Friday, October 5, 2018

Cerita Silat Serial Kisah Sepasang Naga Jilid 08



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Kisah Sepasang Naga

                 Jilid 08


Melihat kawannya dipermainkan, Kwi Kai Hoatsu juga lalu menggerakkan tongkat dan kebutan hudtimnya untuk menyerang, hingga sebentar saja orang gila itu dikeroyok oleh kedua Tosu yang bersenjata dan lihai itu. Tapi kesudahannya sungguh-sungguh membuat Sin Wan dan Giok Ciu diam-diam dan tak terasa saling berpegangan tangan dan menahan napas!

Dengan tangan kosong, orang gila itu melayani kedua Tosu itu dan saban-saban ada kesempatan, ia menggunakan kedua telapak tangannya yang kotor dan bau itu untuk diusapkan di muka kedua lawannya, hingga setelah kena diusap beberapa kali, muka Kwi Kai Hoatsu dan Kang Keng Tosu menjadi kotor dan hitam!

Tentu saja perbuatan si gila ini tampak lucu sekali dan merupakan hal yang sangat menghina kedua tokoh itu. Ah, kalau saja ada kawan-kawan mereka melihat hal ini, alangkah akan malunya. Dipermainkan sedemikian rupa oleh seorang gila yang bertangan kosong, sedangkan mereka mengeroyok berdua!

Sebaliknya Sin Wan dan Giok Ciu merasa kagum karena tak mereka sangka di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai. Mereka taksir bahwa kepandaian orang yang seperti gila itu setidak-tidaknya setingkat dengan kepandaian guru mereka, Bu Beng Sianjin! Maka timbul harapan di dalam hati mereka, karena agaknya orang gila itu membantu mereka untuk merampas kembali kedua pokiam mereka.

Sementara itu, karena makin lama makin sering tangan si gila itu mengusap muka mereka, Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu merasa geli dan ngeri. Kalau saja si gila ini bermaksud jahat, tentu sudah tadi-tadi mereka menjadi mayat. Maka mereka lalu meloncat pergi dengan maksud kabur. Tapi alangkah terkejut mereka ketika tahu-tahu si gila telah menghadang di depan pula!

“Sebenarnya kau mau apakah?” teriak Kwi Kai Hoatsu dengan gemas sekali.

“Pedang mereka... pedang mereka... kembalikan!” kata si gila sambil melanjutkan gerakan-gerakan silatnya yang luar biasa anehnya dan yang selama hidupnya belum pernah dilihat oleh kedua Tosu itu.

“Kau mau pedang ini? Nah, terimalah!”

Kwi Kai Hoatsu lalu sambitkan Pek Liong Pokiam ke arah si gila itu yang disambut dengan mudahnya oleh orang gembel itu. Juga Keng Kong Tosu lalu sambitkan Ouw Liong Pokiam ke arah lawannya. Kini si gila itu menggunakan Pek Liong Pokiam untuk menerima luncuran Ouw Liong Pokiam.

Ketika pedang hitam itu meluncur dan hendak menancap di dadanya, ia menggunakan pedang putih untuk menempel pedang hitam hingga kedua pedang menempel lalu diputar sedemikian rupa dengan cepat sekali hingga pedang hitam terputar-putar di sekeliling pedang putih dengan ujung saling tempel!

“Bukankah itu gerakan Naga Sakti Putar Ekor yang diajarkan oleh Suhu?” Tiba-tiba Giok Ciu berbisik sambil menekan tangan Sin Wan.

“Memang betul, agaknya orang itupun kenal ilmu silat kita. Mari kita hampiri dia.”

Si Gila itu masih memutar-mutar pedang itu ketika Sin Wan dan Giok Ciu tiba di situ dan kedua anak muda itu tanpa ragu-ragu lagi lalu menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Si gila sambil memutar-mutar pedang melihat ke arah depan di mana Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu berlari-lari cepat meninggalkan orang yang aneh dan membuat mereka jerih dan ketakutan itu, karena selama hidup belum pernah mereka bertemu dengan orang yang seaneh dan sehebat itu kepandaiannya. Mereka merasa beruntung tidak terbunuh olehnya.

“Mereka itu kutu-kutu busuk!” si gila berkata berulang-ulang. Kemudian ia melihat kedua anak muda yang berlutut di depannya, maka iapun berlutut dan melihat-lihat tanah di depan Sin Wan dan Giok Ciu. “Eh, eh, kalian sedang mencari apakah? Apa sedang mengintai jangkrik?”

Maka iapun lalu mencari-cari dan menyingkap-nyingkap rumput di situ! Sin Wan dan Giok Ciu saling melirik.

“Lo-Cianpwe, teecu berdua menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas pertolongan Lo-Cianpwe kepada kami,” kata Sin Wan dengan suara menghormat.

Orang aneh itu bangun berdiri dan sekali sentak dengan sebelah tangannya, tubuh Sin Wan terangkat naik hingga anak muda itu terpaksa berdiri.

“Kau berdirilah, tak enak bicara sambil berlutut!” katanya kepada Giok Ciu yang segera berdiri.

Mereka berdua berdiri dengan sikap hormat sekali.

“Siapakah yang tolong siapa? Mereka merampas pedangmu dan aku ambilkan itu dari mereka untukmu!”

“Lo-Cianpwe sudilah kiranya memberitahukan teecu berdua nama yang mulia dari Lo-Cianpwe agar teecu berdua tak mudah melupakan budi Lo-Cianpwe ini.”

“Bicaramu sulit dimengerti,” kata si gila setelah memeras otak memikir-mikir untuk memahami kata-kata Sin Wan.

“Namaku ya aku, dan nama kalian siapa akupun tak perlu tahu. Nah, ini terima pedangmu!”

Dengan tak acuh ia angsurkan kedua pedang itu yang disambut oleh Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang sekali dan membungkukkan tubuh.

“Pedang ini baik sekali, sayang kalau terjatuh di tangan mereka. Lain kali jangan sampai kena dirampas orang pula!” Tiba-tiba saja suara si gila ini terdengar terang dan waras.

“Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe, karena teecu berdua memang masih dangkal pengetahuan,” kata Sin Wan.

Orang tinggi besar itu tertawa lalu tiba-tiba ia berjungkir balik, kedua tangannya di bawah dan kedua kaki di atas! Dalam keadaan begini, agaknya orang itu meraa lebih enak, lalu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata,

“Petunjuk apakah? Kalau kalian bisa meniru kepandaianku ini, tak mungkin dua imam itu mampu merampas pedangmu!”

Hampir saja Giok Ciu tertawa geli, karena apakah susahnya untuk berdiri dengan kaki di atas seperti itu? Jangankan dengan kedua tangan, biar dengan sebelah tanganpun ia sanggup melakukannya dengan mudah sekali. Tapi Sin Wan segera berkata,

“Lo-Cianpwe, kenalkah Lo-Cianpwe kepada Suhu kami? Suhu disebut Bu Beng Sianjin! Kenalkah Lo-Cianpwe padanya?”

Sepasang mata yang berada di bawah itu berputar-putar cepat, tanda bahwa otaknya yang telah hampir beku itu dikerjakan keras. “Bu Beng...? Bu beng...? Ah, aku kenal... aku kenal...!” Tiba-tiba ia berseru keras sekali.

“Heh...!” dan tahu-tahu tubuhnya yang tadi berdiri terbalik itu membal ke atas tinggi sekali! Di atas masih terdengar suaranya. “Bu... Beng…?” Dan sekali lagi di atas ia berseru “Heh...!”

Tahu-tahu tubuh yang masih berada di atas itu mencelat jauh dan lenyap dari pandangan mata kedua anak muda itu. Sin Wan dan Giok Ciu bengong Mereka terkejut, heran, dan kagum sekali melihat kehebatan orang gila itu! Sin Wan menghela napas dan berkata,

“Ah, sungguh di dunia ini banyak orang-orang berilmu tinggi, hingga jika dibandingkan, kita ini bukan apa-apa.”

“Tadi ketika ia berdiri jungkir balik, ia bilang bahwa kalau kita bisa menirunya, maka kedua Tosu itu takkan mungkin dapat merampas pedang kita. Apakah maksudnya, koko? Apakah artinya kepandaian jungkir balik macam itu?”

“Aku juga sedang memikirkan itu, moi-moi. Memang kelihatannya itu bukan kepandaian yang berarti, tapi kau ingatkah ketika ia meloncat ke atas tadi? Ia mempergunakan bentakan dalam dada dan tahu-tahu tubuhnya telah mumbul ke atas tinggi sekali, bahkan di ataspun ia dapat gunakan tenaga mujijat itu untuk melesat pergi jauh sekali! Kurasa ia melatih lweekang dan ginkang yang tinggi dengan cara bersamadhi sambil berdiri jungkir balik!”

Giok Ciu mengangguk-angguk. “Mungkin juga, bukankah Suhu juga sering bersamadhi dengan cara yang aneh-aneh?” Maka teringatlah Sin Wan.

“Agaknya orang aneh tadi kenal kepada Suhu, tapi mungkin juga tidak, karena sikapnya sungguh-sungguh aneh hingga aku hampir percaya bahwa ia benar-benar gila! Giok Ciu, kita harus akui bahwa kepandaian kita masih dangkal sekali. Baru menghadapi dua orang saudara Cin Cin Hoatsu saja kita hampir mengalami bencana, apalagi kalau harus menghadapi Cin Cin Hoatsu yang lihai. Memang sebenarnya pelajaran kita belum tamat dan dahulu kita terpaksa berpisah dari Suhu. Kurasa lebih sempurna lagi kalau kita sekarang kembali dulu dan mohon kepada Suhu untuk memberi pelajaran selanjutnya kepada kita sampai tamat. Setelah itu, barulah kita berdua pergi mencari Cin Cin Hoatsu. Bagaimana pendapatmu, moi-moi?”

Sebenarnya, gadis itu ingin lekas-lekas mencari musuh besarnya dan membalas dendam, tapi setelah dipikir-pikir bahwa kata-kata Sin Wan betul, pula mengingat betapa baru saja mereka gagal melawan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu ia lalu menyetujui ajakan Sin Wan. Maka mereka lalu kembali dan menuju ke Kam-Hong-San untuk mencari Suhu mereka dan minta pimpinan lebih jauh.

Ketika mereka tiba di kaki bukit Kam-Hong-San, Sin Wan tidak lupa untuk mampir di kampungnya. Penduduk kampung dengan gembira ria menyambut pemuda pemudi itu dan memaksa mereka bermalam di situ. Sin Wan didesak untuk menceritakan pengalamannya dan ketika mendengar bahwa pembunuh-pembunuh Kang Lam Ciuhiap dan Ibu Sin Wan telah dapat terbalas dan dibinasakan, mereka bersorak-sorak girang dan merasa puas sekali, karena ini berarti bukan hanya pembalasan sakit hati kedua orang itu, tapi juga pembalasan sakit hati para orang-orang yang dulu dengan gagah menolong Kang Lam Ciuhiap tapi juga terbunuh oleh para kaki tangan Kaisar itu.

Pada keesokan harinya Sin Wan dan Giok Ciu menengok makam Kang Lam Ciuhiap dan Ibu Sin Wan, dimana pemuda itu bersembahyang dengan hati terharu. Ia merasa berterima Kasih kepada orang-orang kampung yang ternyata merawat makam itu dengan baik-baik hingga rumputnya terbabat rapih dan tampaknya bersih. Kemudia mereka berdua mendaki bukit Kam-Hong-San untuk mencari Suhu mereka. Di sepanjang jalan, pemandangan-pemandangan di gunung yang telah mereka kenal baik itu membuat mereka terharu dan membongkar kenangan-kenangan lama. Ketika mereka tiba di sumur naga tempat pertapaan Suhu mereka, dari jauh mereka sudah melihat Bu Beng Sianjin duduk di pinggir sumur seorang diri! Alangkah girang hati mereka dan cepat-cepat mereka berlari lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut,

“Suhu...!”

“Kalian sudah kembali? Berhasilkah usahamu?” kakek yang kurus kering dengan rambut putih panjang terurai ke belakang itu bertanya halus.

Sin Wan dan Giok Ciu lalu menuturkan pengalaman mereka bergantian, betapa mereka telah berhasil membunuh Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto, tapi betapa mereka hampir celaka di tangan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu kalau saja tidak ditolong oleh seorang aneh yang adatnya seperti orang gila. Bu Beng Sianjin mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar tentang orang-orang aneh itu, ia tertarik sekali.

“Coba ceritakan, bagaimana rupa orang itu?” Sin Wan lalu melukiskan keadaan orang gila yang sakti itu sedapat mungkin.

Kakek itu mengangguk-angguk. “Hem, hm, tinggi sekali dan besar, rambut hitam, mukanya hitam, matanya bundar dan besar? Ya, ya, tak salah lagi, dialah itu…”

“Siapakah orang itu, Suhu? Ketika teecu menanyakan namanya, ia hanya menjawab bahwa dia adalah dia, sama sekali tidak menyebut nama, entah lupa entah memang tidak punya nama. Ketika teecu menyebut nama Suhu, ia kelihatan seperti orang mengingat-ingat dan lalu pergi.”

“Muridku, dia tidak mau dikenal untuk apa pusing-pusing dan memaksa-maksa? Dia adalah seorang gagah perkasa yang beradat keras dan jujur, tapi malang sekali ia menerima ilmu silat dari mahluk-mahluk halus, ia berguru kepada iblis sendiri, maka ilmu silatnya demikian lihai, tapi untuk kepandaian itu ia harus mengorbankan jiwanya karena ia menjadi gila! Maka muridku, sekarang tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian lahir untuk berlaku sewenang-wenang atau menyombong. Ketahuilah bahwa segala kepandaian itu hanya milik pinjaman saja dan akan lenyap dan musnah bersama raga kita. Maka selagi masih hidup harus dapat mempergunakan segala macam kepandaian yang dimiliki untuk mengerjakan sesuatu yang berguna bagi orang-orang lain, melakukan perbuatan-perbuatan baik demi perikemanusian dan dengan demikian maka takkan percumalah orang mengejar ilmu. Kalau mengejar ilmu dengan susah payah untuk kemudian dipergunakan hanya untuk kepentingan diri sendiri saja, untuk menyenangkan diri sendiri tanpa memikirkan kesulitan dan kesengsaraan orang lain, maka kau berarti lebih gila daripada orang yang sebenar-benarnya gila! Mengertikah kalian?”

Sin Wan dan Giok Ciu mengangguk-angguk menyatakan bahwa mereka mengerti akan petuah ini.

“Kalian tadi mengatakan bahwa kalian dikalahkan oleh dua orang Tosu yang memiliki hoatsut? Apakah sebenarnya hoatsut? Bukan kepandaian yang mengherankan, karena sebenarnya orang yang menggunakan ilmu sihir bukanlah karena mereka memang mempunyai tenaga yang berlebihan, tapi mereka justeru menggunakan kelemahan lawan untuk menjatuhkannya. Ketahuilah bahwa alam ini digerakkan oleh kesatuan tenaga maha hebat dan di dalam tiap tubuh manusia terdapat sebagian daripada kesatuan tenaga dan dengan tenaga inilah maka segala hal mungkin dilakukan oleh manusia. Galilah dan carilah tenaga ini, maka kalian akan kuat menghadapi segala macam hoatsut dari orang-orang jahat!”

Demikianlah, semenjak saat itu Sin Wan dan Giok Ciu mendapat gemblengan ilmu batin yang hebat dari Suhu mereka dan mendapat latihan lweekang yang lebih tinggi. Juga di bawah pimpinan orang tua yang aneh itu mereka menyempurnakan latihan mereka dalam hal ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut. Tapi berbeda dengan dulu, kini mereka berlatih di udara terbuka, karena Bu Beng Lojin bersamadhi diluar sumur dan berkata untuk berlatih lweekang yang tinggi dan berlatih napas, maka lebih baik bagi kedua orang murid itu untuk bersamadhi di udara terbuka.


                   ***************


Setahun telah berlalu dengan cepat sekali semenjak Sin Wan dan Giok Ciu kembali ke Kam-Hong-San untuk mempertinggi ilmu silat mereka. Di dalam waktu setahun itu, mereka mendapat kemajuan pesat sekali. Hubungan mereka tetap mesra dan saling cinta, walaupun kini mereka dasarkan cinta mereka lebih mendalam, tanpa dikotori napsu.

Namun, betapapun mereka telah menerima gemblengan ilmu batin, jiwa muda mereka selalu dipanaskan oleh darah muda hingga mereka tetap bersemangat dan penuh hasrat hidup yang bernyala-nyala. Suhu mereka juga tahu akan eratnya hubungan kedua muridnya dan kakek yang aneh ini sering kali diam-diam menghela napas seakan-akan menderita sesuatu yang menyedihkan. Ia pernah panggil menghadap kedua muridnya dan berkata dengan perlahan dan tenang, tapi cukup mengejutkan hati kedua anak muda itu.

“Sin Wan dan Giok Ciu! Aku telah maklum sedalam-dalamnya apa yang terkandung dalam hatimu berdua, memang demikianlah seharusnya perasaan dua orang yang sudah terikat jodoh. Hanya pesanku, murid-muridku, jika kalian telah berhasil membalas sakit hati orang tuamu, maka sebelum kalian menjadi suami isteri, kalian harus membawa kembali kedua pokiam itu dan menyimpannya kembali ke dalam gua naga di dalam sumur. Karena kedua pokiam itu sudah cukup membersihkan karat mereka dengan darah orang-orang jahat, dan adalah menjadi pantangan besar bagi kedua pedang pusaka itu untuk dimiliki oleh sepasang suami isteri!”

Tentu saja Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang dengan muka berubah karena hati mereka terguncang, tapi mereka tak berani membantah, hanya berlutut dan menyanggupi kehendak Suhu mereka. Bu Beng Lojin menghela napas lagi dan berkata,

“Sin Wan dan Giok Ciu, hal jodoh adalah kehendak Tuhan, asal saja kalian selalu ingat bahwa sepasang suami isteri sama sekali tidak boleh memiliki kedua pedang itu!”

Pada suatu pagi, Sin Wan dan Giok Ciu berjalan-jalan di lereng-lereng bukit Kam-Hong-San. Mereka menikmati tamasya alam yang indah dan yang membuat mereka teringat akan peristiwa-peristiwa dulu. Bagi mereka, tempat ini merupakan tempat takkan dapat dilupa seumur hidup, karena disinilah mereka pertama kali bertemu.

“Koko, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk berpamit kepada Suhu dan pergi mencari musuh besarku,” kata Giok Ciu.

“Kurasakan begitu, moi-moi. Baiklah kita tanyakan saja kepada Suhu, karena Suhu sakti dan waspada.”

Tiba-tiba Giok Ciu menunding ke bawah bukit dan berseru, “Koko, lihat!”

Dari bawah lereng tampak bayangan orang berlari-lari cepat sekali ke atas bukit, dan ternyata ilmu lari cepat orang itu boleh juga, hingga sebentar saja ia telah datang dekat dengan kedua anak muda itu.

“Gak Bin Tong!”

Giok Ciu berseru heran. Juga Sin Wan heran melihat datangnya pemuda muka putih yang berlari-lari ke atas dengan wajah ketakutan itu.

“Aduh, kebetulan sekali, tolonglah aku, saudara Bun! Kwie Lihiap, tolonglah aku!”

“Ada apakah, saudara Gak?” Sin Wan bertanya dengan heran, tapi jawaban pertanyaannya itu terdengar olehnya ketika dari bawah muncul bayangan banyak orang yang berlari-lari cepat sekali mengejar ke atas.

“Siapakah mereka yang mengejarmu?” tanya Sin Wan.

“Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing istana!” jawab Gak Bin Tong. “Mereka hendak membunuhku. Tolonglah, saudara Sin Wan yang baik!”

Setelah berkata demikian, orang she Gak itu lalu melarikan diri di belakang Sin Wan dan Giok Ciu, agaknya ia takut sekali. Giok Ciu yang masih merasa marah karena sikap Gak Bin Tong yang dulu telah mengacaukan perhubungannya dengan Sin Wan, berkata kurang senang.

“Bukankah kau seorang gagah yang memiliki kepandaian tinggi? Mengapa harus berlari-lari terhadap mereka? Mengapa tak kau lawan dengan pedangmu?” kata-kata ini jelas sekali menyatakan bahwa ia enggan untuk membantu, tapi Gak Bin Tong berkata dengan suara memohon.

“Kwie Lihiap, mereka lihai sekali, bukan lawanku!” Giok Ciu memandang Sin Wan dan berkata perlahan.

“Koko, kurasa tak baik kita ikut campur urusan ini. Bukan urusan kita dan tidak ada sangkut pautnya dengan kita.”

“Bukan demikian, moi-moi. Biarpun andaikata kita tidak membantu saudara Gak, sudah sepatutnya kita halau pergi pahlawan-pahlawan Kaisar itu. Mereka bukanlah manusia-manusia baik dan perlu diusir. Pula, saudara Gak pernah melepas budi kepada kita, masakan sekarang kita tidak mau menolongnya? Jangankan dia sendiri, bahkan siapa saja yang dikejar-kejar pengawal kraton dan hendak dibunuhnya, harus kita tolong bukan?”

Alasan-alasan yang dimajukan Sin Wan ini kuat sekali hingga Giok Ciu tak dapat membantah lagi sementara itu, pengejar-pengejar Gak Bin Tong telah tiba di situ dan ternyata mereka terdiri dari tujuh orang pahlawan-pahlawan kelas satu. Di antara mereka terdapat orang-orang yang pernah mengeroyok sin Wan dan Giok Ciu, maka begitu melihat kedua orang muda itu, mereka berteriak.

“Betul saja, binatang she Gak itu telah bersekutu dengan orang pemberontak ini. Hayo tangkap ketiga-tiganya!”

Mereka itu menjadi tabah karena di antara mereka terdapat jagoan-jagoan yang berilmu tinggi, maka segera mereka mengurung dan menyerbu dengan senjata di tangan. Gak Bin Tong menangkis serangan seorang pengawal dengan pedangnya dan Sin Wan bersama Giok Ciu memutar sepasang pokiam mereka melayani pengeroyok yang lain. Sin Wan dan Giok Ciu pada saat itu bukanlah Sin Wan dan Giok Ciu pada waktu setahun yang lalu. Kepandaian mereka telah maju pesat dan didorong oleh tenaga batin dan lweekang mereka yang tinggi, otomatis ilmu pedang mereka juga maju hebat.

Dulu ketika ilmu pedang mereka belum matang saja sudah sukar sekali dilawan, maka kini setelah kepandaian mereka matang dan mendekati kesempurnaan, tak dapat ditaksir kelihaiannya. Para pengeroyok itu hanya melihat sinar panjang hitam dan putih berputar-putar mengelilingi mereka dan mendengar sambaran pedang itu tapi hampir tak dapat mengikuti gerakan kedua anak muda yang menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga sakti.

Baru beberapa gebrakan saja terdengar jeritan-jeritan mengaduh dari para pengeroyok yang kena pukul atau tendang. Masih untung bagi mereka bahwa Sin Wan dan Giok Ciu tidak mau menewaskan jiwa orang, maka mereka hanya kena pukulan yang biarpun cukup hebat hingga membuat mereka tak berdaya, namun tak sampai membahayakan keselamatan jiwa mereka. Setelah masing-masing menjatuhkan dua orang, Sin Wan membentak,

“Hayo pergilah kalian kalau sayang jiwa!”

Para pengeroyok yang belum terluka mendengar bentakan ini segera menarik kembali senjata mereka dan sambil membantu kawan-kawan yang terluka, mereka meninggalkan lereng itu dengan jalan terpincang-pincang, Gak Bin Tong menjura kepada dua orang anak muda itu,

“Terima Kasih banyak atas pertolongan jiwi. Kalau tidak tertolong oleh kalian, tentu Gak Bin Tong hari ini tinggal namanya saja. Sungguh merasa kagum sekali melihat kehebatan kalian, baru beberapa bulan saja berpisah. Sungguh membuat aku takluk dan tunduk”

Sambil tiada habisnya memuji-muji, pemuda muka putih itu menjura dengan hormatnya. Terpaksa Sin Wan balas menjura, sedangkan Giok Ciu memalingkan muka tak mengacuhkannya.

“Sudahlah, saudara Gak. Sebetulnya, mengapakah kau dikejar-kejar oleh mereka itu?” tanya Sin Wan.

Gak Bin Tong menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kau tahu sendiri, saudara Sin Wan, bahwa biarpun aku tinggal di kota raja dan menjadi keluarga pembesar, namun aku berbeda dengan mereka. Aku bukanlah seorang pengawal, dan aku tidak mencampuri urusan mereka. Karena itulah maka mereka itu diam-diam membenciku. Kemudian datanglah hari celaka bagiku, ketika ada seorang membuka rahasiaku dan mengatakan bahwa dulu aku pernah menolong kalian!”

Terkejutlah Sin Wan mendengar ini. “Heran sekali, siapa yang dapat mengetahui hal itu?”

“Siapa lagi kalau bukan... Suma Siocia!”

Mendengar nama ini disebut-sebut sepasang mata Giok Ciu memancarkan sinar ketika ia memandang kepada pemuda muka putih itu.

“Jangan kau sebut-sebut nama orang itu disini!” bentaknya dengan tiba-tiba dan marah hingga tidak hanya Gak Bin Tong, tapi juga Sin Wan juga merasa terkejut dan heran. Tapi gadis itu tanpa perdulikan mereka, lalu memutar tubuhnya dan pergi dari situ.

“Saudara Gak, sekarang keadaan sudah aman dan kau boleh pergi tanpa kuatir lagi,” kata Sin Wan yang sebenarnya bermaksud mengusir dengan halus, karena sesungguhnya, iapun tidak suka kepada pemuda ini. Gak Bin Tong memandangnya dengan wajah kaget.

“Pergi? Kemana, saudara Bun? Lindungilah aku dan tolonglah untuk dua atau tiga hari lagi. Aku tahu bahwa mereka itu masih penasaran dan mereka tidak mengejarku hanya karena ada kau dan Kwie Lihiap di sini. Mereka tentu menanti di kaki bukit dan kalau melihat aku turun seorang diri, celakalah aku!”

“Habis, apa yang kau kehendaki, saudara Gak?”

“Ijinkanlah aku tinggal di tempatmu barang tiga hari. Biarlah, aku akan tidur di atas tanah saja, asal dekat dengan engkau hingga anjing-anjing itu takkan dapat menggangguku.”

Sin Wan ragu-ragu. “Tapi Suhu telah pesan bahwa orang luar tidak boleh memasuki dan tinggal di puncak dimana kami bertiga tinggal,” katanya.

“Suhumu?” mata pemuda muka putih itu berseri-seri, “Biarkan aku memohon padanya, biarlah kalau beliau marah, aku yang bertanggung jawab dan sedia dihukum.”

Setelah didesak-desak dengan alasan bahwa kalau dipaksa turun tentu akan mati terbunuh oleh pahlawan-pahlawan Kaisar, akhirnya Sin Wan dengan apa boleh buat mengabulkan permintaan Gak Bin Tong dan membawa pemuda itu kepada Suhunya. Bu Beng Lojin sedang duduk seorang diri di atas sebuah batu ketika Sin Wan menghadap diikuti oleh Gak Bin Tong di belakangnya. Giok Ciu tidak tampak di situ. Sin Wan berlutut di depan Suhunya dan Gak Bin Tong dengan hormat sekali juga berlutut.

“Suhu!” Sin Wan memanggil karena kakek tua itu diam saja seolah-olah tidak melihat mereka.

Mendengar panggilan muridnya, ia menggerakkan kepala memandang dengan matanya yang tua. “Eh, Sin Wan, kau datang dengan siapakah?” Gak Bin Tong buru-buru mengangguk-angguk kepala lalu berkata,

“Mohon beribu ampun, Lo-Cianpwe, teecu Gak Bin Tong datang menghadap. Karena di kejar-kejar dan hendak di bunuh oleh pengawal Kaisar, maka teecu lari ke sini dan mohon perlindungan Lo-Cianpwe yang mulia.”

Bu Beng Lojin mengerutkan alisnya lalu berkata dengan suara yang berpengaruh, “Coba kau angkat mukamu!”

Gak Bin Tong tak dapat membantah, lalu angkat mukanya dan memandang kepada kakek tua yang aneh itu. Bu Beng Lojin ketika melihat wajah Gak Bin Tong tiba-tiba entah mengapa, menjadi berubah mukanya dan ia mengangguk-angguk dan menghela napas, panjang berulang-ulang. Mendengar ini, sin Wan memandang gurunya dan kagetlah ia karena gurunya tampak seakan-akan bersedih sekali.

“Sin Wan, kaukah yang membawanya masuk ke tempat kita?”

“Benar, Suhu, karena tak dapat teecu biarkan saja dia terancam maut kalau turun gunung.”

“Lo-Cianpwe, mohon jangan persalahkan saudara Sin Wan, sebenarnya teecu lah yang mendesaknya dan...”

“Sudahlah, sudahlah... kau, orang she Gak, kau pergilah ke rimba itu, aku ingin bicara berdua dengan Sin Wan.”

Gak Bin Tong dengan takut-takut mengundurkan diri dan pergi ke rimba yang berada tak jauh dari situ, lalu duduk dibawah sebatang pohon besar sambil termenung memikirkan nasibnya.

“Sin Wan, kau panggil Giok Ciu ke sini,” kata Bu Beng Lojin.

Sin Wan lalu berdiri dan setelah menahan napas, ia segera memanggil. “Giok Ciu…!”

Suaranya ini tidak keras, tapi nyaring sekali. Anehnya, biarpun ia memanggil tidak keras, suaranya seakan-akan memenuhi dan menjalar-jalar di seluruh pucak, hingga terdengar sampai dimana-mana, bahkan Gak Bin Tong yang duduk jauh di dalam rimba itu juga mendengarnya! Sin Wan lalu berlutut kembali dan tak lama kemudian, benar saja, sesosok bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Giok Ciu telah berada disitu dan berlutut di depan Suhunya.

“Sin Wan dan Giok Ciu, kini sudah tiba saatnya bahwa aku harus berpisah dengan kalian. Kalau ada jodoh, sepuluh tahun kemudian kita bertiga dapat bertemu pula di puncak ini. Sekarang kepandaian kalian sudah cukup tinggi hingga aku tidak usah merasa ragu-ragu melepaskan kalian. Asal kalian mempergunakan kepandaian itu dengan benar, maka agaknya di dunia ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat menandingi kalian. Murid-muridku, harapanku tak lain mudah-mudahan segala petuahku selama kalian berada di sini takkan kalian lupakan. Pula, pesanku terakhir ini supaya diingat benar-benar, yakni sekali lagi kutegaskan. Pedang pusaka Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam tak boleh dimiliki oleh sepasang suami isteri, maka jika kalian melangsungkan perjodohan, kedua pusaka itu harus disimpan kembali ke dalam gua naga. Ingatlah benar-benar ini, karena kalau tidak, kalian akan mendapat bencana besar. Nah sekarang aku mau pergi.”

“Suhu, tunggu!” tiba-tiba Giok Ciu berseru dengan suara terharu. Entah mengapa, gadis ini merasa terharu sekali pada saat Suhunya hendak meninggalkannya.

“Ada apakah, Giok Ciu?” tanyanya dengan suara mengandung iba.

“Suhu...” gadis itu menahan isaknya, “Teecu... mohon doa restu agar... Teguh iman dan kuat hati, Suhu...”

Bu Beng Lojin tersenyum. Ia menggerakkan tangannya dan menaruh telapak tangannya di atas kepala Giok Ciu, mengusap rambut muridnya lalu berkata bagaikan seorang kakek kepada cucunya,

“Giok Ciu, segala apa akan berjalan baik asalkan kau ingat selalu bahwa kebahagiaan itu letaknya di dalam diri sendiri. Alangkah mudahnya mencari kebahagiaan asal kau telah mengenal diri sendiri dan dapat melihat betapa kebahagiaan menanti-nantimu di situ. Selanjutnya... terserah kepadamu sendiri, muridku. Nah, Giok Ciu, Sin Wan, selamat berpisah!”

Baru saja habis kata-katanya ini, tubuhnya telah melayang ke bawah gunung, diikuti oleh pandang mata Sin Wan yang mengerutkan pelupuk mata dan Giok Ciu yang mengalirkan air mata. Setelah agak lama Suhunya pergi, Sin Wa memandang Giok Ciu yang masih berdiri bengong ke arah ke mana Suhunya turun gunung tadi. Pipi gadis itu masih basah air mata sedangkan wajahnya agak kepucat-pucatan, maka terbitlah hati yang sangat iba dan sayang dalam dada Sin Wan. Ia dekati kekasihnya itu dan memegang kedua pundaknya dari belakang dengan mesra.

“Giok Ciu, jangan kau bersedih. Bukankah masih ada aku di sampingmu?”

Giok Ciu merasa terhibur juga, ia memalingkan muka memandang kepada Sin Wan dan wajahnya mulai berseri kembali, dan bibirnya tersenyum, seakan-akan matahari mulai terbit mengusir kabut diwaktu pagi.

“Koko di manakah perginya manusia she Gak itu?” Sin Wan tersenyum.

“Mengapa kau agaknya benci sekali padanya, moi-moi?”

“Ah, ia bukan orang baik-baik. Jika dekat dengan ia, aku merasa seakan-akan dekat dengan seekor serigala berkedok muka domba.”


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


“Sudahlah jangan pikirkan soal dia. Dia tadi disuruh pergi ke rimba itu oleh Suhu, biarlah ia berlindung di tempat kita untuk beberapa hari lamanya. Kitapun harus menyelesaikan latihan lweekang yang terakhir, moi-moi, sesuai dengan perintah Suhu. Kurasa dalam tiga empat hari lagi aku akan berhasil. Bagaimana dengan kau, moi-moi?”


“Akupun sudah mendekati hasil baik. Api dalam tubuh terasa makin hangat dan gerakan-gerakan tenaga dalam tubuh makin besar hingga dapat kugerakkan ke seluruh bagian tubuh.”

“Bagus sekali kalau begitu. Biarlah kita berlatih tiga hari lagi, kemudian kita turun gunung melakukan tugas kita. Jangan ambil peduli orang she Gak itu.”

Mereka lalu pergi melatih diri, pertama-tama bersama-sama melatih ilmu silat, kemudian mereka bersamadhi di tempat masing-masing. Seperti biasa, semenjak mendapat latihan di udara terbuka oleh Suhu mereka, masing-masing telah memilih tempat latihan sendiri, Sin Wan memilih tempat di bawah sebatang pohon liu dimana terdapat sebuah batu hitam besar yang dipakai sebagai tempat duduk bersamadhi sedangkan Giok Ciu memilih tempat di dalam hutan pohon siong yang banyak ditumbuhi kembang-kembang yang harum baunya.

Ia selalu merasa tenteram jika bersamadhi di situ, karena selain bau bunga dan rumput menyegarkan pernapasannya, juga suara burung-burung di atas pohon merupakan nyanyian indah yang tambah menyempurnakan samadhinya. Ketika hari telah menjelang senja, Giok Ciu masih tenggelam dalam samadhinya. Tubuhnya bersila di atas rumput, diam tak bergerak sedikitpun bagaikan patung seorang dewi.

Wajahnya yang cantik jelita tampak bercahaya dan bibirnya serta kedua pipinya berwarna kemerah-merahan. Pada saat demikian itu ia tidak hanya tampak cantik, tapi juga agung sekali. Tiba-tiba Giok Ciu merasa seakan-akan tersendal turun dari atas dan ia sadar kembali. Otomatis sepasang matanya menatap ke depan dan bertemu pandanglah ia dengan sepasang mata yang telah lama sekali memandangnya dengan kagum dan terpesona. Agaknya pandangan mata inilah yang membuat ia terganggu dari samadhinya. Ketika gadis itu memperhatikan ternyata bahwa yang memandanginya itu adalah mata Gak Bin Tong yang duduk di depannya sambil tersenyum-senyum mengambil hati!

“Kwie Siocia, alangkah suci, agung dan cantik jelita kau! Melihat kau bersamadhi seperti ini, aku teringat akan patung Dewi Kwan Im di See-Coan, Kwie-Siocia...”

Giok Ciu merasa tidak senang sekali dan memandang tajam. “Sudah lamakah kau duduk di sini?” tanyanya dengan suara dingin.

“Sudah sejak tadi, Siocia aku mengagumi kecantikanmu, keindahan bentuk tubuhmu, keagungan yang bersinar keluar dari wajahmu...”

“Tutup mulut! Orang she Gak, kau sungguh kurang ajar sekali. Apa perlumu datang kesini menggangu samadhiku?”

Tiba-tiba Gak Bin Tong berlutut! Ya pemuda muka putih itu berlutut di depan Giok Ciu hingga gadis itu tercengang sekali dan heran. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan menyangka bahwa tiba-tiba pemuda itu menjadi gila. Memang pada saat itu Gak Bin Tong telah gila, gila asmara! Ia berlutut di depan kaki Giok Ciu yang masih bersih sambil berkata dengan suara merayu,

“Kwie-Siocia, tidak tahukah kau... aku... aku mengagumimu, aku... ah, kau kuanggap sebagai seorang dewi yang suci murni, dewi pujaan hatiku. Siocia, aku… aku cinta padamu, dengan sepenuh jiwa dan hatiku.”

Giok Ciu menjerit kecil dan tiba-tiba ia meloncat dan bangun berdiri. Ia marah dan malu sekali mendengar ucapan itu hingga ia merasa betapa kedua tangannya menggigil dan dadanya berdebar.

“Orang she Gak! Kau benar-benar tak tahu diri dan kurang ajar sekali! Kau... kau telah menghinaku dengan pernyatamu itu...!” karena marahnya, gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, bahkan dari kedua matanya mengalirlah air mata!

Gak Bin Tong dengan nekad melanjutkan kata-katanya, “Nona Giok Ciu... aku... aku cinta padamu! Aku tahu bahwa kau mempunyai hubungan yang erat dengan saudara Sin Wan, tapi... tapi tidak tahukah kau bahwa saudara Sin Wan itu telah menjadi... suami yang tidak syah dari nona Suma Li Lian?”

Terbelalak mata Giok Ciu yang bening itu mendengar kata-kata ini. “Bangsat bermulut jahat! Kau harus dibasmi dari muka bumi ini!” Giok Ciu mencabut Ouw Liong Pokiam dan menyerang pemuda itu yang segera meloncat dan berkelit cepat.

“Nona Giok Ciu... Percayalah padaku...”

“Bangsat keji!” Giok Ciu makin marah dan mengirim serangan-serangan maut.

Kalau bukan Gak Bin Tong yang di serang seperti itu, tentu sukar untuk menyelamatkan diri, tapi pemuda she Gak inipun memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dalam tiga empat jurus saja Giok Ciu yang sedang marah itu belum dapat merobohkannya. Akan tetapi, segera keadaan pemuda itu berbahaya sekali karena Giok Ciu dapat mengendalikan marahnya dan menggerakkan pedangnya secara lihai sekali!

Pada saat yang sangat berbahaya, tiba-tiba Sin Wan muncul dan berseru, “Moi-moi, tahan pedangmu!” Tapi Giok Ciu tidak memperdulikan seruan Sin Wan, bahkan memperhebat serangannya hingga Gak Bin Tong sibuk sekali berloncatan menghindarkan diri.

“Moi-moi, segala hal bisa diurus, jangan menggunakan kekerasan.”

Tapi tetap saja gadis yang sudah panas dan naik darah itu tidak mau menghentikan serangannya hingga Sin Wan terpaksa mencabut Pek Liong Pokiamnya dan menangkis sebuah tusukan Giok Ciu yang mengarah tenggorokan Gak Bin Tong yang sudah kepepet sekali keadaannya.

“Kau mau membela dia?” kata Giok Ciu gemas sekali dan dengan ganasnya ia mengirim serangan lagi ke arah Gak Bin Tong. Sin Wan menangkiskan lagi dan berserulah dia.

“Moi-moi, lupakah kau akan pesan Suhu? Jangan sembarangan membunuh orang!”

Lemaslah tangan Giok Ciu mendengar peringatan ini. Ia memandang kepada Sin Wan dengan gemas, kemudia ia membentak kepada Gak Bin Tong. “Bangsat rendah, kau tidak lekas pergi?”

Gak Bin Tong menjura kepada mereka, lalu meloncat pergi sambil berkata, “Lihatlah saja, kelak akan terbuka matamu.” Dan secepat mungkin ia lari turun gunung, diikuti pandang mata marah dari Giok Ciu dan keheranan dari Sin Wan.

“Moi-moi apakah salahnya maka kau hendak membunuhnya?” tanya Sin Wan.

“Dia... Dia...” Giok Ciu hendak mengatakan bahwa pemuda muka putih itu menuduh Sin Wan menjadi suami tidak syah dari Suma Li Lian, tapi kata-kata ini ditelannya kembali, sebaliknya ia berkata, “Dia datang dan mengganggu ketika sedang bersamadhi, bahkan ia berkata kurang ajar!”

Sin Wan menghela napas karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu lupa akan kesopanan melihat Giok Ciu duduk bersamadhi karena ia sendiripun pernah melihat betapa ayu dan agung gadis itu tampaknya jika sedang bersamadhi. Maka ia menghela napas panjang.

“Sudahlah, moi-moi, untuk apa memperdulikan orang seperti dia? Dia sekarang sudah pergi, lebih baik kita mencurahkan perhatian kita kepada latihan-latihan kita, karena kita menghadapi urusan besar.”

“Siapa memperhatikan dia?” jawab Giok Ciu karena sesungguhnya ia sama sekali tidak perhatikan Gak Bin Tong, tapi yang mengganggu pikirannya ialah kata-kata pemuda muka putih tadi.

Ia yakin dan pasti bahwa orang she Gak itu tentu membohong, namun masih saja ada rasa tidak enak dan tidak senang di dalam hatinya. Selama tiga hari semenjak peristiwa itu, di tempat terpisah, Giok Ciu dan Sin Wan mengerahkan seluruh perhatian untuk berlatih hingga pelajaran latihan lweekang terakhir telah mereka lalui dengan hasil baik.

Pada hari keempatnya, Giok Ciu berdiri dari tempat siulian di bawah pohon siong itu, dan melemaskan kedua kaki dengan berjalan-jalan ke lereng puncak. Kedua kakinya terasa agak kaku dan perutnya lapar sekali. Ia tahu bahwa di sebuah hutan terdapat pohon-pohon buah yang lezat buahnya dan tempat ini telah merupakan 'Gudang makanan' bagi kedua anak muda itu serta guru mereka.

ketika Giok Ciu tengah makan buah yang baru saja dipetiknya dan rasanya segar dan enak sekali, tiba-tiba ia menunda makannya karena pada saat itu ia mendengar suara wanita menangis dan memaki-maki. Ia segera meloncat dan lari cepat menuju ke arah suara itu yang ternyata datang dari arah bawah. Ia menuruni lereng itu dengan cepatnya dan alangkah marahnya ketika melihat betapa empat orang laki-laki menarik-narik seorang wanita muda keluar dari sebuah tandu!

Ia tidak melihat jelas wajah wanita itu, hanya tahu bahwa wanita itu menggendong seorang anak kecil yang menangis keras. Agaknya keempat orang laki-laki itu tadinya adalah tukang-tukang pikul tandu yang kini hendak berbuat jahat.

“Bangsat-bangsat keji!”

Giok Ciu berseru keras dan tahu-tahu keempat laki-laki tinggi besar dan bertubuh kuat itu melihat bayangan berkelebat cepat dan sebelum mereka dapat melihat tegas. Bayangan itu telah tiba dan tahu-tahu seorang demi seorang, mereka terlempar ke dalam jurang yang sangat curam di dekat situ!

Keempat orang itu mengalami kematian tanpa mengetahui siapa yang membunuh mereka dan dengan cara bagaimana. Setelah menggunakan kegesitan dan ketangkasannya melempar-lempar keempat orang itu bagaikan melemparkan rumput-rumput saja, Giok Ciu lalu bertindak maju dan menyingkap kain sutera penutup tandu. Tiba-tiba tangannya yang pegang tandu itu gemetar dan dadanya berdebar keras, karena wanita muda yang ditolongnya itu bukan lain ialah nona Suma Li Lian!

Suma Li Lian ketika melihat bahwa yang menolongnya adalah Kwi Giok Ciu, gadis pendekar yang perkasa dan yang pernah dilihatnya dulu, tampak gembira sekali dan segera ia keluar dari tandu sambil memondong anak kecil itu.

“Kwie Lihiap! Kaukah itu? Syukurlah dan banyak-banyak terima kasih, Lihiap, karena kau ternyata telah menolong jiwaku dari ancaman empat binatang keparat tadi.”

Giok Ciu terima pernyataan terima kasih itu dengan senyum dingin saja. “Siapakah mereka itu dan hendak kemanakah kau sampai tersesat di gunung ini?” tanyanya.

“Kwie Lihiap, aku sengaja menyewa tandu ini untuk mendaki bukit ini. Aku telah membayar mahal sekali kepada empat orang itu. Siapa tahu, sampai ditempat ini mereka agaknya mengandung maksud buruk terhadap diriku. Untung sekali kau keburu datang!”

“Hmm, dengan maksud apakah kau mendaki bukit ini?” tanya Giok Ciu dengan sikapnya yang masih dingin.

Tiba-tiba Li Lian menangis sambil mendekap anak perempuan yang usianya kurang lebih enam bulan itu di dadanya!

“Eh, mengapa tiba-tiba kau menangis?” tanya Giok Ciu.

“Lihiap, kau... kau tolonglah, Lihiap. Aku sedang mencari Ayah anak ini, dan dia dulu pernah memberi tahu padaku bahwa jika aku hendak mencari padanya aku harus mendaki bukit Kam-Hong-San ini...”

Makin keras debar jantung Giok Ciu dan ia kini merasa betapa kedua kakinya menggigil, tapi sedapat mungkin ia menahan dan menindas perasaan ini.

“Siapa... siapakah Ayah anak ini dan... Dan ini anak siapakah...?” Tanyanya gagap.

“Ini adalah anakku, Lihiap, dan Ayahnya... Adalah Bun Sin Wan...”

Biarpun tadi dengan kuatir sekali di dalam dada Giok Ciu telah ada yang menduga akan hal ini, namun keluarnya pernyataan dari bibir Suma Li Lian sendiri itu membuat ia merasa seakan-akan bumi yang dipinjaknya bergoyang-goyang hingga kedua matanya menjadi gelap dan kepalanya pening. Ia terhuyung-huyung, tapi segera ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaannya.

Setelah mengatur napas beberapa lama, barulah ia tenang kembali dan kegelapan yang menyelimuti dirinya berangsur-angsur lenyap. Ia lalu memandang wajah yang cantik tapi agak pucat dihadapannya itu, dan sedapat mungkin ia menekan suaranya hingga tidak terdengar ketus.

“Nona Suma, tidak salahkan pendengaranku tadi bahwa Ayah anakmu ini adalah Bun Sin Wan?” tanyanya.

Suma Li Lian memandang Giok Ciu dengan sinar mata penasaran hingga mata yang bening bagaikan mata burung Hong itu memancarkan cahaya.

“Kwie Lihiap, biarpun aku bukan seorang wanita gagah seperti engkau, namun tetap mempunyai kesetiaan dan kejujuran dalam hal ini. Kalau bukan kanda Sin Wan yang menjadi suamiku, untuk apakah aku mengatakan bahwa dia adalah Ayah anakku ini?” Dan setelah berkata demikian ia memandang Giok Ciu dengan sikap menantang.

“Kau bohong!” teriak Giok Ciu marah sekali. “Kau sengaja memfitnah orang! Kau perempuan hina yang harus mampus!”

Dengan pedang terhunus di tangan, Giok Ciu mengancam. Tapi Suma Li Lian tidak takut, bahkan tetap tersenyum tenang,

“Kwie Lihiap, mungkin kau mencinta kanda Sin Wan dan karenanya menjadi sakit hati kepadaku. Tapi jangan kau sebut aku pembohong karena aku sama sekali tidak bohong padamu. Anak ini adalah anak kanda Sin Wan dan aku! Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja hal ini kepadanya sendiri. Bukankah ia ada di sini?”

“Suma Li Lian! Kalau kau memfitnah, jangan anggap aku keterlaluan kalau aku akan cincang hancur tubuhmu! Bun Sin Wan selalu bersamaku dan kami tak pernah berpisah. Bagaimana kau dapat berkata bahwa anak ini adalah anaknya?”

Kini Giok Ciu berubah pucat sekali dan bibirnya terasa kering. Sinar matanya seakan-akan memohon kepada Li Lian supaya menarik kembali kata-kata tuduhan tadi. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Li Lian yang tenang itu bagaikan sebilah pisau berbisa yang mengiris-iris jantungnya.

“Kwie Lihiap, memang benar kata-katamu itu, dan akupun hanya sekali saja bertemu dengan kanda Sin Wan. Tapi pertemuan yang sekali itu telah mengikat kami menjadi suami isteri dan bukti yang terutama ialah anak kami ini. Ingatkah kau ketika Sin Wan pergi seorang diri hendak mencegat Ayahku? Bukankah waktu itu kau tidak ikut dan tinggal di dalam Kelenteng? Nah, pada waktu itu, larut tengah malam menjelang fajar, pada waktu itulah kami bertemu, atau lebih tepat, kanda Sin Wan menemuiku. Ia memasuki kamarku dan menyatakan cintanya padaku. Pada saat itulah kami menjadi suami isteri.”

Giok Ciu maju dan memegang erat lengan Li Lian. “Kau... kau... katakanlah sebetulnya, apakah kau tidak bohong? Apakah hal ini terjadi betul-betul? Mengapa kau tidak berteriak pada waktu itu?”

Suma Li Lian menundukkan muka dengan wajah memerah, “Aku tidak membohong, Lihiap. Demi kehormatanku, demi Thian Yang Maha Kuasa, aku tidak membohong. Biarpun aku tidak dapat melihat wajahnya pada waktu itu dan keadaan gelap, namun aku dapat mengenal suaranya dan iapun mengaku bahwa ia adalah kanda Sin Wan sendiri. Dan aku... aku tentu akan berteriak minta tolong, kalau saja dia bukan kanda Sin Wan... aku, aku cinta padanya, Lihiap. Aku cinta kepada musuh Ayahku! Sekarang, sekarang... aku merasa malu dan hina sekali, tapi apa boleh buat... anak ini telah terlahir dan perlu bertemu dengan Ayahnya...”

Maka menangislah Li Lian tersedu-sedu dan Giok Ciu melepaskan pegangannya pada lengan tangan Ibu muda itu, dan gadis itu berdiri termenung seakan-akan semangatnya telah meninggalkan tubuhnya. Ia tidak measa betapa air matanya mengalir turun dari sepasang matanya yang suram, tidak tahu betapa wajahnya pada saat itu lebih menyerupai seorang mayat hidup! Kemudian ia teringat sesuatu.

“Benarkah kau telah mengkhianati seorang she Gak dan mengatakan kepada para pahlawan bahwa dia ini mempunyai hubungan dengan kami?”

“Benar, Lihiap. Aku benci sekali kepadanya. Telah beberapa kali ia bersikap tak patut terhadapku, maka aku segera mengadukan dia dan sepanjang yang kudengar, ia dikejar-kejar oleh para pengawal Kaisar. Lihiap, sekarang kau tolonglah aku, dimanakah adanya kanda Sin Wan?”

“Kau hendak bertemu padanya? Boleh! Memang kau harus bertemu padanya, kau harus bertemu sekarang juga! Hayo, kuantar kau!!”

Kemudian Giok Ciu mengajak Suma Li Lian naik ke lereng bukit itu. Ibu muda itu naik dengan sukar sekali, tapi Giok Ciu tidak memperdulikannya, bahkan berjalan mendahuluinya dengan tindakan bagaikan orang mabok.

Sin Wan yang baru saja sadar dari siulian, menyambut kedatangan Giok Ciu dengan senyum gembira. Tapi ia kaget sekali melihat wajah gadis itu. Ia segera maju hendak memegang tangan Giok Ciu, tapi gadis itu berkelit cepat dan memandangnya penuh kebencian. Nyata sekali betapa Giok Ciu menahan-nahan nafsunya hendak menyerang Sin Wan.

“Moi-moi... Kau kenapakah?” Sin Wan cemas sekali melihat keadaan Giok Ciu yang disangkanya sakit atau telah terjadi hal yang hebat.

Tapi Giok Ciu hanya menggigit bibir dan memandangnya dengan mata yang kini mulai digenangi air mata! Pada saat itu terdengar suara kaki orang menaiki jalan naik itu dengan susah payah. Sin Wan cepat memandang dan terkejutlah ia ketika melihat betapa Suma Li Lian sambil menggendong anak kecil sedang mendaki dengan napas terengah-engah karena sangat kelelahan!

Sebagai seorang berbudi halus, melihat keadaan Li Lian, Sin Wan tidak tega mendiamkannya saja, maka cepat ia maju dan mengulurkan tanggannya untuk membantu gadis itu menaiki sebuah batu. Tapi tak disangkanya sama sekali, ketika Suma Li Lian telah berdiri tetap didepannya, wanita itu segera menubruk dan memeluknya sambil berbisik tercampur isak.

“Kanda Sin Wan... alangkah banyak derita kualami dalam mencari engkau…” maka terdengarlah tangis mengharukan dibarengi dengan pekik tangis bayi dalam gendongan ibunya itu.

Sin Wan mendengar sebutan Li Lian padanya itu menjadi heran sekali. Ia mengangkat-angkat kedua alis matanya dan memandang dengan muka bodoh. Tak dapat ia berlaku kasar untuk mencegah pelukan Li Lian, karena ia tahu betapa gadis itu sangat lelah dan juga ia takut kalau-kalau anak dalam gendongan itu akan terjatuh.

“Suma-Siocia, kau tenanglah, jangan peluk-peluk aku seperti ini. Duduklah dan mari kita bicara baik-baik,” katanya dengan halus.

“Koko... kenapa kau masih sebut aku Siocia? Lihat... lihatlah! Ini adalah anakmu! Anak kami, terlahir lima bulan yang lalu! Koko... ternyata jodoh kita tak dapat direnggut putus demikian saja, lihat anak ini belum kuberi nama, sengaja kubawa kepadamu, kepada Ayahnya untuk menimangnya dan memberinya nama.”

Kalau ada geledek menyambar barangkali Sin Wan takkan sekaget ketika mendengar kata-kata Suma Li Lian ini. Ia merasa seakan-akan seluruh rambut dikepala dan tubuhnya berdiri dan meremang. Ia takut kalau-kalau wanita ini telah menjadi gila! Tak terasa pula ia mundur beberapa langkah dengan napas terengah-engah, lalu katanya,

“Suma-Siocia, apakah yang kau maksudkan dengan semua ini? Kau telah menjadi gila atau akukah yang sedang mimpi?” Kemudian Sin Wan berpaling kepada Giok Ciu yang masih memandangnya seperti tadi, bahkan kini di sudut bibir gadis itu membayang senyum menghina.

“Moi-moi, agaknya kau lebih tahu tentang hal ini. Coba terangkan, apakah artinya semua ini? Mengapa kau bawa Suma-Siocia ke sini dan anak ini anak siapakah?”

Tiba-tiba Giok Ciu menggunakan jari telunjuk menunding mukanya. “Siapa sudi kau sebut moi-moi? Laki-laki rendah, laki-laki hina, laki-laki pengecut! Tak tahu malu, sudah berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, bahkan masih berpura-pura bodoh pula sekarang! Sungguh tak kusangka sama sekali! Kau... orang yang tadinya kuanggap semulia-mulianya orang, yang kusangka sejantan-jantannya diantara sekalian yang jantan, tak tahunya hanyalah seorang hina dina!”

“Moi-moi tahan mulutmu!” bentak Sin Wan dengan marah sekali dan wajahnya memucat.

“Tidak! Aku hendak bicara terus, kau mau apa? Lihat, mulai saat ini aku Kwie Giok Ciu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan seorang rendah bernama Bun Sin Wan!”

Sambil berkata demikian gadis itu mencabut suling pemberian Sin Wan dulu dan mematahkan suling itu ke dalam tangan, lalu dua potong patahan suling itu ia remas-remas sampai hancur lebur sambil tertawa bekakakan.

“Moi-moi, diamlah!” Sin Wan membentak lagi dengan keras sekali karena ia merasa ngeri melihat betapa gadis itu berdongak sambil tertawa yang sangat aneh bunyinya dan pada saat itu ia tampak seperti mayat sedang tertawa menyeramkan.

Giok Ciu melempar-lemparkan hancuran suling itu ke atas dan angin gunung membawa bubukan itu bertebaran ke mana-mana, “Ha ha ha! Lihatlah, lihatlah, hai bunga dan pohon! Lihatlah betapa cita-cita itu telah lebur, telah cerai berai dan musnah terbawa angin. Lihatlah betapa semua telah hancur, telah hancur... sekarang tidak ada apa-apa lagi... hancur lebur... habis...”

Dan kembali ia tertawa menyeramkan, tapi suara ketawanya itu berangsur-angsur menjadi isak tangis sedih. Lalu Giok Ciu lari dari situ dengan cepat sekali sambil membawa suara tangisnya makin menjauh.

“Moi-moi...!” Sin Wan juga lari mengejar, tapi tiba-tiba Giok Ciu mencabut pedang Ouw Liong Pokiam dan membalikkan tubuh dengan pedang hitam itu melintang di dada. Sikapnya garang sekali dan ia membentak,

“Bangsat rendah! Kau mau apa? Jangan halang-halangi pergiku, kembalilah kepada isteri dan anakmu! Awas, satu tindak saja kau melangkah maju, aku akan mengadu jiwa denganmu!”

Tadinya Sin Wan hendak nekad maju, tapi ia pikir lagi bahwa Giok Ciu sedang panas hati dan mata gelap, maka tidak baik kalau dipaksa dan mungkin akan terjadi pertempuran mati-matian dan ia anggap ini bukanlah penyelesaian yang baik. Maka ia hanya memandang gadis itu dengan wajah sedih, lalu berkata,

“Baiklah, moi-moi. Kau menuduh aku yang bukan-bukan tanpa memberi kesempatan dan ketika kepadaku untuk membela diri!”

Tapi Giok Ciu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara terus karena gadis itu telah membalikkan tubuhnya dan lari ke bawah gunung dengan cepat sekali dan Ouw Liong Pokiam di tangannya berkilau-kilau ditimpa sinar matahari!

Akhirnya Sin Wan membalikkan tubuhnya setelah bayangan gadis itu tidak tampak lagi dan ia teringat kembali akan Suma Li Lian, maka dengan kertak gigi karena gemas, ia lari kembali ke tempat gadis bangsawan itu. Ia melihat betapa gadis itu berdiri sambil menyusui anak itu, maka wajah Sin Wan memerah. Ia memalingkan mukanya dan dalam keadaan malu dan jengah melihat betapa Li Lian di hadapannya tanpa malu-malu menyusui anak itu, timbullah keheranan besar dalam hati Sin Wan. Li Lian telah mempunyai anak dan mengaku bahwa anak itu adalah anaknya pula! Li Lian mengaku bahwa dia adalah suaminya! Sungguh gila, gila dan lucu. Sambil berdiri membelakangi Li Lian, Sin Wan berkata,

“Suma-Siocia, kalau kau sudah selesai menyusui anak itu, katakanlah agar kita bisa bicara dengan baik.”

Beberapa lamanya mereka berdiri dalam keadaan demikian. Li Lian berdiri menyusui anaknya sambil memandang tubuh belakang Sin Wan dengan mata sayu dan agak terheran melihat sikap pemuda itu, sedangkan Sin Wan berdiri memangku kedua lengan sambil memeras otaknya mengapa timbul perkara aneh dan gila ini! Tak lama kemudian terdengar Li Lian berkata kepadanya,

“Kanda Sin Wan, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu. Kau adalah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi tinggi. Benar-benarkah kau tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu sendiri?”

Sin Wan kertak giginya dengan marah dan gemas sekali. “Sudah selesaikah kau menyusui anakmu?” bentaknya.

“Sudah, biarpun aku tidak mengerti mengapa kau pura-pura tidak bisa melihat anakmu sendiri menyusu di dada ibunya!” jawab Li Lian penasaran.

Bagaikan kilat cepatnya Sin Wan meloncat sambil membalikkan tubuh dan ia berdiri di depan Li Lian. Gatal-gatal tangannya hendak menampar perempuan ini, tapi melihat betapa sepasang mata yang bening dan wajah yang ayu itu tampak sangat agung memandangnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, ia menjadi lemas.

“Nona Suma, sekarang kau katakanlah yang sebenarnya. Mengapa kau lakukan hal keedan-edanan ini? Apakah salahku kepadamu maka kau memfitnah padaku?” Tiba-tiba Sin Wan menjadi pucat dan kedua matanya bersinar-sinar. Ia lalu tertawa dan berkata kepada Li Lian yang terheran-heran.

“Ha ha ha! Kau perempuan licin! Sungguh kau cerdik dan lihai! Kini aku tahu, tentu kau lakukan ini untuk membalas dendammu karena aku telah membunuh Ayahmu bukan? Ha ha ha! Benar-benar kau hebat dan lihai! Dengan tenaga kau tak mungkin dapat membalas, kini kau membalas, dengan akal jahatmu. Tapi hasil muslihatmu ini ternyata lebih hebat dan sakit rasanya daripada kalau kau membalas dengan pukulan maut! Ah, mengapa Giok Ciu tidak menginsafi hal ini...?”

“Koko Sin Wan! Jangan kau ngaco belo tidak karuan...” Dan tiba-tiba Li Lian menangis sedih. “Aku... mengapa pula aku harus membalas dendam? Bukankah aku sudah menjadi isterimu? Koko, biarpun kau hendak berlaku pengecut dan mengingkari janji dan membodohi semua orang, tapi kau tidak dapat menipu Thian Yang Maha Agung! Inilah buktinya! Lihatlah anak ini, inilah hasil pertemuan kita dulu! Atau kau pura-pura lupa ketika kau memasuki kamarku pada pagi hari dulu itu? Koko, kau tahu bahwa aku... aku mencinta padamu, kalau tidak demikian halnya, mungkinkah aku sudi melayanimu sedangkan aku tahu bahwa kau adalah musuh Ayahku? Aku telah korbankan Ayahku, korbankan namaku, korbankan perasaanku untuk membalas cintamu, tapi mungkinkah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi seperti engkau ini mempunyai hati palsu? Ah, tak mungkin! Aku takkan percaya! Wajahmu tak mungkin palsu tapi... mengapa sikapmu begini terhadapku, koko...” dan dengan sangat sedihnya Li Lian menangis dan menutupi mukanya sehingga ia tidak melihat betapa Sin Wan mendengarkan ucapannya dengan wajah makin terheran dan mata makin lebar terbelalak.

Sin Wan benar-benar tak berdaya karena herannya. Setelah menggunakan lidahnya membasahi bibirnya yang kering, ia akhirnya berkata dengan halus, “Nanti dulu, nona, tenanglah dulu. Coba kau ceritakan padaku tentang pagi hari itu, pada waktu mana kau bilang aku memasuki kamarmu. Coba ceritakanlah hal itu dengan terus terang.”

Suma Li Lian memandangnya heran dan seakan-akan tak percaya akan apa yang didengarnya dari mulut pemuda itu. Akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Baiklah kalau kau kehendaki itu. Dulu ketika mendengar bahwa kau mencari-cari Ayahku untuk kau bunuh, hatiku hancur dan sedih sekali, karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kau membunuh Ayah. Pertama-tama memang sebagai seorang anak tentu saja aku tidak rela kalau Ayah dibunuh orang, kedua, di lubuk hatiku aku sangat tertarik dan suka kepadamu yang biarpun menjadi musuh Ayahku, namun kau telah berlaku sopan dan jujur terhadapku, bahkan kau telah membela aku dari kemarahan Kwie Lihiap. Semenjak itulah maka timbul rasa cinta di dalam hatiku. Malam ketika kau pergi itu aku tak dapat tidur. Menjelang fajar, aku melihat bayangan orang memasuki kamarku dari jendela. Karena lampu telah padam, maka aku tak dapat mengenal mukamu, hanya dapat menduga karena potongan tubuhmu kukenal baik dan bayangan itu potongan tubuhnya memang sama dengan engkau. Kemudian kau membuka suara memanggilku, maka aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kaulah yang datang. Kau menyatakan cintamu tanpa banyak kata dan aku... aku tak berdaya menolakmu karena... memang aku cinta padamu...! Ah, kanda Sin Wan, perlukah hal ini disebut-sebut lagi? Atau apakah ketika itu kau hanya pura-pura saja dan sengaja mempermainkan aku?”

Tiba-tiba Sin Wan mengangkat tangan dan meramkan mata karena ia sedang memikir keras. “Nanti dulu... ketika hal itu terjadi, yakni ketika bayangan itu memasuki kamarmu, apakah waktu itu sudah terdengar ayam berkokok?”

Suma Li Lian mengingat-ingat lalu berkata tetap, “Belum koko, karena aku ingat betul bahwa setelah kau pergi meninggalkan aku, barulah aku mendengar suara ayam berkokok memasuki jendela kamarku yang terbuka karena kau agaknya lupa menutup kembali.”

Sin Wan mengangguk-angguk, “Hmm, aku tahu sekarang mengapa kau dulu ketika hendak berpisah dengan aku, mengucapkan kata-kata yang tak kumengerti sama sekali, yakni kau sesalkan aku yang tidak ingat akan kejadian pagi itu. Kini aku mengerti. Ketahuilah, Suma-Siocia. Pada saat itu aku masih belum kembali ke Kelenteng, dan datangku ke Kelenteng adalah pada waktu matahari telah naik tinggi! Pada saat ada orang memasuki kamarmu itu aku tengah mencegat seorang diri di hutan, mencegat kendaraan Ayahmu!”.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini




No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12