Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 02
KETIKA ketua
Hwa I Kaipang yang usianya sudah enam puluh tahun keluar menemui tamu itu,
dengan terang-terangan orang yang mengaku bernama Ouwyang Kwi itu mengatakan
bahwa dia hendak mengambil alih pimpinan Hwa I Kaipang!
Tentu saja
Hwa I Kai-pangcu menjadi marah sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi
ternyata orang itu lihai bukan main. Walau pun dia dikeroyok oleh belasan orang
yang merupakan pimpinan serta para pembantunya, dia mampu merobohkan mereka
semua, bahkan menawan ketuanya.
Melihat
kelihaian si muka hitam itu, semua pengemis menyatakan takluk dan tunduk dan
semenjak hari itu, Ouwyang Kwi menjadi ketua Hwa I Kaipang. Bahkan dia
memindahkan sarang Hwa I Kaipang ke lereng bukit itu, di mana berdiri sebuah gedung
tembok yang besar. Dan mulailah terjadi perubahan besar dari para anggota Hwa I
Kaipang.
Karena
anjuran pemimpin baru mereka, para pengemis itu berani melakukan pemerasan
terhadap penduduk kota Su-couw, dusun-dusun dan kota-kota di sekitar wilayah itu.
Sejak Ouwyang Kwi menjadi ketua, kehidupan para pengemis baju kembang berubah
menjadi mewah.
Pakaian
mereka yang berkembang-kembang selalu bersih dan masih baru sebab mereka
mendapatkannya dari toko-toko yang tidak berani menentang permintaan mereka.
Kalau permintaan mereka ditolak, maka mereka lalu mengamuk dan tidak ada orang
yang berani melawan.
Memang
tadinya ada orang-orang yang merasa dirinya kuat dan pandai silat, kemudian
menentang kaum pengemis Baju Kembang. Akan tetapi satu demi satu mereka semua
dirobohkan oleh ketua Hwa I Kaipang yang bermuka hitam itu. Demikianlah keadaan
Hwa I Kaipang belakangan ini.
Ouwyang Kwi
tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tapi agaknya dia merasa jemu dengan
pekerjaan merampok seorang diri saja. Maka dia pun mengambil alih kedudukan
ketua Hwa I Kaipang. Selain memperoleh kedudukan ketua, dia juga mendapatkan
anak buah yang siap melakukan semua perintahnya. Dia merasa seolah menjadi
seorang raja!
Pakaiannya
juga berkembang-kembang, namun pakaian itu mewah, sama sekali bukan pakaian
seorang pengemis yang biasanya compang-camping dan penuh tambalan. Hanya dalam
waktu beberapa bulan saja semua anak buah Hwa I Kaipang telah berubah.
Memang
demikianlah keadaan kita manusia. Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik
budi amatlah sukarnya. Akan tetapi ajarilah orang-orang itu untuk berbudi buruk
dan memperoleh kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut
Pada saat Lu
Tung San, Yok-sian dan Si Kong memasuki perkampungan Hwa I Kaipang, mereka
disambut oleh Ouwyang Kwi sendiri yang muncul bersama seorang kakek yang
berpakaian mewah. Kakek ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang datuk besar
dunia kang-ouw dan juga majikan Pulau Tembaga di Lautan Timur.
Datuk sesat
ini adalah guru Ouwyang Kwi yang datang berkunjung kepada muridnya yang kini
sudah menjadi ketua Hwa I Kaipang itu. Kedatangannya disambut oleh Ouwyang Kwi
dengan mengadakan pesta makan minum secara mewah.
Ketika
menerima laporan dari salah seorang anak buahnya bahwa Lu Tung San datang
bersama seorang kakek dan seorang pemuda yang pada siang hari tadi menghajar
enam orang anggotanya, Ouwyang Kwi menjadi marah sekali.
“Bagus, dia
telah mengantarkan sendiri nyawanya. Sekarang aku tidak akan membiarkan dia
pergi hidup-hidup!” kata Ouwyang Kwi.
Gurunya
merasa sangat heran melihat muridnya marah-marah. “Ada apa Ouwyang Kwi? Siapa
yang datang dan membuatmu marah?”
Datuk ini
merasa bangga sekali bahwa muridnya telah menjadi ketua sebuah perkumpulan
pengemis yang berpengaruh. Dia sendiri adalah seorang datuk yang mempunyai
pengaruh besar di Lautan Timur. Para bajak laut tunduk kepadanya dan semua
membayar ‘upeti’ kepadanya sebagai hadiah karena mereka diperkenankan membajak
di perairan itu.
Di dalam
dunia kang-ouw datuk ini dikenal sebagai Tung-hai Liong-ong (Raja Naga Lautan
Timur). Julukan Raja Naga ini mungkin diperolehnya karena orang melihat dia
bersenjata sebatang tongkat berkepala naga yang selalu dibawanya ke mana pun
dia pergi. Memang tongkat kepala naga ini menjadi andalan dan senjatanya yang
amat ampuh.
Ketika
Tung-hai Liong-ong melihat Yok-sian Lo-kai, dia tercengang sejenak dan menatap
tajam. Demikian pula dengan Yok-sian Lo-kai. Sama sekali tidak pernah menyangka
akan bertemu dengan datuk besar itu di tempat ini.
“Hemm,
kiranya Yok-sian Lo-kai yang datang!” kata Tung-hai Liong-ong.
“Ha-ha-ha-ha,
kiranya majikan Pulau Tembaga berada di sini pula! Tidak mengherankan kalau
terjadi keributan!” kata Yok-sian sambil tertawa. Dua orang yang sama-sama
sangat terkenal di dunia kangouw ini memang pernah saling bertemu walau pun di
antara mereka belum pernah terjadi pertikaian.
Sementara
itu, pada saat melihat Lu Tung San, Ouwyang Kwi segera berkata mengejek. “Hek I
Kaipang, agaknya ada orang yang mengobatimu sampai sembuh. Apakah engkau belum
jera dan ingin merasakan pukulanku lagi?”
“Ouwyang
Kwi, aku datang mengantarkan locianpwe Yok-sian Lo-kai yang ingin berbicara
denganmu karena sepak terjang anak buahmu yang sewenang-wenang.”
“Aha,
kiranya engkau memanggil bala bantuan? Aku tidak takut menghadapi jagoanmu!”
Ouwyang Kwi mengejek.
Ouwyang Kwi
adalah murid Tung-hai Liong-ong dan dia baru saja masuk ke dalam dunia kang-ouw
setelah selama beberapa tahun menjadi perampok tunggal. Oleh karena itu dia
belum mengenal nama Yok-sian Lo-kai dan sama sekali tidak gentar menghadapi
nama julukan itu.
“Jadi mereka
inikah yang memukul enam orang anak buahku? Jembel tua dan pengemis muda ini?”
Dia menudingkan telunjuknya ke arah Yok-sian dan Si Kong.
“Ha-ha-ha-ha,
betapa sombongnya! Aku sudah mengenal semua ketua perkumpulan para pengemis di
empat penjuru. Mereka semua rata-rata baik. Maka aku menjadi tertarik dan ingin
menyelidiki ketika melihat enam orang pengemis Baju Kembang melarang Pengemis
Baju Hitam untuk mengemis. Aku pernah mendengar bahwa perkumpulan Pengemis Baju
Kembang adalah perkumpulan yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula.
Akan tetapi, kenapa sekarang menjadi tersesat? Aku mendengar pula bahwa engkau
orang she Ouwyang mengambil alih ketua yang lama?”
“Jembel tua,
orang di luar Hwa I Kaipang sama sekali tidak berhak mencampuri urusan yang
menyangkut Hwa I Kaipang. Sekarang yang menjadi ketua Hwa I Kaipang adalah aku,
Ouwyang Kwi. Sebaiknya engkau tidak lancang mencampuri urusan kami, atau kami
akan menggunakan kekerasan mengusirmu!”
“Ha-ha-ha-ha!
Engkau bukan lawanku, Ouwyang Kwi. Kalau engkau mampu mengalahkan tongkat
muridku ini barulah engkau pantas untuk melawan aku. Si Kong, bersiaplah untuk
menandingi ketua palsu yang sombong ini.”
Si Kong juga
merasa marah mendengar kata-kata ketua berpakaian kembang-kembang yang sombong
itu. Maka, mendengar ucapan suhu-nya itu dia lalu menurunkan keranjang
rempah-rempah dan melintangkan tongkat bambunya di depan dadanya.
“Aku sudah
siap, orang sombong!” katanya kepada Ouwyang Kwi.
Ouwyang Kwi
telah mendengar laporan anak buahnya bahwa pemuda yang masih remaja itulah yang
merobohkan mereka. Akan tetapi tentu saja dia tak merasa gentar. Dia sudah
punya banyak pengalaman dalam perkelahian selama bertahun-tahun, mana mungkin
dia kalah oleh seorang bocah yang usianya paling banyak lima belas tahun ini?
“Baik, akan
kubunuh dulu bocah ini, baru kemudian engkau jembel tua berikut ketua Hek I
Kaipang ini!” bentaknya.
Tanpa banyak
cakap lagi Ouwyang Kwi telah mencabut sebatang golok dari punggungnya dan
langsung menyerang Si Kong yang memegang tongkat bambu. Akan tetapi Si Kong
sudah siap siaga. Dengan mudahnya dia mengelak lantas secepat kilat tongkatnya
sudah menotok ke tiga titik jalan darah di kedua pundak dan dada lawannya.
“Ehhhh...!”
Ouwyang Kwi terkejut sekali dan cepat memutar goloknya di depan tubuhnya untuk
melindungi diri dari totokan-totokan yang cepat dan tak terduga itu.
Kalau Si
Kong bertanding hanya untuk merobohkan lawan saja, sebaliknya Ouwyang Kwi
bertanding untuk membunuh lawannya. Dia adalah seorang ahli bermain golok yang
lihai, akan tetapi sekali ini dia sangat kewalahan dan sebentar saja dia sudah
terdesak hebat! Dia hanya mampu menangkis dan memutar goloknya saja tanpa dapat
membalas.
“Jangan
pakai golok, tapi gunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!” tiba-tiba dia mendengar
suara gurunya. Orang lain tidak dapat mendengar seruan itu karena Tung-hai
Liong-ong ‘mengirim’ suaranya melalui khikang yang kuat sehingga seolah dia
berbisik dekat telinga muridnya.
Ouwyang Kwi
segera melempar goloknya lalu dia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang
perlahan-lahan berubah menghitam! Yok-sian Lo-kai terkejut bukan kepalang
melihat perubahan ini. Dia pun tidak mendengar bisikan itu, akan tetapi dia
dapat menduga bahwa Majikan Pulau Tembaga itu yang agaknya memberi nasehat
kepada muridnya.
Dia tahu
bahwa Si Kong tidak bermaksud membunuh lawan, karena itu tongkatnya hanya
mencoba untuk menotok jalan darah yang tidak membahayakan nyawa lawan. Akan
tetapi kini Ouwyang Kwi bertangan kosong, maka dia dapat menangkis tongkat
bambu dengan tangannya dan sekaligus mencoba untuk merampas tongkat. Juga
sambaran tangannya mengandung hawa beracun yang berbahaya.
Diam-diam
Yok-sian mengerahkan khikang-nya, lalu berbisik yang hanya dapat didengar oleh
muridnya. “Pukul Kaki Seratus Anjing.” Ini adalah nama jurus dari ilmu silat
Tongkat Sakti Pemukul Anjing itu.
Ketika Si
Kong mendengar bisikan gurunya itu, dia langsung mengubah caranya bersilat.
Tubuhnya bergerak rendah dan tongkatnya secara bertubi-tubi menyerang ke arah
kedua kaki lawan. Karena yang diserangnya adalah bagian lutut dan pergelangan
kaki, maka bila mengenai sasaran tentu lawan akan jatuh berlutut.
Kembali
Ouwyang Kwi terdesak oleh serangan Si Kong. Dia berloncat-loncatan dan tidak
mampu balas menyerang. Kembali telinganya mendengar bisikan gurunya.
“Garuda
menyerang segerombolan kelinci!”
Ini
merupakan sebuah jurus yang dilakukan dengan loncatan ke atas kemudian dari
atas mencengkeram ke arah kepala lawan. Begitu dia meloncat tinggi di udara,
maka dengan sendirinya serangan Si Kong juga macet, dan kini berbalik dia yang
diserang oleh kedua tangan yang membentuk cakar itu.
Si Kong
terpaksa mengelak ke sana sini, karena amat berbahaya apa bila dia menangkis.
Tongkat itu dapat terpegang oleh lawannya dan kalau hal ini terjadi maka
tongkatnya akan terampas atau setidaknya dihancurkan oleh cengkeraman tangan
beracun itu!
Ketika
sedang terdesak itu tiba-tiba dia mendengar bisikan gurunya kembali, “Ular
Senduk Menyerang Garuda!”
Si Kong
menjadi girang sekali. Cepat dia menggerakkan tongkatnya yang meluncur bagai
seekor ular menyerang musuh yang datangnya dari atas. Dengan jurus ini maka
kembali Si Kong bisa mendesak lawannya. Yang diserang oleh luncuran tongkatnya
adalah kedua mata dan leher lawan, serangan yang cukup berbahaya bila mengenai
sasaran.
Demikianlah,
dua orang itu saling serang dan sesungguhnya yang bertanding adalah guru-guru
mereka yang membisikkan jurus-jurus melalui mereka.
Ketika
mendapat kesempatan baik, Si Kong menggetarkan ujung tongkatnya, lalu dengan
pengerahan sinkang-nya dia cepat menusuk ke arah ulu hati lawan. Melihat ini,
Ouwyang Kwi menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan sinkang pula.
“Tukkk...!”
Ujung
tongkat bertemu telapak tangan, kemudian keduanya terdorong mundur hingga lima
langkah. Dalam hal tenaga sinkang ternyata kekuatan mereka seimbang dan hal ini
amat mengejutkan hati Ouwyang Kwi. Jika tidak mendapatkan bisikan-bisikan
gurunya, tadi pun dia sudah terdesak beberapa kali oleh pemuda remaja itu! Kini
tahulah dia mengapa anak buahnya yang berjumlah enam orang itu tidak mampu
melawan pemuda ini.
Yok-sian
Lo-kai dan Tung-hai Liong-ong sama-sama merasa khawatir kalau pertandingan
antara murid-murid mereka itu terus dilanjutkan.
“Hemm,
Jembel Tua, murid kita sudah cukup bertanding. Bagaimana kalau guru mereka, tua
sama tua, maju menguji ilmu kepandaian?”
“Ha-ha-ha,
Naga Tua, kalau dilanjutkan pun muridmu akan kalah. Kau menantang aku?
Ha-ha-ha-ha, memang sudah lama aku ingin sekali mengetahui sampai di mana
kelihaian Tung-hai Liong-ong dari Pulau Tembaga yang namanya tersohor itu!”
“Jembel Tua,
kalau kita menggunakan senjata, orang-orang akan menganggap aku tidak adil
karena senjataku lebih berat dan lebih besar dari pada tongkat bambumu. Karena
itu aku tantang engkau untuk bertanding dengan tangan kosong!” Berkata demikian
Tung-hai Liong-ong menancapkan tongkat kepala naga itu ke tanah. Tongkat itu
menancap di tanah sampai hampir setengahnya dan ini menunjukkan betapa kuat
tenaga sinkang datuk itu.
Yok-sian
tertawa. Dia maklum bahwa lawannya tentu gentar menghadapi ilmu tongkatnya
Ta-kaw Sin-tung maka sengaja menantang pertandingan tangan kosong. Tentu hendak
mengandalkan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang hebat. Akan tetapi dia hanya
tertawa dan tidak menolak tantangan itu.
“Ha-ha-ha,
sesukamulah, Naga Tua. Bersenjata baik, bertangan kosong juga baik! Nah, aku
sudah siap, mulailah!”
Kakek
pengemis itu hanya berdiri santai saja, tidak memasang kuda-kuda seperti orang
yang hendak bertanding. Melihat sikap lawannya, Tung-hai Liong-ong lalu
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tubuhnya langsung bergerak ke depan
menyerang dengan dahsyat bagaikan angin topan!
“Hyaaaat....!”
Kedua lengan Tung-hai Liong-ong menyambar dari kanan kiri.
“Heeiiiittt...!”
Yok-sian mengelak dengan tubuh condong ke belakang sehingga serangan pertama
Liong-ong (Raja Naga) itu luput dan segera kakinya mencuat untuk membalas
serangan lawan dengan sebuah tendangan kilat.
“Wuuuutt....!
Dukkk!”
Liong-ong
sudah menangkis tendangan Yok-sian dan langsung balas memukul. Terjadilah
pertandingan yang berjalan amat cepat sehingga yang terlihat hanya bayangan dua
orang kakek itu yang menyambar-nyambar seperti dua ekor ayam jantan berlaga.
Diam-diam Si
Kong memperhatikan. Dia melihat bahwa gurunya masih menang setingkat dalam hal
ginkang atau meringankan tubuh. Akan tetapi Liong-ong memiliki ilmu pukulan
yang hebat sekali. Dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan yang panas.
Maka tahulah
dia bahwa kedua tangan Liong-ong sudah mengandung hawa beracun yang amat jahat.
Sekarang dia mengerti pula mengapa Liong-ong mengajak gurunya bertanding dengan
tangan kosong. Tentu karena dia mengandalkan ilmunya itu untuk mengalahkan
Yok-sian.
Setelah
lewat seratus jurus, dua orang kakek itu mengubah gerakan mereka. Kini gerakan
mereka tidak cepat lagi seperti tadi, melainkan bergerak dengan lambat tapi
dalam setiap gerakannya terkandung hawa sakti yang menyambar-nyambar, terasa
oleh mereka yang menonton.
Kedua orang
sakti itu kini mengerahkan tenaga sinkang untuk saling menyerang. Pukulan
mereka dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka dan dari telapak tangan mereka
itulah menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Dengan khawatir Si Kong
melihat betapa kedua tangan Liong-ong menghitam sampai ke sikunya. Itulah
tandanya bahwa Liong-ong telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang
amat berbahaya.
“Heeeiiiiiittt...!”
Liong-ong berseru sambil tangan kirinya mendorong ke depan, sementara tangan
kanannya diangkat tinggi di atas kepalanya. Nampak hawa hitam menyambar dan
ketika Yok-sian mengelak, sebatang pohon kena dihantam tangan Liong-ong. Pohon
itu tumbang dan pada bagian yang terpukul menjadi hitam seperti terbakar.
“Hyaaatt...!”
Yok-sian yang sudah mengelak itu kini merendahkan tubuh, kemudian kedua
tangannya mendorong ke depan sambil menekuk kedua lututnya.
Akan tetapi
Tung-hai Liong-ong agaknya sengaja hendak mengadu tenaga karena dia pun
melakukan gerakan yang sama dan mendorongkan kedua tangannya.
“Wuuuuuuutttt...!
Plakkk!”
Dua pasang
tangan itu bertemu di udara dan telapak tangan mereka saling melekat. Kini
kedua orang kakek itu seperti dua orang anak-anak bermain dorong-dorongan!
Nampak sekali mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong lawan. Dari
kepala Liong-ong mengepul uap hitam dan dari kepala Yok-sian mengepul uap
putih.
Si Kong
memandang dengan hati khawatir sekali. Dia tahu betul bahwa gurunya sedang
bertanding mati-matian mengerahkan seluruh tenaga. Kalau gurunya kalah kuat dan
dapat terdorong, tentu gurunya akan menderita luka dalam yang hebat! Untuk
membantu juga tak mungkin, bahkan amat berbahaya karena dia akan terserang oleh
dua tenaga sinkang yang sedang saling dorong itu.
Ouwyang Kwi
juga mengerti keadaan gurunya. Dia nampak bingung dan tidak tahu harus berbuat
apa, hanya membanting-banting kakinya dengan kesal. Wajah Liong-ong menjadi
tegang dan kemerahan, sedangkan wajah Yok-sian masih tersenyum seperti biasa.
“Hyaaaaaaaaaaaattt…!”
Secara
bersamaan dua orang kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan akibatnya
Tung-hai Liong-ong terdorong mundur sampai lima langkah dan hampir saja dia
terjatuh, akan tetapi ditahannya, lalu dia muntahkan darah segar dari mulutnya!
Tubuh
Yok-sian hanya bergoyang-goyang akan tetapi sepasang kakinya tidak melangkah,
hanya mukanya yang menjadi agak pucat.
Tung-hai
Liong-ong menoleh kepada Ouwyang Kwi sambil mengusap darah dari bibirnya dan
berkata dengan suara parau. “Hayo kita pergi! Untuk apa memperebutkan kedudukan
ketua pengemis busuk?”
Dengan kedua
tangan dia mencabut tongkatnya yang tadi tertancap di atas tanah, lantas dia
memandang kepada Yok-sian. “Lain kali akulah yang menang!”
Dia pun
melangkah pergi. Ouwyang Kwi nampak bingung, akan tetapi dia pun tahu bahwa dia
sudah kalah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun mengikuti langkah gurunya.
Sekarang Lu
Tung San melangkah maju lalu menghadapi anak buah Hwa I Kaipang dan berteriak
lantang. “Kami akan memaafkan kalian apa bila kalian segera mencari di mana
adanya ketua kalian yang lama, Tang Sin Pangcu.”
Seorang
anggota Hwa I Kaipang berlari ke dalam dan tidak lama kemudian dia menuntun
seorang kakek yang nampak lemah. Dia itu bukan lain adalah Tang Sin, yaitu
ketua Hwa I Kaipang yang dikalahkan oleh Ouwyang Kwi lantas ditahan di kamar
tahanan di belakang gedung!
Yok-sian
sendiri kini duduk bersila sambil mengatur pernapasannya. Dari sudut mulutnya
nampak darah menetes. Kiranya dia pun telah terluka parah, hanya tidak kelihatan
seperti halnya Tung-hai Liong-ong. Si Kong segera berlutut di sisi gurunya.
“Suhu
terluka...?” tanyanya lirih.
Yok-sian
mengangguk, membuka mata memandang kepada Tang Sin yang juga sudah menjatuhkan
diri berlutut di depannya. Yok-sian berkata kepada muridnya.
“Si Kong,
cepat kau periksa dia dan obati sampai sembuh.”
Si Kong
memenuhi perintah gurunya. Dia memeriksa tubuh Tang Sin yang sangat lemah.
Ternyata Tang Sin juga terluka oleh pukulan beracun seperti halnya Lu Tung San.
Maka cepat dia menotok dan menekan beberapa jalan darah di tubuhnya dan
memasakkan obat dengan bantuan para pengemis baju berkembang dan memberikan
obat itu kepada Tang Sin.
“Si Kong,
mari kita pergi dari sini!” kata Yok-sian kepada muridnya sambil bangkit
berdiri. Wajahnya masih pucat akan tetapi dia tetap penuh senyum.
“Kami
menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Yok-sian Lo-kai!” kata Lu Tung San.
“Ahh,
sudahlah, di antara kita mana ada budi dan terima kasih? Semua yang kita
lakukan adalah kewajiban kita. Dan engkau, Hek I Kai-pangcu, engkau pun
mempunyai kewajiban. Bantulah ketua Hwa I Kaipang untuk menyadarkan para
anggotanya yang sudah dibawa menyeleweng oleh Ouwyang Kwi. Bantulah dia membawa
anak buahnya kembali ke jalan lurus. Sekarang biarkan kami pergi melanjutkan
perjalanan kami.”
Tang Sin dan
Lu Tung San yang berterima kasih itu mencoba untuk mencegah kepergian kakek
itu, akan tetapi sia-sia saja. Mereka hanya dapat mengantar sampai di luar
gedung dan membiarkan Yok-sian Lo-kai dan Si Kong pergi dari situ.
“Kita
mencari tempat yang sunyi. Aku... aku ingin beristirahat,” kataYok-sian.
Si Kong
membawanya keluar kota Souw-ciu. Ketika melihat ada sebatang pohon besar di
sebelah kanan jalan, Si Kong mengajak gurunya ke sana dan Yok-sian lalu duduk
bersila di bawah pohon.
“Suhu,
biarkan teecu (murid) memeriksa keadaan Suhu.”
“Aku sudah
tahu keadaanku. Aku terserang hawa beracun dari Naga Tua itu. Luka yang parah
sekali. Aku tidak akan mampu lagi mengerahkan tenaga sinkang untuk waktu yang
cukup lama.”
“Suhu,
apakah tidak ada obatnya untuk mengobati luka Suhu?”
Yok-sian
menggelengkan kepala. “Salahku sendiri. Jika tadi aku mengaku kalah dan tidak
menahan, tentu aku tidak akan terluka sampai seperti ini. Dia pun terluka, sama
parahnya dengan aku. Dia dan aku kini menjadi orang-orang tua tanpa daya dan
untuk memulihkan keadaanku, aku harus menghimpun tenaga dari hawa murni, entah
selama berapa tahun lagi.”
Tentu saja
Si Kong merasa amat prihatin. “Suhu, biarlah teecu berusaha untuk membantu Suhu
mengusir mengusir hawa beracun itu,” katanya.
Dia pun
segera bersila di belakang tubuh suhu-nya dan menempelkan kedua tangannya di
punggung Yok-sian sambil mengerahkan tenaga saktinya. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika terasa olehnya ada hawa yang amat panas menyerangnya sehingga
membuatnya terpelanting.
“Jangan kau
lakukan hal itu, percuma saja, bahkan engkau bisa terluka. Tenaga dalamku menjadi
kacau dan keracunan. Aku memerlukan waktu yang lama untuk memurnikannya
kembali,” kata Yok-sian Lo-kai.
Si Kong
merasa sedih melihat keadaan gurunya. Dia mengusulkan kepada gurunya untuk
bermalam di sebuah penginapan, sementara dia sendiri akan bekerja mencari uang
untuk membayar sewa kamar. Akan tetapi gurunya tidak setuju.
“Pengemis-pengemis
menginap di rumah penginapan? Kita hanya akan diejek dan diusir. Sudahlah, aku
tidak membutuhkan tempat yang baik, tetapi hanya membutuhkan tempat yang sunyi.”
Akhirnya Si
Kong menemukan sebuah kuil tua yang kosong, beberapa li jauhnya dari kota
Souw-ciu. Dia mengajak suhu-nya untuk berdiam di kuil itu. Setiap pagi dia
pergi ke kota Souw-ciu, pulangnya membawa makanan dan juga obat penguat badan
untuk gurunya. Dia bekerja apa saja untuk mendapatkan uang guna keperluan itu.
Setelah tiga
bulan tinggal di kuil itu dan setiap hari dia bekerja sebagai buruh kasar, pada
suatu siang ketika dia kembali ke kuil tua, gurunya sudah tidak ada di tempat
itu! Si Kong menjadi bingung dan khawatir, tetapi dia menemukan coret-coretan
pada dinding sebelah dalam. Itu adalah tulisan Yok-sian Lo-kai yang dilakukan
dengan ujung tongkatnya.
Si Kong,
Aku terpaksa
harus pergi meninggalkanmu. Aku tidak ingin melihat engkau bersusah payah untuk
mengurus diriku. Aku hanya membutuhkan istirahat selama beberapa tahun. Engkau
merantaulah seorang diri dan pergunakanlah apa yang kau pelajari dariku untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Selamat tinggal.
Si Kong
menjadi lemas. Seperti orang kebingungan dia lari keluar dan mencari ke
sana-sini untuk mengejar suhu-nya. Akan tetapi usahanya itu gagal dan akhirnya
dia kembali ke kuil, menjatuhkan dirinya duduk di lantai yang biasa diduduki
gurunya dan termenung.
Dia merasa
nelangsa, merasa kesepian. Sesudah hidup bersama Yok-sian Lo-kai selama lima
tahun, orang tua itu telah melekat di hatinya, menjadi satu-satunya orang yang
dekat dengannya. Dan sekarang tiba-tiba saja gurunya pergi karena tak ingin
menyusahkannya! Bagaimana hatinya takkan merasa sedih. Padahal dengan senang
hati dia ingin merawat suhu-nya sebagai pembalas budi, tetapi orang tua itu
tidak mau dan meninggalkannya.
Selama ini
dia merasa hidupnya bahagia. Meski harus hidup sebagai seorang pengemis tapi
dia tidak pernah merasa susah. Ke mana pun dia merasa berbahagia karena gurunya
selalu tersenyum dan tertawa, katanya menertawakan dunia dan manusianya yang
serba palsu dan lucu.
Si Kong
merasa kesepian dan ditinggalkan oleh kebahagiaan. Rasanya berat harus hidup
seorang diri, seolah-olah kehilangan pegangan. Ke mana dia harus pergi? Ketika
bersama gurunya tak pernah dia tanya hal ini. Seolah dengan sendirinya dia
harus pergi ke mana gurunya pergi dan gurunya itu pun tidak pernah mempunyai
rencana harus pergi ke mana.
Dia teringat
akan kata-kata gurunya. Manusia mencari kebahagiaan ke mana-mana dan dengan
segala cara, akan tetapi tidak pernah bisa menemukan kebahagiaan itu. Menurut
gurunya, kebahagiaan justru tidak bisa ditemukan kalau dicari. Kebahagiaan
adalah suatu keadaan batin yang tidak diganggu oleh gejolaknya nafsu. Selama
nafsu masih bergejolak dalam batin, tidak mungkin manusia dapat berbahagia,
karena dia akan terbentur dengan halangan-halangan dalam mengejar kesenangan
seperti yang dikehendaki oleh nafsu.
Dalam keadaan
tidak berbahagia, bagaimana mungkin menemukan kebahagiaan? Kalau keadaan yang
tidak berbahagia itu sudah tidak ada lagi, manusia tidak lagi membutuhkan
kebahagiaan. Kenapa? Karena dia sudah bahagia!
Kebahagiaan
itu sudah ada selalu di dalam diri manusia sendiri, namun terselubung oleh
bermacam persoalan dan kesukaran yang menjadi akibat dari menuruti nafsu diri.
Seperti orang yang mencari kesehatan. Bagaimana mungkin akan dapat mengalami
kesehatan bila tubuhnya sedang sakit? Dari pada mencari kesehatan yang tak
mungkin dia temukan, lebih baik meneliti dirinya sendiri yang sakit,
mengusahakan supaya penyakit itu lenyap. Kalau dirinya sudah tidak dihinggapi
penyakit lagi, apakah dia masih perlu untuk mencari kesehatan?Tidak perlu lagi
karena dia sudah sehat!
Manusia
biasanya tidak dapat menikmati kesehatan apa bila dia sehat. Baru merindukan
kesehatan kalau dia sakit. Demikian pula manusia tidak dapat menikmati
kebahagiaan bila dia berbahagia. Baru merindukan kebahagiaan di kala dia sedang
tidak berbahagia. Hidup itu sendiri adalah indah, hidup itu sendiri adalah
bahagia. Mengapa harus repot-repot lagi mencari kebahagiaan dengan segala cara?
Si Kong
merasa terhibur setelah merenungkan kembali apa yang pernah dia dengar dari
Yok-sian Lo-kai,. Kalau dia merasa kehilangan dan kesepian, maka itu sama saja
dengan mengundang ketidak-bahagiaan dalam hatinya. Kata gurunya hidup harus
berani mandiri, tidak boleh terikat atau tergantung kepada apa dan siapa pun
juga. Hidup adalah miliknya sendiri, akan diisi apa pun terserah kepada dirinya
sendiri.
Dia bangkit
berdiri, merasa lega dan merasa kuat. Memang sudah semestinya aku hidup
sendiri, demikian pikirnya. Aku sudah yatim piatu dan tidak memiliki apa-apa.
Aku akan merantau, seperti yang dilakukan suhu. Aku harus berani dan menempuh
kehidupan ini dengan tabah dan gembira.
Aku harus
menjadi seorang kelana, pergi ke mana saja menurutkan arah kaki melangkah.
Terbang bebas lepas di angkasa seperti seekor burung. Kata gurunya, burung yang
kecil-kecil dan penakut selalu terbang berkelompok dan tidak berani menyendiri.
Akan tetapi burung rajawali berani terbang melayang dengan lepas bebas
sendirian saja, menghadapi kehidupan ini seorang diri tanpa rasa takut.
“Aku akan
berkelana! Terima kasih atas segala petunjuk dan bimbinganmu suhu!” katanya
keras-keras, lalu dia keluar dari kuil itu dan mulai dengan pengembaraannya.
***************
Sesudah
berkelana seorang diri, Si Kong meninggalkan kebiasaannya memakai pakaian
seperti pengemis, yaitu tambal-tambalan. Dengan tubuhnya yang kuat serta
tenaganya yang besar, mudah baginya mencari pekerjaan kasar yang menghasilkan
sedikit uang dan mulailah dia membeli pakaian yang sederhana namun tidak ada
tambalannya. Dia lantas berkelana dari kota ke kota, dari dusun ke dusun, dan
berhenti beberapa bulan lamanya untuk bekerja. Setelah mendapatkan uang, dia
pun berkelana lagi.
Pada suatu
pagi dia berjalan dengan santai mendaki sebuah bukit kecil. Dia baru saja
meninggalkan kota Pu-han di mana dia tinggal selama satu bulan untuk bekerja.
Kini dia melanjutkan kelananya dengan mengantungi uang hasil pekerjaannya.
Hatinya
terasa ringan, segalanya nampak indah. Matahari belum naik tinggi dan sinarnya
masih kemerahan. Pemandangan di bukit kecil itu pada pagi hari amat indahnya.
Burung-burung berkicau, bersiap meninggalkan sarangnya di mana dia melewatkan
malam gelap. Para petani sudah menuju ke sawah ladangnya, membawa cangkul.
Semua tampak indah berseri dan seperti itulah seyogyanya kehidupan ini. Namun
sayang, batin selalu mudah terguncang sehingga menimbulkan perasaan tidak
bahagia.
Si Kong
mendaki semakin tinggi dan di dekat puncak bukit sudah tidak ada lagi sawah
ladang, melainkan padang rumput dan hutan di sana-sini. Tiba-tiba dia mendengar
suara orang menyanyikan sajak. Jantungnya berdebar.
Gurunya,
Yok-sian Lo-kai biasanya juga bernyanyi seperti itu! Akan tetapi suaranya agak
lain. Dia mempercepat langkahnya dan dapat menyusul seseorang yang berjalan
sambil menyanyikan sajak.
“Sebelum
timbul girang dan marah sebelum terasa senang dan susah batin berada dalam
keadaan bimbang. Apa bila perasaan itu timbul namun dapat mengendalikan batin
berada dalam keadaan keselarasan. Keseimbangan dasar termulia di dunia dan
keselarasan adalah jalan utama di dunia.”
Si Kong
langsung mengenali kata-kata itu. Dia sudah banyak mempelajari ayat-ayat dari
kitab-kitab agama dari Yok-sian. Maka dia pun mengenal syair yang dinyanyikan
itu, ialah sebagian dari pada isi kitab Tiong Yong. Karena suara orang itu
terdengar lantang dan gembira, dia terbawa gembira dan seperti tanpa disadari
dia pun menyambung nyanyian itu dengan suaranya yang lantang.
“Apa bila
Keseimbangan dan Keselarasan dilaksanakan dengan sempurna, maka keberesan abadi
meliputi langit dan bumi, dan segala makhluk dan benda terpelihara dengan
baik.”
Mendengar
ini, orang itu segera menghentikan langkahnya dan menoleh. Dia seorang pria
berusia lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti pohon kekeringan, tapi
wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot yang terpelihara baik-baik. Orang itu
membelalakkan matanya dan terlihat keheranan setelah melihat bahwa orang yang
menyambung sajaknya itu hanyalah seorang pemuda remaja! Dia berhenti melangkah
dan menunggu sampai Si Kong datang dekat.
“Engkau
hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong?” tanya orang itu, masih keheranan.
“Engkau tentu seorang anak yang terpelajar!”
Si Kong
tersenyum lantas memberi hormat. “Paman, saya tidak pernah bersekolah atau
belajar, saya hanya menirukan apa yang pernah di katakan suhu.”
“Siapa
suhu-mu?”
Dengan
bangga Si Kong menjawab, “Suhu adalah Yok-sian Lo-kai.”
“Ahh, dia?
Pantas saja engkau hafal ayat-ayat Tiong Yong. Akan tetapi apakah engkau
mengerti akan artinya ayat-ayat itu?”
“Justru
artinya yang membingungkan aku, Paman. Suhu tidak pernah menjelaskan tetapi
hanya mengatakan bahwa kelak aku akan mengerti sendiri.”
“Mengerti
sendiri memang bisa, tetapi ada kemungkinan pengertian itu menyeleweng dari
arti yang sebenarnya. Nah, dengarlah baik-baik, anak muda. Batin manusia
seperti yang telah ada padanya semenjak lahir, memiliki Watak Asli yang
sifatnya tenteram, lurus dan seimbang. Akan tetapi apa bila batin diguncangkan
oleh perasaan seperti suka dan duka, senang dan marah, maka keseimbangannya
dapat menjadi goyah dan miring, dan setelah demikian maka dia pun akan
meninggalkan Tao atau Jalan Kebenaran atau Hukum Alam. Akan tetapi manusia
disertai pula oleh nafsu-nafsu daya rendah yang saling berebut untuk
menguasainya, maka tak bisa dielakkan lagi timbulnya berbagai macam guncangan
yang akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari
guncangan ombak. Akan tetapi kalau manusia sedang diguncang nafsu namun dapat
mengendalikan perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan. Sudah manusiawi
bila manusia berduka ketika mendapatkan sesuatu yang tidak enak, atau marah apa
bila melihat kejadian yang tidak adil, akan tetapi bila semua itu dapat dia
kendalikan, maka segalanya akan selaras dan dia tak akan tenggelam ke dalam
perasaan itu dan pertimbangannya akan tetap tegak dan berimbang. Demikian pula
kalau menghadapi sesuatu yang mendatangkan perasaan suka dan girang, dia tak
akan mabuk dan menjadi bangga, angkuh, serakah dan lainnya. Demikianlah,
seperti yang kau nyanyikan tadi, apa bila Keseimbangan dan Keselarasan dapat
dilaksanakan dengan sempurna, maka langit dan bumi akan menjadi tenteram dan
beres, dan kehidupan di dunia akan penuh kebahagiaan.”
Si Kong
memandang kagum. Jelas bahwa orang ini seorang sastrawan, atau setidaknya
seorang yang terpelajar. Dia segera memberi hormat dan berkata, “Paman, terima
kasih atas penerangan semua itu. Kalau begitu, dalam kitab Tiong Yong terdapat
pelajaran yang amat mendalam tentang kehidupan.”
“Di dalam
kitab suci tentu saja tersimpan banyak pelajaran yang amat mendalam. Hanya
persoalannya, kalau hanya dipelajari tetapi tidak dilaksanakan, maka pelajaran
itu menjadi benda yang tidak ada gunanya sama sekali.”
Si Kong
menghela napas panjang. “Tepat sekali, paman. Akan tetapi mengapa di dunia ini
terdapat lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan, terdapat demikian banyaknya
orang jahat padahal di dunia ini terdapat pelajaran agama yang demikian indah
dan mendalam?”
“Ha-ha-ha!”
Sastrawan itu terbahak, mengingatkan Si Kong akan gurunya yang memiliki
kebiasaan tertawa lepas. “Itu mudah sekali menjawabnya. Karena manusia disertai
nafsu-nafsu daya rendahnya yang selalu ingin menguasainya. Nafsu-nafsu daya
rendah sudah menguasai manusia lahir batin, lebih kuat karena memang manusia
itu lemah sehingga manusia menjadi budak dari nafsunya. Bahkan pikirannya sudah
dikuasai nafsu sehingga biar pun dia tahu bahwa melakukan perbuatan yang
menyimpang dari kebenaran, pikiran yang sudah dikuasai nafsu itu selalu mencoba
untuk membela dan membenarkan semua tindakannya yang menyimpang dari kebenaran
itu. Maka orang bijaksana jaman dahulu selalu mengingatkan manusia agar
berhati-hati menghadapi musuh dalam selimut, yaitu nafsu-nafsunya sendiri.”
“Wah, Paman.
Sungguh jelas apa yang Paman terangkan itu! Terima kasih, Paman.”
“Dan engkau
juga seorang anak yang aneh. Masih remaja akan tetapi sudah tertarik akan
soal-soal kehidupan.”
“Tentu saja,
Paman. Saya juga manusia hidup yang harus tahu akan kehidupan, bukan?”
“Ha-ha-ha,
engkau juga cerdik. Siapakah namamu orang muda?”
“Nama saya
Si Kong, paman.”
“Si Kong?
Nama yang sangat bagus. Engkau harus berhati-hati kalau mempunyai nama yang
bagus, karena engkau harus menyesuaikan perbuatanmu dengan namamu itu! Kau
tidak ingin tahu namaku?”
“Tentu saja,
Paman. Paman tentu seorang yang terkenal sekali di dunia.”
“Ha-ha-ha-ha,
orang-orang menyebut aku Kwa Siucai (Pelajar Kwa) dan ada pula yang menyebutku
Penyair Gila! Orang-orang itu membenciku karena aku suka berterus terang
menyatakan watak-watak mereka yang buruk. Aku seorang peramal, heh-heh!”
“Saya tidak
suka kalau nasib saya diramal, Paman.”
“Kenapa?”
“Tahu lebih
dulu akan nasib diri malah mendatangkan banyak kerugian. Jika nasibnya baik
akan membuat dia sombong dan takabur, sebaliknya ketika mengetahui nasibnya
buruk akan membuat dia putus asa dan murung. Tidak, lebih baik saya tidak
mengetahui dan menanti saja apa yang akan datang menimpa diri kita.”
“Ha-ha-ha-ha,
cocok sekali! Aku sendiri juga tidak suka meramalkan nasib sendiri. Tetapi
orang-orang bodoh itu ingin sekali menjenguk masa depan mereka. Dan aku hidup
bebas dari rasa takut. Heh, Si Kong, banyak sikap yang sama di antara kita, dan
melihat bentuk tubuhmu, aku takkan merasa heran kalau engkau lihai dalam ilmu
silat. Bukankah gurumu adalah Yok-sian Lo-kai yang lihai?”
“Saya hanya
mempelajari beberapa macam pukulan dengan tongkat ini, Paman.”
“Ahh, engkau
tentu sudah pandai memainkan Ta-kaw Sin-tung!”
Si Kong
tertegun. Orang ini memang aneh. Ternyata pandai pula menebak ilmu silat yang
dia pelajari dari Yok-sian Lo-kai.
“Bagaimana
paman dapat mengetahuinya?”
“Engkau
masih muda, sebetulnya tidak membutuhkan tongkat, akan tetapi engkau selalu
membawa tongkat bambu. Apa lagi kalau bukan karena pandai Ta-kaw Sin-tung,
Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang tersohor itu?”
“Ahh, saya
hanya bisa sedikit saja, Paman.”
“Ada nasehat
yang selalu dikatakan orang-orang di dunia kangouw bahwa semakin orang
merendahkan diri, makin lihailah dia! Sudah lama sekali aku mendengar tentang
Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang kabarnya sudah mengalahkan banyak anjing dan
serigala di dunia kang-ouw. Sekarang aku sudah bertemu denganmu, ingin sekali
aku merasakan bagaimana lihainya ilmu tongkat itu.”
“Ahh, Paman
hanya main-main saja. Aku tidak akan mau menggunakan tongkat ini untuk memukul
Paman. Tongkat ini kubawa hanya untuk memukul anjing-anjing dan serigala.”
“Nah, anggap
saja aku ini anjing atau serigala!”
“Tidak,
Paman adalah seorang yang baik hati. Aku tidak ingin berkelahi dengan Paman.”
“Aku hanya
ingin mencoba kelihaian tongkatmu, bukan mengajakmu berkelahi. Sekarang begini
saja. Aku akan menyerangmu dan kau lawanlah dengan Ta-kaw Sin-tung. Awas, aku
mulai!”
Sesudah
berkata demikian, Kwa Siucai atau Penyair Gila itu segera menerjang ke depan
dan tangannya menghantam ke arah dada Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan
kepalang ketika dari tangannya yang menghantam itu menyambar hawa pukulan yang
sangat kuat! Kiranya Penyair Gila ini memiliki tenaga sinkang yang amat hebat.
Dia pun
cepat mengelak sambil memutar tongkatnya. Begitu serangan pertamanya luput, Kwa
Siucai sudah menyusul dengan serangan kedua yang lebih cepat dan lebih kuat.
Kini untuk membela diri terpaksa Si Kong memainkan Ta-kaw Sin-tung, menangkis,
memutar tongkat melindungi dirinya dan balas menyerang.
Dalam ilmu
tongkat Ta-kaw Sin-tung, balas menyerang merupakan gaya melindungi diri yang
paling tepat. Apa bila orang diserang anjing, dia harus membalas dengan
serangan, bukan hanya mengelak saja, demikian inti ilmu tongkat itu.
Kwa Siucai
tertawa terbahak sebab merasa girang melihat betapa pemuda itu memainkan ilmu
tongkat yang ingin sekali dilihatnya itu. Dan sesudah Si Kong menyerangnya
secara bertubi-tubi, barulah dia menjadi repot melayaninya.
Memang ilmu
tongkat itu aneh bukan main. Yang dipukul kepala tetapi tahu-tahu ujungnya yang
lain menotok ke arah kaki. Kalau yang dipukul bagian tubuh yang kanan, ujungnya
yang lain menyerang tubuh kiri! Anjing-anjing memang akan menjadi bingung dan
terkena pukulan kalau diserang seperti itu!
Si Kong tak
ingin melukai Kwa Siucai, maka tongkatnya hanya mendesak saja. Dia tidak pernah
memukul dengan sungguh-sungguh biar pun kedua ujung tongkatnya menyerang silih
berganti dan tidak memberi peluang kepada lawan untuk membalas menyerang.
“Bagus, Si
Kong. Bagus sekali! Akan tetapi sekarang berhati-hatilah engkau!”
Tiba-tiba
saja tubuh Kwa Siucai yang diserangnya itu lenyap! Dari hawa pukulannya yang
datang dari belakang tahulah dia bahwa lawannya telah berada di belakangnya.
Dia cepat membalik dan memutar tongkatnya untuk menyerang, namun hanya nampak
bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah lenyap pula. Tiba-tiba
orang itu sudah berada di sebelah kanannya.
Kini Si Kong
yang menjadi repot. Dia harus terus menangkis pukulan yang datangnya dari semua
penjuru seolah tubuh Kwa Siucai berubah menjadi puluhan banyaknya! Tahulah dia
dengan hati kagum dan kaget bahwa Kwa Siucai sebenarnya seorang sakti yang
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna sehingga
dia seperti pandai menghilang saja!
Karena terus
diserang dari berbagai penjuru sehingga sama sekali dia tidak dapat balas
menyerang, Si Kong sampai mandi keringat menjaga diri dari serangan yang
datangnya selalu tiba-tiba itu. Akan tetapi, setelah Si Kong mendadak
kehilangan lagi bayangan Kwa Siucai, tahu-tahu ujung tongkatnya sudah terpegang
dari belakang. Dia mempertahankan tongkatnya sehingga tidak dapat dirampas,
akan tetapi dia pun tidak dapat menggerakkan lagi tongkatnya!
“Ha-ha-ha,
memang bukan kosong saja berita tentang kehebatan Ta-kaw Sin-tung! Aku kagum
sekali, Si Kong!”
Si Kong
adalah seorang pemuda remaja yang cerdik bukan main. Dari pengalamannya
bertanding tadi, dia pun maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan orang sakti
yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia segera
menjatuhkan diri dan berlutut di depan Penyair Gila itu.
“Locianpwe
sudah membuka mata saya untuk melihat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa
sekali. Mohon petunjuk, locianpwe!”
“Ha-ha-ha!
Bagus sekali, Si Kong. Tadi ketika bertemu pertama kali dan melihat engkau
dapat menghafal ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, aku sudah tertarik sekali
kepadamu. Setelah melihat engkau memainkan Ta-kaw Sin-tung, aku lebih kagum
lagi. Agaknya kita memang berjodoh, Si Kong. Bagaimana kalau engkau menjadi
muridku?”
Memang
inilah yang dikehendaki oleh Si Kong. Maka tanpa banyak cakap lagi dia pun lalu
memberi hormat sambil berlutut dan berkata, “Teecu (murid) akan mentaati semua
perintah suhu!”
Kwa Siucai
menjadi gembira sekali. “Bagus! Sekarang bangkitlah dan perhatikan semua
petunjukku. Kejarlah aku!” Dan tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai sudah melesat
bagai anak panah terlepas dari busurnya, sebentar saja sudah jauh.
Melihat ini
Si Kong menjadi gembira, lalu dia pun melompat dan mengejar. Akan tetapi betapa
pun dia mengerahkan tenaga untuk berlari secepatnya, tetap saja dia tidak mampu
mengejar, padahal Kwa Siucai kelihatan hanya melangkah dengan santai saja.
Dipandang sepintas lalu, seolah-olah kedua kaki Penyair Gila itu tidak
menyentuh tanah!
Napas Si
Kong hampir putus ketika mereka tiba di puncak bukit karena sejak tadi dia
telah mengerahkan seluruh tenaganya. Tahu-tahu Kwa Siucai sudah menunggu di
puncak bukit dan segera tertawa ketika melihat dia terengah-engah.
“Duduklah
bersila!” perintahnya.
Si Kong
mentaati dan duduk bersila di depan suhu-nya yang juga sudah duduk bersila di
atas tanah berumput.
“Bernapaslah
dengan perut. Tarik napas sepanjang dan sekuat mungkin, tarik terus lantas
keluarkan ke dalam tan-tian dan tahan sejenak, kemudian keluarkan dari mulut
dengan mengeluarkan suara begini!” Kwa Siucai memberi contoh kepada Si Kong.
Pada saat
itu juga dia telah mulai dilatih untuk menghimpun udara bersih dan memperkuat
pernapasannya. Si Kong berlatih dengan penuh kesungguhan sehingga gurunya
menjadi semakin suka kepada pemuda remaja ini.
Pada
hari-hari berikutnya dia mulai melatih ginkang (ilmu meringankan tubuh) kepada
Si Kong. Perlahan-lahan dia mengajarkan ilmu meringankan tubuh yang disebut
Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Di atas Tanah) dan ilmu silat yang mengandalkan
ginkang dan disebut ilmu silat Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang).
Untuk
mempelajari kedua ilmu ini tentu saja membutuhkan waktu lama, terutama untuk
latihan pernapasan. Akan tetapi dengan tekunnya Si Kong mengikuti semua
petunjuk Kwa Siucai.
Dalam
kehidupannya bersama guru barunya ini, Si Kong mendapatkan kenyataan bahwa
Penyair Gila itu malah lebih miskin dari pada Yok-sian Lo-kai. Setidaknya Yok-sian
selalu diterima orang dengan senang hati dan tangan terbuka karena Dewa Obat
datang untuk mengobati orang sehingga dia dan guru pertamanya itu di mana-mana
disambut orang dengan hidangan dan kehormatan. Dan kalau dia mau, dengan
kepandaiannya mengobati orang, dia akan bisa mendapatkan uang. Akan tetapi
Penyair Gila ini tidak dapat menjual sajak-sajaknya yang aneh, apa lagi
ramalannya yang menelanjangi orang-orang sehingga membuat banyak orang merasa
tidak suka kepadanya!
Dan terdapat
perbedaan yang besar antara watak Kwa Siucai ini dengan Yok-sian. Meski pun
miskin namun Yok-sian menjaga nama dan kehormatan dirinya, tidak suka mencuri
bahkan tidak pernah menjual kepandaiannya mengobati orang. Dari pada mencuri
lebih baik dia mengemis! Akan tetapi ternyata tidak demikian dengan Kwa Siucai.
“Orang-orang
kaya yang tidak pernah mau mempedulikan nasib sesama manusia yang menderita
karena kemiskinannya adalah orang-orang yang tidak berbudi,” demikian antara
lain Kwa Siucai berkata. “Orang-orang kaya itu telah mendapatkan kemurahan dari
Thian, maka sudah sepantasnya kalau dia menjadi seorang dermawan pula. Seorang
hartawan harus menjadi seorang dermawan pula, maka barulah cocok. Kalau dia
kikir, maka orang seperti itu pantas kalau dikurangi sebagian hartanya.”
Yang
dimaksudkan oleh Kwa Siucai dengan dikurangi sebagian hartanya itu adalah
dicuri, kemudian uang hasil curian itu dibagikan kepada orang-orang miskin. Kwa
Siucai adalah seorang maling budiman! Dan Si Kong yang menjadi muridnya
diharuskan melakukan perbuatan yang sama!
Si Kong
mempertimbangkan alasan Kwa Siucai itu, dan akhirnya dia pun tidak keberatan
untuk mencuri uang dari para hartawan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin.
Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kemiskinan sehingga dapat merasakan
penderitaan orang miskin. Maka sesudah mendapat pelajaran dari Kwa Siucai, dia
dapat merasakan betapa bahagianya orang-orang miskin yang diberinya uang hasil
curian itu.
Akan tetapi
semua ini dikerjakan oleh Kwa Siucai secara diam-diam. Dia mencuri tanpa
meninggalkan bekas, lantas memberikan uang kepada orang-orang miskin tanpa
mereka ketahui siapa pemberinya. Hartawan-hartawan pemeras rakyat itu tahu-tahu
kehilangan sebagian hartanya, ada pun orang-orang miskin itu tahu-tahu
menemukan uang di dalam rumahnya tanpa mengetahui siapa yang memberi mereka.
Kalau guru
dan murid ini mendengar adanya seorang hartawan yang dermawan, mereka sama
sekali tidak mengganggu hartawan itu. Akan tetapi mereka tak pernah mengampuni
hartawan yang pelit dan suka memeras rakyat jelata. Dan di antara yang mereka
curi itu, hanya sedikit saja yang mereka gunakan untuk keperluan sendiri. Hanya
untuk membeli makan dan minum, juga pengganti pakaian sekadarnya. Semua
dihabiskan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin!
Setelah
selama setahun belajar dengan tekun sambil merantau bersama Kwa Siucai, Si Kong
telah menguasai dua ilmu yang diajarkan oleh Kwa Siucai, yaitu ilmu meringankan
tubuh Liok-te Hui-teng dan ilmu silat Yan-cu Hui-kun. Dia kini tinggal
mematangkan saja ilmu-ilmu itu dengan latihan yang tekun.
Pada suatu
hari Kwa Siucai berkata kepada Si Kong. “Si Kong, engkau sudah menguasai dua
ilmu yang kuajarkan kepadamu. Dalam waktu setahun engkau sudah bisa menguasai
keduanya, hal itu luar biasa sekali. Bakatmu amat besar dan engkau memiliki
ketekunan yang teguh. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berpisah!”
Si Kong
terkejut sekali. “Akan tetapi kenapa, Suhu? Kenapa kita harus berpisah? Teecu
masih membutuhkan bimbingan Suhu dalam segala hal!”
Kwa Siucai
tersenyum dan menggerakkan tangannya. “Engkau telah menguasai Ta-kaw Sin-tung.
Kalau ilmu tongkatmu itu kau gabungkan dengan Yan-cu Hui-kun, maka engkau sudah
menjadi orang yang sulit ditandingi. Kini aku ingin kembali ke kampungku, jauh
di selatan, Si Kong, dan kita pun tidak mungkin berkumpul terus. Aku dapat
mengurus diriku sendiri seperti juga engkau dapat mengurus dirimu sendiri. Ada
pertemuan tentu ada pula perpisahan, Si Kong.”
Si Kong
menjatuhkan dirinya berlutut. “Suhu, perkenankan teecu ikut dengan Suhu untuk
membalas semua kebaikan Suhu.”
“Aihh…,
sudahlah, tidak ada budi dan tidak ada pembalasan. Selama ini engkau menjadi
murid yang baik, itu sudah cukup menyenangkan hatiku. Selamat tinggal, Si
Kong!”
“Suhu...!”
Tetapi Si
Kong melihat bayang berkelebat dan tahu-tahu suhu-nya sudah tidak berada di
depannya lagi. Dia tetap berlutut lalu berkata lantang. “Terima kasih atas
semua kebaikan Suhu kepada teecu!”
Sesudah
memberi hormat beberapa kali dia baru bangkit berdiri. Kembali dia merasakan
kekosongan di hatinya seperti ketika dulu ditinggalkan oleh Yok-sian Lo-kai.
Dia merasa kesepian dan sendiri, bagaikan seekor burung di angkasa, tidak tahu
harus pergi ke mana dan harus berbuat apa!
Dia menghela
napas. Inilah kelemahannya selama ini. Dia terlalu menggantungkan dirinya
kepada orang lain! Maka dia merasa kesepian dan nelangsa ketika ditinggalkan.
Tidak! Dia harus berani hidup sendiri!
Dia mengepal
tinjunya. Dia sama sekali tidak boleh lemah seperti ini. Dua orang gurunya itu
telah memberi banyak pelajaran tentang hidup kepadanya. Sekaranglah saatnya
untuk memasuki kehidupan seorang diri dan menghadapi apa saja yang menimpa
dirinya. Dia bukan anak kecil lagi. Kini usianya sudah enam belas tahun! Dia
harus berani dan harus mampu mandiri.
Si Kong
seperti mendapat semangat baru. Dengan cepat dia menuruni bukit itu. Dari atas
bukit itu tadi dia melihat samar-samar genteng rumah orang di bukit depan.
Tentu di sana ada penghuninya, maka dia pun kini menuruni bukit lalu mendaki
bukit di depan.
Hari telah
menjelang sore dan dia ingin mencari tempat bermalam di dusun yang berada di
lereng bukit itu. Sesudah sampai di lereng itu, dia melihat sebuah perkampungan
yang dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Akan tetapi agaknya itu bukan
merupakan sebuah dusun karena pintu gerbangnya yang besar terjaga oleh lima
orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kereng.
“Hei, orang
muda! Siapakah engkau dan hendak ke mana?” tanya seorang di antara para penjaga
itu ketika melihat Si Kong hendak memasuki pintu gerbang. Lima orang itu cepat
menghadang di pintu gerbang dan sikap mereka nampak galak sekali.
“Maaf, aku
hanya ingin memasuki dusun ini untuk mencari tempat menginap malam ini,” kata
Si Kong dengan sikap tenang.
Kelima orang
itu saling pandang, lantas tertawa bergelak. Si penanya tadi yang agaknya
menjadi pimpinan lalu membentak, “Bocah lancang! Ini bukan dusun, akan tetapi
tempat tinggal majikan kami, Tong Loya (Tuan besar Tong). Orang luar sama
sekali tidak boleh masuk ke sini!”
“Ahh...”
kata Si Kong kecewa, akan tetapi dia mendapat pikiran baik dan segera berkata,
“Kebetulan sekali kalau begitu. Aku hendak menghadap majikan kalian untuk mohon
diberi pekerjaan.”
Memang di
dalam hatinya Si Kong sudah mengambil keputusan untuk tidak mengemis seperti
Yok-sian dan tidak mencuri seperti Kwa Siucai. Kedua kebiasaan ini dianggapnya
tidak baik. Dia ingin bekerja untuk mendapatkan uang guna biaya hidupnya.
“Hemm, tidak
begitu mudah untuk menghadap majikan kami! Dan bocah macam engkau ini dapat
bekerja apakah?”
Si Kong
masih bersabar hati menghadapi sikap yang angkuh dan kasar ini. “Aku dapat
melakukan apa saja yang kalian dapat lakukan.”
Pemimpin
para penjaga itu mengerutkan alisnya. “Kau dapat melakukan apa saja yang kami
dapat lakukan? Huh, kalahkan kami dulu jika engkau ingin diberi kesempatan
untuk menghadap Loya!” dia menantang untuk menakut-nakuti pemuda remaja itu,
sedangkan keempat orang kawannya tertawa-tawa. Pemuda itu pasti pergi
ketakutan, pikir mereka. Akan tetapi Si Kong kini merasa penasaran.
“Kalau itu
yang kalian kehendaki, aku siap melawan kalian berlima!”
“Bocah gila!
Melawan aku seorang saja jangan harap kau dapat menang, apa lagi hendak melawan
kami berlima!” teriak seorang di antara mereka yang matanya agak juling.
“Boleh
coba-coba!” kata Si Kong yang menganggap sikap mereka ini sangat keterlaluan.
Dia segera menancapkan tongkatnya ke atas tanah karena tidak memerlukan senjata
itu untuk melawan lima orang sombong itu.
Si juling
semakin marah. “Bocah gila, kau rasakan pukulanku ini!” Dia segera menyerang
dengan jotosan ke arah muka Si Kong.
Akan tetapi
dengan amat mudahnya Si Kong mengangkat tangan dan menangkap lengan yang
menyambar ke arahnya itu, lalu sekali menggeser kakinya dia telah menekuk
lengan itu ke belakang tubuh si juling dan mendorong ke depan.
Si juling
terdorong ke depan dan jatuh menelungkup! Bukan main marahnya si mata juling.
Dia meloncat bangun dan langsung menyambar sebatang tombak yang disandarkan
pada gardu penjagaan, lalu menyerang Si Kong dengan tusukan-tusukan tombak.
Si Kong
sudah melihat bahwa kepandaian lawannya itu biasa saja, maka dia masih tidak
mau menggunakan tongkatnya melainkan mengelak ke kanan kiri. Dan setelah
mendapat kesempatan, kakinya cepat menendang tangan lawan. Tombak itu terlepas
dan terlempar sampai jauh.
Melihat ini,
empat orang penjaga yang lain lalu turun tangan mengeroyok Si Kong dengan
mempergunakan golok dan tombak. Si mata juling juga tidak menjadi jera. Melihat
teman-temannya membantu, dia pun segera mengambil tombaknya yang terlempar tadi
dan ikut pula mengeroyok!
Si Kong
masih menghadapi pengeroyokan lima orang itu dengan tangan kosong saja.
Gerakannya yang sangat gesit membuat lima orang itu bingung, bahkan kadang
senjata mereka saling bertemu sendiri. Pemuda itu seperti berubah menjadi
bayangan yang tidak dapat disentuh senjata mereka. Si Kong sengaja tidak mau
mencari permusuhan, maka dia pun hanya mengelak saja dan berloncatan ke sana
sini tanpa membalas.
Tiba-tiba
nampak seorang pemuda meloncat keluar dari sebelah dalam pintu gapura dan dia
membentak, “Hentikan perkelahian!”
Lima orang
itu langsung menghentikan pengeroyokan mereka sehingga Si Kong merasa lega. Dia
melihat seorang pemuda berperawakan sedang dan wajahnya tampan, berusia kurang
lebih delapan belas tahun telah berdiri di situ dengan gagahnya.
“Ada apa
ribut-ribut ini?” bentak si pemuda kepada lima orang penjaga. Pemimpin para
penjaga segera menghadap pemuda itu dengan sikap hormat.
“Maafkan
kami, Kongcu. Bocah ini hendak lancang menghadap Tong Loya. Tentu saja kami
melarangnya sehingga timbul perkelahian.”
Pemuda ini
mengerutkan alisnya dan matanya memandang ke arah Si Kong. Pandangan matanya
menunjukkan kemarahan dan dia memandang rendah kepada Si Kong, seorang pemuda
yang pakaiannya sederhana seperti orang dusun.
“Siapa
engkau yang begitu lancang hendak menghadap ayahku?” tanyanya dan nadanya
menunjukkan bahwa dia tidak senang mendengar laporan para penjaga.
Si Kong
segera memberi hormat, karena dia maklum bahwa pemuda yang disebut kongcu ini
tentulah putera majikan Tong itu. “Maafkan saya, Kongcu. Nama saya Si Kong.
Saya hanya mohon menghadap Loya untuk minta pekerjaan.”
Pemilik atau
majikan tempat itu yang disebut Tong-Loya oleh para penjaga itu bernama Tong Li
Koan, seorang hartawan berusia lima puluh tahun yang juga terkenal mempunyai
kepandaian ilmu silat tinggi. Pemuda itu adalah puteranya yang bernama Tong Kim
Hok, berusia delapan belas tahun.
Pemuda ini
sudah mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya agak angkuh dan tinggi
hati, sadar sepenuhnya bahwa sebagai kongcu (tuan muda) dia adalah majikan
kecil Bukit Bangau itu dan menganggap dirinya telah mempunyai ilmu silat yang
dapat dibanggakan. Kini melihat ada seorang pemuda lain berani melawan
pengeroyokan lima orang penjaga, dia merasa penasaran sekali.
“Minta
pekerjaan? Engkau bisa apakah?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Pekerjaan
apa pun yang diberikan kepada saya, akan saya lakukan, Kongcu. Pekerjaan kasar
pun tidak saya tolak!”
“Pekerjaan
kasar? Engkau merasa kuat?”
“Tentu saja
saya merasa kuat melakukannya, Kongcu.”
“Hemm,
hendak kulihat sampai di mana kekuatanmu. Aku yang akan mengujimu apakah engkau
pantas bekerja untuk kami. Coba lawanlah aku. Jaga seranganku ini.
Hyaaaatt...!”
Si Kong
terkejut sekali. Tak diduganya dia akan mendapat sambutan seperti itu dari tuan
muda ini. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa serangan pemuda itu tidak seperti
gerakan para penjaga yang mengandalkan tenaga kasar saja. Serangan pemuda ini
mengandung tenaga dalam dan dilakukan cukup cepat. Namun tidak terlalu cepat
baginya dan dengan mudah dia sudah mengelak.
Serangannya
yang luput membuat Tong Kim Hok menjadi semakin penasaran dan marah. Dia merasa
malu kepada para penjaga itu kalau dia tidak mampu merobohkan Si Kong. Maka dia
pun menyerang lagi lebih cepat dan kuat.
Si Kong
menjadi bingung. Tentu saja dia mampu melawan pemuda yang ilmu silatnya masih
mentah itu. Akan tetapi dia tidak berani mengalahkan pemuda itu, karena pemuda
itu tentu akan marah dan kalau sudah begitu, tidak mungkin dia diterima bekerja
di situ. Maka dia pun mengalah. Setelah mengelak dari enam tujuh serangan
dengan mengelak, dia mulai menangkis tanpa mengerahkan tenaganya sehingga
setiap kali menangkis dia terhuyung ke belakang.
“Bukkk...!”
Sebuah
tendangan dari Tong Kim Hok mengenai lambungnya, membuat tubuh Si Kong
terhuyung-huyung. Memang dia sengaja membiarkan lambungnya terkena tendangan
itu, namun tentu saja dia sudah menjaga lambungnya itu dengan sinkang sehingga
dia tidak sampai terluka.
Akan tetapi
ternyata Tong Kim Hok masih belum puas dengan sebuah tendangan yang mengenai
lambung Si Kong. Dia bahkan merasa penasaran sekali karena Si Kong tidak sampai
roboh dan dia menyerang lagi kalang-kabut. Beberapa kali Si Kong membiarkan
tubuhnya kena hantaman yang membuatnya terhuyung.
“Sudah
cukup, Kongcu. Saya mengaku kalah!” katanya berulang-ulang.
Akan tetapi
Tong Kim Hok tetap saja menyerangnya terus. Para penjaga menjadi girang melihat
Si Kong dihajar. Mereka tertawa-tawa dan ada yang berkata memberi semangat
kepadaTong Kim Hok.
“Hajar
terus, Kongcu! Pukul terus!”
Walau pun
dia tidak sampai terluka, akan tetapi karena membiarkan tubuhnya mendapat
pukulan-pukulan, maka bibir kiri Si Kong berdarah dan pipi kanannya menjadi
biru bekas pukulan. Pada saat itu seekor kuda datang berlari dan sesosok
bayangan orang meloncat dari atas punggung kuda itu.
“Cukup, koko
(kakak)! Mengapa engkau memukul orang?” terdengar seruan dan di antara Si Kong
dan Tong Kim Hok telah berdiri menghadang seorang gadis remaja yang berusia
kurang dari enam belas tahun. Gadis ini cantik manis, dengan rambut dikuncir
dua dan diikat pita merah, dibiarkan tergantung pada kedua pundaknya.
“Moi-moi
(adik), engkau minggirlah, biar aku menghajar bocah lancang ini!” kata Tong Kim
Hok yang lehernya sudah bersimbah peluh dan napasnya agak memburu karena tadi
dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghajar Si Kong.
“Nanti dulu,
koko. Kenapa engkau hendak menghajar orang? Apa kesalahannya?”
“Bocah itu
minta bertemu dengan ayah, katanya dia hendak mencari pekerjaan. Maka aku
mengujinya karena dia tadi melawan lima orang penjaga kita. Nah, minggirlah,
aku ingin menghajarnya sampai dia tahu rasa!”
Gadis itu
bernama Tong Kim Lan, berusia hampir enam belas tahun dan adik dari Tong Kim
Hok. Dia memang seorang gadis lincah dan amat berbakat dalam ilmu silat sehingga
dia lebih maju bila dibandingkan dengan Tong Kim Hok, terutama sekali
gerakannya lebih cepat dan dalam hal ilmu pedang dia pun melebih kakaknya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment