Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jago Pedang Tak Bernama
Jilid 02
Lui Im yang
terkenal dengan sebutan Golok Setan karena memang permainan goloknya sangat
ditakuti kaum persilatan, meminpin sebuah perkumpulan yang berpengaruh yaitu
perkumpulan Cung lim pang. Telah lama perkumpulannya menanam bibit permusuhan
dengan perkumpulan Hong bu pang yang berada di kota itu juga.
Permusuhan
itu sebenarnya dibangkitkan oleh soal yang kecil saja. Mula-mula terjadi
perkelahian pribadi antara seorang anggota perkupulan Cung lim pang dan seorang
anggota Hong bu pang. Tentu saja rasa setia kawan dari masing-masing pihak
mudah saja terbakar oleh perkelahian ini dan rasa permusuhan menjalar begitu
dalam hingga Lui Im sendiri dan ketua Hong bu pang yang bernama Tan tek Seng
seorang jagoan cabang atas, ikut-ikut terseret.
Kedua jago
tua ini sebenarnya memiliki kepandaian tinggi dan mempunyai kesabaran yang
besar, tapi desakan api permusuhan yang dikobarkan oleh anak buah masing-masing
demikian besar hingga pada suatu hari kedua jago-jago tua itu bertemu untuk
mengadu tenaga!
Dalam
perkelahian yang hebat itu Tan Tek Seng dapat dikalahkan oleh Lui Im. Tentu
saja kekalahan ini tidak ditelan mentah-mentah oleh pangcu dari Hong bu pang
itu. Ia menaruh dendam hati yang ditahan-tahan.
Beberapa
bulan kemudian. Lui Im menerima surat tantangan dari Tan Tek Seng untuk mengadu
tenaga di hutan Hek san lim di luar kota. Dalam surat itu disebutkan bahwa
masing-masing tidak boleh membawa teman. Lui Im adalah seorang jagoan tua yang
gagah berani. Menerima surat itu, walaupun dalam hatinya terbit curiga, namun
ia merasa malu jika ia tidak berani datang ke hutan itu seorang diri.
Demikianlah, pada hari itu ia pergi seorang diri ke hutan tersebut.
Di tengah
hutan telah menanti Tan Tek Seng, tapi pangcu yang licik itu ternyata tidak
datang seorang diri. Ia mempunyai seorang kawan yang disembunyikan. Maka,
ketiaka mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba saja muncul seorang
pendeta memelihara rambut panjang memisahkan mereka dan pura-pura menanya
persoalan mereka.
Sebenarnya
imam itu adalah orang bawaan Tan Tek Seng. Untuk membuktikan bahwa Tan Tek Seng
datang seorang diri, maka imam itu diminta datang belakangan. Dalam keputusan
dan pengadilan yang berat sebelah Lui Im menjadi marah dan akhirnya ia
bertarung dengan imam itu yang mengaku bernama Ang Hwat Tojin. Ternyata imam
itu hebat sekali hingga akhirnya Lui Im kena totok roboh dan tak berdaya.
Tahu-tahu ia
telah dibawa oleh lawannya kedalam pondok itu, sedangkan kedua lawannya makan
minum hidangan yang telah disediakan dalam pondok. Dalam keadaan tidak berdaya
inilah Lui Im dapat menangkap pembicaraan mereka dan tahu bahwa Ang Hwat Tojin
memang sengaja diundang oleh Tan Tek Seng untuk menjatuhkannya.
Sehabis
bercerita. Lui Im menghela napas lagi. “Bu Beng hiante, mereka sangat
menghinaku. Ketika hendak pergi, imam itu berkata bahwa jika aku hendak
menuntut balas aku boleh datang ke rumah Tan Tek Seng pangcu karena ia akan
berdiam disana selama satu bulan. Sungguh sakit sekali hatiku. Biarpun aku
harus mengakui bahwa ia lebih unggul dariku, tapi aku lebih baik mati daripada
menerima hinaan ini. Sekarang juga aku harus pergi kesana mengadu tenaga!”
Sambil
mengucapkan kata-kata ini, Lui Im berdiri dan dengan tangan mengepal ia
kertakan gigi, kedua matanya bersinar menyala-nyala. Bu Beng juga merasa panas
akan kecurangan Tan pangcu. Lebih-lebih jika diingat bahwa Lui Im adalah
sahabat baik suhengnya, Kim Kong Tianglo. Sebelum ia berkata sesuatu, Lui Im
berkata lagi dengan suara sedih.
“Ah sayang
sekali, kalau saja sahabatku Kim Kong Tianglo berada disini, belum tentu aku
yang tua ini sampai terhina demikian rupa!”
Bu Beng
merasa akan sindiran ini, ia maklum bahwa bagaimanapun juga, Lui Im tidak
percaya bahwa ia cukup kuat untuk membelanya. Maka dengan tenang ia berkata,
“Loenghiong,
aku sebagai sute dari Kim Kong Tianglo, mana dapat berpeluk tangan melihat saja
semua kejadian ini? maka jika kau sudi menerimanya, aku tawarkan tenagaku yang
tak berati ini untuk mewakili suhengku membantumu dalam persoalan ini.”
Lui Im
berdiri dengan wajah girang. “Terima kasih hiante, terima kasih. Kalau kau suka
membantu, pasti sakit hatiku ini dapat dicuci bersih.”
“Jangan
terlalu berbesar harap, loenghiong, tapi aku akan bekerja sekuat tenaga. Bilakah
kita akan kesana?”
“Mari kita
makan dulu, hiante. Bangsat-bangsat itu sengaja meninggalkan makanan diatas
meja agar aku merasa sengsara dan menderita. Mari kita beristirahat dulu
semalam ini. besok pagi-pagi kita berangkat.”
Keduanya
lalu makan dan Bu Beng yang telah merasa lapar sekali makan dengan lahapnya.
Kemudian mereka mengaso dalam kamar itu dimana terdapat sebuah tempat tidur
batu.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi mereka berangkat dan langsung manuju ke kampong
Hong bu pang. Perkampungan itu terdiri dari beberapa petak rumah yang semuanya
milik anggota-anggota perkumpulan itu. Kampong itu dikelilingi oleh tembok
tinggi yang dipasang besi-besi runcing diatasnya. Empat pintu besar di tiap
penjuru dibuka lebar-lebar dan beberapa gerobak hilir mudik melaluinya. Pintu
itu masing-masing dijaga oleh enam orang bersenjata tombak dan golok. Sikap
mereka galak dan angkuh.
Lui Im dan
Bu Beng menghampiri pintu selatan. Mereka dihentikan oleh penjaga-penjaga
disitu dan ditanya keperluan mereka.
“Kami berdua
hendak menjumpai Tan pangsu.”
Ketika
penjaga-penjaga itu mendengar bahwa yang datang adalah pangcu dari Cung lim
pang, berubahlah wajah mereka dan dua orang diantaranya segera lari masuk
memberi laporan.
Tak lama
kemudian, dari dalam perkampungan kecil itu keluar orang setengah tua yang
bertubuh tegap dengan tindakan kaki tetap, menandakan bahwa ia adalah seorang
ahli silat. Ketika melihat Lui Im, ia menjuru dengan hormat.
“Maafkan,
Lui pangcu, pangcu kami kebetulan sedang keluar kampong. Tapi ia tadi memberi
pesan padaku, bahwa jika ada orang datang mencarinya, diminta agar kembali lagi
malam nanti.”
Lui Im kenal
bahwa yang datang itu adalah seorang jagoan di Hong bu pang yang bernama A Liat
si Angin Ribut. Maka ia balas menjuru dan berkata kecewa. “Ah, sayang sekali.
Sebenarnya aku datang memenuhi undangan Ang Hwat Tojin.”
“Ang Hwat
Tojin juga keluar bersama-sama pangcu. Sebaiknya Lui Im pangcu kembali saja
malam nanti.”
Ketika
berkata demikian A Liat mengerling kearah Bu Beng sambil mengamat-amati,
seakan-akan sedang mengukur-ukur kekuatan orang itu. Ketika itu Lui Im duduk
diatas sebuah bangku yang terdapat ditempat jaga itu dan melihat Bu Beng
berdiri saja, si Angin Ribut segera menghampiri bangku batu di sudut dan dengan
sekali congkel dengan kaki bangku itu melayang keatas dan diterima olehnya
seakan-akan bangku batu yang beratnya ada seratus kati itu hanya merupakan
bangku bambo saja. Kemudian ia membawa bangku itu kepada Bu Beng dan berkata,
“Silakan
duduk, tuan muda,” ucapan 'tuan muda' ini mengandung sindiran, karena Bu Beng
yang ketika itu belum mengganti pakaian kuning penuh tambalan sesungguhnya
sebutan 'tuan muda' itu tidak pantas dan menggelikan.
Bu Beng maklum
bahwa orang itu sedang menunjukkan kekuatan tenaganya. Maka ia pura-pura kaget
dan termangu. “Ah, tenaga tuan sungguh mengkagumkan! Terima kasih!” kemudian ia
duduk di bangku batu yang tebal itu, tapi diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya
dan “krak!” kaki bangku itu patah menjadi empat.
“Sayang
bangkumu lapuk sekali, tuan,” kata Bu Beng tersenyum dan berdiri tegak. Bukan
main kaget A Liat melihat hal ini. diam-diam ia kagum sekali, maka ia menjuru
dan berkata, “Maaf.”
“Nah, kalau
begitu, biarlah kami kembali malam nanti pada kentungan sembilan kali.
Katakanlah kepada pangcumu agar ia bersikap demikian pula kepada Ang Hwat
Tojin,” kat a Lui Im yang segera mengajak Bu Beng pergi.
Mereka
berdua lalu menuju ke kampong Lui Im. Semua anggota perkumpulan Cung Lim pang
yang tadinya telah merasa cemas dan khawatir karena pangcu mereka semalam tidak
pulang, kini menjadi girang melihat pangcu mereka kembali dalam keadaaan sehat.
Istri Lui Im dan Kui hwa anak gadisnya menyambut kedatangan mereka dengan ramah
tamah.
Lui Im
membuat perjamuan untuk menghormati tamunya. Ketika mendengar bahwa anak muda
yang berpakaian kuning penuh tambalan itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo
yang mereka kenal baik, nyonya Lui Im makin manis sikapnya dan lebih-lebih Kui
hwa. Lui Im merasa gembira sekali, karena ia yakin bahwa Bu Beng pasti dapat
membersihkan namanya. Maka ia makan minum sepuas -puasnya sampai mabuk. Di
tengah-tengah perjamuan ia berkata kepada tamunya.
“Bu Beng
hiante, maafkan kalau aku berlaku lancang. Berapakah usia hiante tahun ini dan
apakah sudah mempunyai hujin?”
Merah wajah
Bu Beng mendengar pertanyaan ini. karena pertanyaan dari seorang yang mempunyai
anak gadis yang diajukan seperti ini bukannya tak mengandung arti. Maka dengan
malu-malu ia berkata,
“Siauwte
berusia dua puluh enam tahun dan belum kawin, tapi….” Ia menyambung cepat,
“siauwte sudah bertunangan.”
Biarpun
ditahan-tahan, nampak juga kekecewaan menggores wajah Lui Im. “Siapakah nona
tunanganmu itum hiante?”
“Ia adalah
puteri dari mendiang Lui Pa San loenghiong.” Katanya dan tiba-tiba ia teringat
akan penyakit yang diderita Cin Eng hingga tak terasa menghela napas.
Demikianlah,
hari itu mereka lewati dengan makan minum dan bercakap-cakap. Lui Im suka
sekali kepada pemuda yang bersikap sopan dan pandai membawa diri itu. Bu Beng
mendapat sebuah kamar istimewa dan ketika ia dipersilakan mengaso, ia buka
bungkusan pemberian Cin Eng. Ternyata bungkusan itu berisi dua stel pakaian
warna kuning yang masih baru dan sehelai selimut.
Bu Beng kagum
sekali betapa cepatnya gadis pujaannya itu mempersiapkan pakaian untuknya. Ah,
tentu sepulangnya dari hutan itu, tunangannya terus menjahit hingga pagi! Ia
lepaskan pakaiannya yang lapuk dan mengenakan pakaian baru itu. Ternyata pas
benar! Ia makin kagum kepada kekasihnya. Kemudian ia berbaring dan tidur. Pada
kira-kira pukul tujuh malam, ia jaga dari tidurnya dan terus duduk bersemedhi
menentramkan semangat karena ia harus menghadapi kemungkinan bertempur melawan
orang-orang lihai.
Beberapa jan
kemudian terdengar panggilan Lui Im perlahan. Bu Beng yang sudah siap lalu
membuka pintu. Orang tua itu telah berpakaian ringkas dan pinggangnya
tergantung goloknya. Ia nampak gagah dan sigap.
“Sudah siap,
hiante?” tanyanya perlahan.
“Sudah,
marilah.”
Ternyata Lui
Im tidak memberitahukan persoalannya kepada anak istrinya agar mereka jangan
merasa khawatir. Maka diam-diam kedua orang itu meninggalkan kampung dan menuju
kearah Hong bu pang. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang Hong bu pang,
ternyata pintu itu tertutup rapat. Bu Beng mencoba mendorongnya, tapi pintu itu
terbuat daripada besi tebal dan terkunci dari dalam, kuat sekali.
“Eh, kenapa
mereka menutup pintu? Takutkah mereka?” Tanya Bu Beng.
“Tidak
mungkin mereka demikian pengecut!” seru Lui Im keras-keras dengan sengaja agar
dapat terdengar dari balik tembok.
Tiba-tiba Bu
Beng memperingatkan. “Awas senjata gelap!”
Tapi Lui Im
dapat mendengar juga suara angin menyambar kearah mereka. Ia meloncat dan tiga
batang piauw menyambar lewat. Bu Beng mengulurkan kedua tangannya menangkap dua
batang pelor yang menyambar kearahnya.
“Ha ha ha !
Lui Im! kau berani datang mencari mampus! Masuklah kalau kau dapat dan berani.”
Terdengar suara Tan Tek Seng menertawakan mereka dari atas tembok.
“Orang she
Tan pengecut! Biar kukejar sampai dimana juga!” teriak Lui Im dengan marah dan
ia siap meloncat keatas, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Bu Beng. Lui Im
merasakan pegangan itu kuat sekali hingga tak mungkin baginya untuk melepaskan
diri dan meloncat.
“Sabar, Lui
loenghiong biarlah siauwte yang naik dulu untuk melihat suasana. Aku khawatir
mereka memasang jebakan diatas, sebagaimana yang telah mereka lakukan dengan
mengirim senjata gelap tadi.”
Sebelum Lui
Im dapat menjawab, anak muda itu mengayunkan tubuhnya dan melayang keatas
tembok. Bagi orang lain, biarpun ia mempunyai kepandaian tinggi, jika meloncat
tembok itu tentu sesampainya diatas akan berpegangan kepada besi runcing. Tapi
Bu Beng mempunyai ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang sempurna dan
gerakannya gesit sekali.
Maka dengan
sengaja ia perkeras loncatannya hingga tubuhnya melayang keatas besi-besi itu
dan menginjakkan kedua kakinya diujung besi! Tubuhnya dengan tetap dan ringan
bagaikan seekor burung berdiri diatas besi itu sambil memandang kebawah dengan
tajam.
Benar saja,
dari bawah menyambar beberapa belas piauw dan pelor besi kearahnya. Secepat
kilat Bu Beng mencabut pedang pendek wee liong kiam dari punggungnya dan
memutarnya untuk melindungi tubuh. Semua senjata rahasia itu terpental kembali
dengan suara berderincingan. Maka pemuda yang tajam itu melihat beberapa
bayangan tubuh di bawah tembok. Ia segera mengayunkan tangannya dan melepaskan
dua buah pelor yang tadi disautnya ketika ia mula-mula mendapat serangan.
Terdengar suara teriakan orang kesakitan dibawah tembok.
“Tan pangcu!
Ang Hwat Tojin! Tidakkah sambutan ini sangat memalukan dan bukan perbuatan
orang-orang gagah? Atau kalian takut kepada Lui pangcu?” seru Bu Beng dari
atas.
“Orang gagah
darimana yang datang ini. turunlah dan bawa orang she Lui itu masuk. Kami ingin
memandang mukamu dan mempersilakan kamu masuk,” terdengar suara Tan Tek Seng.
Bu Beng
segera memberi isyarat kepada Lui Im yang masih berdiri dibawah. Lui Im menggerakkan
kakinya dan meloncat keatas. Ia tidak berani meniru perbuatan dan gerakan Bu
Beng tadi, tapi menggunakan tangan kirinya memegang sebuah besi untuk menahan
tubuhnya. Kemudian dengan Bu Beng mendahuluinya, mereka turun ke dalam.
Mereka
disambut oleh tiga orang yang berdiri di tengah-tengah lapangan. Di
sekitarlapangan itu ditaruh obor yang membuat tempat itu terang sekali bagaikan
siang. Di belakang obor-obor itu berdiri berpuluh orang dengan pakaian ringkas
dan senjata di pinggang merupakan barisan. Keadaan mereka kelihatan perkasa
sekali dan rupa-rupanya mereka telah melakukan persiapan sejak tadi. Tan Tek
Seng yang bertubuh gemuk pendek melangkah maju, dan menjuru kepada Lui Im.
“Lui pangcu.
Sungguh beruntung hari ini aku dapat bertemu kembali dengan kau dalam keadaan
sehat.”
“Aku tidak
ada urusan apa-apa lagi dengan kau, Tan pangcu. Bukankah kau adalah
pecundangku? Aku datang menagih janji dan memenuhi undangan Ang Hwat Tojin.” Ia
melirik kearah orang pendeta kurus tinggi yang memegang kebutan putih berdiri
tenang sambil memandang kearah tamu-tamu itu dengan acuh tak acuh.
“Siancai,
siancai!” pendeta itu berkata dengan lagak seorang alim. “Rupanya Lui pangcu
mendapat bantuan orang pandai hingga berani berlagak setelah pinto ampuni
jiwanya.”
“Hm, pendeta
jahat! Selama hidupku belum pernah bermusuhan dengan orang seperti kau. Tapi
mengapa kau berani-berani mencampuri urusan kami tanpa mengetahui duduk
perkaranya? Apakah ini pantas disebut perbuatan seorang yang mencucikan diri
dan telah memakai jubah pendeta? Kau bilang aku membawa teman, memang betul,
tapi siapakah yang melanggar perjanjian lebih dahulu? Aku datang seorang diri
di hutan malam tadi, tapi ternyata Tan pangcu diam-diam mengundang kau.
Sekarang aku datang membawa seorang kawanku, bukankah ini cukup adil?”
“Orang she
Lui! Jangan kau lancang mulut menyebut-nyebut tentang kedudukanku. Kau sudah
nyata bukan tandinganku, apakah kau mencari mampus? Tentang kawanmu, janganlah
hanya seorang, biar kau bawa beberapa orang lagi, aku tidak ambil pusing.
Jangan kira kami takaut padamu dan pada kawan-kawanmu,” jawab Ang Hwat Tojin
sambil menuding-nudingkan kebutannya.
“Lui
loenghiong,” kata Bu Beng dengan suara mengandung ejekan, “mereka bilang tidak
takut kepada kita yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi lihatlah dia itu,
bukankah dia itu agaknya orang yang siang tadi mereka cari untuk diminta
bantuannya?”
Lui Im
memandang kearah orang yang dituding pemuda itu dan melihat seorang kate yang
berpakaian seperti penegmis sambil memegang tongkat. Orang itu duduk diatas
tanah dengan tak acuh sama sekali tentang pembicaraan mereka, tapi hanya
menggunakan tongkatnya menggaris-garis tanah. Bu Beng tertarik sekali oleh
goresan tongkat itu karena biarpun hanya ditekan lemah tapi goresannya dalam
sekali menunjukkan adanya tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ia
jadi memperhatikan apa yang dituliskan oleh si kate itu. Teernyata dibaris
pertama adalah ujar-ujar nabi Khong Hu Cu yang berbunyi,
“Su Hai Lwee
Kai Heng Tee Ya” yang artinya, “Di empat penjuru lautan semua orang adalah
saudara,” lalu dibawa kedua disambung uajar-ujar lain yang berbunyi. Janganlah
kau lakukan kepada orang lain sesuatu yang kau sendiri tidak mau dilakukan oleh
orang lain kepadamu.”
Orang kate
itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya terdapat banyak uban dan
awut-awutan tak terurus. Mukanya kotor penuh daki dan wajahnya menunjukkan
watak sembarangan dan tidak pedulian, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar
tajam berpengaruh yang tertutup oleh pelupuk mata yang selalu tampak seperti
orang mengantuk. Bu Beng diam-diam heran dan menduga-duga siapakah pengemis tua
yang luar biasa ini.
Sementara
itu, mendengar ejekan Bu Beng, Ang Hwat Tojin menjadi malu dan mukanya berubah
merah. Ia kibas-kibaskan kebutannya dan berkata,
“Sudahlah
jangan banyak mengobrol kata-kata busuk yang tak berharga. Sekarang kalian
sebagai tamu yang sudah datang maka kami sebagai tuan rumah hendak bertanya
apakah kehendak kalian? Apakah kau masih sakit hati dan hendak mengadu tenaga
dengan pinto, orang she Lui?” ia menantang sikapnya sombong dan memandang
rendah.
Bu Beng
mewakili Lui Im menjawab, “Ang Hwat Tojin maafkan aku yang muda ikut bicara.
Kalau dipikir dalam-dalam kau sebenarnya tidak mempunyai hubungan sesuatu
dengan Lui Im. Maka, jika kiranya Tan pangcu masih belum puas, ia boleh ada
tenaga dengan Lui pangcu. Tetapi sebenarnya menurut pikiranku yang bodoh, tak
perlu permusuhan ini dilanjutkan berlarut-larut, mengingat bahwa kedua-duanya
adalah ketua dari perkumpulan besar yang seharusnya dapat memberi teladan baik
bagi semua anggotanya dan mejauhi pertikaian yang tiada guna. Adapun kau
sendiri karena kau menjadi orang undangan Tan pangcu, jika kau hendak
main-main, sudah terang bahwa Lui pangcu bukan tandinganmu. Bukannya aku yang
muda mau berlaku sombong, tapi kasihan kalau Lui pangcu yan sudah tua itu harus
menjadi korban totokanmu lagi, biarlah ia kuwakili denan tubuhku yang lebih
muda.”
“Sudah
kusangka, sudah kusangka. Lui Im takkan berani datang kesini kalau tidak ada
orang yang diandal kan. Tentu kau mempunyai kepandaian yang lebih tinggi
daripada orang she Lui itu. Nah, majulah, majulah anak muda biar kita main-main
sebentar.”
Bu Beng maju
dua langkah dan setelah menjuru kepada lawannya, ia mencabut pedang pendeknya
dari punggung. Ang Hwat Tojin melihat pedang itu menjadi kaget dan berseru,
“Tahan dulu!
siapakah namamu?”
“Orang sebut
aku Bu Beng.”
“Bu Beng
Kiamhiap? Kaukah ini? ha ha ha! ini namanya ular dicari-cari kemana-mana tidak
terdapat, tahu-tahu ular itu merayap kearah kaki! Hm, jadi kaukah yang telah
membinasakan suteku dan merampas pedangnya? Hayo kembalikan Hwe hong kiam itu
padaku!”
Bu Beng
memutar-mutar pedang pendeknya dan tersenyum. “Gampang saja kau mau minta
pedang ini. jadi kau ini suheng dari Kong Bouw? sungguh heran, seorang pendeta
mempunyai sute kepala penjahat yang kejam dan ganas! Ketahuilah, Ang Hwat
Tojin, sutemu biarpun mati di tanganku tapi sebenarnya ia mati karena kejahatan
dan dosanya sendiri. Kalau ia tidak jahat dan penuh dosa, masakan dia dapat
bertempur dengan aku? Dan kalau tidak bertempur dengan aku, masakan dia dapat
tewas? Tenang Hwe hong kiam ini, aku dapatkan setelah bertempur mati-matian
dikeroyok oleh Kong Bouw dan komplotannya. Maka sekarang, kalau kau hendak
memilikinya, ambillah dari tanganku. Pedang ini tidak pantas dimiliki untuk
melakukan kejahatan. Sudah cukup pedang ini menderita karena siraman darah
orang-orang yang tidak berdosa, kini aku harus mencuci segala noda itu dengan
darah orang-orang jahat yang layak menjadi korbannya.”
Bukan main
marahnya Ang Hwat Tojin mendengar uraian itu. Ia menggerakkan tangan kanan
mencabut pedang yang terselip di punggungnya. Kemudian sambil menggeram keras
ia maju menyerang.
Bu Beng
berlaku hati-hati karena dulu ia telah bertanding dengan Kong Bouw yang
ternyata ilmu silatnya hebat juga. Kini berhadapan dengan suheng kepala
penjahat itu, ia harus berhati-hati karena tentu saja suhengnya lebih hebat
daripada sutenya. Serangan lawan itu ditangkisnya dan cepat ia balas menyerang
dengan tipu berbahaya dari Kim liong kiam hoat. Pedang Hwe hong kiamnya
berkilat seperti kilat menusuk dada lawan.
Ang Hwat
Tojin terkejut melihat ini dan cepat cepat ia gunakan kebutannya yang dipegang
tangan kiri untuk menyabet pedang itu dengan gerakan Ular Putih Melilit Dahan.
Kebutan itu benar saja telah melilit pedang Bu Beng dengan kuatnya. Bu Beng
kaget juga melihat kehebatan imam itu. Ia mencoba manarik pedangnya, tapi makin
ditarik makin keras saja libatan itu. Mereka berdua mengerahkan tenaga, Bu Beng
menarik dan lawannya menahan.
Tiba-tiba
Ang Hwat Tojin menusukkan pedangnya ketenggorokan Bu Beng. Bukan main hebat dan
berbahayanya serangan ini justru pada saat Bu Beng sedang mengerahkan tenaga
kearah pedangnya yang terlibat! Anak muda itu memutar pergelangan tangannya
untuk membalikkan mata pedang dengan maksud menggunakan mata pedang itu
membabat kebutan itu sambil ia berkelit merendahkan tubuhnya menghindari
tusukan lawan.
Ang Hwat
Tojin merasakan lilitan kebutannya tiba-tiba mengendur dan ketika ia lihat,
bukan main rasa panas dan marahnya karena ternyata kebutannya telah putus oleh
tajamnya pedang hwe hong kiam. Dengan marah ia ayunkan gagang kebutan yang
terbuat dari besi itu kearah Bu Beng. Bu Beng maklum akan kerasnya ayunan itu,
maka ia tidak berani menerimanya, dan mengelakkannya.
Gagang
kebutan itu terlempar kesisi dan menancap diatas tanah hingga tak kelihatan
lagi. Demikian hebatnya tenaga imam itu, hingga kalau gagang kebutan itu
mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa hebat akibatnya.
“Bangsat
kecil lihat pedang!” Ang Hwat Tojin berseru marah. Ia memutar pedangnya
demikian rupa sehingga sinarnya berkilauan karena cahaya api obor. Ia
menggunakan ilmu pedangnya Halilintar Mengamuk menyerang dengan tiba-tiba dan
mematikan.
Tapi Bu Beng
menghadapinya dengan gagah. Pemuda ini memainkan Kim liong kiam hoat dicampur
denagn tipu-tipu pedang dari Hoa san pai yang hebat hingga sinar pedangnya
bergulung-gulung menindih sinar pedang imam itu, pertempuran berjalan ramai
sekali, mereka merupakan sepasang naga yang sedang bercanda, mendatangkan
angina dingin bersiutan karena gerakan mereka yang didorong oleh tenaga
iweekang yang tinggi.
Semua orang
melihat jalannya pertempuran dengan bengong dan kagum. Bahkan orang tua kate
yang kini berdiri dengan tongkat terjepit dibawah lengan turut menonton.
Berkali-kali terdengar bisikan di mulutnya yang kecil.
“Bagus,
bagus…”
Pada satu
saat, ketika Ang Hwat Tojin menusuk karah ulu hati Bu Beng, pemuda itu m
enggerakkan pedangnya menangkis, tapi ia terus gunakan tenaga iweekangnya
menempel pedang lawan, memutar lenganya dengan cepat hingga Ang Hwat Tojin
terpaksa mengikuti gerak putaran itu dan sekali menyentakkan pedang pendeknya
keatas, Ang Hwat Tojin berteriak kaget dan pedangnya terlepas dari tangannya
terbang ke udara.
Ketika
pedangnya mengikuti putaran tadi, Ang Hwat Tojin merasa telapak tangannya
kesemutan dan pedangnya seakan-akan menempel ke pedang lawan, dan ketika ia
sedang kebingungan untuk melepaskan pedangnya dari tempelan, tiba-tiba tenaga
keras menarik pedangnya dan sentakan lawan membuat ia tak dapat menahan lagi
hingga pedangnya terpelanting keatas.
Sebelum Ang
Hwat Tojin hilang kagetnya, jari tangan Bu Beng secepat kilat menusuk dan
menotok jalan darah di pundaknya. Pendeta itu jatuh terduduk dan tak dapat
bangun kembali, karena totokan yang hebat itu membuatnya lumpuh dan mati
setengah tubuhnya.
“Bangunlah,
Ang Hwat ojin, bangunlah,” tiba-tiba pengemis kate itu berkata dan menggunakan
tangannya memegang pundak Ang Hwat Tojin sambil membantunya bangun. Tapi
diam-diam orang kate itu menggunakan tangannya menekan pundak dengan gerakan
Capung Melayang Memukul Air untuk menyembuhkan totokan Bu Beng.
Ang Hwat
Tojin segera dapat bangun berdiri dengan wajah merah dan sepasang matanya
memandang lawan yang muda itu dengan melotot. Orang kate itu menghadapai Bu
Beng dan bertindak maju sampai hanya tiga kaki terpisah dari Bu Beng. Ia masih
mengempit tongkatnya dan menjuru sambil merangkapkan kedua tangan.
“Bu Beng
Taihiap, kau sungguh hebat dan membuat aku sangat kagum.” Katanya dengan
senyum.
Bu Beng
merasa betapa dari kedua lengan itu menyambar tenaga besar hingga ia sangat
terkejut. Buru-buru ia rangkapkan kedua tangan sambil mengerahkan iweekangnya
dan balas menjuru.
“Losuhu terlalu
memuji. Mohon keterangan siapakah losuhu ini?” si kate yang sedang mencoba
kehebatan anak muda itu merasa tenaganya terpukul kembali hingga diam-diam ia
makin mengagumi Bu Beng.
“Ha ha ha,
sungguh hebat. Sungguh hebat. Masih semuda ini, tapi memiliki kepandaian yang
tak tercela. Dengarlah anak muda, lohu disebut orang Pengemis Kecil tongkat
Wasiat. Namaku Lo Sam dan pekerjaanku mengemis.”
Kembali Bu
Beng terkejut. Tak heran bahwa pengemis kate ini demikian hebat, sebab ia
adalah ketua perkumpulan pengemis dari daerah barat yang sangat terkenal
namanya! Tapi, menurut Kim Kong Tianglo, suhengnya, Lo Sam adalah seorang yang
sangat mengutamakan budi kebaikan, bahkan ia berlaku sangat bengis terhadap
anggota-anggota perkumpulannya, karenanya ia sangat dipuji kaum persilatan.
Tapi kini ia membantu orang semacam Ang Hwat Tojin dan Tan Tek Seng.
Bu Beng
menjuru dengan hormat. “Tidak kusangka Lo enghiong yang kuhadapi. Maaf, maaf,
kalau aku yang muda berlaku kurang hormat. Dengan adanya loenghiong disini, siauwte
yakin bahwa urusan ini pasti dapat diselesaikan dengan damai dan sempurna,
karena siauwte sudah mendengar tentang keadilan loenghiong.”
“Hm, hm, kau
pandai membawa diri, anak muda. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu yang
mulia?‟
“Kiranya
akan cukup jika siauwte katakan bahwa siauwte adalah adik seperguruan dari Kim
Kong tianglo.”
“Oo…
begitukah? Tak heran kau begitu hebat! Tak kusangka kau adalah murid dari Hun
San Tojin almarhum.”
Sementara
itu Ang Hwat Tojin pun terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah sute
dari Kim Kong Tianglo, karena ia sendiri pernah jatuh dalam tangan hwesio yang
lihai itu.
“Bu Beng
Taihiap, karena kau masih muda, maka biarpun sifat-sifatmu baik, namun kau
masih juga dikuasai oleh nafsu berkelahi. Ketahuilah kedatanganku ini walaupun
memenuhi undangan Ang Hwat Tojin tapi bukan sekali-kali untuk mengadu
kepandaian. Aku sengaja datang untuk mendamaikan urusan ini. Sebetulnya telah
kuketahui bahwa Tan pangcu maupun Lui pangcu kedua-duanya adalah orang-orang
baik dan jujur. Sayang mereka berdua kurang luas pandangannya dan mudah saja
terbakar oleh murid-murid atau anggota-anggota mereka hingga terjadi bentrokan
ini. Sebenarnya apakah untungnya untuk berkelahi antara kita sendiri? Kita di
kurniai kepandaian bukanlah dimaksudkan untuk mencari permusuhan, tapi bahkan
sebaliknya, membinasakan segala kejahatan, bukankah demikian? Kalau permusuhan
didendamkan makin mendalam hingga terjadi balas membalas, siapakah yang rugi?
Tak lain kita sendiri karena di dunia ini tidak ada orang terpandai!”
Bu Beng
heran mendengar kata-kata yang lancer dan berisi itu, karena melihat orangnya
yang kecil pendek itu tak tersangka dapat bicara demikian panjang lebar dan
penuh isi. Dan terpaksa ia membenarkan uraian tadi dan berkata,
“Loenghiong
benar sekali, siauwte juga akan merasa gembira sekali jika hal ini dapat
dibereskan secara damai.”
Melihat
perkembangan urusan ini hati Tan Tek Seng menjadi lemah. Sejak tadipun, setelah
melihat betapa Ang Hwat Tojin yang ia andalkan dapat dijatuhkan oleh tangan
kawan Lui Im, ia sudah merasa putus harapan untuk mempertahankan namanya.
Harapan satu-satunya tinggal kepada Lo Sam yang ia tahu betul kehebatannya.
Tapi kini mendengar kata-kata pengemis pendek kecil itu, lenyaplah harapan
satu-satunya. Ia tahu diri maka segera ia maju dan menjuru kepada Lo Sam sambil
berkata,
“Memang
ucapan loenghiong tadi sangat tepat. Aku mengaku salah telah terlibat dalam
pertempuran anggota-anggotaku yang tak berarti hingga terjadi bentrokan dengan
Lui pangcu. Tapi karena kesalahan terletak dikedua pihak yang tidak mau
mengalah hingga aku meminta bantuan Ang Hwat Tojin dan loenghiong sendiri
sedangkan di pihak Lui pangcu juga minta bantuan Bu Beng Taihiap yang tinggi
ilmu kepandaiannya ini, hatiku merasa sangat penasaran sebelum menyaksikan
pihak manakah yang lebih hebat kawannya. Ang Hwat Tojin sudah terkalahkan tapi
aku masih ada loenghiong yang datang kesini atas undanganku. Maka aku yang
bodoh mohon dengan sangat untuk menambah pengetahuanku yang rendah, sudilah
loenghiong melayani Bu Beng Tahiap bermain-main sebentar secara sahabat. Jika
Bu Beng Tahiap yang masih muda tapi sangat hebat ini ternyata lebih unggul
daripada loenghiong, maka dengan rela aku akan minta maaf lebih dulu kepada Lui
pangcu. Sebaliknya jika Bu Beng Taihiap tak dapat mengalahkan kepandaian
loenghiong, sudah sewajarnya kalau Lui pangcu yang minta maaf lebih dulu dan
kami berdua selanjutnya menghabiskan permusuhan ini dan melanjutkan
persahabatan semula. Bagaimana pendapatmu Lui pangcu?”
Lui Im yang
sejak tadi sangat kagum melihat kehebatan Bu Beng, dan ia mengerti pula bahwa
Lo Sam bukanlah orang sembarangan, maka iapun ingin sekali melihat kedua orang
ini mengadu ilmu agar ia dapat menyaksikan untuk menambah pengalaman. Melihat
sikap Tang Tek Seng yang tiba-tiba berubah manis, iapun bergembira dan sambil
tersenyum ia berkata,
“Setuju,
setuju! Tapi tentu saja saya tidak dapat dan tidak berani memaksa Bu Beng
Taihiap saya hanya mengharapkan persetujuannya saja.”
Lo Sam tertawa
tergelak-gelak. “Ah, ah memang kedua pangcu ini jahat dan usilan! Memaksa aku
yang tua dan Bu Beng Taihiap yang hebat ini akan dijadikan jago aduan dan
mereka berdua dengan enak bertaruhan? Ah, tak beres, tak beres!”
Bu Beng
tersenyum dan sambil menggeleng-gelengkan kepala berkata, “Ah, mana berani
siauwte berlawan tangan dengan Lo Sam loenghiong? Sudah lama siauwte mendengar
kehebatannya, bagaimana siaute dapat menandinginya? Lui pangcu sebaiknya kau
saja yang mengalah dan minta maaf lebih dulu untuk menjaga mukaku!”
“Ha ha ha
kau sungguh tahu diri dan pandai merendahkan diri, sobat muda,” kata Lo Sam.
“Belum tentu lohu dapat mengalahkanmu. Kulihat kepandaianmu lebih tinggi
daripada Kim Kong Tianglo suhengmu itu. Mari, biarlah kita menjadi dua pelawak
sebentar dan memenuhi kehendak kedua pangcu yang jahat ini.”
Bu Beng
terpaksa maju menghampiri dan memasang bheksi pertahanan dengan sikap mem
persilakan orang tua itu bergerak dulu. tapi Lo Sam sambil memperdengarkan
suaranya yan nyaring menggoyang-goyangkan tongkatnya dan berkata,
“Anak muda,
kiam hoat mu tadi kulihat hebat sekali, kalau tidak salah itu adalah Kim liong
kiam hoat maka cabutlah pedangmu, biar kucoba dengan tongkat usangku ini.‟”
Bu Beng
terpaksa mengeluarkan pokiamnya dan lagi-lagi memasang kuda-kuda pertahanan. Lo
Sam tidak sungkan-sungkan lagi, dengan seruan 'awas' ia ayun tongkatnya
menyerang, dengan cepat Bu Beng memperlihatkan kelincahannya, dan berkelit
kesamping sambil menggunakan pedangnya mengait ujung tongkat dan pedang saling
serang bagaikan menjadi satu bundaran hingga menyilaukan mereka yang menonton.
Tak percuma
Lo Sam digelari orang Tongkat Wasiat, karena permainan tongkatnya betul-betul
hebat. Dan Bu Beng harus mengeluarkan seluruh kegesitan dan keahliannya untuk
dapat mengimbangi permainan pengemis kate ini. tapi sambaran tongkat
mendatangkan angin tajam mengiris kulit.
Setelah
bertempur lebih lima puluh jurus dengan tak tentu siapa yang lebih unggul Bu
Beng segera merubah gerakannya dan kini mencampur ilmu pedangnya dengan
pukulan-pukulan Hoa san pai. Dalam menyerang ia gunakan Kim liong pai dengan
dengan campuran Hoa san pai, sedangkan ketika menangkis ia gunakan campuran Kim
liong pai dan Go bi pai.
Lo Sam mengeluarkan
seruan 'hebat' karena kagum dan heran. Ia kagum sekali melihat ilmu pedang
campuran yang hebat dan tak terduga gerakan-gerakannya itu dan heran bagaimana
cara menggabungkan ilmu-ilmu itu demikian mahirnya. Tak ia sangka bahwa pemuda
itu akan dapat bertahan demikian lamanya melawan ilmu tongkat tunggalnya yang
telah menjagoi di seluruh daratan Tiongkok berpuluh-puluh tahun lamanya.
Lo Sam
merasa penasaran juga, maka kalau tadinya ia hanya menggunakan ilmu tangkisan
dengan gerakan Dinding Tebal Ribuan Laksa hingga tongkatnya berputar menutupi
seluruh tubuhnya hingga tak memungkinkan pedang Bu Beng dapat melukainya, kini
ia robah gerakannya bersilat dengan ilmu toya dan tongkat Pat kwa mui yang
diandalkan. Gerakan-gerakannya tidak kalah hebatnya ddari gerakan Bu Beng,
bahkan serangan-serangannya berubah-ubah dari delapan penjuru sambil menangkis
serangan pemuda itu dari manapun.
Namun
biarpun Bu Beng masih muda tapi sudah terlatih hebat dan ilmu silat Pat kwa mui
itupun pernah ia pelajari jalan-jalannya dibawah petunjuk gurunya, hingga kini
setelah menghadapi ilmu itu ia tak menjadi gentar dan dapat menduga
gerakan-gerakan lawan. Hanya saja, belum pernah ia menemukan seorang lawan yang
demikian mahir dalam ilmu ini dan gerakan-gerakannya banyak terdapat
kembangan-kembangannya yang diciptakannya sendiri, maka tak heran kalau Bu Beng
harus berlaku hati-hati agar jangan sampai tertipu. Makin lama pertempuran
berjalan makin hebat hingga ratusan jurus.
Pada suatu
saat, ketika pedangnya ditangkis oleh Lo Sam dengan gerakan Dewa Arak Keluar
dari Pintu Selatan. Bu Beng teruskan ujung pedangnya yang tergempur kesamping
itu untuk membabat pinggang lawan dengan sepenuh tenaga. Serangan ini hebat
sekali karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya diiringi bentakan “lihat
pokoam” untuk menambah tenaga semangatnya.
Melihat
datangnya serangan hebat ini Lo Sam terkejut sekali karena saat itu tongkatnya
sedang terdorong maju dalam melakukan gerakan tangkisan tadi, maka secepat
kilat ia membalikkan tangannya hingga tongkatnya menyambar kesamping, terus ia
gunakan tenaga sekuatnya untuk menangkis pergi pedang lawan. Dua buah senjata
pusaka yang ampuh digerakkan oleh dua tangan raksasa yang mengandung tenaga
iweekang tinggi beradu di tengah-tengah udara.
Terdengar
suara keras sekali dan kedua lawan itu masing-masing merasakan telapak tangan
mereka tergetar hebat hingga kedua-duanya tak dapat menahan pula, dan kedua
senjata itu terlepas dari pegangan. Pada saat itu pula masing-masing meloncat
mundur beberapa kaki dan berdiri diam untuk menarik napas.
Lo Sam masih
berdiri diam sambil memejamkan mata ketika pemuda itu berjalan maju untuk
memungut kedua senjata itu. Ketika pengemis kate itu membuka matanya, ia
melihat pemuda lawannya telah brdiri di hadapananya sambil menyerahkan
tongkatnya dengan sikap hormat sekali.
“Loenghiong
sungguh gagah, siauwte tunduk sekali.”
Lo Sam
menghela napas. “Memang gurunya naga muridnyapun naga. Seumur hidupku dalam
perantauan beribu-ribu Li belum pernah aku menjumpai lawan semuda dan sehebat
kau, anak muda. Kau betul-betul membuat lohu merasa seperti seekor katak
melawan ular. Kiam hoatmu luar biasa sekali. Nah, kini berlakulah murah untuk
melayaniku dalam ilmu silat tangan kosong beberapa jurus saja.”
Bu Beng
menjuru “Siauwte bersedia melayanimu, loenghiong.”
Demikianlah,
jago tua itu kembali bertanding dengan Bu Beng, dan hanya menggunakan kepalan
dan tendangan. Tapi dalam ilmu silat tangan kosong, setelah bertempur kurang
lebih lima puluh jurus dengan hebat, ternyata bagi Bu Beng bahwa Lo Sam tak
berapa kuat dan gerakan-gerakannya tidak semahir ilmu tongkatnya. Hanya orang
tua itu memiliki keuletan dan kematangan berlatih saja. Kalau ia mau, dengan
mudah ia dapat melanjutkan serangan maut dan menjatuhkan pengemis kate itu, tapi
Bu Beng tidak tega berlaku kejam terhadap orang tua itu. Maka, ia hanya
melayani saja permainan Lo Sam sambil mengunakan ginkangnya yang luar biasa
sehingga lama-lama Lo Sam merasa lelah dan pening.
Dalam
keadaan lelah Lo Sam menggunakan kedua telapak tangannya memukul dada Bu Beng
dengan tipu Dewa Menyuguh Dua Buah Tho, ialah gerakan sederhana tapi mengandung
tenaga dalam yang kuat sekali. Bu Beng yang melihat bahwa lawannya telah lelah,
mengambil keputusan untuk mengakhiri pertandingan ini. Dan mereka lalu
mengeluarkan kedua tangan mereka dengan kepalan terbuka dan berjabat. Empat
tangan beradu tanpa mengeluarkan apa-apa, tapi karena gerakan itu mengandung
tenaga dalam, Lo Sam terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Raja pengemis
kate itu menjuru kearah Bu Beng dan berkata,
“Bu Beng
Taihiap sungguh hebat, lohu mengaku kalah.”
Bu Beng
segera membalas memberi hormat. “Loenghiong sengaja mengalah, siauwte yang
sebenarnya kalah.”
Mendengar
kata-kata kedua orang itu. Tan pangcu dan Lui Im saling pandang, karena mereka
sesungguhnya tidak mengerti siapakah yang lebih unggul. Di waktu Lo Sam
terhuyung lima langkah tadi, Bu Beng sengaja mundur juga sampai lima langkah!
Maka kedua pangcu itu segera saling menjuru menyatakan maaf dan damailah kedua
pihak.
“Ha ha ha!
puas hatiku melihat hal ini dapat dibereskan secara damai! Lebih puas lagi
karena aku telah menemukan seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Cuwi,
contohlah Bu Beng Taihiap yang masih muda ini tapi yang patut dibuat teladan.
Ia demikian hebat tapi selalu berlaku mengalah menjauhi permusuhan. Biarlah
dengan jalan ini lohu mengundang cuwi sekalian untuk pada permulaan musim Cun
tahun depan ini mengunjungi pondokku di Lok Leng Ceng, turut merayakan pesta
kecil yang akan lohu adakan guna memperingati tahun ketiga belas dari pendirian
perserikatan pengemis seluruh daratan timur. Waktu itu sungai Yang-Ce sedang
tenang dan cuwi tentu akan menikmati pemandangan indah disana.”
Semua orang
menjuru menyatakan terima kasih.
“Kini
taihiap hendak pergi kemanakah?” tiba-tiba Lo Sam bertanya.
Dengan
singkat Bu Beng menuturkan maksudnya hendak ke pulau Ang coat ho atau pulau
ular merah. Lo Sam mengerutkan jidat dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Perjalanan
berbahaya. Ah, betapapun juga lohu percaya bahwa kau pasti akan berhasil
mendapatkan obat itu. Tahukah taihiap cara pengobatan dengan mustika ular itu?”
Mendapat
pertanyaan itu Bu Beng menjadi bingung karena sesungguhnya ia belum tahu cara
bagaimana menggunakan obat yang tengah dicari-carinya itu. “Baiknya lohu pernah
mendengar tentang penggunaan obat mustika ular untuk menyembuhkan berbagai
penyakit beracun. Baiklah lohu tuliskan resepnya untuk dicampur dengan obat
itu.”
Tan pangcu
segera mengambil kertas dan alat tulis dan Lo Sam segera menulis resep itu.
“Taihiap
belilah obat menurut resep ini di took obat dan campurkan dengan mustika ular
itu untuk dimakan oleh yang sakit.”
Bu Beng
menerima resep sambil mengaturkan terima kasih. Kemudian Lo Sam meninggalkan
tempat itu sungguhpun ditahan oleh pangcu dari Hong bu pang, Bu Beng juga
bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya.
Karena
menghadapi urusan Lui Im tadi, Bu Beng terlambat dan tertahan tiga hari. Maka
kini ia percepat tindakan kakinya. Ia berjalan langsung kearah utara dan dua
hari kemudian tibalah ia di kampung Po Teng dimana mengalir sungai
Yang-ce-kiang yang lebar dan melintasi kampong itu bagaikan seekor naga
raksasa. Airnya mengalir perlahan tapi jika musim hujan tiba, air itu akan
berubah besar dan deras sekali, merupakan bencana yang dalam beratus-ratus
tahun telah membinasakan entah berapa ratus ribu jiwa rakyat. Beberapa perahu
tampak hilir mudik, karena di dalam air telah terkenal menjadi gudang ikan yang
menjadi sumber penghasilan para nelayan.
Ketika
mencari perahu, ternyata Bu Beng tak bisa mendapatkan seorangpun yang sanggup
membawanya ke samudra.
“Ke laut?
Ah, tuan muda siapa yang berani menempuh perjalanan demikian jauh? Jaman
sekarang sedang kacau balau dan dimana-mana ada orang jahat. Perjalanan itu
jauh sekali dan memakan waktu berminggu-minggu. Semua perahu disini hanya
sanggup menyeberangkan ke tepi sana atau mengantarkan ke kampong yang
berdekatan saja. Biar dibayar berapapun, saya rasa tiada seorangpun yang akan
berani harus menempuh segala macam bahaya dan meninggalkan keluarga untuk
berminggu-minggu,” demikian keterangan yang ia dapat dari seorang nelayan tua
itu.
“Habis, apa
yang harus kulakukan untuk dapat mencapai laut?” Tanya Bu Beng dengan suara
sedih dan perlahan, seakan-akan tengah berbicara kepada diri sendriri.
Nelayan tua
itu agaknya kasihan melihat Bu Beng. “Tuan muda, kalau saja kau bisa membujuk
Hek Ho uw barangkali kau dapat melanjutkan niatmu. Kalau tidak jangan harap kau
bisa berlayar ke samudra.”
“Hek Houw?
Siapakah dia?” Tanya Bu Beng yang mendapat harapan baru.
“Hek Houw
nelayan muda. Tapi adatnya sukar diladeni. Sekarang ia tentu sedang
membuang-buang uangnya di kedai arak lagi,” kata orang tua itu sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah
mengetahui dimana letak kedai arak itu, Bu Beng segera menujukan langkahnya
kesitu. Ketika tiba di luar kedai, ia mendengar suara seorang yang kasar dan
parau tapi cukup nyaring tengah berteriak -teriak marah.
“Kalian ini
semua orang apa! Tak lain dari orang-orang lemah penjilat, dan tak tahu arti
hidup! Lihat aku, biar namaku Hek Houw, tapi hatiku tidak kalah tabahnya dengan
seekor Hek houw (harimau hitam) tulen. Aku cari uang untuk minum arak, aku
bekerja dengan tenaga tak mengandalkan kelicikan seperti kalian. Apakah kalau
tidak mencampur arak dengan air kalian tidak bisa hidup kaya? Apakah kalau
tidak kaya karena uang tipuan kalian tidak puas? Hayo jawab, kalau tidak akan
kuhancurkan kepalamu seorang demi seorang!”
“Jangan
marah, Hek twako,” terdengar suara lemah. “Kami tidak menipumu. Arak ini memang
arak tulen yang kami beli dari Lo bee chung di barat sana. Entah kalau arak ini
dicampur air oleh perbuatnya, karena bukan kami yang membikinnya.”
“Ah, alasan
saja! Dulu pernah aku beli arak dari sana tapi semua arak tulen, tidak seperti
ini. Arak palsu, apakah uangku ini juga palsu?”
Bu Beng
bertindak masuk dan melihat seorang tinggi besar yang bermuka hitam tengah
berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke kanan kiri dengan mata melotot.
Beberapa orang berdiri di sudut dengan takut-takut. Si muka hitam itu masih
muda, paling banyak berusia dua puluh tahun.
“Sekarang
begini saja. Ganti arakku ini dan keluarkan arak yang tulen, kalau tidak,
kalian enam orang ini harus keluar dengan aku dan berkelahi mengeroyokku agar
dapat kupersen pukulan satu-satu.”
“Kami tidak
punya arak tulen selain ini Hek twako.”
“Bohong!” dan
kepalan tangan di hitam itu memukul meja hingga meja kayu itu menjadi pecah.
“Sabar,
saudara, tidak sepatutnya orang beli dengan main paksa?”
Hek Houw
berpaling cepat dan memandang penegurnya dengan mata melotot. Bu Beng kini
dapat melihat wajah orang hitam itu dengan jelas. Wajah yang jujur tapi bodoh,
pikiranya.
“Apa? Siapa
kau berani menegurku?”
Bu Beng
tidak menyahut, tapi menghampiri tempat arak dan menggunakan telunjuknya untuk
mencoba rasanya. “Hm, benar-benar bercampur air,” katanya sambil memandang
kepada tukang warung. “Tidak adakah yang lebih baik?”
Tukang
warung yang setengah tua berkata perlahan. “Ada sih ada, tapi Hek Houw hanya
mempunyai uang dua chi sedangkan hutangnya yang kemarinpun belum dibayar.
Bagaimana ia dapat kami beri arak tulen yang mahal harganya?”
Bu Beng
tersenyum. “Keluarkan arak tulen satu guci biar aku yang bayar. Ini uangnya.”
Dilemparnya potongan uang perak diatas meja.
Dengan
tindakan lebar Hek Houw menghampiri Bu Beng. “Eh, orang sombong! Kau juga orang
kaya yang jumawa ya? Kau kira aku sudi minum arakmu? Kau mau andalkan uangmu
untuk bertingkah?” tinjunya yang segede buah kelepa diayun-ayunkan di depan
hidung Bu Beng.
“Siapa yang
menyombong? Aku sengaja datang kesini untuk mejumpaimu dan mengajak minum arak.
Apakah itu sombong namanya?”
“Sabar, Hek
twako,” kata tukang kedai, “tuan ini rupanya mengajak bersahabat denganmu.
Bukankah itu baik sekali?”
“Hm, hm,”
Hek Houw mengeluarkan suara ejekan dari hidung. “apa maksudmu mencari aku?
Ingin membeli ikan? Menyewa perahu?”
Bu Beng
mengangguk. “Aku hendak menyewa perahumu.”
“Tidak
bisa!”
Bu Beng
heran mendengar jawaban tegas dan singkat ini. Benar-benar seorang yang aneh
adatnya, ia pikir. “Mengapa tidak bisa?”
“Tidak bisa,
habis perkara. Jangan banyak cakap seperti perempuan!”
Tiba-tiba Bu
Beng tertawa. Hek houw memandang mukanya dengan tercengang.
“Mengapa kau
tertawa?”
“Karena
melihat kekhawatiranmu. Kau khawatir aku tak dapat membayar sewanya? Jangan
takut, kawan, berapa saja uang sewanya akan kubayar.”
“Hm, aku tak
butuh uang!”
Bu Beng
makin heran tapi ia tertawa lagi, kini lebih keras.
Hek Houw
maju setindak. “Hati-hati, kawan, kalau sekali lagi kau ketawa, alamat hancur
kepalamu kutinju. Mengapa kau tertawa lagi?”
“Karena
ternyata kau penakut. Kau takut bertemu bajak sungai.”
“Kenapa
begitu?”
“Karena aku
hendak menyewa perahumu menuju ke laut.”
Hek Houw terkejut.
“ke laut?? kau…??” Ia maju lagi selangkah, kini tepat di depan Bu Beng. “Jangan
main-main kawan, aku Hek Houw tidak takut siappun juga. Aku tidak takut bajak
sungai atau bajak laut yang manapun juga. Tapi... kau sendiri, orang kurus
kering dan lemah ini, berani mengatakan aku takut, apakah kau sendiri berani
menghadapi bajak sungai?”
Bu Beng
angkat dada. “Mengapa aku tidak berani?”
“Ha, agaknya
kau mengerti ilmu silat maka berani menghadapi bajak sungai!”
“Sedikit-sedikit
aku mengerti,” jawab Bu Beng dengan hati geli.
Tiba-tiba
Hek Houw menepuk-nepuk pundaknya. “Bagus, bagus! Nah, mari kita adakan
perjanjian. Kau yang kurus kering ini mengadu tenaga dengan aku, kalau kau
kalah, maka bawalah kesombonganmu itu ke lain tempat dengan segera.”
“Kalau kau
yang kalah?”
“Aku? kalah
olehmu? Ha ha ha kalau aku kalah, baiklah kuantar kau. Jangankan ke laut, ke
neraka jahanampun akan kuantar. Dan semua itu tanpa ongkos satu chi pun!”
“Baik, mari
kita keluar,” tantang Bu Beng.
Mereka
keluar kedai itu, dibuntuti oleh enam orang tadi yang memandang Bu Beng dengan
keheranan. Apakah orang itu mencari mampus? Pikir mereka.
Bu Beng
berdiri sambil bertolak pinggang. “Bagaimana kita harus mengadu tenaga?
Berkelahi?”
“Tidak.
Kalau berkelahi kau akan mampus. Begini saja kita saling pukul tiga kali. Kau
pukul dulu padaku tiga kali dan kemudian aku akan memukulmu tiga kali. Siapa
yang jatuh ia kalah.”
Bu Beng maju
dan menggunakan tangan kanannya meraba-raba dada Hek Houw yang bulat dan keras.
“ah, dadamu begini lunak. Lebih baik kau saja yang memukul aku dulu. kalau aku
memukul dulu, maka kau tentu takkan kuat membalas lagi.”
Hek Houw
terheran-heran, demikian juga enam orang itu yang memperdengarkan suara ketawa.
Hek Houw menengok kearah mereka. “Ada apa kau tertawa? Orang ini berhati tabah,
tidak seperti kamu!” lalu ia menghadapi Bu Beng lagi. “jangan kau sungkan
begitu kawan. Lebih baik kau yang memukul dulu.”
“Tidak ,
kalau kau tidak mau memukul dulu, tidak jadi saja dan kuanggap kau takut.”
“Apa katamu?
Baik, kalau kau mencari mampus sendiri. Mari bersiaplah!”
Bu Beng
memasang kuda-kuda dan pasang dadanya. “Nah, pukullah yag keras.”
Hek Houw
mengayunkan pukulan kanannya kearah dada Bu Beng. Ia hanya menggunakan sebagian
tenaganya karena khawatir kalau-kalau orang itu terpukul mampus. “Duk!” dan Hek
Houw heran sekali karena ia rasakan bagaikan memukul karet hingga kepalanya
terpental kembali.
“Ah,
pukulanmu seperti bakpauw saja. Empuk dan lunak,” Bu Beng mengejek.
Enam orang
itu tertawa ditahan. Muka Hek Houw merah dan ia kepalkan tangannya makin keras.
“Awas, terimalah pukulan kedua.”
Hek Houw
memukul lagi, kini sepenuh tenaga. “Bluk!” dan orang muka hitam ini makin heran
karena dada yang terpukul itu bagaikan kapas hingga pukulannya tak berbekas! Ia
memandang heran dan menyangka orang itu menggunakan ilmu sihir. Tapi ia masih
penasaran dan berkata, “Hm, coba rasakan pukulan ketiga ini!”
Kini ia
mengerahkan seluruh tenaga tubuhnya dan memukul sekuatnya. “Duk!” dan heran sekali,
pemuda muka hitam itu meringis-ringis kesakitan sambil memegangi tangan kananya
karena ia melihat seakan-akan memukul besi! Ketika ia melihat tangannya
ternyata tangan itu menjadi merah biru!.
“Sudah
puas?” Tanya Bu Beng. “Nah, kini tiba giliranku memukul, tidak tiga kali, cukup
sekali saja.” Mendengar kata-kata sombong ini Hek Houw menjadi marah.
“Boleh,
boleh!” kata Hek Houw menahan sakit tangannya. “Pukullah, pukullah dadaku
dengan kepalan tahumu! Jangan tiga kali, boleh kau pukul enam kali.”
Hek Houw
membuka kancing bajunya memperlihatkan dada yang bidang dan berotot, nampak
kuat sekali. Sambil tersenyum Bu Beng maju selangkah dan menggunakan tangan
kanannya memukul kearah dada kanan pemuda muka hitam itu perlahan.
Semua orang
yang kini pada datang menonton pada heran karena seketika itu juga Hek Houw
menjerit kesakitan dan jatuh terguling. Kedua tangannya memegang dadanya dan ia
mengerang-erang kesakitan.
“Aduh...
aduh…” kemudian sambil menahan sakitnya, Hek Houw merangkak dan berlutut di
depan Bu Beng.
“Suhu...
ampunkan aku yang tak mengenal orang pandai. Suhu akan kuantar kemana saja,
biarlah aku korbankan jiwa kalau perlu, asal suhu suka memberi pelajaran padaku
tentang cara memukul tadi!”
Bu Beng
tertawa geli dan merasa kasihan, ia menggunakan telapak tangannya menepuk
pundak kanan pemuda hitam itu yang segera membuat sembuh sakit dadanya.
Kemudian Bu Beng mengurut tangan yang bengkak matang biru itu hingga
perlahan-lahan tangan itu sembuh
kembali.
“Nah, jadi
orang janganlah sombong. Hayo kita minum dulu sepuasnya, baru berangkat menuju
ke laut.”
Hek Houw tak
berani membantah lagi. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baik suhu.”
Ia mengikuti
Bu Beng masuk ke dalam kedai lalu makan minum sepuasnya. Ternyata Hek Houw
adalah seorang yatim piatu tak bersanak dan hidup sebatang kara. Ia memiliki
sebuah perahu yang sederhana tapi kuat. Maka setelah makan minum berangkatlah
mereka berdua diikuti pandang mata kagum oleh para nelayan di kampong itu.
Air sungai
Yang ce kiang pada waktu itu tenang. Perahu terbawa aliran air ditambah dengan
tenaga pendayung yang kuat dari Hek Houw, maka perahu yang berujung runcing itu
meluncur cepat sekali. Lima hari lima malam mereka berlayar dengan cepat, hanya
berhenti untuk membeli makanan dan bermalam di kampong- kampong sepanjang
sungai.
Pada hari
kelima mereka tiba di kampong Cin hu chung! Kampong itu besar juga, terlihat
dari banyaknya perahu-perahu besar yang berlabuh di tepi sungai.
Ketika
perahu mereka sampai di situ. Bu Beng tertarik melihat keadaan disitu
seakan-akan orang tengah berpesta. Rumah-rumah di tepi sungai dihias dan
orang-orang nampak gembira. Bu Beng menyuruh Hek Houw berhenti.
“Kalau suhu
sering berhenti, kapankah kita bisa sampai ke laut?” Hek Houw mengomel panjang
pendek, tapi Bu Beng tersenyum saja.
Mereka
mendarat dan Hek Houw menambatkan perahunya pada sebuah tonggak. Bu Beng lalu
bertanya kepada seorang nelayan yang sedang menggulung jala apakah yang sedang
dirayakan di kampong itu.
“Kongcu
tidak tahu, kami sedang bergembira ria menyambut kedatangan seorang pendekar
wanita yang telah berhasil membunuh harimau besar yang sering mengganggu
penduduk kampong Cin hu chung. Bahkan chungcu sendiri mengeluarkan semua biaya
keramaian ini. lihat panggung itu, sebentar lagi nona pendekar kita akan diarak
kesitu menerima penghormatan.”
Bu Beng
makin tertarik dan ingin sekali melihat wajah lihiap yang gagah perkasa itu.
“Siapakah lihiap itu? Darimana datangnya? Tanyanya.
“Namanya
kami tidak tahu, karena ia hanya seorang yang sedang lewat disini. Tapi tentang
kehebatannya.” Nelayan itu memperlihatkan ibu jarinya. “Ia membunuh harimau
ganas itu hanya dengan dua buah uang tembaga dan beberapa pukulan dan tendangan
saja. Ketika lihiap lewat di hutan sebelah barat kampong ini, tiba-tiba
terdengar deruman hebat dan harimau itu menerkam tanpa permisi.”
Nelayan itu
meniru gerakan harimau dan dengan kedua tangan merupakan cakar ia hendak
menubruk kearah Hek Houw yang mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut
dan mengurungkan gerakannya.
“Tapi lihiap
waspada, ia berkelit kesamping. Harimau yang terkenal jahat dan berkulit keras
dapat menahan senjata tajam itu, kemudian menubruk lagi secepat kilat hingga
lihiap sibuk juga meloncat kesana kemari menghindari terkaman harimau. Kemudian
lihiap menjadi marah dan meloncat pergi beberapa tombak jauhnya dan ketika
harimau menubruk kembali, lihiap telah siap dengan dua butir uang tembaga di
tangan. Dua kali tangannya terayun dan butalah harimau itu. Kedua matanya
ditembusi peluru uang. Nah, setelah buta, harimau itu dengan buas menerkam
kekanan kekiri secara serampangan. Saat itu digunakan oleh lihiap untuk
memperlihatkan tenaganya. Dua kali tendangan and dua kali pukulan cukup
membikin harimau itu roboh tak bergerak dan mampus! Bukan main hebatnya!”
Ketika Bu
Beng akan mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba terdengar tambur riuh berbunyi
dan dari arah barat datang serombongan orang mengarak seorang gadis, berbaju
putih. Kalau yang mengarak rata-rata berwajah gembira dan tertawa-tawa riang,
adalah gadis yang diarak itu berwajah muram dan tampak berduka.
“Eng moi!”
Bu Beng tiba-tiba berseru keras dan lari ke rombongan itu.
“Ko ko!”
gadis itu yang ternyata tidak lain adalah Cin Eng sendiri, lari pula kearah
pemuda itu dan mereka saling pegang tangan dengan penuh perasaan haru.
“Eng moi,
mengapa kau sampai datang kesini?”
Tiba-tiba
Cin Eng menangis dengan sedih. Orang-orang kampong yang tadinya mengarak gadis
itu menjadi terheran-heran dan mereka merasa tidak senang kepada pemuda baju
kuning itu. Lebih-lebih melihat gadis itu kini menangis, mereka menyangka tentu
pemuda itu telah mengganggu pahlawan wanita mereka. Maka dengan muka mengancam
mereka menghampiri Bu Beng yang masih memegangi tangan kekasihnya.
Hek Houw
yang memburu juga kesitu dengan heran, melihat sikap orang-orang kampong itu,
lalu menghadang mereka sambil mendelikkan kedua matanya, kedua tangan terkepal
dan dadanya diangkat bagai lakunya jagoan yang hendak bertanding.
“Kalian mau
apa?” tanyanya mengancam.
Melihat
sikap hebat dari pemuda tinggi besar muka hitam ini yang mengingatkan mereka
kepada Thio Hwie pahlawan di jaman Sam Kok, semua orang menahan langkah mereka
dengan ragu-ragu. Seorang diantaranya yakni kepala kampong sendiri, bertanya
kepada Cin Eng,
“Lihiap
siapakan orang ini? Apakah mereka mengganggu lihiap?”
Cin Eng
mengusap air matanya dan memaksa diri tersenyum. “Tidak, tidak. Orang ini
adalah keluargaku sendiri.”
Semua orang
gembira kembali, bahkan beberapa orang segera menjuru memberi hormat kepada Bu
Beng dan Hek Houw. Melihat sikap mereka yang sungguh dan jujur ini. Bu Beng
segera berbisik kepada Cin Eng untuk menerima saja kehendak mereka agar jangan
sampai mereka menjadi kecewa. Cin Eng menurut dan naik keatas panggung dimana
ia menerima penghormatan dari mereka. Kemudian Bu Beng mengajak kekasihnya ke
perahu dan mereka bercakap-cakap.
“Eng moi,
kini kau harus menceritakan padaku bagaimana kau sampai berada disini?”
Cin Eng
menghela napas dan menahan air matanya yang mau keluar saja. “Koko, aku sengaja
menyusul kau. Di kampong Po teng aku mendengar bahwa kau telah menyewa perahu
sehari yang lalu. Maka untuk dapat mengejarmu, aku sengaja membeli kuda yang
baik dan memacunya siang malam melalui jalan darat yang lebih dekat. Ternyata
aku sampai di kampong ini kemarin dan kau belum lewat. Kebetulan aku bertemu
dengan harimau pengganggu kampong dan berhasil membinasakannya. Orang-orang
kampong memaksaku untuk menerima pernyataan terima kasih hingga aku tak tega
untuk menolaknya.”
“Tapi mengapa
kau susul aku, Eng moi?” Tanya Bu Beng yang sama sekali tidak ambil peduli
tentang Cin Engrita harimau itu.
Ditanya
demikian, tiba-tiba Cin Eng menundukkan muka dan menangis sedih.
“Kenapa,
adikku? Kenapa kau menangis?”
“Koko...
bencana besar menimpa rumahku...! ibu... bu telah mati terbunuh…”
Bu Beng
meloncat bangun. “Siapa yang membunuhnya?”
“Yang
membunuhnya adalah tiga saudara dari kelima macan dari Tiang-an yang membunuh
ayah dulu. mereka sengaja datng mencari jejak ayah, kalau-kalau ayah masih
hidup ketiak ditolong oleh Kim Kong Tianglo dulu, tapi ketika mendapat tahu
bahwa ayah telah meninggal, mereka bermaksud membasmi seisi rumah…”
“Cin Han…
Cin Lan... bagaimana mereka? Dan suheng bagaimana?” Tanya Bu Beng dengan hati
penuh kekhawatiran.
“Kedua
adikku itu diselamatkan oleh Kim Kong suheng dan dibawa pergi, sedangkan aku
sendiri lari karena kami tidak kuat menaham amukan mereka. Karena putus asa
maka aku menjadi nekat dan bermaksud menyusulmu. Ibu dan dua pelayan mati
terbunuh.” Sehabis bercerita, Cin Eng menangis l agi.
Bu Beng
terharu. Alangkah malangnya nasib kekasihnya ini. menderita penyakit hebat,
baru saja ditinggal mati ayah, kini ibu tiri yang sudah menjadi ibu sendiripun
terbunuh musuh.
“Adikku,
sudahlah jangan bersedih. Soal sakit hatimu ini di belakang hari saja kita
balas bersama. Sekarang yang paling perlu mencari obat untukmu. Jika sudah
sembuh maka kurasa takkan sukar mencari kelima musuh yang kejam itu.”
Kemudian Bu
Beng memperkenalkan Hek Houw kepada Cin Eng. Setelah tahu bahwa nona itu adalah
tunangan suhunya. Hek Houw berkata dengan wajah bingung.
“Suhu,
haruskah aku menyebut nona ini subo (ibu guru)?”
Muka Cin Eng
merah dan Hek Houw buru-buru berkata lagi. “Biarlah sebelum kawin dengan suhu,
aku sebut saja kouwnio, nanti setelah kawin baru kusebut subo.”
Bu Beng
hanya tersenyum dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan perahu.
Berkat kejenakan Hek Houw dan hiburan-hiburan Bu Beng, Cin Eng tak lama
kemudian terhibur juga dan dapat melupakan kesedihannya. Bepergian degan perahu
di sepanjang sungai yang indah pemandangan alam di kanan kirinya itu memang
sangat menarik hati. Mereka seakan-akan tak merasa lelah dan dimana terdapat
kampong yang besar, mereka singgah sebentar untuk membeli ini itu.
Beberapa
hari kemudian, perahu mereka memasuki daerah hutan yang lebat. Pohon-pohon
besar menutup arus sungai hingga air sungai tampak hitam dan keadaan agak
gelap. Setelah memasuki hutan itu beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba di satu
tikungan tampak lima buah perahu berbaris mencegat mereka.
“Wah, bajak
sungai!” kata Hek Houw, tapi dia tidak takut, bahkan berkata dengan sombong.
“Suhu, biarlah kuperlihatkan bahwa aku tidak takut kepada segala cecunguk
sungai ini.” dan dia terus mendayung perahunya dengan tabah.
“He, tamu
yang lewat berhenti dulu! kalian harus bayar uang jalan di daerah kami ini,
kalau tidak, jangan harap bisa terus dan jangan harap bisa kembali
hidup-hidup.” Kata kepala bajak yang masih muda dan berwajah cakap serta
berkulit putih.
“Apa
katamu?” jawab Hek Houw dengan suara keras. “Jangan kurang ajar, minggir kamu,
kalau tidak, dayungku ini akan menghancurkan kepalamu!”
Bajak-bajak
yang terdiri dari dua puluh orang lebih diatas lima perahu itu tertawa
mengejek. “Lihat itu tingkahnya orang hutan hitam,” seorang diantara mereka
menghina.
Hek Houw
menjadi marah dan dengan berseru keras ia meloncat ke perahu yang terdekat dan
mengamuk dengan dayungnya. Sebentar saja ia dikeroyok oleh bajak-bajak yang
bersenjatakan golok.
Kepala bajak
melihat bahwa perahu yang dirampok itu hanya diduduki oleh seorang pemuda yang
kelihatan lemah dan seorang nona muda, ia memandang remeh sekali dan dengan
satu loncatan cepat ia sudah berada di perahu Bu Beng.
“Anak muda,
serahkan semua barang-barangmu dan kau akan dapat lewat dengan selamat.”
“Eh, mudah
amat, kawan. Kau mempunyai kepandaian apa maka berani menjadi kepala perampok?”
tiba-tiba Cin Eng yang beradat lebih galak dari Bu Beng segera menegur dan
mencabut siang kiamnya.
“Ha ha ha“
kepala bajak muda itu tertawa geli. “Kiranya kau juga dapat main-main dengan
pedang?” ia menyerang dengan goloknya dan ditangkis oleh Cin Eng.
Sebentar
saja mereka bertarung dengan sengit. Beberapa orang bajak meloncat pula ke
perahu itu hingga perahu menjadi goncang. Bu Beng menggerakkan kaki tangannya
dan beberapa orang penjahat terpental masuk kedalam air. Tapi lain penjahat
mendatangi hingga mereka terkepung.
Cin Eng tak
dapat bersilat dengan baik diatas perahu yang bergoyang-goyang itu maka
permainannya kalut. Baiknya Bu Beng dengan gesit bergerak kesana sini, dimana
kepalan tangannya menyambar atau kakinya terangkat, terdengar suara mengaduh
dan tubuh seorang bajak jatuh tercebur ke air. Dengan sekali loncatan Bu Beng
berada di depan kepala bajak itu.
Melihat
pemuda itu dengan mudah dapat menjatuhkan orang-orangnya dengan tangan kosong
saja, kepala bajak menjadi marah dan berbalik menyerang Bu Beng. Bu Beng
berkelit hingga golok lewat disampingnya, kemudian dia mengangkat kaki kirinya
dan menendang. Dengan mudah penjahat cakap itu terpental dan masuk ke dalam
air.
Bu Beng
melihat Hek Houw terkepung dan berteriak-teriak. “Tolong, suhu tolong!” segera
meloncat ke perahu itu dan dengan beberapa kali gerak tangan, semua bajak
berjatuhan dan ada yang sebelum terpukul segera meloncat ke dalam air.
Bu Beng lalu
mengajak Hek Houw kembali ke perahu mereka sendiri. Tapi ketika menginjakkan
kaki di perahu itu, tiba-tiba menjadi miring dan air masuk kedalamnya.
“Celaka
mereka menggulingkan perahu dari bawah!” Teriak Hek Houw yang segera menyambar
dayung dan menggunakannya untuk memukul sebuah kepala seorang bajak yang tampak
muncul di pinggir perahu.
Orang itu
berteriak kesakitan dan tenggelam. Perahu makin bergoyang-goncang dan sebentar
lagi tentu terbalik, Bu Beng memegang tangan Cin Eng dan mengajak gadis itu
meloncat ke salah sebuah perahu yang terdekat dan kosong. Hek Houw ikut
meloncat tapi kurang jauh hingga ia tercebur ke dalam air. Untung ia pandai
berenang dan segera naik ke perahu di mana Bu Beng dan Cin Eng telah berada
dengan selamat. Tapi usaha mereka ini tak banyak menolong, karena kawanan bajak
bagaikan kura-kura berenang di bawah permukaan aira dan kini mencoba
menggulingkan perahu itu.
“Loncat ke
sana Eng moi!" kata Bu Beng dengan gugup karena perahu itu telah miring.
Dengan cepat Cin Eng meloncat ke perahu terdekat, tapi malang baginya, kakinya
menginjak pinggiran perahu yang basah dan licin hingga ia terpeleset dan jauh
ke air. Hek Houw meloncat mengejar dan berenang hendak menolong, ia
dihalang-halangi oleh seorang bajak hingga sebentar kemudian mereka berdua
bergulat dalam air.
Kepala
penjahat yang muda itu segera menolong Cin Eng dan membawanya berenang. Bu Beng
menjadi bingung sekali, karena kalau ia menggunakan senjata rahasia menyambit
kearah kepala bajak itu sampai mati, bagaimana nanti nasib Cin Eng? Ia sendiri
tak pandai berenang. Maka ia hanya dapat melihat dengan hati bingung dan
khawatir lalau meloncat ke perahu sendiri yang telah ditinggalkan bajak.
Hek Houw
yang dihalang-halangi oleh seorang bajak bertubuh besar, menjadi marah sekali.
Lebih-lebih ketika dilihatnya betapa Cin Eng dibawa berenang oleh kepala bajak,
ia makin marah. Ia gunakan seluruh kepandaiannya di air dan mencekik leher
bajak itu. Tapi ternyata lawannya seorang yang kuat dan kedua tangannya
menjambak rambut Hek Houw dengan keras. Karena saling cekik dan saling jambak,
keduanya tak dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk berenang, dan
kedua-duannya lalu tenggelam. Mereka saling meronta-ronta hendak melepaskan
pegangan lawan, tapi tak dapat. Maka sudah beberapa kali mereka terpaksa
membuka mulut untuk bernapas hingga banyak air sungai memasuki perut.
Hek Houw
sudah merasa lemas. Ia lalu mencari akal. Ketika merasa bergulat menjadi seru
dan mukanya berada dekat dengan perut lawan, ia gunakan mulutnya menggigit
kulit perut yang gendut itu. Karuan saja bajak itu merasa kesakitan sekali dan
melepaskan pegangannya untuk menolong perutnya. Saat itu digunakan oleh Hek
Houw untuk muncul ke permukaan air dan mengambil napas dengan terengah-engah.
Ketika bajak
itupun muncul juga di dekatnya, ia segera memukul kepalanya hingga bajak itu
kembali tenggelam. Tiap sekali muncul, Hek Houw mengetuk kepalanya hingga
lama-lama bajak itu menjadi lemas karena tak dapat bernapas. Akhirnya ia
tenggelam lagi untuk tidak timbul kembali. Dengan lemas Hek Houw berenang ke
perahunya dan naik keatasnya. Bu Beng telah berdiri disitu dengan termenung.
Pada waktu itu tak nampak lagi seorang bajakpun di air.
“Bagaimana
kouwnio suhu?”
Bu Beng
hanya mengeleng-gelengkan kepada dan mereka lalu mendayung perahu ke seberang
kanan sungai atas kehendak Bu Beng. Karena keadaan agak gelap dengan
tenggelamnya matahari, Bu Beng tak berdaya mengejar larinya penjahat. Namun ia
dapat melihat bahwa semua bajak lari kearah pantai kanan. Kemudian ia memesan
kepada Hek Houw agar menjaga perahu dan menanti disitu karena ia hendak
menyusul dan mencari jejak para bajak sungai yang membawa lari Cin Eng.
Sedang
keadaan Cin Eng sendiri sangat menyedihkan. Karena tak pandai berenang, ia
menjadi lemas dan pingsan dalam pondongan Kwee Ciang, kepala penjahat yang
masih muda itu. Kwee Ciang mengumpulkan anak buahnya dan beramai-ramai mereka
lari kearah sarang mereka yang berada di tengah-tengah hutan.
Ketika
sadar, Cin Eng mendapatkan dirinya terbaring diatas tempat tidur kayu dengan
tangan dan kaki terikat. Kwee Ciang dan seorang pemuda lain yang berpakaian
menterang duduk tak jauh dari tempatnya. Melihat Cin Eng sudah sadar. Kwee
Ciang berkata dengan senyum.
“Maaf nona
kami terpaksa mengikat kau, karena kau ternyata pandai silat hingga berbahaya
kalau tak diikat. Jangan kau khawatir kami takkan mengganggumu. Kau hanya kami
tahan untuk menanti datangnya kawanmu itu yang harus menebusmu dengan barang-barang
berharga. Ketahuilah kami telah kehilangan banyak anggota, maka kau harus
ditebus dengan mahal.”
“Hm, kalau
dia datang, kamu semua tentu terbunuh mampus,” Cin Eng berkata gemas.
“Ha ha ha
sudah cantik, kalau marah bertambah manis,” kata pemuda berbaju menterang itu
sambil menyeringai.
“Kwee Liang!
Jangan bicara sembrono!” tegur Kwee Ciang. “Nona jangan marah. Adikku hanya
berkelakar saja. Ketahuilah, aku adalah Kwee Ciang yang memimpin bajak di sini
dan ini adalah Kwee Liang misanku.”
Tapi Cin Eng
tak pedulikan perkataan itu dan memalingkan mukanya. Tiba-tiba seorang bajak
berlari masuk.
“Tai ong
orang tadi telah datang dan mengamuk!”
Kwee Ciang
mencabut goloknya dan berkata kepada Kwee Liang. “Kau menjaga disini jangan
sampai nona ini terlepas. Biar kubereskan orang itu dan minta uang tebusan.”
Kepala bajak
yang muda dan cakap itu segera lari keluar membawa goloknya, diikuti oleh bajak
yang melaporkan tadi. Kwee Ciang lari keluar dan melihat perkelahian yang hebat
dan membuat hatinya berdbar penuh kekhawatiran. Ia melihat betapa Bu Beng
dengan tangan kosong dikeroyok bajak empat puluh orang lebih, tapi pemuda itu
bagaikan seekor naga terlepas dari kurungan, mengamuk hebat sekali.
Dengan kedua
tangan kosong ia menyambar kesana sini dan dimana tubuhnya berkelebat, tentu
rebah seorang bajak dengan tak berkutik karena telah tertotok jalan darahnya!
Tubuh para bajak bergelimpangan bertumpuk-tumpuk dan teriakan ngeri terdengar
disana-sini!
Kwee Ciang
kaget sekali karena ia mnyangka kawan-kawannya yang roboh itu terbinasa, maka
ia segera mengumpulkan kawan-kawannya yang pandai menggunakan senjata rahasia
dan beramai-ramai menyambit pemuda itu dengan pisau, pelor besi dan anak panah!
Tapi dengan
berseru keras Bu Beng mencabut Hwee hong kiam dari punggung dan memutarnya
hingga tampak sinarnya berkilau kilauan seperti perak. Semua senjata rahasia
dapat dipukul jatuh dan berserakan kesana kemari. Kemudian tubuh Bu Beng
berkelebat kembali ia menggunakan tangan kirinya menotok tiap penjahat yang dapat
terpukul olehnya.
Bu Beng
benar-benar mengamuk hebat, tapi ia masih ingat akan perikemanusianan dan tak
mau menjatuhkan tangan maut. Hanya membuat bajak-bajak itu tak berdaya dan
lumpuh dengan totokannya yang diwarisinya dari Hoa san pai yang hebat.
Melihat
kejadian hebat ini, Kwee Ciang putus asa dan tak berani melawan. Ia segera
kembali ke pondoknya untuk membawa lari Cin Eng. Alangkah terkejutnya ketika ia
mendengar jeritan seram dari arah pondoknya itu. Buru-buru ia menolak daun
pintu, tapi pintu terkunci dari dalam, ia gunakan kakinya menendang pintu,
pintu terbuka dan pemandangan di dalam pondok membuat wajahnya menjadi merah
karena marah.
Ternyata
ketika ditinggalkan seorang diri untuk menjaga Cin Eng, Kwee Liang yang memang
berwatak cabul dan jahat tertarik sekali akan kecantikan Cin Eng dan timbullah
maksud buruk hendak mengganggunya. Didekatinya nona itu dan ia mengulurkan
tangan.
Cin Eng
menjerit tapi Kwee Liang segera menekap mulut nona itu dan menyumbatnya. Cin
Eng meronta-ronta, tali ikatan kaki tangannya sangat kuat. Nona itu takut
sekali, air matanya mengalir dan ia bertekat lebih baik mati daripada terganggu
oleh binatang berwajah manusia ini.
Dengan
beringas Kwee Liang memegang baju Cin Eng dan merenggutkannya dengan sekali
sentakan. Baju nona itu robek dan tampaklah pundaknya yang berkulit putih halus
Cin Eng makin marah dan memberontak keras, dan Kwee Liang makin gila nampaknya.
Pemuda bermoral bejat itu segera menuju ke pintu dan menguncinya.
“Nona jangan
takut, aku takkan berlaku kasar padamu,” katanya menyeringai.
Kemudian ia
maju menghampiri. Tapi, belum ia bertindak lebih jauh yang melanggar
batas-batas perikesopanan dan kesusilaan tiba-tiba pintu ditendang dari luar
dan Kwee Ciang berdiri di ambang pintu dengan golok di tangan dan wajah merah
sekali.
Kwee Liang
tersenyum. “Twako, jangan ganggu aku. Berlakukah baik kali ini dan biarlah aku
mendapatkan nona itu. Aku cinta padanya, twako.”
“Bangsat
rendah! Kau membikin malu aku, membikin malu abu leluhur kita! Biarpun menjadi
bajak, tak pernah nenek moyangku menjalankan perbuatan terkutuk itu. Hayo
keluar.”
Kwee Liang
menjadi marah. “Twako, bagus bener sikapmu ini! Kau selalu hendak menang
sendiri dan aku selalu harus tunduk kepadamu. Tapi kali ini tidak! pendeknya
aku harus mendapatkan nona ini, tak peduli kau melarangnya atau tidak. Aku mau
keluar kalau tubuhku sudah terbaring diatas lantai ini.”
“Binatang
kau!”
“Habis, kau
mau apa?” kata Kwee Liang dan mencabut pedangnya yang ditaruh diatas meja.
Kwee Ciang
menjadi marah dan meloncat menyerang. Kwee Liang menangkis dan mereka berkelahi
dengan sengit. Sebenarnya dalam hal kepandaian, Kwee Ciang menang setingkat kalau
dibandingkan dengan Kwee Liang. Lebih-lebih karena Kwee Liang jarang melatih
diri. Maka setelah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, tiba-tiba Kwee Ciang
melayangkan tendangannya dan tepat mengenai dada Kwee Liang yang segera roboh
dan pingsan!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment