Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 19
Si Kong
berindap-indap mendekati suara orang yang berbantahan itu. Dari balik sebatang
pohon besar dia mengintai. Jantungnya berdebar ketika dia melihat dua orang
kakek itu berdiri saling berhadapan dengan wajah tak senang, bahkan marah. Dia
mengenal kedua orang kakek itu yang bukan lain adalah Lam Tok dan
Tung-giam-ong! Datuk besar selatan dan datuk besar timur itu saling berhadapan
seperti dua ekor ayam jago sedang berlagak.
“Lam Tok!”
seru Tung-giam-ong sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka datuk besar
selatan itu. “Kedatangan kita di sini bukan saja untuk menentukan siapa yang
paling kuat di antara para datuk empat penjuru, tetapi juga untuk memperebutkan
Pek-lui-kiam! Nah, sekarang kebetulan kita saling bertemu di sini, maka kita
tentukan siapa di antara kita yang lebih berhak memiliki Pek-lui-kiam!”
“Ha-ha-ha,
bagus sekali, Tung-giam-ong!” jawab Lam Tok dengan suara menyindir dan
mengejek. “Apa kau sangka aku takut menghadapi tua bangka macam engkau? Memang
sebaiknya kita tentukan dari sekarang agar kita tidak menghadapi terlalu banyak
saingan!”
“Lam Tok,
pukulan beracunmu itu tak akan meruntuhkan selembar pun rambutku! Tetapi engkau
tidak akan dapat menahan pukulan dari Thai-yang Sin-ciang!”
“Ha-ha-ha,
aku telah mendengar bahwa engkau menyempurnakan pukulan dari tanganmu yang
panas, akan tetapi ilmumu itu bagiku seperti permainan kanak-kanak saja!
Majulah kalau ingin kuhajar!”
“Lam Tok,
sombong sekali engkau. Bersiaplah untuk mampus di tanganku hari ini!”
“Ha-ha-ha,
selain engkau tak mungkin dapat mengalahkan aku, juga kalau engkau sampai dapat
membunuhku, berarti engkau membunuh puteramu sendiri!”
“Apa
maksudmu?” Tung-giam-ong memandang dengan heran dan kaget.
“Maksudku,
puteramu jatuh cinta dan tergila-gila kepada puteriku! Kalau engkau sampai
membunuhku, apa kau kira puteriku sudi berdekatan dengan puteramu? Dia bahkan
akan membalas dendam kepadamu!”
Ucapan ini
betul-betul mengejutkan hati Tung-giam-ong. “Puteraku Gin Ciong jatuh cinta
kepada puterimu? Apa buktinya?”
“Ha-ha,
buktinya? Belum lama ini aku bertemu dengan mereka berdua di pegunungan ini.
Puteramu bahkan hendak membantu puteriku untuk mendapatkan Pek-lui-kiam.
Lucunya, puteramu itu sungguh tidak tahu malu! Dia tergila-gila kepada puteriku
padahal puteriku itu tidak mencintanya, meliankan mencinta seorang pemuda lain!
Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Anaknya dan bapaknya sama bodohnya!”
“Keparat!”
Tung-giam-ong marah dan menerjang dengan pukulannya yang ampuh, yang disebut
Thai-yang Sin-ciang yang berhawa panas.
Namun
pukulan ini dengan mudah dielakkan oleh Lam Tok yang cepat membalas dengan
serangannya Lam-hai Sin-ciang (Tangan Sakti Lautan Selatan) yang datangnya
bagaikan gelombang lautan. Tetapi Tung-giam-ong juga dapat menghindarkan diri
dengan mudah.
Si Kong yang
menonton pertandingan itu menjadi sangat terkejut. Dia tahu bahwa kedua orang
kakek itu menggunakan ilmu-ilmu pukulan yang amat ampuh dan dapat mematikan.
Kedua kakek itu memperebutkan Pek-lui-kiam dengan taruhan nyawa. Mengingat
bahwa Lam Tok adalah ayah kandung Cu Yin, Si Kong merasa tidak tega jika kakek
itu terancam bahaya maut. Maka selagi kedua orang kakek itu bertanding hebat,
Si Kong melompat ke tengah-tengah di antara mereka dan mendorong ke kanan kiri.
Dua orang
kakek itu terkejut sekali ketika merasakan betapa dari dorongan itu terkandung
tenaga dahsyat yang membuat mereka mundur dan menahan gerakan berikutnya.
“Ji-wi
locianpwe, harap jangan berkelahi. Pek-lui-kiam yang akan ji-wi perebutkan
berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang!”
Dua orang
kakek itu mengamati wajah Si Kong, kemudian Tung-giam-ong mengenalnya sebagai
pemuda yang dapat menahan pukulan saktinya.
“Kiranya
engkau, bocah setan!” bentaknya.
“Hemm, orang
muda, mengapa engkau melerai pertandingan kami? Siapa engkau?” tanya Lam Tok
sambil mengamati wajah pemuda itu penuh selidik.
“Saya berani
melerai karena yang ji-wi perebutkan itu berada di tangan para pimpinan
Kui-jiauw-pang. Jadi tidak ada gunanya berkelahi memperebutkan pedang yang
masih berada di tangan orang lain. Hanya merugikan saja.”
“Siapa
namamu?” LamTok mengulang.
Si Kong
memberi hormat kepada kakek ini dan mejawab, “Nama saya Si Kong ...”
“Jahanam!
Jadi engkau yang sudah menghina nama keluargaku?” bentak Lam Tok marah sekali.
“Apa maksud
locianpwe?” tanya Si Kong kaget karena dia sama sekali tak merasa pernah
melakukan penghinaan terhadap keluarga datuk ini.
“Hemm,
maksudku sudah jelas! Engkau berani menolak cinta anakku Cu Yin, bukankah itu
penghinaan namanya? Karena itu sekarang engkau harus mati di tanganku!” Sesudah
berkata demikian, Lam Tok langsung menerjang Si Kong dengan sebuah pukulan maut
sambil mengerahkan tenaga Jeng-kin-lat (Tenaga Seribu Kati)!
“Ehh, nanti
dulu, locianpwe!” kata Si Kong sambil mengelak ke belakang.
“Ternyata
engkaulah pemuda yang menghalangi cinta puteraku terhadap puteri Lam Tok!
Memang engkau harus mampus!” Tung-giam-ong juga berseru kemudian menyerang Si
Kong dari samping, menggunakan pukulan maut dari ilmu Thai-yang Sin-ciang.
Akan tetapi
Si Kong juga dapat mengelak dan pemuda ini merasa bingung sekali diserang oleh
dua orang datuk yang sakti itu! Karena dia tidak diberi kesempatan untuk
membela dirinya, maka dia pun menggunakan Yan-cu Hui-kun untuk mengelak dari
serangan ganda itu. Untuk melarikan diri sudah tidak ada kesempatan lagi karena
dua orang datuk itu telah menyerangnya secara bertubi. Terpaksa dia mengelak
dan menangkis sambil mencoba untuk balas menyerang untuk membendung hujan
serangan itu.
Dua orang
datuk besar itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka berdua sudah
menyerang sampai belasan jurus tetapi pemuda itu masih belum dapat mereka
robohkan. Karena penasaran, dua orang datuk itu segera berdiri sejajar lalu
berbareng menyerang dengan pukulan masing-masing yang amat kuatnya.
Tung-giam-ong menyerang dengan ilmu Thai-yang Sin-ciang yang amat panas
sedangkan Lam Tok menyerang dengan ilmu Eng-jiauw-kang (Tenaga Cakar Garuda)
yang selain sangat kuat juga mengandung racun yang berbahaya. Sedikit saja
kulit lawan tergores cakaran ini, maka sudah cukup untuk membunuhnya. Darahnya
akan keracunan.
Melihat dua
pukulan ini, Si Kong menyadari bahwa nyawanya terancam bahaya maut. Dia
terpaksa harus mengeluarkan ilmu silat simpanannya, yaitu Hok-liang Sin-ciang.
Karena untuk mengelak atau menangkis dua serangan itu amat berbahaya, maka
tidak ada jalan lain baginya kecuali melawan keras dengan keras. Dia berdiri hampir
berjongkok, kedua tangannya didorong ke depan menyambut dua serangan lawan itu
sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
“Wuuuutt...!
Dessss...!”
Dua tenaga
dahsyat itu saling bertemu, dan akibatnya tubuh Si Kong terjengkang lantas
bergulingan, namun dua orang kakek itu pun terhuyung-huyung ke belakang. Dua
orang datuk itu menyangka bahwa Si Kong telah terluka berat, padahal pemuda itu
tadi sengaja menggulingkan tubuhnya untuk memunahkan tenaga pukulan yang
melanda dirinya.
Lam Tok yang
melihat Si Kong bergulingan, cepat menggerakkan tangan kirinya ke arah
pinggang. Dicabutnya tiga batang anak panah lantas disambitkan dengan sepenuh
tenaga ke arah tubuh Si Kong yang bergulingan.
“Ayah,
jangan...!”
Terdengar
pekik melengking kemudian sesosok bayangan berkelebat menghadang antara Si Kong
dan Lam Tok. Bayangan itu bagaikan perisai yang melindungi Si Kong sehingga
tiga batang anak panah itu dengan telak menancap di dadanya dan bayangan itu
roboh!
“Yin-moi...!”
Si Kong berteriak sambil menubruk gadis yang roboh itu.
Gadis itu
memang Cu Yin dan baru saja dia muncul di situ bersama Gin Ciong. Pada saat Lam
Tok menyambitkan anak-anak panahnya, Cu Yin segera tahu bahwa nyawa Si Kong
berada dalam bahaya maut. Maka tanpa mempedulikan dirinya, dara itu lalu
menghadang dan menjadi perisai sehingga terkena tiga batang anak panah beracun
itu.
Si Kong
menubruk dan memangku kepala gadis itu sambil mengguncang pundaknya.
“Yin-moi...,
ahh, Cu Yin...!” Si Kong meratap dan baru sadarlah dia betapa sesungguhnya di
lubuk hatinya terdapat perasaan kasih sayang yang besar terhadap Cu Yin.
“Yin-moi...
ahh, Yin-moi...!” Si Kong mendekap kepala itu.
Sekali
melihat saja maklumlah dia bahwa nyawa gadis itu tidak dapat tertolong lagi.
Tiga batang anak panah itu menancap sampai amblas seluruhnya pada dadanya dan
seketika tubuh Cu Yin sudah berubah biru kehitaman yang berarti bahwa dia telah
keracunan. Cu Yin membuka matanya dan dia tersenyum mendapatkan kenyataan bahwa
dia dipangku oleh Si Kong. Dia mengangkat tangan kirinya, mengelus pipi Si
Kong.
“Kong-ko...
ahh, Kong-ko, aku... girang melihat... engkau selamat...”
“Yin-moi,
kenapa kau lakukan ini? Kenapa engkau mengorbankan nyawamu untukku?” Si Kong
menunduk dan menciumi muka gadis itu dengan hati hancur. Tanpa terasa lagi air
matanya jatuh berderai membasahi muka Cu Yin.
“Koko... aku
girang… dapat… melakukan sesuatu... untukmu... aku... aku cinta padamu,
koko...”
“Cu Yin...!
Jangan mati, Cu Yin, aku pun cinta padamu!” Si Kong menangis.
Gadis itu
tersenyum lebar dan memandang ke arah muka Si Kong. “Engkau... menangis, koko?
Menangis untukku...?”
“Ya, aku
ingin engkau hidup, Yin-moi!”
Cu Yin menggerakkan
tangannya dan mengambil pedang Pek-lui-kiam dari punggungnya. “Ini...
Pek-lui-kiam... kuserahkan kepadamu sebagai bukti cintaku... selamat...
selamat... tinggal, koko...” Gadis itu terkulai dan tewas dalam rangkulan Si
Kong.
“Cu Yin...
ahh, Yin-moi...!” Si Kong menangis.
“Dessss...!”
Tiba-tiba
sebuah tendangan yang keras membuat tubuhnya terpelanting dan bergulingan.
Kiranya yang menendang adalah Gin Ciong, yang hatinya terasa panas oleh api
cemburu. Si Kong baru sadar dan bangkit dari lautan duka di mana dia tadi
terbenam. Pada saat itu Gin Ciong sudah mengejarnya dan sekali lagi kaki itu
terayun, akan tetapi kini mengarah kepala Si Kong, merupakan tendangan maut.
Si Kong
telah sadar sepenuhnya, maka ketika kaki itu menyambar ke arah kepalanya, dia
menggerakkan tangan kanannya, menyambar dan menangkap kaki itu lalu
dilontarkannya ke depan. Tubuh Gin Ciong terlempar sampai jauh dan menimpa
batang pohon. Berdebuk suaranya dan Gin Ciong terbanting, seketika nanar dan
tidak mampu bangkit.
Melihat
puteranya terlempar dan terbanting, Tung-giam-ong menjadi marah sekali. Akan
tetapi Lam Tok lebih marah lagi melihat puterinya tewas. Biar pun puterinya
tewas karena anak panahnya sendiri, namun dia menyalahkan Si Kong.
“Jahanam,
kau sudah membunuh anakku!” teriaknya dan berbareng dengan Tung-giam-ong, dia
menerjang maju.
Kini Si Kong
sudah siap siaga. Mengingat akan kematian Cu Yin, dia pun berseru,” Kalian dua
orang tua bangka telah menyebabkan kematian Cu Yin!”
Setelah itu
dia membabatkan pedang yang diterima dari Cu Yin tadi ke arah kedua orang datuk
besar itu. Melihat pedang yang bersinar kilat itu, baik Lam Tok mau pun
Tung-giam-ong menjadi terkejut bukan main dan cepat mereka pun mencabut senjata
mereka. Lam Tok mencabut pedangnya dan Tung-giam-ong mencabut tombak cagaknya.
“Cringgg…!
Trakkk...!” Pedang di tangan Si Kong patah-patah ketika bertemu dengan dua
senjata itu.
Si Kong
terbelalak, begitu pula dengan dua orang datuk besar itu. Akan tetapi Gin Ciong
yang sudah dapat bergerak kembali berseru kepada ayahnya.
“Ayah,
pedang itu bukan Pek-lui-kiam, melainkan hanya pedang tiruan!”
Mendengar
ucapan ini mengertilah Si Kong dan dia membuang pedang itu dengan marah, lantas
menyambar sebatang cabang pohon untuk dijadikan senjata tongkat. Sekarang Si
Kong dikeroyok tiga.
Si Kong
maklum bahwa tiga orang itu amat lihai dan berkeras hendak membunuhnya. Dia
sendiri marah sekali melihat kematian Cu Yin yang mengorbankan nyawa untuknya,
maka dia menyambut serangan tiga orang itu dengan tongkatnya, memainkan Ta-kauw
Sin-tung sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya.
Akan tetapi,
betapa pun lihainya Si Kong, sekarang dia harus melawan pengeroyokan dua orang
datuk besar yang masih dibantu pula oleh Gin Ciong yang cukup tangguh. Dia
tidak mendapat kesempatan mempergunakan Ilmu Thi-khi I-beng karena tiga orang
lawannya semua menggunakan senjata. Thi-khi I-beng hanya boleh diandalkan dalam
pertandingan dengan tangan kosong, jika ada persentuhan antara tangan lawan dan
anggota tubuhnya.
Untung bahwa
ilmu tongkat yang dimainkannya, yaitu Ta-kauw Sin-tung memiliki gerakan yang
luar biasa. Apa lagi ditambah dengan ilmunya Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet
Terbang) yang membuat tubuhnya bergerak dengan sangat lincah sehingga sampai
lima puluh jurus lebih mereka bertanding, namun belum juga pemuda itu dapat
dirobohkan. Ini merupakan hal yang luar biasa sekali.
Dua orang
kakek itu hampir tak dapat percaya bahwa mereka berdua, dibantu Gin Ciong,
tidak mampu merobohkan pemuda itu dalam waktu lima puluh jurus lebih! Apabila
hal ini diketahui oleh dunia kangouw, maka mereka tentu akan menjadi bahan
olok-olok.
Si Kong
merasa bahwa akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akan kalah kalau
perkelahian itu dilanjutkan. Dia ingin melepaskan diri dari pengeroyokan
mereka, namun mereka bertiga tidak memberi kesempatan kepadanya. Mereka
mengepung ketat sekali.
Tiba-tiba
muncul banyak orang, ada puluhan orang banyaknya, tidak kurang dari empat puluh
orang. Mereka adalah orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai. Melihat
mereka, Gin Ciong pun berseru.
“Kalian
semua bantu kami menangkap pemuda ini!”
Puluhan
orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai segera menyerbu dengan senjata mereka.
Tapi hal ini bukan membuat Si Kong terancam bahaya, bahkan memberi jalan
kepadanya untuk meloloskan diri dari ancaman maut.
Begitu
melihat puluhan anak buah itu mengepung dan menyerangnya, Si Kong langsung
meninggalkan tiga orang pengeroyoknya dan melompat ke tengah-tengah puluhan
orang anak buah itu. Gerakannya begitu cepat sehingga sesudah merobohkan
beberapa orang, dia sudah lenyap di antara mereka sehingga Lam Tok,
Tung-giam-ong dan Tio Gin Ciong tidak dapat mengejarnya.
Dari dalam
kerumunan banyak orang itu Si Kong menyelinap dan akhirnya berhasil keluar dari
kepungan lantas melarikan diri secepatnya mempergunakan ilmu berlari cepat
Liok-te Hui-teng dan sebentar saja bayangannya telah lenyap ditelan pohon-pohon
dalam hutan.
Sesudah
bayangan Si Kong lenyap, Lam Tok segera menghampiri jenazah puterinya. Dia
berjongkok dekat jenazah yang masih hangat itu sambil melamun sedih.
Gin Ciong
menghampiri ayahnya dan menceritakan betapa dia sudah diterima oleh para
pimpinan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai dan bersekutu dengan mereka.
Tung-giam-ong Tio Sun adalah datuk besar timur yang tentu saja sudah mengenal
nama besar Pek-lian-pai sebagai perkumpulan pemberontak yang kuat. Dia
mendengar bahwa puteranya telah bersekutu dengan mereka, maka dia menjadi
girang sekali.
“Kabarnya
Pek-lui-kiam berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang,” katanya.
“Benar,
ayah. Akan tetapi kini Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, yaitu Toa Ok,
Ji Ok dan Ang I Sianjin yang sekarang memakai julukan Sam Ok. Toa Ok yang
mengatur bahwa yang akan didapatkan oleh para tokoh kangouw hanyalah
Pek-lui-kiam palsu, ada pun yang asli tetap berada di dalam kekuasaannya.”
“Hemm, aku
datang ke sini atas undangan Toa Ok dan Ji Ok untuk menentukan siapa di antara
empat datuk besar dari empat penjuru yang pantas memperoleh gelar datuk paling
lihai di dunia! Siapa pun yang menang dalam pertandingan nanti berhak memiliki
Pek-lui-kiam!”
“Ayah,
mengenai Pek-lui-kiam harap jangan khawatir. Toa Ok dan Ji Ok telah bergabung
dengan Pek-lian-pai dan mereka memiliki cita-cita besar untuk meraih kedudukan
tertinggi sesudah kerajaan Beng berhasil kita kuasai. Kalau Ayah menyatakan
bersedia membantu gerakan mereka, tentu urusan pedang Pek-lui-kiam menjadi
mudah. Tanpa susah payah Ayah akan dapat memilikinya sebagai upah Ayah suka
membantu gerakan mereka.”
Wajah
Tung-giam-ong Tio Sun langsung berseri mendengar ucapan puteranya itu. “Kau
pikir begitukah? Dan bagaimana dengan Lam Tok itu? Dia pun ikut diundang dan
dia pun menginginkan pedang pusaka Pek-lui-kiam!”
Gin Ciong
memandang ke arah kakek yang masih duduk di dekat jenazah Cu Yin sambil
termenung sedih itu. Pemuda ini mengerutkan alisnya. Cu Yin yang diharapkan
menjadi isterinya telah tewas. Tidak ada hubungannya lagi dengan Lam Tok dan
bahkan Lam Tok merupakan saingan yang berat, patut disingkirkan lebih dulu.
“Ayah, dia
pun menghendaki pedang Pek-lui-kiam. Dia musuh kita. Akan tetapi kalau dia suka
membantu gerakan kita, dia boleh dijadikan teman.”
“Bagaimana
kalau dia tidak mau bekerja sama?” tanya kakek tinggi kurus yang mukanya penuh
brewok itu.
Gin Ciong
menggerakkan tangan kanan seperti sebatang golok dan menggorok lehernya
sendiri, sebagai tanda bahwa kalau Lam Tok menolak bekerja sama, maka lebih
baik dia dibunuh saja! Isyarat ini membuat Tung-giam-ong merasa senang dan dia
menyeringai lebar sambil mendekati Lam Tok yang masih duduk bersila dekat
jenazah puterinya.
“Hemmm, Lam
Tok. Yang sudah mati tidak perlu ditangisi, tidak ada gunanya. Lebih baik
sekarang engkau bekerja sama dengan aku dan kelak kita tentu akan mampu
membalas dendam kepada Si Kong itu!”
Lam Tok
menoleh dan memandang kepada Tung-giam-ong dengan wajah dingin. “Bekerja sama
dengan kamu?” Dia mengulang dalam suaranya terkandung ejekan.
“Bukan saja
dengan aku, Lam Tok. Akan tetapi terutama sekali membantu Kui-jiauw-pang dan
Pek-lian-pai.”
Tiba-tiba
Lam Tok meloncat berdiri. Mukanya berubah merah dan matanya bersinar-sinar
penuh kemarahan. Telunjuk kirinya menuding ke arah wajah Tung-giam-ong.
“Tung-giam-ong, kau kira aku ini orang apa? Engkau mengajak aku bersekongkol
dengan Pek-lian-pai untuk memberontak? Aku bukan pemberontak dan aku tak sudi
membantu Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, tidak sudi bekerja sama dengan
pengkhianat macam kamu!”
Wajah
Tung-giam-ong menjadi pucat, lalu merah sekali. “Jahanam busuk, engkau berani
menghinaku?”
Sementara
itu Gin Ciong telah memberi aba-aba kepada orang-orang Kui-jiauw-pang dan
Pek-lian-pai.
“Bunuh orang
tak tahu diri ini!”
Ketika itu
Tung-giam-ong sudah menyerang Lam Tok dengan senjata tombak cagaknya. Gin Ciong
mencabut pedangnya dan dia pun menyerang Lam Tok.
Lam Tok yang
marah sekali itu sudah pula mencabut pedangnya. Dia segera menangkis
penyerangan ayah dan anak itu, kemudian membalas serangan mereka dengan tak
kalah hebatnya. Akan tetapi Lam Tok sekali ini menghadapi pengeroyokan yang ketat
dan kuat. Baru menghadapi Tung-giam-ong seorang saja kepandaiannya sudah
seimbang. Dengan pengeroyokan Gin Ciong saja, Lam Tok telah terdesak, apa lagi
di situ masih ada puluhan orang anggota Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai yang
turut pula mengeroyoknya, maka dia segera terdesak hebat.
Lam Tok
mengamuk. Pedangnya diputar dengan begitu hebatnya ketika dia berloncatan
meninggalkan pengeroyokan ayah dan anak itu, lantas menerjang kepungan anak
buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sehingga empat orang pengeroyok mati
berdarah.
Akan tetapi
Tung-giam-ong Tio Sun dan Tio Gin Ciong sudah mengejar dan menyerang dengan
berbareng, membuat Lam Tok terpaksa harus memutar pedang menangkis. Pada saat
itulah sebuah cakar setan dari anggota Kui-jiauw-pang telah mengenai
punggungnya. Cakaran itu merobek baju berikut kulit punggungnya, mendatangkan
luka memanjang.
Lam Tok
terkejut lantas membalikkan tubuhya. Tangan kirinya menyambar dan dia sudah
dapat memegang lengan penyerangnya itu dan sekali sentakan, tubuh anggota
Kui-jiauw-pang itu terangkat ke atas lalu dibanting ke atas tanah. Orang itu
tewas seketika.
Lam Tok
telah memutar pedangnya kembali. Akan tetapi kini pengeroyokan semakin ketat
sehingga kembali pundak kirinya terkena goresan cakar setan. Karena luka di
punggung dan pundaknya itu terasa nyeri sekali, Lam Tok lalu meniru perbuatan
Si Kong tadi.
Ia cepat
meloncat dan menyerbu di antara para anggota Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai,
menyelinap di antara mereka sambil merobohkan banyak orang. Akhirnya dia dapat
lolos, melarikan diri dan dikejar oleh Tung-giam-ong dan Gin Ciong.
Kembali Lam
Tok bisa dikejar sehingga terpaksa melayani datuk timur dan puteranya itu. Akan
tetapi luka-luka beracun di punggung dan pundaknya membuat gerakannya lambat
dan terpaksa dia mundur terus sampai tiba di dekat jurang. Karena tidak mungkin
mundur lagi, dia lalu mengamuk menghadapi pengeroyokan dua orang itu hingga
akhirnya sebuah pukulan tangan kiri Tung-giam-ong mengenai dadanya. Pukulan itu
adalah satu jurus dari Thai-yang Sin-ciang. Dadanya yang terpukul itu terasa
panas dan tubuhnya terjengkang masuk ke dalam jurang yang menganga di belakang
Lam Tok.
Tung-giam-ong
dan Gin Ciong menjenguk ke dalam jurang. Ternyata jurang itu sangat dalam dan
tertutup kabut sehingga mereka tidak dapat melihat tubuh Lam Tok.
“Ha-ha-ha,
lenyaplah sudah seorang sainganku!” Tung-giam-ong tertawa bergelak karena
girangnya.
Pada waktu
terjatuh tadi, pikiran Lam Tok masih terang. Tahulah dia bahwa bahaya maut
mengancam dirinya. Dia berusaha untuk menggunakan kedua tangan meraih,
kalau-kalau ada sebatang pohon terjulur. Akan tetapi tangannya tidak dapat
menangkap apa-apa dan dirinya tenggelam ke dalam kabut. Tidak ada lain jalan
baginya untuk menyelamatkan diri kecuali mengerahkan tenaga saktinya melindungi
tubuh dari bantingan ke dasar jurang.
“Wuuuuttt...!
Bukkk...!”
Tubuh Lam
Tok terbanting di atas dasar jurang itu. Ia telah mengerahkan tenaga saktinya
untuk melindungi pinggulnya dari bantingan itu, akan tetapi ternyata dia
mendarat dengan mulus dan lunak. Kiranya di tempat itu terdapat banyak daun
kering, bertumpuk sampai tebal sehingga merupakan tempat lunak seolah dia terbanting
ke atas kasur tebal!
Akan tetapi
rasa nyeri di punggung dan pundaknya karena terluka cakar setan membuat dia
pening sekali. Apa lagi bekas pukulan Tung-giam-ong tadi masih terasa panas
sekali olehnya, maka setelah merintih satu kali, Lam Tok lalu jatuh pingsan.
Lam Tok
membuka matanya dan dia langsung teringat bahwa dia habis dikeroyok
Tung-giam-ong dan terjatuh ke dalam jurang. Dia teringat pula bahwa punggung
dan pundaknya terluka oleh cakaran setan anggota Kui-jiauw-pang yang
mendatangkan rasa nyeri bukan main. Akan tetapi dia merasa heran karena
punggung serta pundaknya tidak terasa sakit sama sekali. Juga rasa panas akibat
pukulan Tung-giam-ong sudah lenyap! Dan bajunya tersingkap seolah-olah ada
orang yang menanggalkan sebagian bajunya.
Terdengar
gerakan orang di sebelah kirinya dan Lam Tok cepat menengok. Ketika melihat ada
seorang pemuda duduk di atas batu di sebelahnya, dia segera bangkit, kaget
karena dia mengenal pemuda itu sebagai Si Kong!
Dia menoleh
ke kanan kiri. Dia tidak lagi berada di dasar jurang, melainkan dalam sebuah
hutan, sedang rebah di atas rumput hijau. Lam Tok adalah seorang yang sangat
cerdik, maka sekali lihat saja dia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Tentu
pemuda ini yang telah memindahkannya dari dasar jurang.
Dia segera
mengerahkan sinkang ke punggung dan pundaknya. Tidak terasa nyeri. Juga dadanya
yang tadi terasa panas kini telah biasa kembali. Lam Tok dapat menduga bahwa
dia telah ditolong oleh Si Kong. Akan tetapi dia cepat bangkit duduk, memandang
kepada Si Kong lantas bertanya, suaranya dingin karena dia masih ingat bahwa
pemuda ini yang menyebabkan kematian Cu Yin.
“Engkau di
sini?”
Si Kong
memberi hormat dan berkata sopan, “Saya melihat locianpwe rebah pingsan di
dasar jurang itu.” Dia menuding ke depan di mana terdapat jurang.
“Engkau yang
memindahkan aku ke sini dan juga mengobati aku hingga lukaku sembuh?” tanyanya
lagi dan pandang mata datuk itu mengamati wajah Si Kong penuh selidik.
“Benar,
locianpwe. Melihat locianpwe terluka akibat goresan cakar beracun serta pukulan
yang berhawa panas, aku lalu mengobati locianpwe dengan menyedot racun dan
melawan hawa panas dengan sinkang. Sayangnya aku tidak mempunyai mustika batu
giok seperti yang dimiliki nona Tang Hui Lan sehingga bekas racun itu belum
bersih benar, akan tetapi dengan pengerahan sinkang, locianpwe tentu akan dapat
mengusirnya keluar.”
“Hemm,
mengapa engkau menolong dan menyelamatkan aku?!” pertanyaan ini dilakukan
dengan suara membentak seperti orang menuntut.
“Mengapa
tidak, locianpwe? Melihat engkau atau siapa saja menggeletak pingsan dalam
keadaan terancam bahaya maut, tentu saja aku turun tangan menolongmu.”
“Tapi...
tadi aku berusaha untuk membunuhmu! Bahkan sudah mengeroyokmu dengan si jahanam
Tung-giam-ong itu. Dan engkau pun tentu sudah mati di tanganku kalau saja Cu
Yin tidak mengorbankan nyawa untukmu!”
Si Kong
memejamkan kedua matanya sambil mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara
parau penuh permohonan. “Ahh, locianpwe, aku mohon janganlan locianpwe bicara
lagi tentang Yin-moi!”
Si Kong
membuka matanya yang kini sudah basah oleh air mata. Hatinya tertusuk ketika
dia teringat akan Cu Yin, gadis yang sesungguhnya dikasihinya itu.
“Cu Yin
begitu mencintamu, mengapa engkau pernah menolak cintanya?”
“Aku tidak
menolak, hanya... merasa tidak berharga untuk melakukan perjalanan bersama dia,
pula tidak patut dipandang orang bila seorang gadis seperti dia melakukan
perjalanan bersama seorang pemuda. Akan tetapi... ahh, semua itu telah berlalu,
locianpwe dan aku memang bersalah kepada Cu Yin. Kalau locianpwe masih merasa
menyesal dan hendak membunuh aku, silakan. Aku tidak akan melawan.”
Melihat
pemuda itu demikian sedihnya, kemarahan Lam Tok menghilang, bahkan di dalam
hatinya timbul rasa suka terhadap pemuda yang sudah menyelamatkan jiwanya itu.
Akan tetapi dia tidak mau menunjukkan kelemahan hatinya ini dan berkata dengan
nada keras.
“Sudahlah,
cepat pergilah, pergi jauh-jauh sebelum aku berubah pikiran. Pergi tinggalkan
aku seorang diri!”
Si Kong
menghela napas dan bangkit berdiri, kemudian memberi hormat kepada datuk itu.
“Selamat tinggal, locianpwe.”
Lam Tok diam
saja, wajahnya dingin dan dia bersila sambil memejamkan matanya untuk
menghimpun hawa murni dan menghilangkan sisa racun dari punggung serta
pundaknya. Si Kong memandang dengan hati terharu, maklum betapa sedihnya datuk
yang baru saja kehilangan puterinya itu. Dia lalu pergi meninggalkan Lam Tok.
Si Kong
berlari cepat ke tempat di mana pertempuran tadi berlangsung. Dan seperti yang
diharapkannya, jenazah Cu Yin masih menggeletak di situ, tidak ada yang
mengurus, ada pun mayat-mayat para anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai
sudah dibawa rekan-rekan mereka.
Dia merasa
kasihan sekali kepada Cu Yin. Tak disangkanya nasib gadis jenaka itu begini
menyedihkan. Tewas di tangan ayah kandungnya sendiri dan jenazahnya terlantar
tanpa ada yang mengurusnya.
“Maafkan
aku, Yin-moi. Baru sekarang aku bisa mengurus jenazahmu. Semoga arwahmu
mendapat tempat yang layak di alam baka.”
Si Kong lalu
menggali sebuah lubang yang cukup dalam. Dengan hati kasihan dan terharu
terpaksa dia menguburkan jenazah itu dengan amat sederhana, tanpa peti, tanpa
upacara sembahyang, tanpa apa-apa. Setelah merebahkan jenazah itu di dalam
lubang, dari atas dia melihat jenazah itu dan kembali kedua matanya basah. Cu
Yin yang nampak demikian cantik rebah di lubang itu, seperti orang sedang tidur
pulas saja.
“Selamat
berpisah, Yin-moi, semoga kita dapat saling bertemu kembali di alam lain.” Dia
menguatkan batinnya, lalu menutupi jenazah itu dengan daun-daun kering sehingga
tidak nampak lagi dan barulah dia tega untuk menutup lubang itu dengan tanah
kembali.
Setelah
selesai, dia mengambil sebuah batu besar yang digulingkannya ke depan makam itu
supaya dapat menjadi semacam nisan atau tanda. Dengan mengerahkan sinkang-nya,
dia kemudian mengukir beberapa huruf di permukaan batu yang berbunyi: 'Yang
tercinta Siangkoan Cu Yin'.
Setelah
duduk bersila di depan batu nisan itu selama setengah jam, Si Kong lalu bangkit
dan sekali lagi memandang ke arah gundukan tanah, berbisik, “Selamat tinggal
Yin-moi.”
Dia lalu
mengerahkan tenaganya dan sebentar saja lenyap dari tempat itu, berlari cepat
sekali di antara pohon-pohon besar.
***************
Tiga orang
ketua Kui-jiauw-pang bergembira menerima Tung-giam-oang yang diajak oleh
puteranya menjadi tamu kehormatan Kui-jiauw-pang. Toa Ok semakin senang
mendengar bahwa Lam Tok sudah tewas oleh Tung-giam-ong. Lam Tok adalah salah
satu di antara para datuk yang disegani dan sekarang datuk itu telah tewas.
“Kami
mengucapkan selamat untuk kemenangan Tung-giam-ong atas Lam Tok. Mari kita
minum secawan arak untuk menghormati Tung-giam-ong sekalian menghaturkan
selamat datang!”
Semua orang
minum arak untuk menyambut ucapan selamat dari Toa Ok itu. Tung-giam-ong
sendiri juga dengan gembira minum araknya.
“Sebagai
ayah dari sahabat baik kami Tio-kongcu, kami harap agar Tung-giam-ong suka
berterus terang mengenai tujuan perjalanannya ke sini,” kata pula Toa Ok.
“Ha-ha-ha,
Toa Ok masih pura-pura bertanya lagi!” Tung-giam-ong tertawa, memandang kepada
semua yang hadir dan minum lagi arak dari cawannya.
Mereka semua
lengkap duduk di meja perjamuan itu. Toa Ok, Ji Ok, Sam Ok, Coa Leng Kun, Tio
Gin Ciong, kelima Butek Ngo-sian serta empat orang tokoh Pek lian-kauw
See-thian Su-hiap.
“Biar pun
kami sudah dapat menduga, tetapi akan lebih baik bila engkau mengatakannya
kepada kami, karena sebagai seorang tamu kehormatan, kami harus dapat
melayanimu sebaik-baiknya, Tung-giam-ong!”
Kembali
Tung-giam-ong tertawa, lalu menoleh kepada puteranya dan berkata, “Puteraku
sudah mengadakan hubungan dengan Kui-jiauw-pang, itu saja sudah menunjukkan
bahwa kedatanganku adalah sebagai sahabat, bukan musuh. Akan tetapi aku
mengingatkan Toa Ok dan Ji Ok. Kalian sudah mengundang para datuk termasuk aku
untuk mengadakan pertandingan di sini, untuk menentukan siapa yang terlihai di
antara para datuk. Karena undangan itulah aku datang, dan kedua, aku pun
tertarik oleh berita tentang Pek-lui-kiam, maka aku pun hendak memperebutkannya
pula!” Kini dia memandang kepada Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan sinar mata menantang.
“Bagus,
memang telah kami duga, Tung-giam-ong. Akan tetapi mengingat bahwa engkau
adalah ayah dari Tio-kongcu, kami mengajak engkau untuk bekerja sama.
Pertama-tama, engkau bantulah kami untuk mengusir para datuk dan tokoh-tokoh
kang-ouw yang hendak memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Setelah semua datuk
dapat kita kalahkan, barulah di antara engkau dan kami berdua bertanding untuk
menentukan siapa datuk yang paling lihai,” kata Toa Ok.
“Ha-ha-ha-ha!
Aku orang tua tidak begitu berminat untuk mengejar nama. Tanpa menjadi datuk
paling lihai di dunia aku pun sudah dikenal orang. Tapi bagaimana kalau
pemenang pertandingan bukan saja menjadi datuk terlihai, akan tetapi juga
berhak memiliki pedang pusaka Pek-lui-kiam?”
Toa Ok dan
Ji Ok saling pandang, lantas tertawa bergelak. Toa Ok kembali mengangkat
cawannya dan berkata “Tung-giam-ong, mari kita minum untuk perjanjian itu. Kami
setuju sekali karena sebagai datuk terlihai, tentu saja berhak menjadi pemilik
Pek-lui-kiam!”
Bukan main
girang rasa hati Tung giam-ong. Tentu saja baginya jauh lebih ringan apa bila
memenuhi syarat yang diajukan Toa Ok dari pada kalau dia sendiri harus
memperebutkan Pek-lui-kiam itu di antara para datuk dan tokoh kangouw. Dia lalu
menerima ajakan minum arak sampai tuga cawan penuh.
Selagi
mereka minum dengan gembira, mendadak seorang penjaga berlari masuk dengan
wajah pucat. Toa Ok memandang penjaga itu dengan marah.
“Berani
benar engkau mengganggu kami! Apa kau tidak takut untuk dihukum mampus?”
“Ampun,
Toa-pangcu,” penjaga itu melapor, “di luar terdapat seorang pemuda yang minta
bertemu dengan pangcu, dan… dan puncak ini sudah terkepung pasukan yang
berjumlah besar!”
Semua orang
menjadi kaget mendengar ini. Tanpa banyak kata-kata lagi Toa Ok memberi isyarat
kepada para pembantunya dan Tung-giam-ong juga cepat bangkit dan ikut keluar.
Serombongan orang yang menjadi pimpinan itu keluar membawa senjata
masing-masing. Toa Ok berjalan di depan, diikuti Ji Ok dan Sam Ok, lalu
Tung-giam-ong.
Mereka
terkejut dan terheran sekali melihat bahwa yang datang hanya seorang pemuda
saja. Namun Tung-giam-ong dan Bu-tek Ngo-sian mengenal pemuda itu dan sudah
tahu akan kelihaiannya, maka mereka memandang dengan alis berkerut, tidak
gentar karena mereka kini ditemani tiga pangcu dari Kui-jiauw-pang dan yang
lain-lain.
“Hemmm,
orang muda, siapakah engkau dan apa maksudmu hendak bertemu dengan kami?”
Aku datang
untuk menantang pembunuh pendekar Tan Tiong Bu di kota Sia-lin dan minta
kembali Pek-lui-kiam yang dirampasnya!” kata Si Kong sambil memandang tajam
kepada Sam Pangcu atau Ang I Sianjin yang berjubah merah.
Mendengar
tantangan ini, semua orang tersenyum mengejek. Pemuda itu hanya seorang diri
sedangkan mereka terdiri dari lima belas orang jagoan.
“Ha-ha-ha,
katakan siapa engkau sebelum kami membunuh engkau, jangan sampai mati tanpa
nama!” gertakToa Ok.
Si Kong
tersenyum. Pemuda perkasa ini tentu tidak begitu tolol untuk mendatangi sarang
harimau itu seorang diri pula. Dia telah bertemu dengan Pek Bwe Hwa dan Hui
Lan, juga telah diperkenalkan kepada Panglima Gui Tin dan Cang Hok Thian yang
sudah memimpin pasukan mendaki puncak serta mengepung puncak yang menjadi
sarang Kui-jiauw-pang itu. Dia muncul seorang diri, akan tetapi teman-temannya
sedang menanti di belakangnya dan siap untuk turun tangan kalau dia dikeroyok!
“Toa Ok,
biarkan Ang I Sianjin melawan aku, ataukah engkau sendiri yang akan maju?”
Toa Ok
mengerutkan alisnya. “Bocah sombong! Katakan siapa namamu!”
“Toa Ok,
apakah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat, ketika engkau bersama Ji Ok dan
Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah, kita sudah pernah saling
berhadapan, akan tetapi kalian begitu pengecut sehingga melarikan diri!"
Toa Ok
terbelalak dan mengingat-ingat. Kini teringatlah dia akan pemuda yang membawa
tongkat bambu dan hendak menerjangnya ketika mereka sudah terluka oleh
perlawanan Ceng Lojin.
“Hemm,
kiranya engkau bocah di Pulau Teratai Merah itu?”
“Benar, aku
bernama Si Kong. Aku menantang Ang I Sianjin atau siapa saja yang hendak
menghalangiku untuk merampas kembali Pek-lui-kiam.”
“Engkau akan
mampus dikeroyok!” kata Gin Ciong yang sangat membenci pemuda yang pernah
dicinta Cu Yin itu.
Si Kong
tersenyum sambil menatap tajam wajah Toa Ok yang kelihatan masih ragu-ragu.
Kemudian dia berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang
yang berada di situ.
“Toa Ok,
jangan mencoba untuk main keroyokan! Aku menantang kalian untuk bertanding satu
lawan satu. Bila kalian mau main keroyokan, di belakangku terdapat banyak
kawan-kawanku, dan juga pasukan kerajaan telah mengepung sarang Kui-jiauw-pang
ini!”
Toa Ok
adalah seorang datuk yang amat cerdik. Dari laporan penjaga tadi, dia tidak
perlu menyangsikan kebenaran kata-kata Si Kong, bukan gertakan kosong belaka.
Akan tetapi dia ditemani banyak orang pandai, apa bila bertanding satu lawan
satu belum tentu kalah. Dia cepat melihat ke bawah, dan di belakang Si Kong,
teraling pohon-pohon dan semak-semak, kelihatan bayangan beberapa orang.
“Si Kong,
apakah engkau benar-benar akan menepati janjimu untuk bertanding satu lawan
satu dan tidak mengerahkan pasukan?”
“Pasukan
kerajaan akan maju apabila pasukan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai bergerak,
dan kawan-kawanku akan maju kalau teman-temanmu maju pula! Engkau sebagai orang
nomor satu di sini, ayo majulah dan tandingi aku, murid Pendekar Sadis Ceng
Thian Sin!” tantang Si Kong yang sudah marah sekali.
Mendengar
pemuda itu menyebut diri sebagai murid Pendekar Sadis, agak gentarlah rasa hati
Toa Ok, maka dia lalu menoleh kepada Ji Ok dan berkata, “Ambilkan
Pek-lui-kiam!”
Ji Ok
melompat pergi memasuki rumah induk. Si Kong yang mendengar ini tersenyum.
“Bagus,
pergunakanlah Pek-lui-kiam kalau engkau merasa jeri kepadaku. Aku hanya akan
menggunakan tongkat bambu ini!” kata Si Kong sambil menyilangkan tongkat bambu
yang sudah dibawanya ke depan dada.
Tak lama
kemudian Ji Ok datang lagi sambil membawa pedang pusaka Pek-lui-kiam. Toa Ok
menerima pedang itu lalu digantungkan di punggungnya, sedangkan tangan kanannya
memegang senjatanya yang sangat istimewa, yaitu sebatang tongkat berbentuk ular
yang setinggi sepundaknya.
Agaknya dia
sengaja membawa pedang pusaka itu supaya jangan sampai dirampas orang lain dan
juga agar dia dapat menggunakannya dan mengandalkan keampuhannya kalau sampai
dia terdesak. Selain itu, kalau pihaknya terdesak sehingga dia terpaksa
melarikan diri, maka dia dapat membawa serta pedang pusaka itu.
“Bocah
sombong, sekarang tibalah saatnya bagimu untuk mampus di tanganku!” Toa Ok
membentak untuk mengecilkan hati lawannya.
Akan tetapi
Si Kong tersenyum mengejek. “Toa Ok, ketika dulu engkau menyerbu Pulau Teratai
Merah, masih untung guruku memberi maaf kepadamu sehingga tidak mencabut
nyawamu. Akan tetapi sekarang aku tidak akan memberi maaf lagi karena
kejahatanmu sudah meningkat dengan pemberontakan!”
Mendengar
ucapan ini, Toa Ok menjadi marah bukan main dan dia sudah menggerakkan tongkat
ularnya menerjang maju. Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Si Kong,
dibarengi dengan menyambarnya tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan
sinkang yang panas. Tangan kiri ini ampuh sekali, tak kalah dahsyatnya
dibandingkan tongkatnya.
Tapi Si Kong
telah siap siaga. Dia maklum akan kelihaian datuk dari barat ini. Tongkatnya
diputar secara aneh menangkis tongkat ular lantas menyambar ke bawah menotok
tangan kiri lawan yang terbuka dan didorongkan kepadanya.
Toa Ok kaget
sekali karena dari kedudukan menyerang sekarang mendadak dia diserang! Tongkat
ularnya mental kembali saat bertemu tongkat bambu yang mengandung getaran kuat
itu dan sekarang telapak tangan kirinya terancam totokan tongkat bambu. Dia cepat
menarik kembali tangan kirinya dan tongkatnya sudah menyambar ke arah kedua
kaki Si Kong.
Dengan
gerakan ringan bagaikan burung walet tubuh Si Kong meloncat ke atas sehingga
tongkat ular itu lewat di bawah kakinya. Ketika tubuhnya masih terbang ke atas,
tongkat bambunya sudah menyambar ke bawah, menotok ke arah belakang kepala Toa
Ok.
Kembali Toa
Ok terkejut karena serangan balik Si Kong itu sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Memang di situlah letak kelihaian ilmu tongkat Ta-kauw
Sin-tung, gerakannya sukar diduga lebih dahulu dan amat aneh, tidak seperti
ilmu tongkat pada umumnya.
Ilmu tongkat
Pemukul Anjing ini memang amat hebat dan pernah dengan ilmu itu Yok-sian Lo-kai
malang melintang di dunia kang-ouw sehingga menjadi tokoh nomor satu di antara
seluruh kaipang (perkumpulan pengemis).
Toa Ok harus
memutar tubuhnya sambil melindungi dengan tongkat ularnya untuk dapat terhindar
dari bahaya maut. Tongkatnya menangkis tongkat bambu yang menotok ke arah
tengkuknya itu.
“Trakkkk!”
Tongkat ular bertemu tongkat bambu dan tongkat ular mental kembali dengan
kuatnya.
Memang
tongkat bambu ini amat cocok untuk ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung, seolah-olah
pada ruas-ruas tongkat yang kosong itu kini terisi tenaga sinkang yang kuat
sekali hingga membuat tongkat bambu itu terasa keras dan berat ketika bertemu
tongkat ular.
Mendadak Toa
Ok melompat ke belakang dan sambil melompat itu tangannya bergerak. Sinar hitam
menyambar ke arah Si Kong.
Melihat
sambaran senjata-senjata rahasia itu hebat sekali, Si Kong langsung melepaskan
capingnya lantas sekali melemparkan caping itu, topi lebar itu berputar dan
semua jarum hitam itu menancap pada caping dan runtuh ke atas tanah. Si Kong
cepat menerjang ke depan dengan tongkatnya sehingga Toa Ok harus melindungi dirinya
dengan putaran tongkat ularnya yang membentuk perisai melindungi seluruh
tubuhnya.
Melihat
betapa Toa Ok sudah maju dan bertanding dengan serunya melawan pemuda itu, hati
Tung-giam-ong menjadi tak enak. Yang dikhawatirkan adalah kalau Toa Ok kalah dan
pedang Pek-lui-kiam asli yang di punggung Toa Ok itu sampai berpindah tangan
terampas oleh pemuda lihai itu. Dia tidak dapat membantu Toa Ok karena
sebelumnya telah berjanji akan bertanding satu lawan satu. Akan tetapi dia
ingin mengetahui kekuatan pihak lawan, maka dia pun meloncat ke depan sambil
menantang.
“Siapa yang
akan melayani aku? Marilah kita bertanding satu lawan satu!”
Sebelum Hui
Lan atau Bwe Hwa menyambut tantangan Datuk Besar Timur itu, dari arah kiri
meloncat seorang laki-laki tua yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan
sikapnya gagah. Orang ini bukan lain adalah Lam Tok Siangkoan Lok, datuk dari
selatan itu. Begitu muncul, dia langsung menghadapi Tung-giam-ong Tio Sun
sambil tersenyum lebar.
“Tua bangka
dari timur yang curang dan pengecut. Tentu engkau menyangka bahwa aku sudah
mati, bukan? Tidak, aku tidak mati sebelum mencabut nyawamu yang rendah itu!”
Setelah berkata demikian, Lam Tok sudah mencabut pedangnya.
Tung-giam-ong
Tio Sun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat Lam Tok
seperti orang melihat setan, melihat orang mati yang hidup kembali! Bagaimana
mungkin Lam Tok masih dapat hidup dan segar bugar setelah menerima
cakaran-cakaran beracun dari cakar setan, menerima pukulan sinkang-nya dan
kemudian bahkan terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam?
“Kau... kau
masih… hidup?” kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti bertanya kepada diri
sendiri, matanya masih terbelalak dan mulutnya ternganga. Akan tetapi secara
diam-diam majikan Pulau Biruang itu sudah mengerahkan tenaga Thai-yang
Sin-ciang pada tangan kirinya, siap untuk menyerang dengan pukulan jarak jauh.
“Hemm, andai
aku sudah mati sekali pun, aku akan hidup kembali hanya untuk mencabut
nyawamu!” kata Lam Tok dan dia menggerakkan tangan kirinya. Tiga batang anak
panah meluncur seperti kilat menyambar ke arah tubuh Tung-giam-ong.
Akan tetapi
pada saat itu Tung-giam-oang sudah siap siaga dan dia segera memukulkan tangan
kirinya ke depan. Hawa pukulan yang sangat kuat menyambut tiga batang anak
panah itu sehingga ketiga batang anak panah beracun itu runtuh ke atas tanah.
Lam Tok
menerjang ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya siap
melancarkan pukulan Jeng-kin-lat (Tangan Seribu Kati). Tung-giam-ong bisa
melihat serangan yang dahsyat dan berbahaya ini, maka dia pun menggerakkan
senjata tombak cagaknya untuk menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.
“Tringg...!
Cringgg...!”
Dua senjata
itu bertemu dua kali dan kedua orang datuk itu terhuyung mundur beberapa
langkah. Akan tetapi Lam Tok telah menerjang kembali dengan hebatnya. Dia
menyerang dengan pedangnya, memainkan ilmu silat Lam-hai Sin-ciang yang datang
bergelombang, dan tangan kirinya juga membentuk cakar garuda mengirim serangan
bergantian dengan pedangnya. Tung-giam-ong terpaksa harus memutar tombak
cagaknya untuk melindungi dirinya.
“Tranggg...!”
Kembali
pedang berdentang ketika bertemu dengan tombak bercagak, dan pada saat itu
tangan kiri Lam Tok menyambar ke arah dada lawannya. Bukan main hebatnya
serangan tangan kiri ini karena mempergunakan tenaga seribu kati dan tangan
kiri yang ampuh itu mengandung racun yang berbahaya sekali. Maklum bahwa
lawannya adalah seorang ahli racun yang lihai, Tung-giam-ong terpaksa
menghindarkan diri dengan elakan ke kiri sambil menusukkan tombak cagaknya ke
arah lambung Lam Tok
“Cringgg...!”
Kembali
kedua senjata saling bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya kembali saling
serang dengan hebatnya.
Sementara
itu, ketika Ji Ok melihat betapa kakaknya mulai terdesak melawan Si Kong, dia
cepat meloncat ke depan dengan maksud untuk mengeroyok. Memang biasanya Toa Ok
dan Ji Ok maju bersama dan pasangan ini merupakan lawan yang amat tangguh.
“He-he, tidak
boleh main keroyokan! Engkau adalah lawanku, Ji Ok!” terdengar bentakan dari
samping kemudian seorang kakek tinggi besar berkepala botak telah melompat dan
menyambut Ji Ok dengan melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan
sikapnya menantang.
Ji Ok segera
mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pai Ong Loa Thian Kun. Kakek ini
dijuluki Pai Ong (Raja Utara) karena semua orang kang-ouw di utara menganggap
dia sebagai rajanya dunia kang-ouw.
“Pai Ong!
Jangan mencampuri urusan kami!” Ji Ok membentak marah.
“Heh-he-heh!
Engkau dan Toa Ok yang mengundang kami semua naik ke sini. Sekarang aku sudah
datang dan aku tak mau ketinggalan melihat ramai-ramai mengadu kepandaian ini.
Toa Ok sudah mendapatkan lawan, kalau engkau maju, maka akulah lawanmu untuk
menentukan siapa yang lebih lihai di antara kita dan siapa yang lebih berhak
memperoleh Pek-lui-kiam!”
Ji Ok adalah
seorang datuk besar dari barat, tentu saja dia tidak gentar melawan Pai Ong.
Dia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang tadi sebagian terurai ke depan,
kini tergantung di belakang punggungnya sampai ke pinggang. Wajahnya yang
menyeramkan seperti muka monyet penuh rambut itu terlihat marah, matanya
kemerahan dan hidungnya mendengus-dengus. Tangannya meraih ke punggung dan dia
telah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang pecut penggembala yang
berekor panjang.
“Pai Ong,
jangan mengira bahwa aku takut melawanmu!”
“Tar-tarr-tarrr...!”
Pecutnya
meledak-ledak di udara sehingga nampak asap mengepul saking kuatnya pecut itu
melecut, lalu di lain saat dia sudah menyerang Pai Ong dengan pecutnya.
Pai Ong
menggerakkan sepasang goloknya dan menyambut lecutan itu dengan gerakan
menggunting dengan sepasang goloknya. Ji Ok tidak membiarkan pecutnya digunting
dua batang golok. Ditariknya kembali pecutnya dan kini secara tiba-tiba dia
menyerang kedua kaki lawan dengan sabetan pecutnya.
Pai Ong
melompat ke atas, akan tetapi dari atas menyambar sinar hitam yang bukan lain
adalah rambut panjang Ji Ok yang segera menyambar begitu dia menggerakkan
kepala. Ternyata Ji Ok dapat menggunakan rambutnya untuk menyerang dengan amat
cepat dan berbahaya karena rambut itu mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Pai Ong
kembali menangkis dengan golok kirinya, dengan maksud untuk menyabet putus
rambut Ji Ok, sementara golok kanannya sudah membacok ke arah pinggang lawan.
Dari kedudukan menyerang kini Ji Ok malah terserang hebat. Maka dia mencelat ke
belakang untuk mengelak, lalu memutar tubuh dan kembali menyerang dengan
pecutnya.
Dua orang
datuk itu sudah terlibat dalam pertandingan yang amat hebat. Setiap serangan
mereka merupakan serangan maut yang berbahaya.
Melihat
betapa Toa Ok dan Ji Ok sudah maju dan berkelahi dengan para pendatang itu, Sam
Ok atau Ang I Sianjin menjadi marah sekali. Bagaimana pun juga puncak
Kui-liong-san tadinya adalah sarang dari perkumpulannya. Dialah tuan rumah di
situ. Kini agaknya perkumpulannya terancam oleh Si Kong beserta kawan-kawannya,
bahkan Lam Tok dan Pai Ong, dua orang datuk besar itu, menentang Kui-jiauw-pang
seperti berpihak kepada Si Kong.
Dia merasa
berbesar hati karena betapa pun juga dia memiliki seratus orang lebih anggota
Kui-jiauw-pang serta seratus orang lebih anggota Pek-lian-pai. Apabila dia
mengerahkan semua pembantunya maju, maka pihaknya tidak akan kalah.
Agaknya Tio
Gin Ciong mempunyai pendapat yang sama dengan Sam Ok. Melihat betapa ayahnya,
Tung-giam-ong kini sudah dilawan oleh Lam Tok, dia menjadi marah sekali. Dia
pun meloncat ke depan dengan maksud untuk membantu ayahnya menghadapi Lam Tok.
Akan tetapi
pada saat itu pula muncul Pek Bwe Hwa dan Hui Lan. Hui Lan melompat ke depan
saat Sam Ok dan Gin Ciong maju sehingga dara ini menghadapi dua orang lawan.
Tanpa banyak cakap lagi Sam Ok dan Gin Ciong segera menggunakan senjata
masing-masing untuk menerjang Hui Lan. Sam Ok menggunakan kipas di tangan kiri
dan pedang di tangan kanan, sedangkan Gin Ciong juga menggunakan pedangnya.
Walau pun
dara itu diserang oleh dua orang lawan, akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak
menjadi gentar. Hok-mo Siang-kun (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) sudah berada
pada kedua tangannya dan begitu dia memainkan sepasang pedang itu, nampaklah
sinar hitam bergulung-gulung laksana sepasang naga bermain di angkasa.
Begitu dara
itu memainkan sepasang pedangnya, Sam Ok dan Gin Ciong menjadi terkejut bukan
main dan terpaksa main mundur, mencoba untuk mengepung gadis itu dari kiri dan
kanan. Segera dua orang pengeroyok itu melakukan serangan bertubi-tubi, tetapi
semua serangan itu terpental kembali begitu bertemu dengan dua gulungan sinar
hitam itu.
Coa Leng Kun
merasa tidak enak kalau tinggal diam saja. Dia melompat ke depan untuk membantu
pihak tuan rumah, akan tetapi Bwe Hwa melompat ke depannya dengan muka
kemerahan karena gadis ini sudah marah sekali melihat Coa Leng Kun.
Bwe Hwa
teringat betapa dia hampir celaka karena dipengaruhi sihir empat orang tokoh
Pek-lian-kauw, kemudian dia dikeroyok oleh Leng Kun dan See-thian Su-hiap.
Tadinya dia mulai tertarik dan merasa kagum kepada Leng Kun, akan tetapi
ternyata hanya ditipu saja oleh pemuda berpakaian serba putih dan yang
bersenjata suling itu!
“Jahanam Coa
Leng Kun, sekarang tiba saatnya aku membasmi manusia berwatak hina dan rendah
seperti kamu!”
Melihat
munculnya Pek Bwe Hwa, Leng Kun terkejut bukan main. Dia sudah tahu akan
kelihaian gadis itu, maka dia lalu menoleh ke arah See-thian Su-hiap dan
berkata, “Su-wi totiang, bantulah aku!”
See-thian
Su-hiap memang telah siap untuk bertanding, oleh karena itu begitu mendengar
permintaan Leng Kun, mereka segera berlompatan dan mengepung gadis itu. Melihat
ini, Cang Hok Thian juga melompat ke depan dan membantu Bwe Hwa. Dua orang muda
ini berhadapan dengan lima orang lawan dan mereka segera bergerak mengamuk,
membuat lima orang pengeroyok itu mengepung dengan hati-hati.
Pertempuran
itu menjadi semakin hebat ketika Bu-tek Ngo-sian maju pula mengeroyok. Dua
orang dari mereka membantu Toa Ok yang sudah terdesak oleh Si Kong, dua orang
lagi membantu Ji Ok yang juga kerepotan menghadapi serangan Pai Ong, dan satu
orang lagi membantu Tung-giam-ong yang sedang bertanding melawan Lam Tok.
Panglima Gui
Tin melihat betapa pertandingan itu sudah tidak adil lagi, melainkan main
keroyokan. Maka dia pun memberi aba-aba kepada pasukannya. Beratus-ratus
pasukan kerajaan menyerbu dan mengepung sarang Kui-jiauw-pang, yang langsung
disambut oleh pasukan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai.
Maka
terjadilah pertempuran sengit dan hiruk-pikuk di puncak Kui-liong-san. Akan
tetapi pasukan kerajaan berjumlah tiga sampai empat kali lebih banyak
dibandingkan pasukan pemberontak, maka pertempuran itu menjadi berat sebelah.
Gui Tin yang
berpengalaman dalam pertempuran segera melihat bahwa pasukannya akan menang
dengan mudah. Dia lalu memilih belasan orang pembantunya yang memiliki ilmu
silat cukup tinggi untuk membantu para pendekar yang dikeroyok. See-thian
Su-hiap dan Bu-tek Ngo-sian tidak dapat lagi membantu kawan-kawan mereka karena
mereka sendiri harus menghadapi pengeroyokan para prajurit.
Sekarang Si
Kong berhadapan satu lawan satu dengan Toa Ok. Pada saat dia mendapat
kesempatan, pemuda itu memutar tongkat bambunya hingga melibat tongkat ular
lawan. Selagi mereka saling betot, Si Kong menggunakan Hok-liong Sin-ciang
untuk menyerang dengan tangan kirinya.
Ilmu silat
Hok-liong Sin-ciang ini merupakan ilmu silat istimewa dari mendiang Ceng Lojin.
Pukulan yang dilakukan tangan kiri Si Kong itu mendatangkan hawa pukulan yang
amat dahsyat. Karena tongkat mereka seolah menjadi satu sama lain, maka tidak
ada jalan lain bagi Toa Ok kecuali menangkis dengan dorongan tangan kiri pula.
“Plakkk!”
Dua telapak tangan bertemu, akan tetapi Si Kong telah menyimpan tenaga
Hok-liong Sin-ciang dan menggantikan dengan ilmu Thi-khi I-beng!
Seketika Toa
Ok merasa betapa tenaga sinkang-nya membocor keluar dari tangan kirinya,
tersedot oleh telapak tangan kiri Si Kong. Dia terkejut sekali dan teringat
akan ilmu Thi-khi I-beng yang amat berbahaya itu. Cepat dia menyimpan kembali
tenaga sinkang-nya.
Sesudah
tidak menggunakan sinkang lagi, daya tempel telapak tangan itu lenyap dengan
sendirinya. Akan tetapi pada saat itu tangan kiri Si Kong menghantam ke arah
tongkat ular dengan tangan miring seperti sebatang golok.
“Krekkk!”
Tongkat berbentuk ular itu patah menjadi dua potong.
Marahlah Toa
Ok. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu lalu mencabut pedang di
punggungnya. Tampak sinar terang berkilat ketika pedang tercabut dan sekali ini
Si Kong maklum bahwa yang berada di tangan Toa Ok itu adalah pedang
Pek-lui-kiam yang asli dan karena itu ampuh sekali.
Dari samping
sinar terang itu menyambar ke arah leher Si Kong. Dia cepat menggetarkan
tongkat bambunya untuk menangkis.
“Crokkk!”
Tongkat bambunya putus menjadi dua potong.
Si Kong
terkejut sekali. Tongkat bambunya itu tidak akan putus bertemu dengan senjata
tajam yang mana pun juga. Akan tetapi sekali ini, begitu bertemu Pek-lui-kiam
lalu putus, padahal dia sudah mengerahkan tenaga sinkang-nya!
Terdengar
Toa Ok tertawa mengejek dan kakek itu terus menyerang dengan gencarnya. Si Kong
menggunakan dua potongan bambu di tangan kanan dan kiri untuk menyambut, akan
tetapi berturut-turut tongkat bambu yang telah menjadi pendek itu putus
kembali. Dia membuang potongan tongkat bambu itu, lantas menggunakan kelincahan
tubuhnya untuk mengelak dari sambaran Pek-lui-kiam.
Biar pun Toa
Ok menyerang dan mendesak dengan pedang pusakanya, namun gerakan Si Kong
terlampau gesit sehingga semua serangannya hanya mengenai tempat kosong saja.
Semakin cepat Toa Ok menyerang, semakin cepat pula Si Kong bergerak mengelak
karena dia telah menggunakan ilmu silat Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya
seperti seekor burung walet saja gesitnya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment