Friday, October 5, 2018

Cerita Silat Serial Kisah Sepasang Naga Jilid 09



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Kisah Sepasang Naga

                 Jilid 09


Kini wajah suma Li Lian menjadi pucat sekali, dan ia lalu berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran,

“Apa...? Kalau begitu... siapakah... siapakah...?” ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi mukanya yang pucat dan terlihat oleh Sin Wan betapa sepuluh jari itu menggigil hingga timbul hati iba di dalam hatinya terhadap nasib gadis yang malang ini.

“Siocia, biarpun tidak ada bukti, namun aku berani pastikan bahwa yang menganggu engkau tentu bukan lain orang ialah Gak Bin Tong!”

“Apa katamu?” Li Lian berteriak keras.

Sin Wang mengangguk-angguk. “Kau tentu tidak mengetahui bahwa pada malam itu, pemuda muka putih itu bermalam di Kelenteng. Ia memiliki ilmu silat yang tinggi juga dan tentang potongan tubuh, memang ia sama dengan aku agaknya. Pula, ia memang terkenal sangat cerdik dan licin, juga aku tahu bahwa ia mempunyai adat yang buruk, maka sudah pasti ia meniru-niru suaraku untuk mengelabui engkau!”

Mendengar kata-kata ini, tiba-tiba Li Lian berteriak dan roboh pingsan! Sin Wan cepat sekali menyambar tubuh nona itu, lalu mengambil anak kecil dari gendongan Li Lian dan merebahkan tubuh itu perlahan di atas rumput. Anak itu menangis keras dan Sin Wan terpaksa gendong anak itu sambil mengayun-ayunnya di dalam lengannya. Ia merasa kasihan sekali melihat Li Lian dan di dalam hati ia bersumpah hendak membunuh Gak Bin Tong manusia keparat itu! Ketika Li Lian sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung dan memukul-mukul kepala sendiri. Rambutnya menjadi awut-awutan dan berkali-kali ia mengeluh,

“Ya Tahun, Engkau tidak adil! Sungguh tidak adil! Mengapa aku harus menderita semua ini? Koko Sin Wan, biarpun perbuatanku itu rendah dan hina, tapi agaknya aku masih sanggup mempertahankan hidupku bahkan sanggup mencapai kebahagiaan jika kiranya engkaulah orang itu! Tidak kusangka... dia itu... Gak Bin Tong keparat, manusia iblis terkutuk... aduh, aduh... nasib diriku... dosa apakah yang telah kuperbuat maka terhukum sehebat ini...? Gak Bin Tong, kau... kau... bangsat!! Tunggu, aku harus bunuh kau untuk perbuatanmu yang terkutuk itu!”

Tiba-tiba Suma Li Lian, gadis bangsawan cantik jelita yang biasanya halus itu, menjadi liar dan ganas. Rambutnya awut-awutan, matanya yang bening terputar-putar dan mulutnya mengeluarkan busa! Ia lalu lari turun gunung, tersaruk-saruk, jatuh dan bangun lagi, terus lari sambil memaki-maki nama Gak Bin Tong seakan-akan pemuda muka putih itu telah berada di depannya dan sedang dikejar-kejarnya untuk dibunuh!

Sin Wan kaget melihat bahwa Suma Li Lian agaknya telah berubah pikiran dan menjadi gila! Ia hendak mengejar, tapi tiba-tiba anak perempuan yang baru berusia lima bulan dan berada di dalam gendongannya itu menangis keras! Ia menjadi serba salah, karena dengan cara kikuk dan kaku sekali ia menggendong anak kecil itu dan tidak berani lari sambil menggendong. Untuk tinggalkan anak itu iapun tidak tega. Lagi pula, untuk apa ia mengejar Li Lian?

Maka akhirnya ia hanya berdiri bingung sambil memandang anak yang menangis keras di dalam pelukannya itu. Setelah ditimang-timang beberapa lama tapi anak itu tidak juga mau diam seakan-akan menangisi ibunya yang lari pergi meninggalkannya, Sin Wan menjadi bingung sekali. Kemudia ia meletakkan anak itu di atas rumput kering, lalu ia meloncat memetik buah yang telah masak.

Setelah ia memberi makan anak itu dengan buah, diamlah tangis anak itu hingga Sin Wan yang tadinya bingung sekali sampai mengeluarkan peluh dingin di dahinya, kini tersenyum girang karena anak itu makan buah sambil tertawa-tawa lucu! Sin Wan memutar-mutar otaknya. Mengapa ia harus mengalami peristiwa yang aneh dan membingungkan ini?

Kala teringat kepada Giok Ciu, ia merasa sedih sekali dan hatinya terasa perih, apalagi kalau mengingat betapa gadis kekasihnya itu telah menghancurkan suling pengikat jodoh mereka! Kalau teringat kepada Li Lian, hatinya terharu dan ia merasa kasihan sekali akan nasib gadis cantik itu.

Ayahnya telah terbunuh olehnya, sedangkan ia sendiri mengalami nasib memalukan dan yang menghancurkan namanya dan nama keluarganya. Teringat akan hal ini, memuncaklah kegemasan Sin Wan kepada Gak Bin Tong! Kemudia ia teringat kembali kepada anak Li Lian yag ditinggalkan oleh ibunya ini. Apa yang harus ia lakukan? Memelihara anak ini? Ah, ia tak sanggup dan juga tidak mau. Habis bagaimana?

Tiba-tiba ia teringat akan kampung ibunya. Wajahnya menjadi terang, dan ia lalu angkat anak itu dalam dukungannya dan berangkatlah ia turun gunung menuju ke perkampungan Ibu dan kakeknya. Kedatangannya disambut girang oleh para penduduk kampung, tapi alangkah heran mereka ketika melihat bahwa pemuda pahlawan mereka itu datang sambil mendukung seorang anak perempuan yang masih bayi!

Dengan singkat Sin Wan menuturkan riwayat anak kecil itu, tentu saja tanpa membongkar-bongkar rahasia Ibu anak itu, kemudian ia menyerahkan anak itu kepada seorang janda she Thio untuk dirawat. Kepada janda itu Sin Wan memberi beberapa potong emas sebagai bekal membiayai pemeliharaan anak itu. Kemudian, ia pun pergi hendak mencari Giok Ciu.

Ia pikir bahwa gadis itu tentu pergi mencari musuh besarnya, yakni Cin Cin Hoatsu. Asal saja ia pergi mencari Pendeta Tibet itu, banyak harapan ia akan bertemu dengan Giok Ciu. Ia ingin sekali segera bertemu dengan gadis itu menjelaskan segala hal tapi apa boleh buat, ia harus bersabar, karena ia tak tahu jurusan mana yang diambil oleh gadis itu!

Beberapa hari kemudian ketika Sin Wan tiba di luar sebuah kampung, ia melihat bayangan seorang yang dikenalnya baik, karena dari belakang ia kenal bahwa orang itu adalah Kwi Kai Hoatsu! Pertapa lihai itu sedang keluar dari kampung itu dan berlari keras sekali. Sin Wan juga merasa penasaran dan marah karena pernah terjatuh dalam tangan imam dari Tibet ini segera mengejar.

Juga, selain hendak membalas kekalahan dulu, iapun tahu bahwa ini adalah saudara seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, maka kalau mungkin ia hendak mendapat keterangan tentang musuh besar itu dari Kwi Kai Hoatsu. Karena kepandaiannya memang tinggi, Kwi Kai Hoatsu segera tahu bahwa dirinya dikejar orang, maka segera ia 'Tancap Gas' dan membalap sekerasnya! Tapi Sin Wan telah mempunyai ginkang yang mendekati puncak kesempurnaan, maka ia tidak tertinggal, bahkan lambat laun tapi pasti, ia makin dekat dengan Pendeta yang dikejarnya itu.

Diam-diam ketika menengok, Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali melihat betapa orang yang mengejarnya itu makin dekat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pengejarnya demikian lihai. Tadinya ia menyangka bahwa yang mengejarnya hanyalah orang biasa saja, maka ia hendak mempermainkannya, tidak tahunya, setelah mengerahkan tenaga larinya, ternyata jarak antara ia dan pengejarnya itu makin dekat saja.

Karena marah dan penasaran, ketika tiba di tempat sunyi dan kanan kiri hanya terdapat sawah kosong, ia berhenti dan menanti dengan mata melotot. Tapi ketika pengejarnya dengan cepat sekali telah tiba di depannya, ia memandang pemuda tampan yang sedang tersenyum di depannya itu dengan heran, karena ia mengenal pemuda ini.

“Eh, ternyata engkaukah ini?” katanya dengan senyum sindir karena ia hendak tetapkan hati sendiri dengan memandang rendah pemuda itu.

Tak mungkin pemuda ini dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya karena biarpun andaikata pemuda ini belajar lagi, namun waktunya hanya setahun dan dalam masa waktu sependek itu tak mungkin pemuda ini akan dapat melawan kepandaian lweekang dan hoatsut yang telah dipelajarinya berpuluh tahun lamanya. Sin Wan menjawab dengan tenang.

“Ya, akulah!” Pertapa itu memandang ke kanan kiri, seakan-akan hendak mencari-cari apakah pemuda ini berteman, karena kalau gadis yang lihai dulu itu ikut datang, maka mereka berdua merupakan lawan yang berat juga. Hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa Sin Wan memang hanya seorang diri saja.

“Anak muda, apa maksudmu mengejarku? Apakah pelajaran yang kau terima dulu itu belum membikin kau merasa kapok?”

Sin Wan tersenyum mengejek. “Maksudmu, engkau atau akukah yang menerima pelajaran dan merasa kapok? Kwi Kai Hoatsu, sesungguhnya antara kita tidak terdapat sesuatu permusuhan yang menyebabkan kita saling membenci, kecuali barangkali sifat-sifat sombong dan tidak mau kalah dari kita masing-masing. Aku mengejarmu bukanlah dengan niat hendak mengajak kau bertempur, kecuali kalau kau sendiri yang memaksaku!”

Kwi Kat Hoatsu memandang kepada Sin Wan dengan heran. “Kalau bukan untuk bertempur, mengapa kau mengejarku?”

Sin Wan tersenyum sabar. “Aku hanya ingin bertanya di manakah gerangan adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”

Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu tertawa besar. “Enak saja kau bicara. Kau mencari saudaraku itu untuk mengajak berkelahi dan mengadu jiwa, bukan? Dan kau katakan bahwa kita tidak ada permusuhan?”

“Memang saudaramu itu musuh besarku. Ia telah membunuh mati Suhuku, yakni Hui-Houw Kwie Cu Ek, maka aku harus membalas dendam ini. Bukankah ini suatu hal yang lajim dan pantas?”

“Anak muda, jangan banyak ribut. Dengan kepandaianmu serendah ini mana kau dapat melawan Cin Cin Hoatsu? Kau boleh mencoba-coba kepandaianmu padaku, coba kulihat apakah kau cukup pantas untuk bertanding melawan saudaraku itu!”

Sambil berkata demikian Kwi Kai Hoatsu mencabut keluar tongkar ular dan hudtimnya yang terkenal lihai itu dan mendahului menyerang. Sin Wan juga telah mencabut keluar Pek Liong Pokiam dan melayani Tosu itu. Ketika tongkat ularnya beradu dengan pedang pusaka berwarna putih itu, terkejutlah si Tosu, karena dari bentrokan kedua senjata ini saja ia tahu betapa hebat tenaga lweekang pemuda itu!

Sungguh luar biasa betapa dalam waktu setahun saja tenaga lweekang pemuda itu yang dulu jauh dibawahnya, kini boleh dikata telah mencapai kedudukan setingkat dengan dia, kalau tidak lebih tinggi malah! Karena inilah maka ia menjadi jerih. Memang, dalam hal ilmu silat, setahun yang lalupun ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut telah membuat Tosu itu sibuk.

Hanya pada waktu itu lweekangnya masih menang jauh hingga ia berhasil merobohkan Sin Wan. Maka, kini setelah pemuda itu mendapat gemblengan khusus dari Bu Beng Lojin dalam hal tenaga lweekang dan batin, tentu saja kepandaian pemuda itu jauh lebih hebat lagi. Sin Wan juga merasa betapa sampokan-sampokan senjata lawannya tak terasa berat lagi baginya, hingga ia menjadi girang dan mendesak hebat dengan sinar pedang.

Dulu ia merasa betapa dari tongkat ular itu keluar bau amis yang memuakkan, tapi sekarang ia dapat melawan hawa itu dengan mengatur napasnya dan mengusir hawa jahat yang menyerang mulut dan hidungnya dengan tiupan napas. Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih. Ia berhasil membabat putus kebutan lawannya hingga Tosu itu berseru kaget.

Kalau saja Sin Wan berlaku kejam, agaknya ia akan berhasil membunuh Kwi Kai Hoatsu, tapi pemuda itu tidak bermaksud membunuhnya, hanya ingin mengalahkannya saja sebagai pembalasan tahun lalu. Maka cepat sekali pedangnya mengurung dan maksudnya hendak membuat senjata lawan terlepas dari pegangan.

Kwi Kai Hoatsu yang tidak tahu akan kehendak pemuda itu dan menyangka bahwa Sin Wan tentu akan mendesak dan membunuhnya, menjadi sibuk sekali dan tiba-tiba ia berseru keras sambil mencabut keluar sabuk sutera hitam yang dulu digunakan untuk merampas pedang Sin Wan. Kini agaknya iapun hendak menggunakan lagi senjata luar biasa itu. Sambil membentak keras dan mengerahkan tenaga ilmu hitamnya, ia menggerakkan tangan kiri dan sutera hitam itu bagaikan ular yang hidup menyambar pedang Sin Wan.

Pemuda ini girang sekali melihat senjata aneh ini dikeluarkan, karena ia memang hendak mencoba kelihaian senjata yang dulu pernah merampas pedangnya. Ia berlaku tabah dan bahkan membiarkan senjatanya dibelit benda itu. Setelah ujung Pek Liong Pokiam terlibat erat, ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak serangan pengaruh bentakan lawan dan membarengi menggunakan lweekangnya untuk menggerakkan pedang itu.

Terdengarlah suara kain robek dan ternyata sutera hitam yang sangat diandalkan oleh Kwi Kai Hoatsu telah terputus oleh pedang Pek Liong Pokiam! Kwi Kai Hoatsu menjerit kaget karena ia tahu bahwa kini ia akan tewas dalam tangan pemuda yang kosen ini, maka tanpa malu-malu lagi ia lalu meloncat jauh untuk melarikan diri. Tapi Sin Wan segera meloncat pula mengejar sambil berseru.

“Kwi Kai Hoatsu! Nanti dulu, jangan kau pergi sebelum memberi tahu padaku tempat tinggal Cin Cin Hoatsu!” tapi Tosu tidak memperdulikan teriakannya dan lari makin cepat. Sin Wan terus saja mengejar dengan lebih cepat.

Biarpun ilmu lari cepat dari Tosu itu sudah cukup tinggi, tapi mana ia dapat melawan Sin Wan yang selain mendapat didikan seorang suci dan berilmu tinggi, juga ia telah makan buah-buah mujijat yang membersihkan darahnya dan membuat tubuhnya menjadi ringan. Lambat laun jarak antara mereka makin dekat. Tapi, ketika Kwi Kai Hoatsu tiba di dalam sebuah hutan dan Sin Wan telah dekat benar dengannya, tiba-tiba Tosu itu mengeluarkan sebuah benda dan membantingnya ke belakang.

Benda itu pecah dan mengeluarkan asap hitam tebal bergulung-gulung di belakangnya dan membuat ia lenyap dari pandangan mata pengejarnya. Sin Wan merasa terkejut dan cepat ia membelokkan arah jalannya agar jangan sampai menerjang asap hitam itu karena ia menduga tentu asap itu adalah asap berbisa yang berbahaya. Tapi, ternyata Tosu itu telah dapat melenyapkan diri di belakang tabir asap itu karena tanpa diketahui oleh Sin Wan ke mana arah yang ditempuh imam itu.

Sin Wan merasa penasaran dan kecewa sekali mengapa tidak ia robohkan saja imam jahat itu tadi agar dapat ia paksa untuk mengaku dimana tempat tinggal Cin Cin Hoatsu. Kini ia kehilangan pegangan dan tidak tahu harus mencari kemana. Tapi ia pikir bahwa keadaan Giok Ciu juga sama dengan dia sendiri yakni tidak mempunyai tujuan yang tetap dalam mencari musuh besarnya.

Maka besar kemungkinan gadis itu akan mencari di kota raja, karena di situlah pusat para pembatu Kaisar berkumpul dan disitu pula akan dapat dicari keterangan tentang musuh besar itu. Karena pikiran ini, maka Sin Wan segera menuju ke kota raja. Pikiran Sin Wan yang berotak cerdas ini memang tidak keliru.


                  ***************


Giok Ciu dengan hati sedih dan kalbu hancur lari turun dari Kam-Hong-San. Gadis itu berlari-lari sambil tiada hentinya menangis. Kini ia tidak pedulikan segala apa dan tujuan hidupnya hanya satu, yakni mencari Cin Cin Hoatsu dan membunuh orang yang telah membunuh Ayahnya itu. Ia merasa bingung sekali karena tidak tahu harus mencari kemana, maka ia lalu menuju ke kotaraja, karena teringat bahwa selain dari tempat itu, agaknya sukar untuk mencari tahu tempat tinggal Pendeta Tibet itu.

Karena sedihnya, ia tidak mau berhenti berlari dan lupa makan lupa tidur. Setelah sehari semalam lari cepat tanpa berhenti sedikitpun, ia tiba di kota Ang-Len dan karena merasa kepalanya pening sekali dan tubuhnya panas, terpaksa ia mencari sebuah rumah penginapan dan minta sebuah kamar. Begitu tutup pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, ia jatuh pingsan.

Ternyata karena mendapat serangan dari dalam dan luar, gadis itu tidak kuat menahan lagi. Dari dalam ia mendapat pukulan hebat sekali karena hatinya merasa hancur dikecewakan oleh kenyataan betapa Sin Wan, pemuda kekasihnya dan orang satu-satunya di dunia ini yang dicintanya dan dijadikan sandaran hidupnya telah mencemarkan kesucian ikatan jodoh mereka.

Dan ternyata pemuda itu telah melakukan perbuatan yang hina dina dan yang tak mungkin dapat ia maafkan lagi. Dari luar ia mendapat serangan penyakit panas yang tentu akan dapat dilawan oleh kekuatan tubuhnya kalau saja ia tidak memaksa tubuhnya berlari terus-menerus sehari semalam tanpa mengaso dan tanpa makan. Akhirnya tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan jatuh sakit!

Setelah sadar dari pingsannya, Giok Ciu merasakan tubuhnya sangat lemah dan kepalanya pusing sekali. Juga tubuhnya terasa panas seakan-akan ada api yang membakar tubuhnya dari dalam. Ia maklum bahwa gangguan kesehatan ini terjadi karena kesalahannya sendiri, terjadi karena kacaunya keadaan hati dan pikirannya, juga karena ia tidak memperhatikan pemeliharaan tubuhnya. Ia teringat betapa Suhunya, Bu Beng Lojin yang sakti itu, pernah berkata demikian.

“Alam telah mempunyai hukum-hukum tertentu dan siapa saja yang tidak menyesuaikan dirinya dengan hukum alam, pasti akan mengalami bencana dan hukuman. Siapa yang melanggar hukum alam, pasti akan terhukum dan menderita, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum alam itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah daripada hukum-hukum alam itu ialah hukum kesehatan, misalnya ketentuan bahwa manusia harus makan pada saat tubuhnya membutuhkan makanan, harus beristirahat pada waktu tubuh lelah dan membutuhkan istirahat. Kalau kita paksakan diri dan melanggar ketentuan hukum ini, tak dapat tidak pasti akan menderita hukumannya, yakni mendapat sakit! Penyakit bukan datang dari luar, tapi terjadi karena pelanggaran hukum itu tadilah! Demikian pula dengan hukuman-hukuman yang lain, yang kesemuanya terjadi karena pelanggaran-pelanggaran hukum alam yang kita lakukan sendiri, bagaimana macamnya hukuman dan penderitaan itu. Maka hati-hatilah menghadapi percobaan dalam hidupmu, karena sekali kau salah tindak, bukan orang lain yang akan menerima hukumannya tapi kau sendiri. Inilah keadilan alam!”

Mengingat akan semua nasihat-nasihat dan petuah-petuah Suhunya yang sangat berharga, agak terobatlah luka di hati Giok Ciu. Ia menjadi tenang, walaupun rasa bencinya kepada Sin Wan masih menghebat. Ia lalu turun dari pembaringan dengan perlahan dan memanggil pelayan. Ketika pelayan datang, ia minta dibelikan makanan dan makan dengan hati-hati, kemudian ia memerintahkan pelayan untuk membeli obat pelawan panas dan setelah merawat diri baik-baik dan membantu pekerjaan obat itu dengan bersamadhi dan mengatur napas, maka dua hari kemudian sembuhlah ia.

Setelah merasa sembuh betul, barulah ia melanjutkan perjalanannya. Malam hari berikutnya ia bermalam di sebuah kota kecil, di dalam sebuah hotel. Menjelang tengah malam, ia terjaga dari tidurnya oleh suara kaki orang yang dengan hati-hati sekali berjalan di atas hotel itu! Giok Ciu dengan telinga terlatih dan tajam, dapat menduga bahwa yang berjalan di atas genteng itu hanyalah seorang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa tinggi.

Namun tindakan orang itu cukup mencurigakan dan karena menduga akan terjadinya kejahatan, Giok Ciu segera berganti pakaian dan meloncat keluar dari jendela, terus melayang naik ke wuwungan rumah. Ia melihat bayangan hitam meloncat dan berlari-lari di atas genteng rumah di depan maka ia segera mengejarnya. Giok Ciu sengaja mengikuti orang itu untuk melihat apakah yang hendak dilakukan olehnya.

Ternyata setelah berputar-putar di atas rumah-rumah orang, bayangan hitam itu meloncat turun ke dalam sebuah rumah. Giok Ciu cepat mengejar dan meloncat turun pula. Ia melihat betapa bayangan hitam itu menggunakan goloknya membuka jendela sebuah kamar dan meloncat masuk. Terdengar teriakan tertahan dan suara laki-laki yang kasar membentak,

“Diam kalau tak ingin mampus!”

Giok Ciu marah sekali karena teriakan itu adalah teriakan seorang wanita. Ia dapat menduga bahwa bayangan hitam itu tentulah seorang penjahat. Kalau bukan Jai-Hwa-Cat atau Penjahat Pemetik Bunga, tentulah seorang pencuri atau perampok! Maka ia segera membentak dari luar jendela,

“Bangsat hina yang berada di dalam kamar orang. Ayo lekas kau keluar kalau tidak ingin kepalamu kutabas putus!”

Dari dalam kamar terdengar seruan marah dan heran dan pada saat selanjutnya bayangan hitam itu meloncat keluar dari dalam kamar sambil memutar-mutarkan goloknya ketika melalui jendela agar jangan sampai disergap musuh. Tapi Giok Ciu hanya tertawa menyindir sambil bertolak pinggang dan menanti di atas genteng.

Ketika penjahat itu telah berada di atas genteng, ia heran sekali melihat di bawah sinar bulan bahwa yang mengganggunya hanyalah seorang dara berpakaian serba hitam yang cantik sekali. Dalam pakaiannya yang hitam itu, Giok Ciu tampak cantik dan gagah, sedangkan kulit muka dan kedua tangannya tampak putih sekali. Bayangan hitam itu ternyata seorang laki-laki yang masih muda dan mempunyai sepasang mata bangsat yang liar. Kini, menghadapi Giok Ciu, ia menyeringai dan berkata,

“Aduh, nona yang cantik seperti bidadari! Apa kehendakmu maka kau memanggil aku kemari?”

Giok Ciu marah sekali mendengar kata-kata orang ini mengandung kekurangajaran. Ia berkata dingin, “Kau mencari celaka sendiri! Tadinya kusangka kau hanya seorang penjahat rendah yang patut dikasihani dan diberi ampun dengan menerima peringatan keras saja, tidak tahunya kau seorang yang lancang mulut pula! Untuk kelancanganmu ini, kau harus meninggalkan sebelah tanganmu!”

Marahlah orang itu dan ia lalu menerjang dengan goloknya setelah berseru, “Bagus! Perlihatkan kepandainmu, nona cilik!”

Tapi Giok Ciu dengan sekali sabet saja telah membuat golok penjahat itu terbabat putus, kemudian cepat bagaikan kilat Ouw-Liong Pokiam berkelebat dan sebelum kuasa menghilangkan kagetnya karena goloknya terbabat putus, tahu-tahu orang itu merasa tangan kirinya perih dan dingin. Ketika ia melihat, ternyata tangannya sebelah kiri telah terpotong pula pada sebatas pergelangan tangan itu! Ia membelalakan mata dan lari sambil berteriak-teriak,

“Aduh... aduh tolong... Suhu... Tolong… Suhu...!”

Demikian tajamnya Ouw-Liong Pokiam sehingga hampir saja penjahat itu tidak merasa bahwa tangan kirinya telah terbabat putus! Giok Ciu merasa puas telah memberi pelajaran kepada penjahat itu, tapi begitu mendengar penjahat itu menyebut-nyebut gurunya, ia segera mengejar.

Kalau penjahat itu mempunyai seorang guru di kota ini, maka gurunya tentu bukan seorang baik-baik pula dan perlu dan dibasmi agar jangan merupakan pengganggu dan pengacau rakyat di kota itu. Penjahat itu, terus menuju ke sebuah rumah yang tinggi gentengnya sambil terus berteriak-teriak minta tolong kepada gurunya.

Tiba-tiba dari dalam rumah itu melayang keluar bayangan seorang yang mempunyai gerakan gesit sekali. Giok Ciu siap dengan pedangnya karena dari gerakan orang itu ia dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Ketika bayangan orang itu tiba di depannya dan membentak nyaring, Giok Ciu merasa terkejut berbareng girang karena ternyata bahwa orang itu bukan lain ialah Keng Kong Tosu!

“Ha, jadi kaukah guru penjahat itu? Pantas saja muridnya jahat, tidak tahunya gurunya seorang penjahat besar!”

Keng Kong Tosu lebih kaget lagi ketika melihat bahwa orang yang melukai dan mengejar muridnya bukan lain adalah gadis lihai yang dulu pernah bertempur dengannya! Ia masih ingat betapa lebih setahun yang lalu gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, apalagi sekarang, maka diam-diam ia merasa jerih juga. Akan tetapi, karena lawan itu telah berada disitu, pula ia dapat mengharapkan bantuan tiga murid lain yang berada di bawah ia lalu membentak,

“Pemberontak perempuan, tidak tahunya kaukah yang lagi-lagi menghina kami dan melukai muridku? Kau agaknya telah bosan hidup!”

“Jangan banyak cakap, kau majulah Tosu palsu!”

Giok Ciu lalu menyerang hebat dengan pokiamnya, hingga Keng Kong Tosu buru-buru meloncat dan mengeluarkan pedang pendek dan hudtimnya yang digerakkan secara istimewa untuk menangkis dan balas menyerang. Ia berlaku hati-hati sekali karena dulu pernah merasakan kelihaian dari pendekar ini dan pernah dilukai pundaknya oleh pedang pusaka yang ampuh itu. Tapi baru saja bertempur beberapa jurus, makin kuncup dan jerih hati Tosu itu karena ia mendapat kenyataan bahwa tenaga lweekang dan permainan pedang dara itu kini telah maju hebat sekali!

Ia lalu bersuit nyaring untuk memanggil murid-muridnya dan sambil membentak keras ia mengeluarkan senjata-senjata rahasia jarum hitam dari dalam kebutannya. Jarum-jarum itu jumlahnya lebih dari sepuluh batang dan kecil sekali sehingga ketika menyambar di dalam gelap itu, sama sekali tidak tampak.

Tetapi Giok Ciu memiliki tenaga pendengaran, yang halus sekali dapat menangkap angin gerakan hudtim itu maka ia dapat menduga bahwa dari gerakan itu tentu keluar senjata rahasia. Ia lalu menggunakan pedangnya yang diputar dalam gerak tipu Naga Hitam Menutup Gua untuk melindungi tubuhnya dan benar saja, terdengar suara tring-tring nyaring sekali ketika jarum-jarum itu terpukul oleh pedangnya.

Pada saat itu, dari bawah meloncat naik tiga bayangan yang juga memiliki gerakan gesit. Mereka ini adalah murid-murid Keng Kong Tosu yang tadi sibuk menolong Sute mereka yang terbabat tangannya oleh pedang Giok Ciu. Kini mereka mendengar tanda siutan Suhu mereka, ketiga orang itupun mengambil senjata masing-masing dan naik untuk membantu Keng Kong Tosu.

Sekali-kali Keng Kong Tosu berseru keras dan asap hitam menyambar kearah tubuh Giok Ciu. Tapi Giok Ciu sekarang bukanlah dara setahun yang lalu, yang takut akan segala ilmu hitam dan senjata-senjata mujijat. Ia telah memiliki tenaga lweekang dan tenaga batin yang kuat sekali dan membuatnya waspada dan tenang. Melihat datangnya asap hitam yang berbau busuk itu, ia lalu menggunakan mulutnya meniup ke depan dari atas ke bawah.

Tenaga tiupan ini demikian besar sehingga asap itu tertiup berbalik, dan kini bahkan menyerang Keng Kong Tosu dan murid-muridnya! Tosu sesat itu cepat menggunakan kebutannya diputar untuk mendatangkan angin mengusir asap itu, juga dua orang muridnya meloncat menyingkir, tapi seorang murid tidak menyangka sama sekali akan tiupan Giok Ciu maka ia terserang oleh asap hitam itu.

Ia kena sedot asap itu sehingga terbatuk-batuk dan tubuhnya lalu terguling roboh di atas genteng! Keng Kong Tosu terkejut dan marah sekali. Ia cepat mengeluarkan obat pemunah dan memasukkan obat itu ke dalam mulut muridnya. Seorang murid lain lalu memondong tubuh kawannya itu dan meloncat ke bawah sedangkan gurunya dan seorang kawannya yang masih berada disitu lalu maju mengeroyok gadis yang lihai itu.

Giok Ciu memutar pokiamnya dan memainkan ilmu pedang Ouw-Liong Kiam-Sut yang luar biasa dan ganas. Sebentar saja sinar pedangnya yang hitam dan membuat ia lenyap dari pandangan mata kedua lawannya, telah mengurung dan mendesak kedua lawannya. Pada saat itu murid yang tadi menolong kawannya terkena asap berbisa dari Suhunya sendiri, telah naik pula dan maju mengeroyok dengan pedangnya. Tapi Giok Ciu tidak takut, bahkan tertawa menyindir.

“Keng Kong Tosu, Tosu busuk! Kau agaknya hendak mampus sambil membawa dua orang pengiring!”

Keng Kong Tosu marah sekali, tapi ia tidak berdaya, maka ia lalu berkelahi dengan nekad dan mati-matian! Pada saat itu, tampak berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar putih yang terang sekali meluncur dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran serta langsung membantu Giok Ciu.

“Moi-moi, mari kita musnahkan manusia jahat ini!” terdengar seruan Sin Wan dengan suara gembira karena tanpa dinyana ia dapat bertemu dengan gadis itu di tempat ini! Tapi Giok Ciu menjawab marah.

“Siapa butuh pertolonganmu? Jangan kau ikut mencampuri urusanku!”

Sin Wan merasa mendongkol juga mendengar betapa keng Kong Tosu dan kedua muridnya sengaja memperdengarkan suara ketawa untuk menghinanya. Ia merasa betapa gadis itu merendahkannya dimuka musuh-musuhnya, maka dengan suara dingin ia berkata,

“Siapa yang hendak membantu engkau? Akupun mempunyai sedikit urusan dengan Tosu jahanam ini!”

Sambil berkata demikian, Sin Wan lalu menggunakan pedangnya yang bersinar putih menyerang hebat dengan tipu Naga Putih Menembus Awan. Gerakannya hebat dan cepat sekali sehingga Keng Kong Tosu menjadi terkejut dan cepat berkelit. Tapi pada saat itu Giok Ciu yang tidak mau 'didului' Sin Wan, segera menyerangnya dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut.!

Sementara itu, Sin Wan sudah merubah gerakannya dan kini menyabet dengan tipu Naga Putih Sabetkan Ekor! Mana bisa Keng Kong Tosu mempertahankan dirinya terhadap serangan-serangan dari kedua anak muda yang mengeluarkan tipu-tipu terlihai dari Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut!

Biarpun ia menggunakan pedang pendek dan hudtimnya untuk menjaga diri, tak urung kedua pedang lawan itu dengan berbareng telah menusuk tembus dada dan lambungnya sehingga tanpa dapat berteriak lagi Keng Kong Tosu roboh tak bernyawa pula!

Giok Ciu merasa penasaran karena lagi-lagi ia tak dapat mendahului Sin Wan dan boleh dikata Tosu jahanam itu terbunuh oleh mereka berdua dengan berbareng! Dalam gemasnya ia hendak menyerang kedua murid Keng Kong Tosu yang berdiri terkejut dan kesima, tetapi Sin Wan menegur,

“Jangan, Giok Ciu, jangan bunuh mereka!”

“Peduli apa kau dengan urusanku sendiri?” bentak gadis tiu dan melanjutkan serangannya kepada dua orang murid Tosu yang telah mati itu. Tapi tiba-tiba sinar putih berkelebat cepat dan pedang Sin Wan telah menangkis Ouw-Liong Pokiam.

“Moi-moi, ingatlah pesan Suhu. Jangan sembarangan membunuh orang, kalau tidak terpaksa dan mempunyai asalan yang kuat! Sudah cukup kita bunuh Keng Kong yang memang jahat, jangan ganggu muridnya.”

Giok Ciu mencibirkan mulutnya, “Cih, pandai benar bermain mulut, bisa saja berpura-pura alim dan suci, coba kau pandang mukamu sendiri. Tak malu menyebut-nyebut orang lain jahat!”

“Moi-moi, dengarlah dulu keteranganku...”

“Siapa sudi mendengarkan kata-katamu yang palsu!” Dengan ucapan ini Giok Ciu lalu meloncat pergi.

Sin Wan tidak mengejarnya karena ia maklum bahwa gadis itu benar-benar telah membencinya dan tak mungkin mau diajak berbicara. Kalaupun ia dapat memberi penjelasan, belum tentu gadis yang keras hati itu suka mempercayainya. Ah, sungguh serba susah dan Sin Wan menghela napas panjang. Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa menyindir. Ia melihat betapa kedua murid Keng Kong Tosu masih berdiri di situ dan memandangnya dengan senyum sindir.

Marahlah Sin Wan dan sekali tubuhnya bergerak, tahu-tahu dua orang itu kena diterjangnya dan roboh di atas genteng sambil merintih-rintih. Ternyata sekali bergerak saja Sin Wan telah berhasil menotok mereka hingga roboh tak berdaya dan biarpun mereka takkan mati karenanya, namun dalam waktu dua belas jam, kalau tidak ada orang pandai yang melepaskan totokan itu, mereka akan lemas tak dapat bergerak, hanya dapat merintih-rintih saja. Kemudian Sin Wan meloncat pergi dari situ dengan hati mengkal.


                    ***************


Marilah kita ikuti perjalan Suma Li Lian, gadis bangsawan yang cantik jelita, tapi yang tertimpa nasib malang itu. Setelah mendengar dari mulut Sin Wan kenyataan-kenyataan yang sangat pahit dan menikam ulu hatinya, gadis cantik ini hampir menjadi gila! Jiwanya memang telah tertekan oleh rasa terhina dan malu karena sebagai seorang gadis baik-baik keturunan bangsawan, adalah hal yang lebih hebat dan lebih rendah daripada mati ketika mengandung dan melahirkan seorang anak tanpa mempunyai suami!

Sebetulnya ketika merasa bahwa dirinya mengandung, ia telah mengambil keputusan hendak membunuh diri, tapi wajah Sin Wan yang tampan dan gagah selalu terbayang di muka matanya, maka ia lalu menetapkan hatinya. Ia nekad untuk menghadapi semua hinaan dan nistaan karena betapapun juga, ia diam-diam mengakui bahwa ia tidak menyesal mengandung seorang keturunan dari Sin Wan!

Ia cinta pemuda itu, cinta dengan cinta murni, dan ia bersedia mengorbankan apa saja untuk pemuda itu. Jangankan baru hinaan dari dunia luar, aah, ia takkan merasa terhina, bahkan ia akan merasa bangga kalau anaknya telah lahir, anak mereka, anaknya dan anak Sin Wan. Demikian besar rasa cintanya terhadap Sin Wan hingga Li Lian rela dirinya mendapat hinaan karena sebagai seorang gadis yang melahirkan seorang anak tak ber Ayah.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Ia bahkan sempat diusir oleh ibunya dan keluarganya dan hidup terlunta-lunta di sebuah kampung kecil. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari dan menyusul Sin Wan, karena bukankah dulu Sin Wan pernah bilang bahwa jika hendak mencari dirinya, harus pergi ke puncak Kam-Hong-San? Maka, ia lalu jual semua perhiasannya untuk dipakai biaya mencari suaminya itu.


Dan akhirnya setelah bersusah payah, ia berhasil membawa anaknya yang baru berusia lima bulan itu ke puncak Kam-Hong-San. Tapi disana ia hampir saja menjadi kurban keganasan dan kejahatan empat orang pemikul tandu, dan baiknya datang Giok Ciu yang menolongnya. Dan akhirnya ia bertemu dengan Sin Wan, suaminya! Tapi alangkah remuk rendam hatinya, hancur luluh kalbunya. Segala penderitaan, segala perngorbanan yang dilakukan itu sia-sia belaka! Bukan Sin Wan pemuda idaman itulah yang sebenarnya menjadi Ayah anak itu, tapi Gak Bin Tong!

Gak Bin Tong pemuda muka putih yang dibencinya, karena semenjak dulu pemuda itu selalu menggodanya, selalu memperlihatkan sikap ceriwis dan menjemukan. Pemuda yang pernah ia tolak lamarannya! Pemuda yang bahkan telah ia laporkan kepada para pengawal agar ditangkap dan dibunuh, karena ia sungguh-sungguh membencinya!

Dan kini... dari mulut Sin Wan sendiri, dari mulut laki-laki yang tadinya telah dianggap sebagai suaminya, ia mendengar bahwa suaminya bukanlah Sin Wan, tapi... Orang she Gak itu! Ketika ia melahirkan, segala hinaan yang didengarnya tak dapat menggoyahkan kalbunya, tak dapat merobah pendiriannya.

Tapi kenyataan yang didengarnya ini merupakan penghinaan yang sebesar-besarnya baginya, dan kenyataan ini membuat ia tak sanggup memandang wajah Sin Wan lagi, membuat ia begitu membenci Gak Bin Tong hingga seakan-akan hendak dicekiknya dan dibunuhnya pada saat itu juga pemuda muka putih yang telah menodai dan merusak hidupnya itu!

Demikianlah, ia lari bagaikan gila menuruni lereng bukit. Beberapa hari kemudian, Suma Li Lian yang tadinya cantik jelita, telah berubah menjadi seorang wanita yang menakutkan. Rambutnya yang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang kotor penuh debu dan lumpur. Matanya merah dan liar dan bibirnya yang biasanya tersenyum manis menarik hati, kini tertarik menyeringai penuh kebencian.

Pakaiannya yang tadinya indah dan rapi, kini robek disana-sini dan kotor sekali hingga tak tampak pula bekas-bekasnya yang terbuat dari bahan mahal. Kakinya tak bersepatu lagi, hanya berkaus yang sudah dekil dan hitam penuh tanah. Sungguh mengenaskan nasib manusia ini. Ketika ia memasuki sebuah dusun kecil, semua anak-anak lari ketakutan dan menggodanya dari jauh sambil melempar-lemparinya dengan batu.

Dimana saja ia angsurkan tangan untuk minta makanan pengisi perutnya yang sudah lapar sekali, orang-orang mengusirnya dengan kata-kata menyatakan jijik. Dengan tindakan kaki limbung dan terhuyung-huyung, terpaksa Li Lian meninggalkan dusun itu. Tubuhnya lemas, perutnya terasa perih sekali, dan pandang matanya berkunang-kunang.

Karena terik matahari membuat kepalanya berdenyut-denyut, ia lalu menghampiri sebuah pohon besar yang tumbuh dipinggir jalan untuk meneduh, tapi ketika tiba di bawah pohon, tubuhnya tak tertahan lagi dan tubuh itu limbung hendak roboh, matanya meram dan kedua tangannya diulurkan meraba-raba mencari pegangan diudara!

Pada saat ia pingsan, sebelum tubuhnya roboh di tanah, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun sebuah tali yang secara aneh dan cepat bagaikan ular telah membelit kedua pergelangan tangan Li Lian dan tahu-tahu tubuh Li Lian telah mencelat ke atas pohon bagaikan disendal oleh tenaga yang luar biasa besarnya!

Ketika tubuh gadis yang malang itu terapung ke atas, sebuah lengan yang panjang dan besar lagi hitam dan kotor terulur dan tubuh Li Lian ditangkapnya pada bajunya. Terdengar suara ketawa yang aneh, karena bunyinya seperti setengah tertawa setengah menangis dan sebuah jari yang kotor menyentil belakang kepala Li Lian sehingga gadis itu siuman dari pingsan dan membuka matanya.

Alangkah herannya ketika Li Lian melihat bahwa ia sudah duduk di atas sebatang cabang pohon yang tinggi. Kalau saja hal ini terjadi padanya dahulu, tentu ia akan berteriak-teriak minta tolong karena takutnya melihat tanah sebegitu jauh di bawahnya. Tapi agaknya rasa takut telah lenyap di telan ombak samudera kesedihannya, hingga jangan kata baru tempat tinggi, biarpun berada di depan mulut harimau, agaknya gadis itu takkan merasa takut lagi. Maut akan disambutnya dengan senyum dan lambaian tangan karena baginya hidup ini tak berarti lagi.

Tapi ketika ia menengok dan memandang orang yang duduk di atas sebuah dahan lain dan sedang memandangnya pula, ia terkejut sekali dan tanpa disengaja ia membelalakan matanya. Di atas sebatang dahan duduk seorang laki-laki tua yang tinggi besar dan kurus sekali tapi keadaannya menyatakan bahwa orang itu bukanlah orang yang berotak waras!

Orang itu memegang segulung tali yang ujungnya diputar-putar seperti lagak seorang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Ia memandang Li Lian sambil tertawa ha-ha hi-hi. Suma Li Lian menahan tubuhnya yang lemas dan gemetar karena lelah dan lapar, lalu berkata,

“Lopek, kau siapakah dan mengapa kau menolong aku?”

Orang yang berpakaian jembel itu memandangnya dengan heran, lalu pada wajahnya yang berkulit kotor hitam itu terbayang seri gembira ketika ia menjawab, “Siapa aku?” ia garuk-garuk kepalanya, “Aku adalah aku dan siapa yang menolong siapa? Aku tidak menolong juga tidak ditolong. Nona sakit, maka kubawa naik ke sini.”

Suma Li Lian maklum bahwa orang yang menolongnya ini benar-benar gila dan otaknya tidak waras namun ia heran sekali bagaimanakah orang gila ini dapat membawanya ke atas? Melihat wajah dan sinar mata orang tua tinggi besar itu, agaknya tidak berwatak jelek, bahkan ketika tadi tersenyumpun tampak baik hati benar, maka ia lalu berterus terang,

“Lopek, aku tidak sakit, hanya lelah dan lapar.”

“Lapar? Bagus! Akupun lapar!” jawabnya sambil tertawa terkekeh.

Mau tak mau, Suma Li Lian terpaksa ikut tertawa geli, hingga ia sendiri merasa heran mengapa ia dapat tertawa! Agaknya pada saat itu semua kesedihannya lenyap dan kegilaan orang tua itu menjalar kepadanya hingga iapun merasa sangat geli mendengar kata-kata si jembel gila yang lucu dan gila itu. Celaka dua belas, pikirnya. Dalam keadaan sedemikian menderita, bertemu dengan orang berotak miring.

Tapi tiba-tiba si jembel gila itu gerakkan tangannya yang memegang tali dan tali itu meluncur panjang dan bergerak-gerak bagaikan seekor ular terbang, ujung tali itu telah menyelusup diantara daun-daun pohon dan ketika di tarik kembali, diujung tali itu telah terbelit setangkai ranting yang ada buahnya beberapa butir. Tali kecil itu agaknya dapat disuruh mencarikan makan! Si gila itu memetik beberapa butir buah dan memberikan kepada Suma Li Lian.

“Kalau lapar, enak sekali makan. Makanlah buah ini.”

Suma Li Lian memandang jembel gila itu dengan pandangan berterima kasih sekali. Ia maklum bahwa orang gila ini adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Dengan lahapnya ia lalu makan buah-buah itu bersama-sama si jembel yang mencari buah-buah lagi. Sambil makan buah, mereka saling pandang tanpa bercakap-cakap. Kemudian, Li Lian berkata lagi,

“Lo-Suhu, sebenarnya siapakah Lo-Suhu ini dan mengapakah kau begini baik kepadaku?”

Kakek gembel itu tertawa lagi dengan geli. “Dunia ini memang lucu, tapi kau tidak lucu, nona. Kau berwajah gelap diliputi kemurungan, menimbulkan rasa sakit dalam dada kiriku.”

Setelah berkata demikian, jembel gila itu meringis-ringis seperti menahan sakit dan tangan kirinya meraba-raba dadanya. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya,

“Aku adalah aku, kau tak usah bertanya karena aku sendiripun tidak tahu! Tapi kau mengapa bermuram durja? Siapa yang mengganggumu, anakku manis?”

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba diucapkan dengan suara sangat menyayang ini, hati Li Lian menjadi sedih sekali hingga tubuhnya limbung dan ia terjungkal dari dahan pohon yang didudukinya dan tubuhnya melayang ke bawah. Tapi sedikitpun Li Lian tidak menjerit, hanya meramkan mata menanti datangnya maut. Tapi, tubuhnya tidak terbanting ke atas tanah keras, bahkan merasa seakan-akan tubuhnya diayun-ayun dan tiba-tiba ia merasa kakinya menginjak tanah. Ketika ia membuka mata, ternyata ia telah berdiri di atas tanah dengan selamat, sedangkan empek gila tadi telah berdiri pula di depannya seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

“Nona, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapakah yang mengganggumu?”

Suma Li Lian tidak menjawab, tapi lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Jembel gila itu mengangkat kepala dan sambil memandang langit ia tertawa bergelak-gelak.

“Ha ha ha! Kau memang pantas menjadi muridku. Pantas, pantas!”

Dengan ujung kakinya ia mencokel tubuh Li Lian dengan perlahan, tapi cukup membuat tubuh gadis itu mencelat mumbul ke atas, berputaran beberapa kali di udara sebelum jatuh lagi kebawah, tapi Li Lian sama sekali tidak merasa takut! Kembali kakek jembel itu tertawa bergelak-gelak dan menyambar baju Li Lian untuk mencegah tubuh gadis itu terpelanting.

“Bagus, bagus! berdirilah muridku!”

Sebenarnya, sekali-kali bukan maksud Li Lian untuk mengangkat guru kepada orang gila ini ketika berlutut tadi, tapi karena kakek aneh itu telah menerimanya sebagai murid, ia tidak berani menolak atau membantah. Pula, di dunia ini tidak ada orang yang berlaku baik kepadanya hingga ia benci kepada dunia dan penduduknya, kini tiba-tiba ada seorang berotak miring yang sangat baik kepadanya, maka diam-diam timbul pikiran baru dalam otaknya.

Kakek ini mempunyai kepandaian luar biasa, maka kalau ia menjadi muridnya dan mempunyai kepandaian tinggi, tak mungkin manusia-manusia macam Gak Bin Tong itu berani menghinanya. Gak Bin Tong! Teringat akan nama ini, mata Suma Li Lian memancarkan cahaya kemarahan. Kalau ia memiliki kepandaian tinggi, bahkan ia akan dapat membalas dendamnya kepada pemuda muka putih yang jahanam itu!

“Muridku, sekarang juga kau harus mulai belajar!” kata kakek gila itu.

Ia lalu memutuskan sepotong tali dan gunakan itu untuk mengikat ujung celana Li Lian di bagian pergelangan kaki kiri, demikianpun dengan ujung celana dipergelangan kaki kanan muridnya. Lalu ia pergi ke bawah pohon dan berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kaki ke atas.

“Kau tiru ini, dan sandarkan kedua kakimu di batang pohon!” katanya kepada Li Lian.

Semenjak kecil memang Li Lian belum pernah belajar silat hingga ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara orang bersilat, maka mendapat perintah demikian itu, dengan membuta ia turut dan taat. Sebentar saja ia merasa kepalanya pening dan berdenyut-denyutan ketika ia berdiri dengan kepala di bawah macam itu. Kalau tidak ada batang pohon yang menahan tubuhnya, tentu sudah tadi-tadi ia terguling!

Tapi karena hati dan perasaan Li Lian telah dibikin kaku dan membatu oleh penderitaan batin yang dipikulnya, ia bulatkan kemauannya dan biarpun andaikata sampai matipun tak nanti ia menyerah dan mundur! Agaknya gurunya yang gila itupun maklum akan kekerasan hati muridnya, maka ia lalu membuka rahasia pelajaran mengatur napas dan latihan lweekang yang sangat luar biasa, karena di kalangan persilatan tidak ada latihan-latihan yang kesemuanya dilakukan secara aneh dan terbalik macam yang diajarkan oleh si gila ini.

Demikianlah, berhari-hari Suma Li Lian, gadis bangsawan yang sopan santun terpelajar, dan halus budi pekertinya itu, kini menjadi murid seorang gila yang sakti dan mempelajari ilmu-ilmu yang sakti yang mujijat sekali! Karena Li Lian telah mendapat pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya boleh dikata tidak sewajarnya lagi, dan kini mendapat seorang orang guru yang gila pula, maka sikapnyapun makin tidak karuan dan ketidak acuhannya akan keadaan diri sendiri membuat ia lebih mendekati kegilaan!

Latihan-latihan aneh dilakukan tiada hentinya di dalam sebuah hutan yang tak pernah dikunjungi manusia, dan mereka hanya berhenti berlatih apabila perut terasa lapar dan tak tertahan atau mata merasa ngantuk sekali. Selain keperluan khusus yang tak dapat ditahan atau ditunda lagi, mereka siang malam terus berlatih mati-matian!

Kakek tua jembel yang berotak miring ini sebetulnya dahulu adalah seorang gagah yang berwatak berani, jujur, dan jantan. Tapi karena tersesat seorang diri dalam sebuah gua siluman, ia mendapatkan ilmu mujijat yang penuh mengandung hawa siluman dan tanpa sadar mempelajarinya. Ilmu yang dipelajarinya itu demikian mujijat hingga setelah keluar dari gua itu ia menjadi gila tapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa anehnya pula, karena gerakan-gerakannya demikian aneh, sesuai dengan orangnya yang menjadi gila!

Pengalaman-pengalaman hebat di waktu mudanya, dapat diikut dalam cerita Bu Beng Kiam-hiap yang ramai. Entah apakah yang menggerakkan jiwa empek gila itu untuk merasa sangat tertarik dan sayang kepada Suma Li Lian sehingga ia menerima gadis sengsara itu sebagai muridnya dan menurunkan ilmu mujijat yang dimilikinya kepada murid ini.

Setelah mereka berdua bersembunyi di dalam hutan itu selama sebulan lebih, maka si jembel gila lalu mengajak muridnya keluar untuk ikut dalam perantauannya yang tiada tentu tujuan itu. Kecantikan Li Lian lenyap tertutup oleh kekotoran yang menutupi mukanya dan oleh rambutnya yang riap-riapan mengerikan. Tapi sepasang matanya tetap bening dan jeli, hanya sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang seakan-akan merasa jemu melihat segala yang berada di sekelilingnya. Di sepanjang jalan tiada hentinya dan bosannya, Li Lian berlatih silat dan lweekang yang aneh-aneh.


                  ***************

Kita kembali kepada Giok Ciu, gadis jelita yang patah hati karena kecewa kepada Sin Wan kekasihnya. Ia tetap menganggap bahwa pemuda itu telah terpikat oleh kecantikan Li Lian dan telah bermata gelap hingga melakukan perbuatan rendah, maka perasaan cintanya terhadap pemuda itu berubah benci sekali, benci bercampur kecewa dan memandang rendah.

Setelah berpisah dari Sin Wan pada malam itu, yakni sesudah berhasil membunuh Keng Kong Tosu bersama-sama dengan Sin Wan seakan-akan mereka sekali lagi berlumba dan tidak mau kalah dalam hal mengeluarkan kepandaian membasmi musuh-musuh mereka, Giok Ciu lari cepat di malam gelap.

Setelah keluar dari dusun itu dan memasuki sebuah hutan, ia melihat sebuah Kelenteng kecil atau Bio yang berdiri terpencil di pinggir jalan. Bio tua itu tampak sunyi terpencil hingga menarik perhatian Giok Ciu. Ia lalu masuk ke dalam Bio itu. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im yang sudah luntur catnya. Melihat patung kecil itu berada di tempat terpencil dan sunyi, biarpun di dalam keadaan remang-remang dan gelap.

Namun Giok Ciu seakan-akan melihat betapa patung itu merasa kesunyian dan sengsara karena tiada kawan, sebatang kara di dunia ini, maka sedihlah rasa hatinya. Ia lalu menangis dan mencurahkan semua kedukaan hatinya. Di depan patung kecil itu sambil berlutut. Sampai fajar menyingsing, gadis itu berlutut di depan patung Kwan Im. Kemudian ia lalu duduk bersila dan menjalankan siulian untuk menenangkan pikiran dan istirahat.

Untuk beberapa lama ia bersamadhi, kemudian ia merasa seakan-akan ada orang yang memandangnya, maka sadarlah ia lalu membuka mata. Ternyata, seperti dulu ketika di puncak Kam-Hong-San, tak jauh di depannya tampak Gak Bin Tong duduk pula memandangnya dengan sepasang mata yang sangat kagum dan tertarik. Seketika itu juga naiklah warna merah di kedua pipi Giok Ciu dan ia lalu meloncat berdiri.

“Eh, kau lagi! Mau apa kau mengganggu aku?” bentaknya sambil mencabut pedangnya.

Tapi Gak Bin Tong buru-buru berdiri dan mengangkat kedua tangannya menyabarkannya. “Maafkan aku, Lihiap. Aku tidak mempunyai maksud jahat terhadapmu, hal ini kau tahu dengan baik. Kalau dulu-dulu aku pernah mengeluarkan kata-kata kurang ajar, maka lupakanlah itu dan aku mohon maaf sebesar-besarnya.”

“Jangan bicarakan lagi hal dulu-dulu!” Giok Ciu membentak pula, tapi ia agak sabar melihat sikap pemuda itu.

“Baiklah, Lihiap. Aku selalu ingin sekali bersahabat dengan engkau, sama sekali tak ingin menjadi lawan. Bukankah dulu aku telah memperingatkan kau dari segala keburukan? Aku pernah mengatakan bahwa Li Lian dan Sin Wan...”

“Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menyebut hal mereka, terpaksa pedangku ini yang akan berbicara!” Gak Bin Tong tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

“Maaf! Baiklah, aku takkan mengulangi hal itu. Agaknya kau masih saja tidak percaya dan membenciku, Lihiap, sungguh hal itu sangat kusesalkan, karena sebetulnya aku ingin menolongmu dalam segala hal.” Giok Ciu menjadi tidak sabar.

“Sudahlah, katakan saja apa maksudmu mengikuti aku dan datang kesini mengganggu istirahatku?”

Gak Bin Tong memperlihatkan muka terkejut. “Aku tidak mengikutimu, Lihiap. Hanya kebetulan saja aku lewat disini. Alangkah girang hatiku melihat kau berada dalam Bio ini. Aku... aku mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali kau akan mencari musuh besarmu, bukan? Nah, kalau betul dugaanku ini, agaknya aku akan dapat menolongmu.”

Tiba-tiba lenyaplah segala kegalakkan Giok Ciu. Wajahnya yang tadi muram kini tampak berseri dan penuh semangat, “Betulkah? Tahukah dimana tempat tinggal siluman itu? Beritahukanlah padaku!”

Diam-diam Gak Bin Tong tersenyum. Ia telah menggunakan senjata terampuh dalam menghadapi gadis ini. “Begini, Lihiap. Aku sendiri pada saat sekarang ini tidak dapat menentukan di mana ia tinggal, tapi karena aku kenal semua tempat dan orang-orang di kota raja, mudah sekali bagiku untuk menyelidikinya. Aku tanggung, jika kau ikut aku ke kotaraja, pasti dalam waktu beberapa hari saja aku akan memberi tahu padamu dimana tempat sembunyinya siluman tua itu!”

Giok Ciu adalah seorang gadis yang biarpun memiliki kepandaian tinggi sekali namun masih hijau dan belum banyak mengenal kepalsuan dan kelicinan muslihat orang. Mendengar kata-kata Gak Bin Tong ini, ia percaya penuh dan merasa bersyukur sekali. Lenyaplah sebagian besar rasa tidak sukanya kepada pemuda muda putih yang tampan itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura.

“Saudara Gak, sungguh kau ternyata seorang sahabat yang baik. Maafkan kelakuan kasarku yang sudah-sudah karena aku bercuriga kepadamu.”

“Sama-sama, Kwie Lihiap, akupun sebagai seorang muda tentu banyak kekhilapan, maka harap dari pihakmu juga yang banyak memaafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah.” Demikianlah, dengan kata-kata yang halus, sopan, dan manis, Gak Bin Tong memasang perangkapnya

Dan Giok Ciu si dara muda yang masih bodoh ini bagaikan seekor lalat yang tanpa merasa mendekati jaring laba-laba yang berbahaya. Namun, Giok Ciu yang mempunyai kepercayaan besar sekali kepada diri sendiri, sedikitpun tidak merasa betapa pemuda muka putih itu sedang memasang perangkap untuknya. Hal ini sebenarnya dapat terjadi demikian mudahnya karena sikap Giok Ciu yang memandang rendah kepada pemuda itu.

Ia menganggap bahwa betapapun juga, pemuda itu takkan berdaya menghadapinya dan ia tahu betul bahwa kepandaiannya masih jauh lebih tinggi hingga tak perlu berkuatir apa-apa. Ia tidak tahu bahwa disamping kelihaian ilmu silat, masih ada kepandaian yang lebih hebat dan lebih berbahaya lagi, yakni tipu muslihat yang banyak digunakan orang untuk menjatuhkan lawan yang lihai dan tangguh!

“Saudara Gak, menurut dugaanmu dimanakah adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”

“Kalau tidak salah tentu ada di kota raja, tapi entah di gedung mana. Kita harus berlaku hati-hati sekali, karena pada waktu ini di kota raja terdapat seorang yang sangat tangguh dan sakti, yakni Beng Hoat Taisu, seorang utusan dari Tibet yang masih paman guru dari Cin Cin Hoatsu sendiri. Aku mendengar berita bahwa kepandaian Taisu ini tinggi sekali, maka kau harus waspada dan berhati-hati Lihiap.”

“Aku tidak takut, marilah kita berangkat mencari mereka!”

Di dalam hatinya, Gak Bin Tong merasa girang sekali karena ternyata muslihatnya berhasil baik. Ia telah dicap sebagai pengkhianat oleh para pengawal kota raja semenjak rahasianya dibuka oleh Suma Li Lian dulu itu hingga ia dikejar-kejar sampai di puncak Kam-Hong-San. Kini ia mendapat kesempatan untuk menebus kedosaannya. Kalau saja ia dapat menjebak gadis pemberontak ini dan dapat menyerahkannya kepada Cin Cin Hoatsu, tentu ia akan mendapat muka terang dan mendapat jasa! Tentu saja Giok Ciu sedikitpun tak pernah menyangka akan apa yang terpikir di dalam kepala pemuda tampan muka putih ini.

Di sepanjang jalan dalam perjalanan mereka ke kota raja dan mencari tahu akan keadaan Cin Cin Hoatsu, Gak Bin Tong berlaku sopan santun dan baik hingga sedikit kecurigaan yang masih bersisa di dalam hati Giok Ciu dan membuatnya berlaku waspada terhadap pemuda itu, kini lenyap sama sekali, terganti kepercayaan besar.

Berhari-hari mereka melakukan perjalanan dan setelah masuk ke kota raja, Gak Bin Tong mengajaknya secara sembunyi-sembunyi tinggal di dalam sebuah rumah di pinggir kota. Dari tempat itu, tiap malam mereka keluar melakukan penyelidikan. Kadang-kadang mereka berpisah, untuk melakukan penyelidikan masing-masing. Pada hari kelima setelah mereka berada di kota yang besar itu, Gak Bin Tong berkata dengan wajah girang setelah kembali dari penyelidikannya.

“Nah, terpeganglah sekarang olehku! Aku telah menemukan tempat tinggal siluman itu, Lihiap!”

Bukan main girang hati Giok Ciu mendengar ini. Dengan wajah berseri-seri ia segera menanyakan di mana tempat itu.

“Kita harus berhati-hati, Lihiap. Sekali-kali tidak boleh berlaku lancang dan sembrono. Cin Cin Hoatsu sendiri kepandaiannya tinggi, sedangkan aku belum tahu jelas siapa saja yang tinggal di gedung besar itu. Mungkin Beng Hoat Taisu juga berada di situ pula, dan ini berbahaya sekali. Lebih baik malam nanti kita berdua pergi menyelidiki ke sana dan kalau kiranya ada kesempatan baik, kita turun tangan!”

Giok Ciu memandang wajah pemuda itu dan menghela napas. “Saudara Gak, kau sungguh baik hati kepadaku. Pekerjaan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau dan sangat berbahaya, maka janganlah kau membahayakan keselamatanmu untuk urusanku. Biarlah aku pergi sendiri malam nanti.”

Gak Bin tong membalas pandangan nona itu dan tersenyum menjawab, “Lihiap harap jangan sungkan, Lihiap telah tahu betul akan perasaanku terhadapmu. Maaf Lihiap, aku tidak berani mengulang-ulangi hal itu karena kau tidak suka mendengarnya. Tentu kau tidak percaya kepadaku, maka biarlah kesempatan ini kugunakan untuk membuktikan betapa murninya perasaanku itu. Biarlah kalau perlu aku mengorbankan jiwa dalam membelamu.”

Giok Ciu merasa terharu mendengar ucapan ini, tapi ia tidak berkata apa-apa karena kembali bayangan Sin Wan terbayang di depan matanya dan membuatnya merasa sangat sedih. Melihat keadaan gadis itu, Gak Bin Tong lalu meninggalkan gadis itu untuk mengadakan persiapan guna penyelidikan mereka malam nanti.

Malam hari itu udara gelap sekali. Udara hanya diterangi oleh sinar ribuan bintang yang berkelap-kelip. Di dalam kegelapan malam itu, tampak dua bayangan hitam berkelebat di atas genteng-genteng rumah yang tinggi. Mereka ini adalah Giok Ciu dan Gak Bin Tong. Seperti biasa Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang serba hitam dan Ouw Liong Pokiam tergantung di pinggangnya.

Rambutnya yang hitam dan bagus itu diikat ke atas degan pengikat kepala dari sutera merah. Gak Bin Tong mengenakan pakaian serba biru dan tampaknya gagah sekali. Mereka menggunakan ilmu lari cepat dan berloncat-loncatan di atas wuwungan rumah. Akhirnya tibalah mereka di atas sebuah gedung yang tinggi besar.

“Lihiap, inilah gedungnya. Lebih baik kita berpencar, aku masuk dari kiri dan kau dari kanan.”

Giok Ciu mengangguk. Mereka lalu berpencar dan Giok Ciu dengan gesit sekali loncat ke atas wuwungan bangunan sebelah kanan. Ia melihat betapa di bawah masih terang sekali, tanda bahwa penghuni gedung itu belum tidur. Hatinya berdebar keras karena ia ingin sekali lekas-lekas bertemu dengan musuh besarnya dan membuat perhitungan.

Ketika ia sedang mengintai ke dalam, telinganya yang tajam mendengar sesuatu di atas genteng sebelah belakangnya. Cepat-cepat ia menengok dan melihat bayangan yang berkelebat cepat sekali tapi terus lenyap! Ia kaget sekali karena orang itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan yang cepat sekali...
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12