Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 01
PEGUNUNGAN
itu jelas menunjukkan sentuhan musim kering yang berkepanjangan. Pohon-pohon
kehilangan banyak daunnya, bahkan banyak pohon yang nampak gundul. Cabang dan
rantingnya mencuat kering ke sana sini. Sebatang pohon besar nampak menyendiri
di antara pohon-pohon yang layu itu. Pohon ini terlihat masih hijau segar.
Mungkin karena akar-akarnya sudah mencari air sampai jauh di bawah permukaan
tanah yang kering kerontang itu.
Sawah dan
ladang terpaksa dibiarkan menganggur setelah dicangkuli, nampak tergeletak dan
dengan sabar menanti datangnya air hujan. Bila angin berhembus kuat nampak debu
mengepul di permukaan tanah. Matahari bersinar terik, dan beberapa
gumpalan-gumpalan awan putih tidak menjanjikan hujan yang ditunggu-tunggu itu.
Anak-anak sungai tidak ada airnya dan dasarnya yang masih agak basah itu
dipenuhi rumput-rumput.
Beberapa
ekor kerbau yang ramping kurus mencoba untuk makan rumput yang tumbuh di tengah
anak sungai. Seorang lelaki setengah tua yang sama kurusnya mencontoh usaha
kerbau-kerbau itu, mencabuti rumput hijau untuk dimakan! Dari pada mati harus
kelaparan maka diambilnya apa saja yang masih nampak hijau dan masih hidup
untuk dimasak dan dimakan, terutama bagi anaknya yang masih kecil di rumah!
Jauh di atas
nampak beberapa ekor burung beterbangan. Mereka lebih beruntung karena dengan
sayapnya mereka dapat terbang jauh untuk mencari makanan. Banyak serangga
terpaksa keluar dari sarang mereka di bawah tanah untuk mencari makanan yang
sangat kurang bagi mereka sehingga serangga-serangga ini menjadi makanan
burung. Musim kering yang panjang, mengeringkan segala yang berada di atas
permukaan bumi, menjadi masa yang sengsara bagi para petani dusun.
Dusun
Ki-ceng di kaki pegunungan itu dilanda mala petaka musim kering yang panjang.
Banyak penduduk yang mati karena kelaparan. Satu-satunya sumber air yang
terdapat di dusun itu masih mengeluarkan air, akan tetapi hanya tinggal
sepersepuluh dari biasanya. Air yang mengucur kecil inilah yang setiap hari
dibuat rebutan oleh para penduduk dusun, hanya sekedar untuk minum. Tubuh yang
kurus kering dengan pakaian compang-camping itu kulitnya kelihatan kering dan
dimakan kutu penyakit gatal. Perut anak-anak membesar walau pun kaki tangannya
mengecil, tanda mereka menderita penyakit busung lapar. Memang ada beberapa
orang kaya di dusun itu, yang menjadi tuan-tuan tanah.
Namun mereka
sama sekali tak pernah mempedulikan keadaan rakyat di sekitar mereka. Mereka
menutup pintu gudang yang penuh beras dan gandum itu rapat-rapat. Kalau pun ada
yang mau menolong, tentu ada pamrihnya. Yang mempunyai anak gadis cantik dan
bersih akan ditolong, tentu saja dengan menyerahkan anak gadisnya kepada si
hartawan untuk ditukar dengan beberapa karung gandum atau beras.
Keluarga Si
Cun termasuk satu di antara para keluarga miskin itu. Si Cun sudah berusia lima
puluh tahun, ada pun isterinya beberapa tahun lebih muda dari pada dia.
Keluarga ini mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang anak perempuan dan
yang dua orang lagi anak laki-laki. Anak perempuan itu bernama Si Kiok Hwa,
anak yang kedua bernama Si Leng dan yang ketiga bernama Si Kong.
Karena sudah
tidak mampu mendapatkan makanan lagi, maka ketika Hartawan Lui yang tertarik
kepada kecantikan Kiok Hwa menurunkan bantuan, Si Cun terpaksa menyerahkan Kiok
Hwa untuk menjadi selir hartawan itu, menukar anaknya dengan lima karung beras.
Nasib Kiok Hwa yang baru berusia enam belas tahun itu benar-benar patut
dikasihani. Dia dipaksa menyerahkan dirinya kepada Hartawan Lui yang berusia
hampir tujuh puluh tahun itu. Akan tetapi dia menerima nasib.
Kalau dia
tidak mau, berarti dia sekeluarga akan mati kelaparan. Lima karung beras itu
hanya bertahan beberapa bulan saja, dan setelah itu tidak mungkin mengharapkan
uluran tangan dari Kiok Hwa. Anak perempuan itu seakan-akan telah mati bagi
keluarga Si, karena dilarang keluar apa lagi memberikan apa-apa untuk
keluarganya.
Pada suatu
hari Si Leng, anak yang kedua itu, tidak pulang ke rumah. Ayah ibunya dan Si
Kong yang baru berusia sepuluh tahun tentu saja menjadi bingung sekali dan
mencari ke mana-mana. Akhirnya beberapa orang tetangga datang menggotong tubuh
Si Leng yang berusia empat belas tahun itu dalam keadaan sudah tidak bernyawa
lagi. Menurut cerita para tetangga, Si Leng hendak mencuri di rumah Hartawan
Lui, naik ke pagar tembok dan ketahuan penjaga yang mengejarnya dan membacoknya
dengan golok sehingga anak itu tewas!
Si Cun
sekeluarga menangis dan meratapi kematian anak mereka. Mereka tahu benar bahwa
Si Leng pergi ke sana bukan untuk mencuri, akan tetapi hendak menemui kakak
perempuannya dan minta bantuan. Untuk masuk melalui pintu depan tentu tidak
mungkin sebab akan diusir para tukang pukul. Maka dia pun naik ke pagar tembok
dengan harapan bertemu dengan enci-nya di bagian belakang gedung itu. Akan
tetapi nasibnya buruk dan dia ketahuan tukang pukul, dituduh mencuri dan
dibunuhnya!
Si Cun tidak
berdaya. Mau melapor ke mana? Yang berwajib di dusun itu adalah Lurah Ciu. Dan
lurah ini tentu akan menyalahkan Si Leng yang dituduh mencuri dan memarahi Si
Cun yang dikatakan tidak dapat mendidik anaknya. Kiok Hwa yang berada di gedung
Hartawan Lui itu pun mendengar tentang adiknya yang terbunuh karena meloncati
pagar tembok, tetapi dia pun hanya dapat menangisi kematian adiknya itu, tak
dapat berbuat apa-apa.
Dalam
keadaan terhimpit itu Si Cun terpaksa menggadaikan sawahnya kepada Hartawan
Boan, seorang hartawan lain di dusun Ki-ceng. Dia memperoleh hanya sepuluh tael
perak dan hutangnya itu dibebani bunga yang tinggi, sepuluh prosen sebulan.
Tanah itu menjadi milik hartawan Boan sampai Si Cun dapat mengembalikan
utangnya berikut bunganya.
Uang sepuluh
tael perak itu dibelikan beras. Akan tetapi keluarga yang hanya tinggal tiga
orang ini setiap hari harus makan bubur yang banyak airnya, itu pun dibagi-bagi
di antara tiga orang itu. Ketika hujan mulai turun, uang itu pun sudah habis.
Untuk mengembalikan hutang yang telah menjadi dua puluh tael itu tentu saja Si
Cun tidak sanggup. Dan karena tanahnya dikuasai hartawan Boan, terpaksa Si Cun
bekerja kepada tuan tanah sebagai buruh tani!
Dia mulai
mencangkul tanah miliknya sendiri sebagai buruh tani. Curahan peluhnya untuk
menyuburkan hasil sawah itu hasilnya bukan untuk dia, melainkan untuk tuan
tanah Boan dan dia hanya kebagian sepersepuluh bagian. Hanya cukup untuk makan
setiap hari saja dan tidak ada sisa untuk ditabung sebagai pembayar utang.
Dengan
sendirinya hutang itu semakin menumpuk, tertimbun bunganya sehingga setahun
kemudian hutang itu telah menjadi berlipat ganda! Si Cun kehilangan anak
gadisnya, juga kehilangan anak kedua, dan akhirnya kehilangan sawahnya pula!
Setiap malam
Si Cun dan isterinya merenungi nasib mereka dan air mata Nyonya Si Cun sampai
habis terkuras karena setiap malam menangis. Dari pagi sampai petang mereka
bertiga bekerja di sawah. Bahkan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun itu
pun turut membantu mencangkul di sawah.
Kehidupan
manusia di dunia ini teramat janggal, teramat tidak adil. Si kaya mempunyai
makanan, pakaian dan rumah yang berlebihan, ada pun si miskin yang tinggal di
sebelah rumahnya sedemikian melaratnya sehingga untuk makan saja tidak cukup!
Malaskah si miskin itu? Sama sekali tidak. Malah mereka bekerja keras siang
malam untuk sekedar bertahan hidup.
Menyedihkan
memang! Apa lagi jika melihat si kaya membeli barang-barang mewah yang tak
perlu. Padahal uang yang dihamburkan itu dapat menghidupi banyak keluarga
miskin. Lebih menyedihkan lagi kalau banyak sekali uang dihamburkan untuk
membeli senjata untuk mempertahankan diri. Padahal uang untuk membeli senjata
itu bisa menghidupkan suatu bangsa yang sedang dilanda kemiskinan.
Alangkah
baiknya jika dalam kehidupan ini manusia mau saling menolong, bangsa saling
menolong sehingga tidak akan terjadi permusuhan. Alangkah indahnya kalau sinar
kasih menyelimuti kehidupan kita, bukan permusuhan, dendam dan kebencian!
Musim kering
sudah lewat. Sawah ladang nampak hijau segar. Lautan daun padi nampak menghijau
dan ketika angin bertiup daun-daun itu seperti menari-nari, merayakan musim
panen yang segera datang. Akan tetapi semua yang serba indah itu bagaikan
ejekan bagi keluarga Si. Pada waktu mereka bertiga menjaga sawah yang mulai
berbuah itu, mereka merenungi nasib mereka, seakan tenggelam dalam lautan
menghijau itu.
Sesudah
bekerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya Si Cun dan isterinya dapat juga
memetik hasilnya. Walau pun hanya mendapat sepuluh bagian, akan tetapi karena
hasil sawahnya banyak sekali, mereka bisa menjual hasil panen untuk
mengembalikan hutang kepada Hartawan Boan sebanyak dua puluh lima tael.
Sawah itu
kembali kepada mereka, namun hidup mereka tetap miskin. Sisa hasil sawah yang
dijual mampu menahan mereka dari ancaman kelaparan, akan tetapi mereka harus
berhemat. Makan dikurangi, pakaian pun tidak membeli melainkan memakai
satu-satunya pakaian yang melekat di badan! Bila mana sedang mencuci pakaian
maka mereka hanya menggunakan selimut butut untuk menutupi tubuh mereka yang
telanjang.
Pengalaman
pahit membuat orang menjadi kebal dan pengalaman itu tidak terasa pahit lagi.
Makan sedikit bubur dengan garam tidak mendatangkan kesedihan bagi orang yang
sudah terbiasa dengan makanan itu. Kehidupan yang keras dan sukar tertanam
dalam-dalam di jiwa Si Kong sehingga anak ini dapat mandiri dalam usianya yang
baru sepuluh tahun.
Dia menjadi
seorang anak yang tabah dan tidak cengeng. Dia seakan lupa lagi untuk menangis
karena di waktu kecilnya sudah terlampau banyak menangis. Tubuhnya pun menjadi
kokoh kuat, tulang-tulangnya mengeras dan daya tahannya luar biasa. Dia mampu
mencangkul seharian penuh tanpa istirahat dan hanya makan semangkok bubur
encer!
Kemalangan
bagi seorang manusia kadang datang secara bertubi-tubi. Baru saja keadaan
keluarga Si sedikit membaik karena tanahnya sudah kembali kepada mereka,
timbullah wabah penyakit di dusun Ki-ceng. Di antara orang-orang yang terkena
penyakit ini, juga termasuk Si Cun dan isterinya!
Karena
keadaan, maka penghidupan mereka tidak dapat disebut bersih. Dan inilah yang
membuat mereka kejangkitan wabah penyakit itu. Dan dalam waktu sepekan saja, Si
Cun dan isterinya berturut-turut meninggal dunia!
Dunia terasa
kiamat bagi Si Kong yang usianya baru sepuluh tahun itu! Bagi Si Kong dan
mungkin kebanyakan orang, peristiwa itu dianggap keterlaluan seakan-akan Tuhan
tidak adil! Tentu karena manusia hanya melihat segi lahiriahnya saja!
Tuhan Maha
Adil! Hanya jalan yang ditempuh Tuhan untuk menentukan sesuatu menjadi rahasia
besar bagi kita, tidak terjangkau oleh akal pikiran kita. Bagi kita hanya ada
satu sikap, yaitu berikhtiar sekuat dan sebaik mungkin, akan tetapi menerima
kenyataan dan keadaan dengan pasrah dan menguatkan iman kita bahwa apa yang
Tuhan kehendaki semua terjadilah!
Dan semua
itu terjadi dengan benar dan adil. Kenapa terjadi begini atau kenapa terjadi
begitu berada di luar kekuasaan kita. Hukum Karma takkan pernah menyimpang
seujung rambut pun. Kita harus dapat menerimanya penuh kepasrahan, ikhlas dan
dengan iman yang kuat akan kekuasaan, kebesaran dan kebenaran Tuhan!
Atas nasehat
para tetangga, Si Kong terpaksa menjual sawah dan rumah gubuknya untuk
membiayai pemakaman ayah ibunya. Dia menggunakan uang hasil penjualan sawah dan
rumah itu untuk membeli peti mati dan semua keperluan sembahyang, kemudian
dilayat oleh para tetangga, ayah ibunya dikuburkan secara sederhana.
Semua
tetangga yang melayat telah meninggalkan tanah kuburan itu, akan tetapi Si Kong
tidak mau pergi. Beberapa tetangga mencoba untuk membujuknya, namun Si Kong
tetap berkeras tidak mau pulang sehingga akhirnya semua orang meninggalkannya
di hadapan sepasang makam itu.
Si Kong
mendekam berlutut di hadapan kuburan ayah ibunya sambil menangis. Suaranya
sampai habis dipakai menangis sejak kemarin. Dia merasa berduka dan nelangsa
sekali. Kini dia hidup seorang diri, yatim piatu. Satu-satunya saudaranya
hanyalah Si Kiok Hwa, namun enci-nya itu telah 'dipenjara' dalam gedung Hartawan
Lui, tidak dapat dijumpainya. Bahkan mungkin enci-nya itu tidak tahu akan
kematian orang tuanya.
Si Kong
terus mendekam sambil menyentuh tanah. Dia tak merasakan lagi perutnya yang
lapar dan seluruh tubuhnya yang lemah lunglai. Kalau mungkin dia tidak mau
bangkit lagi selamanya, ingin berada di situ bersama makam ayah bundanya yang
tercinta. Akhirnya tubuhnya yang tidak kuat dan dia pun tergolek pingsan.
Malam itu
turun hujan. Keadaan gelap pekat, hanya kadang-kadang ada cahaya kilat yang
menerangi permukaan bumi, meninggalkan bayang-bayang pohon raksasa yang nampak
menyeramkan. Tanah kuburan itu menjadi tempat yang sangat mengerikan. Sesudah
tubuhnya disiram air hujan, Si Kong siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa
lemas dan begitu siuman dia pun teringat kepada ayah ibunya.
"Ayah...!
Ibu...! Bawalah aku..., aku ikut...!" dia menangis dan berteriak-teriak.
Kalau ada orang mendengarkan suara itu di tengah malam hujan di pekuburan,
tentu mengira suara iblis.
Sesudah
menangis dan berteriak-teriak sampai suaranya habis, Si Kong lalu bangkit. Dia
memandang ke arah dua gundukan tanah itu dan baru sadar sepenuhnya apa yang
telah terjadi. Ayah ibunya telah mati, telah dikubur dan tidak mungkin
membawanya.
Dia harus
pulang, akan tetapi pulang ke mana? Rumahnya sudah dijual, uangnya untuk biaya
penguburan. Sisanya yang hanya tinggal beberapa keping saja ada di dalam saku
bajunya yang basah kuyup. Dia menggigil dan menatap dua makam itu.
"Ayah...
ibu... bagaimana dengan aku ini...?" kembali dia menubruk makam itu,
kemudian menangis sambil memeluk dan rebah menelungkup di atas makam ibunya.
Dia pingsan lagi!
Mengenang
masa lampau, takut menghadapi masa depan, menimbulkan duka. Apa bila kita
sedang berduka, duka itu makin menghebat jika kita membandingkan keadaan kita
dengan keadaan orang lain, karena kita selalu tengadah dan melihat mereka yang
berada di atas kita. Kalau kita melihat ke atas, yang nampak hanyalah
orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, lebih kaya, lebih
senang dan sebagainya, pendeknya serba lebih dari pada kita. Akan tetapi sekali
kita menunduk, melihat ke bawah, ternyata masih banyak sekali orang yang lebih
rendah dari pada kita, lebih miskin, lebih sengsara dan baru kita menyadari
bahwa keadaan kita masih lebih baik dari pada keadaan banyak orang!
Kali ini air
hujan yang kembali menyiram tubuhnya tidak mampu menggugah Si Kong dari
pingsannya. Dia pingsan terus sampai pagi, sampai matahari pagi mulai
menghidupkan segala sesuatu, mengusir kabut dan kegelapan.
Seorang
kakek yang pakaiannya penuh tambalan memasuki kuburan itu. Usianya sudah enam
puluhan tahun, tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu dan tangan
kirinya menjinjing sebuah keranjang berisi beberapa macam daun dan akar-akaran.
Kakek berusia enam puluhan tahun itu rambutnya telah berwarna dua, hitam dan
putih sehingga dari jauh kepalanya nampak kelabu.
Namun
wajahnya yang lebar itu masih nampak muda tanpa keriput, bahkan kedua pipinya
kemerahan tanda sehat dan mulutnya tidak pernah berhenti tersenyum. Matanya
juga bersinar-sinar sehingga wajah itu selalu terlihat berseri. Mukanya
menengok kanan kiri, dan agaknya dia mencari tumbuh-tumbuhan, sementara
mulutnya perlahan menyanyikan sajak.
"Bacoklah
air dengan pedang dan air akan mengalir terus, benamkan duka dalam arak dan
kedukaan makin bertambah, dalam hidup ini, harapan-harapan kita terpenuhi,
kelak dengan rambut terurai lepas, kita akan pergi."
"Anda
bertanya mengapa aku memilih tinggal di pegunungan. aku tersenyum tanpa jawab,
hatiku dalam kedamaian, bunga persik pergi air mengalir, terdapat Langit dan
Bumi di luar dunia manusia."
Sajak itu
adalah tulisan pujangga Li Pai (701-762) ratusan tahun yang lalu, dinyanyikan
oleh kakek itu dengan suaranya yang dalam.
Dan Si Kong
masih pingsan atau tertidur itu bermimpi. Dia merasa duduk dekat perapian yang
dibuat di dalam rumah dan dirangkul ibunya. Detak jantung ibunya terasa
olehnya, menimbulkan suasana akrab dan hangat. Telinganya seakan mendengar
suara ayahnya yang agak parau dan dalam, dan suara itu mendatangkan rasa damai
dan tenteram dalam hatinya.
Alangkah
senangnya duduk di dekat api dalam rangkulan ibunya sambil mendengar suara
ayahnya. Memang perutnya masih terasa lapar. Makan semangkok bubur malam itu tidak
memuaskan perutnya. Tetapi suasana yang akrab dan tenteram itu amat
menyenangkan.
"Hei,
nak, matahari telah naik tinggi akan tetapi engkau masih enak-enak tidur di
sini?" Ia mendengar teguran ayahnya. Ayahnya memang tidak senang bila
melihat dia bermalas-malasan.
Kemudian
pundaknya terasa diguncang dan suara ayahnya terdengar lagi. "Hayo bangun!
Engkau bisa sakit tidur di sini!"
Eh, mengapa
ayahnya berkata demikian? Dan suara itu, memang dalam akan tetapi tidak parau.
Bukan suara ayahnya! Si Kong segera bangkit dari tidurnya. Sinar matahari tepat
menerobos celah-celah daun lantas menimpa matanya. Dia melindungi matanya
dengan punggung tangan, menggosok-gosoknya untuk mengusir sisa-sisa rasa
kantuk, kemudian menurunkan kedua tangannya.
Terbelalak
dia memandang kepada kakek yang tadi menyuruhnya bangun. Sama sekali bukan
ayahnya, melainkan seorang kakek. Kakek itu asing pula, bukan penghuni dusun
Ki-ceng. Seluruh penduduk dusun Ki-ceng dikenalnya, akan tetapi kakek ini tidak
dikenal. Rasa lapar menggerogoti perutnya, akan tetapi ditahannya.
"Engkau
siapakah, kek?" tanyanya.
"Ha-ha-ha-ha,
sepatutnya aku bertanya engkau ini siapa dan apa kerjamu di sini? Engkau
tertidur di atas makam dan seluruh pakaianmu basah. Lihat, mukamu juga membiru
tanda kedinginan. Cepat kau kunyah ini kemudian telan, jangan pedulikan pedas
dan pahitnya!" Dia menyodorkan sejari jahe yang diambilnya dari keranjang
obatnya.
Si Kong tak
membantah. Dia memang seorang anak yang penurut dan mudah memahami kehendak
orang lain. Dia segera tahu bahwa kakek ini hendak menolongnya, maka dia pun
menerima jahe itu dan dimakannya. Panas dan getir bukan main rasanya, akan
tetapi terus ditelan saja. Ada rasa hangat di perutnya. Rasa hangat yang
kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya sehingga dia tidak lagi merasa
kedinginan.
"Nah,
sekarang engkau harus memberitahu kepadaku, mengapa engkau berada di sini,
siapa namamu dan di mana pula rumahmu?"
Karena kedua
kakinya agak gemetar dipakai berdiri, Si Kong duduk di atas batu di dekat makam
ayah ibunya. "Namaku Si Kong dan ini adalah makam ayah dan ibuku yang baru
dimakamkan kemarin sore."
"Kemarin
sore dimakamkan lantas semalam suntuk engkau berada di sini, kehujanan dan
kedinginan?" tanya kakek itu dengan suara mengandung keheranan dan juga
kekaguman. Anak ini sungguh berbakti dan pemberani. Sukar dicari anak yang
berani tinggal semalam suntuk di kuburan, apa lagi malam tadi gelap dan dingin
banyak mengandung kilat.
"Mereka
adalah orang tuaku, Kakek, dan aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi."
Teringat akan ini, Si Kong pun kembali mengeluarkan air mata. "Rumah kami
sudah kujual untuk membeli peti mati. Aku tidak punya rumah lagi, sebatangkara
di dunia ini."
Melihat anak
itu mulai menangis dan mengguguk, kakek itu lantas meloncat dan tertawa-tawa.
Suara tawanya berbaur dengan suara tangis Si Kong sehingga terdengar sungguh
aneh. Bahkan Si Kong yang sedang menangis itu menghentikan tangisnya memandang
kakek itu.
"Kek,
apa yang kau tertawakan?"
"Anak
yang baik, apa yang kau tangisi?"
"Aku
menangisi kematian ayah ibuku," kata Si Kong penasaran.
"Ha-ha-ha,
benarkah itu? Untuk apa engkau menangisi orang tuamu kalau engkau tidak tahu
bagaimana keadaan mereka sekarang? Yang jelas mereka terhindar dari kemiskinan,
dan terhindar dari sakit. Hal itukah yang kau tangisi? Ataukah engkau menangisi
dirimu sendiri karena merasa ditinggalkan orang-orang yang kau sayangi, karena
merasa hidup seorang diri dan tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak memiliki
apa-apa lagi? Itukah yang kau tangisi?"
Si Kong
tertegun dan sadar. "Memang begituah, kek, aku menangisi diriku sendiri,
merasa kasihan kepada diriku sendiri. Salahkah itu?"
"Ha-ha-ha,
tidak salah melainkan tidak tepat. Manusia harus berusaha untuk mengatasi
kesulitannya, bukan hanya ditangisi."
"Dan
engkau sendiri mengapa tertawa-tawa, kek? Apa engkau menertawakan aku yang
sedang berduka? Alangkah kejamnya engkau."
"Ha-ha-ha,
aku tertawa karena melihat kelucuan. Betapa manusia diombang-ambingkan antara
tawa dan tangis, antara suka dan duka. Baru terlahir telah menangis, masih
belum puaskah? Menangis dan menangis lagi. Seorang bocah semacam engkau ini
tidak pantas menangis, pantasnya tertawa seperti aku, mentertawakan dunia
mentertawakan manusia dengan segala kepalsuannya! Sudahlah, berkabung semalam
suntuk sudah cukup baik. Kulihat engkau kedinginan dan kelaparan. Dinginmu
sudah kuusir dengan jahe tadi, akan tetapi kalau kubiarkan saja perutmu kosong,
engkau dapat mudah diserang penyakit. Ini aku mempunyai beberapa potong buah
pisang. Nah makanlah dan habiskan!"
Dia
mengambil lima potong buah pisang dari keranjangnya. Si Kong terheran-heran.
Dari mana kakek itu dapat memiliki buah pisang? Di daerah itu sama sekali tidak
ada pohon pisang. Bahkan Si Kong baru melihat saja, tetapi belum pernah makan.
Akan tetapi dia tidak menolak. Diterimanya buah pisang itu, dikupasnya kulitnya
dan dimakannya dengan lahap. Sejak kemarin pagi perutnya tidak dimasuki
apa-apa.
"Sekarang
telanlah ini untuk menguatkan badanmu." Kakek itu kembali mengambil
sebutir pil dari bungkusan di dalam keranjangnya. Pil itu berwarna merah dan
tanpa ragu-ragi lagi Si Kong menelannya.
"Aku
mendengar bahwa dusun Ki-ceng diserang wabah penyakit. Apakah orang tuamu juga
terserang penyakit itu?"
"Agaknya
begitulah, kek. Tubuh mereka panas sekali, lantas dalam waktu dua hari saja
mereka meninggal dunia seperti orang-orang lain di dusun ini yang lebih dulu
terserang."
"Engkau
sebatang kara? Tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa?"
"Benar,
kek..."
"Kalau
begitu, maukah engkau ikut dan membantuku? Akan tetapi ingat, keadaanku tidak
banyak bedanya denganmu, aku juga tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa. Maukah
engkau menjadi muridku?"
"Mnjadi
murid? Belajar apakah, kek?"
"Ha-ha-ha,
belajar apa? Mengobati orang, membaca huruf, dan juga mengemis!"
"Aku
suka belajar mengobati orang dan membaca huruf, akan tetapi aku tidak mau
belajar mengemis, kek."
"Mengemis
adalah perbuatan yang penting untuk mencegah kita menjadi pencuri. Kalau kita
dapat bekerja mencari nafkah, itu baik sekali. Akan tetapi kalau tidak bisa,
lalu apa yang dapat kau makan? Tidak makan berarti mati, karena itu dari pada
mencuri lebih baik mengemis, menggerakkan hati manusia untuk sekedar memberi
semangkok nasi."
Si Kong
tidak berpikir lama. Jelas bahwa kakek ini mempunyai hati yang baik. Dia dapat
belajar mengobati dan juga membaca huruf. Soal mengemis, bagaimana nanti
sajalah. Ia dapat bekerja apa saja.
"Bagaimana?
Engkau suka menjadi muridku?"
Si Kong
cepat menjawab. "Suka sekali!" kemudian dia segera menjatuhkan diri
berlutut di hadapan kakek pengemis tua itu dan menyebut, 'suhu'.
"Bagus!
Nah, mulai sekarang engkau harus menurut semua kata-kataku. Siapa namamu tadi?
Si Kong? Orang-orang yang usil mulut menyebutku Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua
Dewa Obat). Lihatlah, mereka mengangkatku menjadi Yok-sian (Dewa Obat) akan
tetapi memakiku sebagai Lo-kai (Pengemis Tua). Akan tetapi aku sudah terbiasa
dengan nama itu sehingga aku sudah lupa namaku sendiri, ha-ha-ha!"
"Suhu,
kita akan ke mana sekarang?"
"Di
Ki-ceng sedang berjangkit wabah yang menular. Orang tuamu sendiri menjadi
korban. Kita harus menolong mereka yang sakit dan menjaga mereka yang belum
ketularan agar tidak sakit. Hayo, antarkan aku ke rumah kepala dusun."
Si Kong
menjadi penunjuk jalan. Sementara itu matahari mulai memuntahkan cahayanya yang
panas sehingga pakaian Si Kong yang tadinya basah kuyup karena semalaman
diguyur air hujan, kini mulai mengering. Mereka disambut oleh kepala dusun
sendiri yang mengenal Si Kong.
"Si
Kong, ada apakah engkau minta menghadapku dan siapakah kakek ini?"
"Lo-ya,
kakek ini adalah guru saya berjuluk Yok-sian Lo-kai. Dia datang untuk mengobati
mereka yang sakit terkena wabah."
"Ahhh,
sungguh kebetulan sekali. Anakku juga terserang dan baru malam tadi badannya
panas sekali," kata kepala dusun.
"Boleh
aku memeriksanya dan mengobatinya?" tanya Yok-sian Lo-kai.
"Tentu
saja. Mari, silakan masuk." Kepala dusun yang sedang gelisah itu
mempersilakan mereka masuk. Kakek itu masih memegang tongkat bambunya, akan
tetapi keranjang terisi rempah-rempah itu kini dibawakan oleh Si Kong.
Anak sakit
itu berusia sepuluh tahun, sebaya dengan Si Kong. Pada saat Yok-sian Lo-kai
memasuki kamarnya, anak itu dalam keadaan tidak sadar dan tubuhnya sangat
panas. Yok-sian Lo-kai memeriksa denyut nadinya, membuka matanya dan mulutnya,
kemudian mengangguk-angguk.
"Penyakit
ini memang mudah menular, terbawa oleh lalat. Akan tetapi keadaannya masih
dini, belum parah dan mudah-mudahan dia dapat disembuhkan."
Dengan
jarinya kakek itu lalu menotok pada beberapa bagian tubuh anak itu. Anak itu
kini siuman dan mengerang kepanasan. Kakek itu mengambil sedikit akar dan
berkata kepada Si Kong.
"Si
Kong, masaklah akar ini dengan semangkok air hingga mendidih dan tersisa
setengah mangkok, lalu bawa kesini."
Isteri lurah
yang juga berada di dalam kamar itu lalu menggapai ke arah Si Kong. "Mari
kusediakan alatnya untuk memasak obat."
Mereka lalu
ke dapur dan kakek itu tetap menggunakan jari-jari tangannya untuk menekan
sana-sini. Sesudah obat itu selesai dimasak, Si Kong lalu membawanya kepada
gurunya. Setelah obat itu agak dingin barulah Yok-sian Lo-kai menyuruh anak
yang sakit itu minum obat itu sampai habis, kemudian dia menyuruh anak itu
tidur kembali. Obat itu sungguh manjur sekali karena panas tubuh anak itu
segera menurun. Tentu saja kepala dusun dan keluarganya merasa girang dan
berterima kasih sekali.
"Kalian
carilah ilalang dan akar ini sebanyaknya. Masak dan beri minum kepada mereka
yang sakit. Tentu dapat menolong nyawa mereka. Mereka yang belum terkena
penyakit ini harus berhati-hati. Jangan sekali-kali membiarkan lalat hinggap
pada makanan. Semua makanan harus ditutup rapat. Jangan minum air mentah,
melainkan air itu harus dimasak sampai mendidih. Keluarkan alas tempat tidur
serta selimut, jemur sampai kering benar. Jagalah kebersihan dan wabah ini akan
lenyap dengan sendirinya," demikian Yok-sian Lo-kai berkata kepada kepala
dusun.
Kepala dusun
segera memanggil semua penduduk dan kepada mereka dia meneruskan pesan
Yok-sian. Penduduk yang sanak keluarganya sakit segera beramai-ramai mencari
daun ilalang dan akar itu, lalu mengobati mereka yang sakit.
Kepala dusun
lantas menjamu Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Tanpa sungkan lagi Yok-sian lalu
makan minum dengan lahapnya. Juga Si Kong yang sejak kemarin belum makan, kini
makan dengan lahapnya. Setelah itu Yok-sian lalu berkata kepada kepala dusun.
"Sekarang
harap lo-ya suka memanggil semua orang yang kaya agar berkumpul di sini. Saya
ingin bicara hal penting pada mereka."
Permintaan
ini pun dilaksanakan oleh kepala dusun. Tidak lama kemudian belasan orang tuan
tanah yang kaya raya berkumpul di tempat itu, tidak ketinggalan disertai
pengawal-pengawal atau tukang pukul.
"Aku
ingin bicara, harap kalian dengarkan baik-baik. Kalian adalah warga-warga dusun
Ki-ceng, berarti senasib sependeritaan dengan warga lain yang kurang mampu.
Mulai saat ini harap kalian suka mengubah sikap terhadap warga yang miskin.
Jangan lagi memeras mereka, akan tetapi bantulah mereka ketika musim paceklik
tiba. Jangan memberi hutang dengan bunga tinggi, dan jangan merampas sawah
ladang mereka. Apa bila kalian masih berani melakukan penindasan, mungkin dusun
ini akan terkutuk dan datang lagi wabah penyakit yang lebih hebat pula. Dan penyakit
itu tidak takut kepada harta kalian."
Segera
belasan orang hartawan itu menjadi gempar. Jelas kelihatan bahwa mereka tidak
menyetujui hal ini. Melihat ini Yok-sian Lo-kai lalu berkata lantang kepada
kepala dusun. "Lo-ya sebagai kepala dusun di sini harus bersikap keras
terhadap para hartawan yang membangkang. Mereka yang tidak mau membantu warga
yang melarat harus dipaksa."
"Akan
tetapi, in-kong (tuan penolong), semua itu adalah milik mereka sendiri maka
kami tidak dapat memaksa. Bahkan mereka masing-masing memiliki
pengawal-pengawal yang siap menghajar siapa yang berani menentang mereka."
Mendengar
kata-kata ini, Yok-sian Lo-kai segera berkata lagi kepada para hartawan itu.
"Kalian dengar itu? Agaknya kalian selalu memaksakan kehendak dengan mengandalkan
anjing-anjing pengawal kalian! Sekarang aku yang memerintahkan kalian menurut
aturan itu, membantu para warga yang miskin, memberikan pinjaman tanpa bunga.
Siapa yang berani menentang perintah itu?"
Para tukang
pukul itu serentak maju.Tidak kurang dari tiga puluh orang tukang pukul yang
bertubuh tinggi besar melangkah maju. "Siapa yang berani memaksa majikan
kami akan berhadapan dengan kami!" kata seorang di antara mereka.
"Apa lagi engkau hanya seorang jembel tua, bagaimana berani bicara seperti
itu kepada majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?"
"Ha-ha-ha,
dengarlah!" kata Yok-sian Lo-kai sambil menudingkan tongkatnya kepada para
tukang pukul itu. "Ajing-anjing peliharaan para hartawan memang pandai
menggonggong, akan tetapi mereka tidak pandai menggigit."
Para
hartawan yang tidak rela untuk menolong warga yang miskin menjadi marah bukan
main. Mereka memberi isyarat kepada para tukang pukul mereka untuk bertindak.
Tukang pukul yang tadi bicara berada paling depan. Agaknya dia hendak
memamerkan kehebatannya, maka dengan ganas dia telah menyerang Yok-sian Lo-kai
dengan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu!
"Wuuutt...!"
Dengan hanya
miringkan tubuh menggerakkan kepalanya Yok-sian Lo-kai telah membuat pukulan
itu mengenai tempat kosong saja dan dengan secepat kilat tongkatnya menotok, tepat
mengenai lutut kanan kiri tukang pukul itu. Mendadak, tanpa dapat dihindarkan
lagi, tukang pukul itu jatuh berlutut di depan Yok-sian Lo-kai.
"Ha-ha-ha,
engkau minta ampun? Baik, baik, kuampuni kau!" kata Yok-sian Lo-kai.
Penduduk
yang berdatangan menonton peristiwa itu menahan tawa karena geli. Memang
dipandang sepintas lalu, tukang pukul itu kelihatan seperti berlutut minta
ampun kepada si pengemis tua.
Melihat ini,
para tukang pukul lainnya menjadi marah. Tiga orang langsung meloncat dan menyerang,
akan tetapi dengan gerakan tongkat tga kali, tiga orang itu pun terpelanting
roboh terkena sambaran tongkat bambu!
Kini
mengertilah para tukang pukul bahwa kakek yang pandai mengobati itu juga pandai
bersilat. Karena mereka berjumlah banyak, mereka tidak takut dan kini mereka
mencabut senjata pedang dan golok kemudian segera menyerbu.
Terdengar
suara tawa pengemis tua itu dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas.
Ketika turun tongkatnya diputar lantas banyak pengeroyok roboh berpelantingan.
Sisanya menyerbu semakin nekat, akan tetapi mereka ini pun roboh satu demi satu
sehingga tidak ada seorang pun yang tidak roboh. Gerakan Yok-sian Lo-kai itu
demikian cepat sehingga tidak dapat diikuti dengan pandangan mata. Yang nampak
hanya gulungan sinar kuning dan tahu-tahu para tukang pukul itu sudah roboh
berpelantingan.
"Bagaimana,
cu-wi wangwe (hartawan sekalian)? Maukah kalian memenuhi permintaanku tadi?
Membantu warga miskin, jangan memungut bunga, jangan mengambil sawah ladang
mereka, dan bayarlah buruh tani dengan selayaknya sehingga mereka bisa hidup
dengan layak pula."
Seperti
dikomando saja, para hartawan itu mengangguk dan menyatakan setuju.
"Ingat,
kalau lain kali aku lewat di Ki-ceng lagi tetapi kalian masih melakukan
pemerasan terhadap warga dusun yang miskin, maka aku Yok-sian Lo-kai tak akan
mau mengampuni kalian lagi. Sekarang pulanglah ke rumah masing-masing dan
laksanakanlah perintahku. Bubarkan para tukang pukul karena kalau kalian
bersikap baik terhadap warga tani yang miskin, kalian tidak perlu khawatir lagi
akan harta kalian. Penduduk akan berterima kasih kepada kalian dan akan menjaga
harta milik kalian."
Orang-orang
kaya itu lantas pergi dengan muka ditundukkan. Di antara mereka ada yang rela,
namun ada pula yang tidak rela, akan tetapi mereka takut akan ancaman pengemis
tua yang sakti itu.
Sementara
itu Si Kong merasa khawatir sekali ketika melihat Yok-sian Lo-kai dikeroyok
para tukang pukul. Akan tetapi dia segera bersorak di dalam hati ketika terjadi
hal yang tidak disangka-sangkanya, betapa pengemis renta itu menghajar tiga
puluh orang tukang pukul itu. Dia mengambil keputusan dalam hatinya bahwa
selain belajar ilmu pengobatan dan membaca huruf, dia pun akan minta supaya
diajari ilmu bela diri!
Sesudah
semua orang bubaran, Yok-sian Lo-kai segera berpamit kepada kepala dusun.
Kepala dusun tergopoh-gopoh mengambil uang dan hendak memberi sumbangan kepada
pengemis tua itu. Akan tetapi Yok-sian Lo-kai tidak mau menerimanya dan
berkata,
"ku
memang seorang pengemis dan kalau terpaksa aku suka mengemis makanan. Akan
tetapi untuk pengobatanku, aku tidak sudi menerima upah." Dia lalu
menggandeng tangan Si Kong dan menarik anak ini pergi dari situ.
Orang-orang
hanya memandang heran dan mengikuti murid dan guru itu pergi. Tongkat bambu itu
berbunyi tak-tuk tak-tuk di sepanjang jalan. Sesudah bayangan pengemis tua itu
menghilang pada sebuah tikungan, barulah mereka ramai membicarakan sepak
terjang pengemis tua itu.
Dan semenjak
hari itu tidak ada lagi penyakit yang berjangkit di dusun itu. Juga kehidupan
para warga dusun yang miskin kini menjadi mendingan keadaannya karena uluran
tangan para hartawan. Paksaan dan siksaan yang dahulu dilakukan para tukang
pukul juga tidak ada lagi.
********************
Mulai saat
meninggalkan dusun Ki-ceng, Si Kong menjadi murid Yok-sian Lo-kai. Yok-sian
adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Kalau
bertemu dengan kota atau dusun yang cocok dan menyenangkan hatinya, dia dapat
tinggal di situ hingga sebulan lamanya. Akan tetapi banyak pula dusun dan kota
yang dilewatinya begitu saja.
Di sepanjang
jalan dia selalu mengumpulkan rempah-rempah yang dianggapnya berguna. Dia
selalu mengulurkan tangan untuk menolong dan mengobati orang sakit. Untuk makan
mereka, kadang-kadang mereka mendapatkan binatang buruan di hutan, atau memetik
buah-buahan di dalam hutan. Sering pula Si Kong bekerja di rumah makan atau
rumah penginapan untuk mendapatkan uang sekedar pembeli makan untuk dia dan
gurunya.
Akan tetapi,
kalau Yok-sian Lo-kai tidak tinggal lama di suatu tempat, mereka mengemis
makanan dari rumah-rumah. Cara mengemis Yok-sian Lo-kai berbeda dengan pengemis
lain. Dia bersama Si Kong mendatangi rumah orang dan menyatakan terus terang
bahwa mereka minta diberi makanan. Kalau diberi uang Yok-sian tidak
menerimanya, melainkan pindah ke rumah lain. Si Kong tidak sesabar itu, akan
tetapi kalau ada gurunya, dia pun tunduk pada kebiasaan gurunya itu.
"Kalau
perutmu tidak lapar, mengapa mengemis makanan? Apa bila tidak haus, mengapa
mengemis minuman? Kalau tidak butuh pengganti pakaian, mengapa mengemis
pakaian? Kita tidak boleh melanggar pantangan itu. Mengemis uang dapat membuat
kita menjadi malas," demikianlah pendirian Yok-sian Lo-kai.
Pada waktu
senggang kakek itu mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada muridnya. Tidak
saja Si Kong harus menghafalkan nama rempah-rempah dan kegunaannya, juga dia
diajar cara meneliti keadaan orang dari denyut nadinya. Melihat gejala-gejala
penyakit dari lidah dan mata orang yang sakit. Ketika ada orang sakit yang
membutuhkan pengobatan, dia bahkan menyuruh muridnya untuk mengobatinya
sementara dia sendiri hanya meneliti kalau-kalau muridnya salah memberi obat.
Si Kong juga
diberi pelajaran mengenai jalan darah manusia, titik-titik mana yang harus
dipijat atau ditotok. Memang Si Kong memiliki kecerdasan sehingga dia dapat
menerima dan menghafalkan semua pelajaran itu.
Di samping
pelajaran pengobatan Si Kong mulai pula diajar ilmu membaca dan menulis.
Ternyata Si Kong cepat sekali mendapatkan kemajuan dalam ilmu ini. Baru setahun
turut merantau bersama Yok-sian Lo-kai, dia sudah pandai membaca dan menulis.
Tentu saja gurunya merasa girang sekali melihat kemajuan muridnya. Dia lantas
mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada muridnya.
Si Kong
merasa gembira sekali dan dia berlatih dengan tekun sekali. Karena sejak masih
kecil sekali Si Kong telah terbiasa menggunakan tenaga kasar, maka tubuhnya
lebih kuat dari pada anak biasa. Bahkan kemajuannya dalam ilmu silat
mengalahkan kemajuannya dalam ilmu sastra.
Gurunya
maklum bahwa anak ini memang bertulang baik dan berbakat sekali, maka dia pun
mengajarkan ilmu tongkatnya yang sangat terkenal di seluruh dunia kang-ouw, yaitu
Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing). Ilmu tongkat ini hanya terdiri
tiga belas jurus pokok, akan tetapi perkembangannya dapat menjadi ratusan,
tergantung dari bakat yang menguasai ilmu itu.
Karena itu
setelah berlatih tiga tahun lamanya, barulah Si Kong dapat menguasai Ta-kaw
Sin-tung. Semenjak berlatih ilmu tongkat itu, sekarang dia pun memiliki
sebatang tongkat bambu yang selain dipakai untuk berlatih silat juga digunakan
untuk memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya.
Pada suatu
pagi yang cerah, matahari masih agak kekuningan di langit timur, akan tetapi
sinarnya sudah menyengat hangat. Pohon-pohon dan segala tumbuh-tumbuhan nampak
seperti baru hidup lagi sesudah semalam suntuk mereka diselimuti kegelapan yang
penuh rahasia itu.
Di jalan
yang menuju ke kota Souw-ciu suasananya masih sunyi. Jalan itu memang hanya
jalan yang menghubungkan kota Souw-ciu dengan dusun-dusun, karena itu tampak
sunyi. Keadaan yang sunyi itu dibuyarkan oleh dua orang yang berjalan
berdampingan. Mereka adalah Yok-sian Lo-kai dan Si Kong.
Anak itu
kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun, akan tetapi
dia nampak lebih tua dari pada usianya. Mungkin hal ini akibat dia kenyang
ditempa oleh keadaan, banyak menghadapi kesukaran dan kesengsaraan. Tubuhnya
tinggi tegap, dan wajahnya jantan lagi gagah, walau pun pakaiannya yang nampak
bersih itu sudah penuh dengan tambalan, seperti pakaian yang dipakai Yok-sian
Lo-kai.
Agaknya pagi
yang cerah itu telah membangkitkan kegembiraan di hati Yok-sian. Dia pun
memandang ke atas lalu menyanyikan sebuah sajak.
"Mari
pada menguasai sampai sepenuhnya lebih baik berhenti pada saatnya. Menempa
untuk mencapai tajamnya ketajaman itu takkan bertahan lama. Ruangan penuh
dengan emas dan batu permata tidak mungkin dapat dijaga. Angkuh karena mewah
dan mulia dengan sendirinya membawa bencana. Tugas selesai, nama menyusul, diri
mundur demikianlah jalan yang ditempuh langit."
"Nah
sajak Suhu sekali ini membuat aku bingung dan tidak mengerti apa artinya.
Maukah Suhu menjelaskan kepadaku?"
"Apa
yang tidak jelas? Sajak itu sendiri sudah menjelaskan artinya. Di situ
dinasehatkan supaya kita jangan menuruti kehendak nafsu yang ingin memiliki
sepenuhnya, menguasai sepenuhnya, yang akhirnya tidak pernah puas dan
tergelincir oleh tindakan sendiri. Lebih baik berhenti pada saatnya atau
mengenal batas. Segala sesuatu yang dipaksakan untuk diperoleh, maka yang
diperoleh itu tidak akan bertahan lama, akan membosankan. Harta kekayaan yang
berlebihan hanya akan menimbulkan rasa iri hati dan mengundang maling untuk
mencurinya. Kalau orang menjadi angkuh karena kemewahan dan kemuliaan, harta
benda atau kedudukan tinggi, hal itu akhirnya akan mendatangkan bencana pada
dirinya sendiri. Kalau merasa sudah menyelesaikan tugas dengan baik, tentu
namanya menjadi harum dan dia boleh mengundurkan diri untuk menyatukan diri
dengan Tuhan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Langit dan Bumi, yang bersikap
selaras dengan kehendak Tuhan."
"Aduh,
demikian dalamnya isi sajak itu, Suhu. Siapakah pembuat sajak itu?"
"Sajak
itu termuat dalam kitab Tao-tek-keng, merupakan ujar-ujar peninggalan dari Sang
Bijaksana Lo Cu. Kelak bila ada kesempatan engkau harus menghafalkan dan
memahami seluruh sajak Tao-tek-keng itu."
Mereka kini
memasuki kota Souw-ciu dari arah barat. Kota itu cukup ramai dan dikelilingi
bukit-bukit sehingga pemandangannya indah dan hawanya juga sejuk. Gembira rasa
hati Si Kong ketika dia memasuki kota, melihat banyak toko, rumah makan dan
penginapan.
"Suhu,
aku dapat mencari pekerjaan di kota ini!" katanya. "Di sini banyak
sekali toko-toko besar, rumah makan dan penginapan."
"Hemmm,
kita lihat saja nanti. Belum tentu aku suka tinggal lama di tempat ini. Mari
kita melihat ke sana, agaknya di sana itu ada pasar yang ramai."
Mereka
berjalan terus dan tiba-tiba perhatian mereka tertarik oleh sedikit keributan
yang terjadi di depan sebuah rumah makan. Nampak seorang pengemis berpakaian
compang-camping warna hitam sedang ribut mulut dengan seorang pengemis lain
yang pakaiannya tambal-tambalan berkembang.
"Tidak
usah banyak cakap! Engkau bersama rombonganmu tidak kami perbolehkan untuk
mengemis di kota ini, kecuali kalau kalian menjadi anggota kami!" kata si
pengemis baju berkembang.
"Kalian
selalu mengganggu kami! Kami sudah mempunyai perkumpulan sendiri dan kami tak
sudi menjadi anggota perkumpulan kalian. Sudah semenjak dulu kami bekerja di
sini, karena itu kalian tidak berhak melarang."
"Ah,
berani membantah, ya? Engkau sudah bosan hidup rupanya!" Dan si pengemis
baju berkembang itu segera menyerang pengemis baju hitam.
Terjadilah
perkelahian saling pukul dan saling tendang. Tidak lama kemudian datang lima
orang pengemis baju berkembang, juga lima orang pengemis berbaju hitam dan
terjadilah perkelahian di antara mereka. Orang-orang segera datang menonton
perkelahian antara pengemis itu.
Sejak tadi
Yok-sian Lo-kai berhenti melangkah dan menonton perkelahian. Melihat betapa
perkelahian telah menjadi keroyokan, dia berkata kepada Si Kong,
"Orang-orang itu tidak tahu diri. Pekerjaan mengemis saja diperebutkan! Si
Kong, coba kau gunakan tongkatmu untuk melerai mereka. Kalau mereka masih nekat
berkelahi, hajar mereka semua dengan gebukan tongkatmu!"
Selama ini
belum pernah Si Kong berkelahi. Biar pun dia sudah menguasai Tongkat Sakti
penggebuk anjing dengan baik, akan tetapi belum pernah dia gunakan untuk
bertanding. Kehidupan mereka sebagai pengemis itu tentu saja tidak pernah
menarik perhatian para perampok atau penjahat sehingga dia dan gurunya tidak
pernah diganggu orang.
Kini gurunya
menghendaki agar dia melerai dua belas orang yang sedang berkelahi dan
merobohkan mereka semua apa bila mereka tidak mau berhenti berkelahi. Akan
tetapi dia tidak membantah. Diturunkannya keranjang rempah-rempah dari
pikulannya, lalu dengan senjata tongkat bambu di tangan dia menghampiri mereka
yang sudah saling pukul itu.
"Heiiii,
kawan-kawan! Berhentilah berkelahi! Tidak baik berkelahi antara kita sendiri.
Hayo, berhenti!"
Akan tetapi
saat melihat bahwa yang melerai itu adalah seorang pemuda pengemis pula, bukan
anggota pengemis baju hitam dan juga bukan anggota pengemis baju berkembang,
para pengemis itu tidak peduli, bahkan mereka berbalik menyerang Si Kong! Baik
yang baju hitam mau pun yang baju berkembang kini menyerang Si Kong!
Si Kong
cepat mengelak kemudian memutar tongkat bambunya. Gerakan para pengemis itu
terlampau lamban baginya dan mudah saja untuk dirobohkan. Akan tetapi hati Si
Kong tidak tega untuk menyakiti mereka. Karena itu tongkatnya bergerak hanya
untuk menjegal atau mendorong sehingga berturut-turut dua belas orang pengemis
itu lantas terpelanting ke kanan kiri!
Para
pengemis itu terkejut. Mereka yang memakai baju berkembang segera bangkit dan
seorang di antara mereka menudingkan telunjuknya kepada Si Kong sambil berkata,
"Awas
akan pembalasan kami!" Dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya
untuk pergi dari situ.
Sementara
itu enam orang pengemis baju hitam tidak segera pergi, melainkan menatap tajam
ke arah Si Kong dan Yok-sian Lo-kai. Mereka mengerti bahwa pemuda itu hanya
melerai, buktinya di antara mereka tidak ada seorang pun yang terluka.
Tiba-tiba seorang di antara mereka melihat keranjang rempah-rempah di dekat Yok-sian
Lo-kai, kemudian dia segera memberi hormat dan bertanya,
"Bukankah
locianpwe ini yang berjuluk Yok-sian Lo-kai?"
"Ha-ha-ha-ha,
sialan itu nama! Di mana-mana ada saja yang mengetahuinya. Benar, aku adalah
Yok-sian Lo-kai. Kalian ini apa-apaan, di antara sesama pengemis saling hantam!
Sungguh memalukan sekali!"
Kini enam
orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian Lo-kai dan salah seorang
di antara mereka berkata, "Kami mohon bantuan locianpwe!"
"Apa?
Kalian menyuruh aku ikut campur dalam perkelahian antara pengemis? Nanti dulu!
Aku bukan orang yang suka memusuhi sesama pengemis, dari mana pun pengemis itu
berasal."
"Bukan
urusan itu, locianpwe. Akan tetapi kami mohon pertolongan agar locianpwe suka
mengobati ketua kami yang terluka parah."
"Hemmm,
kenapa dia terluka parah? Apakah karena dia berkelahi pula dengan pengemis
lain?"
"Locianpwe
akan mendengarnya sendiri nanti. Tadi pun kami tidak bermaksud memusuhi
pengemis baju berkembang, melainkan merekalah yang melarang kami mengemis
kecuali kalau kami mau menjadi anggota mereka. Kami mohon locianpwe sudi
menolong kami..."
"Hemmm,
membikin repot saja. Hayo Si Kong, kita ikuti mereka."
Enam orang
pengemis itu kelihatan gembira sekali. Mereka lalu menjadi penunjuk jalan,
diikuti oleh Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Orang-orang yang tadi menonton juga
bubaran, dan mereka ramai membicarakan serta memuji pemuda yang dengan tongkat
bambunya dapat membuat dua belas orang yang berkelahi itu menjadi kocar-kacir.
Enam orang
itu ternyata keluar dari kota dan menuju ke selatan. Di luar kota ini terdapat
sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, dan agaknya kuil ini
menjadi tempat tinggal perkumpulan pengemis Baju Hitam. Ketika mereka sampai di
situ, terlihat belasan orang pengemis baju hitam sedang duduk di beranda kuil.
Begitu melihat enam orang rekan mereka datang bersama dua orang pengemis asing,
mereka semua bangkit berdiri dan menyambut.
"Bagaimana
keadaan pangcu (ketua)?" tanya seorang dari enam orang pengemis yang baru
datang itu.
"Nah,
makin payah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya panas sekali," kata
seorang di antara mereka yang tadi duduk di beranda.
"Locianpwe,
silakan masuk. Pangcu kami berada di kamar dalam."
Yok-sian
Lo-kai mengangguk dan bersama Si Kong dia mengikuti pengemis itu memasuki kuil,
sebuah kuil yang sudah tua dan cukup besar. Mereka diajak masuk ke dalam sebuah
kamar di mana tampak beberapa orang pengemis baju hitam tengah menjaga sang
ketua yang sedang sakit.
Melihat
keadaan yang gawat dari ketua itu, tanpa diminta lagi Yok-sian Lo-kai langsung
menghampirinya, lantas memegang pergelangan tangan si sakit untuk merasakan
denyut nadinya.
"Hemm,
dia keracunan!" katanya.
"Dia
terluka pukulan di dadanya," kata seorang pengemis.
"Coba
buka bajunya, perlihatkan luka itu," kata Yok-sian.
Baju
pengemis yang sakit itu segera dibuka dan nampaklah gambar lima jari tangan
atau cap telapak tangan pada dada itu. Yok-sian memeriksa luka atau bekas
pukulan tangan itu, merabanya dan berkata,
"Kalian
semua boleh keluar. Biarkan aku dan muridku mengobatinya."
Mendengar
ucapan ini, para pengemis baju hitam lalu keluar dari dalam kamar. Yok-sian
menoleh kepada muridnya kemudian berkata, "Ini kesempatan baik bagimu
untuk menguji kepandaianmu dalam ilmu pengobatan. Hayo, coba kau periksa
keadaannya dan katakan bagaimana pendapatmu dan cara mengobatinya."
Si Kong yang
sudah bertahun-tahun mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, segera
menghampiri si sakit. Dia memeriksa nadinya, dirabanya dadanya dan didengarnya
detak jantungnya. Kemudian dia berkata penuh keyakinan kepada gurunya.
"Dia
menderita pukulan beracun, Suhu. Tangan lawannya itu tentu mengandung sinkang
panas. Pengobatannya adalah dengan tusuk jarum atau totokan jari ke arah
Ci-kiong-hiat, Koan-goan-hiat dan Thian-ti-hiat. Juga perlu dilakukan
totokan-totokan untuk mengalirkan darah ke arah luka. Sementara itu dia harus
diberi minum obat pembersih darah dan obat menurunkan panas. Kalau itu masih
kurang, boleh menyalurkan sinkang untuk membantu hawa murni di tubuhnya yang
keluar dari tantian. Demikianlah, Suhu, mudah-mudahan apa yang teecu kemukakan
itu benar."
"Ha-ha-ha-ha,
bagus! Memang itu cara pengobatan yang baik sekali. Sekarang lakukanlah
totokan-totokan itu," kata Yok-sian Lo-kai.
Si Kong
memandang kepada tubuh yang bagian atasnya telanjang itu, kemudian sambil
mengerahkan tenaganya mulailah dia menotok jalan-jalan darah yang disebutkannya
tadi. Bajunya basah dengan keringat ketika selesai melakukan totokan terakhir
di sekitar dada yang terluka. Hatinya girang karena dia melihat betapa tanda
telapak tangan menghitam itu kini sudah mulai pudar.
"Sekarang
minggirlah. Engkau masak obat pembersih darah dan obat menurunkan panas di
luar, sementara aku akan menyalurkan sinkang kepadanya."
Si Kong
merasa gembira bahwa cara dia mengobati ketua Hek I Kaipang (Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam) tadi ternyata benar. Dia lalu keluar membawa keranjang
rempah-rempah dan minta kepada para pengemis agar disediakan perapian untuk
memasak obat.
Sesudah
selesai memasak obat kemudian membawa dua mangkok kecil ke dalam kamar, Si Kong
melihat suhu-nya sedang menempelkan telapak tangan kirinya pada dada ketua
perkumpulan pengemis itu sambil memejamkan mata. Tahulah dia bahwa gurunya
tengah mengerahkan tenaga sakti ke dada orang sakit itu untuk mengusir sisa
hawa kotor yang terkandung dalam pukulan tangan beracun itu.
Dia sendiri
telah mempelajari dan dapat menghimpun tenaga sinkang yang lumayan, akan tetapi
tenaga saktinya belum cukup kuat untuk mengusir hawa kotor itu. Oleh karena itu
suhu-nya yang melakukannya.
Sesudah
Yok-sian Lo-kai menyalurkan hawa sakti dari telapak tangannya, perlahan-lahan
nampak kelopak mata kakek yang sakit itu mulai bergerak. Dia lantas membuka
matanya dan mencoba untuk bangkit. Yok-sian cepat membantunya bangkit duduk,
dan dia minta dua mangkok yang dibawa masuk Si Kong.
"Minumlah
dua mangkok obat ini dan engkau akan sembuh seperti sedia kala."
Kai-pangcu
(ketua perkumpulan pengemis) itu tidak membantah dan minum dua mangkok obat
itu. Tenaga kakek itu kini pulih dan wajahnya kemerahan, juga dadanya sudah
tidak ada lagi tanda-tanda menghitam. Dia memandang kepada Yok-sian Lo-kai,
lalu kepada Si Kong dan dia lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri
berlutut di depan Yok-sian.
"Atas
pertolongan locianpwe Yok-sian Lo-kai, saya menghaturkan terima kasih."
Yok-sian
Lo-kai tertawa sambil memandang kepada muridnya. "Ha-ha-ha! Lihat, Si
Kong, betapa tak enaknya menjadi orang terkenal. Di mana-mana ada saja orang
mengenalnya, padahal orang itu tidak pernah berjumpa dengannya." Setelah
berkata demikian dia lantas mempergunakan tongkatnya, dimasukkan ke bawah
lengan ketua itu dan sekali bergerak, ketua itu sudah dipaksa berdiri.
"Jangan
keterlaluan, aku bukan raja kenapa mesti berlutut? Dan bagaimana engkau bisa
tahu siapa diriku?"
Dengan sikap
hormat agak membungkuk Hek I Kai-pangcu itu lalu berkata, "Sudah saja.
Melihat pakaian locianpwe jelas pakaian seorang pengemis, dan melihat betapa
locianpwe dapat menyembuhkan dan memulihkan kesehatan saya, jelas bahwa
locianpwe seorang ahli pengobatan luar biasa yang mempunyai ilmu tinggi. Siapa
lagi pengemis yang pandai ilmu pengobatan selain Yok-sian Lo-kai?"
"Dan
siapakah engkau? Mengapa engkau sampai terluka oleh pukulan keji itu?"
Ketua itu
menarik nafas panjang. "Saya adalah ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam.
Semenjak dulu kami selalu mengambil jalan benar, mengemis kepada orang-orang
yang dermawan dan tak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun. Akan
tetapi pada suatu hari muncul pengemis-pengemis yang memakai baju berkembang,
dan mereka lalu melarang kami mengemis di tempat ini. Kami baru boleh mengemis
jika menjadi anggota perkumpulan mereka. Akan tetapi melihat cara mereka
mengemis yang tak ada bedanya dengan merampok, mengemis dengan paksa, maka kami
tidak sudi bergabung. Lalu pada suatu hari, yaitu sepekan yang lalu, ketuanya
datang dan menantangku. Aku terluka oleh pukulannya yang keji."
Yok-sian
Lo-kai mengerutkan alisnya. Walau pun dia tidak aktif di dalam dunia mengemis,
namun dia sudah mendengar keadaan para perkumpulan pengemis di mana-mana.
"Tapi
sepanjang pendengaranku, Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang)
adalah kaipang yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula."
Hek I
Kai-pangcu menghela napas panjang. "Dulu pun saya menganggap demikian.
Nama saya adalah Lu Tung San, dan saya kenal baik dengan ketua Hwa I Kaipang.
Akan tetapi yang muncul dan mengaku sebagai ketua Hwa I Kaipang sama sekali
bukan ketua yang saya kenal, melainkan seorang yang masih muda dan entah
bagaimana dia bisa menjadi ketua Hwa I Kaipang dan membawa perkumpulan pengemis
itu ke jalan sesat."
"Dan di
mana adanya ketua yang dulu?"
"Tidak
seorang pun yang mengetahui nasibnya dan di mana dia berada."
"Nah,
benar-benar gawat kalau begitu. Pangcu, mari antar kami ke sarang Hwa I
Kaipang. Kami terpaksa harus campur tangan dalam urusan ini karena dapat
mencemarkan nama baik para pengemis. Kalau dibiarkan saja tentu sukar
membedakan antara pengemis dan perampok."
"Baik,
akan saya antar sekarang juga. Dan perlukah anak buah Hek I Kaipang ikut? Siapa
tahu mereka akan melakukan pengeroyokan."
"Tidak
perlu. Yang hendak kami temui hanyalah ketuanya. Perkumpulan pengemis adalah
perkumpulan orang-orang yang taat kepada pimpinan. Kalau ketuanya sudah dapat
kita bereskan, tentu anak buahnya akan mentaati kita."
Lu Tung San,
ketua Hek I Kaipang, ternyata sudah sembuh sama sekali. Karena selama sepekan
ini hampir dapat dikatakan dia tidak bisa makan, maka para anggotanya sudah
menyiapkan makan minum untuk ketua mereka. Lu Tung San lalu mengajak Yok-sian
dan Si Kong untuk makan bersama. Dan ternyata makanan itu cukup lumayan, bahkan
cukup mewah bagi para pengemis. Sesudah makan Lu Tung San berangkat bersama
Yok-sian Lo-kai dan Si Kong yang tidak lupa memikul keranjang rempah-rempah
milik gurunya.
Sarang Hwa I
Kaipang juga berada di luar kota, akan tetapi bukan merupakan rumah tua bekas
kuil seperti yang ditempati oleh Hek I Kaipang. Di luar kota, di lereng sebuah
bukit, berdiri sebuah rumah besar dari tembok dan itulah sarang Hwa I Kaipang.
Ketika
mereka mendaki bukit itu, ada beberapa anggota Hwa I Kaipang melihat mereka.
Mereka mengenal Lu Tung San, karena itu mereka cepat berlari ke sarang mereka
untuk melaporkan kunjungan Lu Tung San yang pernah dirobohkan ketua mereka yang
baru itu.
Tepat
seperti yang dikatakan Yok-sian, tadinya Hwa I Kaipang juga merupakan sebuah
perkumpulan pengemis yang sederhana dan baik, tak pernah melakukan pemerasan
atau kejahatan lain. Baru beberapa bulan yang lalu, pada suatu hari datanglah
seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun ke sarang Hwa I
Kaipang. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment