Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Siluman Goa Tengkorak
Jilid 04
Thian Sin
merasa lega dan gembira, merasa bahwa dia telah berhasil mengelabui ketua
Jit-sian-kauw. Tetapi pendekar ini sama sekali tidak tahu bahwa di balik topeng
tengkorak itu, Sian-su tersenyum-senyum dan mentertawakannya. Dia tidak tahu
bahwa ada kejutan yang amat tidak menyenangkan baginya.
Biar pun dia
melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan
melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan
menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan menggunakan daun, tetapi ketua
Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu
saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu,
dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu.
Malam hari
itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk mendapat
kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya,
dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara mengandung kekuatan
mukjijat.
"Ceng
Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati
semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa tenang dan tenteram! Nah kau
rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!"
Thian Sin
yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan dirinya kembali. Dia
memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak
lama kemudian, suara itu terdengar lagi.
"Ceng
Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu."
Bagaikan
patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan.
"Pergilah
ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!"
Thian Sin
berjalan ke pintu lantas membuka daun pintu. Di depan pintu itu sudah berdiri
seseorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih, pakaian seragam para
anggota Jit-sian-kauw, yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin
tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi
dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat
dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggota biasa saja.
"Taihiap,
harap suka minum arak di dalam cawan ini," kata orang itu sambil
menyerahkan cawan arak.
Thian Sin
hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada
dalam keadaan ‘tersihir’, karena itu dia pun diam saja, hanya memandang dengan
mata kosong dan berdiri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini
nadanya mengandung kelegaan hati.
"Ceng
Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!"
Kini Thian
Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia
maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia
lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis.
Akan tetapi
lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada dua bola
mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut,
tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang kiranya hanya seorang
anggota biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia lalu membisikkan bahwa orang
itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu
hanya disimpan di mulutnya saja.
"Sekarang
kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu," bisik suara dekat
telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang mempergunakan ilmu mengirim
suara dari jauh menggunakan tenaga khikang yang amat kuat.
Anggota itu
pun lantas membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar. Ada pun Thian
Sin merebahkan dirinya ke atas pembaringan, diam-diam membuang arak di mulutnya
yang dimuntahkan ke dalam tangannya lalu dibuang di atas lantai di belakang
pembaringan. Hal ini dilakukannya dengan cepat, dan dia merasa yakin bahwa
tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya.
"Ceng
Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya, taat, hormat
dan tunduk padaku, kepada Sian-su, yaitu ketua dari Jit-sian-kauw yang akan
mendatangkan kesenangan dunia dan akhirat untukmu! Camkan ini, harus selalu
setia dan taat kepada Sian-su!"
Kalimat
terakhir itu diulangi terus sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat
sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sinkang pula untuk melawannya
supaya jangan sampai terpengaruh. Tentu saja peristiwa itu membuat Thian Sin
tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlampau lama,
keadaannya bisa semakin berbahaya.
Dia tidak
tahu bahwa pada malam itu, Sian-su sudah mempersiapkan percobaan terakhir
kepadanya, sebuah percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak
mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan.
Setelah
merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya
dan dengan langkah bagaikan langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan
suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada
dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar
pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggota Jit-sian-kauw itu memandang
dan Thian Sin menggapai, berkata lirih,
"Twako,
ke sinilah, aku mau bicara penting..."
Karena
ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin
sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya,
maka biar pun ragu-ragu, penjaga itu tidak mampu menahan kakinya melangkah dan
memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu
mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah
pingsan tertotok.
Dengan amat
hati-hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian
dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga
yang duduk di luar jendela.
"Apa...?
Uhhh...!" Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, tetapi dalam
keadaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin
penjaga itu mampu melawannya. Dia pun roboh pingsan sebelum sempat berteriak.
Thian Sin
cepat memondong tubuh orang itu dan membawanya masuk ke dalam kamar,
melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat
Thian Sin menelikung kedua orang itu lantas diikatnya dengan tali ikat pinggang
mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut mereka pun disumbat dengan kain baju
mereka sendiri.
Karena dia
tahu bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat
kaki tangan mereka kuat-kuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain
sumbatan itu melilit kepala, juga menambahkan totokan pada beberapa bagian
tubuh mereka. Dia merasa sangat yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak
akan siuman dan andai kata sudah siuman sekali pun, mereka takkan mampu
bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara.
Sesudah
melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah
pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu bersiap-siap untuk
melakukan penyelidikan sendiri, kemudian dengan gesit dia menyelinap keluar
dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar.
Dia sudah
tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud hendak
mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan ingin menyelidiki keadaan wanita itu
sebab dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong
kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya untuk
membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari itu lalu
mengorek rahasia kejahatan Siluman Goa Tengkorak dari mereka.
Akan tetapi,
baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan
disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut sekali
dan segera dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya
ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu.
Dia
mengintai dari balik jendela dan melihat para anggota perkumpulan itu
berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat
tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itu pun berhenti dan nampaklah
Sian-su bersama serombongan anggotanya melangkah lebar menuju ke kamarnya!
Thian Sin
menanti dengan jantung berdebar. Jelas bahwa perbuatannya sudah ketahuan! Akan
tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat
ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya
dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan.
Dapat
dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu saat pintu kamarnya pelan-pelan
terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat
keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara
Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata,
"Ceng-taihiap,
bangunlah!"
Thian Sin
sudah merasakan perubahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan
tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan dia pun menurunkan lengannya,
dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir,
maka dia pun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam
keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya
bahwa dia harus setia dan taat? Baiklah, dia akan bersikap taat.
"Ahh,
Sian-su, malam-malam begini ada apakah? Tadi aku mendengar suara canang dan
mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti aku pun tidur
lagi."
"Canang
itu dipukul untuk mengumpulkan para anggota karena ada laporan dari pengamat di
luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita."
Reaksi Thian
Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang amat setia! Dia sudah
meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. "Kita harus basmi
mereka!"
Dilihatnya
betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan girang
ketika melihat sikapnya ini, lalu Sian-su berkata, "Tidak perlu
tergesa-gesa. Mereka itu tak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap."
"Siapakah
mereka?"
"Ha-ha-ha-ha,
mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang
Tosu."
Diam-diam
Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang
berkepandaian tinggi.
"Apakah
taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?" Thian Sin menggeleng kepalanya.
"Hong-kiam-pang
atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang
mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan.
Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani
memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tidak mungkin mereka dapat menemukan tempat
kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati seluruh
gerak-gerik mereka di luar tebing Goa Tengkorak, ada pun kita akan melanjutkan
pesta pengangkatan seorang anggota atau murid baru."
Thian Sin
merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya di wajahnya yang tetap
tenang. Cahaya matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman,
kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta
siluman itu.
"Murid
baru wanita?"
Pendeta
siluman itu tertawa. "Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap,
dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggota wanita seperti
ini."
Thian Sin
merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya. Ada perasaan tidak enak
menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak
berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh
pendeta siluman ini?
Hampir dia
menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Tetapi dia
membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cerdik untuk dapat
terjebak. Memang besar kemungkinan kalau Kim Hong menyelidiki dan memasuki
sarang ini untuk mencari serta menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum
akan besarnya bahaya apa bila membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong
tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya.
"Marilah,
taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta
malam ini. Ada seorang pengikut baru, yaitu seorang pembesar yang memiliki
kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan
yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci bagi ketujuh dewa yang
mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggota
baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang,
taihiap."
Thian Sin
mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran di puncak bukit di mana sudah
berkumpul para pengikut yang kemarin malam sudah pernah dilihat oleh Thian Sin.
Dan di antara mereka sekarang terdapat seorang pria berpakaian mewah yang
bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit.
Ada tiga
orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat
menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru
yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja.
Seperti juga
kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri
Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung,
paling menarik di antara mereka walau pun mukanya agak pucat dan matanya sayu.
Thian Sin
masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika sampai giliran
anggota atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu,
tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berubah pucat. Dia mengenal
Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun
tipis warna putih.....!
Dengan mata
terbelalak Thian Sin melihat betapa Kim Hong melangkah laksana boneka berjalan
menghampiri Sian-su. Dia masih meragu, apakah Kim Hong tidak bersandiwara? Akan
tetapi kemudian dia teringat bahwa walau pun Kim Hong memiliki kepandaian ilmu
silat yang tak mungkin kalah dibandingkan dengan pendeta siluman itu, akan
tetapi kalau pendeta siluman itu menggunakan ilmu sihir, tentu Kim Hong akan
celaka. Dan agaknya kini gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir.
Untuk
upacara ini, agaknya ketua Jit-sian-kauw itu menggunakan cara lain. Mungkin
saja karena dia tadi telah mengatakan hendak mengangkat anggota baru itu
menjadi pilihannya sebagai murid tersayang, maka kini upacaranya pun berbeda
dengan yang sudah-sudah.
Sesudah Kim
Hong menjatuhkan diri berlutut di hadapan ketua agama itu, Sian-su lantas
memberkahi gadis itu dengan dua tangannya di atas kepala Kim Hong, kemudian
dengan gerakan halus membangunkan dara itu, memegang tangannya dan menuntunnya
ke dekat pondok-pondok emas kecil. Akan tetapi di situ sekarang telah
dihamparkan sebuah kasur dan kini Sian-su membimbingnya dan menyuruhnya
terlentang di atas kasur.
Kim Hong
melakukannya tanpa ragu sedikit pun dan tubuh yang menggairahkan itu, yang
hanya terbungkus gaun tipis sekali, kini sudah terlentang di atas kasur dengan
kedua kaki lurus dan kedua lengan disilangkan di depan perut. Tujuh orang
wanita yang membawa kelinci, pisau dan lain-lain sudah maju berlutut dan
Sian-su kini dengan gerakan perlahan seakan-akan hendak memperlihatkan
pertunjukan yang sangat menarik, mulai membukai kancing depan gaun itu!
Dan memang
pertunjukan itu amat menarik karena para tamu yang hadir segera behenti minum
kemudian memandang dengan mata melotot dan pandang mata penuh nafsu! Jika pada
murid biasa, darah kelinci hanya dikucurkan di atas kepala, maka pada murid
pilihan ini, darah kelinci akan dikucurkan di atas badan yang telanjang!
Ketika
kancing bagian atas membuka gaun dan memperlihatkan dada kekasihnya, Thian Sin
sudah tidak sanggup menahan dirinya lagi. Dengan teriakan melengking panjang
dia meloncat ke tempat itu, lalu mengeluarkan bentakan yang penuh dengan
kekuatan sihir untuk membuyarkan pengaruh sihir atas diri Kim Hong,
"Kim
Hong sadarlah! Engkau berada di tangan musuh-musuh kita!"
Teriakan ini
memang hebat bukan main dan seketika itu Kim Hong terbelalak dan sadar. Akan
tetapi dia masih bingung dan kepalanya terasa pening sehingga ketika pada saat
itu pula Sian-su menggerakkan tangan menotoknya dari jarak yang dekat, dia
tidak mampu mengelak. Kim Hong yang telah bangkit duduk itu roboh kembali dalam
keadaan tertotok.
Sementara
itu, para anak buah Jit-sian-kauw telah menerjang Thian Sin. Memang semua
perlakuan terhadap Kim Hong tadi disengaja oleh Sian-su dalam usahanya unuk
menguji kesetiaan Thian Sin. Ujian terakkir yang tentu saja amat berat bagi
Thain Sin dan pendeta siluman yang amat cerdik itu tahu bahwa andai kata
Pendekar Sadis berpura-pura, maka kepura-puraannya itu tentu akan terbongkar
kalau menghadapi kekasihnya terancam.
Bagaimana
pun juga, ketua Jit-sian-kauw ini masih sangsi dan merasa ragu-ragu apakah
benar Pendekar Sadis dapat ditundukkannya dengan kekuatan sihir karena dia pun
sudah mendengar bahwa selain memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, juga
pendekar itu kabarnya memiliki kepandaian ilmu sihir pula.
Apa bila
pendekar itu tetap taat dan setia kepadanya ketika melihat keadaan Kim Hong,
maka dia bisa merasa yakin bahwa dia telah benar-benar dapat menguasai Thian
Sin dan dapat menarik pendekar itu menjadi pembantunya yang amat menguntungkan.
Tapi kalau pendekar itu hanya pura-pura, maka tentu rahasianya akan tebongkar,
dan untuk itu dia telah mempersiapkan anak buahnya yang semenjak tadi telah
berjaga di situ, mengamati gerak-gerik Pendekar Sadis.
Dan itulah
sebabnya, begitu Thian Sin mengeluarkan suara melengking dan membentak, belasan
anak buah Jit-sian-kauw sudah menghadang dan mengoroyoknya, didahului oleh
sambaran beberapa batang anak panah dari arah samping. Lima batang anak panah
yang dilepas oleh pasukan anak panah dari samping itu disusul pula oleh lima
batang yang lain.
Tetapi lima
batang anak panah pertama itu runtuh semua ketika Thian Sin menggerakkan tangan
kirinya sambil mengerahkan sinkang sehingga ada hawa pukulan menyambar dan meruntuhkan
lima batang anak panah itu sebelum senjata itu dapat menyentuh tubuhnya.
Kemudian, sambil meloncat ke depan dia memapaki lima batang yang lainnya dan
kedua tangannya menangkapi lima batang anak panah ini dan langsung
melontarkannya ke arah lima orang anggota pasukan panah itu.
Terdengar
teriakan-teriakan kesakitan ketika tiga orang di antara mereka itu roboh dengan
dada tertusuk anak panah mereka sendiri, sedangkan dua orang yang lain masih
mampu menghindarkan diri dengan elakan. Akan tetapi, belum lagi Thian Sin
sempat menerjang ke arah Sian-su, dia sudah dikepung dan segera dikeroyok oleh
belasan orang anak buah Jit-sian-kauw yang bertopeng tengkorak.
Mereka semua
telah mengeluarkan berbagai macam senjata dan menyerang dari semua jurusan
dengan niat membunuh karena Sian-su sudah memberi isyarat untuk membunuh lawan
yang sangat tangguh ini, yang ternyata sama sekali tidak pernah terpengaruh
oleh sihirnya dan yang ternyata hanya pura-pura saja menyerah itu.
Kini Thian
Sin benar-benar mengamuk! Melihat kekasihnya terancam penghinaan seperti itu,
kemarahannya memuncak dan Pendekar Sadis segera memperlihatkan kelihaiannya.
Dia tidak mau mengeluarkan pedangnya, melainkan menyambut hujan senjata itu
dengan kedua tangan kosong saja. Akan tetapi tangan kosong yang hebat bukan
kepalang!
Kedua tangan
Thian Sin itu bagai sepasang naga mengamuk saja ketika dia menghadapi
pengeroyokan anak buah Jit-sian-kauw. Dia mengeluarkan semua ilmu yang
dikuasainya untuk menghajar para anggota Jit-sian-kauw itu. Meski mereka itu
terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun di tangan Pendekar
Sadis mereka itu tak ada bedanya seperti segerombolan anak-anak kecil saja.
Seorang
anggota yang agaknya mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, menggunakan
sebatang toya. Ilmu toya Siauw-lim-pai terkenal kuat bukan main, didasari oleh
gerakan yang mengandung tenaga lweekang sehingga ujung toya itu tergetar dan
terlihat menjadi banyak.
Dengan
gerakan mantap serta penuh tenaga, pemegang toya ini menusukkan toyanya ke arah
dada Thian Sin sambil membentak keras. Akan tetapi karena ujung toya itu
tergetar, maka sukarlah untuk diduga apakah benar dada yang diserang itu,
ataukah tenggorokan atau pusar, atau juga lambung kanan kiri. Ada semua
kemungkinan itu dan inilah lihainya permainan toya itu.
Namun Thian
Sin menghadapinya dengan tenang saja, bahkan dia menanti sampai toya itu
mencium tubuhnya dan ternyata ujung toya itu mendarat pada lambungnya yang
kiri. Begitu ujung toya mencium bajunya di lambung, Thian Sin menggerakkan
tangan kirinya yang dimiringkan dan mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang
sepenuhnya itu, membacok ke bawah ke arah toya.
"Krakkk!"
Dan toya itu
patah-patah menjadi tiga potong, kemudian sebelum pemegang toya yang merasa
betapa telapak tangannya berdarah dan terkupas kulitnya itu sempat menguasai
keadaannya, kaki Thian Sin telah menendang sehingga orang itu langsung
terlempar dan terbanting roboh, tidak mampu bangkit kembali.
Thian Sin
masih ingat bahwa besar sekali kemungkinannya para anggota Jit-sian-kauw ini
bergerak di bawah pengaruh sihir atau setidaknya juga kepercayaan yang membabi
buta terhadap Sian-su sehingga mereka itu tidak sadar bahwa mereka telah
membantu orang yang amat jahat. Mungkin sekali para anggota ini sebetulnya
adalah orang baik-baik yang telah terseret karena pandainya Sian-su mengambil
hati dan menundukkan mereka.
Karena itu,
maka Pendekar Sadis ini masih merasa kasihan untuk membunuh mereka dan
tendangannya tadi pun terarah dan terkendalikan sehingga biar pun orang itu tidak
mampu bangkit lagi, namun tidak menderita luka yang dapat merenggut nyawanya,
hanya patah tulang dan salah urat saja.
Anggota yang
memegang toya itu terkenal di antara kawan-kawannya sebagai salah satu di
antara lima murid utama dari Sian-su, maka melihat dia dalam segebrakan saja
roboh, para pengeroyok itu menjadi gentar. Akan tetapi mereka pun kembali
menyerbu dengan berbareng, tidak lagi berani maju satu-satu.
Thian Sin
mengerling dengan ujung matanya. Ia melihat betapa Sian-su masih berdiri dan
hanya menonton pertempuran itu, sedangkan Kim Hong sudah rebah miring tak
bergerak dalam keadaan tertotok. Hatinya menjadi gelisah sekali. Ingin dia
cepat-cepat menyerang Sian-su dan menyelamatkan Kim Hong, apa pun juga yang
akan terjadi. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah kepada para anggota
yang mengepungnya.
Pada saat
dia melihat tosu penghuni kuil yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan
muka, kemarahannya makin memuncak. Dia tidak memperhatikan serangan yang datang
bagaikan hujan itu, melainkan memutar tubuhnya lantas melesat ke arah tosu itu
sambil membentak,
"Tosu
palsu keparat!"
Tubuhnya
disambut oleh banyak senjata, akan tetapi gerakan tangannya yang mendorong
dengan ilmu mukjijat Hok-liong Sin-ciang itu demikian hebatnya sehingga lima
orang yang senjatanya langsung bertemu dengannya itu terjengkang seperti
dilanda angin ribut.
Tosu yang
memakai topeng setan itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Thian Sin.
Akan tetapi sebelum ujung pedangnya sempat mengenai dada lawan, angin pukulan
dari Hok-liong Sin-ciang sudah lebih dulu menyambutnya dan tosu ini
mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terjengkang lantas terbanting
sedemikian kerasnya sehingga dia pun tidak berkutik, pingsan dan hampir mati
kalau saja tadi Thian Sin tidak menahan tenaganya!
Gegerlah
keadaan di ruangan atas itu. Beberapa orang tamu yang memiliki kepandaian silat
langsung melangkah maju hendak membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Sian-su
cepat memberi isyarat sehingga mereka itu hanya berkumpul di belakang Sian-su,
dengan senjata di tangan.
Sikap mereka
sudah jelas hendak melindungi dan membantu Sian-su jika Pendekar Sadis berusaha
menyerang ketua agama ini! Mereka itu rata-rata telah bersumpah setia kepada
Sian-su, tentu saja dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan menikmati
kesenangan dunia akhirat!
Pengeroyokan
semakin ketat, akan tetapi Thian Sin kini sudah menjadi marah betul. Dia ingin
segera menyerang Sian-su dan membebaskan Kim Hong, namun ulah para anggota
Jit-sian-kauw yang menghalanginya ini amat mengganggunya.
Maka
tiba-tiba dia mengeluarkan pekik nyaring dan membiarkan dirinya menjadi sasaran
banyak senjata. Akan tetapi, bukan dia yang terluka atau berteriak kesakitan,
sebaliknya malah belasan orang itu kini terbelalak dan berteriak-teriak minta
dilepaskan.
"Lepaskan
aku...! Lepaskan aku...!"
"Lepaskan...
aaahhh...!"
Belasan
orang itu membetot-betot senjata mereka yang menempel pada tubuh Pendekar
Sadis, akan tetapi makin kuat mereka membetot, semakin kuat pula senjata itu
melekat! Thian Sin telah menggunakan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng, yaitu ilmu
sinkang yang sudah sampai di puncak kekuatannya sehingga dapat menyedot tenaga
sinkang lawan melalui senjata atau tangan yang menempel pada tubuhnya. Tenaga
dalam mereka itu membanjir keluar melalui gagang senjata masing-masing dan
terasa disedot oleh kekuatan yang luar biasa besarnya!
Melihat
keanehan ini, Sian-su dan para pengikutnya memandang dengan mata terbelalak dan
pendeta siluman itu merasa tengkuknya meremang. Belum pernah selama hidupnya
dia berhadapan dengan seorang yang seperti itu lihainya. Dia pernah mendengar
tentang ilmu menyedot tenaga lawan ini, akan tetapi menganggap bahwa ilmu itu
hanya dibesar-besarkan saja dan semacam dongeng.
Akan tetapi
sekarang, biar pun tidak mengalaminya sendiri, dia telah menyaksikan betapa
anak buahnya menjadi korban ilmu mukjijat itu. Dia sendiri mengerti bagaimana
sebaiknya menghadapi ilmu menyedot yang berbahaya itu, akan tetapi dia sudah
melihat keadaan yang lebih mudah dari pada harus mati-matian mencoba untuk
menundukkan Pendekar Sadis dengan kekerasan.
"Hyaaaattt...!"
tiba-tiba Pendekar Sadis memekik.
Belasan
orang yang tenaganya tersedot olehnya, yang mukanya mulai pucat dan gerakan
mereka untuk meronta makin lemah, segera terlempar ke kanan kiri dan jatuh
terbanting di atas lantai, mengeluh dan tidak kuat untuk berdiri lagi. Mereka
ini harus mengumpulkan tenaga dan hawa murni lebih dulu untuk memulihkan
kekuatan.
Dengan mata
mencorong seperti mata seekor naga sakti, Thian Sin kini melangkah maju
perlahan-lahan. Para anggota Jit-sian-kauw yang belum roboh masih mengepungnya
dan ikut bergerak melangkah, akan tetapi tidak berani terlalu dekat. Muka
mereka pucat dan jelas terbayang di wajah mereka betapa hati mereka jeri
menghadapi pendekar yang luar biasa ini.
"Berhenti,
Ceng Thian Sin!" Tiba-tiba Sian-su membentak.
Thian Sin
tersenyum mengejek. "Tak perlu menggertakku dengan ilmu sihirmu yang tidak
manjur itu, siluman!"
"Berhenti
atau pedangku akan menembus jantungnya!" Tiba-tiba Sian-su menggerakkan
sebatang pedang dengan ujung pedang itu sudah menempel pada kulit putih di dada
Kim Hong yang terbuka, tepat di antara kedua bukit dadanya.
Melihat hal
ini, seketika Thian Sin menghentikan langkahnya dan matanya mengeluarkan cahaya
kilat. Topeng tengkorak itu tersenyum lebar, penuh ejekan.
"Hemm,
kau lihat, aku masih menguasaimu, Pendekar Sadis. Memang engkau hebat dan gagah
perkasa, akan tetapi belum tentu aku kalah olehmu."
"Pendeta
jahanam! Kalau memang engkau seorang lelaki sejati dan jantan tulen, jangan
mengancam orang yang sudah tidak berdaya karena kecuranganmu! Hayo lawanlah aku
sebagai laki-laki, atau kau bebaskan Kim Hong lalu melawannya tanpa
kecurangan!"
"Ha-ha-ha,
menggunakan tenaga sesedikit mungkin untuk mencapai kemenangan adalah sikap
cerdik dan bijaksana. Kalau engkau berkeras, aku akan bunuh wanita ini lebih
dulu, berarti aku sudah menang separuh. Kecuali kalau engkau menyerah..."
"Hemmm,
engkau hendak memaksaku dengan mengancam nyawa Kim Hong. Baik, kalau aku
menyerah lalu apa yang hendak kau lakukan? Tidak urung engkau akan membunuh
kami berdua juga!" Thian Sin mengepal tinjunya. "Dari pada aku
melakukan kebodohan itu, menyerahkan diri untuk akhirnya kau bunuh juga bersama
Kim Hong, lebih baik aku membiarkan kau membunuh Kim Hong lalu engkau... hemm..
Pendekar Sadis akan hidup kembali, akan menjadi paling sadis di antara semua
kesadisan yang pernah dilakukannya untuk menyiksamu!"
Tanpa
disadarinya, pendeta siluman itu merasa betapa tengkuknya langsung meremang dan
jantungnya berdebar-debar. Sungguh mengerikan mendengar kata-kata dari pemuda
tampan itu dan dia dapat merasakan bahwa ucapan itu bukanlah ancaman belaka.
Orang ini harus dienyahkan, harus dibasmi. Kalau tidak, selama hidupnya dia
akan terancam.
"Aku
bukan orang bodoh, Pendekar Sadis. Aku berjanji, kalau engkau menyerahkan diri
tanpa melawan, aku tidak akan membunuh kalian."
"Lekas
katakan, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami kalau aku tidak melawanmu
dengan kekerasan!"
"Apa
yang hendak kami lakukan adalah urusan kami. Akan tetapi kalau engkau menyerah
tanpa kekerasan, atas nama Jit-sian-kauw, atas nama Dewa Kematian, aku
bersumpah untuk tidak membunuh Toan Kim Hong dan Ceng Thian Sin!"
Diam-diam
Thian Sin mengerti bahwa apa bila dia menyerah, berarti dia mempertaruhkan
nyawanya dan nyawa Kim Hong. Akan tetapi, dia percaya bahwa pendeta siluman itu
tak mungkin akan berani melanggar sumpahnya setelah bersumpah demi nama
Jit-sian-kauw dan Dewa Kematian, apa lagi disaksikan oleh semua pengikutnya.
"Sumpahmu
disaksikan oleh para tamu yang hadir saat ini!" kata Thian Sin menekan.
"Benar,
disaksikan oleh para tamu terhormat. Kami bukan golongan pengecut yang suka
melanggar janji!" kata Sian-su dengan suara dibikin gagah.
"Baiklah,
aku menyerah." Thian Sin berpendapat bahwa yang paling penting untuk saat
itu adalah keselamatan dan keamanan mereka berdua. Soal nanti selanjutnya,
biarlah, tentu akan ada jalan lain. "Akan tetapi, engkau harus menyingkirkan
Kim Hong dari sini dahulu. Biarkan dia mengaso dan jangan mengganggunya selama
sehari semalam! Kalau engkau tidak mau berjanji seperti itu, sampai mati aku
tidak akan mau menyerah dan kita lihat saja, siapa yang akan binasa dalam
pertempuran di antara kita!"
Ketua
Jit-sian-kauw itu mengerti bahwa kalau pemuda itu mau menyerah, semata-mata
adalah karena pemuda itu tidak ingin melihat Kim Hong mati. Dan dia sendiri pun
tidak berniat untuk membunuh Kim Hong. Sama sekali tidak. Dia mempunyai rencana
sendiri terhadap diri Kim Hong.
Dia sudah
mendengar bahwa dara itu memiliki ilmu silat yang tidak kalah lihainya kalau
dibandingkan dengan Pendekar Sadis. Oleh karena itu, biarlah dia kehilangan
Pendekar Sadis sebagai pembantu, asalkan berhasil membuat gadis lihai itu
menjadi pembantunya, juga kekasihnya yang baru. Kecantikan Kim Hong telah
menarik hatinya dan dia pun bisa menguasai gadis itu dengan ilmu sihir, tidak
seperti Pendekar Sadis yang kebal ilmu sihir.
"Baiklah,
Pendekar Sadis. Aku berjanji bahwa selain aku tidak akan membunuh kalian
berdua, juga nona Toan Kim Hong akan dirawat baik-baik, dibiarkan beristirahat
dan tidak akan mengganggunya selama sehari semalam. Nah, aku berjanji,
disaksikan semua tamu terhormat!"
Thian Sin
melihat betapa tubuh Kim Hong yang masih lemas tertotok itu diangkut pergi oleh
empat orang penari wanita setelah pendeta siluman itu memberikan perintahnya.
Dia pun lalu melemaskan tubuhnya.
"Aku
menyerah."
"Kami
masih sangsi akan ketulusanmu, maka dengan terpaksa kami akan membelenggu kaki
tanganmu," kata Sian-su.
Thian Sin
mengangguk. Dia pun tidak memberontak dan mandah saja ketika dua orang anggota
Jit-sian-kauw mendekatinya lantas membelenggu kedua tangannya ke belakang, juga
kedua kakinya. Tiba-tiba saja sehelai sapu tangan ditutupkan ke mukanya. Thian
Sin mencium bau keras dan dia pun tak sadarkan diri oleh obat bius yang amat
kuat.
***************
Orang-orang
Hong-kiam-pang merasa marah dan sakit hati sekali pada waktu mendengar bahwa
dua orang murid mereka yang terkenal, yaitu Cia Kok Heng dan Kwee Siu, tewas di
dalam tangan Siluman Goa Tengkorak. Mereka langsung mengadakan rapat darurat,
memanggil semua tokoh murid mereka. Rapat itu dipimpin oleh dua orang pemimpinnya
yaitu Im Yang Tosu yang menjadi ketuanya dan Bu Beng Tojin yang menjadi
pembantu utama atau wakil ketuanya.
Im Yang Tosu
adalah seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus dan
pendek, akan tetapi wajahnya masih nampak segar dan gerakannya juga masih
lincah. Tosu ini adalah tokoh Kun-lun-pai, maka tentu saja dia paling berhak
untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai. Ilmu
kepandaiannya tinggi dan wataknya keras walau pun telah berpuluh tahun dia menjadi
pendeta Agama To.
Wakilnya
yang berjuluk Bu Beng Tojin adalah seorang pendeta pula, yang bertubuh tinggi
kurus dan bermata tajam. Dia bersikap lemah lembut dan berwatak pendiam. Akan
tetapi dia merupakan seorang pembantu yang amat baik, bahkan hampir semua
urusan luar dari Hong-kiam-pang berada di dalam pengawasannya.
Seperti juga
Im Yang Tosu, tentu saja Bu Beng Tojin ini sangat mahir dalam memainkan Ilmu
Pedang Hong-kiam-sut. Akan tetapi berbeda dengan Im Yang Tosu yang memang
merupakan murid yang pandai dari Kun-lun-pai, sebaliknya Bu Beng Tojin ini
bukan murid Kun-lun-pai, melainkan ahli dalam pelbagai cabang ilmu silat
berbagai aliran.
Akan tetapi,
sesudah diuji oleh Im Yang Tosu sendiri, ternyata kepandaian Bu Beng Tojin ini
amat lihai, bahkan hanya sedikit di bawah tingkat Im Yang Tosu. Oleh karena itu
maka dia dipercaya dan diangkat sebagai pembantu utama atau boleh dibilang juga
wakil ketua.
Dalam banyak
urusan, usul-usulnya selalu baik dan dapat diterima. Di dalam menghadapi
Siluman Goa Tengkorak sekali pun, Im Yang Tosu sudah menyerahkan kepada
wakilnya untuk mengatur bagaimana baiknya untuk membalas kematian dua orang
murid mereka.
"Sesungguhnya
memang serba susah," kata Bu Beng Tojin dalam rapat itu ketika ditanyai
pendapatnya. "Perkumpulan kita selalu berusaha menjauhkan diri dari
permusuhan. Akan tetapi dua orang murid kita tewas dan tentu saja kita tidak
dapat membiarkan kematian itu lewat tanpa terbalas. Cuma ada satu hal yang
harus diselidiki dengan teliti, apakah benar kedua orang murid kita itu tewas di
tangan orang yang berjuluk Siliman Goa Tengkorak itu."
Suheng-nya,
Im Yang Tosu, menarik napas panjang. "Siancai...! Sebenarnya pinto sendiri
tidak menghendaki adanya permusuhan antara Hong-kiam-pang dengan pihak mana pun
juga. Dan di dunia ini banyak terdapat orang jahat yang memenuhi pemukaan bumi,
tidak mungkin kalau Hong-kiam-pang lantas harus memusuhi dan berusaha membasmi
semua penjahat itu. Maka kita pun tidak pernah ikut mencampuri urusan Siluman
Goa Tengkorak selama dia juga tidak mengganggu kita. Akan tetapi, Tujuh
Pendekar Tai-goan adalah murid-murid kita, dan terutama sekali Cia Kok Heng dan
Kwee Siu yang langsung adalah murid-murid pinto sendiri. Tidak dapat disangkal
lagi bahwa tentu Siluman Goa Tengkorak yang membunuh mereka. Bukankah isteri
Kok Heng juga telah diculiknya?"
Bu Beng
Tojin segera menarik napas panjang. "Tidak ada akibat tanpa sebab, dan
itulah hukum alam! Mungkin isteri Kok Heng terlalu cantik maka dia diculik, dan
dua orang murid kita itu tewas karena mereka menggunakan kekerasan. Lalu
sekarang apa yang suheng kehendaki dalam menghadapi urusan ini?"
"Bukan
hanya demi nafsu mendendam, sute, akan tetapi juga untuk membersihkan nama kita
sekalian membersihkan dunia dari gangguan siluman itu. Kita harus menyerbu Goa
Tengkorak dan membasmi siluman itu. Untuk ini, pinto serahkan siasatnya
kepadamu."
Bu Beng
Tojin mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, suheng. Aku akan membawa anak
murid kita dan menyelidiki keadaan Goa Tengkorak. Suheng tenang-tenang sajalah
di sini menanti berita dari kami."
Demikianlah,
pada malam hari bulan purnama itu, Bu Beng Tojin membawa para anak murid
Hong-kiam-pang yang terkumpul sebanyak dua puluh lima orang menuju ke daerah
Goa Tengkorak lantas melakukan penyelidikan. Semua goa dimasuki dan diobrak-abrik.
Akan tetapi mereka tak menemukan sesuatu apa pun kecuali goa-goa kosong yang
sunyi dan menyeramkan.
"Kalian
semua menjaga di depan goa, dan sebagian lagi melakukan penyelidikan sambil
meronda. Pinto sendiri diam-diam akan menyelinap ke belakang bukit, siapa tahu
siluman itu akan melarikan diri dari jalan rahasia di belakang bukit. Kalian
tak boleh meninggalkan tempat ini sebelum pinto datang kembali." Demikian
Bu Beng Tojin berpesan kepada para murid Hong-kiam-pang, agaknya hendak
mempergunakan siasat menggeprak dari depan dan membiarkan musuh lari lewat
pintu belakang tetapi dia sudah menanti di sana untuk menyergapnya!
Dengan
pedang telanjang di tangan, para murid Hong-kiam-pang itu berjaga-jaga dengan
penuh kewaspadaan. Mereka percaya akan kelihaian ji-suhu mereka, akan tetapi
betapa pun juga mereka merasa ngeri pula di tempat yang sunyi menyeramkan ini.
Apa lagi kalau mereka ingat betapa Tai-goan Jit-hiap, Tujuh Pendekar Tai-goan
yang kesemuanya amat lihai itu tewas di tangan siluman ini! Dan ji-suhu mereka
itu pergi begitu lamanya.
Sampai lewat
tengah malam belum juga kakek itu kembali dan mereka tidak berani pergi
meninggalkan tempat itu seperti yang sudah dipesan oleh ji-suhu mereka.
Padahal, selagi berjaga tadi, mereka mendengar suara-suara aneh, seperti
dengung suara musik suling, yang-kim dan canang dipukul, dari tempat jauh
sekali, kadang-kadang seperti terdengar keluar dari jurang-jurang terbawa
angin.
Padahal
mereka tahu pasti bahwa di sekitar tempat itu tidak ada dusun, dan suara musik
itu juga bukan musik dusun, melainkan musik halus yang biasanya hanya terdapat
di kota besar. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin ngeri sebab suara itu
agaknya datang dari alam lain yang didatangkan oleh siluman-siluman!
Tentu saja
para anak murid Hong-kiam-pang ini tak pernah menduga sama sekali bahwa suara
musik itu memang keluar dari jurang karena jurang-jurang itu merupakan
‘jendela’ dari tempat rahasia yang berada di balik bukit goa-goa itu, di dalam
bukit yang bertebing tinggi itu.
Mereka tidak
pernah menyangka bahwa di balik goa-goa itu sedang dilangsungkan pesta
gila-gilaan, pesta yang penuh kecabulan di mana nafsu birahi diumbar dan
dilampiaskan begitu saja secara liar tanpa mengenal malu-malu lagi. Juga pada
malam hari itulah Thian Sin terpaksa menyerahkan diri karena hendak
menyelamatkan Kim Hong. Akan tetapi dia lengah dan tidak memperhitungkan
kecerdikan ketua Jit-sian-kauw itu.
Ketika dia
membiarkan dirinya dibelenggu, merasa yakin bahwa tidak ada belenggu yang akan
dapat menahannya, dan selagi dia mencurahkan perhatiannya kepada orang-orang
yang membelenggunya, tanpa disangka-sangka dia sudah diserang oleh Sian-su
dengan mempergunakan sapu tangan yang mengandung obat bius yang amat kuat
sehingga dia pingsan.
Malam itu
semakin larut dan suasana menjadi makin sunyi. Di luar daerah Goa Tengkorak itu
terasa makin sunyi melengang, sedangkan di dalam tempat rahasia milik
perkumpulan Jit-sian-kauw itu pun sudah mulai sunyi karena semua tamunya sudah
mulai membawa pasangan mereka, masing-masing ke tempat menyendiri supaya dapat
berasyik-masyuk tanpa terganggu.
Lampu-lampu
telah dipadamkan dan diganti dengan lampu-lampu yang dibungkus dengan kain
berwarna-warni sehingga suasana menjadi amat romantis dan cocok sekali bagi
para pasangan itu untuk melampiaskan nafsu birahi masing-masing sesuka hati
mereka. Ganti-berganti pasangan pun terjadilah dan pesta gila itu akan
berlangsung sampai matahari terbit pada esok harinya, setelah tubuh mereka
tidak mengijinkan lagi untuk melanjutkan pesta-pora pelampiasan nafsu itu.
Teriakan
yang sangat mengejutkan para murid Hong-kiam-pang itu terjadi lewat tengah
malam. Mereka mengenal suara ji-suhu mereka dari balik bukit.
"Anak-anak...
ke sinilah dan cepat bantu pinto!" Demikian ji-suhu mereka itu
berteriak-teriak dan mereka mendengar suara desir angin pukulan, tanda bahwa
ji-suhu mereka itu sedang berkelahi.
Dan kalau
ji-suhu mereka itu sampai berteriak minta bantuan, hal itu tentu berarti bahwa
lawannya sungguh seorang yang luar biasa lihainya. Berbondong-bondong dua puluh
lima orang itu segera berlari ke arah tempat itu.
Dan di bawah
sinar bulan purnama yang sudah mulai condong ke langit barat itu mereka melihat
bahwa ji-suhu mereka benar-benar sedang bertanding melawan seorang laki-laki
yang memakai topeng tengkorak serta berpakaian serba putih dengan lukisan
tengkorak darah pada bagian dada. Siluman Goa Tengkorak! Mereka melihat betapa
ji-suhu mereka kini sedang mengadu tenaga sinkang dengan siluman itu, dua
pasang tangan mereka itu saling lekat dan saling dorong!
Para murid
itu berhenti dan memandang dengan bingung. Mereka semua maklum bahwa bila
ji-suhu mereka sedang mengadu sinkang seperti itu, mereka tak boleh mengganggu.
Selain tenaga sinkang mereka masih belum mencapai tingkat setinggi tingkat
suhu-nya, juga campur tangan mereka dapat membahayakan keselamatan ji-suhu
mereka sendiri. Maka mereka hanya mendekat dan mengepung saja, siap-siap dengan
pedang di tangan untuk membantu kalau keadaan mengijinkan.
Tiba-tiba terdengar
Bu Beng Tojin mengeluarkan bentakan nyaring. Dia mendorong dan... lawannya itu
roboh terpental dan terpelanting. Melihat hal ini, para murid Hong-kiam-pang
segera menubruk ke depan dan hendak menggerakkan pedang mereka untuk menyerang
tubuh orang bertopeng yang sudah roboh itu.
"Tahan!
Biarkan pinto menangkapnya!" teriak Bu Beng Tojin mencegah para murid itu
dan kakek ini lalu menubruk ke depan, monotok beberapa jalan darah lawannya
yang seketika menjadi lemas dan lumpuh. "Keluarkan belenggu dan belenggu
kaki tangannya. Jangan sakiti atau bunuh dia, biar kita membawanya menghadap
suheng!"
Bukan main
girangnya hati para murid Hong-kiam-pang melihat betapa orang bertopeng
tengkorak itu sudah roboh pingsan. Mereka lalu membelenggu dan menelikungnya
seperti seekor babi hendak disembelih, dan beramai-ramai mereka menggotong
orang tawanan ini turun dari tebing. Bu Beng Tojin melarang mereka membuka
topeng yang menutupi muka orang itu.
"Inikah
orang yang dinamakan Siluman Goa Tengkorak, ji-suhu?" tanya mereka kepada
Bu Beng Tojin ketika mereka beramai pulang dengan hati gmbira karena kemenangan
itu.
"Siapa
lagi kalau bukan dia ini? Dia lihai sekali, hampir pinto kewalahan
menghadapinya. Untung pada saat terakhir kalian datang sehingga perhatiannya tertarik
dan sedikit banyak dia merasa terkejut dan khawatir. Hal itu telah mengurangi
tenaga sinkang-nya sehingga memungkinkan pinto untuk mengalahkannya. Pantas dia
dapat merajalela dan mengacau karena memang ilmu kepandaiannya luar biasa
lihainya."
"Susiok,
kenapa kita tidak bunuh saja iblis ini agar arwah toa-suheng dan ji-suheng
dapat menjadi tenang?" seorang pemuda berkata dengan sikap penasaran.
Pemuda ini adalah murid Im Yang Tosu ketua Hong-kiam-pang.
Ketua ini
mempunyai lima orang murid, dan murid pertama dan ke dua adalah mendiang Cia
Kok Heng dan Kwee Siu. Pemuda itu adalah murid ke tiga, maka dia menyebut
susiok kepada Bu Beng Tojin.
"Bersabarlah,
kita tunggu saja keputusan dari gurumu," jawab Bu Beng Tojin.
Malam sudah
hampir terganti pagi ketika mereka tiba di kuil mereka, disambut oleh para
murid lain yang menjadi tegang dan gembira, juga ingin tahu sekali ketika
mendengar bahwa Bu Beng Tojin telah berhasil menawan Siluman Goa Tengkorak!
Bu Beng
Tojin melemparkan tubuh siluman itu ke atas lantai ruangan depan. Para murid
Hong-kiam-pang mengepung tempat itu dan sebagian lagi melapor ke dalam. Karena
Im Yang Tosu sedang semedhi, maka mereka tidak berani mengganggu dan menanti
sampai tosu tua itu selesai dengan semedhinya, sementara itu mereka
mendengarkan Bu Beng Tojin menceritakan pengalamannya.
"Memang
malam tadi menggelisahkan sekali ketika menunggu, sendirian di balik bukit itu.
Tetapi pinto yakin bahwa penjahat itu tentu akan keluar juga. Kita telah
mempergunakan siasat mengancam di depan pintu dan membiarkan harimau lolos dari
belakang. Apa bila pinto membawa semua murid ke belakang, tentu dia tak akan
berani keluar. Pinto sendiri bersembunyi dan membiarkan dia menyangka bahwa
semua orang menyerbu dari depan. Dan akhirnya dia pun berkelebat keluar dari
balik semak-semak yang pinto kira tentulah merupakan jalan rahasianya. Nah,
pinto lalu menyergapnya, tetapi pinto sama sekali tidak menyangka bahwa dia
memang lihai bukan main sehingga pinto tidak segera memangil kalian. Akan tetapi
masih untung bahwa akhirnya pinto berhasil..." Tiba-tiba Bu Beng Tojin
menghentikan kata-katanya dan menoleh ke luar dengan sikap kaget sekali.
Semua orang
cepat menoleh dan juga terkejut karena tiba-tiba saja bagaikan munculnya setan,
di pekarangan depan itu sudah berdiri seorang yang berpakaian putih-putih
dengan sulaman tengkorak darah di dadanya, dan mukanya juga mengenakan topeng
tongkorak! Keadaan orang itu persis dengan siluman yang sudah ditelikung dan
kini rebah miring di atas lantai, hanya orang yang baru datang ini tubuhnya
agak lebih kecil.
Dengan
kecepatan kilat yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tiba-tiba siluman yang
baru datang ini menyambitkan sesuatu ke arah siluman yang terbelenggu.
"Takk!
Takk!"
Dua buah
benda hitam menyambar lantas mengenai punggung serta leher siluman yang
terbelenggu itu. Siluman ini nampak berkelojotan sedikit lalu diam dan dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Bu Beng Tojin beserta para murid
Hong-kiam-pang ketika melihat bahwa siluman tawanan itu agaknya telah tewas
karena mukanya mendadak pucat sekali dan napasnya pun terhenti! Bu Beng Tojin
marah bukan main.
"Keparat
jahanam engkau!" Dan tosu yang bertubuh tinggi kurus ini sekali bergerak
sudah meloncat ke depan, dan langsung menyerang siluman yang bertubuh kecil
itu.
Akan tetapi
bisa dibayangkan betapa kagetnya ketika siluman itu berkelebat dan sejenak
lenyap dari pandang matanya, lalu tiba-tiba saja siluman itu yang telah berada
di sebelah kirinya mengirim tamparan ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Bu Beng
Tojin menangkis dan dia merasa lebih kaget lagi. Tubuhnya terdorong mundur oleh
tangkisan itu dan kembali siluman itu telah menyerang dengan tendangan kilat
yang memaksa tosu itu untuk meloncat mundur.
Sekarang
para murid Hong-kiam-pang sudah berloncatan datang, lantas serentak mereka
menggunakan pedang untuk menyerang. Tadinya mereka memang merasa bingung dan
hanya termangu-mangu melihat kemunculan seorang siluman lain lagi itu, akan
tetapi kini mereka sadar bahwa yang disebut Siluman Goa Tengkorak tentu
merupakan gerombolan yang memiliki banyak anggota dan semuanya mengenakan
pakaian dan topeng seperti itu. Maka mereka pun sudah menerjang dengan marah.
Akan tetapi
siluman itu memang lincah bukan main dan memiliki ginkang yang luar biasa.
Tubuhnya cepat berkelebat ke sana-sini seolah-olah dapat menyelinap di antara
sambaran pedang-pedang itu. Dia sama sekali tidak gugup biar pun dikeroyok
banyak orang, bahkan ketika Bu Beng Tojin sendiri juga sudah terjun dan
menyerangnya.
"Siancai...
kiranya siluman ini berani pula mengacau di tempat pinto!" Terdengar
bentakan halus yang disusul dengan suara mencicit seperti tikus terjepit, lalu
ada sinar menyambar amat dahsyatnya.
"Ehhh...!"
Siluman itu mengeluarkan seruan kaget.
Akan tetapi
biar pun pedang yang digerakkan oleh Im Yang Tosu itu amat hebat, ia masih
sempat melempar tubuhnya ke belakang dan dengan cara membuat poksai (salto)
hingga lima kali, dia berhasil menghindarkan diri dari serangan sinar pedang
yang bertubi-tubi itu. Akan tetapi kakek tua itu sungguh lihai bukan main
permainan pedangnya, karena sinar pedang itu bergulung-gulung dan dapat
mengirimkan serangan secara terus-menerus dan sambung-menyambung.
Diam-diam
ketua Hong-kiam-pang itu terkejut bukan main. Baru sekarang ini permainan
pedangnya selalu gagal walau pun dia sudah mengeluarkan jurus-jurus pilihan.
Siluman itu gesit bukan main dan gerakannya lebih cepat dari pada sambaran
sinar pedangnya!
Sementara
itu, Bu Beng Tojin sudah meloncat mendekati siluman yang terbelenggu dan dengan
sekali renggut dia telah melepaskan topeng tengkorak yang dipakai oleh siluman
itu. Nampaklah wajah yang tampan dari Ceng Thian Sin!
"Pendekar
Sadis...!" teriak Bu Beng Tojin dengan suara terkejut dan heran. "Dia
adalah Ceng Thian Sin, Pendekar Sadis...!" Sambil berkata demikian, dia
meloncat ke belakang.
Semua orang
menjadi terkejut. Para anak buah Hong-kiam-pang telah mendengar tentang
Pendekar Sadis dan tentu saja mereka kaget bukan main mendengar bahwa orang
yang menyamar sebagai Siluman Goa Tengkorak itu adalah Pendekar Sadis!
Bahkan Im
Yang Tosu sendiri kaget bukan kepalang mendengar seruan pembantunya itu
sehingga serangannya terhadap siluman kedua yang tadinya gencar menjadi
berkurang. Kesempatan ini digunakan oleh siluman ke dua itu untuk meloncat ke
samping, menjauh dan terdengar seruannya nyaring.
"Thian
Sin, mari pergi!"
Para anak
buah Hong-kiam-pang yang ingin sekali menyaksikan sendiri wajah siluman yang
oleh Bu Beng Tojin dikatakan sebagai Pendekar Sadis itu, mendekati dan merubung
Thian Sin yang sudah mulai menggerakkan kedua matanya.
Sambitan dua
buah kerikil hitam yang mengenai jalan darahnya tadi sudah membebaskan dirinya
dari totokan, akan tetapi karena pengaruh obat bius itu masih membuatnya nanar,
maka baru sekarang dia mulai sadar benar-benar. Begitu mendengar suara yang
sangat dikenalnya itu, yang mengajaknya pergi, dia merasa seakan-akan kepalanya
baru disiram air dingin sehingga seketika dia menjadi sadar sepenuhnya.
Dalam satu
detik saja tahulah dia bahwa dia dalam bahaya, bahwa kedua kaki tangannya
terbelenggu. Cepat dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam kedua
kaki dan tangannya, lantas sekali dia mengerahkan tenaga itu dan menggerakkan
kaki tangannya, maka terdengarlah suara keras dan semua belenggu itu pun
patah-patah!
Para anak
buah Hong-kiam-pang terkejut dan mereka pun jadi ragu-ragu apa yang harus
mereka lakukan setelah melihat kenyataan bahwa yang menjadi Siluman Goa
Tengkorak adalah Pendekar Sadis!
"Siancai...!
Pendekar Sadis telah menjadi Siluman Goa Tengkorak dan membunuhi murid
Hong-kiam-pang? Pinto harus membuat perhitungan!" Im Yang Tosu berseru
marah.
Dan kakek
ini sudah menerjang lagi ke arah siluman ke dua dengan dahsyat, dibantu oleh
murid-muridnya, ada pun Bu Beng Tojin juga sudah mencabut pedangnya dan
menyerang Thian Sin.
"Totiang,
telah terjadi kesalah pahaman besar..." Thian Sin yang sudah meloncat
bangun dan cepat mengelak ketika pedang di tangan Bu Beng Tojin menyambar,
mencoba untuk membantah dan menjelaskan.
"Siluman
busuk, tutup mulutmu!" bentak Bu Beng Tojin yang juga sudah marah sekali
lalu dia mempercepat permainan pedangnya, dibantu pula oleh para murid
Hong-kiam-pang.
"Thian
Sin, tidak perlu berbantahan lagi. Lari...!" Siluman ke dua itu kembali
berteriak dan dengan gerakan kilat dia sudah merobohkan seorang pengeroyok
dengan tendangannya, kemudian dia meloncat dan pergi meninggalkan tempat itu,
diikuti oleh Thian Sin.
"Kejar!
Tangkap...!" Bu Beng Tojin berteriak.
Semua orang
Hong-kiam-pang yang merasa marah dan penasaran itu segera melakukan pengejaran,
namun mereka tidak mampu menyusul Thian Sin dan temannya yang sudah mengerahkan
ginkang mereka dan melarikan diri secepatnya. Setelah para pengejar tidak
nampak lagi, barulah mereka berdua berhenti kemudian siluman tengkorak yang
bertubuh ramping itu membuka topengya.
"Kim
Hong...!"
"Thian
Sin...!"
Segera
mereka berdua saling rangkul dan saling cium dengan hati penuh kerinduan dan
kegembiraan melihat bahwa keduanya akhirnya dapat bertemu dalam keadaan
selamat. Setelah puas melampiaskan rasa rindu dan gembira di hati
masing-masing, Thian Sin lalu menggandeng tangan Kim Hong dan mengajaknya duduk
di atas batu besar.
"Nah,
sekarang ceritakan bagaimana engkau tiba-tiba dapat muncul di sini dan menyamar
sebagai Siluman Goa Tengkorak pula," kata Thian Sin sambil mengelus
punggung tangan kekasihnya.
Kim Hong
lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak dia pergi mencari jejak dan
menyusul Thian Sin ke daerah Goa Tengkorak sampai dia terjebak dan tertawan
karena terpengaruh oleh kekuatan sihir dari Sian-su atau ketua dari perkumpulan
Jit-sian-kauw atau Siluman Goa Tengkorak.
Seperti kita
ketahui, dara ini berada dalam keadaan tidak sadar sesudah dia tersihir dan
hendak dijadikan anggota baru dalam upacara pengangkatan anggota baru, bahkan
dia terpilih sebagai calon jodoh dari Sian-su sendiri! Ketika dia bertemu
dengan Thian Sin di dalam sarang Siluman Goa Tengkorak, dia sama sekali tidak
dapat mengenali Thian Sin karena dia berada di dalam keadaan tersihir, bahkan
ketika Thian Sin mengamuk, dia pun tidak tahu dan hanya memandang dengan
bingung saja.
Akan tetapi,
ketika Kim Hong hendak dibawa pergi, diam-diam Thian Sin mengerahkan segala
kekuatan batinnya, menggunakan kepandaian sihirnya untuk membebaskan dara itu
dari pengaruh sihir dan meski pun secara perlahan-lahan, Kim Hong mulai sadar
ketika dia dibawa pergi!
"Aku
tidak tahu apa yang terjadi dan ketika aku sadar, aku telah berada di dalam
sebuah kamar yang amat indah, dilayani oleh tiga orang gadis cantik sebagai
dayang. Ketika aku teringat bahwa aku sudah terjebak dan tertawan, aku bangkit
dan melihat bahwa di luar kamar itu terdapat beberapa orang pria yang memakai
pakaian dan topeng Siluman Goa Tengkorak. Aku hendak mengamuk, akan tetapi pada
saat itu pintu kamar terbuka dan di luar kamar nampak laki-laki tinggi yang
agaknya menjadi kepala gerombolan itu..."
"Itulah
ketua Jit-sian-kauw atau yang disebut dengan sebutan Sian-su!" kata Thian
Sin.
"Iblis
itu menunjuk kepadamu yang kulihat dalam keadaan pingsan, sambil menodongkan
pedangnya ke lehermu. Dia mengancam bahwa kalau aku memberontak, maka lebih
dulu dia akan membunuhmu, dan dia pun mengatakan bahwa dia sudah mengancammu
kalau engkau memberontak, maka lebih dahulu dia akan membunuhku. Karena engkau
sedang tidak berdaya dan dia berjanji bahwa dia tidak akan membunuh kita
berdua, aku bersabar diri dan engkau pun dibawa pergi. Aku terus menjaga
kesehatanku dengan makan setelah yakin bahwa makanan itu tidak dicampuri obat
bius. Aku mulai percaya bahwa agaknya Sian-su itu tidak berniat buruk dan
benar-benar hendak bersahabat dengan kita."
"Hemm,
dia menipumu. Dia menghendaki engkau menjadi isteri dan pembantunya," kata
Thian Sin gemas.
"Aku
pun baru malam tadi mendengar tentang hal itu. Seorang wanita berlari-lari
masuk ke kamarku sambil menangis, tetapi beberapa orang penjaga bertopeng
tengkorak yang berada di luar kamar hendak menangkapnya. Aku segera melompat
dan menghardiknya. Agaknya mereka itu takut padaku, lalu membiarkan wanita itu
berlutut di depan kakiku."
Cerita Kim
Hong ini semakin menarik hati Thian Sin yang tidak dapat menahan keinginan tahunya
sehingga dia pun bertanya, "Apakah dia itu isteri mendiang Cia Kok
Heng?"
Kim Hong
mengangguk membenarkan, lalu gadis ini melanjutkan ceritanya. Wanita cantik
yang usianya dua puluh tujuh tahun itu pada mulanya hanya menangis mengguguk
sambil merangkul kedua kaki Kim Hong. Kim Hong mula-mula merasa heran dan
mengira bahwa ini tentu akal bulus dari perkumpulan gerombolan iblis itu untuk
menjebak atau menipu dirinya.
"Enci,
siapakah engkau dan mengapa engkau menangis?" akhirnya Kim Hong bertanya,
memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya bangkit duduk.
Dia sengaja
menekan pundak itu dan mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pandai ilmu
silat. Hal ini membuat hatinya lega karena setidaknya dia yakin bahwa wanita
ini tak akan mampu menyerangnya secara menggelap.
Wanita itu
menyusut air matanya sambil berusaha menahan isak tangisnya. "Lihiap...
aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia ini..." Kembali
dia menangis.
Kim Hong
lalu mengerutkan alisnya. "Enci, bagaimana engkau tiba-tiba saja
menyebutku lihiap? Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang ahli silat,
seorang pendekar wanita?"
Wanita itu
memandang keluar, ke arah orang-orang bertopeng tengkorak itu kemudian dia
berbisik. "Mereka itu bercerita tentang Pendekar Sadis yang tertawan, juga
tentang dirimu yang katanya merupakan sahabat pendekar itu dan lihai sekali,
maka aku sengaja nekat lari ke sini... aku ingin memberi tahukan hal yang
penting sekali..."
"Nanti
dulu, enci. Siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat seperti
ini?"
"Aku
adalah salah satu di antara wanita-wanita yang berada di sini, seperti mereka
ini." Ia menunjuk ke arah gadis-gadis cantik yang menjadi dayang dan yang
memandang heran dan tidak mengerti. "Namaku Lu Sui Hwa dan seperti juga
mereka ini, aku adalah wanita yang diculik. Ada yang datang ke sini karena
bujukan, karena dibeli, karena diculik, dan aku telah diculik. Mereka semua ini
terbius dan tersihir, tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Akan tetapi aku
tidak dibius lagi, tidak disihir lagi sesudah aku dibebaskan dari pengaruh
sihir oleh Pendekar Sadis, tetapi... tetapi aku pun terpaksa mentaati kehendak
mereka, melayani mereka... diperkosa, dipermainkah... ahhh..." Wanita itu
lalu mendekap mukanya dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya.
"Tapi,
kalau engkau sadar dan tidak terbius, mengapa engkau mau menurut saja,
enci?" Kim Hong menegur dan mengerutkan alisnya.
"Apa
dayaku? Suamiku telah mereka bunuh, dan mereka juga sudah menculik dua orang
anak-anakku. Mereka mengancam bahwa selama aku menurut, anak-anakku tidak akan
dibunuh... maka aku... demi kedua anakku, aku terpaksa menyerah...
hu-hu-huhhh..."
"Apakah
engkau nyonya Cia Kok Heng, ibu kandung Cia Liong dan Cia Ling?" Mendadak
Kim Hong bertanya.
Wanita itu
menurunkan kedua tangannya, memandang pada pendekar itu dengan muka pucat dan
mata terbelalak. Mulutnya ternganga dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya
memandang dengan sinar mata penuh harapan. Akhirnya dia dapat juga membuka
mulut dan bicara.
"Benar...
benar... mana mereka? Bagaimana mereka...?"
"Tenangkan
hatimu. Aku menyelamatkan mereka dari tangan iblis-iblis itu dan kini mereka
berada di tangan yang aman."
Tiba-tiba
wanita itu berlutut dan mencium kaki Kim Hong. "Terima kasih... ah, terima
kasih kepada Thian... terima kasih, lihiap..."
Empat orang
anggota Siluman Goa Tengkorak kini berloncatan masuk ke dalam kamar itu dan
hendak menyeret pergi Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng.
"Pergi
engkau dari sini, perempuan bandel!"
Akan tetapi,
kini Kim Hong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tubuhnya berkelebat dan
kaki tangannya bergerak, kemudian terdengar suara orang mengaduh berturut-turut
diikuti tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka roboh tanpa dapat
bangkit kembali karena mereka sudah tewas oleh pukulan serta tendangan Kim Hong
yang tadi dilakukan dengan kemarahan meluap.
"Enci,
ceritakan apa yang hendak kau katakan tadi? Pemberi tahuan penting apa?"
Kim Hong mendesak cepat.
"Pendekar
Sadis... dia dibawa oleh mereka... menurut pembicaraan mereka yang dapat
kudengar, Pendekar Sadis yang pingsan itu diberi pakaian dan topeng Siluman
Tengkorak kemudian hendak diserahkan kepada pihak Hong-kiam-pang agar diadili
dan dibunuh oleh perkumpulan yang mendendam terhadap Siluman Goa Tengkorak. Aku
dapat mendengar segalanya karena waktu itu aku tidak dibius dan mereka percaya
bahwa aku tidak akan berani membocorkan rahasia..."
"Perempuan
keparat!" Terdengar bentakan-bentakan dan lima orang bertopeng masuk.
Akan tetapi
Kim Hong segera menyambut mereka dan melayani serbuan lima orang yang
menggunakan senjata tajam itu. Kini Kim Hong tidak ragu-ragu lagi karena tahu
bahwa Thian Sin tidak berada di situ dan bahwa janji Siluman Goa Tengkorak sama
sekali tidak dapat dipercaya.
Begitu kaki
tangannya bergerak, gadis cantik yang dulu pernah menjadi datuk kaum sesat di
selatan dengan julukan nenek Lam-sin ini, dalam belasan jurus saja sudah
membunuh empat orang lawan dan dia sudah menotok seorang anggota gerombolan
yang tubuhnya kecil, kemudian dia melompat keluar kamar sambil membawa
tawanannya.
"Enci,
aku akan pergi menolong Thian Sin..."
Akan tetapi
pada saat itu pula dia mendengar suara keras disusul jeritan mengerikan. Dia
cepat menengok dan terkejutlah dia. Kiranya Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok
Heng, ibu dari kedua orang anak itu, sudah roboh dengan kepala pecah di dekat
tembok. Ternyata ibu muda yang putus asa karena selain suaminya terbunuh juga
dirinya telah ternoda itu membunuh diri. Kim Hong memandang dan menggigit
bibirnya.
"Enci,
pergilah dengan tenang. Aku akan menghancurkan gerombolan iblis ini dan akan
menyelamatkan anak-anakmu." Dia berbisik, kemudian menerjang keluar.
Belasan
orang anak buah perkumpulan itu mencoba untuk menghadangnya, akan tetapi dengan
tamparan tangan serta tendangan kakinya, Kim Hong berhasil membuat mereka semua
tercerai-berai dan membawa tawanannya meloncat ke atas genteng.
"Hayo
tunjukkan jalan keluar kalau engkau tidak ingin kucokel keluar matamu!"
desis Kim Hong sambil meraba mata orang dengan telunjuknya.
"Jangan...
lihiap... baiklah… akan kutunjukkan..." Tawanannya itu mengeluh dengan
suara gemetar dan tubuh menggigil ketika merasa betapa biji matanya diraba-raba
jari! "Harap turun ke dekat menara itu, di sana ada jalan rahasia..."
Kim Hong
membawa tawanannya melompat turun ke dekat menara. Dua orang anggota gerombolan
yang berjaga di sana menyerangnya dengan golok dan pedang, akan tetapi hanya
dalam dua gebrakan saja Kim Hong telah membuat mereka terpelanting dan roboh
pingsan. Atas petunjuk tawanan itu dia berhasil memasuki terowongan rahasia
sehingga akhirnya dia bisa keluar dari jalan rahasia itu sampai di balik
tebing. Jalan ini adalah jalan yang diambil oleh Thian Sin ketika sebagai
‘utusan’ Sian-su dia mengusir lima orang dari Bu-tong-pai.
"Tunjukkan
di mana adanya tempat orang-orang Hong-kiam-pang itu!" kembali Kim Hong
membentak dan orang itu kelihatan semakin ketakutan.
"Tidak...saya...
tidak berani..."
"Engkau
lebih berani membangkang terhadap perintahku?" Kim Hong membentak. Sekali
jari tangannya menotok orang itu lalu bergulingan di atas tanah sambil
mengaduh-aduh.
Dalam kegelisahannya
akan nasib Thian Sin dan kemarahannya terhadap gerombolan itu, apa lagi setelah
melihat Lu Sui Hwa membunuh diri, Kim Hong pada saat itu seperti telah berubah
menjadi nenek Lam-sin lagi. Jalan darah yang ditotoknya tadi adalah jalan darah
yang membuat orang menderita rasa nyeri yang amat hebat sehingga seolah-olah
seluruh tubuhnya bagian dalam dikeroyok ribuan semut api yang menggerogoti
dagingnya!
"Ampun...
ampunkan saya...!" Orang itu terengah-engah dan bergulingan.
"Kau
mau menunjukkan tempat itu?" Dengan suara dingin Kim Hong bertanya.
Orang itu
menangis saking nyerinya, kemudian mengangguk-angguk. Melihat ini, barulah Kim
Hong membebaskannya dari totokan yang menyiksa itu kemudian berkata, "Hayo
cepat tunjukkan!"
Dengan
sangat terpaksa orang itu menunjukkan kuil yang menjadi markas perkumpulan
Hong-kiam-pang. Kim Hong yang menyeret tubuh orang itu lalu berlari bagaikan
terbang cepatnya karena dia tidak ingin terlambat.
Ketika dia
sampai di luar pekarangan kuil, dia merasa lega melihat Thian Sin masih dalam
keadaan selamat dan banyak anggota Hong-kiam-pang berkumpul di ruangan depan.
Dia cepat-cepat melucuti pakaian luar dan topeng orang itu, kemudian
tergesa-gesa memakai pakaian itu dan juga mengenakan topeng Siluman Tengkorak.
"Demikianlah,
Thian Sin," Kim Hong mengakhiri ceritanya. "Aku berhasil membuat
mereka terkejut kemudian membebaskan totokanmu dengan dua sambitan batu kerikil
yang telah kupersiapkan sebelumnya. Sekarang ceritakan pengalamanmu."
"Terima
kasih, Kim Hong. Kembali engkau telah menyelamatkan nyawaku," berkata
Thian Sin sambil mencium kekasihnya. “Tentang pengalamanku, sebaiknya
kuceritakan dalam perjalanan saja. Sekarang yang penting kita harus cepat-cepat
menyerbu Goa Tengkorak untuk membasmi mereka sebelum mereka sempat melarikan
diri atau membunuh wanita itu."
Kim Hong
menyetujui dan sepasang pendekar sakti ini lalu mengerahkan ginkang mereka
untuk berlari menuju ke Goa Tengkorak. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin
menceritakan pengalamannya dengan singkat.
"Kiranya
Sian-su keparat itu memang benar-benar hendak memegang janjinya, yaitu tidak
akan membunuh kita berdua, akan tetapi dia hendak meminjam tangan orang-orang
dari Hong-kiam-pang untuk membunuhku, kemudian dengan ilmu sihir dan obat
biusnya tentu dia akan berusaha untuk menguasai dirimu supaya engkau suka
membantu pekerjaannya yang terkutuk itu!" kata Thian Sin mengakhiri
penuturannya.
"Akan
tetapi bagaimana engkau bisa berada di tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang
haus darah itu?"
"Hushh,
jangan kau sebut haus darah. Mereka sudah kehilangan tujuh orang murid, tidak
aneh kalau mereka mendendam kepada Siluman Goa Tengkorak. Apa lagi kalau mereka
ketahui bahwa gerombolan Siluman Goa Tengkorak memang amat jahat dan keji,
sebagai pendekar-pendekar tentu mereka itu akan menentang secara mati-matian.
Dan aku yang berpakaian dan bertopeng seperti ini, tentu tak akan mereka
ampuni."
"Akan
tetapi bagaimana engkau sampai terjatuh ke tangan mereka?"
"Sudah
kukatakan tadi, aku dalam keadaan pingsan akibat obat bius. Aku tidak tahu apa
yang terjadi dengan diriku dan tahu-tahu aku sudah berada di sana sampai kau
datang. Tentu ini adalah siasat Sian-su yang menyerahkan aku kepada
Hiong-kiam-pang sebagai seorang Siluman Goa Tengkorak, dengan maksud agar
orang-orang Hong-kiam-pang itu membunuhku."
"Sian-su
keparat itu sungguh licik, curang, keji dan amat jahat. Jika bertemu dengannya,
aku pasti tidak akan memberi ampun kepadanya!" Kim Hong berkata dengan
nada suara marah.
"Akan
tetapi engkau harus berhati-hati, karena dia memiliki ilmu sihir yang cukup
kuat. Jangan lengah dan pergunakan semua ilmu penolak sihir seperti yang pernah
kuajarkan kepadamu kalau dia mempergunakannya," pesan Thian Sin dan Kim
Hong mengangguk.
Dia memang
pernah mempelajari cara-cara penolakan sihir dari kekasihnya itu dan kalau dia
sampai pernah jatuh dalam pengaruh sihir dari ketua Siluman Goa Tengkorak,
adalah karena dia tak menyangka sama sekali, tertipu oleh tosu kuil itu dan
juga karena memang siluman itu memiliki kekuatan sihir yang amat kuat.
***************
Di dalam
tempat rahasia ini perkumpulan Jit-sian-kauw itu, Sian-su mengumpulkan semua
anak buah dan juga para tamunya. Sepasang mata di balik topeng itu nampak
gelisah.
"Para
anggota dan juga para saudara sekepercayaan yang mulia! Tempat pemujaan kita
terancam bahaya besar! Pendekar Sadis serta pembantunya sudah berkhianat dan
tentu mereka itu akan datang mengacau di sini. Oleh karena itu aku perintahkan
kepada semua anggota supaya bersikap waspada, menjaga semua jalan masuk dan
memasang semua jebakan. Dan kepada semua saudara sekepercayaan, saya harap
sukalah mengeluarkan sedikit tenaga membantu mempertahankan tempat pemujaan
kita yang keramat."
Dengan
cekatan Sian-su lalu membagi-bagi tugas di antara anak buahnya yang jumlahnya
tinggal tiga puluh orang lebih itu, memerintahkan para wanita itu bersembunyi
di ruangan dalam dan tidak memperbolehkan mereka keluar. Dengan pakaian Siluman
Tengkorak, Tosu Siok Cin Cu yang menjadi pembantu utamanya, mewakilinya untuk
mengatur para anak buah dalam melakukan penjagaan.
Kemudian
Sian-su membujuk para tamunya yang berkepandaian untuk turut melakukan
penjagaan. Di antara para tamunya itu terdapat sepuluh orang yang memiliki
kepandaian silat tinggi dan mereka ini yang merasa betapa pusat kepercayaan
mereka terancam oleh musuh, dengan senang hati mau membantu Sian-su.
Kepercayaan
yang membuta sering kali menyesatkan orang dan membuat manusia lupa bahwa
segala macam agama atau kepercayaan diciptakan untuk manusia. Agama atau
kepercayaan lain diadakan untuk menuntun manusia ke jalan yang dianggap benar
dan baik. Sebab itu jelaslah bahwa manusianya yang penting dan kepercayaan itu
merupakan pelengkap dalam kehidupan, sebagai alat penerangan dan penuntun.
Namun,
betapa banyaknya kepercayaan yang membuta membuat para pemeluknya lupa bahwa
manusianya yang penting dan mereka itu bahkan lebih mementingkan agama atau
kepercayaannya, ada pun manusianya sendiri lalu menjadi alat belaka yang mudah
saja dikorbankan demi kepercayaan atau agama itu.
Dan yang
memegang peran di dalam hal ini adalah para pemimpinnya, para pendetanya yang
mempergunakan nama agama untuk memenuhi ambisi pribadinya. Para pemeluk itu mau
saja diseret ke dalam kancah permusuhan dan kebencian, bunuh-membunuh, rela
berkorban untuk membunuh atau pun terbunuh, semua dilakukan demi mempertahankan
agama atau kepercayaan seperti yang digembar gemborkan oleh para pemimpinnya.
Dan terjadilah keadaan yang sama sekali terbalik. Bukan lagi agama untuk
manusia namun manusia untuk agama, bukan lagi agama sebagai alat manusia tetapi
manusia menjadi alat agama.
Demikian
pula dengan para tamu dari ketua Jit-sian-kauw ini. Mereka pun menyerahkan
kepercayaan secara membuta dan di dalam penyerahan kepercayaan ini memang
selalu terdapat hal-hal yang dianggap menguntungkan atau menyenangkan sebagai
pendorong.
Mereka, para
pemeluk agama Jit-sin-kauw ini, tidak hanya sudah menikmati kesenangan jasmani
berupa pesta pora pemuasan nafsu-nafsu birahi, akan tetapi juga kesenangan
batiniah yang berupa harapan bahwa kelak apa bila sudah mati mereka akan
memperoleh kesenangan karena sudah disediakan sebuah tempat yang baik untuk
mereka oleh Dewa Kematian yang telah mereka puja-puja dan beri korban. Kini,
mereka rela untuk membela kepercayaan mereka, bahkan jika perlu mereka rela
untuk mati, dengan keyakinan bahwa kematian itu akan berakhir dengan kesenangan
bagi mereka.
Para tamu
ini sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu mereka ikut berjaga dengan sibuk
untuk menjaga dan mempertahankan ‘tempat pemujaan keramat’ itu, pada sebelah
dalam kamar rahasianya, Sian-su yang dibantu oleh orang kepercayaannya, yaitu
Siok Cin Cu, tengah sibuk sendiri membenahi barang-barang berharga yang amat
berharga, semuanya dimasukkan ke dalam dua buah peti sampai penuh!
"Siok
Cin Cu, kita harus dapat menyelamatkan dua peti ini lebih dahulu. Pendekar
Sadis dan wanita itu tak boleh dipandang ringan. Engkau tahu ke mana harus
menyembunyikan peti-peti ini kalau keadaan memaksa."
"Baik,
Sian-su, jangan khawatir. Akan tetapi sudah demikian berbahayakah keadaannya
sehingga Sian-su perlu berkemas dan berkhawatir?" tanya tosu Siok Cin Cu
itu di balik topengnya.
"Berbahaya
sekali sih belum, akan tetapi kita perlu waspada. Para anak buah dan para tamu
dengan bantuan jebakan-jebakan mungkin akan sanggup menahan Pendekar Sadis dan
temannya. Akan tetapi aku khawatir bahwa Hong-kiam-pang tidak akan mau sudah,
kemudian mereka akan berusaha untuk menemukan tempat kita. Im Yang Tosu agaknya
berkeras hati benar untuk menggempur kita."
Siok Cin Cu
menarik napas panjang. "Agaknya kita telah salah tangan membunuh Tujuh
Pendekar Tai-goan itu, Sian-su, sehingga masalah menjadi berlarut-larut dan
memancing permusuhan dengan Hong-kiam-pang."
"Tidak
salah tangan sama sekali. Pertama, mereka menentang kita. Ke dua, ada
gejala-gejala bahwa di antara mereka itu sudah mengetahui rahasiaku. Mereka
memang perlu dibinasakan untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih
besar."
Percakapan
mereka terhenti pada saat terdengar suara hiruk pikuk di luar. Mereka saling
pandang dan dua pasang mata di balik topeng itu nampak gelisah. Akan tetapi
Sian-su menenangkan diri dan berkata, "Siok Cin Cu, engkau membawa peti
ini sebuah dan aku sebuah. Engkau mengambil jalan kiri dan aku ke kanan. Engkau
tahu di mana kita dapat bertemu di luar tempat ini."
"Sian-su...
hendak meninggalkan tempat ini? Apakah tidak menahan musuh dulu?"
"Sstttt,
diamlah. Yang penting adalah menyelamatkan dua peti ini, baru kita pikirkan
untuk menghantam musuh yang berani masuk ke sini. Mari, cepat!" kata
Sian-su menyerahkan sebuah di antara dua peti hitam itu kepada Siok Cin Cu.
Tosu ini
menerima peti, mengangguk dan segera meloncat pergi dari kamar rahasia itu,
bersimpang jalan dengan ketuanya. Memang di tempat itu telah terjadi
pertempuran, mulai di terowongan.
Seperti kita
ketahui, Thian Sin dan Kim Hong menuju ke belakang tebing untuk menyerbu sarang
Jit-sian-kauw itu dari belakang, melalui jalan rahasia yang sudah mereka berdua
ketahui. Akan tetapi sebelum menuju ke sana, Thian Sin mengajak Kim Hong untuk
lebih dulu memasuki sebuah hutan kecil yang tak jauh dari situ.
"Ehh,
kita ke mana?" tanya Kim Hong yang seperti juga kekasihnya telah
menanggalkan pakaian dan topeng tengkorak.
"Sudah
kuceritakan kepadamu bahwa aku pernah terpaksa mengusir lima orang tokoh
Bu-tong-pai dan aku berhasil memberi tahu mereka tentang keadaanku lalu minta
kepada mereka untuk menanti di hutan ini. Nah, itu mereka!" kata Thian Sin
ketika melihat Liang Hi Tojin keluar dari sebuah gubuk kecil bersama empat
orang murid Bu-tong-pai.
Cepat Thian
Sin dan Kim Hong menghampiri mereka.
"Siancai,
siancai... sungguh tidak sabar kami menanti-nanti berita darimu,
Ceng-taihiap," kata Liang Hi Tojin sambil menjura ke arah dua pendekar
itu. "Dan Toan-lihiap juga sudah datang, sungguh membesarkan hati!"
Thian Sin
dan Kim Hong yang sudah mengenal tokoh ke dua dari Bu-tong-pai ini segera
membalas penghormatan mereka berlima. "Saya menunggu saat dan kesempatan
yang baik, totiang. Dan sekaranglah saat yang baik itu tiba."
"Kita
menyerbu Goa Tengkorak? Tapi... kami tidak pernah menemui jalan masuk."
"Jangan
khawatir, kami telah tahu jalannya," kata Kim Hong. "Mari ngo-wi
(kalian berlima) ikuti kami."
Berbondong-bondong
mereka kemudian berangkat dengan penuh semangat. Orang-orang Bu-tong-pai ini
bukan hanya ingin membalas kematian Louw Ciang Su murid Bu-tong-pai, seorang di
antara Tujuh Pendekar Tai-goan, akan tetapi juga mereka merasa bertugas untuk
membasmi gerombolan Siluman Goa Tengkorak yang telah melakukan pengacauan dan
kejahatan-kejahatan kejam itu.
Sesudah
menemukan jalan masuk rahasia melalui terowongan itu, Thian Sin masuk lebih
dahulu, diikuti oleh Kim Hong. Di belakang dua orang pendekar ini, barulah
Liang Hi Tojin beserta empat orang murid keponakannya berjalan masuk dengan
pedang siap di tangan mereka.
Sebagai
orang yang pernah diperdaya oleh Sian-su, Thian Sin pernah melalui terowongan
ini dan rahasia jebakan terowongan ini tidak disembunyikan darinya, maka
sedikit banyak dia tahu di mana adanya jebakan-jebakan itu. Sebaliknya, pada
waktu melarikan diri dari tempat itu, Kim Hong membawa seorang tawanan yang
sudah memberi tahu kepadanya adanya jebakan-jebakan sehingga dia bersikap
hati-hati sekali, dan juga dalam keributan itu, terowongan tidak terjaga dan
tidak ada anggota gerombolan yang menggerakkan alat rahasia jebakan.
Ketika tiba
di sebuah tikungan terowongan, tiba-tiba saja Thian Sin berseru, "Awas
anak panah!"
Dan hampir
berbareng dengan ucapannya, dari depan dan belakang menyambar puluhan batang
anak panah ke arah mereka! Akan tetapi, orang-orang Bu-tong-pai itu sudah siap
dengan pedang mereka dan dengan memutar pedang, anak panah yang menyambar itu
runtuh ke atas tanah.
Kim Hong dan
Thian Sin menggunakan gerakan tangan mereka untuk menangkis hingga ada dua
batang anak panah berhasil ditangkap oleh Thian Sin yang cepat menggerakkan
tangan. Dua batang anak panah itu meluncur ke atas, lantas terdengarlah jeritan
orang yang disusul jatuhnya sesosok tubuh yang tadinya bersembunyi pada bagian
atas sambil menggerakkan alat-alat yang meluncurkan anak-anak panah itu. Orang
itu tewas dengan leher dan dada tertembus dua batang anak panah yang
dilemparkan oleh Thian Sin tadi.
Mereka
melanjutkan perjalanan dengan hati-hati tanpa mempedulikan orang yang sudah
tewas itu. Mereka melangkahi mayat itu dan dengan hati-hati Thian Sin terus
melangkah maju, diikuti oleh yang lainnya. Terowongan itu tidak begitu gelap,
sedikit remang-remang karena ada cahaya matahari yang masuk melalui beberapa
celah-celah yang berada di langit-langit torowongan.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba Thian Sin berbisik sehingga semua orang berhenti.
Tidak nampak
sesuatu yang mencurigakan di situ, akan tetapi mereka melihat Pendekar Sadis
memberi isyarat agar mereka berhenti, sedangkan dia sendiri melangkah ke depan
sambil melirik ke sana-sini dengan penuh kewaspadan. Tiba-tiba terdengar bunyi
berderit lantas lantai yang diinjaknya itu terbuka, sedangkan di dalam sumur
itu nampak batu-batu meruncing menanti di bawah!
Akan tetapi,
Thian Sin sudah mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke kanan,
ke arah batu karang besar dan sekali tangannya menyambar, dia telah menangkap
seorang lelaki bertopeng tengkorak lantas tubuh orang itu pun dilemparkannya ke
dalam sumur, sedangkan dia sendiri sudah meloncat kembali ke tempat semula di
mana teman-temannya berdiri memandang dengan mata terbelalak ke dalam sumur.
Orang yang
terlempar itu mengeluarkan suara pekik mengerikan, lalu tubuhnya disambut oleh
batu-batu karang yang seperti golok itu dan tewas seketika. Lantai itu masih
terbuka dan terpaksa mereka bertujuh harus melompati sumur itu dan melanjutkan
perjalanan lagi ke depan.
Tidak ada
lagi jebakan yang menghadang perjalanan mereka. Akan tetapi begitu keluar dari
pintu rahasia, mereka segera diserbu oleh para anak buah Siluman Goa Tengkorak
yang dibantu oleh sepuluh orang tamu pemeluk kepercayaan baru itu sehingga
terjadilah perkelahian yang amat seru.
Liang Hi
Tojin mengamuk, sementara empat orang murid keponakannya juga memainkan pedang
mereka, dikeroyok oleh para anggota gerombolan Jit-sian-kauw yang dibantu oleh
sepuluh orang tamu. Melihat betapa sepak terjang Liang Hi Tojin dan empat orang
murid Bu-tong-pai itu cukup tangkas dan kuat, Thian Sin dan Kim Hong kemudian
sama-sama meloncat ke arah dalam.
"Engkau
dari kiri, aku dari kanan!" kata Thian Sin dan nona itu mengangguk,
mengerti apa yang dikehendaki kekasihnya.
Mereka
berdua sudah tahu di mana adanya kamar Sian-su, dan memang ada dua jalan yang
menuju ke kamar itu, sebuah kamar yang mewah dan di mana hampir setiap malam
terjadi kecabulan.
Pada saat
itu tampak seorang yang berpakaian dan bertopeng Siluman Tengkorak tengah
bergegas melarikan diri keluar dari lorong sambil membawa sebuah peti hitam.
Orang ini bukan lain adalah Siok Cin Cu, yaitu tosu pembantu utama Sian-su yang
bertugas untuk menyelamatkan sebuah peti berisi barang perhiasan itu.
Diam-diam
tosu ini merasa heran sekali, kenapa Sian-su tidak lebih dulu menyambut dan
menahan serbuan lawan akan tetapi lebih mementingkan untuk menyelamatkan
barang-barang berharga itu. Akan tetapi, karena dia sendiri maklum betapa
lihainya Pendekar Sadis, tugas ini tentu saja menggembirakan hatinya. Dia tidak
perlu menghadapi lawan yang mengerikan itu dan lebih enak menyelamatkan diri
sambil membawa peti perhiasan yang dia tahu amat berharga ini. Andai kata
Sian-su gagal, dia sendiri masih mempunyai satu peti yang akan cukup untuk
dimakan selama tujuh turunan dalam keadaan mewah!
Ketika dia
berlari melewati lorong itu, tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik
berdiri di depan. Dia menduga bahwa tentu seorang di antara para gadis dayang
dan penari yang keluar dari tempat mereka dikurung. Melihat wanita cantik ini,
Siok Cin Cu tersenyum di balik topengnya. Bagaimana kalau dia membawa wanita
cantik itu bersamanya? Selain untuk teman di perjalanan juga untuk menghibur
hatinya!
"Hei,
berani engkau keluar dari ruangan itu? Hayo kau ke sini dan ikut
bersamaku....!"
Akan tetapi
tiba-tiba Siok Cin Cu menghentikan kata-katanya. Ternyata, sesudah datang
mendekat, dia mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Toan Kim Hong!
Kim Hong
berdiri dengan senyum manis dikulum. Ucapan yang keluar dari balik topeng itu
dikenalnya dengan baik dan senyumnya semakin melebar menghias bibirnya yang
merah basah dan manis ini. Ia lalu bertolak pinggang menghadang di tengah
lorong.
"Aihh,
kiranya si pertapa Siok Cin Cu yang sangat suci itu pun memiliki jubah dan
topeng tengkorak? Totiong, tentu engkau belum lupa kepadaku, bukan? Aku tidak
pernah dapat melupakanmu sebab budi totiang saat membawaku ke susiok totiang
itu sampai sekarang belum juga sempat kubalas!" Kim Hong berkata dengan
nada manis dan ramah, namun sepasang matanya yang mencorong itu mengeluarkan
cahaya dingin yang membuat Siok Cin Cu merasa bulu tengkuknya meremang.
Akan tetapi
dia bukan seorang yang lemah. Dia adalah pembantu utama dari Sian-su dan dia
sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Karena maklum bahwa bicara banyak juga
tiada gunanya, dan bahwa wanita ini adalah teman dari Pendekar Sadis, maka dia
harus dapat merobohkan wanita ini sebelum pendekar itu sendiri muncul.
Maka dia
lantas mengeluarkan bentakan nyaring dan dia langsung menggerakkan tangan
kanannya untuk mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dari pinggangnya,
lalu dia menubruk ke depan dengan serangan kilatnya! Tangan kirinya masih
memeluk peti hitam di dekat dadanya.
"Singgg...!
Wuuuutt...!"
Tusukan
pedang itu luput ketika Kim Hong mengelak dengan gerakan seenaknya, namun
tusukan itu langsung dilanjutkan dengan sabetan sebagai serangan selanjutnya.
Gerakan tosu ini memang cukup cepat. Namun, tentu saja dia hanya merupakan
lawan yang lunak dari Kim Hong yang pernah menjadi datuk berjuluk nenek Lam-sin
ini.
Sambil
tersenyum mengejek, Kim Hong kembali mengelak. Dia tidak segera turun tangan
terhadap tosu ini karena perhatiannya tertarik kepada peti hitam yang dipeluk
si kakek. Tentu berisi benda penting maka hendak dilarikan oleh tosu ini, pikirnya.
Oleh karena itu, timbul niat di hatinya untuk merampas peti ini dan memeriksa
apa isinya, baru dia akan menghajar tosu palsu ini.
"Hyaaaatt...!"
Kembali Siok
Cin Cu menyerang dengan gerakan pedangnya yang berkelebat seperti kilat
menyambar itu. Kim Hong cepat mengelak ke kiri dan ketika pedang itu menusuk ke
arah matanya, dia miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menjepit
ujung pedang itu dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah, sedangkan kaki
kanannya menendang ke arah muka lawan dengan gerakan kilat.
"Brettttt…!"
Tosu itu
berteriak kaget, bukan hanya karena pedangnya seperti terjepit baja dan topeng
tengkoraknya robek terkena ujung sepatu gadis itu, akan tetapi terutama sekali
karena pada saat itu tangan kanan gadis itu sudah bergerak dan merampas peti
hitamnya!
Sesudah
berhasil merobek topeng sehingga nampak wajah Siok Cin Cu yang agak pucat dan
berhasil pula merampas peti hitam itu, Kim Hong tertawa dan dengan tubuh
membuat jungkir balik tiga kali, dia meloncat ke belakang lantas duduk
sembarangan di atas lantai, membuka peti hitam itu. Wajahnya berseri, matanya
terbelalak dan mulutnya tersenyum girang ketika dia melihat isi peti yang
berkilauan itu, terdiri dari perhiasan-perhiasan emas perak penuh batu permata
yang mahal-mahal itu.
Dengan wajah
pucat Siok Cin Cu memandang. Dia tahu bahwa nona itu lihai bukan main dan jika
berkelahi secara berhadapan, belum tentu dia akan menang. Karena itu, melihat
betapa gadis itu kini terpesona oleh perhiasan di dalam peti bagaikan seorang
anak kecil tertarik oleh mainan yang bagus, diam-diam dia lalu mengambil jalan
memutar, mengitari gadis dalam ruangan itu dengan pedang siap di tangan.
Setelah tiba
di belakang Kim Hong, tiba-tiba dia meloncat, menubruk dan menggerakkan
pedangnya untuk melakukan serangan maut yang kiranya tak akan mungkin
dihindarkan oleh gadis yang sedang duduk di lantai dan tertarik oleh
perhiasan-perhiasan itu. Akan tetapi, tanpa menoleh Kim Hong menggerakkan
tangan yang sedang memegang tusuk konde kumala tadi ke belakang dan gerakan
tosu itu tiba-tiba terhenti di tengah udara!
Tubuh yang
sedang mengangkat pedang hendak membacok itu tiba-tiba terhenti, seperti
tertahan oleh kekuatan dahsyat. Pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas
dan jatuh ke atas lantai. Kedua lututnya terkulai dan tertekuk lantas tubuhnya
jatuh berlutut, kedua tangan mendekap dada di mana tusuk konde itu amblas dan
memasuki dadanya tepat menusuk jantung. Dia pun roboh dan hanya berkelojotan
sebentar. Tewaslah Siok Cin Cu tanpa bisa bersambat lagi, matanya terbuka
memandang kosong ke arah peti hitam yang terbuka di depan Kim Hong.
Kim Hong
meloncat bangun dan menutupkan kembali peti hitam, lalu membawa peti itu dan
berloncatan menuju ke kamar pusat di mana dia mengharapkan akan dapat bertemu
dengan orang yang sangat dibencinya, yaitu Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak,
ketua dari Jit-siankauw. Akan tetapi dia telah kalah dulu oleh Thian Sin.
Seperti juga
halnya tosu Siok Cin Cu, Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak itu melarikan diri
membawa sebuah peti hitam yang dipeluknya. Akan tetapi baru saja dia
meninggalkan kamarnya dan tiba di ruangan sembahyang, tiba-tiba dia berhenti
berlari dan memandang ke depan dengan mata terbelalak.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment