Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 01
Pada suatu
senja, dikala angin pengantar malam tengah sibuk mengatur mega, memindahkan
awan yang berkelompok dari barat ke timur dan matahari telah kehilangan
cahayanya dan redup-redup mengintip di balik puncak Kam-Hong-San hingga langit
di barat tampak ke merah-merahan dengan dasar biru laut, berdirilah seorang
anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun di pinggir sebuah jurang.
Anak itu
dengan asyiknya melamun seorang diri sambil memandang kearah awan putih dan
hitam yang berkejar-kejaran di puncak bukit-bukit dan membentuk gambar
mahluk-mahluk yang aneh dan menimbulkan khayal ke dalam otak siapa yang
memandangnya.
Anak itu
berdiri di kaki pegunungan yang banyak terdapat di dataran tinggi Yunan di mana
terdapat puncak tertinggi yang menjulang di udara seakan-akan merupakan cakar
naga sedang mencengkram awan-awan yang bergerak didekatnya. Pakaian anak itu
menunjukkan bahwa ia seorang anak petani.
Memang ia
baru saja pulang menggembala dua ekor kerbau yang berkulit hitam abu-abu dan
yang kini dengan senangnya berdiri dengan kepala kebawah dan mulut
memilih-milih rumput tergemuk dan ekor mereka yang kecil bergerak-gerak tiada
hentinya keperut mereka untuk mengusir lalat dan nyamuk. Baju anak itu berwarna
kuning memakai sabuk biru mengikat pinggangnya, dan di pinggang kirinya
terselip sebuah suling bambu yang berlubang lima.
Anak itu
tenggelam dalam samudra lamunannya hingga ia tidak merasa betapa kedua ekor
kerbaunya telah jauh meninggalkannya dan menuju ke kampung karena kedua
binatang itu agaknya telah hafal akan jalan pulang ke kandang yang tiap hari
dilaluinya itu.
Beberapa
lama kemudian dari bawah kaki bukit tampak seorang tua yang berpakaian sebagai
petani pula, jalan mendaki bukit itu menuju ke pinggir jurang dimana anak itu
masih berdiri melamun.
Kakek ini
usianya tidak kurang dari enam puluh tahun, tapi tubuhnya masih tampak sehat
dan wajahnya kemerah-merahan sebagaimana lajimnya wajah seorang petani yang
hidup di udara bebas dan tubuhnya tiap hari melakukan pergerakan yang sehat.
Tapi yang sangat mengherankan ialah betapa Kakek itu mendaki bukit itu, Ia
berlari demikian ringan dan cepat seakan-akan terbang saja!
Ternyata
orang tua itu mengunakan ilmu lari cepat Hui-Heng-Sut dan dari keringanan
tubuhnya yang seolah-olah burung kepinis terbang itu dapat diduga bahwa
ginkangnya telah mencapai tingkat tinggi sekali. Melihat anak yang masih
berdiri melamun dan agaknya lupa keadaan di sekelilingnya itu, Kakek tadi
tersenyum lalu menghampiri perlahan.
“Sin Wan,
kau sedang melamun apakah?” tanyanya halus, Anak itu ketika mendengar suara
Kakeknya baru sadar dari lamunannya dan menengok cepat.
“Eh,
Kong-kong, mana kerbau kita?”
Kakeknya
tersenyum mentertawakan. “Mereka sudah pulang dan kini bermalas-malasan di
kandang. Heran, apakah yang kau pikirkan hingga kau tidak tahu akan keadaan
kerbaumu?”
Sin Wan
putar tubuhnya ke arah puncak Kam-Hong-San dan menunding keatas. “Lihatkah
kong, bukankah di atas puncak yang tinggi itu terbang dua ekor naga?”
Mendengar
kata-kata ini, Kakek itu berubah air mukanya dan ia datang mendekat dan ikut
memandang. Lalu dengan suara bersungut-sungut ia berkata, “Sin Wan, janganlah
kau berkata yang bukan-bukan. Yang kau lihat itu ialah awan hitam dan mega
putih.”
“Tapi,
Ngkong, lihatlah yang jelas. Bukankah yang panjang-panjang itu seekor naga
putih dan seekor naga hitam yang sedang mengulur lidah dan cakar depan?
Lihatlah, lihatlah, mereka bergerak-gerak. Ngkong, mereka sedang terbang!”
“Anak bodoh!
Yang putih itu adalah mega dan yang hitam awan. Karena tertiup angin maka
awan-awan itu membentuk gambar yang aneh-aneh. Sebentar lagi gambar-gambar itu
akan lenyap pula. Lihatlah, awan hitam telah mulai buyar.”
Tapi Sin Wan
yang mempunyai daya kayal besar segera bersorak. “Ngkong, mereka bertempur!
Nah, naga hitamnya yang kalah dan ia sekarang buyar, hancur digigit naga
putih!”
Kakek pegang
lengan cucunya. “Sudahlah, Sin Wan, mari kita pulang. Ibumu menanti-nantimu
dengan tak sabar.”
“Ngkong,
biarlah aku nonton perkelahian naga putih dan naga hitam dulu,” anak itu
memohon.
“Sudah malam
dan sebentar lagi gelap. Nanti saja kuceritakan tentang naga putih dan hitam
yang dulu tinggal di puncak bukit itu, Sin Wan”
Sin Wan
pandang Kakeknya dengan heran dan tertarik. “Betulkah, Ngkong? Mereka tinggal
di puncak gunung itu?” Ia menuding ke arah puncak Kam-Hong-San yang kini agak
tertutup gelap awan yang tak dapat melewati puncaknya yang tinggi.
“Sudahlah,
nanti di rumah saja aku mendongeng"
Maka Sin Wan
tidak membantah lagi. Keduanya lalu turun dari lereng itu.
“Sin Wan,
hayo gunakan ilmu lari cepat yang belum lama ini kuajarkan kepadamu.”
Sin Wan
tersenyum girang karena di dekat Kakeknya ia tak usah takut tergelincir atau
jatuh. Maka keduanya lalu lari secepat angin menuruni lereng yang banyak
jurangnyaitu. Jurang-jurang kecil diloncati begitu saja oleh Sin Wan dan
Kakeknya dan jika melintasi jurang yang besar lagi curam maka Kakeknya pegang
lengan Sin Wan dan bawa cucunya itu meloncat!
Sebentar
saja mereka sudah tiba di sebuah kampung kecil yang hanya terdapat beberapa
belas rumah sederhana. Di sekitar kampung itu adalah sawah-sawah sumber hasil
dan makan orang-orang kampung itu yang hidup secara sederhana sekali. Ketika
melangkah ambang pintu, seorang wanita cantik dan berwajah muram dan sedih
menyambut mereka. Dengan kata-kata halus ia tegur Sin Wan yang disebut tidak
tahu waktu.
“Kau hanya
membikin kami orang-orang tua berkhawatir saja. Kalau hendak pergi bermain,
pulanglah dulu agar kami tahu ke mana saja kau pergi!” Ibu itu menegur dan Sin
Wan lalu menghampiri Ibunya.
“Ibu maafkan
aku. Aku tadi nonton perkelahian naga putih dan naga hitam hingga lupa waktu.
Biarlah lain kali aku tidak akan ulangi lagi Ibu, jangan marah padaku, ya?”
Dengan sikap
manja ia pegang tangan Ibunya dan gesek-gesek tangan yang halus itu kepipinya
dengan penuh kasih sayang. Nyonya muda yang cantik itu tiba-tiba merasa terharu
dan sedapat mungkin ia tahan keluarnya air mata dari kedua matanya hingga
matanya menjadi merah dan bibirnya gemetar. Ia hanya bisa dekap kepala
puteranya dan ciumi kepala itu.
Siapakah
nyonya muda cantik jelita yang berwajah sedih itu? Dan siapa pula Kakek yang
lihai itu? Kakek itu bukan lain ialah seorang pendekar luar biasa yang pernah
menjagoi di Kang Lam dan bernama Bun Gwat Kong, digelari orang Kang Lam Cuihiap
atau Pendekar Arak dari Kang Lam.
Gelaran ini
menunjukkan bahwa ia doyan sekali minum arak. Hal ini memang betul, karena
bukan saja ia doyan sekali minum arak, bahkan dengan lweekangnya yang tinggi ia
dapat gunakan itu sebagai senjata yang ampuh. Dengan semburkan arak dari
mulutnya, ia sanggup menjatuhkan lawan yang lihai.
Kang Lam
Cuihiap mempunyai seorang anak perempuan tunggal, yakni Ibu Sin Wan atau nyonya
muda yang berwajah muram itu. Puterinya itu dijodohkan dengan seorang pembesar
yang bijaksana di kota Kang Lam. Perjodohan puterinya cukup mendatangkan
bahagia sampai terlahir Sin Wan. Tapi kemudian datanglah malapetaka, Ayah Sin
Wan sebagai seorang pembesar yang jujur dan adil, sangat dimusui oleh
rekan-rekannya yang curang dan korup. Maka ia kena fitnah dan mendapat hukuman
mati yang diperintahkan oleh Raja yang dapat disebut buta karena mabok di bawah
pengaruh para durna dan selirnya yang jahat.
Untung
sebelum sekeluarga terbasmi habis, datang Kang Lam Ciuhiap yang cepat
menyelamatkan puterinya dan telah menjadi janda dan cucunya, yakni Sin Wan.
Setelah selamatkan anak cucunya, Kang Lam Ciuhiap lalu mengamuk dan membasmi
para musuh mantunya yang telah memfitnah anak mantunya hingga menjadikannya
matinya itu. Setelah itu, barulah ia merasa puas dan melarikan diri dengan anak
cucunya ke sebuah kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu.
Semenjak
ditinggal mati suaminya yang tercinta, Ibu Sin Wan seakan-akan hidup tanpa
semangat. Nyonya muda ini tiada hentinya bersedih dan menangis jika teringat
akan kematian suaminya dalam cara yang sangat menyedihkan itu. Karena itu, ia
sering jatuh sakit dan mempunyai semacam penyakit, yakni terganggu jantungnya
dan kadang-kadang ia batuk-batuk dan keluar darah dari mulutnya!
Kang Lam
Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu didik cucunya dalam ilmu silat yang tinggi karena ia
hendak turunkan seluruh kepandaiannya kepada cucunya yang tunggal itu,
sedangkan Sin Wan oleh Ibunya dididik dalam hal ilmu surat. Demikianlah maka
selama lima tahun atau enam tahun mereka tinggal dengan aman di kampung kecil
di kaki Kamhongsan itu. Atas kehendak Ibunya, Sin Wan menggunakan she Ibunya,
yakni she Bun hingga ia disebut Bun Sin Wan, sedangkan sebenarnya Ayahnya dari
keluarga Liu.
Setelah
makan malam, makan Sin Wan ingat akan janji Kakeknya, maka ia segera datangi
Kakeknya itu di dalam kamarnya dan berkata, “Ngkong, hayo ceritakanlah padaku
tentang naga itu.”
“Sin Wan,
kau harus menghafal pelajaranmu yang kuberikan kemarin malam.” Ibunya menegur
ketika mendengar suara anaknya di kamar Ayahnya.
“Biarlah aku
besok bangun pagi-pagi sekali dan menghafal pelajaran membaca itu, Ibu. Kong-kong
tadi sudah berjanji hendak mendongeng tentang naga putih dan naga hitam.”
Akhirnya
Kakek dan Ibunya mengalah dan mulailah Bun Gwat Kong mendongeng. Dongeng itu
demikian menarik, hingga Ibu Sin Wan dibalik bilik juga ikut mendengarkan
dengan asik. Demikianlah dongeng itu.
Ratusan,
atau mungkin ribuan tahun yang lalu, di puncak gunung Kam-Hong-San yang tinggi
sekali, lebih tinggi dari keadaannya sekarang karena semenjak itu telah ratusan
kali puncak itu gugur dan longsor, terdapat dua ekor naga sakti yang besar
sekali.
Dua ekor
naga itu sedang bertapa dan telah bertahun-tahun tidak bergerak dari gua
Pertapaan masing-masing dalam memohon kepada yang Maha Kuasa untuk mengangkat
mereka menjadi dewa. Dua ekor naga sakti itu seekor betina dan bersisik hitam
mulus, sedangkan yang kedua adalah seekor naga jantan yang bersisik warna putih
bersih. Mereka bertapa dalam gua masing-masing yang berjajar, melingkar
merupakan bukit kecil dalam gua yang besar itu dan tumpangkan kepala di atas
lingkaran tubuh.
Telah
puluhan tahun mereka bertapa, tanpa mengisi perut, hanya beberapa tahun sekali
mereka keluar dari gua untuk minum air telaga sebuah yang terdapat di puncak
gunung itu. Mereka bercakap-cakap sebentar untuk bertukar pendapat, kemudian
masuk ke dalam gua pula untuk melanjutkan pertapaan mereka.
Di
pegunungan yang banyak puncaknya itu, terdapat sebuah puncak bukit kecil dan
disitu terdapat lain gua pertapaan. Tapi yang bertapa disitu seorang manusia,
seorang pertapa laki-laki yang gagah lagi sakti. Diapaun bertapa disitu
menyucikan diri dan bermohon menjadi dewa.
Pada suatu
hari, ketika seluruh puncak bukit-bukit di situ diliputi halimun putih tebal,
pertapa itu keluar dari gua untuk pergi ke dalam hutan dan memetik buah yang
dapat dimakan. Tapi ketika ia sedang berjalan perlahan menuruni puncak,
tiba-tiba ia melihat dua batang sinar memancar dari puncak Kam-Hong-San. Ia
terkejut sekali karena sinar itu cahayanya keemas-emasan dan tahulah ia bahwa
dua ekor naga sakti yang bertapa disitu telah mendekati kesempurnaan dan boleh
dibilang telah berhasil baik dalam pertapaan mereka!
Mungkin
telah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, karena pada saat yang kebetulan sekali
itu, pertapa itu kena asap hawa-hawa kotor yang keluar dari dunia ramai dan
berkumpul diatas puncak, terbawa awan dan mega. Maka tiba-tiba saja timbullah
iri hati dan kecewa dalam kepala dan hatinya. Ia merasa malu sekali mengapa ia
seorang manusia sampai kalah oleh dua ekor naga itu. Buktinya, sedangkan ia
sendiri belum berhasil apa-apa dalam pertapaannya, adalah dua ekor naga itu
telah sampai di dekat pantai cita!
Rasa iri dan
dengki mengamuk hebat di dadanya hingga ia menyerah terhadap godaan ini. Ia
gunakan kesaktiannya untuk terbang melayang kepuncak Kam-Hong-San. Benar saja,
dua cahaya terang itu mencorot keluar dari dua buah gua yang berdampingan.
Timbullah marahnya dan ia membentak marah ke arah dua gua itu.
“Hai,
siluman naga yang rendah! Kalian telah mengotorkan puncak bukit ini. Pergilah
kalian sebelum Pinto mewakili Thian menghukum kalian!”
Kedua naga
mendengar bentakan nyaring dan keras ini menjadi heran dan keluarlah mereka
dari gua masing-masing. Naga jantan yang bersisik putih segera menegur pertapa
itu.
“Engkau
seorang manusia pertapa mengapa ganggu kami? Apakah salah kami? Maka kau
bersikap seperti ini?”
“Eh, siluman
jahat kau masih berpura-pura! Tak tahukah kau bahwa aku telah bertahun-tahun
bertapa di puncak gunung ini? Kalian yang berhawa siluman sekarang mengotorkan
tempat ini hingga mengganggu sekali pertapaanku. Hayo kalian pergi sekarang
juga, kalau tidak terpaksa Pinto bersihkan tempat ini dan membunuh kalian.”
Naga betina
yang bersisik hitam mulus menjadi gemas dan berkata kepada naga putih. “Saudaraku
Pek-Liong (naga putih), Kakek ini begini sombong. Biarlah kucoba kesaktiannya!”
Maka
bertempurlah pertapa itu melawan naga hitam. Mereka berkelahi dengan seru,
saling mengeluarkan kesaktian hingga mereka dari atas tanah terbang ke atas
mega-mega dan bertempur diantara awan hitam. Kilat menyambar-nyambar dan
berhari-hari mereka bertempur tiada hentinya.
Melihat
kesaktian pertapa itu, naga putih tidak sabar lagi. Ia melayang dan terjang
pertapa itu, menggantikan naga hitam. Maka kalahlah pertapa itu dan ia kena
ditiup pergi oleh naga putih. Karena sakit hati, pertapa itu menaruh dendam. Ia
mencari daya untuk membalas, tapi apa daya? Sepasang naga itu terlampau sakti
dan kuat baginya.
Tapi dasar
ia manusia dan memiliki otak manusia yang penuh tipu daya dan muslihat,
akhirnya ia mendapat akal juga. Ia tahu bahwa pada musim kemarau dan hawa
sangat panasnya, kedua naga itu akan keluar gua dan minum air telaga diatas
gunung itu. Maka ia menjaga dengan sabar di dekat telaga sambil mempersiapkan
semacam ramuan obat beracun.
Benar saja,
ketika musim sedang panas-panasnya, kedua naga itu keluar dari guha mereka dan
dengan berbareng sambil bercakap-cakap mereka menuju ketelaga dengan gembira.
Keduanya merasa gembira dan puas karena pertapaan mereka sudah mendekati hasil
baik. Mereka tidak tahu sama sekali bahwa petapa itu dengan cepatnya melempar
ramuan obat yang mempunyai pengaruh luar biasa ke dalam air yang hendak mereka
minum.
Tanpa
ragu-ragu sedikitpun mereka minum dengan segar dan nikmatnya. Kemudian mereka
kembali ke puncak gunung. Si pertapa yang tadinya bersembunyi melihat betapa ke
dua naga itu benar-benar telah minum air yang telah dicampurnya dengan racun
hebat, menjadi girang sekali dan menanti-nanti hasil perbuatannya yang curang.
Ternyata pengaruh racun itu mujijat sekali. Kalau hanya racun atau bisa yang
berbahaya dan dapat menghanguskan isi perut saja, tak mungkin dapat
mempengaruhi dan mencelakakan ke dua naga sakti itu.
Tapi racun
atau obat yang dilepas oleh pertapa itu adalah racun yang langsung merangsang
perasaan dan melemahkan iman, lalu membangkitkan nafsu-nafsu keduniaan yang
telah lama dapat ditekan dan dipadamkan oleh kedua naga itu. Kini obat itu
menjalar dan bekerja dengan hebat. Nafsu-nafsu yang telah padam dan terpandam di
dasar hati kedua naga sakti itu kini mulai bernyala kembali dan timbul
menguasai seluruh hati dan pikirannya.
Maka mulai
merahlah kulit muka mereka dan mulai suramlah cahaya mata mereka dan mulai
suramlah cahaya meling pandang dan timbullah hati suka dan tertarik kepada
masing-masing dan lupalah mereka bahwa pantangan terbesar bagi pertapaan mereka
ialah menurutkan napsu hati. Kesadaran mereka kini dikuasai hati, hati dikuasai
pikiran dan pikiran dikuasai pancaindera mereka. Maka di bawah pengaruh ramuan
obat mujijat itu, kedua naga sakti mulai bercumbu dan melupakan segala!
Ternyata
obat itu tidak bertahan lama mempengaruhi kedua naga yang sebenarnya telah
mempunyai batin yang teguh dan kuat itu. Beberapa hati kemudian, lenyaplah
pengaruh obat itu dan keduanya kembali sadar kembali dari kekhilapan. Alangkah
menyesal dan malunya hati mereka. Kedua perasaan ini lalu bersatu dan berubah
menjadi perasaan marah yang hebat. Mereka dapat menduga bahwa keadaan mereka
yang tidak sewajarnya dan bagaikan mabok itu tentu terkena pengaruh obat
mujijat.
Maka dengan
penuh kemarahan dan dendam, mereka berdua turun gunung dan mencari pertapa itu.
Si pertapa yang ketahui pula akan hal ini, segera melarikan diri dari gunung ke
gunung. Tapi sepasang naga itu tidak mau melepaskannya, dan tiada hentinya
mengejar. Hati mereka terlampau menyesal dan sedih hingga kini hanya satu
tujuan mereka, yakni membalas dendam!
Akhirnya di
puncak sebuah gunung di pegunungan Thai-san, kedua naga dapat menangkap pertapa
denga hati gemas mereka lalu membunuhnya dan menghancurkan tubuhnya. Namun
mereka masih merasa penasaran karena hasil pertapaan yang puluhan tahun lamanya
itu lenyap dan membuat hati mereka berduka. Mereka lalu bertapa kembali, tapi
para dewa yang melihat pelanggaran yang mereka lakukan, lalu memberi hukuman
kepada mereka.
Hukuman itu
ialah bahwa mereka harus ke alam ramai dan memberi pertolongan kepada manusia
untuk tebus dosa mereka. Sepasang naga sakti itu lalu mengubah diri menjadi
sepasang pedang mustika, naga jantan bersisik putih berubah menjadi sebatang
pedang warna putih dan naga betina bersisik hitam berubah menjadi sebatang
pedang berwarna hitam!
Karena masih
diliputi hawa nafsu mereka ketika mengubah diri menjadi pedang, maka kedua
pedang itu masih penuh mengandung hawa Im dan Yang, yaitu hawa positip dan
negatif!
Pedang putih
dan pedang hitam lalu turun ke alam ramai dan keduanya berjuang melalui tangan
orang-orang gagah untuk membasmi semua keturunan pertapa yang jahat, yakni
manusia-manusia yang hanya mengotorkan dunia dengan perbuatan mereka yang
sewenang-wenang dan menindas sesama manus!
“Demikianlah
dongeng itu, Sin Wan, dan sampai sekarangpun orang-orang jahat, betapapun
pandai dia itu pasti mereka takkan terluput dari hukuman. Maka kau yang
mempelajari ilmu silat dariku, kelak harus mencontoh perjuangan suci dari
sepasang naga sakti itu untuk membela keadilan kebenaran serta membasmi segala
kejahatan.”
Kang Lam
Ciuhiap Bun Gwat Kong akhiri ceritanya yang sangat menarik hati Sin Wan, hingga
anak itu seakan-akan lupa akan segala dan melihat sendiri kedua naga dalam
dongeng itu di depan mata khayalnya.
“Kalau
begitu, bayang-bayang naga yang kulihat tadi adalah Pek-Liong dan Ouw-Liong
yang sakti itu, Ngkong?”
“Aah, yang
kuceritakan hanya dongeng, Sin Wan, dan telah terjadi ribuan tahun yang lalu.
Mana ada liong betul-betul di jaman ini?” kata Engkongnya sambil usap-usap
jenggotnya yang putih.
“Sin Wan
telah jauh malam, hayo kau tidur!” terdengar suara Ibu Sin Wan memerintah
anaknya. Sin Wan bersungut-sungut, api ia tidak berani membantah kehendak
Ibunya, dan Engkongnya berkata dengan tertawa.
“Benar kata
Ibumu, Sin Wan. Tidak baik bagi anak-anak tidur terlampau malam. Kau tentu
masih ingat kata-kata orang dahulu bahwa tidur tak terlambat bangun pagi-pagi,
tubuh sehat banyak rejeki!”
Sin Wan
tertawa pula lalu ia masuk ke biliknya di mana hanya terdapat sebuah dipan
bambu sederhana. Seperti biasa menurut ajaran Kakeknya sebelum tidur ia
bersemedhi membersihkan napas. Sin Wan adalah seorang anak yang rajin sekali,
dan otaknya sangat cerdik. Baik dalam pelajaran silat yang diturunkan oleh Kang
Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong kepadanya, maupun dalam pelajaran menulis yang
diajakankan Ibunya, ia sangat maju dan tekun belajar hingga dalam usia sepuluh
tahun saja ia telah memiliki kepandaian gin-kang dan lwee kang yang cukup
mengagumkan serta telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga dalam hal
membaca dan menulis ia telah dapat melampai pengetahuan Kakeknya.
Semenjak
mendengar dongeng tentang sepasang naga sakti yang diceritakan Kakeknya itu,
Sin Wan seringkali duduk termenung di lereng gunung terendah sambil memandang
ke arah puncak Kam-Hong-San dengan tertarik. Ia suka sekali memandang awan-awan
yang bergerak-gerak dan membentuk lukisan binatang aneh.
Ia suka
mengkhayalkan betapa di antara awan-awan hitam itu tampak terbang melayang dua
ekor naga hitam dan putih saling berkejaran memperebutkan mustika, yaitu
matahari yang hampir tenggelam dan berwarna merah keemasan! Seringkali Sin Wan
memikirkan dengan hati tertarik sekali di mana gerangan sepasang naga itu.
Kalau saja ia bisa memiliki pedang itu, alangkah senangnya!
Tidak jarang
Kakeknya menyusul ketempat itu karena Sin Wan sering pulang terlambat hingga
didahului kerbaunya yang pulang lebih dulu. Selain duduk melamun dan
mengkhayal, Sin Wan juga senang sekali meniup suling bambunya. Ia memang
mempunyai bakat akan seni suara, hingga tiupan sulingnya terdengar merdu sekali
dan ia dapat memainkan beberapa lagu yang digubahnya sendiri.
Bahkan
seringkali Ibunya diam-diam mengalirkan airmata karena terharu mendengar suara
suling puteranya di tengah malam, membikin nyonya muda itu teringat akan
suaminya yang juga pandai meniup suling! Juga Kang Lam Ciuhiap, seorang
pendekar tua yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran hebat dan
hatinya menjadi keras, jika mendengar tiupan suling cucunya, diam-diam ia
bengong dan terpesona. Seakan-akan dirinya dibawa terbang melayang-layang oleh
suara suling yang mengalun itu, dibawa terbang kedunia halus dan suci!
Beberapa
kali Sin Wan nyatakan keinginannya kepada Kakeknya untuk naik mendaki puncak
Kam-Hong-San tapi selalu Kang Lam Ciuhiap mencegahnya dan bilang bahwa di atas
Kam-Hong-San banyak terdapat hutan-hutan lebat yang penuh dengan binatang buas
dan keadaannya berbahaya sekali.
“Sin Wan,
ketahuilah. Beberapa tahun yang lalu aku sendiri pernah naik ke puncak itu,”
kata Kakeknya sambil menunjuk ke arah puncak gunung yang dikelilingi awan putih
itu.
“Aku tidak
takut segala binatang buas, tapi aku sungguh-sungguh ngeri melihat
jurang-jurang yang curam sekali dan dataran dataran palsu.”
“Apakah
dataran palsu itu Engkong?” tanya Sin Wan heran.
“Tampaknya
seperti tanah datar yang ditumbuhi rumput-rumput hijau segar dan gemuk, tapi
kalau kau kurang hati-hati dan menginjaknya, maka kakimu akan terjeblos dan
tubuhmu akan tenggelam dalam tanah lumpur yang berbahaya sekali karena sekali
tubuh kita diisap olehnya sukarlah kita dapat melepaskan diri dari bahaya
maut.”
Tapi Sin Wan
adalah seorang anak yang semenjak kecilnya mengalami banyak kesukaran ketika ia
dengan Ibunya dibawa mengungsi oleh Kakeknya hingga hidup secara sederhana dan
sengsara di tempat sunyi, maka hatinya tabah sekali. Mendengar cerita Kakeknya
ini, ia tidak merasa takut atau ngeri. Bahkan timbul keinginan yang besar dalam
hatinya untuk melihat dengan mata sendiri semua keanehan itu!
Sebetulnya
Kang Lam Ciuhiap tidak berkata bohong. Memang beberapa tahun yang lalu pernah
ia naik ke Kam-Hong-San untuk mencari tempat yang lebih enak, tapi ia hanya
ketemukan tempat-tempat berbahaya, maka ia turun kembali. Ia hanya membohong
ketika ia berkata bahwa hatinya merasa ngeri melihat keadaan-keadaan berbahaya
itu.
Seorang
dengan kepandaian setinggi dia tak perlu merasa ngeri dan takut hanya
menghadapi bahaya seperti itu saja. Memang Kakeknya itu sengaja membohong untuk
membikin cucunya merasa jeri dan batalkan keinginannya mendaki bukit tinggi
itu. Ia sama sekali tidak sangka bahwa cerita yang seram-seram itu bahkan
menjadi pendorong bagi Sin Wan untuk melaksanakan keinginan hatinya!
Dan pada
suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Wan tinggalkan rumahnya dan pergi naik ke
gunung Kam-Hong-San yang mengandung penuh rahasia-rahasia ganjil dan menarik
baginya itu.
Tadinya Ibu
dan Kakeknya tidak menyangka akan hal ini. Memang biasanya Sin Wan bangun
pagi-pagi sekali dan anak itu tentu berlatih silat di pekarangan belakang atau
berlatih ginkang sambil meloncati anak sungai berkali-kali seperti yang
diajarkan Kakeknya, karena menurut Kakeknya. Berlatih silat di waktu hari masih
pagi sekali adalah sangat bermanfaat bagi kesehatan dan baik sekali bagi
kemajuan kepandaiannya.
Sin Wan tak
pernah abaikan petunjuk ini. Karena itulah, maa pagi hari itu, Ibu dan Kakeknya
tidak menyangka sedikit juga bahwa anak yang mereka sayang itu telah pergi
mendaki gunung yang berbahaya itu. Setelah matahari naik tinggi, barulah hati
Ibu Sin Wan merasa heran karena anaknya belum juga pulang.
“Ayah,”
katanya kepada Kang Lam Ciuhiap yang sepagi itu telah minum arak buatannya
sendiri “Mengapa Sin Wan belum juga pulang? Bukankah pagi ini ia harus bantu
meluku sawah dengan kerbaunya?”
“Anakku,
kuharap kau jangan terlampau keras kepada Sin Wan. Anak itu cukup rajin dan ia
perlu hiburan. Biarkanlah ia bermain sebentar lagi, nanti ia tentu datang.”
Nyonya muda
itu hanya menghela napas, ia tahu bahwa Ayahnya sangat sayang kepada cucunya
itu hingga agak memanjakan. Ia khawatir sekali kalau Sin Wan kelak meniru
kebiasaan Ayahnya yang hanya minum arak saja kerjanya itu!
Menurut
keinginannya, ia akan suka sekali melihat puteranya menjadi seorang terpelajar,
seorang ahli surat dan memangku jabatan tinggi seperti Ayahnya. Tapi hatinya
makin sedih melihat betapa Sin Wan, biarpun tekun mempelajari ilmu surat, namun
agaknya lebih menyukai ilmu silat. Pernah ia mengemukakan suara hatinya ini
kepada Ayahnya, tapi Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh kepada
anak perempuannya itu.
“Kau agaknya
tidak ingat bahwa karena tidak pandai ilmu silat tinggi maka suamimu sampai
mengalami fitnahan dan hukuman mati. Masa sekarang banyak orang jahat yang tak
mungkin dilawan dengan menggunakan coretan pit dan tinta hitam belaka. Gantilah
pit dengan pedang tajam, maka kau akan dapat menjaga dirimu lebih baik daripada
gaungguan orang jahat. Aku ingin sekali melihat cucuku itu menjadi seorang
hohan yang gagah perkasa dan membasmi para manusia-manusia rendah yang suka
ganggu orang lain!”
Mendengar
ucapan yang bersemangat dari Ayahnya, nyonya muda itupun di dalam hati
membenarkan, maka ia tidak mau ganggu lagi kesukaan Sin Wan belajar silat. Tapi
tetap ia merasa kurang puas melihat betapa Kakek itu memanjakan Sin Wan.
Setelah hari
hampir siang, maka Ibu yang mencinta anaknya ini makin gelisah bahwa Kanlam
Ciuhiap yang biasanya tenang, nampak heran dan curiga. Ia lalu tunda guci
araknya dan pergi mencari Sin Wan. Ketika di mana-mana tak dapat menemukan anak
itu, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong menjadi gelisah juga dan ia berdiri di
tebing jurang sambil layangkan pandangannya ke arah gunung.
Timbul
dugaannya bahwa cucunya itu tentu telah nekad dan mendaki Kam-Hong-San. Ia
maklum akan ketabahan dan kekerasan hati cucunya yang pantang mundur menghadapi
apapun untuk melaksanakan cita-citanya. Dengan hati mulai cemas ia lalu gunakan
kepandainnya mendaki gunung yang sukar di lalui itu.
***************
Ketika pagi
hari itu Sin Wan tinggalkan rumahnya menuju ke gunung yang menarik hatinya, ia
merasa gembira sekali dan dadanya berdebar karena tertarik oleh
pengalaman-pengalaman dasyat yang ia harapkan akan ditemukan di puncak gunung.
Mula-mula
perjalan mendaki gunung itu tidak sesukar yang diceritakan Kakeknya.
Hutan-hutan kecil yang dilaluinya bahkan indah menarik, penuh dengan
burung-burung yang berkicau merdu dan indah warna bulunya. Beberapa ekor monyet
hitam berlari cepat dan bergantungan di puncak pohon karena takut melihat Sin Wan.
Anak itu
merasa gembira sekali dan ia geli melihat betapa monyet kecil bergelantungan di
dada induknya sambil perdengarkan suara cecowetan lucu. Karena jalan masih
mudah dilalui bahwan penuh pemandangan indah, Sin Wan lari cepat seenaknya
saja, terus mendaki sebuah lereng yang hijau penuh rumput.
Di pundaknya
tergantung seutas tali yang kuat dan besi pengait, karena dari Engkongnya ia
pernah diberitahu bahwa untuk mendaki gunung yang tinggi perlu membawa tambang
dan besi seperti itu. Karena maksudnya mendaki puncak Kam-Hong-San telah lama
terkandung dalam hatinya, maka Sin Wan telah siapkan segalanya. Bahkan tidak
lupa ia membawa roti kering di dalam kantongnya!
Ketika ia
sedang berlari terus naik makin tinggi, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang
anak perempuan berlari cepat dari balik lereng dan dengan sigapnya anak
perempuan itu berloncat-loncatan menuju keatas!
Sin Wan
merasa heran sekali dan ia segera gunakan kepandaiannya mengejar, tapi biarpun
ia lari secepatnya, ternyata ia tidak mampu mengejar anak perempuan itu! Anak
perempuan itu agaknya melihat Sin Wan dan sengaja mempermainkannya, karena ia
sering mengengok sambil tertawa, lalu loncat dan lari pula ke atas makin cepat.
Sin Wan
merasa penasaran sekali. Masak ia harus kalah oleh seorang perempuan yang tidak
lebih besar darinya? Ia kerahkan ginkangnya dan mengejar makin cepat pula.
Dalam kejar-mengejar ini, mereka naik makin tinggi dan jalan juga tidak semudah
tadi. Kini jalan mereka banyak terhalang jurang-jurang yang curam dan batu-batu
cadas dan karang yang tinggi bagaikan menara. Tapi gadis cilik itu agaknya
telah hafal akan jalan disitu, karena ia dapat memilih jalan dengan cepat.
Sin Wan
tidak mau mengalah dan mengikuti jejaknya. Ia bertekad takkan berhenti mengejar
sebelum dapat menyandak anak perempuan itu. Tiba-tiba di tempat yang tinggi
sekali, anak perempuan itu berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang
menghadapi Sin Wan sambil tertawa menghina. Sin Wan juga berusaha naik
secepatnya, tapi ia telah merasa lelah sekali. Ketika ia tiba di hadapan gadis
cilik itu, ia memandangnya dengan penasaran dan mendongkol.
Gadis cilik
itu berpakaian warna biru, dan senyumnya manis sekali. Dua titik lesung pipit
menghias kanan kiri bibirnya yang kecil merah, dan rambutnya yang hitam panjang
itu diiikat merupakan jambul diatas kepala sebelah kanan dan kiri, lalu terurai
kebelakang. Wajahnya tampak berseri dan kemerah-merahan, agaknya iapun lelah
juga. Dengan mendongkol, mau tidak mau Sin Wan harus mengaku bahwa ilmu
meringankan tubuh anak perempuan itu masih menang sedikit darinya!
“Hei, kenapa
kau kejar-kejar aku?” tegur gadis cilik itu dengan suara yang nyaring dan
tinggi.
“Kenapa kau
belari-lari seperti maling kesiangan?” Sin Wan balas bertanya.
Gadis cilik
itu tertawa geli mendengar pertanyaan Sin Wan, suara ketawanya merdu dan bebas,
dan Sin Wan melihat dua baris gigi yang kecil rata dan mengkilap putih hingga
wajah anak perempuan itu tampak makin manis.
“Kau tidak
kuat mengejarku mengapa memaksa? Ah, kasihan kakimu tentu lelah sekali.” Gadis
itu menyindir.
Merahlah
wajah Sin Wan, ia angkat dadanya dan memandang marah. “Kau kira aku tak dapat
mengejarmu? Ke mana saja kau lari, aku pasti dapat mengejarmu!”
“Betulkah?
Kau lihat jurang ini, dapatkah kau meloncatinya?”
Sin Wan
memandang ke depan, ternyata disitu terdapat sebuah jurang yang selain curam
juga lebar sekali, tidak kurang dari lima belas tombak. Bagaimana ia bisa
loncat sejauh itu? Engkongnya yang terkenal ahli dalam kepandaian loncat jauh,
belum tentu dapat loncati jurang selebar ini. Tapi dia tidak percaya bahwa
gadis itu dapat meloncati jurang itu, maka iapun angkat dada dan menantang.
“Jurang
sebegini saja apa susahnya untuk diloncati? Aku katakan tadi, kemanapun kau
pergi, aku tentu dapat mengejarmu. Biarpun kau akan loncat melalui jurang ini,
aku pasti dapat mengejar.”
Gadis itu
memandangnya tak percaya. “Benarkah? Coba kita buktikan!”
Kemudian
dengan lincah dan ringan sekali gadis itu loncat ke atas karang di belakang
mereka. Karang ini menjulang tinggi dan di dekat situ terdapat beberapa batang
poon semacam liu, tapi batangnya lebih kecil dan tinggi. Gadis itu lalu
menghampiri sebatang pohon itu, dengan kedua tangan, dengan kedua tangan pegang
puncak pohon dan menariknya kebawah dengan tenaga yang mengagumkan. Kemudian
dia berseru kepada Sin Wan yang melihat semua itu dengan heran.
“Nah, kau lihatlah.
Aku hendak menyebrang!”
Dengan
kata-kata ini, gadis itu lalu lepaskan tenaganya hingga puncak pohon terayun
keras karena batang pohon itu memang kuat dan ulat serta mempunyai sifat keras
seperti baja. Karena ayunan batang pohon itu keras sekali, maka tubuh gadis
itupun terayun dan dengan ambil waktu dan saat yang tepat sekali gadis itu
lepaskan pegagannya hingga dilontarkan keudara oleh ayunan itu. Ia atur gerakan
dan tenaga ayunan itu dengan berjumpalitan hingga sebentar saja ia telah berada
di seberang jurang, turun dengan gerakan alap-alap menyambar kelinci indah.
“Dapatkah
kau loncat kesini?” tantangnya kepada Sin Wan sambil tersenyum.
Sin Wan
kagum sekali melihat akal dan gerakan gadis yang cerdik itu hingga tanpa terasa
ia berseru, “Bagus!”
Ketika
mendengar tantangan itu, ia putar otak mencari akal. Untuk meloncat begitu
saja, pasti ia tidak akan berhasil dan tentu ia akan terjatuh ke dalam jurang
dan tubuhnya kan hancur. Untuk meniru akal dan gerakan itu ia masih sanggup,
tapi ia tidak sudi lakukan karena ia tidak mau ditertawakan nanti oleh gadis
itu. Ia lalu teringat akan tambang dan besi pengaitnya. Tapi tambang itu belum
tentu ada sepuluh tombak panjangnya. Tiba-tiba ketika memandang ke atas dan
melihat batu karang yang tinggi menjulang di dekatnya itu, ia mendapat akal.
“Tunggulah,
sebentar aku akan mengejarmu!” teriaknya.
Seperti
gadis tadi, iapun loncat ke atas dengan dan cekatan sekali ia lempar besi
kaitan itu ke atas hingga dengan tepat besi itu mengait pada pinggir karang
yang kuat di puncak. Setelah menarik-narik tambang dan mendapat kepastian bahwa
tali dan besi pengait itu sudah kuat-kuat mengait batu karang diatas, ia lalu
bawa ujung tali ke puncak karang lain, kemudian sambil berseru,
“Awas, aku
mengejarmu!” Ia loncat dari atas puncak karang itu dan tubuhnya terayun sambil
pegang ujung tambang.
Betul saja,
tambang itu tidak cukup panjang untuk mencapai seberang jurang. Melihat hal ini
gadis cilik itu terkejut dan berkhawatir sekali hingga ia menjerit. Tapi Sin
Wan yang sudah tahu bahwa tambangnya takkan dapat sampai ke seberang dan sudah
siap sedia untuk menghadapi hal ini, gunakan saat tenaga ayunan tambang belum
habis lalu loncat keras menuju ke seberang. Dengan beberapa kali jungkir balik,
ia berhasil juga turn di sebelah gadis itu yang memandangnya dengan mata
terbelalak dan kagum.
“Kau hebat!”
katanya memuji sambil tersenyum dan mendengar pujian serta melihat senyuman
ini, kemarahan hati Sin Wan lenyap seketika. Ia memang bukan orang pemarah, dan
tadi ia juga tidak marah, hanya mendongkol dan penasaran.
“Kau juga
lihai,” ia balas memuji.
“Tapi kurasa
kau tidak akan dapat menangkan ilmu silatku,” gadis itu berkata lagi.
Timbul
pulalah rasa penasaran Sin Wan yang tadinya sudah tenggelam dan lenyap. Ia
tadinya pandangi tambang yang terayun-ayun karena dilepaskan tadi dengan agak
kecewa dan sayang, tapi kini ia menengok dan pandang gadis itu dengan tajam. Ia
sudah lupa sama sekali akan kekecewaannya karena kehilangan tambang itu.
“Apa katamu?
Kau dapat menangkap aku dalam ilmu silat? Hayo, kau cobalah!” tantangnya sambil
gulung lengan bajunya.
Gadis itu
tersenyum menggoda. “Awas ya, kalau terpukul olehku jangan kau menangis!” Dan
ia lalu maju menyerang dengan cepat ke arah dada Sin Wan.
Pemuda ini
berkelit cepat dan hatinya terkesiap juga melihat betapa gadis cilik itu
datang-datang menyerang dengan gerakan dari cabang Kun-Lun yang berbahaya! Ia
lalu balas menyerang dan untuk menebus kekalahannya dalam balap lari tadi. Sin
Wan keluarkan semua ilmu pukulan yang ia pelajari dari Kang Lam Ciuhiap!
Biarpun
gadis itu memiliki dasar-dasar ilmu sila Kun-lun yang cukup lihai, namun ia
tidak tahan juga menghadapi serbuan Sin Wan yang mempunyai pukulan anep dan
cepat juga. Terhadap Sin Wan ia kalah tenaga hingga ke dua lengannya yang
digunakan untuk menangkis sudah merasa sakit!
Akhirnya
gadis itu lalu balikkan tubuh dan lari! Entah bagaimana, tiba-tiba timbul nafsu
dalam hati Sin Wan untuk menjatuhkan gadis itu dan memaksa gadis itu mengakui
kekalahannya! Nafsu ini membuat ia loncat dan lari mengejar gadis itu dengan
cepat.
Kedua anak
itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mendung yang tebal dan hitam mengancam
tempat di mana mereka berada! Gadis itu lari makin cepat ke atas, dikejar oleh
Sin Wan. Karena gugup, maka gadis itu agaknya salah ambil jalan dan mereka tiba
di sebuah jalan buntu dimana hanya tampak jurang-jurang dalam di depan dan
sebelah kanannya, sedangkan sebelah kiri mereka terdapat dinding karang yang
tebal dan tinggi. Jalan maju tidak ada lagi, yang ada hanya jalan mundur lagi.
Gadis itu bingung dan dengan kertak gigi ia balikkan tubuh menghadapi Sin Wan
yang mendatangi dengan cepat.
Sementara
itu, cuaca yang tadinya terang telah berubah suram dan hampir gelap karena
mendung tebal telah datang menyerbu. Hawa lalu menjadi dingin luar biasa! Sin
Wan melihat betapa gadis itu terhalang jalannya menjadi girang dan berseru,
“Kau hendak
lari kemana?”
Sementara
gadis itu, dengan nekad lalu menyerang lagi dan mereka segera bertempur lagi di
tebing jurang yang berbahaya itu, sedangkan dari atas kepala mereka mendung hitam
tebal menyelubungi tempat itu dan menghalang cahaya matahari hingga keadaan
menjadi makin gelap. Tiba-tiba mendung hitam dan gelap itu mengakibatkan
munculnya kilat dan guntur yang menggelegar. Kedua anak yang sedang bertempur
itu menjadi kaget. Mereka loncat mundur dan menengok ke atas.
Alangkah
terkejut dan takut mereka ketika melihat betapa mendung hitam tebal telah
menutup tempat itu dan membuat semua menjadi gelap dan betapa kilat dan guntur
merupakan lidah lidah api yang menakutkan menyambar nyambar di atas mereka.
Gadis cilik
itu merasa ngeri dan menjerit ketakutan, lalu menubruk Sin Wan, memeluknya dan
menangis dengan wajah pucat! Sin Wan juga merasa betapa tubuhnya menjadi dingin
sekali sampai hampir beku, kemudian ketika ia memandang lagi keatas, ia hampir
saja memekik karena terkejut dan ngeri. Ia melihat dengan samar-samar betapa di
dalam kegelapan mendung itu ia melihat berkelebatnya dua ekor naga hitam dan
putih!
Ia melihat
betapa dua pasang mata naga itu menyinarkan cahaya merah menyilaukan dan betapa
lidah mereka menjululur keluar mengluarkan api menakutkan sekali! Dengan tak
terasa Sin Wan peluk tubuh gadis cilik itu dengan erat dan ia berdiri untuk
melarikan diri. Tapi tiba-tiba ia merasa betapa ekor kedua naga itu bergerak
dan menyabet ke arah ia dan gadis itu.
Sabetan ekor
itu mendatangkan angin dingin dan Sin Wan terlempar oleh angin itu hingga
terhuyung huyung. Hampir saja ia terlempar ke dalam jurang sebelah depan yang
sangat curam dan banyak batu-batu karang tajam bagaikan ujung golok terpancang
di bawah! Tapi dengan sekuat tenaga Sin Wan dan gadis itu saling berpegangan
dan Sin Wan seret gadis menggelinding di atas tanah menuju ke dinding batu
karang hingga mereka terbentur karang!
Pada saat
itu dari atas datang hujan yang menimpa badan dalam butir besar bagaikan peluru
saja hingga menerbitkan rasa sakit. Dan pada saat itu tampak cahaya kilat
gemerlapan di di atas kepala mereka. Dalam pandangan Sin Wan tampak kepala
sepasang naga itu dan menambar dan hendak menggigit mereka, maka sambil memekik
ngeri ia tarik tangan gadis itu loncat ke kanan.
Karena
keadaan sudah menjadi gelap gulita, maka Sin Wan tidak melihat bahwa di sebelah
kanan itu adalah jurang yang sangat gelap karena selalu tertutup awan hitam!
Tak dapat tercegah lagi tubuh kedua anak itu terpelanting ke bawah dan meluncur
bagaikan dua buah batu di lempar kedalam sumur!
Sin Wan buka
matanya dan ia dapatkan dirinya rebah terlentang di atas tumpukan pasir halus.
Mulutnya penuh pasir hingga ia segera bangun duduk dan menyemburkan pasir itu
dari mulut. Pada saat itu terlihatlah olehnya tubuh gadis itu berbaring miring.
Maka teringatlah ia akan peristiwa tadi. Ia tidak tahu bahwa telah beberapa
lama mereka pingsan.
Agaknya
Thian masih melindungi jiwa mereka karena secara kebetulan sekali mereka jatuh
menimpa tumpukan pasir lembut yang menahan tubuh mereka dan mencegahnya dari
kehancuran. Hanya bantingan yang keras dari kejatuhan itu membuat mereka
pingsan untuk beberapa lama.
Sin Wan
segera menghampiri gadis cilik yang masih pingsan itu. Ia melihat betapa jidat
gadis itu mengeluarkan sedikit darah dan terdapat sebuah luka kecil, Sin Wan
segera lepaskan ikat pinggangnya dan cepat balut kepala gadis itu agar darah
dari lukanya berhenti mengalir. Ia agak khawatir melihat betapa gadis itu rebah
tak bergerak dengan tubuh lemas, dan dengan bingung ia memandang
kesekelilingnya.
Ternyata
mereka terjatuh kedalam jurang yang lebar dan disitu terdapat batu-batu besar
dan air lumpur. Anehnya di tengah-tengah jurang itu terdapat tumpukan pasir
lemas yang telah menolong jiwa mereka! Sin Wan lalu menghampiri sebagian tanah
yang terdapat airnya lalu celupkan ujung bajunya disitu.
Setelah
direndam agak lama dan ujung baju itu menjadi cukup basah, ia lalu kembali
ketempat gadis itu berbaring dan peras ujung bajunya hingga airnya mengucur
membasahi muka anak perempuan itu. Dengan perlahan anak perempuan itu sadar
dari pingsannya.
Ia
gerak-gerakkan bibir dan pelupuk matanya. Karena duduk di dekat kepala gadis
cilik itu, Sin Wan dapat melihat betapa bulu mata yang panjang, hitam dan
lentik itu bergerak-gerak dan betapa kulit pelupuk mata yang halus itu terbuka
perlahan.
Pertama-tama
pandangan mata gadis itu bertemu dengan Sin Wan dan ia tersenyum karena segera
ia teringat kepada pemuda ini. Kemudian ia merasa betapa jidatnya agak sakit
maka dirabanya jidat itu. Pandang matanya berubah heran ketika jari-jari
tangannya menyentuh ikat pinggang membalut jidatnya.
“Kau terluka
sedikit dan aku membalutnya.” Ketika Sin Wan melihat betapa gadis itu
memandangnya dengan agak bingung, ia mengingatkan.
“Kita jatuh
ke dalam jurang, ingatkan?”
Maka teringatlah
gadis itu. Ia loncat bangun dan memandang ke atas dengan ketakutan. Sin Wan
juga memandang keatas. Ternyata mereka terjatuh dalam sekali hingga mereka tak
dapat melihat tebing jurang di atas, apalagi jurang itu tertutup oleh uap
semacam embun yang tebal dan tergenang di situ.
“Aneh
sekali, mengapa kita masih hidup?” anak gadis itu berkata perlahan.
Sin Wan
meraba pasir lemas di bawah kaki mereka. “Inilah yang menolong kita, kalau kita
terjatuh disitu, ah... ah…” Ia bergidik ketika memandang kepada lain bagian
dalam jurang itu yang penuh batu-batu hitam besar.
Gadis cilik
itupun bergidik ngeri. “Kau... kau siapakah? Siapa namamu?” tanyanya sambil
pandang wajah Sin Wan dengan sepasang matanya yang bening dan bagus, sedangkah
karena terjatuh tadi, maka kedua jambul di atas kepalanya menjadi kusut dan
rambut-rambut halus menutup sebagian mukanya.
“Aku she Bun
bernawa Sin Wan, dan kau siapakah?”
“Namaku Kui
Giok Ciu, aku tinggal bersama Ayah dilereng gunung Kam-Hong-San sebelah timur,
Ah, Ayah tentu mencari-cariku dan nanti tentu akan marah padaku.”
“Namamu
bagus sekali, Giok Ciu. Kau beruntung masih mempunyai Ayah. Ayahku telah
meninggal dan aku hanya tinggal bersama Ibu dan Kakekku di kampung
Lok-thian-kwan di kaki gunung. Kakekku juga tentu mencari aku karena aku pergi
tanpa pamit.”
“Bagaimana
kita bisa keluar dari sini? Sin Wan, kita harus keluar dari sini secepatnya,
aku... aku takut dan perutku lapar sekali.”
Sin Wan
tersenyum dan merasai kemenangan di dalam jurang ini. Ia sama sekali tidak
merasa takut sekarang. Mendengar bahwa kawannya itu merasa lapar, ia teringat
akan roti keringnya. Ia rogoh saku dan ternyata rotinya masih ada. Segera ia
keluarkan roti itu dan berikan kepada Giok Ciu. Gadis cilik ini tanpa
sungkan-sungkan lagi lalu terima roti itu dan terus saja menggigitnya.
“Ah, enak
juga rotimu,” kata Giok Ciu. Ketika melihat betapa pemuda itu melihatnya dengan
wajah ingin sekali, ia tertegun dan bertanya.
“Tidak ada
lagikah rotimu? Hanya ini?”
Sin Wan
menggeleng kepala. “Tidak ada lagi, tapi tidak apa, kau makanlah.”
“Ah, mana
bisa begitu. Ini, kau makanlah sepotong.” Gadis kecil itu lalu potong roti
kering di tangannya menjadi dua potong dan ia berikan yang sepotong kepada Sin
Wan.
“Makanlah
semua, Giok Ciu, aku tidak lapar,” jawab Sin Wan sambil geleng kepala.
Tapi Giok
Ciu tiba-tiba menjadi ngambul dan cemberut, lalu ia kembalikan dua potong roti
itu kepada Sin Wan.
“Kalau
begitu, aku juga tidak lapar. Mari, kau terima kembali rotimu!” katanya marah.
Sin Wan
tersenyum melihat ini dan terpaksa ia terima juga sepotong. Tapi tanpa
disengaja ia menerima potongan yang bekas digigit oleh Giok Ciu. Ketika Giok
Ciu gigit bagiannya sambil melihat kepada Sin Wan, gadis cilik itu melihat
betapa roti yang dipegang oleh Sin Wan terdapat bekas gigitannya maka cepat ia
berkata sebelum roti digigit Sin Wan.
“Eh tahan
dulu, jangan kau makan roti itu!”
Sin Wan
telah bawa roti itu kedekat mulut dan siap hendak menggigitnya. Maka ketika
mendengar seruan Giok Ciu, ia heran dan turunkan kembali rotinya.
“Ada
apakah?”
Wajah Giok
Ciu memerah hingga Sin Wan makin heran.
“Kemarikan
roti itu, itu adalah roti bagianku yang telah kugigit. Ini, kau harus makan
yang ini.”
Dengan cepat
Giok Ciu saut roti dari tangan Sin Wan dan berikan rotinya dari tangan Sin Wan
dan berikan rotinya sendiri kepada pemuda itu. Tapi pada saat itu dengan
terkejut ia melihat bahwa roti ke dua itupun telah digigitnya tadi! Maka ia
menjadi bingung dan berkata dengan mata terbelalak.
“Ah, itupun
sudah kugigit! Bagaimana baiknya, ah... eh…”
Melihat
kebingungan gadis itu, Sin Wan tersenyum sambil melihat bekas gigitan pada roti
ditangannya. “Giok Ciu kau aneh sekali! Kukira tadi ada apa maka kau tahan roti
yang hendak kumakan. Tidak tahunya hanya soal itu. Apakah salahnya kalau aku
makan roti bekas gigitanmu? Apakah gigitanmu berbahaya seperti ular berbisa?”
Makin
merahlah wajah Giok Ciu mendengar godaan ini. “Bukan begitu, tapi... tapi...
bekas mulutku... dan... kotor!”
Sin Wan
segera gigit rotinya dibagian bekas gigitan Giok Ciu lalu makan roti itu dengan
enak. Ia angguk-anggukkan kepala dan berkata,
“Ah, bekas
gigitanmu tidak berbisa, dan kulihat mulutmu tidak kotor, bahkan bersih dan
bagus. Mengapa adatmu seaneh-aneh ini? Makanlah.”
Mereka lalu
makan roti yang tidak berapa besar itu. Tentu saja mereka tidak kenyang.
Kemudian mereka merasa haus karena roti kering itu dimakannya seret sekali.
Mereka mencari air bersih dan temukan pancuran air kecil yang bening dan
mengucur dari ats sepanjang batu cadas. Setelah puas minum air, tiba-tiba Giok
Ciu menunjuk kedepan.
“Sin Wan,
lihat itu, ada gua!”
Benar saja,
tertutup oleh alang-alang yang rapat sekali, terdapat sebuah gua besar dan
gelap dalam jurang itu. Gua ini bukan hanya karena tertutup oleh alang-alang
maka tak tampak, tapi adalah karena gua itu gelap dan hitam sedangkan di dasar
jurang dimana kedua anak itu terjatuh terdapat cahaya matahari yang masuk dari
sebelah utara di mana tidak ada awan yang menghalang.
Jurang itu
sebenarnya adalah semacam lamping gunung, dan bukanlah merupakan jurang biasa,
maka di belakang masih terdapat tempat terbuka yang curam kebawah dan berbahaya
sekali. Sin Wan tidak melihat kemungkinan untuk keluar dari tempat itu melalui
jalan naik karena batu cadas yang merupakan dinding jurang itu licin sekali dan
tinggi luar biasa, juga tidak mungkin melepaskan diri dari kurungan itu melalui
bagian yang terbuka, karena bagian itu merupakan jurang lain yang lebih curam
lagi!
Ia mencoba
melongok kesana dan cepat-cepat tutup kedua matanya karena ngeri! Ternyata bawah
mereka berada di lereng gunung dan dari tempat terbuka yang dimasuki cahaya
matahari itu mereka dapat melihat dasar dibawah yang luas dan dalamnya puluhan
li!
“Sayang
tambang dan besi pengaitku tertinggal di sana ketika kita meloncati jurang
itu,” kata Sin Wan. "Sekarang terpaksa kita harus coba menyelidiki gua
itu.”
“Gua hitam
itu? Ah, aku takut, Sin Wan. Agaknya mengerikan sekali tempat itu.”
“Habis
apakah kita mau tinggal selamanya disini dan mati kelaparan? Kita harus berdaya
mencari jalan keluar!”
Terbangun
semangat Giok Ciu mendengar kata-kata ini. Mereka lalu saling berpegang tangan
untuk saling menahan kalau tergelincir, dan bersama-sama memasuki gua yang
gelap sekali itu. Sambil meraba-raba dengan kaki dan tangan mereka masuk. Gua
itu ternyata besar dan di bawahnya tidak basah, melainkan pasir belaka isinya.
Sin Wan dan
Giok Ciu berjalan terus setengah merayap karena khawatir kalau-kalau terjeblos
kedalam lubang. Setelah berjalan lama dan membelok lebih dari tujuh kali dalam
tikungan-tikungan yang tajam, tiba-tiba disebuah tikungan mereka dibikin silau
oleh cahaya yang dengan aneh sekali dapat memasuki guha itu!
Gua yang
merupakan terowongan panjang itu makin lama makin lebar, dan ketika tiba di
tempat yang terang, Giok Ciu dan Sin Wan cepat menuju ke ruang tersebut.
Ternyata bahwa rung itu merupakan sumur yang lebar dan besar dan cahaya masuk
dari atas. Tapi sayang, sumur itu terlalu dalam hingga tak mungking untuk
loncat naik, juga dindingnya dari karang-karang yang tajam dan tak mungkin
didaki. Kedua anak itu duduk melepaskan lelah dan saling pandang dengan putus
asa. Tapi Sin Wan tidak mau memperlihatkan kelemahannya, ia gigit bibirnya dan
berkata,
“Giok Ciu,
bukankah aneh sekali kejadian yang menimpa diri kita hari ini? Kau lihatkah
tadi dua ekor naga yang menyerang kita?”
Giok Ciu
pandang kawannya dengan heran. Ia takut kalau-kalau Sin Wan sudah berubah ingatan.
“Apa maksudmu? Dua naga yang mana?” Kini Sin Wan yang heran.
“Apa Kau
tidak melihat dua naga yang menyambar-nyambar kita dan memukul-mukul kita
dengan ekornya ketika kita berada di atas dan sebelum terjatuh ke dalam
jurang?”
Giok Ciu
geleng-geleng kepala. “Aku hanya melihat mendung tebal menghitam dan kilat
menyambar-nyambar, disertai suara geluduk yang mengerikan. Dimanakah ada naga?
Aku tidak melihatnya.”
Sin Wan
tundukkan kepalanya. “Apakah benar kata Kakeknya bahwa ia terlalu banyak
memikirkan dongeng naga itu hingga sering mimpi dan melamun sampai
bayangan-bayangan naga tampak di depan mata? Ah, tak mungkin. Dua naga yang
tadi jelas kelihatan olehnya!”
“Sin Wan,
jangan mengobrol yang tidak-tidak. Paling perlu, pikirkanlah bagaimana kita harus
keluar dari sini!”
Sin Wan
bangkit berdiri diikuti oleh Giok Ciu. “Hayo kita berjalan terus,” ajaknya.
Ketika
menyelidiki ruang itu, mereka melihat sesuatu yang menarik hati sekali. Tadi
hal itu tidak tampak oleh mereka, tapi kini setelah meneliti dengan baik, Sin
Wan dapatkan bahwa bentuk batu di dalam sumur ini mengherankan sekali. Ia
mundur sampai di dinding yang berhadapan dengan batu-batu di dinding itu, dan
hampir saja ia berseru kaget dan heran.
Giok Ciu
segera menghampiri kawannya dan ikut melihat. Juga gadis cilik itu terherannya
ketika lihat betapa batu-batu besar yang menonjol di dinding karang itu
bentuknya sedemikian rupa hingga merupakan kepala seekor naga! Sepasang batu
bulat merupakan mata, batu dibawah merupakan hidung dengan dua lubangnya, dan
bawa di bawah yang memanjang diserta batu-batu runcing merupakan mulut naga
yang sedang ternganga!
Dengan tabah
Sin Wan mendekati dinding berlukis kepala naga itu dan meraba-raba. Juga Giok
Ciu meraba-raba, dan gadis kecil ini berteriak kaget ketika ia meraba mata kiri
batu naga itu.
“Sin Wan!
Batu yang menduduki tempat mata ini dapat bergerak-gerak!”
Sin Wan
cepat meraba batu mata kanan dan ternyata batu itupun dapat bergerak-gerak.
Dengan berbareng Sin Wan dan Giok Ciu menekan-nekan kedua batu yang merupakan
mata naga itu. Ini sebetulnya terjadi kebetulan saja, tapi sungguh mengagetkan
mereka ketika tiba-tiba terdengar bunyi berkerotokan seperti barang yang sangat
berat bergerak pindah dan perlahan-lahan batu yang menempati mulut itu bergeser
dan terbuka!
Sin Wan dan
Giok Ciu loncat mundur dengan takut dan menunggu-nuggu kalau-kalau dari lubang
itu akan keluar makhluk yang dahsyat. Tapi ternyata setelah ditunggu-tunggu
dengan hati berdebar, tak tampak sesuatu keluar dari situ. Dalam kegelapan hati
mereka, kalau saja pada saat itu ada seekor tikus kecil keluar dari lubang itu
tentu keduanya akan terperanjat sekali!
“Giok Ciu
biarlah aku memasuki lubang ini untuk memeriksa. Kau tinggal saja disini.”
“Tidak, Sin
Wan. Aku tidak mau berada seorang diri disini. Kita terjerumus di tempat ini
berdua, maka sekarang maju harus berdua pula.”
“Giok Ciu
lubang ini terjadi karena kita berdua menggerakkan batu-batu yang membentuk
mata naga, maka tentu ini bukan hal kebetulan saja. Pasti lubang dan batu-batu
ini sengaja dibuat oleh orang, atau setidaknya oleh makhluk hidup. Maka kurasa
tentu ada apa-apa menanti dibalik lubang dan bukan tidak berbahaya. Kalau aku
saja yang masuk biarpun ada bahaya menimpa, hanya aku yang menghadapinya.
Biarpun sampai mati, tapi masih ada engkau. Lebih baik kurban hanya seorang
daripada kedua-duanya.”
Tak
tersangka ketika mendengar kata-kata ini, Giok Ciu marah sekali. Sepasang
matanya yang lebar memancarkan cahaya yang mengingatkan Sin Wan akan sepasang
mata naga yang dilihatnya didalam hujan ribut tadi pagi!
“Sin Wan,
kau anggap aku orang apakah? Aku bukan seorang pengecut, dan Ayahku ialah
seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang gagah perkasa dan dihormati orang! Kalau kau
tidak takut menghadapi bahaya, apa kau kira akupun takut mati? Pendeknya kau
pilih saja, kita masuk berdua atau kalau hanya seorang yang boleh masuk, kau
yang tinggal disini dan aku yang masuk sendiri!”
Sin Wan
pandang gadis cilik yang usianya sepantaran dia tapi sudah bersemangat gagah
ini dengan kagum. Maka iapun mengalah. Ia hendak masuk lebih dulu, tapi Giok
Ciu tetap hendak masuk berbareng. Karena lubang itu cukup besar, maka dengan
merangkak berdampingan mereka dapat juga menerobos masuk.
Tapi, dalam
keadaan masih merangkak bagaikan dua ekor binatang kaki empat, kedua anak itu
dengan mata terbelalak dan mulut ternganga serta wajah pucat memandang sambil
berdongak ke depan mereka, sedang tubuh mereka tak bergerak bagaikan berubah
menjadi patung!
Di depan
mereka tidak ada tiga tombak jauhnya, terdapat rangka dua ekor ular besar
sekali dengan tengkorak menghadap mereka dan mulut tengkorak ular itu terbuka
lebar seakan-akan hendak telan mereka! Sin Wan dapat tenteramkan goncangan
hatinya lebih dulu dan ia berkata,
“Ah, tidak
apa-apa Giok Ciu. Hanya rangka yang telah mati. Hayo berdirilah.”
Tapi biarpun
mulutnya berkata begini, ketika berdiri Sin Wan merasa heran karena kedua
kakinya agak menggigil! Giok Ciu berpegang kepada tangan Sin Wan yang diulurkan
dan gadis cilik itupun berdiri dengan wajah masih pucat. Mereka maju selangkah
demi selangkah ketempat di mana dua rangka ular itu berada.
“Aduh
besarnya!” Giok Ciu berbisik ketika mereka telah dekat dengan rangka itu.
Memang
rangka itu besar dan panjang dengan tubuh kedua ular saling belit.
“Jangan-jangan
masih ada ularnya yang hidup.” Giok Ciu berbisik kepada Sin Wan.
Tapi pemuda
kecil ini sedang pandang kedua tengkorak ular dengan penuh perhatian dan
tertarik. Bayangan dua ekor naga sakti bersisik putih dan hitam terbayang depan
matanya. Apakah ini rangka naga sakti itu? Demikian hatinya berbisik dengan
takjub. Melihat betapa Sin Wan berdiri bengong di depan tengkorak ular, Giok
Ciu segera betot tangan kawannya itu.
“Sin Wan,
hayo kita kesana. Lihat ada apa itu di sana?”
Sin Wan
memandang dan ternyata di bagian sebelah dalam terdapat semacam tetumbuhan yang
mengeluarkan bau harum. Mereka segera menghampiri tetumbuhan itu dan ternyata
daun tetumbuhan itu seperti daun anggur dan disitu terdapat enam butir buah
yang berwarna putih. Buah itu besarna sekepalan tangan dan macamnya seperti
apel, tapi baunya sangat harum...
BERSAMBUNGKE
JILID 02
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment