Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 14
MELIHAT
betapa yang menyambar dua batang pedangnya itu hanya dua buah batu kecil, Bi
Kiok hampir tidak dapat percaya dan dia sudah menjadi marah bukan main ketika
melihat munculnya seorang laki-laki tua sekali yang berkepala gundul dan
memakai jubah warna merah. Seorang pendeta Lama berjubah merah yang muncul dari
belakang pohon sambil tertawa-tawa aneh dan matanya memandang liar berputaran,
mata seorang yang jelas tidak waras alias miring otaknya!
"Pendeta
gila, engkau berani main gila kepadaku?" bentak Bi Kiok sambil melompat ke
depan.
Wanita ini
biar pun telah menemukan warisan ilmu yang hebat-hebat dan telah menjadi
seorang yang sukar ditemukan tandingannya, namun dia masih terlalu muda dan
kurang pengalaman sehingga tidak mau melihat kenyataan bahwa di dunia ini
terdapat banyak sekali orang pandai, jauh lebih pandai dari pada dirinya
sendiri. Dengan kemarahan hebat kedua tangannya bergerak, maka menyambarlah
sinar hijau yang berbau harum ke arah kakek gundul itu. Itulah Siang-tok-swa
(Pasir Beracun Harum) yang sangat berbisa dan berbahaya sekali.
Bi Kiok
terbelalak memandang betapa senjata rahasianya yang berupa pasir itu
jelas-jelas mengenai tubuh dan bahkan leher serta muka kakek itu, akan tetapi
yang terkena senjata rahasianya itu agaknya sama sekali tidak merasakan apa
pun. Jangankan keracunan, bahkan sedikit pun tidak meninggalkan bekasnya. Kakek
itu masih terus tertawa-tawa dan berkata kepada Lie Seng, suaranya besar parau,
logatnya kaku seperti lidah asing.
"Anak
baik, kenapa mukamu yang tampan menjadi bengkak-bengkak?"
Lie Seng
yang masih kecil itu sudah sering kali melihat orang-orang tua yang amat lihai,
bahkan kakeknya sendiri adalah ketua Cin-ling-pai yang sakti. Dia pun sering
mendengar cerita ayah bundanya tentang orang-orang pandai.
Tadi pun
saat beberapa kali dia berhasil menghantam wanita itu, dia sudah merasa amat
heran, kemudian melihat pisau terbang yang mengancam nyawanya terpukul runtuh
lalu muncul seorang kakek gundul, dia sudah menduga bahwa ada orang pandai yang
telah menolongnya dan penolong itu tentu bukan lain kakek gundul itu yang
mempunyaii ilmu kepandaian luar biasa. Maka dia lalu menjawab, suaranya
lantang,
"Locianpwe,
mukaku dipukuli oleh perempuan iblis ini!"
Ketika kakek
gundul ini yang bukan lain adalah Kok Beng Lama, datang bersama Kun Liong ke
Sin-yang dan memaksa Cia Giok Keng ikut dengannya ke Cin-ling-pai, Lie Seng
masih berada di rumahnya sehingga dia tidak pernah bertemu dengan Kok Beng
Lama. Andai kata ketika itu dia melihat pendeta ini, tentu sekarang akan lain
lagi sikapnya.
"Ha-ha-ha,
orang memukul satu kali harus dibalas sepuluh kali! Tadi kau baru membalas tiga
kali, masih kurang tujuh kali lagi. Hayo kau pukullah dia tujuh kali dan karena
tadi dia memukul mukamu, sekarang kau pun harus membalas memukul mukanya!"
Lie Seng
merasa gembira sekali. Kini dia merasa yakin bahwa tentu berkat pertolongan
hwesio jubah merah inilah, maka dia tadi berhasil memukul dua kali dan
menyeruduk satu kali yang sama sekali tidak dapat ditangkis atau dielakkan oleh
wanita lihai itu.
"Baik,
aku akan membalasnya sampai puas!" teriak Lie Seng dan dia sudah meloncat
ke depan dan menerjang ke arah Yo Bi Kiok dengan pukulan-pukulan kedua
tangannya ke arah kedua pipi wanita itu.
Tentu saja
Bi Kiok menjadi marah bukan main. Mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah
sekali. Mana mungkin dia membiarkan dirinya dihina orang sedemikian rupa. Dia
mengerahkan sinkang-nya dan siap menghadapi serangan anak itu.
Akan tetapi
ketika dia menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua tangan
dan hawa pukulan yang luar biasa sekali menyerangnya dari arah kakek itu. Dia
masih berusaha untuk mengelak, namun sia-sia belaka karena entah bagaimana
caranya, sepasang tangan dan kakinya sudah menjadi kaku dan dia tidak mampu
menggerakkan sinkang-nya lagi.
Tentu saja
dia tidak mampu mengelak mau pun menangkis ketika kedua tangan Lie Seng
menghantam dan menampari kedua pipinya. Terdengar suara plak-plok-plak-plok
ketika kedua pipinya yang berkulit halus kemerahan itu menerima
tamparan-tamparan Lie Seng yang marah itu sehingga kedua pipiya menjadi merah
sekali dan agak bengkak-bengkak! Hal ini adalah karena Bi Kiok sama sekali
tidak mampu mengerahkan tenaganya maka dia tiada ubahnya seorang wanita biasa
yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.
"Satu...!
Dua...! Tiga...! Empat...!" Kakek gundul itu menghitung sambil
tertawa-tawa.
"Enam...!
Tujuh...! Cukup sudah...!" Lie Seng merasa puas sekali dan dia melihat ke
arah muka yang sekarang pipinya menjadi merah-merah dan agak bengkak itu dengan
senyum mengejek.
Bi Kiok juga
merasa betapa tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak lagi. Dapat dibayangkan betapa
marah dan malu rasa hatinya. Dia telah mengalami penghinaan yang amat hebat!
Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa takut biar pun dia kini tahu betul
bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang kepandaiannya luar biasa sekali.
Dengan kemarahan yang meluap-luap dia lalu mencabut pedangnya.
"Singgggg...!"
Tampak sinar
terang seperti kilat menyilaukan mata pada saat pedang itu dicabut. Itulah
pedang Lui-kong-kiam (Pedang Halilintar) yang dulu dirampasnya dari tangan
mendiang Liong Bu Kong, putera dari Kwi-eng Niocu yang tewas di tangannya dan
yang dirampas pedangnya. Sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali.
"Pendeta
iblis, mampuslah kau!" bentaknya dan pedangnya cepat digerakkan, dia sudah
menyerang dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari kitab pusaka yang
ditemukannya berkat perantaraan bokor emas.
Melihat
serangan ini, Kok Beng Lama merasa terkejut juga karena dia mengenal ilmu
pedang yang amat hebat, sama sekali tidak boleh dipandang ringan, apa lagi
karena ilmu yang hebat itu dimainkan dengan sebatang pedang pusaka yang ampuh.
Karena wanita itu sekarang sudah waspada dan sudah menjaga diri, dia tidak lagi
dapat menguasainya dengan serangan jarak jauh dan kalau dia tidak membela diri,
dia bisa celaka oleh sinar pedang yang hebat itu.
Akan tetapi,
kakek ini memang sudah memiliki kepandaian yang sakti dan tidak lumrah manusia,
dan kedua lengan tangannya sudah digembleng sedemikian hebatnya sehingga lengan
yang terdiri dari kulit daging dan tulang itu dapat menandingi pedang atau
senjata tajam yang bagaimana hebat pun!
Betapa pun
juga, Kok Beng Lama yang kelihatannya seperti tidak waras otaknya itu, kini
mengelak dan menggunakan ujung lengan bajunya untuk balas menotok dan sekali
kedua ujung lengan bajunya menyambar, dia sudah melakukan tiga belas kali
totokan ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya, dilakukan
secara berturut-turut dan bertubi-tubi sehingga Bi Kiok menjadi terkejut dan
kagum sekali.
Akan tetapi,
setelah kini dia mencurahkan perhatian serta mengeluarkan kepandaiannya, wanita
ini pun mampu menghindarkan semua totokan itu. Bahkan dengan satu teriakan
panjang melengking, tubuhnya lalu melayang seperti seekor burung walet,
didahului sinar pedang bagaikan kilat menyambar yang bergulung-gulung dan
berputaran ke arah tubuh kakek itu.
Kok Beng
Lama masih sempat mengelak, akan tetapi pada saat itu pula Bi Kiok sudah
menggerakkan tangan kiri dan serangkum sinar hijau melayang ke arah Lie Seng.
"Wanita
kejam, kau boleh juga!" Kok Beng Lama berseru dan kini dia menubruk, kedua
lengan bajunya bergerak berputaran seperti kitiran besar tertiup angin.
Bi Kiok
berusaha untuk menjatuhkan diri sambil memutar pedang, akan tetapi pedangnya
terpental pada saat tersampok ujung lengan baju dan dia menjerit kecil ketika
pundaknya keserempet ujung lengan baju lawan yang mendatangkan rasa nyeri bukan
kepalang. Dia meloncat tinggi dan jauh terus melarikan diri.
Kok Beng
Lama hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar rintihan seorang anak. Dia
berhenti dan menengok, lalu cepat menghampiri Lie Seng yang sudah roboh
terlentang dengan muka berubah kehijauan. Anak ini sudah terkena sambaran
Siang-tok-swa, yaitu pasir beracun yang amat jahat itu, tepat pada muka, leher
dan dadanya! Tentu saja dia menjadi pingsan seketika, keracunan dan napasnya
menjadi empas-empis!
"Ahhh,
celaka...!" Kok Beng Lama menyambar tubuh anak itu, dipondongnya dan dia
lalu mengamuk. Pohon-pohon roboh ditendang dan dicabutnya, batu-batu besar
hancur oleh pukulan dan tendangannya, kemudian dia berlari cepat laksana
terbang membawa tubuh Lie Seng.
Yo Bi Kiok
yang cerdik, sesudah meloncat jauh segera bersembunyi karena dia maklum bahwa
bila kakek gundul yang lihai seperti iblis itu mengejarnya tentu dia takkan
mampu melarikan diri. Dari tempat persembunyiannya dia melihat betapa kakek itu
memondong Lie Seng sambil mengamuk. Bergidik dia menyaksikan amukan kakek itu.
Selama
hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang yang ilmu kepandaiannya
sehebat itu. Kalau dibandingkan dengan lima datuk kaum sesat di waktu dahulu,
biar pun mereka itu juga amat hebat kepandaiannya dan seorang di antara mereka
adalah gurunya sendiri, Bu Leng Ci, maka kepandaian lima datuk itu masih kalah
jauh oleh kakek gundul yang luar biasa dan yang seperti orang gila ini.
Sesudah kakek
itu pergi jauh dan terdengar suara tangisnya yang aneh sampai suara itu pun
menghilang, barulah Bi Kiok berani keluar dan pergi dari tempat itu dengan hati
masih merasa seram.
***************
Lembah Bunga
Merah terbentang di lereng Pegunungan Kui-kok-san. Pemandangan alam di tempat
itu mentakjubkan sekali. Apa lagi di musim semi, di waktu bunga-bunga kecil
merah yang memenuhi lembah itu berkembang. Dipandang dari tempat yang lebih
tinggi, lembah itu seolah-olah diselimuti permadani merah yang halus dan rata.
Bahkan di waktu tidak ada bunga, lembah itu nampak kehijauan dan daun-daun,
pohon dan rumput, seperti lautan yang tenang.
Akan tetapi
sungguh sayang sekali, keindahan alam itu yang semestinya menarik minat banyak
orang untuk mengunjungi dan menikmatinya, dirusak oleh nama seseorang yang
menimbulkan perasaan jeri sehingga tidak ada orang yang berani mendekati tempat
yang disebut Lembah Bunga Merah itu. Orang ini adalah datuk kaum sesat, wanita
iblis yang berjuluk Hui-giakang (Si Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim!
Semenjak
beberapa tahun yang lalu, setelah wanita iblis ini tinggal di tempat itu, dia
lalu menganggap lembah itu seolah-olah miliknya pribadi kemudian mengusiri para
penduduk di sekitar lembah, bahkan mempergunakan kekerasan terhadap siapa saja
yang berani mendekati tempat itu, mengandalkan kepandaiannya yang tinggi.
Karena banyak orang yang mencoba melawannya mati dengan sia-sia, maka
terkenallah dia sebagai seorang iblis betina yang ditakuti dan nama Lembah
Bunga Merah yang tadinya merupakan nama yang menimbulkan kesan indah, kini
berubah sebagai tempat yang mendatangkan rasa ngeri dan takut.
Akan tetapi
tempat itu tidaklah sepi, meski pun tidak ada lagi penduduk yang terdiri dari
rakyat biasa, karena Hui-giakang Ciok Lee Kim menempati daerah itu bersama dua
orang murid wanita beserta tiga puluh anak buahnya laki-laki dan perempuan yang
kesemuanya juga merupakan anak murid, pelayan dan pasukan. Para anak buah ini
yang mengadakan hubungan dengan orang luar untuk mencukupi keperluan mereka dan
sepak terjang para anak buah yang mengandalkan nama besar Hui-giakang inilah
membuat nama Lembah Bunga Merah ditakuti.
Para
pembesar dari tempat-tempat yang berdekatan dengan Lembah Bunga Merah tidak ada
yang menentang Si Kelabang Terbang itu, bahkan seakan-akan ‘melindungi’ karena
sangat banyak emas dan perak yang beterbangan ke dalam saku mereka dari lembah
itu sehingga Hui-giakang Ciok Lee Kim serta anak buahnya dianggap sebagai
warga-warga yang baik dan dermawan.
Hal seperti
ini terjadi di seluruh negeri, bahkan di seluruh dunia pun mengenal keadaan
seperti itu, betapa dengan kekuasaan uang manusia dapat membeli kedudukan, nama
baik, dan sebagainya. Hal seperti ini pasti terjadi di mana pun juga di dunia
ini selama kita menilai kebaikan dan kejahatan berdasarkan untung rugi bagi
diri sendiri. Yang merugikan kita, kita anggap jahat dan yang menguntungkan
kita, kita anggap baik. Maka terjadilah sogok-menyogok, suap-menyuap dan karena
menguntungkan dirinya, maka si penyogok tentu dianggap baik oleh yang menerima
sogokan.
Semenjak
Lima Bayangan Dewa dengan berani menentang Cin-ling-pai, Lembah Bunga Merah
selalu dijaga dengan ketat oleh anak buah Ciok Lee Kim karena seperti
diketahui, wanita ini merupakan orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Oleh
karena itu ketika Kiam-mo Liok Sun dan Bun Houw memasuki daerah lembah ini,
mereka berdua segera dihadang dan dikepung oleh belasan orang anak-anak buah
Lembah Bunga Merah yang bersikap bengis dan memegang senjata tajam di tangan
masing-masing.
Akan tetapi
Kiam-mo Liok Sun mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan sikap tenang,
"Harap para sobat jangan salah mengenal orang. Aku adalah Kiam-mo Liok
Sun, sahabat baik dari majikan kalian. Dari pada terjadi salah paham dan kalian
nanti ditegur oleh Hui-giakang, lebih baik kalian mengantar kami pergi
menghadap Ciok-toanio (nyonya besar Ciok)."
Melihat
sikap dan mendengar ucapan Liok Sun, dan pula melihat bahwa mereka hanya
terdiri dari dua orang saja, para anak buah Lembah Bunga Merah memandang
rendah, lalu mengiringi kedua orang ini ke tengah lembah di mana terdapat
bangunan-bangunan perkampungan yang menjadi tempat tinggal mereka.
Legalah hati
para anak buah itu ketika mereka melihat pemimpin mereka keluar sendiri
menyambut dua orang tamu itu. Mereka bubaran mengundurkan diri ketika Ciok Lee
Kim, wanita berusia lima puluh tahun yang masih cantik dan pesolek itu,
menyambut sendiri kedatangan Kiam-mo Liok Sun dengan senyum lebar, kemudian
melihat wanita itu sambil menggandeng tangan Liok Sun yang diiringkan Bun Houw
memasuki rumah besar itu.
"Ahaii!
Ternyata si setan judi yang datang!" Hui-giakang Ciok Lee Kim tersenyum
lebar memperlihatkan deretan gigi yang terawat rapi, dan matanya jalang
menyambar ke arah pemuda tampan di belakang sobatnya itu. "Angin apa yang
meniupmu terbang sampai ke sini, orang she Liok?" tanya wanita itu sambil
menggandeng tangan tamunya.
"Sengaja
aku datang mencarimu untuk menghaturkan terima kasih, toanio, karena berkat
pertolonganmu dahulu, aku telah berhasil membalas dendam dan membunuh si keparat
Phang Un dan isteriku yang tidak setia!"
"Aihh,
di antara kita mana perlu terima kasih? Aku senang sekali kau datang, dan
ini... siapakah pemuda ini?"
"Ahh,
ini adalah pembantuku yang baru, tangan kananku. Dia she Bun bernama
Houw."
Hui-giakang
Ciok Lee Kim memandang Bun Houw yang menjura kepadanya dari atas ke bawah
dengan sinar mata kagum. "Hemmm, jadi dia pengawalmu, ya? Begini muda
telah kau percaya menjadi pengawalmu, tentu hebat dia! Dan tepat sekali dengan
namanya. Engkau gagah seperti harimau (houw), orang muda!"
Wajah pemuda
ini menjadi merah sekali dan dia menjura sambil berkata, "Toanio terlalu
memuji."
Ciok Lee Kim
tertawa terkekeh senang, menyangka bahwa pemuda itu masih hijau dan wajahnya
memerah madu karena pujiannya. Kalau saja dia tahu bahwa merahnya wajah pemuda
itu sama sekali bukan karena ‘malu-malu’, melainkan karena kemarahan yang naik
ke atas kepala melihat seorang di antara musuh besar Cin-ling-pai di depannya!
Jika
menurutkan perasaan hatinya, ingin Bun Houw seketika menyerang dan membunuh
wanita yang menjadi seorang di antara musuh-musuh besar yang telah mencuri
pedang Siang-bhok-kiam serta membunuh murid-murid Cin-ling-pai ini. Akan
tetapi, pemuda ini cukup cerdas dan dia tidak mau manuruti nafsu kemarahannya
karena dia ingin lebih dulu menyelidiki mengenai empat orang musuh yang lain,
dan juga tentang di mana adanya pedang pusaka ayahnya yang mereka curi. Maka
dia berlaku sabar dan mengikuti Liok Sun dan Ciok Lee Kim.
"Liok
Sun, kebetulan sekali kau datang. Aku pun sedang menjamu tamu-tamu agung ketika
anak buahku melaporkan kedatanganmu. Mari, mari kalian kuperkenalkan dengan
tamu-tamuku, orang-orang yang pada waktu ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar
dunia persilatan."
Liok Sun
mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang bahwa kedatangannya menemui bekas
kekasihnya ini akan terganggu oleh tamu-tamu lain.
"Siapakah
mereka itu?" tanyanya, tidak tahu bahwa diam-diam pemuda di belakangnya
menaruh perhatian besar dengan hati tegang.
"Marilah,
kalian ikut saja dan melihat sendiri!" Wanita itu terkekeh bangga.
Mereka
memasuki ruangan yang lebar di sebelah dalam rumah. Di tengah ruangan itu
terdapat sebuah meja yang besar dan penuh dengan hidangan, dan empat orang
duduk mengelilingi meja itu. Ketika Ciok Lee Kim memperkenalkan Liok Sun kepada
para tamu itu sambil tertawa, dengan sikap hormat Bun Houw memandang dengan
penuh perhatian.
Sambil
menggandeng tangan Liok Sun yang ditariknya ke dekat meja, wanita itu berkata
kepada empat orang tamunya itu, "Dia ini adalah sahabat baik saya, Kiam-mo
Liok Sun, majikan dari Hok-po-koan di kota Kiang-shi!"
"Aihhh,
Ciok-toanio, dengan pengetahuanku yang rendah ini, mana berani saya disebut
Kiam-mo (Setan Pedang)?" Liok Sun membantah ketika melihat bahwa empat
orang itu, terdiri dari seorang setengah tua, dua orang kakek tua dan seorang
lagi nenek tua yang semuanya kelihatan sebagai orang-orang yang luar biasa,
agaknya memandang rendah karena mereka membalas penghormatan Liok Sun tanpa
berdiri dari kursi masing-masing.
"Liok
Sun, dia ini adalah Hwa Hwa Cinjin, ini adalah Hek I Siankouw, dan locianpwe
itu adalah Bouw Thaisu, tiga orang tua yang merupakan datuk-datuk persilatan
dengan ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingan. Dan dia ini adalah
Toat-beng-kauw Bu Sit yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia
kang-ouw." Dengan suara penuh kebanggaan akan kehebatan para tamunya,
wanita itu memperkenalkan.
Liok Sun
terkejut dan cepat menjura lagi. Bun Houw bahkan lebih terkejut lagi, terutama
sekali saat mendengar disebutnya nama Toat-beng-kauw Bu Sit yang tentu saja dia
kenal sebagai nama orang kelima dari Bayangan Dewa yang berjumlah lima orang
itu! Dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berdiri di depannya dua orang! Sungguh
merupakan hal yang amat kebetulan sekali!
Akan tetapi
dia tetap menahan sabar. Kalau dia turun tangan dan andai kata dia berhasil
membunuh dua orang musuh ini, masih ada tiga orang lainnya yang belum dia
ketahui di mana tempat tinggalnya, apa lagi dia pun masih harus menyelidiki di
mana disimpannya Siang-bhok-kiam.
Sebagai
seorang pengawal, Bun Houw dipersilakan duduk menghadapi meja lain di sudut,
dan tak lama kemudian dua orang wanita murid Ciok Lee Kim datang memperkenalkan
diri dan menemani Bun Houw makan minum, sedangkan Liok Sun tentu saja makan
minum bersama nyonya rumah dan empat orang tamunya.
Dapat
dibayangkan betapa canggung dan malu-malu rasa hati Bun Houw. Dia baru saja
pulang dari Tibet dan belum terbiasa dengan pergaulan, apa lagi dengan wanita,
namun sekarang dia makan minum dengan dua orang wanita muda yang menemaninya.
Dua orang
wanita murid Ciok Lee Kim itu adalah dua orang wanita yang usianya antara dua
puluh lima hingga tiga puluh tahun, berpakaian mewah dan pesolek pula seperti
guru mereka, berwajah cantik dan berwatak genit! Apa lagi karena Bun Houw
adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, maka dua orang wanita muda yang
menemaninya itu merasa tertarik dan tanpa sembunyi-sembunyi lagi mereka
memperlihatkan rasa senang dan kagumnya kepada Bun Houw.
Hal ini
tentu saja membuat Bun Houw menjadi semakin canggung dan gugup sehingga dengan
sukar dia menelan makanan yang dihidangkan. Melihat pandang mata dua orang
wanita itu yang seolah-olah hendak menelanjanginya, kadang kala pandang mata
mereka itu seperti hendak menelannya bulat-bulat, membuat mulut yang tersenyum
penuh gairah, kata-kata bisikan yang setengah merayu, kadang-kadang mereka
menyuguhkan arak dari cawan mereka, kadang-kadang menyumpitkan potongan-potngan
daging yang terbaik untuknya, semua ini membuat jantung Bun Houw berdebar keras
kerena... ngeri! Akan tetapi dia menyambut semuanya itu dengan sikap sopan dan
dengan muka lebih banyak menunduk untuk menghindarkan pertemuan pandang mata.
Sikapnya
yang malu-malu dan jelas membayangkan sikap seorang pemuda yang masih hijau,
masih perjaka dan belum berpengalaman ini membuat dua orang murid Ciok Lee Kim
menjadi makin bergairah pula. Kadang-kadang mereka cekikikan dan mereka berdua
merasa gembira sekali, tidak tahu betapa pandang mata Ciok Lee Kim dari meja
besar kadang-kadang berkilat penuh iri ke arah meja kecil mereka.
Akhirnya
perjamuan itu berakhir dan dua orang murid Ciok Lee Kim itu sambil tersenyum
memenuhi perintah guru mereka, mengantarkan Bun Houw ke sebuah kamar yang telah
dipesiapkan untuknya.
Pemuda ini
dapat juga mengerti bahwa kedua orang musuh besar itu sangat kuat. Dua orang
kakek dan seorang nenek yang menjadi tamu mereka itu adalah orang-orang yang
tidak boleh dipandang ringan. Sungguh pun tentu saja dia tidak takut menghadapi
mereka semua, akan tetapi akan lebih aman dan ringan baginya kalau dia turun
tangan malam nanti, membunuh dua orang itu setelah memaksa mereka mengaku di
mana adanya tiga orang lainnya dan di mana pula disimpannya Siang-bhok-kiam
yang mereka curi.
Akan tetapi,
betapa keget, bingung dan malu bercampur muak rasa hatinya ketika tiba di dalam
kamar tamu itu, dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim tidak mau keluar lagi
dan bersikap genit serta mengeluarkan kata-kata rayuan tanpa mengenal malu
sedikit pun juga!
"Harap
ji-wi cici (kedua kakak) suka meninggalkan saya karena saya sudah lelah dan
mengantuk sekali," akhirnya Bun Houw berkata ketika melihat dua orang
wanita itu belum juga meninggalkan kamarnya.
"Kalau
engkau lelah dan mengantuk, tidurlah, dan kami akan menjagamu, adik Bun Houw
yang baik," berkata pula yang muda sambil terkekeh genit dan matanya
mengerling tajam penuh tantangan. "Aku akan memijati tubuhmu..."
"Sumoi
berkata benar," kata yang lebih tua. "Memang kami bertugas untuk
menemanimu dan melayanimu, hi-hik..."
Bun Houw
terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. "Akan tetapi...
aku... ji-wi berdua... kita..." Sukar baginya untuk melanjutkan
kata-katanya karena dia sungguh merasa heran dan kaget mendengar betapa dua
orang wanita ini akan menemani tidur!
Akan tetapi
dua orang wanita cantik itu tertawa-tawa genit, mentarfsirkan kata-kata dan
kecanggungan Bun Houw sesuai dengan selera mereka.
"Heh-heh,
Bun-siauwte jangan sungkan dan malu-malu. Kami suci dan sumoi sudah biasa hidup
akur dan saling membagi apa saja," kata yang lebih tua.
"Benar,
adik Bun yang gagah, dan boleh kau nilai nanti, siapa di antara kami yang lebih
lihai... hi-hi-hik!" kata yang muda.
Bun Houw
melongo dan matanya terbelalak melihat betapa dua orang wanita muda itu telah
menanggalkan pakaian luar mereka dengan gerakan yang amat memikat. Sekarang
mereka tersenyum memandang kepadanya dalam pakaian dalam berwarna merah muda
dan hijau muda, pakaian dalam yang terbuat dari bahan tipis sekali sehingga
tembus pandang dan dia dapat melihat garis-garis bentuk tubuh mereka yang tidak
ditutup apa pun lagi di bawah pakaian dalam itu.
Sambil
tersenyum penuh gairah dengan pandang mata penuh nafsu, sang suci (kakak
seperguruan perempuan) mengangkat lengannya ke atas dan ke belakang kepala
untuk melepaskan sanggul dan mengurai rambut. Gerakan ini tentu saja
menonjolkan bagian depan dadanya yang nampak membayang di balik kain tipis itu.
Sedangkan
sang sumoi yang pakaian dalamnya berwarna hijau muda, melangkah dengan lenggang
lemah gemulai untuk menaruh pakaian luar mereka ke atas meja di sudut dan di
saat melenggang membelakangi Bun Houw itu, gerakan langkahnya membuat sepasang
bukit pinggulnya menari-nari!
Bun Houw
merasa napasnya sesak! Dengan mata terbelalak dan muka merah dia melihat itu
semua sehingga berkali-kali dia harus menelan ludah karena jantungnya berdebar
dan lehernya terasa kering.
"Harap
ji-wi suka membiarkan saya sendiri saja mengaso...," dia membantah.
Akan tetapi
dua orang wanita itu kini melangkah mendekatinya sambil tersenyum dan Bun Houw
memperoleh perasaan seakan-akan dua orang wanita itu sedang mengancamnya dan
hendak menyerangnya! Tentu saja dia menjadi semakin bingung dan tidak tahu
harus berbuat apa.
"Adik
Bun, engkau tampan, gagah dan ganteng sekali. Mari kubuka sepatumu agar kita
dapat mengaso dengan enak...," kata sang sumoi.
"Dan
biarkan aku membuka pakaianmu, Bun-hiante..." Sang suci juga berkata dengan
suara merayu.
Bun Houw
mengambil keputusan untuk menggunakan kekerasan. Gara-gara dua orang wanita
yang agaknya haus dan gila laki-laki ini urusannya bisa kacau dan gagal. Dia
akan membuat mereka tidak berdaya dan meninggalkan mereka di kamar itu. Akan
tetapi baru saja semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk bergerak
turun tangan, tiba-tiba dari luar pintu kamar itu terdengar suara laki-laki,
"Ai-kwi
dan Ai-kiauw... apakah kalian berada di dalam?"
Bun Houw
terkejut bukan main dan tentu saja dia menahan gerakan tangannya yang tadi
sudah siap untuk menotok mereka. Dua orang wanita itu menoleh ke arah pintu,
dan yang lebih tua menjawab,
"Ahh,
Bu-susiok (paman guru Bu) di luar? Benar, kami berada di sini menemani
tamu!"
Daun pintu
kamar itu terdorong dan terbuka karena memang tadi tidak dipalang saking tidak
sabarnya kedua orang wanita yang sudah didorong nafsu birahi itu. Muka Bun Houw
menjadi merah sekali saking malu ketika melihat Toat-beng-kauw Bu Sit,
laki-laki berusia empat puluh tahun yang kurus, dan mukanya seperti monyet,
kuning dan pucat itu, masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa.
"Ha-ha-ha-ha,
aku mencari-cari kalian setengah mati, kiranya kalian bermain-main di sini.
Pengawal muda ini sebagai tamu boleh kalian hibur, akan tetapi cukup seorang
saja pun dia tidak akan mampu menang. Ha-ha-ha! Ai-kwi... aku sudah rindu
kepadamu, mari kau temani pamanmu yang kesepian." Setelah berkata
demikian, si muka monyet merangkul pinggang yang ramping itu dengan mesra.
Sang suci
mengerutkan alisnya hingga tampak jelas oleh Bun Houw betapa wajah yang cantik
itu menjadi buruk dan kejam ketika bersungut-sungut. "Aihh... susiok,
biarlah sumoi saja yang menemanimu malam ini..." Wanita itu membantah
halus.
"Siapa?
Ai-kiauw...? Ahh, Ai-kwi, aku rindu kepadamu, sudah lama benar... heh-heh, dan
Ai-kiauw baru kemarin menemani aku. Hayolah...!" Dia menarik dan memaksa
wanita itu.
Ai-kwi
bersungut-sungut, dengan terpaksa menyambar pakaian luarnya dan membiarkan
dirinya dirangkul dan didorong keluar dari kamar sesudah dia melempar pandang
mata penuh kekecewaan dan penasaran ke arah Bun Houw.
"Hi-huuuuuhh...!"
Ai-kiauw bersorak gembira, lari dengan lenggang-lenggok ke arah pintu,
menutupkan pintu dan memalangnya, kemudian dia lari kembali dan meloncat,
menubruk Bun Houw sehingga pemuda itu terjengkang ke atas pembaringan.
"Sekarang
kita hanya berdua, orang tampan...!" Wanita itu lalu menghujankan ciuman
ke seluruh muka Bun Houw sampai pemuda ini menjadi gelagapan.
Sejenak Bun
Houw tertegun, kemudian terbayanglah wajah Yalima. Mengapa ketika dia berciuman
dengan Yalima, dia merasa babagia dan nikmat, akan tetapi ciuman-ciuman penuh
nafsu birahi dari wanita ini membuat dia merasa muak?
"Enci,
jangan begitu...!" Dia mendorong halus dan pada saat itu terdengar
panggilan dari luar pintu.
Mendengar
suara ini, Ai-kiauw terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke sudut kamar. Bun
Houw kagum sekali melihat kecepatan Ai-kiauw mengenakan pakaian luarnya.
Kemudian wanita ini bergegas membuka pintu kamar. Ternyata Hui-giakang Ciok Lee
Kim sendiri yang berdiri di depan pintu itu!
"Maaf,
subo. Subo memanggil teecu?" Ai-kiauw bertanya dengan sikap hormat.
Sepasang
mata yang tajam dan galak itu memandang muridnya penuh selidik, kemudian
pandangan matanya menyapu ke arah Bun Houw dan ke arah pembaringan. Agaknya
keadaan pemuda itu dan pembaringannya melegakan dan memuaskan hati wanita ini.
Dia mengangguk dan berkata, "Kau pergi ke kamar tamu kita, Kiam-mo Liok
Sun, kau temani dia!"
Jelas betapa
Ai-kiauw kelihatan terkejut dan kecewa bukan main. "Akan tetapi... teeeu
kira... subo dan dia..."
"Cerewet,
pergilah! Yang tua harus berpasangan dengan yang muda supaya yang muda
bertambah pengalaman dan yang tua awet muda. Hayo pergi memenuhi
perintah!" Ciok Lee Kim membentak.
"Baik,
subo..." Ai-kiauw cepat mengambil pakaian luarnya, kemudian keluar dari
kamar itu dengan kepala ditundukkan.
Ciok Lee Kim
menutupkan daun pintu dan dia menghampiri Bun Houw sambil tersenyum genit.
Wanita berusia lima puluh tahun ini masih nampak cantik karena dia pandai
sekali bersolek dan memang dahulunya dia adalah wanita yang sangat cantik.
"Muridku
memang bandel. Apakah dia tadi mengganggumu, orang muda she Bun? Kalau dia
mengganggumu, biar kuhukum dia di hadapanmu." Sepasang mata itu memandang
wajah Bun Houw dengan sinar aneh.
Sejak tadi
Bun Houw sudah merasa semakin muak menyaksikan tingkah laku dua orang murid dan
guru mereka itu. Dari sikap dan kata-kata mereka saja sudah jelas dapat dinilai
orang-orang macam apa adanya mereka. Akan tetapi diam-diam dia juga merasa
girang karena sekarang musuh yang seorang ini datang sendiri tanpa dia harus
mencarinya di kamarnya.
Dia akan
membekuk wanita ini dan memaksanya mengaku tentang tiga orang musuhnya yang
lain dan tentang pedang Siang-bhok-kiam, kemudian dia akan membunuh Bu Sit dan
pergi dari tempat itu untuk mencari tiga orang yang lain dan pedang
Siang-bhok-kiam.
Bun Houw
menggelengkan kepalanya. "Tidak, toanio. Tidak ada yang mengganggu
saya." jawabnya.
"Syukurlah
kalau begitu. Kau adalah seorang tamu, harus dilayani dengan baik, karena itu
aku sendiri yang akan menemanimu malam ini, orang muda. Marilah, mari kita
rebahan sambil omong-omong... aku ingin mendengar riwayatmu. Kau menarik
hatiku, tidak sama dengan pemuda-pemuda lain... jangan sungkan-sungkan, ke
sinilah..." Wanita itu sudah duduk di pinggir pembaringan dia menggapai
mengajak pemuda itu duduk di dekatnya.
Bun Houw
hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Tidak...!" Dia
menggelengkan kepalanya. "Dua orang murid toanio tadi pun membujuk saya,
akan tetapi saya... saya bukanlah laki-laki seperti itu...!"
Ucapan ini
membuat wajah Ciok Lee Kim menjadi merah sekali dan tiba-tiba saja wanita ini
menggerakkan tubuhnya membalik, tangan kanannya bergerak.
"Wirrrrrr...!"
Bun Houw
terkejut bukan main, tadinya menyangka bahwa wanita itu marah kepadanya dan
menyerangnya, akan tetapi ternyata senjata piauw beronce merah itu menyambar ke
arah jendela kamar itu, menembus jendela kemudian terdengar jatuh
berkerontangan di luar kamar.
"Keparat,
jangan lari kau!" Tubuh Ciok Lee Kim sudah meloncat dengan gerakan yang
ringan sekali, kakinya menendang jebol daun jendela lantas tubuhnya sudah
mencelat keluar.
Barulah
pemuda itu tahu bahwa tadi ada orang mengintai dari luar jendela. Dia merasa
heran sekali mengapa dia tidak lebih dulu melihatnya atau mendengarnya. Hal ini
adalah karena dalam keadaan tergoda bujuk rayu wanita-wanita tadi, hati Bun
Houw berdebar dan kacau tidak karuan dan hal ini mengurangi kewaspadaannya.
Andai kata dia berada dalam keadaan biasa, tentu sebelum Ciok Lee Kim mendengar
sesuatu, dia akan lebih dulu dapat mendengarnya.
"Tangkap
penjahat...!" Terdengar teriakan wanita itu di luar.
Bun Houw
juga meloncat keluar dari kamar dan setibanya di ruangan besar dia melihat
betapa Ciok Lee Kim, Bu Sit, dua orang kakek dan seorang nenek tamu, juga
Kiam-mo Liok Sun dan dua orang murid wanita Ciok Lee Kim, semua sudah berada di
situ dengan pakaian dan rambut kusut, agaknya tergesa-gesa meninggalkan kamar
tidur oleh teriakan Ciok Lee Kim tadi.
Mereka semua
ini mengurung tiga orang yang berdiri di tengah ruangan dengan pedang di
tangan. Dan selain tokoh-tokoh kaum sesat itu, juga tampak anak buah Lembah
Bunga Merah sudah mengurung ruangan itu dari sebelah luar. Bun Houw memandang
dengan penuh perhatian.
Tiga orang
itu biar pun sudah dikepung, kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan rasa
takut. Mereka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda. Usia mereka antara
dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kelihatan cantik, tampan, dan gagah
dengan pedang melintang di depan dada, saling mengadu punggung dan menghadapi
kepungan banyak orang itu.
Diam-diam
Bun Houw kagum menyaksikan kegagahan mereka, akan tetapi juga mencela
kecerobohan mereka yang berani secara sombrono memasuki goa harimau yang sangat
berbahaya ini.
"Hemmm,
kalian seperti tiga ekor tikus yang terkurung!" Ciok Lee Kim mengejek
kepada mereka. "Hayo kalian mengaku, siapa kalian dan kenapa kalian berani
memasuki tempat kami tanpa ijin. Jawab, agar kalian tidak mati tanpa
nama!"
Pemuda yang
mewakili dua orang kawannya itu memandang kepada wanita ini dengan sinar mata
berapi-api. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang datang untuk
menuntut balas atas kematian suheng kami satu minggu yang lalu di luar hutan
Lembah Bunga Merah."
"Siapakah
suheng kalian dan apa hubungan kematiannya dengan kami?" Ciok Lee Kim
mengerutkan alisnya.
Semenjak dia
bersama empat orang saudara segolongannya yang bergabung menjadi Lima Bayangan
Dewa berhasil menyerbu Cin-ling-pai, mereka berlima selalu berhati-hati, tidak
pernah menanam permusuhan dengan golongan lainnya, bahkan berusaha mencari
teman-teman untuk diajak bersama-sama menghadapi Cin-ling-pai. Maka mendengar
tiga murid Bu-tong-pai ini memusuhinya, dia menjadi heran dan terkejut.
"Suheng
kami sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa dia dilukai oleh dua orang murid
Lembah Bunga Merah."
"Hemmm..."
Ciok Lee Kim memandang ke sekelilingnya, ke arah para anak buah Lembah Bunga
Merah.
"Subo,
kami yang melukainya!" Tiba-tiba Ai-kwi dan Ai-kiauw melangkah maju.
Ciok Lee Kim
memandang pada dua orang muridnya itu dengan alis berkerut. "Apa yang terjadi?"
tuntutnya.
"Pemuda
itu terlalu menghina kami, mengatakan bahwa kami dan orang-orang Lembah Bunga
Merah adalah orang-orang cabul yang tidak tahu malu. Kami bertanding melawan
dia kemudian dia melarikan diri dengan luka-luka berat. Kami tidak tahu bahwa
dia adalah murid Bu-tong-pai atau murid siapa, yang jelas dia kurang
ajar."
"Bohong!"
Tiba-tiba salah seorang di antara dua gadis itu berseru marah. "Kam-suheng
menceritakan kepada kami bahwa dia kalian bujuk rayu, kalian
perempuan-perempuan jalan yang tak tahu malu. Kam-suheng adalah seorang
laki-laki sejati, mana sudi menuruti kehendak cabul kalian? Karena suheng
menolak, kalian mengeroyok dan melukainya!"
Wajah kedua
orang murid Ciok Lee Kim berubah merah. "Subo, kalau manusia itu tidak
menghina, kami tentu tidak akan melukainya. Kini subo mendengar sendiri betapa
busuk mulut orang-orang ini menghina kita!"
"Perempuan
jalang dan cabul!" Gadis murid Bu-tong-pai yang sebenarnya adalah pacar
dan calon isteri dari suheng-nya sendiri yang tewas itu sudah memekik, kemudian
dengan pedangnya dia menyerang Ai-kwi dan Ai-kiauw. Dua orang wanita ini
mengelak, lantas membalas dan bertandinglah Ai-kwi dan Ai-kiauw melawan tiga
orang murid Bu-tong-pai itu.
Para orang
tua itu mula-mula hanya menonton. Ilmu Pedang Bu-tong-pai terkenal bagus
gayanya, juga kuat serta cepat. Sesudah lewat lima puluh jurus, kini Ai-kwi dan
Ai-kiauw yang juga menggunakan pedang, mulai terdesak hebat oleh pedang ketiga
orang murid Bu-tong-pai itu.
"Bu-sute,
kau wakili aku menangkap tiga orang bocah kurang ajar ini!" Melihat betapa
dua orang muridnya terdesak, Hui-giakang Ciok Lee Kim menyuruh Toat-beng-kauw
Bu Sit yang disebutnya sute, untuk maju.
Sungguh pun
di antara Lima Bayangan Dewa itu tidak mempunyai hubungan perguruan, melainkan
hubungan segolongan saja dan terutama sekali sama-sama menaruh dendam kepada
ketua Cin-ling-pai, akan tetapi semenjak mereka memakai nama Lima Bayangan
Dewa, mereka saling menyebut adik dan kakak seperguruan.
"Tar-tar-tarrr...!"
Joap-pian
atau cambuk baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit meledak-ledak ketika dia
menerima perintah ini. Tubuhnya mencelat ke depan dengan keringanan seekor
burung, dan tahu-tahu joan-pian pada tangannya sudah melecut-lecut dan
menyambar-nyambar ganas.
"Tar-tar-tringggg...!
Aihhhh...!"
Seorang
gadis Bu-tong-pai menjerit dan pedangnya terlempar, dia memegangi tangan kanan
dengan tangan kiri karena tangan kanannya terasa sakit. Saat itu dipergunakan
oleh Ciok Lee Kim untuk menggerakkan tangannya. Gadis itu berusaha mengelak,
akan tetapi dia kalah cepat maka robohlah dia terkena totokan wanita yang
berjuluk Kelabang Terbang itu.
Dua orang
murid Bu-tong-pai yang lainnya menjadi marah sekali. Mereka berdua saling
beradu punggung dengan pedang melintang di depan dada, sudah siap untuk
bertempur mati-matian melawan orang-orang lihai itu.
"Heh-heh-heh,
kalian bocah-bocah ingusan sungguh tak tahu diri!" Ciok Lee Kim terkekeh
mengejek. "Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Biar pun guru
kalian, ketua Bu-tong-pai sendiri belum tentu berani bersikap kurang ajar
seperti kalian di depan kami."
"Hemm,
kami tidak peduli dengan siapa kami berhadapan!" bentak pemuda Bu-tong-pai
itu sambil melirik sumoi-nya yang roboh tertotok tadi. "Kami datang untuk
menuntut balas atas kematian suheng kami dan untuk itu, kami siap mengorbankan
nyawa kami kalau perlu. Kami tidak takut kepada kalian!"
"Ciok-suci,
bereskan saja mereka ini, habis perkara!" Bu Sit berkata sambil
mengayun-ayunkan joan-pian di tangannya.
"Nanti
dulu, Bu-sute, kita tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai atau partai mana
pun. Ingat?" kata Si Kelabang Terbang dan Toat-beng-kauw Bu Sit
mengangguk.
"Bocah-bocah
Bu-tong-pai, kami masih memandang nama Bu-tong-pai, karena itu kami mau
mengampuni kalian bertiga. Berlututlah dan kami akan mengampuni kalian,"
berkata Ciok Lee Kim.
"Huh,
tidak sudi!" Gadis Bu-tong-pai yang kedua membentak marah.
"Agaknya
kalian belum tahu siapa kami. Aku adalah Hui-giakang dan aku sendiri saja belum
tentu akan dapat kalian menangkan andai kata kalian maju dengan teman-teman
kalian sebanyak dua puluh orang! Sedangkan dia dengan joan-pian mautnya ini
adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang di dunia selatan pernah menggegerkan para
tokoh besar persilatan. Dan kalian belum tahu siapa adanya tamu-tamu kehormatan
ini, ya? Beliau ini adalah Hwa Hwa Cinjin yang sukar dicari tandingannya di
dunia kang-ouw, ada pun beliau yang ini adalah Hek I Siankouw, sejajar nama dan
terkenalnya dibandingkan dengan Hwa Hwa Cinjin locianpwe. Dan tahukah kalian
siapa beliau yang baru turun dari pertapaan ini? Beliau adalah datuk dari
seluruh pantai Lautan Pohai, Bouw Thaisu yang memiliki kepandaian setinggi
Gunung Thai-san! Masih ada pula sahabatku ini, Kiam-mo Liok Sun Si Setan
Pedang."
Dua orang
murid Bu-tong-pai itu memandang dengan mata mendelik. Pemuda itu lalu menjawab
setelah wanita musuhnya berhenti bicara. "Biar pun engkau akan mengundang
semua iblis dari neraka, kami tidak akan takut menghadapinya untuk membela
kebenaran dan menuntut balas atas kematian suheng kami!"
"Suci,
bocah-bocah sombong macam ini apa bila tidak dihajar akan makin besar kepala
saja!" ucapan Bu Sit ini lantas disusul bunyi pecut baja di tangannya yang
meledak-ledak dan sinar kilat senjatanya itu menyambar ke arah dua orang murid
muda Bu-tong-pai itu.
"Cringgg...!
Cringgg...!"
Bunga api
berhamburan pada saat joan-pian itu tertangkis oleh dua batang pedang, akan
tetapi Toat-beng-kauw yang memiliki ginkang tinggi sekali itu sudah kembali
menyerang, gerakannya cepat bukan main, joan-pian di tangannya lenyap berubah
menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar dan mengurung kedua orang muda itu.
Dua orang
murid Bu-tong-pai itu terkejut juga, segera maklum bahwa si muka monyet ini
benar-benar lihai, maka mereka cepat memutar pedang melindungi tubuh mereka
sambil berusaha sedapat mungkin untuk balas menyerang. Akan tetapi karena
memang tingkat mereka kalah tinggi, ginkang mereka jauh kalah cepat dan tenaga
lweekang mereka pun jauh kalah kuat, dalam belasan jurus saja mereka sudah
terhimpit dan terancam hebat oleh sinar senjata joan-pian itu.
Hui-giakang
Ciok Lee Kim yang tidak ingin dilakukan pembunuhan di dalam rumahnya, sudah
bergerak terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Dua tangannya bergerak dan
nampaklah dua sinar merah dari sepasang sapu tangan suteranya.
Ujung kedua
sapu tangan itu langsung menyambar dan menotok ke arah jalan darah di punggung
dan pundak dua orang muda yang sedang sibuk didesak oleh joan-pian Bu Sit, maka
mereka tidak mampu menghindarkan diri dari totokan sapu tangan merah. Mereka
mengeluh, pedang mereka terlepas dari tangan kemudian tubuh mereka terguling
dengan lemas seperti keadaan teman mereka yang pertama tadi.
"Ciok-suci,
sebaiknya mereka bertiga ini dibunuh saja!" kata Bu Sit sambil
mangamang-amangkan joan-pian-nya.
"Sute,
jangan mengotori rumah ini dengan darah dan pembunuhan!" Ciok Lee Kim
cepat mencegah.
"Ha-ha-ha,
kalau begitu biar kubawa mereka ke hutan dan kuhabisi mereka di sana!" Bu
Sit berkata, lantas kedua matanya menyambar dan melahap tubuh dua orang gadis
cantik murid Bu-tong-pai itu.
Di dalam
benaknya yang kotor itu sudah terbayang betapa dia akan mempermainkan dan
menikmati dua orang murid wanita ini lebih dulu sebelum dibunuhnya. Memang di
antara Lima Bayangan Dewa, Ciok Lee Kim dan Bu Sit sama-sama mata keranjang dan
batinnya penuh dengan kecabulan.
"Mengapa
mereka harus dibunuh?" Tiba-tiba Kiam-mo Liok Sun ikut bicara.
"Ciok-toanio, saya kira amat tidak baik kalau membunuh anak-anak murid
Bu-tong-pai, sungguh tidak menguntungkan bagi toanio kalau kelak dimusuhi oleh
partai itu."
Sejak tadi
sebetulnya Bun Houw sudah bersiap. Andai kata dia melihat tiga orang murid
Bu-tong-pai tadi hendak dibunuhi, dia sudah siap-siap untuk membantu serta
menolong mereka. Akan tetapi melihat mereka hanya dirobohkan dengan totokan
saja, dia belum mau turun tangan karena dia menganggap belum tiba saatnya. Apa
bila urusannya yang besar dan penting itu dirusak oleh bantuannya terhadap tiga
orang murid Bu-tong-pai ini, sungguh tidak baik sekali. Kini dia mendengarkan
saja dengan penuh perhatian.
Toat-beng-kauw
Bu Sit memandang kepada Liok Sun dengan dua mata disipitkan, alisnya berkerut
dan dia berkata kepada nyonya rumah, "Ciok-suci, engkau sendiri tentu
mengerti mengapa mereka ini harus dibunuh dan tidak perlu mendengarkan pendapat
orang lain!"
Melihat ada
ketegangan dan perbedaan pendapat ini, Ciok Lee Kim memandang ke arah tiga
orang murid Bu-tong-pai dan berkata, "Sebaiknya mereka ditahan dulu dan
mari kita bicarakan hal ini di dalam saja," katanya sambil memberi
isyarat.
Kemudian,
dipimpin oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, orang-orangnya segera menyeret tubuh tiga orang
murid Bu-tong-pai itu, dibawa ke tempat tahanan yang mereka jaga ketat. Setelah
menyerahkan mereka kepada para anak buah untuk menjaganya, dua orang murid Ciok
Lee Kim itu lalu kembali ke ruangan karena mereka ingin turut mendengarkan
kelanjutan percakapan tadi. Sementara itu tiga orang tua yang menjadi tamu
agung, menonton dan mendengarkan dengan sikap tenang dan tidak acuh karena
mereka merasa diri mereka terlalu tua untuk ikut mencampuri urusan tetek-bengek
itu!
Ketika Bun
Houw melihat mereka semua memasuki ruangan kembali, dia mendapatkan kesempatan
baik dan diam-diam dia menyelinap kembali ke kamarnya. Sudah diambilnya
keputusan untuk menyelamatkan dan membebaskan tiga orang Bu-tong-pai itu lebih
dulu, kemudian baru dia akan membunuh Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kalau mungkin
dia hendak memaksa seorang di antara mereka mengaku di mana adanya tiga orang
teman mereka yang lain. Bergegas Bun Houw memasuki kamarnya untuk membawa
buntalannya.
Akan tetapi,
selagi dia mengumpulkan pakaiannya, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa
girang dan... dua orang wanita cantik yang genit itu, Ai-kwi bersama Ai-kiauw,
memasuki kamarnya dan langsung memalang daun pintu sambil tertawa-tawa.
Kemudian dua orang wanita itu menubruk dan menggeluti Bun Houw!
"Hayo...
cepat... selagi kita mempunyai sedikit waktu sebelum mereka memanggil
kami...!" Ai-kwi berkata dengan napas memburu karena didesak nafsu.
"Benar,
adik yang manis... mari kau layani kami sebentar...!" Ai-kiauw juga
berkata sembil berebut dengan suci-nya untuk menciumi wajah yang tampan itu.
"Plakk!
Plakk!"
Kedua tangan
Bun Houw menampar dengan tepat mengenai hidung kedua orang wanita itu. Karena
pemuda ini mengerahkan tenaga, maka seketika tulang hidung yang mancung itu
menjadi hancur dan berdarah! Tulang di ujung hidung merupakan tulang muda, maka
ditampar seperti itu tentu saja langsung menjadi remuk dan lenyaplah hidung
mancung yang merupakan penghias utama wajah cantik mereka.
Sebelum
mereka yang terkejut dan kesakitan mampu berteriak, Bun Houw telah menepuk
tengkuk mereka dengan kecepatan luar biasa dan mereka jatuh pingsan tanpa
sempat mengeluarkan suara sebelumnya. Bun Houw cepat-cepat menotok jalan darah
mereka, dan sesudah menutupkan kembali pintu kamar itu, dia menyelinap keluar
untuk mencari tempat ditahannya tiga orang murid Bu-tong-pai.
Akan tetapi
pada saat itu juga terdengar suara pekik-pekik kesakitan dari arah belakang
gedung. Bun Houw terkejut dan cepat dia berlari ke arah suara itu, khawatir
kalau-kalau dia terlambat dan tiga orang murid Bu-tong-pai itu sudah disiksa
atau dibunuh.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika dia melihat anak-anak murid atau anak-anak buah Lembah
Bunga Merah malang melintang di sekitar kamar tahanan yang kini telah menjadi
kosong! Belasan orang itu berserakan dengan luka-luka hebat, ada yang patah
tulangnya, ada yang pecah kepalanya, dan mereka yang terluka berkata,
"Tahanan...
lari... ditolong setan...!"
Bun Houw
melihat ada bayangan berkelebat di atas, maka cepat dia meloncat dan masih
sempat melihat berkelebataya bayangan orang bertubuh ramping kecil, agaknya
seorang di antara dua gadis Bu-tong-pai, akan tetapi gerakannya cepat sekali
dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam yang sudah
hampir pagi itu.
Terpaksa dia
turun kembali dan ternyata Ciok Lee Kim bersama semua tamunya sudah berkumpul
di situ. Dengan suara marah Ciok Lee Kim memeriksa seorang di antara para anak
buahnya yang hanya patah tulang lengannya.
"Kami
sedang berjaga... lalu entah dari mana datangnya, ada angin menyambar-nyambar
dan ada bayangan orang berkelebatan, lalu tahu-tahu kami semua roboh dan tiga
orang tawanan itu melarikan diri." Orang itu bercerita dengan suara hampir
menangis, bukan hanya karena kesakitan, akan tetapi juga karena takut kepada
majikannya ini.
"Hemm,
babi-babi tolol kalian! Bagaimana muka orang itu? Laki-laki atau wanita?"
"Hamba...
hamba tidak tahu... gerakannya terlalu cepat... agaknya dia itu bukan manusia,
melainkan... setan..."
"Dessss!"
Tangan Ciok Lee Kim menampar gemas dan orang yang sialan itu kini selain patah
tulang lengannya, juga roboh pingsan!
"Ha,
inilah kalau menurut pendapat orang luar!" Tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit
berkata dengan suara mengejek dan melirik ke arah Liok Sun. "Kalau tadi
sudah kubunuh mereka, tentu tidak begini jadinya. Kini mereka dapat kembali
lagi ke Bu-tong-pai dan sudah dapat dipastikan bahwa kita mempunyai musuh baru,
yaitu Bu-tong-pai dan untuk ini kita boleh berterima kasih kepada Kiam-mo Liok
Sun!"
Merah wajah
Liok Sun mendengar ejekan ini. "Harap Bu-enghiong tidak berkata demikian.
Saya tadi hanya mengusulkan agar urusan ini didamaikan saja..."
"Ya,
dan kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai akan menjadi perantara. Bukankah
begitu? Ehhh, Kiam-mo Liok Sun, kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai tentu
tahu pula siapa dia yang telah membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai
itu."
Ucapan Bu
Sit ini membuat semua orang, termasuk Ciok Lee Kim, memandang kepada Si Setan
Pedang itu dengan pandangan mata penuh pertanyaan serta tuntutan. Liok Sun
menjadi terkejut dan marah bukan main karena pertanyaan orang she Bu itu
mengandung ejekan dan juga tuduhan berat seolah-olah dia mengenal orang yang
membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai tadi!
"Bu-enghiong,
apa artinya kata-katamu ini? Engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak mengenal
siapa setan itu. Aku hanya mengusulkan agar tiga orang murid Bu-tong-pai itu
tidak dibunuh dan aku tadinya ingin mengusulkan pula agar mereka dikembalikan
kepada Bu-tong-pai disertai keterangan tentang kesalah pahaman yang terjadi
sehingga dengan begitu ketua Bu-tong-pai akan mau mengerti duduknya perkara
kemudian menghabiskan permusuhan..."
"Hemmm...
kalau tadi tidak kau cegah, tentu sudah kami bunuh mereka dan Bu-tong-pai pun
tak akan tahu apa-apa. Sekarang mereka lolos dan semua ini adalah salahmu,
orang she Liok!" Bu Sit berseru marah.
"Toat-beng-kauw,
sungguh keterlaluan kau menuduh orang!" Liok Sun membentak sambil mencabut
pedangnya.
"Ha-ha,
sekarang baru kelihatan belangnya! Engkau agaknya bersekongkol dengan orang
Bu-tong-pai!" Bu Sit membentak dan melolos cambuk bajanya.
Memang orang
she Bu ini sudah merasa tidak senang ketika Liok Sun datang bersama Bun Houw,
merasa iri hati melihat pergaulan yang akrab antara Setan Pedang itu dengan
Ciok Lee Kim, apa lagi melihat betapa Liok Sun datang bersama seorang pemuda
tampan yang menjadi pengawalnya, pemuda yang dia tahu membuat Ciok Lee Kim dan
dua orang muridnya tergila-gila.
Melihat dua
orang itu saling serang, Ciok Lee Kim hanya menonton saja, karena ia sendiri
merasa penasaran, juga marah dan menyesal melihat lolosnya tiga orang tawanan
tadi. Betapa pun juga, cegahan Liok Sun tadilah yang membuat pembunuhan
terhadap diri tiga orang tawanan itu tertunda sehingga mereka dapat lolos.
"Trang-cring-cringgg...!"
Berkali-kali
pedang di tangan Kiam-mo Liok Sun bertemu dengan joan-pian di tangan Bu Sit.
Pertandingan itu seru dan ramai sekali, akan tetapi segera terbukti bahwa
kepandaian Bu Sit masih jauh lebih tinggi karena pedang di tangan Liok Sun
mulai terdesak hebat dan sinarnya menjadi makin menyempit.
"Trangg...
cring... srattt...!"
Saking
hebatnya tangkisan cambuk baja itu, pedang Liok Sun membalik dan hampir saja
mengenai lehernya sendiri. Tepat pada saat itu, terdengar ledakan cambuk
disusul suara tawa dari Toat-beng-kauw Bu Sit yang bergerak cepat sekali,
tahu-tahu ujung cambuknya sudah melecut ke arah ubun-ubun Liok Sun. Kalau saja
ujung cambuk baja itu mengenai ubun-ubun kepala, tentu akan berlubang.
Liok Sun
terkejut, segera menggerakkan pedangnya menangkis. Ubun-ubunnya selamat, akan
tetapi pundaknya masih saja terkena ujung cambuk sehingga terluka parah dan
mengeluarkan darah. Liok Sun terhuyung-huyung dan dengan suara meledak cambuk
itu terus mengejarnya, mengancam bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya.
“Tar-tarr-tarrrr...!"
Tiba-tiba
ujung cambuk itu terhenti di tengah udara. Bu Sit terkejut dan cepat memutar
tubuhnya. Dia melihat betapa ujung cambuknya yang tertahan itu kiranya dijepit
oleh dua jari tangan Bun Houw yang telah berdiri di belakangnya!
Liok Sun
terhuyung dengan tubuh penuh luka-luka lecutan cambuk dan pedangnya sudah
terlempar entah ke mana. Kini dia memegangi pundaknya dan berdiri dengan muka
pucat dan penuh kekhawatiran melihat pengawalnya yang begitu berani menahan
ujung cambuk Bu Sit yang amat lihai itu.
Pada waktu
melihat bahwa yang menahan cambuknya adalah pemuda pengawal yang menimbulkan
iri hati dan dibencinya itu, Bu Sit menjadi marah bukan main. Dengan mata
mendelik dia memaki, "Keparat busuk, engkau pun sudah bosan hidup!"
Dia segera
mengerahkan sinkang-nya untuk menarik kembali joan-pian itu, akan tetapi betapa
pun dia mengerahkan tenaga, ujung pecut baja itu tetap saja tidak terlepas dari
tangan Bun Houw. Tentu saja Bu Sit menjadi terkejut, penasaran dan marah
sekali. Dia memperkuat tenaganya, menarik sepenuh tenaga sampai perutnya
mengeluarkan suara melalui kerongkongannya,
"Hekkk…!"
Dan...
tiba-tiba ujung pecut itu dilepaskan Bun Houw.
"Wirrrr...!"
Ujung pecut
menyambar ganas, dengan kecepatan bagaikan kilat karena tenaga Bu Sit sendiri
yang membalik dan dengan hebatnya menyerang ke arah kepalanya!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya Bu Sit melihat ini dan matanya terbelalak, mukanya
pucat sekali karena dia maklum akan datangnya bahaya maut di depan mata! Dia
hanya bisa miringkan kepalanya untux menghindarkan diri.
"Ciuuuttt...
tessss...!"
"Auhhh...
aduhhh... aduhhh... wah, keparat kau...!" Bu Sit tentu saja berjingkrak
kesakitan sambil memegangi bagian kepala di mana tadi telinga kirinya berada
dan kini bagian itu tidak ada lagi daun telinga yang sudah hancur oleh sambaran
ujung cambuknya sendiri.
Semua orang
menjadi kaget bukan main, terutama sekali Ciok Lee Kim dan Bu Sit sendiri.
Mereka berdua maklum betapa hebat kepandaian Bu Sit, akan tetapi hanya dalam
satu gebrakan saja, sebelum pemuda itu menggerakkan kaki tangan, Toat-beng-kauw
(Monyet Pencabut Nyawa) telah kehilangan daun telinga kirinya!
"Lihat...
lihat... jahanam she Liok itu ternyata menyelundupkan mata-mata ke
sini...!" Bu Sit membentak.
Dengan
kemarahan meluap-luap Bu Sit langsung menerjang kepada Bun Houw. Cambuk bajanya
meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah Bun Houw dengan dahsyatnya, akan
tetapi dengan tenang sekali pemuda itu dapat menghindar ke sana ke mari.
Pada saat
itu terdengar teriakan-teriakan aneh, setengah tangisan setengah maki-makian
marah, kemudian tampaklah Ai-kwi dan Ai-kiauw berlari terhuyung ke tempat itu,
tangan kiri menutupi hidung yang sudah remuk dan berdarah, tangan kanan
manuding-nuding ke arah Bun Houw yang masih berkelebatan diserang joan-pian di
tangan Bu Sit itu.
Melihat
keadaan dua orang muridnya itu, Ciok Lee Kim terkejut dan dengan susah payah
dua orang wanita yang suaranya menjadi bindeng dan tidak karuan itu lalu
menceritakan bahwa muka mereka dibikin cacat dan buruk oleh Bun Houw. Ciok Lee
Kim makin kaget dan cepat dia lalu menerjang dan membantu sute-nya menyerang
pemuda yang ternyata amat lihai itu.
Hati Bun
Houw girang sekali. "Majulah, memang aku hendak membunuh kalian!" katanya
sambil menangkis sambaran ujung sapu tangan merah yang meluncur ke arah
lehernya itu dengan sentilan jari tangannya.
"Prattt...!
Aihhh...!"
Ciok Lee Kim
menjerit karena sentilan jari tangan yang mengenai ujung sapu tangannya itu
membuat sapu tangannya terpental ada pun jari-jari tangannya sendiri tergetar
hebat sekali!
"Ciok
Lee Kim dan Bu Sit, kematian sudah di depan mata, hayo katakan di mana adanya
Tiga Bayangan Dewa yang lain dan di mana pula kalian sembunyikan
Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai!" Bun Houw berseru dan tubuhnya
bergerak cepat sekali.
Dua orang
lawannya menjadi silau oleh gerakan ini. Mereka berdua berusaha memutar senjata
untuk melindungi tubuh mereka, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan
dari kedua lengan pemuda itu membuat mereka terhuyung-huyung. Tentu saja mereka
terkejut sekali oleh kehebatan tenaga sinkang ini, namun mereka lebih kaget
mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Keparat!
Siapakah engkau?" Ciok Lee Kim berseru dan kedua sapu tangannya berubah
menjadi dua gulungan sinar merah di depan dan atas tubuhnya.
"Aku
adalah Dewa Akhirat yang bertugas mencabut nyawa Lima Bayangan Dewa!" Bun
Houw berkata sambil meloncat ke depan.
Ciok Lee Kim
terkejut sekali, dua gulungan sinar merahnya segera menyambut. Ada pun Toat-beng-kauw
Bu Sit yang maklum akan kelihaian pemuda itu membantu suci-nya dan menubruk
dengan lecutan cambuk bajanya.
"Tar-tarrr...
suiiiittt...!"
Sebatang
cambuk baja dan dua helai sapu tangan merah itu menyambut Bun Houw, akan tetapi
dengan kelincahan luar biasa Bun Houw bergerak di antara gulungan sinar senjata
lawan sambil menggerakkan kaki tangannya.
"Desss...!
Plakkk...!"
Dan tubuh
Ciok Lee Kim bersama sute-nya terlempar dan terbanting ke kanan kiri!
"Singggg...!"
Sinar hitam
menymbar ganas dan Bun Houw terkejut karena maklum bahwa senjata yang
menyambarnya adalah sebatang pedang hitam yang digerakkan secara cepat sekali
dan mengandung tenaga yang jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan tenaga dua
orang Bayangan Dewa ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang lalu memutar
dan kakinya melayang ke arah penyerangnya.
Namun Hek I
Siankouw, nenek tua yang pakaiannya serba hitam itu, dapat meloncat ke belakang
sambil menarik pedangnya sehingga tendangan maut dari Bun Houw mengenai tempat
kosong pula.
“Wuuuttt-wut-wutttt...!"
Bun Houw
lebih terkejut lagi karena sambaran cahaya kemerahan dari samping kiri yang
secara bertubi-tubi menyerang ke arah tiga belas jalan darah utama di tubuhnya
dengan kecepatan serta tenaga dahsyat ini bahkah lebih lihai lagi dari pada
serangan pedang hitam si nenek tadi. Untuk menyelamatkan diri, tubuhnya
dilemparkan ke belakang dan dia membuat salto sampai lima kali baru terhindar.
Pada saat dia turun dan memandang, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah Hwa
Hwa Cinjin, tosu tinggi kurus yang tak banyak cakap itu, menggunakan sebatang
hudtim (kebutan dewa) di tangannya.
"Hemmm,
lumayan juga kepandaianmu, bocah lancang!" Hwa Hwa Cinjin
mengangguk-angguk memuji.
Serangan
hudtim-nya tadi dilakukan dengan cepat dan sungguh-sungguh dan agaknya tidak
banyak lawan di dunia kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri, akan tetapi
pemuda ini dengan lemparan tubuh ke belakang dan berjungkir balik lima kali itu
ternyata sekaligus telah dapat menyelamatkan diri. Hal ini selain membuatnya
kagum, juga amat penasaran dan dia lalu menerjang maju didahului gulungan sinar
hudtim-nya yang lebar dan mendatangkan angin kencang. Juga Hek I Siankouw yang
merasa penasaran telah menggerakkan pedangnya dengan hebat.
Bun Houw
maklum bahwa tamu-tamu agung dari Ciok Lee Kim itu adalah orang-orang yang
pandai dan agaknya kini telah membantu musuh besarnya, karena itu dia pun cepat
menggerakkan tubuhnya, menghindarkan diri dengan sangat cepat sambil
mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa.
Dua orang
kakek dan nenek itu terkesiap juga menyaksikan gerakan pemuda itu sangat
cepatnya, lebih cepat dari pada gerakan mereka berdua! Akan tetapi betapa pun
cepatnya gerakan Bun Houw, dihujani serangan pedang dan hudtim dari dua orang
tokoh besar yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi itu, dia masih
saja harus menghadapi sambaran hudtim ke lehernya yang tidak dapat dielakkannya
lagi.
"Plakkk...!”
“Siancai...!"
Tosu tua itu terkejut setengah mati melihat betapa hudtim-nya kena ditangkis
dengan tangan oleh pemuda itu dan terpental! Hampir dia tidak dapat percaya
akan hal ini.
Hudtim-nya
itu bukanlah sembarangan hudtim, didapatkannya di utara di dekat kutub dan
bulu-bulu hudtim itu terbuat dari bulu monyet salju raksasa yang amat kuat.
Bulu-bulu itu dapat menyalurkan sinkang-nya secara langsung dan kalau dia
gerakkan dengan tenaga sinkang-nya yang sangat kuat, jangankan senjata biasa,
bahkan senjata pusaka lawan akan dapat rusak bila beradu dengan bulu-bulu
hudtim-nya.
Akan tetapi
pemuda ini berani menangkis dengan tangan kosong, bahkan telah membuat
hudtim-nya terpental! Ini berarti bahwa tangan kosong pemuda ini lebih kuat
dari pada senjata pusaka!
Tentu saja
tosu ini tidak tahu bahwa Bun Houw adalah murid terkasih Kok Beng Lama dan
bahkan juga sudah mendapat gemblengan dari ayahnya sendiri yang sakti. Pemuda
ini sudah memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama, dan tenaga
sinkang ini membuat kedua tangannya menjadi sedemikian kebalnya sehingga berani
dipergunakan untuk menangkis senjata pusaka lawan yang bagaimana kuat pun.
Bun Houw
maklum bahwa sebelum dia mengalahkan kakek dan nenek ini maka sukarlah baginya
untuk dapat memaksa pengakuan dari dua orang musuhnya sebelum akhirnya dia
membunuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar teriakan Liok Sun,
teriakan mengerikan dan ketika Bun Houw menoleh, dia melihat Bu Sit menggunakan
cambuk bajanya untuk menyerang Liok Sun. Majikan rumah judi itu terguling roboh
dan sekali lagi cambuk baja mengenai kepalanya.
"Keparat...!"
Bun Houw meloncat dan dengan tendangan kaki dari udara dia membuat Bu Sit yang
menangkis dengan cambuknya tetap saja terguling. Bun Houw lalu berlutut di
dekat Liok Sun. Ternyata orang ini terluka parah di kepalanya dan sekali pandang
saja maklumlah Bun Houw bahwa Liok Sun tak dapat tertolong lagi.
"Bun-hiante...
tolong... kau didik... anak... ku...!" Maka habislah napas orang she Liok
itu.
"Siuuuutttt...!
Plak! Plakk!"
Bun Houw
yang masih berlutut itu mempergunakan tangan kirinya, dua kali menangkis
sambaran kebutan Hwa Hwa Cinjin dan kini dia meloncat berdiri, dikepung oleh
Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Ciok Lee Kim, Bu Sit, dan dua orang murid
perempuan Ciok Lee Kim yang memegang pedang di tangan kanan dan menutup hidung
dengan tangan kiri itu.
Bun Houw
memandang mereka semua dengan sinar mata tajam, kemudian dia berkata, yang
ditujukan kepada Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw. "Aku tidak berurusan
dengan orang lain kecuali dengan dua orang Bayangan Dewa ini. Harap yang lain
mundur agar jangan ikut menjadi korban."
"Keparat,
hayo mengaku, siapa kau sebenarnya? Engkau jelas bukan pengawal biasa dari Liok
Sun!" Bu Sit membentak.
Bun Houw
tersenyum. "Aku memang hanya menyamar sebagai pengawalnya dan sudah
kukatakan bahwa aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas membasmi Lima Bayangan
Dewa."
"Jahanam!"
Bu Sit memaki dan cambuk bajanya mcledak-ledak.
Seperti
berebut saling mendahului dengan Ciok Lee Kim, dia sudah menerjang maju dari
depan, dibarengi oleh sambaran dua sapu tangan merah Ciok Lee Kim dari kanan.
Ada pun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang maklum bahwa kedua orang
Bayangan Dewa itu tak akan mampu menandingi pemuda yang lihai itu juga
menggerakkan senjata masing-masing mengepung dan mengeroyok.
Ai-kwi dan
Ai-kiauw yang kini menjadi besar hati karena gurunya dan orang-orang pandai itu
telah mengepung, dengan kemarahan meluap juga sudah menyerang dengan pedang
mereka. Hanya Bouw Thaisu seorang yang masih berdiri dengan tenang dan tidak
ikut mengeroyok, karena kakek yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi ini
masih merasa canggung dan tidak enak kalau dia sebagai seorang cabang atas
tingkat tinggi ikut-ikut mengeroyok seorang lawan yang begitu muda, walau pun
pandang matanya yang tajam sudah mengenal bahwa pemuda itu memang lihai luar
biasa.
Dikeroyok
enam orang, empat di antaranya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, Bun
Houw lantas memperlihatkan ketangkasannya. Berkali-kali Hwa Hwa Cinjin dan Hek
I Siankouw berseru kaget karena serangan-serangan maut mereka yang sukar
dihindarkan lawan tangguh, tetap tidak berhasil merobohkan pemuda ini!
Diam-diam
mereka merasa terkejut dan terheran, menduga-duga siapa adanya pemuda tidak
terkenal yang mempunyai kepandaian begini hebat sehingga dikeroyok oleh mereka
berempat, ditambah oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, masih dapat menyambut mereka
dengan serangan balasan yang sangat berbahaya, walau pun hanya dilakukan dengan
tangan kosong belaka.
Ai-kwi yang
kini menjadi benci sekali kepada Bun Houw karena batang hidungnya remuk dan wajahnya
yang tadinya cantik sekarang tentu berubah menakutkan dan menjijikkan,
mengeluarkan pekik dahsyat dan menggunakan kesempatan selagi senjata empat
orang sakti itu berkelebat menyambar-nyambar mengurung Bun Houw, dia menubruk
dengan pedangnya, secara nekat dia menyerang dengan menusukkan pedang itu ke
arah pusar pemuda yang belum lama tadi diciuminya dan dirayunya penuh gairah
nafsu birahi!
Melihat
serangan nekat ini, Bun Houw miringkan tubuh, menyambar pedang itu dengan
tangannya, dan pada saat itu pula cambuk baja Bu Sit dan pedang hitam Hek I
Siankouw menyambar dari atas dan bawah. Cepat dia mengerahkan tenaga, mendorong
pedang Ai-kwi yang dipegangnya tadi.
"Wuuuttt...
crapp... aihhhhhhh...!"
Pedang itu
membalik dan bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, pedang yang
membalik ini menusuk perut pemiliknya sendiri. Pedang itu amblas ke perut
Ai-kwi sampai tembus ke punggungnya, kemudian robohlah Ai-kwi setelah
mengeluarkan jeritan mengerikan.
Melihat ini,
Ai-kiauw lalu menjerit dan tiba-tiba saja dia melemparkan pedangnya lantas
menubruk tubuh Bun Houw, merangkul pinggang dan menggigit ke arah lambung
pemuda itu! Bun Houw terkejut, tidak menduga bahwa wanita ini melakukan
serangan liar seperti itu.
Dia
menggoyang tubuhnya. Akan tetapi kedua lengan dan kaki Ai-kiauw sudah membelit
tubuhnya dan gigi-gigi wanita itu menggigit kulit lambungnya! Bun Houw bergidik
karena merasa jijik, seolah-olah tubuhnya diserang seekor lintah besar. Siku
kirinya bergerak ke belakang, ke arah kepala wanita itu yang menempel di
lambung kirinya.
"Krakkk!"
Pecahlah
kepala itu dan Ai-kiauw mati seketika, akan tetapi sungguh mengerikan, wanita
itu masih saja mencengkeram dan menggigitnya!
Bun Houw
menggunakan kedua tangannya memaksa tubuh Ai-kiauw yang kaku itu untuk
melepaskan kaki tangan dan gigitannya dari dirinya, lalu melemparkan mayat
wanita itu. Akan tetapi serangan Ai-kiauw yang membabi-buta tadi mendatangkan
peluang banyak sekali bagi empat orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi.
Seperti
hujan datangnya, pedang Hek I Siankouw, cambuk Bu Sit, sapu tangan merah Ciok
Lee Kim dan kebutan di tangan kanan Hwa Hwa Cinjin menyambar dahsyat. Dalam
kesibukannya menghadapi kenekatan Ai-kiauw tadi, Bun Houw tentu saja kurang
leluasa mengelak, maka dia hanya menangkisi dengan kedua lengannya sambil
mengerahkan Thian-te Sin-ciang sehingga senjata-senjata lawan itu terpental.
Akan tetapi dengan tepat sekali ujung cambuk baja Bu Sit menotok jalan darah di
pundaknya, pada saat dia baru saja berhasil melemparkan mayat Ai-kiauw dari
tubuhnya.
"Tarrrr...!"
Seketika
tubuh Bun Houw kesemutan dan dia terhuyung lalu jatuh. Akan tetapi begitu
tubuhnya meyentuh tanah, dengan pengerahan sinkang-nya dia dapat memulihkan jalan
darahnya dan meloncat bangun lagi. Celakanya, baru saja dia meloncat, pedang
Hek I Siankouw yang ganas menyambarnya.
Bun Houw
yang baru saja terbebas dari totokan hebat tadi, masih merasa kesemutan
pundaknya tetapi dia berhasil menangkis pedang itu dengan tamparan tangan
kanannya. Akan tetapi pada saat itu, sepasang sapu tangan merah menyambar, yang
kiri menotok jalan darah di tengkuknya, yang kanan menotok jalan darah di
punggungnya, sedangkan kebutan di tangan Hwa Hwa Cinjin juga cepat sekali menotok
pundak kanannya.
Sekaligus
menerima totokan-totokan maut di jalan darahnya sebanyak tiga tempat, maka
seketika tubuh Bun Houw menjadi lemas dan dia terguling roboh. Akan tetapi
pemuda ini memang hebat bukan main.
Begitu dia
roboh, dia menggunakan kedua tangannya mendorong tanah hingga tubuhnya mencelat
tinggi ke atas, lantas di udara dia menggoyang tubuh mengerahkan sinkang-nya
sehingga bobollah semua totokan itu, jalan darahnya mengalir kembali sungguh
pun dia masih tergetar hebat.
Akan tetapi,
ketika dia mampu memulihkan jalan darahnya dari tiga totokan itu, tiba-tiba
tampak sosok bayangan berkelebat dan ada angin pukulan dahsyat menyambar ke
arah kepalanya. Inilah serangan dengan tenaga sinkang yang sangat berbahaya.
Bun Houw yang masih tergetar itu cepat mengelak, akan tetapi tiba-tiba lututnya
kena ditendang oleh Bouw Thaisu yang baru sekarang turun tangan. Bun Houw
terguling dan ujung baju Bouw Thaisu menyambar, menotoknya bertubi-tubi di
tujuh jalan darahnya sehingga sekali ini Bun Houw tidak mampu berkutik lagi!
Bu Sit dan
Ciok Lee Kim yang sangat membenci pemuda yang sudah membunuh Ai-kwi dan
Ai-kiauw, dengan kemarahan meluap cepat menggerakkan cambuk dan sapu tangan
menyerang tubuh Bun Houw yang sudah tidak mampu bergerak dan menggeletak di atas
lantai itu.
"Wuuuuttt...
tarrrr...!"
Senjata-senjata
itu menyambar ganas, sementara Bun Houw hanya membelalakkan mata sambil menanti
maut.
"Plakk!
Plakk!"
Bu Sit dan
Ciok Lee Kim terkejut sekali dan menarik senjata mereka, lalu memandang kepada
Bouw Thaisu yang menangkis senjata mereka dengan ujung lengan baju.
"Thaisu,
mengapa menghalangi kami?" Ciok Lee Kim bertanya, alisnya berkerut.
Dia tahu
bahwa kakek sakti ini boleh dipercaya, karena kakek ini adalah seorang sahabat
Thian Hwa Cinjin yang dahulu menjadi ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan
tewas oleh keluarga Cin-ling-pai, karena itu Bouw Thaisu yang ingin menuntut
balas atas kematian sahabatnya itu pun merupakan musuh Cin-ling-pai dan
bersekutu dengan Lima Bayangan Dewa untuk menghadapi keluarga Cia Keng Hong
yang sakti itu. Akan tetapi mengapa kakek ini sekarang mencegah dia membunuh
pemuda yang jelas-jelas memusuhi Lima Bayangan Dewa?
Bouw Thaisu
menghela papas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Selama
hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki
kepandaian sehebat ini! Orang seperti ini tidak boleh kita samakan dengan
musuh-musuh biasa, dia tentu mempunyai latar belakang yang menarik. Karena itu,
Ciok-toanio, amat bodoh kalau membunuhnya begitu saja tanpa mengetahui dengan
betul siapakah dia ini sebenarnya, dan apa pula sebabnya dia memusuhi engkau
beserta Lima Bayangan Dewa. Apakah dia punya hubungan dengan Cin-ling-pai? Dan
apa hubungan pemuda yang kepandaiannya luar biasa hebatnya ini dengan Cia Keng
Hong?"
Hwa Hwa
Cinjin menarik napas panjang. "Ucapan Thaisu tadi sungguh tepat,
Ciok-toanio. Pemuda ini tentu orang penting dan terus terang saja, pinto (aku)
sendiri harus mengakui bahwa belum pernah pinto bertemu tanding semuda ini
dengan kepandaian sehebat yang dimilikinya."
Ciok Lee Kim
mengangguk-angguk. Dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengambil
tali yang kuat dan membelenggu kaki tangan Bun Houw.
"Dia
memiliki kekebalan yang melebihi Ilmu Kim-ciong-ko, semacam ilmu kekebalan yang
hebat. Bayangkan saja, tangannya mampu menyambut pedangku!" kata Hek I
Siankouw. "Oleh karena itu, apa artinya tali ini, Ciok-toanio? Kalau dia
sudah bebas dari totokan, biar pun dirangkap sepuluh, tali ini akan putus
olehnya. Tenaganya melebihi kekuatan seekor gajah. Jalan satu-satunya untuk
mencegah dia lolos hanya dengan mengait tulang-tulang pundaknya!"
Toat-beng-kauw
Bu Sit menjadi girang sekali dan dia cepat meminta kepada anak buah Lembah
Bunga Merah untuk mengambilkan dua batang kaitan baja, lalu dengan wajah
beringas dia menghampiri Bun Houw. Pemuda ini maklum bahwa dia tidak akan
terlepas dari ancaman siksaan atau bahkan maut di tangan musuh-musuhnya ini,
akan tetapi dia adalah seorang pemuda berjiwa gagah perkasa yang sejak kecil
telah digembleng oleh orang tuanya, maka sedikit pun dia tidak merasa jeri.
Sambil
mengeluarkan bentakan, Bu Sit yang sudah kehilangan sebelah daun telinganya dan
merasa malu dan marah sekali kepada pemuda itu, lalu menusukkan kaitan-kaitan
itu di pundak Bun Houw. Tentu saja hal ini mendatangkan rasa kenyerian yang
amat hebat.
Bun Houw
memejamkan matanya dan mematikan rasa. Akan tetapi, karena besi-besi kaitan itu
menembus kulit daging dan mengait tulang kunci pundaknya, dia tidak dapat
bertahan lagi, mengeluh panjang dan pingsan!
Sesudah dia
siuman kemball, Bun Houw mendapatkan dirinya sudah berada di dalam sebuah kamar
yang kokoh kuat. Dia rebah di atas pembaringan batu, kedua tangannya
terbelenggu dan kaitan yang mengait pada kedua tulang pundaknya itu disambung
rantai panjang lalu diikatkan pada dinding sehingga andai kata dia dapat
menggunakan tenaga sinkang untuk mematahkan belenggu, tentulah gerakan ini akan
membuat tulang-tulang pundaknya tertarik patah!
Dengan
tulang pundak terkait baja-baja kaitan itu, dia benar-benar tidak berdaya dan
biar dia memiliki kekuatan sepuluh kali lipat pun tidak mungkin dia mampu
membebaskan diri tanpa mematahkan kedua tulang pundaknya, dan bila mana hal ini
terjadi berarti kedua lengannya menjadi lumpuh...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment