Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Siluman Goa Tengkorak
Jilid 03
SEMUA orang
kini mendaki anak tangga menuju ke atas yang bertilam permadani merah dan
diam-diam Thian Sin memperhatikan kanan kiri. Dindingnya masih terbuat dari
pada batu, akan tetapi kini dihiasi dengan kain-kain sutera, bahkan ada
lukisan-lukisan kuno yang indah. Anak tangga itu memutar beberapa kali, seperti
anak tangga yang menuju ke menara sebuah istana kuno. Akan tetapi setelah tiba
di bagian teratas, Thian Sin segera terbelalak penuh kagum.
Kalau tadi
di kanan kiri anak tangga itu dihiasi dan diterangi dengan lampu-lampu yang
beraneka warna, kini langit-langit terbuka dan yang menghias langit-langit
adalah bintang-bintang yang sinarnya suram karena kalah oleh sinar bulan yang
sudah naik tinggi! Bulan sepotong, akan tetapi karena langit bersih, maka cuaca
cukup terang.
Kiranya
tempat upacara itu berada di atas puncak bukit yang dikelilingi puncak-puncak
lain sehingga tidak akan nampak dari jauh, dan puncak itu merupakan tempat
datar yang cukup luas, yang dikurung oleh jurang-jurang amat dalamnya sehingga
orang tidak akan mungkin menuruni atau naik ke puncak lewat jurang-jurang itu,
kecuali lewat jalan rahasia terowongan!
Luas puncak
bukit datar itu tidak kurang dari dua puluh lima kaki tombak persegi, kurang
lebih seribu lima ratus meter persegi dan karena terbuka, maka sinar bulan
bintang atau matahari dari angkasa dapat menerangi seluruh tempat itu tanpa
terhalang apa pun juga. Tempat itu dihiasi pohon, akan tetapi di sekeliling
tepinya terdapat tanaman bunga-bunga indah, kemudian rumput-rumput hijau
seperti permadani, dan di bagian tengahnya diberi rantai tembok yang halus
mengkilap.
Kursi-kursi
berjajar pada sebelah kiri, dan ke tempat inilah Siluman Tengkorak membawa para
tamu. Semua orang lalu dipersilakan duduk dan Thian Sin sendiri mendapat tempat
duduk kehormatan di sebelah kiri sang ketua namun mungkin juga sang pendeta
karena sebutannya Sian-su.
Thian Sin
memperhatikan sekeliling. Sungguh merupakan tempat yang tersembunyi dan indah
sekali. Tidak kelihatan dari dunia luar, terlindung dan tersembunyi. Di dekat
tempat duduk sang pemimpin terdapat sebuah meja sembahyang. Di samping kiri
terdapat satu kelompok pemain musik yang pada saat itu memainkan alat musik
mereka dengan lembut sehingga membuat suasana menjadi romantis dan syahdu. Di hadapan
mereka terdapat lantai tembok yang amat halus itu dan di sana-sini, bahkan
sampai ke lapangan-lapangan rumput, terdapat kasur-kasur kecil yang beraneka
warna dengan selubung bersulam.
Di
tempat-tempat yang dibuat secara nyeni terdapat lampu-lampu dengan penutup
warna warni dan di sana-sini mengepul asap dupa wangi yang mendatangkan rasa
nyaman dan menyenangkan. Di sebelah kanan, di tepi tempat itu, terdapat
bangunan-bangunan kecil yang agaknya belum selesai dibangun.
Thian Sin
bisa menduga bahwa bangunan-bangunan kecil itu adalah bangunan-bangunan yang
dibangun untuk para ‘dewa’ seperti yang biasa dipergunakan untuk tempat arca
atau patung yang dipuja orang di dalam kuil-kuil. Akan tetapi yang hebat bukan
main adalah kenyataan bahwa pondok-pondok kecil seperti pondok boneka itu
terbuat dari pada emas dan terukir indah. Sulit dibayangkan betapa mahalnya
membuat pondok-pondok pemujaan dewa-dewa seperti itu.
Tiba-tiba
suara musik yang tadinya lembut itu mulai berubah. Sang pemimpin mengangkat
tangan kiri ke atas, kemudian suara musik itu berubah menjadi semakin keras dan
penuh semangat. Dan bersama dengan perubahan suara musik ini, dari sebuah anak
tangga kiri, agaknya menembus ke tempat yang lain lagi dari pada ruangan di
mana tadi Thian Sin diterima oleh siluman itu, nampak belasan orang wanita
berlari-larian naik.
Mereka itu
semuanya terdiri dari wanita-wanita yang muda dan cantik-cantik, dan mereka
memakai gaun panjang tipis yang membuat tubuh mereka nampak terbayang. Gaun
dari kain sutera putih yang tembus pandang itu tertimpa sinar bulan dan
lampu-lampu hingga menciptakan lekuk lengkung tubuh ditimpa bayangan-bayangan
yang menggairahkan.
Karena
mereka adalah wanita-wanita muda, tentu saja tubuh mereka itu padat dan indah.
Kaki mereka yang tak bersepatu itu berlari-larian dan membuat gerakan
berjungkit dalam langkah-langkah tarian. Rambut mereka yang hitam dan panjang
terurai lepas ke belakang punggung dan kedua pundak, dihias bunga-bunga putih.
Dua tangan mereka menyangga baki-baki yang agaknya terbuat dari pada emas pula!
Dengan
gerakan yang lemah gemulai dan menggairahkan, lima belas orang penari wanita
ini menari dan membuat gerakan berlarian kecil berputaran secara teratur
menurut irama music, dan sambil menari mereka menggerak-gerakkan tubuh mereka
dengan cara-cara yang menimbulkan pesona dan gairah, gerakan pinggul yang
memikat dan penuh nafsu, makin lama makin liar ketika musik itu makin nyaring
dibunyikan oleh para penabuhnya.
Sejenak
Thian Sin sendiri tertarik dan terpesona. Memang indah bukan main. Suasananya
amat romantis, sinar bulan dan cahaya lampu-lampu beraneka warna itu, di udara
terbuka yang demikian sejuk, dengan keharuman kembang-kembang bercampur
wanginya dupa. Dan gadis-gadis itu menjadi semakin cantik menarik karena
tertimpa cahaya warna-warni yang redup, dengan lekuk lengkung tubuh gempal di
balik pakaian yang tembus pandang, dan diiringi suara musik yang merangsang
pula!
Akan tetapi
pemuda ini segera dapat menguasai perasaannya dan secara diam-diam dia pun
mengerling ke arah para tamu. Dia tidak merasa heran melihat betapa para tamu
pria itu semakin terangsang, pandang mata mereka itu berseri-seri penuh nafsu
birahi, wajah mereka kemerahan, hidung kembang-kempis dan mulut tersenyum-senyum
penuh gairah.
Dari samping
nampak betapa sering kalamenjing mereka naik turun saat mereka menelan ludah.
Bahkan ada pula yang memandang dengan mata melotot, seakan-akan tubuh yang
menggairahkan itu hendak ditelan bulat-bulat dengan pandangan matanya. Ada pula
yang berpakaian sebagai ahli silat, tampak tenang saja akan tetapi tangannya
mengepal keras, tanda bahwa dia pun terpesona dan berusaha untuk menekan
perasaannya.
Semua ini
nampak oleh Thian Sin dan dia menemukan sebab yang merupakan daya tarik bagi
mereka itu, yaitu pemuasan birahi dan rangsangan yang agaknya sengaja disajikan
oleh wanita-wanita cantik itu kepada mereka. Dan ketika dia mengerling ke arah
siluman yang dipanggil Sian-su itu, dia melihat bahwa orang bertopeng ini pun
seperti dia, sedikit juga tidak memperhatikan lagi kepada para penari,
melainkan memandang ke kanan kiri, memperhatikan satu demi satu wajah para tamu
dengan senyum puas yang membayang pada topeng tengkoraknya.
Setelah
menari-nari beberapa kali putaran dan setiap berputar di dekat tempat duduk
para tamu tercium bau harum winyak wangi dari tubuh mereka, kembali Sian-su
mengangkat tangan kirinya dan ini pun merupakan isyarat karena suara musik
tiba-tiba menurun. Para wanita yang menari itu pun memperhalus tarian mereka dan
akhirnya mereka berkumpul menjadi suatu kelompok lalu bersama-sama menjatuhkan
diri berlutut di hadapan Sian-su!
Siluman ini
mengangguk-angguk dan tangannya bergerak seperti menebarkan sesuatu di udara
dan... kelopak-kelopak bunga beterbangan lalu melayang turun ke atas kepala
lima belas orang penari yang ditundukkan dalam penghormatan mereka itu.
Kelopak-kelopak bunga itu hinggap di atas rambut-rambut hitam itu, indah
seperti kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga mekar.
Thian Sin
mengerutkan alisnya. Secara diam-diam dia tahu bahwa orang itu sangat lihai,
bukan saja ahli ilmu silat tinggi seperti yang sudah disangkanya, akan tetapi
juga pandai mempergunakan kekuatan sihir untuk bermain sulap! Dia pun cepat
membuat tanggapan dengan sinar mata penuh kagum dan heran seperti yang
diperlihatkan oleh wajah semua orang yang hadir.
Kebetulan
sekali siluman itu memandang kepadanya dan Thian Sin melihat dengan jelas
betapa muka tengkorak itu tersenyum simpul, jelas kelihatan gembira serta
bangga sekali dengan ilmu kepandaiannya, terutama sekali karena ilmu sihirnya
dikagumi oleh seorang pendekar seperti Pendekar Sadis!
Sekarang
lima belas orang penari itu bangkit berdiri. Dengan gerakan lemah gemulai dan
memikat mereka pun berjalan menghampiri para tamu dengan baki pada kedua
tangan. Sambil tersenyum Si Muka Tengkorak itu berkata kepada Thian Sin,
"Maaf,
taihiap, bukan kami mata duitan, akan tetapi karena kebutuhan untuk membangun
perkumpulan agama kami membutuhkan banyak biaya, dan para anggota serta pengikut
kami bermurah hati, maka acara sekarang ini adalah acara pemberian sumbangan
suka rela yang dipungut oleh para gadis penari. Akan tetapi sebagai tamu
kehormatan, tentu saja taihiap tidak diharapkan untuk menyumbang..."
"Ahh,
jangan sungkan, Sian-su. Aku pun bersedia menyumbang, jangan khawatir!"
Thian Sin langsung merogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan sebongkah kecil
emas dan ketika ada seorang penari lewat di depannya, dia segera menaruh
bongkahan emas yang besarnya sekepal itu di atas baki.
Tentu saja
penari itu terkejut bukan kepalang, terbelalak melihat emas yang berat itu lalu
melempar senyum manis dan kerling mata yang penuh daya memikat. Semua tamu juga
memandang heran dan mereka maklum betapa besarnya harga sumbangan yang sudah
diberikan oleh Pendekar Sadis. Akan tetapi tentu saja mereka tidak tahu bahwa
Pendekar Sadis adalah seorang yang kaya raya sehingga sebongkah emas itu tak
ada artinya sama sekali baginya!
Melihat ini,
siluman itu lalu tertawa. "Siancai... taihiap sungguh dermawan. Terima
kasih, taihiap. Abwee, kau simpan kerlingmu itu dan jangan khawatir, malam
nanti engkau boleh melayani Ceng-kongcu!"
Gadis penari
yang disebut A-bwee itu menahan senyum lalu berlari-lari ke arah tamu lain.
Thian Sin memperhatikan ke sekelilingnya dan dia melihat betapa royalnya para
tamu itu saat menyerahkan sumbangan kepada para gadis penari, meletakkan
sumbangan mereka di atas baki-baki yang disodorkan oleh para gadis itu. Di
antara mereka bahkan ada yang mengajak para gadis itu bersenda-gurau dan
berbisik-bisik lirih.
Sesudah
selesai upacara sumbangan itu, para gadis itu lalu mengundurkan diri sambil
berlari-larian menuju anak tangga yang letaknya di belakang, yaitu tempat dari
mana tadi mereka naik. Musik masih dimainkan dengan lembut, dan tidak lama
kemudian, nampak para gadis manis itu sudah kembali lagi namun kini baki-baki
itu sudah berganti isi, yaitu cawan-cawan dan guci arak dan ada pula yang
membawa piring-piring berisi makanan.
Sambil
tersenyum-senyum para gadis itu menghidangkan arak dan makanan di atas meja
para tamu, kemudian dengan sikap lemah gemulai dan tersenyum-senyum ramah
mereka lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawan para tamu. Begitu arak
dituangkan ke dalam cawan, segera tercium bau sedap arak yang baik dan tua.
Kini bukan hanya lima belas orang gadis penari tadi yang menjadi pelayan, namun
ditambah lagi oleh beberapa orang lain yang sama muda dan cantiknya sehingga
jumlah mereka ada dua puluh lima orang.
Setelah
melihat betapa semua tamu menerima suguhan arak dan cawan mereka sudah dipenuhi
arak harum, Siluman Tengkorak yang juga sudah menerima suguhan secawan arak
lantas mengangkat cawan araknya ke atas dan berkata dengan suara ramah,
"Cu-wi, silakan minum untuk persahabatan kita yang kekal!"
Semua orang
mengangkat cawan araknya masing-masing dan Thian Sin juga mengangkat cawan
araknya, tetapi tidak memperlihatkan sikap curiga walau pun dia menduga bahwa
tentu ada apa-apanya di dalam suguhan arak ini. Akan tetapi dia mengandalkan
kekuatan sinkang-nya untuk melindungi tubuhnya apa bila arak itu dicampuri
racun. Lagi pula, dia melihat sendiri bahwa arak untuknya itu dari satu guci
dengan arak untuk para tamu lain, maka dia ikut minum tanpa curiga sama sekali.
Begitu arak
itu melewati mulut dan kerongkongannya, Thian Sin merasa bahwa arak itu memang
lezat sekali dan mengandung sesuatu yang merupakan obat keras namun halus. Dia
merasa yakin bahwa itu bukanlah racun, meski pun dia juga tahu bahwa tentu arak
itu telah dicampuri semacam obat yang cukup keras. Beberapa lama kemudian
setelah arak memasuki perutnya, Thian Sin baru tahu bahwa arak itu mengandung
obat perangsang yang membuat tubuhnya hangat dan pikirannya gembira.
Sesudah
merasa yakin bahwa arak itu tidak mengandung racun, Thian Sin berani minum
dengan hati tenang. Sekarang dia melihat betapa para tamu itu sudah mulai
terpengaruh arak, mereka tertawa-tawa gembira. Hidangan pun dikeluarkan dan
musik kini mengiringi gadis-gadis yang datang dan menari-nari.
Pakaian
mereka merupakan gaun-gaun tipis warna-warni sehingga selain indah, juga amat
menggairahkan karena pakaian mereka tembus pandang. Gerakan-gerakan mereka yang
erotis membuat suasana menjadi semakin panas, ditambah pula pengaruh arak
sehingga di antara para tamu itu sudah ada yang mulai nakal dengan kata-kata
dan tangan mereka, menggoda dan menowel para pelayan wanita yang muda dan
cantik.
Thian Sin
melihat bahwa pelayan-pelayan itu agaknya juga sudah mulai terpengaruh oleh
sesuatu yang membuat mereka itu bersikap genit-genit dan berani, padahal
melihat sikap mereka, gadis-gadis itu tentu dari golongan baik-baik.
Makin larut
malam, suasana menjadi semakin panas. Thian Sin melihat betapa sudah ada
beberapa orang di antara para tamu itu yang berani menarik lengan seorang
pelayan dan mendudukkannya di atas pangkuan lalu menciuminya begitu saja di
depan orang banyak!
Agaknya
siluman yang jadi ketua perkumpulan itu dapat melihat pula hal ini, maka ia pun
memberi isyarat dengan tangan diacungkan ke atas dan seorang di antara para
anggota siluman itu lalu membunyikan canang bertalu-talu. Mendengar ini,
gadis-gadis pelayan itu melepaskan diri dan mundur, bahkan lalu menghilang
bersama-sama para gadis penari. Siluman Tengkorak itu bangkit berdiri dan
suaranya terdengar lantang namun lembut dan ramah.
"Cu-wi
yang terhormat, seperti diketahui malam hari yang suci ini akan dilakukan
upacara pengangkatan seorang anggota baru. Oleh karena itu, sebelum kita
memulai acara tarian bebas gembira untuk memuja dewa, terlebih dulu akan
dilakukan upacara pengangkatan murid atau anggota baru itu. Harap cu-wi suka
menjadi saksi."
Semua tamu
yang sudah makan kenyang itu kini duduk tenang dan Thian Sin sendiri pun
mengikuti perkembangan berikutnya dengan penuh perhatian. Dia belum lagi tahu
di mana adanya ibu dari dua orang anak itu, akan tetapi dia sabar menanti
sampai semua upacara selesai, baru dia akan mendesak siluman itu.
Dia harus
berhati-hati karena tempat ini sungguh sangat berbahaya. Jumlah anak buah
siluman ini kiranya tidak kurang dari dua puluh lima orang, belum dihitung
gadis-gadis itu dan siapa tahu bahwa di antara para tamu itu terdapat
orang-orang pandai yang agaknya tentu akan membantu siluman itu pula.
Semua ini
ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dia kini berada di dalam sarang musuh yang
sangat berbahaya dan yang agaknya penuh dengan perangkap-perangkap rahasia
sehingga andai kata dia akan dapat menghadapi pengeroyokan begitu banyaknya
orang, belum tentu dia mampu mengatasi semua alat-alat jebakan di tempat itu.
Biarlah bersabar sambil mencari kesempatan baik untuk turun tangan sambil
mengukur sampai di mana kekuatan pihak lawan.
Siluman
Tengkorak itu kemudian mengangkat tangannya memberi isyarat dan musik pun
dimainkan lagi dengan lagu yang lembut akan tetapi sekaligus mengandung
kekerasan di dalamnya, seperti dalam lagu puja-puji. Asap dupa pun mengepul
makin tinggi, semerbak wanginya, sedangkan seluruh lampu diganti dengan lampu
yang warnanya hijau sehingga cuaca menjadi redup.
Kini
nampaklah tujuh orang gadis naik ke tempat itu, bertelanjang kaki dan
mengenakan pakaian yang begitu tipisnya sehingga pakaian itu seperti kabut saja
yang menutupi tubuh mereka, membuat tubuh di balik pakaian itu nampak jelas
membayang. Mereka berjalan perlahan-lahan, penuh khidmat sambil membawa
bermacam-macam benda.
Ada yang
membawa seekor kelinci putih yang gemuk, ada yang membawa sebuah bokor emas,
ada yang membawa guci arak dan ada pula yang membawa sebatang pedang kecil.
Hebatnya, bokor, guci dan bahkan pedang kecil itu semua terbuat dari pada emas
tulen!
Tujuh orang
gadis ini melangkah perlahan, dengan kepala tunduk, ke arah tempat duduk
Siluman Tengkorak, lalu mereka berlutut dengan sikap menanti. Siluman itu
lantas bangkit berdiri, melangkah maju dan gadis-gadis itu berlutut di
sekitarnya. Siluman itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas kepala
dengan lengan dikembangkan, lantas muka tengkorak itu menengadah dan
terdengarlah suaranya lantang dan mengandung getaran yang amat kuat sehingga
diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Itulah tenaga khikang yang kuat
bercampur dengan kekuatan mukjijat ilmu sihir!
"Yang
Mulia Dewa Kematian, silakan menjelma agar hamba sekalian dapat mengesahkan
pengangkatan seorang pemuja baru bagi paduka...!" Suara itu bergema
membuat semua hadirin memandang dengan sikap hormat dan juga dengan hati
tegang.
Biar pun
mereka yang hadir itu sudah beberapa kali menyaksikan peristiwa ini, namun
selalu mereka merasakan ketegangan luar biasa karena pada saat itu mereka
merasakan getaran aneh yang seolah-olah mengguncang jantung. Bahkan para
pendekar yang hadir secara diam-diam harus mengakui bahwa sinkang yang mereka
kerahkan untuk menekan getaran itu jauh kalah kuat, membuat mereka merasa
semakin kagum terhadap Sian-su!
Thian Sin
bersikap tenang, tetapi dengan mengerahkan tenaga dalam dan juga kekuatan
sihirnya, dia dapat memandang lebih terang sehingga tahulah dia bahwa dengan
kekuatan sihir yang kuat, orang itu telah mempengaruhi semua orang dengan halus
tanpa mereka sadar bahwa mereka telah disihir melalui suara itu.
Tiba-tiba
terdengar suara ledakan keras dan nampak asap putih kebiruan mengepul tebal di
tempat Siluman Tengkorak itu berdiri. Tubuh siluman itu lenyap terbungkus asap
tebal sedangkan musik masih dimainkan dengan lagu yang amat aneh tadi. Selagi
asap masih mengepul tebal, nampaklah dua puluh orang lebih penari yang tadi,
tapi kini telah berganti pakaian gaun tipis berwarna-warni.
Mereka
berlari-lari ringan dan menari-nari, membuat lingkaran mengelilingi Sian-su
yang masih terbungkus asap di tengah-tengah lingkaran tujuh orang gadis yang
masih berlutut. Perlahan-lahan asap itu membuyar kemudian tubuh orang itu mulai
nampak lagi, dan kini semua orang memandang dengan hormat, bahkan ada di antara
para hadirin yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.
Thian Sin
memandang tajam dan dia pun terkejut melihat betapa wajah tengkorak itu kini
mengeluarkan cahaya cemerlang! Orangnya masih yang tadi, tidak ada perubahan,
yang berubah hanya wajah tengkorak itu yang mengeluarkan sinar, sedangkan
sepasang mata itu pun kini bersinar-sinar mencorong lebih terang dari pada
tadi.
Thian Sin
maklum bahwa ledakan dan asap tadi hanya merupakan hasil dari pada bahan
peledak saja, dan bahwa orang itu telah mempengaruhi pikiran dan semangat para
hadirin dengan getaran suaranya. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu apa yang
membuat wajah tengkorak atau topeng tipis itu menjadi cemerlang seperti itu.
Dia tahu
pula bahwa tentu semua yang hadir percaya bahwa kini Dewa Kematian telah
menjelma dan memasuki tubuh Sian-su! Tentu saja kepercayaan semacam ini membuat
mereka itu semua tunduk dan kagum. Seorang anggota siluman mendekati Thian Sin
dan dari kepalanya yang miring ke kiri itu Thian Sin dapat menduga bahwa orang
ini tentulah tosu yang pertama kali memancingnya masuk ke tempat ini.
"Taihiap,
saya bertugas untuk memberi keterangan kepadamu seandainya taihiap ingin
mengetahui sesuatu."
Thian Sin
tersenyum dan merasa bahwa pertunjukan ini, selain untuk mempengaruhi para
hadirin dan menarik kepercayaan mereka, juga sengaja dipamerkan kepadanya! Maka
dia pun mengikuti permainan ini dan bertanya dengan suara dibuat bernada penuh
dengan keheranan, "Aku ingin tahu mengapa wajah Sian-su menjadi bercahaya
seperti itu?"
Dengan suara
yang serius dan penuh hormat, siluman itu berbisik, "Taihiap, yang berdiri
di situ hanyalah tubuh Sian-su, akan tetapi sesungguhnya adalah Dewa Kematian
yang memasuki dirinya."
"Ahhh...!"
Thian Sin pura-pura heran dan mengangguk-angguk.
Kini dia
melihat ada dua orang anggota siluman naik dan menghampiri Sian-su. Siluman
Tengkorak ini menggerakkan tangan kirinya ke udara dan tahu-tahu dia telah
memegang secawan arak! Lalu dipercikkan arak dari cawan itu kepada dua orang
anggota yang telah belutut, mengenai kepala dan sebagian lehernya.
Percikan
arak ini seakan-akan menjadi isyarat bagi mereka berdua, maka mereka segera
mencabut sebatang pedang pendek dari pinggang, kemudian mulai menggurat leher
serta pipinya dengan pedang itu. Darah pun muncrat dari luka-luka itu, akan
tetapi kedua orang ini seperti tak merasakan sesuatu, lalu menari-nari dengan
aneh diiringi suara musik dan ditanggapi oleh para penari yang mengelilingi
tempat itu dengan gerakan-gerakan pinggul yang memutar-mutar erotis. Dua orang
itu lalu sibuk menuliskan huruf-huruf dengan darah mereka di atas
potongan-potongan kain putih.
Anggota
siluman yang duduk di dekat Thian Sin menerangkan tanpa diminta, "Itu
adalah hui-hu yang ditulis dengan darah mereka dan dapat menjadi jimat penolak
iblis yang nanti akan dibagi-bagikan kepada para tamu. Sekarang akan diadakan
upacara injak bara api dan mandi minyak mendidih."
Ternyata
persiapan untuk itu sudah dikerjakan dengan amat cepatnya oleh para anggota
siluman dan sebentar saja telah terhampar bara api dari arang yang membara
sepanjang tiga meter, dan tidak jauh dari sana terdapat kuali besar penuh
minyak yang dipanaskan sampai mendidih. Semua tamu yang duduknya cukup jauh dari
tempat itu masih dapat merasakan panasnya bara api itu.
Setelah
persiapannya selesai dan semua kain putih telah ditulisi dengan darah, dua
orang anggota perkumpulan siluman itu bangkit, menari-nari, masih
menggores-goreskan pisau atau pedang kecil itu pada dada mereka yang telanjang,
kemudian mereka menghampiri bara api dan berjalan dengan kaki telanjang di atas
arang membara!
Dua kali
mereka berjalan melintasi arang membara itu, kemudian keduanya menghampiri
kuali yang penuh dengan minyak mendidih dan mengoles-oleskan minyak mendidih
itu di tubuh mereka. Sungguh luar biasa sekali. Asap mengepul dari tubuh
mereka, akan tetapi kulit mereka sama sekali tidak melepuh atau pun terbakar,
malah luka-luka goresan yang tadinya berdarah itu menjadi sembuh dan pulih
kembali, bahkan bekas goresan luka saja tidak ada lagi!
Tontonan
seperti ini bukanlah tontonan baru bagi orang-orang yang hadir, juga bagi Thian
Sin, namun selalu masih amat menarik perhatian dan mendatangkan kengerian,
membuat kepercayaan orang akan hal-hal yang aneh dan tidak mereka mengerti
menjadi semakin tebal menyelinap di dalam hati dan membuat mereka lebih condong
menerima ketahyulan dan membiarkan diri terpengaruh.
Thian Sin
pernah beberapa kali menonton pertunjukan dari para tangsin seperti itu, yang
dilakukan di kuil-kuil pada waktu ada upacara atau pesta. Maka dia tidak merasa
heran sungguh pun dia tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan hasil main
sulap, melainkan akibat dari penyihiran diri sendiri melalui kepercayaan yang
mutlak.
Sudah
menjadi kelemahan kita manusia pada umumnya untuk merasa tertarik terhadap
hal-hal yang aneh-aneh, peristiwa-peristiwa yang tidak masuk akal serta penuh
rahasia, keajaiban-keajaiban dan kemukjijatan-kemukjijatan. Manusia selalu
merasa haus dengan hal-hal yang baru, yang aneh, yang tidak kita mengerti.
Kita begitu
mendambakan hal-hal baru sehingga kita telah melupakan hal-hal lain yang
terjadi di sekitar kita, yang kita anggap telah lapuk dan lama, tidak menarik
lagi. Padahal segala macam keajaiban serta kemukjijatan terjadi di sekitar
kita, bahkan di dalam diri kita sendiri.
Tumbuhnya
setiap helai rambut di kepala dan bulu di kulit kita merupakan keajaiban dan
kemukjijatan yang besar, detak jantung kita yang mengatur peredaran darah di
seluruh tubuh kita, kembang-kempisnya paru-paru kita yang menghidupkan,
bekerjanya seluruh anggota tubuh kita, panca indera kita, bekerjanya otak kita
yang membuat kita dapat bicara, mendengar, melihat dan berpikir. Bukankah semua
itu merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat ajaib dan mukjijat, di
mana sepenuhnya terdapat suatu kekuatan gaib yang sungguh maha kuasa?
Kemudian,
segala benda yang tampak di luar diri kita. Gunung-gunung raksasa,
tumbuh-tumbuhan dengan aneka warna, bunga, dan aneka rasa buahnya, segala
makhluk hidup yang bergerak dengan segala macam bentuk, corak dan sifatnya,
lalu awan berarak di angkasa, menciptakan hujan, hawa udara yang menghidupkan,
sinar matahari, air, bumi, langit dan segala isi alam ini.
Bukankah
semua itu merupakan keajaiban yang sangat hebat? Namun kita sudah tidak menghargai
semua itu lagi, kita sudah buta akan keajaiban itu, kita menggapnya biasa saja
hingga melihat orang menginjak bara api saja kita kagum setengah mati! Padahal,
apa sih anehnya menginjak bara api itu apa bila dibandingkan dengan tumbuhnya
sehelai rambut kepala atau kuku jari kita?
Keajaiban
atau sesuatu yang kita anggap aneh adalah disebabkan kita belum mengerti.
Karena masih belum mengerti, tidak tahu bagaimana proses terjadinya, maka kita
lalu menganggapnya aneh, ajaib dan menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Akan
tetapi, sekali orang sudah mengerti, hal yang tadinya dianggap ajaib itu pun
menjadi biasa dan terlupakan, tidak menarik lagi, seperti tidak menariknya
melihat segala keajaiban yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita. Kita
memandang selalu jauh ke depan, mencari-cari yang baru.
Kita ini
mahkluk pembosan. Tertarik akan hal-hal baru memang merupakan suatu sifat yang
baik, seperti anak-anak yang selalu ingin tahu. Akan tetapi sifat ini harus
menjadi dorongan untuk menyelidiki sesuatu bukan menerima segala sesuatu begitu
saja hingga menciptakan watak tahyul.
Ketahyulan
adalah suatu kebodohan, menerima sesuatu dengan keyakinan padahal kita tidak
mengerti, dan hal ini terjadi karena kita senang akan sensasi. Menerima sesuatu
dengan kata ‘percaya’ mau pun dengan kata ‘tidak percaya’ adalah perbuatan
bodoh dan tidak bijaksana, karena menerima sesuatu dengan kata seperti itu
berarti bahwa kita belum atau tidak mengerti.
Sebaiknya
kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak kita mengerti itu dengan waspada,
membuka mata serta telinga, dan menyelami sendiri, menyelidiki sendiri sehingga
kita mengerti. Karena apa bila kita sudah mengerti, maka tidak ada lagi istilah
percaya atau tidak percaya.....
"Taihiap,
sekarang upacara pengangkatan murid wanita yang baru akan segera dimulai,"
kata pula anggota siluman itu kepada Thian Sin ketika pertunjukan itu selesai
dan tempat itu sudah dibersihkan kembali.
Tiba-tiba
musik berbunyi semakin nyaring, kemudian nampaklah seorang wanita berjalan
perlahan-lahan menaiki panggung atau puncak datar itu. Thian Sin memandang
seksama. Dia melihat bahwa wanita itu sangat cantik dan biar pun mukanya agak
pucat, akan tetapi muka itu sungguh mempunyai daya tarik yang kuat.
Wajah dan
tubuhnya menunjukkan bahwa wanita ini sudah masak, usianya tentu ada dua puluh
tujuh tahun. Rambutnya yang hitam terurai lepas itu sangat tebal dan panjangnya
sampai ke pinggul. Kedua kakinya yang kecil telanjang dan dia memakai gaun yang
sama tipisnya dengan gadis-gadis penari, gaun panjang menutupi kaki sehingga
terseret di atas lantai, warnanya putih bersih. Apa bila dipandang sepintas
lalu wanita ini seperti seorang mempelai yang akan dipertemukan dengan
pengantin pria.
Wanita itu
berjalan perlahan, kemudian berhenti di hadapan Sian-su yang masih berdiri
tegak dengan wajah bercahaya. Sejenak wanita itu memandang wajah itu, lalu
mengeluh lirih dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sian-su!
"Itukah
anggota baru?" Thian Sin bertanya.
"Benar,
taihiap. Dia itulah wanita yang taihiap sebut-sebut ketika menghadap
Sian-su."
Thian Sin
benar-benar terkejut sekali. "Apa? Kau maksudkan dia ini adalah ibu muda
dari kedua orang anak itu? Ibu dari keluarga Cia yang terculik?" Thian Sin
bangkit berdiri. "Jadi benarkah bahwa kalian telah menculiknya dan
membawanya ke sini?"
"Sabar
dan tenanglah, taihiap," kata orang itu.
Dengan sudut
matanya, Thian Sin dapat melihat betapa beberapa anggota perkumpulan itu
agaknya selalu memperhatikannya dan mereka telah siap untuk turun tangan apa
bila nampak gejala bahwa dia akan memberontak.
"Jangan
menuduh yang bukan-bukan. Nanti setelah diadakan upacara sembahyang, para tamu
selalu diberi kesempatan untuk mengajukan sendiri pertanyaan-pertanyaan kepada
calon anggota atau murid baru."
"Hemm,
jadi aku pun boleh mengajukan pertanyaan langsung kepada wanita itu?"
"Tentu
saja boleh, akan tetapi nanti setelah upacara sembahyang."
Thian Sin
menahan dorongan hatinya yang membuatnya penasaran. Jadi benar, wanita itu, ibu
dari dua orang bocah she Cia itu, sudah berada di sini! Dan memakai gaun yang
demikian tidak sopan sama sekali, gaun tipis tembus pandang tanpa ada sehelai
kain penutup tubuh di balik itu! Padahal, suami wanita ini terbunuh, demikian
pula enam orang pendekar lain. Ada apakah di balik semua ini?
Tentu wanita
itu berada dalam pengaruh sihir, pikirnya. Akan tetapi, apa bila ada peristiwa
yang amat keji dan jahat seperti itu, kalau dugaannya memang benar, kenapa para
tamu yang terdiri dari orang-orang berpangkat beserta para pendekar itu suka
menjadi pengikut atau peminat? Apakah mereka itu pun sudah tersihir oleh
Sian-su itu?
Dia harus
menyelidikinya dan kalau memang benar seperti apa yang diduganya itu, maka dia
harus menentang dan membasminya! Akan tetapi, dia pun bukan tidak tahu bahwa
pihak lawan ini amat berbahaya dan kuat, maka dia harus bersikap hati-hati
sekali.
Kini Sian-su
mengulurkan tangannya ke arah wanita itu yang segera menyambut uluran tangan
ini dan wanita itu pun bangkit berdiri, kemudian tangannya digandeng oleh
Sian-su, berjalan menuju ke tepi dataran itu di mana terdapat pondok kecil
untuk pemujaan dewa. Sian-su atau siluman itu lalu menerima sebongkok hio yang
sudah dinyalakan dari salah seorang anggota perkumpulan yang bertugas di sana.
Dia segera mengacungkan hio ke empat penjuru, dan membagi-bagi hio itu menjadi
tujuh.
Sekarang
wanita itu bersembahyang di depan tujuh pondok kecil, dan setiap kali selesai
sembahyang, sambil berlutut lalu menaruh hio di depan pondok, di tempat abu hio
yang telah tersedia. Sesudah selesai, dia dituntun oleh Sian-su dan setelah
dilepaskan, wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Sian-su yang
berdiri di depannya.
Tujuh orang
gadis yang tadi membawa kelinci dan bermacam barang itu selalu mengikuti mereka
dari belakang dan kini mereka bertujuh juga berlutut mengelilingi Sian-su.
Orang itu lantas mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan mengeluarkan suara
aneh, suara melengking dalam seperti bukan suara manusia dan ketika tangan
kanannya melambai, tahu-tahu tangan itu sudah memegang sebatang bunga yang
diberikannya kepada wanita itu.
Wanita itu
menerima bunga, mencium bunga dengan khidmat, lalu menancapkan bunga itu pada
rambutnya yang tebal. Kemudian, kembali Sian-su mengangkat kedua tangan ke atas
dan mengembangkan kedua lengannya.
Terdengar
suara ledakan kemudian disusul asap seperti tadi. Seperti juga tadi, asap itu
menyelubungi dirinya dan juga wanita itu sehingga tidak nampak, kemudian
setelah asap membuyar, Sian-su masih nampak berdiri seperti tadi, hanya kini
cahaya pada wajahnya sudah lenyap.
"Sang
Dewa Kematian telah kembali ke tempat asalnya," demikianlah si muka
tengkorak yang menemani Thian Sin menerangkan hal yang memang telah dapat
diduga oleh Thian Sin.
Siluman
Tengkorak atau Sian-su itu kini menghadapi para tamunya dan berkata dengan
suara biasa saja, "Cu-wi yang mulia, seperti biasa, apa bila ada yang
ingin tahu, silakan mengajukan pertanyaan kepada murid baru ini."
Mendapatkan
kesempatan ini, Thian Sin tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia lalu
bangkit berdiri dan menghampiri Sian-su yang menyambutnya dengan sikap ramah.
"Ahh,
Ceng taihiap suka memberi kehormatan kepada murid baru kami untuk mengajukan
pertanyaan? Silakan, silakan, taihiap!"
Thian Sin
mengangguk dan semua tamu memandang dengan hati tertarik. Mereka semua adalah
pengikut-pengikut yang setia dan penuh kepercayaan, dan kini mendengar bahwa
Pendekar Sadis hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja
maksudnya untuk menguji, maka mereka merasa tertarik sekali. Mereka sendiri pun
tadinya ragu-ragu terhadap perkumpulan agama pemuja Dewa Kematian ini. Tetapi
setelah mereka menguji dan melihat hasil-hasil baiknya, mereka kemudian menaruh
kepercayaan sepenuhnya.
Siapa yang
tidak suka menjadi pengikut? Selagi hidup dapat menikmati kesenangan yang
sangat luar biasa di tempat ini, dan selain itu, mereka semua telah menjadi
pemuja Dewa Kematian sehingga telah menjadi ‘sahabat’ baik dewa itu. Dengan
demikian, mereka akan terjamin kelak kalau terpaksa harus menghadapi kematian
karena dewanya telah menjadi sahabat baik mereka. Dan menurut wejangan Sian-su,
karena telah menjadi sahabat baik, maka Dewa Kematian akan berlaku murah pada
mereka dan akan dapat ‘memperpanjang’ kehidupan mereka dan tidak cepat-cepat
mencabut nyawa mereka.
Janji-janji
muluk yang selalu dipamerkan memang merupakan umpan yang amat menarik bagi
manusia pada umumnya yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan, di mana pun
dan kapan pun juga. Bahkan untuk mendapatkan janji-janji muluk ini, manusia
tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, bahkan kalau perlu menyiksa diri.
Alangkah
banyaknya orang menyiksa diri dengan berpuasa dan bertapa di tempat sunyi,
penyiksaan diri karena di sana terdapat harapan atau janji bahwa mereka akan
mendapat ganjaran batin yang tentu saja menyenangkan! Bahkan untuk keadaan
mereka sesudah mati sekali pun, selagi masih hidup manusia sudah hendak
mengaturnya, semua itu demi mendapat kepastian bahwa keadaannya ‘di sana’ nanti
akan enak, keenakan yang diukur dengan keadaan di waktu masih hidup.
Wanita itu
masih berlutut dan Thian Sin terpaksa juga berjongkok ketika menghampirinya dan
hendak mengajukan pertanyaan.
"Nyonya,
bolehkah saya mengetahui namamu?"
Wanita itu
mengangkat muka memandang kepada Thian Sin dan diam-diam Thian Sin harus
mengakui bahwa isteri Cia Kok Heng ini adalah seorang wanita yang cantik
menarik dan manis sekali. Ketika dia memandang matanya, dia mendapatkan
kenyataan bahwa memang benar wanita itu berada dalam keadaan tersihir atau
setidaknya dalam keadaan tidak begitu sadar! Tentu saja dia menjadi marah.
"Namaku
Lu Sui Hwa...," jawab wanita itu dengan sikap yang ramah dan senyum manis
menghias bibirnya.
Thian Sin
segera mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan kekuatan sihir untuk
menyadarkan wanita itu sambil berkata, "Lu Sui Hwa, sadarlah engkau dan
mulai saat ini pergunakan pikiranmu sendiri!" Dengan gerakan tangan, Thian
Sin membuat gerakan jari tangan kiri di depan wajah wanita itu.
Wanita itu
segera terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan. "Ihhh...!"
"Sui
Hwa, tenanglah dan jawab semua pertanyaan Pendekar Sadis. Ingat, engkau berada
dalam keadaan aman!" Tiba-tiba terdengar suara Sian-su yang lemah lembut.
Ucapan itu
membuat sepasang mata yang terbelalak itu menjadi suram lantas wanita itu
memandang kepada Thian Sin dengan penuh kecurigaan! Akan tetapi, Thian Sin
melihat bahwa usahanya berhasil dan wanita itu kini benar-benar telah sadar.
"Nyonya,
kenalkah engkau pada orang yang bernama Cia Kok Heng?" tanyanya dengan
lantang.
Akan tetapi,
betapa heran hatinya ketika wanita itu menjawab dengan wajar, "Dia adalah
suamiku."
"Dan
dua orang anak kecil, seorang anak laki-laki dan seorang wanita bernama Cia
Liong dan Cia Ling?"
Wajah itu
menjadi pucat sekali, akan tetapi suaranya masih terdengar tenang dan lantang
ketika menjawab, "Mereka adalah anak-anakku!"
Thian Sin
lalu bangkit berdiri dan suaranya lantang dan penuh wibawa ketika dia berkata
lagi, "Nyonya Cia, engkau yang memiliki suami dan dua orang anak, kenapa
bisa berada di sini?"
Suasana
menjadi tegang. Semua tamu maklum bahwa Pendekar Sadis ini mencari-cari
permusuhan, dan semua telinga ditujukan kepada wanita itu, menanti jawabannya.
Thian Sin sudah bersiap siaga karena dia merasa yakin bahwa wanita ini tentu
akan membuka rahasia Siluman Goa Tengkorak, bahwa dia telah diculik oleh
mereka.
"Aku
memang meninggalkan mereka untuk menjadi pengikut Sian-su!"
Jawaban ini
tentu saja tidak disangka sama sekali oleh Thian Sin dan mukanya menjadi merah
ketika dia mendengar suara ketawa tertahan di sana-sini. Dia cepat menggunakan
kekuatan sihirnya untuk ‘mencuci’ wanita yang masih berlutut itu dari hawa atau
pengaruh sihir yang mempengaruhi, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa wanita
itu sudah tidak dalam pengaruh sihir lagi, melainkan menjawab dalam keadaan
sadar!
"Engkau
sebagai seorang nyonya terhormat rela merendahkan diri, mengenakan pakaian
seperti ini dan meninggalkan suami serta anak-anakmu?" Suara Thian Sin
mengandung penasaran dan dia tahu bahwa pertanyaannya itu tentu akan menikam
perasaan seorang ibu dan isteri yang terhormat.
"Taihiap,
pertanyaanmu itu sudah menyimpang dan merupakan penghinaan!" Terdengar
Sian-su berkata halus.
Thian Sin
menoleh. Dia melihat betapa pandangan mata para tamu ditujukan kepadanya dengan
penuh penasaran, dan wanita itu pun menunduk dan menangis!
"Sui
Hwa, jawablah, apakah ada yang memaksamu menjadi pengikut kami dan menjadi
pemuja Dewa Kematian?" tanya Sian-su dengan suara lantang.
"Tidak
ada, aku masuk atas kehendakku sendiri," jawab nyonya itu.
"Dan
engkau rela mengikuti semua upacara dan peraturan seperti yang sudah berlaku di
sini?"
"Aku
rela."
Sian-su
berpaling kepada Thian Sin. "Ceng-taihiap sudah mendengar cukup, maka
harap silakan duduk dan menyaksikan upacara selanjutnya. Boleh saja orang luar
merasa tidak setuju dengan cara-cara kami, tetapi jelas bahwa orang luar tidak
berhak mencampuri."
"Aku
tidak ingin mencampuri, hanya ingin tahu keadaan yang sebenarnya," bantah
Thian Sin.
Akan tetapi,
para anggota perkumpulan itu sudah datang mengurung dan para tamu juga
memandang marah. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan pundaknya lantas kembali ke
tempat duduknya, mulai meragukan kebenaran tindakannya memasuki sarang
berbahaya ini.
Bagaimana
kalau memang wanita itu adalah wanita tak bermalu yang rela meninggalkan suami
serta anak-anak untuk menjadi pengikut perkumpulan yang cabul ini? Mungkin saja
suaminya tidak rela melepaskan lantas bersama kawan-kawannya yang merupakan
Tujuh Pendekar Tai-goan mereka memusuhi perkumpulan ini akan tetapi mereka lalu
dikalahkan sehingga semua jatuh tewas.
Kalau memang
benar demikian keadaannya, maka persoalannya tentu saja menjadi lain sama
sekali! Dengan wajah termangu-mangu Thian Sin menyaksikan upacara yang mulai
dilakukan oleh Sian-su.
Siluman atau
pendeta siluman ini mengambil kelinci putih dari tangan seorang di antara tujuh
orang gadis, lalu mengambil pedang emas. Dia mengangkat kelinci itu di
depannya, tepat di atas kepala Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, kemudian
pisau atau pedang kecil dari emas itu dihujamkan ke leher kelinci putih!
Darah
mengucur keluar dari luka leher itu pada waktu pisau dicabut, nampak jelas
sekali menodai bulu putih bersih, lalu darah itu mengucur jatuh ke atas kepala
nyonya muda itu! Dari atas kepala, darah kelinci itu kemudian mengalir dan
membasahi mukanya. Wanita itu menengadah dan nampak tersenyum bahagia sambil
memejamkan matanya.
Dari
kejauhan Thian Sin dapat melihat bahwa wanita itu sudah kembali berada di dalam
cengkeraman sihir. Akan tetapi karena tadi malam dalam keadaan sadar wanita itu
sudah mengaku bahwa dia melakukan semua itu atas kehendak hatinya sendiri dan
secara suka rela, apa yang dapat dilakukannya? Dia hanya dapat memandang.
Kini pendeta
siluman itu membiarkan darah kelinci memasuki bokor emas yang dipegang oleh
salah seorang gadis, sampai darah itu tak menetes lagi dari leher kelinci.
Tentu saja kelinci itu mati kehabisan darah. Akan tetapi, ketika pendeta
siluman itu dengan bentakan keras melemparkan kelinci ke bawah, kelinci yang
bermandikan darah itu menggerakkan tubuhnya dan lari cepat ke tebing dan
menghilang di balik jurang!
Thian Sin
mengangguk-angguk. Memang pendeta ini adalah seorang lawan yang tangguh, juga
dalam ilmu sihir! Sang pendeta kemudian menuangkan arak atau anggur dari dalam
guci-guci emas ke dalam bokor, mencampurkan arak itu dengan darah kelinci.
Kemudian musik pun dipukul dengan gencar penuh semangat, dan makin lama semakin
panas saat pendeta itu, diwakili oleh tujuh orang penari, membagi-bagikan isi
bokor ke dalam cawan arak para tamu!
Thian Sin
yang hendak diberi, menolak keras dengan menggeleng kepala dan mukanya menyatakan
jijik. Kini semua penari, berikut tujuh orang gadis yang jumlahnya tak kurang
dari tiga puluh orang, menari semua, menurutkan irama musik yang makin lama
semakin panas merangsang.
Dan
perlahan-lahan Lu Sui Hwa juga menggerak-gerakkan tubuhnya lantas bangkit
berdiri sambil menari. Agaknya dia tak pernah belajar menari, akan tetapi dia
hanya menggerak-gerakkan sepasang lengan serta pinggulnya, dan karena dia
seorang wanita cantik yang memiliki bentuk tubuh yang indah, biar pun begitu
tetap saja dia nampak amat menarik!
Seorang
pemuda yang tadinya duduk di bagian tamu, nampaknya telah mulai mabok atau
terseret oleh keadaan itu. Sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri Sian-su
yang memegang tangannya dan menariknya mendekati Sui Hwa. Mereka agaknya berkenalan
dan Sui Hwa menyambutnya dengan senyuman manis, kemudian pemuda yang kelihatan
sudah mabok itu lantas merangkul dan menjilati darah yang menodai wajah Sui
Hwa, dan keduanya lalu menari-nari sambil berpelukan!
Para tamu
mulai gembira, bersorak dan bertepuk tangan mengikuti irama musik. Agaknya
mereka semua menjadi mabok birahi sesudah minum anggur yang bercampur darah
tadi! Serentak mereka berdiri lantas menari-nari, masing-masing memilih
pasangannya sendiri-sendiri di antara para penari kemudian terjadilah
pemandangan yang hampir tidak dapat dipercaya oleh Thian Sin kalau dia tidak
menyaksikannya sendiri!
Orang-orang
itu mungkin telah menjadi gila semua, pikirnya. Mereka menari
berpasang-pasangan, saling rangkul, saling belai dan saling cium, sedikit pun
tidak merasa malu dan musik pun semakin riuh rendah, keranjingan dan mereka
semua seperti sudah kerasukan iblis!
Pendeta
siluman itu sendiri langsung meraih pinggang seorang wanita yang masih sangat
muda, yang cantik manis dan yang agaknya memang menjadi kekasihnya. Thian Sin
tidak tahu bahwa wanita muda ini adalah Thio Siang Ci, mempelai wanita dari
dusun Ban-ceng yang sudah diculik pada malam pengantin! Dia diculik karena
pendeta siluman itu sendiri yang tertarik dan tergila-gila kepada kembang dusun
Ban-ceng ini.
Juga
Pendekar Sadis tidak tahu bahwa orang muda yang kini sedang bergumul sambil
menari-nari itu adalah seorang pemuda bangsawan she Phang dari Taigoan yang
sudah lama tergila-gila kepada isteri Cia Kok Heng yang kini telah berada dalam
pelukannya dan melayani hasrat hatinya dengan nafsu birahi bernyala-nyala itu.
Sesungguhnya,
perkumpulan yang menamakan dirinya perkumpulan agama Jit-sian-kauw ini secara
diam-diam sudah lama bersarang di tempat itu. Perkumpulan ini dipimpin oleh
seorang yang hanya dikenal dengan sebutan Sian-su dan secara diam-diam sudah diakui
pula oleh banyak anggota yang terdiri dari orang-orang penting di sekitar
Tai-goan, malah ada pula yang dari kota raja.
Secara resmi
agama ini mengadakan pelajaran-pelajaran agama yang diambil dari Agama Buddha
Hinayana dan Agama To, juga dicampur dengan unsur dari agama kuno seperti
Im-yang-kauw dan lain-lainnya yang menjurus kepada pelajaran kebatinan yang
mengejar hal-hal gaib. Di antara tujuh dewa yang dipuja oleh Jit-sian-kauw
(Agama Tujuh Dewa) itu yang terutama sekali dan menjadi pusat dari pemujaan
mereka adalah Dewa Kematian.
Di bawah
pimpinan Sian-su, para anggota dituntun untuk memuja dewa ini yang dianggap
dapat memberi usia panjang dan dapat mengatur nasib mereka kelak sesudah mereka
mati. Pemimpin yang disebut Sian-su itu adalah seorang yang selalu bersembunyi
di balik topeng tengkorak sehingga belum pernah ada yang melihat atau mengenal
wajah aslinya.
Akan tetapi
semua anggota dan pengikut amat hormat dan taat kepadanya karena orang ini
memang mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi, bukan hanya dalam hal ilmu
silat akan tetapi juga ilmu gaib. Sian-su ini dikabarkan memiliki kepandaian
seperti dewa, dapat menghilang, dapat mendatangkan tujuh dewa yang dipuja-puja
itu.
Bukan itu
saja, bahkan dalam upacara-upacara diadakan pesta yang oleh Sian-su disebut
pesta pembebasan nafsu badaniah! Di dalam pesta seperti ini, mereka membiarkan
diri hanyut ke dalam seretan gelombang nafsu birahi yang melanda mereka di mana
mereka boleh melampiaskan nafsu birahi mereka sepuasnya dengan siapa pun juga
asal tidak ada unsur pemaksaan.
Menurut
ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran
sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri
kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita
menjadi cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh
jiwa yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa
Kematian. Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu
yang amat berbahaya dan sama sekali tak bisa dibuktikan kebenarannya.
Yang jelas
dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apa pun juga timbul
dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api yang apa
bila diberi hati, apa bila dituruti akan seperti api yang diberi bahan bakar.
Semakin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi, makin
membesar dan tidak akan padam lagi.
Mengendalikan
nafsu pun tidak akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauan pun
percuma karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula
yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu akan
lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu.
Sering kali
terjadi konflik di dalam batin sendiri. Pada satu pihak keinginan atau nafsu
itu timbul, pada lain pihak keinginan untuk mematikan pun timbul. Konflik ini
merupakan api dalam sekam yang nampaknya saja padam, namun sesungguhnya masih
membara dan sewaktu-waktu akan dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat
atau terbuka.
Nafsu itu
sendiri merupakan energi yang amat hebat. Nafsu itu sendiri amat penting bagi
kehidupan. Hanya cara penggunaannya yang menentukan apakah dia merusak ataukah
mendatangkan manfaat. Dan cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri
melalui kewaspadaan dan kesadaran dari pengamatan diri pribadi.
Pengamatan
diri pribadi akan menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul
ketertiban yang tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang. Pengamatan
diri pibadi ini dapat terjadi setiap saat, yang berarti ada perhatian dan
waspada sepenuhnya terhadap gerak-gerik kita, baik gerak-gerik hati, pikiran,
kata-kata mau pun perbuatan.
Bukan
mengamati sambil menilai karena penilaian itu juga merupakan hasil pekerjaan si
aku! Jadi, kita harus benar-benar waspada dengan segala kepalsuan yang terjadi
setiap saat, bukan hanya kepalsuan yang terjadi di luar diri, namun terutama
sekali kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di dalam batin kita sendiri.
Dengan umpan
kesenangan di dalam pemuasan nafsu birahi ini, Sian-su berhasil menarik minat
banyak orang untuk menjadi pengikut dari perkumpulan agamanya. Tentu saja dia
pun memilih-milih orang, terutama sekali dipilihnya orang-orang yang
berkedudukan, yaitu para bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang yang
memiliki ilmu silat tinggi atau yang menamakan diri mereka pendekar-pendekar.
Dan kerena
sifat dari pesta-pesta agama ini, para pengikut itu sendiri merahasiakannya
dari orang luar karena bagaimana pun juga, setiap orang manusia itu mempunyai
naluri akan penyelewengan dirinya sendiri dan merasa malu kalau penyelewengannya
diketahui orang. Demi kesenangan yang telah mencandu, mereka itu dengan
sendirinya memerangi perasaan salah ini dengan berbagai alasan pelajaran
keagamaan seperti yang diajarkan oleh Sian-su.
Hanya pada
hari-hari tertentu saja mereka berdatangan ke tempat itu, dan hanya para
anggota inilah yang tahu jalannya, melalui jalan rahasia yang hanya terbuka
bagi mereka, yaitu tempat pemujaan di tengah-tengah pegunungan yang tidak
kelihatan dari luar dan hanya dapat dicapai melalui jalan terowongan rahasia
itu.
Sudah lebih
dari dua tahun perkumpulan agama itu bersarang di sana, akan tetapi tidak ada
yang mengetahuinya kecuali para anggota atau pengikutnya. Para pengikut ini
sudah banyak menyerahkan uang sumbangan kepada perkumpulan ini, akan tetapi mereka
tahu pula bahwa uang itu digunakan untuk memajukan perkumpulan dan terutama
sekali untuk menyenangkan mereka.
Pesta-pesta
dengan hidangan-hidangan yang lezat itu tentu memerlukan uang. Juga untuk
memelihara para anggota atau murid-murid wanita yang cantik-cantik, muda dan
pandai menari itu pun membutuhkan uang. Terlebih lagi untuk membangun ‘istana’
mereka yang berada di puncak bukit tersembunyi itu serta membuat pondok-pondok
untuk tujuh dewa, semua membutuhkan uang yang amat banyak. Karena itu mereka
tidak merasa sayang untuk menyumbangkan harta benda.
Tentu saja
mereka yang sudah percaya penuh kepada kebijaksanaan Sian-su itu sama sekali
tidak mau percaya dengan desas-desus bahwa akhir-akhir ini perkumpulan mereka
itu melakukan kejahatan-kejahatan. Mereka menganggapnya sebagai kabar bohong
serta fitnah belaka.
Mereka tidak
tahu bahwa nafsu ketamakan orang yang mereka sebut Sian-su itu semakin lama
semakin menjadi dan untuk membuat pondok-pondok serta benda-benda dari emas
tulen itu memerlukan banyak sekali uang. Dan untuk memenuhinya, orang-orang itu
telah mempergunakan kepandaiannya sendiri dan kepandaian anak buahnya untuk
melakukan pencurian-pencurian. Juga untuk memperlengkapi persediaan mereka akan
wanita-wanita cantik, maka perkumpulan ini mulai pula melakukan
penculikan-penculikan terhadap para wanita muda dan cantik.
Tindakan
Sian-su telah sedemikian beraninya untuk memenuhi ‘pesanan’ dari pemujanya,
bahkan pada malam hari itu dia telah memenuhi pesanan dari pemuda bangsawan
Phang yang tergila-gila kepada nyonya Cia Kok Heng! Akan tetapi yang mengetahui
akan hal ini hanya pemuda Phang itu dengan Sian-su sendiri, dan untuk jasa ini
tentu saja pemuda Phang yang kaya raya itu tidak merasa sayang untuk memberi
hadiah sumbangan yang sangat besar!
Perkumpulan
agama ini mempunyai anak buah yang tidak terlalu banyak, hanya kurang lebih
empat puluh orang yang terdiri dari berbagai golongan, akan tetapi rata-rata
mereka memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka adalah anak buah sekaligus juga
murid-murid Sian-su yang memiliki dasar ilmu silat berbagai aliran.
Tidak semua
dari mereka berasal dari golongan penjahat, bahkan banyak pula yang terdiri
dari orang baik-baik yang tertarik dengan agama itu dan kemudian menjadi
pengikut lalu diangkat menjadi murid dan anak buah. Seperti juga Sian-su,
sesudah menjadi anak buah perkumpulan agama itu mereka semua menggunakan
pakaian seragam dan juga topeng tengkorak dalam melaksanakan tugas.
Kenapa
mereka selalu menggunakan pakaian dan topeng tengkorak? Hal ini adalah untuk
menyatakan pemujaan mereka terhadap Dewa Kematian. Tengkorak merupakan lambang
kematian, dan kebetulan sekali mereka juga memperoleh sarang di Goa Tengkorak
yang sungguh merupakan tempat yang amat cocok untuk perkumpulan agama mereka.
Anak buah
perkumpulan itu sudah disumpah setia terhadap Sian-su. Di samping sumpah ini
yang diperkuat oleh kepercayaan mereka terhadap Dewa Kematian, juga mereka
takut sekali terhadap Sian-su yang mereka tahu mempunyai ilmu kepandaian yang
amat tinggi. Maka, mereka sadar bahwa berkhianat atau melanggar pantangan
berarti kematian yang mengerikan bagi mereka, baik di tangan Sian-su atau pun
juga di tangan Dewa Kematian yang tentu akan menyiksa mereka di alam baka!
Sian-su yang
berilmu tinggi itu dapat mencengkeram serta menguasai semua anak buah atau
muridnya, juga menguasai semua wanita pelayan dan penari, menguasai
pengikut-pengikutnya dengan mempergunakan ilmu sihirnya serta ramu-ramuan obat
pembius dan perangsang yang dicampurkan dalam minuman. Perlahan-lahan tetapi
pasti, pengaruhnya meluas dan anggotanya bertambah, para pengikutnya juga
bertambah.
Melihat
betapa pesta itu berubah menjadi tempat pemuasan nafsu tanpa mengenal batas
kesopanan lagi, bahkan di antara pasangan-pasangan yang menari-nari dan
berpelukan sambil berciuman itu ada yang sambil tertawa-tawa sudah bergandengan
tangan menuju ke sudut-sudut di mana terdapat kasur-kasur kecil dengan pakaian
si wanita sudah tidak karuan lagi, Thian Sin menjadi muak.
Dia sendiri
adalah seorang pemuda yang romantis. Akan tetapi dia memandang hubungan antara
pria dan wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang merupakan pencurahan
dari pada kasih sayang, bukan hanya merupakan pemuasan nafsu birahi belaka. Apa
lagi kalau dilakukan secara demikian kasar, di hadapan orang banyak, tanpa
mempedulikan kesusilaan dan sopan santun sedikit pun, tentu saja perasaannya
menjadi tersingung dan dia menjadi tidak senang.
"Taihiap,
marilah... apakah taihiap tidak ingin bersenang-senang? Mari kulayani,
taihiap... aku sengaja mengelak dari siapa pun juga untuk melayanimu..."
Tiba-tiba
ada lengan kecil berkulit halus merangkulnya, lantas hidungnya mencium aroma
semerbak harum. Thian Sin menengok dan melihat bahwa yang merangkul dirinya
adalah gadis yang tadi menerima sumbangannya. Pada saat itu hati Thian Sin
sedang kesal dan murung, marah yang ditahan-tahan. Maka, sikap gadis ini
membuatnya marah, lebih lagi ketika gadis itu tanpa malu-malu lagi lalu
menciumnya dan menarik-narik lengannya.
"Pergilah!"
bentaknya dan sekali dorong, gadis itu terpelanting dan jatuh sampai beberapa
meter jauhnya.
Dia pun
melihat betapa para anggota perkumpulan itu, yang sejak tadi tidak turut pesta
melainkan hanya berdiri dan berjaga, memandang kepadanya penuh perhatian dan
begitu dia mendorong jatuh gadis itu, lima orang di antara mereka segera
berloncatan dan sudah mengurungnya. Thian Sin berdiri tegak dan bersikap
tenang, maklum bahwa bagaimana pun juga akhirnya dia tidak akan dapat lolos
dari pertempuran.
"Ceng-taihiap,
sebagai tamu taihiap telah melangqar peraturan dan melakukan penghinaan
terhadap murid-murid kami yang terkasih," terdengar suara Sian-su yang
ternyata sudah berada pula di sana. Tangannya menunjuk ke arah gadis yang tadi
jatuh, yang kini sudah berdiri dan memegangi siku tangan kirinya yang berdarah,
kemudian gadis itu melangkah pergi dengan kepala menunduk.
"Sian-su,
aku memang muak melihat semua ini dan aku sudah menolaknya, habis kalian mau
apa?" tanyanya sambil memandang kepada lima orang yang mengurung dirinya
dan mengambil sikap menyerangnya itu. Dia melihat bahwa di antara kelima orang
ini terdapat tosu penghuni kuil itu yang dikenalnya dari kebiasaannya
memiringkan kepala.
"Siancai...
agaknya taihiap hendak mengandalkan kepandaian menentang kami. Ataukah taihiap
hendak meramaikan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silat?"
"Terserah
apa yang hendak diartikan, akan tetapi yang jelas, aku akan pergi dari tempat
kotor ini!" kata Thian Sin.
Dia telah
membalikkan tubuhnya hendak pergi melalui anak tangga dari mana dia datang
tadi. Akan tetapi lima orang itu dengan sekali loncatan telah menghadang di
depannya.
"Ah,
nanti dulu, taihiap. Tak semudah itu untuk pergi meninggalkan tempat ini tanpa
seijin kami. Apa bila taihiap hendak memperlihatkan ilmu silat, baiklah. Biar
aku melihat sendiri sampai mana kehebatan ilmu Pendekar Sadis yang terkenal
itu." Lalu dia memberi isyarat kepada lima orang itu dan berkata,
"Tangkap dia!"
Lima orang
itu adalah lima orang pembantu utama dari Sian-su, merupakan murid-murid kepala
yang paling lihai di antara semua anggota atau murid dan di antara lima orang
ini memang terdapat tosu penghuni kuil yang tentu saja bukan bertapa di kuil
itu melainkan bertugas sebagai penjaga dan pengintai.
Walau pun
ketua mereka memberi perintah lisan untuk menangkap Pendekar Sadis, akan tetapi
dari isyarat dengan tangan itu mereka maklum bahwa mereka disuruh membunuh
musuh yang berbahaya ini. Maka, begitu tangan mereka bergerak, lima orang
bertopeng siluman tengkorak itu sudah mencabut pedang mereka dari balik jubah
di mana senjata mereka itu disembunyikan. Melihat ini, Thian Sin tersenyum.
"Majulah
jika kalian memang menghendaki demikian!" Dia masih berdiri tegak, tidak
mau mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam yang tersembunyi di balik bajunya.
Lima orang
bertopeng tengkorak itu tiba-tiba menggerakkan pedang mereka dan mulailah
mereka menyerang bergantian secara bertubi-tubi dan teratur. Pedang mereka
berkelebat menyilaukan mata tertimpa sinar lampu-lampu di sekeliling tempat itu
dan setiap gerakan mereka itu selain cepat juga amat kuat. Hal ini tentu saja
diketahui Thian Sin dan pemuda ini pun langsung bersikap waspada, menggunakan
kecepatan tubuhnya untuk mengelak dan kadang-kadang dia menggunakan tangannya
untuk menangkis.
"Plakk!
Plakk!"
Ketika
tangan kirinya dengan gerakan cepat menangkis dua batang pedang, si pemegang
pedang terhuyung mundur dan mereka terkejut sekali. Dengan tangan telanjang
pemuda itu sanggup menangkis pedang dengan kekuatan sedemikian dahsyat, maka
hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Pendekar Sadis.
Sedangkan
Sian-su sejak tadi menonton di pinggiran sambil merangkul pinggang ramping
gadis yang tadi melayaninya. Beberapa kali dia mengangguk-angguk, sementara
pandang matanya menjadi semakin kagum. Dari beberapa jurus saja tahulah dia
bahwa Pendekar Sadis ini benar-benar sangat lihai sekali. Alangkah baiknya dan
betapa menguntungkan apa bila dia bisa menariknya sebagai pembantu utamanya!
Kini yang
menjadi pembantu utamanya adalah lima orang murid kepala ini. Akan tetapi
agaknya mereka ini tak akan dapat menang melawan Pendekar Sadis, walau pun
mereka semua memegang pedang dan Pendekar Sadis hanya bertangan kosong saja.
Pertandingan
itu menarik perhatian mereka yang sedang berpesta. Akan tetapi, mereka yang
tidak mengenal ilmu silat, para bangsawan dan hartawan yang sedang mabok
birahi, tidak mempedulikan pertandingan itu dan melanjutkan kesenangan mereka,
berpasang-pasangan dan tetap melanjutkan permainan mereka di sudut-sudut
ruangan yang luas itu menyendiri berduaan saja. Mereka yang mengenal ilmu
silat, terutama para pengikut yang berasal dari golongan pendekar, menjadi
tertarik dan meski pun mereka masih merangkul pinggang pasangan masing-masing,
tapi mereka mendekat dan menonton dengan penuh perhatian.
Para anak
buah perkumpulan itu sudah mengurung tempat itu dan bersiap-siaga, bahkan ada
sepuluh orang yang berderet dengan busur dan anak panah siap diluncurkan. Semua
ini tidak terlepas dari pandang mata Thian Sin. Dia maklum bahwa dia akan
menghadapi pengeroyokan dan karena dia belum tahu sampai di mana kelihaian
Sian-su, juga para pendekar yang mabok birahi itu, maka keadaannya cukup
berbahaya. Apa lagi dia berada di pusat tempat rahasia itu yang banyak
mengandung perangkap-perangkap. Karena itu dia pun tidak mau menjatuhkan tangan
maut.
Tepat
seperti yang diduga oleh Sian-su, kini Thian Sin memperlihatkan kepandaiannya.
Walau pun semuanya bersenjata, lima orang itu segera terdesak hebat. Setiap
tangkisan itu membuat mereka terhuyung sehingga semua serangan mereka tak ada
gunanya sama sekali, jika tidak terpental oleh tangan pemuda itu, tentu hanya mengenai
tempat kosong saja. Namun sebaliknya, setiap tamparan tangan pemuda itu, baru
angin pukulannya saja sudah membuat mereka kewalahan.
Tiba-tiba
Thian Sin berteriak, "Pergilah kalian!"
Dan kaki
tangannya bergerak cepat sekali. Terdengar suara berkerontangan dan nampak lima
batang pedang terlempar ke sana-sini sedangkan lima orang itu pun terjengkang
dan terpelanting ke kanan kiri!
Mereka tidak
terluka parah, tetapi senjata mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka
terpelanting, ini telah merupakan bukti cukup bahwa mereka telah kalah!
Sian-su, pendeta siluman itu, kini melepaskan rangkulan dari pinggang ramping
kekasihnya, lantas dengan sekali melompat dia sudah berhadapan dengan Thian
Sin.
"Siancai,
siancai...! Pendekar Sadis memang benar tangguh, cukup pantas untuk menjadi
lawanku! Mari kita main-main sebentar, taihiap!"
Thian Sin
melihat perubahan sikap para pengikut agama yang datang mendekat. Melihat
betapa Sian-su sendiri yang maju, agaknya mereka pun merasa penasaran dan di
antara mereka bahkan ada yang sudah melepaskan rangkulan mereka terhadap gadis
pasangan mereka masing-masing dan mereka bersikap mengancam.
Akan tetapi
pada saat itu, pendeta siluman itu sudah menerjangnya dengan pukulan yang cukup
dahsyat. Sebelum tangannya tiba, sudah ada angin pukulan yang sangat dahsyat
menyambar dan ini saja menunjukkan bahwa pendeta siluman itu memiliki tenaga
sinkang yang kuat sekali.
Thian Sin
juga tidak mau main-main lagi dan dia langsung mengerahkan tenaga Thian-te
Sin-ciang untuk menangkis. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi)
ini adalah penghimpunan sinkang yang luar biasa kuatnya, yang membuat kedua
tangan pemuda itu mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka, merupakan satu
di antara sekian banyak ilmu luar biasa yang dikuasainya. Sekarang, menghadapi
lawan yang diketahuinya amat tangguh, Thian Sin tidak ragu-ragu lagi untuk
mengeluarkan ilmunya ini untuk menandingi tenaga dalam lawannya.
"Dukkk!"
Pertemuan
dua tenaga sakti yang amat hebat itu terasa oleh semua orang yang menjadi
penonton. Ada getaran hebat menyambar ke sekitar tempat itu. Thian Sin sendiri
merasa betapa tubuhnya terguncang sehingga memaksa dia melangkah mundur dua
tindak, akan tetapi Siansu itu sendiri juga terhuyung ke belakang.
"Hebat...!"
Sian-su memuji, bukan pujian kosong karena dia benar-benar merasa kagum dan
makin besar keinginannya untuk bisa menarik pemuda sehebat ini sebagai
sekutunya atau pembantunya. Tentu kedudukannya akan menjadi makin kuat jika dia
dapat menarik pemuda ini menjadi sekutunya.
Kini dia
menyerang lagi dan dia mengerahkan ginkang-nya. Diam-diam Thian Sin terkejut
bukan main. Kiranya siluman ini adalah seorang ahli ginkang yang hebat! Kim
Hong tentu tertarik sekali melihat ini, karena Kim Hong sendiri adalah orang
ahli ginkang yang sukar dicari bandingnya. Dan agaknya ilmu meringankan tubuh
pendeta siluman ini betul-betul hebat sekali sehingga tubuhnya berkelebatan seperti
terbang saja.
Thian Sin
harus mengakui bahwa biar pun belum tentu siluman ini dapat menandingi Kim Hong
dalam hal ilmu meringankan tubuh, namun dia sendiri masih kalah setingkat oleh
pendeta siluman ini! Maka dia pun lalu mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun, ilmu yang
memiliki dasar sangat kuat sehingga meski pun diserang dari jurusan mana pun
dengan kecepatan yang bagaimana pun, dengan ilmu ini dia dapat menjaga diri dan
bahkan balas menyerang dengan tidak kalah hebatnya. Dengan ilmu silat ini, maka
keunggulan pendeta siluman itu dalam hal kecepatan boleh dibilang dapat
dipunahkan.
Setelah
lewat dari lima puluh jurus, agaknya pendeta siluman itu sudah puas dan kagum
sekali. Dalam lima puluh jurus dia tidak sanggup mengalahkan pemuda ini bahkan
kalau dilanjutkan, belum tentu dia akan menang. Maka mendadak dia mengeluarkan
bentakan nyaring dan tangannya menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu
menangkisnya.
"Plakk!
Brettt...!"
Ujung lengan
baju Thian Sin terobek karena begitu tertangkis, pendeta siluman itu cepat
merubah tangannya menjadi cengkeraman yang bergerak ke bawah dan mencengkeram
pergelangan tangan kanan Thian Sin. Akan tetapi berkat tenaga Sin-ciang,
cengkeraman itu meleset dan hanya merobek ujung lengan baju.
"Ha-ha-ha,
lengan bajumu robek, taihiap!" Sian-su berkata sambil mengangkat robekan
itu ke atas dan memandang penuh rasa puas karena robekan lengan baju itu dapat
dijadikan bukti bahwa dia telah menang setingkat.
Akan tetapi,
pandang mata Thian Sin ke arah jubahnya membuat dia segera menunduk lantas
melihat ke arah dadanya dan terkejutlah dia melihat betapa kain jubah pada
bagian dadanya berlubang dan kini robekan kain putih itu berada di tangan Thian
Sin! Kalau saja tidak ada topeng tengkorak yang menutupi, tentu akan nampak wajah
itu merah sekali.
Saking
merasa malu, pendeta siluman itu menjadi marah dan dia pun sudah menyerang lagi
dengan ganasnya. Thian Sin menyambutnya dengan tenang dan untuk kedua kalinya,
ketika lengan mereka beradu, tubuh pendeta siluman itu langsung terhuyung ke
belakang sedangkan Thian Sin hanya terdorong mundur dua langkah saja.
Hal ini
membuat pendeta siluman itu mengambil keputusan hendak mempergunakan ilmu
sihirnya. Dia berdiri tegak dan menggerakkan kedua tangannya ke atas kepala,
bertepuk tangan di atas kepalanya. Pada waktu kedua telapak tangan itu bertemu,
terdengar suara seperti ledakan nyaring dan nampak asap mengepul dari kedua
tangan itu.
"Ceng
Thian Sin, berani engkau melawanku? Lihatlah, siapakah sesungguhnya aku? Aku
adalah Thian-liong-ong (Raja Naga Langit) yang menjelma!"
Memang hebat
kekuatan sihir pendeta siluman itu. Walau pun sihirnya ditujukan kepada Thian
Sin, akan tetapi semua orang yang berada di sana melihat betapa bentuk Sian-su
kini sudah berubah. Tubuhnya menjadi tinggi besar dan pakaiannya seperti
pakaian raja. Yang hebat adalah kepalanya, karena kepala yang biasanya memakai
topeng tengkorak itu kini sudah berubah menjadi kepala naga! Benar-benar mirip
gambar atau patung. Raja Naga Langit!
Di antara
mereka yang melihat ini segera menjatuhkan diri berlutut saking takutnya. Akan
tetapi, Thian Sin yang tadi merasakan adanya kekuatan mukjijat yang menyerang
panca inderanya, cepat menguatkan batin lantas mempergunakan tenaga batin untuk
melawan. Sesudah dia mengerahkan tenaga batinnya, sebagai orang yang pernah mempelajari
ilmu sihir di Himalaya tentu saja dia tak terpengaruh lagi dan bagi pandang
matanya, pendeta siluman itu tetap sama saja dengan tadi!
Ingin dia
mentertawakan lawan dan menghinanya, mengatakan bahwa ilmu main sulap itu hanya
dapat mengelabui kanak-kanak saja. Akan tetapi Thian Sin adalah seorang yang
cerdik sekali. Dia tahu bahwa banyak orang yang tak berdosa d tempat ini, yang
menurut semua kehendak pendeta siluman ini karena kekuatan sihir atau mungkin
juga obat dalam minuman.
Mereka ini
tak berdosa dan sepatutnya kalau dibebaskan dari pengaruh pendeta siluman ini.
Akan tetapi, kalau dia mempergunakan kekerasan, mungkin dia akan gagal. Dia
telah mengukur ilmu silat lawan itu yang benar-benar tangguh. Dia yakin tidak
akan kalah dari Sian-su, akan tetapi jika para pembantunya maju mengeroyok,
juga kalau para pendekar yang menjadi pengikut agama itu ikut pula turun
tangan, mungkin sekali dia akan celaka. Apa lagi kalau diingat bahwa dia belum
berhasil membebaskan orang-orang yang tidak berdosa, juga bahwa dia masih
berada di pusat sarang musuh yang berbahaya, maka kekerasan bukanlah jalan
untuk mencapai kemenangan.
Thian Sin
lalu menunduk dan menjura seolah-olah memberi hormat kepada ‘dewa’ itu, lalu
berkata dengan ucapan membela diri, "Terpaksa saya harus melawan
menghadapi siapa pun juga kalau keselamatan dan nyawa saya terancam."
"Ceng
Thian Sin, siapa bilang bahwa nyawamu terancam? Sian-su berniat baik padamu,
berniat hendak mengajakmu untuk bekerja sama!" berkata ‘Raja Naga Langit’
itu dan bagi pendengaran semua orang kecuali Thian Sin, suaranya itu pun
berbeda dengan suara asli Sian-su.
Kembali
Thian Sin menjura dengan hormat. "Kalau memang benar demikian, tentu saja
saya bersedia untuk berdamai dan bicara."
"Bagus!
Bagus sekali!" Manusia berkepala naga itu lalu bertepuk tangan hingga
terdengar ledakan keras disusul asap mengepul dan ketika asap itu menghilang,
di situ telah berdiri Sian-su dengan sikapnya yang tenang.
”Ceng-taihiap,
kami sudah mendengar ucapanmu tadi dan kami merasa gembira sekali. Mari,
silakan duduk dan kita bicara dengan baik-baik." Dia mempersilakan dan
mengajak Thian Sin duduk kembali.
Pesta
dilanjutkan dan melihat betapa pemuda itu tidak suka menyaksikan adegan-adegan
cabul di situ, Sian-su lalu mengajaknya menuruni anak tangga untuk berbicara di
sebuah ruangan lain. Belasan orang anak buah Sian-su turut pula mengawal, tentu
saja dengan maksud untuk mengeroyok apa bila pemuda itu memberontak.
Setelah
mereka duduk, Sian-su lalu memberi ‘kuliah’ kepada Thian Sin tentang pelajaran
di dalam agamanya yang baru, yang bendak membebaskan manusia dari pada rasa
takut akan kematian, dan menjanjikannya kesenangan sesudah mati nanti, juga
menceritakan bahwa semua kecabulan yang dilihat pemuda itu adalah suatu cara
untuk menundukkan nafsu dengan jalan membiarkan nafsu-nafsu itu menggelora dan
kemudian mati sendiri. Thian Sin mendengarkan dengan setengah hati saja, akan
tetapi dia berpura-pura merasa tertarik sekali dan menanggapinya sambil
mengangguk-angguk.
"Kami
ingin memberikan kesenangan dunia akhirat kepada para pengikut kami,"
demikian pemimpin agama itu mengakhiri kuliah dan penjelasannya tentang
agamanya.
"Dan
imbalan apakah yang harus diberikan oleh para pengikut?" tanya Thian Sin
dengan sikap seolah-olah dia tertarik sekali untuk menjadi pengikut pula.
"Siancai...!
Untuk pekerjaan suci, kami tidak memiliki pamrih bagi kepentingan diri sendiri.
Kami tidak menuntut imbalan, kecuali kesetiaan. Jika para pengikut hendak
menyumbang demi kemajuan agama kita, dan untuk membuat pembangunan-pembangunan,
maka hal itu adalah suka rela. Akan tetapi biar pun kami tahu bahwa
Ceng-taihiap adalah seorang yang kaya raya, buktinya melihat sumbanganmu tadi,
namun kami bukan mengharapkan bantuan harta darimu."
"Habis,
bantuan apa?"
"Bantuan
kerja sama yang berupa tenaga dan kepandaian silat taihiap. Hendaknya taihiap
ketahui bahwa usaha kami ini banyak mendapat tentangan dari agama-agama lain,
malah sudah sering kali kami mereka cari dan mereka bermaksud membasmi kami.
Oleh karena itu, taihiap bukan kami anggap sebagai pengikut biasa, akan tetapi
sekutu kami, sebagai seorang di antara kami dan kalau taihiap dapat memenuhi
harapan kami ini, percayalah bahwa dengan segala kemampuanku, taihiap akan
menjadi orang pertama sesudah aku untuk berkenalan secara langsung dengan Dewa
Kematian."
"Ahhh...!"
Thian Sin pura-pura merasa girang sekali. "Aku akan girang sekali!"
"Akan
tetapi, untuk itu lebih dulu kami harus benar-benar dapat percaya kepadamu, dan
ini ada syaratnya."
"Syaratnya?"
"Menurut
laporan anak buah kita, ada lima orang pendekar dari agama lain yang sedang
menyelidiki tempat kita ini. Mereka merupakan bahaya bagi kita, maka aku minta
padamu untuk menghadapi mereka dan membasmi mereka. Sanggupkah engkau,
Ceng-taihiap?"
Thian Sin
mengangkat muka dan menatap tajam, bertemu dengan pandang mata lawan yang penuh
selidik. Dia berhadapan dengan orang yang cerdik pula. "Sian-su, aku masih
dalam taraf percobaan, bagaimana engkau sudah demikian percaya kepadaku? Apakah
engkau tidak khawatir kalau aku berkhianat setelah aku tiba di luar tempat
ini?"
Wajah di
belakang topeng tengkorak itu tertawa. "Apa boleh buat, kami harus
menghadapi resiko itu! Kalau taihiap sungguh-sungguh mau bekerja sama dengan
kami, kami merasa beruntung sekali. Sebaliknya, andai kata taihiap berbalik
pikir, kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi belum tentu taihiap
akan dapat menemukan kembali tempat rahasia kami, apa lagi di sini juga
terdapat banyak perangkap-perangkap rahasia yang akan dapat membendung serbuan
ratusan orang. Di samping itu, andai kata mereka dapat menyerbu masuk, maka
kami pun dapat saja setiap waktu meloloskan diri, pindah mencari tempat lain,
membawa semua barang suci dan berharga, dan terpaksa kami harus meninggalkan
para wanita itu dalam keadaan sempurna."
Karena ada
penekanan kata-kata aneh dalam kalimat terakhir, Thian Sin menjadi curiga.
"Dalam keadaan sempurna bagaimana maksudmu?"
Pendeta
siluman itu menggerakkan pundak. "Yaahh, menyerahkan mereka kepada Dewa
Kematian sebagai korban, apa lagi? Kami terpaksa, sebab tidak mungkin kami
membawa mereka yang lemah untuk melarikan diri, tapi juga amat berbahaya bagi
kami membiarkan mereka hidup-hidup tertawan musuh."
"Engkau
akan membunuh puluhan orang gadis itu?" Hampir Thian Sin berteriak.
"Ahhhh,
nanti dulu, taihiap. Bukan membunuh, melainkan mengorbankan mereka kepada Dewa
Kematian. Mereka akan memperoleh kesenangan di sana, dan Dewa Kematian juga
akan berterima kasih sekali kepada kami..."
Thian Sin
tidak bertanya lagi. Dia maklum apa artinya itu. Wanita-wanita itu merupakan
sandera! Dengan lain kata-kata, pendeta siluman ini hendak menyatakan padanya
bahwa apa bila dia berbalik pikir dan kelak mengakibatkan perkumpulan agama itu
diserbu, maka wanita-wanita itu akan dibunuhnya. Tentu saja ini merupakan
ancaman kepadanya agar dia tidak mengkhianati Sian-su, dan dia tahu bahwa
ancaman itu bukan hanya ancaman kosong belaka!
"Baiklah,
Sian-su, aku akan membuktikan bahwa aku memang ingin bekerja sama karena aku
mulai tertarik oleh agama baru ini."
Thian Sin
menjadi tamu kehormatan di sarang perkumpulan agama Jit-sian-kauw itu, dan
mendapat sebuah kamar yang indah dan mewah. Dia menolak ketika ditawari gadis
untuk menemaninya, dan malam itu dia tidur nyenyak untuk melepas lelah dan
mengumpulkan tenaga. Dia tahu bahwa semua gerak-geriknya selalu diamati dan
diintai, oleh karena itu dia pun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan.
Pada
keesokan harinya dia pun sama kali tidak tahu bahwa Kim Hong telah menyusulnya
dan mencarinya, bahkan dara itu kemudian terjebak dan tertawan di dalam sarang
rahasia Jit-sian-kauw itu. Pada sore harinya dia diberi tahu oleh Sian-su bahwa
lima orang yang memusuhi Jit-sian-kauw itu telah tiba di dekat puncak bukit.
Mereka itu
tidak menyelidiki dari bagian depan tebing Goa Tengkorak, namun dari bagian
belakang dan karena sarang Jit-sian-kauw itu terkurung jurang yang dalam, maka
kelima orang pendekar itu tidak tahu bahwa tempat yang mereka cari-cari itu
sebenarnya sudah amat dekat, hanya terhalang oleh jurang, yaitu di puncak yang
dikelilingi jurang itu. Tidak mungkin menyeberangi jurang itu, dan tidak
mungkin pula menuruni jurang yang demikian dalam dan curamnya. Mereka lalu
berkeliaran di daerah itu, memeriksa dan mencari-cari.
Thian Sin
melakukan pengintaian. Dia sendirian saja, namun dia kini sudah mengenakan
pakaian dan topeng sebagai anggota Jit-sian-kauw! Walau pun dia sendirian saja,
namun dia mengerti bahwa Sian-su dan kaki tangannya tentu membayanginya dan
mungkin kini sedang mengintai pula dari tempat-tempat tersembunyi untuk
mengikuti sepak terjangnya yang bertugas mengusir lima orang musuh perkumpulan
ini.
Akan tetapi
jantung di dalam dada Thian Sin segera berdebar tegang ketika dia mengenal
siapa adanya tosu tua yang memimpin rombongan itu. Tosu berusia kurang lebih
enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian jubah kuning, dengan
pedang di punggung, wajahnya putih itu, bukan lain adalah Liang Hi Tojin,
seorang tokoh tingkat dua dari partai persilatan Bu-tong-pai!
Liang Hi
Tojin ini adalah orang ke dua di Bu-tong-pai, terkenal sebagai seorang pendekar
yang sejak mudanya menjadi pembela keadilan dan kebenaran, seorang ahli pedang
yang amat lihai. Dan agaknya, empat orang lainnya itu, yang nampak gagah
perkasa, tentulah murid-murid keponakannya.
Kedatangan
rombongan dari Bu-tong-pai untuk menyelidiki Jit-sian-kauw ini tentu bukan
semata-mata karena perbedaan paham keagamaan, melainkan tentu karena
orang-orang Bu-tong-pai itu mendengar tentang kejahatan yang dilakukan Siluman
Goa Tengkorak dan kini didorong oleh jiwa kependekaran mereka datang untuk
menentang Jit-sian-kauw.
Tentu saja
Thian Sin merasa serba salah. Bagaimana mungkin dia memusuhi Liang Hi Tojin,
seorang pendekar tua Bu-tong-pai yang telah dikenalnya dengan baik? Akan
tetapi, jika dia mengkhianati Sian-su, lalu bagaimana nasib kurang lebih tiga
puluh orang wanita yang berada di dalam cengkeraman siluman-siluman itu di luar
kehendak mereka, karena mereka telah dikuasai oleh sihir dan obat bius?
Apa bila dia
memperkenalkan diri kemudian mengajak lima orang pendekar Bu-tong-pai ini
membalik dan memberontak, apakah dia akan mampu? Untuk memasuki terowongan itu
saja sudah merupakan bahaya yang besar dan sebelum mereka berhasil,
siluman-siluman itu dapat melarikan diri dari jalan rahasia tersendiri dan
meninggalkan puluhan wanita itu dalam keadaan tewas. Tidak, dia harus
bersandiwara, menuruti kehendak Sian-su sambil menanti saatnya yang baik dan
tepat untuk memberi pukulan besar-besaran.
Tosu tua
tinggi kurus itu memang Liang Hi Tojin dari Bu-tong-pai, dan empat orang pria
yang berusia antara tiga puluh hingga empat puluh tahun, yang tampak gagah
perkasa itu adalah murid-murid keponakannya, yaitu murid Bu-tong-pai yang
termasuk sebagai murid kepala. Biar pun tingkat kepandaian mereka masih dua
tingkat di bawah tingkat Liang Hi Tojin, tapi pada masa itu mereka itu sudah
bisa digolongkan sebagai pendekar-pendekar yang lihai.
Mereka itu
turun gunung untuk mengunjungi Louw Ciang Su di kota Tai-goan, akan tetapi
mereka hanya sempat melihat peti matinya saja! Tentu saja para tokoh
Bu-tong-pai ini menjadi terkejut dan marah ketika mendengar bahwa Louw Ciang
Su, sebagai seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas oleh Siluman
Goa Tengkorak.
Itulah
sebabnya mereka langsung melakukan penyelidikan ke daerah Goa Tengkorak dan
karena mereka sudah mendengar bahwa pasukan keamanan dari Tai-goan bersama para
pendekar telah gagal ketika mencari siluman itu dari depan tebing Goa
Tengkorak, maka mereka lalu melakukan penyelidikan dan pencarian dari belakang
tebing.
"Bagaimana
mungkin ada manusia dapat bersembunyi di tempat seperti ini?" terdengar
Liang Hi Tojin berkata kepada empat orang murid keponakannya setelah mereka
melihat keadaan di belakang tebing Goa Tengkorak itu.
"Bukit
di depan itu merupakan puncak yang dikelilingi jurang yang tidak mungkin
didatangi manusia."
"Akan
tetapi, susiok, teecu kira justru karena sulitnya dicapai orang inilah maka
tempat ini merupakan tempat yang amat baik bagi para penjahat untuk
menyembunyikan diri," kata seorang murid keponakannya.
"Tentu
ada suatu rahasia yang dapat membawa orang menyeberang ke puncak bukit
itu," kata murid kedua.
"Siancai,
siancai, siancai...! Kalau memang ada, tentu tidak akan mudah mencarinya di
tempat yang seluas ini."
Thian Sin
memuji ketelitian mereka. Memang tidak akan mudah. Dia sendiri dapat tiba di
belakang tebing ini melalui jalan rahasia yang rumit, yang merupakan ‘lubang
tikus’ dan menembus di lereng jurang, tertutup pohon-pohon dan semak-semak, di
dekat tepi jurang. Dia tadi merayap di lereng jurang itu melalui akar-akar
pohon dan kini mengintai di balik pohon besar.
Karena
merasa sudah waktunya untuk turun tangan dan agar jangan sampai menimbulkan
kecurigaan pada Sian-su yang dia tahu tentu sedang mengamatinya, dia lalu
keluar dari tempat sembunyinya dan berlompatan ke depan lima orang itu!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya lima orang gagah dari Bu-tong-pai itu ketika mereka
melihat munculnya seorang berjubah putih dengan gambar tengkorak merah darah di
dada dan memakai topeng tengkorak yang menyeramkan.
"Siancai!
Siancai! Inikah Siluman Goa Tengkorak yang telah membunuh Tujuh Pendekar
Tai-goan itu?" Liang Hi Tojin bertanya sementara empat orang murid
Bu-tong-pai itu telah mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka dengan
gerakan yang cepat dan indah.
Thian Sin
tidak mengeluarkan suara. Apa yang dapat diucapkannya? Tugasnya hanyalah
mengusir mereka, maka dia pun segera menerjang ke depan dan menyerang tosu tua
itu dengan pukulan dari samping mengarah pelipisnya. Melihat pukulan yang
mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, tahulah tokoh Bu-tong-pai ini bahwa
siluman itu memang lihai sekali.
"Siancai…,
sungguh siluman yang jahat sekali!" Dan ia pun cepat meloncat mundur untuk
mengelak sambil mencabut pedangnya.
Empat orang
muridnya telah menerjang dengan pedangnya masing-masing dan Thian Sin segera
dikurung dan dikeroyok. Permainan pedang Bu-tong Kiam-sut memang hebat dan
berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari pelbagai
jurusan menggulung dirinya, dan kalau Thian Sin tidak memiliki ginkang yang
hebat serta langkah-langkah ajaib dari Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan
terancam bahaya dikeroyok oleh mereka. Terutama sekali pedang di tangan Liang
Hi Tojin yang amat lihainya. Pedang itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan
sinarnya berkilauan menyambar-nyambar.
Thian Sin
tak berani mencabut Gin-hwa-kiam-nya sebab pedang itu mungkin akan dikenal oleh
Liang Hi Tojin. Maka terpaksa ia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk
kadang kala menangkis jika elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat
menyelamatkan diri dari sambaran lima batang pedang itu.
Liang Hi
Tojin dan empat orang muridnya terkejut bukan main melihat betapa siluman itu
menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja! Padahal, pedang mereka
adalah pedang pilihan, terbuat dari baja yang amat keras dan baik. Maka tahulah
mereka bahwa siluman ini benar-benar sangat lihai sekali dan mereka pun
sekarang tidak merasa heran bahwa Tujuh Pendekar Tai-goan tewas di tangan
siluman ini.
Liang Hi
Tojin menyerang makin hebat karena marah dan karena dia beranggapan bahwa
siluman selihai dan sejahat ini harus dilenyapkan dari permukaan bumi agar
rakyat dapat terbebas dari pada ancaman mala petaka yang ganas dan jahat.
Thian Sin
merasa kewalahan juga. Bila dia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya seperti
Thi-khi I-beng misalnya, sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan, atau pun
Thian-te Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, tentu kakek Bu-tong-pai itu akan
mengenal ilmu-ilmu dari Lembah Naga dan Cin-ling-pai itu.
Apa bila dia
menggunakan ilmu peninggalan mendiang ayah kandungnya, yaitu ilmu-ilmu pukulan
yang dahsyat Hok-liang Sin-ciang atau Hok-te Sin-kun, akibatnya bisa berbahaya
sekali dan belum tentu lima orang itu akan mampu menahannya. Padahal, tentu
saja dia tidak ingin membunuh lima orang tokoh Bu-tong-pai ini.
Maka dia
hanya mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, ilmu yang dipelajarinya dari
kakek sakti Yap Kun Liong dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk
menangkisi pedang-pedang itu. Dia menunggu saat yang baik dan tepat untuk
melakukan serangan terakhir seperti yang sudah direncanakannya ketika dia
mengintai mereka tadi.
Perlahan-lahan
dia mundur ke belakang menuju ke bawah sebatang pohon yang daunnya lebar,
selebar tangan dengan ujung runcing dan daun itu kaku pula, cukup baik
dijadikan senjata. Tiba-tiba dia meloncat, mencabut beberapa helai daun dari
ranting yang terendah dan begitu tubuhnya turun, dia menyambitkan daun-daun itu
ke depan sambil membentak dengan suara nyaring,
"Pergilah!"
Berturut-turut
tangannya lalu bergerak. Dengan pengerahan sinkang yang amat kuat lima helai
daun itu seperti anak panah saja meluncur secepat kilat menuju ke arah lima
orang lawannya.
Terdengar
teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang murid Bu-tong-pai itu melepaskan
pedang mereka ketika sebatang daun menyambar dan menancap di pergelangan tangan
kanan mereka bagai anak panah atau senjata piauw (pisau terbang) dengan
kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi.
Ada pun
Liang Hi Tojin masih dapat menggunakan lengan kirinya menangkap daun yang
menyambar pergelangan tangan kanannya itu. Berbeda dengan empat daun yang
lainnya, daun yang menyambar ke arah pergelangan tangan Liang Hi Tojin itu tak
begitu kuat dan cepat sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh tosu ini.
Liang Hi Tojin memandang sekilas kepada daun di tangannya kemudian dia berkata,
"Ambil
pedang, mari kita pergi!"
Empat orang
murid itu segera mengambil pedang mereka masing-masing dengan tangan kiri,
kemudian bersama tosu itu mereka berloncatan meninggalkan tempat itu. Thian Sin
tertawa dan memandang sampai mereka lenyap di balik semak-semak.
"Bagus,
taihiap. Sungguh senang hatiku melihat engkau menghajar mereka, sayang tidak
membunuh saja mereka itu agar kelak tidak mendatangkan penyakit."
Thian Sin
menoleh dan melihat pendeta siluman ketua Jit-sian-kauw telah berada di situ.
Tentu saja dia tadi mendengar gerakannya ketika orang ini muncul dengan ringan
sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk membiarkan orang itu merasa
bangga bahwa ginkang-nya demikian hebatnya sehingga terlalu hebat bagi Pendekar
Sadis untuk dapat mengetahui kedatangannya. Kemudian dia menarik napas panjang
dan berkata,
"Sian-su,
kalau mereka itu memusuhi kita, sudah cukup kalau kita hajar dan mereka akan
jera untuk mengganggu kita lagi. Membunuh mereka, berarti hanya akan
memperdalam permusuhan belaka, dan membuat kita semakin repot menghadapi usaha
mereka untuk membalas dendam kelak."
"Ha-ha-ha,
engkau benar, taihiap. Ahh, sungguh beruntung mempunyai seorang sahabat seperti
engkau untuk bekerja sama," kata pula Sian-su dengan girang. Mereka
kemudian kembali ke sarang Jit-sian-kauw.
Thian Sin
merasa girang sekali bahwa dia dapat mengelabui pendeta siluman itu. Dia tadi
sudah melakukan siasatnya dengan baik sekali. Dia tahu bahwa biar pun di sana
terdapat sekutunya yang paling baik, yaitu Kim Hong, akan tetapi belum tahu
apakah dara itu bisa mencari tempat rahasia ini. Sebab itu dia membutuhkan
bantuan dan melihat lima orang Bu-tong-pai itu, dia melihat bantuan yang amat
baik dan cukup kuat.
Maka ketika
dia mengintai tadi, diam-diam dia menggunakan sehelai daun untuk
digurat-guratnya dengan duri, membuat beberapa buah huruf di atas daun. Daun
itu disimpannya di dalam saku jubahnya dan ketika dia menyerang lima orang itu,
daun yang ada huruf-hurufnya itu dia sambitkan ke arah Liang Hi Tojin dengan
pengerahan tenaga yang sedikit saja.
Untung bahwa
tokoh Bu-tong-pai itu cukup cerdik untuk dapat melihat kejanggalan ini dan
menerima daun itu lantas mengajak empat orang murid keponakannya yang telah
terluka pergelangan tangannya. Tulisan di atas daun itu berbunyi demikian:
SIAP
MENYERBU BERSAMA, TUNGGU BERITA. ANG LIAN TO (PULAU TERATAI MERAH).
Dia sengaja
memakai nama Ang-lian-to yang tentu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin yang sudah
mengenalnya dan tahu bahwa dia dan Kim Hong tinggal di sebuah pulau kosong yang
bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah). Dan agaknya tosu itu memang sudah
mengenalnya, buktinya tosu itu mengajak empat orang muridnya untuk mundur.
Padahal, sesuai dengan watak pendekarnya, sebelum dia sendiri roboh, maka tidak
mungkin tosu itu akan melarikan diri dari pertempuran.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment