Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jago Pedang Tak Bernama
Jilid 04
Kwee Ciang
masih ada rasa kasihan kepada adik misannya maka ia tidak mau membunuhnya. Dan
karena perbuatan biadab dari Kwee Liang ini maka Kwee Ciang mengurungkan
niatnya hendak membawa lari Cin Eng untuk minta uang tebusan kelak, bahkan ia
merasa malu sekali. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menggunakan goloknya
memutuskan tali pengikat kaki dan tangan Cin Eng, lalu melemparkan sehelai baju
luar kearah Cin Eng untuk dipakai menutupi sebagian tubuh atasnya yang robek.
Sebagai
seorang laki-laki, Kwee Ciang berdiri membelakangi Cin eng untuk memberi
kesempatan kepada gadis itu memakai pakaian yang diberikannya itu. Tapi sungguh
tidak nyana, setelah mengenakan baju luar Cin Eng melompat ke depan, menyambar
pedang Kwee Liang dan menggunakannya untuk menyabet leher Kwee Liang. Dan
kepala penjahat cabul itu menjadi terpisah dari lehernya.
Kwee Ciang
kaget sekali dan mukanya menjadi pucat. “Ah, kau keterlaluan nona.”
Cin Eng
menuding kearah mayat Kwee Liang. “Keterlaluan? Sudah sepatutnya binatang macam
ini dibinasakan. Kalau kau merasa sakit hati, belalah adikmu itu aku tidak
takut.”
Kwee Ciang
tak menjawab, tapi dengan bercucuran air mata ia berjongkok dan menyelimuti
mayat adik misannya sambil berkata lemah, “Ah Kwee Liang, Kwee Liang... mengapa
kau tidak mau menurut nasehatku! Ah, sekarang kau terbunuh mati, aku malu kalau
kelak berjumpa dengan paman di alam baka…”
Cin Eng
melihat keadaan pemuda itu menjadi kesima dan juga terharu. Tiba-tiba dari luar
berkelebat bayangan orang dan Bu Beng berdiri disitu dengan Hwee hong kiam di
tangan. Sikapnya galak dan gagah sekali. Mukanya pucat tanda khawatir dan
matanya menyinarkan cahaya menakutkan! Wajah yang pucat menjadi merah dan
terdengar ia bernapas lega ketika melihat nona kekasihnya berdiri disitu dengan
pedang berlumuran darah di tangan! Tapi ia heran melihat baju luar yang dipakai
gadis itu. Kemudian ia melihat Kwee Ciang yang sedang berjongkok.
“Bangsat tak
tahu malu! Kau harus mampus!” seru Bu Beng dengan marah.
Kwee Ciang
meloncat berdiri dan ketika Bu Beng menyerangnya, ia menangkis. Tapi goloknya
terlepas putus oleh Hwee hong kian! kwee Ciang menjadi pucat dan ia hanya
memejamkan mata ketika Hwee hong kiam meluncur kearah lehernya. Tiba-tiba Cin
Eng meloncat dan menangkis Hwee hong kiam dengan kerasnya! Pedangnya menjadi
putus. Bu Beng kaget dan meloncat mundur sambil memandang kepada kekasihnya
dengan heran.
“Sabar,
koko,” kata Cin Eng. “Kau salah sangka. Kwee Ciang bukanlah seorang jahat.
Bahkan ia telah menolong jiwaku.” Kemudian dengan singkat ia menceritakan
tentang kekurangajaran Kwee Liang dan betapa Kwee Ciang menolongnya hingga ia
dibebaskan dan dapat membunuh Kwee Liang.
Bu Beng
menjuru dan berkata. “Maaf, Tai-ong. Tak kusangka seorang kepala bajak seperti
kau ini masih mempunyai sifat satria dan gagah.”
Kwee Ciang
membalas hormat dan air matanya turun kembali membasahi pipinya. “Taihiap,
sungguh aku merasa malu. Aku dengan saudara misanku telah tersesat menjadi
kepala bajak, walaupun kami tak pernah berlaku sewenang-wenang, tapi betapapun
juga, bajak tetap penjahat dan dikutuk orang. Aku telah berlaku salah terhadap
taihiap maka tak lain mohon maaf dan semoga taihiap juga sudi menyembuhkan
semua kawan-kawanku yang menjadi korban karena aku. Kalau taihiap hendak
menghukum, hukumlah aku yang menjadi kepala mereka, boleh aku kau bunuh atau
kau serahkan kepada pembesar negeri, tapi sembuhkan kawan-kawanku.”
Mendengar
ucapan dan melihat sifat setia kawan dari kepala bajak itu, Bu Beng merasa
terharu dan juga girang karena dari sikapnya itu Kwee Ciang menunjukkan
kejantanannya dan bahwa hatinya belum rusak. Maka Bu Beng segera menghampiri
para bajak yang rebah tak bergerak karena totokan ketika mengamuk tadi dan
sebentar saja tiga puluh orang lebih anak buah bajak telah dibebaskan dari
pengaruh totokan.
“Saudara,
Kwee Ciang,” katanya kemudian kepada Kwee Ciang, “Tadi kau sanggup memikul
semua tanggung jawab. Nah, kuharap kau suka sadar akan kesesatan ini. Kau masih
muda dan memiliki kepandaian tinggi. Buat apa menjadi bajak hingga membusukkan
nama sendiri! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati harus bisa
meninggalkan nama baik! Selagi hidup mengapa kau tak gunakan kepandaianmu
menolong sesama hidup dan melakukan kebajikan hingga hidupmu tidak kosong dan
sia-sia? Kau bukan orang jahat, juga kau adalah seorang cerdik, kurasa
kata-kataku ini sudah cukup kau mengerti. Apa yang akan kau lakukan
selanjutnya, terserah kepada kebijaksanaanmu sendiri.”
Kwee Ciang
merasa terharu dan menghaturkan terima kasih sambil berlinang air mata.
Kemudian Bu Beng mengajak Cin Eng ke tepi sungai dimana Hek Houw menanti dengan
tidak sabat. Tapi ketika melihat bahwa Cin Eng telah tertolong dan selamat, ia
menjadi girang. Meraka lalu berlayar lagi dengan cepat. Kwee Ciang yang merasa
berterima kasih dan kagum kepada Bu Beng, mengirim orang-orang berkuda dan
mendahului Bu Beng untuk memberi kabar kepada kawan-kawan bajak agar mereka
jangan mengganggu Bu Beng Kiamhiap.
Demikianlah,
dua minggu kemudian, setelah menikmati pelayaran di sepanjang sungai yang
mempunyai tamasya, alam indah permai itu, mereka telah mendekati laut. Air
sungai menjadi liar dan buas. Sungai menjadi lebar dan dalam dan alirannya
cepat sekali hingga Cin Eng merasa ngeri. Tapi karena Bu Beng bertenaga besar
dibantu oleh Hek Houw yang setia, mereka dapat meluncurkan perahu mereka dengan
selamat memasuki lautan.
Berbeda
dengan air sungai, air laut tenang seakan-akan tak bergerak sama sekali. Bu
Beng dan Hek Houw yang tadinya tidak menggunakan tenaga sama sekali untuk
mendayungperahu karena perahu telah laju terbawa aliran sungai hingga mereka
hanya mengerahkan tenaga untuk menjaga keseimbangan dan tujuan perahu, kini
merasa seakan-akan badan perahu berat sekali karena harus menempuh air diam.
Sebetulnya
air laut tidak diam sama sekali bahkan dibawah permukaan air terdapat alunan
gelombang, tapi permukaan laut karena luasnya tak tampak bergoyang. Pula karena
mata mereka yang diatas perahu tadinya menyaksikan air sungai yang berlomba dan
dengan buasnya menyerbu kearah laut, kini melihat air laut biru luas itu
menjadi berkunang-kunang.
Bu Beng dan
Cin Eng menggunakan tangan melindungi mata karena matahari bersinar panas
berkilauan, dan mencari-cari dimana letak pulau yang dicari itu. Tiba-tiba Cin
Eng menunjuk kearah timur laut.
“Koko, lihat
itu!” cepat Bu Beng memandang dan nampaklah olehnya sebuah pulau panjang kecil
yang berwarna hitam kehijauan.
“Tidak salah
lagi, itulah Ang coat ho.” Kata Bu Beng gembira ketika samar-samar ia melihat
puncak sebuah bukit menjulang tinggi di pulau itu.
Tapi
tiba-tiba air laut yang tadinya diam bergelombang hebat. Anehnya yang
bergelombang hanya air di depan mereka saja, seakan-akan air itu digerakkan
dari bawah dan seperti ada apa-apa yang sengaja mencegat mereka! Bu Beng dan
Cin Eng bersiap dengan pedang di tangan. Gelombang makin membesar dan alangkah
terkejut mereka ketika tiba-tiba dari permukaan air tersembul keluar sebuah
kepala ular air yang berwarna hitam!
Tapi kalau
ular air di sungai paling besar hanya sepaha orang, ular air yang muncul ini
sedikitnya tiga kali lebih besar dari yang biasa. Ular air itu menyemburkan air
dari mulutnya dan dengn lidah terjulur panjang, ia naik sampai sebatas leher
sambil memandang kearah perahu dengan mata berkilat. Kemudian ular itu menyelam
kembali, tapi kini ekornya tampak makin mendekati perahu, tanda bahwa ia sedang
berenang kearah perahu!
Tiba-tiba
ular itu membentur perahu hingga terputar-putar, kemudian ia mengeluarkan
kepala yang mengerikan itu di samping perahu, siap untuk menelan penumpangnya.
Hek Houw mengangkat dayungnya dan dengan sekuat tenaga ia memukul kepala ular
itu, tapi kulit ular itu licin dan keras sekali hingga dengan diiringi suara
keras dayungnya patah bahkan gagangnya terlepas dari tangan karena ia merasakan
telapak tangannya pedih dan panas.
Hek Houw
adalah seorang pemuda berangasan dan tak kenal takut. Kejadian ini tak membikin
ia kapok bahkan ia mengulurkan tangan mengambil dayung yang tadi digunakan Bu
Beng dan siap hendak memukul lagi, tapi Bu Beng yang teringat bahwa dayung itu
adalah dayung terakhir yang akan membawa mereka ke pulau segera merebut dayung
itu.
“Jangan
pukul, kau mau menghancurkan dayung ini lagi? Bentaknya.
Sementara
itu, ular laut yang menerima pukulan dayung tadi seakan-akan tak merasa
apa-apa, bahkan kini meletakkan kepada dan lehernya di pinggiran perahu hingga
perahu menjadi miring! Binatang itu lalu bergerak hendak masuk ke dalam perahu.
Cin Eng berseru keras, lalu dengan cepat ia menyambar dan mengayunkan pedangnya
membacok.
Tapi
pedangnyapun terpental kembali, karena leher ular itu tertutup oleh sisik yang
keras bertumpuk-tumpuk lagi sangat licin hingga mata pedangnya tidak dapat
melukainya. Tapi tenaga Cin Eng cukup membuat ular itu kaget dan bergerak cepat
dengan mulut terbuka kearah Cin Eng, Bu Beng secepat kilat menyerang sambil
berkata kepada Cin Eng.
“Jangan
bacok, tusuk saja!” dan ia gunakan pokiamnya menusuk leher kanan ular itu
dengan gerakan Panah Wasiat Menembus Baja.
Sementara
itu Cin Eng yang tadinya hendak membacok pula, setelah mendengar nasehat Bu
Beng segera merobah gerakannya dan menusuk dari kiri kearah leher ular itu.
Benar saja dugaan Bu Beng, ujung pedang yang tajam walaupun tak dapat menembus
sisik yang sangat licin dan keras itu, tapi dapat menerobos diantara sisik dan
menancap di kulit ular itu!
Merasa
betapa lehernya tertusuk dari kanan kiri hingga mengeluarkan darah dan sakit
sekali, ular itu berontak dan menyentak-nyentakkan kepalanya ke kanan kiri.
Tenaganya besar sekali hingga dengan kaget Cin Eng terpaksa melepaskan
pedangnya yang masih menancap di leher ular. Tapi Bu Beng yang berkepandaian
tinggi cepat menggunakan kegesitan dan tenaganya mencabut pedang yang merah
karena darah ular.
Ular itu
mendesis dan dari lubang hidungnya keluar asap hitam menyambar. Untung Cin Eng
dan Bu Beng dapat berkelit jauh ke belakang. Kemudian ular itu
menggerak-gerakkan kepada dan matanya melirik kearah pedang Cin Eng yang masih
menancap di lehernya dan ronce pedang warna merah itu melambai-lambai tertiup
angin. Ular itu menjadi marah sekali dan menggigit-gigit kearah gagang peadang
di leher.
Tapi
mulutnya tak dapat mencapainya. Ia menjadi bagaikan gila dan mencebur ke dalam
air terus berenang kesana kemari setelah menimbulkan gelombang besar dan kacau
yang membuat perahu itu terayun-ayun, ia menyelam kedalam air dan lenyap dari
pemandangan, hanya meninggalkan darah merah diatas perahu dan gelombang
-gelombang kecil, akibat dari amukannya tadi.
Bu Beng
menghela napas lega dan Hek Houw menelan ludah. “Sungguh hebat dan berbahaya!”
kata Hek Houw sambil menjulurkan lidah. Tapi akhirnya pedang kouwnio tentu
dapat membunuhnya.”
“Mengapa
begitu?” Tanya Cin Eng yang masih berdebar-debar karena kaget tadi.
“Ular itu
kebingungan tak dapat melepaskan pedang yang menancap di lehernya hingga ia
akan sibuk menggigit-gigit kearah pedang dan lupa makan lupa tidur dan akhirnya
ia tentu mati kelaparan!”
Bu Beng dan
Cin Eng tertawa mendengar obrolan ini.
“Untung kau
tadi tidak menggunakan dayung ini untuk memukul lagi,” kata Bu Beng, “Kalau
dayung ini patah bagaimana kita bisa sampai ke pulau itu?”
Kemudian Bu
Beng menggunakan dayung itu untuk mendayung sekuat tenaga agar mereka dapat
sampai ke pulau yang dituju secepat mungkin. Biarpun pulau itu dari situ tampak
dekat saja, tapi setelah mendayung setengah hari baru mereka sampai di pantai
pulau sebelah selatan.
Mereka
segera mendarat dan Hek Houw menarik perahunya ke darat. Mau tak mau Bu Beng
merasa ngeri juga ketika memandang keatas pulau yang merupakan bukit dengan
puncak yang meruncing keatas karena pulau itu ternyata penuh dengan hutan yang
agaknya belum pernah didatangi orang dan masih sangat liar. Karena pada waktu
itu matahari telah bersembunyi di balik puncak dan cuaca telah mulai gelap, Bu
Beng mengajak Cin Eng dan Hek Houw beristirahat di bawah pohon-pohon Siong yang
besar. Tapi Cin Eng berkata,
“Dulu ayah
menceritakan padaku bahwa ia ketika datang ke pulau itu telah membuat sebuah
pondok kecil dari bambu di tepi pantai sebelah selatan. Mari kita cari pondok
itu agar dapat mengaso dengan tenang.”
Maka
mulailah mereka bertiga mencari pondok itu. Dan benar saja, di tempat yang agak
tinggi terdapat sebuah pondok dengan kaki bambu panjang di empat sudut. Dengan
ringan Bu Beng dan Cin Eng dapat meloncat keatas, memasuki pondok diatas yang
terbentang lebar. Tapi Hek Houw yang belum tinggi kepandaiannya telah mencoba
beberapa kali belum juga dapat berhasil mencapai pintu karena kaki pondok itu
tingginya tak kurang dari dua tombak. Terpaksa sambil tertawa Bu Beng
mengulurkan tangannya dan ketika Hek Houw meloncat lagi, ia tangkap lengan Hek
Houw dan menariknya keatas.
Malam itu
mereka sukar untuk dapat tidur nyenyak karena setelah hari menjadi gelap,
banyak sekali binatang-binatang buas turun dari bukit dan keluar dari hutan
menuju ke pantai. Binatang-binatang itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan
beberapa ekor diantara mereka bahkan jalan hilir mudik di bawah pondok. Tapi
setelah fajar menyingsing, semua binatang buas itu kembali keatas bukit
memasuki hutan.
“Kita harus
berhati-hati nanti kalau naik bukit, tentu banyak pengganggu akan kita hadapi,”
kata Bu Beng yang bersiap-siap hendak mulai mencari obat untuk tunangannya.
Mereka
bertiga mulai naik bukit dengan senjata siap di tangan. Hek Houw membawa
sebilah golok besar dan menggunakannya untuk membabat pohon-pohon kecil yang
merintangi jalan. Dua kali mereka diganggu binatang buas. Pertama kali seekor
harimau besar menyerang Hek Houw tapi harimau itu dengan mudah dapat dibunuh
mati oleh Bu Beng.
Yang kedua
kalinya seekor orang hutan hitam sebesar manusia mencoba menyerang mereka. Tapi
kembali binatang ini dapat ditewaskan. Hampir saja mereka melawan mati-matian
ketika kawan-kawan orang hutan itu sebanyak seratus ekor lebih datang menyerbu
membela kematian kawannya. Tapi tiba-tiba Hek Houw mendapat akal. Ia membuat
api dan dengan obor kayu-kayu kering di tangan ia berteriak-teriak keras
sehinggga orang-orang hutan itu lari bercerai berai ketakutan.
Setelah
melewati tiga buah hutan yang berbahaya dengan selamat akhirnya mereka sampai
juga di tempat yang dituju. Mereka mendengar suara air bergemuruh. Ketika
dicari, ternyata bunyi itu adalah sebuah air terjun yang curam dengan airnya
yang putih bersih. Dan di kanan air terjun itu, di kaki puncak bukit, tampaklah
goa yang mereka cari-cari. Hek Houw yang biasanya berhati tabah, menjadi ngeri dan
seram juga ketika ia berdiri di depan goa itu.
Bu Beng
memandang dengan penuh perhatian. Goa itu lebarnya tiga kaki lebih, lubangnya
bundar dan gelap. Dinidng luar goa merupakan kepala ular besar dan lubang itu
menjadi lubang mulutnya. Batu cadas yang berbentuk kepala ular besar itu
mungkin terjadi karena alam, tapi bentuknya demikian sempurna seakan-akan
ukiran seorang pemahat pandai atau seolah-olah memang tadinya seekor ular tulen
yang telah berubah menjadi batu karena lamanya.
Ketika Bu
Beng hendak masuk, dengan obor kayu kering di tangan, tiba-tiba ia mencium bau
amis dan terdengar suara berkeresekan di dalam goa. Ia cepat mundur kembali dan
memungut beberapa butir batu lalu melemparkannya kuat-kuat ke dalam. Terdengar
batu-batu itu menghantam cadas tapi tidak terdengar suara lain. Bu Beng lalu
menyuruh Hek Houw mengumpulkan kayu kering dan membakarnya di mulut goa. Ia
kipas-kipas asapyang bergulung-gulung hingga masuk ke dalam goa.
Usahanya ini
ternyata berhasil baik. Karena terserang asap yang memedihkan mata dan
menyesakkan napas itu, penghuni goa terpaksa keluar untuk mencari hawa baru
yang segar. Ketika penghuninya itu keluar dari lubang, terdengar suara
mendesir-desir keras dan bau amis makin tajam menusuk hidung. Bu Beng cepat
menyuruh Cin Eng dan Hek Houw menyingkir jauh, sedangkan ia sendiri dengan
pedang di tangan menanti di luar goa.
Tiba-tiba
terdengar desis keras sekali dan asap kayu yang tadinya menyerang ke dalam goa,
tiba-tiba berbalik dan buyar bagaikan tertiup angin dan kini bergulung-gulung
ke atas di luar goa. Maka tampaklah oleh Bu Beng makhluk yang
dinanti-nantikannya itu. Seekor ular sebesar batang pohon liu bergerak perlahan
keluar goa. Kulit ular itu indah sekali, berwarna merah dan merupakan
kembang-kembang dengan bintik-bintik biru dan hitam. Panjangnya tak kurang dari
dua puluh kaki. Kepalanya agak kecil tapi di tengah-tengah kepala itu tersembul
sebuah tanduk daging yang dapat bergerak-gerak.
Melihat Bu
Beng berdiri disitu dengan sikap menantang ular yang sedang marah mencari
pengganggunya itu, memandangnya dengan mata tajam, sedangkan lidahnya yang
hitam sebentar-sebentar menjilat bibir atas. Tiba-tiba tubuh ular itu mengkerut
menjadi pendek dan dengan loncatan kilat bagaikan anak panah besar meluncur
dari busurnya, tahu-tahu ia menyerang Bu Beng!
Hebat sekali
serangan itu karena sambil menerjang mulutnya terbuka memperlihatkan
taring-taring tajam dan dari dalam mlut keluar uap hitam yang berbau amis
menimbulkan rasa muak. Maka Bu Beng cepat berkelit dan meloncat kesamping.
Heran sekali, tubuh ular yang begitu besar ketika turun keatas tanah dapat
diatur sedemikian rupa hingga seakan-akan tubuhnya itu ringan sekali.
Bu Beng
tidak mau menyia-nyiakan waktu. Sebelum ular dapat membalik, ia maju dan
menyabetkan pedangnya. Tapi ular aneh itu tanpa berpaling mengangkat ekornya
dan menangkis pedang itu. Tenaganya besar sekali hingga hampir saja pedang Bu
Beng terlepas dari pegangannya! Bu Beng terkejut sekali. Pantas saja ayah ibu
Cin Eng tak dapat melawan ular ini, karena ia demikian hebat. Bu Beng diam-diam
mengakui bahwa tenaganya yang terlatih kalah jauh oleh ular merah ini!
Maka ia
berlaku hati-hati sekali. Manusia dan binatang itu saling serang mati-matian.
Tubuh Bu Beng berkelit kesana kemari dan pedangnya berputar-putar secepat kilat
menyambar. Tapi ular merah tak kalah cepat. Ia gunakan ekornya yang kuat untuk
menangkis pedang dan serangan-serangannya selalu mematikan ditambah dengan
taring beracun dan uap berbahaya yang selalu mengancam tubuh dan pernapasan Bu
Beng!
Cin Eng yang
merasa khawatir melihat tunangannya belum juga dapat membinasakan ular itu, tak
peduli akan segala bahaya segera memburu dan ikut mengeroyok. Bu Beng
berkali-kali menyuruh ia menjauhkan diri, tapi Cin Eng tak mau menurut. Ia tak
mungkin dapat berdiri berpeluk tangan dengan hati aman melihat Bu Beng
berkelahi mati-matian. Bu Beng menjadi bingung melihat gadis itu tak menurut.
Kini ia harus memecah tenaganya untuk melindungi gadis itu lagi!
Dengan gemas
Cin Eng menggunakan pedangnya menusuk leher ular itu dengan gerakan Tiang khing
king thian atau pelangi panjang melengkung di langit. Ular itu agaknya tak
melihat serangan ini karena sedang sibuk menghindari bacokan Bu Beng. Tapi
ketika pedang Cin Eng sudah dekat dengan kulit lehernya, tiba-tiba ekornya
menyambar kearah tangan Cin Eng yang memegang pedang!
Merasa
betapa sambaran ekor itu membawa angin dingin kearah tangannya, gadis itu
terkejut dan menarik tangannya tapi pedangnya tetap terpukul oleh ekor dan ia
merasa telapak tanganya menjadi perih dan sakit. Terpaksa ia melepaskan
pedangnya dan meloncat mundur jauh-jauh! Ia merasa belum puas. Sepasang
pedangnya yang biasanya dapat menghadapi beberapa belas orang jahat bersenjata
dengan tak terkalahkan, kini kedua pedang itu telah dipaksa lawan terlepas dari
tangannya.
Pedang
pertama lenyap menancap di leher ular laut, sedangkan pedang kedua terlempar ke
jurang oleh sabetan ekor ular itu. Hampir-hampir ia menangis karena marah dan
jengkel, juga karena khawatir melihat Bu Beng agaknya terdesak oleh ular itu.
Hek Houw juga merasa penasaran karena tak dapat membantu. Ia menjadi marah
sekali dan tiba-tiba ia memungut kayu yang dibakarnya untuk mengasapi goa itu,
lalu dengan keras ia melontarkan kayu yang masih terbakar dan menyala itu
kearah tubuh ular.
Tubuh ular
bagian perut itu seakan-akan bermata karena ia tiba-tiba dapat menghindari
lontaran itu, tapi api yang bernyala di kayu masih sempat menjilat kulit
perutnya. Ular itu tiba-tiba bergerak bagaikan gila. Tubuhnya berkelojotan
kesana kemari dan ia menjadi garang sekali.mulutnya berdesis-desis hebat dan ia
menubruk Bu Beng dengan membabi buta. Pemuda ini melihat perubahan gerak
lawannya, segera berteriak.
“Hek Houw!
Cin Eng! lekas membikin api sebanyak-banyaknya! serang ia dengan api!”
Hek Houw
girang sekali bahwa perbuatannya yang tak disengaja itu membuka rahasia
kelemahan ular merah, maka cepat ia membuat api dan mengumpulkan kayu yang
dibakar ujungnya dan dilontarkan kearah ular. Benar saja, tiap kali kulitnya
terjilat api ular itu meloncat-loncat bagaikan gila dan gerakan-gerakannya tak
karuan lagi. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan menyerang kearah Cin Eng dan Hek
Houw dengan satu lompatan jauh!
Pada saat
itu, Cin Eng dan Hek Houw tak bersenjata apa-apa selain dua batang kayu yang
menyala ujungnya. Melihat serangan hebat ini, mereka menggunakan kayu itu untuk
melawan. Melihat api yang bernyala di ujung kayu, ular itu tak jadi menyambar
dan turun kearah tanah, kemudian dengan merayap perlahan ia menghampiri Cin Eng
dan Hek Houw yang berdiri menghadapinya dengan takut-takut.
Ular itu
tampak marah sekali, tapi agaknya ia bukan marah kepada kedua orang itu, tapi
marah kepada empat api merah yang menyala di ujung empat batang kayu itu.
Tiba-tiba ia maju dengan mulut ternganga lebar. Ia serang ujung kayu di tangan
kanan Hek Houw. Mulutnya bertemu dengan api dan ular itu bagaikan disambar
petir. Ia mundur digores-goreskan bibirnya keatas tanah dan untuk menghilangkan
rasa sakit di bibirnya.
Sementara
itu api di ujung kayu itu menjadi padam. Kini ular itu menyerang kembali,
meluncur kearah api di ujung kayu di tangan kiri Hek Houw. Karena serangannya
keras, maka kali ini ia tidak hanya terjilat api, bahkan ujung kayu yang merah
terbakar itu tepat bertemu dengan matanya. Hebat sekali akibatnya. Ular itu
menggunakan ekornya menyabet-nyabet kesekelilingnya. Ia mebanting-banting
kepalanya keatas tanah dan menggunakan ujung ekor menyabet-nyabet kepalanya
yang terasa panas dan sakit.
Sementara
itu Hek Houw berdiri pucat bagaikan mayat. Ia begitu takut dan bingung hingga
ia hanya bisa berdiri diam sambil memandang dua batang kayu yang telah padam di
kedua tangannya. Bu Beng girang sekali melihat hasil ini meloncat dan manarik
lengan Hek Houw dari situ. Tepat sekali apa yang ia lakukan ini karena
tiba-tiba ular itu menyerang kalang kabut kearah tempat Hek Houw tadi.
Kalau si
hitam itu masih berada disitu, pasti ia takkan dapat melepaskan diri dari
bencana hebat ini. Bu Beng segera minta dua batang kayu masih menyala dan
dipegang oleh Cin Eng, lalu ia sendiri maju menghadapi ular itu dengan senjata
istimewa ini. Karena ia dapat bertindak cepat dan gesit sekali, maka
berkali-kali ujung kayu yang menyala itu bertemu dengan mata, muka, leher dan
ekor ular itu, sehingga si ular makin lama makin tak berdaya. Hanya ekornya
saja masih bergerak perlahan dan lemah. Bu Beng segera mencabut pedangnya dan
dengan sepenuh tenaga membacok leher ular itu.
"Sraatt!"
Dan putuslah leher ular merah yang dahsyat itu.
Setelah
berhasil membunuh mati ular itu, Bu Beng menjatuhkan diri bersila diatas rumput
dan memgumpulkan semangatnya untuk memulihkan tenaganya yang telah dikerahkan
habis-habisan itu. Demikian juga Cin Eng memandang tubuh ular yang kini tak
bergerak lagi itu. Setelah merasa tenaganya puluh kembali, Bu Beng dan Cin Eng
mendekati kepala ular. Ternyata ular itu memang luar biasa. Sisik di kepalanya
berwarna merah kekuning-kuningan bagaikan emas.
“Biarlah
kita berdoa mudah-mudahan di kepala inilah adanya mustika penyembuh sakitmu
itu,” kata Bu Beng yang lalu menggunakan pedangnya membelah kepala ular itu.
Ternyata di dalam kepala itu terdapat benda bulat yang lembek tapi yang putih
berkilauan bagaikan air perak.
“Inilah dia!
Cin Eng berbisik suaranya gemetar. “Ayah dulu pernah menceritakan padaku
bagaimana macamnya mustika ular itu. Inilah dia! Kalau sudah kering benda ini
akan mengeras bagaikan mutiara. Lekas ambil jantungnya koko!”
Bu Beng
segera membelah perut ular dan mengambil jantungnya yang merah dan kecil.
Dengan bantuan Hek Houw mereka menyalakan api dan mencari air, lalu memasak
jantung itu dengan campuran obat yang telah disediakan olehe Bu Beng menurut
resep dari Lo Sam. Kemudian tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia memberikan obat
itu kepada Cin Eng yang terus meminumnya sambil memejamkan matanya. Sebenarnya
gadis ini merasa muak sekali, tapi karena terpaksa dan ingin sembuh, ia paksa
menelan juga obat berbau amis itu.
Tapi
alangkah kaget Bu Beng dan Hek Houw melihat keadaan Cin Eng setelah obat itu
memasuki perutnya. Gadis itu memegang-megang kepalanya seakan-akan merasa
peningsekali dan kedua matanya tetap dipejamkan. Lalu gadis itu berdiri dan
sambil memegang kepala terhuyung-huyung hendak jatuh. Bu Beng memburu cepat dan
memeluk tunangannya. Ia makin terkejut dan khawatir sekali ketika tangannya
merasa betapa tubuh Cin Eng menjadi panas sekali seakan-akan terbakar.
“Eng-moi...
moi-moi... kau kenapa?? tapi Cin Eng tak dapat menjawab, bahkan tubuhnya
menjadi lemas dan ia jatuh pingsan dipelukan Bu Beng.
“Eng moi...
Engmoi… ah Hek Houw bagaimana ini? Bu Beng kebingungan dan tak tahu harus
berbuat apa.
Hek Houw
juga bingung, tapi ia tidak kehilangan akal. Ia lihat bahwa selain goa ular
itu, masih ada lagi dua buah goa kecil dan dekat situ. Maka ia lalu menasehati
Bu Beng supaya membawa Cin Eng yang masih pingsan ke dalam sebuah goa kecil, Bu
Beng telah kehilangan akal, mendukung tubuh Cin Eng ke dalam goa itu dan
meletakkan tubuh gadis itu diatas rumput kering yang disusun Hek Houw di dalam
goa.
Bu Beng
memegang nadi tangan Cin Eng dan hatinya agak lega ketika merasa bahwa denyut
nadi gadis itu masih tetap dan biasa. Tapi hawa panas yang memancar dari tubuh
gadis itu membuat ia khawatir sekali. Tapi apa daya? Ia hanya dapat menjaga
dengan cemas di dekat tunangannya yang terlentang bagaikan sedang tidur nyenyak
itu. Hek Houw meninggalkan Bu Beng dan duduk mengaso di dalam goa kecil
disebelahnya.
Sampai
semalam suntuk, Cin Eng belum juga siuman Bu Beng menjaga di sampingnya dengan
tak bergerak-gerak. Mereka berdua merupakan dua buah patung hidup, seorang
telentang dan yang seorang pula duduk bersila, Hek Houw menyalakan api di luar
kedua goa kecil untuk menolak gangguan binatang hutan. Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, ketika Bu Beng mulai merasa sedih dan putus harapan,
tiba-tiba Cin Eng bergerak dan mengeluh.
“Aduh...
perutku sakit sekali...” gadis itu mengaduh-aduh sambil memegangi perutnya.
Bu Beng
menjadi girang melihat tunangannya siuman tapi serentak juga merasa bingung
melihat betapa gadis itu merintih-rintih. Tiba-tiba Cin Eng muntah-muntah dan
dari perutnya keluar gumpalan-gumpalan hitam.
“Koko,
keluarlah, pergilah dari sini!” Cin Eng berteriak kemalu-maluan mengusir Bu
Beng.
Tapi Bu Beng
menggeleng-gelengkan kepala dan bahkan menggunakan ujung baju mengusap mulut
Cin Eng yang telah berhenti muntah.
“Koko,
keluarlah!” Cin Eng berkata marah karena ia merasa malu sekali. “Dan tinggalkan
baju luarmu!”
Terpaksa Bu
Beng keluar mendengar ucapan yang mengandung paksaan ini. Tapi ia girang sekali
melihat wajah Cin Eng yang kemerah-merahan dan biarpun berpura-pura marah tapi
gadis itu masih tak dapat menyembunyikan senyum bibirnya. Ia menanti di luar
gua dan segera memberitahu kepada Hek Houw yang masih mendengkur di gua
sebelah.
“Hek Houw,
Cin Eng sudah siuman dan sembuh.”
Hek Houw
tersenyum girang. “Sukurlah. Ah, obat itu benar-benar terlalu manjur dan keras
kerjanya hingga mengagetkan orang saja.”
Pada saat
itu Cin Eng dengan memakai pakaian luar Bu Beng, lari keluar menuju ke sebuah
anak sungai. Bu Beng mengejar, tapi ia tersenyum dan kembali lagi ketika
melihat bahwa gadis itu pergi ke sungai hanya untuk mencuci pakaiannya yang
kotor. Setelah yakin benar bahwa Cin Eng sudah sembuh, Bu Beng membuat obor dan
sambil memegang obor menyala ia memasuki gua ular itu. Cin Eng mencegah, tapi
Bu Beng mengatakan ia hanya ingin melihat apakah isi gua itu. Maka akhirnya Cin
Eng menyetujui juga. Sedang Hek Houw yang hendak ikut ditolaknya.
Dengan
tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang Hwee hong kiam, ia memasuki
gua itu dengan membongkok. Ternyata bahwa gua itu membelok ke kiri dan dalam
sekali. Bu Beng terus maju dan setelah membelok tiga kali ke kiri dan tiga kali
ke kanan, tiba-tiba ada angin meniup dan obornya padam! Bu Beng kaget sekali.
Ia siap menjaga dengan pedangnya, tapi tidak ada apa-apa, hanya terdengar suara
angin meniup dari depan tiada hentinya.
Dengan heran
Bu Beng bertindak maju, ia dapat berjalan sambil berdiri lempang karena tempat
itu makin melebar. Kemudian setelah membelok sekali lagi ke kiri, ia lihat di
depannya ada cahaya terang menyinari dari atas memasuki gua, diiringi dengan
masuknya angin yang bertiup keras dan membuat obornya padam tadi. Kini
mengertilah ia bahwa gua itu merupakan sebuah sumur. Dan tepat dimana sinar itu
masuk, ia melihat sebuah pintu.
Ketika daun
pintu ditolaknya, ternyata tidak terkunci. Dengan hati hati Bu Beng memasuki
kamar itu. Pandangan pertama-tama yang menyambutnya membuat ia kaget dan hamper
berteriak. Sebuah kerangka ular yang besar sekali melingkar di situ dengan
kepala menghadap ke pintu dengan mulut terbuka lebar seakan-akan hendak
menggigitnya!
Di dekat
kerangka ular besar itu rebah sebuah kerangka manusia. Dan sebuah pedang yang
aneh bentuknya tersangkut diantara tulang-tulang di leher ular itu. Agaknya
manusia yang kini sudah tinggal kerangkanya saja itu dulu telah membunuh ular
ini dengan menggunakan pedang yang kini tersangkut di tulang leher ular. Bu
Beng mengambil pedang itu dan membolak-balikkannya.
Gagang dan
pedangnya menjadi satu, gagang merupakan kepala ular dan ujungnya yang runcing
merupakan ekornya. Di bagian leher pedang itu agak berlekuk-lekuk tapi dari
batas perut sampai ke ekor lurus dan tajam kanan kiri. Yang paling aneh, pedang
itu berwarna merah. Di bagian kepala, yaitu gagangnya ada ukiran kecil tiga
huruf yang berbunyi 'Ang coa kiam' atau Pedang Ular Merah.
Ketika ia
memandang kearah rangka manusia itu, ia dapatkan sebuah sarung pedang
tergantung dengan tali di tulang pinggangnya. Ia ambil sarung itu yang ternyata
adalah sarung pedang istimewa untuk Ang coa kiam. Girang sekali hati Bu Beng
mendapat pedang pusaka ini, lalu digantungkannya pedang itu di pinggang dan ia
terus memeriksa keadaan kamar itu.
Di sudut
kamar terdapat dua peti kecil. Hatinya berdebar. Barang pusaka apa lagi yang
berada disitu? Ia maju menghampiri dan membuka peti pertama. Isinya hanya
sebuah buku. Ketika ia membolak balik lembaran kitab tua itu, ternyata bahwa
yang dipegangnya adalah Ang coa kiamsut Pit kip yakni Kitab Rahasia Ilmu Pedang
Ang coa kiam! Di dalam buku terdapat pelajaran ilmu pedang yang sangat aneh
berikut lukisan tentang gerakan-gerakan yang harus dibuat.
Peti kedua
ketika dibuka membuat mata Bu Beng menjadi silau. Di dalamnya penuh dengan
permata dan batu-batu giok yang indah dan tak ternilai harganya. Ketika ia
memeriksa, maka barang-barang itu merupakan perhiasan-perhiasan kuno yang
pantasnya hanya dimiliki oleh seorang permaisuri atau keluarga raja.
Bu Beng
membawa dua peti itu dan hendak keluar gua. Tapi ketika ia memandang kearah
rangka manusia itu, timbul rasa iba dalam hatinya. Bukankah manusia yang kini
tinggal rangkanya itu mungkin pemilik semua barang berharga yang terjatuh ke
dalam tangannya? Sudah sepatutnya ia membalas budi demikian besar itu. Maka
ditaruhnya dua peti itu kembali, lalu ia mengumpulkan tulang-tulang rangka,
diikat dengan saputangan.
Setelah
semua tulang terkumpul lengkap, baru ia bawa semua barang itu keluar dari gua.
Untuk jalan keluar biarpun ia tidak menggunakan obor dan keadaan sangat gelap
hingga tangan sendiri pun tak dapat terlihat, namun karena tidak ada
keragu-raguan dan kekhawatiran lagi, ia dapat merayap dan meraba-raba menuju
keluar.
Cin Eng
girang sekali melihat Bu Beng keluar dengan selamat. Ia tadinya sudah sangat
khawatir dan kalau bukan Hek Houw yang menghidburnya dan melarangnya dengan
alasan-alasan kuat, pasti ia tadi telah menyusul masuk! Alangkah senangnya
mendengar tentang pusaka yang didapatkan Bu Beng. Kemudian dengan khidmat dan
hati-hati mengubur rangka manusia itu di luar gua. Ketika Bu Beng memeriksa
lagi kitab ilmu pedang itu, di bagian belakang terdapat tulisan yang indah
sekali.
Ilmu pedang
ini hanya boleh dipelajari di atas pulau Ang coat ho sesudah dipelajari harus
segera dijadikan abu!
Bu Beng yang
sangat tertarik akan isi kitab dan ia telah yakin bahwa ilmu pedang itu
betul-betul hebat dan luar biasa sekali, segera mengajak Cin Eng turun bukit.
Tapi ketika ia menengok, Hek Houw telah lenyap dari situ! Berkali-kali Bu Beng
memanggil-manggil, tapi Hek Houw tidak ada. Bu Beng menjadi jengkel, dan
terpaksa menunda maksudnya turun bukit.
Tadinya ia
bermaksud tinggal di pondok dekat pantai itu dan mempelajari kita ilmu pedang
itu di atas pulau, tapi tak sampai hatinya untuk meninggalkan Hek Houw turun
gunung. Maka bersama Cin Eng mereka lalu masuk ke dalam gua kecil sebelah kiri.
Bu Beng mulai membaca dan mempelajari Ang coa kiamsut, sedangkan Cin Eng pergi
mencari buah-buahan sambil menikmati pemandangan indah pulau itu, sekalian
mencari Hek Houw.
Setelah
menanti setengah hari lebih dan hari sudah menjadi sore, ternyata Hek Houw
belum juga kembali Bu Beng mulai khawatir kalau-kalau si dogol itu mendapat
bencana. Ia berkata kepada Cin Eng bahwa mereka terpaksa harus menanti sampai
besok. Cin Eng yang juga sayang kepada Hek Houw yang jujur dan setia,
menyatakan persetujuannya.
Tapi
tiba-tiba pada saat itu terdengar suara gemuruh dan mereka merasakan tanah
bergoyang hebat! Setelah tanah seakan-akan berayun-ayun beberapa lama hingga
Cin Eng menjadi takut dan memeganggi lengan Bu Beng dengan tubuh menggigil,
maka goncangan menjadi reda dan tanah kini hanya tergetar saja. Tapi suara
gemuruh masih saja terdengar.
“Mungkin
gunung ini hendak meletus,” kata Bu Beng. Ia bawa dua peti kecil itu dan
menarik lengan Cin Eng. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Berbahaya!”
Dan sambil
berlari-lari di atas tanah yang bergetar-getar mereka berdua turun bukit.,
dikejar oleh suara gemuruh di belakang mereka. Biarpun melalui tempat yang
sudah mulai gelap, tapi karena dikejar rasa takut mereka tak mempedulikannya
sehingga akhirnya mereka dapat juga keluar dari hutan dan akhirnya sampai juga
mereka di tepi laut dengan napas terengah-engah. Mereka merasa ngeri. Suara
bergemuruh itu masih saja terdengar dari situ, tapi getaran tanah hanya terasa
sedikit. Mereka lalu menuju pondok buatan ayah Cin Eng dan naik, lalu
beristirahat.
Demikianlah,
hampir tiga bulan lamanya Bu Beng mempelajari ilmu pedang Ular Merah itu dengan
tekun dan rajin. Selama itu, Cin Eng tak mau mengganggunya, karena gadis inipun
maklum betapa calon suaminya sedang mempelajari sebuah ilmu pedang yang ampuh.
Ia sendiripun ingin sekali mempelajarinya, tapi ia pikir bahwa kalau iapun ikut
belajar, maka tentu akan memakan waktu lebih lama lagi. Mengapa terburu-buru?
Masih banyak waktu baginya kelak untuk belajar dari Bu Beng!
Maka dengan
pikiran itu, Cin Eng hanya melatih kepandaian sendiri dan tiap hari mencari buah-buahan
untuk makan mereka. Yang mengganggu pikiran mereka ialah Hek Houw. Pemuda hitam
itu sampai sekarang belum kembali! Mereka merasa pasti bahwa Hek Houw tentu
sudah tewas. Diam-diam Bu Beng merasa sedih mengingat nasib muridnya itu.
Kasihan
pemuda itu yang telah mengangkat guru padanya dan telah membela dan
mengantarnya sampai ke pulau Ular Merah sehingga berhasil yang diusahakannya.
Sedangkan sebagai balas budi, belum pernah ia mengajar silat kepada muridnya
itu. Setelah hafal betul semua pelajaran ilmu pedang di dalam kitab itu dan
dapat menangkap dasar-dasarnya dengan sempurna, Bu Beng lalu membakar kitab
itu. Kemudia ia berkata kepada Cin Eng.
“Eng moi,
kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pulang.”
Cin Eng
mengangguk tapi wajahnya tampak sedih. Bu Beng maklum apa yang mengganggu
pikiran tunangannya.
“Apa boleh
buat, Eng moi. Hek Houw agaknya memang sudah ditakdirkan harus meninggal dunia
di pulau ini. Sudah cukup lama kita menanti disini.”
Cin Eng
menghela napas. “Yang kuherankan , koko, setelah kita kubur rangka di depan gua
itu, tiba-tiba saja Hek Houw lenyap. Kemanakah gerangan ia pergi?”
Bu Beng
mengangkat pundak. “Bagaimana kalau aku pergi keatas mencarinya?”
“Kurasa
tiada gunanya dicari, kalau ia masih hidup tentu sudah lama ia datang kesini.
Tapi kurasa tiada salahnya kalau sebelum meninggalkan pulau ini, kita naik
sekali lagi dan mencoba mencari jejaknya,” kata Cin Eng.
Tapi pada
saat itu tiba-tiba Bu Beng memagang lengan Cin Eng dan berkata kaget, “Eng moi,
lihat!” Cin Eng menengok dan ia pegang lengan Bu Beng dengan hati
bedebar-debar.
Dari atas
bukit tampak seorang tinggi besar berlari secepat kilat. Gerakan orang itu
ringan dan cepat sekali hingga sebentar saja ia sudah berada di depat mereka
dengan muka tertawa senang.
“Hek Houw,
kau??” teriak Bu Beng girang sekali sambil memegang pundak orang itu. Tapi
lagi-lagi ia terkejut ketika terasa olehnya betapa pundak Hek Houw terasa keras
bagaikan besi dan mengandung tenaga tersembunyi yang kuat! “Eh, kau kemana saja
selama ini, Hek Houw?”
“Suhu...
aku, eh... aku... hem…? Hek Houw berkata gugup dan tak karuan.
“Hek twako,
tenangkanlah dirimu. Kami menanti sampai berbulan-bulan tapi mengapa kau tidak
datang? Kemana sajakah kau, twako? Tanya Cin Eng yang juga merasa gembira
sekali dengan kembalinya Hek Houw.
“Kouwnio,
aku girang sekali kalian selamat. Aku... telah...” kembali ia berhenti dengan
bingung.
“Sudahlah,
Hek Houw kalau kau tidak suka menceritakan, kamipun takkan memaksamu,” kata Bu
Beng dengan suara menghibur.
Mendengar
kata-kata gurunya ini, wajah Hek Houw makin merah dan bingung. Kemudian ia
mengangkat dada dan berkata dengan tetap. “Suhu sebetulnya teecu selama ini
berada di dalam sebuah gua siluman.”
“Gua
siluman??”
Hek Houw
mengangguk, “Letak gua itu tak jauh dari gua ular. Ketika teecu melihat suhu
mendapatkan pusaka dari dalam gua, saya lalu nekat memasuki gua yang seram itu.
Dan di dalamnya. Selain setan-setan yang berkeliaran tanpa wujud, teecu
dapatkan sejilid kitab pelajaran silat yang telah teecu pelajari sampai habis!”
“lmu silat
apakah Hek Houw? Tanya Bu Beng dengan girang dan ingin tahu.
Kembali Hek
Houw ragu-ragu tapi sekali lagi pemuda hitam itu mengangkat dadanya yang lebar
dan kuat. “Ilmu silat Ang coa koat kunhwat yang mempunyai tiga belas kali
gerakan!”
Sehabis
berkata demikian Hek Houw menggerakkan tubuh dan dengan cepat sekali ia
bersilat. Gerakan-gerakannya aneh membingungkan, tapi tiap pukulannya
mendatangkan suatu angin. Sungguh ilmu silat yang jarang ada di dunia ini. Bu
Beng dan Cin Eng kagum sekali. Dalam waktu tiga bulan saja pemuda hitam yang
kasar dan bodoh ini telah dapat memiliki ilmu silat yang dalam keadaan biasa
tak mungkin dapat ia pelajari selama sepuluh tahun.
Seperti
ketika mulai, Hek Houw menghentikan permainan silatnya dengan tiba-tiba lalu ia
tertawa gelak-gelak. Seram sekali suara tawa ini hingga Bu Beng terpaksa
memandang wajah muridnya dengan pandangan ganjil. Juga Cin Eng tiba-tiba merasa
takut melihat Hek Houw.
“Sudahlah,
Hek Houw. Aku ikut girang sekali melihat peruntunganmu. Kurasa kini kepandaian
silatmu tak kalah denganku. Hayo kita berlayar dan pulang ke daratan Tiongkok.”
“Benar, Hek
Houw. Mari kita mengambil perahumu dan berlayar pulang,” kata Cin Eng.
“Pulang?
Perahuku? Ha ha ha! kalian mau pakai perahuku? Ha ha ha! perahuku bukan untuk
orang lain. Perahuku untukku sendiri. Ha ha ha.”
Bu Beng dan
Cin Eng saling pandang dan gadis itu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bu Beng
memandang wajah Hek Houw dengan tajam dan ia merasa betapa sepasang mata Hek
Houw telah berubah sinarnya, tidak seperti tadi lagi. Mata itu kini
terputar-putar dan melirik ke kanan kiri dan sinarnya ganjil sekali. Juga bibir
pemuda itu tertarik seakan-akan menyeringai dan mengejek.
“Hek Houw!”
katanya tajam, tapi Hek Houw sudah mendahuluinya meloncat dan lari ke tempat
dimana ia menambatkan perahunya. Bu Beng dan Cin Eng mengejar. Hek Houw yang
sudah tiba disitu lebih dulu, menggunakan tangan kiri mengangkat perahunya. Bu
Beng kagum sekali melihat tenaga Hek Houw yang sudah maju sedemikian hebat. Hek
Houw dengan menyeringai menanti kedatangan mereka dan kembali berkata,
“Perahuku
untuk aku sendiri. Orang lain tak boleh naik.”
“Hek Houw,
tapi aku gurumu!” kata Bu Beng.
“Guru? Ha ha
ha! Guruku ia iblis pulau Ang coat ho! Kalian jangan ganggu aku, pergi!"
Sambil
berkata demikian ia gunakan tangan kanannya mendorong Bu Beng. Bu Beng segera
menggunakan tangannya menangkis dorongan itu karena dari anginya ia tahu betapa
kuat tenaga dorongan Hek Houw. Dan ketika kedua tangan mereka beradu. Bu Beng
kena terdorong mundur beberapa tindak! Tapi Hek Houw sendiri terhuyung dan
melepaskan perahunya yang jatuh bedebuk di atas pasir pantai.
“Hek Houw,
ingatlah! Kenapakah kau ini?”
“Kau orang
jahat, orang jahat! Kau mau ganggu aku, murid raja siluman Ang coat ho?” dan
menyeranglah ia dengan hebat.
Bu Beng
mengelak cepat dan mereka segera bertempur dengan hebat. Bu Beng harus berlaku
hati-hati sekali, ternyata ilmu silat Hek Houw benar-benar aneh dan liar hingga
beberapa kali hampir saja ia kena terpukul. Kalau lawannya bukan Hek Houw dan
kalau ia tidak sudah tahu bahwa ada terjadi sesuatu dengan pikiran dan bathin
pemuda hitam itu, tentu Bu Beng sudah menggunakan pedangnya. Ia tidak tega
untuk menggunakan pedangnya terhadap Hek Houw, tapi dengan tangan kosong saja,
rasanya tak mungkin ia bisa menjatuhkannya!
Gerakan-gerakan
Hek Houw terlampau licin, sukar sekali dipukul, jangan kata hendak ditangkap!
Tapi tiba-tiba Hek Houw meloncat ke belakang sambil berkata,
“Kau orang
jahat, kau terlampau kuat. Aku tiada waktu lagi, mau pulang. Pulang ke
kampong.”
Maka secepat
kilat Hek Houw membungkuk dan sebelum tahu apa yang hendak dilakukan pemuda
itu, Bu Beng tiba-tiba melihat pasir menyambar dari tangan Hek Houw menyerang
mukanya. Ternyata pemuda hitam itu menggunakan pasir sebagai senjata rahasia.
Biarpun hanya pasir, tapi karena dilepas dengan cara yang istimewa dan
mengandung tenaga besar, pasir itu bukan tak berbahaya, lebih-lebih jika dapat
mengenai mata! Bu Beng cepat mengelak dan ketika ia memandang lagi ke depan,
ternyata Hek Houw sudah mengangkat perahunya dan lari ke laut.
“Kejar,
koko!” teriak Cin Eng.
Tapi Bu Beng
hanya menggelengkan kepala dan memungut sehelai kertas yang tadi melayang
keluar dari saku baju Hek Houw ketika pemuda hitam itu membungkuk untuk
mengangkat perahunya. Ia bolak balikkan kertas itu dan tiba-tiba berkata,
“Eng moi,
lihatlah ini!” suaranya gemetar.
Cin Eng lari
menghampiri dan ternyata kertas itu adalah sobekan kulit sebuah kitab yang ada
tulisannya demikian 'Ang coa koai kunhwat ini diturunkan kepada dia yang
menemukannya. Dia boleh mempelajarinya dan menjagoi di seluruh daratan, tapi
jika dia ceritakan hal ilmu silat ini kepada orang lain, dia terkutuk menjadi
gila'
Seperti juga
bunyinya yang ngeri, tulisan itupun seperti cakar ayam dan kelihatan jelek
sekali, tapi harus diakui bahwa yang menulisnya memiliki tenaga yang garang dan
hebat. Ketika Cin Eng memandang wajah tunangannya yang sedih dan kecewa, ia
maklum bahwa Bu Beng menyesali diri sendiri mengapa telah mendesak Hek Houw
untuk mengaku hingga mengakibatkan pemuda itu menjadi gila, terkena kutukan
sumpah iblis pengarang dan pencipta ilmu silat siluman ini!
Ia memegang
lengan Bu Beng dengan halus dan berkata, “Koko, sudahlah jangan sedih. Kita
lakukan itu tidak dengan sengaja, siapa tahu bahwa Hek Houw telah mempelajari
ilmu yang memakai syarat demikian gila?”
Karena
perahu satu-satunya telah dibawa minggat oleh Hek Houw terpaksa Bu Beng
menebang sebatang pohon siong besar dan dari batang itu ia membuat sebuah
perahu sederhana. Tapi karena ia tidak mempunyai kapak dan hanya bekerja dengan
menggunakan pedang, maka setelah memakan waktu lima hari barulah perahu buruk
dan sederhana itu selesai.
Maka
berlayarlah Bu Beng dan Cin Eng, kembali ke daratan Tiongkok. Peti berisi harta
pusaka itu dibungkus dan ditaruhnya dalam pauwhok (ransel) yang tergantung di
punggungnya. Setelah mencapai daratan Bu Beng membeli dua ekor kuda dan mereka
meneruskan perjalanan pulang dengan jalan darat. Bu Beng memberikan pedang Hwee
hong kiamnya kepada Cin Eng dan ia sendiri menggantungkan Ang Coa kiam di
pinggangnya.
Kebetulan
sekali perjalanan mereka melalui kampong Lok leng chung dimana Lo Sam di
Pengemis Kecil Tongkat Wasiat tinggal. Ketika itu musim Chun telah menjelang
datang, maka teringatlah Bu Beng akan undangan Lo Sam untuk singgah di
kapungnya dan ikut menghadiri pesta ulang tahun ketiga belas dari perserikatan
pengemis.
Ketika tiba
di kampong itu, mudah saja baginya mencari alamat Lo Sam karena Pengemis Kecil
ini terkenal sekali. Berbeda dengan sebutannya dan pakaiannya yang selalu penuh
tambalan, tempat pusat perkumpulan itu merupakan rumah besar sekali, biarpun
tak dapat disebut mewah. Lo Sam menyambut Bu Beng dan Cin Eng dengan girang.
“Selamat
datang, selamat datang!” si kate itu berulang-ulang berkata dengan wajah
berseri-seri.
Disitu telah
datang puluhan tamu yang terdiri dari orang-orang kang ouw ternama, karena nama
Lo Sam cukup berpengaruh dan dihormati. Melihat para tamu itu memberi
barang-barang sumbangan atau tanda hormat yang diletakkan berjajar-jajar di
atas meja, Bu Beng diam-diam mengeluarkan sebuah perhiasan rambut permata dari
kotaknya dan menaruhnya diatas meja sambil berkata kepada Lo Sam.
“Lo
enghiong, kami tak dapat memberi apa-apa, harap barang kecil tak berarti ini
dianggap sebagai tanda hormat.”
Tapi Lo Sam
dan beberapa orang tamu yang berada di dekat situ memandang perhiasan dengan
mata terbelalak. Permata-permata itu mengeluarkan cahaya gemerlapan yang
warnanya macam-macam dan indah sekali, sungguh sebuah barang mustika yang
jarang terlihat orang!
“Tapi...
tapi... Bu Tahiap, barang ini tak ternilai harganya, aku pengemis hina dan tua tak berani menerimanya,” kata Lo Sam gugup.
Bu Beng
tersenyum. “Apakah barang ini terlampau kecil dan tak berharga hingga tak dapat
diterima?”
“Oh, tidak,
tidak! Ah... serba susah, biarlah, kuterima Bu tahiap, terima kasih,”
Akhirnya Lo
Sam berkata sambil memegang dan memutar-mutar barang itu di tangannya dan
berkali-kali menghela napas. Ia dapat menaksir bahwa barang itu sedikitnya
berharga sepuluh ribu tail.
Makin lama
makin banyaklah tamu-tamu yang datang. Diantaranya tampak Kim Kong Tianglo yang
segera memeluk sutenya dan mengobrol dengan gembira. Bu Beng menceritakan
pengalamannya dengan singkat kepada suhengnya tercinta itu. Juga hadir disitu
Sim Boan Lin dan Sim Tek Hin, Lui Im dan Ang Hwat Tojin! Sim Boan Lip dan
puteranya memberi hormat kepada Bu Beng, agaknya mereka sudah mengubah adap
hingga diam-diam Bu Beng merasa girang.
Lui Im
merasa gembira sekali dapat bertemu kembali dengan Bu Beng. Sedangkan Ang Hwat
Tojin yang datang bersama susioknya yang usianya hampir sebaya dengan ia
sendiri agaknya tak suka memandang kepada Bu Beng. Ia rupa-rupanya merasa
sombong karena ditemani susioknya yang terkenal bernama Pauw Hun Lin dengan
julukan Naga Ekor Sepuluh!
Pauw Hun Lin
adalah seorang saudagar kaya raya dan karena ilmu silatnya tinggi, maka ia terkenal
di kalangan kang ouw hingga menerima undangan dari Lo Sam pula. Kini Pauw
Kauwsu ini datang membawa sumbangan berupa arca Budha dari batu giok yagn indah
dan mahal. Dulu sebelum menjadi guru silat, hingga orang-orang memanggil dia
Pauw Kauwsu.
Pauw Kauwsu
duduk semeja dengan Ang Hwat Tojin, Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin. Sedangkan Bu
Beng dan Cin Eng ditemani Kim Kong Tianglo dan Lui Im. Lo Sam sendiri sebagai
tuan rumah melayani para tamu kesana kemari, mengisi arak dan menawarkan
hidangan, kadang-kadang keluar menyambut datangnya tamu-tamu baru. Para pelayan
semua terdiri dari pemuda-pemuda tegap berbaju baru. Tapi baju mereka ini semua
penuh tambalan! Karena hidangan yang dikeluarkan serba mewah dan nikmat, maka
keadaan disitu agak ganjil, yakni jembel dan mewah bercampur aduk.
Tiba-tiba
datang tamu baru terdiri dari lima orang. Banyak tamu yang melihat mereka masuk
segera berdiri dan memberi hormat, Lo Sam sendiri menyambut mereka dengan
hormat sekali, bahkan semua orang-orang di meja Ang Hwat Tojin bangun berdiri
dan Pauw Hun Lin segera menghampiri tamu baru itu dan memberi hormat yang
dibalas oleh kelima orang itu dengan hormat pula.
Melihat
banyak orang menyambut kedatangan mereka, kelima orang itu mengangkat dada
dengan sikap jumawa sekali, kemudian yang tertua diantara mereka mengeluarkan
beberapa potong emas dan memberikannya kepada Lo Sam sebagai sumbangan.
Bu Beng
sejak tadi memperhatikan mereka dengan hati tertarik dan menduga-duga siapakah
kelima orang yang berpengaruh itu. Tiba-tiba Cin Eng memegang lengan kirinya
dengan keras dari bawah meja. Pun Kim Kong Tianglo tampak terkejut dan segera
berbisik padanya.
“Merekalah
Ngo Houw dari Tiang san.”
Sementara
Cin Eng berbisik. “Koko, mereka inilah pembunuh-pembunuh ayah ibuku!” suara Cin
Eng bercampur isak dan kedua matanya mengeluarkan sinar marah. Gadis itu tak
dapat menahan hatinya dan hendak mencabut Hwee hong kiamnya. Tapi baru saja ia
meraba gagang pedangnya, Bu Beng memegang tangannya dan berkata.
“Eng moi,
sabarlah. Kita harus menghormati Lo Sam lo enghiong dan jangan membikin kacau
pestanya yang berarti menghinanya. Masih banyak waktu membalas dendam di luar
tempat ini.”
Mendengar
alasan kekasihnya yang penuh cengli ini terpaksa Cin Eng duduk kembali dan
menahan perasaan marahnya. Ia hanya memandang kearah Lima Harimau dari Tiang an
itu dengan mata menyala. Kim Kong Tianglo membenarkan pandangan Bu Beng dan
ikut membujuk agar gadis itu bersabar.
Sementara
itu, karena ajakan Pauw Hun Lin, Lima Hariamau dari Tiang-an itu duduk semeja
dengan mereka. Sebentar saja di meja mereka terdengar suara tertawa gembira dan
mereka makan minum penuh kegembiraan.
Ngo houw
dari Tiang an berusia rata-rata diantara tiga puluh sampai empat puluh tahun.
Mereka bukanlah kakak beradik tapi saudara seperguruan yang membuka sebuah
piauw kiok atau kantor ekspedisi pengantar barang. Mereka terkenal sekali
dengan ilmu golok cabang Gobi karena sebenarnya Ngo houw ini adalah murid-murid
dari Hok seng Hwesio seorang tokoh cabang Gobi, sayang sekali lima saudara ini
beradat sombong dan takabur.
Mereka
menganggap diri mereka hiapkek atau pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan
mereka membasmi semua penjahat tanpa pilih bulu. Maka semua perampok dan bajak
sangat takut kepada jago-jago dari Tiang-an ini. Dan Liu Pa San, ayah Cin Eng,
biarpun ia seorang maling budiman, tapi ketika bertemu dengan mereka ini, tidak
diberi ampun lagi.
Tiba-tiba Bu
Ong, jago tertua dari Tiang-an itu setelah menghirup habis secawan arak,
berkata sambil tertawa kepada Lo Sam yang berada di meja mereka untuk melayani.
“Lo
enghiong, pesta ini cukup menyenangkan. Tapi sayang sekali ada beberapa orang dari
golongan rendah ikut menyelundup masuk mengotorkan pesta ini.”
Lo Sam
terkejut mendengar omongan ini. “Eh, kau main-main, sicu. Semua yang hadir
disini adalah kenalan-kenalanku. Orang-orang kang ouw yang terhormat.”
Bu Houw,
jago kedua, mengeluarkan suara ejekan dari hidung. “Hm, lo enghiong hendak
menyamakan kaum maling dan anak maling itu termasuk orang-orang terhormat?”
“Maling?
Anak maling? Siapa yang sicu maksudkan?” Tanya Lo Sam dengan heran.
“Ha ha ha!
ada maling di depan mata masih belum tahu!” Bu Ong tertawa dan menggunakan
sebatang sumpit menusuk sepotong paha ayam dan sekali menggerakkan jarinya,
paha ayam itu terlepas dari ujung sumpit bagaikan anak panah dan menyambar
kearah wajah Cin Eng!
Nona ini
marah sekali dan hendak menusuk daging itu dengan sumpitnya, tapi Bu Beng
mendahuluinya dan menggerakkan tangan, daging itu terbang kembali kearah muka
Bu Ong dengan kecepatan dua kali lipat daripada datangnya tadi!
Bu Ong
terkejut dan terpaksa menangkis daging yang hendak menghantam mukanya ini
dengan tangan, tapi malang sekali bagi Bu Liong jago keempat yang duduk
disebelahnya dan masih tertawa karena lagak suhengnya tadi hingga daging itu
dengan tak tersangka-sangka menyambar cepat dan tepat memasuki mulutnya yang
masih terbuka. Tentu saja ia menjadi gelagap.
Terdengar
suara ketawa di meja Bu Beng, karena Lui Im , Kim Kong Tianglo dan Cin Eng tak
dapat menahan geli hatinya dan tertawa gembira. Kelima saudara Bu itu marah
sekali dan Bu Ong meloncat berdiri sambil memaki.
“Maling dan
anak maling, sayang tempo hari kami tak sempat membasmi kalian. Kebetulan
sekali hari ini kalian berani memperlihatkan muka, pasti taiyamu tak dapat
memberi ampun padamu.”
“Bangsat
kurang ajar! Memang kami sengaja mencari-carimu untuk membalas dendam ayah
ibuku? Sekarang kita sudah ketemu jangan harap kau akan hidup lebih lama lagi!”
Lo Sam
berdiri kebingungan melihat ini. Bu Beng segera menarik tangan Cin Eng dan
berkata kepada Bu Ong dan kawan-kawannya. “Kalian disebut Ngo Houw dari
Tiang-an yang sudah tersohor sebagai orang-orang gagah. Tapi mengapa kalian
tidak kenal perikesopanan? Kita harus menghormati Lo Sam enghiong dan jangan
membikin ribut di pesta ini. Kalau kalian memang laki-laki, mari kita keluar!”
“Eh, eh,
setan kecil, siapa kau berani ikut campur?”
“Dia... dia
adalah Bu Beng Kiamhiap, mari kuperkenalkan,” Lo Sam mencoba mendamaikan mereka
karena ia sebenarnya tak tahu sebab musabab permusuhan mereka ini.
“Hm, pantas
sombong sekali, kiranya Bu Beng siauwcut! Kau kira kami takut padamu?”
“Jangan
banyak mulut! Kalau memang berani, hayo keluar!” teriak Cin Eng marah.
“Ha ha ha,
galak benar si manis ini, berikan saja padaku Twa suheng,” kata Bu Kiat, jago
yang termuda dan yang terkenal mata keranjang. Bu Ong hanya tertawa.
Bu Beng, Cin
Eng, dan Kim Kong Tianglo sudah tak sabar lagi, mereka meloncat keluar dari
pekarangan itu dan menanti di luar setelah menjuru kepada Lo Sam. Kelima Macan
dari Tiang-an ikut keluar. Tentu saja menghadapi pertempuran yang pasti ramai
dan menarik hati, semua tamu ikut keluar dengan makdud menonton, karena mereka
semua terdiri dari para ahli silat. Maka kosonglah tempat pesta itu. Bu Beng
memberi pesan kepada kawan-kawannya untuk tinggal diam karena ia hendak melawan
sendiri kelima jago itu. Ia berdiri menanti dengan pedang Ang coa kiam di
tangan dengan sikap tenang sekali,
Tapi, baru
saja kelima harimau Tiang-an itu tiba disitu, tiba-tiba dari tempat yang gelap
keluar seorang tinggi besar yang langsung menubruk dan menyerang mereka! Tentu
saja hal ini sangat mengherankan orang. Gerakan-gerakan penyerang itu gesit dan
aneh sekali, sedangkan tenaganya besar. Ketika orang memperhatikan dia ternyata
ia adalah seorang muda yang berpakaian compang-camping dan rambutnya terurai
kesana kemari tak terurus sama sekali! Ia kelihatan seram sekali hingga kelima
saudara Bu terkejut dan marah. Melihat orang itu bertangan kosong, maka Bu Ong
mencabut goloknya dan menyerang.
“Hek Houw!
jangan ikut campur!” teriak Bu Beng yang segera mengenal pemuda itu. Demikian
juga Cin Eng berseru. “Hek twako, jangan!” Tapi Hek Houw tak memperdulikan
mereka. Lalu dengan tertawa haha hihi ia balas menyerang dengan buas! Segera
kelima saudara itu mengeroyok Hek Houw karena mereka segera mengetahui bahwa
pemuda gila itu hebat sekali. Tubuhnya bergerak-gerak aneh dan meloncat kesana
kemari diantara sambaran lima batang golok yang dimainkan hebat tapi yang sama
sekali tak berdaya seakan mengeluarkan sambaran angin menolak datangnya bacokan
golok, bahkan pemuda itu mengeluarkan serangan-serangan berbahaya diiringi
suara ketawa ha ha hi hi yang menyeramkan.
Keadaan
genting dan seram hingga semua orang memandang dengan hati tegang
berdebar-debar. Bahkan Cin Eng sendiri merasa tegang dan memegang lengan Bu
Beng dengan keras. Tiba-tiba, Hek Houw tertawa keras dan berkata,
“Kudengar
tadi kalian Harimau Tiang-an? kalau begitu biarlah aku mewakili suhu dan
kouwnio membunuh kalian!”
Lalu ia
mempercepat gerakannya dan tiba-tiba Bu Kiat menjerit ngeri. Orang-orang hanya
mendengar suara “pletak!” dan melihat Bu Kiat terlempar jatuh tak berkutik,
kepalanya pecah! Terdengar Hek Houw tertawa seram, lalu ia bergerak lagi, kini
Bu Bouw mendapat giliran terlempar dan jatuh tak berkutik. Tiap kali merobohkan
seorang lawan, Hek Houw tertawa terbahak-bahak dan sebentar saja lima Harimau
Tiang-an itu menggeletak diatas tanah tak berkutik!
“Hek Houw,”
Bu Beng memanggil lagi.
"Ha ha
ha! suhuku dan kouwnio akan puas kali ini!” rupanya pemuda gila itu tidak
mengenal lagi kepada Bu Beng.
“Hek Houw
twako!” Cin Eng maju memanggil tapi Hek Houw memandangnya aneh, lalu pemuda itu
meloncat ke tempat gelap dan menghilang hanya suara ketawanya masih terdengar
sayup-sayup menyeramkan hati!
Ketika semua
orang memeriksa, ternyata lima harimau Tiang-an itu telah mati semuanya. Tiga
orang pecah kepala dan yang dua tulang iganya patah-patah. Diam-diam Bu Beng
kagum dan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu silat Hek Houw.
Lo Sam
dengan suara bentakan keras memerintahkan anak buahnya merawat lima mayat itu
dan ia persilakan semua tamunya kembali duduk dan minum arak. Diam-diam Lo Sam
mendekati Bu Beng dan bertanya,
“Bu Beng
taihiap siapakah pemuda hebat yang kau sebut Hek Houw tadi?”
“Ia...
adalah...”
“Muridnya!”
menyambut Cin Eng dengan bangga. Gadis itu merasa bangga dan gembira sekali
karena musuh ayah-ibunya telah terbunuh semua dengan cara yang memuaskan.
Mendengar
keterangan ini, Lo Sam memandang Bu Beng, dengan heran sekali, demikian juga
Kim KongTianglo.
“Kau
mempunyai murid sehebat itu, sute? Tanya Kim Kong Tianglo.
Bu Beng
hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala sehingga Kim Kong Tianglo
maklum bahwa pemuda itu tak hendak memberi keterangan di depan orang banyak,
maka ia diam saja.
Tiba-tiba
seorang anak buah perkumpulan pengemis itu berlari-lari mendatangi dan berkata
kepada Lo Sam. “Celaka suhu, celaka Arca Giok pemberian Pauw Hun Lin tadi
lenyap dicuri orang!”
Semua orang
tercengan mendengar ini, lebih lebih Pauw Hun Lin si Naga Ekor Sepuluh. Ia
berdiri dan berkata keras. “Siapa yang begitu kurang ajar dan berani main-main
dengan aku? Matanya yang bundar dan lebar melirik-lirik ke kanan kiri dan alis
matanya yang tebal seakan-akan berdiri.
Tiba-tiba
Sim Boan Lip berdiri dan mendekat Pauw Hun Lin. Lalu berbisik perlahan. Pauw
Kauwsu segera tujukan pandangan matanya kepada Bu Beng dan ia berkata kepada Lo
Sam,
“Lo
enghiong, kuharap suka periksa bungkusan Bu Beng Kiamhiap, karena ada yang
melihat bahwa dia dan kawannya yang mencuri arca Giok itu.”
Tidak hanya
Lo Sam yang sangat terkejut mendengar ini, bahkan Bu Beng sendiri merasa seakan
disambar petir. Ia marah dan mendongkol sekali.
“Pauw lo
enghiong jangan sembarangan menuduh orang!”
Cin Eng yang
juga merasa sangat marah mendengar betapa kekasihnya dihina, segera mengambil
bungkusan Bu Beng yang tadi ketika terjadi pertempuran, diletakkan di atas
meja. Ia buka ikatan buntalan itu sambil berkata, “Ini, saksikan sendiri, siapa
yang sudi mengambil barang macam...!”
Tiba-tiba ia
menghentikan kata-katanya dan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga
memandang ke dalam bungkusan. Ternyata arca budha itu benar-benar berada dalam
bungkusan Bu Beng!
Melihat hal
ini Bu Beng merasa heran sekali dan Pauw Hun Lin tertawa menyindir, “Hm, dasar
maling. Kalau begitu benar juga ucapan lima saudara dari Tiang an tadi bahwa
kalian ini tak lain hanya maling-maling rendah saja!”
Dengan
sekali ayun tubuh Bu Beng meloncat beberapa buah meja dan berdiri di depan Pauw
Hun Lin. “Orang tua, jangan kau menghina sekali! Kau sendiri tadi melihat aku
pergi keluar menghadapi lima pengacau itu. Bagaimana aku bias mengambil
barangmu? Tentu ada orang yang memfitnah!” dan ia pandang wajah Sim Boan Lip
dengan tajam.
“Alasan
belaka! Akal maling rendah! Kau benar keluar, tapi siapa tahu ketika semua
orang ikut keluar, kesempatan itu digunakan oleh kawan-kawanmu maling yang
lain?”
“Pauw
kauwsu! Sampai dimanakah tingginya kepandaianmu maka kau begitu sombong?”
kata-kata ini mengandung tantangan.
Maka tentu
saja Pauw Hun Lin merasa marah. “Ha, memang sudah kudengar dari Ang Hwat Tojin
bahwa kau mempunyai sedikit kepandaian dan menjadi sombong karenanya. Mari kita
boleh coba-coba sebentar!”
Pauw Hun Lin
lalu meloncat ke ruangan yang agak lebar. Bu Beng yang merasa marah sekali
segera mengejar. Mereka saling berhadapan dan memasang kuda-kuda ketika Lo Sam
berseru,
“Tahan!”
Dengan sekali loncatan pengemis pendek itu sudah berada di antara kedua jago
yang hendak mengukur tenaga masing-masing itu. “Pauw enghiong,” kata Lo Sam,
“Janganlah mendesak Bu Beng taihiap. Karena aku sendiri berani menanggung bahwa
bukan Bu Beng taihiap yang mengambil barang itu.”
“Hm, begitu?
Tapi mengapa arca itu bias masuk ke dalam bungkusannya?” Tanya Pauw Hun Lin.
“Dalam hal
ini pasti ada tukang fitnahnya!” jawab Lo Sam.
“Hm, kau
sebagai tuan rumah ternyata berat sebelah. Lo Enghiong! Biarlah, aku memang
hendak mencoba kepandaian anak muda ini dan kalau bisa mengajar adap padanya.”
“Aku
melarangnya. Pauw kauwsu. Aku tuan rumah dan aku tak suka orang merusak pestaku
ini!”
“Kalau aku
tetap hendak menghajarnya, kau mau apa?”
Lo Sam agak
marah mendengar ini. “Pauw kauwsu! Kau adalah tamu undanganku, dan aku tuan
rumah tempat ini mengerti? Sebagai tamu kau harus tunduk kepada peraturanku.
Pendeknya jangan berkelahi atau kalau tidak lebih baik kau keluar saja dan
bawalah lagi pemberianmu itu!” Lo Sam benar-benar marah karena merasa dihina
dan tak dihargai oleh kauwsu itu.
“Ha ha ha
agaknya kau sudah sekongkol dengan maling-maling itu. Kau sendiri memerlukan
hajaran pengemis rendah!”
Mendengar
ini, Lo Sam berseru marah dan ia segera menyerang! Maka bertempurlah kedua
orang tua itu, Bu Beng tahu akan kepandaian Lo Sam, tapi ia terkejut sekali
ketika melihat bahwa sebentar saja Lo Sam terdesak mundur oleh pukulan-pukulan
Pauw kauwsu yang benar-benar hebat!
Tiba-tiba Lo
Sam meloncat jauh ke sudut ruangan dan tahu-tahu ia sudah mengambil tongkatnya.
“Untuk memukul anjing aku harus menggunakan tongkatku!” katanya.
“Ha ha ha!
Bagus memang aku ingin sekali mencoba tongkat wasiatmu!” kata Pauw kauwsu
dengan sombong sambil mencabut pedang.
Bu Beng
pernah bertempur melawan Lo Sam dan tahu bahwa ilmu permainan tongkat dari
pengemis ini benar-benar hebat dan boleh dikatakan setingkat dengan permainan
pedang yang ia pelajari dari Hun San Tojin, gurunya. Maka ia berpikir kali ini
Lo Sam pasti menang. Tapi di luar dugaannya, orang she Pauw itu benar-benar
hebat hingga pedangnya dapat melayani ilmu tongkat Lo Sam dengan baik sekali,
bahkan agaknya lebih unggul!
Lo Sam
mengeluarkan ilmu tongkatnya Pat kwa mui yang gerakan-gerakannya sangat hebat
serta berubah-ubah jurusannya dari delapan penjuru. Tapi ilmu pedang Pauw
kauwsu tidak kalah hebatnya dan dapat mengatasi ilmu tongkat lawan. Lama-lama
Bu Beng tahu bahwa biarpun dalam permainan senjata Lo Sam tidak kalah banyak,
namun pengemis kate ini kalah tenaga, maka menjadi terdesak mundur.
Bu Beng
mencabut pedang dan menggerakkan pedang ular merah diantara kedua orang yang
sedang bertempur itu. Mereka melihat sebuah sinar merah panjang berkilat
menyilaukan mata, maka masing-masing menarik senjata dan meloncat mundur.
Bu Beng
menjuru kepada Lo Sam. “Lo enghiong, biarlah siauwte melawan orang sombong ini,
karena sebenarnya siauw telah yang ia kehendaki. Siauwte tidak suka membiarkan
lo enghiong mewakili siauwte yang muda.”
“Bagus Bu
Beng siauwcut, majulah!” Pauw kauwsu menantang dan tanpa banyak kata lagi ia
mengayunkan pedangnya menyerang!
Bu Beng yang
merasa marah sekali kepada orang she Pauw yang kasar itu, segera memutar Ang
coa kiamnya dan melakukan serangan bertubi-tubi dengan menggunakan ilmu
pedangnya yang baru dan luar biasa yaitu Ang coa kiamsut. Pedang Ang coa kiam
adalah pedang mustika yang hebat sekali ketajamannya dan merupakan senjata
ampuh, apalagi dimainkan dalam tangan Bu Beng yang memiliki kepandaian tinggi.
Untunglah
Pauw kauwsu juga menggunakan sebuah pedang pusaka, yaitu How kiam. Tapi
menghadapi permainan pedang Ang coa kiamsut yang belum pernah dilihat seumur
hidupnya, bahkan belum pernah didengarnya, ia menjadi bingung sekali. Pedang Bu
Beng yang membentuk ular merah itu berkilat-kilat merupakan sinar merah
menyambar-nyambar hingga menyilaukan mata. Gerakan-gerakannya demikian aneh dan
mempunyai tenaga mukzijat.
Sebenarnya
Ang coa kiamsut memang luar biasa. Ilmu pedang ini mempunyai empat macam
gerakan, memutar, menempel, mengait dan membabat. Jika Bu Beng menggunakan
gerakan dan tenaga memutar, maka pedangnya dapat terputar dan ujungnya
seakan-akan merupakan ekor ular yang melilit pedang lawan hingga lawan
merasakan tangannya tergetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan.
Jika
menempel, maka pedang ular merah itu seakan-akan besi sambrani yang menempel
pedang lawan hingga lawan sukar menggerakkan atau menarik pedangnya. Demikian
juga pedang itu dapat digunakan untuk mengait atau mencongkel pedang lawan,
karena dengan membalikkan telapak tangan dengan tiba-tiba, ujung Ang coa kiam
dapat mengarah nadi orang dan menarik pedang lawan. Sebaliknya digunakan untuk
membabat, maka gerakan ini bukanlah asal membacok saja, tapi dapat diubah
membacok terus menerus, membacok lagi dan selalu berubah-ubah tak terduga.
Pauw Hun Lin
yang selama hidupnya belum pernah menghadapi permainan pedang macam ini, baru
belasan jurus saja menjadi bingung dan pening. Ia hanya dapat memutar-mutar
pedangnya menutupi tubuh agar jangan sampai temakan oleh pedang ular merah itu,
tapi sedikitpun ia tidak kuasa menyerang!
Bu Beng yang
tak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Pauw kauwsu tidak ingin melukainya,
hanya ingin mempermainkan dan mengajar adap saja. Tapi pemuda inipun merasa
terkejut dan gembira sekali melihat betapa ilmu pedang baru yang dimilikinya
itu bisa begitu hebat. Sama sekali di luar dugaannya. Semua tamu yang melihat
kehebatan Bu Beng, diam-diam meuji dan kagum. Juga Lo Sam sangat heran melihat
permainan Bu Beng yang asing dan aneh.
“Ah, sungguh
hebat anak muda ini, baru beberapa lama berpisah, telah memiliki kepandaian yang
demikian hebat dan demikian pesat pula kemajuan yang dicapainya!” pikirnya.
Pada saat
itu, Cin Eng yang sejak tadi heran melihat Kim Kong Tianglo tidak berada disitu
lagi, tiba-tiba melihat suhengnya itu datang dari depan berlari-lari dan segera
menghampiri mereka yang sedang bertempur.
“Sute, tahan
pedangmu!”
Mendengar
suara suhengnya. Bu Beng menahan serangannya dan meloncat mundur. Pauw kauwsu
juga menghentikan putaran pedangnya dan memandang Kim Kong Tianglo dengan napas
terengah-engah dan keringat membasahi jidat.
“Sute aku
sudah tahu orang yang melakukan fitnah ini. Pauw kauwsu kau memang terburu
napsu. Orang telah berlaku curang dan sengaja mengadu kau dengan suteku,” Kim
Kong Tianglo lalu menarik tangan seorang anggota perkumpulan pengemis yang tadi
ia ajak berlari kesitu. “Coba ceritakan apa yang kau lihat tadi!”
Dengan mata
memandang kepalanya, anak buah itu berkata. “Ketika semua orang keluar tadi
untuk menonton pertempuran maka siauwte lihat kedua tuan ini mengambil arca
dari atas meja. Siauwte kaget sekali dan makin merasa heran ketika mereka
memasukkan arca itu ke dalam bungkusan Bu Beng Kiamhiap!” sambil berkata
demikian ia menunjuk kearah Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin yang berdiri dengan
wajah pucat.
“Kau? Eh,
mengapa... bagaimana pula ini?“ kata Pauw kauwsu sambil memandang wajah Sim
Pangcu dan puteranya itu.
“Tak usah
heran, Pauw kauwwsu,” kata Bu Beng tersenyum, “Mereka ini pernah melakukan
kejahatan tapi berhasil saya halag-halangi, dan mungkin kini hendak membalas
dendam. Ternyata mereka pengecut sekali dan tak berani membalas sendiri maka
lalu menggunakan tanganmu hendak mencelakakan aku!”
“Betulkah
ini? Kalian yang melakukan perbuatan terkutuk ini?” bentak Pauw kauwsu kepada
Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin.
Sim Pangcu
diam saja tunduk, tapi Sim Tek Hin segera mengangkat dada dan berkata keras.
“Betul, memang kami ingin melihat Bu Beng yang sombong ini terjatuh dalam
tangan Pauw kauwsu. Tapi kami keliru memilih jago!” kata-kata ini dianggap lucu
dan terdengar suara tawa ditahan dari sana sini.
Pauw Hun Lin
merasa marah sekali dan pedangnya segera berkilat menyerang ayah anak itu!
Serangan ini tak terduga sama sekali, hingga Sim Boan Lip kena terbacok
lehernya dan sekali berteriak ngeri orang tua itu jatuh mandi darah dan mati
disaat itu juga!
Sim Tek Hin
berseru keras dan menggunakan pedangnya menyerang Pauw kauwsu. Tapi sekali
bergerak Pauw kauwsu dapat menendang pemuda itu hingga terlempar jauh dan Pauw
kauwsu yang sudah gemas dan marah itu meloncat mengejar dan mengayunkan
pedangnya. Tapi tiba-tiba pedangnya tertahan oleh pedang lain yang bersinar
merah. Ternyata Bu Beng yang mencegahnya.
“Pauw kauwsu
tak perlu ditambah dengan pembunuhan kedua! Ampuni saja Sim Tek Hin ini. Ia
masih muda masih banyak waktu baginya untuk mengubah wataknya yang buruk!”
Pauw kauwsu
memandang kepada Tek Hin yagn sudah berdiri dengan meringis kesakitan, dan Pauw
kauwsu membentaknya dengan keras. “Tidak minggat dari sini mau tunggu apa
lagi?”
Sim Tek Hin
dengan air mata mengucur mengangkat mayat ayahnya dan pergi dari situ dengan
kepala tunduk. Dengan cegahannya ini ternyata Bu Beng seperti juga mencegah
orang membasmi seekor binatang buas dan ia mendatangkan bencana kepada diri
sendiri, karena Sim Tek Hin ini merupakan bencana besar di hari kemudian bagi
rumah tangganya.
Pauw Hun Lin
segera menyatakan maafnya kepada Bu Beng dan memuji pemuda itu dengan kagum
sekali. Bu Beng merendahkan diri dan mereka lalu bicara dengan gembira sekali.
Semua tamu makan minum pula dengan gembira sampai jauh malam. Tapi Pauw Hun Lin
yang merasa malu karena sikap dan tindakannya yang tak menyenangkan tadi,
segera menyatakan maaf kepada Lo Sam dan mengajak Ang Hwat Tojin meninggalkan
tempat itu karena ia merasa betapa semua mata memandangnya dengan penuh
penyesalan.
Kemudian Bu
Beng dan Cin Eng diajak oleh Kim Kong Tianglo pergi ke Liong San. Kim
KongTianglo memberi nasehat kepada mereka untuk melangsungkan perkawinan
disitu. Mereka setuju dan perkawinan dirayakan dengan sederhana diatas gunung
itu, dengan dikunjungi oleh para penduduk kampong yang dekat dengan tempat itu.
Sepasang pengantin yang saling mencina itu hidup dengan penuh kebahagiaan di
atas bukit, tiap hari menikmati tamasya alam dan menghirup hawa pengunungan
yang bersih dan segar.
Kim Kong
Tianglo membujuk agar Bu Beng dan istrinya suka tinggal saja di Liong San dan
menggantikan kedudukan suhu mereka, karena Kim liong pai sekarang tidak ada
bengcunya lagi. Suheng ini mengharap agar Bu Beng dapat menghidupkan cabang
perguruan silat mereka kembali untuk menjunjung nama Kim Liong pai sebagai
pembalas jasa terhadap Hun San Tojin, guru mereka yang tercinta.
Kemudian Kim
Kong Tianglo pergi untuk mengambil kedua muridnya, yaitu adik dari Cin Eng,
putera puteri dari Hun Gwat Go, Liu Cin Han dan Liu Cin Lan. Kedua saudara ini
tadinya dititipkan dalam sebuah kelenteng dimana seorang kawan Kim Kong Tianglo
menjadi ketuanya. Sudah tentu Cin Han dan Cin Lan girang sekali bertemu kembali
dengan cici mereka, Cin Eng, hingga mereka bertiga bepelukan sambil menangis
karena terharu dan girang.
Kedua anak
ini seterusnya tinggal bersama dengan cici dan cihu mereka, dan mereka berdua
belajar silat dengan rajinnya di bawah pimpinan Cin Eng dan Bu Beng. Cin Eng
sendiri mempelajari Ang coa kiamsut dari suaminya hingga tak lama kemudian ia
juga paham sekali ilmu pedang yang luar biasa ini.
***************
Dua tahun
kemudian, Cin Eng melahirkan sepasang anak kembar laki perempuan yang diberi
nama Kim Lian dan Kim San.
Demikianlah,
Bu Beng anak yatim piatu yang di waktu kecilnya hidup sengsara dan penuh
penderitaan itu, kini hidup beruntung dengan istrinya yang mencinta, kedua
anaknya yang lucu dan mungil, serta kedua adik yang cerdik dan menurut semua
petunjuknya.
Karena
memenuhi pesan suhengnya yang pergi merantau. Bu Beng menerima beberapa orang
murid dan hidup sebagai petani diatas gunung Liong San dengan aman dan
damai...!
T A M A T
Serial Selanjutnya : Kisah Sepasang Naga
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment