Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 13
PERISTIWA
itu membuat Liok Sun merasa makin percaya kepada Bun Houw. Dia pun tidak
melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada
seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi
mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia
dihukum buang di utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya
mungkin salah seorang di antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini
sama sekali tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain
adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Ketika Bun
Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim,
tentu saja hatinya merasa gembira sekali. Tidak percuma dia mendekati Liok Sun,
karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di
antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya.
Maka
berangkatlah mereka berdua dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan
perjalanan ini dengan senang hati karena dia pun perlu sekali untuk beberapa
lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu
itu menjadi dingin kembali.
***************
Hong Khi
Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng tangan Lie
Seng dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek, muridnya yang
telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid tunggalnya
yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu menambah
keriput pada wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andai kata tidak
bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki
pekarangan rumah mendiang muridnya itu.
"Sukong
(kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita..." Lie Seng berkata.
Ucapan anak
kecil ini terasa bagaikan pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu. Dia lalu
menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh
dengan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan
suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu.
Muridnya,
Lie Kong Tek, tadinya hidup berbahagia dengan isteri dan dua orang anaknya,
akan tetapi dalam sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama
sekali, berubah secara hebat dan kebahagiaan itu kini berubah menjadi
kesengsaraan lahir batin yang menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas
membunuh diri, menantunya pergi mencari penjahat yang belum diketahuinya siapa
dan dua orang cucunya kehilangan ayah bunda!
Tentu hidup
terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia, terasa makin sunyi. Tentu
saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh kegembiraan dengan suara tawa dari
dua orang cucunya, senyum manis mantunya, dan gelak tawa muridnya sekarang
hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap.
Kita manusia
hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka selama kita masih
terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa
takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri
dengan segala sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu
mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita
mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan
harta, dengan nama dan sebagainya.
Pengikatan
diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan
pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi mau pun kesenangan rohani. Apa
bila sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja
menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena
kesenangan kita dirampas.
Sesungguhnya
baik suka mau pun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri,
tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi
pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti
kebahagiaan dan sumbernya terletak pada harta, kedudukan, nama dan sebagainya.
Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya.
Di manakah
letaknya kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan,
melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Meski pun orang memiliki lima buah
gunung emas, apa bila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan
terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta
adalah orang miskin apa bila dia menginginkan barang yang harganya lebih mahal
dari jumlah itu.
Orang tidak
akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apa pun yang
berada di dalam tangannya, betapa pun tinggi nilai benda itu, apa bila dia
masih menginginkan barang yang lain dari pada yang telah dimilikinya. Dan orang
yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, tak akan pernah merasa cukup
dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang
dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya,
orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dan
segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan
gembira maka dia tidak pernah tenggelam di dalam duka mau pun suka. Bagi dia,
segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar
biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya
kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan
demikian ini akan membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran
setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya
selalu jatuh bangun di antara suka dan duka.
Akan tetapi
betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti
ini! Kita menerimanya sebagai hal yang ‘sudah semestinya’. Hidup yang penuh
dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri
hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk
perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya
kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat
sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan semacam ini sebagai hal yang
semestinya!
Kita selalu
mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri pada pemuasan
kesenangan sungguh pun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu
terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!
Tak ada
kekuasaan apa pun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang
bersumber dalam diri pribadi, kecuali kita sendiri. Bukan kita yang
mengusahakan perubahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, namun
dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dan dalam,
dengan pengawasan serta pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan
kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan
menghalau semua perintang dan penghalang dari perubahan.
Pengertian
yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati mengenai
filsafat atau kebatinan mana pun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan
menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut,
bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.
"Sukong,
mengapa begini sunyi? Ke mana perginya para pelayan?" Lie Seng berkata
lagi dengan nada suara heran dan tidak enak.
Anak berusia
dua belas tahun ini telah dapat merasakan kehebatan mala petaka yang menimpa
keluarganya, dan kini, saat mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa
perubahan hebat karena rumah itu sekarang seolah-olah merupakan tempat
berkabung di mana tidak ada lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya.
"Aku
juga merasa amat heran..." kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang
enak karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan.
Namun dia
dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba
tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat
orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan.
Hong Khi
Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia menatap penuh
perhatian, kemudian mengangkat tangan di depan dada sambil bertanya,
"Maafkan apa bila saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah
kalian dan su-wi mencari siapa?"
Orang yang
tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima tahun akan
tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian serba
putih, tertawa dan berkata kepada kawan-kawannya, "Kalian berhati-hatilah.
Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu
sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan ilmu sihirnya, lawan dengan sinkang
dan tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya."
Mendengar
ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang ini adalah
orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk dengan
kedatangan mereka yang aneh ini.
"Hong
Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan kami adalah
untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi mereka
tidak ada dan kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua
Cin-ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?"
"Manusia-manusia
jahat, mau apa kalian mencari ibuku?" Lie Seng yang masih dihimpit
kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi Hoatsu
kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicara pun sudah terlambat.
"Ha-ha-ha,
inikah puteranya? Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai? Ha-ha-ha, sungguh
kebetulan sekali!"
Sementara
itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biar pun dia belum pernah
bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu
siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia telah mendengar penuturan Cia
Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai.
"Hemmm...
masih kurang seorang lagi, bukankah Bayangan Dewa ada lima orang?" Hong
Khi Hoatsu berkata. "Kalian datang berkunjung ada urusan apakah?"
"Ha-ha-ha,
Hong Khi Hoatsu. Kami sudah kesal melihat rumah ini kosong, dan sungguh baik
sekali engkau mengantar cucu ketua Cin-ling-pai kepada kami. Kau berikan anak
itu kepada kami dan kami akan membiarkan engkau yang sudah tua ini untuk terus
hidup beberapa tahun lagi."
Hong Khi
Hoatsu menjadl merah mukanya. "Kiranya Lima Bayangan Dewa yang terkenal
gagah karena telah berani menentang Cin-ling-pai itu hanyalah lima orang
pengecut yang beraninya mengganggu anak kecil! Kalau memang gagah, mengapa
kalian tidak langsung saja mendatangi Cin-ling-pai dan menantang ketuanya? Dia
bersama isterinya sudah siap untuk membasmi kalian."
"Tua
bangka cerewet! Serahkan anak itu atau terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu!"
"Haaiiitttt...!
Siapa yang kau cari? Anak kecil ini tidak ada di sini!" Tiba-tiba saja
Hong Khi Hoatsu berteriak dan... empat orang jagoan itu terkejut bukan main
karena benar saja, tiba-tiba bocah itu lenyap berubah menjadi gulungan asap
putih!
"Awas,
jangan terpedaya. Serang...!" Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berseru nyaring
sambil mengerahkan khikang-nya hingga suaranya mengandung getaran dashsyat dan
tubuhnya sudah bergerak ke depan mengirim pukulan bertubi-tubi secepat kilat
dan mengandung kekuatan sinkang yang hebat ke arah Hong Khi Hoatsu.
"Plak-plak-plak...!"
Hong Khi
Hoatsu berhasil menangkis serangan ini, akan tetapi dia langsung terhuyung
karena tenaganya memang kalah kuat oleh Si Dewa Tua Berlengan Delapan itu. Dan
tiga orang Bayangan Dewa yang lain sudah pula menyerang dengan pukulan-pukulan
yang amat dahsyat.
Hong Khi
Hoatsu mengelak ke sana-sini dan terhuyung-huyung dalam keadaan terdesak hebat.
Dia maklum bahwa dalam hal ilmu kepandaian silat, meski pun hanya menghadapi
seorang saja di antara mereka, belum tentu dia akan menang, apa lagi dikeroyok
empat. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok benar-benar mempunyai
kepandaian yang hebat dan tenaga sinkang yang besar.
Dia hanya
dapat mengandalkan ilmu hoatsut (sihir). Akan tetapi karena empat orang itu
sudah siap dan melindungi diri dengan kekuatan batin, kiranya tidak akan mudah
baginya untuk dapat mempengaruhi mereka sekaligus.
"Berlutut
engkau...!" bentaknya keras ketika pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu
Sit menyambar dan meledak di atas kepalanya.
Bu Sit
terkejut dan biar pun tadi dia sudah diperingatkan oleh Pat-pi Lo-sian, tetap
saja dia terkejut, lalu memandang sehingga tanpa dapat disadari atau
dipertahankannya pula, dia sudah menjatuhkan diri berlutut sedangkan Liok-te
Sin-mo Gu Lo It juga terhuyung karena dia juga memandang dan terpengaruh, biar
pun sudah dia pertahankan dengan kekuatan batinnya.
"Ilmu
setan!" Hok Hosiang yang berjulukan Sin-ciang Siauw-bin-sian (Dewa
Tersenyum Bertangan Sakti) dan berkepala gundul itu dengan marah menggerakkan
tangan kirinya.
Tasbih hijau
yang merupakan senjata istimewanya itu menyambar dan berubah menjadi sinar
hijau menyambar ke arah dada Hong Khi Hoatsu. Kakek ini kaget sekali dan cepat
mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya keserempet dan dia roboh
terguling.
"Jangan
pukul kakekku!" Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan tentu saja kini dia
kelihatan lagi oleh empat orang itu yang menjadi sangat girang.
Karena Hong
Khi Hoatsu terkena hantaman tasbih, maka pengaruh sihirnya terhadap dua orang
tadi pun membuyar dan mereka sudah meloncat bangun kembali. Hong Khi Hoatsu
juga sudah meloncat dan menghadapi empat orang lawan tangguh itu dengan hati
penuh kekhawatiran, mengkhawatirkan cucunya.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring dari luar, "Bayangan Dewa, jangan banyak
menjual lagak, kami dari Cin-ling-pai datang untuk membasmimu...!"
Girang hati
Hong Khi Hoatsu ketika dia mengenal empat orang tua yang gagah itu, yang bukan
lain adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai atau orang-orang tertua dan sisa
dari Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek!
Seperti yang
kita ketahui, empat orang murid utama dari Cin-ling-pai ini juga segera pergi
meninggalkan Cin-ling-san sesudah Bun Houw berangkat, untuk berusaha mencari
Lima Bayangan Dewa yang tidak hanya mencuri Siang-bhok-kiam, tetapi juga telah
membunuh tujuh orang sute mereka.
Bila
dibandingkan dengan Bun Houw yang baru saja pulang dari Tibet dan masih belum
memiliki banyak pengalaman di dunia kang-ouw, tentu saja empat orang tokoh
Cin-ling-pai ini jauh lebih luas pengalamannya dan kalau Bun Houw masih juga
belum berhasil dalam penyelidikannya untuk menemukan musuh-musuh besar
Cin-ling-pai, empat orang tokoh ini akhirnya dapat juga mencari musuh-musuhnya.
Ketika mereka mendengar keterangan dalam penyelidikan mereka bahwa empat orang
di antara Lima Bayangan Dewa itu pergi ke Sin-yang, mereka menjadi terkejut dan
cepat melakukan pengejaran.
Mereka
merasa sangat khawatir kalau-kalau para musuh besar ini hendak mengganggu
puteri suhu mereka, yaitu Cia Giok Keng yang tinggal di Sin-yang bersama
suaminya dan kedua orang anaknya. Dalam kesibukan mereka mencari dan
menyelidiki musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang ini sama sekali tidak
tahu atau mendengar peristiwa yang menimpa keluarga suhu mereka. Demikianlah,
mereka sampai di rumah Giok Keng tepat pada saat Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng
terancam bahaya oleh empat orang dari Lima Bayangan Dewa itu.
Ketika
mereka muncul dengan pedang di tangan, Pat-pi Lo-sian terkejut dan marah. Dia memandang
empat orang laki-laki tua yang berpedang dan berpakaian sederhana itu, lalu
membentak, "Siapakah kalian?"
Pat-pi
Lo-sian belum pernah bertemu dengan empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini
maka biar pun tadi mereka mengaku sebagai orang-orang dari Cin-ling-pai, dia
masih tak dapat menduga siapa mereka.
Di lain
fihak, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya juga baru sekarang bertemu dengan
mereka, maka Kwee Kin Ta yang mewakili para sute-nya menjawab tenang dengan
sikap gagah, "Lebih dahulu kami ingin bertanya, apakah benar kalian empat
orang yang sedang mengacau di sini berjuluk Lima Bayangan Dewa?"
Pat-pi
Lo-sian tersenyum lebar, wajahnya yang gagah dan tampan itu penuh ejekan dan
memandang rendah. "Kalau benar demikian, kalian mau apa? Siapakah
kalian?"
"Kami
adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan memang sudah lama kami
mencari kalian manusia-manusia keji yang telah membunuh para sute kami,"
jawab Kwee Kin Ta sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Ahhh!
Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Dahulu kami hanya dapat membunuh tujuh orang di
antara Cap-it Ho-han, siapa tahu kini empat yang lainnya datang mengantar nyawa
untuk menemani kakek tua bangka tukang sulap ini."
"Jahanam,
bersiaplah kalian untuk mampus!" Kwee Kin Ta membentak lantas pedangnya
digerakkan, berubah menjadi sinar kilat yang menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian.
Ketiga orang sute-nya juga sudah menggerakkan pedang menyerang tiga orang
Bayangan Dewa lainnya.
Pat-pi
Lo-sian terkejut bukan kepalang menyaksikan gerakan pedang yang dipegang oleh
Kwee Kin Ta itu. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali.
Dan memang Kwee Kin Ta sebagai murid pertama dari Cin-ling-pai tentu saja
memiliki ilmu pedang yang amat hebat. Dialah yang mampu mewarisi inti dari Ilmu
Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang diciptakan oleh ketua Cin-ling-pai.
Akan tetapi,
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang
Kok Si Raja Ular, kepandaiannya amat tinggi. Cepat dia dapat mengelak sambil
mencabut pedangnya pula, yaitu sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor
ular dan mengeluarkan bau amis.
"Cringgg...
trangg... singgg!"
"Hemmm...!"
Pat-pi Lo-sian terkejut karena ketika pedang mereka saling bertemu, secara aneh
sekali pedang lawan itu meluncur melewat tubuh pedangnya, begitu licin dan
tidak terduga-duga langsung menyambar ke arah tangannya yang memegang gagang
pedang ular! Untung dia dapat cepat menarik tangannya dan menghindarkan diri
dari serangan yang cepat, aneh dan tak tersangka-sangka itu.
Tiga orang
sute dari Kwee Kin Ta juga sudah terlibat dalam pertandingan yang seru dan
mati-matian melawan tiga orang dari Bayangan Dewa. Sesungguhnya apa bila
dinilai dari dasar ilmu silat mereka, kepandaian tiga orang tokoh Cin-ling-pai
itu lebih murni, karena mereka itu adalah orang-orang yang langsung digembleng
oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.
Akan tetapi,
mereka itu dahulunya hanyalah pemuda-pemuda dusun yang kaku dan tidak berbakat,
dan mereka pun amat jarang bertanding sehingga dalam pertandingan melawan
tokoh-tokoh sesat yang sangat lihai dan yang pada dasarnya memiliki tingkat
yang lebih tinggi dari pada mereka, empat orang tokoh Cin-ling-pai ini segera
terdesak hebat karena lawan-lawan mereka menggunakan siasat-siasat licik dan
curang yang memang terdapat di dalam setiap gerakan ilmu berkelahi dari kaum
sesat.
Tiba-tiba
saja terdengar suara tertawa nyaring tinggi, disusul suara nyanyian yang keluar
dari mulut Hong Khi Hoatsu. Sebelum bernyanyi dia berteriak memanggil nama
empat Bayangan Dewa itu untuk menarik perhatian mereka. Dengan suara parau dia
bernyanyi dengan nada aneh dan dengan kata-kata yang jelas, dan tanpa disadari
oleh empat orang Bayangan Dewa itu, mereka tercengkeram oleh kekuatan mukjijat dan
telah terpengaruh sehingga mereka berempat mendengarkan dengan penuh perhatian.
Karena
perhatian mereka tercurah kepada suara nyanyian dan kata-katanya itu, tentu
saja gerakan mereka menjadi kacau dan dengan demikian, keadaan langsung
membalik dan merekalah kini yang terdesak hebat oleh empat orang tokoh
Cin-ling-pai!
Pat-pi
Lo-sian terkejut bukan main pada waktu ujung lengan bajunya terbabat putus oleh
pedang di tangan Kwee Kin Ta.
"Jangan
dengarkan dia! Jangan dengarkan!" Dia memekik untuk memperingatkan
teman-temannya yang juga menjadi kacau dan terdesak hebat.
Akan tetapi
suaranya ini segera tenggelam ke dalam nyanyian Hong Khi Hoatsu, bahkan
teriakannya itu memakai nada nyanyian mengikuti irama nyanyian kekek sihir itu,
dan dia sendiri sama sekali tidak dapat melepaskan perhatiannya dari nyanyian
itu. Makin lama gerakan mereka makin kacau dan sekarang mulailah empat orang
tokoh kaum sesat itu menggerak-gerakkan bibir mengikuti nyanyian Hong Khi
Hoatsu!
Mereka mulai
ikut bernyanyi sungguh pun mereka masih berloncatan ke sana-sini untuk
menangkis mau pun menghindarkan diri mereka dari serangan-serangan musuh! Hong
Khi Hoatsu tiba-tiba menghentikan nyanyiannya dan... tertawa-tawa dan empat
orang itu pun ikut pula tertawa-tawa. Kakek ini lalu menangis dan mereka pun
ikut menangis!
Keadaan
keempat orang tokoh sesat itu kini terancam bahaya besar. Hong Khi Hoatsu
mengajak mereka bernyanyi-nyanyi pula dan empat orang itu sudah satu dua kali
terkena senjata lawan, meski pun tidak berbahaya namun cukup mengejutkan hati
mereka. Empat orang Bayangan Dewa itu sibuk sekali dan keringat dingin mulai
bercucuran di muka dan leher mereka. Mereka maklum bahwa keadaan mereka
berbahaya sekali dan celakanya, mereka tidak mampu melarikan diri karena mereka
‘terikat’ oleh suara nyanyian itu!
"Supek,
hantam mereka! Robohkan mereka. Bagus, tusuk mereka!" Lie Seng berteriak
sambil bersorak dan bergembira melihat betapa supek-supek-nya, yaitu para
suheng dari ibunya berhasil mendesak empat orang kakek yang tadi mengeroyok
kongkong-nya itu.
Karena
perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh Hong Khi Hoatsu, maka beberapa kali
empat orang tokoh sesat itu terguling dan tubuh mereka yang kebal sudah
mengalami hantaman dan serempetan senjata lawan. Tidak lama lagi empat orang
tokoh Cin-ling-pai itu tentu akan berhasil membalas dendam mereka.
"Hayo
serahkan kembali Siang-bhok-kiam dan menyerahlah kalian untuk kami
tangkap!" berkali-kali Kwee Kin Ta berseru sambil mendesak dengan
pedangnya. Orang tertua dari Cap-it Ho-han ini ingin sekali menyeret mereka
hidup-hidup ke depan suhu-nya dan juga untuk mendapatkan kembali
Siang-bhok-kiam yang mereka curi.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa melengking tinggi sekali. Suara melengking yang amat
menyeramkan, seperti bunyi tawa seorang wanita siluman atau bunyi seekor burung
hong yang terbang di atas rumah itu. Akan tetapi hebatnya, suara yang
melengking tinggi ini mengandung getaran tenaga khikang yang demikian kuatnya
hingga mampu menembus dan mengiris melalui benteng kekuatan sihir dari nyanyian
Hong Khi Hoatsu!
Kakek ahli
sihir ini terkejut sekali dan empat orang tokoh kaum sesat itu menjadi girang
karena baru sekarang mereka mampu membebaskan perhatian mereka dari nyanyian
kakek itu sehingga kelihaian mereka pulih lagi karena perhatian mereka kini
tercurahkan pada gerakan tubuh mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja
empat orang tokoh Cin-ling-pai menjadi berbalik terdesak hebat!
Melihat ini,
Hong Khi Hoatsu menjadi marah sekali dan dia cepat melompat keluar untuk
mencari pengganggu itu. Akan tetapi begitu sampai di luar ruangan, dia melihat
seorang wanita cantik berkelebat dari luar, karena itu cepat Hong Khi Hoatsu
telah menggerakkan kedua tangannya dan ujung lengan bajunya menotok ke arah
jalan darah dari bayangan wanita yang berkelebat di sampingnya itu.
"Plakk-plakk!"
Ujung lengan
baju itu dengan tepat mengenai pundak dan pinggang, tepat mengenai jalan darah,
akan tetapi anehnya, wanita itu sama sekali tidak menderita apa-apa seolah-olah
totokan itu hanya merupakan sentuhan-sentuhan halus saja, bahkan dia lalu
tertawa dan tanpa menghentikan langkahnya yang menuju ke ruangan pertempuran,
tangan kirinya berkelebat ke arah punggung Hong Khi Hoatsu.
"Plakkk!”
“Ahhhhh...!"
Hong Khi
Hoatsu terkejut bukan kepalang karena tamparan halus itu membuat seluruh tubuhnya
terasa kejang, lalu panas seperti dibakar dan tak dapat dipertahankannya lagi,
kakek ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!
"Sukong...!"
Lie Seng berlari dan menubruk kakeknya.
Ketika
melihat kakeknya rebah tak bergerak dengan mata meram, anak ini menangis dan
mendadak dia menjadi beringas, meloncat bangun lalu memandang kepada wanita
cantik itu dengan kedua tangannya yang kecil terkepal.
"Kau
jahat sekali...! Kau telah membunuh sukong-ku...!"
Dengan
gerakan silat yang cukup lincah dan baik, Lie Seng langsung meloncat dan cepat
menghantamkan kepalan tangannya ke arah perut wanita cantik itu. Walau pun
usianya baru dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil sekali anak ini telah
digembleng oleh ayah bundanya sehingga dia telah memiliki dasar latihan ilmu
silat yang murni dan tinggi, maka pukulannya pun bukan sembarangan dan teratur.
Melihat kelincahan ini, wanita cantik itu memandang kagum.
"Bagus...!"
katanya dan dengan mudah saja dia menangkap pergelangan tangan Lie Sang yang
memukulnya.
Sebelum Lie
Seng sempat menggerakkan tangannya yang kedua, wanita cantik itu sudah menepuk
tengkuknya dan anak ini roboh pula dengan seluruh tubuh lemas dan lumpuh.
Wanita cantik itu menoleh dan menonton pertempuran yang masih berlangsung
dengan mati-matian itu sambil tersenyum mengejek.
Sekarang
jelas tampak bahwa pertandingan itu berlangsung berat sebelah. Betapa pun
gagahnya empat orang tokoh Cin-ling-pai itu, mereka bukan tandingan empat
Bayangan Dewa yang kepandaiannya jauh lebih tinggi. Terutama sekali Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok yang sangat lihai, dengan mudah saja dia dapat mendesak
Kwee Kin Ta sehingga orang tua yang dahulu menjadi murid pertama kali ketua
Cin-ling-pai ini hanya mampu mempertahankan diri sambil mundur, gerakan
pedangnya makin menyempit.
Adik murid
pertama Cin-ling-pai ini, yaitu Kwee Kin Ci yang mainkan pedangnya dengan
pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya, juga kewalahan menghadapi Liok-te
Sin-mo Gu Lo It yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya sebagai senjata.
Biar pun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga
sinkang, maka kadang-kadang dapat menjadi lemas dan kadang-kadang menjadi kaku,
dan di sebelah lipatan dalam dari kedua ujung lengan baju itu dipasangi
potongan-potongan baja, maka sepasang lengan baju itu merupakan senjata yang
ampuh.
Louw Bu,
murid ketiga dari Cin-ling-pai, juga amat kerepotan dalam menghadapi Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang mempergunakan senjatanya berupa tasbih hijau.
Dia terdesak, bahkan sudah dua kali terkena hantaman tasbih di pundak dan
punggungnya, membuat gerakannya menjadi makin kacau dan lemah sungguh pun dia
masih melawan mati-matian dan sedikit pun tidak kelihatan gentar atau turun
semangat.
Un Siong Tek
sudah hampir roboh karena berkali-kali terkena sambaran pecut baja di tangan
Toat-beng-kauw Bu Sit. Namun dia menggigit bibir dan bertekad untuk melawan
sampai titik darah terakhir, pedangnya digenggam erat-erat dan dia mengeluarkan
seluruh kemampuannya, tidak mempedulikan rasa nyeri karena luka-lukanya yang
mengucurkan darah.
Yang membuat
empat orang murid Cin-ling-pai khawatir adalah ketika melihat munculnya wanita
cantik tidak mereka kenal dan telah merobohkan Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng.
Mereka lebih mengkhawatirkan nasib cucu dari suhu mereka itu dari pada terhadap
diri mereka sendiri. Hal ini membuat mereka melawan dengan nekat sehingga masih
mampu bertahan sampai puluhan jurus.
Namun
akhirnya, berturut-turut keempat orang gagah dari Cin-ling-pai ini roboh juga
dan lawan-lawan mereka tanpa banyak cakap lagi menyusul dengan pukulan-pukulan
maut sehingga menggeletaklah empat orang murid utama Cin-ling-pai itu tanpa
nyawa lagi di dalam ruangan rumah itu.
Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok teringat akan ulah kakek ini yang tadi hampir saja
membuat dia beserta tiga orang temannya celaka, maka tiba-tiba dia berseru
keras, pedang ular di tangannya terbang secepat kilat dan tahu-tahu telah
menancap di dada tubuh Hong Khi Hoatsu yang masih pingsan. Tentu saja kakek tua
ini tewas seketika tanpa sadar lagi.
Wanita itu
memandang semua kejadian itu tanpa bergerak, hanya tersenyum mengejek sambil
memandang Pat-pi Lo-sian mencabut kembali pedang ularnya dari tubuh Hong Khi
Hoatsu yang mandi darah. Akan tetapi ketika Pat-pi Lo-sian menghampiri tubuh
Lie Seng dan mengulurkan tangannya hendak menyambar tubuh anak itu, tiba-tiba
saja wanita itu menggerakkan tangan kirinya, dan serangkum hawa pukulan dahsyat
menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian!
Orang
pertama dari Lima Bayangan Dewa ini terkejut sekali, mengelak akan tetapi tetap
saja dia terdorong oleh hawa pukulan dahsyat itu dan merasa betapa dadanya
panas. Dia cepat mengerahkan sinkang untuk melawan dan sesudah dia mengatur
pernapasan baru serangan hawa panas itu menghilang.
Pat-pi
Lo-sian mengenal orang pandai dan mengingat bahwa berkat bantuan wanita ini dia
dan kawan-kawannya dapat keluar sebagai pemenang dalam pertempum itu, maka dia
berlaku hati-hati dan memandang dengan penuh perhatian. Ketika dia menatap wajah
yang cantik jelita dan tubuh yang ramping padat itu, dia merasa tidak pernah
bertemu dan tidak mengenal wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima
tahun ini. Akan tetapi ketika dia melihat burung hong kumala yang menjadi
penghias rambut wanita itu, dia pun menjadi terkejut sekali.
"Apakah
toanio dari Giok-hong-pang...?" Dia terkejut ketika teringat akan berita
bahwa ketua Giok-hong-pang yang telah mengalahkan Kwi-eng-pang dan kini
menduduki Telaga Setan, kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Sementara
itu, Toat-beng-kauw Bu Sit yang sudah pernah bertemu dengan In Hong dan
merasakan kelihaian dara cantik itu, juga terkejut sekali karena dia mengira
bahwa tentu kedatangan wanita cantik ini ada hubungannya dengan peristiwa yang
terjadi antara dia dan In Hong, yang agaknya adalah murid wanita ini. Karena
itu dia cepat-cepat menjura kepada wanita itu dan berkata,
"Toanio
tentulah ketua Giok-hong-pang yang tersohor itu. Apa bila benar demikian, kita
bukanlah orang-orang lain. Saya pernah berjumpa dengan nona Yap In Hong,
bukankah dia juga seorang tokoh Giok-hong-pang?"
Wanita itu
bukan lain adalah Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang. Mendengar
ucapan Bu Sit si laki-laki bermuka monyet itu, dia memandang tajam dan Bu Sit
berdebar tegang hatinya. Pandang mata wanita ini demikian tajam dan dingin,
jauh lebih dingin dari pandang mata nona In Hong yang amat lihai itu.
"Hemmm,
Yap In Hong adalah muridku."
Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok terkejut mendengar ini. Tidak keliru dugaannya, karena
dia pun sudah mendengar laporan Bu Sit tentang nona Yap In Hong. Cepat dia pun
menjura dan berkata, "Ahh, maafkan kami yang tidak mengenal toanio yang
ternyata masih amat muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang amat hebat.
Kami berterima kasih atas bantuan toanio tadi. Kami adalah..."
"Aku
sudah tahu bahwa kalian adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa yang
akhir-akhir ini namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw. Justru karena
kalian Lima Bayangan Dewa, maka aku datang ke sini untuk menjumpai kalian. Aku
juga mendengar bahwa kalian telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari
Cin-ling-pai, benarkah itu?"
Pat-pi
Lo-sian tertawa bangga. "Tidak banyak orang yang akan sanggup melakukan
itu, bukan? Ha-ha-ha, berita itu memang benar, toanio. Memang kami telah
merampas Siang-bhok-kiam dari tangan Cin-ling-pai."
"Bagus!
Nah, kau serahkan pedang itu kepadaku."
"Ahhh,
mana mungkin itu? Sebagai seorang pangcu (ketua) Toanio tentu maklum betapa
pentingnya pedang itu bagi kami. Kalau tidak penting, tentu kami tidak akan
merampas Siang-bhok-kiam."
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
"Hemm,
kalian mencurinya hanya untuk melampiaskan dendam kalian kepada Cia-taihiap
bukan? Sebaliknya aku menginginkan pedang itu karena aku mendengar bahwa pedang
itu adalah sebuah pusaka keramat yang ampuh. Jika tadi aku tidak datang, apakah
Lima Bayangan Dewa kini tidak hanya tinggal Satu Bayangan Dewa saja karena
kalian sudah menjadi Empat Bayangan Arwah? Hayo lekas kalian serahkan pedang
itu padaku sebagai imbalan pertolonganku tadi."
"Omitohud...
pangcu dari Giok-hong-pang terlalu tinggi hati! Pedang pusaka itu merupakan
lambang kemenangan kami atas Cin-ling-pai yang kami benci, mana bisa pedang itu
kami serahkan demikian saja kepada pangcu?" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok
Hosiang berkata sambil tersenyum lebar. "Pinceng (saya) Hok Hosiang tidak
bisa mentaati perintah orang yang tinggi hati, apa lagi bila perintah itu
datang dari seorang wanita muda seperti toanio."
Yo Bi Kiok
tersenyum, matanya yang berbentuk indah itu bersinar-sinar, lalu terdengar dia
berkata lirih, "Agaknya kalian masih memandang rendah kepadaku. Nah,
rasakanlah ini!"
Setelah
berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke arah hwesio gendut itu. Serangkum
hawa pukulan yang dingin sekali menyambar, membuat Hok Hosiang kaget setengah
mati dan dia cepat menggerakkan tasbih hijau di tangannya untuk menangkis.
"Rrriiikk...
desss...!"
Hok Hosiang
berteriak kaget, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Walau pun
jari tangan wanita itu tidak mengenai tubuhnya dan baru bertemu dengan
tasbihnya, namun tenaga mukjijat yang sangat kuat menyerangnya melalui
tasbihnya sendiri dan dia merasa betapa dadanya menjadi sesak. Hok Hosiang
memandang dengan kedua mata terbelalak, maklum bahwa wanita yang usianya hanya
setengah usianya lebih sedikit itu ternyata memiliki semacam sinkang yang amat
dahsyat.
"Toanio,
jangan sombong engkau!" Toat-beng-kauw Bu Sit yang merasa penasaran dan
menjadi besar hati karena mengandalkan banyak kawan sudah meloncat ke depan
lantas menggerakkan senjata joanpian-nya, yaitu pecut baja yang panjang dan
lemas.
"Tar-tar-tarrrr...!"
Pecut baja
itu melecut dan meledak-ledak di udara, lalu menyambar turun ke atas kepala Yo
Bi Kiok.
Akan tetapi
dengan tenang sekali Yo Bi Kiok miringkan kepalanya sedikit, tangan kirinya
bergerak dan seperti kilat cepatnya dia telah berhasil menangkap ujung cambuk
baja itu. Bu Sit mengerahkan tenaga untuk membetot lepas cambuk bajanya, akan
tetapi jepitan jari tangan yang kecil mungil pada ujung cambuk itu sama sekali
tidak dapat terlepas!
Harus
diketahui bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit adalah seorang tokoh sesat yang memiliki
ginkang kilat dan sinkang kuat, akan tetapi satu kali ini dia benar-benar harus
mengakui kekuatan mukjijat yang menjepit ujung cambuknya.
"Haiiiittttttt...!"
Mendadak Bu
Sit membentak dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi tiba-tiba sambil
tersenyum dingin Yo Bi Kiok melepaskan jepitan dari tangannya.
"Siuuuttt...
tarrr...!"
Untung
sekali Bu Sit cepat melepaskan gagang cambuknya, kalau tidak tentu mukanya akan
dihajar oleh lecutan ujung cambuknya sendiri. Pada waktu dia melihat dengan
muka pucat, ternyata di ujung cambuknya itu terdapat bekas-bekas jari tangan
wanita cantik itu, bergurat-gurat memperlihatkan garis-garis tangan halus,
seolah-olah ujung cambuk baja itu hanya terbuat dari tanah liat saja!
"Hebat
sekali engkau, pangcu!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke
depan, kedua ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu menyambar dari kanan
kiri ke arah kedua pelipis kepala Yo Bi Kiok.
"Hemmm,
pergilah kau!" Bi Kiok yang mulai menjadi marah itu membentak halus, kedua
tangannya menangkis ke kanan kiri kepalanya.
Gu Lo It
yang terkenal sebagai seorang tokoh yang bertenaga raksasa itu, menjadi girang
melihat lawannya berani menangkis ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu
dengan tangan kosong, maka dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga ujung
lengan bajunya itu akan mampu menghancurkan batu karang yang keras sekali pun.
Apa lagi hanya dua lengan tangan wanita yang berkulit halus itu!
"Plakk!
Plakk! Ehhh...!"
Liok-te
Sin-mo Gu Lo It terkejut sekali dan cepat dia menarik kedua lengannya sambil
meloncat mundur karena tadi begitu bertemu dengan kedua lengan wanita itu, dua
ujung lengan bajunya membalik dan tentu akan menghantam dadanya sendiri kalau
saja tidak dengan cepat dia menarik kembali lengannya. Ternyata bahwa lengan
yang kecil dan berkulit halus itu bukan hanya mampu menandingi ujung lengan
bajunya, bahkan mampu membuat kedua senjatanya itu membalik dan menyerang
dirinya sendiri.
Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Liok bukanlah seorang bodoh. Menyaksikan cara wanita itu tadi
menghadapi tiga orang temannya, dia sudah dapat mengukur bahwa kepandaian
wanita ini benar-benar sangat hebat dan belum tentu kalah olehnya. Dan dia pun
tahu bahwa wanita itu tidak berniat buruk kepada mereka, karena kalau demikian
halnya, tentu wanita itu telah menurunkan tangan mautnya kepada tiga orang
temannya tadi. Maka dia cepat menjura sambil berkata,
"Ternyata
bukan berita kosong belaka yang mengatakan bahwa ketua Giok-hong-pang memang
memiliki kepandaian yang amat hebat. Pangcu, kami merasa kagum sekali dan
mengingat akan kebaikan pangcu yang telah membantu kami tadi, agaknya untuk
urusan sebatang pedang kayu saja seyogyanya kami mengalah dan mempersembahkan
kepada pangcu sebagai tanda persahabatan. Akan tetapi sayangnya hal itu tidak
mungkin kami lakukan sekarang karena kami tidak membawa Siang-bhok-kiam itu
yang kami simpan di tempat rahasia agar tidak mudah dicari orang lain."
"Hemmm..."
Yo Bi Kiok mendengus kecewa, akan tetapi matanya memandang kepada mereka dan
dia tahu bahwa mereka tidak berbohong. Lalu dia melihat tubuh anak laki-laki
yang masih lemas tertotok olehnya tadi. " Tadi aku melihat kalian hendak
merampas dan menculik anak ini. Mengapa?"
Pat-pi
Lo-sian juga memandang kepada Lie Seng kemudian tersenyum. "Pangcu, urusan
dengan bocah ini adalah urusan kami pribadi, perlukah Pangcu mengetahui
pula?"
Wajah yang
cantik itu menjadi agak kemerahan meski pun pandang matanya tetap dingin tak
acuh.
"Tentu
saja. Perkelahian di sini adalah karena bocah ini, dan aku telah membantu
kalian maka sudah sepantasnya kalau aku mendengar pula mengapa kalian hendak
menangkap bocah ini."
Pat-pi
Lo-sian diam-diam merasa mendongkol sekali. Sebenarnya, walau pun tiga orang
temannya jelas bukan lawan wanita ini, akan tetapi dia sendiri belum tentu
kalah apa lagi kalau dibantu oleh tiga orang temannya itu. Hanya saja, pada
waktu ini Lima Bayangan Dewa sedang menghadapi ancaman pembalasan dari fihak
Cin-ling-pai yang merupakan hal berbahaya karena dia pun maklum akan kelihaian
dari ketua Cin-ling-pai, maka tidak semestinya bila dia menanam bibit
permusuhan dengan fihak lain. Apa lagi dengan fihak Giok-hong-pang yang amat
kuat pula.
Sebaliknya,
dia harus menarik semua fihak, terutama yang kuat, sebagai sahabatnya agar
dapat membantunya apa bila kelak dia terpaksa menghadapi ketua Cin-ling-pai.
Dia jeri menghadapi ketua Cin-ling-pai seorang diri bersama keempat orang
temannya saja. Baru murid-murid Cin-ling-pai tadi saja sudah sedemikian
tangguhnya, apa lagi gurunya! Dan wanita cantik ini pun memiliki ilmu
kepandaian yang mengerikan.
“Baiklah,
pangcu, kalau engkau ingin tahu. Bocah ini adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai,
dan kami hendak menangkapnya..."
"Hemmm,
apakah Lima Bayangan Dewa begitu penakut, tidak berani menghadapi ketua
Cin-ling-pai secara langsung melainkan mengganggu seorang bocah yang tidak tahu
apa pun?" Yo Bi Kiok mengejek.
Sungguh pun
wanita ini dahulunya murid seorang datuk kaum sesat kemudian dia sendiri karena
merasa sakit hati terhadap seorang laki-laki lalu menjadi seorang wanita
berdarah dingin yang amat kejam, akan tetapi dia sama sekali bukanlah golongan
sesat yang suka melakukan kejahatan umum. Satu-satunya sikap kejamnya hanya dia
tujukan pada kaum pria yang dianggapnya merupakan kaum yang hanya membikin
sengsara kaum wanita.
Sekarang
wajah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu menjadi merah dan kedua matanya
terbelalak dipenuhi rasa penasaran. "Pangcu dari Giok-hong-pang, kau
anggap kami ini orang-orang apa yang hendak mengganggu anak-anak?"
Teriaknya, akan tetapi segera dia teringat akan sikapnya. "Kami memang
bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai dan mengingat bahwa ketua Cin-ling-pai
memiliki banyak sekali sahabat dan pembantu-pembantu yang tentu akan
menyusahkan kami, maka kami hendak membawa cucunya ini sebagai sandera untuk
menantangnya supaya datang menghadapi kami seorang diri saja, agar di antara
dia dan kami dapat menyelesaikan segala perhitungan lama sampai beres. Jadi
kami tidak akan mengganggu anak ini, hanya untuk memaksa kakeknya untuk keluar
sendirian menghadapi kami."
Yo Bi Kiok
tersenyum, lalu tubuhnya bergerak, cepatnya amat mengejutkan hati empat orang
itu karena tahu-tahu bayangan wanita itu berkelebat dan sebelum mereka sempat
mencegah, Bi Kiok telah mengempit tubuh Lie Seng.
"Baguslah
kalau begitu, aku jadi tahu bahwa kalian sangat membutuhkan bocah ini. Nah,
kalian ambillah Sing-bhok-kiam, antarkan pedang itu ke Telaga Kwi-ouw dan di
sana aku akan menukar Siang-bhok-kiam dengan bocah ini!" Sesudah berkata
demikian, dengan sekali berkelebat saja Bi Kiok sudah lenyap dari dalam ruangan
itu, pergi membawa Lie Seng bersamanya.
Empat orang
tokoh sesat itu saling pandang dan muka mereka berubah, sebentar merah sebentar
pucat. Baru kali ini mereka merasa dihina dan dipandang rendah orang lain, apa
lagi yang memandang rendah mereka itu adalah seorang wanita muda cantik!
"Si
keparat...!" Pat-pi Lo-sian membanting kakinya. "Kalau saja tidak
ingat akan keadaan kita, sudah kuhancurkan kepala perempuan setan itu!"
"Dia
memang sombong sekali," kata Bu Sit yang juga merasa penasaran dan tadi
sudah dibikin malu. "Twako, mari kita kumpulkan kekuatan, ajak teman-teman
untuk menyerbu Giok-hong-pang, membasminya dan merampas kembali bocah
itu!"
Pat-pi
Lo-sian menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. "Betapa pun
juga, urusan dengan dia itu kecil sekali artinya kalau dibandingkan dengan
urusan kita terhadap ketua Cin-ling-pai. Tidak boleh melemahkan keadaan sendiri
karena urusan kecil sebelum urusan besar selesai. Kelak masih belum terlambat
bagi kita untuk menghajar perempuan sombong itu!"
"Habis,
apa yang akan kau lakukan, twako?" tanya pula Liok-te Sin-mo Gu Lo It
kepada temannya yang tertua itu.
"Tidak
ada jalan lain, sementara kita harus menyerahkan pedang itu kepadanya sebagai
penukar cucu ketua Cin-ling-pai itu," jawab yang ditanya.
"Ah,
akan tetapi hal itu akan merupakan tamparan bagi nama kita!" Hok Hosiang
berseru.
"Sam-te
(adik ketiga) jangan salah hitung, justru sebaliknya malah, dengan mengoperkan
pedang kayu yang tidak ada gunanya kepada wanita itu, berarti kita menambah
musuh bagi Cia Keng Hong dan menarik teman bagi fihak kita. Kita boleh siarkan
bahwa Siang-bhok-kiam telah kita berikan sebagai tanda persahabatan kepada
ketua Giok-Hong-pang, bukankah dengan begitu Cia Keng Hong akan mencari ke sana
dan memusuhinya pula? Anak itu lebih penting bagi kita, karena dengan adanya
anak itu kita dapat memaksa Cia Keng Hong untuk menyerah."
Keempat
orang dari Lima Bayangan Dewa itu lalu bergegas meninggalkan rumah yang kini
keadaannya amat mengerikan itu, di mana menggeletak mayat empat orang pertama
dari Cap-it Ho-han beserta mayat kakek Hong Khi Hoatsu. Dan kalau orang melihat
ke belakang rumah itu, di sana menggeletak pula mayat dua orang laki-laki dan
wanita tua, yaitu pelayan-pelayan rumah itu yang tadi sudah dibunuh terlebih
dulu oleh empat orang Bayangan Dewa.
***************
Dunia
dipenuhi dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia. Selama
sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama manusia bukan
makin baik, melainkan makin jahat. Permusuhan, kebencian, bunuh-membunuh dan
perang semakin memenuhi dunia.
Kenapa
demikian? Mengapa manusia selalu dirundung dendam, kebencian, permusuhan dan
kekerasan di sepanjang masa? Banyak sudah muncul orang-orang bijaksana yang
kemudian didewa-dewakan dan dipuja-puja, manusia-manusia yang menyebarkan
segala macam pelajaran bagi manusia agar manusia insyaf akan kejahatannya dan
kembali ke jalan benar. Namun agaknya semua itu kalau kita mau melihat
kenyataan sekarang ini, semua itu sia-sia belaka.
Semua orang
berbicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang dibicarakan itu hanya
merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya penuh kebencian terhadap
sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan dirinya. Seluruh dunia
berbicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan perang, akan tetapi
diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing negaranya dipupuk dan diperkuat!
Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan tetapi diam-diam dua tangan dikepal,
siap untuk melakukan kekerasan! Tidakkah demikian keadaan dunia semenjak dahulu
sampai sekarang?
Dunia
beserta keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan kita
semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai dunia menjadi macam sekarang ini,
di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati semua orang, di
mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang dijadikan sumber semua gerakan
manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling membela kebenaran sendiri
masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukanlah
kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan lebih banyak permusuhan lagi.
Kita selalu
menujukan mata dan telinga kita ke arah luar, mencari-cari segala yang dapat
menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita. Pengejaran
akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita sama sekali
tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita seperti apa
adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan dan cacat serta
kekotoran kita. Kita tak pernah menggunakan telinga untuk mendengarkan
bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri, dan tidak
mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin.
Hanya
penglihatan akan kenyataan mengenai keadaan diri kita yang kotor sajalah yang
akan mendatangkan perubahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya kalau
kita dapat melihat sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan pikiran kita,
maka kita akan mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan selalu
waspada. Kesadaran dan kewaspadaan akan kebencian yang mencengkeram kita inilah
yang akan melenyapkan kebencian itu sendiri, tanpa terdorong keinginan untuk
melenyapkannya, melainkan hanya mengamati dan mengerti sampai ke akar-akarnya.
Ada pun kekotoran orang lain hanya akan menambah kekotoran diri sendiri,
sebaliknya hanya dengan mengenal kekotoran diri sendiri maka akan terjadi
perubahan pada diri kita.
***************
Dengan
kecepatan seperti kijang yang sedang lari dikejar harimau, Yo Bi Kiok mengempit
tubuh Lie Seng dan menggunakan ilmu berlari cepat memasuki hutan di sepanjang
Sungai Huai di kaki Pegunungan Tapie-san setelah dia pergi meninggalkan kota
Sin-yang tempat tinggal Cia Giok Keng dan mendiang suaminya, Lie Kong Tek.
Seperti kita
ketahui, sesudah berhasil mengalahkan Kwi-eng-pang, Yo Bi Kiok membawa anak
buahnya menduduki Telaga Kwi-ouw dan menetap di tempat itu. Kemunculan wanita
ini sekarang adalah yang pertama kali selama dia menggembleng diri dengan
ilmu-ilmu dahsyat dan mukjijat yang didapatkannya dari bokor emas milik
Panglima The Hoo yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-ouw itu.
Yo Bi Kiok
sudah mendengar pula tentang peristiwa yang melanda Cin-ling-pai, tentang Lima
Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai, maka timbul keinginan hatinya
untuk memiliki pedang Siang-bhok-kiam itu yang dia pernah mendengar adalah
sebatang pedang kayu harum yang keramat dan merupakan pusaka yang pernah pula
menjadi pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia kang-ouw.
Lie Seng
adalah seorang anak laki-laki yang mempunyai dasar watak tabah dan tidak
mengenal takut. Watak ini dia warisi dari ibunya. Dia melihat sendiri tadi
betapa kakeknya tewas, juga empat orang tua yang dia ingat merupakan
murid-murid utama kongkong-nya di Cin-ling-pai itu pun tewas. Tentu saja dia
merasa ngeri dan berduka sekali, dan dia pun tahu bahwa dia kini terjatuh ke
tangan seorang wanita yang jahat dan kejam seperti iblis.
Akan tetapi
dia tidak merasa takut, dan selalu dia memutar otaknya untuk mencari akal
bagaimana cara dia akan dapat membebaskan dirinya dari wanita ini dan kalau
mungkin membalas kematian kakeknya yang demikian menyedihkan. Akan tetapi karena
dia tadi sudah dirobohkan dengan totokan, maka semua usahanya untuk memulihkan
tenaga di tubuhnya yang lemas itu sia-sia belaka.
Akhirnya dia
pun teringat akan pelajaran dari ibunya, yaitu pelajaran untuk menggunakan hawa
murni guna memperlancar jalan darahnya. Maka meski pun tubuhnya terasa lemas,
akan tetapi mulailah anak ini mengatur pernapasannya sambil memejamkan mata
ketika dia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh wanita itu.
Lebih satu
jam kemudian, dengan girang Lie Seng merasa betapa aliran darahnya yang
diperlancar oleh hawa murni itu berhasil menembus jalan darah yang tertotok.
Tak lama kemudian bebaslah dia dari totokan dan kaki tangannya dapat bergerak
kembali seperti biasa!
Pada saat
itu, Yo Bi Kiok yang tadinya mengempit tubuh anak itu, telah memindahkannya ke
atas pundak kirinya. Sekarang dia memanggul tubuh Lie Seng dan memegangi atau
merangkul kedua pahanya, membiarkan kepala anak itu di belakang punggungnya.
Lie Seng
yang kini sudah bebas dan dapat bergerak lagi tentu saja segera menggunakan
kebebasannya ini untuk meronta dan memberontak. Dia meronta, mengangkat
kepalanya dan mempergunakan kedua tangan menjambak rambut yang digelung indah
itu, lalu dia membuka mulut menggigit leher yang berkulit putih halus itu,
digigitnya sekuat tenaga!
"Aduhhh...aduhhhh...!"
Yo Bi Kiok menjerit dan merasa betapa seluruh tubuhnya panas dingin dan
menggigil, semua bulu tubuhnya berdiri meremang dan dengan gerakan kuat dia
menggoyang tubuh sehingga jambakan serta gigitan Lie Seng terlepas dan anak itu
terlempar dan terjatuh ke atas tanah.
Bi Kiok
meraba lehernya dan tangannya berdarah. Dia memandang dengan mata berkilat
kepada anak itu yang sudah merangkak bangun. Sedikit luka di lehernya tidak ada
artinya bagi Yo Bi Kiok, akan tetapi yang membuat hatinya seperti disayat-sayat
rasanya adalah mengingat betapa hidung dan bibir anak laki-laki itu sudah
mencium kulit lehernya! Dia seolah-olah merasa dinodai, diperkosa dan dikotori!
"Keparat,
biar pun engkau masih bocah, ternyata engkau juga seorang laki-laki yang hina
dan kotor!" bentaknya dan dia menggerakkan tangan kiri dan kanan.
"Plak-plak-plakkk!"
Bertubi-tubi
kedua telapak tangannya menampar muka Lie Seng. Bocah ini melawan dan berusaha
menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja telapak tangan itu hinggap di
kedua pipinya dengan tepat dan keras.
Tentu saja
Bi Kiok tidak mempergunakan tenaga sinkang, karena kalau demikian halnya,
ditampar satu kali saja sudah cukup untuk membikin hancur kepala bocah itu. Dia
hanya mempergunakan tenaga kasar biasa saja, akan tetapi justru ini malah lebih
menyiksa bagi Lie Seng karena mukanya kini menjadi bengkak-bengkak dan matang
biru! Kedua pipinya menjadi bengkak sehingga hampir menutupi matanya.
Bocah itu
akhirnya roboh terguling. Matanya dikejap-kejapkan karena pandang matanya
berkunang dan melihat ribuan bintang menari-nari, kepalanya amat pening dan
telinganya mendengar suara berdengung. Mukanya terasa seperti dibakar, panas
dan nyeri.
Walau pun
sudah menampari muka anak itu, Bi Kiok masih belum reda kemarahannya. Selama
hidupnya, dia hanya pernah mencinta pria satu kali saja, yaitu kepada Yap Kun
Liong yang ternyata tidak membalas cinta kasihnya. Kerena patah hati, dia
membenci kaum pria, apa lagi di dalam perantauannya dia menyaksikan betapa
kejam dan jahatnya kaum pria terhadap wanita, membuat kebenciannya makin
menghebat.
Belum lama
ini, dia berjumpa kembali dengan Kun Liong dan cintanya kambuh, bahkan makin
hangat. Akan tetapi tetap saja Kun Liong tidak mau menyambut uluran hatinya dan
hal ini sangat menyakitkan hati Bi Kiok. Selama hidupnya, baru Kun Liong
seorang yang menjadi satu-satunya pria yang pernah menjamahnya, biar pun hanya
bersifat cumbuan biasa saja.
Akan tetapi
sekarang, anak laki-laki ini telah... mencium lehernya! Peristiwa itu membuat
jantungnya berdebar hampir meledak rasanya, membangkitkan semua gairah
terpendam dan karenanya membuat dia marah seperti gila.
"Kau...
kau calon pria terkutuk... kau berani menghinaku, ya?"
"Dan
kau wanita iblis!" Lie Seng balas memaki sambil membuka matanya yang
menjadi sipit karena kedua pipinya bengkak. Sedikit pun dia tidak merasa takut
dan sungguh pun kepalanya seperti berputar rasanya, serta mukanya nyeri sekali
seperti akan pecah, dia tidak sudi mengeluh di depan wanita penyiksanya ini.
"Kau
bocah kurang ajar! Hendak kulihat, setelah nanti kutotok dua jalan darahmu,
apakah engkau tidak akan menjerit-jerit dan menangis minta ampun
kepadaku!"
"Iblis
betina! Siapa sudi minta ampun kepadamu? Bunuhlah, aku tidak takut dan sampai
mampus aku tidak akan sudi minta ampun padamu!" Lie Seng menantang dan dia
sudah bangkit berdiri mengepal dua buah tinjunya dan siap melawan mati-matian.
Biar pun dia
tahu bahwa yang membunuh empat orang supek-supek-nya dan sukong-nya adalah
empat orang Bayangan Dewa musuh besar Cin-ling-pai itu dan bukan langsung oleh
tangan wanita ini, akan tetapi dia menimpakan kematian mereka kepada wanita
itu. Tadi empat orang supek-nya, dibantu oleh sukong-nya, sudah hampir menang.
Kemudian wanita inilah yang merubah keadaan hingga mengakibatkan kekalahan dan
kematian lima orang itu, maka bagi dia, yang membunuh mereka adalah wanita inilah!
"Bocah
laknat! Kalau tidak ingin menukarmu dengan Siang-bhok-kiam, sudah kubunuh
kau!"
Akan tetapi,
dengan keberanian luar biasa Lie Seng sudah meloncat ke depan kemudian
menyerang dengan sekuat tenaga. Menghadapi pukulan-pukulan anak ini, tentu saja
Yo Bi Kiok tidak mau memandang sebelah mata dan dia mengerahkan perut dan
dadanya yang terpukul itu dengan diisi tenaga sinkang dengan maksud untuk
membuat sepasang kepalan tangan itu patah-patah tulangnya.
"Plakk!
Bukkk!"
Dua kali
pukulan anak itu mengenai perut dan ulu hati Bi Kiok dan wanita ini berteriak
kaget.
"Aihhhhh...!"
Dia
terhuyung ke belakang, mukanya pucat bukan main dan matanya terbelalak.
Ternyata bahwa ketika dia tadi mengerahkan tenaganya, secara mendadak tenaganya
itu molos kembali dan lenyap sehingga perut dan ulu hatinya kena dipukul oleh
sepasang kepalan tangan Lie Seng! Tidak hebat sekali, akan tetapi tentu saja
cukup terasa olehnya. Yang membuat dia heran adalah mengapa tenaganya tiba-tiba
menjadi lenyap?
"Akan
kubunuh kau...!" Lie Seng yang girang melihat pukulannya berhasil itu lalu
meloncat dan menyerang lagi.
Biar pun
usianya baru dua belas tahun, akan tetapi tingginya sudah hampir sama dengan Bi
Kiok, setinggi leher wanita itu. Maka kini kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka menampar ke arah leher dan pipi. Kembali Bi Kiok hendak menerima
tamparan itu dan sekaligus menyampok pergelangan tangan Lie Seng agar patah
tulangnya.
"Plak!
Plak! Aihhh...!"
Kembali Bi
Kiok terkena tamparan sampai pipi dan lehernya terasa pedas. Dia terbelalak dan
cepat memandang ke kanan kiri dengan muka pucat sekali. Kembali dia tidak
berhasil mengerahkan sinkang, bahkan hebatnya, pada waktu dia menggerakkan
tangan hendak mematahkan pergelangan tangan Lie Seng, secara tiba-tiba saja
tangannya tidak dapat digerakkan dan dia merasa ada hawa menyambar dari kiri.
"Keparat...!"
Dia berteriak keras dan cepat membalikkan tubuhnya ke kiri akan tetapi tidak
ada orang di situ.
Lie Seng
sudah menyeruduk maju lagi, sekarang anak itu menggunakan kepalanya untuk
menyeruduk perut lawannya. Bi Kiok yang masih kebingungan itu melihat serangan
ini, menjadi marah dan ingin menyambut dengan hantaman maut. Maka, sesudah Lie
Seng menyeruduk dekat, dia hendak menggerakkan tangan menghantam.
Akan tetapi
dari belakang dia merasa ada hawa aneh menyambar, dan... dua tangannya sama
sekali tidak dapat dia gerakkan. Sementara itu, kepala anak itu sudah menyentuh
perutnya. Dia mengerahkan sinkang untuk menghancurkan kepala anak itu.
"Desssss...!"
Bi Kiok
terjengkang roboh! Seperti juga tadi, tenaga sinkang-nya bagai molos dan lenyap
sehingga dia menjadi seperti seorang wanita lemah biasa saja, maka tentu saja
dia tidak dapat menahan serudukan Lie Seng yang marah dan membuat dia
terjengkang.
"Ehhhh...!"
Bi Kiok
meloncat dan menjauhi Lie Seng, segera mencabut sepasang pedang pendeknya. Dia
yakin benar bahwa tentu ada seorang lihai yang mempermainkannya. Dia menengok
ke kanan kiri akan tetapi seperti juga tadi, tidak nampak bayangan seorang pun.
Bulu
tengkuknya meremang. Dengan kepandaiannya yang tinggi itu bagaimana mungkin dia
bisa dipermainkan orang seperti itu? Apakah siluman yang telah
mempermainkannya? Kalau manusia tidak mungkin! Mencari orang yang akan mampu
mengalahkannya saja sudah sukar didapat, apa lagi yang dapat mempermainkan
seperti itu. Tentu iblis sendiri!
"Cuattt...
cuattt...!"
Dua sinar
terang berkelebat ketika wanita yang marah sekali ini melemparkan dua batang
hui-to (pisau terbang), yaitu sepasang pedang pendeknya itu ke arah tubuh Lie
Seng. Dua batang senjata runcing itu meluncur bagaikan kilat menyambar,
mengarah ulu hati dan pusar anak itu.
Lie Seng
berdiri seperti terpaku melihat berkelebatnya sinar-sinar cemerlang itu, dia
tidak tahu harus berbuat apa. Dia masih terlalu kecil dan kepandaiannya masih
terlalu dangkal untuk dapat menghadapi serangan maut yang amat berbahaya ini,
serangan yang belum tentu dapat dihindarkan oleh seorang tokoh kang-ouw sekali
pun! Agaknya sudah dapat dipastikan bahwa dua batang pedang pendek itu akan
menembus tubuh anak itu dan akan mencabut nyawanya seketika.
"Tranggg...!
Trakkk!"
Tiba-tiba
dua berkas sinar pedang itu menyeleweng dan dua batang pedang pendek itu runtuh
ke atas tanah di hadapan kaki Lie Seng, yang sebatang menancap ke atas tanah,
sedangkan pedang kedua telah patah menjadi dua potong....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment