Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 13
Tiba-tiba
Tiong Kiat berkata sambil menangkap tangan Ang Hwa. "Nona Suma... sungguh
mati, perempuan ini tidak ada artinya bagiku! Di dunia ini... hanya kau seorang
yang boleh memenuhi ruang hatiku. Perempuan ini...? Hm, dia bukan lain adalah
seorang perempuan lacur yang hina dina. Aku membunuh Huayen khan karena dia
seorang pengkhianat, sama sekali bukan karena perempuan ini!"
Ketika Tiong
Kiat melihat betapa Eng Eng tersenyum menghina dan mengejek, ia menyambung
kata-katanya. "Kau tidak percaya? Lihat, perempuan ini sesungguhnya bukan
apa-apa bagiku!”
Dan secepat
kilat Tiong Kiat menggerakkan Ang coa kiam dan sebelum Ang Hwa yang semenjak
tadi mendengarkan ucapan Tiong Kiat dengan wajah pucat dan mata terbelalak itu
dapat mengetahui gerakan pemuda ini, pedang Ang coa kiam di tangan Tiong Kiat
telah membabat lehernya!
Ang Hwa tak
sempat mengeluarkan sedikitpun suara dan tubuhnya roboh tergelimpang di dekat
mayat suaminya dalam keadaan tak bernyawa lagi dan lehernya hampir putus!
"Bangsat
she Sim! Jangankan baru kau membunuh anjing betina ini yang sama kotornya
dengan engkau, biar kau membunuh ayah bundamu sendiri dihadapanku tetap saja
kebencianku terhadapmu takkan berkurangl Kau harus mampus!"
"Suma
Eng... sungguh kau kejam dan keterlaluan! Kau tahu bahwa aku cinta kepadamu.
Aku telah merobah hidupku, lihat, bukankah aku telah menjadi seorang perwira
kerajaan? Bukankah aku telah memilih jalan yang benar? Mengapa kau masih saja
membenciku? Eng Eng, lupakanlah urusan dahulu dan berilah kesempatan kepadaku
untuk menebus dosa. Katakan bahwa kau suka menjadi istriku, dan aku akan
menurut apa saja yang kau kehendaki."
"Bangsat
rendah bermulut kotor! Jangan kau berani sebut-sebut hal itu lagi. Kau telah
mencemarkan nama orang tuamu, nama perguruanmu, bahkan kau telah mencelakakan
kehidupan kakakmu yang amat berbudi dan mencintaimu, kau... kau manusia
rendah...!"
"Ha,
agaknya kau lebih suka kepada kakakku dari pada kepadaku?" pertanyaan
Tiong Kiat ini terdengar penuh cemburu sehingga Tiong Han yang mendengarkan
percakapan itu merasa mukanya panas dan warna merah menjalar dari leher ke
mukanya.
"Tutup
mulutmu! Dia seribu kali lebih berharga dari pada engkau! Untuk menggosok
sepatunya saja kau masih terlalu kotor, jangankan menjadi adiknya, tahu?"
"Eng
Eng kau terlalu…"
"Siapa
yang terlalu? Kau seorang rendah, seorang hina dan sekarang menjadi pemberontak
pula!"
"Pemberontak?
Apa maksudmu? Eng Eng kalau orang sudah membenci, selalu buruk saja
pandangannya. Aku bukan pemberontak, aku bahkan melawan pemberontak she Gak itu
dan…"
"Bangsat
lihat pedang!" Eng Eng tidak sabar lagi dan cepat menyerang dengan
pedangnya. Ucapan Tiong Kiat tadi dianggapnya sebagai bujukan belaka. Mana bisa
jenderal Gak disebut pemberontak?
Tiong Kiat
menangkis dengan pedang Hui liong-kiam di tangan kirinya. Dengan dua batang pedang
di tangan, ia selalu menghindarkan diri dari serangan gadis itu yang mendesak
dengan hebat. Diam-diam Tiong Han memuji kepandaian adiknya itu. Tiong Kiat
dengan kedua tangan memegang pedang, sanggup memainkan Ang-coa-kiamsut dengan
dua pedang itu!
"Sungguh
benar kata-kata suhu dulu bahwa dia memang berbakat sekali." kata Tiong
Han dalam hatinya.
Ia harus
akui bahwa dia sendiri tak mungkin dapat mainkan Ang-coa-kiamsut sekaligus
dengan dua batang pedang. Akan tetapi, sekarang ia sanggup untuk menghadapi
Tiong Kiat, biarpun dengan tangan kosong setelah ia digembleng oleh Pat jiu
Toanio dan Lui-kong jiu. Melihat betapa Eng Eng tak mungkin dapat merobohkan
Tiong Kiat yang menangkis sambil mundur, agaknya hendak memancing gadis itu ke
arah markas besar Tiong Han lalu melompat keluar.
"Tahan
dulu!” katanya lalu tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Tiong Kiat. Ia
hendak mempraktekkan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah yang ia pelajari dari
Pat jiu Toanio untuk merampas pedang.
Tiong Kiat
mencoba untuk menarik kembali pedang di tangan kirinya, akan tetapi ternyata
kalah cepat, ia hanya mengerahkan tenaganya dan memegang pedang Hui-liong-kiam
itu erat erat karena kalau sampai pedang itu direbut, belum tentu lawan akan
berhasil merenggutnya. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Tiong Han mempergunakan
ilmu silat baru.
Tiba-tiba ia
merasa pergelangan tangan kirinya lemas dan otomatis pegangannya terbuka
sehingga pedang itu tahu-tahu sudah pindah ke tangan Tiong Han! Tiong Kiat
terkejut dan heran, akan tetapi sifat sombongnya keluar dan sambil
tersenyum-senyum ia berkata,
"Ambillah,
memang itu pedangmu!"
Sementara
itu ketika melihat Tiong Han, wajah Eng Eng berseri sebentar, akan tetapi
segera ia menghadapi segala gerak-gerik dari Tiong Kiat lagi, dengan marah
sambil berkata kepada Tiong Han.
"Aku
yang mendapatkannya lebih dulu, maka aku yang hendak membunuhnya."
“Maaf, nona
Suma, sekarang bukan waktunya untuk mengurus urusan pribadi. Aku datang sebagai
utusan dari Jenderal Gak untuk melakukan pembicaraan dengan Oei Sun dan kaki
tangannya.” Kemudian ia memandang dengan tajam kepada Tiong Kiat.
"Kau
tentu kaki tangan Oei Sun pula, bukan?" Suaranya mengandung penyesalan dan
juga ejekan, lalu disambungnya.
"Pergilah
sampaikan kepada Oei Sun bahwa aku utusan Gak-goanswe sengaja datang untuk
bertemu dan bicara !" Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu mencabut
sehelai kain putih yang merupakan bendera tanda utusan dari Gak goanswe. Tentu
saja Tiong Kiat memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya menjadi pucat
seperti melihat setan di tengah hari.
"Engko
Tiong Han"
"Tutup
mulut! Jangan menyebut engko, aku bukan saudaramu! Kau seorang perwira
pemberontak dan aku seorang utusan dari tentara kerajaan! Lekas kau melaporkan
kedatanganku, ataukah aku sendiri harus masuk ke sana?” Ia menunjuk ke arah
bayangan tenda di kejauhan.
Tiong Kiat
menggigil seluruh tubuhnya. "Apakah artinya ini?? Tiong Han… demi
kehormatan ayah... demi Tuhan, katakanlah, apa artinya ini? Benar-benarkah Oei
ciangkun memimpin barisan pemberontak, bukankah jenderal she Gak itu yang
memberontak?"
"Kebiasaan
jahat mendatangkan pemandangan yang sempit dan jiwa yang hampa!" kata
Tiong Han. "Entah kau berpura-pura atau tidak, akan tetapi sungguh amat
lucu kalau tidak tahu bahwa Oei Sun yang bersekutu dengan Huayen-khan adalah
pemberontak-pemberontak keji yang patut dibasmi! Sungguh menyebalkan mendengar
orang berkata bahwa Jenderal Gak yang gagah perkasa adalah seorang pemberontak.
Pemutarbalikan yang tidak kenal malu! Siapa tidak tahu bahwa pemberontak Oei
Sun adalah bekas tokoh Pek-lian-kauw dan bahwa dia dibantu oleh lima orang
bekas pemimpin Pek-Iian-kauw yang kini bernama Go bi Ngo-koai-tung? Entah
matamu yang buta, entah batinmu yang sudah tak dapat melihat lagi."
Makin pucat
wajah Tiong Kiat mendengar ini dan bibirnya bergetar. Sukar sekali ia dapat
mengeluarkan kata-kata, akan tetapi akhirnya dapat juga ia berkata, "Tiong
Han... demi mendiang ayah kita… tidak bohongkah kau? Bersumpahlah...!"
"Aku
bukan seperti kau, tak sudi berbohong dan tak perlu bersumpah."
Mendengar
ini, terdengar isak tangis tertahan dari dada Tiong Kiat. la membanting-banting
kaki beberapa kali kemudian membalikkan tubuh terus berlari secepat terbang
menuju kepada tenda-tenda yang terpasang di luar hutan.
"Bangsat
hendak lari ke mana?" Eng Eng membentak nyaring dan mengejar, akan tetapi
tiba-tiba tangannya dipegang orang dari belakang. Ia menengok dan memandang
kepada Tiong Han dengan heran.
"Eh,
eh, saudara Sim. Mengapa kau memegang tanganku? Apakah kau kembali hendak
membela adikmu yang murtad itu?"
Tiong Han
melepaskan pegangannya dan menggeleng kepalanya. "Nona Eng Eng, jangan
salah sangka. Aku hanya mencegahmu untuk mengejarnya oleh karena hal itu amat
berbahaya. Baru Tiong Kiat seorang saja agaknya amat sukar kau menjatuhkannya, apalagi
di sana masih banyak orang-orang kosen dan berkepandaian tinggi. Go-bi Ngo koai
tung dan Oei Sun adalah lawan-lawan yang amat berat, kalau kau mengejarnya,
bukankah itu sama saja dengan mengantarkan nyawa?"
"Kau
perduli apakah, Saudara Sim ? Aku tidak takut mati." jawab Eng Eng sambil
mengedikkan kepalanya.
"Aku
tidak meragukan kegagahanmu, nona. Akan tetapi… aku tidak rela kalau kau mati
begitu saja..."
Wajah nona
itu berubah merah, menambah kecantikannya yang amat menarik hati Tiong Han,
"Apakah maksudmu? Apa hubungannya kematianku dengan rela atau tidaknya
kau, saudara Sim?" Dengan jujur dan tajam mata pemuda itu menatap wajah
Eng Eng, lalu disusul oleh kata-katanya yang jelas.
"Nona
Suma Eng, terus terang saja, aku amat kasihan kepadamu, dan juga aku amat suka
dan tertarik oleh kegagahan dan nasibmu. Selain itu, aku merasa ikut
bertanggung jawab atas kejahatan adikku itu, maka… aku ingin sekali… menebus
dosa adikku terhadapmu, aku ingin sekali memperbaiki segala kesalahan adikku
terhadapmu, dan aku tidak ingin melihat kau mengalami penderitaan lebih lanjut
karena adikku yang jahat, Ketahuilah bahwa semenjak pertemuan kita, aku selalu
memikirkan keadaanmu, nona. Hanya dua macam tugas suci dalam hidupku,
pertama-tama membela negara dan menghancurkan adikku sendiri yang jahat. Kedua
kalinya, mendatangkan kebahagiaan padamu dengan jalan apa saja yang kau
kehendaki!"
“Eh, eh...
saudara Sim, dalam keadaan seperti ini, mengapa kau bicara yang bukan-bukan?
Sudahlah, nanti saja kita bicara kalau urusan sudah selesai. Aku harus menyusul
dan mengadu nyawa dengan adikmu!"
Kembali Eng
Eng hendak berlari mengejar Tiong Kiat, akan tetapi Tiong Han mencegahnya lagi.
"Nanti
dulu nona. Ucapanku tadi pun ada hubungannya dengan urusan ini. Kukatakan tadi
bahwa tugasku pertama-tama membela negara. Urusan Tiong Kiat mudah diselesaikan
kemudian kalau tugas pertama ini sudah selesai. Aku adalah seorang utusan dari
jenderal Gak. Kau ikutlah dengan aku menjumpai Oei Sun dan kaki tangannya. Aku
ditugaskan untuk membujuk mereka menyerah agar tidak terjadi perang antara
bangsa sendiri. Setelah itu kita bersama mengejar Tiong Kiat. Bagaimana
pikiranmu? Kalau kau pergi sekarang mengejar akan mengacaukan dan menggagalkan
rencanaku karena fihak pemberontak tentu akan menjadi geger dan mencurigaiku.”
Eng Eng
berpikir sebentar, kemudian ia mengangguk. "Baiklah, saudara Sim, aku
turut nasihatmu."
Tiong Han
tersenyum. "Nona, dulu ketika bertemu, kau menyatakan hendak menyebut
twako kepadaku, akan tetapi sekarang agaknya kau telah lupa akan sebutan itu.
Tak enak melihat kau berlaku sungkan-sungkan lagi setelah kita menjadi sahabat
baik."
Gadis itu
tersenyum dan tanpa menjawab ia lalu melangkah maju, bersama dengan pemuda itu
menuju ke arah tenda-tenda yang kini nampak terang di bawah sinar matahari.
Tenda yang
ditempati oleh Oei Sun adalah tenda atau kemah di tengah-tengah yang paling
besar. Di depannya terdapat sebuah bendera besar dengan huruf OEI yang besar
pula, berkibar-kibar tertiup angin. Kemah yang besar ini dikelilingi oleh lima
buah kemah lain yang menjadi tempat tinggal Go bi Ngo koai tung. Ada pun Tiong
Kiat biasanya bermalam di dalam kemah terbesar bersama Oei Sun, atau seperti
seringkali terjadi, ia bermalam di kemah lain, tentu bersama Ang Hwa!
Ketika Tiong
Han dan Eng Eng tiba di perkemahan paling depan mereka disambut oleh barisan
penjaga pertama yang segera menodong mereka dengan tombak. Tadinya para penjaga
itu merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa pemuda ini tentu Sim ciangkun yang
menyamar akan tetapi melihat sikap pemuda ini berbeda dari Sim ciangkun mereka
lalu berlaku hati hati dan membentak,
"Siapakah
kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?”
Tiong Han
tidak mau banyak cakap, lalu mengeluarkan bendera putihnya. Para penjaga terkejut
dan seorang di antaranya cepat-cepat memberi laporan ke dalam. Kemudian
keduanya dipersilakan masuk melalui perkemahan pertama. Tiong Han menjadi heran
mengapa agaknya para penjaga itu belum tahu akan kedatangannya. Apakah Tiong
Kiat belum memberi laporan kepada pimpinan pemberontak?
Akan tetapi
ia tidak banyak cakap dan berjalan terus dengan sikap waspada. Ia memegangi
bendera putih itu di depan dadanya sedangkan Eng Eng dengan gagah sekali
berjalan di belakang Tiong Han. Gadis ini menyimpan pedang di punggung dan
nampak cantik dan gagah sehingga para penjaga memandangnya dengan kagum.
Setelah
melalui beberapa lapis penjaga akhirnya mereka tiba juga di barisan tenda Go-bi
Ngo Koai-tung yang mengelilingi tenda tempat tinggal Oei Sun. Di sana sini nampak
perajurit berdiri menjaga bagaikan patung. Ternyata penjagaan dilakukan amat
rapi dan teguh.
Tidak
seperti pada lapisan-lapisan perkemahan di luar, di sini mereka tidak di sambut
oleh penjaga-penjaga, bahkan para penjaga yang berdiri menjaga bagaikan patung
tidak bergerak sama sekali seakan-akan tidak melihat mereka, Tiong Han menjadi
ragu-ragu.
Jalan untuk
memasuki lingkungan tenda itu tidak ada, karena antara tenda satu dengan yang
lainnya, yakni antara lima buah tenda tempat tinggal Go-bi Ngo-koai tung
dipasangi tali yang menghubungkan yang Iain dan juga merupakan penghalang bagi
mereka yang hendak masuk. Akan tetapi dari luar, Tiong Han dan Eng Eng dapat
melihat bendera yang bertuliskan huruf OEI. Adapun pada tenda yang lima buah
banyaknya itu dipasangi bendera bendera hitam yang model bentuknya menyeramkan
seperti bendera yang biasa dipergunakan oleh pendeta-pendeta untuk mengusir roh
jahat.
"Bagaimana
kita harus masuk!" Kata Tiong Han perlahan kepada Eng Eng.
"Putuskan
saja tali yag menghalang ini," kata gadis itu.
Tiong Han
menggeleng kepala. "Seorang utusan tidak boleh berlaku kasar dan menghina
tuan rumah, sebaliknya tuan rumah juga tidak boleh menghina utusan lawan."
Setelah
berkata demikian, Tiong Han mengumpulkan khikangnya, lalu berseru, "Utusan
dari Gak goanswe telah tiba, mohon menghadap kepada pemimpin she Oei!"
la sengaja
tidak mau menyebut Oei ciangkun, karena setelah menjadi pemberontak otomatis ia
tidak bisa menganggap orang she Oei itu sebagai perwira lagi. Suara yang dikeluarkan
oleh Tiong Han ini bergema sampai jauh. Sampai lama mereka menanti, barulah
terdengar jawaban dari dalam tenda Oei Sun.
"Utusan
Gak goanswe silakan masuk saja. Tenda kami tidak berapa tinggi!”
Tiong Han
memandang ke atas. Hem, mereka sengaja menguji kepandaiannya, pikirnya, ia
memberi isyarat kepada Eng Eng, kemudian mereka lalu mengenjot tubuh, melompat
ke atas tenda yang berbendera hitam itu. Gerakan mereka bagaikan dua ekor
burung walet saja gesitnya. Setelah berdiri di atas tenda itu, Tiong Han lalu
melompat turun ke dalam diikuti oleh Eng Eng yang masih terus berada di
belakangnya!
Sepasang
orang muda ini benar-benar nampak gagah dan elok ketika mereka melompat turun
tanpa mengeluarkan suara. Keadaan di situ sunyi saja, akan tetapi perasaan
mereka memberitahukan bahwa diam-diam banyak mata mengikuti gerak-gerik mereka.
Tiong Han dan Eng Eng menghampiri pintu tenda terbesar yang masih tertutup.
Mereka berdiri, tidak berani masuk.
"Masuklah
saja, kami telah menanti kedatanganmu!" Suara tadi terdengar lagi dari
dalam tenda.
"Hati-hati,
nona Eng Eng" bisik Tiong Han dan sambil membawa bendera putih yang tadi
dimasukan dalam saku ketika ia melompati tenda, lalu membuka pintu tenda besar
itu. Dengan gagah ia berjalan masuk diiringi oleh Eng Eng.
Ternyata di
dalam tenda itu telah duduk enam orang, yakni Oei Sun dan Go-bi Ngo koai-tung yang
kesemuanya pernah dilihat oleh Eng Eng dan Tiong Han.
Oei Sun
tertawa bergelak, lalu berkata, "Aah, tidak tahunya saudara Sim Tiong Han
dan nona Suma Eng yang menjadi utusan dari Gak goanswe! Ini namanya berurusan
dengan sahabat-sahabat lama. Bagus, bagus!”
"Menurut
pendapatku, kita bukan sahabat-sahabat. Cuwi (tuan-tuan sekalian) adalah
pemimpin pemimpin pemberontak, adapun kami berdua adalah utusan dari Jenderal
Gak pemimpin balatentara kerajaan." jawab Tiong Han dengan tegas karena ia
hendak menyatakan bahwa tak mungkin dengan dia dan Eng Eng dapat diadakan
persekutuan!
"Bukan
sahabat juga tidak mengapa " Thian It Tosu berkata dengan senyum
menyindir, "kamipun tidak suka menjadi sahabat dari orang-orang yang
pernah kami kalahkan."
Tiong Han dan
Eng Eng merasa panas, akan tetapi karena merasa Tiong Han maklum bahwa mereka
itu memancing 'suasana panas' agar ia sebagai utusan melakukan pelanggaran dan
kekerasan, hanya tersenyum saja dan tidak mau menjawab.
"Kau
datang sebagai utusan membawa kabar apakah? Apakah Jenderal Gak mengajak
damai?"
"Memang
mengajak damai, hanya dengan satu syarat, yakni supaya kau dan semua bekas
pemimpin Pek Iian kauw dan pemimpin-pemimpin pemberontak menyerahkan diri untuk
dibawa ke kota raja. Dengan begitu, barulah barisanmu akan diampuni. Kalau
tidak, kepungan akan lakukan terus sampai kalian kehabisan ransum sama
sekali!"
Bukan main
marahnya hati Oei Sun mendengar ini akan tetapi ia dapat menyembunyikan
kemarahannya di balik ketawanya yang bergelak-gelak. "Ha, ha, ha, lucu
sekali kau ini. Orang macam kau bisa dijadikan utusan. Ha ha ha. Ingin aku
melihat bagaimana pendapat Sim-ciangkun melihat kakaknya yang menjadi pelawak
ini. Penjaga! Coba kau cari Sim ciangkun dan panggil dia ke sini!"
teriaknya kepada penjaga yang segera memberi hormat dari luar dan pergi.
Kemudian Oei Sun berkata lagi kepada Tiong Han.
"Apakah
Gak-goanswe berani menjamin bahwa aku dan kawan-kawanku takkan dihukum apabila
kami sudah dibawa ke kota raja?"
“Hal ini
tentu saja Gak-goanswe tidak dapat menjamin. Tergantung kepada keputusan
Hong-siang sendiri." jawab Tiong Han, sementara itu, pemuda ini dan juga
Eng Eng merasa heran mengapa Tiong Kiat tidak berada di situ dan bahkan tidak
kelihatan sehingga dicari oleh Oei Sun.
"Kalau
jenderal Gak mau membuka jalan untuk kami melarikan diri dari kepungan, kami
suka meninggalkan barisan dan tidak melakukan perlawanan lagi" kata Oei
Sun.
"Akan
kusampaikan permintaan ini." jawab Tiong Han "Akan tetapi kurasa
sia-sia belaka karena jenderal Gak adalah seorang yang memegang teguh disiplin.
Membebaskan pemimpin pemberontak berarti sebuah pelanggaran yang besar!"
Pada saat
itu, dengan wajah pucat masuklah tiga orang suku bangsa Ouigour yang melaporkan
bahwa Huayen-khan dan Ang Hwa didapatkan telah mati terbunuh di dalam hutan.
Oei Sun berseru keras sambil mencabut goloknya, demikian pula Go bi Ngo koai
tung bangkit sambil meloloskan tongkat mereka. Ketika Oei Sun mengeluarkan
suitan keras, sebentar saja kemah itu telah dikepung oleh barisan yang banyak
sekali!
"Sim
Tiong Han! Kau benar-benar utusan yang tidak patut! Bagaimana kau berani
membunuh Huayen khan dan Ang Hwa? Kau melanggar peraturan!"
"Bukan
kami yang membunuh mereka," jawab Tiong Han dengan tenang, "yang
membunuh mereka adalah pembantumu yang bernama Sim Tiong Kiat!"
Oei Sun dan
Go bi Ngo-koai tung saling pandang.
"Kalau
begitu bangsat itu telah berkhianat!" kata Thian lt Tosu dan dengan suara
menyesal ia berkata kepada Oei Sun. "Apa kataku dulu? Tidak baik
mempercayai orang jahat itu. Tangkap yang dua ini sekalian si bangsat she Sim
agar dapat kita pergunakan sebagai orang tahanan dan pembuka jalan kita
melarikan diri!"
Eng Eng
berseru keras dan mencabut pedang merahnya. Sedangkan Tiong Han pun bersiap
sedia dan berkata kepada Eng Eng, "Nona, mari keluar!”
la menarik
tangan Eng Eng dan keduanya melompat keluar dari tenda ini. Di luar mereka telah
dicegat oleh banyak sekali tentara yang terdiri dari perwira-perwira
pemberontak, yakni sebagian besar bekas orang orang Pek-lian-kauw yang diangkat
oleh Oei Sun.
Eng Eng
memutar pedangnya dan Tiong Han lalu mengeluarkan kepandaiannya. Biarpun ia bertangan
kosong, akan tetapi kehebatan sepak terjangnya tidak kalah oleh Eng Eng yang
berpedang. Tiap kali tangannya mengena tubuh lawan, berteriaklah lawan itu dan
roboh tak dapat bangun lagi.
"Mundur
semua, biarkan kami menangkap mereka!" Oei Sun berseru keras dan para
pengeroyok itu mundur cepat-cepat, mengatur barisan kepungan sehingga tidak
memungkinkan dua orang itu melarikan diri.
Tiong Han
menendangi tubuh para pengeroyok yang tadi sudah roboh sehingga ia dan Eng Eng
mendapatkan tanah lapang cukup luas. Dari dalam tenda muncul lima orang tosu
itu bersama Oei Sun yang bergerak menyerang mereka.
Eng Eng
menyambut Oei Sun dan karena Oei Sun sudah pernah merasai kelihaian gadis ini,
maka ia minta tolong kepada Thian It Tosu yang segera membantunya. Adapun Tiong
Han yang bertangan kosong menghadapi keroyokan Thian Ji Tosu dan tiga orang
adik seperguruannya. Pertempuran berjalan seru sekali. Eng Eng yang dikeroyok
dua dapat mengimbangi permainan kedua lawannya.
Pedangnya
bagaikan seekor naga merah menyambar-nyambar di antara tongkat dan golok kedua
lawannya. Akan tetapi ia merasa betapa lihai permainan tongkat dari Thian It
Tosu. Kalau saja tidak dibantu oleh Oei Sun, agaknya sanggup ia mendesak tosu
ini. Akan tetapi golok besar Oei Sun juga tidak boleh di pandang ringan,
sehingga gadis ini harus bertempur dengan hati-hati sekali.
Adapun Tiong
Han, dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Pat jiu
Toanio dan Lui-kong-jiu, dapat mengimbangi permainan tongkat keempat orang
pengeroyoknya bahkan ia mulai mendesak mereka dengan angin pukulannya yang
lihai. Kalau lawan-lawannya kurang hati-hati, baru terkena sambaran pukulannya
saja tentu akan terluka. Empat orang tosu itu maklum akan kelihaian pemuda ini,
maka mereka selalu menjauhkan diri dan hanya mempergunakan tongkat untuk
menyerang sambil mengepung.
Yang membuat
Tiong Han dan Eng Eng gelisah adalah kepungan para perwira yang makin lama
datang makin banyak itu. Ratusan orang mengepung tempat itu dan mereka tahu
bahwa di situ masih ada ribuan orang tentara lagi. Bagaimana mereka bisa keluar
dari situ dengan selamat?
Beberapa
orang perwira yang berkepandaian lumayan, mulai masuk pula dalam kalangan
pertempuran sehingga kini Eng Eng dikeroyok oleh lima orang dan Tiong Han
menghadapi tujuh orang pengeroyok. Terpaksa pemuda ini menggunakan
kepandaiannya untuk merobohkan seorang perwira, dan dengan pedang Hui-liong
kiam yang tadi dirampas dari Tiong Kiat, ia lalu mengamuk dengan pedang di
tangan kanan dan pukulan di tangan kiri masih mainkan ilmu silat
Kong-jiu-cap-ji-kun!
Bukan main
ramainya pertempuran itu. Sudah beberapa orang perwira lagi roboh oleh amukan
Tiong Han dan Eng Eng, akan tetapi kedua orang muda ini tetap saja masih belum
berhasil merobohkan Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun, pengeroyok-pengeroyok yang
paling berbahaya.
Kini keadaan
Tiong Han dan Eng Eng mulai berbahaya. Perwira-perwira yang jatuh ditarik
mundur dan diganti oleh perwira Iain yang kepandaiannya lumayan juga. Kedua
orang muda itu mulai menjadi lelah! Dan Go-bi Ngo koai tung mulai kemak kemik
membaca mantera untuk mempergunakan hoatsut (ilmu sihir) guna merobohkan dua
orang lawan muda yang lihai ini!
"Semua
mundur biarkan kami menjatuhkan mereka!" kembali Thian lt Tosu berseru
keras dan para perwira lalu mengundurkan diri. Sambil menunjuk ke arah Eng Eng,
tosu ini lalu mengerahkan tenaga batinnya dan berseru,"Rebah engkau…
rebah…!"
Eng Eng
merasa tiba-tiba kepalanya pening dan ia mulai terhuyung-huyung! Permainan
pedangnya kacau balau dan hampir saja ia celaka. Tiong Han terkejut sekali dan
cepat ia melompat ke dekat gadis itu sambil berseru,
"Eng
moi!" Seruan ini keluar dari hati yang amat gelisah, mengandung kasih
sayang dan kekuatiran atas diri gadis yang dicintanya itu!
Aneh sekali
begitu telinga Eng Eng mendengar panggilan ini, seketika itu juga lenyaplah
rasa pening dan mabok. Alangkah mesra dan merdunya suara panggilan dari Tiong
Han itu. Jantungnya berdebar, darahnya berdenyut keras dan terusirlah pengaruh
hoatsut yang dijalankan oleh Thian It Tosu! Ia mengamuk lagi dengan hebat
setelah mengerling dan melempar senyum manis ke arah Tiong Han!
"Han-ko,
jangan takut akan segala ilmu siluman ini!" katanya dan bagi Tiong Han
kata-kata gadis ini merupakan panambahan semangat yang luar biasa sehingga
kembali ia dapat mendesak keempat orang pengeroyoknya, sehingga kembali para
perwira yang tadi mundur kini maju lagi mengeroyok. Akan tetapi mereka itu
hanya menjadi seperti kupu-kupu mendekati api lilin. Baru saja masuk, beberapa
orang telah menjadi korban lagi!
Betapapun
juga, Eng Eng dan Tiong Han mulai menjadi lelah dan peluh telah mengalir
membasahi seluruh tubuh mereka. Tiong Han telah berhasil merobohkan Thian Sam
Tosu dan Thian Ngo Tosu, orang ketiga dan kelima dari Go bi Ngo koai-tung. Akan
tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah.
Adapun Eng
Eng, biarpun telah banyak merobohkan perwira yang mengeroyok, namun masih amat
sukar baginya untuk menjatuhkan Oei Sun dan Thian It Tosu. Tosu ini tidak dapat
mempergunakan hoatsutnya lagi setelah beberapa kali dicobanya tidak mempan,
bahkan ia lalu mengomel keras.
"Keparat,
tidak tahunya saling mencinta lagi dua ekor tikus ini!"
Ucapan dan
Thian It Tosu ini membuat Tiong Han dan Eng Eng menjadi merah mukanya, karena
mereka maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Thian lt Tosu tentu mereka. Agaknya
rasa cinta yang tumbuh di dalam hati kedua orang muda di dalam bahaya ini
merupakan daya penahan atau penolak yang amat kuat bagi serangan ilmu hitam
dari tosu itu tadi!
Pada saat
Eng Eng dan Tiong Han mulai terdesak, tiba-tiba terjadi geger di luar kepungan
dan teriakan-teriakan keras. "Api…api… Gudang ransum kebakaran…! Ah...
tenda-tenda mulai kebakar… tolong! Kebakaran!"
Keadaan
menjadi kacau balau. Benar saja, mulai nampak asap bergulung-gulung dan api
mengamuk hebat, membakari tenda-tenda yang seperti jamur di bawah itu. Para pengeroyok
menjadi panik dan ketakutan, bahkan banyak yang meninggalkan tempat itu untuk
menolong tenda mereka sendiri.
Dan
tiba-tiba, sebuah bayangan biru berkelebat dengan cepatnya, didahului oleh
cahaya merah dan tahu-tahu Thian Ji Tosu dan Thian Su Tosu, orang kedua dan
keempat yang mengeroyok Tiong Han roboh mandi darah.
"Tiong
Kiat...!" Tiong Han berseru, ketika melihat pemuda yang kini sudah
berganti pakaian biru-biru itu.
"Sim
ciangkun… kau… pengkhianat!" Oei Sun berseru keras dengan amat marahnya,
lalu meninggalkan Eng Eng dan menyerang Tiong Kiat dengan goloknya.
"Jahanam
besar, sekarang kau binasa!" Eng Eng ikut berteriak dan melompat ke arah
Tiong Kiat, menyerang dengan pedangnya ditusukkan ke arah lambung Tiong Kiat
yang sedang menangkis golok Oei Sun.
Tiong Kiat
mengelak cepat sambil berteriak. "Nona Suma, awas serangan gelap!"
Akan tetapi
terlambat, Eng Eng yang hanya mencurahkan perhatiannya kepada Tiong Kiat telah
meninggalkan Thian It Tosu dan tidak memperdulikannya lagi. Kesempatan baik ini
dipergunakan oleh Thian It Tosu. Ketika dilihatnya Eng Eng berbalik menyerang
Tiong Kiat, tosu ini mengeluarkan sebatang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) dan
disambitkan ke arah Eng Eng. Gadis itu mengeluh, dan cepat meraba pangkal
lengan kirinya yang dirasa amat sakit dan gatal. Akan tetapi tiba-tiba ia
merasa kepalanya pening dan robohlah ia dengan tubuh lemas!
"Thian
It totiang, kau tahanlah pengkhianat ini!" seru Oei Sun yang segera
diturut oleh Thian lt Tosu. Oei Sun sendiri setelah Tiong Kiat dihadapi oleh
Thian It Tosu, lalu melompat ke arah Eng Eng, menyambar tubuh gadis ini dengan
tangan kanan dan menjemput pedang merah gadis itu dengan tangan kiri, lalu
melarikan diri!
"Bangsat
lepaskan dia!" teriak Tiong Han akan tetapi lebih dari sepuluh orang
perwira menghadangnya sehingga terpaksa ia membabat mereka dalam amukan hebat.
Tiong Kiat
dengan marah sekali lalu mainkan ilmu silat pedang Ang coa kiamsut yang paling
tinggi, dan Thian It Tosu yang sudah tua dan sudah lelah itu tidak dapat
menangkis lagi. la berseru keras dan roboh dengan dada tertembus pedang
Ang-coa-kiam!
"Han-ko
jangan khawatir, aku akan menolong nona Suma Eng!" seru Tiong Kiat yang
cepat mengejar ke arah Oei Sun melarikan diri tadi.
Tiong Han
tak dapat membantah karena ia sendiri sedang dikepung dan tidak kuasa melakukan
pengejaran. Terpaksa ia mengamuk dan sebentar saja mayat bekas pemimpin
Pek-lian-kauw bergelimpangan di sekitarnya.
Sementara
itu, Jenderal Gak yang tidak melihat Tiong Han kembali dan mendengar laporan
bahwa di tempat markas besar pemberontak yang terkepung itu nampak asap
mengepul segera memerintahkan pasukannya bergerak menyerbu!
Tiong Han
yang mengamuk seperti naga terluka itu hampir saja roboh saking lelahnya ketika
barisan Jenderal Gak sudah tiba di situ.
"Menyerahlah
semua! Jangan kena dibujuk dan ditipu oleh pemimpin kamu orang-orang
Pek-lian-kauw!"
Tiong Han
dan Jenderal Gak dibantu oleh panglima-panglima lain mengerahkan tenaga khikang
berteriak-teriak kepada para pemberontak. Tak lama kemudian, para pemberontak
yang sudah terkepung dan kehilangan pimpinan itu lalu melemparkan senjata dan
menyerah.
Tiong Han
biarpun masih lelah, biarpun ditahan oleh Jenderal Gak, memaksa pergi sambil
berkata singkat, "Maaf, goanswe, saya masih mempunyai urusan penting
sekali yang harus diselesaikan!" Setelah berkata demikian, dengan pedang
Hui liong kiam di tangan, ia lalu berlari secepat mungkin mengejar ke utara!
Ketika tiba
di tepi Sungai Sungari yang lebar ia melihat dua buah perahu terapung-apung.
Ternyata bahwa di dalam perahu yang tidak beratap ia melihat Eng Eng rebah
miring seperti orang tidur, sedangkan seorang pemuda baju biru berlutut di
dekatnya sambil memegangi lengan kirinya. Ternyata pemuda itu adalah Tiong Kiat
yang sedang memeriksa luka di lengan Eng Eng!
Ketika tadi
Tiong Kiat mengejar, ternyata Oei Sun telah mendapatkan seekor kuda dan melarikan
Eng Eng dengan amat cepatnya ke utara. Maksud Oei Sun melarikan Eng Eng ialah
untuk dijadikan tanggungan agar ia dapat melarikan diri. Benar saja, ketika ia
bertemu dengan tentara mengepung di sebelah utara, ia dapat mengancam mereka,
akan membunuh Eng Eng kalau tidak diberi jalan. Di antara para perwira ada yang
sudah mengenal Eng Eng, maka terpaksa mereka melepaskan Oei Sun pergi.
Tiong Kiat
menjadi marah sekali dan biarpun tentara pengepung menghadangnya, ia mengamuk
dan dapat merobohkan beberapa orang tentara kerajaan dan dapat lolos dari
kepungan, lalu melanjutkan pengejarannya!
Ternyata
bahwa Tiong Kiat-lah yang tadi melepas api dan membakari gudang ransum dan
tenda-tenda. Pemuda ini demikian sakit hati karena telah ditipu dan dibujuk
sehingga ia membalas dendam dengan hebatnya. Kini biarpun ia amat lelah, ia
memaksa diri untuk melakukan pengejaran terhadap Oei Sun yang menggendong pergi
tubuh Eng Eng yang terluka.
Oei Sun tiba
di tepi Sungai Sungari dengan selamat. Ia merampas sebuah perahu dengan
mendorong nelayannya ke sungai, kemudian ia meletakkan tubuh Eng Eng di atas
perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai.
Ia tidak
tahu bahwa diam-diam Tiong Kiat mengikuti gerak-geriknya, dan tanpa diketahui
oleh Oei Sun, Tiong Kiat lalu menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang
menghampiri perahu itu. Alangkah kagetnya hati Oei Sun ketika tiba-tiba muncul
kepala Tiong Kiat di pinggir perahunya!
Sebelum ia
dapat menyerang, Tiong Kiat telah melompat ke dalam perahu dan dalam beberapa
gerakan saja Oei Sun roboh ke dalam sungai dengan kepala terbelah oleh pedang
Ang-coa-kiam!
Tiong Kiat
cepat minggirkan perahu itu. Beberapa orang nelayan yang melihat peristiwa ini
menjadi ketakutan dan melarikan diri, meninggalkan perahu-perahu mereka sehingga
di situ banyak terdapat perahu-perahu kosong di tepi sungai bergolek-golek
tanpa penumpang dan terikat pada sebatang patok. Tiong Kiat segera memeriksa
luka di lengan Eng Eng dan merobek baju pada lengan yang luka itu.
Melihat
jarum hitam itu masih menancap, ia lalu mencabutnya dan berkerutlah keningnya
melihat betapa luka itu menghitam dan membengkak. Ia lalu mendekatkan mulutnya
dan dihisapnya luka itu sehingga darah yang hitam membeku keluar dari luka itu
ke dalam mulutnya.
Beberapa
kali ia menyedoti luka di lengan itu dan sebagai orang yang sudah lama bergaul
dengan Thian It Tosu, ia membawa obat penawar Hek tok-ciam. Diambilnya obat
penawar yang berupa bubuk putih yang sudah basah kuyup itu, lalu ditempelkan di
atas luka setelah darah yang terkena racun telah disedotnya habis. Ia membalur
luka itu dengan kain pengikat kepalanya.
Pada saat
itu Eng Eng sadar akan tetapi masih pening. Gadis itu memandang muka pemuda
yang berlutut di dekatnya, lalu berbisik lemah.
"Han-ko…
kau baik sekali… alangkah jauh bedanya dengan adikmu yang jahat..." Lalu
gadis itu meramkan lagi kedua matanya dan bibirnya yang manis tersenyum.
Dua titik
air mata melompat keluar dari mata Tiong Kiat ketika ia mendengar bisikan ini.
la merasa ulu hatinya seperti ditikam pedang. Ia menyambar pedang Ang coa kiam,
mengamat-amatinya lalu berdiri di pinggir perahu. Dengan muka pucat ia
menengadah, lalu berkata keras.
"Ayah,
aku juga seorang perwira... seorang perwira gagah…" Lalu ia
menggerak-gerakkan pedang sambil bernyanyi, nyanyian yang dulu ketika kecil
sering ia nyanyikan bersama Tiong Han.
Pedang
telanjang di tangan berlumur darah musuh jahanam!
Anak panah
beterbangan bagai maut mengintai nyawa!
Pasukan
musuh di mana?
Serbu…! Maju
gembira!
Inilah tugas
tiap ksatria!
Mati? Hanya
gugur bagai bunga.
Aku hanya
ingin menang... menang!
Biar takkan
mendapat jasa
Biar takkan
menerima pahala.
Tidak perduli,
aku ingin menang!
Aku ingin
menjadi pahlawan
Seperti ayah
seperti ayah…!
Air mata
turun bagaikan hujan dari kedua matanya ketika berkali-kali ia menyebut bait
terakhir. "Seperti ayah… seperti ayah…!”
“Ayah, aku
ingin seperti engkau…akan tetapi aku… aku perwira pemberontak! Ha ha ha...
perwira pemberontak harus mampus!"
Setelah
tertawa seperti mayat hidup, ia mengerak-gerakkan pedang Ang-coa-kiam ke arah
lehernya.
"Tiong
Kiat…!" terdengar seruan keras dari pinggir sungai dan Tiong Han datang
berlari-lari. Pemuda inipun menumpahkan air mata ketika ia mendengar adiknya
bernyanyi tadi.
Tiong Kiat
menahan pedangnya dan menoleh. "Han-ko, kau perlu hidup, Eng Eng
mencintaimu. Berbahagialah kau dengan dia, Han-Ko!"
Pada saat
Tong Kiat berkata demikian Eng Eng baru saja sadar dan gadis ini mulai bangkit
dan duduk. Akan tetapi Tiong Kiat tidak melihat lagi karena ia telah mengayun
pedang yang kini menancap ke dadanya dan tubuhnya beserta pedang itu terjungkal
ke dalam air yang dalam!
Tiong Han
melompat ke dalam perahu dan hanya melihat air sedikit kemerahan. Ia berjongkok
dan dengan saputangannya, dihapus tiga titik darah dari Tiong Kiat yang tadi
jatuh di atas papan perahu. Kemudian ia menyimpan saputangan itu untuk bukti
kepada suhunya kelak dan duduk menghadapi Eng Eng.
Perahu itu
bergerak perlahan terbawa aliran air Sungai Sungari. Angin senja bertiup
perIahan, bermain-main dengan rambut kepala Eng Eng yang berjuntai dengan kacau
di atas jidatnya.
"Kau
sudah mendengar ucapan terakhir dari Tiong Kiat?" tanyanya.
Eng Eng
mengangguk diam. Akhirnya ia bertanya, "Kita ke mana, Han-ko?"
Tiong Han
terkejut menjawab. "Ke mana...? Ke… pantai bahagia, Eng-moi kau bersedia
bukan?"
Kembali Eng
Eng mengangguk diam. Keduanya menikmati rasa bahagia tanpa banyak cakap, perahu
meluncur terus dengan lancar!
T A M A T
Serial Selanjutnya : Pedang Pusaka Naga Putih
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment