Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 18
Hui Lan
menduga bahwa dia tertarik kepada Bwe Hwa dan sebaliknya Bwe Hwa menduga bahwa
dia mencinta Hui Lan. Dia merasa seperti seekor domba yang akan diperebutkan
oleh dua ekor singa betina!
Dia memang
kagum kepada Hui Lan, akan kecantikan dan kelihaiannya. Akan tetapi dia juga
kagum kepada Bwe Hwa. Tidak terbayangkan olehnya tentang cinta! Orang seperti
dia, hidup sebatang kara, tanpa sanak kadang, miskin tidak mempunyai apa-apa,
seorang petualang miskin, bagaimana dapat memikirkan tentang cinta apa lagi
perjodohan? Kalau pun ada perasaan cinta masuk ke dalam hati dan akal
pikirannya, seketika akan diusirnya dengan penuh kesadaran bahwa perjodohan
bukanlah milik seorang kelana miskin seperti dia.
Si Kong
mandi sambil berpikir. Memang tadi dia sengaja membawa buntalan pakaiannya
karena dia merasa tidak tahan lagi kalau menghadapi dua orang gadis yang
seakan-akan saling cemburu itu. Akan tetapi hatinya masih meragu apakah
sikapnya tidak terlalu kaku terhadap dua orang gadis itu kalau dia meninggalkan
mereka!
***************
Sementara
itu Bwe Hwa memandang Hui Lan yang baru selesai mandi dengan pandang mata iri.
Dalam pandangannya Hui Lan cantik sekali dan inilah yang membuat dia merasa
iri. Dia hampir merasa yakin bahwa Si Kong dan Hui Lan saling mencinta. Kalau
memang benar demikian, dia harus mengalah. Akan tetapi siapa tahu Si Kong
benar-benar belum jatuh cinta kepada Hui Lan seperti yang dikatakan tadi. Kalau
benar demikian, masih ada kesempatan baginya untuk mengharapkan pemuda itu
dapat mencinta dirinya.
“Adik Hui
Lan, engkau nampak cantik sekali sehabis mandi dengan rambut terurai itu.”
Hui Lan
memandang kepada Bwe Hwa sambil tersenyum. “Terima kasih, enci Bwe Hwa. Engkau
sendiri juga cantik bukan main.” Hui Lan duduk di atas lantai dan mengeringkan
rambutnya.
“Hemm,
setiap orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepadamu, Hui Lan!” Bwe Hwa
tersenyum.
Hui Lan
mengangkat muka menatap wajah Bwe Hwa lantas berkata, “Ihh, enci Bwe Hwa.
Mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak peduli ribuan orang pria jatuh cinta
kepadaku. Tetapi demikian pula engkau, tentu mudah merobohkan hati pria yang
mana pun dengan kecantikanmu dan kepandaianmu.”
“Aku tak
akan merobohkan hati pria mana pun, adik Lan. Akan tetapi jelas nampak olehku
betapa engkau saling mencinta dengan Si Kong! Hayo sangkallah kalau kata-kataku
tidak benar!” Biar pun dalam nada suaranya terdengar pahit, namun Bwe Hwa
memandang Hui Lan dengan senyum manis.
Hui Lan
menghentikan kedua tangannya yang sejak tadi menggosok untuk mengeringkan
rambutnya dengan kain. Dia menatap wajah Bwe Hwa dengan mata terbelalak,
kemudian menggelung rambutnya seolah tidak pernah mendengar kata-kata Bwe Hwa
tadi.
“Bagaimana,
Lan-moi? Kata-kataku tadi benar, bukan? Mudah saja bagiku untuk melihat bahwa
engkau mencinta dia dan dia pun mencintamu. Jawablah!”
Hui Lan
menyelesaikan gelung rambutnya, lalu dia memandang Bwe Hwa dengan wajah serius.
“Enci Bwe
Hwa, aku tidak perlu berbohong kepadamu. Engkau mengatakan bahwa aku mencinta
Kong-ko, memang hal itu tidak perlu kusangkal. Memang benar aku kagum dan
tertarik sekali kepada Kong-ko, akan tetapi itu tidak berarti bahwa dia pun
suka kepadaku. Tetapi aku pun dapat menduga bahwa engkau juga suka dan kagum
kepadanya, bahwa engkau mencintanya, enci Bwe Hwa!”
Wajah Bwe
Hwa berubah menjadi kemerahan, akan tetapi sebagai seorang gadis yang gagah
perkasa dia tidak berpura-pura. Seperti juga Hui Lan dia berani mengakui apa
yang tersembunyi di dalam hatinya.
“Terus
terang saja, dugaanmu itu benar, Lan-moi. Belum pernah aku tertarik kepada pria
kecuali dia. Akan tetapi apakah dia suka kepadaku, hal ini masih belum dapat
diketahui.”
Hening
sejenak. Dua orang gadis perkasa dan cantik jelita itu menundukkan muka dengan
alis berkerut. Mereka menyadari bahwa di antara mereka sudah terdapat jurang
pemisah yang ditimbulkan oleh rasa cinta mereka terhadap seorang pemuda! Mereka
seakan-akan menjadi saingan.
“Ternyata
kita mencintai orang yang sama, Lan-moi. Benar-benar sebuah kenyataan yang
pahit sekali. Tidak mungkin kita memperebutkan hati seorang pria. Sekarang
begini saja, Lan-moi. Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang dicinta
oleh Kong-ko maka dialah yang berhak menjadi pasangannya. Yang tidak dicinta
harus suka mengalah. Bagaimana pendapatmu?”
Kedua pipi
Hui Lan berubah kemerahan. Bwe Hwa sudah bicara dari hati ke hati, secara
terbuka dan sejujurnya. Dia harus menghargai sikap ini, walau pun terdengar
memalukan dua orang gadis membicarakan cintanya terhadap seorang pemuda!
Namun dia
dapat menghargai kejujuran Bwe Hwa. Dalam urusan hati seperti ini memang
sebaiknya kalau mereka berdua bersikap terbuka dan jujur sehingga tidak
menimbulkan dendam di antara mereka seperti kalau hal itu tidak dibicarakan
sejujurnya dan disimpan menjadi rahasia sehingga mereka berdua akan saling
cemburu.
“Lega hatiku
mendengar keterbukaan, enci Bwe Hwa. Dengan kejujuranmu ini kita berdua tak
perlu saling bersaing dan saling cemburu. Aku setuju dengan pendapatmu. Cinta
tidak dapat dipaksakan dan kita lihat saja nanti siapa di antara kita yang
dicinta Kong-ko.”
“Aku juga
girang dengan kejujuranmu, adikku!” Bwe Hwa merangkul Hui Lan dan mereka saling
berangkulan dengan hati lega dan terharu.
Setelah lama
mereka menanti munculnya Si Kong namun pemuda itu belum juga datang, mereka
merasa heran. Hui Lan lalu bangkit dan berjalan keluar goa, diikuti oleh Bwe
Hwa.
“Kong-ko,
sudah selesaikah engkau mandi?!” Hui Lan berteriak lantang. Akan tetapi tidak
terdengar jawaban.
“Kong-ko, di
mana engkau?!” teriak Bwe Hwa pula sambil mengerahkan khikang sehingga suaranya
dapat terdengar sampai jauh.
Akan tetapi
teriakan Bwe Hwa ini pun tidak memperoleh jawaban. Suasananya sunyi saja.
Matahari telah naik di langit timur dan kedua orang gadis itu saling pandang
dengan hati heran. Mereka berdua berseru kembali beberapa kali untuk memanggil
Si Kong, namun tetap saja tidak ada jawaban.
“Hatiku
merasa tidak enak, Lan-moi. Mari kita lihat di pancuran air,” kata Bwe Hwa.
Dua gadis
itu lalu pergi ke tempat pancuran air di mana mereka tadi mandi dan mencuci
pakaian. Akan tetapi tidak nampak Si Kong di sana. Mereka lalu memandang ke
kanan kiri sambil berteriak memanggil nama Si Kong.
“Enci Bwe
Hwa, lihat di sana itu!” kata Hui Lan.
Bwe Hwa
menengok dan melihat apa yang ditunjuk oleh Hui Lan. Pada tanah padas yang
berbentuk dinding nampak coretan-coretan. Mereka berdua lalu melompat mendekat
dan benar seperti dugaan mereka, coretan-coretan itu merupakan huruf-huruf yang
diukir pada tanah padas itu. Kedua orang gadis itu berlomba membacanya dengan
hati khawatir.
“Seekor
burung gagak yang papa tidak pantas berdekatan dengan sepasang burung Hong yang
mulia! Seekor burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain
di udara bebas dan merdeka tak terikat apa pun juga!”
Setelah
membaca tulisan di tanah padas itu, Hui Lan dan Bwe Hwa merasa betapa tubuh
mereka menjadi lemas. Mereka berdua mengerti benar bahwa Si Kong memang sengaja
menjauhkan diri dari mereka, karena merasa tidak berharga untuk berdekatan
lebih lama dengan mereka yang disebut burng-burung Hong yang mulia.
“Kong-ko...!”
hampir berbareng mereka menyerukan nama ini, lalu mereka menjatuhkan diri duduk
di atas batu sambil termenung.
“Enci Bwe
Hwa, agaknya dia... dia telah mendengar percakapan kita di...”
Bwe Hwa
mengangguk. “Kong-ko adalah seorang pemuda yang sangat rendah hati sekali. Dari
tulisannya itu kita tahu bahwa dia tidak mencinta kita, menganggap diri terlalu
rendah untuk mencinta kita. Seperti pernah kukatakan, Lan-moi, cinta tidak
mungkin dipaksakan! Cinta tidak mungkin hanya terjadi sepihak saja. Sekarang
bagaimana kehendakmu, Lan-moi?”
“Kita cari
pedang Pek-lui-kiam, enci Bwe Hwa.”
“Benar, mari
kita mencari pedang pusaka itu dan siapa pun yang mendapatkannya harus
menyerahkan pedang itu kepada Kong-ko.”
“Ahh, betapa
mendalam rasa cintamu. Meski pun tidak mendapat sambutan engkau tetap
memikirkan dia! Akan tetapi pendapatmu itu memang tepat. Aku pernah mendengar
dari Kong-ko bahwa dia hendak mencari pedang itu untuk dikembalikan kepada
seorang gadis bernama Tan Kiok Nio yang kini tinggal di kota Ci-bun.”
Bwe Hwa
mengerutkan alis. “Pedang itu akan diserahkan kepada seorang gadis? Apakah
gadis itu...” Dia tidak melanjutkan dan Hui Lan segera menjelaskan.
“Jangan
menyangka bahwa Kong-ko jatuh cinta kepada gadis itu, enci Bwe Hwa. Gadis itu
adalah puteri mendiang Tan Tiong Bu yang tadinya menjadi pemilik pedang pusaka
Pek-lui-kiam. Tan Tiong Bu tewas oleh seseorang dan ada dugaan bahwa pembunuhnya
adalah Ang I Sianjin yang kemudian mencuri pedang itu. Nah, gadis itu minta
pertolongan Kong-ko untuk mencari pembunuh ayahnya dan merampas kembali pedang
pusaka milik mendiang ayahnya itu.”
Bwe Hwa
mengangguk-angguk. “Tidak mengherankan kalau demikian. Kong-ko memang memiliki
watak yang budiman dan tangannya selalu terbuka untuk menolong siapa saja.
Kalau begitu sebaiknya kita berpisah, Lan-moi. Kita mendaki secara terpisah dan
marilah kita berlomba untuk mendapatkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu. Siapa
yang berhasil memperolehnya tentu akan menyerahkannya kepada Kong-ko dan siapa
tahu hal itu akan melunakkan hatinya.”
Hui Lan
tersenyum dan dia makin yakin bahwa cinta Bwe Hwa terhadap Si Kong memang
mendalam sekali. Dia hanya menghela napas dan berkata, “Baiklah, mari kita
mengambil jalan masing-masing. Aku tidak akan merasa menyesal kalau ternyata
engkau yang akan dapat menguasai pedang itu.”
Setelah
berkemas dua orang gadis itu lalu meninggalkan goa dan melanjutkan pendakian ke
puncak dengan mengambil jalan terpisah.
***************
Si Kong
berjalan seorang diri sambil termenung. Dia terpaksa meninggalkan dua orang
gadis yang sangat dikagumi dan disukanya sesudah mendengar percakapan mereka.
Dia mendengarkan itu tanpa disengaja.
Ketika
sedang mandi dia telah memikirkan bahwa sebaiknya dia berpamit dari mereka dan
mencari jalannya sendiri. Akan tetapi ketika dia mendekati goa, dia mendengar
dua orang gadis itu bercakap-cakap mengenai dirinya. Dia menjadi bingung dan
bersedih sekali. Tak disangkanya dua orang gadis itu menaruh hati kepadanya.
Bagaimana
mungkin dia dapat menyambut cinta kasih seorang gadis seperti mereka yang
menjadi puteri pendekar besar, serba kecukupan? Apalagi diperebutkan antara dua
orang gadis yang dikaguminya itu. Dia merasa bahwa sebagai seorang kelana
miskin dan yatim piatu seperti dia amat tidak sepadan apabila berpasangan
dengan Hui Lan mau pun Bwe Hwa.
Dia
mengeraskan hatinya dan mengambil keputusan untuk pergi begitu saja tanpa
pamit. Akan tetapi supaya tidak membuat dua orang gadis itu penasaran, dia lalu
meninggalkan coretan-coretan di batu padas itu.
Dengan
pikiran dipenuhi bayangan dua orang gadis itu, Si Kong melanjutkan perjalanan.
Niatnya hanya ingin menyelidiki pembunuh pendekar Tan Tiong Bu kemudian
merampas kembali pedang pusaka Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepada Tan Kiok
Nio. Mengapa dia harus terlibat dalam urusan cinta dengan seorang di antara dua
orang gadis itu?
Karena tidak
ingin tersusul oleh kedua orang gadis itu, Si Kong mengambil jalan ke barat
melalui lereng-lereng perbukitan itu. Dia harus mendaki ke puncak melalui
lereng sebelah barat agar tidak sampai bertemu dengan Hui Lan atau Bwe Hwa.
Akan tetapi
sambil melangkah ke depan dia merasa betapa perasaan hatinya amat berat seperti
terhimpit perasaan bersalah. Dua orang gadis itu dengan jujur mengatakan bahwa
mereka mencintanya. Namun sekarang dia pergi begitu saja tanpa memberi tahu.
Hal ini tentu saja akan membuat mereka bersedih dan kecewa. Berulang kali dia
bertanya pada hatinya sendiri, gadis mana di antara keduanya itu yang dia
cinta.
Jawaban
hatinya malah membingungkan. Dia kagum kepada keduanya dan merasa suka kepada
keduanya. Apakah dia mencinta mereka? Mencinta seorang di antara mereka?
Entahlah, dia menjawab sendiri pertanyaan itu. Dia ragu dan bingung, tak dapat
merjawab pertanyaan itu.
Dia tidak
tahu dan belum mengenal apa itu yang disebut cinta. Dia memang suka kepada
mereka, kagum kepada mereka karena mereka adalah dua orang gadis cantik jelita
yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan budiman, puteri dari pendekar-pendekar
kenamaan.
Cinta asmara
memang mendatangkan bermacam-macam akibat, dapat membahagiakan seseorang akan
tetapi dapat pula menyengsarakan seseorang. Cinta asmara adalah cinta yang
diboncengi oleh nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan, memiliki dan
dimiliki, menguasai dan dikuasai. Apa bila semua keinginan ini dipenuhi maka
hatinya mengaku cinta. Dilayani, dimanja, disukai, alangkah menyenangkan semua
itu. Akan tetapi begitu muncul kenyataan lain, tidak lagi dilayani, tidak lagi
dimanja, tidak lagi disenangi, maka cinta asmara pun terbang pergi seperti
kabut terkena sinar matahari, dan cinta asmara berganti dengan kebencian.
Kegagalan
cinta asmara membuat seseorang menjadi kecewa, duka dan merasa sangat sengsara.
Bagaimana bila cinta asmara terpenuhi dan disambut dengan baik? Tentu saja
mendatangkan kesenangan besar yang dianggap sebagai bahagia. Akan tetapi
alangkah pendeknya usia kebahagiaan itu. Betapa rapuhnya hati yang mengaku
cinta.
Si Kong
belum pernah jatuh cinta, maka dia masih belum dapat membedakan antara rasa
suka dan rasa cinta. Rasa kagum dan suka tidak menuntut balasan, tak ingin
menguasai, memiliki atau ingin menyenangkan diri sendiri. Orang tidak akan
pernah patah hati kalau rasa sukanya lenyap atau berubah, karena tidak merasa
kehilangan. Rasa suka di antara sahabat tidak ingin memiliki, maka tidak akan
merasa kehilangan.
Si Kong
berhenti melangkah dan seluruh perhatiannya kini dipusatkan kepada mata dan
telinganya. Dia mendengar langkah kaki yang datang dari jauh, akan tetapi derap
langkah ini sudah terdengar dari situ, seolah yang datang mendekat itu adalah
seekor gajah besar yang amat berat!
Setelah
cukup dekat, Si Kong memandang dengan heran dan kagum karena yang datang
menghampirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang usianya lebih dari enam
puluh tahun. Pakaiannya ringkas dan mewah, di sabuknya terselip sebuah kantung
dan tangan kirinya memegang sebuah kong-ce (tombak cagak), mukanya penuh brewok
hingga wajah itu nampak bengis.
Karena kakek
itu menghampiri sambil memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, Si
Kong lalu mengangkat kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat. Dia dapat
menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi.
“Selamat siang,
locianpwe.”
Sepasang
mata kakek itu mencorong mengamati Si Kong dari atas yang memakai caping lebar
sampai ke kaki yang mengenakan sepatu butut dan pakaiannya yang sederhana.
“Hemm, siapa
engkau?” tanya kakek itu penuh kecurigaan.
“Namaku Si
Kong, locianpwe.”
“Engkau
anggota Kui-jiauw-pang?”
“Bukan,
locianpwe.”
“Hemm, kalau
bukan anggota Kui-jiauw-pang, lalu mengapa engkau berada di sini?”
“Aku... aku
tidak menginginkan apa-apa...,” jawab Si Kong dengan gugup karena dia ragu
apakah dia harus berterus terang atau tidak.
“Hemm,
engkau datang ke Kui-liong-san untuk mencari Pek-lui-kiam, bukan?”
Semua orang
yang datang ke sini tentu ingin mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam, maka
dia pun menjawab sejujurnya. “Benar, locianpwe, namun aku tidak yakin apakah
aku mampu...”
“Kalahkan
aku dahulu kalau engkau mau memperebutkan Pek-lui-kiam di sini!” Kakek itu
menggerakkan tangan kanannya, memukul ke arah dada Si Kong dengan cepat dan
kuat sekali. Tahu-tahu tangannya yang kanan telah hampir mengenai dada Si Kong.
Hawa pukulan
yang dahsyat sudah terasa oleh pemuda itu. Dia cepat melangkah mundur satu
langkah lalu mendorong pula dengan tangan kanan untuk menyambut pukulan lawan
itu. Untuk mengelak sudah tak ada waktu lagi, maka satu-satunya jalan untuk
menangkis pukulan yang dipenuhi tenaga sinkang itu hanyalah menyambutnya dengan
tangan juga.
“Wuuutttt...!
Dessss!” Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Si Kong terhuyung mundur lima
langkah. Akan tetapi kakek itu juga terhuyung mundur lima langkah.
Si Kong
merasa betapa dadanya sesak dan tahulah dia bahwa kakek itu menggunakan sinkang
yang amat kuat sehingga pertemuan tangan itu membuat isi dadanya terguncang.
Maklum bahwa dia sedang menghadapi lawan tangguh yang berbahaya, Si Kong tak
ingin melanjutkan perkelahian tanpa sebab yang kuat itu. Maka dia pun lalu
melompat dari situ dan pergi melanjutkan perjalanannya. Kakek itu agaknya juga
maklum bahwa pemuda itu seorang yang tangguh sekali, maka dia pun tidak
melakukan pengejaran.
Siapakah
kakek tinggi kurus brewok yang amat tangguh ini? Kalau Si Kong mendengar nama
julukan kakek itu, tentu dia tahu dengan orang macam apa dia berhadapan. Kakek
itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk besar dari timur yang berjuluk
Tung-giam-ong (Raja Maut Timur)!
Seperti para
datuk yang lainnya, dia mendaki Kui-liong-san dengan dua tujuan. Pertama untuk
memenuhi undangan Toa Ok dan Ji Ok yang hendak menentukan siapa di antara para
datuk besar yang patut dipilih sebagai datuk nomor satu di dunia. Dan kedua,
tentu saja untuk memperebutkan Pek-lui-kiam.
Ketika
bertemu dengan Si Kong, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang di antara
orang kangouw yang hendak memperebutkan pedang pusaka. Setiap orang yang hendak
memperebutkan pedang itu dianggapnya sebagai musuh yang patut dibunuh agar
jumlah saingannya menjadi berkurang. Maka dia lalu menyerang dengan pukulan
maut, dan dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja pemuda itu tentu akan mati!
Pukulan itu
mengandung tenaga sinkang yang panas dan sangat kuat, dilakukan dengan penuh
tenaga karena dia bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Akan
tetapi segera dia menjadi terkejut bukan main ketika pemuda itu menyambut
dorongannya dengan telapak tangan pula dan ketika kedua tangan bertemu, dia
terdorong ke belakang sampai lima langkah! Dan dia pun merasa betapa isi
perutnya terguncang, maka dia cepat mengumpulkan hawa murni untuk melindungi
isi perutnya supaya jangan terluka dalam. Maka dia pun sama sekali tidak
mengejar ketika pemuda itu lari dari situ.
Sementara
itu Si Kong merasa heran dengan munculnya kakek sakti itu dan dia pun tahu
bahwa memperebutkan pedang Pek-lui-kiam sungguh merupakan pekerjaan yang sangat
sulit dengan adanya orang-orang sakti di tempat itu.
Dia berjalan
dengan hati-hati karena maklum bahwa perjalanan itu berbahaya, terdapat banyak
jurang dan siapa tahu di situ terdapat pula perangkap dan jebakan yang dipasang
oleh orang-orang Kui-jiauw-pang.
Selagi dia
berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dia mendengar seruan orang dari belakang.
Dia segera menengok dan melihat seorang kakek berlari mengejarnya dengan
kecepatan yang mengagumkan. Tadinya Si Kong mengira bahwa kakek tadi yang
mengejarnya. Dia bersiap untuk lari lebih cepat, tetapi ketika dia melihat
bahwa kakek yang mengejarnya itu adalah seorang kakek yang bertubuh sedang,
tidak memegang tombak cagak seperti tadi, dia merasa lega dan menanti dengan
siap siaga.
Kakek itu
menggunakan ginkang yang hebat sehingga sebentar saja sudah tiba di depan Si
Kong. Si Kong memandang penuh perhatian.
Kakek ini
pun telah berusia enam puluh tahun lebih. Tubuhnya sedang dan tegap. Alisnya
tebal dan matanya mencorong membuat wajah yang tampan itu nampak berwibawa.
Pada punggungnya terselip sebatang pedang dan di pinggangnya terdapat belasan
batang anak panah kecil.
Melihat
panah itu, Si Kong menjadi terkejut karena dia teringat akan anak panah tangan
yang biasa dipergunakan oleh Cu Yin! Dia bisa menduga bahwa kakek ini tentulah
datuk besar selatan yang berjuluk Lam Tok!
Si Kong
tidak mau mencari permusuhan, apa lagi dengan Lam Tok ayah dari Cu Yin yang
pernah menjadi sahabat baiknya. Datuk besar ini tentu lihai bukan main, dan
keadaannya sendiri belum pulih dari guncangan akibat beradu tenaga dengan kakek
tinggi kurus yang amat lihai. Sebab itu lebih baik dia menghindarkan diri dari
pada dipaksa harus bertanding melawan Lam Tok.
Ketika
bertemu kakek pertama, dialah yang menegur lebih dulu, akan tetapi akibatnya
dia diserang secara hebat sekali. Siapa tahu Lam Tok juga akan menyerangnya
kalau kakek ini menyangka dia hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Watak para
datuk besar ini amat aneh. Kalau mereka hendak menguasai Pek-lui-kiam, maka
setiap orang yang bermaksud memperebutkan Pek-lui-kiam tentu dianggap musuh
yang harus dibunuh!
Setelah
berpikir begitu Si Kong merasa lebih baik menjauhkan diri dari perkelahian
dengan kakek itu. Tiada gunanya melayani para datuk yang suka berkelahi tanpa
sebab. Berbeda kalau andai kata dia sudah mendapatkan Pek-lui-kiam, tentu dia
akan menghadapi siapa pun yang hendak merampas dari tangannya.
“Hei, orang
muda. Tunggu dulu!” Lam Tok berteriak sambil meloncat dan mengejar.
Akan tetapi
Si Kong menggunakan ilmu berlari cepat Liok-te Hui-teng sehingga sebentar saja
tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon dan semak belukar. Lam Tok merasa heran
dan penasaran karena tidak dapat mengejar pemuda itu, namun dia tidak mengejar
terus karena dia pun harus berhati-hati berada di pegunungan yang asing baginya
itu.
Setelah
merasa yakin bahwa dia tidak dikejar lagi, barulah Si Kong menghentikan larinya
dan menyelinap di balik semak belukar untuk mengaso. Dia menunggu sampai lama
akan tetapi tidak ada yang mengejarnya. Legalah hatinya dan kini tenaganya juga
sudah pulih kembali karena selama menunggu itu dia bersemedhi mengumpulkan hawa
murni untuk menghilangkan bekas pertemuan tenaganya dan tenaga kakek tinggi
kurus brewok yang lihai itu. Matahari sudah naik tinggi. Si Kong melanjutkan
perjalanannya mendaki puncak, menyelinap di antara pohon-pohon dan semak
belukar.
***************
Para
pimpinan Kui-jiauw-pang di puncak Kui-liong-san sudah siap menyambut kunjungan
para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kedudukan
Kui-jiauw-pang kuat sekali. Toa Ok, Ji Ok dan Sam Ok telah mendatangkan banyak
bala bantuan.
Coa Leng Kun
sudah mengundang See-thian Su-hiap, empat orang tokoh Pek-lian-kauw yang
memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu sihir. Di situ berkumpul pula Bu-tek
Ngo-sian, lima orang tangguh yang telah lama menjadi pembantu Toa Ok dan Ji Ok.
Mereka merupakan tiga belas orang yang semuanya memiliki ilmu silat yang bisa
diandalkan. Selain mereka, masih ada pula seregu pasukan Pek-lian-pai yang
jumlahnya kurang lebih seratus orang dan yang kini sudah bergabung dengan
pasukan Kui-jiauw-pang sendiri yang berkekuatan seratus orang lebih.
Pek-lian-pai
telah berhasil menghasut Gubernur Ji dari propinsi Ce-kiang untuk membantu
pemberontakan, dengan janji bahwa apa bila pemberontakan mereka berhasil
Gubernur Ji akan mereka angkat menjadi kaisar baru, Gubernur Ji setuju dan dia
segera bersekongkol dengan Pek-lian-pai dan Kui-jiauw-pang.
Karena
mereka merasa belum cukup kuat untuk memberontak dan menyerang pasukan
kerajaan, maka sekarang mereka berniat hendak mengadu domba orang-orang kangouw
dengan umpan pedang Pek-lui-kiam. Selain dilakukan untuk mengacau ketenteraman,
hal ini juga untuk melemahkan dunia kangouw yang sebagian besar condong
membantu dan mendukung pemerintah kerajaan. Juga untuk memancing para tokoh
kangouw membantu persekongkolan mereka dengan menjanjikan kedudukan yang tinggi
kalau pemberontakan berhasil.
Tiga belas
orang itu kini berkumpul mengadakan rapat untuk mengatur siasat. Para anak buah
Kui-jiauw-pang disebar untuk mengamati gerakan orang-orang yang mendaki
Kui-liong-san, dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai. Toa Ok dan Ji Ok memimpin
pertemuan itu di dalam ruangan yang luas dalam rumah induk Kui-jiauw-pang.
“Coba
ceritakan kembali pertemuan kalian dengan pemuda dan gadis yang amat lihai itu.
Benarkah mereka sudah membunuh sepuluh orang anak buah kita dan melukai belasan
orang lainnya?” tanya Toa Ok kepada Bu-tek Ngo-sian.
Ciok Khi
sebagai orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian menjawab. “Ketika itu kami berlima
melihat seorang pemuda dan seorang gadis mengamuk serta merobohkan belasan
orang anggota Kui-jiauw-pang yang mengeroyok mereka. Kami lantas menyerang
mereka, akan tetapi ternyata mereka lihai sekali. Bahkan gadis itu mempunyai
ilmu sihir. Terpaksa kami melarikan diri karena tidak kuat melawan mereka.”
“Bodoh
kalian! Hanya melawan seorang pemuda dan seorang gadis saja tidak mampu
mengalahkan mereka!” Toa Ok mengomel dan lima orang itu hanya menunduk saja.
Mendengar
Toa Ok menegur Bu-tek Ngo-sian dengan marah, See-thian Su-hiap bertukar pandang
dan orang tertua dari mereka, Kui Hwa Cu segera berkata. “Harap Toa-pangcu
tidak menegur Bu-tek Ngo-sian. Pemuda dan gadis itu memang lihai bukan main.
Kami sendiri sudah bertemu dan mengeroyok mereka, dan mereka memang orang-orang
muda yang memiliki kepandaian hebat. Ketika kami mengeroyok nona Pek Bwe Hwa,
mereka berdua muncul dan terpaksa kami menggunakan bahan peledak untuk
menyingkir. Nona Pek Bwe Hwa dan dua orang muda itu merupakan lawan yang
tangguh, Toa-pangcu, dan ini harus kami akui.”
Dengan hati
lega Bu-tek Ngo-sian mendengarkan pembelaan secara tak langsung ini dan kini
Ciok Khi berani membuka mulut melapor. “Ada satu hal lagi yang perlu kami
laporkan kepada Sam-wi Pangcu (tiga ketua) bahwa ternyata pemuda dan gadis itu
tidak bohong ketika mengatakan bahwa bukan mereka yang membunuh sepuluh orang
anggota Kui-jiauw-pang itu.”
“Hemmm,
bagaimana engkau bisa tahu bahwa bukan mereka pembunuhnya? Lalu siapa yang
membunuh?”
“Dari para
anggota yang melakukan penguburan kami mendengar bahwa sepuluh orang itu tewas
terkena anak panah beracun. Kami mendatangi kuburan mereka dan menyuruh gali
kembali untuk memeriksa. Dan ternyata mereka itu terkena anak panah yang pada
gagangnya terdapat tulisan Lam Tok.”
“Ahhh...!
Jadi Lam Tok kiranya yang membunuh mereka?” bentak Toa Ok marah.
“Agaknya
memang benar begitu, Toa-pangcu.”
“Keparat Lam
Tok. Belum bertemu dengan kami telah turun tangan membunuh anak buah kami.
Pasti akan kutegur perbuatannya itu!”
Pada saat
itu seorang anggota Kui-jiauw-pang masuk dengan muka pucat dan melapor kepada
Toa Ok.
“Toa-pangcu
di lereng sebelah selatan ada seorang gadis dan seorang pemuda sedang
mengamuk!”
Mendengar
laporan ini, Toa Ok marah sekali. “Mari kita semua pergi ke sana! Dua orang
muda itu harus dibunuh!”
Semua orang
bangkit dari tempat duduknya, kemudian serentak mereka berlari menuruni puncak
bagian selatan, dan pelapor tadi menjadi penunjuk jalan.
Sesudah tiba
di lereng bagian selatan, mereka melihat seorang gadis cantik dan seorang
pemuda tampan sedang dikeroyok belasan orang anggota Kui-jiauw-pang yang
dibantu lima orang anggota Pek-lian-kauw. Sudah ada beberapa orang pengeroyok
yang roboh dan dua orang muda itu masih mengamuk, si pemuda memainkan sebatang
pedang dan gadis itu pun mengamuk dengan pedangnya.
Melihat
mereka, See-thian Su-hiap dan Bu-tek Ngo-sian segera berbisik, “Bukan, bukan
mereka...!”
Mendengar
ucapan mereka itu, Toa Ok lalu melompat maju sambil membentak. “Bocah-bocah
lancang! Berani benar kalian mengacau di Kui-liong-san!”
Bentakan itu
mengandung tenaga khikang yang amat kuat sehingga suara itu seolah-olah menggetarkan
bumi. Gadis dan pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin dan Tio Gin
Ciong!
Mendengar
bentakan yang dahsyat itu, Gin Ciong dan Cu Yin maklum bahwa yang datang adalah
seorang yang sakti bersama belasan orang lainnya. Cu Yin dan Gin Ciong segera
melompat ke belakang dan sekali tangan Cu Yin bergerak, tiga batang anak panah
sudah meluncur ke arah Toa Ok!
“Sing-sing-singgg...!”
Toa Ok
menyambut dengan kedua tangannya dan dia telah menangkap tiga batang anak panah
itu. Pada waktu dia memeriksa, mata anak panah itu mengandung racun dan pada
gagangnya terdapat dua huruf: Lam Tok. Segera dia dapat menduga siapa adanya
gadis yang ganas itu.
“Hemm,
engkau puteri Lam Tok, bukan? Ada urusan apa maka engkau berani mengacau di
tempat ini?”
Meski pun
maklum bahwa tiga belas orang yang datang adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi, namun Cu Yin sama sekali tidak kelihatan jeri.
“Aku memang
puteri Lam Tok. Aku dan kawanku ini sedang melakukan perjalanan di sini,
mengapa orang-orang ini mengeroyok kami? Kalian datang hendak membantu mereka?”
“Hemmm,
gadis kecil, ayahmu sendiri Si Racun Selatan tidak berani memandang rendah kepada
kami! Dan engkau, anak muda. Siapakah engkau?” Toa Ok mengamati wajah Gin Ciong
dengan tajam penuh selidik karena tadi pun dia melihat sepak terjang pemuda ini
cukup hebat.
Gin Ciong
tersenyum bangga. “Ayahku adalah Majikan Pulau Beruang!”
Toa Ok membelalakkan
sepasang matanya. “Jadi engkau putera Tung-giam-ong Si Datuk Timur? Bagaimana
kalian dapat berada di sini? Di mana ayah kalian?”
Toa Ok
mendapat pikiran yang bagus sekali. Gadis dan pemuda ini ternyata adalah puteri
dan putera Lam Tok dan Tung-giam-ong. Alangkah baiknya jika dia dapat menarik
mereka menjadi sekutu, dengan demikian ada harapan baginya untuk menarik
Tung-giam-ong dan Lam Tok agar menjadi sekutu pula.
“Bagus
sekali! Kiranya kalian adalah puteri dan putera Lam Tok dan Tung-giam-ong yang
memang sedang kami tunggu-tunggu sebagai tamu-tamu kami. Nona, siapakah namamu,
dan engkau anak muda, siapa namamu?”
Melihat
sikap ramah kakek yang berkepala botak dan besar itu, Cu Yin lalu mengerutkan
alisnya.
“Sebelum
kami memperkenalkan diri, lebih dulu engkau yang harus mengatakan siapakah
engkau dan apa hubunganmu dengan Kui-jiauw-pang?”
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Toa Ok tertawa bergelak. “Anak Lam Tok ternyata bernyali besar, tidak percuma
menjadi puteri Lam Tok. Kalian ingin tahu siapa kami? Aku dan adikku ini adalah
datuk-datuk dari barat.”
Cu Yin
menyipitkan matanya. “Toa Ok dan Ji Ok?” tanyanya.
“Ha-ha-ha,
bagus kalau engkau telah mengetahuinya. Akan tetapi sekarang kami menjadi ketua
Kui-jiauw-pang, aku menjadi Toa Pangcu, adikku menjadi Ji Pangcu, ada pun yang
berjubah merah itu adalah Sam Pangcu.”
Mendengar
bahwa gadis dan pemuda itu adalah anak-anak Lam Tok dan Tung-giam-ong, Bu-tek
Ngo-sian segera memperkenalkan diri mereka, “Kami adalah Bu-tek Ngo-sian!”
“Perkenalkan,
aku adalah Coa Leng Kun.” Leng Kun juga memperkenalkan diri kepada gadis yang
cantik molek itu, senyumnya memikat dan pandang matanya bersinar-sinar!
“Kami
berempat adalah See-thian Su-hiap.” Empat orang tosu itu tak mau kalah, ikut
pula memperkenalkan diri.
Mendengar
sederetan nama julukan itu, diam-diam Cu Yin terkejut bukan main. Baru Toa Ok
dan Ji Ok itu saja sudah merupakan dua orang tokoh yang kedudukannya setingkat
dengan ayahnya. Dan masih banyak nama julukan yang terkenal mendampingi mereka!
Dia pun
maklum bahwa terhadap mereka ini dia tidak boleh bersikap kasar karena mereka
semua adalah orang-orang tangguh. Cu Yin cukup cerdik untuk mengubah sikap
menjadi ramah kepada mereka.
”Aihh,
kiranya kalian adalah orang-orang yang menjadi sahabat ayah. Namaku Siangkoan
Cu Yin dan temanku putera Tung-giam-ong ini bernama Tio Gin Ciong. Tadi sudah
terjadi kesalah pahaman antara orang-orangmu dan kami. Kami dicurigai dan
diusir dari tempat ini, maka terjadilah perkelahian.”
“Ahh, tidak
mengapa, nona. Mereka memang bodoh dan tidak tahu sedang berhadapan dengan
siapa maka berani bertindak kasar. Harap nona beserta kongcu suka memaafkan
anak buah kami.”
“Hemm, tidak
mengapa, paman. Kami pun tidak terluka dan syukur kami tidak membunuh seorang
pun dari orang-orangmu. Ehh…, kalau tidak salah, Sam Pangcu ini yang berjuluk
Ang I Sianjin, bukan?”
Kakek
berjubah merah itu mengelus jenggotnya. “Nona Siangkoan ternyata bermata tajam
dan cerdik sekali. Aku memang Ang I Sianjin, akan tetapi sekarang aku berjuluk
Sam Ok dan berkedudukan sebagai Sam Pangcu di Kui-jiauw-pang.”
“Hemm-hemm...
aku mendengar bahwa engkau telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu yang tinggal di
Sia-lin dan telah merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Benarkah kabar itu?”
“Ahhh, nona
Siangkoan. Aku yang sudah tua ini sebenarnya tidak membutuhkan pedang pusaka
itu, walau pun benar bahwa aku telah mengambilnya. Ketahuilah, aku membunuh Tan
Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam karena dahulu dia telah membunuh keluargaku
dengan menggunakan pedang pusaka itu. Aku sudah tua, pedang pusaka itu lebih
pantas menjadi milik seorang muda seperti nona.”
“He-he-he,
nona Siangkoan. Marilah kita pergi ke rumah perkumpulan agar dapat bicara lebih
leluasa. Nona dan kongcu menjadi tamu kehormatan kami. Kami mengundang ji-wi
(kalian berdua) untuk menunjukkan penyesalan kami atas sikap anak-anak buah
kami.”
Cu Yin dan
Gin Ciong saling pandang dan dara itu menganggukkan kepalanya, maka Gin Ciong
juga menyetujuinya. Siangkoan Cu Yin terlalu percaya kepada diri sendiri dan
nama besar ayahnya. Tidak mungkin ada yang berani mengganggunya! Beramai-ramai
mereka pun mendaki puncak menuju ke sarang Kui-jiauw-pang.
Sebuah
perjamuan makan dihidangkan untuk menghormati dua orang muda yang menjadi tamu
agung itu. Coa Leng Kun langsung bermanis-manis muka terhadap Cu Yin, bahkan
mengambil tempat duduk di sebelah kanan Cu Yin ketika mereka duduk menghadapi
meja perjamuan. Diam-diam Gin Ciong merasa tidak senang, tetapi pemuda ini pun
tidak dapat mencegah karena Leng Kun bersikap sopan dan agaknya Cu Yin juga
menerima uluran persahabatan Leng Kun dengan senang hati,.
“Aku pun
sependapat dengan Sam Pangcu yang tadi mengatakan bahwa pedang Pek-lui-kiam
lebih pantas apa bila berada di tangan seorang pendekar wanita muda seperti
nona Siangkoan,” kata Leng Kun sambil tersenyum manis dan mengerling ke arah
gadis itu.
“Ahhh, tentu
tadi Sam Pangcu berkata hanya untuk main-main saja,” kata Cu Yin sambil
tersenyum. “Mana mungkin pusaka yang diperebutkan orang-orang kang-ouw itu
diberikan begitu saja kepadaku?”
“Ha-ha, apa
gunanya bagi kami untuk berbohong, nona Siangkoan?” kata Toa Ok sambil
mengangkat cawan araknya dan minum habis sekali tenggak. “Kami akan menyerahkan
pedang pusaka Pek-lui-kiam itu dengan senang hati kepada nona, asalkan nona
bersedia membantu kami dalam menghadapi orang-orang kang-ouw yang hendak memperebutkan
dan merampas pedang pusaka itu. Terhadap puteri Lam Tok kami merasa seperti
sedang berhadapan dengan keponakan sendiri dan kalau kami menyerahkan pedang
Pek-lui-kiam kepadamu, tentu Lam Tok tidak perlu bersusah payah memperebutkan
pusaka itu lagi, bahkan membantu agar pedang pusaka itu tidak terlepas dari
tanganmu dan direbut lain orang!”
Siangkoan Cu
Yin yang sangat cerdik itu segera mengerti bahwa pihak tuan rumah mau
menyerahkan pedang tetapi ada syaratnya, yaitu bahwa dia harus membantu mereka.
“Bantuan apa
yang dapat kuberikan kepada paman sekalian?” tanya Siangkoan Cu Yin.
“Tidak
banyak dan tidak sukar, nona. Engkau dan putera Tung-giam-ong harus tinggal di
sini sebagai tamu-tamu kehormatan kami dan kalian berdua harus membantu kami
dalam menghadapi musuh-musuh kami yang berdatangan dengan niat untuk merampas
pedang pusaka Pek-lui-kiam. Bagaimana?”
“Hemm,
menghadapi para tokoh kangouw merupakan pekerjaan berbahaya! Akan tetapi
kapankah kalian hendak menyerahkan pedang pusaka itu?”
“Sekarang
juga kami serahkan kalau nona mau berjanji akan membantu kami!” kata Toa Ok
sambil mengeluarkan pedang Pek-lui-kiam. Ia mencabut pedang itu sehingga nampak
sinar kilat berkelebat ketika pedang itu terhunus. “Nah, terimalah pedang
Pek-lui-kiam ini, nona Siangkoan!”
Cu Yin
menjadi girang bukan main. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dia akan
mendapatkan pedang pusaka itu sedemikian mudahnya! Dia lalu menerima pedang
yang sudah disarungkan kembali itu dan untuk meyakinkan hatinya, dia lalu mencabut
kembali pedang Pek-lui-kiam itu dan matanya silau melihat sinar berkilat dari
pedang itu. Dengan girang dia menyarungkan kembali dan berkata,
“Terima
kasih, Toa Pangcu. Tentu aku akan membantu kalian, dan kalau bertemu ayah, aku
akan meminta ayah membantu pula.”
“Itu bagus
sekali, nona Siangkoan.”
“Aku pun
akan membujuk ayah untuk membantu kalau aku bertemu dengan ayah di sini,” kata
Tio Gin Ciong, ikut gembira melihat Siangkoan Cu Yin demikian senang hatinya.
Malam itu Cu
Yin mendapatkan sebuah kamar yang lengkap, dan disebelah kiri kamarnya adalah
kamar yang diberikan kepada Gin Ciong.
Namun malam
itu Cu Yin tidak dapat tidur. Seluruh hati dan pikirannya terkenang kepada Si
Kong dan ada rasa rindu yang mendalam terhadap pemuda itu. Dia membayangkan
ketika masih menyamar sebagai Siangkoan Ji dia melakukan perjalanan bersama Si
Kong dan dia merasa bahagia sekali.
Tapi
perasaannya langsung terpukul ketika dia teringat betapa Si Kong menolak
cintanya. Sakit rasanya dan dia merasa benci sekali kepada Si Kong. Tetapi di
lain saat dia merasa rindu.
Harus
diakuinya bahwa dia mencintai Si Kong dengan sepenuh hatinya, dan dia merasa
menyesal mengapa dia muncul sebagai Siangkoan Cu Yin di hadapan Si Kong
sehingga pemuda itu tak mau lagi melakukan perjalanan bersamanya. Kalau saja
dia masih menjadi pengemis muda, tentu sekarang dia masih bersama Si Kong dan
membantu pemuda itu mendapatkan Pek-lui-kiam!
Ahh,
bagaimana kalau dia menyerahkan Pek-lui-kiam kepada Si Kong? Barang kali saja
pemuda itu akan berubah pikiran dan membalas cintanya kalau dia menyerahkan
Pek-lui-kiam kepadanya! Dengan pikiran ini Cu Yin dapat juga tidur pulas dan
bermimpi tentang Si Kong.
***************
Bwe Hwa
berjalan seorang diri sambil berpikir tentang pengalamannya yang baru terjadi
tadi. Jika diingat kembali timbul rasa malu dan penyesalan di dalam hatinya.
Jelas bahwa dia telah jatuh cinta kepada Si Kong. Akan tetapi pantaskah bila
dia seperti memaksakan cintanya itu agar dibalas oleh Si Kong? Dan dia merasa
begitu cemburu kepada Hui Lan! Kalau memang Si Kong mencintai Hui Lan,
pantaskah kalau dia mencampuri dan hendak menghalangi?
Berpikir
tentang pemuda yang dicintanya itu, dia pun teringat akan sajak yang
ditinggalkan Si Kong untuk dia dan Hui Lan. Tak mungkin dia melupakan sajak
itu, seolah telah terukir bukan di tanah padas, melainkan di dalam hatinya.
Mulut dara ini lantas berkemak-kemik membaca sajak itu.
“Seekor
burung gagak yang papa tidak pantas berdekatan dengan sepasang burung Hong yang
mulia! Seekor burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain
di udara bebas dan merdeka tidak terikat apa pun juga!”
Bwe Hwa
menghela napas panjang dan berkata seorang diri dalam bisikan lirih.
“Seekor
burung gagak yang papa? Aihh, Kong-ko, betapa engkau telah merendahkan diri
sedemikian rupa sehingga merasa tidak pantas berdekatan dengan kami.”
Dia lalu
membayangkan keadaan pemuda itu sehingga pemuda itu begitu merendahkan dirinya.
Si Kong seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, murid mendiang Ceng Lojin.
Tidak, Si Kong bukan merendahkan diri karena kepandaian. Kepandaiannya masih
lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya atau kepandaian Hui Lan.
Akan tetapi
dia seorang yatim piatu, tidak bersanak kadang, tidak mempunyai apa-apa di
dunia ini, bahkan tempat tinggal pun dia tak punya. Inilah kiranya yang membuat
pemuda itu merasa kehilangan harga diri sehingga begitu merendahkan diri.
Kemudian dia
teringat akan Hui Lan. Sudah jelas bahwa Hui Lan mencintai Si Kong, dan apakah
Si Kong juga mencintai Hui Lan? Sangat boleh jadi demikian, mengingat bahwa Si
Kong mau melakukan perjalanan bersama gadis itu. Akan tetapi tulisan sajak Si
Kong itu menunjukkan kenyataan lain. Pemuda itu agaknya tidak mencintai mereka
berdua dan menganggap dirinya tidak pantas bersanding dengan Hui Lan atau dia!
Bwe Hwa yang
sedang melamun itu tiba-tiba terkejut ketika dua orang laki-laki muncul di
depannya. Yang muncul itu adalah seorang pemuda dan seorang yang lebih tua
berusia kurang lebih empat puluh tahun. Tentu anggota Kui-jiaw-pang atau
Pek-lian-pai, pikirnya.
Karena
merasa dua orang itu tentu hendak menangkapnya dan khawatir kalau yang
lain-lain akan segera muncul, tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut
Kwan-im-kiam dan tanpa berkata apa-apa dia lalu menyerang mereka dengan
dahsyat.
Pedangnya
berkelebat, membacok leher pemuda itu. Ketika pemuda itu mengelak dengan satu
loncatan ke belakang, pedangnya terus menusuk ke arah dada orang yang lebih
tua. Akan tetapi orang itu pun dapat mengelak dengan cepat. Melihat gerakan
mereka, tahulah Bwe Hwa bahwa dua orang itu memiliki ilmu silat yang tangguh.
“Hei, tahan
dulu!” bentak orang yang lebih tua. “Kenapa engkau menyerang kami, nona?”
Mendengar
seruan ini, Bwe Hwa menahan gerakannya sambil melintangkan pedangnya di depan
dadanya. Jari telunjuknya yang kiri menuding ke arah mereka. “Kalian tentulah
kaki tangan Kui-jiauw-pang! Bersiaplah untuk mati!” bentaknya dan ia pun
meloncat ke depan, menerjang dengan cepat dan kuat. Akan tetapi kembali kedua
orang itu dapat mengelak dengan lompatan ke belakang.
“Tahan dulu
nona! Kami berdua sama sekali bukan kaki tangan Kui-jiauw-pang!” kata pria
setengah tua itu.
Mendengar
ini Bwe Hwa mengerutkan alisnya tanpa menyimpan pedangnya karena dia masih
merasa curiga.
“Kalau
kalian bukan kaki tangan Kui-jiauw-pang, lalu siapakah kalian dan mengapa
kalian berkeliaran di sini?” tanyanya sambil mengelebatkan pedangnya.
Kini yang
muda mengamati pedang di tangan Bwe Hwa dan dia pun berseru, “Bukankah yang kau
pegang itu adalah Kwan-im-kiam, nona?”
Sekarang Bwe
Hwa yang terkejut dan dia memandang penuh selidik kepada pemuda itu. Seorang
pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun yang berwajah tampan dan gagah.
“Bagaimana
engkau dapat mengenal pedangku?” tanya Bwe Hwa, semakin curiga.
Pemuda itu
memandang Bwe Hwa dengan penuh perhatian, lalu dia berkata, “Bukankah engkau
nona Pek Bwe Hwa?”
Bwe Hwa
terkejut dan heran, akan tetapi bertambah curiga dan menduga bahwa pemuda ini
tentu ada hubungannya dengan Kui-jiauw-pang maka mengerti namanya dan mengenal
pedangnya.
“Siapakah
engkau?” tanyanya.
“Namaku Cang
Hok Thian, datang dari kota raja.” Pemuda itu memperkenalkan dirinya.
Bwe Hwa
segera teringat. Nama keluarga Cang itu adalah keluarga Pangeran Cang Sun.
Ayahnya pernah bercerita bahwa Pangeran Cang Sun dikenalnya dengan baik.
Pangeran itu sudah menikah dengan dua orang wanita. Yang seorang bernama Mayang
dan yang kedua bernama Teng Cin Nio.
“Apakah
ayahmu bernama Cang Sun?” tanyanya.
Wajah yang
tampan itu berseri-seri. “Benar sekali, nona. Aku adalah puteranya. Kita tidak
pernah saling bertemu akan tetapi telah diceritakan oleh orang tua kita,
bukan?”
“Mengapa
engkau dari kota raja datang pula ke tempat ini? Apakah engkau juga ingin ikut
memperebutkan Pek-lui-kiam?”
“Tidak, aku
datang karena ikut paman Gui Tin ini. Perkenalkan, ini adalah paman Gui Tin,
seorang panglima di kota raja yang kini menyamar sebagai petani biasa untuk
menyelidiki tentang Kui-jiauw-pang.”
Bwe Hwa
terkejut sekali lantas memandang kepada orang tua gagah itu dengan pandang mata
penuh selidik. “Seorang panglima? Apakah yang hendak paman lakukan di sini?”
“Terdapat
desas-desus bahwa Kui-jiauw-pang sudah bersekutu dengan Pek-lian-pai untuk
melakukan pemberontakan, bahkan mereka telah berhasil menghasut Gubernur
Ce-kiang untuk bersekutu dengan mereka. Karena itu kami bertugas untuk
melakukan penyelidikan tentang kebenaran berita itu.”
“Berita itu
benar dan tidak perlu disangsikan lagi, paman.”
“Bagaimana
engkau dapat begitu yakin, adik Bwe Hwa? Eh, aku boleh menyebutmu adik, bukan?”
“Tentu saja,
kalau engkau putera bibi Mayang berarti kita adalah orang sendiri. Aku pun akan
menyebutmu koko. Tentu saja aku yakin akan kebenaran berita itu karena aku baru
saja pergi meninggalkan Kui-jiauw-pang. Tadinya aku disambut dengan baik
sebagai tamu terhormat. Akan tetapi kemudian aku mengetahui bahwa mereka adalah
kumpulan orang-orang jahat. Ada tokoh-tokoh Pek-lian-kauw di sana, dan kabarnya
ada pula sepasukan orang Pek-lian-pai yang sudah siap membantu.”
Mendengar
ini Cang Hok Thian berpaling kepada Gui Tin lantas berkata, “Paman Gui Tin
tidak perlu meragukan lagi. Keterangan adik Bwe Hwa tentu benar, maka sebaiknya
kalau kita mempersiapkan pasukan untuk mengepung puncak ini.”
“Benar
sekali, kita harus segera mempersiapkan pasukan kita,” kata Gui Tin. “Sekarang
juga kita berangkat!”
“Adik Bwe
Hwa, sebaiknya kalau engkau ikut pula dengan kami dan nanti membantu kami
menghancurkan para pemberontak itu.”
“Biarlah
Paman Gui Tin bersama engkau saja yang melakukan persiapan itu, Thian-ko. Aku
hendak menyelidiki di mana adanya Pek-lui-kiam yang berada di tangan mereka.
Aku harus merampas pusaka itu. Selamat berpisah!” Seteah berkata demikian, Bwe
Hwa lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan sekali berkelebat Bwe Hwa
sudah lenyap di antara pohon-pohon.
Cang Hok
Thian memandang dengan kagum ke arah lenyapnya Bwe Hwa. Dia terpesona oleh
kecantikan dan kecepatan gerakan dara itu. Gui Tin tersenyum memandang pemuda
yang terpesona itu.
“Dara itu
seorang pendekar wanita yang hebat.”
Hok Thian
tersadar dari lamunannya dan tergugup berkata, “Ahh, benar sekali paman.”
Sambil
tersenyum Gui Tin berkata, “Mari kita berangkat, kongcu.”
“Ya,
baiklah, paman!” Pemuda itu berkata seakan menjadi orang yang canggung sekali.
Separuh semangatnya seperti hilang terbawa terbang gadis yang membuatnya
terpesona itu. Mereka lalu menuruni lereng untuk bergabung dengan pasukan yang
telah disiapkan di lereng terbawah.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment