Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 08
Melihat
kawannya dipermainkan, Kwi Kai Hoatsu juga lalu menggerakkan tongkat dan
kebutan hudtimnya untuk menyerang, hingga sebentar saja orang gila itu
dikeroyok oleh kedua Tosu yang bersenjata dan lihai itu. Tapi kesudahannya
sungguh-sungguh membuat Sin Wan dan Giok Ciu diam-diam dan tak terasa saling
berpegangan tangan dan menahan napas!
Dengan
tangan kosong, orang gila itu melayani kedua Tosu itu dan saban-saban ada
kesempatan, ia menggunakan kedua telapak tangannya yang kotor dan bau itu untuk
diusapkan di muka kedua lawannya, hingga setelah kena diusap beberapa kali,
muka Kwi Kai Hoatsu dan Kang Keng Tosu menjadi kotor dan hitam!
Tentu saja
perbuatan si gila ini tampak lucu sekali dan merupakan hal yang sangat menghina
kedua tokoh itu. Ah, kalau saja ada kawan-kawan mereka melihat hal ini,
alangkah akan malunya. Dipermainkan sedemikian rupa oleh seorang gila yang
bertangan kosong, sedangkan mereka mengeroyok berdua!
Sebaliknya
Sin Wan dan Giok Ciu merasa kagum karena tak mereka sangka di dunia ini banyak
sekali orang-orang pandai. Mereka taksir bahwa kepandaian orang yang seperti
gila itu setidak-tidaknya setingkat dengan kepandaian guru mereka, Bu Beng
Sianjin! Maka timbul harapan di dalam hati mereka, karena agaknya orang gila
itu membantu mereka untuk merampas kembali kedua pokiam mereka.
Sementara
itu, karena makin lama makin sering tangan si gila itu mengusap muka mereka,
Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu merasa geli dan ngeri. Kalau saja si gila ini
bermaksud jahat, tentu sudah tadi-tadi mereka menjadi mayat. Maka mereka lalu
meloncat pergi dengan maksud kabur. Tapi alangkah terkejut mereka ketika
tahu-tahu si gila telah menghadang di depan pula!
“Sebenarnya
kau mau apakah?” teriak Kwi Kai Hoatsu dengan gemas sekali.
“Pedang
mereka... pedang mereka... kembalikan!” kata si gila sambil melanjutkan
gerakan-gerakan silatnya yang luar biasa anehnya dan yang selama hidupnya belum
pernah dilihat oleh kedua Tosu itu.
“Kau mau
pedang ini? Nah, terimalah!”
Kwi Kai
Hoatsu lalu sambitkan Pek Liong Pokiam ke arah si gila itu yang disambut dengan
mudahnya oleh orang gembel itu. Juga Keng Kong Tosu lalu sambitkan Ouw Liong
Pokiam ke arah lawannya. Kini si gila itu menggunakan Pek Liong Pokiam untuk
menerima luncuran Ouw Liong Pokiam.
Ketika
pedang hitam itu meluncur dan hendak menancap di dadanya, ia menggunakan pedang
putih untuk menempel pedang hitam hingga kedua pedang menempel lalu diputar
sedemikian rupa dengan cepat sekali hingga pedang hitam terputar-putar di
sekeliling pedang putih dengan ujung saling tempel!
“Bukankah
itu gerakan Naga Sakti Putar Ekor yang diajarkan oleh Suhu?” Tiba-tiba Giok Ciu
berbisik sambil menekan tangan Sin Wan.
“Memang
betul, agaknya orang itupun kenal ilmu silat kita. Mari kita hampiri dia.”
Si Gila itu
masih memutar-mutar pedang itu ketika Sin Wan dan Giok Ciu tiba di situ dan
kedua anak muda itu tanpa ragu-ragu lagi lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan orang itu. Si gila sambil memutar-mutar pedang melihat ke arah depan di
mana Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu berlari-lari cepat meninggalkan orang
yang aneh dan membuat mereka jerih dan ketakutan itu, karena selama hidup belum
pernah mereka bertemu dengan orang yang seaneh dan sehebat itu kepandaiannya.
Mereka merasa beruntung tidak terbunuh olehnya.
“Mereka itu
kutu-kutu busuk!” si gila berkata berulang-ulang. Kemudian ia melihat kedua
anak muda yang berlutut di depannya, maka iapun berlutut dan melihat-lihat
tanah di depan Sin Wan dan Giok Ciu. “Eh, eh, kalian sedang mencari apakah? Apa
sedang mengintai jangkrik?”
Maka iapun
lalu mencari-cari dan menyingkap-nyingkap rumput di situ! Sin Wan dan Giok Ciu
saling melirik.
“Lo-Cianpwe,
teecu berdua menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas pertolongan
Lo-Cianpwe kepada kami,” kata Sin Wan dengan suara menghormat.
Orang aneh
itu bangun berdiri dan sekali sentak dengan sebelah tangannya, tubuh Sin Wan
terangkat naik hingga anak muda itu terpaksa berdiri.
“Kau
berdirilah, tak enak bicara sambil berlutut!” katanya kepada Giok Ciu yang segera
berdiri.
Mereka
berdua berdiri dengan sikap hormat sekali.
“Siapakah
yang tolong siapa? Mereka merampas pedangmu dan aku ambilkan itu dari mereka
untukmu!”
“Lo-Cianpwe
sudilah kiranya memberitahukan teecu berdua nama yang mulia dari Lo-Cianpwe agar
teecu berdua tak mudah melupakan budi Lo-Cianpwe ini.”
“Bicaramu
sulit dimengerti,” kata si gila setelah memeras otak memikir-mikir untuk
memahami kata-kata Sin Wan.
“Namaku ya
aku, dan nama kalian siapa akupun tak perlu tahu. Nah, ini terima pedangmu!”
Dengan tak
acuh ia angsurkan kedua pedang itu yang disambut oleh Sin Wan dan Giok Ciu
dengan girang sekali dan membungkukkan tubuh.
“Pedang ini
baik sekali, sayang kalau terjatuh di tangan mereka. Lain kali jangan sampai
kena dirampas orang pula!” Tiba-tiba saja suara si gila ini terdengar terang
dan waras.
“Mohon
petunjuk dari Lo-Cianpwe, karena teecu berdua memang masih dangkal
pengetahuan,” kata Sin Wan.
Orang tinggi
besar itu tertawa lalu tiba-tiba ia berjungkir balik, kedua tangannya di bawah
dan kedua kaki di atas! Dalam keadaan begini, agaknya orang itu meraa lebih
enak, lalu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata,
“Petunjuk
apakah? Kalau kalian bisa meniru kepandaianku ini, tak mungkin dua imam itu
mampu merampas pedangmu!”
Hampir saja
Giok Ciu tertawa geli, karena apakah susahnya untuk berdiri dengan kaki di atas
seperti itu? Jangankan dengan kedua tangan, biar dengan sebelah tanganpun ia
sanggup melakukannya dengan mudah sekali. Tapi Sin Wan segera berkata,
“Lo-Cianpwe,
kenalkah Lo-Cianpwe kepada Suhu kami? Suhu disebut Bu Beng Sianjin! Kenalkah
Lo-Cianpwe padanya?”
Sepasang
mata yang berada di bawah itu berputar-putar cepat, tanda bahwa otaknya yang telah
hampir beku itu dikerjakan keras. “Bu Beng...? Bu beng...? Ah, aku kenal... aku
kenal...!” Tiba-tiba ia berseru keras sekali.
“Heh...!”
dan tahu-tahu tubuhnya yang tadi berdiri terbalik itu membal ke atas tinggi
sekali! Di atas masih terdengar suaranya. “Bu... Beng…?” Dan sekali lagi di
atas ia berseru “Heh...!”
Tahu-tahu
tubuh yang masih berada di atas itu mencelat jauh dan lenyap dari pandangan
mata kedua anak muda itu. Sin Wan dan Giok Ciu bengong Mereka terkejut, heran,
dan kagum sekali melihat kehebatan orang gila itu! Sin Wan menghela napas dan
berkata,
“Ah, sungguh
di dunia ini banyak orang-orang berilmu tinggi, hingga jika dibandingkan, kita
ini bukan apa-apa.”
“Tadi ketika
ia berdiri jungkir balik, ia bilang bahwa kalau kita bisa menirunya, maka kedua
Tosu itu takkan mungkin dapat merampas pedang kita. Apakah maksudnya, koko?
Apakah artinya kepandaian jungkir balik macam itu?”
“Aku juga
sedang memikirkan itu, moi-moi. Memang kelihatannya itu bukan kepandaian yang
berarti, tapi kau ingatkah ketika ia meloncat ke atas tadi? Ia mempergunakan
bentakan dalam dada dan tahu-tahu tubuhnya telah mumbul ke atas tinggi sekali,
bahkan di ataspun ia dapat gunakan tenaga mujijat itu untuk melesat pergi jauh
sekali! Kurasa ia melatih lweekang dan ginkang yang tinggi dengan cara
bersamadhi sambil berdiri jungkir balik!”
Giok Ciu
mengangguk-angguk. “Mungkin juga, bukankah Suhu juga sering bersamadhi dengan
cara yang aneh-aneh?” Maka teringatlah Sin Wan.
“Agaknya
orang aneh tadi kenal kepada Suhu, tapi mungkin juga tidak, karena sikapnya
sungguh-sungguh aneh hingga aku hampir percaya bahwa ia benar-benar gila! Giok
Ciu, kita harus akui bahwa kepandaian kita masih dangkal sekali. Baru
menghadapi dua orang saudara Cin Cin Hoatsu saja kita hampir mengalami bencana,
apalagi kalau harus menghadapi Cin Cin Hoatsu yang lihai. Memang sebenarnya
pelajaran kita belum tamat dan dahulu kita terpaksa berpisah dari Suhu. Kurasa
lebih sempurna lagi kalau kita sekarang kembali dulu dan mohon kepada Suhu
untuk memberi pelajaran selanjutnya kepada kita sampai tamat. Setelah itu,
barulah kita berdua pergi mencari Cin Cin Hoatsu. Bagaimana pendapatmu,
moi-moi?”
Sebenarnya,
gadis itu ingin lekas-lekas mencari musuh besarnya dan membalas dendam, tapi
setelah dipikir-pikir bahwa kata-kata Sin Wan betul, pula mengingat betapa baru
saja mereka gagal melawan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu ia lalu menyetujui
ajakan Sin Wan. Maka mereka lalu kembali dan menuju ke Kam-Hong-San untuk
mencari Suhu mereka dan minta pimpinan lebih jauh.
Ketika
mereka tiba di kaki bukit Kam-Hong-San, Sin Wan tidak lupa untuk mampir di
kampungnya. Penduduk kampung dengan gembira ria menyambut pemuda pemudi itu dan
memaksa mereka bermalam di situ. Sin Wan didesak untuk menceritakan
pengalamannya dan ketika mendengar bahwa pembunuh-pembunuh Kang Lam Ciuhiap dan
Ibu Sin Wan telah dapat terbalas dan dibinasakan, mereka bersorak-sorak girang
dan merasa puas sekali, karena ini berarti bukan hanya pembalasan sakit hati
kedua orang itu, tapi juga pembalasan sakit hati para orang-orang yang dulu
dengan gagah menolong Kang Lam Ciuhiap tapi juga terbunuh oleh para kaki tangan
Kaisar itu.
Pada
keesokan harinya Sin Wan dan Giok Ciu menengok makam Kang Lam Ciuhiap dan Ibu
Sin Wan, dimana pemuda itu bersembahyang dengan hati terharu. Ia merasa
berterima Kasih kepada orang-orang kampung yang ternyata merawat makam itu
dengan baik-baik hingga rumputnya terbabat rapih dan tampaknya bersih. Kemudia
mereka berdua mendaki bukit Kam-Hong-San untuk mencari Suhu mereka. Di sepanjang
jalan, pemandangan-pemandangan di gunung yang telah mereka kenal baik itu
membuat mereka terharu dan membongkar kenangan-kenangan lama. Ketika mereka
tiba di sumur naga tempat pertapaan Suhu mereka, dari jauh mereka sudah melihat
Bu Beng Sianjin duduk di pinggir sumur seorang diri! Alangkah girang hati
mereka dan cepat-cepat mereka berlari lalu menjatuhkan diri berlutut sambil
menyebut,
“Suhu...!”
“Kalian
sudah kembali? Berhasilkah usahamu?” kakek yang kurus kering dengan rambut
putih panjang terurai ke belakang itu bertanya halus.
Sin Wan dan
Giok Ciu lalu menuturkan pengalaman mereka bergantian, betapa mereka telah
berhasil membunuh Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto, tapi betapa mereka
hampir celaka di tangan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu kalau saja tidak
ditolong oleh seorang aneh yang adatnya seperti orang gila. Bu Beng Sianjin
mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar tentang orang-orang
aneh itu, ia tertarik sekali.
“Coba
ceritakan, bagaimana rupa orang itu?” Sin Wan lalu melukiskan keadaan orang
gila yang sakti itu sedapat mungkin.
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Hem, hm, tinggi sekali dan besar, rambut hitam, mukanya hitam,
matanya bundar dan besar? Ya, ya, tak salah lagi, dialah itu…”
“Siapakah
orang itu, Suhu? Ketika teecu menanyakan namanya, ia hanya menjawab bahwa dia
adalah dia, sama sekali tidak menyebut nama, entah lupa entah memang tidak
punya nama. Ketika teecu menyebut nama Suhu, ia kelihatan seperti orang
mengingat-ingat dan lalu pergi.”
“Muridku,
dia tidak mau dikenal untuk apa pusing-pusing dan memaksa-maksa? Dia adalah
seorang gagah perkasa yang beradat keras dan jujur, tapi malang sekali ia
menerima ilmu silat dari mahluk-mahluk halus, ia berguru kepada iblis sendiri,
maka ilmu silatnya demikian lihai, tapi untuk kepandaian itu ia harus
mengorbankan jiwanya karena ia menjadi gila! Maka muridku, sekarang tidak boleh
terlalu mengandalkan kepandaian lahir untuk berlaku sewenang-wenang atau
menyombong. Ketahuilah bahwa segala kepandaian itu hanya milik pinjaman saja
dan akan lenyap dan musnah bersama raga kita. Maka selagi masih hidup harus
dapat mempergunakan segala macam kepandaian yang dimiliki untuk mengerjakan
sesuatu yang berguna bagi orang-orang lain, melakukan perbuatan-perbuatan baik
demi perikemanusian dan dengan demikian maka takkan percumalah orang mengejar
ilmu. Kalau mengejar ilmu dengan susah payah untuk kemudian dipergunakan hanya
untuk kepentingan diri sendiri saja, untuk menyenangkan diri sendiri tanpa
memikirkan kesulitan dan kesengsaraan orang lain, maka kau berarti lebih gila
daripada orang yang sebenar-benarnya gila! Mengertikah kalian?”
Sin Wan dan
Giok Ciu mengangguk-angguk menyatakan bahwa mereka mengerti akan petuah ini.
“Kalian tadi
mengatakan bahwa kalian dikalahkan oleh dua orang Tosu yang memiliki hoatsut?
Apakah sebenarnya hoatsut? Bukan kepandaian yang mengherankan, karena
sebenarnya orang yang menggunakan ilmu sihir bukanlah karena mereka memang
mempunyai tenaga yang berlebihan, tapi mereka justeru menggunakan kelemahan
lawan untuk menjatuhkannya. Ketahuilah bahwa alam ini digerakkan oleh kesatuan
tenaga maha hebat dan di dalam tiap tubuh manusia terdapat sebagian daripada kesatuan
tenaga dan dengan tenaga inilah maka segala hal mungkin dilakukan oleh manusia.
Galilah dan carilah tenaga ini, maka kalian akan kuat menghadapi segala macam
hoatsut dari orang-orang jahat!”
Demikianlah,
semenjak saat itu Sin Wan dan Giok Ciu mendapat gemblengan ilmu batin yang
hebat dari Suhu mereka dan mendapat latihan lweekang yang lebih tinggi. Juga di
bawah pimpinan orang tua yang aneh itu mereka menyempurnakan latihan mereka
dalam hal ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut. Tapi berbeda
dengan dulu, kini mereka berlatih di udara terbuka, karena Bu Beng Lojin
bersamadhi diluar sumur dan berkata untuk berlatih lweekang yang tinggi dan
berlatih napas, maka lebih baik bagi kedua orang murid itu untuk bersamadhi di
udara terbuka.
***************
Setahun
telah berlalu dengan cepat sekali semenjak Sin Wan dan Giok Ciu kembali ke
Kam-Hong-San untuk mempertinggi ilmu silat mereka. Di dalam waktu setahun itu,
mereka mendapat kemajuan pesat sekali. Hubungan mereka tetap mesra dan saling
cinta, walaupun kini mereka dasarkan cinta mereka lebih mendalam, tanpa
dikotori napsu.
Namun,
betapapun mereka telah menerima gemblengan ilmu batin, jiwa muda mereka selalu
dipanaskan oleh darah muda hingga mereka tetap bersemangat dan penuh hasrat
hidup yang bernyala-nyala. Suhu mereka juga tahu akan eratnya hubungan kedua
muridnya dan kakek yang aneh ini sering kali diam-diam menghela napas
seakan-akan menderita sesuatu yang menyedihkan. Ia pernah panggil menghadap
kedua muridnya dan berkata dengan perlahan dan tenang, tapi cukup mengejutkan
hati kedua anak muda itu.
“Sin Wan dan
Giok Ciu! Aku telah maklum sedalam-dalamnya apa yang terkandung dalam hatimu
berdua, memang demikianlah seharusnya perasaan dua orang yang sudah terikat
jodoh. Hanya pesanku, murid-muridku, jika kalian telah berhasil membalas sakit
hati orang tuamu, maka sebelum kalian menjadi suami isteri, kalian harus
membawa kembali kedua pokiam itu dan menyimpannya kembali ke dalam gua naga di
dalam sumur. Karena kedua pokiam itu sudah cukup membersihkan karat mereka
dengan darah orang-orang jahat, dan adalah menjadi pantangan besar bagi kedua
pedang pusaka itu untuk dimiliki oleh sepasang suami isteri!”
Tentu saja
Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang dengan muka berubah karena hati mereka
terguncang, tapi mereka tak berani membantah, hanya berlutut dan menyanggupi
kehendak Suhu mereka. Bu Beng Lojin menghela napas lagi dan berkata,
“Sin Wan dan
Giok Ciu, hal jodoh adalah kehendak Tuhan, asal saja kalian selalu ingat bahwa
sepasang suami isteri sama sekali tidak boleh memiliki kedua pedang itu!”
Pada suatu
pagi, Sin Wan dan Giok Ciu berjalan-jalan di lereng-lereng bukit Kam-Hong-San.
Mereka menikmati tamasya alam yang indah dan yang membuat mereka teringat akan
peristiwa-peristiwa dulu. Bagi mereka, tempat ini merupakan tempat takkan dapat
dilupa seumur hidup, karena disinilah mereka pertama kali bertemu.
“Koko,
kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk berpamit kepada Suhu dan
pergi mencari musuh besarku,” kata Giok Ciu.
“Kurasakan
begitu, moi-moi. Baiklah kita tanyakan saja kepada Suhu, karena Suhu sakti dan
waspada.”
Tiba-tiba
Giok Ciu menunding ke bawah bukit dan berseru, “Koko, lihat!”
Dari bawah
lereng tampak bayangan orang berlari-lari cepat sekali ke atas bukit, dan
ternyata ilmu lari cepat orang itu boleh juga, hingga sebentar saja ia telah
datang dekat dengan kedua anak muda itu.
“Gak Bin
Tong!”
Giok Ciu
berseru heran. Juga Sin Wan heran melihat datangnya pemuda muka putih yang
berlari-lari ke atas dengan wajah ketakutan itu.
“Aduh,
kebetulan sekali, tolonglah aku, saudara Bun! Kwie Lihiap, tolonglah aku!”
“Ada apakah,
saudara Gak?” Sin Wan bertanya dengan heran, tapi jawaban pertanyaannya itu
terdengar olehnya ketika dari bawah muncul bayangan banyak orang yang
berlari-lari cepat sekali mengejar ke atas.
“Siapakah
mereka yang mengejarmu?” tanya Sin Wan.
“Siapa lagi
kalau bukan anjing-anjing istana!” jawab Gak Bin Tong. “Mereka hendak
membunuhku. Tolonglah, saudara Sin Wan yang baik!”
Setelah
berkata demikian, orang she Gak itu lalu melarikan diri di belakang Sin Wan dan
Giok Ciu, agaknya ia takut sekali. Giok Ciu yang masih merasa marah karena
sikap Gak Bin Tong yang dulu telah mengacaukan perhubungannya dengan Sin Wan,
berkata kurang senang.
“Bukankah
kau seorang gagah yang memiliki kepandaian tinggi? Mengapa harus berlari-lari
terhadap mereka? Mengapa tak kau lawan dengan pedangmu?” kata-kata ini jelas
sekali menyatakan bahwa ia enggan untuk membantu, tapi Gak Bin Tong berkata
dengan suara memohon.
“Kwie
Lihiap, mereka lihai sekali, bukan lawanku!” Giok Ciu memandang Sin Wan dan
berkata perlahan.
“Koko,
kurasa tak baik kita ikut campur urusan ini. Bukan urusan kita dan tidak ada
sangkut pautnya dengan kita.”
“Bukan
demikian, moi-moi. Biarpun andaikata kita tidak membantu saudara Gak, sudah
sepatutnya kita halau pergi pahlawan-pahlawan Kaisar itu. Mereka bukanlah
manusia-manusia baik dan perlu diusir. Pula, saudara Gak pernah melepas budi
kepada kita, masakan sekarang kita tidak mau menolongnya? Jangankan dia
sendiri, bahkan siapa saja yang dikejar-kejar pengawal kraton dan hendak
dibunuhnya, harus kita tolong bukan?”
Alasan-alasan
yang dimajukan Sin Wan ini kuat sekali hingga Giok Ciu tak dapat membantah lagi
sementara itu, pengejar-pengejar Gak Bin Tong telah tiba di situ dan ternyata
mereka terdiri dari tujuh orang pahlawan-pahlawan kelas satu. Di antara mereka
terdapat orang-orang yang pernah mengeroyok sin Wan dan Giok Ciu, maka begitu
melihat kedua orang muda itu, mereka berteriak.
“Betul saja,
binatang she Gak itu telah bersekutu dengan orang pemberontak ini. Hayo tangkap
ketiga-tiganya!”
Mereka itu
menjadi tabah karena di antara mereka terdapat jagoan-jagoan yang berilmu
tinggi, maka segera mereka mengurung dan menyerbu dengan senjata di tangan. Gak
Bin Tong menangkis serangan seorang pengawal dengan pedangnya dan Sin Wan
bersama Giok Ciu memutar sepasang pokiam mereka melayani pengeroyok yang lain.
Sin Wan dan Giok Ciu pada saat itu bukanlah Sin Wan dan Giok Ciu pada waktu
setahun yang lalu. Kepandaian mereka telah maju pesat dan didorong oleh tenaga
batin dan lweekang mereka yang tinggi, otomatis ilmu pedang mereka juga maju
hebat.
Dulu ketika
ilmu pedang mereka belum matang saja sudah sukar sekali dilawan, maka kini
setelah kepandaian mereka matang dan mendekati kesempurnaan, tak dapat ditaksir
kelihaiannya. Para pengeroyok itu hanya melihat sinar panjang hitam dan putih
berputar-putar mengelilingi mereka dan mendengar sambaran pedang itu tapi
hampir tak dapat mengikuti gerakan kedua anak muda yang menyambar-nyambar
bagaikan sepasang naga sakti.
Baru
beberapa gebrakan saja terdengar jeritan-jeritan mengaduh dari para pengeroyok
yang kena pukul atau tendang. Masih untung bagi mereka bahwa Sin Wan dan Giok
Ciu tidak mau menewaskan jiwa orang, maka mereka hanya kena pukulan yang
biarpun cukup hebat hingga membuat mereka tak berdaya, namun tak sampai
membahayakan keselamatan jiwa mereka. Setelah masing-masing menjatuhkan dua
orang, Sin Wan membentak,
“Hayo
pergilah kalian kalau sayang jiwa!”
Para
pengeroyok yang belum terluka mendengar bentakan ini segera menarik kembali
senjata mereka dan sambil membantu kawan-kawan yang terluka, mereka
meninggalkan lereng itu dengan jalan terpincang-pincang, Gak Bin Tong menjura
kepada dua orang anak muda itu,
“Terima
Kasih banyak atas pertolongan jiwi. Kalau tidak tertolong oleh kalian, tentu
Gak Bin Tong hari ini tinggal namanya saja. Sungguh merasa kagum sekali melihat
kehebatan kalian, baru beberapa bulan saja berpisah. Sungguh membuat aku takluk
dan tunduk”
Sambil tiada
habisnya memuji-muji, pemuda muka putih itu menjura dengan hormatnya. Terpaksa
Sin Wan balas menjura, sedangkan Giok Ciu memalingkan muka tak mengacuhkannya.
“Sudahlah,
saudara Gak. Sebetulnya, mengapakah kau dikejar-kejar oleh mereka itu?” tanya
Sin Wan.
Gak Bin Tong
menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kau tahu sendiri, saudara Sin Wan,
bahwa biarpun aku tinggal di kota raja dan menjadi keluarga pembesar, namun aku
berbeda dengan mereka. Aku bukanlah seorang pengawal, dan aku tidak mencampuri
urusan mereka. Karena itulah maka mereka itu diam-diam membenciku. Kemudian
datanglah hari celaka bagiku, ketika ada seorang membuka rahasiaku dan
mengatakan bahwa dulu aku pernah menolong kalian!”
Terkejutlah
Sin Wan mendengar ini. “Heran sekali, siapa yang dapat mengetahui hal itu?”
“Siapa lagi
kalau bukan... Suma Siocia!”
Mendengar
nama ini disebut-sebut sepasang mata Giok Ciu memancarkan sinar ketika ia
memandang kepada pemuda muka putih itu.
“Jangan kau
sebut-sebut nama orang itu disini!” bentaknya dengan tiba-tiba dan marah hingga
tidak hanya Gak Bin Tong, tapi juga Sin Wan juga merasa terkejut dan heran.
Tapi gadis itu tanpa perdulikan mereka, lalu memutar tubuhnya dan pergi dari
situ.
“Saudara
Gak, sekarang keadaan sudah aman dan kau boleh pergi tanpa kuatir lagi,” kata
Sin Wan yang sebenarnya bermaksud mengusir dengan halus, karena sesungguhnya,
iapun tidak suka kepada pemuda ini. Gak Bin Tong memandangnya dengan wajah
kaget.
“Pergi?
Kemana, saudara Bun? Lindungilah aku dan tolonglah untuk dua atau tiga hari
lagi. Aku tahu bahwa mereka itu masih penasaran dan mereka tidak mengejarku
hanya karena ada kau dan Kwie Lihiap di sini. Mereka tentu menanti di kaki
bukit dan kalau melihat aku turun seorang diri, celakalah aku!”
“Habis, apa
yang kau kehendaki, saudara Gak?”
“Ijinkanlah
aku tinggal di tempatmu barang tiga hari. Biarlah, aku akan tidur di atas tanah
saja, asal dekat dengan engkau hingga anjing-anjing itu takkan dapat
menggangguku.”
Sin Wan
ragu-ragu. “Tapi Suhu telah pesan bahwa orang luar tidak boleh memasuki dan
tinggal di puncak dimana kami bertiga tinggal,” katanya.
“Suhumu?”
mata pemuda muka putih itu berseri-seri, “Biarkan aku memohon padanya, biarlah
kalau beliau marah, aku yang bertanggung jawab dan sedia dihukum.”
Setelah didesak-desak
dengan alasan bahwa kalau dipaksa turun tentu akan mati terbunuh oleh
pahlawan-pahlawan Kaisar, akhirnya Sin Wan dengan apa boleh buat mengabulkan
permintaan Gak Bin Tong dan membawa pemuda itu kepada Suhunya. Bu Beng Lojin
sedang duduk seorang diri di atas sebuah batu ketika Sin Wan menghadap diikuti
oleh Gak Bin Tong di belakangnya. Giok Ciu tidak tampak di situ. Sin Wan
berlutut di depan Suhunya dan Gak Bin Tong dengan hormat sekali juga berlutut.
“Suhu!” Sin
Wan memanggil karena kakek tua itu diam saja seolah-olah tidak melihat mereka.
Mendengar
panggilan muridnya, ia menggerakkan kepala memandang dengan matanya yang tua.
“Eh, Sin Wan, kau datang dengan siapakah?” Gak Bin Tong buru-buru
mengangguk-angguk kepala lalu berkata,
“Mohon beribu
ampun, Lo-Cianpwe, teecu Gak Bin Tong datang menghadap. Karena di kejar-kejar
dan hendak di bunuh oleh pengawal Kaisar, maka teecu lari ke sini dan mohon
perlindungan Lo-Cianpwe yang mulia.”
Bu Beng
Lojin mengerutkan alisnya lalu berkata dengan suara yang berpengaruh, “Coba kau
angkat mukamu!”
Gak Bin Tong
tak dapat membantah, lalu angkat mukanya dan memandang kepada kakek tua yang
aneh itu. Bu Beng Lojin ketika melihat wajah Gak Bin Tong tiba-tiba entah
mengapa, menjadi berubah mukanya dan ia mengangguk-angguk dan menghela napas,
panjang berulang-ulang. Mendengar ini, sin Wan memandang gurunya dan kagetlah
ia karena gurunya tampak seakan-akan bersedih sekali.
“Sin Wan,
kaukah yang membawanya masuk ke tempat kita?”
“Benar,
Suhu, karena tak dapat teecu biarkan saja dia terancam maut kalau turun
gunung.”
“Lo-Cianpwe,
mohon jangan persalahkan saudara Sin Wan, sebenarnya teecu lah yang mendesaknya
dan...”
“Sudahlah,
sudahlah... kau, orang she Gak, kau pergilah ke rimba itu, aku ingin bicara
berdua dengan Sin Wan.”
Gak Bin Tong
dengan takut-takut mengundurkan diri dan pergi ke rimba yang berada tak jauh
dari situ, lalu duduk dibawah sebatang pohon besar sambil termenung memikirkan
nasibnya.
“Sin Wan,
kau panggil Giok Ciu ke sini,” kata Bu Beng Lojin.
Sin Wan lalu
berdiri dan setelah menahan napas, ia segera memanggil. “Giok Ciu…!”
Suaranya ini
tidak keras, tapi nyaring sekali. Anehnya, biarpun ia memanggil tidak keras,
suaranya seakan-akan memenuhi dan menjalar-jalar di seluruh pucak, hingga
terdengar sampai dimana-mana, bahkan Gak Bin Tong yang duduk jauh di dalam
rimba itu juga mendengarnya! Sin Wan lalu berlutut kembali dan tak lama
kemudian, benar saja, sesosok bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Giok Ciu
telah berada disitu dan berlutut di depan Suhunya.
“Sin Wan dan
Giok Ciu, kini sudah tiba saatnya bahwa aku harus berpisah dengan kalian. Kalau
ada jodoh, sepuluh tahun kemudian kita bertiga dapat bertemu pula di puncak
ini. Sekarang kepandaian kalian sudah cukup tinggi hingga aku tidak usah merasa
ragu-ragu melepaskan kalian. Asal kalian mempergunakan kepandaian itu dengan
benar, maka agaknya di dunia ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat
menandingi kalian. Murid-muridku, harapanku tak lain mudah-mudahan segala
petuahku selama kalian berada di sini takkan kalian lupakan. Pula, pesanku
terakhir ini supaya diingat benar-benar, yakni sekali lagi kutegaskan. Pedang
pusaka Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam tak boleh dimiliki oleh sepasang
suami isteri, maka jika kalian melangsungkan perjodohan, kedua pusaka itu harus
disimpan kembali ke dalam gua naga. Ingatlah benar-benar ini, karena kalau
tidak, kalian akan mendapat bencana besar. Nah sekarang aku mau pergi.”
“Suhu,
tunggu!” tiba-tiba Giok Ciu berseru dengan suara terharu. Entah mengapa, gadis
ini merasa terharu sekali pada saat Suhunya hendak meninggalkannya.
“Ada apakah,
Giok Ciu?” tanyanya dengan suara mengandung iba.
“Suhu...”
gadis itu menahan isaknya, “Teecu... mohon doa restu agar... Teguh iman dan
kuat hati, Suhu...”
Bu Beng
Lojin tersenyum. Ia menggerakkan tangannya dan menaruh telapak tangannya di
atas kepala Giok Ciu, mengusap rambut muridnya lalu berkata bagaikan seorang
kakek kepada cucunya,
“Giok Ciu,
segala apa akan berjalan baik asalkan kau ingat selalu bahwa kebahagiaan itu
letaknya di dalam diri sendiri. Alangkah mudahnya mencari kebahagiaan asal kau
telah mengenal diri sendiri dan dapat melihat betapa kebahagiaan
menanti-nantimu di situ. Selanjutnya... terserah kepadamu sendiri, muridku.
Nah, Giok Ciu, Sin Wan, selamat berpisah!”
Baru saja
habis kata-katanya ini, tubuhnya telah melayang ke bawah gunung, diikuti oleh
pandang mata Sin Wan yang mengerutkan pelupuk mata dan Giok Ciu yang mengalirkan
air mata. Setelah agak lama Suhunya pergi, Sin Wa memandang Giok Ciu yang masih
berdiri bengong ke arah ke mana Suhunya turun gunung tadi. Pipi gadis itu masih
basah air mata sedangkan wajahnya agak kepucat-pucatan, maka terbitlah hati
yang sangat iba dan sayang dalam dada Sin Wan. Ia dekati kekasihnya itu dan
memegang kedua pundaknya dari belakang dengan mesra.
“Giok Ciu,
jangan kau bersedih. Bukankah masih ada aku di sampingmu?”
Giok Ciu
merasa terhibur juga, ia memalingkan muka memandang kepada Sin Wan dan wajahnya
mulai berseri kembali, dan bibirnya tersenyum, seakan-akan matahari mulai
terbit mengusir kabut diwaktu pagi.
“Koko di
manakah perginya manusia she Gak itu?” Sin Wan tersenyum.
“Mengapa kau
agaknya benci sekali padanya, moi-moi?”
“Ah, ia
bukan orang baik-baik. Jika dekat dengan ia, aku merasa seakan-akan dekat
dengan seekor serigala berkedok muka domba.”
“Sudahlah
jangan pikirkan soal dia. Dia tadi disuruh pergi ke rimba itu oleh Suhu,
biarlah ia berlindung di tempat kita untuk beberapa hari lamanya. Kitapun harus
menyelesaikan latihan lweekang yang terakhir, moi-moi, sesuai dengan perintah
Suhu. Kurasa dalam tiga empat hari lagi aku akan berhasil. Bagaimana dengan
kau, moi-moi?”
“Akupun
sudah mendekati hasil baik. Api dalam tubuh terasa makin hangat dan
gerakan-gerakan tenaga dalam tubuh makin besar hingga dapat kugerakkan ke
seluruh bagian tubuh.”
“Bagus
sekali kalau begitu. Biarlah kita berlatih tiga hari lagi, kemudian kita turun
gunung melakukan tugas kita. Jangan ambil peduli orang she Gak itu.”
Mereka lalu
pergi melatih diri, pertama-tama bersama-sama melatih ilmu silat, kemudian
mereka bersamadhi di tempat masing-masing. Seperti biasa, semenjak mendapat
latihan di udara terbuka oleh Suhu mereka, masing-masing telah memilih tempat
latihan sendiri, Sin Wan memilih tempat di bawah sebatang pohon liu dimana
terdapat sebuah batu hitam besar yang dipakai sebagai tempat duduk bersamadhi
sedangkan Giok Ciu memilih tempat di dalam hutan pohon siong yang banyak
ditumbuhi kembang-kembang yang harum baunya.
Ia selalu
merasa tenteram jika bersamadhi di situ, karena selain bau bunga dan rumput
menyegarkan pernapasannya, juga suara burung-burung di atas pohon merupakan
nyanyian indah yang tambah menyempurnakan samadhinya. Ketika hari telah
menjelang senja, Giok Ciu masih tenggelam dalam samadhinya. Tubuhnya bersila di
atas rumput, diam tak bergerak sedikitpun bagaikan patung seorang dewi.
Wajahnya
yang cantik jelita tampak bercahaya dan bibirnya serta kedua pipinya berwarna
kemerah-merahan. Pada saat demikian itu ia tidak hanya tampak cantik, tapi juga
agung sekali. Tiba-tiba Giok Ciu merasa seakan-akan tersendal turun dari atas
dan ia sadar kembali. Otomatis sepasang matanya menatap ke depan dan bertemu
pandanglah ia dengan sepasang mata yang telah lama sekali memandangnya dengan
kagum dan terpesona. Agaknya pandangan mata inilah yang membuat ia terganggu
dari samadhinya. Ketika gadis itu memperhatikan ternyata bahwa yang
memandanginya itu adalah mata Gak Bin Tong yang duduk di depannya sambil
tersenyum-senyum mengambil hati!
“Kwie
Siocia, alangkah suci, agung dan cantik jelita kau! Melihat kau bersamadhi
seperti ini, aku teringat akan patung Dewi Kwan Im di See-Coan, Kwie-Siocia...”
Giok Ciu
merasa tidak senang sekali dan memandang tajam. “Sudah lamakah kau duduk di
sini?” tanyanya dengan suara dingin.
“Sudah sejak
tadi, Siocia aku mengagumi kecantikanmu, keindahan bentuk tubuhmu, keagungan
yang bersinar keluar dari wajahmu...”
“Tutup
mulut! Orang she Gak, kau sungguh kurang ajar sekali. Apa perlumu datang kesini
menggangu samadhiku?”
Tiba-tiba
Gak Bin Tong berlutut! Ya pemuda muka putih itu berlutut di depan Giok Ciu
hingga gadis itu tercengang sekali dan heran. Ia tidak tahu harus berbuat apa
dan menyangka bahwa tiba-tiba pemuda itu menjadi gila. Memang pada saat itu Gak
Bin Tong telah gila, gila asmara! Ia berlutut di depan kaki Giok Ciu yang masih
bersih sambil berkata dengan suara merayu,
“Kwie-Siocia,
tidak tahukah kau... aku... aku mengagumimu, aku... ah, kau kuanggap sebagai
seorang dewi yang suci murni, dewi pujaan hatiku. Siocia, aku… aku cinta
padamu, dengan sepenuh jiwa dan hatiku.”
Giok Ciu
menjerit kecil dan tiba-tiba ia meloncat dan bangun berdiri. Ia marah dan malu
sekali mendengar ucapan itu hingga ia merasa betapa kedua tangannya menggigil
dan dadanya berdebar.
“Orang she
Gak! Kau benar-benar tak tahu diri dan kurang ajar sekali! Kau... kau telah
menghinaku dengan pernyatamu itu...!” karena marahnya, gadis itu tak dapat
melanjutkan kata-katanya, bahkan dari kedua matanya mengalirlah air mata!
Gak Bin Tong
dengan nekad melanjutkan kata-katanya, “Nona Giok Ciu... aku... aku cinta
padamu! Aku tahu bahwa kau mempunyai hubungan yang erat dengan saudara Sin Wan,
tapi... tapi tidak tahukah kau bahwa saudara Sin Wan itu telah menjadi... suami
yang tidak syah dari nona Suma Li Lian?”
Terbelalak
mata Giok Ciu yang bening itu mendengar kata-kata ini. “Bangsat bermulut jahat!
Kau harus dibasmi dari muka bumi ini!” Giok Ciu mencabut Ouw Liong Pokiam dan
menyerang pemuda itu yang segera meloncat dan berkelit cepat.
“Nona Giok
Ciu... Percayalah padaku...”
“Bangsat
keji!” Giok Ciu makin marah dan mengirim serangan-serangan maut.
Kalau bukan
Gak Bin Tong yang di serang seperti itu, tentu sukar untuk menyelamatkan diri,
tapi pemuda she Gak inipun memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dalam
tiga empat jurus saja Giok Ciu yang sedang marah itu belum dapat merobohkannya.
Akan tetapi, segera keadaan pemuda itu berbahaya sekali karena Giok Ciu dapat
mengendalikan marahnya dan menggerakkan pedangnya secara lihai sekali!
Pada saat
yang sangat berbahaya, tiba-tiba Sin Wan muncul dan berseru, “Moi-moi, tahan
pedangmu!” Tapi Giok Ciu tidak memperdulikan seruan Sin Wan, bahkan memperhebat
serangannya hingga Gak Bin Tong sibuk sekali berloncatan menghindarkan diri.
“Moi-moi,
segala hal bisa diurus, jangan menggunakan kekerasan.”
Tapi tetap
saja gadis yang sudah panas dan naik darah itu tidak mau menghentikan
serangannya hingga Sin Wan terpaksa mencabut Pek Liong Pokiamnya dan menangkis
sebuah tusukan Giok Ciu yang mengarah tenggorokan Gak Bin Tong yang sudah
kepepet sekali keadaannya.
“Kau mau
membela dia?” kata Giok Ciu gemas sekali dan dengan ganasnya ia mengirim
serangan lagi ke arah Gak Bin Tong. Sin Wan menangkiskan lagi dan berserulah
dia.
“Moi-moi,
lupakah kau akan pesan Suhu? Jangan sembarangan membunuh orang!”
Lemaslah
tangan Giok Ciu mendengar peringatan ini. Ia memandang kepada Sin Wan dengan
gemas, kemudia ia membentak kepada Gak Bin Tong. “Bangsat rendah, kau tidak
lekas pergi?”
Gak Bin Tong
menjura kepada mereka, lalu meloncat pergi sambil berkata, “Lihatlah saja,
kelak akan terbuka matamu.” Dan secepat mungkin ia lari turun gunung, diikuti
pandang mata marah dari Giok Ciu dan keheranan dari Sin Wan.
“Moi-moi
apakah salahnya maka kau hendak membunuhnya?” tanya Sin Wan.
“Dia...
Dia...” Giok Ciu hendak mengatakan bahwa pemuda muka putih itu menuduh Sin Wan
menjadi suami tidak syah dari Suma Li Lian, tapi kata-kata ini ditelannya
kembali, sebaliknya ia berkata, “Dia datang dan mengganggu ketika sedang
bersamadhi, bahkan ia berkata kurang ajar!”
Sin Wan
menghela napas karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu lupa akan
kesopanan melihat Giok Ciu duduk bersamadhi karena ia sendiripun pernah melihat
betapa ayu dan agung gadis itu tampaknya jika sedang bersamadhi. Maka ia
menghela napas panjang.
“Sudahlah,
moi-moi, untuk apa memperdulikan orang seperti dia? Dia sekarang sudah pergi,
lebih baik kita mencurahkan perhatian kita kepada latihan-latihan kita, karena
kita menghadapi urusan besar.”
“Siapa
memperhatikan dia?” jawab Giok Ciu karena sesungguhnya ia sama sekali tidak
perhatikan Gak Bin Tong, tapi yang mengganggu pikirannya ialah kata-kata pemuda
muka putih tadi.
Ia yakin dan
pasti bahwa orang she Gak itu tentu membohong, namun masih saja ada rasa tidak
enak dan tidak senang di dalam hatinya. Selama tiga hari semenjak peristiwa
itu, di tempat terpisah, Giok Ciu dan Sin Wan mengerahkan seluruh perhatian
untuk berlatih hingga pelajaran latihan lweekang terakhir telah mereka lalui
dengan hasil baik.
Pada hari
keempatnya, Giok Ciu berdiri dari tempat siulian di bawah pohon siong itu, dan
melemaskan kedua kaki dengan berjalan-jalan ke lereng puncak. Kedua kakinya
terasa agak kaku dan perutnya lapar sekali. Ia tahu bahwa di sebuah hutan
terdapat pohon-pohon buah yang lezat buahnya dan tempat ini telah merupakan
'Gudang makanan' bagi kedua anak muda itu serta guru mereka.
ketika Giok
Ciu tengah makan buah yang baru saja dipetiknya dan rasanya segar dan enak
sekali, tiba-tiba ia menunda makannya karena pada saat itu ia mendengar suara
wanita menangis dan memaki-maki. Ia segera meloncat dan lari cepat menuju ke
arah suara itu yang ternyata datang dari arah bawah. Ia menuruni lereng itu
dengan cepatnya dan alangkah marahnya ketika melihat betapa empat orang laki-laki
menarik-narik seorang wanita muda keluar dari sebuah tandu!
Ia tidak
melihat jelas wajah wanita itu, hanya tahu bahwa wanita itu menggendong seorang
anak kecil yang menangis keras. Agaknya keempat orang laki-laki itu tadinya
adalah tukang-tukang pikul tandu yang kini hendak berbuat jahat.
“Bangsat-bangsat
keji!”
Giok Ciu
berseru keras dan tahu-tahu keempat laki-laki tinggi besar dan bertubuh kuat
itu melihat bayangan berkelebat cepat dan sebelum mereka dapat melihat tegas.
Bayangan itu telah tiba dan tahu-tahu seorang demi seorang, mereka terlempar ke
dalam jurang yang sangat curam di dekat situ!
Keempat
orang itu mengalami kematian tanpa mengetahui siapa yang membunuh mereka dan
dengan cara bagaimana. Setelah menggunakan kegesitan dan ketangkasannya
melempar-lempar keempat orang itu bagaikan melemparkan rumput-rumput saja, Giok
Ciu lalu bertindak maju dan menyingkap kain sutera penutup tandu. Tiba-tiba
tangannya yang pegang tandu itu gemetar dan dadanya berdebar keras, karena
wanita muda yang ditolongnya itu bukan lain ialah nona Suma Li Lian!
Suma Li Lian
ketika melihat bahwa yang menolongnya adalah Kwi Giok Ciu, gadis pendekar yang
perkasa dan yang pernah dilihatnya dulu, tampak gembira sekali dan segera ia
keluar dari tandu sambil memondong anak kecil itu.
“Kwie
Lihiap! Kaukah itu? Syukurlah dan banyak-banyak terima kasih, Lihiap, karena
kau ternyata telah menolong jiwaku dari ancaman empat binatang keparat tadi.”
Giok Ciu
terima pernyataan terima kasih itu dengan senyum dingin saja. “Siapakah mereka
itu dan hendak kemanakah kau sampai tersesat di gunung ini?” tanyanya.
“Kwie
Lihiap, aku sengaja menyewa tandu ini untuk mendaki bukit ini. Aku telah
membayar mahal sekali kepada empat orang itu. Siapa tahu, sampai ditempat ini
mereka agaknya mengandung maksud buruk terhadap diriku. Untung sekali kau
keburu datang!”
“Hmm, dengan
maksud apakah kau mendaki bukit ini?” tanya Giok Ciu dengan sikapnya yang masih
dingin.
Tiba-tiba Li
Lian menangis sambil mendekap anak perempuan yang usianya kurang lebih enam
bulan itu di dadanya!
“Eh, mengapa
tiba-tiba kau menangis?” tanya Giok Ciu.
“Lihiap,
kau... kau tolonglah, Lihiap. Aku sedang mencari Ayah anak ini, dan dia dulu
pernah memberi tahu padaku bahwa jika aku hendak mencari padanya aku harus
mendaki bukit Kam-Hong-San ini...”
Makin keras
debar jantung Giok Ciu dan ia kini merasa betapa kedua kakinya menggigil, tapi
sedapat mungkin ia menahan dan menindas perasaan ini.
“Siapa...
siapakah Ayah anak ini dan... Dan ini anak siapakah...?” Tanyanya gagap.
“Ini adalah
anakku, Lihiap, dan Ayahnya... Adalah Bun Sin Wan...”
Biarpun tadi
dengan kuatir sekali di dalam dada Giok Ciu telah ada yang menduga akan hal
ini, namun keluarnya pernyataan dari bibir Suma Li Lian sendiri itu membuat ia
merasa seakan-akan bumi yang dipinjaknya bergoyang-goyang hingga kedua matanya
menjadi gelap dan kepalanya pening. Ia terhuyung-huyung, tapi segera ia
mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaannya.
Setelah
mengatur napas beberapa lama, barulah ia tenang kembali dan kegelapan yang
menyelimuti dirinya berangsur-angsur lenyap. Ia lalu memandang wajah yang
cantik tapi agak pucat dihadapannya itu, dan sedapat mungkin ia menekan
suaranya hingga tidak terdengar ketus.
“Nona Suma,
tidak salahkan pendengaranku tadi bahwa Ayah anakmu ini adalah Bun Sin Wan?”
tanyanya.
Suma Li Lian
memandang Giok Ciu dengan sinar mata penasaran hingga mata yang bening bagaikan
mata burung Hong itu memancarkan cahaya.
“Kwie
Lihiap, biarpun aku bukan seorang wanita gagah seperti engkau, namun tetap
mempunyai kesetiaan dan kejujuran dalam hal ini. Kalau bukan kanda Sin Wan yang
menjadi suamiku, untuk apakah aku mengatakan bahwa dia adalah Ayah anakku ini?”
Dan setelah berkata demikian ia memandang Giok Ciu dengan sikap menantang.
“Kau
bohong!” teriak Giok Ciu marah sekali. “Kau sengaja memfitnah orang! Kau
perempuan hina yang harus mampus!”
Dengan
pedang terhunus di tangan, Giok Ciu mengancam. Tapi Suma Li Lian tidak takut,
bahkan tetap tersenyum tenang,
“Kwie
Lihiap, mungkin kau mencinta kanda Sin Wan dan karenanya menjadi sakit hati
kepadaku. Tapi jangan kau sebut aku pembohong karena aku sama sekali tidak
bohong padamu. Anak ini adalah anak kanda Sin Wan dan aku! Kalau kau tidak
percaya, tanyakan saja hal ini kepadanya sendiri. Bukankah ia ada di sini?”
“Suma Li
Lian! Kalau kau memfitnah, jangan anggap aku keterlaluan kalau aku akan cincang
hancur tubuhmu! Bun Sin Wan selalu bersamaku dan kami tak pernah berpisah.
Bagaimana kau dapat berkata bahwa anak ini adalah anaknya?”
Kini Giok
Ciu berubah pucat sekali dan bibirnya terasa kering. Sinar matanya seakan-akan
memohon kepada Li Lian supaya menarik kembali kata-kata tuduhan tadi. Tapi
kata-kata yang keluar dari mulut Li Lian yang tenang itu bagaikan sebilah pisau
berbisa yang mengiris-iris jantungnya.
“Kwie
Lihiap, memang benar kata-katamu itu, dan akupun hanya sekali saja bertemu
dengan kanda Sin Wan. Tapi pertemuan yang sekali itu telah mengikat kami
menjadi suami isteri dan bukti yang terutama ialah anak kami ini. Ingatkah kau
ketika Sin Wan pergi seorang diri hendak mencegat Ayahku? Bukankah waktu itu
kau tidak ikut dan tinggal di dalam Kelenteng? Nah, pada waktu itu, larut
tengah malam menjelang fajar, pada waktu itulah kami bertemu, atau lebih tepat,
kanda Sin Wan menemuiku. Ia memasuki kamarku dan menyatakan cintanya padaku.
Pada saat itulah kami menjadi suami isteri.”
Giok Ciu
maju dan memegang erat lengan Li Lian. “Kau... kau... katakanlah sebetulnya,
apakah kau tidak bohong? Apakah hal ini terjadi betul-betul? Mengapa kau tidak
berteriak pada waktu itu?”
Suma Li Lian
menundukkan muka dengan wajah memerah, “Aku tidak membohong, Lihiap. Demi
kehormatanku, demi Thian Yang Maha Kuasa, aku tidak membohong. Biarpun aku
tidak dapat melihat wajahnya pada waktu itu dan keadaan gelap, namun aku dapat
mengenal suaranya dan iapun mengaku bahwa ia adalah kanda Sin Wan sendiri. Dan
aku... aku tentu akan berteriak minta tolong, kalau saja dia bukan kanda Sin
Wan... aku, aku cinta padanya, Lihiap. Aku cinta kepada musuh Ayahku! Sekarang,
sekarang... aku merasa malu dan hina sekali, tapi apa boleh buat... anak ini
telah terlahir dan perlu bertemu dengan Ayahnya...”
Maka
menangislah Li Lian tersedu-sedu dan Giok Ciu melepaskan pegangannya pada
lengan tangan Ibu muda itu, dan gadis itu berdiri termenung seakan-akan
semangatnya telah meninggalkan tubuhnya. Ia tidak measa betapa air matanya
mengalir turun dari sepasang matanya yang suram, tidak tahu betapa wajahnya
pada saat itu lebih menyerupai seorang mayat hidup! Kemudian ia teringat
sesuatu.
“Benarkah
kau telah mengkhianati seorang she Gak dan mengatakan kepada para pahlawan
bahwa dia ini mempunyai hubungan dengan kami?”
“Benar,
Lihiap. Aku benci sekali kepadanya. Telah beberapa kali ia bersikap tak patut
terhadapku, maka aku segera mengadukan dia dan sepanjang yang kudengar, ia
dikejar-kejar oleh para pengawal Kaisar. Lihiap, sekarang kau tolonglah aku,
dimanakah adanya kanda Sin Wan?”
“Kau hendak
bertemu padanya? Boleh! Memang kau harus bertemu padanya, kau harus bertemu
sekarang juga! Hayo, kuantar kau!!”
Kemudian
Giok Ciu mengajak Suma Li Lian naik ke lereng bukit itu. Ibu muda itu naik
dengan sukar sekali, tapi Giok Ciu tidak memperdulikannya, bahkan berjalan
mendahuluinya dengan tindakan bagaikan orang mabok.
Sin Wan yang
baru saja sadar dari siulian, menyambut kedatangan Giok Ciu dengan senyum
gembira. Tapi ia kaget sekali melihat wajah gadis itu. Ia segera maju hendak
memegang tangan Giok Ciu, tapi gadis itu berkelit cepat dan memandangnya penuh
kebencian. Nyata sekali betapa Giok Ciu menahan-nahan nafsunya hendak menyerang
Sin Wan.
“Moi-moi...
Kau kenapakah?” Sin Wan cemas sekali melihat keadaan Giok Ciu yang disangkanya
sakit atau telah terjadi hal yang hebat.
Tapi Giok
Ciu hanya menggigit bibir dan memandangnya dengan mata yang kini mulai
digenangi air mata! Pada saat itu terdengar suara kaki orang menaiki jalan naik
itu dengan susah payah. Sin Wan cepat memandang dan terkejutlah ia ketika
melihat betapa Suma Li Lian sambil menggendong anak kecil sedang mendaki dengan
napas terengah-engah karena sangat kelelahan!
Sebagai
seorang berbudi halus, melihat keadaan Li Lian, Sin Wan tidak tega
mendiamkannya saja, maka cepat ia maju dan mengulurkan tanggannya untuk
membantu gadis itu menaiki sebuah batu. Tapi tak disangkanya sama sekali,
ketika Suma Li Lian telah berdiri tetap didepannya, wanita itu segera menubruk
dan memeluknya sambil berbisik tercampur isak.
“Kanda Sin
Wan... alangkah banyak derita kualami dalam mencari engkau…” maka terdengarlah
tangis mengharukan dibarengi dengan pekik tangis bayi dalam gendongan ibunya
itu.
Sin Wan
mendengar sebutan Li Lian padanya itu menjadi heran sekali. Ia
mengangkat-angkat kedua alis matanya dan memandang dengan muka bodoh. Tak dapat
ia berlaku kasar untuk mencegah pelukan Li Lian, karena ia tahu betapa gadis
itu sangat lelah dan juga ia takut kalau-kalau anak dalam gendongan itu akan
terjatuh.
“Suma-Siocia,
kau tenanglah, jangan peluk-peluk aku seperti ini. Duduklah dan mari kita
bicara baik-baik,” katanya dengan halus.
“Koko...
kenapa kau masih sebut aku Siocia? Lihat... lihatlah! Ini adalah anakmu! Anak
kami, terlahir lima bulan yang lalu! Koko... ternyata jodoh kita tak dapat
direnggut putus demikian saja, lihat anak ini belum kuberi nama, sengaja kubawa
kepadamu, kepada Ayahnya untuk menimangnya dan memberinya nama.”
Kalau ada
geledek menyambar barangkali Sin Wan takkan sekaget ketika mendengar kata-kata
Suma Li Lian ini. Ia merasa seakan-akan seluruh rambut dikepala dan tubuhnya
berdiri dan meremang. Ia takut kalau-kalau wanita ini telah menjadi gila! Tak
terasa pula ia mundur beberapa langkah dengan napas terengah-engah, lalu
katanya,
“Suma-Siocia,
apakah yang kau maksudkan dengan semua ini? Kau telah menjadi gila atau akukah
yang sedang mimpi?” Kemudian Sin Wan berpaling kepada Giok Ciu yang masih
memandangnya seperti tadi, bahkan kini di sudut bibir gadis itu membayang
senyum menghina.
“Moi-moi,
agaknya kau lebih tahu tentang hal ini. Coba terangkan, apakah artinya semua
ini? Mengapa kau bawa Suma-Siocia ke sini dan anak ini anak siapakah?”
Tiba-tiba
Giok Ciu menggunakan jari telunjuk menunding mukanya. “Siapa sudi kau sebut
moi-moi? Laki-laki rendah, laki-laki hina, laki-laki pengecut! Tak tahu malu,
sudah berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, bahkan masih berpura-pura
bodoh pula sekarang! Sungguh tak kusangka sama sekali! Kau... orang yang
tadinya kuanggap semulia-mulianya orang, yang kusangka sejantan-jantannya
diantara sekalian yang jantan, tak tahunya hanyalah seorang hina dina!”
“Moi-moi
tahan mulutmu!” bentak Sin Wan dengan marah sekali dan wajahnya memucat.
“Tidak! Aku
hendak bicara terus, kau mau apa? Lihat, mulai saat ini aku Kwie Giok Ciu tidak
mempunyai hubungan apa-apa dengan seorang rendah bernama Bun Sin Wan!”
Sambil
berkata demikian gadis itu mencabut suling pemberian Sin Wan dulu dan
mematahkan suling itu ke dalam tangan, lalu dua potong patahan suling itu ia
remas-remas sampai hancur lebur sambil tertawa bekakakan.
“Moi-moi,
diamlah!” Sin Wan membentak lagi dengan keras sekali karena ia merasa ngeri
melihat betapa gadis itu berdongak sambil tertawa yang sangat aneh bunyinya dan
pada saat itu ia tampak seperti mayat sedang tertawa menyeramkan.
Giok Ciu
melempar-lemparkan hancuran suling itu ke atas dan angin gunung membawa bubukan
itu bertebaran ke mana-mana, “Ha ha ha! Lihatlah, lihatlah, hai bunga dan
pohon! Lihatlah betapa cita-cita itu telah lebur, telah cerai berai dan musnah
terbawa angin. Lihatlah betapa semua telah hancur, telah hancur... sekarang
tidak ada apa-apa lagi... hancur lebur... habis...”
Dan kembali
ia tertawa menyeramkan, tapi suara ketawanya itu berangsur-angsur menjadi isak
tangis sedih. Lalu Giok Ciu lari dari situ dengan cepat sekali sambil membawa
suara tangisnya makin menjauh.
“Moi-moi...!”
Sin Wan juga lari mengejar, tapi tiba-tiba Giok Ciu mencabut pedang Ouw Liong
Pokiam dan membalikkan tubuh dengan pedang hitam itu melintang di dada.
Sikapnya garang sekali dan ia membentak,
“Bangsat
rendah! Kau mau apa? Jangan halang-halangi pergiku, kembalilah kepada isteri
dan anakmu! Awas, satu tindak saja kau melangkah maju, aku akan mengadu jiwa
denganmu!”
Tadinya Sin
Wan hendak nekad maju, tapi ia pikir lagi bahwa Giok Ciu sedang panas hati dan
mata gelap, maka tidak baik kalau dipaksa dan mungkin akan terjadi pertempuran
mati-matian dan ia anggap ini bukanlah penyelesaian yang baik. Maka ia hanya
memandang gadis itu dengan wajah sedih, lalu berkata,
“Baiklah,
moi-moi. Kau menuduh aku yang bukan-bukan tanpa memberi kesempatan dan ketika
kepadaku untuk membela diri!”
Tapi Giok
Ciu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara terus karena gadis itu
telah membalikkan tubuhnya dan lari ke bawah gunung dengan cepat sekali dan Ouw
Liong Pokiam di tangannya berkilau-kilau ditimpa sinar matahari!
Akhirnya Sin
Wan membalikkan tubuhnya setelah bayangan gadis itu tidak tampak lagi dan ia
teringat kembali akan Suma Li Lian, maka dengan kertak gigi karena gemas, ia
lari kembali ke tempat gadis bangsawan itu. Ia melihat betapa gadis itu berdiri
sambil menyusui anak itu, maka wajah Sin Wan memerah. Ia memalingkan mukanya
dan dalam keadaan malu dan jengah melihat betapa Li Lian di hadapannya tanpa
malu-malu menyusui anak itu, timbullah keheranan besar dalam hati Sin Wan. Li
Lian telah mempunyai anak dan mengaku bahwa anak itu adalah anaknya pula! Li
Lian mengaku bahwa dia adalah suaminya! Sungguh gila, gila dan lucu. Sambil
berdiri membelakangi Li Lian, Sin Wan berkata,
“Suma-Siocia,
kalau kau sudah selesai menyusui anak itu, katakanlah agar kita bisa bicara
dengan baik.”
Beberapa
lamanya mereka berdiri dalam keadaan demikian. Li Lian berdiri menyusui anaknya
sambil memandang tubuh belakang Sin Wan dengan mata sayu dan agak terheran
melihat sikap pemuda itu, sedangkan Sin Wan berdiri memangku kedua lengan
sambil memeras otaknya mengapa timbul perkara aneh dan gila ini! Tak lama
kemudian terdengar Li Lian berkata kepadanya,
“Kanda Sin
Wan, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu. Kau adalah seorang pemuda gagah
perkasa dan berbudi tinggi. Benar-benarkah kau tidak mau mempertanggung
jawabkan perbuatanmu sendiri?”
Sin Wan
kertak giginya dengan marah dan gemas sekali. “Sudah selesaikah kau menyusui
anakmu?” bentaknya.
“Sudah,
biarpun aku tidak mengerti mengapa kau pura-pura tidak bisa melihat anakmu
sendiri menyusu di dada ibunya!” jawab Li Lian penasaran.
Bagaikan
kilat cepatnya Sin Wan meloncat sambil membalikkan tubuh dan ia berdiri di
depan Li Lian. Gatal-gatal tangannya hendak menampar perempuan ini, tapi
melihat betapa sepasang mata yang bening dan wajah yang ayu itu tampak sangat
agung memandangnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, ia menjadi lemas.
“Nona Suma,
sekarang kau katakanlah yang sebenarnya. Mengapa kau lakukan hal keedan-edanan
ini? Apakah salahku kepadamu maka kau memfitnah padaku?” Tiba-tiba Sin Wan
menjadi pucat dan kedua matanya bersinar-sinar. Ia lalu tertawa dan berkata
kepada Li Lian yang terheran-heran.
“Ha ha ha!
Kau perempuan licin! Sungguh kau cerdik dan lihai! Kini aku tahu, tentu kau
lakukan ini untuk membalas dendammu karena aku telah membunuh Ayahmu bukan? Ha
ha ha! Benar-benar kau hebat dan lihai! Dengan tenaga kau tak mungkin dapat
membalas, kini kau membalas, dengan akal jahatmu. Tapi hasil muslihatmu ini
ternyata lebih hebat dan sakit rasanya daripada kalau kau membalas dengan
pukulan maut! Ah, mengapa Giok Ciu tidak menginsafi hal ini...?”
“Koko Sin
Wan! Jangan kau ngaco belo tidak karuan...” Dan tiba-tiba Li Lian menangis
sedih. “Aku... mengapa pula aku harus membalas dendam? Bukankah aku sudah
menjadi isterimu? Koko, biarpun kau hendak berlaku pengecut dan mengingkari
janji dan membodohi semua orang, tapi kau tidak dapat menipu Thian Yang Maha
Agung! Inilah buktinya! Lihatlah anak ini, inilah hasil pertemuan kita dulu!
Atau kau pura-pura lupa ketika kau memasuki kamarku pada pagi hari dulu itu?
Koko, kau tahu bahwa aku... aku mencinta padamu, kalau tidak demikian halnya,
mungkinkah aku sudi melayanimu sedangkan aku tahu bahwa kau adalah musuh
Ayahku? Aku telah korbankan Ayahku, korbankan namaku, korbankan perasaanku
untuk membalas cintamu, tapi mungkinkah seorang pemuda gagah perkasa dan
berbudi seperti engkau ini mempunyai hati palsu? Ah, tak mungkin! Aku takkan
percaya! Wajahmu tak mungkin palsu tapi... mengapa sikapmu begini terhadapku,
koko...” dan dengan sangat sedihnya Li Lian menangis dan menutupi mukanya
sehingga ia tidak melihat betapa Sin Wan mendengarkan ucapannya dengan wajah
makin terheran dan mata makin lebar terbelalak.
Sin Wan
benar-benar tak berdaya karena herannya. Setelah menggunakan lidahnya membasahi
bibirnya yang kering, ia akhirnya berkata dengan halus, “Nanti dulu, nona,
tenanglah dulu. Coba kau ceritakan padaku tentang pagi hari itu, pada waktu
mana kau bilang aku memasuki kamarmu. Coba ceritakanlah hal itu dengan terus
terang.”
Suma Li Lian
memandangnya heran dan seakan-akan tak percaya akan apa yang didengarnya dari
mulut pemuda itu. Akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Baiklah kalau kau
kehendaki itu. Dulu ketika mendengar bahwa kau mencari-cari Ayahku untuk kau
bunuh, hatiku hancur dan sedih sekali, karena sesungguhnya aku tidak suka
melihat kau membunuh Ayah. Pertama-tama memang sebagai seorang anak tentu saja
aku tidak rela kalau Ayah dibunuh orang, kedua, di lubuk hatiku aku sangat
tertarik dan suka kepadamu yang biarpun menjadi musuh Ayahku, namun kau telah
berlaku sopan dan jujur terhadapku, bahkan kau telah membela aku dari kemarahan
Kwie Lihiap. Semenjak itulah maka timbul rasa cinta di dalam hatiku. Malam
ketika kau pergi itu aku tak dapat tidur. Menjelang fajar, aku melihat bayangan
orang memasuki kamarku dari jendela. Karena lampu telah padam, maka aku tak
dapat mengenal mukamu, hanya dapat menduga karena potongan tubuhmu kukenal baik
dan bayangan itu potongan tubuhnya memang sama dengan engkau. Kemudian kau
membuka suara memanggilku, maka aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kaulah yang
datang. Kau menyatakan cintamu tanpa banyak kata dan aku... aku tak berdaya
menolakmu karena... memang aku cinta padamu...! Ah, kanda Sin Wan, perlukah hal
ini disebut-sebut lagi? Atau apakah ketika itu kau hanya pura-pura saja dan
sengaja mempermainkan aku?”
Tiba-tiba
Sin Wan mengangkat tangan dan meramkan mata karena ia sedang memikir keras.
“Nanti dulu... ketika hal itu terjadi, yakni ketika bayangan itu memasuki
kamarmu, apakah waktu itu sudah terdengar ayam berkokok?”
Suma Li Lian
mengingat-ingat lalu berkata tetap, “Belum koko, karena aku ingat betul bahwa
setelah kau pergi meninggalkan aku, barulah aku mendengar suara ayam berkokok
memasuki jendela kamarku yang terbuka karena kau agaknya lupa menutup kembali.”
Sin Wan
mengangguk-angguk, “Hmm, aku tahu sekarang mengapa kau dulu ketika hendak
berpisah dengan aku, mengucapkan kata-kata yang tak kumengerti sama sekali,
yakni kau sesalkan aku yang tidak ingat akan kejadian pagi itu. Kini aku
mengerti. Ketahuilah, Suma-Siocia. Pada saat itu aku masih belum kembali ke
Kelenteng, dan datangku ke Kelenteng adalah pada waktu matahari telah naik
tinggi! Pada saat ada orang memasuki kamarmu itu aku tengah mencegat seorang
diri di hutan, mencegat kendaraan Ayahmu!”.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment