Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 23
WANG CIN
maklum bahwa pihaknya terdesak. Dia berada di goa harimau, karena itu dia tidak
boleh main-main. Andai kata dia boleh mengandalkan ketangguhan tiga belas orang
pengawalnya dan ratusan orang sisa pasukan, akan tetapi apa dayanya berada di
antara puluhan ribu anak buah Sabutai? Maka dia segera mengangguk dan mereka
melanjutkan pertemuan yang tadinya menegangkan itu dengan makan minum, dan nama
Azisha sama sekali tidak pernah disinggung lagi dalam percakapan.
Bahkan
Sabutai dan Wang Cin membicarakan mengenai terjadinya beberapa kali usaha
penyerbuan pasukan Beng-tiauw dibantu oleh beberapa kelompok suku bangsa
perantau di utara untuk membebaskan kaisar. Namun karena jumlah para penyerbu
itu kecil sekali dibandingkan dengan kekuatan barisan anak buah Sabutai, semua
usaha penyerbuan itu dapat dihancurkan dan para penyerbu dipaksa untuk mundur.
"Para
penyelidik kami melaporkan bahwa di kerajaan telah terjadi pergolakan, akan
tetapi sayang, para sekutu taijin agaknya membelakangi taijin dan saya juga mendengar
bahwa mereka semua telah mengangkat seorang kaisar baru, yaitu Ceng Ti."
Muka Wang
Cin menjadi merah mendengar kata-kata ini. "Kalau begitu, kenapa kita
tidak segera menyerbu ke selatan? Harap bengcu mau percaya kepadaku bahwa di
situ masih banyak sekutu yang akan membantu kita dari dalam. Kaisar Ceng Ti
sama saja dengan Kaisar Ceng Tung, dia pun membenci bangsa kita. Sebelum kita
berhasil merampas tahta kerajaan, bangsa kita akan selalu dianggap sebagai
musuh dan tidak mungkin Kerajaan Goan-tiauw yang jaya dapat bangkit
kembali."
Sabutai
tersenyum. "Mungkin taijin mahir sekali dalam urusan pemerintahan, akan
tetapi mengenai urusan perang, serahkan saja kepada saya. Kalau sudah tiba
saatnya, tentu saya akan menyerbu ke selatan."
Biar pun
hatinya penasaran, namun Wang Cin tidak berani mendesak lagi dan terpaksa dia
beserta para pengawalnya harus bersabar menjadi tamu-tamu yang keadaannya tidak
lebih dari pada tawanan-tawanan yang selalu diawasi sungguh pun diperlakukan
dengan hormat.
Apa yang
dikatakan oleh Sabutai mengenai pergolakan di kota raja itu memang benar.
Sesudah menerima berita bahwa Kaisar Ceng Tung disergap dan ditawan oleh
pasukan pemberontak Sabutai, kota raja menjadi geger, apa lagi ketika mendengar
bahwa delapan orang jenderal tewas dalam melindungi kaisar.
Akan tetapi
anehnya, keributan tentang berita ditawannya kaisar segera tenggelam, kalah
oleh keributan mengenai siapa yang harus menjabat kedudukan kaisar yang
sementara kosong itu!
Memang sudah
menjadi watak para manusia yang haus dengan kesenangan, haus akan kekuasaan dan
kemuliaan duniawi. Untuk mencapai kesenangan-kesenangan yang amat dirindukan
itu, manusia tak segan-segan berubah menjadi makhluk sebuas-buasnya, bila perlu
menyingkirkan, merobohkan dan membunuh manusia-manusia lain yang merintangi
tengah jalan, yang dianggapnya sebagai penghalang tercapainya apa yang
dikejar-kejar, yaitu kesenangan, kekuasaan, dan kemuliaan.
Usaha untuk
mencoba menolong dan membebaskan Kaisar Ceng Tung hanya dilakukan sembarangan
saja, seolah-olah hanya untuk menutupi apa yang sebetulnya terjadi di kota
raja, yaitu perebutan kekuasaan yang akhirnya jatuh ke tangan Ceng Ti yang
mengangkat diri menjadi kaisar pengganti Ceng Tung yang dianggap sudah tewas!
***************
Untuk ke
sekian kalinya, pasukan kecil itu dapat dipukul mundur oleh barisan penjaga di
benteng Sabutai karena jumlah mereka yang jauh lebih kecil. Kakek gagah perkasa
yang memimpin penyerangan itu mengamuk bagaikan seekor naga, akan tetapi betapa
pun gagahnya dia, tidak mungkin dia dapat membobol penjagaan puluhan ribu orang
pasukan Sabutai, sementara anak buahnya, yaitu pasukan yang terdiri dari
orang-orang Nomad, pedagang dan penggembala kuda, telah terpukul mundur. Mereka
terpaksa melarikan diri memasuki hutan-hutan dan kakek itu berdiri termenung
dengan wajah penasaran.
Beberapa
orang pimpinan orang Nomad menghadapnya dan di antara mereka ada yang
luka-luka. Orang yang tertua di antara mereka berkata, "Saya kira tidak
ada gunanya lagi, taihiap. Kedudukan Sabutai terlalu kuat, orang-orangnya
terlalu banyak. Tanpa adanya bantuan pasuka Kerajaan Beng, mana mungkin kita
dapat menyelamatkan kaisar? Setiap penyerbuan hanya merupakan bunuh diri dan
kita sudah kehilangan ratusan orang anak buah."
Cia Keng
Hong, kakek pendekar yang gagah perkasa itu, menarik napas panjang, alisnya
berkerut dan dia mengepal tinju. "Sungguh gila! Mengapa dari selatan tidak
datang bala bantuan sedangkan sisa pasukan mereka telah lama kembali ke selatan
untuk minta bala bantuan? Apakah mereka sudah tidak mempedulikan lagi kaisar
mereka yang tertawan musuh?"
Seperti yang
kita ketahui, Cia Keng Hong telah membantu Suku Nomad yang terdiri dari Bangsa
Mongol dan Khitan, yang dipimpin oleh Yalu, pada waktu rombongan ini sedang
menggiring kuda mereka dan diganggu para perampok yang ternyata adalah anak
buah Sabutai juga. Kemudian Cia Keng Hong memimpin mereka beserta teman-teman
mereka yang berhasil dikumpulkan untuk mencoba menolong rombongan kaisar saat
rombongan kaisar terjebak di Lembah Nan-kouw, di lorong yang sempit. Akan
tetapi, karena jumlah musuh yang jauh lebih banyak, pasukan orang Nomad ini
terpukul mundur dan Cia Keng Hong tidak berhasil menyelamatkan kaisar sehingga
kaisar menjadi tawanan Sabutai.
Dengan hati
penuh duka dan juga kagum Cia Keng Hong lalu menyempurnakan jenazah delapan
orang jenderal yang gugur secara gagah perkasa itu, baru kemudian pendekar ini
menyusun kekuatan, bergabung dengan pasukan pemerintah yang menjaga di tapal
batas dan berusaha untuk menyerang benteng Sabutai dan menolong kaisar yang
ditawan.
Akan tetapi,
usaha yang sudah berkali-kali dilakukan itu gagal terus, dan dengan sia-sia dia
menanti bala bantuan dari selatan yang tak kunjung datang. Malam hari itu,
kembali mereka telah gagal dan para pemimpin Suku Nomad mulai merasa putus asa
dan mulai merasa berat untuk mengorbankan orang-orang mereka lebih banyak lagi
hanya demi kepentingan Kaisar Beng, sedangkan pasukan bantuan dari Kerajaan
Beng sendiri tidak kunjung datang.
Setelah
melihat sikap pasukan orang-orang Nomad yang telah membantunya menentang
Sabutai, dan mendengar pendapat-pendapat para pemimpin mereka yang mulai merasa
putus asa karena banyaknya korban di kalangan mereka dan gagalnya serbuan
mereka terhadap benteng Sabutai yang amat kuat itu, Cia Keng Hong kemudian
berkata kepada mereka, ditujukan kepada Yalu, pemimpin suku pedagang kuda yang
pernah dibantunya ketika suku ini diserbu oleh pencuri-pencuri kuda.
"Aku
bisa mengerti akan keadaan kita, dan aku pun ikut prihatin melihat jatuhnya
banyak korban. Akan tetapi, kita telah melangkah demikian jauh, menentang
kemaksiatan dan pemberontakan, sudah banyak pula korban yang jatuh, bagaimana
sekarang kita dapat mundur begitu saja? Harap kalian tenang dan menanti di
sini, aku besok akan berangkat ke selatan untuk mencari bala bantuan.
Percayalah, dahulu aku sudah banyak membantu kerajaan, bahkan aku pernah
bekerja sama dengan mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu aku akan
berhasil mendatangkan barisan besar untuk menggempur benteng Sabutai dan
menyelamatkan sri baginda kaisar."
Yalu dan
teman-temannya tentu saja merasa setuju dan girang. Mereka hanya merasa jeri
kalau harus menyerang benteng yang kuat itu lagi, akan tetapi kalau hanya
menanti, kemudian memperoleh kesempatan membalas kematian kawan-kawan serta
anak-anak buah mereka, tentu saja mereka merasa girang. Maka berundinglah para
pimpinan itu dengan Cia Keng Hong yang sudah mengambil keputusan untuk
berangkat sendiri ke selatan.
Selagi
mereka melakukan perundingan dengan serius, mendadak terdengar suara gaduh,
disusul oleh suara suitan-suitan yang menjadi tanda bahwa tempat itu sudah
kedatangan musuh! Tentu saja para pemimpin Suku Bangsa Nomad itu terkejut
sekali, akan tetapi dengan tenang Cia Keng Hong berkata,
"Harap
jangan gugup. Kalian cepat perintahkan anak buah masing-masing untuk mundur dan
berpencar. Aku akan lebih dahulu pergi memeriksa apa yang terjadi!" Baru
saja habis kata-kata ini, orangnya telah lenyap dari situ sebab pendekar sakti
itu telah menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melesat keluar perkemahan dengan
cepat sekali!
Seperti juga
dengan pemimpin lain yang cepat berlarian keluar, Cia Keng Hong merasa lega
ketika mendengar bahwa ribut-ribut itu bukan disebabkan oleh serbuan musuh,
akan tetapi hanya dua orang mata-mata musuh yang telah dikepung!
"Mereka
itu bukan main lihainya sampai kami kewalahan dan banyak sudah kawan-kawan yang
roboh oleh mereka."
Mendengar
laporan ini, Cia Keng Hong menjadi marah dan penasaran. Dia kemudian
mempercepat larinya menuju ke tempat di mana anak buah Suku Bangsa Nomad itu
sedang berteriak-teriak mengepung dua orang. Ketika tiba dekat, Cia Keng Hong
terkejut bukan main.
Dia tidak
mengenal kakek dan nenek yang sedang duduk di atas tanah, saling beradu
punggung dan kini mereka berdua menggerak-gerakkan tongkat butut mereka di atas
tangan sambil bernyanyi-nyanyi itu. Nyanyian itu diucapkan dalam bahasa asing,
dan biar pun dia tidak menguasai bahasa itu, Cia Keng Hong yang berpengalaman
luas mengenal Bahasa Sailan. Dua orang kakek dan nenek berkebangsaan Sailan
muncul di tempat itu, sungguh mengherankan.
Akan tetapi
yang mengejutkan hati pendekar sakti ini bukan kenyataan bahwa mereka adalah
orang-orang asing dari barat itu, melainkan menyaksikan kelihaian mereka yang
luar biasa. Mereka itu kelihatannya hanya memukul-mukulkan tongkat butut ke
atas tanah di hadapan mereka, sama sekali tidak mempedulikan pengeroyokan
puluhan orang yang menyerang mereka kalang-kabut dengan senjata mereka. Akan
tetapi kenyataannya, tak ada sebuah pun senjata para pengeroyok yang mengenai
tubuh mereka karena selalu tertangkis oleh tongkat butut dan bayangan tongkat
sedangkan setiap kali tongkat mereka memukul tanah, pasir dan tanah muncrat
meluncur ke depan, mengenai para pengeroyok dan hebatnya, pasir dan tanah ini
sudah sanggup merobohkan banyak sekali orang-orang yang mengeroyok itu!
Sekali
pandang saja tahulah Cia Keng Hong bahwa dua orang tua itu adalah orang-orang
yang amat lihai. Gerakan tongkat mereka mengeluarkan angin menderu sehingga
semua senjata lawan terhalau, sementara tanah dan pasir yang beterbangan
merobohkan para pengeroyok itu adalah akibat pencokelan dengan ujung tongkat
dan tentu saja ada tenaga sinkang yang sangat kuat tersalur pada tangan mereka
untuk dapat melakukan serangan balasan itu.
Apa lagi
jika dia memandang ke arah wajah mereka yang tertimpa sinar layung matahari
senja itu, dia semakin terkejut karena wajah putih kapur dari kakek itu, dan
wajah hitam hangus dari nenek itu, adalah akibat dari hawa beracun yang agaknya
dilatih oleh kedua orang tua itu, seperti yang kadang-kadang dapat ditemukan di
antara tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi.
"Harap
kalian semua mundur!" Cia Keng Hong berseru dan mendengar seruan pendekar
tua yang mereka kagumi itu, semua pengeroyok mundur sambil menyeret belasan
orang yang telah menjadi korban sambaran tanah dan pasir.
Ternyata
tanah dan pasir itu menyambar muka dan tubuh mereka sedemikian kerasnya hingga
menembus kulit daging, seperti peluru-peluru kecil dari baja saja! Mereka semua
memandang kepada Cia Keng Hong penuh harapan, karena mereka pun maklum bahwa
dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang luar biasa yang tidak mungkin
dapat dilawan oleh tenaga biasa, dan agaknya hanya Pendekar Sakti Cia Keng Hong
saja yang akan dapat menghadapi mereka.
Maka semua
orang segera mundur dan duduk menonton, membuat lingkaran lebar. Juga Yalu
beserta teman-temannya yang sudah tiba di situ memberi isyarat agar orang-orang
mereka diam saja dan jangan mengganggu Cia Keng Hong, akan tetapi juga harus
siap menghadapi segala kemungkinan.
Cia Keng
Hong melangkah maju, dan kebetulan saja dia kini berhadapan dengan kakek
bermuka putih yang masih duduk bersila, sedangkan nenek itu pun masih tetap duduk
di belakangnya, beradu punggung sambil bersila pula. Kakek itu segera
mengangkat muka memandang sehingga sejenak mereka beradu pandang dengan penuh
selidik. Karena Cia Keng Hong tidak mengenal mereka, juga tidak tahu apakah
maksud kedatangan mereka, maka dia tidak berani bersikap kasar.
"Ji-wi
locianpwe, harap ji-wi suka memaafkan kalau para teman kami telah bersikap
kasar terhadap ji-wi, karena kami belum mengenal ji-wi locianpwe. Kalau boleh
kami bertanya, siapakah ji-wi locianpwe yang terhormat dan apakah maksud
kedatangan ji-wi?"
Mendengar
suara yang mengandung wibawa dan tenaga khikang yang kuat itu, si kakek bermuka
putih memandang tajam, bahkan nenek muka hitam itu pun menoleh pula dan kini
sekali bergerak, tubuhnya yang tadi bersila membelakangi kakek itu, tahu-tahu
sudah pindah ke sebelah si kakek dan ikut memandang tajam.
Kakek itu
lantas terkekeh dan tongkatnya bergerak memukul tanah. Kini bukan pasir dan
tanah halus yang berhamburan, melainkan segumpal tanah keras terbang ke arah
muka Cia Keng Hong!
Pendekar ini
mengerutkan alis, cepat menggerakkan tangannya dan sekali sampok saja gumpalan
tanah itu meluncur ke hadapan si kakek lantas amblas masuk ke dalam tanah
saking kerasnya pendekar ini menyampok. Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut
dan memandang makin tajam penuh selidik.
"Engkau
siapa?" Kakek itu bertanya tanpa menjawab pertanyaan Cia Keng Hong tadi.
"Nama
saya Cia Keng Hong," jawab pendekar itu dengan sikap tenang.
Akan tetapi
mendengar nama ini, kakek dan nenek itu sama sekali tidak tenang, bahkan
terkejut sekali, memandang kepada Cia Keng Hong dengan mata terbelalak.
"Engkau
adalah Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" Nenek itu bertanya, suaranya
tinggi mendesis seperti ular marah.
"Benar,"
Keng Hong mengangguk.
"Kau
dahulu kaki tangan si keparat The Hoo?" Kakek itu pun membentak sehingga
Keng Hong menjadi kaget. Ternyata kedua orang tua ini adalah bekas musuh-musuh
mendiang Panglima Besar The Hoo.
"Memang
dahulu saya adalah sahabat mendiang Panglima The Hoo," dia menjawab dan
kini balas memandang penuh selidik.
"Dan
kau yang memimpin orang-orang ini menyerbu benteng Mongol?" kembali kakek
itu bertanya.
Keng Hong
mengangguk. "Secara curang, Sabutai sudah menawan Kaisar Beng, maka kami
berusaha untuk membebaskan beliau."
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kakek bermuka putih itu tertawa sehingga mulutnya terbuka dan tidak nampak
sebuah pun gigi. "Cia Keng Hong manusia sombong! Kau tadi tanya siapa kami
dan apa keperluan kami datang ke sini? Bukalah mata serta telingamu baik-baik.
Kami adalah Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dan calon Kaisar Sabutai adalah murid
kami. Kedatangan kami di sini adalah untuk membunuh engkau dan membasmi semua
anak buahmu!"
Mendengar
bahwa dua orang tua itu adalah guru Sabutai, marahlah Yalu. Tadi dia dan
kawan-kawannya sudah mempersiapkan pasukan anak panah, maka begitu mendengar
siapa adanya dua orang itu yang datang mengacau itu, Yalu langsung memberi
isyarat kepada pasukan panahnya.
Belasan
batang gendewa dipentang dan anak-anak panah dilepaskan. Terdengar suara
berdesing-desing ketika belasan batang anak panah menyambar ke arah dua orang
tua yang masih duduk bersila berdampingan itu. Mereka hanya terkekeh, sama
sekali tidak mengelak atau menangkis.
"Suuingggg...
wirrr... takk-takk-takkk!"
Semua anak
panah tepat mengenai sasaran, yaitu tubuh kakek dan nenek itu, akan tetapi
betapa kaget hati Yalu dan kawan-kawannya melihat semua anak panah yang
mengenai tubuh mereka itu seperti mengenai dua buah arca besi dan patah-patah,
runtuh ke atas tanah di sekitar tubuh kedua orang tua itu!
"Serang...!"
Yalu berteriak dan bersama tiga orang temannya, yaitu kepala-kepala Suku Nomad
yang bertubuh tinggi besar dan kuat, dia sudah menerjang ke depan.
Terlambat
Cia Keng Hong mencegah, karena empat orang tinggi besar itu telah menyerbu
dengan golok di tangan membacok dengan ganas. Terdengar dua orang tua itu
terkekeh, lalu tiba-tiba mereka meloncat dan tampak segulungan sinar saat
mereka menggerakkan tongkat.
"Cring-cring-tranggg...!"
Empat batang
golok yang menyambar itu bertemu dengan gulungan sinar, seperti dibelit oleh
sinar itu dan terdengar teriakan mengerikan ketika senjata-senjata itu seperti
dipaksa membalik dan menghujam dada pemegangnya sendiri!
Cia Keng
Hong menjadi marah sekali. Cepat dia meloncat ke depan, kedua tangannya
menyerang dengan pukulan tangan terbuka ke arah kakek dan nenek itu.
"Ihhhh...!"
Hek-hiat Mo-li memekik.
"Aihhhh...!"
Pek-hiat Mo-ko juga berteriak.
Keduanya
meloncat ke belakang dan robohlah empat orang pimpinan Suku Nomad itu, dengan
golok menembus dada dan tewas seketika!
Keng Hong
memandang dengan penuh penyesalan. Akan tetapi, para suku Nomad yang melihat
pemimpin mereka tewas, menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriek mereka
mendekat dengan sikap mengancam. Keng Hong yang maklum bahwa kalau mereka maju
berarti hanya mengantar nyawa secara sia-sia belaka, lalu mengangkat tangan dan
berseru nyaring penuh wibawa,
"Mundur
semua! Biarkan aku menghadapi dua iblis ini!"
Semua orang
mentaati dan mengurung tempat itu. Sedangkan Keng Hong yang maklum bahwa dua
orang lawannya itu lihai sekali, telah mengeluarkan suara melengking nyaring
dan panjang bagaikan pekik seekor burung rajawali yang menantang musuh,
kemudian dengan tangan kosong tubuhnya sudah mencelat ke depan dan menyerang
nenek dan kakek itu dengan jurus-jurus maut dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat.
Dalam
segebrakan saja pendekar ini telah menghantam ke arah ulu hati Pek-hiat Mo-ko
dan sekaligus tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepala nenek Hek-hiat Mo-li
dan sulit dikatakan mana di antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya
karena keduanya adalah gerakan maut yang bila mengenai sasaran sukar bagi lawan
untuk membebaskan diri dari maut.
Kedua orang
tua yang amat lihai itu terkejut, akan tetapi ternyata kakek dan nenek tua yang
kelihatan sudah pikun itu masih mempunyai kesigapan yang mengagumkan. Mereka
berdua tidak saja dapat meloncat sambil mengelak, malah lompatan mereka itu
membuat mereka berpencar dan mengurung Keng Hong dari depan belakang, kemudian
secara langsung mereka membalas.
Mereka
berdua lalu mengeluarkan teriakan-teriakan mengerikan dan Hek-hiat Mo-li sudah
menghantamkan tangan kanannya dari belakang ke arah punggung Keng Hong. Ada pun
Pek-hiat Mo-ko juga menampar dengan telapak tangan ke arah dada pendekar sakti
itu. Dari telapak tangan Hek-hiat Mo-li mengepul asap hitam, sedangkan dari
tangan Pek-hiat Mo-ko mengepul asap atau uap putih! Itulah bukti betapa
hebatnya sinkang mereka dan tangan beracun mereka.
Cia Keng
Hong mengenal lawan tangguh. Secara otomatis kuda-kuda sepasang kakinya
bergerak ke kiri seperempat lingkaran sehingga kalau tadi kedua lawan berada di
depan dan belakang, kini yang di depan menjadi di sebelah kanannya sedangkan
yang tadinya di belakang menjadi di sebelah kirinya. Kedua lengannya
dikembangkan ke kanan kiri dan dengan tepat sekali dia sudah menyambut pukulan
kedua orang lawannya dari kanan kiri itu dengan dorongan tangannya yang terbuka
sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Plakk!
Plakkk!"
Hek-hiat
Mo-li terpekik dan terhuyung dua langkah ke belakang, ada pun Pek-hiat Mo-ko
hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Kedua kaki Cia Keng Hong sendiri
ambles ke tanah sampai beberapa senti dalamnya. Diam-diam pendekar ini
terkejut, maklum bahwa tenaga kedua orang lawan itu hampir setingkat kuatnya dengan
tenaganya sendiri, dan ternyata si kakek itu sedikit lebih kuat dari pada si
nenek.
"Cia
Keng Hong, engkau akan mampus di tanganku!" teriak Pek-hiat Mo-ko.
"Biar
kau menyampaikan tantangan kami kepada The Hoo si keparat yang sudah berada di
neraka!" Hek-hiat Mo-li juga berteriak.
Dua orang
tua itu lantas menancapkan tongkat masing-masing di atas tanah, kemudian mereka
menggosok-gosok kedua tangan mereka sehingga nampak uap mengepul makin tebal
dan terasa ada hawa panas datang dari tubuh nenek itu, akan tetapi dari tubuh
kakek itu menyambar hawa dingin!
Kembali Keng
Hong terkejut, akan tetapi dia tidak kehilangan ketenangannya dan berdiri di
tengah-tengah, kedua kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, yaitu dua kaki
terpentang lebar, lutut ditekuk dan tubuh tegak laksana seorang yang menunggang
kuda. Memang pasangan kuda-kuda itu disebut ‘Menunggang Kuda’, kokoh kuatnya
bagaikan kedua kaki telah berakar di bumi, namun ringannya seperti kaki burung
yang siap terbang.
Tangan kanan
pada pinggang kanan, jari-jarinya terbuka dan membentuk cakar garuda, sedangkan
jari-jari tangan kiri lurus di depan dada kiri. Seluruh tubuhnya sama sekali
tak bergerak, seolah-olah dia telah menjadi patung dan hanya sepasang matanya
yang masih tajam itu mengerling ke kanan kiri, mengikuti gerak-gerik kedua
orang musuhnya yang lihai itu.
"Yieeeehhh...!"
Hek-hiat Mo-li sudah menerjang dari kiri, menggunakan kedua tangannya yang
berubah hitam itu untuk mencengkeram.
"Arrgghhhh...!"
Pek-hiat Mo-ko juga mengeluarkan suara gerengan seperti biruang, kedua
tangannya menyerang pula dengan pukulan-pukulan tangan kosong dari kanan.
Keng Hong
maklum bahwa dengan menancapkan tongkat di tanah kemudian menyerang dengan
tangan kosong, tentu kakek dan nenek itu lebih mengandalkan kelihaian tangan
mereka yang jelas mengandung hawa beracun yang jahat. Karena itu dia pun tak
berani memandang rendah dan melihat betapa serangan nenek itu lebih dulu
sedetik, dia cepat menghadapinya dengan memutar tubuh ke kiri tanpa mengalihkan
kedua kakinya yang terpentang lebar. Dengan tangan berputar, jari-jarinya
menuding ke atas dan ke bawah, dia memapaki serangan nenek yang
mencengkeramnya.
Pendekar
sakti ini menggunakan gerakan ‘Menyembah Langit dan Bumi’, suatu gerakan yang
sangat ampuh, apa lagi karena dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang yang
kuat sehingga dari gerakan kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat.
Akan tetapi, pendekar ini hanya sempat menangkis saja karena dari sambaran
angin di sebelah kanannya, dia maklum bahwa serangan Pek-hiat Mo-ko sudah tiba
pula.
"Desss…!
Plakk!"
Tubuh nenek
itu mencelat ke belakang dan Keng Hong sudah memutar tubuh ke kanan,
melengkungkan tubuh ke kiri dan meluruskan kaki kanan hingga tubuh atasnya
menjauh. Dia melihat pukulan kedua tangan kakek itu datang mengancamnya dengan
amat hebat, tangan kanan kakek itu menusuk ke arah matanya sedangkan tangan
kiri digerakkan seperti sebatang golok menusuk ke arah ulu hatinya! Datangnya
serangan amat cepat, didahului uap putih yang mengeluarkan hawa dingin sekali!
Untuk
mengelak sudah tidak ada waktu, maka Keng Hong lalu menyambut serangan ke
matanya dengan tangan kiri, sedangkan tusukan ke dadanya dia terima begitu
saja! Dia tidak berani menggunakan tangan kanannya karena tangan itu perlu dia
persiapkan untuk menghadapi serangan nenek dari belakangnya.
"Plakkk!
Bukkk!"
Tangan kanan
kakek bermuka putih itu bertemu dengan tangan kiri Cia Keng Hong, ada pun
jari-jari tangan kiri kakek itu menghantam dengan jari-jari terbuka ke dada
pendekar sakti ketua Cin-ling-pai. Akibatnya hebat! Kakek bermuka putih itu terbelalak,
mukanya yang putih itu menjadi makin pucat dan matanya bergerak liar, mulutnya
mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dalam bahasa asing.
Kiranya Cia
Keng Hong sudah mempergunakan ilmunya yang sangat hebat, yaitu Thi-khi I-beng,
sehingga begitu sepasang tangan Pek-hiat Mo-ko bertemu dengan tangan kiri dan
dadanya, kedua tangan kakek muka putih itu segera melekat dan langsung saja
tenaga sinkang-nya membanjir keluar, tersedot melalui tangan dan dada ketua
Cin-ling-pai!
Akan tetapi
Keng Hong juga merasa khawatir karena sinkang yang memasuki tubuhnya itu
mengandung racun yang berhawa dingin, maka dia cepat mengendalikan tenaganya
agar tidak menyedot terlampau banyak dan Thi-khi I-beng itu hanya dipergunakan
untuk menundukkan lawan saja.
"Ahhhhhhh...!"
Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik nyaring dan mukanya menunjukkan kekagetan dan
kengerian.
Melihat ini,
Hek-hiat Mo-li dapat menduga bahwa temannya itu terancam bahaya, apa lagi dia
melihat betapa kedua tangan temannya seperti melekat pada tubuh ketua
Cin-ling-pai. Maka, sambil mengeluarkan suara melengking nyaring nenek ini pun
menyerang hebat dengan pukulan tangannya ke arah tengkuk Keng Hong.
"Wuuuuttt...!
Plakk! Plakk!"
Kembali Keng
Hong menghadapi musuhnya yang tidak kalah lihainya dari pada kakek itu dengan
penggunaan Thi-khi I-beng yang tersalur di seluruh tubuhnya. Tangan kanannya
menyambut hantaman nenek itu sehingga kedua tangan mereka bertemu dan langsung
saling menempel, sedangkan tamparan tangan kanan nenek itu ke arah punggungnya
dia biarkan saja karena Ilmu Thi-khi I-beng menyambut pukulan itu, membuat
tangan si nenek melekat pada punggungnya.
“Aihhhh...!"
Hek-hiat Mo-li juga memekik ngeri ketika merasa betapa tenaga sinkang-nya
membanjir keluar tanpa dapat dicegahnya, sedangkan ketika dia hendak menarik
kedua tangannya, ternyata kedua tangan itu sudah melekat pada tubuh lawan dan
tidak dapat ditariknya lepas!
Akan tetapi,
pada waktu kedua orang kakek dan nenek itu merasa terkejut dan khawatir sekali
menghadapi ilmu aneh yang selamanya belum pernah mereka hadapi itu, ilmu yang
membuat kedua tangan mereka melekat pada tubuh lawan dan yang membuat tenaga
sakti mereka membanjir keluar, pada lain fihak Cia Keng Hong juga terkejut dan
maklum bahwa kalau dia melanjutkan penggunaan Thi-khi I-beng, maka dia sendiri
tak urung akan celaka karena tenaga sinkang yang membanjir keluar dari tubuh
dua orang lawannya itu mengandung hawa beracun yang sangat jahat dan memiliki
sifat berlawanan, yaitu hawa beracun dari kakek itu amat dingin sebaliknya tubuh
nenek itu mengeluarkan hawa yang amat panas. Sebelah dalam tubuhnya bisa
keracunan dan rusak oleh dua hawa beracun yang saling berlawanan ini.
Pendekar
sakti dari Cin-ling-pai ini tentu saja tidak sudi untuk mengadu nyawa dengan
dua orang lawannya, maka dia cepat-cepat merendahkan tubuh dengan menekuk kedua
lututnya, kemudian secara berbarengan dia melepaskan tenaga sakti Thi-khi
I-beng dan pada saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan sehingga terlepaslah
dia dari kedua orang lawannya.
Pek-hiat Mo-ko
dan Hek-hiat Mo-li yang merasa betapa tenaga mukjijat yang membuat tangan
mereka melekat itu tiba-tiba saja lenyap, kalah cepat dan sebelum mereka sempat
memukul, tubuh lawan yang sakti itu sudah meluncur ke depan. Mereka menjadi
marah sekali, akan tetapi juga agak jeri karena mereka maklum bahwa lawan ini
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aneh. Dengan hati-hati dan dengan
mata mengandung sinar berapi, nenek dan kakek itu kembali menerjang Keng Hong
dengan pukulan-pukulan yang dikerahkan sekuatnya, mengandung hawa beracun
bergulung-gulung berbentuk uap hitam dan putih.
Cia Keng
Hong yang sudah maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan ini tidak
banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri, menghadapi mereka dengan waspada
dan hati-hati, kini bersilat dengan dasar ilmu silat tinggi Thai-kek Sin-kun
sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi bayang-bayang saja yang sukar
sekali dapat disentuh oleh kedua orang lawan.
Tiba-tiba
saja Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengeluarkan pekik panjang dan mereka
merubah gerakan mereka. Keng Hong terkejut sekali. Kini dua orang itu tidak
bergerak menyendiri, tetapi mereka bersilat dengan gerakan bergabung! Pek-hiat
Mo-ko berputaran dan kaki tangannya menghujankan serangan dari kanan ke kiri,
sedangkan Hek-hiat Mo-li berputar dari kiri ke kanan. Gerakan mereka saling
membantu dan saling mengisi hingga Keng Hong menjadi sibuk sekali menghadapi
lawan yang seolah-olah merupakan seorang lawan yang dapat memecah diri menjadi
dua, yang gerakan-gerakannya begitu otomatis sambung-menyambung, saling
melindungi dan saling membantu.
Dia terkejut
dan kagum sekali karena dia maklum bahwa dua orang ini telah menciptakan
sejenis ilmu silat mukjijat yang dimainkan secara berbareng oleh dua orang. Dia
percaya bahwa kalau dua orang ini bersilat seperti itu, mereka menjadi kuat
sekali sehingga biar menghadapi pengeroyokan banyak orang pun akan mampu saling
melindungi.
Dia sendiri
mulai terdesak dan sudah dua kali dia terkena pukulan pada pundak kirinya dan
totokan pada pangkal lengannya. Untung dia masih sempat melindungi bagian yang
terpukul dan tertotok itu dengan sinkang, kalau tidak tentu dia sudah terluka
keracunan. Betapa pun juga, pendekar sakti ketua Cin-ling-pai ini terdesak
hebat dan harus diakuinya bahwa baru sekarang selama puluhan tahun ini dia
bertemu tanding yang sedemikian lihainya.
Hanya karena
Cia Keng Hong mahir ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun sajalah maka dia masih
mampu bertahan, meski pun dia terdesak dan tidak mampu melakukan serangan
balasan. Sayang, pikirnya. Kalau saja Siang-bhok-kiam berada di tangannya, dia
tak akan gentar menghadapi dua orang ini, dan tentu dia tidak akan terdesak
seperti sekarang ini.
"Desss...!
Plakk-plakk...!"
Kembali Cia
Keng Hong terpaksa menerima dua kali tamparan dari Hek-hiat Mo-li yang mengenai
punggung serta pundaknya setelah dia menangkis hantaman Pek-hiat Mo-ko. Sekali
ini, saking hebatnya tamparan membuat kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung
juga dadanya sesak. Untung baginya bahwa tangkisannya yang keras sebelum itu
sidah membuat tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting. Kalau tidak, dalam keadaan
terhuyung itu tentu sukar baginya untuk menyelamatkan diri.
Melihat
betapa jago mereka terhuyung-huyung, sedangkan pertempuran itu berjalan amat
lambat sehingga mereka memandang rendah kepada kakek dan nenek itu, empat orang
anggota pasukan Mancu menyerbu dengan tombak di tangan, langsung menyerang
kakek dan nenek itu.
"Jangan...!"
Cia Keng Hong membentak, tapi terlambat. Empat orang itu telah menyerang dan
menusukkan tombak mereka.
"Trakk-trakkk...
desss!"
Empat batang
tombak itu memang mengenai tubuh kakek dan nenek yang menerimanya sambil
tersenyum mengejek, lantas patah-patahlah empat gagang tombak itu, kemudian
begitu kedua tangan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko bergerak, empat orang
Mancu itu berteriak mengerikan dan tubuh mereka terlempar jauh dengan kepala
pecah dan tewas seketika itu juga!
Keng Hong
yang masih merasa pening itu menjadi marah sekali. Dia meloncat ke depan,
sepasang tangannya memukul dengan tangan terbuka, sambil mengerahkan
sinkang-nya. Angin pukulan langsung menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-hiat
Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Namun dua orang tua itu sudah siap siaga, mereka
menekuk lutut, mengerahkan tenaga dan mendorongkan kedua tangan ke depan,
masing-masing menyambut pukulan Cia Keng Hong.
“Desss!
Desss...!"
Tubuh Cia
Keng Hong kembali terjengkang dan terhuyung ke belakang. Tidak kuat dia
menghadapi tenaga gabungan itu dan pendekar ini merasa dadanya sesak dan
mencium bau darah, tanda bahwa dia sudah menderita luka yang biar pun tidak
parah dan tidak berbahaya akan tetapi mengurangi daya tempurnya. Sedangkan
tubuh kedua lawannya hanya bergoyang-goyang saja.
"Cia Keng
Hong, bersiaplah untuk mampus!" Hek-hiat Mo-li berseru keras dan bersama
temannya dia sudah siap untuk menyerang lagi.
"Ayah,
biarkan saya mengambil bagian…!"
Tiba-tiba
saja nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah muncul seorang pemuda
tampan yang bukan lain adalah Cia Bun Houw! Tak lama kemudian muncul pula
seorang pemuda lainnya yang berpakaian sederhana berwarna kuning, pemuda ini
adalah Tio Sun yang datang bersama Cia Bun Houw.
Seperti
sudah dituturkan di bagian depan Cia Bun Houw bersama Tio Sun berpisah dari
enci-nya, juga dari Kwi Beng dan Kwi Eng untuk pergi melakukan penyelidikan
terhadap musuh-musuh Cin-ling-pai yang sudah melarikan diri ke utara. Di dalam
perjalanan itu, mereka mendengar pula akan peristiwa hebat yang menimpa kaisar,
yang kabarnya telah tertawan oleh musuh. Juga mereka mendengar berita angin
bahwa para musuhnya kini bekerja kepada Thaikam Wang Cin yang menjadi biang
keladi jatuhnya malapetaka atas diri kaisar yang tertawan gerombolan liar.
Maka dua
orang muda perkasa ini lalu mengambil keputusan untuk menyusul ke utara, kini
dengan dua tujuan. Pertama untuk mencari musuh-musuh Cin-ling-pai, kedua untuk
berusaha membantu dan menyelamatkan kaisar. Demikian, pada hari itu mereka tiba
di dalam hutan yang menjadi markas dari barisan-barisan Mancu dan Khitan yang
dipimpin oleh Cia Keng Hong, dan secara amat kebetulan melihat betapa ketua
Cin-ling-pai tengah dikeroyok oleh dua orang tua yang sangat lihai. Tentu saja
Bun Houw menjadi kaget dan marah, lalu meloncat mendahului Tio Sun untuk
membantu ayahnya.
Hati Cia
Keng Hong menjadi lega sekali ketika melihat munculnya pemuda ini. Dia sudah
pernah menguji kepandaian Bun Houw dan maklum bahwa tingkat kepandaian
puteranya yang telah menerima gemblengan manusia sakti Kok Beng Lama kini sudah
cukup tinggi untuk menghadapi seorang lawan seperti kakek dan nenek ini. Dia
tahu bahwa tingkat kepandaian Pek-hiat Mo-ko masih lebih tinggi sedikit dibandingkan
tingkat kepandaian si nenek, maka dia cepat menghadapi kakek itu dan berkata
kepada puteranya,
"Houw-ji,
(anak Houw), kau lawanlah Hek-hiat Mo-li, tetapi berhati-hatilah terhadap hawa
beracun dari tangannya yang mengandung tenaga Yang-kang yang cukup kuat."
"Jangan
khawatir, ayah," Bun Houw berkata dan pemuda yang merasa penasaran dan
marah melihat ayahnya tadi terdesak, langsung saja bergerak cepat, menyerang
Hek-hiat Mo-li dengan tamparan tangan kiri ke arah kepala nenek itu.
Hek-hiat Mo-li
merupakan seorang tokoh tua yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia
persilatan bagian barat, sudah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Tentu
saja dia memandang rendah terhadap seorang pemuda yang menurut taksirannya
tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya itu.
Oleh karena
itu, melihat tamparan yang datang dengan perlahan itu, dia hanya terkekeh dan
mengangkat lengan kanan untuk menangkis sambil mengerahkan hawa mukjijatnya
sehingga gerakan tangan itu didahului dengan uap hitam, lalu disusul tangan
kirinya yang menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung lawan sebagai
serangan balasan.
"Desss...!
Takkk!"
Hek-hiat
Mo-li terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang. Tadi ketika dia
menangkis, dan tusukan tangannya juga tertangkis oleh pemuda itu, sepasang
tangannya bertemu dengan tangan pemuda yang mengandung tenaga dahsyat sekali.
Akan tetapi gerakan tangan itu, serta kedahsyatan tenaga yang menggetar-getar
itu, membuat dia terbelalak karena dia mengenal gerakan tangan sakti itu.
Pernah dia dan Pek-hiat Mo-ko hampir celaka oleh gerakan tangan seperti itu,
ketika mereka merantau sampai ke Tibet.
"Apa
hubunganmu dengan Kok Beng Lama...?!" bentaknya.
Mendengar
bentakan ini, Pek-hiat Mo-ko juga menunda gerakannya menyerang Cia Keng Hong
dan ikut memandang ke arah pemuda itu.
Bun Houw
tersenyum. "Kok Beng Lama adalah suhu-ku, mau apa kau tanya-tanya?"
Mendengar
ini, kakek dan nenek itu terkejut bukan kepalang, lalu si nenek mengeluarkan
kata-kata dalam bahasa asing, kemudian kakek dan nenek itu menggerakkan tangan
dan segumpal uap putih dan hitam menyambar ke arah Cia Keng Hong dan Cia Bun
Houw. Serangan ini hebat sekali, karena selain uap itu mengandung racun yang
berbahaya, juga di dalamnya terdapat senjata rahasia berbentuk jarum-jarum
halus yang meluncur ganas dan tersembunyi.
"Houw-ji,
awas...!" Keng Hong berseru, maklum akan bahayanya senjata rahasia itu.
Akan tetapi,
seperti juga ayahnya, dengan mudah saja Bun Houw menghindarkan diri dari
serangan uap hitam dengan memiringkan tubuh dan menggunakan pukulan tangan yang
mengeluarkan angin dahsyat meruntuhkan uap hitam dan jarum-jarum di dalamnya.
"Hendak
lari ke mana kalian?!" Bun Houw membentak.
"Houw-ji,
jangan kejar. Biarkan mereka pergi!" Keng Hong mencegah puteranya dan Bun
Houw tidak melanjutkan pengejarannya.
Keng Hong
yang sudah mendengar tentang puteranya ini dari penuturan Cia Giok Keng yang pulang
ke Cin-ling-pai, kini menceritakan kepada pemuda itu mengenai kaisar yang
ditawan musuh dan mengenai usahanya untuk menyelamatkan kaisar. Dia merasa
girang mendengar bahwa Tio Sun yang gagah perkasa itu adalah putera Tio Hok
Gwan sahabat baiknya.
Mendengar
betapa beberapa kali usaha pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu mengalami
kegagalan dalam menyelamatkan kaisar, Bun Houw dan Tio Sun langsung menyatakan
hendak membantu.
"Cia-locianpwe,
biarlah saya dan adik Bun Houw menyelundup ke dalam benteng musuh untuk
menyelamatkan sri baginda kaisar," kata Tio Sun penuh semangat. Sebagai
putera seorang bekas pengawal kaisar yang setia, tentu saja Tio Sun ingin
sekali membuktikan dharma baktinya terhadap kaisar.
Bun Houw
juga menyetujui usul Tio Sun ini, akan tetapi Cia Keng Hong menggelengkan
kepalanya. "Berbahaya sekali...," orang tua sakti ini berkata
perlahan.
"Ayah,
kami berdua tidak takut menghadapi bahaya untuk menyelamatkan kaisar!" Bun
Houw berkata nyaring.
"Hemm,
aku tahu. Akan tetapi bahayanya bukan hanya mengancam kalian berdua kalau
kalian menyelundup ke sana, melainkan terutama sekali mengancam keselamatan
nyawa kaisar."
"Ehh,
mengapa begitu?" Bun Houw bertanya kaget.
"Apa
maksud locianpwe?" Tio Sun juga bertanya karena merasa heran.
"Menurut
penyelidikanku, biar pun menjadi tawanan musuh, kaisar mendapat pelayanan baik
dan selama ini tidak pernah diganggu keselamatannya. Besar kemungkinan Sabutai
hendak mempergunakan kaisar sebagai sandera, atau hendak membujuk kaisar supaya
dengan suka rela suka menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Maka, kalau dia
melihat kalian mengancam, bukan tidak mungkin dia akan merubah sikapnya
terhadap kaisar."
Tio Sun dan
Bun Houw mengangguk-angguk. "Habis, bagaimana baiknya, ayah? Tidak mungkin
pula kita mendiamkan saja kaisar menjadi tawanan gerombolan liar."
"Satu-satunya
jalan hanya menyerbu secara terbuka. Akan tetapi kekuatan pasukan yang berhasil
kukumpulkan tidak berapa besar dan kita masih menanti datangnya bala tentara
kerajaan yang tak kunjung datang. Sementara itu, kembali kita telah kehilangan
beberapa orang, termasuk Yalu, yang tewas dalam tangan kakek dan nenek iblis
itu. Tak kusangka bahwa Sabutai memiliki guru-guru yang demikian lihainya.
Pantas dia berani mengadakan pemberontakan dan menawan kaisar."
Dua orang
pemuda itu maklum bahwa apa bila mereka bertindak secara lancang, selain mereka
sendiri terancam bahaya, juga mereka belum tentu dapat menolong kaisar, malah
mungkin akan membahayakan nyawa kaisar. Oleh karena itu mereka menyerahkan
siasat kepada ketua Cin-ling-pai dan menyatakan hendak membantu sekuat tenaga.
Tentu saja
Cia Keng Hong merasa girang sekali memperoleh bantuan puteranya dan Tio Sun.
Hati pendekar ini menjadi besar, semangat dan harapannya timbul kembali untuk
menyelamatkan kaisar.
***************
Memang benar
seperti dikatakan oleh Cia Keng Hong kepada puteranya dan Tio Sun bahwa Kaisar
Ceng Tung mendapat pelayanan baik sekali oleh Sabutai. Bahkan lebih dari itu,
kaisar memperoleh kebebasan di dalam gedung kecil yang dikelilingi taman indah,
hanya dijaga oleh pasukan penjaga secara ketat di sekeliling taman itu sehingga
tidak ada orang luar yang dapat masuk. Akan tetapi, kaisar sendiri dapat
berjalan-jalan di dalam taman, dan apa pun yang dibutuhkannya dapat segera
terlaksana karena banyak terdapat pelayan-pelayan wanita yang selalu siap
melaksanakan perintahnya.
Malam itu
bulan purnama gilang-gemilang memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang
sejuk. Kaisar Ceng Tung nampak duduk seorang diri di dalam taman, duduk di atas
bangku sambil termenung menghadapi bunga-bunga yang mekar dan semerbak harum
bermandikan sinar bulan purnama. Hatinya merasa lengang, sunyi dan merana
karena malam yang indah dan sunyi ini mengingatkan dia akan kekasihnya, Azisha
yang sudah tewas.
Malam yang seindah
itu mengingatkan dia akan keindahan wajah kekasihnya, kemerduan suaranya dan
kehangatan serta kelembutan tubuhnya, membuat dia merasa rindu sekali. Kaisar
yang baru berusia dua puluh tiga tahun ini, yang masih amat muda, tersiksa oleh
kerinduan akan belaian dan kasih sayang wanita.
Memang benar
bahwa pelayan-pelayan yang disediakan oleh Sabutai untuk melayaninya terdiri
dari para wanita muda yang cantik-cantik, akan tetapi sebagai seorang kaisar
yang berkedudukan tinggi dan mulia, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan
Sabutai sebagai raja gerombolan liar itu, Kaisar Ceng Tung tidak sudi
merendahkan dirinya dengan para pelayan itu. Lagi pula, setelah selama ini dia
setiap malam terbuai dalam pelukan seorang wanita secantik Azisha, mana mungkin
dia tertarik dengan kecantikan biasa para pelayan itu?
Sinar bulan
purnama secara ajaib menyulap keadaan di dalam taman yang setiap hari telah
dilihatnya itu menjadi semacam taman impian yang luar biasa, bermandikan cahaya
keemasan yang redup dan sejuk menghijau, menimbulkan bayang-bayang tipis yang
aneh namun indah mempesonakan. Rasa rindunya terhadap Azisha makin menekan dan
kaisar yang muda ini diam-diam merintih di dalam batinnya.
Dia sudah
kehilangan segala-galanya. Kehilangan kedudukannya, kehilangan kekasihnya,
bahkan hampir kehilangan harapan karena sampai berbulan lamanya tak ada usaha
yang datang dari kota raja untuk membebaskannya. Baru kini dia bisa melihat
kenyataan, baru terbuka matanya betapa dia selama ini telah pulas dalam pelukan
Azisha, telah terlena dalam kepalsuan Wang Cin yang kini menjebloskannya.
Menyesallah hati kaisar muda ini dan diam-diam dia bersumpah bahwa andai kata
umurnya masih panjang dan dia dapat memperoleh kembali kedudukannya, dia akan
menebus semua kesalahannya terhadap rakyatnya, dia akan menjadi seorang kaisar
yang baik.
Azisha...!
Walau pun dia mendengar bahwa kekasihnya itu tewas karena hendak merayu
Sabutai, dan meski pun dia sudah sadar bahwa wanita itu adalah kaki tangan Wang
Cin yang sengaja diumpankan oleh Wang Cin untuk menundukkannya, namun tak
mungkin baginya untuk melupakan wanita itu. Nama itu saja sudah mengandung
kemesraan hebat, mengingatkan dia akan saat-saat yang penuh dengan kebahagiaan
dan cinta kasih, penuh dengan kenikmatan sehingga harus diakuinya bahwa dia
pernah jatuh cinta mati-matian kepada Azisha.
Tiba-tiba
saja kaisar muda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya karena hidungnya
mencium keharuman yang lain dari pada keharuman bunga di sekelilingnya.
Keharuman semerbak yang sangat halus dan menyegarkan, yang mengingatkan dia
akan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha. Cepat dia menoleh ke kiri dan
kaisar itu menahan napas, jantungnya berdebar dan matanya terbelalak.
Dalam sinar
bulan yang kuning emas kehijauan itu dia melihat sesosok bayangan orang.
Bayangan Azisha! Tak salah lagi! Tubuh yang ramping itu, lenggang yang lemah
gemulai, wajah yang bersinar-sinar itu, siapa lagi kalau bukan Azisha?
“Azisha...!"
Kaisar berseru lirih dan mengulurkan kedua tangannya, jantungnya berdebar penuh
kerinduan. Sesaat dia lupa bahwa wanita yang bernama Azisha sudah tewas, dan
bahwa tidak mungkin Azisha datang kepadanya malam hari ini.
Sosok
bayangan wanita itu kini sudah tiba di hadapannya. Sejenak wanita ini berdiri
dan memandang dengan sinar mata bercahaya dan bibir manis menahan senyum,
kemudian ketika kaisar mengulangi panggilannya, dia menjatuhkan diri berlutut.
"Azisha...!"
Wanita itu
menghela napas panjang, kemudian terdengar suaranya halus, lembut, "Harap
paduka maafkan, hamba bukanlah Azisha."
Kaisar Ceng
Tung terperanjat, lalu sadar bahwa memang tidak mungkin kalau wanita ini
Azisha. Azisha sudah mati dan tidak mungkin arwahnya yang datang menggodanya.
Biar pun dari tubuh yang berlutut itu keluar keharuman semerbak, akan tetapi
keharuman yang berbeda dengan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha, dan biar
pun suara tadi halus merdu, namun logatnya berbeda dengan logat suara Azisha
yang berdarah Mongol.
Ahhh, tentu
suasana malam terang bulan purnama telah membuat dia seperti gila, pikir kaisar
itu dengan hati merasa malu. Wanita ini tentu hanya salah seorang di antara
para pelayan. Kembali dia memandang penuh perhatian lalu menggeleng kepala,
membantah suara hatinya sendiri.
Tidak
mungkin kalau pelayan, pikirnya. Pakaiannya bukan seperti pelayan, dan dandanan
rambut yang panjang halus itu, hiasan rambutnya, pakaiannya, gerak-geriknya.
Bukan, pasti bukan pelayan biasa!
"Siapakah
namamu?" perlahan dia bertanya sambil memandang kepala yang menunduk
sehingga tidak nampak mukanya itu.
"Nama
hamba Khamila," wanita itu menjawab lirih pula. Suaranya halus dan
mengandung getaran penuh perasaan sehingga mengharukan bagi Kaisar Ceng Tung.
"Engkau
seorang pelayan?"
Wanita itu
menggelengkan kepalanya. Tepat, seperti dugaanku, pikir kaisar. Dia bukanlah
pelayan. Habis, siapa? Dan mau apa?
"Kalau
begitu, apa keperluanmu masuk ke taman ini?" Sekarang pertanyaan kaisar
mulai mengandung kecurigaan dan penyelidikan.
"Ampunkan
hamba, hamba sengaja datang untuk... melayani paduka..." Gemetar suara itu
sekarang.
Kaisar Ceng
Tung mengerutkan kedua alisnya, tidak mengerti. "Melayani aku? Melayani
bagaimana maksudmu?"
"Hamba
ingin melayani paduka, apa pun juga yang paduka kehendaki dari hamba, akan
hamba lakukan dengan segala kerendahan dan kebahagiaan hati hamba." Kini
suara itu mulai agak lebih berani sehingga timbul keheranan kaisar dan dia
ingin tahu lebih banyak.
"Akan
tetapi, Sabutai sudah menyediakan banyak sekali pelayan dan segala kebutuhanku
telah dicukupi. Sudah ada begitu banyak pelayan, perlu apa engkau hendak
melayaniku?"
"Mereka
itu tidak akan mampu merawat paduka dalam kesepian paduka, tidak akan dapat
mengobati kesengsaraan hati paduka yang merana..."
Kaisar Ceng
Tung terkejut sekali, menahan kemarahannya dan memandang heran penuh
kecurigaan. "Perempuan muda, kalau engkau mengira bahwa dengan kecantikan
engkau akan dapat menggoda dan menundukkan aku, engkau keliru. Siapa yang
menyuruhmu datang menemuiku di sini?"
Dengan muka
masih menunduk wanita itu segera menjawab, "Yang menyuruh hamba adalah
perasaan hati hamba sendiri, hamba bersumpah bahwa tidak ada siapa pun yang
menyuruh hamba, harap paduka tidak menaruh kecurigaan karena niat hamba ini
tulus ikhlas dan tidak menyembunyikan sesuatu."
Kaisar Ceng
Tung semakin terheran. Kata-kata yang keluar dengan halus dan tenang itu sama
sekali tidak mengandung keraguan dan kebohongan, juga kata-katanya teratur baik
tanda bahwa wanita ini terpelajar, sungguh pun ada logat asing di dalam
kata-katanya. Timbullah keinginan tahunya dan dia berkata, "Kalau begitu,
apakah yang mendorongmu menemui aku dan hendak melayaniku?"
"Yang
mendorong hamba adalah rasa kagum dan iba. Hamba kagum akan kegagahan dan
kejantanan paduka yang sedikit pun tidak mau menyerah, tidak merasa takut biar
pun telah berada dalam cengkeraman harimau, dan hamba merasa iba melihat nasib
paduka, maka hamba datang ingin menghibur paduka..."
Jantung
kaisar muda itu mulai berdebar, hatinya tertarik sekali karena menganggap hal
ini amat mustahil dan luar biasa anehnya. "Bangkitlah dan ke
sinilah!" perintahnya.
Wanita itu
bangkit berdiri dan tegaklah tubuh yang langsing itu, tubuh muda yang penuh
dengan lekuk-lengkung menggairahkan di balik pakaiannya yang terbuat dari
sutera halus. Dengan langkah-langkah lemah-gemulai bagaikan seorang penari,
wanita itu lalu datang mendekat dan berdiri dekat sekali di hadapan kaisar yang
juga sudah bangkit berdiri, menundukkan kepalanya.
Kaisar
menatap rambut kepala yang halus hitam dan panjang itu dan hidungnya mencium
keharuman yang aneh. "Angkat mukamu..." katanya perlahan
Wanita itu
mengangkat mukanya perlahan dan bukan main kagetnya kaisar ketika melihat wajah
seorang wanita muda yang amat cantik jelita! Sepasang mata yang bersinar-sinar,
yang tanpa sembunyi-sembunyi memandangnya dengan cinta kasih yang jelas nampak
di dalam sinar matanya, dengan bibir merah tipis tersenyum malu-malu, raut muka
yang amat cantik, sikap yang menantang.
"Kau...
kau cantik sekali..." Kaisar Ceng Tung berbisik lirih, suaranya agak
gemetar.
Wanita itu
tersenyum, jelas bahwa dia kelihatan girang oleh pujian ini. "Terima
kasih, dan hamba... hamba siap dengan segala kerelaan hati untuk melayani
paduka, menghibur paduka..." Suara wanita itu gemetar, tanda bahwa saat
itu dia pun merasa tegang dan berdebar jantungnya.
Jelas bahwa
dia bukanlah seorang wanita yang sudah biasa merayu pria, bukan seorang wanita
yang sudah biasa bermain gila dengan sembarang pria yang dijumpainya, bukan
seorang wanita cabul penjaja cinta. Makin heranlah hati Kaisar Ceng Tung dan
sampai lama dia yang mulai terpesona itu menatap wajah yang amat cantik itu,
wajah seorang wanita yang usianya masih amat muda, kurang lebih delapan belas
tahun!
Bulan
purnama bercahaya sepenuhnya menyelimutii taman itu. Menurut dongeng, Dewi
Asmara memang bertempat tinggal di bulan, dan setiap bulan purnama, Dewi Asmara
mengirimkan kekuasaan mukjijatnya melalui cahaya bulan purnama ke permukaan
bumi. Cahaya bulan yang telah mengandung kekuasaan mukjijat ini akan
mempengaruhi setiap makhluk di atas bumi, memperkuat daya tarik antara lawan
kelamin, mendorong gairah birahi karena memang sudah menjadi tugas Dewi Asmara
untuk memperlancar semua makhluk untuk berkembang biak. Demikianlah dongengnya.
Dongeng itu
entah benar atau tidak, terserah. Akan tetapi yang jelas, melihat wajah cantik
jelita tertimpa cahaya bulan purnama yang keemasan, Kaisar Ceng Tung terpesona.
Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, masih amat muda dan sedang dalam keadaan
duka merana serta penuh kerinduan karena kehilangan Azisha, kekasihnya.
Sekarang,
menghadapi seorang wanita yang kecantikannya tidak kalah oleh Azisha, yang
datang-datang hendak menyerahkan diri kepadanya, tentu saja dia terpesona dan
tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya bergerak dan di lain saat wanita itu
sudah didekapnya dengan ketat dan dua jantung berdetak keras.
"Kau...
kau cantik jelita...," kata Kaisar Ceng Tung setelah dia mencium wanita
itu, yang dibalas oleh wanita itu dengan gerakan kemalu-maluan tapi jelas
memperlihatkan bahwa wanita itu benar-benar kagum dan suka kepada kaisar muda
ini. "Akan tetapi... kalau… kalau ternyata engkau disuruh oleh Sabutai
untuk merayuku... aku akan berubah benci padamu..."
Wanita itu
membalik kemudian merangkul leher Kaisar Ceng Tung, memandang dengan kedua
matanya yang bening lembut lalu berkata, "Mengapa paduka masih tidak
percaya? Hamba datang atas kehendak hamba sendiri, hamba berani
bersumpah..."
"Khamila,
siapakah engkau yang begini berani memasuki taman ini untuk bertemu dengan aku?
Kalau Sabutai mengetahui..."
"Tidak akan
ada seorang pun yang berani mengganggu hamba, apa lagi para penjaga itu, bahkan
Sabutai sendiri pun tidak akan mengganggu hamba..."
"Bagaimana
engkau bisa begitu yakin? Siapakah engkau ini yang kekuasaannya begitu
besar?"
"Apakah
paduka belum dapat menduga? Hamba adalah isteri Sabutai..."
"Ahhh...!"
Kaisar Ceng Tung mendorong dengan kedua tangannya hingga tubuh Khamila
terhuyung ke belakang dan hampir saja roboh terjengkang.
Wanita itu
memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, akan tetapi dia segera
melangkah maju lagi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar itu.
"Harap
paduka memaafkan hamba... sesungguhnya hamba melakukan ini bukan sebagai
penyelewengan melainkan dengan penuh kesadaran, bahkan juga sepengetahuan suami
hamba, Sabutai..."
"Apa...?"
Kaisar Ceng Tung makin terkejut dan heran, juga amat tertarik.
Melihat
wanita itu berlutut dan memandang kepadanya dengan mata sayu, timbul rasa iba
di dalam hatinya, apa lagi ketika dia teringat betapa mesra sikap wanita itu
tadi di dalam pelukannya dan betapa dia telah mendorongnya hampir roboh.
"Ke
sinilah, Khamila, dan ceritakan sebenarnya."
Khamila
bangkit berdiri dan tak lama kemudian dia telah dipangku dan dipeluk oleh
kaisar yang kini duduk di atas bangku. Dengan suara lembut wanita cantik itu
lalu menceritakan keadaannya, bahwa dia menjadi isteri Sabutai karena dipaksa,
bahwa dia sama sekali tak mencintai suaminya itu.
"Akan
tetapi, dia sangat mencinta hamba dan dia menyayangkan bahwa sampai sekarang
hamba belum juga mempunyai keturunan. Saking cintanya kepada hamba, dia tidak
mau mengambil isteri lain, bahkan dia merencanakan untuk menyuruh hamba tidur
dengan pria lain secara diam-diam, semata-mata agar hamba dapat memperoleh
keturunan."
"Ahhh...?"
Kaisar Ceng Tung terkejut dan merasa heran sekali mendengar ini.
"Hamba
tidak cinta kepadanya, mana mungkin hamba dapat melahirkan keturunannya? Dan
hamba merasa ngeri kalau harus melayani pria lain. Setelah hamba melihat paduka
yang menjadi tawanan, begini gagah perkasa, begini tampan dan halus, seketika
hamba jatuh cinta maka hamba berterus terang kepada Sabutai bahwa kalau hamba
diharuskan melayani pria lain agar memperoleh keturunan, hanya padukalah
orangnya yang hamba pilih. Dia setuju, bahkan merasa terhormat karena paduka
adalah seorang raja yang jauh lebih besar dari pada dia."
Kaisar Ceng
Tung mengangguk-angguk dan membelai leher yang halus itu. Gairahnya berkobar
sesudah wanita ini terang-terangan menyatakan cintanya. Tidak lama kemudian,
kaisar memondong tubuh yang ringan itu memasuki gedungnya, ada pun Khamila
hanya merangkulkan lengannya ke leher kaisar itu, menyembunyikan muka di
dadanya dengan jantung berdebar. Dia tidak mau menceritakan bahwa kalau
hubungan di antara mereka tidak menghasilkan keturunan, dia akan dibunuh oleh
Sabutai!
Dan mulai
malam hari itu pula, dengan penuh kemesraan setiap malam Khamila datang
mengunjungi Kaisar Ceng Tung dan baru kembali ke istana menjelang pagi. Kaisar
Ceng Tung merasa terhibur dan diam-diam dia jatuh cinta kepada isteri Sabutai
ini, demikian pula dengan Khamila yang baru pertama kali itu menyerahkan cinta
kasihnya terhadap seorang pria.
Kurang lebih
satu bulan kemudian, Khamila tidak muncul lagi! Kaisar Ceng Tung menjadi
gelisah dan sampai tiga malam lamanya dia menanti-nanti di taman dengan hati
penuh kerinduan. Pada malam hari ketiga, ketika dia duduk melamun di atas
bangku, tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dengan
wajah girang, mengira bahwa Khamila yang muncul. Akan tetapi betapa kaget
hatinya ketika dia melihat bahwa yang datang adalah Sabutai!
Cepat kaisar
berdiri dengan sikap angkuh, memandang kepada musuhnya yang muncul sendirian
itu. Sedikit pun Kaisar Ceng Tung tidak merasa takut, hanya kecewa melihat
bahwa yang datang bukanlah Khamila yang ditunggu-tunggui, melainkan musuhnya
ini.
Sabutai
tersenyum lebar dan menjura dengan hormat. "Saya datang untuk mengucapkan
terima kasih!"
Kaisar Ceng
Tung mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu?" tanyanya tenang.
"Karena
paduka maka isteri saya kini mengandung dan akan melahirkan seorang anak,
keturunan saya! Dan karena peristiwa ini pula maka isteri saya tidak akan mati,
juga saya merasa makin hormat kepada paduka."
Kaisar Ceng
Tung memandang dengan mata terbelalak. "Dia... dia tidak akan mati? Apa
maksudmu?"
Kembali
Sabutai tersenyum. "Tak tahukah paduka bahwa dia mendatangi paduka dengan
taruhan nyawa? Kalau dia tidak berhasil, tidak mengandung dalam waktu satu
bulan, dia akan saya bunuh sebagai seorang isteri yang melakukan jinah, dan
mungkin paduka tidak akan terbebas dari hukuman pula. Betapa pun juga, syukur
dia telah mengandung. Sekali lagi, terima kesih." Sabutai menjura lagi, kemudian
pergi dari situ dengan langkah lebar dan wajah berseri.
Beberapa
saat lamanya Kaisar Ceng Tung berdiri terpaku bagaikan patung, lalu dengan
tubuh lemas dia menjatuhkan diri di atas sebuah bangku. Berkali-kali dia
menghela napas panjang, merasa hatinya kosong dan berduka. Rasa cintanya
terhadap Khamila semakin mendalam. Wanita itu telah mengandung keturunannya!
Betapa mesra
dan lembut perasaan hatinya terhadap wanita itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa
tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk berjumpa dengan wanita itu. Sabutai
tentu akan melarang keras. Dan dia tak dapat berbuat sesuatu! Memperjuangkan
haknya sebagai ayah kandung dari anak yang berada dalam kandungan Khamila? Tak
mungkin, karena hal ini hanya akan mencemarkan nama Khamila dan dia sendiri.
Tak terasa lagi, dua tetes air mata membasahi pipi kaisar ini.
***************
"Huh,
engkau sudah menjadi gila agaknya..." Dia meremas tangannya sendiri.
Suaranya lirih dan mengandung kegemasan. Sejak tadi dia duduk di bawah pohon di
dalam hutan lebat itu, seorang diri saja dan kadang-kadang termenung,
kadang-kadang berbisik-bisik seorang diri seperti orang yang gila.
Dia seorang
gadis yang amat cantik jelita. Usianya paling banyak dua puluh tahun, karena
biar pun melihat wajahnya masih kelihatan seperti seorang dara remaja yang
tidak akan lebih dari lima belas tahun, namun di balik sinar matanya dan lekuk
mulutnya terbayang kematangan seorang gadis yang telah dewasa.
Sepasang
matanya tajam dan bening, agak lebar dan dihias oleh bulu mata yang panjang
lentik dan yang membentuk bayang-bayang di pipi atasnya. Hidungnya kecil
mancung, sangat serasi dengan mulutnya yang indah bentuknya, dengan sepasang
bibir yang tipis merah dan amat lunak, tapi bibir yang seperti buah masak itu
membayangkan kekerasan hati terutama sekali lekuk dagunya.
Rambutnya
hitam panjang dan halus, digelung ke atas seperti bentuk bunga teratai dan
ujung rambutnya dibiarkan terurai di belakang punggungnya. Panjang sekali
rambut itu, karena biar pun sudah digelung, sisanya masih mencapai punggung.
Agaknya jika gelung dilepas, panjang rambut itu akan mencapai bawah pinggul.
Pakaiannya
sederhana potongannya, juga terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mahal,
jahitannya pun kasar akan tetapi setelah menempel di tubuhnya, menjadi patut
dan manis sekali. Hal ini adalah karena bentuk tubuhnya memang sangat indah,
padat dan dengan lekuk lengkung sempurna, bagian atas dan bawah yang padat
agaknya dipisahkan dan dibatasi oleh pinggang yang ramping sekali.
Sebatang
pedang panjang tergantung pada pinggang kirinya, dan pedang ini menambah
kegagahan di samping kecantikannya yang asli tanpa bantuan bedak dan gincu.
Seorang dara yang cantik jelita, manis, dan gagah perkasa.
Dia adalah
Yap In Hong! Pada saat itu, In Hong yang sudah sejak tadi duduk termenung di
bawah pohon, nampak amat kesal dan beberapa kali mengepal tinju, meremas tangan
sendiri dan bersungut-sungut memaki diri sendiri.
Dia merasa
marah kepada diri sendiri karena semenjak pertemuannya dengan Bun Houw dia
merasa tidak sewajarnya, tidak seperti dulu-dulu lagi dan betapa pun dia
berusaha untuk melupakan pemuda itu, namun setiap saat dia teringat lagi,
teringat akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pemuda itu, terbayang
akan wajahnya, sinar matanya, senyum dan kata-katanya! Di lubuk hatinya ada
perasaan mesra dan kerinduan untuk berdekatan dengan pemuda itu, dan inilah
yang membuat dia marah kepada diri sendiri sampai dia memaki dirinya sendiri
gila.
Memang tanpa
disadarinya sendiri, dia telah tergila-gila, telah jatuh cinta kepada pemuda
itu. Pemuda itu merupakan suatu kekecualian. Selama ini, sejak kecil telah
ditanamkan di dalam hatinya akan kepalsuan kaum pria, akan kejahatan dan
kesewenang-wenangan mereka terhadap kaum wanita sehingga ada dasar tidak suka
di dalam hatinya terhadap kaum pria. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Bun
Houw, melihat sikap pemuda itu yang gagah perkasa, yang jauh dari pada
mempermainkan wanita, bahkan menolak bujuk rayu wanita, yang bersikap baik,
halus dan sopan kepadanya, maka jatuhlah hatinya!
Akan tetapi
dia berusaha untuk menyangkal hal ini dan selalu melawan perasaan hatinya.
Celakanya, makin dilawan, makin beratlah rasa hatinya, makin kuat dorongan
hasratnya untuk selalu berdekatan dengan Bun Houw.
Maka
terjadilah perang di dalam hatinya sendiri dan akibatnya membuat gadis ini
seperti orang bingung. Kadang-kadang dia menjauhi, akan tetapi tak lama
kemudian kembali dia mendekati dan diam-diam membayangi perjalanan Bun Houw.
Bahkan dari
jauh dia melihat Bun Houw yang bertemu dengan orang-orang gagah, lalu dia
berkesempatan pula menyelamatkan Souw Kwi Beng dari tangan Hui-giakang Ciok Lee
Kim dan membunuh orang keempat dari Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi dia
selalu cepat menghindarkan pertemuan dengan Bun Houw, karena dia merasa malu
bila sampai ketahuan oleh pemuda itu bahwa selama ini dia membayangi pemuda
itu! Apa lagi ketika dari jauh dia melihat Cia Giok Keng puteri ketua
Cin-ling-pai, kemudian melihat pula Yap Kun Liong kakak kandungnya, In Hong
terkejut dan cepat menjauhkan diri tidak berani mendekat.
Betapa pun
juga, perasaan rindunya dan ingin berdekatan dengan Bun Houw membuat dia
mengintai lagi dan akhirnya dia membayangi Bun Houw yang melakukan perjalanan
ke utara bersama Tio Sun. Setelah Bun Houw dan Tio Sun membantu Cia Keng Hong
mengusir dua orang kakek dan nenek yang amat lihai, dua orang pemuda itu masuk
ke dalam perkemahan pasukan orang Mancu dan Khitan itu dan hingga berhari-hari
lamanya tidak meninggalkan tempat itu.
"Bodoh
kau!" Kembali In Hong mengomeli dirinya sendiri.
Betapa dia
tidak akan merasa jengkel dan gemas terhadap dirinya sendiri yang selama ini
selalu berkeliaran di dalam hutan di sekitar perkemahan itu, menanti-nanti
munculnya Bun Houw! Dia telah membiarkan dirinya tersiksa hidup berhari-hari di
dalam hutan liar dan lebat, tanpa kawan, dengan hati penuh rasa rindu dan
kejengkelan. Beberapa kali dia ingin memasuki perkemahan itu untuk bertemu
dengan Bun Houw, akan tetapi rasa malu membuat dia mundur kembali.
Ia telah
melakukan penyelidikan sekedarnya dan telah mendengar bahwa kaisar menjadi
tawanan Sabutai dan bahwa kelompok orang Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh
ketua Cin-ling-pai itu berniat untuk menyelamatkan kaisar, akan tetapi selalu
terpukul mundur oleh pasukan Sabutai yang jauh lebih banyak dan kuat.
"Kalau
begini terus, aku bisa gila benar-benar!" Akhirnya In Hong bangkit
berdiri, lantas mengepal tinju, mengambil keputusan bahwa dia akan menemui Bun
Houw! Dia sudah mempunyai alasan untuk mengatasi rasa malunya, yaitu bahwa dia
hendak membantu pemuda itu untuk menolong kaisar yang tertawan musuh!
Akan tetapi
In Hong tidak ingin bertemu dengan orang-orang lain, apa lagi dengan ketua
Cin-ling-pai! Orang tua sakti itu pernah hendak menjodohkan dia dengan
puteranya, ingin mengambil mantu padanya. Tentu saja dia merasa malu apa bila
kelihatan oleh ketua itu bahwa dia ingin membantu Bun Houw dan merasa senang
apa bila berdekatan dengan pemuda she Bun itu, seorang pemuda biasa saja!
Kecuali
kalau pemuda itu sudah menerimanya, kalau kemudian terpaksa bertemu dengan
siapa pun, tidak mengapa. Yang penting, dia harus bertemu dulu dengan Bun Houw
untuk menyatakan keinginannya membantu usaha pemuda itu menolong kaisar.
Dia masih
harus menanti sampai tiga hari, barulah pada suatu senja In Hong melihat Bun
Houw keluar seorang diri dari daerah perkemahan itu. Dengan girang dia lalu
muncul dari atas pohon, meloncat bagai seekor burung garuda ke depan Bun Houw
yang memandang dengan kaget sekali, akan tetapi segera wajah pemuda ini berseri
ketika dia mengenal siapa yang meloncat turun menghadang di depannya dari atas
pohon itu.
"Hong-moi...!"
Seruan yang keluar dari mulut Bun Houw ini mengandung getaran karena memang
selama ini sering kali dia mengenangkan dara itu dengan hati penuh kerinduan,
maka pertemuan yang tidak disangka-sangkanya ini secara tiba-tiba membuat dia
terkejut dan girang bukan main.
Hati yang
penuh kerinduan membuat matanya melihat gadis itu lebih cantik dan gemilang
dari pada yang dibayangkan selama ini, membuat jantungnya berdebar penuh kagum,
dan membuat dia lupa pula akan segala hal lain mengenai diri In Hong yang
dikenalnya sebagai seorang gadis cantik jelita dan berilmu tinggi dan yang
mengaku bernama Hong saja.
Hati gadis
itu pun girang sekali. Ketika melihat wajah Bun Houw, mendengar suaranya,
mendatangkan perasaan aneh di dalam dadanya, membuat jantungnya berdebar tegang
dan ada perasaan malu-malu yang aneh sekali, yang membuat wajahnya menjadi
merah dan tidak kuat dia menentang pandang mata itu.
"Bun-twako...
sudah berhari-hari aku menunggu kesempatan ini... akhirnya kau muncul sendirian
juga...," katanya lirih sambil menundukkan pandang mata, akan tetapi
mukanya cepat diangkatnya kembali dan dia memandang dengan sinar mata tajam
berseri.
"Berhari-hari
menunggu...? Kenapa kau tidak langsung saja masuk ke perkemahan dan menemui
aku?"
"Aku
tidak ingin bertemu dengan yang lain-lain, terutama dengan ketua Cin-ling-pai,
aku mau bicara dulu denganmu, Bun-twako."
"Engkau
sudah tahu keadaan kami..." Tiba-tiba Bun Houw teringat dan alisnya berkerut,
wajahnya yang tadinya berseri itu berubah muram.
"Tentu
saja aku tahu semua karena selama ini aku mengikutimu dari jauh, twako."
"Hemm...
aku tahu... engkau telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng..."
"Aku
tidak mengenal siapa itu Souw Kwi Eng, akan tetapi aku memang telah membunuh
Hui-giakang Ciok Lee Kim dan monolong Souw Kwi Beng...," kata In Hong
terheran.
Bun Houw
mengangguk-angguk, hatinya mulai panas karena dia teringat akan perbuatan kejam
gadis ini. Tentu dia tidak akan mau mengakui perbuatan keji itu, pikirnya.
"Aku
tahu semua itu... sekarang engkau menemui aku ada keperluan apakah?"
In Hong
menjadi makin terheran-heran melihat perubahan sikap dan wajah pemuda itu.
"Aku telah mendengar bahwa kaisar ditawan musuh dan aku tahu bahwa engkau
hendak menolongnya, Bun-twako. Oleh karena itu aku hendak menawarkan bantuanku,
aku ingin membantumu."
"Tidak...!
Aku tidak mau...!" Bun Houw menggelengkan kepala, suaranya kasar karena
dia membayangkan gadis she Ma yang tewas secara mengerikan di dalam kamarnya,
tewas oleh seorang wanita lihai yang tentu saja gadis cantik yang sedang
berdiri di depannya inilah orangnya!
Saking kaget
dan herannya melihat sikap pemuda itu, In Hong lantas melangkah maju mendekat,
menatap wajah itu dengan penuh selidik lalu dia bertanya, "Bun-twako,
engkau kenapakah?"
"Aku
tidak membutuhkan bantuanmu!"
Hati Bun
Houw semakin panas karena terdorong oleh rasa kecewa. Dia amat tertarik oleh
dara perkasa ini, dia merasa sangat kagum terhadap dara ini, bukan hanya kagum
oleh kecantikannya yang luar biasa, juga terutama sekali oleh kepandaiannya,
akan tetapi rasa kagumnya itu hancur oleh kekejaman gadis ini yang seperti
iblis.
"Engkau...
engkau Dewi Maut, cantik jelita dan berilmu tinggi akan tetapi ganas dan kejam
seperti iblis!"
"Twako...!"
In Hong langsung mengerutkan alisnya dan pandang matanya mulai mengeras.
Seketika lenyaplah semua perasaan mesra di hatinya oleh sikap dan kata-kata Bun
Houw itu. "Engkau boleh saja menolak bantuanku akan tetapi engkau tidak
berhak memaki aku seperti itu!" bentaknya.
"Aku
tidak memaki, hanya berkata sebenarnya. Engkau kejam dan ganas, dan aku tidak
sudi kau bantu!"
"Orang
she Bun yang sombong!" In Hong sudah naik darah dan kedua tangannya
dikepal. "Kau kira aku ini siapa boleh kau hina begitu saja?"
Bun Houw
juga menjadi marah. Kekecewaan hatinya melihat kenyataan bahwa dara yang
dipujanya, yang diam-diam sudah mencuri hatinya secara aneh ternyata adalah
seorang iblis betina, membuat dia marah sekali. "Kau hendak membunuhku
juga? Ha-ha, majulah, jangan mengira aku takut padamu!"
"Keparat...!"
In Hong sudah hendak menyerang dan Bun Houw sudah siap melawan, akan tetapi
tiba-tiba In Hong melangkah mundur dua tindak, mukanya pucat dan mulutnya yang
berbentuk indah itu tersenyum, senyum yang menutupi hati yang terasa sakit.
"Tidak... tidak sekarang... aku akan membiarkan kau hidup sementara untuk
membuka matamu agar kau melihat betapa tololnya engkau yang telah menuduhku
yang bukan-bukan..."
"Bukan
menuduh melainkan kenyataannya kau telah membunuh gadis dusun itu secara kejam!
Selain membunuh gadis dusun yang tidak berdosa, engkau pun sudah menyerang dan
hampir membunuh Souw Kwi Eng! Kau tidak perlu mungkir lagi."
"Hemmm,
alangkah mudahnya sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu untuk
menghentikan ocehanmu yang penuh kepalsuan ini. Akan tetapi tidak, biar lebih
dulu kau melihat kenyataan sehingga kau menyesali fitnah ini, baru aku akan
mencabut nyawamu!" Setelah berkata demikian, In Hong berkelebat dan lenyap
di balik pohon-pohon.
Bun Houw
hendak mengejar, akan tetapi cuaca sudah mulai gelap dan dia berdiri seperti
patung di bawah pohon, hatinya masih panas dan dadanya bergelora, akan tetapi
ada penyesalan menyelinap di dalam dadanya. Diam-diam dia menyesal bukan main.
Gadis itu
datang menawarkan bantuan, betapa baik niat hatinya. Akan tetapi, bagaimana dia
dapat menerimanya, bagaimana dia dapat bekerja sama dengan gadis yang berwatak
seperti iblis itu? Hanya karena cemburu, dan ini sudah jelas sekali, gadis itu
hampir saja membunuh Kwi Eng, dan secara kejam membunuh gadis she Ma yang sama
sekali tidak berdosa! Biar pun diam-diam dia amat kagum kepada gadis itu, namun
mengingat akan kenyataan yang mengerikan ini dia harus mengeraskan hati dan
memutuskan hubungan di antara mereka...
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment