Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 01
Pegunungan
Tai Hang San diperbatasan Mongolia merupakan daerah pegunungan yang amat luas
dan di situ penuh dengan hutan-hutan liar yang jarang dikunjungi manusia. Di
puncak bukit yang paling ujung yakni di bagian barat terdapat sebuah hutan yang
benar-benar masih liar dan belum pernah ada manusia berani memasukinya. Hutan
ini terkenal menjadi sarang binatang buas, terutama sekali banyak terdapat ular
berbisa semacam ular yang berkulit merah dan tidak terdapat di lain bagian
dunia akan tetapi yang banyak terdapat di hutan itu, membuat hutan itu
dinamakan hutan ular merah.
Pada suatu
pagi yang sejuk dengan sinar matahari yang cerah terdengarlah suara nyaring dan
merdu dari seorang anak perempuan berusia paling banyak enam tahun, anak itu
mungil dan cantik sekali dengan sepasang matanya yang bening kocak dan dua
kuncir rambutnya yang panjang dan hitam. Tiap kali ia menggerakkan kepalanya,
kuncirnya itu menyabet ke kanan ke kiri dan kalau kuncirnya melewati pundak
lalu jatuh bergantung di atas pundaknya ke depan, ia tampak lucu dan manis.
Sambil
memetik bunga-bunga hutan yang beraneka warna, anak ini bernyanyi dengan merdu.
Akan tetapi sungguh mengherankan suaranya yang amat merdu itu bcrlawanan sekali
dengan kata-kata nyanyiannya yang dapat membuat orang melengak saking heran
tidak mengerti.
Aku bukan
dewata bukan pula setan
Akan tetapi
baik dewata maupun setan
Takkan dapat
menguasai aku
Biar dewata
berbisik, biar setan menggoda
Aku tak
hendak patuh. tak sudi tunduk
Aku tertawa
kalau ingin menangis
Menangis
kalau ingin tertawa
Siapa
peduli? Aku adalah aku
Bukan
dewata, Bukan pula setan!
Tidak hanya
kata-kata saja yang aneh, juga nyanyiannya itu terdengar lucu dan sumbang.
Namun anak perempuan itu agaknya merasa suka akan nyanyian ini dan dianggapnya
enak dinyanyikan, buktinya ia bernyanyi dengan wajah gembira dan mengulangi
nyanyian itu berkali-kali.
Tiba-tiba
dua ekor kupu-kupu yang indah sekali sayapnya beterbangan mengelilingi
bunga-bunga itu. Anak perempuan ini berhenti menyanyi dan biarpun matanya
memandang kagum kcpada dua ekor kupu-kupu itu, namun kedua tangannya masih
bekerja mengumpulkan kembang mawar hutan.
"Aduh…!"
tiba-tiba ia memekik kesakitan ketika ibu jari tangan kanannya tertusuk oleh
duri kembang.
Saking
kagetnya ia menarik keras tangan itu yang tentu saja membuat lukanya lebih
besar dan dalam. Duri kcmbang itu ternyata runcing besar dan kuat. Darah
mengalir dari ibu jarinya dan terasa amat pedih dan sakit. Seperti seorang anak
kecil yang manja, rasa sakit ini membuat anak itu marah dan ia lalu membuang
kembang-kembang tadi kemudian mcnangis keras.
"Ha ha
ha ha!” terdengar suara tertawa bcrgelak dari atas pohon menyaingi suara
tangis.
Anak itu
tiba-tiba menghentikan tangisannya dan sambil menengok ke atas pohon ia berkata
cemberut, "Suhu memang kejam! Aku terluka dan terasa sakit, mengapa
ditertawakan?"
Bagaikan seekor
burung garuda yang besar, dari atas pohon itu melayang turun seorang kakek yang
tinggi besar dan berkulit muka kchitaman. Sepasang matanya lebar dan bersinar
liar seperti mata harimau, baju dan rambutnva tidak karuan, awut-awutan dan
tidak terpelihara. Benar-benar mengherankan betapa tubuh yang tinggi besar itu
dapat melompat turun dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah di depan anak
perempuan itu, telapak kakinya sama sekali tidak menerbitkan suara, seperti
kucing melompat saja layaknya!
Kembali ia
tertawa terbahak-bahak di depan anak perempuan itu yang menjadi makin marah.
Sambil membanting-banting kakinya yang kecil, ia bertanya, "Mengapa suhu
tertawa?"
"He,
bukankah kau tadi menangis, Eng Eng? Kalau ada yang menangis, harus ada yang
tertawa. Aku tertawa kalau ingin menangis dan menangis kalau ingin tertawa,
bukankah kau sudah tahu? Dan kau, mengapa kau menangis?"
Pertanyaan
ini diajukan dengan muka yang bodoh dan melihat sinar mata kakek ini, mudah
saja orang menduga bahwa dia memang seorang yang miring otaknya, seorang yang
tidak waras pikirannya!
"Aku
tidak seperti suhu. Aku menangis atau tertawa tentu ada sebabnya. Dan sekarang
aku menangis karena jari tanganku terluka oleh duri bunga itu!"
Anak yang
disebut Eng Eng itu lupa bahwa pada saat itu ia sudah tidak menangis lagi. Akan
tetapi ibu jarinya benar-benar terasa amat sakit dan perih sehingga mukanya
yang berkulit halus itu mengerinyit.
Kakek itu
sudah biasa dibantah oleh muridnya dan hal ini sama sekali tidak dipedulikan,
bahkan ia lalu tertawa-tawa dan melihat ibu jari muridnya,
"Tertusuk
duri? Kau tentu mengganggu kembang itu, kalau tidak tak rnungkin ia akan
menusukmu dengan durinya, Ha ha ha..."
"Sudablah
Suhu... Aku yang kesakitan, kau menggoda saja. Memang aku yang bersalah,
memetik kembang tanpa melihat karena tertarik oleh dua ekor kupu-kupu yang
beterbangan itu.”
Kakek itu
menengok dan ketika melihat dua ekor kupu-kupu beterbangan dengan lincah
gembira, ia berkata, "Mereka itukah yang mengganggumu?”
Ia lalu
menggerakkan kedua tangannya bergantian ke arah kupu-kupu yang terbang sejauh
dua tombak dari tempat ia berdiri dan aneh sekali! Tiba-tiba seperti tertiup
oleh angin besar, kedua kupu-kupu itu terbangnya kacau balau dan melayang ke
arah kakek tadi! Kakek itu mengulurkan tangan kirinya dan kini kedua kupu-kupu
itu jatuh ke atas telapak tangannya, hinggap disitu tak dapat terbang lagi,
hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat pergi dari situ.
“Bagus,
bagus, suhu!" seru anak perempuan itu dan ia bertepuk tangan.
Untuk sesaat
ia terlupa akan sakit pada ibu jarinya, akan tetapi baru saja ia bertepuk
tangan, la mengeluh karena lupa jarinya serasa sakit. "Aduh...
aduh...!" Dan ia menangis lagi.
Kakek itu
lalu melemparkan sepasang kupu-kupu tadi ke atas dan kedua binatang ini segera
dapat terbang lagi dengan cepat, pergi dari tempat yang berbahaya ini,
sedangkan kakek itu tertawa lagi ha-ha-hi-hi.
"Sakitkah...?
Sakitkah..." ia menghampiri sambil tertawa terus.
"Tentu
saja sakit, kalau tidak masa aku menangis?"
Kakek yang
aneh itu lalu memegang tangan muridnya dan ketika ia melihat ibu jari yang
terluka, ternyata bahwa ujung duri kembang itu ketika tadi tangan dibetot
keras, telah patah dan tertinggal di dalam daging, nampak membayang di kulit
ibu jari. Kakek itu memencetnya dan anak itu berseru mengaduh-aduh. Air mata
anak itu mengalir turun membasahi kedua pipinya yang merah.
"He he
he! Siapa bilang sakit? Tidak sakit sama sekali. Aku tidak merasakan sakit sama
sekali." katanya.
Anak
perempuan itu cemberut. "tentu saja suhu tidak merasa sakit. akan tetapi
aku merasa sakit setengah mati!"
"Bohong
tidak sakit. Tidak sakit! Hayo kau harus menurut aku, bukankah kau muridku?
Katakan tidak sakit"
Kakek yang
miring otaknya itu berkata keras sambil memandang kepada muridnya dengan
sepasang mata yang dilebarkan. Biarpun mulutnya masih cemberut, anak itu
menurut juga dan berkata keras,
"Tidak
sakit!" Akan tetapi ketika kakek itu memijit ibu jarinya lagi ia berjengir
kesakitan.
"Jangan
pura-pura!" kakek itu mencela. "Salah sama sekali. Kalau mulutmu
bilang tidak sakit, hati dan pikiranmu juga harus berkata tidak sakit. Hayo
ulang terus sampai kau benar benar tidak merasa sakit lagi!"
Berkali-kali
anak perempuan itu berkata. "Tidak sakit, tidak sakit!" Akan tetapi
masih saja kulit mukanya berkerut menahan sakit. "Sudahlah, suhu, lekas
keluarkan duri itu dari dalam ibu jariku," ia mengeluh.
"Tidak,
kalau kau masih merasa sakit aku tidak mau mengeluarkannya Ha ha ha! Hayo kau
mengerahkan semangatmu sambil menginjak langit menghadap bumi."
Kalau orang
lain yang mendengar perintah ini, tentu takkan mengerti dia. Akan tetapi anak
perempuan itu memang sudah mendapat pelajaran yang aneh-aneh dari kakek itu,
maka mendengar perintah suhunya ini, ia lalu bergerak jungkir balik dan
tahu-tahu anak itu sudah berdiri dengan kedua kaki lurus ke atas kepala di
bawah. Ia menggunakan dua tangannya untuk mewakili kakinya dan menjaga
tubuhnya.
Dapat diduga
bahwa anak ini telah seringkali berlatih seperti itu, buktinya dapat menginjak
langit menghadapi bumi, yakni berdiri jungkir balik dengan mudah sekali dan
tubuhnya sama sekali tidak bergoyang-goyang. Keseimbangan badannya tidak
terganggu sama sekali. Otomatis setelah tubuhnya berada dalam keadaan seperti
itu, kedua matanya lalu dimeramkan dan jalan-jalan pernapasannya demikian halus
dan lambat seperti orang dalam semadhi atau tidur nyenyak!
"Nah,
sekarang kumpulkan seluruh ingatan dan perasaanmu lalu kau berkata lagi tidak
sakit"
Kakek itupun
membuat gerakan dengan tubuhnya dan tahu-tahu tubuhnya telah jungkir balik
kepala dibawah dan kedua kaki di atas. Kalau anak perempuan itu masih
mempergunakan dua tangan untuk menahan tubuhnya, adalab kakek ini sama sekali
tidak mempergunakan tangannya dan ketika tubuhnya berjungkir balik,
kepalanyalah yang menahan tubuhnya. Akan tetapi ketika kepala itu tiba di atas
tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara seakan-akan kepalanya berubah empuk
dan berdaging.
Anak
perempuan itu masih merasakan betapa ibu jarinya sakit berdenyut-denyut akan
tetapi biarpun kalau bicara kepada suhunya ia nampaknya seperti pembantah dan
bandel, sesungguhnya ia amat taat dan sayang kepada suhunya itu. Maka ia lalu
mengerahkan seluruh kckuatan hati dan pikirannya dan tiga kali ia berkata,
"Tidak
sakit, tidak sakit, tidak sakit!"
Ketika ia
berkata sampai dua kali, ibu jarinya masih terasa sakit, akan tetapi pada saat
itu semua pikiran dan perasaannya telah terkumpul dan terpengaruh oleh kata
katanya sendiri, ditambah dengan kcmauannya yang keras sekali, maka pada ucapan
ke tiga kalinya, benar saja rasa nyeri di ibu jarinya telah lenyap sama sekali!
"Tidak
sakit, suhu!" katanya lagi dan suaranya yang terdengar gembira Itu
meyakinkan kepada suhunya bahwa kali ini anak itu benar benar tidak merasa
sakit lagi.
"Angkat
lengan kananmu ke sini!" ia memerintah.
Anak itu
menurut, menggeser lengan kiri ke bawah kepala dan rnengangkat tangan kanannya
yang diacungkan kepada suhunya. Dengan demikian anak itu kini hanya menahan
tubuhnya dengan satu tangan saja!
Dengan
gerakan dan gaya yang enak saja seakan-akan ia sedang berdiri biasa di atas
kedua kakinya, kakek yang menahan tubuh dengan kepalanya itu lalu menangkap
tangan muridnya. Ia memijit-mijit ibu jari yang terluka di sekitar luka itu
sehingga darah menitik keluar. Akan tetapi ujung duri tadi kini terbawa keluar
dan dengan mudah dicabut oleh kakek itu yang mempergunakan giginya.
Selama
pengobatan ini, anak perempuan itu sama sekali tidak pernah mengeluh bahkan
rnukanya tidak menunjukkan rasa sakit lagi. Memang kemauannya telah bulat, hati
dan pikiran berikut perasaan telah dapat dikuasai oleh keyakinan dan kcmauannya
sehingga benar beoar rasa sakit itu menghilang!
Sambil
mengobati luka di tangan muridnya, kakek itu tiada hentinya tertawa-tawa dan
muridnya diam saja sambil meramkan mata. Kalau ada orang yang mendengar ketawa
itu dan melihat guru dan murid ini berjungkir balik seperti itu tentu orang itu
akan berlari tunggang langgang dan mengira telah melihat setan di dalam hutan
yang liar ini!
Siapakah
sebenarnya kakek yang miring otaknya ini dan siapa pula anak perempuan yang
mungil dan manis itu? Kakek yang gila itu bukanlah orang sembarangan. Ia tak
pernah mau menyebutkan namanya, maka di dunia kangouw ia dijuluki orang Hek Sin
mo (Iblis Sakti Hitam) karena tingkah lakunya aneh seperti Iblis dan mukanya
kehitam-hitaman.
Banyak orang
kang ouw baik para pendekar silat maupun para penjahat, meremang bulu
tengkuknya kalau teringat kepadanya, oleh karena Hek sin-mo ini memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa sekali. Ilmu silatnya yang aneh akan tetapi sukar
dikalahkan, ditambah oleh kelakuannya yang aneh, membikin ia amat ditakuti dan
dianggap sebagai tokoh persilatan yang mengerikan. Hanya satu hal yang membuat
semua orang menaruh hati segan kepadanya, yakni kejujurannya yang luar biasa.
Memang kakek
ini berotak miring. Dulu dia adalab seorang nelayan muda yang jujur keras hati
dan mudah marah serta gemar berkelahi. Ketika ia masih muda, pada suatu hari ia
dikalahkan oleh seorang pendekar pedang sehingga ia menjadi takluk dan
menganggap pendekar itu sebagai suhunya. Kemudian ia mengikuti pendekar itu
kesebuah pulau di sebelah timur pantai laut Tiongkok.
Ketika ia
bersama pendekar itu memasuki pulau yang dicari, pemuda yang tadinya bernama
Hek Houw (Macan Hitam) ini tersasar memasuki sebuah gua yang disebut gua
siluman. Dan aneh sekali, sekeluarnya dari goa ini telah menjadt gila akan
tetapi juga ia telah memiliki ilmu silat yang amat luar biasa. la telah
menemukan ilmu kepandaian mujijat dan yang demikian hebat pengaruhnya sehingga
otaknya menjadi miring!
Semenjak
saat itu ia berlari pergi dari pendekar yang dianggap suhunya itu dan merantau
ke seluruh penjuru daratan Tiongkok seperti seorang gila! Yang hebat ialah
bahwa ilmu kepandaiannya makin lama makin tinggi. la melatih lweekang dan
bersamadhi dalam keadaan jungkir balik dan melatih ilmu silat dengan cara yang
aneh, jauh berbeda dengan Ilmu silat biasa, bahkan boleh dibilang segala
gerakannya berlawanan dan terbalik daripada ilmu silat biasa!
Akan tetapi,
Hek Sin-mo tak pernah mempergunakan senjata, sungguhpun tiap kali senjata
lawannya terampas olehnya ia dapat mainkan senjata apa saja dengan amat aneh
seperti anehnya Ilmu pukulannya! Hek Sin-mo tidak pernah mencari musuh, namun
di mana saja ia berada dan bertemu dengan orang pandai ia selalu mengalahkan
orang pandai itu.
la pernah
dalam perantauannya tersesat jalan sampai ke puncak Go-bi-san dan bertemu
dengan lima tokoh Go-bi-pai yang berilmu tinggi. Melihat gerak-geriknya yang
aneh, lima orang tokoh Go-bi-pai itu mencobanya seorang demi seorang. Dan
apakah akibatnya! Seorang demi seorang kelima tokoh Go-bi-pai itu roboh oleh
Hek Sin-mo!
Masih banyak
sekali orang-orang pandai yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, kena
dikalahkan oleh Hek Sin-mo, dan satu hal yang mcmbuat nama Hek Sin-mo makin
terkenal adalah bahwa tidak seorangpun diantara jago-jago yang dirobohkannya ini
menderita luka berat atau binasa. Tentu saja hal ini amat menggemparkan
kalangan kang ouw. Sekalipun mereka yang dikalahkan tidak mau mengaku dan
menyimpan rahasia kekalahannya terhadap seorang gila, namun lambat laun
orang-orang mendengar juga.
Anak perempuan
yang kecil itu adalah murid tunggalnya. Anak ini bernama Suma Eng dan selalu
disebut Eng Eng oleh suhunya. anak yang mungil dan manis ini mempunyai riwayat
yang amat menyedihkan. Ia kini telah menjadi seorang anak yatim piatu, tak
berayah ibu lagi. Ibunya adalah putri seorang pembesar militer, yakni Suma
Cian-bu dan ibunya bernama Suma Lilian.
Sungguh amat
mengharukan bahwa puteri pembesar ini telah menjadi korban dan dinodai oleh
seorang pemuda ahli silat yang berwatak buruk yakni yang bernama Gak Bin Tong.
Perbuatan terkutuk dari Gak Bin Tong ini menghancurkan kehidupan Suma Lilian
karena putri perwira ini telah mengandung. Suma Lilian pergi merantau dengan
hati hancur dan pikiran seperti gila!
Setelah
anaknya lahir, yakni Suma Eng lahir dan anak itu dibawa pergi oleh seorang
pendekar yang merasa kasihan melihat keadaan anak itu, Suma Lilian lalu
merantau seperti orang gila untuk mencari dan membalas dendam kepada Gak Bin
Tong yang mencelakakan hidupnya. Akhir dari perantauannya ini, Suma Lilian
bertemu dengan seorang tua gila yakni Hek Sin-mo!
Biarpun Hek
Sin-mo seorang gila, namun ia masih memiliki pribudi dan merasa kasihan melihat
Suma Lilian. Nyonya muda yang sengsara ini ia ambil murid dan diberi pelajaran
Ilmu silat. Akhirnya, Suma Lilian bertemu juga dengan Gak Bin Tong dan berhasil
membunuh manusia durjana ini, akan tetapi ia sendiripun menjadi korban dan
tewas berbareng dengan orang yang mencelakakannya atau yang sesungguhnya adalah
ayah daripada anak itu!
Setelah Suma
Lilian meninggal dunia, Hek Sin mo lalu mencari anak kecil yang ditinggalkan
oleh muridnya itu, dan setelah bertemu Hek Sin mo lalu membawa pergi anak itu
yakni Suma Eng, putri tunggal dari Suma Lilian dan Gak Bin Tong!
Demikianlah
sedikit riwayat yang dipersingkat oleh karena riwayat ini akan dituturkan dalam
episode Kisah Sepasang Naga (Ji Liong Jio Co). Suma Eng atau selanjutnya kita
sebut Eng Eng saja, semenjak kecil hidupnya di bawah asuhan Hek Sin-mo yang
memang telah berobah pikirannya dan tidak waras otaknya. Memang harus
dikasihani anak kecil ini karena wataknyapun menjadi aneh.
Sungguhpun
otaknya sehat. Ia tidak tahu tentang ayah ibunya, bahkan sedikitpun tidak
terkandung dalam pikirannya untuk menanyakan hal ini kepada suhunya. Hal ini
ada baiknya bagi anak itu sendiri, oleh karena andai kata ia bertanya juga,
suhunya pasti takkan dapat menuturkannya dan hanya akan tertawa saja, seperti
telah dituturkan di bagian depan, Eng Eng suka sekali bernyanyi dan tentu saja
ia hanya bisa menyanyikan lagu lagu karangan suhunya yang gila!
Juga Eng Eng
diberi pelajaran ilmu silat yang amat aneh, bahkan dilatih pula lweekang dan
samadhi secara terbalik, dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Kejadian yang
telah dituturkan di bagian depan, ketika Eng Eng terluka oleh duri kembang,
biarpun nampaknya hanya orang gila saja yang memaksa orang menyatakan tidak
sakit padahal ibu jarinya terasa amat sakit dan perih namun sesungguhnya
kegilaan ini mengandung pelajaran kebatinan yang amat tinggi!
Secara tak
sadar, yaitu tanpa diberi penjelasan atau pelajaran tentang teorinya, anak
kecil itu telah mendapat pelajaran bagaimana cara untuk menguasai pikiran dan
perasaan. Bagaimana cara untuk memperkuat semangat dan batin sehingga jiwa dan
batinnya tidak dipengaruhi oleh perasaan raga, sebaliknya dengan keteguhan iman
dan batin, Eng Eng bahkan dapat mengalahkan perasaannya yang harus tunduk
kepada suara batinnya.
Sungguhpun
anggota tubuhnya terasa sakit namun berkat kemauan yang keras dan batin yang
teguh rasa sakit itu dapat tunduk padanya dan tidak terasa sama sekali olehnya.
Memang sungguh mengherankan betapa seorang anak sekecil itu, tanpa disadarinya
dan dengan cara yang amat aneh, telah dapat menguasai dan memiliki ilmu tinggi
yang hanya dapat dicapai dan dimiliki oleh seorang pertapa yang telah bertapa
selama bertahun-tahun!
Hek Sin-mo
sengaja memilih hutan yang liar dan sunyi itu karena dia memang tidak suka
tinggal di tempat ramai. Di mana saja ia berada, selalu orang-orang, terutama
anak-anak kecil yang tidak tahu siapa adanya kakek tua yang gila ini,
mengganggunya seperti biasanya orang gila diganggu dan dipermainkan orang.
Di tempat
yang sunyi ini, dimana tidak ada lain manusia kecuali dia dan muridnya, ia
boleh berbuat sekehendak hatinya, boleh menangis kalau ingin tertawa dan boleh
tertawa kalau ingin menangis. Muridnya tak pernah metertawakannya, bahkan
sering kali membantunya menangis atau tertawa!
Eng Eng
mendapat latihan ilmu silat yang aneh, ilmu ginkang yang tinggi dan ilmu
lweekang yang lebih aneh lagi. Selain Ilmu silat, Eng Eng tidak mendapat
pelajaran lain oleh karena Hek Sin-mo adalah seorang yang buta huruf, maka
otomatis Eng Eng juga buta huruf, bahkan anak perempuan yang patut dikasihani
ini sama sekali tidak tahu bahwa di dunia ini orang dapat mencatat dan
menuliskan kata-kata yang keluar dari mulut!
Akan tetapi
kekurangan ini ditutup oleh kecantikannya yang wajar dan murni, bakatnya dalam
hal gerakan ilmu silat yang kadang-kadang membuat suhunya berlonjak-lonjak dan
menari kegirangan, dan disamping itu sungguh mengherankan bahwa Eng Eng
mempunyai bakat yang baik dalam hal melukis.
Pernah anak
ini secara iseng-iseng menggurat-guratkan jari telunjuk yang terlatih dan
dengan tenaga dalam yang mengagumkan ia telah membuat corat-coret pada kulit
sebatang pohon besar. Sambil tersenyum-senyum dan tertawa ha ha hi hi, Eng Eng
mulai melukis wajah suhunya. Ia telah mengguratkan garis-garis tubuh suhunya dari
kepala sampai kaki dan tak lama kemudian pada batang pohon besar itu berdiri
gambar Hek Sin-mo yang bagus dan cocok sekali!
Karena adat
suhunya yang aneh, Eng Eng berwatak jenaka itu seringkali menggodanya. Anak ini
tidak tahu akan arti sopan santun, dan tidak tahu pula apa yang dinamakan
perbuatan kurang ajar. Pernah ia mengganggu suhunya yang sedang tidur dan
menggunakan sebatang rumput untuk mengilik-iliki hidung suhunya.
Kakek ini
dalam tidurnya merasa gatal-gatal pada hidungnya, dan beberapa kali ia
mengebutkan tangannya untuk mengusir benda yang menggatalkan hidungnya tanpa
membuka matanya. Eng Eng menahan kegelian hatinya dan terus mempermainkan
suhunya!
Akhirnya
suhunya bangun dan menyumpah-nyumpah terus mengamuk pada lalat lalat yang
dikira tadi mengganggunya. Kasihan binatang-binatang kecil itu karena tiap kali
kakek itu mengebutkan tangannya yang lebar, lalat-lalat itu mampus dan hancur
tubuhnya!
Kini setelah
Eng Eng menggambar suhunya pada pohon besar itu, ia memandang gambarnya dengan
puas dan tertawa-tawa senang. Tiba-tiba ia mendengar desir angin dan maklum
bahwa suhunya datang. Cepat anak yang nakal ini bersembunyi di dalam semak
belukar untuk melihat bagaimana sikap suhunya kalau melihat gambar itu.
Benar saja,
Hek Sin-mo muncul dengan langkahnya yang lebar. Pada waktu itu, senja kala
telah tiba dan dalam keadaan yang hampir gelap, kakek ini melihat bayangan
orang pada batang pohon besar itu ia nampak tercengang dan segera membentak.
"Ei...
eh, orang gila dari mana berani lancang memasuki hutanku?"
Akan tetapi
tentu saja gambar itu tidak dapat menjawab, bahkan bergerakpun tidak! Hek
Sin-mo menjadi marah dan membentak lagi.
"Orang
gendeng! Kau siapa dan mengapa tidak menjawab? Hayo pergi dari sini!"
Tiba-tiba
'orang' itu menjawab. "Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apakah?"
Suara ini
terdengar aneh dan menyeramkan. Eng Eng yang bersembunyi di semak belukar yang
berada di belakang pohon itulah yang menjawab. Gadis cilik yang telah mempunyai
ilmu khikang tinggi ini telah mempergunakan tenaga perut untuk mengeluarkan
suara yang besar dan parau, berbeda dengan suaranya sendiri dan dengan tenaga
khikangnya ia telah dapat mengirimkan suaranya ke pohon itu!
Hek Sin-mo
memandang dengan mata terbelalak. Orang tua ini karena tak dapat menjaga
kesehatan, biarpun ia berilmu tinggi, maka kedua matanya sudah kurang sempurna
daya penglihatannya.
“Tidak mau
pergi? Aku akan melemparmu keluar!"
Dan ia lalu
menyerbu dengan pukulan tangan kanannya ke arah bayangan itu. Pukulan Hek
Sin-mo ini tak perlu mengenai tubuh. baru saja angin pukulannya saja sudah
cukup untuk merobohkan orang yang sudah begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Ia
melihat betapa batang pohon itu bergoyang dan daun-daun rontok ke bawah, akan
tetapi 'orang' itu sama sekali tidak bergerak, seakan-akan angin pukulannya itu
hanya angin gunung yang sejuk saja!
Tentu saja
hal ini membuat Hek Sin-mo melengak dan juga marah sekali. Ia tidak pernah mau
membunuh orang dan dalam setiap pertempuran, kepandaiannya yang aneh sudah
cukup tinggi untuk merobohkan lawan lanpa melukainya. Tadipun ketika ia
mengerahkan pukulan, ia tidak berniat melukai 'orang' itu dan hanya ingin
menggunakan angin pukulannya untuk melemparkan orang itu agar menjadi takut dan
pergi.
Sama sekali
tak pernah disangkanya betapa 'orang' itu dapat menerima hawa pukulannya dengan
tersenyum-senyum dan tidak bergoyang sedikitpun. Sekali lagi ia memukul dengan
tenaga lebih besar dan kini hasilnya hanyalah daun-daun yang jatuh seperti
hujan menimpa di atas kepalanya. batang pohon itu bergoyang-goyang keras dan
terdengar suara cekikikan seakan-akan mengejeknya!
Kini Hek
sin-mo benar-benar kehabisan akal dan kemarahannya yang semenjak puluhan tahun
sudah dapat menjadi jinak di dasar hatinya, kini timbul dengan hebatnya.
Sepasang matanya liar memandang, mulutnya berbusa dan kedua tangannya
menggerak-gerakkan jari tangan dengan sikap mengerikan sekali.
"Kau
menantang dan mencari mati !" serunya dan berbareng dengan seruan ini,
tubuhnya menubruk ke depan. kedua tangan ditumbukkan ke arah dada
"orang" itu sekuat tenaga!
"Blek...!
Kraak...!"
Tentu saja
kedua tangannya tidak mengenai 'orang' itu dan hanya mcnghantam batang pohon
besar yang menjadi tumbang setelah mengeluarkan suara hiruk pikuk!
Eng Eng yang
bersembunyi di belakang pohon itu, tentu saja menjadi terkejut sekali ketika
melihat betapa pohon itu tiba-tiba menjadi tumbang dan menimpa ke tempat ia
bersembunyi! Gadis cilik itu cepat melompat keluar dari semak-semak dan hendak
menjauhkan diri, akan tetapi pohon yang penuh dengan cabang besar-besar dan
daun itu roboh dengan cepat dan biarpun Eng Eng sudah mengelak tetap saja ia
masih kena terpukul oleh cabang dan ranting sehingga ia terpelanting ke tempat
yang jauh!
Eng Eng
memekik keras dan pekikan ini bukan karena pukulan cabang pohon, melainkan
karena begitu ia jatuh di atas tanah, la merasa betapa betisnya amat panas dan
sakit sekali. Ketika ia melihat, ternyata bahwa betisnya telah tergigit oleh
seekor ular merah yang berbahaya! Ia memekik lalu tak sadarkan diri lagi!
Sementara
itu Hek Sin-mo yang masih berdiri bengong melihat betapa 'orang' yang
diserangnya itu ternyata menempel pada batang pohon, terkejut mendengar jeritan
Eng Eng. Cepat ia melompat dan melihat muridnya menggeletak dengan betis masih
tergigit oleh seekor ular merah ia berseru marah sekali. Sekali injak saja hancur
luluh tubuh ular itu beserta kepalanya. dan ia lalu menyambar tubuh muridnya
dibawa keluar dari semak-semak.
Dengan
bingung Hek Sin-mo meletakkan muridnya di dekat tempat di mana pohon tadi
berdiri. Ia menggoyang-goyang tubuh muridnya dan memanggil-manggil namanya,
akan tetapi Eng Eng tidak bergerak dan menyahut seperti 'orang' di batang pohon
tadi. Hek Sin-mo sudah lama tinggal di hutan ini ia melihat seekor harimau
besar mati seketika ketika terkena gigitan ular merah.
Kini melihat
keadaan muridnya, hatinya menjadi gelisah dan sedih sekali. Akan tetapi,
anehnya sungguhpun hatinya menangis, yang keluar dari mulutnya hanya suara
ketawa bergelak-gelak yang menyeramkan dan dari kedua matanya keluar air mata
berderai derai!
Ia melihat
muka muridnya pucat sekali dan ketika merobek celana di bagian betis ternyata
betis anak itu telah mengembang besar dan berwarna merah seperti darah. Bukan
main marahnya Hek Sin-mo. Tiba-tiba ia berdiri lagi dan kembali ia
menginjak-injak tubuh ular merah yang sudah hancur lebur. Kemudian ia membuka
semak-semak dan mencari-cari ular merah. Hendak dibunuhnya semua ular-ular
merah yang berada di hutan itu. Kebetulan sekali ia melihat seekor ular merah
yang merayap pergi ketakutan dari dalam semak.
Cepat ia
melangkah maju dan kembali ular itu harus mengalami nasib yang mengerikan,
tubuhnya lumat dan hancur lebur oleh injakan kaki kakek gila ini. Ketika Hek
Sin-mo kembali ke tempat dekat pohon itu matanya tertarik oleh lubang yang
berada di bawah pohon yang tumbang. Ternyata bahwa pohon itu tumbang dengan
akarnya dan di bawah akar pohon terdapat lobang yang besar. Ia maju mendekat
dan alangkah marahnya ketika ia melihat puluhan ekor ular merah berada di dalam
lobang itu!
Tanpa
memperdulikan bahaya lagi ia lalu mengulur tangannya dan mencengkeram puluhan
ular merah kecil itu dan alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa
ular-ular itu telah mati!
Ia
membanting ular-ular itu dan mengeluarkan semua ular dari dalam lobang. Tak
seekorpun ular merah yang masih hidup dan semuanya ada tiga puluh ekor lebih.
ketika bangkai-bangkai ular itu sudah dikeluarkan semua, ia membelalakkan
matanya melihat benda yang bersinar merah sekali berada di dasar lobang. Tanpa
rasa takut sedikitpun, Hek Sin mo mengambil benda itu dan ternyata bahwa benda
itu adalah sebatang pedang yang bersinar merah!
Pedang itu
lemas, dapat digulung akan tetapi berkilauan dan tajam serta runcing sekali.
Melihat pedang ini timbul sebuah pikiran dalam kepala Hek sin-mo. Ia
menghampiri muridnya dan dengan hati-hati ia lalu menusukkan ujung pedang pada
betis Eng Eng yang mengembung itu. Maksud Iblis Sakti Hitam ini untuk membuka
kulit betis dan mengeluarkan bisa ular. la tidak mengerti tentang ilmu
pengobatan dan hanya mengira-ira saja, akan tetapi alangkah girangnya ketika
baru saja batang pedang itu ditusukkan ke dalam betis, tiba-tiba ia melihat
betis itu mengempis kembali!
Saking kaget
dan herannya, ia tidak mencabut pedang itu dan membiarkan ujung pedang menancap
pada betis Eng Eng! Perlahan akan tetapi tentu warna merah yang menyelimuti
kulit tubuh gadis cilik itu melenyap dan mukanya yang pucat kini menjadi
bercahaya kembali.
"Aduh
aduh..." bibir Eng Eng mulai menggetar dan mengeluh.
Bukan main
girangnya hati Hek Sin-mo dan tiba-tiba ia menangis keras. Menangis, lalu
bangun berdiri dan menari-nari! Tentu saja orang gila ini tidak tahu bahwa
pedang itu sebetulnya mengandung bisa yang menjadi lawan dari pada bisa ular.
Ular-ular merah yang mati di dekat pedang itu menyatakan bahwa bisa pedang itu
lebih lihai dari pada bisa ular dan ketika pedang itu menusuk betis Eng Eng
maka otomatis bisa ular yang menguasainya menjadi lenyap dan tidak bahaya lagi!
Eng Eng
bangun dan melihat ke arah betisnya. Ia merasa betisnya panas dan sakit akan
tetapi cepat ia lalu berjungkir balik dengan mengerahkan tenaga mengusir rasa
sakit itu. Sungguh lucu dan mengerikan melihat Hek Sin-mo menangis terisak-isak
sambil menari-nari sedangkan Eng Eng masih berjungkir balik dengan pedang masih
tertancap pada betisnya.
Pengerahan
tenaga lweekang yang dilakukannya sambil berjungkir balik ini ternyata dapat
mendorong keluar darah berikut sisa-sisa bisa ular sehingga pedang yang bersinar
merah itu menjadi lebih merah karena darah yang menyembur keluar dari betisnya!
Hek Sin mo
menghampiri muridnya dan mencabut pedang itu.Ia membersihkan pedang itu dengan
bajunya, kemudian sambil berjingkrak-jingkrak ia menciumi pedang itu.
"Ang coa
kiam (Pedang Ular Merah) yang baik. Ang-coa kiam yang cantik manis...”
Karena
ucapan ini dikeluarkan sambil menangis, maka ia terdengar seperti seorang
pemuda yang merindukan kekasihnya. Sebenarnya kakek itu sedang menyatakan
kegembiraan dan terima kasihnya kepada pedang itu. Luka di betis Eng Eng
menjadi sembuh dan pedang itu menjadi pedang kesayangan gadis kecil ini.
Oleh karena
ilmu silat yang ia pelajari dari suhunya bukanlah ilmu silat tangan yang dapat
pula memainkan segala senjata, maka ia hanya sayang kepada pedang itu karena
indahnya. Ia tidak mempelajari ilmu pedang yang khusus, akan tetapi bila Eng
Eng sedang gembira dapat mainkan pedang itu dengan gerakan yang aneh dan cepat
sekali.
Gerakannya,
seperti juga gerakan suhunya, kacau balau dan nampaknya tidak teratur, akan
tetapi pada dasarnya kekuatan dan kecepatannya yang amat mengagumkan. Pedang di
tangannya menjadi segulung sinar merah yang gerakannya aneh dan menyeleweng ke
sana ke mari sukar sekali diikuti oleh pandangan mata.
Karena kesalahan
seekor ular merah yang menggigit betis Eng Eng, guru dan murid ini amat benci
kepada ular merah, dan ular merah di hutan itu hampir habis oleh pembasmian
kedua orang ini. Di mana saja mereka melihat ular merah, tanpa ampun lagi
binatang itu tentu mereka binasakan.
Demikianlah,
di dalam hutan yang liar itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, Hek Sin-mo
melatih muridnya dan boleh dibilang ia menumpahkan seluruh kepandaiannya kepada
murid ini. Sepuluh tahun kemudian, apabila mereka berlatih silat, Hek Sin-mo
sudah terdesak hebat oleh muridnya dan ia hanya dapat mempertahankan diri
sampai napasnya menjadi senin kemis karena makin tua makin lemahlah dia.
Kesukaan Hek
Sin-mo membunuh ular merah menjadi kebiasaan dan kesukaan yang berakar di dalam
hatinya. Setelah agak sukar mencari ular merah di dalam hutan itu, kakek ini
mulai mencari ular merah di hutan berikutnya! Dan kegemarannya yang aneh inilah
yang menamatkan riwayatnya.
Pada suatu
hari Eng Eng nampak gelisah oleh karena semenjak siang tadi ia tidak melihat
suhunya. Hari telah mulai gelap dan gadis ini mulai mencari-cari suhunya sambil
memanggil-manggil dengan suaranya yang nyaring. Akhirnya ia mendapatkan suhunya
menggeletak di depan sebuah goa yang gelap, dan di kanan kirinya menggeletak hampir
seratus ekor ular merah dalam keadaan hancur dan putus-putus!
Ternyata
bahwa tak disangka-sangka Hek Sin-mo menjumpai tempat sembunyi ular-ular merah
yang menjadi musuh besarnya itu, yakni di dalam sebuah goa. Ular-ular yang
belum terbunuh dan yang sisanya masih kurang lebih seratus ekor itu, pada lari
mengungsi dan bersembunyi di dalam goa itu.
Ketika Hek
Sin mo melihat seekor ular keluar dari goa itu, cepat ia menginjaknya sampai
hancur. Dan tiba-tiba saja, banyak sekali ular merah menyerbu keluar dari goa
itu. Melihat itu, Hek Sin-mo tidak menjadi takut, bahkan ia lalu lertawa
bergelak dan mengamuk menghadapi serbuan ular ular merah ini. Betapapun
lihainya, menghadapi hampir seratus ekor ular itu, akhirnya terkena beberapa
kali gigitan ular merah.
Berkat
kekuatan dan kelihaiannya, ia tidak segera roboh dan masih mengamuk terus
sehingga saking girang dan gembiranya ia memegang ular terakhir dan membunuhnya
dengan menggigit kepala ular itu sampai remuk. Akan tetapi, bisa ular yang
sudah mulai menyerang jantungnya, membuat ia roboh dan menggeletak tak bernyawa
bersama ular terakhir yang masih digigitnya.
Melihat
keadaan suhunya ini, Eng Eng memeluk dan menangis sedih. Ia memang tidak
seperti suhunya. Kalau hatinya sedih biarpun beberapa kali telah dicobanya, ia
tidak dapat tertawa dan selalu menangis. Kini ia menangis terisak-isak, ia
tidak mengerti bahwa seorang manusia kalau sudah mati harus dikubur, dan hanya
kekhawatirannya melihat mayat suhunya menjadi korban binatang buas saja yang
membuat ia mengangkat tubuh suhunya dan meletakkannya di dalam gua.
Ia masih
belum tahu bahwa suhunya telah mati dan dikiranya sedang tidur atau pingsan
saja. Maka tiap hari ia menjaga tubuh suhunya dan sepekan kemudian, setelah
suhunya tidak juga bangun bahkan tubuhnya mulai membusuk menyiarkan bau yang
amat tidak enak, barulah ia dapat menduga bahwa suhunya takkan bangun lagi!
Selama
sepekan, Eng Eng tidak keluar dari goa, tidak makan,tidak tidur, hanya menjaga
suhunya dengan setia dan hati berduka. Ketika matahari menerangi keadaan di
dalam gua dan ia melihat tubuh suhunya membusuk dan hidungnya mencium bau yang
amat memusingkan, ia tidak kuat menahan dan akhirnya Eng Eng rebah pingsan di
dekat mayat suhunya!
Ketika ia
siuman kembali, ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari goa seperti seorang
pemabok. Tubuhnya lemas, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya terasa
sakit-sakit yang terdengar dari mulutnya hanyalah bisikan yang merupakan
keluhan menyayat hati.
"Suhu...
suhu... suhu...!"
Akhirnya
kakinya membawanya ke pinggir sebuah anak sungai dan melihat air yang jernih
itu gadis ini lalu berlutut dan mencelupkan kepalanya kedalam air! Sampai
setengah hari lamanya ia duduk termenung di pinggir anak sungai, tidak tahu apa
yang harus dilakukannya. Ia bingung, sedih, lapar, dan juga hawa mayat
membuatnya pening sekali.
Kemudian
jalan pikirannya dapat ia pergunakan dan karena teringat akan keadaan
binatang-binatang yang mati dan bangkainya berbau seperti bau mayat suhunya, ia
dapat juga menduga bahwa suhunya tentu telah mati. Ia menangis lagi tersedu
sedan dan bagaikan seorang gila ia lalu lari keluar dari hutan itu!
Segila-gilanya
Hek Sin-mo, karena ia pernah hidup di dunia ramai dan tahu akan adat istiadat
dan kesopanan, maka biarpun ia tidak memperdulikan pakaian sendiri, untuk
muridnya ia selalu mencarikan pakaian yang bersih dan baik. Apalagi setelah Eng
Eng menjadi dewasa dan melihat betapa cantiknya murid yang amat dikasihaninya
itu, ia meninggalkan hutan dan bagaikan seorang iblis ia memasuki rumah-rumah
orang dusun yang kaya dan mencuri pakaian yang indah-indah. Oleh karena itulah
maka Eng Eng selalu mengenakan pakaian yang cukup sopan dan indah.
Akan tetapi
oleh karena Hek Sin-mo mencari pakaian tanpa melihat potongannya, diantara
banyak pakaian itu terdapat pula pakaian laki-laki dan anehnya, Eng Eng juga
tidak memperdulikan perbedaan potongan pakaian itu. Kadang-kadang gadis ini
mengenakan pakaian wanita dan kadang-kadang mengenakan pakaian laki-laki.
Seorang gadis yang sementara tinggal di dalam hutan liar bersama kakek gila, tentu
saja tidak tahu mana baju untuk wanita dan mana untuk laki laki. Jangankan
tentang model pakaian terakhir, lebih baik jangan ditanyakan kepadanya!
Ketika Eng
Eng berlari keluar dari hutan dengan hati bingung dan berduka, ia kebetulan
mengenakan pakaian laki-laki dan rambutnya tertutup oleh ikat kepala untuk
laki-laki maka ia kelihatan seperti seorang pemuda yang amat tampan wajahnya.
Gadis ini semenjak kecil tidak mengenal bedak atau yanci (pemerah pipi, bibir),
maka kulit mukanya putih halus sewajarnya. Ia tidak membawa apa-apa melainkan
pedang Ang coa-kiam yang dibelitkan pada pinggang karena pedang ini memang
lemas sekali.
Ketika
dibawa oleh suhunya yang gila Eng Eng telah berusia enam tahun dan biarpun
semenjak itu sampai dewasa ia selalu berada dalam hutan, jauh dari masyarakat
ramai,akan tetapi ia masih ingat akan keadaan di dunia dan tahu bahwa selain
dia dan suhunya, di dunia ini masih banyak manusia lain dengan rumah-rumah
besar.
Memang pada
waktu pertamakali ia bertemu dengan dusun semenjak turun gunung, ia merasa
kagum dan terheran-heran. Juga ia merasa gembira sekali melihat orang-orang
yang tinggal di dusun itu. Sebaliknya, semua orang yang dijumpainya di jalan
juga memandangnya dengan heran dan kagum. Ia merupakan seorang pemuda yang tampan
dan yang tersenyum pada setiap orang yang memandangnya, pemuda yang nampak
tolol karena menengok ke kanan ke kiri memandangi rumah-rumah bagaikan seorang
dusun yang bodoh masuk ke kantor besar!
Pada suatu
hari, Eng Eng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Telah beberapa kali ia
pernah melihat sebuah rumah makan dl dalam dusun dan melihat betapa banyak
orang makan di dalam rumah makan itu. Akan tetapi ia sendiri belum pernah makan
di rumah makan dan selalu apabila merasa lapar ia makan seperti yang biasa ia
lakukan dengan suhunya, yakni mencari buah-buahan di hutan atau menangkap
kelinci lalu dipanggang dagingnya.
Kali ini,
ketika ia memasuki dusun itu hidungnya mencium bau daging panggang yang amat
sedap. Ia menghampiri rumah makan di pinggir dusun itu dan sampai lama berdiri
di depan pintunya, menikmati bau sedap yang keluar dari dapur makan. Seorang
pelayan yang melihat dia berdiri di depan pintu cepat menghampirinya. Seperti
biasa, melihat orang yang pakaiannya cukup indah, pelayan itu berlaku ramah
tamah dan manis budi.
"Silakan
masuk, kongcu. Masih banyak bangku kosong. Silakan!"
Eng Eng
belum pernah makan di rumah makan dan tidak tahu cara bagaimana memesan
makanan, tidak tahu pula bahwa makanan yang dihidangkan di situ harus dibayar!
Kini ada orang yang dengan manis mempersilakannya masuk, tentu saja ia
mengangguk tersenyum dan mengikuti pelayan itu masuk ke dalam rumah makan.
Gerakan tangan pelayan itu membuatnya mengerti bahwa la dipersilakan masuk,
maka tanpa banyak sungkan lagi Eng Eng lalu mengambil tempat duduk di atas
bangku.
Seorang
laki-laki muda yang berpakaian seperti piauwsu (pengantar barang) kebetulan
duduk di atas bangku itu. Tentu saja orang yang sedang makan mi ini menjadi
terheran melihat betapa seorang pemuda tampan tanpa permisi tahu-tahu menduduki
bangku di mejanya dan memandangnya dengan mata jenaka!
Memang
perbuatan Eng Eng yang tak disengaja ini amat aneh dalam pandangan orang itu.
Ruang rumah makan itu masih kosong dan banyak meja dan bangku yang belum terisi
tamu akan tetapi pemuda ini duduk di bangku di meja yang telah dipakai orang!
Piauwsu muda itu mengira bahwa pemuda tampan ini hendak memperkenalkan diri
kepadanya maka ia lalu mengangguk ramah yang dibalas oleh Eng Eng dengan
anggukan kepala pula!
Piauwsu itu
menanti sampai mengganggunya memperkenalkan diri akan tetapi pemuda tampan itu
duduk tanpa membuka mulut, hanya tersenyum-senyum saja dengan tarikan mata yang
manis dan lucu,
"Sahabat,"
piauwsu itu menjadi tak sabar dan berkata, "aku adalah Ting Kwan Ek wakil
kepala piauwkiok dari kota Han leng"
Eng Eng
mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menjawab, "Bagus, bagus kau
tentu lapar sekali!"
Tentu saja
Ting piauwsu menjadi melongo mendengar ucapan ini. Apakah ia salah dengar?
"Maaf, sahabat," katanya, "apakah maksudmu?"
Eng Eng
memandang ke arah mangkok mie-nya yang sudah hampir kosong lalu berkata lagi,
"Kau tentu lapar sekali, makanmu amat gembul!"
Memang gadis
ini sudah biasa makan berdua dengan suhunya dan ucapan seperti ini sudah biasa
ia keluarkan kepada suhunya. Akan tetapi, ia menjadi tidak mengerti mengapa
orang yang mengaku Ting Kwan Ek ini ketika mendengar kata - katanya menjadi
merah mukanya dan terbatuk-batuk seakan-akan ada mie yang melintang dan
mengganjal kerongkongannya!
"Kalau
makan jangan terburu-buru, selain kau bisa tercekik karenanya juga makanan ini
sukar menjadi hancur di dalam perut sehingga kau akan sukar buang air
pula?" Eng Eng memberi nasehat yang seringkali ia dengar dari suhunya
dulu.
Kini Ting
Kwan Ek benar-benar menjadi melongo. la merasa marah, heran dan juga bingung.
Gilakah pemuda ini? Tak mungkin, mukanya begitu terang dan sinar matanya lembut
dan tajam, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa otaknya miring. Apakah
pemuda ini sengaja hendak mempermainkannya? Akan tetapi hal ini meragukan pula,
karena sikap pemuda tampan ini demikian sungguh-sungguh. Ah, barangkali dia
seorang perampok tunggal yang tinggi kepandaiannya dan sengaja datang hendak
mencari perkara!
Dalam
pekerjaannya sebagai piauwsu, Tan Kwan Ek sudah seringkali bertemu dengan
penjahat-penjahat yang berilmu tinggi dan berwatak aneh, maka kini timbul
perkiraannya bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang dari golongan hek-to
(jalan hidup golongan penjahat) yang datang hendak mengganggunya. Ia bersikap
hati-hati dan merasa bahwa lebih baik menjauhi permusuhan dengan orang ini. Ia
berdiri dan berkata,
"Maaf
sahabat, karena aku mengganggumu lebih baik aku pindah ke lain meja."
Piauwsu ini
lalu mengangkat mangkok dan sumpitnya dan duduknya pindah ke lain bangku. Akan
tetapi Eng Eng menganggap hal ini biasa saja, sama sekali tidak mau memperdulikan
orang lain. Hanya saja ia merasa kecewa mengapa orang itu tidak mau membagi
makanannya dengan dia dan membawa pergi mangkok terisi mi itu!
Pelayan yang
tadi menyambutnya lalu menghampirinya dan karena pemuda ini sejak tadi tidak
memesan makanan ia Ialu berkata, "Kongcu, kau hendak makan apakah?"
Eng Eng
memandangnya dengan heran lalu bertanya, "Kau punya makanan apa?"
Pelayan itu
menyebutkan nama beberapa macam masakan sehingga Eng Eng menjadi bingung.
Kemudian ia memutar tubuhnya dan sambil menuding ke arah mangkok mi di depan
piauwsu tadi, ia berkata,
"Aku
ingin makan seperti yang dimakannya itu!"
Pelayan
tersenyum geli dan piauwsu itu menjadi makin merah mukanya. Benar-benar orang
muda yang tampan itu telah berlaku kurang ajar sekali dan benar-benar hendak
mencari perkara dengan dia. la maklum bahwa orang ini tentulah seorang dari
kalangan perampok yang sengaja hendak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan
dia.
Sebagai
seorang piauwsu ia mengerti bahwa dirinya tentulah dimusuhi oleh para perampok,
dan tentu pemuda ini sedang memancing-mancing kemarahannya. Akan tetapi, Ting
piauwsu biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun ia telah mempunyai banyak
pengalaman. la pura-pura tidak mendengar omongan Eng Eng ini dan melanjutkan
makan mie-nya, diselingi dengan meneguk cawan araknya.
Tak lama
kemudian pelayan datang membawa semangkok mie. Karena Eng Eng sudah merasa amat
lapar, maka cepat ia menyikat habis mie semangkok itu. Ting piauwsu
memperhatikan cara Eng Eng makan dan hatinya berdebar. Mie yang dihidangkan itu
masih amat panas, akan tetapi pemuda tampan ini dapat makan begitu saja tanpa
merasakan panas dan mempergunakan sumpitnya juga istimewa.
Orang Iain
tentu akan mempergunakan sepasang sumpit untuk menjepit mie, akan tetapi pemuda
tampan ini hanya rnemakai sebatang sumpit saja. Sumpit yang hanya sebatang ini
digerakkan dengan cepat dan dengan dua kali putaran saja mie yang panjang-panjang
itu telah membelit sumpit dan ketika sumpit diangkat, mi semangkok itu telah
terangkat semua dari mangkok lalu dimakan seperti orang menggerogoti paha
kelinci yang gemuk!
Melihat cara
Eng Eng makan mie, makin yakinlah hati Ting piauwsu bahwa pemuda itu tentulah
seorang penjahat yang kejam dan yang sengaja datang hendak mengganggunya.
Sebagai seorang piauwsu, memang sudah sering kali ia bertempur melawan
perampok-perampok dan seringkali pula merobohkan para penjahat.
Piauwkiok
(perusahaan pengawal barang) yang dipegangnya, yakni Pek Eng Piauw-Kiok
(Ekspedisi Garuda Putih) dari kota Hun-leng sudah amat terkenal sebagai sebuah
perusahaan ekspedisi yang besar dan kuat. Bendera piauwkiok yang bersulam
seekor burung garuda putih sudah merupakan bendera yang garang dan jarang
sekali ada perampok berani mengganggu barang-barang yang dikirim apabila
melihat bendera ini berkibar di kendaraan barang.
Yang paling
disegani oleh para penjahat, adalah ketua dan wakil ketua Pek Eng Piauw Kiok.
Ketuanya adalah seorang ahli silat bernama Ouw Teng Sin yang menjadi suheng
(kakak seperguruan) dari Ting Kwan Ek sendiri. Ouw piauwsu berjuluk Pek eng-to
(Golok Garuda Putih) dan karena julukannya inilah maka perusahaan piauwkiok
yang dipimpinnya memakal nama Pek Eng Piauwkiok.
Sudah hampir
dua puluh tahun Ouw-piauwsu mendirikan perusahaan di kota Hun-leng dan mendapat
banyak kemajuan. Nama perusahannya sudah amat terkenal dan mendapat kepercayaan
besar. Apalagi setelah sepuluh tahun yang lalu ia dibantu oleh sutenya (adik
seperguruannya) yakni Ting Kwan Ek yang kepandaiannya sudah hampir setingkat
dengan kepandaian Ouw-piauwsu, maka perusahaan ini berjalan makin lancar.
Selain
pandai dalam hal ilmu silat, Ting piauwsu adalah seorang yang cerdik dan pandai
mengurus perusahaan. Dengan bantuan Ting Kwan Ek, Ouw-piauwsu dapat duduk
dengan enak dirumahnya dan menyerahkan segala pekerjaan kepada adik
seperguruannya itu.
Kini setelah
dalam perjalanannya, Ting Kwan Ek bertemu dengan Eng Eng, piauwsu yang cerdik
dan baik hati ini lalu sengaja menjauhkan diri. Hal ini bukan karena ia berhati
kecil dan penakut, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang melakukan
tugas yang amat penting. Ia tidak mau mengacaukan tugasnya dengan melibatkan
diri dalam pertempuran atau meladeni pancingan serta kehendak pemuda tampan
yang nampaknya mencari perkara dengan dia itu. Tugas ini adalah tugas
mengirimkan sebuah benda yang tak ternilai harganya dari kotaraja ke Hun leng
dan benda berharga itu kini telah tersimpan baik-baik di kantong bajunya
sebelah dalam.
Ketika ia
melihat Eng Eng sedang makan mie dengan enaknya dan begitu mie semangkok habis,
lalu minta tambah semangkok lagi sambil berkata berkali-kali,
"Enak...
enak...!"
Ting Kwan Ek
tidak mau membuang waktu lagi. la menaruh sepotong uang perak di dekat
mangkoknya yang sudah kosong. kemudian dengan tergesa-gesa ia bertindak keluar.
Eng Eng
tanpa menengok dapat mendengar bahwa orang yang tadi duduk menjauhinya telah
melangkah keluar, akan tetapi tanpa memperdulikannya ia menyerang mie dalam
mangkok kedua dengan lahap dan nikmatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara
ribut-ribut di luar rumah makan. Biarpun ia menjadi amat tertarik ketika suara
ribut-ribut itu disusul oleh suara beradunya senjata, ia belum mau berdiri
melihat sebelum mie dalam mangkoknya habis.
Ternyata
bahwa ketika Ting piauwsu melangkah keluar dari rumah makan, tiba-tiba
mendengar bentakan orang,
"Ting
Kwan Ek, perlahan dulu jalan!"
Ting piauwsu
cepat menengok dan ia amat terkejut ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah
seorang tosu (pendeta To) tua berjanggut hitam berdiri menghadang di depannya.
"Ban
Yang Tojin!" hatinya berteriak, akan tetapi, saking kagetnya, mulutnya
ikut pula berseru menyebut nama yang amat menyeramkan hatinya ini.
Siapakah
orangnya tidak menjadi gugup melihat Ban Yang Tojin, apalagi kalau orang itu
membawa barang berharga seperti yang dibawa oleh Ting Kwan Ek. Ban Yang Tojin
adalah orang kedua dari tiga saudara seperguruan yang terkenal dengan sebutan
Thian-te Sam-kui (Tiga Setan Langit Bumi) dan telah menggemparkan kalangan
kang-ouw karena selain mereka ini berkepandaian tinggi sekali, juga sepak
terjang mereka amat ganas.
Orang
pertama adalah seorang Hwesio (pendeta Budha) yang bernama Ban Im Hosiang,
sedangkan orang ketiga adalah seorang laki laki setengah tua dan pesolek
bernama Ban Hwa Yong. Biarpun ketiga orang saudara seperguruan ini terkenal
sebagai tiga setan yang selalu saling membantu, namun mereka berlainan, baik melihat
rupa, pakaian, maupun kesukaan masing-masing.
Ban Im
Hosiang adalah seorang hwesio gundul yang amat sakti dan kesukaannya adalah
mendatangi tokoh-tokoh persilatan untuk menantang pibu (mengadu kepandaian)
akan tetapi kemudian ia menjatuhkan tangan maut. Sebagian besar orang yang
sudah berpibu dengan dia, tentu akan tewas atau sedikitnya menjadi penderita
cacat selama hidupnya! Oleh karena itu, apabila ada seorang ahli silat yang
mendengar akan kedatangan hwesio itu, lebih dulu ia telah pergi dan menjauhkan
diri.
Orang kedua
adalah Ban Yang Tojin ini yang rnempunyai kesukaan untuk merampok. Akan tetapi
ia bukanlah perampok biasa yang cukup merasa puas dengan hasil rampokan berupa
benda benda berharga yang kecil seperti perhiasan-perhiasan, permata dan emas
dan yang dijadikan korbannya selain adalah pembawa-pembawa benda yang amat
besar harganya!
Adapun Ban
Hwa Yong adalah seorang berusia empat puluh tahun yang selalu berpakaian rapi
dan indah, ia pesolek sekali dan kesukaannya mengganggu anak bini orang! Ia
adaiah seorang penjahat pemetik bunga (Jai hwa-cat) yang banyak dikutuk orang
karena kekejamannya!
Ting Kwan Ek
adalah seorang piauwsu yang sudah banyak merantau dan mengalami hal-hal yang
berbahaya, akan tetapi kali ini ketika tahu-tahu ia berhadapan dengan Ban Yang
Tojin, ia menjadi pucat juga. Kalau saja ia tidak sedang membawa patung Buddha
dari emas yang disembunyikan di dalam saku baju dalamnya, tentu ia tidak akan
merasa gelisah bertemu dengan Ban Yang Tojin. la telah mendengar bahwa tosu ini
selamanya tidak mau rnengganggu orang, kecuali kalau ia sedang berusaha
merampok orang itu!
Kini tosu
jahat ini tahu-tahu muncul dan menegurnya pada saat ia membawa benda yang amat
berharga itu maka tentu saja tosu ini telah tahu akan benda berharga yang
dibawanya!
"Ban
Yang Totiang!" la menekan rasa takutnya dan menjura sambil memberi hormat.
Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku telah bertemu dengan totiang
di tempat ini..."
Tosu itu
tersenyum dan senyumnya membuat Ting piauwsu merasa dingin pada belakang
lehernya. Senyumnya itu merupakan senyum ejekan yang penuh arti.
"Ting
piauwsu, apakah arti penghormatan besar? Hanya berarti dan berguna bagi si
kepala angin, orang sombong yang tidak tahu bahwa dibalik penghormatan besar
itu tersembunyi maksud-maksud tertentu ? Bagiku penghormatan besar tiada
gunanya seperti angin lalu, hanya terasa selama penghormatannya masih berada di
depan muka, memandang dengan sinar mata merendah, mulutnya memuji-muji. Palsu
celaka! Aku tidak butuh penghormatan, baik yang sudah lalu, sekarang, maupun
kelak. Tidak butuh, apalagi dari seorang seperti engkau yang mempergunakan
penghormatan untuk menyembunyikan sesuatu. Ha ha ha!"
Ting Kwan Ek
adalah seorang gagah. Biarpun ia maklum bahwa tosu ini amat berbahaya, namun
kata-katanya yang amat tajam itu menyakiti hatinya dan membuatnya mendongkol
sekali. Namun ia masih menahan sabar dan bertanya dengan suara tetap halus,
"Maaf,
totiang, kalau kiranya aku melakukan sesuatu tanpa kusadari yang membuat
totiang menjadi tersinggung. Akan tetapi, sepanjang ingatanku yang dangkal,
kita belum pernah bertemu dan belum pernah berurusan. Bolehkah aku mengetahui
sebetulnya apakah yang totiang kehendaki dari orang seperti aku?"
"Yang
ku hendaki? Ha ha ha! tak laku, tanggalkanlah penghormatanmu berikut disaku
bajumu."
Biarpun ia
sudah menduga bahwa tosu ini berniat buruk, akan tetapi pucat jugalah wajah
Ting Kwan Ek ketika tosu itu menyatakan niatnya merampas benda berharga yang
dibawanya dengan demikian terang-terangan. Ia bersiap sedia menghadapi segala
kemungkinan dan dengan hati-hati ia lalu melangkah mundur dua tindak sambil
menjura dan berkata,
"Totiang,
sepanjang ingatanku baik aku sendiri maupun Pek-eng Piauwkiok, belum pernah
menganggu kepadamu orang tua. Tentu totiang maklum bahwa aku bersedia
memberikan semua barang yang menjadi milikku apabila totiang membutuhkannya,
akan tetapi sebagai seorang piauwsu, tidak mungkin aku memberikan sesuatu yang
bukan milikku. Harap saja totiang suka memandang nama piauwkiok kami dan
menjaga tali persahabatan antara orang kang-ouw."
"Tikus
kecil, siapakah kau ini maka berani menyebut-nyebut tentang tali persahabatan
dengan aku? Tak usah banyak membuka mulut, hayo lekas kau keluarkan isi sakumu
sebelum aku menjadi tak sabar dan minta kau mengeluarken semua isi
perutmu!"
"Ban
Yang Totiang" jawab Ting Piauwsu marah. "kusangka bahwa seorang
pertapa seperti totiang dapat mengeluarkan ucapan serendah itu!"
"Bangsat
rendah, kau perlu diberi pelajaran" ucap Ban Yang Tosu sambil mencabut
keluar senjatanya, yakni sebatang baja runcing yang panjangnya tiga kaki dengan
ujungnya berbentuk bintang.
"Ingin
aku melihat pengajaran macam apa yang hendak kau berikan." kata Ting Kwan
Ek tenang sambil mencabut keluar goloknya yang lebar.
Seperti juga
suhengnya Ting piauwsu adalah seorang ahli golok yang pandai dan permainan
goloknya yang berdasarkan Pek eng to hwat (ilmu golok garuda Putih) amat
terkenal kelihaiannya.
Dengan
mengeluarkan tertawa mengejek, tiba-tiba Ban Yang Tosu lalu menyerang hebat
dengan senjatanya yang aneh bentuknya itu. Gerakan serangannya selain cepat,
juga berat sekali sehingga ketika Ting piauwsu menangkis dengan goloknya,
piauwsu ini merasa betapa goloknya terpental dan telapak tangannya terasa pedas
dan panas!
Kembali tosu
itu tertawa mengejek dan senjatanya meluncur lagi, kini menyambar ke arah muka
Ting piauwsu, mendatangkan angin dingin menyambar muka lawan. Ting Kwan Ek
tidak mendapat kesempatan menangkis lagi, maka dengan cepat dan sambil
mengeluarkan seruan terkejut, ia lalu membuang diri ke belakang menendangkan
kaki kanan ke depan untuk menjaga serangan susuIan lalu mengayun tubuhnya itu
ke belakang dengan gerak tipu Burung Walet Menyambar Ikan. Dengan gerakan ini
ia berjungkir balik dan terus melompat ke belakang sehingga ia dapat terhindar
dari bahaya maut.
"Ha ha
ha Ting Kwan Ek, kau masih tidak mau meninggalkan patung Buddha Itu?" seru
Ban Yang Tojin sambil melangkah maju.
"Aku
takkan menyerah sebelum putus napasku!" kata Ting Kwan Ek dengan gagah dan
piauwsu ini mendahului lawannya mengirim serangan dengan goloknya.
la membuka
serangan dengan gerak tipu pek-eng Kai-peng (Garuda Putih membuka Sayap) sebuah
tipu serangan dari ilmu golok Pek-eng to-hwat. Ketika tosu itu mengelak dengan
mudah, Ting piauwsu lalu menyusul dengan serangan bertubi-tubi yang dihadapi
dengan tertawa bergelak oleh tosu yang lihai itu. Tiba-tiba Ting Kwan Ek
menjadi terkejut ketika lawannya mempercepat gerakan senjatanya dan cepat ia
terdesak hebat.
"Tidak
kau serahkan patung itu?" tosu itu masih mengejeknya, akan tetapi Ting
piauwsu tentu saja tidak mau mengalah.
Patung itu
adalah milik seorang pembesar tinggi yang telah mempercayainya. Kalau ia
mengalah dan memberikan benda itu kepada tosu perampok ini, tidak saja namanya
dan nama Pek eng Piauwkiok akan tercemar, akan tetapi juga ia harus
mempertanggung-jawabkannya di depan pembesar itu.
Maka,
mendengar seruan Ban Yang Tojin ia tidak menjawab, hanya memutar goloknya lebih
cepat lagi untuk melindungi tubuhnya dan juga untuk membalas dengan serangan
nekad dan mati-matian. Terdengar Ban Yang Tojin tertawa panjang dan dibarengi
dengan gerakan senjatanya yang llhai, la membentak.
"Lepas
senjata!"
Dua senjata
itu bertumbuk nyaring bunga berpijar dan tahu-tahu golok Ting piauwsu telah
terlepas dari pegangan dan melayang ke atas!
Tiba-tiba
nampak berkelebat bayangan yang ringan sekali gerakannya dan bayangan itu
melompat ke atas dan dalam sekejap mata golok yang terlempar ke atas itu telah
dipegangnya. Bayangan ini bukan lain adalah Eng Eng yang semenjak tadl menonton
pertempuran itu bersama pelayan yang tadi melayaninya. Sambil tersenyum-senyum,
Eng Eng memandang kepada Ting Kwan Ek dan berkata,
"Hm,
kau agaknya lebih pandai makan mie daripada mainkan golok! Menghadapi seekor
kambing bandot tua berjenggot hitam seperti ini saja, kau sudah
kepayahan!"
Ting Kwan Ek
merasa sangat mendongkol mendengar ucapan ini, akan tetapi diam-diam iapun
mengharapkan pertolongan pemuda tampan yang bersikap aneh ini. Juga ia merasa
senang mendengar betapa pemuda ini memaki Ban Yang Tojin sebagai kambing bandot
berjenggot hitam!
Padahal sama
sekali Eng Eng tidak berniat memaki atau membenci tosu itu. la tidak tahu
mengapa kedua orang itu bertempur, hanya yang ia ketahui bahwa kepandaian Ting
Kwan Ek masih jauh lebih rendah daripada kepandaian lawannya. Melihat permainan
silat Ban Yang Tojin, tlmbul kegembiraan dalam hati Eng Eng untuk mencoba
kepandaian tosu ini.
Sebaliknya,
ketika melihat gerakan pemuda ini dan mendengar ia dimaki kambing bandot, tentu
saja Ban Yang tojin merasa marah sekali,
"Ah,
tikus kecil! Kenapa kau berani berlaku lancang mencampuri urusanku? Hayo lekas
pergi sebelum aku menjadi marah dan menelanjangimu di depan orang banyak!"
Sesungguhnya
di antara binatang yang pernah dilihatnya di dalam hutan, Eng Eng memang paling
takut dan benci terhadap binatang tikus. Ketakutan dan kebencian yang
berdasarkan kejijikan. Maka kini mendengar ia dimaki tikus kecil, dan bahkan
akan ditelanjangi pula, tentu saja senyumnya menghilang terganti oleh kemarahan
yang membuat gadis yang manis Itu cemberut. Ia tidak tahu bahwa Ban Yan Tojin
mengira ia seorang pemuda tulen, kalau tosu itu mengetahui bahwa pemuda ini
sebenarnya seorang gadis, kiranya tidak akan mengeluarkan hinaan seperti itu.
"Kau
ini monyet tua yang bermuka kambing! Kau berani menghinaku. Maka sebelum kau
pergi, kau harus meninggalkan jenggotmu lebih dulu?"
Sambil
berkata demikian Eng Eng menggerakkan golok di tangannya ke arah muka Ban Yang
Tojin. Angin menyambar dan tosu itu merasa betapa dinginnya sambaran angin
golok itu. Ia terkejut sekali dan cepat mengelak, akan tetapi golok Itu
menyambar sangat dekat sehingga terlambat sedikit saja jenggotnya akan
benar-benar terbabat habis. Bukan main marahnya dan ia tahu pula bahwa pemuda
yang nampak tampan dan lemah-lembut ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari pada Ting Kwan Ek.
"Bagus
kiranya kau sengaja membela orang she Ting itu! Aku harus robohkan kau dulu dengan
beberapa gebukan!" Katanya dan segera ia menyerang kalang kabut.
Akan tetapi
tak lama kemudian tosu ini berseru kaget, juga Ting Kwan Ek berseru karena
kagum dan heran. Dengan amat cepatnya Eng Eng bergerak melayani tosu itu akan
tetapi gerakannya benar-benar kacau balau seperti gerakan orang yang tidak
pandai silat. Bahkan goIoknya yang dipegang secara sembarangan itu digerakkan
dengan ngawur saja, dan bukan hanya dipergunakan untuk menusuk dan membacok,
akan tetapi juga untuk mengemplang dengan punggung golok.
Hal ini
tidak mengherankan, karena memang begitulah orang yang tidak pandai ilmu silat
akan tetapi anehnya, biarpun gerakannya kacau balau setiap gerakan merupakan
tangkisan, elakan ataupun serangan yang amat berbahaya!
Biarpun Ban
Yang Tojin sudah mengeIuarkan seluruh ketangkasan dan tenaganya, namun ia masih
belum berhasil mendesak lawannya. Jangankan mendesak bahkan senjatanya itu
belum dapat menyentuh ujung baju lawannya. Sebaliknya golok di tangan Eng Eng
itu seakan-akan bermata dan selalu mengikuti jenggotnya! Berkali-kali pemuda
yang nakal itu berseru sambil tersenyum.
"Jenggotmu,
jenggotmu! Tak pantas monyet berjenggot seperti kambing! Tinggalkan
jenggotmu!"
Sebenarnya,
ilmu silat yang dipelajari oleh Eng Eng dari suhunya, yaitu Hek Sin-mo yang
gila, adalah semacam ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat yang amat tinggi
dan lihai sekali. Setiap gerakan dari ilmu silat ini berkembang sesuai dengan
gerakan lawan dan untuk setiap serangan maupun tangkisan lawan, selalu dengan
otomatis menimbulkan gerakan pembalasan yang luar biasa sekali. Akan tetapi,
dasar ilmu silat ini tertutup oleh gerakan luar yang benar-benar kacau balau
dan gerakan kacau balau ini sesungguhnya tak pernah dipelajari oleh Eng Eng.
Baik Hek
sin-mo maupun Eng Eng, membuat gerakan kacau balau dengan sengaja sesuai dengan
watak mereka yang bebas, namun demikian, di balik gerakan kacau balau ini,
keaslian ilmu silatnya sendiri masih tidak berobah dan tetap menjadi dasar
gerakan yang amat kuat. Kalau dibandingkan, sesungguhnya ilmu kepandaian Ban
Yang Tojin tidak seharusnya kalah oleh Eng Eng yang masih muda dan belum
mempunyai banyak pengalaman bertempur.
Akan tetapi,
tosu ini yang selamanya hidup belum pernah menghadapi seorang lawan yang
memiliki ilmu silat seaneh itu, menjadi bingung dan pikiran serta ketenangannya
dapat dlkacaukan oleh gerakan-gerakan Eng Eng. Selain itu, memang dalam
mempelajari ilmu Iweekang, Eng Eng melatih diri dengan cara terbalik sehingga
biarpun dibandingkan dengan Ban Yang Tojin ia masih kalah latihan, namun
apabila senjata mereka beradu Ban Yang Tojin merasakan getaran yang amat luar
biasa dan yang membuat tangannya tergetar!
Semua ini
ditambah lagi dengan ejekan yang diucapkan Eng Eng dan yang membuatnya makin
tak dapat mengendalikan ketenangannya, maka kini ia berada dalam keadaan
terdesak. Yang amat membuatnya mendongkol adalah golok di tangan lawannya itu
benar-benar mengancam jenggotnya dan tentu saja hal ini berarti pula mengancam
lehernya!
Setelah
mendesak tosu itu sehingga mundur tiga empat langkah, tiba-tiba Eng Eng
melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya, sambil membentak,
"Lepas
jenggotmu!"
Serangan ini
benar-benar hebat sekali dan golok di tangannya berkelebat menyilaukan mata.
Ban Yang Tojin terkejut sekali. Ia menangkis dengan senjatanya, akan tetapi
begitu senjata golok itu tertangkis, golok ini terpental miring dan masih terus
melanjutkan tuju-annya ke arah jenggot dan tenggorokannya! Ban Yang Tojin tak
keburu menangkis lagi dan cepat memutar tubuh mengelak akan tetapi terlambat.
"Brettt!"
Golok di tangan Eng Eng telah makan pundak kirinya, membuat kulit dan sedikit
daging pundak yang terobek bersama dengan bajunya!
Ban Yang
Tojin terbelalak kaget dan menahan sakit. la tidak saja merasa pundaknya sakit
dan perih, akan tetapi juga merasa malu tercampur heran bagaimana seorang anak
muda yang lemah lembut seperti itu dapat melukainya dalam pertempuran kurang
dari tiga puluh jurus! Ia lebih merasa malu dari pada sakit, maka sambil
melompat jauh ia berseru,
"Ting
piauwsu! Lain kali aku akan datang lagi membayar kebaikanmu dan pembelamu
ini!"
Eng Eng
tertawa geli lalu menyerahkan golok yang masih berlepotan darah itu kepada
pemiliknya. "Jangan terlalu banyak makan sebaliknya perbanyaklah latihan
golokmu!" katanya kepada Ting Kwan Ek.
Piauwsu itu
kini tidak mendongkol atau marah mendengar ucapan Eng Eng yang berkali-kali
seperti menghinanya itu. Ia sedang terheran-heran memikirkan siapa adanya
pemuda yang aneh ini dan amat kagumlah ia menyaksikan kepandaian pemuda yang
dapat mengalahkan Ban Yang Tojin secara demikian aneh dan mudah.
Ting Kwan Ek
menjura dengan penuh hormat lalu berkata, "Taihiap telah menolong nyawaku
dari bahaya maut dan kepandaian taihiap telah membuka mataku dan membuat hatiku
merasa kagum sekali. Percayalah, taihiap pertolonganmu takkan mudah kulupakan
begitu saja. Aku Ting Kwan Ek, dan juga semua anggauta Pek-eng Piauwkiok
bukanlah orang-orang yang mudah melupakan kawan atau lawan. Mohon tanya nama
taihiap agar dapat kucatat dalam kepalaku."
Ucapan ini
sukar sekali dimengerti maksudnya oleh Eng Eng, akan tetapi ketika mendengar
Ting piauwsu menanyakan namanya, ia tertawa dan mukanya berseri jenaka ketika
ia meniru jawaban suhunya tentang namanya.
"Siapa
aku dan siapa namaku? Aku adalah aku!" Ia lalu tertawa dengan bebas
kemudian ia lalu bernyanyi perlahan sambil berjalan pergi.
Tentu saja,
Ting Kwan Ek menjadi bengong, demikianpun pelayan dan orang-orang lain yang
berada di situ, apa lagi ketika Ting piauwsu mendengar nyanyian itu. la
mengerutkan keningnya. Gilakah pemuda ini? ataukah sengaja mempermainkannya? Ia
maklum bahwa memang banyak sekali terdapat orang-orang luar biasa dan sakti di
dunia ini, orang-orang yang mempunyai watak yang amat aneh dan berbeda dengan
manusia biasa, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan atau bertemu dengan
orang seaneh pemuda tampan ini!
Dengan
penasaran ia lalu mengikuti pemuda yang pergi dengan langkah lambat itu sambil
memperhatikan kata-kata yang dinyanyikan oleh Eng Eng.
Aku bukan
dewata, bukan pula setan!
Akan tetapi
baik dewata maupun setan
Takkan dapat
menguasai aku.
Biar dewata
berbisik, biar setan menggoda
Aku tak hendak
patuh tak sudi tunduk.
Aku tertawa
kalau ingin menangis
Menangis
kalau ingin tertawa.
Siapa
perduli! Aku adalah aku.
Bukan dewata
Bukan pula setan!
Ting Kwan Ek
terkejut sekali mendengar nyanyian ini. Kata-kata nyanyian ini mengingatkan ia
akan seorang tokoh yang amat ditakuti oleh orang di dunia Kang-ouw. la pernah
mendengar suhengnya bercerita bahwa di dunia persilatan terdapat seorang aneh
yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan luar biasa, juga beradat aneh
dan dianggap berotak miring. Ia segera mempercepat langkah kakinya mengejar.
"Taihiap,
tunggu dulu!" Ia berseru.
Eng Eng
menoleh dan melihat betapa piauwsu itu mempercepat langkah mengejarnya, ia
tertawa geli lalu berlari cepat! Ting piauwsu merasa gemas sekali melihat
dirinya dipermainkan, ia lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan
tetapi Eng Eng juga mempercepat larinya sehingga jarak diantara mereka tak
banyak berobah
Ting Kwan Ek
merasa makin penasaran. Kalau dalam hal ilmu silat ia memang kalah jauh, akan
tetapi apakah ia mau kalah juga dalam ilmu berlari cepat? Di dunia Kang ouw. ia
telah mendapat julukan Hui ma (Kuda Terbang) karena ia memang telah mempelajari
ilmu berlari cepat yang disebut Couw yang-hui (Terbang di Atas Rumput) sehingga
biarpun diadu balap dengan seekor kuda, belum tentu ia kalah. Akan tetapi
sekarang, betapapun ia mengerahkan kepandaiannya, tetap saja ia tidak dapat
mengejar pemuda tampan itu.
"Taihiap,
sudahlah jangan mempermainkan aku lagi. Aku menerima kalah!" ia berseru
sambil menahan napasnya yang terengah-engah.
Tiba-tiba
terdengar Eng Eng tertawa dan ketika ia menggerakkan kedua kakinya tubuhnya
mencelat ke atas dan berjungkir balik di udara, lalu melompat ke belakang dan
berdiri di depan Ting Kwan Ek!
Piauwsu ini
memang sejak tadi sudah merasa heran sekali melihat pemuda tampan ini. la
menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda yang lemah lembut, bersuara merdu
seperti wanita, akan tetapi yang bersikap aneh dan berkepandaian Iuar biasa
tlngglnya ini? Kini melihat Eng Eng tersenyum-senyum di hadapannya dan
bertanya,
"Kenapa
kau mengejar dan mengikutiku. Kau mau apakah sebetulnya?"
"Maaf
taihiap. Sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk. Kalau aku tidak salah
sangka, taihiap tentu mempunyai hubungan dengan Hek Sin-mo orang tua yang luar
biasa itu, bukan?"
Sebetulnya
Eng Eng tidak pernah tahu siapa nama suhunya, akan tetapi dulu suhunya pernah
sambil tertawa-tawa berkata,
Ha ha ha,
orang-orang gila itu menyebutku Hek Sin-mo! Nama yang bagus. ha ha ha!"
Kini
mendengar Ting piauwsu menyebut nama suhunya, ia melengak dan cepat menjawab,
"Hek Sin-mo adalah suhuku!"
SambiI
berkata demikian, karena merasa panas Eng Eng lalu merenggut kain pengikat
kepalanya dan menggunakan kain itu untuk menghapus peluh di mukanya. Kemudian
ia memakai lagi pengikat kepalanya. Untnk sesaat Ting Kwan Ek memandang dengan
kagum. Belum pernah ia melihat seorang pemuda yang mempunyai rambut sebagus
itu. Hitam panjang dan bagus sekali, seperti rambut seorang wanita.
"Dan
bolehkah kiranya aku mengetahui nama taihiap? Juga kalau taihiap sudi aku
mempersilakan taihiap supaya suka menjadi tamu kehormatan Pek-eng Piauwkiok di
Hun-leng."
Eng Eng
tidak mengerti apakah yang disebut piauwkiok dan mengapa orang ini menjadikan
dia sebagai tamu kehormatan. Akan tetapi melihat wajah orang yang
bersungguh-sungguh dan tidak mengandung bayangan jahat, ia merasa suka
berkenalan dengan Ting piauwsu ini.
"Baik,
baik! Memang aku tidak mempunyai seorangpun kenalan di tempat ini."
Bukan main
girangnya di dalam hati Ting Kwan Ek. Kini ia telah dapat menduga bahwa pemuda
ini agaknya tidak waras otaknya, akan tetapi melihat ilmu silatnya yang sangat
tinggi, maka kalau ia bisa menarik tenaga pemuda ini dipihaknya, ia boleh
berhati lega.
la masih
merasa ngeri akan ucapan Ban Yang Tojin yang mengancam hendak membalas dendam.
Baru menghadapi Ban Yang Tojin seorang saja, ia tidak berdaya. la yakin bahwa
Ban Yang Tojin akan datang bersama Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong! Bagaimana
ia bisa menghadapi Thian-te Sam-kui yang terkenal ganas dan lihai? Kepada siapa
ia harus minta bantuan?.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment