Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 12
Kemarahannya
terhadap Tiong Kiat memuncak ketika ia bertemu dengan Lui Thian Sianjin dan
mendengar keluh kesah orang tua ini, lalu mendengar sepak terjang Tiong Kiat
yang jahat. Apalagi akhir-akhir ini ia mendengar betapa pemuda ini telah
melakukan kejahatan dengan menggunakan pedang Hui liong-kiam! Ia merasa
bertanggung jawab kalau pedang Hui-liong kiam sampai jatuh ke tangan penjahat.
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, setelah merampas pedang Hui liong-kiam dari
tangan penjahat Sin-kiam Koai-jin Ang Kun, murid murtad dari Lui-kong-jiu Kong
Kin Tosu, Pat jiu Toanio lalu memberikan pedang itu kepada seorang piauwsu yang
gagah, yakni Lui Siong Te. Kemudian Lui-piauwsu ini yang tertolong oleh Tiong
Han, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Han yang kemudian memberikannya
pula kepada Tiong Kiat sebagai penukar pedang Ang coa kiam.
Pat jiu
Toanio ketika mendengar bahwa pedang Hui liong-kiam dipergunakan oleh penjahat,
cepat mendatangi Lui piauwsu dan marah sekali. Kemudian ia mendengar bahwa pedang
itu oleh Lui piauwsu diberikan kepada seorang muda she Sim yang gagah perkasa.
Maka nenek ini lalu mengejar ke utara untuk mencari penjahat yang telah memakai
pedang itu dan untuk berbuat jahat dan tak disangka-sangka ia bertemu dengan
Tiong Han.
Betapapun
tinggi kepandaian Tiong Han, menghadapi Pat-jiu Toanio yang kepandaiannya masih
mengatasi Lui Thian Sianjin apa lagi bertangan kosong, tentu saja pemuda itu
menjadi sibuk sekali. la hanya dapat menghindarkan diri dari serangan nenek itu
selama dua puluh jurus saja dan pada jurut ke dua puluh satu, Pat jiu Toanio
berhasil menotok pundaknya dan robohlah Tiong Han tanpa dapat bergerak lagi. Ia
telah kena ditotok jalan darahnya dengan ilmu totok satu jari yang luar biasa
dan lemaslah semua tubuhnya seperti telah diloloskan semua urat-uratnya.
Pat jiu
Toanio tertawa lagi. la pukul-pukulkan tongkatnya di atas tanah dekat kepala
Tiong Han sehingga debu mengebul ke atas. "Hm, ingin sekali aku
menghancurkan kepalamu dengan tongkat ini. Akan tetapi kau harus membuat
pengakuan lebih dahulu di depan meja sembahyang, agar dosa-dosamu tidak terlalu
berat dan rohmu tidak terlalu tersiksa."
Tanpa
menanti jawaban, nenek ini lalu mengempit tubuh pemuda itu dengan tangan
kirinya dan berlarilah ia secepat angin menuju ke dalam hutan. Setelah tiba di
sebuah bio (kuil) kecil dan rusak, ia segera masuk dan melemparkan tubuh Tiong
Han ke depan meja sembahyang yang telah dibersihkan orang dan telah dipasangi
hio dan lilin. Dengan menepuk pundak dan punggung Tiong Han, Pat jiu Toanio
membebaskan pemuda ini. Tiong Han bangun dengan tubuh lemas.
"Hayo
berlutut di depan meja sembahyang!" bentak Pat-jiu Toanio dengan suara
keras dan bengis.
Tiong Han
hanya tersenyum lalu bangkit berdiri sambil berkata, "Pai jiu Toanio,
biarpun aku telah kau kalahkan dan berada di dalam kekuasaanmu jangan harap
untuk membuat aku menjadi ketakutan dan menurut saja sekehendakmu. Aku Sim
Tiong Han tidak takut mati!"
"Bangsat
sombong, berlutut kau!" kaki dari nenek ini dengan cara cepat dan luar biasa
sekali bergerak melakukan tendangan berantai yang tepat mengenai belakang lutut
Tiong Han. Pemuda ini merasa betapa tenaga kakinya lenyap dan terpaksa ia jatuh
berlutut di depan meja sembahyang!
"Bangsat
muda, jangan kau berani main-main di depan Pat jiu Toanio! Kau tidak tahu bahwa
perbuatan ini kulakukan untuk menolong rohmu yang tersesat! Kalau aku tidak
mengingat bahwa kau adalah murid Kim-liong-pai, apakah kau kira aku akan sudi
melelahkan diri seperti ini? Kupecahkan saja kepalamu di dalam hutan dan habis
perkara! Hayo sekarang kau mengakui semua perbuatanmu yang jahat, semenjak kau
melarikan diri bersama sumoimu dari Liong-san sampai sekarang. Setelah itu kau
harus minta ampun di depan meja sembahyang ini kepada Thian sehingga rohmu
takkan terlalu disiksa di neraka! Aku tidak menghendaki kau mati penasaran,
lebih baik kau mati dengan penuh kesadaran bahwa kematianmu ini untuk menebus
dosa!"
Akan tetapi
biarpun tahu bahwa ia takkan terhindar dari kematian di tangan nenek yeng lihai
dan galak ini, Tiong Han tetap tersenyum ketika berkata,
"Pat
jiu Toanio, apakah kau menghendaki aku mengakui kebohongan di depan meja
sembahyang? lngat, kaulah yang berdosa kalau membohong, karena kau yang
memaksaku!"
"Apa
maksudmu?" tanya nenek itu dengan sikap mengancam.
"Aku
memang benar murid dari Kim-liong-pai, akan tetapi aku tidak pernah melakukan
dosa-dosa yang kau sebutkan tadi."
"Bangsat,
berani benar kau membohong! Pengecut kau, berani berbuat tak berani bertanggung
jawab? Manusia seperti engkau ini sudah seharusnya dibikin mampus!"
Setelah
berkata demikian, Pat jiu Toanio lalu mengangkat tongkatnya hendak dipukulkan
ke arah kepala pemuda itu, adapun Tiong Han yang merasa bahwa melawan tiada
gunanya lagi, hanya meramkan kedua matanya.
"Li
suthai... tunggu!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dari dalam kuil
bobrok itu muncullah seorang pendeta wanita yang masih muda dan berwajah
cantik.
Pat jiu
Toanio menahan tongkatnya dan Tiong Han cepat menengok. Pemuda ini
membelalakkan kedua matanya memandang kepada pendeta wanita yang baru muncul
itu. Hatinya berdebar keras karena pada penglihatan pertama ia mengira bahwa
pendeta wanita yang muda dan jelita ini adalah Suma Eng! Akan tetapi setelah
bertemu pandang, tahulah ia bahwa biarpun pendeta wanita ini cantik dan
memiliki air muka hampir sama dengan Eng Eng, sesungguhnya bukan gadis gagah
itu.
"Li
Lan, mengapa kau menahanku membikin mampus penjahat ini?" tanya Pat-jiu
Toanio dengan pandang mata tajam penuh tanya. "Apakah bimbinganku selama
ini sia-sia belaka dan hatimu masih terisi oleh manusia jahanam ini?"
"Ah,
tidak, tidak! Harap jangan salah sangka, Li suthai! Teecu hanya ingin mencegah
pembunuhan yang salah alamat. Ketahuilah, pemuda ini sama sekali bukan Sim
Tiong Kiat!"
Pendeta
wanita ini memang Li Lan, bekas kekasih Tiong Kiat yang disia-siakan dan
kemudian dipungut murid oleh Pat jiu Toanio, Kalau lain orang dapat salah lihat
dan mengira Tiong Han orang lain, tidak demikian dengan Li Lan. Wanita ini
pernah mencinta Tiong Kiat dengan seluruh jiwa raganya, maka sekali lihat saja
ia akan mengenal apakah pemuda itu Tiong Kiat atau bukan.
Tadi ia
sedang berlatih diri dan bersamadhi di dalam kamar di kuil itu, akan tetapi
ketika mendengar bentakan-bentakan Pat-jiu Toanio dan jawaban lemah dari Tiong
Han, hatinya tertarik lalu ia melompat keluar. Sekali pandang saja biarpun
tadinya ia tertegun dan terkejut melihat persamaan rupa pemuda ini dengan bekas
kekasihnya, ia tahu bahwa pemuda ini bukan Tiong Kiat dan bahwa gurunya telah
salah lihat.
Pat-jiu
Toanio menjadi terkejut, lalu marah ketika mendengar seruan Li Lan tadi.
"Li Lan, jangan kau mencoba untuk menolong pengecut ini dari kematian.
Mataku belum buta dan sekali mau melihat orang, aku takkan melupakannya
lagi."
"Sungguh
Li suthai, pemuda ini bukan Tiong Kiat!" kata Li Lan yang segera
menghampiri Tiong Han sambil berkata, "Tiong Kiat pernah bercerita
kepadaku bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar, bukankah kau ini
orangnya?"
Tiong Han
masih saja tersenyum sedih dan biarpun ia tidak tahu siapa adanya gadis yang
mukanya seperti Eng Eng ini ia dapat menduga bahwa gadis inipun tentu seorang
bekas korban kebiadaban adiknya yang jahat.
"Kauw-nio
mengapa kau datang menghalangi Pat jiu Toanio yang hendak membunuhku? Biarlah
ia membunuhku kalau memang dia percaya bahwa aku adalah orang yang
dicari-carinya."
Pat jiu
Toanio melompat dengan muka pucat. "Apa? Betulkah kau bukan Sim Tiong Kiat
yang jahat itu?"
"Pat
jiu Toanio, tadi aku pernah menyebut namaku, akan tetapi agaknya kau terlalu
marah sehingga tidak memperhatikan. Aku adalah Sim Tiong Han, kakak dari Sim
Tiong Kiat yang kau cari-cari itu. Ketahuilah bukan hanya kau yang marah kepada
adikku itu, bahkan aku sendiri telah lama mencari-carinya akan tetapi akhirnya
bahkan menerima kekalahan dan hinaan daripadanya." Pemuda ini menarik
napas panjang dengan muka muram.
Dengan
tergopoh-gopoh, Pat-jiu Toanio lalu mengetuk kedua lutut Tiong Han untuk
menyembuhkan pemuda itu. "Aduh, maafkan aku yang sudah tua, anak muda!
Jadi kau ini murid Lui Thian Sianjin yang mendapat tugas mencari murid murtad
itu? Ada juga Lui Thian bercerita kepadaku, akan tetapi dia tidak mengatakan
bahwa kau adalah kakak dari si khianat itu dan bahwa mukamu sama benar dengan
penjahat muda itu."
"Toanio,
kami adalah saudara kembar, salahkah aku kalau muka kami bersamaan?"
Pat jiu
Toanio menghela napas berkali-kali, "Jadi kau telah bertemu dengan dia dan
dikalahkan? Karena itukah maka kau seperti orang nekad dan rela mati di bawah
tongkatku? Apakah kau sudah putus asa?"
"Benar,
Toanio. Tidak saja aku kalah, bahkan pedang pusaka Ang-coa kiam yang kubawa
terampas pula dan agaknya selama hidupku aku takkan dapat menunaikan tugas yang
dipercayakan oleh suhu kepadaku. Karena penjahat yang dikejar-kejar adalah adik
kembarku sendiri bukankah hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa aku sengaja
tidak mau menyerang adikku? Bahwa aku sengaja melindunginya?"
"Hm,
jangan gelisah dan kuatir, orang muda. Aku sudah sampai di sini, tunjukkan saja
di mana adanya adikmu yang jahanam itu. Aku yang akan menamatkan
riwayatnya!"
"Tidak
ada gunanya, Toanio. Tetap saja orang akan mengira bahwa aku melindungi adikku
sendiri. Pula, penangkapan atas diri Tiong Kiat harus kulakukan sendiri, tidak
boleh orang Iain. Betapapun juga, dia adalah adik kandungku, dan aku tidak rela
melihat dia binasa di tangan orang lain."
Pat-jiu
Toanio menggeleng-geleng kepalanya. "Kau orang muda yang aneh tapi jujur
dan berbudi mulia. Sim Tiong Han, kalau kau ingin mengalahkan adikmu mengapa
kau tidak minta belajar silat dari aku?"
Tiong Han
tertegun. Tak disangkanya bahwa nenek yang galak ini akan mau memberi pelajaran
ilmu kepandaian kepadanya. Tentu saja ia menjadi girang dan cepat menjatuhkan
diri berlutut.
"Kalau
suthai sudi menolong teecu, tentu saja teecu akan merasa girang dan bersyukur
sekali."
Terdengar
suara ketawa yang merdu dari nenek ini. "Anak lucu! Kalau gurumu melihat,
tentu kau akan ditegur mengapa tidak dari tadi-tadi minta belajar ilmu silat
dari padaku. Dulu ketika aku masih seringkali mengadakan pertemuan dan
mengobrol dengan gurumu tentang ilmu silat pernah kami mencoba kelihaian Ang
coa kiamsut yang menjadi kepandaian pusaka dari Kim-liong-pai. Pada waktu itu
kira-kira dua puluh tahun yang lalu memang aku tidak dapat memecahkan
bagian-bagian terakhir dari Ang-coa-kiamsut yang lihai. Pada waktu itu, selain
Hek-sin-mo orang aneh itu dan Lui-kong jin Keng Kin tosu tokoh dari Hong-san,
tak seorangpun dapat mengalahkan atau memecahkan Ang-coa-kiamsut. Akan tetapi,
selama ini aku mencari-cari dan akhirnya aku dapat menciptakan ilmu silat
tangan kosong yang terdiri hanya dari dua belas jurus yang kunamai Kong jiu cap
ji kun (Silat Tangan Kosong Dua Belas Macam). Biarpun hanya dua belas jurus,
akan tetapi kalau kau dapat mempelajarinya dengan baik kurasa dengan tangan
kosong kau akan sanggup menghadapi pedang di tangan adikmu itu!"
Tiong Han
merasa girang sekali dan mulai saat itu juga ia mempelajari ilmu silat itu di
kuil bobrok. Ternyata bahwa dua belas jurus pukulan itu ternyata mempunyai
perkembangan yang Iuas sekali dan Tiong Han harus akui kehebatan ilmu silat
ini. Selain ilmu silat ini, iapun menerima petunjuk-petunjuk tentang ginkang
dari nenek itu sehingga ilmu meringankan tubuh dari Tiong Han makin maju saja.
Selama lima
hari, terus menerus ia berlatih diri dan karena ia memang berbakat, dan telah
memiliki dasar ilmu silat tinggi, dalam waktu Iima hari saja ia telah dapat
mainkan Kong jiu cap ji-kun dengan amat baiknya. Pada senja hari kelima, Pat
jiu Toanio Li Bie Hong sengaja minta pemuda itu memperlihatkan ilmu silat yang
baru dipelajarinya itu, ditonton pula oleh Li Lan yang sementara itu telah
kenal baik dengan Tiong Han.
Pendeta
wanita ini amat suka kepada Tiong Han yang halus dan sopan santun dan diam-diam
ia mengakui betapa jauh perbedaan antara Tiong Han dan Tiong Kiat. Tiong Han
memenuhi permintaan gurunya yang baru dan ia berniat dengan bersungguh-sungguh,
mengeluarkan segala gerak tipu dari dua belas jurus ilmu silat itu.
"Bagus,
bagus, suci Bie Hong! Kong-jiu cap ji-kun yang kau ciptakan ini benar-benar
hebat dan kau mempunyai ahli waris yang benar-benar cocok dan pantas mewarisi
ilmu silat ini!"
Ucapan ini
dikeluarkan dan terdengar jelas, akan tetapi orangnya tidak kelihatan dan baru
setelah gema suaranya lenyap, berkelebatlah bayangan hitam dan tahu-tahu di
depan mereka berdiri seorang kate yang bermuka aneh dan berpakaian hitam
seluruhnya!
IniIah Lui
kong jiu Keng Kin Tosu, tokoh di Heng san yang berkepandaian tinggi sehingga
mendapat julukan Lui kong jiu atau Si Tangan Geledek! Usia orang ini sudah tua,
akan tetapi wajahnya nampak berseri, tanda bahwa ia adalah seorang yang
berwatak gembira. Semenjak dahulu ia memang menganggap Pat jiu Toanio sebagal
saudara tua, bahkan ia selalu memanggil 'enci' kepada nenek itu.
"Aha,
Keng Kin Tosu, baru sekarang kau muncul! Kukira kau akan bersembunyi di dalam
gua menanti kematianmu setelah kau kecewa karena salah menerima murid."
kata Pat-jiu Toanio yang kemudian berkata kepada Tiong Han dan Li Lan.
"Berilah
hormat kepada susiok kalian. Dia ini jelek-jelek adalah Lui-kong Jiu Keng Kin
Tosu, orang nomor satu dari Heng-san yang mempunyai kepandaian jauh lebih
tinggi dari pada aku sendiri!"
Li Lan tentu
saja belum pernah mendengar nama ini, dan ia memberi hormat karena gurunya yang
memperkenalkan. Akan tetapi Tiong Han sudah seringkali mendengar suhunya di
Liong-san menyebut-nyebut dan memuji setinggi langit nama Keng Kin Tosu ini,
maka dengan girang ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu kate itu.
Keng Kin
Tosu mengangguk-angguk. Dengan tangan kiri ia menjambret baju pada pundak Li
Lan dan sekali ia menarik, pendeta wanita muda ini tak terasa lagi terangkat
bangun karena ada tenaga raksasa terasa olehnya menarik tubuhnya ke atas.
Dengan tangan kanannya, tosu itu melakukan haI yang sama kepada Tiong Han, akan
tetapi pemuda ini yang maklum bahwa susiok yang aneh ini sedang mengujinya,
lalu mengerahkan tenaganya, maka segera terdengar suara kain robek. Ternyata
bahwa bajunya bagian pundak itu yang tidak dapat bertahan dan menjadi robek
terbawa oleh jepitan dua jari kakek itu.
Keng Kin
Tosu tersenyum dan kini ia tidak menggunakan jari tangan menjepit baju
melainkan menggunakan semua jari jari tangan kanannya untuk memegang pundak
Tiong Han dan ditariknya pemuda itu bangun. Kembali Tlong Han terkejut. Kalau
tadi ia merasa tenaga raksasa menarik bajunya, sekarang ia merasa betapa tangan
susioknya itu dingin seperti salju yang menempel dan menyedot pundaknya
sehingga ia merasa pundaknya membeku!
Cepat-cepat
ia mengerahkan sinkangnya yang disalurkan ke arah pundak kanannya dan ketika ia
merasa betapa tangan susioknya itu merupakan jepitan yang mencengkeram
pundaknya dan menariknya ke atas dengan tenaga yang tak terkira besarnya, ia
cepat mempergunakan tenaga Thi su-cui (Tenaga Gunung Baja) untuk memberatkan
tubuh sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar pada tanah!
Ketika tosu
itu nampaknya tertegun dan menahan kembali tenaganya mengangkat, Tiong Han
cepat mengalirkan Iweekangnya sehingga pundaknya yang masih tersentuh oleh jari
tangan Keng Kin Tosu itu tiba-tiba menjadi lemas seperti kapas!
"Ha ha
ha, bagus, bagus !" kata Keng Kin Tosu dan tiba-tiba sekali dua buah jari
tangannya menekan, disusul pula oleh jari tangan kiri yang kini memegang pundak
pemuda itu. "Bangunlah, anak muda yang gagah!" bentaknya.
Tiong Han
terkejut sekali karena betapapun ia mengerahkan lweekang, tetap saja jari-jari
tangan kakek itu dapat menembus pertahanannya, dan sedikit pencetan saja pada jalan
darah dipundaknya, seketika itu juga buyarlah semua tenaganya dan dengan mudah
tubuhnya terangkat ke atas! Namun karena Tiong Han memang sudah berjaga-jaga
dan terlatih baik, tubuhnya yang terangkat itu masih tetap berada dalam keadaan
berlutut!
Lagi-lagi
Keng Kin Tosu memuji. "Bagus sekali, sekarang awaslah tubuhmu akan
terbanting!" Sambil berkata demikian, orang tua ini menggerakkan kedua
tangannya dan tubuh Tiong Han mencelat ke atas sampai dua tombak lebih!
Tiong Han
terkejut sekali dan cepat ia mengerahkan ginkangnya, menggerakkan pinggang,
dibantu oleh kaki tangannya, sehingga tubuhnya yang tadinya terlempar ke atas
dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kini dapat berjungkir balik dan ketika
ia turun ke bawah, kedua kakinya seakan-akan tidak mengeluarkan suara
sedikitpun juga!
"Ha ha
ha, enci Bie Hong! Ternyata kau pun telah memberikan ilmu Teng-peng touw itu
kepada pemuda ini. Muridmu benar-benar hebat, enci!"
"Keng
Kin, sayangnya dia bukan muridku yang betul." kata Pat-jiu Toanio sambil
menghela napas, "aku hanya menyerobotnya saja dan memberi tambahan ilmu
silat karena merasa kasihan kepadanya. Dia ini sebetulnya adalah murid pertama
dari Lui Thian Sianjin, si tua bangka dari Liong-san itu."
Sepasang
alis yang masih hitam dari Keng Kin Tosu Si Tangan Geledek itu terangkat naik.
"Aku mendengar tentang murid Lui Thian yang tersesat dan murtad, seperti
halnya muridku si Ang Kun! Bukan yang inikah?"
"Bukan,
bukan, Keng Kin. Bukan yang ini melainkan adiknya. Kalau dia ini murid murtad
yang kau maksudkan itu tentu dia sudah binasa di tanganku seperti yang terjadi
dengan muridmu itu, Keng Kin!"
Tosu itu
tersenyum pahit. "Memang tanganmu keras sekali terhadap orang-orang muda
yang sesat, enci Bie Hong. Akan tetapi memang baik sekali. Siapakah pemuda ini
dan bagaimana bisa kejatuhan bintang, menerima warisan ilmu darimu?"
Dengan
singkat Pat jiu Toanio Li Bie Hong lalu menceritakan riwayat Tiong Han dan
tentang kegagalannya menangkap Tiong Kiat adiknya yang murtad itu. Mendengar
penuturan ini Keng Kin Tosu tergerak hatinya.
"Kasihan
Lui Thian Sianjin, mengalami nasib yang lebih buruk dari padaku. Muridnya tidak
saja jahat, bahkan mencemarkan nama baik Kim-liong-pai yang telah diangkat
tinggi oleh locianpwe Bu Beng Siansu. Lebih kasihan lagi pemuda ini yang harus
menjadi algojo dari adik kembarnya sendiri. Memang begitulah kehidupan di atas
dunia, anak muda isinya hanya penderitaan belaka. Akan tetapi kalau kau kuat
imanmu, segala macam cobaan dan penderitaan itu sesungguhnya ada manfaatnya.
Aku kasihan kepadamu dan merasa sudah menjadi kewajibanku untuk membantumu
mengalahkan adikmu yang jahat itu. Agaknya akupun mempunyai beberapa macam
kepandaian yang masih dapat menambah pengertianmu."
Tiong Han
menjadi girang sekali dan cepat cepat ia menjatuhkan dirinya berlutut lagi di
depan tosu kate yang aneh ini. "Banyak terima kasih teecu ucapkan atas
kemuliaan buat suhu. Tentu saja teecu akan menerima petunjuk-petunjuk suhu
dengan segala perhatian dan rasa syukur."
Demikianlah,
kembali dengan tekunnya Tiong Han menerima latihan-latihan beberapa macam ilmu
silat dari Keng Kin Tosu, dan seperti juga Pat jiu Toanio, Keng Kin Tosu
memberi pelajaran dari ilmu silatnya yang paling tinggi. Pemuda itu menerima
dua macam ilmu, yakni ilmu pukulan tangan kosong yang di sebut Pek-Iui
kong-cianghwat (Ilmu Silat Sinar Geledek Putih) dan ilmu pedang yang disebut
Kim-kong-kiamsut (Ilmu Pedang Sinar Emas). Juga dua macam ilmu silat ini dapat
dimainkan dengan baik sekali oleh Tiong Han setelah melatih diri selama tiga
pekan saja!
Keng Kin
Tosu menjadi amat girang dan setelah melihat pemuda itu menamatkan
pelajarannya, ia segera memanggil Tiong Han dan di depan Pat jiu Toanio, ia
berkata, "Enci Bie Hong, ternyata murid kita ini tidak mengecewakan.
Sebetulnya kedatanganku ini membawa berita yang amat penting, yang merupakan
panggilan bagi kita untuk turun tangan. Akan tetapi setelah melihat murid kita
ini, aku mendapat pikiran baik sekali. Sudah sepatutnya kalau dia yang mewakili
kita untuk tugas penting ini."
"Keng
Kin. jangan bicara seperti orang rahasia. Omonganmu seperti teka teki saja.
Hayo jelaskan, apakah itu yang kau maksudkan dengan tugas penting?" Pat
jiu Toanio mendesak dengan tak sabar lagi.
"Aku
mendengar berita dari seorang perwira bahwa kini terdapat panglima dengan
barisannya yang amat besar jumlahnya sedang merencanakan pemberontakan! Hal ini
berbahaya sekali karena pemberontak-pemberontak itu kabarnya bersekutu dengan
orang-orang Mongol di utara. Jendral Gak yang gagah perkasa itu kini memimpin
pasukannya untuk menggempur dan mencegah pemberontak-pemberontak itu melakukan
rencana mereka yang busuk. Oleh karena itu, kita harus membantunya dan sekarang
tidak ada jalan yang lebih tepat selain menyuruh Tiong Han mewakili kita."
Pat jiu
Toanio mengerutkan keningnya, "Sungguh menjemukan sekali pengkhianat itu.
Siapakah gerangan panglima pemberontak itu? Bagaimana dia bisa bersekutu dengan
bangsa asing untuk mencelakai negara sendiri? Sungguh tak tahu malu!"
"Aku
tidak mendengar siapa namanya, hanya menurut berita, ada orang-orang
Pek-Iian-kauw yang ikut menyokong gerakan itu."
"Apa!
Jahanam Pek-lian-kauw berani mengacau lagi! Ah, kalau begitu Tiong Han harus
pergi. Mereka harus dibasmi!" kata-kata Pat jiu Toanio ini amat
bersemangat sehingga diam diam Tiong Han menjadi kagum melihat betapa dua orang
tua ini masih demikian gagah dan bersemangat membela negara.
"Tentu
saja teecu bersedia untuk pergi melakukan tugas yang diperintahkan oleh jiwi
suhu." kata Tiong Han.
"Memang
seharusnya begitu, Tiong Han, jadi tidak percuma aku dan enci Bie Hong
mewariskan kepandaian kami kepadamu. Soal adikmu itu biarlah ditunda dulu saja.
Pertama karena adikmu adalah seorang perwira dan pada masa ini kita amat
membutuhkan tenaga perwira-perwira pembela negara. Kedua, tugasmu pergi
membantu Jenderal Gak ini jauh lebih penting daripada urusan pribadi. Setelah
tugas ini selesai, barulah kau selesaikan urusan dengan adikmu yang jahat
itu."
Tiong Han
tidak berani membantah dan ia lalu mendengarkan perintah suhu kate yang lihai
ini. la diharuskan menyusul barisan Jenderal Gak dan menawarkan bantuannya
untuk menghancurkan barisan pemberontak dan menyampaikan pesan bahwa Lui kong
jiu Keng Kin Tosu dan Pat jiu Toanio Li Bie Hong selalu memperhatikan
perjuangan menghancurkan pemberontak ini dan siap untuk turun tangan sendiri
apabila perlu!
Setelah
menerima banyak nasihat, berangkatlah Tiong Han mencari Jenderal Gak dan
barisannya. Mudah saja untuk mencari barisan jenderal Gak yang amat terkenal
ini, dan beberapa hari kemudian ia disambut oleh jenderal Gak sendiri yang
berkedudukan di lembah Sungai Sungari.
"Kebetulan
sekali, saudara Sim, memang kami membutuhkan tenaga bantuan orang-orang gagah
seperti kau ini. Aku girang sekali bahwa yang menyuruh kau datang membantu
adalah Lui-kong jiu Keng Kin Tosu dan Pat-jiu Toanio yang sudah kukenal baik.
Bahkan akupun mengenal baik suhumu Lui Thian Sianjin. Pihak musuh mempunyai
banyak sekali pembantu yang pandai dan kedudukan mereka amat kuat. Susahnya,
dalam waktu kacau ini, ada saja yang menjadi gangguan. Orang -orang jahat pada
muncul dan memancing ikan di air keruh. seperti halnya gerombolan Sorban Merah
yang bersembunyi di dalam hutan sebelah barat itu. Benar-benar menjemukan!
Mereka itu memang benar melakukan penyerbuan secara diam-diam terhadap fihak
pemberontak, akan tetapi aku paling tidak suka dengan bantuan pasukan liar itu.
Tanpa dipimpin, mereka itu bukan merupakan bantuan, bahkan mengacaukan
rencanaku."
Tiong Han
mendengarkan dengan sabar jenderal tua yang pandai bicara ini. Atau tetapi
mendengar disebutnya Sorban Merah ia menjadi tertarik sekali.
"Siapakah
yang menjadi kepala Sorban Merah ini, goanswe?"
"Siapa
tahu? Gerombolan liar ini macam itu siapa yang perduli? Akan tetapi mereka itu
benar-benar mengacaukan rencanaku. Sebetulnya aku memang sengaja memancing
pasukan pemberontak agar terus bergerak ke selatan tanpa diganggu. Kalau mereka
sudah menyeberangi Sungai Sungari barulah aku akan memotong jalan pulang mereka
sehingga dengan leluasa kita boleh membasminya. Siapa tahu Sorban Merah
gerombolan liar itu merusak rencana, melakukan serbuan-serbuan sendiri yang
tidak berarti sehingga menimbulkan kecurigaan barisan pemberontak yang hendak
bergerak ke selatan!"
"Mengapa
tidak membubarkan mereka saja?'" tanya Tiong Han.
"Itulah
sukarnya. Biarpun jumlah mereka tidak banyak namun ternyata rata-rata mereka
memiliki ilmu golok yang lihai dan kalau digunakan kekerasan, amat tidak baik.
Mereka bukan musuh dan kalau sampai terjadi pertempuran berarti kita mencari
musuh baru. Ini tidak bijaksana sekali."
"Goanswe,
maafkan kalau aku lancang. Akan tetapi, aku bersedia untuk menemui kepala
mereka dan membujuknya agar supaya tidak bertindak menurut kehendak
sendiri."
Gak goanswe
memandang tajam. "Kau sanggup?”
Tiong Han
tersenyum. "Tentu saja, goanswe. Malahan, kalau tidak salah aku tahu siapa
orang yang menjadi pemimpin mereka. Biarlah aku berangkat besok pagi-pagi dan
dalam sehari saja aku akan sanggup membuat laporan yang memuaskan. Kedua orang
guruku tidak percuma mengirim aku ke sini, Goanswe."
Jenderal itu
tidak tersenyum, akan tetapi wajahnya yang nampak keren dan galak itu berseri,
"Baiklah, besok pagi kau pergi dan sekarang mengasolah!"
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong Han sudah masuk ke dalam hutan sebelah
barat perbentengan bala tentara jenderal Gak. Benar saja seperti keterangan
yang ia dengar sebelumnya, hutan itu amat luas dan liar di sana sini nampak
gunung-gunung kecil yang menjadi benteng di pinggir Sungai Sungari yang lebar.
Beberapa
kali Tiong Han melihat bayangan orang berkelebat di balik pohon yang
besar-besar, akan tetapi ditunggu-tunggu tak seorangpun nampak muncul. Tiong
Han tersenyum dan melanjutkan perjalanan, masuk makin dalam di hutan itu,
bayangan-bayangan orang makin banyak, akan tetapi tetap saja tidak ada orang
muncul. Matanya yang tajam dapat melihat betapa bayangan-bayangan itu
benar-benar mengenakan Sorban Merah yakni ikat kepala terbuat daripada kain
merah, dan pada pinggang mereka tergantung golok.
Biarpun
bayangan-bayangan itu berkelebat cepat dan ia hanya melihat sekejap mata saja
namun ia telah dapat melihat dengan jelas. Hatinya makin berdebar. Tak salah
lagi, melihat pakaian dan ikat kepala mereka orang-orang ini adalah anak buah
dari sumoinya!
Bagaimanakah
mereka yang dulu tinggal di Heng-yang ini bisa sampai di tempat ini? Dan
bukankah sumoinya yakni Can Kui Hwa, dan suaminya, Siok Un Leng telah pindah ke
kota raja? Karena orang-orang itu main bersembunyi saja, dan ditunggu-tunggu
tak juga ada yang muncul akhirnya Tiong Han menjadi hilang sabar.
“Perkumpulan
Sorban Merah yang pernah kukenal biasanya terdiri dari orang-orang gagah. Akan
tetapi yang sekarang berada di hutan ini mengapa begini pengecut tidak berani
bertemu dengan orang? Apakah yang sekarang ini Sorban Merah palsu?”
Baru saja ia
menutup mulutnya, dari depan, belakang, kanan dan kiri bersiutan bunyi anak
panah yang menyambarnya dari balik pohon-pohon. Tiong Han menggeser kakinya
sehingga keadaan tubuhnya berubah. Dengan gerakan ini ia dapat mengelakkan diri
dari sambaran panah dari belakang dan depan.
Adapun dua
batang anak panah dari kanan kiri, dengan cara yang amat mengagumkan dapat
ditangkapnya dengan kedua tangan. Tiong Han mempergunakan tenaga jari-jari
tangannya mematahkan dua batang anak panah itu yang lalu dilemparkannya ke atas
tanah kemudian ia berseru Iagi.
"Aku
datang untuk bertemu dengan pemimpin Sorban Merah, bukan untuk mencari
permusuhan! Beginikah caranya Sorban Merah menyambut datangnya tamu? Hayo
keluarlah pemimpin Sorban Merah ataukah kalian menghendaki aku turun
tangan?" Ucapan ini sekaligus merupakan sesalan, bujukan, dan juga
ancaman.
Tiba-tiba
terdengar seruan keras dan sesosok bayangan hitam melompat keluar dari balik
sebatang pohon besar. Setelah bayangan ini berada di depan Tiong Han, pemuda
itu meIihat bahwa di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang
berwajah galak dan gagah sekali. Orang ini berpakaian ringkas berwarna hitam
dengan sorban warna merah darah dan golok besarnya tergantung di pinggang.
"Pemuda
liar dari manakah berani sekali memasuki wilayah kami dan mengeluarkan omongan
besar?” bentak orang bersorban merah ini.
Tiong Han
tersenyum dan cepat memberi hormat sambil menjura. "Sahabat, aku adalah
seorang utusan dari benteng Gak goanswe. Aku datang untuk bertemu dengan
pemimpin dari Sorban Merah."
Orang itu
memandang dengan mata curiga dan mulutnya menyeringai dengan mengejek. Ternyata
ia tidak mau percaya akan keterangan Tiong Han.
“Kau? Utusan
dari Jenderal Gak? Siapa mau percaya obrolanmu ini? Pakaianmu bukan seperti
seorang perwira atau perajurit. Jangan kau mencoba membohongi aku!” Kemudian
dengan sikap mengancam ia memandang tajam dan berkata, "Lebih baik kau
mengaku bahwa kau adalah seorang mata-mata dari barisan pemberontak!”
"Kau
benar-benar galak, sahabat. Sebaliknya, kau ini siapakah? Apakah kau juga
seorang anggaota Sorban Merah?" tanya Tiong Han sambil memandang ke arah
sorban yang berwarna merah darah itu.
Sepasang
mata yang lebar dari orang itu terputar merah. "Anggota biasa? Dengar,
pemuda bermata buta, aku adalah pemimpin pasukan Sorban Merah yang pada saat
ini telah mengurungmu! Aku adalah Louw Tek si Kerbau Besi, orang yang telah
menewaskan banyak sekali anggota pemberontak. Hayo lekas berlutut kurantai dan
kubawa menghadap kepada ketua kami!"
Tiba-tiba
Tiong Han tertawa geli. "Kukira pemimpin seluruh kesatuan Sorban Merah
tidak tahunya hanya pemimpin pasukan kecil saja. Eh, Low twako, aku bukan
seorang taklukan. Aku adalah utusan dari Jenderal Gak. Hayo jangan kau
main-main dan lekas antarkan aku kepada ketuamu."
"Orang
yang tidak mempunyai kepandaian tidak boleh dipercaya menjadi utusan Jenderal
Gak dan sama sekali tidak patut menghadap ketua kami sebagai tamu. Kalau kau
dapat menahan kedua kepalan tanganku, baru kau boleh menghadap sebagai tamu
ketua kami." Sambil berkata demikian, Louw Tek memperlihatkan sepasang
tinjunya yang besar dan kuat.
Tiong Han
tersenyum, "Begitukah? Baiklah kau boleh mempergunakan kepalanmu yang
seperti tahu lunaknya itu untuk memukulku sampai dua kali pukulan, akan tetapi
kaupun harus dapat mempertahankan diri dari pukulan balasanku."
"Boleh!”
Si Kerbau Besi menantang. "Siapa yang roboh, dia kalah!”
Memang Louw
Tek ini selain kasar dan jujur, juga mempunyai kesukaan berkelahi dengan siapa
saja yang ditemuinya, dan sebelum dikalahkan, ia tidak akan dapat merobah
sikapnya yang memandang ringan.
Tiong Han
berdiri tegak dan mengangkat dada. "Pukullah sesuka hatimu!"
Sebelum
memukul, Louw Tek memandang ke sekeliling lalu berkata dengan suara keras,
"Kawan-kawan perhatikan baik-baik, kalian menjadi saksi. Kalau orang ini
bermain curang, tentu dia mata-mata pemberontak dan lekas hujani anak panah!”
Kemudian ia
menghadapi Tiong Han, memasang kuda-kuda dan berseru keras,"Awas
pukulan!" Kedua lengannya bergerak cepat dan...
Bukk!
Bukk...!" dua kali kepalan tangannya bergantian jatuh di dada Tiong Han.
Akan tetapi
pemuda ini hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mengejapkan mata menerima
pukulan-pukulan itu. Tentu saja Si Kerbau Besi menjadi heran sekali.
"Sudah
kau pukulkah? Ah, aku tidak merasa sama sekali."
"Pemuda
sombong, coba kurasakan pukulan tanganmu yang seperti bubur itu!" kata
Louw Tek dengan muka merah dan ia memperteguh kuda-kudanya, melambungkan perut
dan dadanya sambil menahan napas!
Tiong Han
menjadi geli sekali. "Kau benar-benar seperti kerbau, bukan kerbau besi,
melainkan kerbau tanah lempung! Awas, rebahlah!"
Sambil
berkata demikian, Tiong Han mendorong dada orang itu dengan kedua tangannya
sambil mengerahkan sedikit tenaga dalamnya. Louw Tek mempertahankan diri, akan
tetapi sia-sia saja. Ia merasa seakan-akan diseruduk seekor gajah dan tanpa
dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting ke belakang seperti sehelai daun
kering tertiup angin!
Terdengar
seruan marah dan dari balik pepohonan berlompatan keluar orang-orang bersorban
merah yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Mereka ini mengurung Tiong Han
dengan sikap mengancam, bahkan ada beberapa orang telah menghunus golok. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Mundur
semua!”
Hebat sekali
pengaruh bentakan ini, karena bagaikan disengat ular berbisa, orang-orang itu
melompat ke belakang dengan terkejut, lalu berdiri dengan tegak dan sikap
menghormat. Bahkan Louw Tek yang masih meringis-ringis kesakitan sambil
mengurut pantatnya yang menimpa batu ketika terjatuh tadi, kini sudah berdiri
tegak dengan sikap hormat.
Tiong Han
menengok dan alangkah girangnya ketika ia melihat Kui Hwa dan Un Leng berlari
mendatangi sambil tertawa-tawa. Di belakang mereka berlari pula sepasukan
Sorban Merah yang diantaranya banyak sudah mengenal Tiong Han.
"Suheng…!”
Kui Hwa girang sekali dan berlari-lari menghampiri kakak seperguruannya. Juga
Un Leng menghampiri Tiong Han sambi1 tersenyum girang.
"Sumoi!
Saudara Un Leng! Sudah kuduga akan melihat kalian di sini." kata Tiong Han
dengan girang sambil memegang tangan Kui Hwa dan Un Leng.
Louw Tek dan
kawan-kawannya berdiri bengong dan menjadi pucat, akan tetapi Tiong Han yang
melirik ke arah mereka berkata kepada suami istri pemimpin pasukan Sorban Merah
itu.
"Sumoi,
anak buahmu benar-benar teliti sekali. Tidak mudah bagiku untuk meyakinkan
mereka bahwa aku tidak bermaksud buruk. Benar-benar kau mempunyai pasukan yang
berdisiplin, sumoi."
Bukan main
girang dan bersyukurnya hati Louw Tek dan anak buahnya mendengar ucapan Tiong
Han ini.
"Pangcu
(ketua), enghiong (orang gagah) ini adalah utusan dari Jenderal Gak!" kata
Louw Tek kepada Kui Hwa. "Akan tetapi sebelum mempercayainya dengan
membuta, saya telah mencobanya dulu, tidak tahu bahwa dia adalah suheng dari
pangcu. Mohon maaf."
"Tidak
apa, tidak apa. Lekas atur penjagaan dan biarkan kami bertiga bercakap-cakap di
sini."
Setelah
semua orang pergi, Kui Hwa lalu menuturkan kepada Tiong Han bahwa dia dan
suaminya, Un Leng, telah pindah ke kota raja. Akan tetapi, ketika mereka
mendengar bahwa ada barisan penjaga tapal batas utara memberontak, ia lalu
bersama suaminya mengumpulkan semua bekas anggauta Sorban Merah dan membentuk
pasukan untuk melakukan perang gerilya dan mengganggu barisan pemberontak itu.
"Dengan
jalan ini aku hendak menebus semua kesalahan-kesalahanku yang dahulu twa-suheng."
kata Kui Hwa.
"Bukan
itu saja, memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai putera ibu pertiwi untuk
mengabdi dan membela tanah air, mengusir pengacau-pengacau yang hendak merusak
keamanan negara dan bangsa." kata Un Leng.
Tiong Han
menjadi terharu sekali. "Kalian memang orang-orang yang baik dan pantas
sekali menjadi suami istri. Akan tetapi, sumoi, mengapa kau dan suamimu tidak
mau menggabungkan pasukanmu dengan pasukan pemerintah di bawah pimpinan
Jenderal Gak? Bukankah dengan persatuan, maka kekuatan akan menjadi lebih
besar?”
"Siapa
yang dapat mempercayai barisan pemerintah, suheng? Barisan pemberontak yang
bergerak dari utara pun tadinya barisan pemerintah. Sesungguhnya, pada waktu
sekarang ini sukar sekali untuk membedakan mana pemberontak dan mana pengawal
negara yang setia!"
Tiong Han
menghela napas, kemudian berkata, "Kata-katamu memang merupakan kenyataan
yang amat pahit, sumoi. Akan tetapi, percayalah kepadaku bahwa Jendral Gak
benar-benar adalah seorang panglima yang berjiwa besar dan setia kepada negara.
Kalau tidak, masa kedua orang guruku menyuruh aku datang kepadanya?"
Setelah
Tiong Han menuturkan riwayatnya secara singkat, Kui Hwa dan suaminya tidak
membantah lagi dan berbondong-bondonglah anggota Sorban Merah yang jumlahnya lima
puluh orang lebih itu berbaris mengikuti Tiong Han, Kui Hwa, dan Un Leng menuju
ke benteng tentara pemerintah.
Tentu saja
Jenderal Gak menjadi tertegun melihat betapa pemuda itu benar telah kembali
pada senja harinya sambil membawa serta semua anggota Sorban Merah. Akan tetapi
ketika ia mendengar bahwa pemimpin pasukan gerilya ini bukan lain adalah sumoi
sendiri dari Tiong Han, ia tertawa bergelak.
"Memang
murid-murid dari Lui Thian Sianjin di Kim-liong-pai ternyata gagah perkasa dan
berjiwa patriot sejati. Hanya sayangnya aku mendengar bahwa ada juga murid dari
orang tua itu yang murtad dan sesat."
"Murid
itu adalah adik kembarku, Goanswe!" kata Tiong Han.
Jenderal Gak
memandang tajam sekali dengan pandang mata penuh selidik, kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
"Sesungguhnya
aku sudah tahu akan hal itu, saudara Sim yang baik. Jawabmu yang singkat tadi,
yang menyatakan pengakuanmu, sekarang melenyapkan keraguan hatiku. Tadinya aku
curiga dan sangsi sebagaimana yang harus kulakukan sebagai seorang petugas yang
berhati-hati. Aku curiga kepadamu, karena siapa tahu kalau-kalau kau tidak
memihak kepada adik kandungmu sendiri? Nah sekarang kujelaskan bahwa adikmu
yang jahat itu sekarang bahkan menjadi tangan kanan dari pemimpin
pemberontak."
Hal ini sama
sekali tidak pernah diduga-duga oleh Tiong Han, maka mendengar keterangan ini
hampir saja ia melompat.
"Apa?
Dan belum lama ini aku bertemu dengan dia dibenteng panglima Oei!"
"Justru
Oei ciangkun atau Oei Sun itulah pemberontaknya! Dia adalah bekas pemimpin
Pek-lian-kauw, sekarang mengadakan pemberontakan dengan bantuan Go bi Ngo-koai
tung yang sesungguhnya dahulu adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang
dikejar-kejar oleh pemerintah. Dan celakanya, sekarang adikmu sendiri, Ang coa
kiam yang namanya terkenal itu menjadi pembantunya pula.
Ketika Tiong
Han mengerling ke arah Kui Hwa, ia melihat adik seperguruannya ini hanya duduk
mendengarkan sambil menundukkan mukanya.
Jenderal Gak
yang banyak pengalaman dalam hal peperangan dan memiliki siasat yang lihai,
sengaja melakukan gerakan memancing yang disebut 'memancing serigala memasuki
perangkap'. Ia hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja terhadap barisan
Oei Sun, dan pasukan-pasukan kecil inipun dipimpin oleh perwira-perwira
rendahan, pertempuran dilakukan sambil mundur sehingga Oei Sun makin besar hati
dan mengejar terus ke selatan.
Bahkan
dengan sengaja Jenderal Gak lalu membuat pertahanan yang amat lemah di sebelah
utara Sungai Sungari hanya terdiri dari seribu orang tentara. Di tempat itu,
Jenderal Gak menyuruh orang-orangnya membuat perahu sebanyak-banyaknya untuk
memancing Oei Sun. Ternyata pancingannya ini berhasil dan Oei Sun yang
mendengar tentang pembuatan perahu ini, diam-diam merasa girang sekali.
"Jenderal
Gak ternyata seorang yang bodoh." katanya sambil tertawa, "kita ingin
menyeberang dan sekarang dia yang membuatkan perahu. Ha ha ha!" Juga Go bi
Ngo koai tung tidak mempunyai dugaan buruk.
"Biarkan
mereka membuat perahu sampai banyak dan cukup, baru kita datang
merampasnya." kata Thian It Tosu.
Tentu saja
percakapan mereka ini terjadi di luar tahunya Tiong Kiat yang masih belum sadar
bahwa ia telah salah memilih tempat. Pemuda ini kurang memperhatikan keadaan
kawan-kawannya, bahkan ia tidak memperdulikannya lagi. Yang penting baginya
ialah bermain dengan Ang Hwa, memburu binatang bersenda gurau atau bermain
pedang!
Kurang lebih
tiga pekan kemudian, ketika perahu-perahu yang dibuat oleh orang-orang jenderal
Gak sudah banyak, menyerbulah barisan yang dipimpin oleh Oei Sun sendiri.
Karena barisan ini jauh lebih besar jumlahnya, juga karena barisan jenderal Gak
sudah dipesan lebih dulu agar jangan banyak melakukan perlawanan dan
mengundurkan diri melalui darat di sepanjang lembah Sungai Sungari sambil
meninggalkan semua perahu, maka pertempuran tidak berjalan lama dan semua
perahu telah dapat terampas oleh Oei Sun! Korban yang jatuh tidak banyak,
karena memang pasukan-pasukan pembuat perahu itu tidak melakukan perlawanan
gigih.
Demikianlah,
dengan girang sekali pasukan-pasukan Oei Sun lalu mempergunakan perahu-perahu
itu untuk menyeberangi sungai dan mendaratlah mereka semua di pantai selatan
dengan selamat. Dengan semangat penuh dan harapan besar Oei Sun lalu
menggerakkan barisannya maju ke selatan!
Sama sekali
Oei Sun tidak menduga tidak lama setelah barisannya menyeberangi Sungai
Sungari, nampak pasukan-pasukan lain yang besar jumlahnya berkumpul dan membuat
pertahanan di tepi sungai sebelah selatan. Inilah barisan-barisan yang sengaja
disediakan oleh Jenderal Gak untuk menghadang jalan pulang dari barisan
pemberontak itu apabila kelak dipukul mundur!
Tiga hari
kemudian, barulah barisan pemberontak yang jumlahnya telah meliputi sepuluh
ribu orang itu menghadapi perlawanan hebat dari Jenderal Gak! Nampak puluhan
ribu tentara kerajaan berbaris menghadang perjalanan di sebelah selatan.
Bendera kerajaan berkibar-kibar dan bendera besar yang bertuliskan huruf 'Gak',
amat megahnya berkibar di mana-mana, tanda bahwa barisan-barisan itu berada di
bawah pimpinan Jenderal Gak.
Melihat
besarnya barisan musuh Oei Sun lalu membuat aba-aba berhenti dan pasukannya lalu
diatur membuat pertahanan yang kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang beberapa
orang perajurit penyelidik yang dengan wajah pucat membuat laporan bahwa
terdapat banyak sekali tentara musuh di belakang, di kanan dan di kiri.
Pendeknya, secara tidak terduga sekali barisan mereka telah terkepung oleh
barisan-barisan yang besar jumlahnya dari tentara kerajaan yang mengibarkan
bendera Gak!
"Jahanam
besar! Jenderal Gak telah memancing dan memperdayai! Kita harus melawan
mati-matian dan memerintahkan membuat tenda-tenda dan sekitar tempat itu
dikurung oleh penjaga-penjaga yang merupakan benteng penjagaan amat kuat.
Sementara
itu, Tiong Han yang menyaksikan kelihaian siasat dari Jenderal Gak ini, merasa
amat kagum. Ia mengerti bahwa memang dalam sebuah perang besar, tidak boleh
terlalu menurutkan perasaan sendiri atau dipengaruhi oleh urusan pribadi. Kalau
tadinya ia berlaku nekad dan menerjang benteng musuh untuk mencari adiknya,
tentu siasat dari Jenderal Gak ini akan terancam bahaya dan musuh mungkin akan
merasa curiga. Setelah keadaan musuh terkurung, ia lalu menghadap Jenderal Gak
dan bertanya.
"Gak
goanswe, mengapa tidak terus memukul hancur mereka saja? Mau menanti apa lagi?
Aku sudah tidak sabar untuk segera membekuk adikku yang jahat!"
Gak goanswe
tersenyum, "Saudara Sim, Pasukan-pasukan yang kita kurung itu tadinya
adalah anak buah dari barisan kerajaan sendiri, jadi kawan-kawanku juga.
Sekarang mereka diselewengkan oleh Oei Sun, mungkin dalam keadaan tidak sadar,
atau dalam keadaan terpaksa. Mengapa mesti membasmi mereka semua?
Barisan-barisan itu merupakan tubuh dan ekor dari seekor ular. Ke mana saja
kepalanya bergerak, tubuh dan ekor akan mengikutinya. Kalau yang menjadi biang
keladinya dapat dibasmi kurasa semua prajurit itu akan dapat diinsafkan dari
kesesatan mereka. Buat apa harus bunuh-membunuh antara saudara dan kawan-kawan
sendiri?”
"Habis
apakah yang akan dilakukan sekarang? Apakah menanti sampai mereka mencari jalan
keluar dengan kekerasan?"
Jenderal itu
menggeleng-geleng kepalanya. "Kita kurung mereka dengan rapat sampai
mereka kehabisan ransum. Kalau mereka mencari jalan keluar, kita pukul mereka
kembali lagi di dalam kurungan. Kita akan mengurung terus sampai mereka
menyerah, yakni Oei Sun dan kaki tangannya."
"Jadi
kita memberi syarat, yakni penyerahan diri dari Oei Sun dan kaki
tangannya?"
Jenderal tua
itu mengangguk. "Dan kaulah yang akan menjadi utusanku!"
"Aku?"
"Ya,
kaulah orangnya saudara Sim. Tidak ada utusan yang lebih baik daripada engkau
sendiri. Kau pandai menjaga diri dan kalau seandainya mereka mengganggumu dan
menahanmu, barulah aku akan turun tangan. Akan tetapi kurasa Oei Sun takkan
begitu bodoh mengorbankan keselamatannya untuk mengganggumu seorang."
"Baik,
Gak-goanswe. Akan tetapi…"
"Tentang
adikmu?”
"Ya,
bagaimanakah kalau aku bertemu dengan dia? Bolehkah aku turun tangan?”
Gak-goanswe
menggelengkan kepalanya. "Jangan saudara Sim. Hal itu hanya akan
mengakibatkan pertempuran dan kedudukanmu sebagai utusan terancam. Utusan tidak
boleh diserang dan juga tidak boleh menyerang fihak tuan rumah. Ingat, kita
dalam keadaan perang, tidak boleh menurutkan nafsu hati mengurus urusan
pribadi."
Tiong Han
menarik napas panjang, "Baiklah, akan kuperhatikan baik-baik."
Demikianlah,
setelah menerima pesanan-pesanan dari Gak-goanswe bagaimana harus bicara
terhadap Oei Sun, pada pagi hari keesokan harinya Tiong Han berangkat. Ia
mengenakan pakaian ringkas warna putih dengan leher baju biru, ikat kepala
hijau muda. Ia tidak membawa senjata karena memang semenjak menerima gemblengan
ilmu silat dari Pat jiu Toanio dan Lui kong-jiu tak perlu lagi ia mengandalkan
bantuan senjata! Yang dibekalnya hanyalah sehelai bendera putih yang
bertuliskan huruf GAK dan dibawahnya bertuliskan huruf UTUSAN.
Dengan
gerakan kaki ringan dan cepat sekali Tiong Han memasuki daerah terkepung.
Markas dari Oei Sun terletak sedikitnya lima lie dari tempat kepungan dan untuk
menuju ke markas kepala pemberontak itu, Tiong Han harus melalui daerah
berhutan yang cukup liar. la berjalan sambil membayangkan bagaimana nanti
penerimaan Tiong Kiat kalau bertemu dengannya. la masih sukar untuk dapat
percaya bahwa adiknya itu kini telah menjadi pembantu kepala pemberontak.
Ia dapat
mengenal watak Tiong Kiat. Memang benar semenjak kecil adiknya ini nakal, mudah
marah, akan tetapi gembira dan tidak licik. Harus diakui bahwa setelah dewasa
Tiong Kiat mempunyai watak buruk dan mata keranjang akan tetapi adiknya itu
diam-diam masih menjunjung tinggi ayah mereka. Sejak kecil Tiong Kiat begitu
bangga nampaknya apabila membicarakan ayah mereka yang kabarnya dahulu menjadi
panglima gagah!
"Tiong
Kiat, Tiong Kiat… sekali ini aku tidak dapat mengampunimu…" keluhnya.
Ia maklum
bahwa kalau sekali lagi bertanding, ia pasti akan dapat memukul mati adiknya
itu, karena ilmu-ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari kedua orang
gurunya yang baru memang khusus untuk memecahkan Ang-coa kiam.
la tahu
dengan baik bagaimana harus mengalahkan Tiong Kiat, dan pukulan-pukulan yang
dipelajarinya bukanlah pukulan biasa-biasa, melainkan pukulan-pukuIan maut yang
takkan dapat ditahan pula oleh Tiong Kiat!
Ketika ia
telah tiba di pinggir hutan dan puncak-puncak tenda barisan pemberontak telah
nampak samar-samar, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi. Cepat Tiong
Han lari ke tempat itu dan alangkah terkejut dan herannya ketika ia melihat
tiga orang sedang berhadapan, yakni Eng Eng, Tiong Kiat, dan seorang nyonya
cantik yang tidak dikenalnya! Bagaimana Eng Eng bisa sampai di tempat itu?
***************
Marilah kita
mengikuti sebentar perjalanan Eng Eng sebelum tiba di tempat itu yang membuat
Tiong Han berdiri di belakang pohon sambil berdiri bengong saking herannya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan Eng Eng bersama ayah angkatnya,
yakni Piloko kepala suku bangsa Cou, turun dari gunung di mana seluruh keluarga
Cou bertahan dari serangan orang-orang Ouigour dan lain-lain.
Piloko
mengajak anak angkatnya menuju ke kota raja untuk menghadap kaisar dan
menyampaikan protes tentang bantuan tentara kerajaan yang menyerang orang-orang
Cou membantu orang Ouigour bertindak sewenang-wenang.
Tanpa banyak
halangan kedua orang ini tiba di kota raja dan dengan mudah Piloko yang sudah
dikenal itu diterima oleh Kaisar Tai Cung sendiri. Sebagai anak angkat Piloko,
Eng Eng juga diperkenankan masuk menghadap kaisar sehingga gadis ini menjadi
bingung dan sungkan-sungkan memasuki ruangan yang indah dan menghadapi
keagungan kaisar itu.
Akan tetapi,
apa yang mereka dengar dari kaisar benar-benar merupakan guntur di siang hari.
Dari kaisar, Piloko dan Eng Eng mendengar tentang pemberontakan Oei Sun dan
bahwa tentara kerajaan yang membela Huayen-khan itu sebetulnya adalah
pemberontak-pemberontak yang bersama Huayen-khan merencanakan penyerbuan ke
kota raja!
Akan tetapi
kaisar menghibur mereka sambil menyatakan bahwa kini barisan besar yang
dipimpin oleh Gak goanswe telah mulai bergerak untuk menghancurkan pemberontak
itu berikut tentera yang dipimpin oleh Huayen-khan. Bahkan dianjurkan kepada
Piloko untuk menggabungkan anak buahnya dengan Gak goanswe untuk bersama-sama
memerangi para pemberontak dan orang orang Ouigour.
Piloko
keluar dari istana kaisar dengan hati lega ternyata bahwa kaisar tidak memusuhi
bangsanya. Akan tetapi Eng Eng keluar dengan hati panas sekali. Kebenciannya
terhadap Tiong Kiat memuncak setelah ia mengetahui bahwa pemuda yang dibencinya
itu ternyata adalah seorang pemberontak.
Ia minta
kepada ayah angkatnya agar supaya pulang lebih dulu, karena ia hendak menyusul
Jenderal Gak dan hendak membantunya menghancurkan pemberontak. Pertemuan Eng
Eng dengan kaisar membangunkan semangatnya, demikian katanya kepada Piloko.
Padahal yang benar merupakan dorongan kepadanya ialah keinginannya hendak
membalas dendam kepada Tiong Kiat dan ia merasa kuatir kalau-kalau ia didahului
oleh orang lain!
Kalau sampai
barisan pemberontak itu dapat dihancurkan oleh Gak goanswe dan Tiong Kiat
binasa dalam perang, bukankah ia selamanya akan merasa kecewa tidak dapat
membalas orang itu dengan kedua tangannya sendiri?
Piloko tidak
merasa keberatan sungguhpun ia merasa menyesal tidak dapat mengawani anak
angkatnya itu karena keluarga-keluarga Cou di atas bukit itu harus
dilindunginya, maka berangkatlah Eng Eng menuju ke utara terus mencari
barisan-barisan dari Jenderal Gak. Ketika ia melihat dan mendengar betapa
barisan pemberontak itu telah terkurung di sebelah selatan Sungai Sungari, ia
menjadi girang sekali.
Tentu Tiong
Kiat berada di dalam daerah terkurung itu, pikirnya. Lebih baik aku mendahului
Jenderal Gak, sebelum pemberontak diserang dan dihancurkan, aku lebih dulu
memasuki daerah terkurung untuk mencari jahanam itu!
Dengan
pikiran ini, Eng Eng lalu mempergunakan kepandaiannya di waktu malam gelap ia
menerobos masuk ke dalam daerah kepungan tanpa dapat terlihat oleh para penjaga
yang mengepung daerah itu. Gadis yang berani ini lalu melewati malam di dalam
hutan dan begitu malam gelap telah terusir pergi oleh sinar pagi, ia lalu keluar
dan hutan untuk mulai usahanya mencari Tiong Kiat.
Memang sudah
menjadi kehendak Thian bahwa hari itu harus terjadi peristiwa besar-besaran.
Dengan cara kebetulan sekali, pada pagi hari itu Huayen-khan dan Ang Hwa naik
kuda memasuki hutan itu berdua saja. Eng Eng segera bersembunyi dan diam-diam
menghampiri mereka ketika kedua orang ini menahan kuda dan turun lalu
bercakap-cakap di bawah pohon-pohon yang rindang.
"Ang
Hwa, ternyata Oei Sun yang tolol itu telah membawa kita kepada kehancuran!
Seluruh barisan telah terkurung. Kita harus berdaya untuk melepaskan diri,
isteriku.”
"Enak
saja kau bicara. Bagaimana kita bisa melepaskan diri dalam keadaan terkurung
seperti ini? Paling baik kita berusaha sekuat tenaga untuk membantu Oei
ciangkun mencari jalan keluar!"
"Bodoh!
Mana bisa kita melawan Gak goanswe? Tidak tahukah kau bahwa Gak goanswe
memiliki kepandaian tinggi dan para perwiranyapun gagah perkasa? Lebih baik
begini, Ang Hwa, aku dan kau diam-diam melarikan diri dan menyerah kepada Gak
goanswe?"
"Tentu
saja kita akan dihukum sebagai pemberontak."
"Belum
tentu. Kita bisa menggunakan alasan bahwa kita telah dibodohi oleh Oei Sun dan
tokoh-tokoh Pek-lian-kauw itu."
Sebelum Ang
Hwa menjawab, berkelebat bayangan biru dan tahu tahu Tiong Kiat telah berdiri
di hadapan mereka! Wajah pemuda ini membuat Huayen khan memandang pucat.
"Pengkhianat,
apa katamu tadi?" pemuda ini membentak. Ternyata bahwa kepandaiannya yang
tinggi membuat kedatangannya tidak diketahui oleh Huayen khan dan Ang Hwa.
Tentu saja
Eng Eng yang masih bersembunyi dapat mengetahui kedatangan pemuda ini dan
hatinya berdebar keras. Ingin sekali ia melompat keluar dan menyerang pemuda
yang dibencinya ini, akan tetapi ia hendak melihat dulu apakah yang akan
terjadi antara tiga orang itu. Ternyata bahwa sampai saat itupun Tiong Kiat
masih belum sadar bahwa yang mengurung mereka adalah tentara kerajaan yang
asli.
Menurut
keterangan Oei Sun, yang mengurung adalah tentara Gak yang memberontak dan
mereka menanti datangnya bala bantuan yang datangnya dari kota raja! Dan tadi
ia hanya mendengar sebagian saja ucapan Huayen khan yakni bagian di mana Huayen
Khan menyatakan hendak menyerah kepada Jenderal Gak. Tentu saja ia menjadi
marah sekali.
Ketika Ang
Hwa melihat munculnya kekasihnya ini, ia cepat mendekati Tiong Kiat, merangkul
lengannya dan dengan manja dan genit ia berkata, "Tua bangka ini hendak
mengkhianati kita dan hendak menyerah kepada musuh!"
Huayen khan
tertawa bergelak dan kumisnya berdiri saking marahnya. "Perempuan busuk
dan rendah!" makinya. Ia ingin mengeluarkan banyak kata-kata, akan tetapi
hanya terengah-engah saking marahnya. Cepat ia mengeluarkan busurnya dan segera
tersusul oleh suara menjepretnya lima batang anak panah ke arah Ang Hwa!
Tiong Kiat
sudah maklum akan kelihaian anak-anak panah kepala suku Ouigour ini maka sejak
tadi ia telah mencabut pedangnya. Sekali cabut ia telah mengeluarkan dua buah
pedang, yakni pedang Ang coa kiam di tangan kanan dan pedang Hui-liong kiam di
tangan kiri.
Di tempat
persembunyiannya, Eng Eng menjadi pucat, ia mengenal pedang yang dulu dibawa
oleh Tiong Han. Sekarang pedang ini berada di tangan Tiong Kiat. Apakah yang
telah terjadi dengan Tiong Han??
Dengan
sekali menggerakkan kedua pedangnya, semua anak panah dari Huayen khan dapat
dipukul jatuh oleh Tiong Kiat yang tertawa menyindir. "Huayen-khan, kau
benar-benar pengecut besar! Ternyata kau hanya pandai menggunakan anak-anak
panah terhadap kawan sendiri. Pengkhianat dan pengecut!"
"Orang
she Sim! Kaulah yang pengecut dan manusia tidak tahu malu! Telah lama kau
mempermainkan istri orang, apakah hal ini patut dilakukan oleh seorang gagah?
Ha ha ha, manusia macam kau mau menganggap diri sebagai seorang gagah seorang
patriot, seorang perwira… ha ha ha, seorang perwira? Sungguh lucu!" Ia
menggerakkan kedua tangannya lagi dan menjepretlah gendewanya, melayangkan Iima
buah anak panah lagi, ke arah Tiong Kiat dengan hebatnya.
Tiong Kiat
yang menjadi amat merah mukanya mendengar makian dan ejekan tadi memutar kedua
pedangnya dengan cepat dan setelah lima batang anak panah itu dapat
diruntuhkan, ia lalu menyerbu ke depan sambil berseru,
"Huayen
khan, manusia hina dina! Kubunuh kau, bangsat tua bangka!"
"Benar,
Sim-taihiap, bunuh saja monyet tua ini. Aku sudah bosan melihat macamnya!” kata
Ang Hwa yang juga menjadi merah mukanya.
Huayen khan
kembali tertawa bergelak, mencabut golok besarnya dan melawan mati-matian. Akan
tetapi memang ia bukan tandingan Tiong Kiat yang kini sudah memiliki Ang coa
kiamsut seluruhnya. Baru belasan jurus saja Huayen khan tak kuat melawan lagi
dan ketika Tiong Kiat menyerangnya dengan gerak tipu Ang coa kan goat (Ular
Merah Mengejar Bulan) terdengar teriakan ngeri dan Huayen khan roboh mandi
darah dengan ulu hati tertembus pedang Ang coa kiam!
Kepala suku
bangsa Ouigour ini tewas pada saat itu juga, menjadi korban daripada
keserakahannya sendiri hendak menguasai Tiongkok dengan mengorbankan istrinya
sendiri menjadi permainan orang!
Ang Hwa
menjadi girang sekali dan nyonya muda yang cantik ini lalu memeluk dan
merangkul leher Tiong Kiat, dan diciumnya muka pemuda itu dengan penuh kasih
sayang.
"Koko
yang baik, sekarang aku bisa menjadi isterimu!” katanya dengan manja dan genit.
Pada saat
itu, Eng Eng yang sudah tak dapat menahan sebalnya menyaksikan peristiwa yang
amat rendah itu, melompat keluar dengan pedang di tangannya.
"Iblis
bermuka manusia, orang she Sim, di sinilah aku harus melenyapkan kau dari muka
bumi. Manusia tak tahu malu, yang membunuh orang dengan kejam setelah bermain
gila dengan istrinya! Cih, di dunia tidak ada keduanya laki-laki macam kau yang
bermoral bejat ini!”
Tiong Kiat
tidak saja amat terkejut ketika melihat Eng Eng muncul, juga dampratan gadis
ini membuat ia menjadi pucat dan tertegun. Ia menggerakkan pundaknya sehingga
pelukan dan rangkulan kedua tangan Ang Hwa terlepas. Dengan muka merah Tiong
Kiat berkata kepada Eng Eng.
"Ah
kiranya Suma siocia! Aku... Jangan menyangka yang bukan-bukan, nona. Orang
ini... dia adalah Huayen khan yang hendak memberontak dan mengkhianati
kawan-kawan sendiri. Dia hendak menyerahkan diri kepada pemberontak dan...
dan…" Tiong Kiat menjadi bingung dan gagap karena tiba-tiba teringat
bagaimanakah nona Suma Eng ini bisa masuk ke daerah yang terkurung itu!
"Pandai
saja memutar lidah! Kau kira aku tidak mendengar semua yang diucapkan tadi? Kau
kira aku tidak tahu bahwa perempuan kotor ini adalah isteri dari orang yang kau
bunuh itu? Dan bahwa kau membunuhnya karena hendak merebut isterinya? Dan bahwa
kau adalah seorang pemberontak yang hina dina, seorang yang sepuluh kali lebih
patut dihukum gantung?”
Untuk sesaat
Tiong Kiat tak dapat menjawab dan pada saat itulah muncul Tiong Han yang cepat
menyembunyikan diri di belakang pohon dengan muka terheran-heran! Ketika Tiong
Han tiba di tempat itu, Tiong Kiat masih belum dapat menjawab dan pemuda itu
masih memandang kepada Eng Eng dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
Eng Eng
sendiri dengan pedang di tangan, mukanya merah sekali dan matanya
bersinar-sinar menyeramkan. Adapun Ang Hwa masih berdiri dekat Tiong Kiat,
karena nyonya ini terkejut sekali ketika tadi Tiong Kiat merenggut dan melepaskan
tangannya yang memeluk leher pemuda itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment