Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 02
Giok Ciu
yang merasa lapar sekali dan belum puas makan roti kering pemberian Sin Wan,
segera petik buah itu dan bawa ke mulutnya.
“Giok Ciu,
tahan dulu!” kata Sin Wan cepat.
“Ada apa?
Kalau kau mau, petiklah itu.” Jawab Giok Ciu.
“Buka
begitu, Giok Ciu. Buah ini kita tidak tahu apakah boleh dimakan atau tidak.
Bagaimana kalau mengandung racun?”
"Tapi
baunya enak sekali, kurasa tidak beracun,” jawab Giok Ciu. “Pula lebih mati
makan buah beracun daripada mati kelaparan.”
“Kalau
begitu, biarlah aku yang mencobanya dulu!” kata Sin Wan.
“Ah, kau ini
anak laki-laki memang hendak mencari enaknya sendiri saja! Apa-apa hendak
mendahului!”
“Kalau
begitu, biarlah kita makan bersama,” kata Sin Wan yang lalu petik sebuah lagi.
Mereka
berbareng gigit buah itu dan saling pandang heran. Ternyata buah itu manis dan
harum sekali, rasanya lezat dan segar. Karena hanya ada enam butir di situ,
maka masing-masing makan tiga. Dan betul-betul heran, setelah makan tiga butir
buah mereka merasa kenyang dan mengantuk sekali hingga hampir-hampir tak kuat
menahan pula. Bagaikan orang mabuk, Giok Ciu terhuyung-huyung dan hampir jatuh.
Sin Wan
berseru, “Celaka, kita makan buah beracun!” dan ia masih sempat peluk tubuh
kawannya yang hendak roboh.
Tapi
ternyata Giok Ciu telah tidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati dan
perlahan Sin Wan baringkan tubuh kawannya itu di atas tanah, sedangkan ia
sendiri yang sudah tak dapat menahan rasa kantuknya lagi, segera rebahkan diri
di atas tanah yang tertutup pasir itu. Sebentar saja ia mengorok karena
tertidur pulas!
Kedua anak
itu tidak merasa bahwa mereka terus tidur sampai sumur itu menjadi gelap karena
matahari telah terbenam. Semalam penuh lewat tanpa mereka ketahui sama sekali,
juga mereka tidak merasa betapa hawa dingin mengalir masuk dari lubang mulut
naga itu karena mereka telah tertidur lelap sekali.
Pada
keesokan harinya, ketika sinar matahari telah masuk ke dalam sumur, Giok Ciu
bangun lebih dulu. Gadis cilik ini merasa perutnya mulas dan sakit bagaikan
diremas-remas dari dalam hingga ia bangun duduk sambil pegang-pegang perutnya.
Ia merasa hendak buang air besar, maka ia bingung sekali dan tidak berani
bangunkan Sin Wan yang masih tidur enak, karena malu. Ia lari kesana kemari
mencari tempat untuk buang air, tapi sekelilingnya hanya dinding batu.
Sedangkan
perutnya terasa makin sakit dan terdengar suara berkeruyukan di dalam perutnya.
Peluh dingin memenuhi muka Giok Ciu yang menahan-nahan rasa sakit, dan akhirnya
ia tak kuat lagi. Dengan cepat ia loncat di sebelah kiri rangka kedua ular itu
dan cepat buka pakaiannya. Dan disudut situlah ia buang air besar yang banyak
sekali seakan-akan perutnya dikuras habis. Kotoran keluar dari perutnya tiada
hentinya hingga Giok Ciu hampir menangis karena malu.
Ah,
bagaimana kalau Sin Wan tahu? Ia tekap muka dengan kedua tangan dan tubuhnya
terasa lemas sekali karena benar-benar semua kotoran dalam perutnya terkuras
keluar! Tapi tiba-tiba Giok Ciu pasang telinga dan mendengarkan dengan teliti.
Ia mendengar suara Sin Wan mengeluh dan sebentar lagi ia mendengar suara orang
buang air di sebelah kanan rangka ular itu!
Hampir Giok
Ciu tak dapat menahan rasa gelinya karena ia maklum apa yang telah terjadi di
balik rangka yang menghalangi mereka itu! Ternyata Sin Wan juga telah sadar
dari tidurnya dan mengalami nasib yang sama seperti dia! Maka legalah hati Giok
Ciu. Kenapa mesti malu kalau pemuda itupun berhal seperti dia?
Karena perut
kedua anak itu dikuras bersih dan habis, dan di dalam ruangan itu tersiar bau
yang tidak sedap hingga keduanya merasa jengah dan malu. Masing-masing tidak
berani berdiri, biarpun buang air itu telah selesai dan tidak ada apa-apa lagi
di dalam perut mereka yang dapat keluar. Giok Ciu hanya mendengarkan saja dan
tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Juga suara rintihan Sin Wan sudah
lenyap dan ia tidak tahu apakah pemuda itu masih berada di balik rangka ular
atau tidak. Tak lama kemudian terdengar suara Sin Wan, dibalik rangka.
“Giok Ciu,
ternyata kita telah makan buah beracun hingga perut kita dikuras habis! Barusan
aku menuju ke tikungan sebelah kiri dan tak jauh dari situ jika kau berjalan
terus kau akan menemukan sebuah pancuran air. Tadi aku telah ke situ untuk cuci
badan dan cuci pakaian. Kau kesanalah, Giok Ciu!”
Giok Ciu
tidak menjawab, tapi diam-diam ia melangkah ke tikungan yang ditunjuk oleh Sin
Wan itu. Ketika memasuki tikungan, ia mengerling ke arah Sin Wan dan hatinya berterima
kasih sekali ketika melihat Sin Wan sengaja berdiri membelakangi tikungan itu
hingga tidak melihatnya. Biarpun tubuhnya lemas tidak bertenaga, Giok Ciu cepat
lari ke depan dan betul saja, tak jauh dari situ ia melihat air memancur keluar
dari sebuah batu yang terbelah. Ia cepat cuci tubuhnya dan bersihkan dir, maka
ia makan waktu yang agak lama.
Ketika
dengan badan lemas tapi hati lega ia pakai kembali pakaiannya dan pergi ke
ruang rangka ular itu, ia melihat betapa Sin Wan telah menggali lantai pasir di
situ dan telah pendam semua kotoran yang berada disitu, juga kotoran Giok Ciu!
Perbuatan Sin Wan ini tepat sekali karena dengan terpendamnya semua kotoraan
itu, maka bau busuk juga lenyap. Tapi Giok Ciu merasa malu sekali karena
kawannya itu dengan tak merasa jijik telah pendam kotorannya pula.
“Kenapa
tidak kau biarkan aku melakukan itu sendiri?” ia mencela dengan mulut
memberengut, tapi sepasang matanya memandang dengan berterima kasih.
“Ah, apa
bedanya Giok Ciu? Tak perlu hal seremeh itu dibicarakan. Yang penting sekarang
marilah kita pikirkan nasib kita. Ternyaa bahwa buah putih yang lezat itu
mengandung racun hingga is perut kita terkuras kosong! Bagaimana sekarang?
Masih baik kita tidak terracun mati, tapi dengan perut kosong dan lapar seperti
ini, kita dapat bertahan sampai kapan?”
“Baiknya
masih ada air dan kita boleh minum secukupnya,” kata Giok Ciu.
Sin Wan tak
sengaja memandang ke atas melihat semacam tetumbuhan di dinding sumur.
Tetumbuhan kecil itu juga berbuah dan buahnya berwarna merah dan kecil-kecil.
Sayang sekali tempat tetumbuhan itu sangat tinggi hingga tak mungkin ia
meloncat mengambilnya.
“Itu ada
buah merah, entah buah apa.” Kata Sin Wan dengan sedih.
Giok Ciu berdongak
dan juga melihat buah itu. Ia lalu enjot tubuhnya yang lemah ke atas. Dan Sin
Wan kagum sekali melihat betapa tubuh gadis cilik itu melakang ke atas dan
dapat memetik sekepal buah-buah kecil!
“Kau hebat
betul, Giok Ciu!” ia memuji, tapi Giok Ciu pandang ia dengan mata terbelalak.
“Sin Wan
sungguh aneh. Mengapa tubuhku menjadi begini ringan? Biasanya tak mungkin aku
dapat loncat setinggi dan semudah itu! Apa yang terjadi?”
Sin Wan
memang cerdik dan otaknya dapat bekerja cepat. Tentu ini adalah pengaruh buah
mujijat yang mereka makan itu. Kalau pengaruhnya menguasai tubuh Giok Ciu,
mengapa ia tidak? Sin Wan lalu berdiri di bawah tetumbuhan itu dan iapun enjot
tubuhnya. Sungguh heran! Hampir ia berteriak girang karena tubuhnya melayang ke
atas demikian cepat dan ringan hingga dengan mudah ia dapat ambil buah-buah
itu!
Kedua anak
itu girang sekali hingga mereka makan buah yang rasanya manis itu sambil
tertawa-tawa. Buah kecil merah itu ternyata berat sekali, tidak sesuai dengan
kecilnya. Rasanyapun sedap dan manis, dan baru makan beberapa butir saja mereka
telah merasa kenyang. Tentu saja kedua anak itu girang bukan main.
“Giok Ciu,
ini tentu pengaruh kesaktian kedua rangka ini yang menolong kita. Kedua macam
buah yang telah kita makan itu tentu buah dewa yang hanya terdapat di tempat
suci ini. Hayo kita menghaturkan terima kasih kepada dua rangka itu,” kata Sin
Wan.
Giok Ciu
menyetujui pendapat ini dan mereka berlutut di depan dua buah rangka ular itu
untuk menghaturkan terima kasih mereka. Setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh
mereka menjadi ringan sekali akibat khasiat yang mujijat dari buah-buah yang
mereka makan, dua orang ini lalu mencoba keluar lagi dari dasar sumur.
Setelah
beberapa kali mencoba, akhirnya keduanya berhasil meloncat ke luar dari sumur.
Ilmu ginkang mereka maju demikian pesatnya sehingga dalam melompat keluar ini,
tidak saja amat mudah, bahwa mereka masih berhasil menjambret sisa buah-buah
merah itu. Giok Ciu ternyata memiliki keringan dan kecepatan lebih hebat
sehingga dia berhasil memetik lebih banyak buah-buah merah mujijat.
Melihat
bahwa Sin Wan hanya mendapatkan tidak berapa banyak, Giok Ciu dengan rela lalu
membagi buah kepada Sin Wan sehingga mereka mendapat bagian jumlah yang sama.
Bukan main girang dan gembira hati dua orang anak ini. Mereka lalu berlumba
untuk mencoba ginkang mereka, berlari-lari saling kejar dan ternyata gerakan
mereka luar biasa pesatnya bagaikan dua ekor burung terbang saja. Tiba-tiba
keduanya berhenti berlari.
“Kau
mendengar sesuatu?” tanya Sin Wan.
Giok Ciu
mengangguk. Keduanya lebih memperhatikan dan terdengarlah oleh mereka suara
tiupan suling diselingi siulan-siulan aneh. Terkejutlah mereka karena
masing-masing mengenal baik suara itu. Sin Wan mengenal suling itu yang bukan
lain adalah tiupan suling Engkongnya, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dan kalau
Engkongnya meniup suling itu, berarti sedang mainkan ilmu silatnya untuk
melawan musuh berat. Sebaliknya, Giok Ciu juga mengenal siulan-siulan itu
adalah siulan pertempuran dari Ayahnya, Kwie Cu Ek.
Dua orang
anak ini tidak membuang waktu lagi, cepat mereka melesat pergi, berlari-lari
seperti terbang menuju ke arah suara itu. Sukar untuk mengikuti gerakan
bayangan mereka karena ginkang mereka yang betul-betul luar biasa itu. Ketika
keduanya tiba di sebuah jalan tikungan, mendadak mereka berhenti dan berdiri di
situ dengan bengong, keduanya tampak khawatir sekali melihat pertempuran antara
dua orang yang bagi orang lain tentu dianggap main-main. Tapi Sin Wan dan Giok
Cu maklum bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu berada dalam kedudukan
berbahaya dan keduanya sedang keluarkan ilmu mereka yang tertinggi!
Yang seorang
adalah Kang Lam Ciu hiap Kakek yang lihai dari Sin Wan. Kakek itu bertempur
sambil pegang sebatang suling dan tiup-tiup suling itu dalam lagu yang tak
keruan dan membuat sakit anak telinga! Ia bersilat dengan tenang dan gerak kaki
yang teguh sekali sedangkan kedua tangannya memegang sulingnya yang ditiup-tiup
hanya kadang-kadang. Ia angkat tangan kanan dan kiri untuk menangkis atau menyerang.
Dengan cara demikian gerakannya tak terduga lawannya.
Lawannya
juga mempunyai cara bertempur yang aneh. Ia adalah seorang laki-laki berusia
kurang lebih empat puluh tahun dan gerak-geriknya gesit sekali. Ia bersilat
bagaikan gerakan seekor burung, kedua lengannya terpentang bagaikan sayap dan
kakinya berloncat-loncatan keatas, kadang-kadang tinggi sekali dan turunnya
langsung menerjang lawannya. Mulutnya dimoncongkan dan dari bibirnya keluarlah
siulan-siulan aneh dan nyaring, dan dalam hal menyakiti anak telinga, siulan
itu tidak kalah oleh suara suling! Laki-laki ini bukan lain ialah Kwie Cu Ek
Ayah Giok Ciu, seorang tokoh Kun-Lun-pai yang sangat terkenal dan digelari
orang Hui-Houw atau Macan terbang.
Bagaimana
kedua orang gagah itu dapat terlibat pertempuran mati-matian ini? Sebenarnya
ini hanyalah suatu kesalah-pahaman yang timbul dari hati bingung karena
masing-masing telah sehari semalam berkeliaran di seluruh permukaan bukit
Kam-Hong-San, yang seorang mencari cucunya yang seorang mencari anaknya!
Ketika Kang
Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, empek yang lihai itu sedang mencari-cari cucunya
dengan hati cemas dan bingung karena telah sehari semalam ia mencari dengan
sia-sia, ia mulai berteriak-teriak memanggil nama Sin Wan. Karena ia gunakan
tenaga Tian-tan yang dikerahkan ke dalam suaranya, maka suara itu dapat
terdengar oleh Kwie Cu Ek yang memang semenjak kemarin telah meencari sambil
memanggil-manggil.
Karena jarak
mereka tadinya sangat jauh, seorang di lereng sebelah timur dan yang seorang laagi
di sebelah barat, maka tadinya suara mereka tidak terdengar. Tapi kini mereka
telah saling mendekati hingga Kwie Cu Ek mendengar juga teriakan Bun Gwat Kong.
Cu Ek sendiri telah berteriak-teriak memanggil nama anaknya sehingga Bun Gwat
Kong mendengar pula suaranya.
Setelah
saling mendengar suara masing-masing, maka kedua orang tua itu timbul harapan
baru dan cepat menuju ke suara yang mereka dengar. Tapi alangkah kecewa hati
mereka ketika mereka saling bertemu di sebuah lereng gunung dan melihat bahwa
yang muncul hanyalah seorang asing. Timbullah hati curiga di kedua belah pihak.
Kang Lam
Ciuhiap yang beradat keras segera mendakwa Kwie Cu Ek menculik cucunya,
sebaliknya Kwie Cu Ek melihat seorang Kakek yang aneh dan berada keras itu,
memakinya sebagai siluman gunung yang mencuri anaknya. Tak dapat dicegah pula
keduanya lalu bertarung!
Baru
segebrakan saja, terkejutlah kedua fihak karena ternyata masing-masing memiliki
kepandaian silat tinggi dan merupakan lawan yang berat. Namun karena hati
mereka telah nekad dan terdorong oleh rasa duka dan bingung kehilangan
anak-anak yang dikasihi, mereka tidak mau saling mengalah.
Setelah
bertempur ratusan jurus dengan keadaan masih seimbang, tiba-tiba Kang Lam
Ciuhiap cabut keluar sulingnya dari ikat pinggang. Ia memang memiliki dua macam
kepandaian hebat, yakni yang pertama, ia pandai gunakan arak untuk disemburkan
dengan kekuatan lweekang sepenuhnya hingga arak biasa itu dapt menjadi senjata
yang ampuh, karena lawan yang kena sembur mukanya jika tidak cepat berkeliat
bisa menjadi buta matanya.
Kelihaiannya
yang kedua juga berdasarkan ilmu lweekang yang dalam dan terlatih sempurna,
jika sambil bertempur ia tiup sulingnya dengan suara demikian nyaring dan
tinggi rendah tak karuan hingga tidak saja dapat membingungkan dan menyakiti
hati dan telinga lawan, juga bisa membuat jantung berdebar-debar dan melemahkan
lawannya! Gerakan bersilat sambil meniup suling juga menjadi lambat dan kokoh
kuat, namun semua gerakan disertai tenaga lweekang yang hebat!
Melihat kehebatan
lawannya dan merasa betapa isi perutnya bagaikan diaduk dan jantungnya bagaikan
ditusuk-tusuk pisau tajam ketika mendengar suara tiupan suling, Kwie Cu Ek
merasa terkejut sekali, maka iapun buru-buru mengeluarkan kepandaian
simpanannya. Dengan mengatur napasnya menjadi panjang dan lama ia kerahkan
lweekang dan ginkangnya lalu mainkan silat Rajawali Sakti.
Yakni ilmu
pukulan rahasia yang telah dipelajarinya bertahun-tahun dan merupakan
kepandaian simpanan yang membuat ia tak terkalahkan sampai berpuluh-puluh tahun
lamanya menjagoi di dunia kang-ouw. Tubuhnya berubah ringan sekali dan
berloncatan bagaikan seekor rajawali menyambar-nyambar dari segala jurusan,
sedangkan dari mulutnya keluar siulan-siulan tajam mengiris jantung untuk
mengimbangi suara suling lawannya.
Demikianlah,
yang seorang bergerak lambat-lambatan tapi kokoh-kuat sedangkan yang seorang
lagi bergerak cepat dan lincah sekali hingga merupakan tandingan yang jarang
terdapat, tapi keadaan mereka tetap seimbang. Sin Wan dan Giok Ciu yang berdiri
berdampingan sambil melihat pertempuran itu, merasa kagum berbareng khawatir
kalau-kalau seorang di antara keduanya terluka. Oleh karena itu maka keduanya
lalu berseru,
“Hai! Jangan
bertempur, kami berada disini!”
Mendengar
teriakan kedua anak itu, Kang Lam Ciuhiap dan si Macan terbang kenali cucunya
dan anaknya masing-masing, maka dengan heran sekali mereka loncat mundur lalu
memandang. Diam-diam kedua orang tua kosen ini merasa terkejut sekali.
Bagaimana mereka berdua sampai tidak mendengar kedatangan kedua anak itu?
Padahal,
biarpun mereka sedang bertempur mati-matian, mereka pasti akan dapat mendengar
jika ada orang lain datang di dekat situ. Untuk ini telinga mereka sudah cukup
terlatih. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa kedua anak itu telah memiliki ilmu
ginkang yang berlipat ganda kehebatannya dengan kepandaian mereka sebelum
mengalami hal-hal yang berbahaya itu.
“Ayah!”
“Ngkong!”
Kedua anak
itu lari ke masing-masing orang tuanya dengan gerakan demikian cepatnya hingga
membuat Bun Gwat Kong dan Kwie Cu Ek melenggong!
“Eh, eh,
anak nakal. Kau datang dari mana?”
kedua orang
tua itu berbareng tegur mereka. Maka ramailah keduanya menceritakan pengalaman
mereka kepada masing-masing orang tua itu yang mendengarkan dengan mulut
ternganga keheranan. Setelah kedua anak itu habis bercerita, Kang Lam Ciuhiap
Bun Gwat Kong lalu menghampiri Kwie Cu Ek dan berkata sambil tertawa dan
elus-elus jenggotnya.
“Sungguh
lucu, kita orang-orang tua saling sibuk gebuk seperti kerbau gila, sedangkan
kedua anak yang kita cari tahu-tahu selamat tidak apa-apa, bahkan mendapat
untung besar.”
Kwie Cu Ek
juga tertawa besar. “Kau orang tua sungguh lihay sekali membuat aku yang muda
tunduk. Bolehkan kiranya aku ketahui nama besarmu?”
“Ha ha ha!
Mana aku tua bangka dapat dibandingkan dengan kau yang gagah? Aku sudah lama
tinggalkan dunia kang-ouw dan tenaga makin habis tubuh juga makin tua dan
bobrok. Namaku Bun Gwat Kong, dan siapakah kau yang selihai ini?”
Terkejutlah
Kwi Cu Ek mendengar nama ini, ia lalu tertawa girang dan menjura tanda hormat.
“Ah, ah, sungguh benar kata orang. Kalau sengaja dicari-cari, sampai di ujung
dunia juga tidak bertemu, kalau tidak disengaja, tiba-tiba saja berhadapan
dengan Kang Lam Ciuhiap yang terkenal. Sungguh beruntung! Telah bertahun-tahun
aku mendengar nama Kang Lam Ciuhiap yang besar dan hari ini aku Kwie Cu Ek
telah membuktikan sendiri kebenaran nama besar itu!”
“Apa? Jadi
kau ini Kwie Cu Ek si Harimau Terbang?” berkata Bun Gwat Kong dengan heran.
“Pantas saja kau lihai sekali dan masih untung tubuhku tidak terbinasa dalam
tanganmu. Tapi yang mengherankan sekali, kenapa kau juga berada disini? Apakah
kau juga tinggal di atas gunung ini?”
Kwie Cu Ek
menghela napas duka. “Dunia sudah berubah banyak semenjak kau pergi. Dulu aku
mendengar tentang malapetaka yang menimpa diri putera mantumu dan aku tahu pula
bahwa yang membunuh para pembesar anjing itu adalah kau orang tua. Tapi, memang
nasib rakyat jelata yang buruk! Kata orang Kaisar adalah manusia pilihan Thian,
tapi agaknya kali ini Thian telah salah memilih orang yang menjadi Kaisar! Raja
lalim itu hanya tahu berpelesir dan bersenang-senang saja hingga ia tidak tahu
sama sekali keadaan rakyatnya yang tertindas. Tidak tahu bahwa para dorna dan
pembesar anjing memegang kekuasaan penuh di seluruh negeri. Rakyat yang sudah
tertindas, makin menderita lagi dengan turunnya wabah penyakit bermacam-macam
dan bencana alam berupa banjir besar yang menghabiskan jiwa dan harta.
Keluargaku juga terkena bencana ketika kampung kami terserang wabah penyakit,
hingga isteriku, Ibu anakku Giok Ciu ini meninggal dunia.”
Sampai
disini Kwie Cu Ek berhenti dan tampak berduka. Giok Ciu yang mendengar bicara
Ayahnya disamping dan melihat Ayahnya bersedih, lalu menubruk orang tua itu.
Kang Lam Ciuhiap menghela napas dan diam-diam ia merasa kasih kepada si Harimau
Terbang yang biarpun usianya baru empat puluh tahun, tapi sebagian besar rambut
kepalanya telah putih. Tapi hanya sebentar saja Kwie Cu Ek berduka, karena ia
segera tindas perasaannya yang tertekan dan sambil memandang Sin Wan ia
berkata,
“Anak ini
cucumu, bukan? Hm, ia baik juga, tidak mengecewakan menjadi cucu Kang Lam
Ciuhiap!” demikian ia memuji sejujurnya.
“Anakmu juga
berbakat baik,” si Kakek memuji juga.
Tiba-tiba
Kwie Cu Ek bangun berdiri. “Setelah kau tersesat sampai disini, kau harus
mampir di tempat tinggalku. Tidak jauh dari sini, tuh di atas bukit sebelah
timur itu!”
“Baik, baik.
Kita memang tetangga dekat dan sudah sepantasnya saling mengunjungi.” Jawab Bun
Gwat Kong gembira.
“Giok Ciu,
kau ajak temanmu itu pergi dulu dan di rumah kau boleh sediakan makan seadanya
untuk tamu-tamu kita!” kata si Harimau Terbang kepada anaknya.
“Baik, Ayah,”
jawab Giok Ciu yang lalu berpaling kepada Sin Wan dan berkata, “Hayo, Sin Wan,
kita berlumba kerumahku!”
Sin Wan
tersenym gembira dan kedua anak itu segera loncat dan lari cepat sekali ke arah
bukit yang di tunjuk oleh Kwie Cu Ek tadi. Kwie Cu Ek tertawa gembira melihat
tingkah anaknya dan ia berkata kepada Kang Lam Ciuhiap.
“Mereka
dapat bergaul rapat sekali!”
Tiba-tiba
kedua mata Kakek itu bersinar gembira dan wajahnya berseri. “Eh Kwie Enghiong
bagaimana kalau mereka itu dijodohkan saja? Kalau kau tidak mencela Sin Wan dan
tidak keberatan mempunyai mantu sebodoh ia, sekarang juga kulamar anakmu itu
untuk Sin Wan!”
Kwie Cu Ek
terperanjat dan pandang muka Kakek itu dengan heran. “Aah, Ciuhiap mengapa
begini aneh? Anakku baru berusia sepuluh tahun dan cucumu itupun paling banyak
baru...”
“Ia juga
sepuluh tahun lebih, hampir sebelas...” Kakek itu memotong.
“Nah, mereka
itu keduanya masih kanak-kanak, tidak pantas dikawinkan!”
Maka
tertawalah Kang Lam Ciuhiap dengan keras, “Bukan kawin sekarang, maksudku kita
ikat mereka dengan tali pertunangan. Mereka itu kulihat berjodoh.”
Keduanya
saling pandang agak lama, agaknya untuk menyelami hati dan pikiran
masing-masing, kemudian Kwie Cu Ek maju pegang lengan Kakek itu sambil berkata
gembira,
“Baik, orang
tua, aku percaya penuh kepadamu. Kau orang jujur. Eh, siapa nama cucumu itu?”
“Bun Sin
Wan.”
“Nah,
biarlah, mulai saat ini Kwie Giok Ciu anakku itu menjadi calon isteri atau
tunangan Bun Sin Wan, cucu Kang Lam Ciuhiap.”
“Ha ha ha!
bagus, bagus! Kalau kau perlu tahu, dapat juga aku ceritakan tentang almarhum
Ayahnya, mantuku itu.”
“Ah,
siapakah yang tidak kenal Bun taijin? Mantumu adalah pembesar yang adil dan
jujur, kalau tidak demikian sifatnya, mana dia bisa dihukum mati oleh Kaisar lalim?”
“Kau pintar,
sungguh Sin Wan boleh bangga mempunyai mertua seperti kau ini!”
Sekali lagi
empek gagah itu tertawa senang. “Nah, hayo kita susul mereka. Kita harus
rayakan ikatan ini dengan arak wangi. Kebetulan sekali aku mempunyai simpanan
arak dari Hunlim yang telah puluhan tahun umurnya"
Wajah Kang
Lam Ciuhiap tiba-tiba berseri. “Apa kau kata? Arak wangi dari Hunlim? Aah,
bagus sekali. Hayo kita pergi, mau tunggu apa lagi?”
Maka
keduanya menggunakan ilmu lari cepat menyusul kedua anak yang telah pergi lebih
dulu itu.
“Eh, Kwi
Enghiong, tahukah kau bahwa kedua anak kita kelak akan menjadi
pendekar-pendekar yang tiada taranya di muka bumi ini?”
“Akupun
sedang berpikir dan tak habis mengerti, Lo-Ciuhiap,” kata Kwie Cu Ek sambil
berlari cepat di samping Kakek itu. “Kedua anak itu belum lama mendahului kita,
tapi sampai sekarang belum juga kita bisa mengejar mereka. Sungguh ajaib
sekali, buah apakah gerangan yang demikian mujijat dan menambah tenaga mereka
berlipat ganda?”
“Itulah
kurnia Thian Yang Maha Esa, Kwie Enghiong. Dan tepat sekali kalau kukatakan
tadi bahwa mereka memang berjodoh satu kepada yang lain,” kata si empek gagah.
Biarpun
mereka percepat lari mereka, ternyata ketika mereka tiba di depan pondok kayu
tempat tinggal Macan Terbang, kedua anak itu telah tisa disitu dan Giok Ciu
sedang sibuk mencabuti bulu ayam dan Sin Wan sibuk mengumpulkan kayu kering.
Ternyata menghadapi Giok Ciu yang tentu saja lebih pandai masak dari padanya,
Sin Wan tunduk dan taat akan segala perintah Giok Ciu ketika ia menawarkan diri
untuk membantunya.
“Kami
mempunyai beberapa belas ekor ayam,” kata gadis kecil itu dengan gembira, “Ayah
dulu membeli beberapa ekor induk ayam dan kini telah menjadi belasan ekor.”
Kemudian
Giok Ciu tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk dan suruh Sin Wan memotongnya.
Dengan cekatan gadis yang sejak masih kecil telah ditinggal Ibunya dan pandai
masak karena terpaksa itu, memotong-motong daging ayam dan memasaknya, dibantu
oleh Sin Wan, sedangkan Kang Lam Ciuhiap dan Hui-Houw Kwie Cu Ek bercakap-cakap
dengan gembira di luar pondok yang kecil itu.
Kang Lam
Ciuhiap memuji Kwie Cu Ek yang dikatakan pandai memilih tempat. Memang tempat
di situ indah sekali pemandangannya, lagipula nyaman hawanya. Dibanding dengan
lereng-lereng lain di gunung itu tempat ini yang terindah dengan puncak
Kam-Hong-An yang tinggi menjulang di atasnya merupakan atap tertutup awan. Kwie
Cu Ek semenjak ditinggal mati isterinya, telah lima tahun tinggal di situ dengan
anaknya, dan agar Giok Ciu tidak terasing sama sekali dari pergaulan manusia,
ia seringkali ajak anak gadisnya turun gunung di kaki gunung.
Setelah Giok
Ciu agak besar dan memiliki kepandaian hingga tidak berbahaya baginya untuk
turun gunung seorang diri, seringkali anak perempuan ini mengunjungi
kampung-kampung itu dan bermain-main. Karena ini maka Giok Ciu tidak merasa
sangat kesunyian.
Setelah
masakan siap, mereka berempat lalu makan dengan gembira, dan tuan rumah serta
anak perempuannya kagum melihat betapa Kang Lam Ciuhiap minum arak bagaikan
minum air tawar saja!
“Arak baik,
arak baik!” berkali-kali Kakek itu memuji tiap habis minum semangkuk besar.
Kwie Cu Ek
walaupun seorang peminum yang kuat juga, namun tiap kali minum ia hanya dapat
tuang semangkuk kecil kedalam perutnya, karena arak yang mereka minum itu
adalah arak tua yang sangat keras. Sebentar saja, habislah arak wangi seguci
besar dan Kakek Bun Gwat Kong itu elus-elus perutnya dengan puas sekali.
“Engkong ini
sungguh kuat sekali minum arak!” Berkata Giok Ciu yang ikut-ikutan menyebut
Engkong atau Kakek kepada Kang Lam Ciuhiap, meniru Sin Wan.
Mendengar
dirinya disebut Kakek, Bun Gwat Kong girang sekali. “Bagus Giok Ciu, memang kau
selayaknya menyebut Engkong padaku.”
Lalu ia
tertawa bergelak-gelak hingga semua orang ikut tertawa, sedangkan Sin Wan
diam-diam agak heran karena tidak pernah ia melihat Kakeknya segembira itu.
“Giok Ciu,
kau tidak tahu, Kakek ini adalah Kang Lam Ciuhiap si Pendekar Arak dari Kang
Lam. Ia tidak hanya kuat minum, tapi arak di dalam mulutnya dapat dipakai
membunuh seekor kerbau besar!”
“Hebat
sekali!” kata Giok Ciu ambil leletkan lidahnya, “Kong-kong, perlihatkan ilmu
kepandaianmu menyembur dengan arak itu!”
Melihat
kegembiraan Giok Ciu, maka empek itu menengok kesana-sini mencari sasaran,
kemudian sambil tersenyum dan elus-elus jenggotnya ia berkata kepada Kwie Cu
Ek,
“Kwie
Enghiong, bolehkah aku bereskan tiang di atas itu?”
Tuan rumah
mengangguk dengan tersenyum juga. Kang Lam Ciuhiap lalu tuang sedikit arak yang
masih tertinggal di dalam mangkok, dan setelah mengejapkan sebelah matanya
kepada Giok Ciu dengan cara yang lucu hingga anak perempuan itu tertawa geli,
si empek lalu semburkan arak dari mulutnya, Giok Ciu melihat sinar
keputih-putihan tersembur keluar dari mulut orang tua itu bagaikan seekor ular
meluncur ke atas dan menyambar tian melintang yang agak kelebihan menumpang di
tiang besar dan agaknya dulu lupa dipotong oleh Kwie Cu Ek ketika ia membangun
pondok itu. Sinar putih itu melanggar ujung kayu sebesar lengan itu dan,
“Krakk!”
ujung itu patah dan jatuh ke bawah!
Kwie Cu Ek
memuji, “Bagus sekali, Lo-Ciuhiap! Kau benar-benar patut di sebut ciuhiap,
bahkan bagiku kau pantas disebut ciusian karena kau benar-benar dewa arak!”
Juga Sin Wan
dan Giok Ciu bertepuk tangan memuji.
“Kong-kong!”
kata Giok Ciu lagi, sedangkan matanya yang bagus memandang Kakek itu seperti
seorang anak yang meminta sesuatu.
“Apa lagi?”
Kakek itu bertanya.
“Itu...
suling yang kau selipkan di pinggang itu! Tadi kudengar kau tiup sulingmu
ketika kau bertempur melawan Ayah, tapi lagunya buruk sekali hingga telingaku
tak sedap mendengarnya! Apakah kau bisa mainkan lagu yang enak didengar? Aku
suka sekali mendengar suling!” Giok Ciu menunjuk ke arah pinggang Kakek itu
dimana tampak ujung suling tersembul keluar.
“Giok Ciu,
jangan kau main-main dengan tiupan Kakekmu! Kalau aku tadi tidak kerahkan
seluruh tenaga dan barengi keluarkan siulan untuk menahan pengaruh tiupan
suling, aku sudah dirobohkan oleh daya tiupan suling itu! Jangan kau pandang
rendah tiupan tadi karena itu adalah sesuatu ilmu yang mujijat dan dapat mematahkan
lawan dan melemahkan semangat serta membuat lawan bingung hingga gerak-geriknya
menjadi kacau!”
Giok Ciu
leletkan lidah, satu kebiasaan darinya untuk menyatakan kekaguman atau
keheranan. “Kalau begitu, jangan kau mainkan lagi lagu yang buruk tadi, Kong-kong!
Coba mainkan saja lagu merdu yang dapat menghibur kita!”
Kang Lam
Ciuhiap sedang gembira, maka mendengar permintaan Giok Ciu ini, ia cabut
sulingnya dan pandang Kwie Cu Ek dengan tak berdaya. Ia angkat pundaknya dan
berkata,
“Anakmu
memang benar, Kwie Enghiong, aku hanya dapat tiup lagu-lagu buruk yang tak
sedap didengar. Sebenarnya tadi aku hanya tiup suling untuk menghibur-hibur
hatiku yang bingung tak karuan karena serangan-seranganmu yang hebat!” Lau
sambil ulur tangan dan elus-elus rambut di kepala Giok Ciu, Kakek itu berkata,
“Kau ingin
mendengar lagu merdu? Nah, kau mintalah Sin Wan untuk meniup suling ini. Selain
dia tidak ada yang bisa meniup lagu merdu!”
Sin Wan
mendengar pujian ini, mukanya berubah merah karena jengah di puji Kakeknya di
depan Giok Ciu dan Ayahnya. Sebaliknya, Giok Ciu menjadi girang sekali. Ia
ambil suling itu dari tangan Bun Gwat Kong dan geser duduknya mendekati Sin
sambil angsurkan suling kecil itu.
“Sin Wan,
kau mainlah barang satu dua lagu untuk kami!” Berkata demikian, gadis itu
pandang wajah Sin Wan dengan senyum menarik.
Sin Wan tak
dapat menolak lagi, karena Kwie Cu Ek juga berkata bahwa iapun ingin sekali
mendengar tiupan suling anak itu. Dengan tenang ia ambil suling itu lalu atur jari-jari
tangannya diatas lubang-lubang kecil di batang suling, tempelkan peniup di
bibirnya dan dengan mata setengah terkatup meniup suling itu. Mula-mula
terdengar bunyi lengking yang rendah dan bening serta disertai getaran halus
merdu, kemudian lengking rendah itu makin meninggi dengan perlahan dan mulailah
terdengar nyanyian suara suling yang merdu, indah dan menggetarkan kalbu.
Giok Ciu dan
Kwie Cu Ek tadinya hanya kagum karena pandainya Sin Wan meniup suara yang
meninggi rendah, tapi tak lama kemudian kedua Ayah dan anak itu duduk bengong
dengan bibir setengah terbuka dan mata tak pernah berkejab menatap wajah Sin
Wan. Mereka merasa sekan-akan dibawa melayang naik oleh gelombang ombak yang
mengalun tinggi di angkasa dan dibawa ke alam mimpi yang halus dan menakjubkan.
Mula-mula
suara suling terdengar gagah dan riang membuat Giok Ciu merasa dadanya berdebar
dan wajahnya panas, tapi ketika suara itu makin lama makin lambat dan rendah,
ia merasa terharu sekali, ketika ia berpaling kepada Ayahnya dengan perlahan,
ia melihat betapa dari kedua mata Ayahnya itu mengalir air mata!
Nyata sekali
bahwa suara suling itu telah mempesona dan menimbulkan keharuan hebat di
sanubari Kwie Cu Ek hingga pendekar gagah ini teringat akan isterinya dan
membuatnya tak dapat menahan kesedihannya. Melihat keadaan Ayahnya sedemikian
itu, Giok Ciu berteriak kepada Sin Wan.
“Sin Wan,
cukup! Simpan sulingmu!” dan anak perempuan itu menubruk Ayahnya dan menangis
di atas pangkuan orang tua itu!
Sin Wan
tunda sulingnya dan buka kedua matanya yang tadi hampir tertutup sama sekali,
lalu memandang heran. Kwie Cu Ek duduk bengong dengan wajah pucat dan pendekar
ini menghela napas berulang-ulang.
“Bukan main!
Suara sulingmu sungguh luar biasa, Sin Wan! Lebih hebat dan kuat daripada
tiupan Kakekmu, bukankah demikian. Lo-Ciuhiap?”
Kang Lam
Ciuhiap yang tadipun duduk sambil tunduk karena terpengaruh tiupan suling
cucunya, mengangguk-angguk membenarkan.
“Memang
hebat lagu itu, entah bagaimana Sin Wan dapat menciptakan lagu sehebat itu.”
Mendengar
ini tiba-tiba Giok Ciu menunda tangisnya dan dengan senyum girang, ia berkata
kepada Sin Wan, “Jadi kau sendirikah yang mencipta lagu tadi?”
Kang Lam
Ciuhiap dan Sin Wan kini merasa heran sekali melihat sifat Giok Ciu. Baru saja
manis menangis sesunggukan, tiba-tiba bisa tersenyum manis. Alangkah ganjilnya!
Sin Wan hanya mengangguk sebagai jawab atas pertanyaan Giok Ciu padanya itu.
“Ah, pandai
sekali kau! Bagaimana kau bisa mencipta lagu sehebat ini?”
“Sederhana
saja,” kata Sin Wan merendah. “Pada suatu hari ketika aku sedang menggembala
kerbauku dan duduk di punggung kerbau yang sedang makan rumput di pinggir anak
sungai di pagi hari, aku mendengar suara air sungai berpercikan memukul batu
mengeluarkan suara seperti sedang berdendang. Dan di atas pohon terdengar
burung-burung berkicau girang, diseling bunyi kerbau-kerbauku menguak senang.
Tiba-tiba, entah mengapa, seekor monyet kecil yang tadinya bergetungan di dada
induknya, terlepas jatuh ke tengah sungai riak menangis, mencicit-cicit
menimbulkan suara mengharukan. Nah, ketika itu aku telah keluarkan sulingku dan
entah bagaimana, tiba-tiba dapat melagukan nyanyian itu yang kusesuaikan dengan
pendengaranku akan keadaan di sekeliling pada saat itu. Dan semenjak itu, aku
suka sekali meniup lagu ini.”
“Memang
indah!” Giok Ciu memuji kagum. “Aku harus bersihkan mangkuk-mangkuk ini dan
mencucinya di belakang,” katanya kemudian.
“Mari
kubantu,” kata Sin Wan yang lalu ikut mengangkat mangkuk-mangkuk yang telah
kosong untuk dicuci di belakang rumah.
Sementara
itu, dengan bangga dan suara berbisik, Kang Lam Ciuhiap berkata kepada tuan
rumah. “Bukankah mereka itu rukun sekali? Mereka sudah berjodoh!”
Kwie Cu Ek
mengangguk-angguk senang, lalu ia minta diri dari tamunya untuk masuk ke kamar
sebentar. Ketika keluar lagi, ia membawa sepasang sepatu kecil dan serahkan
benda itu kepada Kang Lam Ciuhiap.
“Kami
orang-orang miskin tidak punya apa-apa untuk tanda pengikat perjodohan anakku.
Nah, ini sepasang sepatu sulam adalah sepatu Giok Ciu ketika ia berusia
setahun. Sepatu ini tadinya kami simpan sebagai barang keramat karena ini
adalah buah tangan Ibunya!”
Kang Lam
Ciuhiap terima sepasang sepatu kecil itu dan masukkan benda itu kedalam saku
bajunya yang lebar. Kemudian ia ambil suling yang tadi ditiup Sin Wan dan
berikan barang itu kepada Kwie Cu Ek sambil berkata,
“Dan suling
ini kubuat ketika Sin Wan masih kecil dan baru bisa merangkak. Maksudku hanya
untuk barang mainan, tapi ternyata sampai besar Sin Wan suka sekali
bermain-main dengan suling ini. Nah, biarlah barang ini menjadi tanda mata dan
tanda pengikat perjodohannya dengan putrimu!” Kwie Cu Ek terima suling itu
dengan girang dan cepat menyimpannya ke dalam kamar, lalu keluar lagi dan
bercakap-cakap.
Sementara
itu, Sin Wan dan Giok Ciu muncul dari belakang karena pekerjaan mereka telah
selesai. Bun Gwat Kong lalu berpamit kepada tuan rumah dan ajak Sin Wan pulang,
karena Ibu Sin Wan tentu mengharap-harap kembalinya yang telah dua hari pergi
itu. Setelah saling memberi hormat, Kakek dan cucu itu gunakan ilmu lari cepat
tinggalkan tempat itu dan beberapa kali Sin Wan menengok dan melambaikan tangan
ke arah Giok Ciu sampai bayangan Sin Wan lenyap di satu tikungan jalan.
Alangkah terkejutnya hati Sin Wan dan Gwat Kong ketika mereka tiba di rumah,
karena Ibu Sin Wan ternyata jatuh sakit dan muntahkan darah!
Sin Wan
tubruk Ibunya sambil menangis sedih Nyonya muda yang banyak menderita ternyata
tak dapat menindas tekanan dan kekhawatiran hatinya ketika dua hari Sin Wan
tidak pulang. Ia cemas sekali hingga tidak dapat tidur, setiap saat memikirkan
anaknya itu, hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Ketika melihat Sin Wan kembali
dengan selamat, nyonya muda itu sembuh seketika!
Tapi
kesehatannya makin buruk. Sin Wan menyesal sekali dan berlutut di depan Ibunya
meminta ampun dan berjanji bahwa semenjak saat itu ia takkan berani pergi lagi
tanpa ijin Ibunya!
Diluar
tahunya Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap beri tahu anak perempuannya akan ikatan jodoh
antara Sin Wan dan puteri Kwie Cu Ek. Nyonya muda itu merasa girang sekali, ia
terima sepasang sepatu kecil itu dengan girang. Warta baik ini membuat ia
banyak terhibur. Ia percaya sekali akan pilihannya Ayahnya tapi ia nyatakan
bahwa ia ingin sekali melihat gadis cilik itu dengan mata sendiri karena ia
ingin mengagumi nona calon mantunya!
Semenjak
hari itu, Sin Wan makin tekun mempelajari ilmu silat dan ia di gembleng oleh
Kakeknya yang ingin turunkan seluruh kepandaian yang dimilikinya kepada cucu
yang terkasih itu. Ia tahu bahwa dengan bantuan keganjilan alam yang telah
dialami Sin Wan, maka dengan latihan-latihan keras, anak itu akan menjadi
seorang yang mempunyai tenaga dan kesanggupan jauh lebih tinggi dari dia
sendiri.
Hal ini
membuat ia tak kenal lelah dan selain ilmu silat tinggi, ia juga menuturkan
dunia kang-ouw dan aturan-aturannya kepada Sin Wan. Ketika Sin Wan menanyakan
sulingnya yag dibawa oleh Kakeknya itu, Kang Lam Ciuhiap terus terang katakan
bahwa suling itu diberikannya kepada Giok Ciu sebagai tanda mata.
“Menyesalkah
kau?” tanyanya.
Sin Wan
geleng kepala dan matanya berseri. “Ah, tidak Ngkong, biarlah. Aku melihat ada
bambu kuning di kaki gunung sebelah sana, bambu itu indah lagi kecil. Aku
hendak membikin suling sendiri.”
Pada
keesokan harinya, Sin Wan telah membuat sebatang suling yang panjanganya tidak
kurang dari tiga kaki. Karenanya Engkongnya ahli pembuat suling, ia lalu minta
Kakeknya itu yang membuat lobang-lobang agar suaranya tidak sumbang. Ketika
Kang Lam Ciuhiap sedang asyik gunakan api melobangi batang suling bambu itu, ia
teringat sesuatu dan dengan sungguh-sungguh ia berkata.
“Sin Wan,
aku hendak ajar kau menggunakan batang sulingmu sebagai senjata istimewa!”
Sin Wan
girang sekali dan mulai saat itu Kakeknya mengajar ia mainkan suling itu
bagaikan sebatang pedang dan karena semua gerakan adalah pukulan-pukulan
merupakan totokan hebat dan disertai tenaga lweekang, maka suling itu merupakan
senjata yang ampuh sekali. Juga Kang Lam Ciuhiap mengajar cucunya untuk
bersilat sambil tiup suling untuk mengacaukan gerakan lawan, seperti yang
pernah ia lakukan ketika menghadapi si Harimau Terbang dulu!
Karena
memang suka sekali meniup sulingmaka mendapat pelajaran baru ini, Sin Wan
merasa girang sekali dan ia lebih giat melatih ilmu silatnya hingga memperoleh
kemajuan pesat. Juga Sin Wan yang sangat mencinta dan berbakti kepada Ibunya,
mentaati permintaan Ibunya dan membuat nyonya muda itu puas melihat kemajuan
yang dicapai oleh Sin Wan dalam ilmu surat.
Dengan pesat
sekali waktu berjalan tanpa terasa oleh manusia, Tahu-tahu tiga tahun telah
lewat. Selama itu Sin Wan yang kini telah berusia hampir empat belas tahun,
mendapat kemajuan besar hingga dalam hal ilmu silat ia telah menyusul Kakeknya!
Kalau dibuat perbandingan, mungkin Sin Wan lebih gesit dan cepat daripada
Kakeknya, tapi tentu saja ia masih kalah dalam hal tenaga lweekang.
Selama tiga
tahun itu, tidak jarang Sin Wan terkenang kepada Giok Ciu, teman baru yang
begitu bertemu telah mengalami peristiwa-peristiwa aneh bersama dia itu.
Semenjak perjumpaan pertama, belum pernah mereka bertemu lagi dan ia sedikitpun
tidak menyangka bahwa dirinya telah terikat jodoh dengan anak perempuan itu!
Musim semi
telah tiba dan orang-orang dikampung kecil itu menyambut musim chun dengan
pesta gembira. Penduduk kampung yang hanya berjumlah dua puluh keluarga dan semuanya
kurang dari seratus jiwa itu saling mengantar makanan dan saling selamat.
Mereka mengenakan pakaian yang paling baik dan memasang petasan yang
didatangkan oleh seseorang dari kota. Sin Wan juga tidak ketinggalan.
Sejak
pagi-pagi sekali Ibunya telah menyuruh dia bertukar pakaian dan mengenakan baju
warna kuning yang indah. Pemuda itu tidak melupakan kerbaunya dan ia mencari
kembang-kembang dan daun-daun yang lalu dibuat karangan bunga dan dikalungkan
di leher semua kerbaunya! Kemudian ia pergi dengan anak-anak lain yang
berkumpul memasang petasan.
Tiba-tiba
dari luar pintu kampung itu terdengar suara kaki kuda banyak sekali. Semua
orang kampung terkejut dan heran karena belum pernah kampung itu dikunjungi
orang luar. Ketika orang-orang berkuda itu telah melewati pintu kampung,
terkejutlah Sin Wan karena yang datang memasuki kampungnya adalah belasan orang
besar berpakaian tentara seragam dengan golok atau pedang terhunus di tangan!
Para wanita
cepat memanggil anak mereka dan melarikan diri bersembunyi di belakang rumah
atau di dalam kamar, sedangkan orang-orang lelaki memandang dengan membongkok
hormat dan ketakutan. Ternyata rombongan orang itu berjumlah lima belas orang.
Seorang kate gemuk yang agaknya menjadi pemimpin karena pakaiannya paling
mewah, loncat turun menghampiri seorang petani tua yang berdiri terdekat.
“He, orang
tua! Di manakah rumah Bun Gwat Kong dan anaknya?”
Biarpun
orang-orang kampung itu terdiri dari petani-petani lemah, tapi mereka adalah
orang-orang jujur dan penuh rasa setiakawan. Melihat lagak rombongan ini
ternyata tidak membawa maksud baik, maka Kakek itupun menggelengkan kepala dan
berkata,
“Aku tidak
tahu!”
Baru saja
jawaban itu terlepas dari mulutnya, Kakek itu terlempar ke belakang karena di
dorong oleh seorang anggota rombongan yang berdiri di dekat pimpinannya.
“Hayo kalian
mengaku, dimana adanya bangsat tua she Bun itu? Kalau tidak mau mengaku kalian
semua akan dihukum seratus cambukan!” demikian pendorong Kakek itu berkata
dengan putar mata galak sekali.
Bun Sin Wan
merasa gemas sekali, tapi ia masih hendak menunggu apa yang akan terjadi, juga
ia heran sekali mengapa orang-orang ini mencari Kakeknya. Tapi sebelum
rombongan tentara Kaisar itu dapat mengganas lebih jauh terdengar bentakan
keras.
“Aku orang
she Bun ada disini, kamu anjing-anjing Kaisar lalim mau apakah?”
Dan Kang Lam
Ciuhiap Bun Gwat Kong dengan tolak pinggang berdiri angket menghadapi rombongan
itu. Sikapnya yang gagah membuat lima belas orang tinggi besar bersenjata tajam
itu mundur beberapa tindak dengan jeri. Tapi orang kate gemuk yang menjadi
pemimpin dapat tetapkan hatinya. Ia cabut sepasang ruyung dari pinggangnya dan
membentak kepada para anak buahnya.
“Pemberontak
she Bun ada disini, hayo tangkap dia!”
Berbareng
dengan bentakan itu ia maju ayun ruyungnya di atas kepala lalu maju menyerang,
diikuti oleh anak buahnya yang menerjang dengan masing-masing senjata di
tangan.
“Ha ha ha!
Kamu anjing-anjing kecil berani menggonggong di depan tuanmu? Pergilah!”
Kakek itu
lalu bergerak cepat dan tahu-tahu dua orang pengeroyoknya telah kena dipegang
dan dilempar sampai beberapa tombok jauhnya bagaikan seorang melempar rumput
saja. Kang Lam Ciuhiap lalu perlihatkan kepandaiannya. Dengan kedua tangan
kosong ia bergerak cepat dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, tentu
terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang pengeroyok terlempar atau roboh.
Sebentar
saja ia dapat merobohkan delapan orang pengeroyoknya dan kini yang
mengeroyoknya hanya pemimpin yang bersenjata sepasang ruyung itu dan dua orang
lain bersenjata pedang. Yang lain telah cemplak kuda dan lari pergi, tak
pedulikan makian dan teriakan pemimpin mereka!
Ternyata
pemimpin kate gemuk itu lihai juga. Sepasang ruyungnya bergerak-gerak cepat dan
kuat hingga untuk beberapa saat tak mudah bagi Kakek itu untuk merobohkannya.
Kemudian Kang Lam Ciuhiap mendapat pikiran untuk menguji cucunya. Ia segera
merobohkan dua pengeroyok lain hingga kini tinggal si kate gemuk seorang.
“Sin Wan,
kau ke sinilah!” Kakek itu berteriak.
Sin Wan yang
sejak tadi memang berada di dekat situ dan sengaja tidak mau bantu Kakeknya
karena melihat bahwa Kakeknya tak perlu dibantu, dan menonton dengan kagum
melihat kegagahan Kakeknya, kini loncat maju.
“Ada apa,
Ngkong?” jawabnya.
“Coba kau
layani anjing kate gemuk itu,” perintah Kakek itu yang loncat mundur ke
belakang.
Si kate
gemuk memang telah terdesak hebat oleh Kang Lam Ciuhiap, kini melihat orang tua
lihai itu mundur dan diganti oleh seorang pemuda tanggung yang pegang sebatang
suling bambu panjang, ia merasa agak lega. Ia pikir, tidak apa kemudian
terbunuh oleh Kakek gagah itu asal sudah bisa menjatuhkan anak muda ini. Dengan
demikian, maka ia tidak penasaran lagi dan tidak rugi. Maka ia lalu putar-putar
kedua ruyungnya dan menyerang tanpa berkata apa-apa lagi.
Sin Wan
telah siap dan waspada. Biarpun ia telah mendapat latihan sampai masak oleh
Kakeknya, tapi ia belum pernah bertempur betul-betul melawan musuh. Baiknya ia
memang mempunyai nyali yang besar dan ketabahannya ini membuat ia dapat
bersilat dengan baik. Baru bertempur beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa
ilmu kepandaian lawannya ini tidak seberapa hebat. Maka ia tidak mau kasih hati
lagi dan balas menyerang dengan sulingnya.
Terkejutlah
si kate itu, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa suling bambu kecil itu
ternyata lihai dan berbahaya sekali karena selalu meluncur ke arah jalan
darahnya! Pula gerakan-gerakan suling itu terlalu cepat dan tidak terduga
olehnya hingga ia menjadi sibuk sekali karena harus putar-putar ruyung
menangkis atau loncat ke sana kemari hindarkan diri dari totokan. Tentu saja
Sin Wan tidak mau sulingnya terusak oleh tangkisan ruyung, maka ia tidak mau
adukan senjatanya dan percepat gerakannya.
Ketika pada
suatu saat lawannya berkelit ke kiri, Sin Wan tusukan sulingnya dan getarkan
ujung suling dengan tenaga lweekangnya hingga ujung suling itu menjadi tiga dan
sekaligus menyerang tiba bagian tubuh! Lawannya tidak dapat menangkis atau
menyingkir dari serangan lihai ini dan tak ampun lagi iganya tertotok dan ia
roboh tak berdaya. Tapi pemimpin tentara itu memang seorang peperangan yang
berani mati dan keras hati. Ia merasa malu sekali terjatuh dalam tangan seorang
pemuda yang masih anak-anak, maka ia segera membentak,
“Kau telah
robohkan aku, tidak lekas bunuh mau tunggu apa lagi?”
Sin Wan
marah dan hendak jatuhkan pukulan maut dengan sulingnya, tapi tiba-tiba
Kakeknya mencegah.
“Tahan, Sin
Wan...!”
Kakek ini
memang suka melihat orang yang gagah dan berani mati. Selama ia merantau di
dunia kang-ouw, jika menemukan lawan yang sifatnya penakut dan jika terluka
merintih-rintih, ia segera bunuh lawan itu. Tapi jika lawannya seorang
pemberani, ia bahkan selalu memberi ampun! Kini mendengar si kate berkata
demikian, ia larang cucunya membunuh orang itu.
“Kau
pergilah!” Kata Kang Lam Ciuhiap kepada si kate gemuk itu, “Dan bawa pergi
semua kawan-kawanmu itu.” Tangan kirinya dilambaikan ke arah orang-orang yang
merintih-rintih di atas tanah. Pemimpin rombongan tentara itu berkata,
“Baik,
bagimu sama saja, bunuh aku atau tidak, akhirnya kau juga bakal tertangkap.
Ketahuilah, kami diperintahkan menangkapmu oleh Suma Cian Bu, dan sebentar lagi
dia dan juga Siauw-San Ngo-Sinto tentu datang kesini!”
Sehabis
berkata demikian dengan mata mengandung penuh ancaman, si kate itu lalu bantu
anak buahnya yang terluka untuk naiki kuda mereka dan perlahan-lahan tinggalkan
kampung itu, disoraki oleh penduduk kampung. Tapi Sin Wan yang memperhatikan
Kakeknya betapa Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba menjadi pucat dan tampak gelisah. Ia
segera menghampiri dan memegang lengan Kakeknya,
“Engkong,
kau kenapakah?”
Kakeknya
geleng-geleng kepala dan tanpa banyak cakap ia mengajak cucunya pulang.
Kemudian, di depan anak perempuannya dan Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap berkata
dengan sungguh-sungguh.
“Sin Wan,
kau ajak Ibumu pergi, sekarang juga! Aku harus menghadapi hal ini sendiri,
jangan sampai kalian juga tertimpa bencana!”
“Ayah,
mengapa kau kata begitu? Apakah yang terjadi?” Ibu Sin Wan bertanya cemas.
“Ketahuilah,
dulu aku telah membasmi habis orang-orang yang memfitnah suamimu. Tidak kurang
dari enam jiwa melayang di tanganku. Karena yang kubunuh adalah orang-orang
berpangkat, maka sejak saat itu pemerintah telah mencari-cariku. Agaknya kini
mereka berhasil dan dapat mengetahui tempat sembunyiku disini.” Kakek itu
menghela napas.
“Tapi,
Ngkong. Kalau baru orang-orang macam si kate saja yang datang hendak
mengganggumu, jangankan baru satu dua orang, biar ada puluhan, kau dan aku
masih sanggup mengusirnya!” kata Sin Wan dengan gagah.
Kang Lam
Ciuhiap tersenyum girang melihat sikap Sin Wan, tapi ia lalu menggeleng kepala
perlahan. “Kau tidak tahu, Sin Wan. Tidakkah kau dengar tadi bahwa ada seorang
Cianbu she Suma dan Siauw Ngo-Sinto akan segera datang kesini?”
Sin Wan
merasa penasaran, “Takut apa, Ngkong? Macam apakah orang she Suma itu? Aku
ingin sekali mengukur kepandaiannya.”
“Kapten she
Suma itu sendiri sudah merupakah lawan berat,” kata Kang Lam Ciuhiap perlahan seakan-akan
tak mendengar kejumawaan Sin Wan, “tapi lima saudara dari Siauw-San yang
dijuluki Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat benar-benar berat dilawan.”
“Siapakah
mereka itu dan mengapa mereka ikut datang membikin susah kau?” tanya Ibu Sin
Wan yang merasa khawatir.
“Sum Cian Bu
adalah seorang kapten yang sangat terkenal karena kegagahannya. Selain pandai
mengatur tentara, iapun tinggi sekali ilmu pedangnya. Kedatangannya itu tentu
dengan tugas menangkapku karena Kaisar pun tahu orang macam apakah aku, maka
kapten yang konsen itulah yang diutus. Tapi agaknya Sum Cian Bu sendiri jerih
untuk datang seorang diri, maka ia ajak kelima setan itu. Memang telah kudengar
desas-desus bahwa Ngo-Sinto itu telah mengkhianati dunia kang-ouw dan rela
menjadi anjing penjilat Kaisar asing! Mereka adalah lima orang pertapa atau
Tosu dari Gunung Siauw-San. Agaknya mereka itupun runtuh iman mereka dan
melihat sogokan berupa harta benda dan emas, seperti yang banyak dialami
orang-orang gagah yang akhirnya menjadi kaki tangan Kaisar lalim. Sin Wan
jangan sia-siakan waktu, kau bawalah Ibumu pergi ke rumah Kwie Cu Ek di balik
gunung. Beri tahukan padanya tentang keadaan kita dan titipkan Ibumu di sana
untuk sementara waktu. Disini berbahaya sekali.”
“Tapi, Ayah!
Rasa takutku sudah lenyap dan segala kengerian telah pergi semenjak Ayah Sin
Wan terfitnah oleh bangsat-bangsat itu. Biarlah mereka datang. Biarkan mereka
membunuhku. Aku tidak takut!”
Nyonya muda
yang lemah dan berpenyakitan itu angkat dada dengan beraninya hingga Sin Wan
kagum sekali serta bangga akan Ibunya.
“Kau benar,
Ibu. Akupun tidak takut, dan akulah yang akan membelamu mati-matian Ibu!”
Kang Lam
Ciuhiap jengkel sekali melihat anak dan cucunya itu. Ia membanting-banting
kakinya, lalu bertindak keluar sambil mengomel. “Kau Ibu dan anak sama-sama
kepala batu!”
Kakek itu
yang merasa bingung dan mengkhawatirkan keselamatan anak dan cucunya, lalu
pergi kerumah seorang temannya dikampung itu dan bersama temannya menenggak
arak sampai habis beberapa guci. Kemudian ia menyuruh seorang teman untuk
keluar dan pergi menyelidiki keadaan musuh yang hendak datang.
Ia sendiri
putar otak mencari akal untuk menyingkirkan anak dan cucunya. Terutama Sin Wan
harus pergi dari kampung itu. Untuk dirinya sendiri, Kang Lam Ciuhiap tidak
khawatir. Ia sudah cukup kenyang mengalami pertempuran, sudah cukup lama hidup
di dunia yang penuh derita ini, dan mati baginya hanya berarti pulang ke
kampung halaman.
Tapi
bagaimana nasib Sin Wan dan Ibunya? Yah, tentang anak perempuannya ia telah
tahu isi hatinya. Anak perempuannya yang bernasib malang itupun hanya hidup
untuk Sin Wan saja, dan boleh dikata sebagian besar dari dirinya telah ikut
mati dengan suaminya. Tentu saja soal mati bagi anak perempuannya yang malang
itu bukan soal apa-apa. Tapi Sin Wan masih muda, pengharapannya masih banyak
dan luas...
BERSAMBUNGKE
JILID 03
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment