Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jago Pedang Tak Bernama
Jilid 02
Bu Beng
mendongkol juga melihat lagak lawan, maka ia tidak sungkan-sungkan lagi.
Setelah berkata, “Maafkan aku bergerak terlebih dahulu,” ia memajukan kaki
menyerang dengan tangan kiri, sedangkan pedang pendek di tangan kanannya masih
disembunyikan di belakang lengan.
Si Huncwe
Maut mencabut huncwenya dan dengan berseru. “Haya!” ia berkelit ke samping
sambil gerakkan kaki. Gerakannya memang lemas sekali, tubuhnya
melengkok-lengkok bagaikan tubuh seorang perempuan.
Bu Beng
maklum bahwa si kurus itu sengaja berlagak atau sengaja hendak memanaskan
hatinya. Tiba-tiba ia ingat bahwa si Huncwe maut adalah seorang ahli totok,
maka kalau ia sampai tak dapat menahan perasaannya dan menjadi marah karena
diejek itu, berbahaya sekali menghadapi lawan tangguh ini. karena itu,
tiba-tiba ia mundur dua langkah an berdiri biasa dengan tubuh tegak, sedangkan
kedua matanya menatap lawan bagaikan orang yang sedang nonton sesuatu yang
lucu.
“Hei, ayo
serang, anakku!” lawannya mengejek, tapi Bu Beng tiba-tiba tertawa geli.
“Ah, aku
lebih senang menonton seorang badut yang berlagak,” jawabnya. “Sungguh
gerakanmu lucu dan menarik. Biarlah kalau sudah main nanti aku ikut memberi
hadiah beberapa potong uang perak.”
Song Leng Ho
marah sekali dan tidak dapat menerima hinaan ini. kulit mukanya menjadi merah
dan ia hentikan gerakan-gerakannya yang lemah gemulai. “Baiklah kau sendiri
yang cari mampus,” katanya, lalu ia menyerang maju dengan hebat. Huncwenya
diayun cepat mengarah leher Bu Beng.
Kini Bu
Beng-lah yang mempermainkannya. Anak muda itu berkelit ke kiri dan menyampok
huncwe itu dengan pedang pendeknya. Ia mendapat kenyataan bahwa tenaganya masih
tidak kalah oleh lawannya, karena dalam bentrokan itu ia dapat mengukur tenaga
lawan.
Sebaliknya
bentrokan itu membuat Song Leng Ho sadar bahwa lawannya yang masih muda itu,
selain bertenaga kuat, juga memiliki senjata pusaka, karena tidak sembarangan
senjata dapat menahan huncwenya yang terbuat dari baja hitam. Maka ia tidak
berani pandang ringan lawannya dan berkelahi dengan hai-hati.
Tapi setelah
bergebrak lima enam jurus tahulah Bu Beng bahwa si kurus ini hanya lagaknya
saja yang hebat. Tentang kepandaian, hanya sedikit lebih tinggi dari Sim
Pangcu, maka ia tidak merasa khawatir dan gunakan kelincahan gerakannya
mempermainkan lawan itu sambil berkelit gesit kesana kemari.
Karena
ternyata sekian banyak serangan serangannya hanya mengenai angin, Song Leng Ho
merasa penasaran dan gemas sekali. Tiba-tiba ia menyerang dengan totokan kearah
jalan darah di rusuk kanan Bu Beng dan satu serangan itu dibarengi dengan
tendangan maut kearah tubuh lawan!
Dua gerakan
dalam serangan maut ini masih ditambah lagi dengan semburan asap hitam penuh
racun kearah muka Bu Beng. Ini sungguh merupakan serangan hebat dan nekat.
Melihat serangan kejam dan yang semata-mata dilakukan oleh orang yang
menghendaki jiwanya, Bu Beng menjadi marah. Ia berseru keras dan menggunakan
tenaga dalamnya meniup kearah asap yang menyambar mukanya hingga asap itu buyar
dan terbang kembali.
Terhadap
serangan huncwe dan tendangan Bu Beng berlaku lebih keras lagi. Ia gunakan
pedang pendeknya menyampok dengan sepenuh tenaga sehingga terdengar suara keras
dan huncwe itu terlepas dari tangan si Huncwe Maut yang merasa tangannya pedas
dan panas, terlempar jauh dan jatuh ke atas lantai mengeluarkan suara
berkerontangan, dan Bu Beng miringkan tubuh menghindarkan tendangan, berbareng
majukan tangan kiri menghantam dada lawan, Song Leng Ho berteriak ngeri dan
tubuhnya terpental ke belakang lalu jatuh berdebukan dengan mata terbalik dan dari
mulut mengeluarkan darah!
Hut Bong
Hwesio, Pok Thian Beng dan Lui Im yang sejak tadi melihat jalannya pertempuran
dengan penuh rasa tegang, ketika melihat Song Lng Ho menggunakan tipu serangan
maut tadi telah merasa menyesal dan terkejut sekali, tapi mereka tak sempat
mencegah. Kini melihat betapa si Huncwe Maut itu terluka hebat, mereka cemas
sekali.
Bu Beng juga
merasa menyesal karena ia telah memberi pukulan demikian hebat. Segera ia
meloncat mendekati tubuh Song Leng Ho yang terbujur di atas tanah. Ketika ia
sedang membungkuk, tiba -tiba dari belakangnya menyambar angin dingin. Ia tahu
bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang, tapi tanpa menoleh, ia angkat
atangan kiri menyampok. Segera tangannya beradu dengan tangan Hut Bong Hwesio
yang sebenarnya salah menyangka ia hendak mencelakakan Song Leng Ho dan turun
tangan menceah.
Ketika kedua
tangan beradu, Hut Bong Hwesio terhuyung ke belakang tiga tindak. Hwesio itu
meramkan mata dan mengatur napas, dan mukanya menjadi merah karena malu ketika
melihat betapa pemuda itu menggunakan jari telunjuknya menotok jalan darah hui
hing ciat untuk meny embuhkan luka dalam Song Leng Ho yang terpukul olehnya
tadi.
Setelah
selesai menolong jiwa Song Leng Ho, Bu Beng berdiri memandang penyerangnya
tadi. Hut Bong Hwesio rangkapkan kedua tangan lalu menghela napas.
“Ah, sungguh
tak tersangka pemuda ini telah memiliki tenaga dan kepandaian sempurna. Pinceng
mengaku kalah, harap Bu Beng Taihiap maafkan kesembronoan pinceng tadi.”
Kemudian sambil menjuru kepada Sim pangcu, hwesio itu berkata,
“Sim pangcu,
pinceng mohon diri, karena pinceng tak dapat membantu. Maafkanlah.”
Tanpa
menanti jawab, hwesio itu segera tinggalkan tempat itu dengan tindakan cepat.
Lim San yang melihat semua itu, segera maju dan menjuru kepada Sim Pangcu.
“Saudara
Sim, aku mohon kau suka habiskan saja pertunjukan-pertunjukan ini. marilah
masuk dan minum arak bersama agar hubungan kita baik kembali seperti sedia
kala. Janganlah hendaknya soal salah paham kecil ini dijadikan dasar perkelahian
yang membahayakan jiwa.”
Sim Boan Lip
tersenyum lemah. “Kau benar, saudara Lim. Memang seharusnya kami mengalah
karena kau mempunyai pelindung yang demikian gagahnya.” Ia berkata penuh
sindiran tajam.
“Mengalah?”
seru Sim Tek Hin sambil bertindak maju. “Tidak! Biar bagaimana juga orang tua
she Lim harus pegang teguh janjinya. Kalau ayah dan para locianpwe tidak mau
membelaku, sepantasnya aku menuntut balas atas penghinaan yang dijatuhkan
kepada Song locianpwe! Song locianpwe adalah tamu kita, pembela dan kawan kita,
kini setelah ia dihina oleh Bu Beng siauwcut itu, haruskah kalian tinggal peluk
tangan belaka? Apakah ini boleh diartikan bahwa ayah dan jiwi cianpwe jerih dan
takut padanya?”
Sambil
berkata begitu Sim Tek Hin memandang tajam kepada ayahnya dan kepada Pok Thian
Beng si Tangan Besi, lalu mengerling kepada Lui Im si Golok Setan.
Panas juga
hati Pok Thian Beng mendengar sindiran Sim Tek Hin ini. Maka dengan langkah
lebar ia menghampiri Bu Beng yang memandang semua itu dengan berdiri sambil
berpeluk tangan.
“Anak muda,
telah kulihat bahwa kau memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar. Berilah
ketika padaku untuk mencobanya.”
Bu Beng
menjuru dengan hormat. “Maaf, loenghiong. Bolehkah saya mengetahui nama dan
gelaran loenghiong yang mulia?”
Melihat
sikap dan kesopanan anak muda itu, hati Pok Thian Beng telah muali menyesal
mengapa ia mudah saja dibakar oleh Sim Tek Hin. Tapi karena sudah terlanjur, ia
menjawab juga.
“Aku adalah
Pok Thian Beng.”
“Ah, jadi
loenghiong adalah si Tangan Besi? Sungguh beruntung saya yang bodoh dapat
berjumpa dengan loenghiong yang telah lama kukagumi.” Jawab Bu Beng.
Tapi Pok
Thian Beng yang jujur tidak jadi sombong bahwa anak muda itu telah mendengar
nama besarnya, bahkan ia khawatir kalau-kalau nama besar itu sebentar lagi akan
hancur oleh anak muda yang agaknya baru saja muncul dalam kalangan kang ouw
hingga namapun tidak punya!
“Anak muda,
kita tak pernah bermusuhan maka marilah kita main-main sebentar, sekadar
belajar kenal,” katanya demikian dan Sim Tek Hin yagn mendengar percakapan
saling merendah ini menjadi tidak puas.
“Pok
loenghiong. Apakah perlunya kita menonjolkan kepandaian? Saya sudah cukup
percaya akan kelihaianmu dan haruskah perkenalan ini dikotori oleh adu tenaga?
Bantah Bu Beng.
“Hm, hm, Bu
Beng Kiamhiap. Agaknya kau jerih terhadap Pok cianpwe, ha ha ha!” Sim Tek Hin
mengejeknya.
“Hayo, Bu
Beng Taihiap, layanilah aku barang dua tiga jurus. Kalau tidak, maka tentu kau
atau aku akan dianggap pengecut.”
Pok Thian
Beng mendesak, hingga apa boleh buat Bu Beng siap melayaninya. Tapi karena ia
maklum akan ketulusan Pok Thian Beng dan tahu bahwa orang itu hanya menjadi
kurban kelicikan keluarga Sim, ia tidak hendak mencelakakan atau membikin malu
kepadanya.
“Awas
pukulan,” Pok Thian Beng berseru sambil maju menyerang dalam tipu Hong tan tiam
cie atau burung Hong pentang sayap langsung memukul kearah iga Bu Beng.
Anak muda
itu berkelit dengan gesit, tapi segera datang pula serangan dari si Tangan Besi
dengan gerakan Hek houw to sim atau Macan hitam menyambar hati. Bu Beng adlah
seorang pemuda yang penuh keinginan meluaskan pengalaman, maka tidak akan puas
hatinya kalau belum mencoba sesuatu yang telah didengarnya. Telah lama ia
mendengar akan kehebatan lengan tangan Pok Thian Beng yang dijuluki si Tangan
besi, maka kini melihat tangan kanan lawan menyambar kearah ulu hatinya, ia
segera kumpulkan tenga mengepul tangan dan gunakan tangannya itu memukul
kedepan dan memapaki datangnya pukulan lawan.
Si Tangan
Besi terkejut melihat kecerobohan lawan yang masih muda ini. Ia tidak mau
membikin anak muda itu celaka dan ia yakin bahwa jika mereka beradu tangan,
pasti anak muda itu sedikitnya akan terpatah lengnnya. Tapi, karena untuk
menarik kembali kepalannya sudah tak sempat lagi, maka ia hanya dapat
mengurangi tanaganya dan hanya gunakan setengah saja. Dua kepalan tangan
bertemu dan...
“Dukkk!”
Kedua-duanya
merasa betapa sebuah tangan besar bertemu dengan tangan masing-masing. Karena
si Tangan Besi hanya gunakan setengah tenaganya dan berbareng itu Bu Beng
sendiri yang sangat percaya akan tenaga sendiri juga kurangi tenaga pukulannya,
maka si Tangan Besi lah yang kalah tenaga dan terhuyung-huyung mundur sampai
lima tindak, sedangkan Bu Beng hanya mundur dua tindak.
Pok Thian
Beng memandang kagum dan penasaran. Ia si Tangan Besi yang terkenal dan jarang
terlawan kekuatannya kini terpukul mundur oleh anak muda ini ? ia menyesal
mengapa tadi tidak kerahkan semua tenaganya! Dan masih menganggap bahwa kekalahannya
itu karena ia tadi hanya menggunakan setengah tenaga. Maka ia merangsek kembali
karena belum puas.
Bu Beng
tidak mau dianggap tidak pandang sebelah mata kepada musuh yang dihormati itu,
maka iapun balas menyerang. Ketika Bu Beng dengan pukulan Kim liong tam jiauw
atau Naga mas mengulur kuku memukul kearah lambung, tibalah giliran si Tangan
Besi untuk mengukur tenaga lawan. Ia kerahkan seluruh tenaganya untuk
menangkis.
Kembali dua
telapak tangan beradu, kini lebih hebat karena Pok Thian Beng gunakan semua
tenaga sedangkan Bu Beng juga pusatkan tenaganya di lengan. Akibat tumbukan
tenaga itu, Pok Thian Beng rasakan lengannya kesemutan dan Bu Beng juga rasakan
kulit tangannya panas. Anak muda itu segera barengi meloncat mundur sambil
berkata,
“Pok
loenghiong sungguh tidak percuma bergelar Tangan Besi. Siauwte mengaku kalah.”
Katanya sambil memberi hormat.
Pok Thian
Beng makin kagum melihat kesopanan pemuda itu. Ia tertawa dengan gembira. “Ha
ha. Tidak kecewa aku datang kesini dan dapat mengagumi orang muda seperti kau.
Tidak malu aku mengaku bahwa kalau kau mau, mudah saja bagimu untuk menjatuhkan
aku. Kalau aku mempunyai tangan basi, maka kau mempunyai tangan baja, Bu Beng
Kiamhiap!” kemudian kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin ia menjura.
“Terima
kasih atas undangan jiwi. Tapi aku yang bodoh dan tidak berguna ternyata tak
dapat membantu apa-apa. Terserah kepadamu, jiwi, tapi menurut pendapatku yang
bodoh, lebih baik persolan kecil ini dihabiskan saja.”
“Ah, Pok
cianpwe mengapa merendahkan nama kita sendiri? Terang sekali Pok cianpwe
berlaku mengalah terhadap pemuda sombong ini, tapi mengapa berkata demikian.
Pula Lui Im losuhu juga berada disini apakah orang tidak pandang mata
kepadanya,‟ berkata Sim Tek Hin.
Mendengar
teguran ini, Pok Thian Beng memandang marah. “Hm, bagus, Sim hiante. Jadi
undanganmu kepada kami dulu itu hanya untuk mengadu kami dengan orang-orang
lain? Jadi hanya untuk memperalat kami. Terimakasih dan sampai jumpa pula.”
Sambil berkata begitu, Pok Thian Beng balikkan tubuh hendak meninggalkan empat
ini. tapi sekali loncat, Lui Im telah berada di sebelahnya dan pegang
lengannya.
“Eh, Pok
twako, jangan pergi dulu. Tunggu aku ajar kenal dulu dengan Bu Beng Kiamhiap.”
Si Tangan
Besi memandang dan tersenyum lalu duduk di atas sebuah bangku dengan sikap
tidak perduli kepada orang she Sim itu. Lui Im yang bertubuh pendek kecil itu
segera mendekati Bu Beng.
“Bu Beng
Kiamhiap, kau sebagai seorang hohan tentu suka berlaku adil. Kami semua datang
kesini dan sudah belajar kenal dengan kelihaianmu, hanya aku seorang yang
belum. Maka janganlah bikin aku penasaran dan berilah sedikit pengajaran
padaku.”
Bu Beng
memberi hormat, “Mana aku yang muda berani memberi pengajaran? Sebaliknya,
siauwte masih mengharapkan petunjuk-petunjuk darimu.”
Lui Im cabut
golok dari punggungnya dan kelebat-kelebatkan itu beberapa kali. Melihat ini,
Bu Beng terkejut.
“Bukankah
loenghiong ini pangcu dari Cung lim pang yang bernama Lui Im loenghiong?”
tanyanya.
Lui Im
terkejut juga. Bagaimana pemuda yang tak dikenalnya ini dapat mengenalnya? “Eh,
darimana kau tahu nama dan kedudukanku, anak muda?”
Bu Beng
memberi hormat. “Maaf, karena siauwte tadi tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Tidak tahunya berhadapan dengan seorang sahabat baik dari suhengku.”
“Siapa
suhengmu itu?‟"
“Suhengku
ialah Kim Kong Tianglo dari Liong san.”
Lui Im
menggerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba goloknya menancap diatas tanah dan
gagangnya bergerak-gerak menggetar.
“Kim Kong
Tianglo? Kau… sutenya? Aneh. Sungguh aneh! Kemudian ia berdiri termangu-mangu
karena sesungguhnya ia pernah mendengar dari Kim Kong Tianglo sendiri bahwa
pendeta tua itu mempunyai seorang sute yang gagah, tapi masakan sute itu semuda
ini?
Bu Beng
mengerti bahwa orang itu ragu-ragu, maka tiba-tiba ia mendapat pikiran untuk
menaklukkan orang ini tanpa mengadu kepandaian. Ia berkata,
“Maaf” dan
secepat kilat ia loncat menyambar dan tahu-tahu golok yan tertancap di tanah
itu telah dicongkel dengan ujung kaki hingga terlempar keatas yang lalu
diterima dengan tangan. Kemudian ia mulai bersilat sambil berkata,
“Sebagai
sahabat suhengku, tentu loenghiong kenal permainan ini,” lalu diputar-putarnya
golok itu dan ia mainkan ilmu golok dari Kim liong pai. Golok itu berubah
menjadi sinar putih yang lebar dan yang menyelimuti tubuh anak muda itu. Lui Im
berdiri ternganga dan tak disengaja mulutnya berkata memuji.
“Bagus,
bagus.”
Setelah Bu
Beng berhenti bersilat dan menancapkan kembali golok di tempat tadi, Lui Im
menghampirinya dan menpuk-nepuk pundaknya dengan mesra.
“Tidak
salah, tidak salah! Kau tentu sute dari Kim Kong, bahkan permainan golokmu
lebih hebat dari padanya. Sungguh hebat. Sungguh beruntung kita belum
bergebrak, kalau sudah ah tentu aku akan celaka. Ha ha ha!”
Kemudian ia
berpaling kepada Pok Thian Beng yang masih duduk. “Saudara Pok, matamu sungguh
awas dan mengenal barang baik. Kau benar, kita berdua tak usah mencampuri
persoalan tetek bengek ini. Saudara Sim, pandanglah muka kami berdua dan
habiskan saja pertempuran ini. mari, saudara Pok, sudah waktunya bagi kita
untuk pergi.”
Kedua jagoan
tua itu, setelah menjuru kearah Bu Beng dengan kata-kata. “Sampai bertemu
lagi,” lalu berjalan cepat tinggalkan tempat itu.
Melihat
bahwa ia sendiri berikut keempat kawannya yang diandalkan itu satu demi satu
dibikin takluk oleh Bu Beng. Sim pangcu menjadi malu sekali. Ia menjuru kearah
Lim San yang sejak tadi melihat pertunjukan-pertunjukan itu dengan penuh
kekaguman, sambil berkata,
“Saudara
Lim, biarlah kali ini aku mengaku kalah.”
Lim San
balas menjuru. “Sim pangcu, kau tidak kalah dariku, maka sudahi sajalah urusan
ini dan anggap saja bahwa kita tiada jodoh untuk berbesan. Biarlah kita menjadi
sahabat baik.”
Sim pangcu
menggoyang-goyang kepala. “Bagaimana juga aku sekawan telah dijatuhkan orang,
dan aku harus berusaha mencuci bersih noda memalukan ini.”
Tiba-tiba Bu
Beng meloncat kedepannya dan berkata keras dengan suara penuh ejekan. “Ha ha,
Sim pangcu ternyata bersikap seperti anak kecil. Kalau sikapmu seperti ini,
mana pantas kau menjadi seorang pangcu? Ketahuilah, kau adalah seorang pengecut
besar kalau urusan hari ini kau taruh dendam kepada Lim San loenghiong. Kau
hanya tujukan kepada orang yang kiranya tak dapat melawanmu agar kau dapat
paksakan nafsu jahatmu. Kalau kau memang seorang gagah, lenyapkan semua
urusanmu dengan Lim San loenghiong. Jika dalam hatimu masih ada dendam maka
dendam itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya, tapi seharusnya kepadaku,
karena akulah orangnya yang telah menjatuhkan kalian.”
“Bu Beng!
Jangan kau sombong” teriak Sim pangcu sambil kertak giginya karena marah dan
gemas. “Siapa yang taruh hati dendam kepada Lim enghiong? Puteraku ditampik
adalah soal kecil. Masih banyak gadis lain di dunia ini. Dendam hatiku memang
ditujukan padamu. Maka ingatlah pada suatu hari aku pasti akan mencarimu dan
menagih hutang!” sehabis berkata demikian, Sim Pangcu segera mengambil langkah
lebar dengan diikuti Sim Tek Hin yang berjalan dengan tunduk.
Lim San
maklum bahwa ucapan sombong yang dikeluarkan oleh Bu Beng itu memang disengaja
untuk memindahkan rasa dendam di hati pangcu itu dari Lim San kepada Bu Beng.
Maka makin bertambahlah rasa terima kasihnya kepada pemuda itu. Namun Bu Beng
tak memberi kesempatan kepada orang untuk menyatakan terima kasih, karena
setelah menjuru ia cepat berkelebat dan bayangannya tak tampak lagi. Lim San
sekeluarga hanya dapat menarik napas dalam dan geleng-geleng kepala.
***************
Bu Beng
secepat terbang kembali ke pondok diatas bukit dan setelah membungkus
barang-barangnya yang tak berapa banyak itu di dalam sebuah kain kuning, ia
meninggalkan tempat itu dengan bungkusan terikat di punggung untuk melanjutkan
perjalanannya merantau setelah berdiam di tempat sunyi itu hampir sebulan
lamanya.
Disepanjang
jalan tak habis-habisnya Bu Beng melakukan kewajibannya sebagai seorang
pendekar, menolong yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-wenang.
Tak heran nama Bu Beng Kiamhiap makin terkenal, ditakuti lawan diindahkan
kawan.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali Bu Beng telah berjalan kaki seorang diri dalam sebuah
hutan di kaki bukit Lun ma san. Di kaki bukit Lun ma san terdapat beberapa
kampong kecil dengan penduduk terdiri dari kaum petani. Tapi karena bukit itu
mengandung tanah kapur, pertanian disitu tidak dapat subur. Maka disamping
bertani, penduduk disitu menambah penghasilan dengan menjual hasil hutan dan
kapur yang memang banyak terdapat disitu. Di beberapa hutan terdapat kayu besi
yang hitam membaja dan banyak disukai oleh orang-orang kota untuk membuat
bangunan karena kayu itu kerasnya bagaikan besi saja.
Ketika enak
berjalan, tiba-tiba Bu Beng mendengar sura kanak-kanak yang tertawa-tawa dengan
riangnya. Suara tawa anak-anak yang wajar ini membuat Bu Beng sadar dari
lamunannya, karena sesungguhnya semenjak tadi Bu Beng melamun walaupun kedua
kakinya berjalan maju. Ia merasa seakan-akan suara tawa riang dan bening itu
merupakan cahaya dan membuatnya gembira sekali. Dengan cepat ia menuju kearah
datangnya suara itu.
Ternyata
olehnya bahwa yang tertawa-tawa gembira adalah dua orang anak laki-laki dan
perempuan berusia kurang lebih enam tahun. Mereka sambil tertawa mengejar
seekor kelinci yang lari kesana kemari dengan gesitnya. Tapi kedua anak itu
lebih gesit, seorang mencegat disana, seorang pula mencegat disini, hingga
akhirnya binatang berbulu putih itu kelelahan dan hanya mendekam di
tengah-tengah sambil terengah engah dan tubuhnya menggil seakan-akan
kedinginan. Sepasang telinganya yang panjang bergerak-gerak kebawah keatas
dengan lucunya.
Bu Beng
heran dan kagum melihat gerakan kedua anak itu. Jelas baginya bahwa kedua anak
itu mempunyai gerakan yang terlatih dan pasti mereka adalah murid-murid seorang
ahli silat yang pandai. Tiba-tiba anak perempuan itu meloncat dan tangannya
menyambat. Sambil tertawa girang ia melihat betapa kelinci itu bergerak-gerak
hendak meloloskan diri, tapi percuma karena tangan kecil yang memegang kedua
telinganya itu kuat sekali hingga ia hanya dapat menggerak-gerakkan kedua
kakinya yang tergantung dan kaki depannya bergerak-gerak seakan-akan orang main
silat.
“Cin Lan,
lepaskan ia, kasihan. Telinganya tentu sakit kau gantung demikian rupa,” tegur
anak laki -laki itu.
“Mengapa
kasihan? Tampaknya lucu!” jawab anak yang perempuan, “Biar kubawa pulang,
kuberikan pada twaci agar dimasak. Hm, alangkah sedapnya nanti.”
“Jangan, Cin
Lan. Kasihan dia. Aku tak suka daging kelinci. Lihat itu matanya seperti
matamu. Sebentar lagi ia menangis.”
Digoda
demikian, si gadis kecil melempar kelinci itu ke tengah gerombolan pohon kecil.
Binatang itu segera lari cepat dan menghilang dibawah rumput alang-alang. Anak
perempuan itu dengan muka merah menghadapi kakaknya.
“Kau ini
bisanya menggoda saja. Awas nanti kuberitahukan cici agar kau dijewer sampai
merah biru telingamu.”
“Sudahlah
jangan marah. Lebih baik kita berlatih karena kalau cici datang melihat kita
belum latihan, barangkali telinga kita berdua akan dijewer sampai putus. Kau
tahu, bagaimana halusnya tangan cici, kalau sudah menjewer telinga ampun
sakitnya bukan main.”
“Baiklah,
Han ko tapi kau jangan nakal lagi. Mari kita latih pelajaran kemarin. Gerakan
jurus keempat masih terasa sukar bagiku.”
Semenjak
tadi Bu Beng mengintai dari belakang pohon dengan hati gembira. Ia suka sekali
kepada kedua anak kecil yang mungil itu. Yang laki-laki cakap berwajah tampan,
daun telinganya lebar dan matanya bersinar, tapi bibir dan pandangan matanya
memperlihatkan kesabaran dan kebijaksanaan. Terang bahwa kelak anak ini akan
menjadi seorang yang mulia dan bijaksana.
Anak
perempuan yang dipanggil Cin Lan itupun mungil sekali. Wajahnya cantik jelita
dengan mata yang lebar, jika ketawa nampak dua lekuk manis di kanan kiri
mulutnya. Tapi menurut pandangan Bu Beng, pandangan mata anak perempuan itu
ketika marah tampak kejam dan jahat, sungguhpun setelah tertawa lenyaplah sifat
itu dan terganti sifat yang halus menyenangkan.
Kini setelah
melihat kedua anak itu bertanding main silat terkejutlah Bu Beng. Karena
ternyata kedua anak itu mainkan tipu-tipu gerakan dari Kim liong pai! Murid
siapakah kedua anak ini? Demikian Bu Beng tak habis terheran-heran. Kalau murid
dari cabangnya yang mengajar kedua anak itu, mengapa gerakannya demikian kacau?
Tipu-tipu gerakan ini walaupun banyak mengambil dari Kim liong pai, tapi harus
diakui ada bedanya, atau beda dalam variasinya. Karena heran dan ingin sekali
tahu, Bu Beng menghampiri mereka.
Dua anak itu
berhenti main silat dan memandang Bu Beng dengan curiga. Pakaian Bu Beng memang
dapat mencurigakan hati kanak-kanak, karena pakaian warna kuning itu sudah
bertambal sana sini bahkan di bagian pundak kiri robek belum ditambal hingga
nampak kulit pundaknya yang putih dengan tulang pundak menonjol.
“Anak baik,
siapakah guru kalian? Bagus sekali permainanmu,” Tanya Bu Beng ramah.
Tapi anak
perempuan itu segera mundur dan berbisik kepada kakaknya. “Han ko, hati-hati,
ini tentu sebangsa penjahat seperti yang diceritakan cici.”
Bu Beng
tertawa geli mendengar ini. “Eh aku bukan penjahat. Aku suka sekali melihat
permainan silatmu tadi. Tapi ada beberapa bagian yang kaku dan salah. Tadi
ketika kau mainkan tipu naga mas memburu mustika kaki kirimu salah duduknya,
seharusnya agak ditarik serong ke kiri,” katanya kepada anak perempuan itu.
Kemudian ia
berkata kepada anak laki-laki yang memandangnya dengan mata tajam. “Dan kau,
siauw ko ketika kau menangkis dengan Naga Mas Sabetkan Ekor tadi, tangan kirimu
yang menganggur seharusnya dikerjakan untuk balas menyerang dengan tipu Naga
Mas Leletkan Lidah karena kedudukan lawanmu kosong bagian pinggang kanan.”
“Eh, orang
kuarang ajar!” tiba-tiba gadis kecil itu mendamprat, “Kau lancang sekali berani
mencela ilmu silat kami yang diturunkan oleh cici!”
Bu Beng
ketawa gembira melihat kelincahan dan kegalakan nona cilik itu. “Oh, jadi
kalian diberi pelajaran oleh cici kalian sendiri?”
“Apa kau
berani bilang bahwa twaci kami salah pula dalam memberi pelajaran?” Tanya anak
laki -laki itu penasaran.
“Memang
salah. Kalau cicimu yang mengajar, maka ia juga salah.”
“Hm, sonbong
benar kau! twaci mendapat pelajaran dari supek, apakah kalau begitu supek juga
salah?” Tanya anak perempuan itu.
Bu Beng
mengangguk sambil tersenyum. “kalau memang begini cara mengajarnya, supekmu itu
juga salah!”
“Kurang
ajar!” gadis kecil itu berteriak marah dan dengan cepat ia layangkan kepalannya
yang kecil memukul perut Bu Beng.
Bu Beng
tertawa geli dan timbul kegembiraannya. “Baik, baik mari berlatih agar dapat
kemajuan.” Ia berkelit sambil berkata, “Nah, ini kelitan Naga Mas Putar tubuh.”
Anak
laki-laki ketika melihat adiknya menyerang segera ikut membantu dan sebentar
kemudian Bu Beng sikeroyok oleh kedua anak itu. Bu Beng sambil berkelit dengan
mulut tersenyum gembira selalu memberi petunjuk. Ia sebutkan
kesalahan-kesalahan gerakan anak-anak itu dan sebutkan nama gerakannya sendiri
sambil mengelak atau menangkis perlahan.
Ternyata
kedua anak itu bersemangat besar karena biarpun sudah merasa lelah, namun masih
saja mendesak. Disamping menyerang, merekapun perhatikan petunjuk-petunjuk dari
Bu Beng dan dasar otak mereka berdua cerdik merekan seakan-akan terbuka mata
mereka dan dapat menangkap kesalahan-kesalahan sendiri.
Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring. “He, orang kasar darimana berani mengganggu kedua
adikku?”
Mendengar
seruan ini Bu Beng meloncat mundur dua kali dan memandang. Ia tertegun dan
untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti. Bu beng bukanlah seorang pemuda
yang mudah saja terpesona oleh paras cantik. Tapi ketika matanya memandang
gadis berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan
matanya bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang.
Wajah dan
potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan
gadis itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya. Karena sudah berusia
lebih dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali
Bu Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan
selera hatinya. Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya.
Gadis itu
berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat, sepasang
matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya kecil
dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya terurai
ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai kejidat
menambah kemanisannya. Baju dan celana putih dari kain kasar dan sepatu putih
pula menutupi tubuhnya. Sungguhpun ia berdandan sederhana sekali namun
kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli.
Karena orang
yang ditegurnya dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan patung hidup,
gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah. Ia marah sekali melihat
kekurang ajaran orang.
“He,
bangsat! Ada apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku. Apakah
kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak mereka
berkelahi? Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil.”
Bu Beng
makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja. Tapi
kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar. Segera ia rangkapkan tangan memberi
hormat.
“Siocia,
maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adab. Harap jangan salah sangka,
kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga hanya
sedang main-main dan berlatih saja.”
Gadis itu
memandang adik perempuannya. “Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi tadi!”
Dengan
keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan menjebikan
bibir kearah Bu Beng dan berkata. “Siapa yang main-main? Coba cici lihat,
apakah aku kelihatan seperti orang main-main? Keringatku sampai membasahi semua
pakaian, dan lihat Han ko itu, ia masih terengah-engah kelelahan! kalau cici
tidak keburu datang memisah, sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk
mampus padanya!”
“Huh!” gadis
itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar kejumawaan adiknya
itu.
“Sungguh
bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona. Coba kau tanya siauw ko ini
benar-benarkah kami tadi berkelahi?”
Anak
laki-laki itu memandang cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata
ragu-ragu. “Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan
membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami.”
“Membetulkan
kesalahan gerakanmu?” cicinya bertanya heran.
“Ya, ci,
bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah mengajar!”
kata nona cilik yang nakal itu.
“Apa
katamu?‟ gadis itu memandang marah kepada Bu Beng.
“Ah, bukan
begitu maksudku, nona…” membela Bu Beng.
“Jangan
banyak cakap. Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku, cobalah
kau terima dan sambut seranganku ini!”
Bu Beng
hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan padanya
untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat. Pukulannya selain cepat
juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit. Dalam
gerakan-gerakan pertama gadis itu gunakan ilmu silat Kim liong pai hingga ia
makin heran. Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar,
juga membuat kesalahan - kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu
silat Kim liong pai telah tercampur aduk dengan ilmu silat lain yang tidak
kalah lihainya.
Menghadapi
ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat memunahkan setiap
serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya. Kini ia
menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa sebenarnya gadis
itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya lemas tapi
mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Mungkin gadis ini baru sedikit
mempelajari ilmu silat Kim liong pai dan kepandaian aslinya ialah Bie jin kun itu.
Karena dalam
hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan ia mempelajari pula
segala macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan inipun ia hanya
tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya. Tak pernah ia menangkis atau balas
menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu. Diam-diam ia
gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu. Kini ia
mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga.
Gadis baju
putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat menyentuh ujung
baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar
menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-teriakan
“Pukul, ci!
Robohkan ia! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi, ci! Hayo pukul roboh!”
maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan keras ia cabut
sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang kiam itu
menyerang hebat!.
“Tahan
pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi,” mencegah Bu Beng.
“Hm, kalau
dengan kanak-kanak berani ya? Kalau benar-benar laki-laki keluarkan senjatamu.”
Bu Beng buka
kedua lengannya sambil angkat pundak. “Aku tidak ingin berkelahi nona.”
“Jangan
banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki
pengecut.”
Bu Beng
tersenyum. “Kau memaksa nona. Apa boleh buat aku bukan pengecut. Majulah!”
Gadis itu
segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan. Pedang
kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar
mengancam untuk membingungkan lawan. Tapi Bu Beng ganda tertawa saja, dan
loncat berkelit. Gadis itu merangsek maju dengan hati panas, dan Bu Beng
terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan tangan
kosong.
Pemuda itu
mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya untuk meloloskan diri dari
bayangan pedang. Sebenarnya permainan siang kiam gadis itu hebat dan telengas
sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong biar bersenjatapun,
tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu. Tapi kali ini ia bertemu
dengan Bu Beng Kiamhiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah
saja ia dipermainkan.
Pada saat
itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat. Tindakan
kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng terkejut. Ia
melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat mereka dan diam
saja menonton perkelahian itu. Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu
agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan
sekali. Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat
tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya.
Hati Bu Beng
bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih
keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu
terjadi nanti. Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu
menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan
Arak. Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah ditusukkan dan
yang satu lagi dibacokkan kebawah!.
Menghadapi
serangan ini, Bu Beng berlaku cepat. Tubuhnya berkelit kesamping dan sekali
menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang kanan
gadis itu pindah tangan!
“Bagus,
bagus!” terdengan wanita tua itu memuji.
Tapi gadis
itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk
menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya untuk menangkis
dengan main mundur. Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan
membawa angin keras dibarengi bentakan orang.
“Cin Eng,
mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!”
Mendengar
bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan wajah
merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka segera ia
maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang
dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus,
“Nona,
maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali,
nona.”
Cin Eng
mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka merah dan
mulut cemberut.
“Ha, ha!”
wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh. “Cin Eng, orang telah berlaku mengalah
dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!”
Dan gadis
itu kembali mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu
Beng tanpa berani memandang pemuda itu.
“Anak muda,
kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dan coba kau tahan tongkatku
yang lapuk ini.”
Bu Beng
menjuru hormat. “Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan.”
“Hm, jangan
sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku. Maka,
mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus. Aku hanya ingin
mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut. Aku takkan berlaku kejam
padamu.”
Panas juga
hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya, bahkan ia
disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata,
“Maaf,” ia
cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya.
Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya dari
seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang ini
disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam
yang jarang terdapat dan keras melebihi baja tulen. Kalau tidak terpakasa,
jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini. tapi kali ini ia tahu bahwa wanita
tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.
“Ha, bagus!
Nah sambutlah tongkatku!” wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang.
Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin.
Bu Beng
gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua
itu. Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata
bertenaga tidak lebih bawah darinya. Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya
Siauw lim si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun lun. Biarpun ia
mempunyai ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun
itu mebuat gerakannya tetap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja
ia merasa heran dan kaget.
Karena ilmu
pedang Bu Beng sangat membingungkannya. Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim liong
pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa san pai
hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga
datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat
menangkis saja.
Pada suatu
desakan, Bu Beng menggunakan pedang pendeknya menusuk dada lawan. Tusukan ini
cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya
menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu. Tak
tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan
membabat lengan lawan!
Nenek itu
menjerit kaget dan menggunakan jaln satu-satunya yang masih mungkin ia lakukan,
yakni melepaskan tongkat dan menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih.
Bu Beng
rangkapkan kedua tangan. “Maaf, maaf.”
Nenek itu
berdiri cepat dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa terkejut.
Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput
tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.
“Anak muda,
kau sungguh gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut
orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai
memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan
tongkatku. Hi hi hi!”
Bu Beng tak
senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang berkata
dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.
“Dan ini
adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Lan dan Cin Hai. Dan kau
sendiri siapakah anak muda?”
“Saya
bernama Bu Beng.”
Kedua anak
kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri memandang
heran. Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh dan
sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.
“Bu Beng
Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami,” katanya kemudian, “Perkenalan
ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di
jaman ini. Dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami
hormati.”
Sebenarnya
Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang menggunakan
mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi dan
beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampong
tak jauh dari situ. Ketiak mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang
keadaanya miskin, si nenek berkata kedalam rumah.
“Tianglo
silakan keluar, ini ada tamu agung datang!” Bu Beng memandang ke pintu tengah
dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap
menghadapi lain lawan. Tapi ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi
kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat menghampiri dan memberi hormat.
“Suheng!”
katanya heran dan gembira.
“Eh, eh, kau
sute? Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui
kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han, tak tahu kaulah orangnya!”
“Bagaimana
suheng dapat tahu?”
Kim Kong
Tianglo tertawa lebar. “Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil
membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?”
Karena semua
pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi karena
khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke
hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun Gwat Go
tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu
berkata,
“Ha ha ha,
kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini sute mu
sendiri? Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya.”
Kemudian
nenek yang aneh itu setelah perinthakan Cin Eng keluarkan arak, meninggalkan
kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu.
Setelah
berada berdua saja. Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suhengnya.
Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri. Mereka berbicara
asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah. Kemudian Bu
Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu.
Kim Kong
Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh
itu. Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal
dari Kilam. Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang
terkenal kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat
jelek sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda.
Diantaranya
terdapat seorang pendekar yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara
menjadi pencuri budiman. Ia bernama Liu Pa San. Rumah hartawan-hartawan kikir
dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia curi untuk
kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia berkepandaian tinggi
dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.
Sebenarnya
ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang
perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit. Anak
perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng.
Dengan Gwat
Go. Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak, seorang
anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan. Cin Eng
mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk, namun Gwat
Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang Cin Eng seperti anak
sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu takut padanya.
Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang lihai juga.
Kim Kong
Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang lalu, ketika Kim Kong
Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, pada suatu malam ia mendengar suara
ribut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu. Ia segera loncat keatas dan melihat
betapa Liu Pa San dikeroyok beberapa orang jagoan yang sengaja diundang oleh
tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata diantara jagoan-jagoan
terdapat Ngo houw atau lima hariamau dari Tiang san yang terkenal kosen.
Ketika Kim
Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San telah terluka hebat tapi
masih melakukan perlawanan dengan gigih. Kim Kong Tianglo berhasil menolong dan
membawanya pergi. Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman
menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu
sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa
itu.
Sebelum
mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat
kepada anak-anaknya. Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk memenuhi
permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, hwesio
ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada diambang
pintu kematiannya.
Demikianlah,
setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah
Liu Pa San. Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San
yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul
kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan
Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik. Semenjak itu ia tinggal di rumah itu
untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya. Rencananya, setelah mendidik Cin
Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakilkan ia mendidik kedua
adiknya.
“Sute”
berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, “Umur berapakah kau
sekarang?” tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang suhengnya
dngan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tapi ia menjawab juga.
“Dua puluh
enam tahun, suheng. Ada apakah?”
Kim Kong
Tianglo tertawa. “Tidakkah kau pikir usia sedemikian itu sudah cukup untuk
menjadi seorang suami?”
Untuk
sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya
menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu.
“Sebenarnya
memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah, aku adalah
seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah
seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun
mengenai ilmu silatnya. Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku lancang
menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?”
Dengan masih
tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata. “Suheng, beribu terima kasih
kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Memang, bagiku di dunia ini setelah suhu
meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku.
Aku ini orang macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu?
Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang
sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu? Kalau
sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Baiknya
janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!”
Kim Kong
Tianlo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya. “Jadi kau suka padanya? Baik,
baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go
pernah menyatakan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mendapatkan
seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan melebihi ibunya pula!
Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun toanio mengundang kau
mampir di rumahnya? Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu
saja. Tentu ada maksudnya. Ha ha ha!”
Bu Beng
hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong Tianglo
pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini, ia hanya
menanti di ruang tam u sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan
hatinya yang bergoncang. Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak
lama kemudian suhengnya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum
girang.
“Selamat,
sute. Kionghi, kionghi,” kata hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri.
Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun wat Go duduk
diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata,
“Eh, sute,
tunggu apa lagi? Hayo beri hormat kepada gakbomu.”
Dengan muka
merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu
mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.
“Ah,
tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu
yang gagah melebihi ayahnya.”
Sampai
disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-sedu dan air mata membasahi kedua
pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya yang telah mati.
“Kau... kau
harus balaskan sakit hati ini…” katanya kepada Bu Beng yang hanya mengangguk
sambil tundukkan kepala. Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia
berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu BEng segera tundukkan
kepala lebih dalam dan tak berani berkutik.
Cin Eng
berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo tampak
berseri-seri gembira. Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah keheranannya
melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan
diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah menjalar
keseluruh muka dan telinganya.
“Ada apa,
ibu?” tanyanya.
“Eng,
sediakan makanan lezat. Ini hari kita harus berpesta sepuasnya. Tambah lagi
arak wangi kepada… gurumu... eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi
suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu,” berkata demikian ini sambil
menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak.
Cin Eng yang
biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang. Ia
hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng
ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu,
tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan
menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa
tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka
merah.
Tak lama
kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja
dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda cicinya, karena
iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali ia melirik kerah
cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding kearah
Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak.
“Ah, ah,
cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!”
Semua orang
tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan
makanan. Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu. Sebenarnya didalam
hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu. Rasa bahagia dan rasa sedih.
Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta dan kagum
kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak
ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar -benar sebatang kara di dunia
ini.
Menurut
keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan
dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabiskan mata
perkabungannya atas kematian ayahnya.
Pesta kecil
itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim
Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamar masing-masing. Cin Han dan
Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa pesta, sedangkan Bu
Beng yang diharuskan tidur bersama suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi
lalu keluar seorang diri membawa sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu
ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih
dulu.
“Nona, kalau
suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari hawa sejuk di
hutan.”
Cin Eng
hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng
yang terdengar parau seperti suara orang bersedih.
Setelah tiba
di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati sedih. “Aku tak
dapat kawin, tak mungkin…” keluhnya. Tapi tiada seorangpun mendengar keluhan
itu, hanya angin malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya
itu.
“Aku seorang
diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Kalau Cin Eng menjadi
isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku? Ah, tidak, kasihan
kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. Pula, aku belum tahu
siapa orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati
mereka. Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak
dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini? tidak... tidak.”
Bu Beng
berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum simpul
diantara gulungan awan. Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang
menjadi basah karena ruput. Setelah duduk melamun beberapa lama, ia mencabut
sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan
sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang
perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran
jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta perlindungan dan
pembelaan Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya,
“Koko…”
Bu Beng yang
sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan
hatinya, tak mendengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya. Lambat
laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti. Kedua lengannya
terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.
“Kokoo…“
suara ini terdengar halus dibarengi isak.
Bu Beng
segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya. Ia
berdiri dan menengok ke belakang. Di depannya berdiri Cin Eng yang dalam
pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari
kayangan. Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.
“Moi-moi…“
katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala.
Sebetulnya
Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut 'adik' pada gadis itu, tapi karena
mendengar gadis itu menyebutnya 'kanda', ia jadi berani merobah sebutan 'nona'
menjadi 'dinda'.
“Adik Eng…
mengapa kaupun berada disini?” tanyanya halus.
“Aku… aku…
mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?”
Bu Beng
menghela napas. “Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?”
“Tidak,
koko. Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa
tak enak hati lalu menyusul disini...”
“Duduklah
adik Eng,” kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang merupakan
permadani indah dimalam terang bulan ini.
“Sebenarnya
aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng,” katanya dan ia lalu menceritakan
riwayat hidupnya yang penuh kepahitan.
Cin Eng
mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika
mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri!
“Jadi itukah
yang membuatmu sedih? Kukira…”
“Kau kira
apa, adikku?”
“Kukira
bahwa kau… tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini…”
Bu Beng
menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi ia tidak
menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang
merasa betapa tangan itu bergemetar.
“Jangan
sangka yang tidak-tidak, adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini,
aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa,
aku… aku... suka sekali kepadamu…”
Cin Eng
hanya tundukkan kepala.
“Dan kau
bagaimana adikku? Sukakah kau akan pilihan ibumu ini?”
Cin Eng
mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan kepala
sambil berkata lemah.
“Koko,
semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh
kesopananmu. Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala
kehendak ibu, dan pilihan ibu… Tentu saja aku setuju sekali…”
“Apakah
kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan
menurut? Tanya Bu Beng.
Cin Eng
gelengkan kepala keras-keras. “Tidak! dalam hal ini biarpun ibu sendiri akan
kutentang.”
“Kalau
begitu kau suka padaku? Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat.
Cin Eng
hanya tunduk. “Entahlah…” kemudian ia berkata.
“Cin Eng
adiku, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku? Jawab saja dengan geleng
atau angguk.”
Cin Eng
mengangkat mukanya dan mengangguk.
“Betul betul
kau cinta padaku? Ingat, aku seorang miskin. Lihat saja bajuku, penuh tambalan.
Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi istriku, maka kau
akan hidup serba kekurangan dan sengsara.”
Cin Eng
pandang wajah Bu Beng dengan tajam. “Koko, jangan kau berkata begitu. Kau
anggap aku ini gadis apa? Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu aku
akan berbahagia!”
Saking
girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu
tersentak dan jatuh bersandar kedadanya.
“Adikku yang
jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa barusan aku merasa sedih sekali
dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena takut
kalau-kalau kau akan menjadi sengsara? Kini hatiku puas. Aku menjadi berani,
karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan yang
bagaimana hebatpun.”
Cin Eng
meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati memukul
penuh kebahagiaan. Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk
alunan mesra. Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita
bersandar ke dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan
dengan berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh
keindahan, tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun. Ia berdiri memandang Bu Beng
dengan mata dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak,
“Tidak...!
tidak...! Tidak mungkin…!” kemudian sebelum Bu Beng sadar dari terkejutnya
gadis itu lari cepat masuk hutan.
“Adik Eng…
adik Eng…!‟ Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja gadis itu
telah berada dalam pelukannya.
“Adikku
sayang… ada apa? Mengapa kau lari? Apa yang kau susahkan?”
Cin Eng
menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila. Ia
berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya.
“Adik Eng,
kalau ada kesukaran, beritahulah aku. Mari kita pecahkan bersama-sama.”
Tapi Cin Eng
hanya geleng-geleng kepala dengan sedih. Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya.
“Hm, agaknya
ternyata bahwa kau tidak cinta padaku, ya? Memang lebih baik begitu aku orang
miskin tak berharga. Nah, aku takkan mencegah dan menahanmu. Kau bebas, biar
aku cinta sepenuh hati dan jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki
takkan gunakan kekerasan untuk memilikimu.”
Mata Cin Eng
terbelalak, ia lalu menangis makin sedih. “Tidak, koko, bukan demikian, kau
salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri... karena…
karena…”
Bu Beng
pegang pundaknya. “Karena apa? Siapa yang melarang ? katakanlah... katakanlah!”
“Tidak ada
yang melarang, koko… tapi… tapi... Kalau kita kawin, maka… itu berarti aku akan
menjadi pembunuh…!”
Bu Beng
terkejut dan tak mengerti. “Apa katamu? Pembunuh? Siapa yang akan kau bunuh?”
“Aku akan
menjadi pembunuh… anakku…Anak kita…!”
Bu Beng
makin heran. Ia mulai bersangsi. Gilakah gadis ini? “Cin Eng tenanglah. Apa
maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Jelaskanlah dan bicaralah dengan
tenang. Kau kan wanita gagah? Mengapa begini lemah?”
“Begini
koko” kata Cin Eng setelah susut air matanya, “Sebenarnya aku… aku mempunyai
semacam penyakit dalam tubuh… kata ayah dulu, akibat penyakitku ini walaupun
tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam kandungan. Anak
yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak bernyawa lagi…”
Bu Beng
terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak karuan
rasa. “Tak dapatkah diobati?”
Cin Eng
menahan isaknya. “Inilah soalnya yang sukar. Inilah mengapa ibu inginkan mantu
yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri. Obat penyakit ini sukar sekali
dicarinya. Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan mempunyai
mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari obat ini!”
Bu Beng
benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan putus asa.
“Dimana… dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu…?”
Cin Eng
melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka
buru-buru ia menerangkan. “Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke
tempat dimana terdapat ular macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan
hampir saja ayah dan ibu terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu
bersembunyi adalah sangat berbahaya. Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi,
mereka tak berdaya. Maka, akhirnya kami putus asa dan aku hidup mengandung
kedukaan dan kecemasan. Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang
diterima lamarannya terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan
yang kiranya cukup kuat untuk dapat mencari obat itu.
Bu Beng
mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali. Ia yakin bahwa ia tentu
akan dapat mencari obat itu. Segera ia berkata. “Adikku, tenangkan hatimu. Aku
pasti dapat mencari obat itu. Katakanlah dimana tempat itu? Aku akan segera
berangkat mencarinya.”
Cin Eng,
pegang erat lengan Bu Beng, “Jangan, koko… Jangan…”
“Eh, mengapa
jangan?” Tanya Bu Beng heran.
“Tempat itu
sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir… kau… kau…!”
“Khawatir
aku menemui bahaya? Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular? Jangankan
baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga sakti
sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani.”
Cin Eng
sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng. “Koko, kau… Kau seorang mulia. Sebenarnya
aku akan bahagia sekali dapat hidup bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran
ini. Tapi… Kalau kau pergi dan mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah…
lalu aku bagaimana koko?” Air matanya menitik turun.
“Jangan
khawatir, adikku. Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan oleh
segala bahaya. Aku pasti akan kembali. Katakanlah dimana tempat ular itu?”
“Menurut
kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi
disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang coat ho.
Disitu terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun
duduk bertapa seekor ular yang besar sekali. Kepalanya mengeluarkan cahaya dan
ia berbahaya serta ganas. Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita,
kata ibu. Tapi, lebih baik kita tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi
petunjuk yang lebih nyata lagi.”
Tanpa
membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali ke
kampong. Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di
ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya.
Pagi-pagi
sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio yang ternyata
sudah bangun pula. Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka bertiga
bercakap-cakap. Bu Beng langsung ajukan pertanyaan kepada Hun toanio tentang
pulau Ang coat ho.
“Ah, kau
sudah tahu? Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan padamu,
mantuku. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di waktu
mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu. Pulau yang kau tanyakan itu
terletak di sebelah timur. Aku sendiri tidak tahu jelas. Tapi ada satu jalan
yang takkan membawamu tersesat, yahni, dari sini kau menuju ke utara. Terus
saja, setelah kira-kira empat lima ratus li, kau akan bertemu dengan sungai
besar yang mengalir ke timur. Nah, dari situ kau bisa menggunakan perahu
menurut aliran sungai sampai ke laut. Kau harus hati-hati, air sungai itu
setelah mendekati laut menjadi sangat besar dan berbahaya. Setelah perahu
sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu terjun, maka dari situ
kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil bentuknya, agak arah
timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan. Pulau itu mudah dikenal diantara
pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya sebuah itu saja. Nah,
dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu. Di Ang coat ho terdapat sebuah bukit
yang puncaknya meruncing keatas. Kau boleh mendarat disebelah selatan pulau itu
dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang terdapat di sebelah
selatan bukit. Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya, maka akan
sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu. Nah, disitu kau harus
bertindak hati-hati dan segala-galanya terserah kepada pertimbagnan dan
kewaspadaanmu sendiri.”
Bu Beng
mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Sute, Hun
toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh ular itu.
Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan bukan tidak
mungkin jiwamu dalam bahaya pula. Maka, sudah bulat benar-benarkah hatimu untuk
pergi kesana?”
Bu Beng
memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap, “Suheng, kau sendiri yang
mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh
kepercayaan. Kini, suheng begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan
hidup. Maka setelah orang menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya
hingga rela menjadi istriku, pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan
ini? pantaskah kalau aku menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku
sekalipun? Tidak, suheng sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku
mundur dan takut.”
Kim Kong
Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya. “Bagus, bagus! Beginilah
seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru
kita yang bijaksana. Dan dengan kata -katamu ini terbayanglah betapa besarnya
cintamu terhadap calon istrimu. Sayang aku sudah tua dan lemah, sute. Kalau
tidak tentu aku akan turut dan membantumu.”
“Terima
kasih suheng. Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini. Pula ini adalah
tanggung jawab dan kewajibanku sendiri. Disamping itu, akupun ingin meluaskan
pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah
pengetahuanku.”
“Bilakah!
Kapan kau akan berangkat, anakku?” Tanya Hun toanio dengan suara halus dan
ramah.
“Sekarang
juga, jawab Bu Beng dengan suara tetap.
Hun Gwat Go
berteriak memanggil Cin Eng. Baru saja ia menutup mulutnya, gadis itu telah
muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik daun pintu.
Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerah-merahan bekas tangis dan
tangannya membawa sebuah bungkusan.
Hun toanio
berkata, “Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo haturkan
selamat jalan!”
Cin Eng tak
menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan
bungkusan itu sambil memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu.
“Apakah ini,
adik Eng?” Tanya Bu Beng dengan terharu.
“Pakaian dan
selimut penahan dingin,” jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan kepala, lalu
ia membalikkan tubuh lari ke pintu. Tapi setiba di ambang pintu, ia menengok
memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan,
“Hati-hatilah koko...“
Hun Gwat Go
dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diam-diam mereka
heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakan-akan sudah
tak asing lagi.
***************
Bu Beng
berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh. Karena daerah yang dilaluinya itu
masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang menuju! Ia
hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara. Maka ia
menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai
gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan.
Ketika ia
melihat dua ekor burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba
ia merasa letih. Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba
di tempat yang ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi dua ekor burung yang
sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua kakinya terasa lemas dan
tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan apa-apa.
Ia pasang mata
dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah makan atau rumah
perkampungan. Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh dengan pohon-pohon
besar. Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana kemari kalau-kalau
ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah orang. Betul saja, di
jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip. Segera ia meloncat turun
dan menuju ke tempat itu.
Ternyata
sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana. Pintu pondok
itu tertutup rapat. Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban. Bu Beng
mengetuk lagi sambil memanggil-manggil. Tetap tiada jawaban. Ia menjadi curiga
dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela. Ia melihat rumah
itu kosong dan tidak ada penghuninya, tapi diatas meja tampak makanan didalam
beberapa buah mangkuk. Dan timbullah seleranya. Tanpa memperdulikan bahwa
tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun pintu.
Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan langsung ia
menuju ke meja yang penuh makanan itu.
Tiba-tiba
terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang sebelah kamar
itu. Bu Beng segera berlaku waspada. Sekali meloncat ia lewati pintu tembusan
dan berada dalam kamar sebelah itu. Alangkah kagetnya ketika melihat seorang
tua rebah di lantai tak berdaya. Ketika ia melihat lebih cermat, ternyata bahwa
orang laki-laki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim
pang yang telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu.
Orang tua
gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari tangan
seorang pendekar ulung. Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan jari
tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im. Setelah jalan darahnya baik
kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu meloncat berdiri.
Ia memandang Bu Beng dan merasa girang bercampur terkejut ketika mengenalnya.
Segera ia menjuru.
“Ah, terima
kasih, Bu Beng Taihiap. Sungguh hebat totokan yang membuatku tak berdaya tadi
sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerak -gerakkan
kakiku saja untuk menarik perhatian orang. Ternyata yang masuk rumah ini tadi
adalah kau sendiri. Syukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan
diriku.”
Bu Beng
balas menghormat, “Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan loenghiong
disini. Bagaimanakah terjadinya maka loenghiong sampai dalam keadaan begini dan
ini rumah siapa?”
Lui Im
menghela napas. “Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu. Kali ini
hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama
perkumpulanku,” kemudian ia bercerita...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment