksudkan? Ada apakah dengan tempat itu?"
Thian Sin balas bertanya.
Tosu itu
nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto
melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran
ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu."
Jawaban yang
teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang sangat pintar ini tidak
ada gunanya berputar lidah, maka dia pun segera berkata, "Sesungguhnya
saya hendak menyelidiki Goa Tengkorak dan hendak mencari Siluman Goa Tengkorak,
totiang."
Sekarang
tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya
mendengar disebutnya Siluman Goa Tengkorak. Akan tetapi tosu itu menentang
pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas
panjang.
"Siancai...
jangan-jangan kongcu mengira bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan
sebutan Siluman Goa Tengkorak!"
Diam-diam
Thian Sin kagum dengan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia
tersenyum ramah lantas berkata, "Baru saja aku mendengar nama itu,
totiang, tentu saja aku tak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena
totiang juga mengenal nama itu, maka aku ingin mohon petunjuk totiang di mana
kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal? Apakah di Goa
Tengkorak dan di mana letak goa itu?"
Kakek itu
kembali menghela napas. "Siapakah yang tidak mendengar namanya, kongcu?
Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya? Baru kurang lebih
sebulan lamanya, pasukan keamanan bersama banyak pendekar telah datang ke sini
dan mereka mencari di daerah tebing Goa Tengkorak akan tetapi tak berhasil
menemukan apa-apa."
Thian Sin
mengangguk-angguk. "Ahh, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari
oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?"
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa
di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru sesudah pasukan itu mencari di
daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang.
Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tak seorang pun yang tahu. Maka,
pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya,
kongcu."
Thian Sin
memandang tajam. "Kenapa berbahaya, totiang?"
"Pinto
sudah mendengar berita dari anggota pasukan itu bahwa orang ini amat lihai,
ilmu kepandaiannya bagaikan dewa... dan goa-goa itu merupakan tempat berbahaya,
kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi."
"Aku
tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan
kalau memang benar Siluman Goa Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah
turut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya."
Kakek itu
memandang kepada Thian Sin mulai dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia
mengangguk-angguk. "Ahhh, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang
gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai ke tempatnya.
Tetapi tidak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana,
pinto akan segera kembali."
"Terima
kasih, totiang," Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia
menambatkan kuda di belakang kuil.
Maka
berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirnya Thian Sin
berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan goa yang menyeramkan,
goa-goa yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang sangat
sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya.
"Goa-goa
itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya," tosu itu
berkata dengan suara datar dan terdengar dingin.
"Lalu
kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?"
"Itulah,
mungkin karena desas-desus bahwa orang yang sedang mereka cari itu kelihatan
memasuki goa itu," kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah goa,
nomor tiga dari kiri yang bentuknya juga mirip tengkorak.
"Nomor
tiga dari kiri itu?"
"Betul.
Nah, sudahlah, kini pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di
sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama
pinto?"
Thian Sin
memaksa tersenyum. "Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jeri atau
takut sesudah mendengar cerita totiang atau sesudah melihat tempat ini, totiang
sudah salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Goa Tengkorak dan aku yakin
pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat
tinggalnya." Pemuda perkasa itu melihat betapa pandangan tosu itu bersinar
seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya.
"Siancai...!
semoga kongcu tidak menemui halangan apa pun." Dan tosu itu pun kemudian
membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing.
Setelah tosu
itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat
sekali menghampiri goa-goa di sebelah kiri. Dia memeriksa goa-goa itu, dari goa
pertama sampai lima buah goa banyaknya hingga mendapatkan kenyataan bahwa goa
ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam.
Dia lalu
memasuki goa ke tiga ini, sebuah goa yang dalamnya tidak kurang dari dua puluh
meter dan lebarnya ada empat meter. Goa ini merupakan ruangan yang cukup luas
akan tetapi tentu saja tidak enak apa bila dijadikan tempat tinggal karena
lantainya terbuat dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin ke dalam
makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di
lautan.
Dengan amat
waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin lalu memeriksa goa ini. Dipandang
sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walau
pun goa itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh sangat tidak
enak untuk dijadikan tempat tinggal.
Akan tetapi
Thian Sin terus memeriksa ruang yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan
sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak
mendekat dan meraba, sulit untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera
masuk, melainkan lebih dahulu memeriksa dengan seksama. Kalau memang tempat ini
pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pasukan tidak menemukan
terowongan ini.
Ketika dia
memeriksa dengan meraba-raba bagian ambang pintu terowongan, jantungnya
berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup
terowongan itu. Jelaslah bahwa terowongan ini merupakan pintu rahasia yang
belum lama dibuka orang.
Jika pintu
itu dikembalikan ke tempatnya, maka pintu itu akan lenyap dan dinding di sudut
itu akan lenyap pula, ada pun dinding di balik batu itu ada terowongannya. Dan
tentu saja, sedikit pun tidak akan ada orang yang menduga karena pintu itu
nampaknya menjadi satu dengan dinding goa. Penemuan yang kebetulan saja?
Ataukah umpan jebakan?
Apa pun
juga, inikah jalan satu-satunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman
itu sampai dapat! Sesudah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu
memasuki terowongan yang gelap itu.
Terowongan
itu ternyata cukup besar biar pun dia harus memasukinya dengan tubuh agak
membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di
ruangan depan goa itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang
sengaja dibuat orang.
Ketika dia
melangkah maju dengan hati-hati di tempat yang remang-remang dan semakin gelap
itu, kurang lebih dua puluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di
belakangnya! Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi
serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Suara keras itu
diikuti kegelapan yang menelan dirinya, maka tahulah Thian Sin bahwa ada alat
rahasia yang sudah menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan!
Dia menahan
senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut
terowongan lalu mencoba membuka pintu itu. Tidak, biar pun dia telah terjebak,
dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apa pun juga! Maka dengan sikap
tenang sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan
yang gelap itu dan melaju terus. Dia mencurahkan seluruh panca inderanya,
bersiap untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya.
Lantai
terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang terpasang
rapi. Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak
yang telah ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu
li! Akan tetapi dia pun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah
Goa Tengkorak, karena biar pun jauh, terowongan itu berlika-liku.
Dengan
merentangkan kedua lengannya, dia bisa mengukur lebar sempitnya terowongan itu,
juga tinggi rendahnya langit-langit karena dia harus selalu menjaga supaya
kepalanya jangan sampai terbentur batu karang yang bergantungan di
langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti,
lalu meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia berada di
tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi
bertemu dengan batu.
Karena
keadaan masih gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak, melainkan
berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi
sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang sungguh pun dia tadi
merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak sangat cepat dan
kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadi pun sudah berhenti lagi.
Thian Sin
menduga bahwa tentu telah terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti
pada waktu pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya
meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan
kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Kaki serta tangan kirinya
itu segera menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan
kirinya adalah dinding batu yang dingin dan keras, sedangkan di sebelah
depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia. Dia telah
terkurung!
Mendadak
tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji
besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan
dari situlah datangnya cahaya yang terang itu. Agaknya sinar matahari dapat
memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini.
Agak silau
juga mata Thian Sin sehingga ia terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa
mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan
ketajaman pendengaran telinganya. Walau pun dia sedang memejamkan kedua
matanya, namun dia mengetahui dari pendengarannya bahwa di luar jeruji besi itu
terdapat sedikitnya sepuluh orang yang semuanya mempunyai ilmu silat yang cukup
tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka
itu datang mendekat.
Ketika dia
membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas
orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah
di dada mereka dan muka mereka semuanya memakai topeng tengkorak! Dengan
sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh
terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri
mempergunakan kekerasan.
Dia
benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah
dan harus menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan
watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimana
pun juga.
Dia berdiri
di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum
lebar. "Ha-ha-ha, ternyata Siluman Goa Tongkorak yang disohorkan orang itu
tiada lain hanyalah kumpulan tikus-tikus gunung yang kehebatannya cuma
mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!"
Belasan
pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan cahaya berkilat
tanda bahwa mereka marah sekali mendengar ucapan ini yang sangat merendahkan
dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir berkata,
suaranya halus namun penuh mengandung ancaman.
"Orang
muda, engkau sudah tertawan dan nyawamu berada di telapak tangan kami, akan
tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda
yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapa pun orangnya
yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi
karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan berbicara denganmu, maka engkau
selamat. Kini menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau
akan diampuni. Akan tetapi bila engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh."
Orang itu
memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba saja
mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin.
Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja
tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang
yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka
bersiap-siap menyerang apa bila Thian Sin menggunakan kekerasan.
Thian Sin
tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Apa bila dia menghendaki,
kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam
kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan
ini tidak bijaksana.
Mereka ini
hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan
pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi. Dia pun dapat
menduga bahwa yang berbicara tadi adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu.
Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke
kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu sudah dicatatnya sebagai tanda atau
ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng ini pun kepalanya agak
miring ke kiri!
Dan andai
kata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan
ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri
belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian
Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin
menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin
saja dia akan menggagalkan semua usahanya.
"Kepala
kalian ingin bicara denganku? Baiklah, aku pun ingin bicara dengan dia!"
katanya, kemudian dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam
ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang.
Belenggu itu
berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu
agaknya tahu akan tugasnya. Sesudah membelenggu kedua pergelangan tangannya,
dia segera menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah
tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin.
Pendekar Sadis melihat dan tahu akan hal ini, akan tetapi dia tak bergerak dan
pura-pura tidak tahu saja.
"Tukkk!"
Dua jari
tangan itu dengan tepatnya menotok bagian di mana terdapat jalan darah
tiong-cu-hiat dan biasanya, totokan di tempat ini akan membuat orang yang
ditotoknya roboh pingsan. Akan tetapi orang bertopeng itu mengeluarkan seruan
kaget sesudah kedua jari tangannya bertemu dengan kulit yang membungkus daging
lunak, seolah-olah tanpa urat darah di situ, lunak sekali membuat totokannya
itu meleset bagaikan menotok agar-agar saja! Dan orang yang ditotoknya itu sama
sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak pingsan, apa lagi pingsan, bahkan
mengedipkan mata pun tidak, seakan-akan totokannya tadi seperti seekor lalat
yang hinggap saja!
Tentu saja
orang bertopeng itu bukan hanya terkejut, melainkan juga malu dan penasaran
sekali. Apa bila dia tidak memakai topeng, tentu akan nampak betapa wajahnya
berubah merah bukan main.
Karena
merasa betapa kulit daging tawanan itu tadi melunak lembek sekali, dia menduga
bahwa orang ini mungkin tidak mempunyai kepandaian apa-apa, atau justru
memiliki ilmu melembekkan daging sehingga jalan darah yang ditotok itu bisa
meleset ke sana-sini jika ditotok. Cepat dia menggerakkan kembali tangan
kanannya dan kini kedua jari tangannya itu menotok dengan pengerahan tenaga
keras pula untuk melawan tenaga lembek lawan. Sekali ini, dia memilih jalan
darah di belakang pundak, yaitu jalan darah hong-hu-hiat.
"Tukkk...!"
Sekali ini
orang bertopeng itu tidak dapat menahan teriakannya, teriakan kesakitan karena
tulang dua buah jari tangannya itu rasanya seperti akan patah-patah. Totokannya
dengan pengerahan tenaga tadi bertemu dengan kulit yang demikian keras, seperti
kulit baja tulen saja sehingga dua jari tangannya terasa nyeri bukan kepalang.
Kini orang kedua
yang bertubuh tinggi besar itu menghampiri Thian Sin. Tiba-tiba saja dia
mengeluarkan teriakan nyaring lantas tangan kirinya telah bergerak ke depan dan
jari-jari tangannya sudah menotok ke arah dada Thian Sin. Gerakannya mantap dan
kuat.
Melihat
gerakan itu, tahulah Thian Sin bahwa orang tinggi besar ini mempergunakan Ilmu
Totok Tiam-hwe-louw, yaitu ilmu totok dari perguruan Siauw-lim-pai! Seperti
juga tadi, dia pura-pura tidak tahu akan tetapi dengan diam-diam mengerahkan
sinkang ke arah dada yang ditotok.
"Dukk!"
Dan orang
tinggi besar itu pun meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya karena
jari tangannya bertemu dengan benda keras yang panas sekali!
Beberapa
orang lain maju dan menotok tubuh Thian Sin, menggunakan bermacam cara, namun
semuanya gagal. Dan Thian Sin sendiri menjadi terkejut. Orang-orang ini
ternyata terdiri dari berbagai aliran perguruan silat, dan beberapa orang di
antaranya adalah murid dari partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai dan
Thian-san-pai. Tentu saja kenyataan ini membuat dia merasa heran bukan main.
"Hemm,
orang muda, agaknya engkau mempunyai Ilmu I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan
Darah). Akan tetapi di depan kami tidak ada gunanya engkau berlagak," kata
orang pertama atau orang yang diduga oleh Thian Sin tentulah tosu itu. Kini
orang ini tiba-tiba menggerakkan tangan menotok dengan cara aneh, yaitu tanpa
memilih jalan darah.
Thian Sin
tahu bahwa ini adalah Ilmu Totok Coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai! Tetapi sekali
ini Thian Sin ingin memperlihatkan kelihaiannya, juga hendak memberi pelajaran
kepada orang yang memandang rendah kapadanya ini, maka begitu totokan itu tiba,
dia sengaja melontarkan tenaga sinkang dari tempat yang ditotok.
"Dukkk!"
Orang yang
menotok itu mengaduh dan melangkah mundur, memegangi tangannya yang tadi
menotok karena buku-buku tulang jari tangannya terasa remuk dan salah urat!
Semua orang
bertopeng yang berada di situ siap dengan anak panah mereka. Thian Sin melihat
hal ini dan dia pun berkata, "Aku sudah membiarkan diriku dibelenggu,
mengapa kalian masih menghinaku? Kalau aku tidak ingin bertemu dengan pimpinan
kalian, apakah semudah ini kalian dapat membelengguku? Nah, sekarang tidak
perlu main-main dengan totokan lagi, mari bawa aku kepada pimpinan kalian!"
Seluruh mata
di balik topeng itu memandang ragu dan agaknya kini mereka semua baru tahu
bahwa tawanan muda itu sebenarnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan bahwa sejak tadi sudah mempermainkan mereka dengan membiarkan mereka
menotoknya berganti-ganti!
Pemimpin
kelompok itu cepat memberi isyarat dan tanpa banyak cakap lagi Thian Sin lalu
diiringkan keluar dari tempat itu. Salah seorang anggota sebagai petunjuk jalan
berjalan di depan, diikuti oleh Thian Sin yang sepasang tangannya dibelenggu.
Di belakang Thian Sin berjalan si pemimpin yang terus menodongkan pedangnya
pada tengkuk tawanan itu dan di belakangnya berbaris sepuluh orang anak buah
yang menodongkan anak panah.
Sementara
itu, melihat dari lampu-lampu yang dipasang di sepanjang lorong terowongan,
maka maklumlah Thian Sin bahwa hari telah berganti malam. Jalan terowongan itu
makin menaik dan dia melihat banyak sekali kamar-kamar di kanan kiri, ada yang
kosong akan tetapi ada pula yang terisi karena dia mendengar suara orang-orang,
laki-laki dan wanita, dari dalam kamar-kamar itu.
Akhirnya dia
sampai di sebuah ruangan yang luas sekali dan melihat dindingnya yang dari batu
dan langit-langitnya yang juga dari batu, dia menduga bahwa tentu dia masih
berada di bawah tanah, walau pun tanah pegunungan karena sekarang dia tentu
sudah mendaki cukup tinggi. Ruangan itu diterangi cahaya banyak lampu, dan di
sana sudah berkumpul banyak orang.
Dengan
pandangan matanya Thian Sin menyapu ruangan itu dan diam-diam dia merasa heran.
Di situ berkumpul sedikitnya dua puluh lima orang, akan tetapi orang-orang
biasa dan rata-rata mereka berpakaian sebagai orang-orang hartawan, malah ada
yang bersikap seperti orang berpangkat, dan ada beberapa orang pula yang
sikapnya seperti seorang ahli silat atau pendekar! Mereka semua memandang
kepadanya dengan sinar mata orang memandang seorang penjahat atau seorang
pengacau!
Ada pula
belasan orang lainnya yang berpakaian seperti siluman tengkorak, berdiri sambil
berjaga di sekitar tempat itu. Di belakang ruangan itu terdapat anak tangga
yang menuju ke atas, lebar dan lantainya ditutup permadani merah. Akan tetapi
yang sekarang menjadi perhatian Thian Sin adalah seorang pria yang memakai
jubah sutera putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya.
Jubah yang
sama dengan yang dipakai oleh para anggotanya, akan tetapi ada perbedaan
potongannya, karena yang dipakai orang ini sedikit longgar seperti jubah
pendeta dengan lengan baju yang panjang dan lebar, dan jika para anggota itu
mengenakan ikat pinggang putih, orang ini memiliki ikat pinggang yang keemasan.
Topeng yang
menutupi mukanya juga topeng tengkorak, akan tetapi kalau para anggota itu
topengnya nampak jelas, orang ini seakan-akan tidak bertopeng, melainkan
mukanya memang muka tengkorak, hanya kulit pembungkus tulang belaka! Dan
sepasang matanya mencorong menakutkan.
Thian Sin
dapat menduga bahwa orang ini menggunakan topeng dari kulit yang tipis, akan
tetapi dia harus mengaku dalam hati bahwa orang ini merupakan lawan yang tidak
boleh dipandang ringan karena dari pandangan matanya itu berpancar kekuatan
yang dia tahu kekuatan ilmu hitam atau sihir!
Mereka yang
mengiringi Thian Sin kini berhenti dan Thian Sin dibiarkan berdiri di tengah
ruangan. Pemuda ini berdiri tegak dengan dua tangan dibelenggu ke belakang.
Suasana di dalam ruangan itu seperti sedang pesta atau menjamu tamu-tamu, dan
perjamuan itu agaknya baru akan dimulai.
Thian Sin
merasa betapa dia sudah mengganggu sebuah perjamuan, karena dia melihat
kemarahan serta kejengkelan pada wajah orang-orang yang hadir di situ.
Tiba-tiba orang yang memakai jubah dan topeng siluman itu bangkit dari tempat
duduknya dan ternyata tubuhnya cukup jangkung.
"Ahh,
ternyata kita sudah kedatangan seorang tamu kehormatan! Harap cu-wi yang hadir
melihat baik-baik, bukankah benar bahwa tamu kita ini adalah Pendekar Sadis
atau Sang Pangeran Ceng Thian Sin?"
Thian Sin
terkejut bukan main. Dia mengerling ke arah para hadirin dan melihat beberapa
orang di antara mereka mengangguk-angguk membenarkan. Ternyata dia sudah
dikenal orang! Tentu mereka itu adalah orang-orang penting dan sesudah kini dia
memperhatikan mereka, dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat pula
pembesar-pembesar yang pernah dilihatnya di kota raja! Dia pun menanti dengan
hati tegang, tidak dapat menduga dengan siapa dia sebenarnya berhadapan dan
dengan perkumpulan macam apa pula.
Siluman itu
kini berkata langsung kepadanya, "Orang muda yang gagah, tidak kelirukah
dugaan kami bahwa engkau adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Thian Sin
merasa tidak perlu untuk menyembunyikan diri lagi maka dia pun mengangguk. Kini
terdengar para hadirin saling berbisik dan suasana menjadi sangat tegang.
Agaknya kenyataan yang telah diakui oleh beberapa orang bahwa tempat itu
kedatangan Pendekar Sadis, merupakan hal yang mengejutkan mereka. Akan tetapi,
siluman itu lalu melangkah maju dan menjura.
"Ahhh,
selamat datang, Ceng-taihiap. Selamat datang! Hayo cepat lepaskan belenggunya
dan kalian minta maaf!" katanya kepada dua belas orang yang tadi mengawal
Thian Sin.
"Tak
perlu repot-repot!" Thian Sin berkata dan sekali dia menggerakkan kedua
lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya, maka terdengarlah suara.
"Krekk!
Krekkk!" dan belenggu rantai besi pada kedua tangan itu patah-patah dan
runtuh ke atas lantai.
Karena semua
orang memandang dengan hati tegang dan suasana amat sunyinya, maka ketika
belenggu itu jatuh ke atas lantai batu, terdengar suara nyaring berdenting.
Siluman Tengkorak itu tertawa, suaranya terdengar lebih nyaring dari pada
denting rantai belenggu yang beradu dengan lantai.
"Hebat,
Ceng-taihiap memang hebat. Silakan duduk!"
"Terima
kasih!" kata Thian Sin dan dia menerima bangku yang disodorkan oleh
seorang di antara para anggota Siluman Tengkorak, lalu duduk menghadapi ketua
siluman yang telah duduk pula itu. "Ingin sekali saya mendengar apa
artinya semua ini. Mengapa sambutan terhadap saya seperti ini?" Thian Sin
mulai membuka kartu, tentu saja dengan maksud hendak memancing pembukaan kartu
lawan dan untuk melihat apa yang tersembunyi di dalam hati pihak lawan.
Siluman itu
tersenyum tetapi wajahnya nampak menyeramkan. Kini Thin Sin merasa yakin bahwa
orang itu mengenakan topeng terbuat dari pada kain atau karet tipis, tidak
sehalus topeng yang pernah dipakai oleh Kim Hong ketika dia menyamar sebagai
nenek Lam-sin, akan tetapi juga tidak sekasar yang dipakai para anak buah Siluman
Tengkorak itu.
"Sebetulnya
pertanyaan itu harus dikembalikan kepadamu taihiap. Seingat kami, kami tak
pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Sadis, akan tetapi taihiap sudah
mendatangi bahkan melakukan penyelidikan terhadap tempat kami. Sebenarnya, kami
baru menduga saja bahwa taihiap adalah Pendekar Sadis, namun karena taihiap
telah memasuki daerah terlarang kami, terpaksa teman-teman kami harus
menangkapmu. Sesudah berada di sini dan kami yakin siapa adanya diri taihiap,
tentu saja kami pun tak berani mengambil sikap sebagai musuh. Nah, harap
taihiap suka menjelaskan, mengapa taihiap memasuki daerah kami? Mengapa taihiap
mencampuri urusan kami?"
Thian Sin
mengangguk-angguk. "Sebelum memberikan penjelasan dan menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan itu, lebih dulu saya ingin mengetahui, sebetulnya dengan
siapakah saya bicara?"
"Perlukah
hal itu taihiap tanyakan lagi? Apa bila taihiap sudah datang menyelidiki tempat
kami kiranya taihiap sudah dapat menduga siapa adanya saya."
"Memang
saya mendengar tentang nama Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi saya juga
mendengar anak buah Siluman Tengkorak menyebut Sian-su."
"Siancai...
siancai...! Apa yang taihiap dengar itu sudah lebih dari cukup, maka terserah
kepada taihiap."
"Baiklah,
saya pun akan menyebut Sian-su padamu. Terus terang saja, selama ini belum
pernah saya mendengar mengenai Siluman Goa Tengkorak dan hanya secara kebetulan
saya melihat seorang bernama Kwee Siu tewas oleh seorang yang memakai pakaian
dan topeng sebagai anggota Siluman Goa Tengkorak. Saya belum pernah bertindak
tanpa sebab. Saya mendengar dari mendiang Kwee Siu bahwa Siluman Goa Tengkorak
sudah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan. Karena itulah saya datang ke sini
hendak bertemu dengan Siluman Goa Tengkorak dan bertanya mengapa tujuh orang
pendekar itu dibunuh tanpa dosa?"
"Ha-ha-ha,
sungguh pertanyaan ini terdengar lucu jika keluar dari mulut Pendekar Sadis!
Taihiap sendiri dinamakan Pendekar Sadis akibat tindakan taihiap terhadap
musuh-musuh taihiap jadi semua tindakan tentu ada sebabnya, bukan? Nah,
demikian pula dengan tujuh orang itu. Mereka sudah berani menentang kami, maka
anehkah kalau mereka itu roboh dan tewas di tangan kami? Kami hanya membela
diri, dan di dalam perkelahian, wajarlah kalau terjadi kematian bagi yang kalah."
"Memang,
sebab melahirkan akibat dan akibat menjadi sebab lagi. Kalau Tujuh Pendekar
Taigoan menentang dan melawan Sian-su bersama para anggotanya, hal itu tentu
ada sebabnya pula."
"Dan
sebabnya itu apa, taihiap?"
"Ada
seorang ibu muda keluarga Cia yang diculik orang dan suaminya, seorang di
antara Tujuh Pendekar Tai-goan, dibunuh. Apakah peristiwa itu bukan merupakan
suatu sebab yang cukup berat?"
"Siancai...
siancai! Cu-wi yang hadir tentu sudah mendengar fitnah-fitnah itu. Ceng-taihiap
rupanya juga terkena pengaruh fitnah keji yang dilontarkan kepada kami.
Taihiap, lihatlah orang-orang terhormat yang hadir di sini! Kalau memang kami
demikian jahatnya, apakah mereka itu akan sudi hadir di sini dan juga menjadi
pengikut dan saudara sekepercayaan kami? Ketahuilah bahwa kami mengajak semua
orang untuk menikmati hidup dan menjadi anggota agama baru kami. Dan tentang
ibu muda keluarga Cia itu... ah, sebaiknya taihiap menyaksikan sendiri.
Kebetulan sekali kami kini sedang mengadakan pesta dan upacara pengangkatan
seorang anggota wanita baru. Lebih baik taihiap menyaksikan sendiri dari pada
mendengar fitnah dari mulut lain orang."
Thian Sin
tak bisa membantah lagi. Siluman itu lalu mempersilakan dengan suara lantang
supaya semua orang suka mengikutinya ke apa yang dinamakannya sebagai panggung
Puncak Bahagia dan semua orang pun berdiri dengan wajah gembira.
"Saatnya
sudah hampir tiba, mari kita bersiap-siap menyambut turunnya Dewi Cinta dan
mempersiapkan upacaranya." Demikian dia berkata sambil menghampiri Thian
Sin yang masih duduk. "Ceng-taihiap, engkau menjadi tamu kehormatan,
silakan mengikuti kami ke tempat upacara."
Thian Sin
hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berjalan mengikuti siluman itu yang
diiringkan pula oleh semua yang hadir. Para anggota siluman menjaga di kanan
kiri dan ada pula yang berada di depan dan belakang. Mereka itu rata-rata memiliki
kepandaian tinggi dan gerakan kaki mereka hampir tidak menimbulkan suara.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment