Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 09
Kini wajah
suma Li Lian menjadi pucat sekali, dan ia lalu berkata dengan suara yang hampir
tidak kedengaran,
“Apa...?
Kalau begitu... siapakah... siapakah...?” ia lalu menggunakan kedua tangan
menutupi mukanya yang pucat dan terlihat oleh Sin Wan betapa sepuluh jari itu
menggigil hingga timbul hati iba di dalam hatinya terhadap nasib gadis yang
malang ini.
“Siocia,
biarpun tidak ada bukti, namun aku berani pastikan bahwa yang menganggu engkau
tentu bukan lain orang ialah Gak Bin Tong!”
“Apa
katamu?” Li Lian berteriak keras.
Sin Wang
mengangguk-angguk. “Kau tentu tidak mengetahui bahwa pada malam itu, pemuda
muka putih itu bermalam di Kelenteng. Ia memiliki ilmu silat yang tinggi juga
dan tentang potongan tubuh, memang ia sama dengan aku agaknya. Pula, ia memang
terkenal sangat cerdik dan licin, juga aku tahu bahwa ia mempunyai adat yang
buruk, maka sudah pasti ia meniru-niru suaraku untuk mengelabui engkau!”
Mendengar
kata-kata ini, tiba-tiba Li Lian berteriak dan roboh pingsan! Sin Wan cepat
sekali menyambar tubuh nona itu, lalu mengambil anak kecil dari gendongan Li
Lian dan merebahkan tubuh itu perlahan di atas rumput. Anak itu menangis keras
dan Sin Wan terpaksa gendong anak itu sambil mengayun-ayunnya di dalam
lengannya. Ia merasa kasihan sekali melihat Li Lian dan di dalam hati ia
bersumpah hendak membunuh Gak Bin Tong manusia keparat itu! Ketika Li Lian
sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung dan memukul-mukul kepala
sendiri. Rambutnya menjadi awut-awutan dan berkali-kali ia mengeluh,
“Ya Tahun,
Engkau tidak adil! Sungguh tidak adil! Mengapa aku harus menderita semua ini?
Koko Sin Wan, biarpun perbuatanku itu rendah dan hina, tapi agaknya aku masih
sanggup mempertahankan hidupku bahkan sanggup mencapai kebahagiaan jika kiranya
engkaulah orang itu! Tidak kusangka... dia itu... Gak Bin Tong keparat, manusia
iblis terkutuk... aduh, aduh... nasib diriku... dosa apakah yang telah
kuperbuat maka terhukum sehebat ini...? Gak Bin Tong, kau... kau... bangsat!!
Tunggu, aku harus bunuh kau untuk perbuatanmu yang terkutuk itu!”
Tiba-tiba
Suma Li Lian, gadis bangsawan cantik jelita yang biasanya halus itu, menjadi
liar dan ganas. Rambutnya awut-awutan, matanya yang bening terputar-putar dan
mulutnya mengeluarkan busa! Ia lalu lari turun gunung, tersaruk-saruk, jatuh
dan bangun lagi, terus lari sambil memaki-maki nama Gak Bin Tong seakan-akan
pemuda muka putih itu telah berada di depannya dan sedang dikejar-kejarnya
untuk dibunuh!
Sin Wan
kaget melihat bahwa Suma Li Lian agaknya telah berubah pikiran dan menjadi
gila! Ia hendak mengejar, tapi tiba-tiba anak perempuan yang baru berusia lima
bulan dan berada di dalam gendongannya itu menangis keras! Ia menjadi serba
salah, karena dengan cara kikuk dan kaku sekali ia menggendong anak kecil itu
dan tidak berani lari sambil menggendong. Untuk tinggalkan anak itu iapun tidak
tega. Lagi pula, untuk apa ia mengejar Li Lian?
Maka
akhirnya ia hanya berdiri bingung sambil memandang anak yang menangis keras di
dalam pelukannya itu. Setelah ditimang-timang beberapa lama tapi anak itu tidak
juga mau diam seakan-akan menangisi ibunya yang lari pergi meninggalkannya, Sin
Wan menjadi bingung sekali. Kemudia ia meletakkan anak itu di atas rumput
kering, lalu ia meloncat memetik buah yang telah masak.
Setelah ia
memberi makan anak itu dengan buah, diamlah tangis anak itu hingga Sin Wan yang
tadinya bingung sekali sampai mengeluarkan peluh dingin di dahinya, kini
tersenyum girang karena anak itu makan buah sambil tertawa-tawa lucu! Sin Wan
memutar-mutar otaknya. Mengapa ia harus mengalami peristiwa yang aneh dan
membingungkan ini?
Kala
teringat kepada Giok Ciu, ia merasa sedih sekali dan hatinya terasa perih,
apalagi kalau mengingat betapa gadis kekasihnya itu telah menghancurkan suling
pengikat jodoh mereka! Kalau teringat kepada Li Lian, hatinya terharu dan ia
merasa kasihan sekali akan nasib gadis cantik itu.
Ayahnya
telah terbunuh olehnya, sedangkan ia sendiri mengalami nasib memalukan dan yang
menghancurkan namanya dan nama keluarganya. Teringat akan hal ini, memuncaklah
kegemasan Sin Wan kepada Gak Bin Tong! Kemudia ia teringat kembali kepada anak
Li Lian yag ditinggalkan oleh ibunya ini. Apa yang harus ia lakukan? Memelihara
anak ini? Ah, ia tak sanggup dan juga tidak mau. Habis bagaimana?
Tiba-tiba ia
teringat akan kampung ibunya. Wajahnya menjadi terang, dan ia lalu angkat anak
itu dalam dukungannya dan berangkatlah ia turun gunung menuju ke perkampungan
Ibu dan kakeknya. Kedatangannya disambut girang oleh para penduduk kampung,
tapi alangkah heran mereka ketika melihat bahwa pemuda pahlawan mereka itu
datang sambil mendukung seorang anak perempuan yang masih bayi!
Dengan
singkat Sin Wan menuturkan riwayat anak kecil itu, tentu saja tanpa
membongkar-bongkar rahasia Ibu anak itu, kemudian ia menyerahkan anak itu
kepada seorang janda she Thio untuk dirawat. Kepada janda itu Sin Wan memberi
beberapa potong emas sebagai bekal membiayai pemeliharaan anak itu. Kemudian,
ia pun pergi hendak mencari Giok Ciu.
Ia pikir
bahwa gadis itu tentu pergi mencari musuh besarnya, yakni Cin Cin Hoatsu. Asal
saja ia pergi mencari Pendeta Tibet itu, banyak harapan ia akan bertemu dengan
Giok Ciu. Ia ingin sekali segera bertemu dengan gadis itu menjelaskan segala
hal tapi apa boleh buat, ia harus bersabar, karena ia tak tahu jurusan mana
yang diambil oleh gadis itu!
Beberapa
hari kemudian ketika Sin Wan tiba di luar sebuah kampung, ia melihat bayangan
seorang yang dikenalnya baik, karena dari belakang ia kenal bahwa orang itu
adalah Kwi Kai Hoatsu! Pertapa lihai itu sedang keluar dari kampung itu dan
berlari keras sekali. Sin Wan juga merasa penasaran dan marah karena pernah
terjatuh dalam tangan imam dari Tibet ini segera mengejar.
Juga, selain
hendak membalas kekalahan dulu, iapun tahu bahwa ini adalah saudara seperguruan
dari Cin Cin Hoatsu, maka kalau mungkin ia hendak mendapat keterangan tentang
musuh besar itu dari Kwi Kai Hoatsu. Karena kepandaiannya memang tinggi, Kwi
Kai Hoatsu segera tahu bahwa dirinya dikejar orang, maka segera ia 'Tancap Gas'
dan membalap sekerasnya! Tapi Sin Wan telah mempunyai ginkang yang mendekati
puncak kesempurnaan, maka ia tidak tertinggal, bahkan lambat laun tapi pasti,
ia makin dekat dengan Pendeta yang dikejarnya itu.
Diam-diam
ketika menengok, Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali melihat betapa orang yang
mengejarnya itu makin dekat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pengejarnya
demikian lihai. Tadinya ia menyangka bahwa yang mengejarnya hanyalah orang
biasa saja, maka ia hendak mempermainkannya, tidak tahunya, setelah mengerahkan
tenaga larinya, ternyata jarak antara ia dan pengejarnya itu makin dekat saja.
Karena marah
dan penasaran, ketika tiba di tempat sunyi dan kanan kiri hanya terdapat sawah
kosong, ia berhenti dan menanti dengan mata melotot. Tapi ketika pengejarnya
dengan cepat sekali telah tiba di depannya, ia memandang pemuda tampan yang
sedang tersenyum di depannya itu dengan heran, karena ia mengenal pemuda ini.
“Eh,
ternyata engkaukah ini?” katanya dengan senyum sindir karena ia hendak tetapkan
hati sendiri dengan memandang rendah pemuda itu.
Tak mungkin
pemuda ini dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya karena biarpun
andaikata pemuda ini belajar lagi, namun waktunya hanya setahun dan dalam masa
waktu sependek itu tak mungkin pemuda ini akan dapat melawan kepandaian
lweekang dan hoatsut yang telah dipelajarinya berpuluh tahun lamanya. Sin Wan
menjawab dengan tenang.
“Ya,
akulah!” Pertapa itu memandang ke kanan kiri, seakan-akan hendak mencari-cari
apakah pemuda ini berteman, karena kalau gadis yang lihai dulu itu ikut datang,
maka mereka berdua merupakan lawan yang berat juga. Hatinya merasa lega ketika
mendapat kenyataan bahwa Sin Wan memang hanya seorang diri saja.
“Anak muda,
apa maksudmu mengejarku? Apakah pelajaran yang kau terima dulu itu belum
membikin kau merasa kapok?”
Sin Wan
tersenyum mengejek. “Maksudmu, engkau atau akukah yang menerima pelajaran dan
merasa kapok? Kwi Kai Hoatsu, sesungguhnya antara kita tidak terdapat sesuatu
permusuhan yang menyebabkan kita saling membenci, kecuali barangkali
sifat-sifat sombong dan tidak mau kalah dari kita masing-masing. Aku mengejarmu
bukanlah dengan niat hendak mengajak kau bertempur, kecuali kalau kau sendiri
yang memaksaku!”
Kwi Kat
Hoatsu memandang kepada Sin Wan dengan heran. “Kalau bukan untuk bertempur,
mengapa kau mengejarku?”
Sin Wan tersenyum
sabar. “Aku hanya ingin bertanya di manakah gerangan adanya Cin Cin Hoatsu pada
waktu ini?”
Tiba-tiba
Kwi Kai Hoatsu tertawa besar. “Enak saja kau bicara. Kau mencari saudaraku itu
untuk mengajak berkelahi dan mengadu jiwa, bukan? Dan kau katakan bahwa kita
tidak ada permusuhan?”
“Memang
saudaramu itu musuh besarku. Ia telah membunuh mati Suhuku, yakni Hui-Houw Kwie
Cu Ek, maka aku harus membalas dendam ini. Bukankah ini suatu hal yang lajim
dan pantas?”
“Anak muda,
jangan banyak ribut. Dengan kepandaianmu serendah ini mana kau dapat melawan
Cin Cin Hoatsu? Kau boleh mencoba-coba kepandaianmu padaku, coba kulihat apakah
kau cukup pantas untuk bertanding melawan saudaraku itu!”
Sambil
berkata demikian Kwi Kai Hoatsu mencabut keluar tongkar ular dan hudtimnya yang
terkenal lihai itu dan mendahului menyerang. Sin Wan juga telah mencabut keluar
Pek Liong Pokiam dan melayani Tosu itu. Ketika tongkat ularnya beradu dengan
pedang pusaka berwarna putih itu, terkejutlah si Tosu, karena dari bentrokan kedua
senjata ini saja ia tahu betapa hebat tenaga lweekang pemuda itu!
Sungguh luar
biasa betapa dalam waktu setahun saja tenaga lweekang pemuda itu yang dulu jauh
dibawahnya, kini boleh dikata telah mencapai kedudukan setingkat dengan dia,
kalau tidak lebih tinggi malah! Karena inilah maka ia menjadi jerih. Memang,
dalam hal ilmu silat, setahun yang lalupun ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut telah
membuat Tosu itu sibuk.
Hanya pada
waktu itu lweekangnya masih menang jauh hingga ia berhasil merobohkan Sin Wan.
Maka, kini setelah pemuda itu mendapat gemblengan khusus dari Bu Beng Lojin
dalam hal tenaga lweekang dan batin, tentu saja kepandaian pemuda itu jauh
lebih hebat lagi. Sin Wan juga merasa betapa sampokan-sampokan senjata lawannya
tak terasa berat lagi baginya, hingga ia menjadi girang dan mendesak hebat
dengan sinar pedang.
Dulu ia
merasa betapa dari tongkat ular itu keluar bau amis yang memuakkan, tapi
sekarang ia dapat melawan hawa itu dengan mengatur napasnya dan mengusir hawa
jahat yang menyerang mulut dan hidungnya dengan tiupan napas. Setelah bertempur
tiga puluh jurus lebih. Ia berhasil membabat putus kebutan lawannya hingga Tosu
itu berseru kaget.
Kalau saja
Sin Wan berlaku kejam, agaknya ia akan berhasil membunuh Kwi Kai Hoatsu, tapi
pemuda itu tidak bermaksud membunuhnya, hanya ingin mengalahkannya saja sebagai
pembalasan tahun lalu. Maka cepat sekali pedangnya mengurung dan maksudnya
hendak membuat senjata lawan terlepas dari pegangan.
Kwi Kai
Hoatsu yang tidak tahu akan kehendak pemuda itu dan menyangka bahwa Sin Wan
tentu akan mendesak dan membunuhnya, menjadi sibuk sekali dan tiba-tiba ia
berseru keras sambil mencabut keluar sabuk sutera hitam yang dulu digunakan
untuk merampas pedang Sin Wan. Kini agaknya iapun hendak menggunakan lagi
senjata luar biasa itu. Sambil membentak keras dan mengerahkan tenaga ilmu
hitamnya, ia menggerakkan tangan kiri dan sutera hitam itu bagaikan ular yang
hidup menyambar pedang Sin Wan.
Pemuda ini
girang sekali melihat senjata aneh ini dikeluarkan, karena ia memang hendak
mencoba kelihaian senjata yang dulu pernah merampas pedangnya. Ia berlaku tabah
dan bahkan membiarkan senjatanya dibelit benda itu. Setelah ujung Pek Liong
Pokiam terlibat erat, ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak
serangan pengaruh bentakan lawan dan membarengi menggunakan lweekangnya untuk
menggerakkan pedang itu.
Terdengarlah
suara kain robek dan ternyata sutera hitam yang sangat diandalkan oleh Kwi Kai
Hoatsu telah terputus oleh pedang Pek Liong Pokiam! Kwi Kai Hoatsu menjerit
kaget karena ia tahu bahwa kini ia akan tewas dalam tangan pemuda yang kosen
ini, maka tanpa malu-malu lagi ia lalu meloncat jauh untuk melarikan diri. Tapi
Sin Wan segera meloncat pula mengejar sambil berseru.
“Kwi Kai
Hoatsu! Nanti dulu, jangan kau pergi sebelum memberi tahu padaku tempat tinggal
Cin Cin Hoatsu!” tapi Tosu tidak memperdulikan teriakannya dan lari makin
cepat. Sin Wan terus saja mengejar dengan lebih cepat.
Biarpun ilmu
lari cepat dari Tosu itu sudah cukup tinggi, tapi mana ia dapat melawan Sin Wan
yang selain mendapat didikan seorang suci dan berilmu tinggi, juga ia telah
makan buah-buah mujijat yang membersihkan darahnya dan membuat tubuhnya menjadi
ringan. Lambat laun jarak antara mereka makin dekat. Tapi, ketika Kwi Kai
Hoatsu tiba di dalam sebuah hutan dan Sin Wan telah dekat benar dengannya, tiba-tiba
Tosu itu mengeluarkan sebuah benda dan membantingnya ke belakang.
Benda itu
pecah dan mengeluarkan asap hitam tebal bergulung-gulung di belakangnya dan
membuat ia lenyap dari pandangan mata pengejarnya. Sin Wan merasa terkejut dan
cepat ia membelokkan arah jalannya agar jangan sampai menerjang asap hitam itu
karena ia menduga tentu asap itu adalah asap berbisa yang berbahaya. Tapi,
ternyata Tosu itu telah dapat melenyapkan diri di belakang tabir asap itu
karena tanpa diketahui oleh Sin Wan ke mana arah yang ditempuh imam itu.
Sin Wan
merasa penasaran dan kecewa sekali mengapa tidak ia robohkan saja imam jahat
itu tadi agar dapat ia paksa untuk mengaku dimana tempat tinggal Cin Cin
Hoatsu. Kini ia kehilangan pegangan dan tidak tahu harus mencari kemana. Tapi
ia pikir bahwa keadaan Giok Ciu juga sama dengan dia sendiri yakni tidak
mempunyai tujuan yang tetap dalam mencari musuh besarnya.
Maka besar
kemungkinan gadis itu akan mencari di kota raja, karena di situlah pusat para
pembatu Kaisar berkumpul dan disitu pula akan dapat dicari keterangan tentang
musuh besar itu. Karena pikiran ini, maka Sin Wan segera menuju ke kota raja.
Pikiran Sin Wan yang berotak cerdas ini memang tidak keliru.
***************
Giok Ciu
dengan hati sedih dan kalbu hancur lari turun dari Kam-Hong-San. Gadis itu
berlari-lari sambil tiada hentinya menangis. Kini ia tidak pedulikan segala apa
dan tujuan hidupnya hanya satu, yakni mencari Cin Cin Hoatsu dan membunuh orang
yang telah membunuh Ayahnya itu. Ia merasa bingung sekali karena tidak tahu
harus mencari kemana, maka ia lalu menuju ke kotaraja, karena teringat bahwa
selain dari tempat itu, agaknya sukar untuk mencari tahu tempat tinggal Pendeta
Tibet itu.
Karena
sedihnya, ia tidak mau berhenti berlari dan lupa makan lupa tidur. Setelah
sehari semalam lari cepat tanpa berhenti sedikitpun, ia tiba di kota Ang-Len
dan karena merasa kepalanya pening sekali dan tubuhnya panas, terpaksa ia
mencari sebuah rumah penginapan dan minta sebuah kamar. Begitu tutup pintu
kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, ia jatuh pingsan.
Ternyata
karena mendapat serangan dari dalam dan luar, gadis itu tidak kuat menahan
lagi. Dari dalam ia mendapat pukulan hebat sekali karena hatinya merasa hancur
dikecewakan oleh kenyataan betapa Sin Wan, pemuda kekasihnya dan orang
satu-satunya di dunia ini yang dicintanya dan dijadikan sandaran hidupnya telah
mencemarkan kesucian ikatan jodoh mereka.
Dan ternyata
pemuda itu telah melakukan perbuatan yang hina dina dan yang tak mungkin dapat
ia maafkan lagi. Dari luar ia mendapat serangan penyakit panas yang tentu akan
dapat dilawan oleh kekuatan tubuhnya kalau saja ia tidak memaksa tubuhnya
berlari terus-menerus sehari semalam tanpa mengaso dan tanpa makan. Akhirnya
tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan jatuh sakit!
Setelah
sadar dari pingsannya, Giok Ciu merasakan tubuhnya sangat lemah dan kepalanya
pusing sekali. Juga tubuhnya terasa panas seakan-akan ada api yang membakar
tubuhnya dari dalam. Ia maklum bahwa gangguan kesehatan ini terjadi karena
kesalahannya sendiri, terjadi karena kacaunya keadaan hati dan pikirannya, juga
karena ia tidak memperhatikan pemeliharaan tubuhnya. Ia teringat betapa
Suhunya, Bu Beng Lojin yang sakti itu, pernah berkata demikian.
“Alam telah
mempunyai hukum-hukum tertentu dan siapa saja yang tidak menyesuaikan dirinya
dengan hukum alam, pasti akan mengalami bencana dan hukuman. Siapa yang
melanggar hukum alam, pasti akan terhukum dan menderita, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum alam itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah daripada
hukum-hukum alam itu ialah hukum kesehatan, misalnya ketentuan bahwa manusia
harus makan pada saat tubuhnya membutuhkan makanan, harus beristirahat pada
waktu tubuh lelah dan membutuhkan istirahat. Kalau kita paksakan diri dan
melanggar ketentuan hukum ini, tak dapat tidak pasti akan menderita hukumannya,
yakni mendapat sakit! Penyakit bukan datang dari luar, tapi terjadi karena
pelanggaran hukum itu tadilah! Demikian pula dengan hukuman-hukuman yang lain,
yang kesemuanya terjadi karena pelanggaran-pelanggaran hukum alam yang kita
lakukan sendiri, bagaimana macamnya hukuman dan penderitaan itu. Maka
hati-hatilah menghadapi percobaan dalam hidupmu, karena sekali kau salah
tindak, bukan orang lain yang akan menerima hukumannya tapi kau sendiri. Inilah
keadilan alam!”
Mengingat
akan semua nasihat-nasihat dan petuah-petuah Suhunya yang sangat berharga, agak
terobatlah luka di hati Giok Ciu. Ia menjadi tenang, walaupun rasa bencinya
kepada Sin Wan masih menghebat. Ia lalu turun dari pembaringan dengan perlahan
dan memanggil pelayan. Ketika pelayan datang, ia minta dibelikan makanan dan
makan dengan hati-hati, kemudian ia memerintahkan pelayan untuk membeli obat
pelawan panas dan setelah merawat diri baik-baik dan membantu pekerjaan obat
itu dengan bersamadhi dan mengatur napas, maka dua hari kemudian sembuhlah ia.
Setelah
merasa sembuh betul, barulah ia melanjutkan perjalanannya. Malam hari
berikutnya ia bermalam di sebuah kota kecil, di dalam sebuah hotel. Menjelang
tengah malam, ia terjaga dari tidurnya oleh suara kaki orang yang dengan
hati-hati sekali berjalan di atas hotel itu! Giok Ciu dengan telinga terlatih
dan tajam, dapat menduga bahwa yang berjalan di atas genteng itu hanyalah
seorang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa tinggi.
Namun
tindakan orang itu cukup mencurigakan dan karena menduga akan terjadinya
kejahatan, Giok Ciu segera berganti pakaian dan meloncat keluar dari jendela,
terus melayang naik ke wuwungan rumah. Ia melihat bayangan hitam meloncat dan
berlari-lari di atas genteng rumah di depan maka ia segera mengejarnya. Giok
Ciu sengaja mengikuti orang itu untuk melihat apakah yang hendak dilakukan
olehnya.
Ternyata
setelah berputar-putar di atas rumah-rumah orang, bayangan hitam itu meloncat
turun ke dalam sebuah rumah. Giok Ciu cepat mengejar dan meloncat turun pula.
Ia melihat betapa bayangan hitam itu menggunakan goloknya membuka jendela
sebuah kamar dan meloncat masuk. Terdengar teriakan tertahan dan suara
laki-laki yang kasar membentak,
“Diam kalau
tak ingin mampus!”
Giok Ciu
marah sekali karena teriakan itu adalah teriakan seorang wanita. Ia dapat
menduga bahwa bayangan hitam itu tentulah seorang penjahat. Kalau bukan
Jai-Hwa-Cat atau Penjahat Pemetik Bunga, tentulah seorang pencuri atau
perampok! Maka ia segera membentak dari luar jendela,
“Bangsat
hina yang berada di dalam kamar orang. Ayo lekas kau keluar kalau tidak ingin
kepalamu kutabas putus!”
Dari dalam
kamar terdengar seruan marah dan heran dan pada saat selanjutnya bayangan hitam
itu meloncat keluar dari dalam kamar sambil memutar-mutarkan goloknya ketika
melalui jendela agar jangan sampai disergap musuh. Tapi Giok Ciu hanya tertawa
menyindir sambil bertolak pinggang dan menanti di atas genteng.
Ketika penjahat
itu telah berada di atas genteng, ia heran sekali melihat di bawah sinar bulan
bahwa yang mengganggunya hanyalah seorang dara berpakaian serba hitam yang
cantik sekali. Dalam pakaiannya yang hitam itu, Giok Ciu tampak cantik dan
gagah, sedangkan kulit muka dan kedua tangannya tampak putih sekali. Bayangan
hitam itu ternyata seorang laki-laki yang masih muda dan mempunyai sepasang
mata bangsat yang liar. Kini, menghadapi Giok Ciu, ia menyeringai dan berkata,
“Aduh, nona
yang cantik seperti bidadari! Apa kehendakmu maka kau memanggil aku kemari?”
Giok Ciu
marah sekali mendengar kata-kata orang ini mengandung kekurangajaran. Ia
berkata dingin, “Kau mencari celaka sendiri! Tadinya kusangka kau hanya seorang
penjahat rendah yang patut dikasihani dan diberi ampun dengan menerima
peringatan keras saja, tidak tahunya kau seorang yang lancang mulut pula! Untuk
kelancanganmu ini, kau harus meninggalkan sebelah tanganmu!”
Marahlah
orang itu dan ia lalu menerjang dengan goloknya setelah berseru, “Bagus!
Perlihatkan kepandainmu, nona cilik!”
Tapi Giok
Ciu dengan sekali sabet saja telah membuat golok penjahat itu terbabat putus,
kemudian cepat bagaikan kilat Ouw-Liong Pokiam berkelebat dan sebelum kuasa
menghilangkan kagetnya karena goloknya terbabat putus, tahu-tahu orang itu
merasa tangan kirinya perih dan dingin. Ketika ia melihat, ternyata tangannya
sebelah kiri telah terpotong pula pada sebatas pergelangan tangan itu! Ia
membelalakan mata dan lari sambil berteriak-teriak,
“Aduh...
aduh tolong... Suhu... Tolong… Suhu...!”
Demikian
tajamnya Ouw-Liong Pokiam sehingga hampir saja penjahat itu tidak merasa bahwa
tangan kirinya telah terbabat putus! Giok Ciu merasa puas telah memberi
pelajaran kepada penjahat itu, tapi begitu mendengar penjahat itu
menyebut-nyebut gurunya, ia segera mengejar.
Kalau
penjahat itu mempunyai seorang guru di kota ini, maka gurunya tentu bukan
seorang baik-baik pula dan perlu dan dibasmi agar jangan merupakan pengganggu
dan pengacau rakyat di kota itu. Penjahat itu, terus menuju ke sebuah rumah
yang tinggi gentengnya sambil terus berteriak-teriak minta tolong kepada
gurunya.
Tiba-tiba
dari dalam rumah itu melayang keluar bayangan seorang yang mempunyai gerakan
gesit sekali. Giok Ciu siap dengan pedangnya karena dari gerakan orang itu ia
dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi
juga. Ketika bayangan orang itu tiba di depannya dan membentak nyaring, Giok
Ciu merasa terkejut berbareng girang karena ternyata bahwa orang itu bukan lain
ialah Keng Kong Tosu!
“Ha, jadi
kaukah guru penjahat itu? Pantas saja muridnya jahat, tidak tahunya gurunya
seorang penjahat besar!”
Keng Kong
Tosu lebih kaget lagi ketika melihat bahwa orang yang melukai dan mengejar muridnya
bukan lain adalah gadis lihai yang dulu pernah bertempur dengannya! Ia masih
ingat betapa lebih setahun yang lalu gadis itu telah memiliki kepandaian
tinggi, apalagi sekarang, maka diam-diam ia merasa jerih juga. Akan tetapi,
karena lawan itu telah berada disitu, pula ia dapat mengharapkan bantuan tiga
murid lain yang berada di bawah ia lalu membentak,
“Pemberontak
perempuan, tidak tahunya kaukah yang lagi-lagi menghina kami dan melukai
muridku? Kau agaknya telah bosan hidup!”
“Jangan
banyak cakap, kau majulah Tosu palsu!”
Giok Ciu
lalu menyerang hebat dengan pokiamnya, hingga Keng Kong Tosu buru-buru meloncat
dan mengeluarkan pedang pendek dan hudtimnya yang digerakkan secara istimewa
untuk menangkis dan balas menyerang. Ia berlaku hati-hati sekali karena dulu
pernah merasakan kelihaian dari pendekar ini dan pernah dilukai pundaknya oleh
pedang pusaka yang ampuh itu. Tapi baru saja bertempur beberapa jurus, makin
kuncup dan jerih hati Tosu itu karena ia mendapat kenyataan bahwa tenaga
lweekang dan permainan pedang dara itu kini telah maju hebat sekali!
Ia lalu
bersuit nyaring untuk memanggil murid-muridnya dan sambil membentak keras ia
mengeluarkan senjata-senjata rahasia jarum hitam dari dalam kebutannya.
Jarum-jarum itu jumlahnya lebih dari sepuluh batang dan kecil sekali sehingga
ketika menyambar di dalam gelap itu, sama sekali tidak tampak.
Tetapi Giok
Ciu memiliki tenaga pendengaran, yang halus sekali dapat menangkap angin
gerakan hudtim itu maka ia dapat menduga bahwa dari gerakan itu tentu keluar
senjata rahasia. Ia lalu menggunakan pedangnya yang diputar dalam gerak tipu
Naga Hitam Menutup Gua untuk melindungi tubuhnya dan benar saja, terdengar
suara tring-tring nyaring sekali ketika jarum-jarum itu terpukul oleh
pedangnya.
Pada saat
itu, dari bawah meloncat naik tiga bayangan yang juga memiliki gerakan gesit.
Mereka ini adalah murid-murid Keng Kong Tosu yang tadi sibuk menolong Sute
mereka yang terbabat tangannya oleh pedang Giok Ciu. Kini mereka mendengar
tanda siutan Suhu mereka, ketiga orang itupun mengambil senjata masing-masing
dan naik untuk membantu Keng Kong Tosu.
Sekali-kali
Keng Kong Tosu berseru keras dan asap hitam menyambar kearah tubuh Giok Ciu.
Tapi Giok Ciu sekarang bukanlah dara setahun yang lalu, yang takut akan segala
ilmu hitam dan senjata-senjata mujijat. Ia telah memiliki tenaga lweekang dan
tenaga batin yang kuat sekali dan membuatnya waspada dan tenang. Melihat
datangnya asap hitam yang berbau busuk itu, ia lalu menggunakan mulutnya meniup
ke depan dari atas ke bawah.
Tenaga
tiupan ini demikian besar sehingga asap itu tertiup berbalik, dan kini bahkan
menyerang Keng Kong Tosu dan murid-muridnya! Tosu sesat itu cepat menggunakan
kebutannya diputar untuk mendatangkan angin mengusir asap itu, juga dua orang
muridnya meloncat menyingkir, tapi seorang murid tidak menyangka sama sekali
akan tiupan Giok Ciu maka ia terserang oleh asap hitam itu.
Ia kena
sedot asap itu sehingga terbatuk-batuk dan tubuhnya lalu terguling roboh di
atas genteng! Keng Kong Tosu terkejut dan marah sekali. Ia cepat mengeluarkan
obat pemunah dan memasukkan obat itu ke dalam mulut muridnya. Seorang murid
lain lalu memondong tubuh kawannya itu dan meloncat ke bawah sedangkan gurunya
dan seorang kawannya yang masih berada disitu lalu maju mengeroyok gadis yang
lihai itu.
Giok Ciu
memutar pokiamnya dan memainkan ilmu pedang Ouw-Liong Kiam-Sut yang luar biasa
dan ganas. Sebentar saja sinar pedangnya yang hitam dan membuat ia lenyap dari
pandangan mata kedua lawannya, telah mengurung dan mendesak kedua lawannya.
Pada saat itu murid yang tadi menolong kawannya terkena asap berbisa dari
Suhunya sendiri, telah naik pula dan maju mengeroyok dengan pedangnya. Tapi
Giok Ciu tidak takut, bahkan tertawa menyindir.
“Keng Kong
Tosu, Tosu busuk! Kau agaknya hendak mampus sambil membawa dua orang
pengiring!”
Keng Kong
Tosu marah sekali, tapi ia tidak berdaya, maka ia lalu berkelahi dengan nekad
dan mati-matian! Pada saat itu, tampak berkelebat bayangan putih dan sebuah
sinar putih yang terang sekali meluncur dan menyerbu ke dalam kalangan
pertempuran serta langsung membantu Giok Ciu.
“Moi-moi,
mari kita musnahkan manusia jahat ini!” terdengar seruan Sin Wan dengan suara
gembira karena tanpa dinyana ia dapat bertemu dengan gadis itu di tempat ini!
Tapi Giok Ciu menjawab marah.
“Siapa butuh
pertolonganmu? Jangan kau ikut mencampuri urusanku!”
Sin Wan
merasa mendongkol juga mendengar betapa keng Kong Tosu dan kedua muridnya
sengaja memperdengarkan suara ketawa untuk menghinanya. Ia merasa betapa gadis
itu merendahkannya dimuka musuh-musuhnya, maka dengan suara dingin ia berkata,
“Siapa yang
hendak membantu engkau? Akupun mempunyai sedikit urusan dengan Tosu jahanam
ini!”
Sambil
berkata demikian, Sin Wan lalu menggunakan pedangnya yang bersinar putih
menyerang hebat dengan tipu Naga Putih Menembus Awan. Gerakannya hebat dan
cepat sekali sehingga Keng Kong Tosu menjadi terkejut dan cepat berkelit. Tapi
pada saat itu Giok Ciu yang tidak mau 'didului' Sin Wan, segera menyerangnya
dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut.!
Sementara
itu, Sin Wan sudah merubah gerakannya dan kini menyabet dengan tipu Naga Putih
Sabetkan Ekor! Mana bisa Keng Kong Tosu mempertahankan dirinya terhadap
serangan-serangan dari kedua anak muda yang mengeluarkan tipu-tipu terlihai
dari Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut!
Biarpun ia
menggunakan pedang pendek dan hudtimnya untuk menjaga diri, tak urung kedua
pedang lawan itu dengan berbareng telah menusuk tembus dada dan lambungnya
sehingga tanpa dapat berteriak lagi Keng Kong Tosu roboh tak bernyawa pula!
Giok Ciu
merasa penasaran karena lagi-lagi ia tak dapat mendahului Sin Wan dan boleh
dikata Tosu jahanam itu terbunuh oleh mereka berdua dengan berbareng! Dalam
gemasnya ia hendak menyerang kedua murid Keng Kong Tosu yang berdiri terkejut dan
kesima, tetapi Sin Wan menegur,
“Jangan,
Giok Ciu, jangan bunuh mereka!”
“Peduli apa
kau dengan urusanku sendiri?” bentak gadis tiu dan melanjutkan serangannya
kepada dua orang murid Tosu yang telah mati itu. Tapi tiba-tiba sinar putih
berkelebat cepat dan pedang Sin Wan telah menangkis Ouw-Liong Pokiam.
“Moi-moi,
ingatlah pesan Suhu. Jangan sembarangan membunuh orang, kalau tidak terpaksa
dan mempunyai asalan yang kuat! Sudah cukup kita bunuh Keng Kong yang memang
jahat, jangan ganggu muridnya.”
Giok Ciu
mencibirkan mulutnya, “Cih, pandai benar bermain mulut, bisa saja berpura-pura
alim dan suci, coba kau pandang mukamu sendiri. Tak malu menyebut-nyebut orang
lain jahat!”
“Moi-moi,
dengarlah dulu keteranganku...”
“Siapa sudi
mendengarkan kata-katamu yang palsu!” Dengan ucapan ini Giok Ciu lalu meloncat
pergi.
Sin Wan
tidak mengejarnya karena ia maklum bahwa gadis itu benar-benar telah
membencinya dan tak mungkin mau diajak berbicara. Kalaupun ia dapat memberi penjelasan,
belum tentu gadis yang keras hati itu suka mempercayainya. Ah, sungguh serba
susah dan Sin Wan menghela napas panjang. Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa
menyindir. Ia melihat betapa kedua murid Keng Kong Tosu masih berdiri di situ
dan memandangnya dengan senyum sindir.
Marahlah Sin
Wan dan sekali tubuhnya bergerak, tahu-tahu dua orang itu kena diterjangnya dan
roboh di atas genteng sambil merintih-rintih. Ternyata sekali bergerak saja Sin
Wan telah berhasil menotok mereka hingga roboh tak berdaya dan biarpun mereka
takkan mati karenanya, namun dalam waktu dua belas jam, kalau tidak ada orang
pandai yang melepaskan totokan itu, mereka akan lemas tak dapat bergerak, hanya
dapat merintih-rintih saja. Kemudian Sin Wan meloncat pergi dari situ dengan
hati mengkal.
***************
Marilah kita
ikuti perjalan Suma Li Lian, gadis bangsawan yang cantik jelita, tapi yang
tertimpa nasib malang itu. Setelah mendengar dari mulut Sin Wan kenyataan-kenyataan
yang sangat pahit dan menikam ulu hatinya, gadis cantik ini hampir menjadi
gila! Jiwanya memang telah tertekan oleh rasa terhina dan malu karena sebagai
seorang gadis baik-baik keturunan bangsawan, adalah hal yang lebih hebat dan
lebih rendah daripada mati ketika mengandung dan melahirkan seorang anak tanpa
mempunyai suami!
Sebetulnya
ketika merasa bahwa dirinya mengandung, ia telah mengambil keputusan hendak
membunuh diri, tapi wajah Sin Wan yang tampan dan gagah selalu terbayang di
muka matanya, maka ia lalu menetapkan hatinya. Ia nekad untuk menghadapi semua
hinaan dan nistaan karena betapapun juga, ia diam-diam mengakui bahwa ia tidak
menyesal mengandung seorang keturunan dari Sin Wan!
Ia cinta
pemuda itu, cinta dengan cinta murni, dan ia bersedia mengorbankan apa saja
untuk pemuda itu. Jangankan baru hinaan dari dunia luar, aah, ia takkan merasa
terhina, bahkan ia akan merasa bangga kalau anaknya telah lahir, anak mereka,
anaknya dan anak Sin Wan. Demikian besar rasa cintanya terhadap Sin Wan hingga
Li Lian rela dirinya mendapat hinaan karena sebagai seorang gadis yang
melahirkan seorang anak tak ber Ayah.
Ia bahkan
sempat diusir oleh ibunya dan keluarganya dan hidup terlunta-lunta di sebuah
kampung kecil. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari dan menyusul Sin
Wan, karena bukankah dulu Sin Wan pernah bilang bahwa jika hendak mencari
dirinya, harus pergi ke puncak Kam-Hong-San? Maka, ia lalu jual semua
perhiasannya untuk dipakai biaya mencari suaminya itu.
Dan akhirnya
setelah bersusah payah, ia berhasil membawa anaknya yang baru berusia lima
bulan itu ke puncak Kam-Hong-San. Tapi disana ia hampir saja menjadi kurban
keganasan dan kejahatan empat orang pemikul tandu, dan baiknya datang Giok Ciu
yang menolongnya. Dan akhirnya ia bertemu dengan Sin Wan, suaminya! Tapi
alangkah remuk rendam hatinya, hancur luluh kalbunya. Segala penderitaan,
segala perngorbanan yang dilakukan itu sia-sia belaka! Bukan Sin Wan pemuda
idaman itulah yang sebenarnya menjadi Ayah anak itu, tapi Gak Bin Tong!
Gak Bin Tong
pemuda muka putih yang dibencinya, karena semenjak dulu pemuda itu selalu
menggodanya, selalu memperlihatkan sikap ceriwis dan menjemukan. Pemuda yang
pernah ia tolak lamarannya! Pemuda yang bahkan telah ia laporkan kepada para
pengawal agar ditangkap dan dibunuh, karena ia sungguh-sungguh membencinya!
Dan kini...
dari mulut Sin Wan sendiri, dari mulut laki-laki yang tadinya telah dianggap
sebagai suaminya, ia mendengar bahwa suaminya bukanlah Sin Wan, tapi... Orang
she Gak itu! Ketika ia melahirkan, segala hinaan yang didengarnya tak dapat
menggoyahkan kalbunya, tak dapat merobah pendiriannya.
Tapi
kenyataan yang didengarnya ini merupakan penghinaan yang sebesar-besarnya
baginya, dan kenyataan ini membuat ia tak sanggup memandang wajah Sin Wan lagi,
membuat ia begitu membenci Gak Bin Tong hingga seakan-akan hendak dicekiknya
dan dibunuhnya pada saat itu juga pemuda muka putih yang telah menodai dan
merusak hidupnya itu!
Demikianlah,
ia lari bagaikan gila menuruni lereng bukit. Beberapa hari kemudian, Suma Li
Lian yang tadinya cantik jelita, telah berubah menjadi seorang wanita yang
menakutkan. Rambutnya yang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang kotor
penuh debu dan lumpur. Matanya merah dan liar dan bibirnya yang biasanya
tersenyum manis menarik hati, kini tertarik menyeringai penuh kebencian.
Pakaiannya
yang tadinya indah dan rapi, kini robek disana-sini dan kotor sekali hingga tak
tampak pula bekas-bekasnya yang terbuat dari bahan mahal. Kakinya tak bersepatu
lagi, hanya berkaus yang sudah dekil dan hitam penuh tanah. Sungguh mengenaskan
nasib manusia ini. Ketika ia memasuki sebuah dusun kecil, semua anak-anak lari
ketakutan dan menggodanya dari jauh sambil melempar-lemparinya dengan batu.
Dimana saja
ia angsurkan tangan untuk minta makanan pengisi perutnya yang sudah lapar
sekali, orang-orang mengusirnya dengan kata-kata menyatakan jijik. Dengan
tindakan kaki limbung dan terhuyung-huyung, terpaksa Li Lian meninggalkan dusun
itu. Tubuhnya lemas, perutnya terasa perih sekali, dan pandang matanya
berkunang-kunang.
Karena terik
matahari membuat kepalanya berdenyut-denyut, ia lalu menghampiri sebuah pohon
besar yang tumbuh dipinggir jalan untuk meneduh, tapi ketika tiba di bawah
pohon, tubuhnya tak tertahan lagi dan tubuh itu limbung hendak roboh, matanya
meram dan kedua tangannya diulurkan meraba-raba mencari pegangan diudara!
Pada saat ia
pingsan, sebelum tubuhnya roboh di tanah, tiba-tiba dari atas pohon menyambar
turun sebuah tali yang secara aneh dan cepat bagaikan ular telah membelit kedua
pergelangan tangan Li Lian dan tahu-tahu tubuh Li Lian telah mencelat ke atas
pohon bagaikan disendal oleh tenaga yang luar biasa besarnya!
Ketika tubuh
gadis yang malang itu terapung ke atas, sebuah lengan yang panjang dan besar
lagi hitam dan kotor terulur dan tubuh Li Lian ditangkapnya pada bajunya.
Terdengar suara ketawa yang aneh, karena bunyinya seperti setengah tertawa
setengah menangis dan sebuah jari yang kotor menyentil belakang kepala Li Lian
sehingga gadis itu siuman dari pingsan dan membuka matanya.
Alangkah
herannya ketika Li Lian melihat bahwa ia sudah duduk di atas sebatang cabang
pohon yang tinggi. Kalau saja hal ini terjadi padanya dahulu, tentu ia akan berteriak-teriak
minta tolong karena takutnya melihat tanah sebegitu jauh di bawahnya. Tapi
agaknya rasa takut telah lenyap di telan ombak samudera kesedihannya, hingga
jangan kata baru tempat tinggi, biarpun berada di depan mulut harimau, agaknya
gadis itu takkan merasa takut lagi. Maut akan disambutnya dengan senyum dan
lambaian tangan karena baginya hidup ini tak berarti lagi.
Tapi ketika
ia menengok dan memandang orang yang duduk di atas sebuah dahan lain dan sedang
memandangnya pula, ia terkejut sekali dan tanpa disengaja ia membelalakan
matanya. Di atas sebatang dahan duduk seorang laki-laki tua yang tinggi besar
dan kurus sekali tapi keadaannya menyatakan bahwa orang itu bukanlah orang yang
berotak waras!
Orang itu
memegang segulung tali yang ujungnya diputar-putar seperti lagak seorang
kanak-kanak yang sedang bermain-main. Ia memandang Li Lian sambil tertawa ha-ha
hi-hi. Suma Li Lian menahan tubuhnya yang lemas dan gemetar karena lelah dan
lapar, lalu berkata,
“Lopek, kau
siapakah dan mengapa kau menolong aku?”
Orang yang
berpakaian jembel itu memandangnya dengan heran, lalu pada wajahnya yang
berkulit kotor hitam itu terbayang seri gembira ketika ia menjawab, “Siapa
aku?” ia garuk-garuk kepalanya, “Aku adalah aku dan siapa yang menolong siapa?
Aku tidak menolong juga tidak ditolong. Nona sakit, maka kubawa naik ke sini.”
Suma Li Lian
maklum bahwa orang yang menolongnya ini benar-benar gila dan otaknya tidak
waras namun ia heran sekali bagaimanakah orang gila ini dapat membawanya ke
atas? Melihat wajah dan sinar mata orang tua tinggi besar itu, agaknya tidak
berwatak jelek, bahkan ketika tadi tersenyumpun tampak baik hati benar, maka ia
lalu berterus terang,
“Lopek, aku
tidak sakit, hanya lelah dan lapar.”
“Lapar?
Bagus! Akupun lapar!” jawabnya sambil tertawa terkekeh.
Mau tak mau,
Suma Li Lian terpaksa ikut tertawa geli, hingga ia sendiri merasa heran mengapa
ia dapat tertawa! Agaknya pada saat itu semua kesedihannya lenyap dan kegilaan
orang tua itu menjalar kepadanya hingga iapun merasa sangat geli mendengar
kata-kata si jembel gila yang lucu dan gila itu. Celaka dua belas, pikirnya.
Dalam keadaan sedemikian menderita, bertemu dengan orang berotak miring.
Tapi
tiba-tiba si jembel gila itu gerakkan tangannya yang memegang tali dan tali itu
meluncur panjang dan bergerak-gerak bagaikan seekor ular terbang, ujung tali
itu telah menyelusup diantara daun-daun pohon dan ketika di tarik kembali,
diujung tali itu telah terbelit setangkai ranting yang ada buahnya beberapa
butir. Tali kecil itu agaknya dapat disuruh mencarikan makan! Si gila itu
memetik beberapa butir buah dan memberikan kepada Suma Li Lian.
“Kalau
lapar, enak sekali makan. Makanlah buah ini.”
Suma Li Lian
memandang jembel gila itu dengan pandangan berterima kasih sekali. Ia maklum
bahwa orang gila ini adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Dengan
lahapnya ia lalu makan buah-buah itu bersama-sama si jembel yang mencari
buah-buah lagi. Sambil makan buah, mereka saling pandang tanpa bercakap-cakap.
Kemudian, Li Lian berkata lagi,
“Lo-Suhu,
sebenarnya siapakah Lo-Suhu ini dan mengapakah kau begini baik kepadaku?”
Kakek gembel
itu tertawa lagi dengan geli. “Dunia ini memang lucu, tapi kau tidak lucu,
nona. Kau berwajah gelap diliputi kemurungan, menimbulkan rasa sakit dalam dada
kiriku.”
Setelah berkata
demikian, jembel gila itu meringis-ringis seperti menahan sakit dan tangan
kirinya meraba-raba dadanya. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya,
“Aku adalah
aku, kau tak usah bertanya karena aku sendiripun tidak tahu! Tapi kau mengapa
bermuram durja? Siapa yang mengganggumu, anakku manis?”
Mendengar
pertanyaan yang tiba-tiba diucapkan dengan suara sangat menyayang ini, hati Li
Lian menjadi sedih sekali hingga tubuhnya limbung dan ia terjungkal dari dahan
pohon yang didudukinya dan tubuhnya melayang ke bawah. Tapi sedikitpun Li Lian
tidak menjerit, hanya meramkan mata menanti datangnya maut. Tapi, tubuhnya
tidak terbanting ke atas tanah keras, bahkan merasa seakan-akan tubuhnya
diayun-ayun dan tiba-tiba ia merasa kakinya menginjak tanah. Ketika ia membuka
mata, ternyata ia telah berdiri di atas tanah dengan selamat, sedangkan empek
gila tadi telah berdiri pula di depannya seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
“Nona, kau
belum menjawab pertanyaanku. Siapakah yang mengganggumu?”
Suma Li Lian
tidak menjawab, tapi lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Jembel
gila itu mengangkat kepala dan sambil memandang langit ia tertawa
bergelak-gelak.
“Ha ha ha!
Kau memang pantas menjadi muridku. Pantas, pantas!”
Dengan ujung
kakinya ia mencokel tubuh Li Lian dengan perlahan, tapi cukup membuat tubuh
gadis itu mencelat mumbul ke atas, berputaran beberapa kali di udara sebelum
jatuh lagi kebawah, tapi Li Lian sama sekali tidak merasa takut! Kembali kakek
jembel itu tertawa bergelak-gelak dan menyambar baju Li Lian untuk mencegah
tubuh gadis itu terpelanting.
“Bagus,
bagus! berdirilah muridku!”
Sebenarnya,
sekali-kali bukan maksud Li Lian untuk mengangkat guru kepada orang gila ini
ketika berlutut tadi, tapi karena kakek aneh itu telah menerimanya sebagai murid,
ia tidak berani menolak atau membantah. Pula, di dunia ini tidak ada orang yang
berlaku baik kepadanya hingga ia benci kepada dunia dan penduduknya, kini
tiba-tiba ada seorang berotak miring yang sangat baik kepadanya, maka diam-diam
timbul pikiran baru dalam otaknya.
Kakek ini
mempunyai kepandaian luar biasa, maka kalau ia menjadi muridnya dan mempunyai
kepandaian tinggi, tak mungkin manusia-manusia macam Gak Bin Tong itu berani
menghinanya. Gak Bin Tong! Teringat akan nama ini, mata Suma Li Lian
memancarkan cahaya kemarahan. Kalau ia memiliki kepandaian tinggi, bahkan ia
akan dapat membalas dendamnya kepada pemuda muka putih yang jahanam itu!
“Muridku,
sekarang juga kau harus mulai belajar!” kata kakek gila itu.
Ia lalu
memutuskan sepotong tali dan gunakan itu untuk mengikat ujung celana Li Lian di
bagian pergelangan kaki kiri, demikianpun dengan ujung celana dipergelangan
kaki kanan muridnya. Lalu ia pergi ke bawah pohon dan berjungkir balik dengan
kepala di atas tanah dan kaki ke atas.
“Kau tiru
ini, dan sandarkan kedua kakimu di batang pohon!” katanya kepada Li Lian.
Semenjak
kecil memang Li Lian belum pernah belajar silat hingga ia sama sekali tidak
tahu bagaimana cara orang bersilat, maka mendapat perintah demikian itu, dengan
membuta ia turut dan taat. Sebentar saja ia merasa kepalanya pening dan
berdenyut-denyutan ketika ia berdiri dengan kepala di bawah macam itu. Kalau
tidak ada batang pohon yang menahan tubuhnya, tentu sudah tadi-tadi ia
terguling!
Tapi karena
hati dan perasaan Li Lian telah dibikin kaku dan membatu oleh penderitaan batin
yang dipikulnya, ia bulatkan kemauannya dan biarpun andaikata sampai matipun
tak nanti ia menyerah dan mundur! Agaknya gurunya yang gila itupun maklum akan
kekerasan hati muridnya, maka ia lalu membuka rahasia pelajaran mengatur napas
dan latihan lweekang yang sangat luar biasa, karena di kalangan persilatan
tidak ada latihan-latihan yang kesemuanya dilakukan secara aneh dan terbalik
macam yang diajarkan oleh si gila ini.
Demikianlah,
berhari-hari Suma Li Lian, gadis bangsawan yang sopan santun terpelajar, dan
halus budi pekertinya itu, kini menjadi murid seorang gila yang sakti dan
mempelajari ilmu-ilmu yang sakti yang mujijat sekali! Karena Li Lian telah
mendapat pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya boleh dikata tidak
sewajarnya lagi, dan kini mendapat seorang orang guru yang gila pula, maka
sikapnyapun makin tidak karuan dan ketidak acuhannya akan keadaan diri sendiri
membuat ia lebih mendekati kegilaan!
Latihan-latihan
aneh dilakukan tiada hentinya di dalam sebuah hutan yang tak pernah dikunjungi
manusia, dan mereka hanya berhenti berlatih apabila perut terasa lapar dan tak
tertahan atau mata merasa ngantuk sekali. Selain keperluan khusus yang tak
dapat ditahan atau ditunda lagi, mereka siang malam terus berlatih mati-matian!
Kakek tua
jembel yang berotak miring ini sebetulnya dahulu adalah seorang gagah yang
berwatak berani, jujur, dan jantan. Tapi karena tersesat seorang diri dalam
sebuah gua siluman, ia mendapatkan ilmu mujijat yang penuh mengandung hawa
siluman dan tanpa sadar mempelajarinya. Ilmu yang dipelajarinya itu demikian
mujijat hingga setelah keluar dari gua itu ia menjadi gila tapi memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa anehnya pula, karena gerakan-gerakannya demikian
aneh, sesuai dengan orangnya yang menjadi gila!
Pengalaman-pengalaman
hebat di waktu mudanya, dapat diikut dalam cerita Bu Beng Kiam-hiap yang ramai.
Entah apakah yang menggerakkan jiwa empek gila itu untuk merasa sangat tertarik
dan sayang kepada Suma Li Lian sehingga ia menerima gadis sengsara itu sebagai
muridnya dan menurunkan ilmu mujijat yang dimilikinya kepada murid ini.
Setelah
mereka berdua bersembunyi di dalam hutan itu selama sebulan lebih, maka si
jembel gila lalu mengajak muridnya keluar untuk ikut dalam perantauannya yang
tiada tentu tujuan itu. Kecantikan Li Lian lenyap tertutup oleh kekotoran yang
menutupi mukanya dan oleh rambutnya yang riap-riapan mengerikan. Tapi sepasang
matanya tetap bening dan jeli, hanya sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang
seakan-akan merasa jemu melihat segala yang berada di sekelilingnya. Di
sepanjang jalan tiada hentinya dan bosannya, Li Lian berlatih silat dan
lweekang yang aneh-aneh.
***************
Kita kembali
kepada Giok Ciu, gadis jelita yang patah hati karena kecewa kepada Sin Wan
kekasihnya. Ia tetap menganggap bahwa pemuda itu telah terpikat oleh kecantikan
Li Lian dan telah bermata gelap hingga melakukan perbuatan rendah, maka
perasaan cintanya terhadap pemuda itu berubah benci sekali, benci bercampur
kecewa dan memandang rendah.
Setelah
berpisah dari Sin Wan pada malam itu, yakni sesudah berhasil membunuh Keng Kong
Tosu bersama-sama dengan Sin Wan seakan-akan mereka sekali lagi berlumba dan
tidak mau kalah dalam hal mengeluarkan kepandaian membasmi musuh-musuh mereka,
Giok Ciu lari cepat di malam gelap.
Setelah
keluar dari dusun itu dan memasuki sebuah hutan, ia melihat sebuah Kelenteng
kecil atau Bio yang berdiri terpencil di pinggir jalan. Bio tua itu tampak
sunyi terpencil hingga menarik perhatian Giok Ciu. Ia lalu masuk ke dalam Bio
itu. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im yang sudah
luntur catnya. Melihat patung kecil itu berada di tempat terpencil dan sunyi,
biarpun di dalam keadaan remang-remang dan gelap.
Namun Giok
Ciu seakan-akan melihat betapa patung itu merasa kesunyian dan sengsara karena
tiada kawan, sebatang kara di dunia ini, maka sedihlah rasa hatinya. Ia lalu
menangis dan mencurahkan semua kedukaan hatinya. Di depan patung kecil itu
sambil berlutut. Sampai fajar menyingsing, gadis itu berlutut di depan patung
Kwan Im. Kemudian ia lalu duduk bersila dan menjalankan siulian untuk
menenangkan pikiran dan istirahat.
Untuk
beberapa lama ia bersamadhi, kemudian ia merasa seakan-akan ada orang yang
memandangnya, maka sadarlah ia lalu membuka mata. Ternyata, seperti dulu ketika
di puncak Kam-Hong-San, tak jauh di depannya tampak Gak Bin Tong duduk pula
memandangnya dengan sepasang mata yang sangat kagum dan tertarik. Seketika itu
juga naiklah warna merah di kedua pipi Giok Ciu dan ia lalu meloncat berdiri.
“Eh, kau
lagi! Mau apa kau mengganggu aku?” bentaknya sambil mencabut pedangnya.
Tapi Gak Bin
Tong buru-buru berdiri dan mengangkat kedua tangannya menyabarkannya. “Maafkan
aku, Lihiap. Aku tidak mempunyai maksud jahat terhadapmu, hal ini kau tahu
dengan baik. Kalau dulu-dulu aku pernah mengeluarkan kata-kata kurang ajar,
maka lupakanlah itu dan aku mohon maaf sebesar-besarnya.”
“Jangan
bicarakan lagi hal dulu-dulu!” Giok Ciu membentak pula, tapi ia agak sabar
melihat sikap pemuda itu.
“Baiklah,
Lihiap. Aku selalu ingin sekali bersahabat dengan engkau, sama sekali tak ingin
menjadi lawan. Bukankah dulu aku telah memperingatkan kau dari segala
keburukan? Aku pernah mengatakan bahwa Li Lian dan Sin Wan...”
“Tutup
mulutmu! Sekali lagi kau menyebut hal mereka, terpaksa pedangku ini yang akan
berbicara!” Gak Bin Tong tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maaf!
Baiklah, aku takkan mengulangi hal itu. Agaknya kau masih saja tidak percaya
dan membenciku, Lihiap, sungguh hal itu sangat kusesalkan, karena sebetulnya
aku ingin menolongmu dalam segala hal.” Giok Ciu menjadi tidak sabar.
“Sudahlah,
katakan saja apa maksudmu mengikuti aku dan datang kesini mengganggu
istirahatku?”
Gak Bin Tong
memperlihatkan muka terkejut. “Aku tidak mengikutimu, Lihiap. Hanya kebetulan
saja aku lewat disini. Alangkah girang hatiku melihat kau berada dalam Bio ini.
Aku... aku mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali kau akan mencari musuh
besarmu, bukan? Nah, kalau betul dugaanku ini, agaknya aku akan dapat
menolongmu.”
Tiba-tiba
lenyaplah segala kegalakkan Giok Ciu. Wajahnya yang tadi muram kini tampak
berseri dan penuh semangat, “Betulkah? Tahukah dimana tempat tinggal siluman
itu? Beritahukanlah padaku!”
Diam-diam
Gak Bin Tong tersenyum. Ia telah menggunakan senjata terampuh dalam menghadapi
gadis ini. “Begini, Lihiap. Aku sendiri pada saat sekarang ini tidak dapat
menentukan di mana ia tinggal, tapi karena aku kenal semua tempat dan
orang-orang di kota raja, mudah sekali bagiku untuk menyelidikinya. Aku
tanggung, jika kau ikut aku ke kotaraja, pasti dalam waktu beberapa hari saja
aku akan memberi tahu padamu dimana tempat sembunyinya siluman tua itu!”
Giok Ciu
adalah seorang gadis yang biarpun memiliki kepandaian tinggi sekali namun masih
hijau dan belum banyak mengenal kepalsuan dan kelicinan muslihat orang.
Mendengar kata-kata Gak Bin Tong ini, ia percaya penuh dan merasa bersyukur
sekali. Lenyaplah sebagian besar rasa tidak sukanya kepada pemuda muda putih
yang tampan itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura.
“Saudara
Gak, sungguh kau ternyata seorang sahabat yang baik. Maafkan kelakuan kasarku
yang sudah-sudah karena aku bercuriga kepadamu.”
“Sama-sama,
Kwie Lihiap, akupun sebagai seorang muda tentu banyak kekhilapan, maka harap
dari pihakmu juga yang banyak memaafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah.”
Demikianlah, dengan kata-kata yang halus, sopan, dan manis, Gak Bin Tong
memasang perangkapnya
Dan Giok Ciu
si dara muda yang masih bodoh ini bagaikan seekor lalat yang tanpa merasa
mendekati jaring laba-laba yang berbahaya. Namun, Giok Ciu yang mempunyai
kepercayaan besar sekali kepada diri sendiri, sedikitpun tidak merasa betapa
pemuda muka putih itu sedang memasang perangkap untuknya. Hal ini sebenarnya
dapat terjadi demikian mudahnya karena sikap Giok Ciu yang memandang rendah
kepada pemuda itu.
Ia
menganggap bahwa betapapun juga, pemuda itu takkan berdaya menghadapinya dan ia
tahu betul bahwa kepandaiannya masih jauh lebih tinggi hingga tak perlu
berkuatir apa-apa. Ia tidak tahu bahwa disamping kelihaian ilmu silat, masih
ada kepandaian yang lebih hebat dan lebih berbahaya lagi, yakni tipu muslihat
yang banyak digunakan orang untuk menjatuhkan lawan yang lihai dan tangguh!
“Saudara
Gak, menurut dugaanmu dimanakah adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”
“Kalau tidak
salah tentu ada di kota raja, tapi entah di gedung mana. Kita harus berlaku
hati-hati sekali, karena pada waktu ini di kota raja terdapat seorang yang
sangat tangguh dan sakti, yakni Beng Hoat Taisu, seorang utusan dari Tibet yang
masih paman guru dari Cin Cin Hoatsu sendiri. Aku mendengar berita bahwa
kepandaian Taisu ini tinggi sekali, maka kau harus waspada dan berhati-hati
Lihiap.”
“Aku tidak
takut, marilah kita berangkat mencari mereka!”
Di dalam
hatinya, Gak Bin Tong merasa girang sekali karena ternyata muslihatnya berhasil
baik. Ia telah dicap sebagai pengkhianat oleh para pengawal kota raja semenjak
rahasianya dibuka oleh Suma Li Lian dulu itu hingga ia dikejar-kejar sampai di
puncak Kam-Hong-San. Kini ia mendapat kesempatan untuk menebus kedosaannya.
Kalau saja ia dapat menjebak gadis pemberontak ini dan dapat menyerahkannya
kepada Cin Cin Hoatsu, tentu ia akan mendapat muka terang dan mendapat jasa!
Tentu saja Giok Ciu sedikitpun tak pernah menyangka akan apa yang terpikir di
dalam kepala pemuda tampan muka putih ini.
Di sepanjang
jalan dalam perjalanan mereka ke kota raja dan mencari tahu akan keadaan Cin
Cin Hoatsu, Gak Bin Tong berlaku sopan santun dan baik hingga sedikit
kecurigaan yang masih bersisa di dalam hati Giok Ciu dan membuatnya berlaku
waspada terhadap pemuda itu, kini lenyap sama sekali, terganti kepercayaan
besar.
Berhari-hari
mereka melakukan perjalanan dan setelah masuk ke kota raja, Gak Bin Tong
mengajaknya secara sembunyi-sembunyi tinggal di dalam sebuah rumah di pinggir
kota. Dari tempat itu, tiap malam mereka keluar melakukan penyelidikan.
Kadang-kadang mereka berpisah, untuk melakukan penyelidikan masing-masing. Pada
hari kelima setelah mereka berada di kota yang besar itu, Gak Bin Tong berkata
dengan wajah girang setelah kembali dari penyelidikannya.
“Nah,
terpeganglah sekarang olehku! Aku telah menemukan tempat tinggal siluman itu,
Lihiap!”
Bukan main
girang hati Giok Ciu mendengar ini. Dengan wajah berseri-seri ia segera
menanyakan di mana tempat itu.
“Kita harus
berhati-hati, Lihiap. Sekali-kali tidak boleh berlaku lancang dan sembrono. Cin
Cin Hoatsu sendiri kepandaiannya tinggi, sedangkan aku belum tahu jelas siapa
saja yang tinggal di gedung besar itu. Mungkin Beng Hoat Taisu juga berada di
situ pula, dan ini berbahaya sekali. Lebih baik malam nanti kita berdua pergi
menyelidiki ke sana dan kalau kiranya ada kesempatan baik, kita turun tangan!”
Giok Ciu
memandang wajah pemuda itu dan menghela napas. “Saudara Gak, kau sungguh baik
hati kepadaku. Pekerjaan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau dan sangat
berbahaya, maka janganlah kau membahayakan keselamatanmu untuk urusanku. Biarlah
aku pergi sendiri malam nanti.”
Gak Bin tong
membalas pandangan nona itu dan tersenyum menjawab, “Lihiap harap jangan
sungkan, Lihiap telah tahu betul akan perasaanku terhadapmu. Maaf Lihiap, aku
tidak berani mengulang-ulangi hal itu karena kau tidak suka mendengarnya. Tentu
kau tidak percaya kepadaku, maka biarlah kesempatan ini kugunakan untuk
membuktikan betapa murninya perasaanku itu. Biarlah kalau perlu aku
mengorbankan jiwa dalam membelamu.”
Giok Ciu
merasa terharu mendengar ucapan ini, tapi ia tidak berkata apa-apa karena
kembali bayangan Sin Wan terbayang di depan matanya dan membuatnya merasa
sangat sedih. Melihat keadaan gadis itu, Gak Bin Tong lalu meninggalkan gadis
itu untuk mengadakan persiapan guna penyelidikan mereka malam nanti.
Malam hari
itu udara gelap sekali. Udara hanya diterangi oleh sinar ribuan bintang yang
berkelap-kelip. Di dalam kegelapan malam itu, tampak dua bayangan hitam
berkelebat di atas genteng-genteng rumah yang tinggi. Mereka ini adalah Giok
Ciu dan Gak Bin Tong. Seperti biasa Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang serba
hitam dan Ouw Liong Pokiam tergantung di pinggangnya.
Rambutnya
yang hitam dan bagus itu diikat ke atas degan pengikat kepala dari sutera
merah. Gak Bin Tong mengenakan pakaian serba biru dan tampaknya gagah sekali.
Mereka menggunakan ilmu lari cepat dan berloncat-loncatan di atas wuwungan
rumah. Akhirnya tibalah mereka di atas sebuah gedung yang tinggi besar.
“Lihiap,
inilah gedungnya. Lebih baik kita berpencar, aku masuk dari kiri dan kau dari
kanan.”
Giok Ciu
mengangguk. Mereka lalu berpencar dan Giok Ciu dengan gesit sekali loncat ke
atas wuwungan bangunan sebelah kanan. Ia melihat betapa di bawah masih terang
sekali, tanda bahwa penghuni gedung itu belum tidur. Hatinya berdebar keras
karena ia ingin sekali lekas-lekas bertemu dengan musuh besarnya dan membuat
perhitungan.
Ketika ia
sedang mengintai ke dalam, telinganya yang tajam mendengar sesuatu di atas
genteng sebelah belakangnya. Cepat-cepat ia menengok dan melihat bayangan yang
berkelebat cepat sekali tapi terus lenyap! Ia kaget sekali karena orang itu
memiliki kepandaian tinggi dan gerakan yang cepat sekali...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment