Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 24
JAUH di
sebelah dalam hutan itu, di antara kegelapan malam yang hampir tiba, In Hong
berdiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar, kedua tangannya
mengepal tinju, matanya terpejam dan pipinya basah oleh beberapa butir air
mata. Akan tetapi, setiap ada butiran air mata turun dari matanya, kepalan
tangannya mengusapnya dengan keras. Dia tidak harus menangis! Ingin dia
berteriak untuk memberi jalan keluar hatinya yang bergelora, yang menindih.
Dia telah
dihina orang! Dihina seorang laki-laki dan celakanya, laki-laki itu adalah
laki-laki yang dikiranya pria yang istimewa, yang merupakan kekecualian, yang
tidak sama bahkan kebalikan dari para pria yang dikutuk oleh gurunya. Hatinya
sakit bukan main. Bun Houw telah menolak bantuannya, bahkan memaki dirinya
sebagai seorang wanita kejam seperti iblis! Bahkan telah berani menantangnya!
"Si
keparat...!" desisnya di antara isak yang keluar dari dadanya.
Orang macam
dia berani menantang? Kalau dia tadi turun tangan, dalam beberapa jurus saja
tentu laki-laki itu akan dapat dibunuhnya! Akan tetapi kenapa tidak
dilakukannya hal itu? Padahal, kalau ada laki-laki lain bersikap kasar sedikit
saja kepadanya, tentu dia tidak segan-segan untuk menurunkan tangan besi dan
membunuhnya.
Tidak, dia
tidak akan turun tangan demikian mudah terhadap Bun Houw. Biar laki-laki itu
terbuka matanya, bahwa semua tuduhannya itu bohong belaka, bahwa dia bukanlah
iblis betina yang melakukan semua tuduhan itu, dan setelah laki-laki itu
menyesal dan terbuka matanya, baru dia akan membunuhnya.
Teringat
akan semuanya itu, teringat betapa dia tersiksa batinnya karena rindu dan ingin
berdekatan dengan Bun Houw, kemudian betapa sikap pemuda itu telah
menghancurkan hatinya, jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk dan terasa semakin
sakit. Apa lagi kalau dia teringat betapa dia telah bersusah payah menolong
pemuda itu ketika Bun Houw disiksa dan hampir mati di tangan dua orang Bayangan
Dewa. Kalau tidak dia datang menolong, tentu sekarang pemuda itu sudah tewas.
Dan pemuda itu membalas kebaikan itu dengan makian dan penghinaan!
"Orang
she Bun! Kau lihat saja pembalasanku nanti!" kembali In Hong mengepal
tinju.
Akan tetapi
dia terbayang akan kemesraan antara mereka, ketika mereka bercakap-cakap sambil
makan berdua, menukar pedang dengan giok-hong-cu, dan tinjunya kembali harus
menghapus dua titik air mata yang tiba-tiba saja meloncat keluar. Terngiang di
telinganya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Bun Houw kepadanya.
Dia
menyerang dan hampir membunuh wanita yang bernama Souw Kwi Eng? Dia tidak mengenal
nama itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita itu agaknya masih ada
hubungan saudara dengan Souw Kwi Beng, pemuda tampan bermata biru yang pernah
diselamatkannya dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim itu.
Dan kemudian
katanya dia membunuh seorang gadis desa yang tidak berdosa? Sama sekali dia tak
mengerti siapa gadis ini. Semua itu fitnah belaka. Bohong belaka dan sekali
waktu dia harus dapat membuka mata Bun Houw untuk melihat bahwa semua tuduhan
yang dilontarkan itu kosong belaka. Baru kemudian dia akan membunuhnya.
Hati yang
panas dan sakit membuat In Hong pergi meninggalkan hutan itu dengan hanya satu
saja niat di dalam hatinya, yaitu membantu fihak yang dimusuhi Bun Houw! Dia
ingin bertemu dalam pertempuran melawan pemuda itu, bukan untuk membunuhnya,
melainkan untuk mengejeknya, karena dia baru akan membunuh kalau pemuda itu
sudah melihat bahwa tuduhannya tadi kosong.
Dia tidak
mau dibantu? Baik, jika pemuda itu tidak mau dibantu maka dia akan membantu
fihak musuhnya! Benteng pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sabutai tak jauh
dari tempat itu.
Akan tetapi
In Hong bukanlah seorang yang ceroboh. Sama sekali tidak. Semenjak kecil dia
hidup bersama gurunya dalam keadaan penuh dengan kesukaran dan kekerasan, dan
semua pengalaman itu membuat dia amat berhati-hati. Dia tidak akan memasuki
tempat berbahaya yang belum dikenalnya begitu saja.
Dahulu
gurunya sudah sering memberi peringatan kepadanya supaya dia jangan mudah
menaruh kepercayaan kepada siapa pun juga, apa lagi kepada kaum pria. Dan
benteng pasukan yang dipimpin Sabutai itu merupakan tempat yang penuh bahaya.
Betapa pun tinggi kepandaiannya, tentu dia tidak akan berdaya menghadapi
kekuatan pasukan yang ribuan orang banyaknya itu, apa lagi kalau di situ
terdapat pula banyak orang pandai.
Oleh karena
itu, pada pagi hari itu, pada waktu keadaan masih gelap, In Hong berhasil
menculik seorang penjaga yang melakukan tugas menjaga dan meronda di luar
benteng, memukulnya roboh pingsan kemudian menyeretnya ke dalam hutan yang
masih gelap. Dia lalu mengancam dan memaksa penjaga yang ketakutan dan mengira
bahwa dirinya diserang dan diculik setan penjaga hutan, agar orang itu
menceritakan keadaan di dalam benteng Sabutai.
Dari orang
inilah In Hong mendengar bahwa kaisar masih menjadi seorang tawanan yang
terhormat dan dalam keadaan sehat, sedangkan Wang Cin masih menjadi tamu yang
tidak bebas, bersama para pembantunya yang lihai. Ketika In Hong mendengar
bahwa di antara para pembantu Wang Cin itu terdapat nenak Go-bi Sin-kouw di
samping tiga orang Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw
Thaisu, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang.
Dengan
adanya para kakek dan nenek yang sakti itu, dia tahu betapa kuatnya keadaan di
dalam benteng akan tetapi dia pun melihat adanya kesempatan baginya untuk
memasuki benteng itu dengan terang-terangan karena dia sudah mengenal mereka,
terutama Go-bi Sin-kouw sehingga dia dapat berpura-pura membantu nenek itu!
Sungguh pun
dia berhasil mengorek keterangan dari penjaga itu, namun dengan cerdik In Hong
melakukan pertanyaan dan ancaman sambil bersembunyi dan merubah suaranya
menjadi besar sehingga orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang telah
menculik dan mengajukan semua pertanyaan serta ancaman itu. Kemudian,
kesempatan itu pun tidak membuat In Hong kekurangan kewaspadaannya. Dia baru
muncul di depan pintu benteng itu pada malam harinya. Dia memilih malam hari
dengan maksud bahwa andai kata dia diterima dengan todongan senjata dan dia tak
mampu mengatasi begitu banyaknya orang pandai, dia akan lebih mudah
menyelamatkan diri dari pada kalau siang hari.
"Berhenti!
Siapa di situ?!" Tiba-tiba beberapa orang penjaga muncul dan dengan tombak
ditodongkan mereka cepat menghampiri In Hong yang berhenti dan berdiri tegak di
bawah lampu di pintu gerbang.
Pada saat
enam orang penjaga melihat bahwa yang menghampiri pintu gerbang adalah seorang
gadis yang cantik bukan main, mereka terkejut, terheran, dan juga menjadi lega,
bahkan tersenyum gembira karena penjagaan di tempat sunyi membuat mereka
menjadi kesal dan munculnya seorang wanita yang begini cantik tentu saja
merupakan hal yang amat menghibur.
"Heiiii,
nona manis, siapakah engkau yang malam-malam begini muncul di sini dan apa pula
kehendakmu?" tegur kepala jaga sambil menyeringai, sedangkan enam pasang
mata laki-laki seperti orang kehausan melihat air jernih menjelajahi seluruh
tubuh In Hong dari kepala sampai ke sepatunya.
Teguran itu
diucapkan dalam Bahasa Mongol dan In Hong tidak mengerti artinya, maka dia
hanya tersenyum dan menjawab dengan gelengan kepala saja. Seorang di antara
para penjaga itu dapat berbahasa Han, maka dia lalu menjadi juru bahasa,
menterjemahkan pertanyaan kepala jaga itu dengan suara yang kaku.
"Aku
adalah kenalan baik Go-bi Sin-kouw yang berada di dalam benteng, dan aku ingin
bertemu dengan dia dan rombongannya," jawab In Hong terpaksa menahan
kesabarannya karena dia tidak ingin memancing keributan di tempat berbahaya
ini.
Mendengar
keterangan ini, semua penjaga yang berjumlah dua belas orang dan sekarang sudah
berkumpul di sana, saling memandang dengan curiga. Memang semua pengikut
Sabutai menaruh curiga kepada rombongan Pembesar Thaikam Wang Cin itu.
Kepala jaga
lalu menyuruh salah seorang anak buahnya untuk melapor ke dalam, bukan langsung
kepada Wang Cin melainkan kepada Sabutai! Makin jelaslah bahwa rombongan
pembesar itu sesungguhnya bukan lagi dianggap sebagai tamu agung, melainkan
sebagai tawanan yang tidak ada bedanya dengan kaisar sendiri.
Ketika itu
Sabutai sedang bersenang-senang di dalam kamarnya, makan minum bersama Khamila
untuk merayakan kandungan Khamila sebagai hasil hubungan wanita cantik ini
dengan Kaisar Ceng Tung! Dapatlah dibayangkan betapa perih rasa hati wanita itu
karena sesungguhnya diam-diam dia jatuh cinta kepada kaisar yang ditawan itu.
Akan tetapi
diam-diam dia juga merasa girang bahwa dia dapat mengandung keturunan kaisar
itu. Ngeri dia kalau membayangkan betapa andai kata tidak ada Kaisar Ceng Tung,
dia diharuskan menyerahkan diri kepada seorang laki-laki lain yang diharuskan
bertugas mewakili Sabutai menidurinya agar dia memperoleh keturunan! Kenyataan
ini merupakan hiburan sehingga Khamila dapat juga berwajah girang pada saat
suaminya mengajaknya merayakan peristiwa yang dianggapnya menggirangkan itu.
Ada pun
Sabutai benar-benar merasa girang. Sedikit pun dia tak merasa cemburu kepada
Kaisar Ceng Tung. Dia kagum kepada kaisar muda itu, kagum akan kegagahannya
yang diperlihatkannya ketika menjadi tawanan, maka kini dia merasa terhormat
untuk menjadi ayah kandung dari keturunan kaisar besar itu!
Kalau pria
lain yang menjadi ayah kandung dari anak yang berada di dalam kandungan
isterinya, tentu dia akan membunuh pria itu supaya rahasia ini tidak diketahui
siapa pun. Akan tetapi, karena yang menjadi ayah sejati adalah Kaisar Ceng
Tung, maka dia tidak akan membunuh kaisar itu karena dia yakin bahwa rahasia
itu akan tersimpan rapat dan Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan membuka rahasia
yang dapat mencemarkan namanya sendiri itu.
Tiba-tiba
saja datang penjaga yang melaporkan tentang munculnya seorang gadis cantik di
depan pintu gerbang yang mengaku sebagai sahabat Go-bi Sin-kouw. Sabutai
menjadi tertarik sekali dan tentu saja menaruh curiga.
Diam-diam
dia lalu menyampaikan berita kepada kedua orang gurunya, dan mengerahkan
pasukan pengawal, mendatangi pembesar Wang Cin. Dia sendiri yang menyampaikan
berita tentang kedatangan seorang ‘sahabat’ dari Go-bi Sin-kouw itu dan
memerintahkan agar nona itu dipersilakan masuk.
Wang Cin
beserta para pembantunya menanti di ruangan besar itu dengan hati tak enak, terutama
Go-bi Sin-kouw. Nenek ini menduga-duga dan maklum pula bahwa fihak Raja Sabutai
mencurigai mereka dan mencurigai orang yang katanya datang hendak bertemu
dengannya.
Tidak lama
kemudian muncullah In Hong yang diantarkan oleh belasan orang pengawal
bersenjata lengkap. Gadis ini melangkah dengan tenang walau pun di dalam
hatinya dia maklum bahwa dia sedang berada di tempat yang amat berbahaya.
Dia melihat
betapa benteng itu amat kuat dan penjagaan dilakukan ketat sekali. Sepintas
lalu ketika dia dipersilakan masuk, dia sempat melihat keadaan penjagaan di
sepanjang tembok benteng dan biar pun dia akan dapat memasuki benteng ini
kemudian keluar lagi melalui tembok yang tidak berapa tinggi itu, namun dia
akan menghadapi bahaya besar. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap jeri
dan melangkah dengan pandang mata ke depan, tangan kiri tertumpang di gagang
pedangnya yang tergantung di pinggang.
Pada waktu
gadis itu memasuki ruangan besar yang dipasangi penerangan cukup, semua mata
menyambutnya dengan pandang penuh selidik. Sabutai memandang dengan mata
mengandung keheranan dan kekaguman. Dia tahu bahwa Bangsa Han di selatan banyak
memiliki jago-jago silat yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi baru
sekarang dia melihat seorang gadis muda cantik jelita yang bersikap demikian
gagahnya, memasuki tempat seperti bentengnya itu dengan sikap demikian tenang
dan penuh keberanian. Juga sekali pandang saja dia langsung meragukan apakah
benar gadis cantik ini merupakan sahabat dari nenek tua itu, seorang di antara
kaki-kaki tangan pembesar Wang Cin yang berjiwa khianat.
Para tokoh
lihai yang menjadi pembantu Wang Cin dan pernah bertemu dengan In Hong,
terutama sekali Go-bi Sin-kouw, kini memandang gadis itu dengan alis berkerut
dan hati penuh kecurigaan. Go-bi Sin-kouw menjadi tidak senang hatinya. Dia
memang mengenal gadis ini sebagai seorang gadis yang sangat lihai, yang
berwatak keras sekali dan aneh, akan tetapi sungguh lucu kalau gadis itu
mengaku sebagai sahabatnya. Jauh dari pada itu, bahkan antara dia dan gadis itu
terdapat rasa benci dan saling mencurigai yang besar.
Dan sekarang
gadis ini datang mengaku sebagai sahabatnya! Tentu saja Go-bi Sin-kouw merasa
curiga sekali dan sebelum yang lain membuka mulut, dia sudah melompat maju
sambil membentak, "Kiranya engkau yang datang mengaku sahabatku? Sri
Baginda Raja Sabutai, jangan percaya, dia ini tentu mata-mata dari Kerajaan
Beng!" Dia lalu menoleh pada teman-temannya karena untuk menghadapi gadis
lihai itu sendirian saja, dia merasa agak jeri. "Teman-teman, mari bantu
aku menangkap gadis setan ini!"
Hwa Hwa
Cinjin dan Hek I Siankouw yang telah tahu bahwa gadis lihai ini memang hanya
mendatangkan kesukaran saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang Bayangan
Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian
Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran
mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis
inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong.
Melihat
gelagat yang tak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang yang amat
tabah sehingga ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan.
Dengan sekali pandang saja dia sudah bisa menduga yang mana adanya Raja Sabutai
yang amat terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan
sejak tadi memang memandangnya penuh selidik, dan In Hong segera menjura dengan
hormat ke arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata,
"Kedatangan
saya adalah hendak menawarkan bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi
Sin-kouw yang telah saya kenal sebelumnya, akan tetapi ternyata kedatangan saya
tidak diterima sebagaimana patutnya."
Sejenak
pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai tersenyum.
Raja ini pun bukanlah seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-hiat
Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Karena itu dia sudah bisa menyelami sikap gadis
cantik itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah.
Maka raja ini lantas bangkit berdiri pada waktu melihat beberapa orang kakek
dan nenek pembantu Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk
mengeroyok gadis itu, dan dia berkata nyaring.
"Tahan
dulu...!"
Mendengar
seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw beserta teman-temannya cepat mundur
kembali, menoleh kemudian memandang dengan alis berkerut, ada pun Wang Cin
sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun Sabutai tidak
mempedulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-katanya,
"Setiap
orang yang berani memasuki benteng ini, terlebih dulu haruslah diketahui dengan
jelas maksud kedatangannya, baru diambil keputusan sikap apa yang akan kami
ambil. Sungguh merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri
apa bila mengeroyok seorang gadis muda di depanku,!"
Wajah Go-bi
Sin-kouw menjadi merah sekali dan dia cepat memberi hormat kepada raja itu
sambil berkata, "Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis
ini..."
"Cukup!"
Sabutai membentak. "Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan akulah tuan
rumahnya, karena itu akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang datang
memasuki bentengku!" Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw
menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur.
Sabutai
bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia menggapai ke arah
In Hong sambil berkata, "Majulah ke sini, nona!"
Dengan
langkah gagah dan tenang, tapi membayangkan keluwesan dan kepadatan tubuh
seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lantas menjura dan berdiri
dengan sikap hormat. Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang pengawal
sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai melarang
mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya, kemudian
tersenyum dan berkata kepada In Hong,
"Terimalah
bangku ini untuk tempat dudukmu, nona! Tidak enak berbicara sambil berdiri
saja!"
Sesudah
berkata demikian, Raja Sabutai yang pada waktu itu masih diliputi kegembiraan
karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya,
dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung hidup dan
tiba-tiba saja bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong!
Dara ini
terkejut juga, tidak menyangka bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata
memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar,
bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In
Hong mengerahkan tenaga ginkang-nya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi
tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang
masih melayang turun dan pada saat bangku itu tiba kembali di atas lantai, dara
ini masih duduk, sedikit pun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi
dibawa terbang oleh bangku yang telah ‘dijinakkan’ itu.
"Terima
kasih atas keramahan paduka." In Hong menjura dari tempat duduknya ke arah
Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi telah memperlihatkan tenaga dalamnya dan
gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan ginkang yang luar biasa!
"Ha-ha-ha,
benar saja dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona, siapakah
namamu?"
"Nama
saya... hanya Hong saja." In Hong memperkenalkan dirinya dengan setengah
hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya.
"Apakah
benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?"
"Saya
tidak pernah bersahabat dan tidak pernah mengaku bersababat dengan dia,"
jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. "Kepada para penjaga
benteng tadi pun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi
Sin-kouw namun hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini.
Sebenarnya saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan
saya."
"Harap
paduka jangan percaya!" Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. "Dia tentu
mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!"
Sabutai
memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian dia
bertanya, "Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw
tadi bahwa engkau adalah seorang mata-mata Kerajaan Beng?"
"Bohong,
sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata mana pun juga. Dan
memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah
bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada
saya."
Go-bi
Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, "Bocah setan! Engkau
telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan
aku, akan tetapi siapa yang tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang
dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan?
Tentu engkau adalah mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya
engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!"
"Tutup
mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya." In
Hong juga membentak marah.
"Heh-heh-heh-heh,
engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuhan, juga terhadap Lima Bayangan
Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh
Hui-giakang Ciok Lee Kim."
"Memang
benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan yang keji dan tidak patut terhadap
seorang pemuda."
Mendengar
pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng
seperti seekor biruang marah. "Kalau begitu, aku harus membalas kematian
sumoi!"
Melihat
pembantu-pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok,
Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, "Urusan pribadi tak perlu
dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum
melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan
orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin
untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya
urusan pertikaian pribadi antara kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan
pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka
itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu
silat?”
In Hong
hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas
itu, berdiri tegak dan menjawab, "Menghadapi manusia-manusia iblis ini,
jangankan satu lawan satu, walau pun dikeroyok saya tidak akan takut, sri
beginda."
Ucapan In
Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, namun dilakukan dengan
sengaja sebagai siasatnya untuk memancing kepercayaan serta kekaguman raja itu,
karena yang menjadi tujuannya adalah agar dapat berada dalam benteng dan selain
melindungi kaisar yang tertawan, dia juga hendak menentang pasukan yang
dipimpin oleh Bun Houw.
Siasatnya
berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, kemudian raja ini bangkit
berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan
berkatalah raja ini, "Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya
pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu per satu melawan
nona ini, dan aku akan menghukum siapa saja yang berani menggunakan kecurangan
dan pengeroyokan. Dua orang guruku akan menjadi pengawas."
Hek-hiat
Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba
saja bangku yang mereka duduki itu ‘terbang’ ke atas dengan tubuh mereka masih
duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri
ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut
mereka.
Diam-diam In
Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia
memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan
dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar
thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka
satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jeri.
Go-bi
Sin-kouw menjadi gentar juga ketika mengetahui bahwa dia tidak dapat mengajak
kawan-kawannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok, "Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoi-mu, maka
sudah sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa
membalaskan kematian sumoi-mu."
Di antara
Lima Bayangan Dewa itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang
memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan
In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang
sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh
sumoi-nya ini, karena itu mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok
ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya
itu.
Wang Cin
mengangguk-angguk. "Sri baginda sudah menurunkan perintah, engkau harus
mentaatinya."
Phang Tui
Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia
melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, maju menghampiri In Hong. Tokoh
pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan
tetapi kelihatan masih tampan dan gagah bagaikan orang yang usianya paling
banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam.
Lelaki
peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok,
seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu
saja ilmu silatnya sangat hebat.
Seperti kita
ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di
dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan
sekutunya sudah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it
Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka
Siang-bhok-kiam.
Perbuatan
itu biar pun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada
di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi hingga
membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa
segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong munculnya kesombongan dalam hati
Phang Tui Lok, maka kematian sumoi-nya merupakan pukulan hebat, juga kematian
Toat-beng-kauw Bu Sit.
Kematian dua
orang sekutunya itu di samping memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga
merupakan pukulan terhadap nama besarnya, sebab itu sekarang dia hendak
menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia
adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka
kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai serta banyak orang lagi dia
harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja
tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau
seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia
bertanya,
"Nona
muda, siapakah gurumu?"
In Hong
memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia
menjawab, "Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi
Lo-sian!"
"Hemm,
kau sudah mengenal julukanku!"
"Go-bi
Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang
curang dan pengecut, yang hanya berani menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah
tidak ada, yang membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam,
tentu saja aku mengenalmu..."
"Ehh,
apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw
bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!"
"Sama
sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya
ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah kumpulan orang-orang
curang."
"Hemm,
bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat
menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa
engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak
mati penasaran."
"Aku
tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa."
"Kenapa
membunuh sumoi-ku?"
"Sudah
kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut,
memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke
sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian malah
menjatuhkan fitnah. Majulah kalau memang kau berani, Pat-pi Lo-sian, dan jangan
banyak mengoceh seperti burung kelaparan."
Tentu saja
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. "Bagus! Salahmu sendiri
kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!"
Gerakan
Pat-pi Lo-sian memang hebat bukan main. Begitu tubuhnya menyerbu, sepasang
tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki
Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi
cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan,
pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali sehingga
merupakan serangan maut.
"Heiiiiittttt...!"
In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda,
cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan
hanya nampak bayangan-bayangan saja.
Semua
serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong
dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari
tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya
mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuhnya
ke belakang. Bau ujung sepatu kotor yang tidak enak membuktikan alangkah
dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya!
"Perempuan
rendah!" Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki.
Akan tetapi
diam-diam dia mulai mengerti bahwa biar pun masih amat muda, lawan yang
dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka dia pun dapat mengerti mengapa
Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan
mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sinkang ke dalam kedua lengannya,
kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung
tenaga sinkang sepenuhnya.
"Wirrrr...
wuuuuuttttt…!"
Angin
dahsyat menyambar mendahului kedua kepalan itu. In Hong yang dapat mengenal
pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.
"Haiiiiittt...!"
Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya segera membalik ke kanan melanjutkan
serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga yang mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.
In Hong juga
mengenal gerakan ini, gerakan yang sangat berbahaya dan mengandung pancingan.
Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan
dan gertakan belaka. Apa bila dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan
tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, karena itu untuk
menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara
melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu,
tubuhnya mencelat ke atas!
Pat-pi
Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah
siap mengirim pukulan ke anggota tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya
lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan
gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap
pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.
"Plak!
Dukkk!"
Tubuh In
Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika
tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari
kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya hingga seluruh
tangan menjadi lumpuh dan otomatis pegangannya terlepas.
Merahlah
muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau
terluka dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun, maka segera
terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian.
Namun,
keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu
dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan ginkang-nya. Tubuhnya amat
ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biar pun kelau dihitung, setiap
tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu
cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh
tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan
lehernya. Untung bahwa dia memiliki sinkang yang kuat, tubuhnya yang terlindung
hawa sinkang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur
terhuyung saja.
Setiap kali
tamparannya berhasil mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal
ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan
inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian.
Kemarahan
adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi
seorang ahli silat pada waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan
ini akan mengurangi kewaspadaan yang berarti mengurangi daya tahan karena
sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan
belaka.
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Yap In Hong
telah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang
didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti
The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi dari
pada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini
dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia mempunyai banyak
pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian.
Kini, dalam
keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia
menyerang secara membabi buta, tiba-tiba saja ujung sepatu In Hong dapat
mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk
beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik
ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah
tengkuk Pat-pi Lo-sian.
"Dukkkk!"
Tubuh Pat-pi
Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biar pun
tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tidak tersangka-sangka karena dia
hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia cepat miringkan tubuh
sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali.
Betapa pun
juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya
berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan
sampai jauh sambil mengumpulkan hawa murni, dan begitu dia meloncat bangun
lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.
"Sratttt...!"
nampaklah sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang
bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat dari pada emas berukir indah.
Dengan muka
merah dan mata mendelik dia membentak, "Bocah setan, majulah untuk
menerima kematian!"
In Hong
masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji,
kemudian gadis ini perlahan-lahan mencabut pedang pada pinggang kirinya. Pedang
itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnya tertarik dan In Hong
mempergunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarungnya itu mengeluarkan
bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu, pedang
tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong, kadang-kadang
tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang
ramping itu.
Melihat
betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali
dengan nyaring dan dia berkata penuh wibawa, "Di sini bukan medan tempat
untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua belah fihak akan
memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata
berarti menentang perintahku!"
Hek-hiat
Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini
sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan
sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa dua orang
kakek dan nenek ini di samping menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga sekalian
menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala
kehendak raja itu.
In Hong
menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini
tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, sebab itu dengan senyum
dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya hingga nampak sinar berkelebat
dan tahu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah
melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.
Pat-pi
Lo-sian juga memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia pun menarik napas
panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya. Hatinya menjadi jeri karena
dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat
lihai.
Tiba-tiba
Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong
sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin
berkata, "Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik
sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena
kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kami pun hendak maju bersama, namun
hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andai kata nona
mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju
menghadapi kami berdua. Tentu saja bila sri baginda tidak berkeberatan dan
kalau nona memang berani melawan kami berdua."
Raja Sabutai
makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya
kakek dan nenek itu, dia menjadi ragu apakah dia harus membiarkan In Hong
dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara
perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu.
In Hong juga
mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang
lawan yang amat tangguh, masing-masing tak kalah lihainya jika dibandingkan
dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi, tentu saja
pantang baginya untuk menolak tantangan itu, apa lagi dia tadi sudah mengatakan
bahwa biar pun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur.
"Kalau
kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah, siapa takut
kepada kalian?" kata In Hong dan memandang tajam.
Wajah kakek
dan nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini menantang namun
sekaligus juga merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa apa bila mereka maju
satu demi satu, belum tentu mereka dapat memenangkan dara yang benar-benar
sangat hebat kepandaiannya itu, akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama,
maka mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini dengan ilmu
silat gabungan yang mereka ciptakan.
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar, "Heiiii... berhenti...! Tahan... tidak
boleh masuk ke situ...!"
Semua orang
lalu menoleh, dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari cepat menuju
ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan beberapa kali
lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan. Melihat ini, terdengarlah suara
melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah meloncat dari tempat
duduk masing-masing, sekaligus bagaikan dua ekor burung rajawali mereka
menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu.
Wanita itu
cantik bukan main, usianya antara tiga puluh lima tahun, pakaiannya indah dan
sikapnya angkuh, sepasang matanya tajam bersinar-sinar. Melihat dua sosok
bayangan yang menerjangnya seperti dua ekor burung menyambar, wanita itu
mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya dan kedua tangannya bergerak ke
depan dengan jari tangan terbuka.
"Plakk!
Plakk!"
Tubuh
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terdorong ke belakang oleh tangkisan itu dan
mereka harus berjungkir balik dua kali ke belakang agar jangan sampai
terjengkang atau terbanting oleh hawa pukulan yang dahsyat dari tangkisan itu.
Mereka terkejut sekali dan siap menyerang dengan tongkatnya.
"Subo...!"
In Hong berseru dan seruan ini membuat Raja Sabutai cepat mengeluarkan
kata-kata mencegah kedua orang gurunya dalam Bahasa Mongol.
Kakek
bermuka putih dan nenek bermuka hitam itu lalu kembali ke tempat duduk
masing-masing, akan tetapi pandang mata mereka masih marah dan penuh curiga
kepada wanita cantik yang baru datang itu.
Wanita yang
baru datang itu memang Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang di Telaga
Setan. Burung batu kumala yang menghias rambutnya amat indah, membuat dia
kelihatan laksana seorang ratu yang memakai mahkota, pedang panjang tergantung
pada pinggang dan gagang dua batang pedang pendek tersembul dari punggungnya.
Wanita setengah tua yang masih cantik ini kelihatan gagah dan penuh wibawa.
Raja Sabutai
yang merasa tertarik dan kagum kepada In Hong, menjadi terkejut dan juga kagum
melihat wanita cantik yang disebut subo oleh nona itu, terlebih lagi melihat
betapa wanita itu sekali tangkis dapat membuat dua orang gurunya terdorong ke
belakang. Cepat dia berkata kepada Yo Bi Kiok,
"Jadi
toanio adalah subo dari nona Hong yang gagah perkasa ini?" Pertanyaan ini
diajukan dengan pandang mata tajam penuh selidik, dan diam-diam Raja Sabutai
merasa heran bagaimana nyonya cantik itu dapat memasuki tempat itu dan
menerobos penjagaan yang amat ketat.
"Benar,
sri baginda. Dia adalah murid saya," Giok-hong-cu Yo Bi Kiok menjawab
sambil menjura.
"Muridmu
datang menawarkan bantuannya kepada kami dan sekarang sedang kami uji
kepandaiannya. Toanio datang seperti ini ada maksud hati apakah?"
Meski pun di
dalam hatinya merasa tidak senang melihat kedatangan nyonya ini secara paksa
dan tanpa minta perkenan terlebih dahulu, akan tetapi dia membutuhkan bantuan
orang-orang pandai, maka Sabutai menahan sabar, apa lagi karena dia maklum
bahwa orang-orang sakti di dunia kang-ouw memang tidak suka memakai banyak
peraturan.
"Saya
bersama pasukan Giok-hong-pang sedang mencari murid saya ini, dan mendengar
bahwa murid saya memasuki benteng paduka, maka saya menyusul ke sini. Saya
setuju sekali apa bila dia membantu paduka, bahkan saya sendiri pun dengan
seluruh pasukan Giok-hong-pang siap membantu paduka. Akan tetapi kalau paduka
hanya ingin menguji murid saya, kiranya tua bangka-tua bangka ini bukan sekedar
menguji. Tua bangka-tua bangka seperti mereka hendak mengeroyok seorang bocah
seperti murid saya, sungguh tidak adil, maka saya akan membantu murid saya agar
dua lawan dua dan barulah adil. Tentu saja kalau mereka berani!"
Mendengar
ini, Raja Sabutai mengangguk dengan hati girang. "Bagus! Memang adil kalau
begitu dan kami juga ingin sekali melihat kepandaian ketua Giok-hong-pang yang
hendak membantu kami." Raja ini lalu memandang kepada Hwa Hwa Cinjin dan
Hek I Siankouw yang kelihatan meragu.
Tentu saja
mereka berdua sudah mendengar nama ketua Giok-hong-pang yang baru saja
menggegerkan dunia kang-ouw itu, meski pun baru sekarang mereka melihat
orangnya. Betapa pun juga, tosu dan tokouw yang berilmu tinggi itu tidak merasa
takut, apa lagi mereka memang mengandalkan ilmu silat pasangan yang mereka
ciptakan bersama.
"Siancai...!"
Hwa Hwa Cinjin berkata halus. "Ternyata yang datang adalah
Giok-hong-pangcu! Kami tadi sudah mengatakan kepada muridmu, bahwa kami memang
selalu maju bersama. Baik menghadapi lawan satu orang atau sepuluh orang, bagi
kami sama saja asal kami maju berdua. Bukan sekali-kali kami ingin mengeroyok
muridmu."
"Subo,
biarlah teecu menghadapi mereka sendiri, teecu tidak takut," In Hong
berkata.
"Apa?
Tentu saja kau tidak takut, akan tetapi mana mungkin aku diam saja? Kau
lihatlah, gurumu akan membereskan mereka!" Yo Bi Kiok berkata kemudian
tiba-tiba dia berseru nyaring. "Tua bangka-tua bangka tak tahu malu,
sambutlah seranganku!"
Tubuhnya
sudah berkelebat lenyap dan hanya bayangannya saja yang tahu-tahu sudah
menyambar ke arah Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw secepat kilat.
Kakek dan
nenek itu terkejut bukan main karena sambil melompat secepat itu, ketua dari
Giok-hong-pang ini sudah melancarkan pukulan bertubi ke arah mereka dengan
gerakan yang sangat aneh dan juga kuat sekali. Maka mereka cepat bergerak dan
mainkan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan berdua, yaitu ilmu silat
tangan kosong yang dapat pula dimainkan dengan senjata, yaitu yang mereka
namakan Im-yang-lian-hoan-kun.
Ilmu silat
ini sengaja mereka ciptakan untuk dimainkan bersama dan terdiri dari dua unsur
ilmu silat dan tenaga yang saling bertentangan akan tetapi saling membela.
Kalau mereka mainkan ilmu silat ini dengan tangan kosong, Hwa Hwa Cinjin
mengambil peran sebagai pemain ilmu silat yang mengandung tenaga keras
sedangkan Hek I Siankouw mainkan ilmu yang berdasarkan tenaga halus (Im). Akan
tetapi sebaliknya kalau mereka mainkan ilmu ini dengan senjata, Hwa Hwa Cinjin
yang bersenjata hudtim bulu monyet akan maju menggunakan tenaga Im sedangkan
Hek I Siankouw yang memegang sebatang pedang hitam menggunakan tenaga Yang.
Karena ilmu ini mereka ciptakan berdua, tentu saja mereka dapat bekerja sama
dengan amat baiknya, saling melindungi seolah-olah mereka itu terdiri dari dua badan
dengan satu hati dan pikiran.
"Plak-plak!
Duk-duk-duk-dukk!"
Bertubi-tubi
datangnya pukulan sepasang tangan Yo Bi Kiok, serangan dengan jurus-jurus yang
amat aneh dan cepat. Namun karena kedua orang kakek dan nenek itu bekerja sama
sehingga mereka seolah-olah memiliki empat mata, mereka dapat saling melindungi
dan menangkis semua serangan itu.
Akibat dari
adu tenaga ini, mereka terhuyung ke belakang, akan tetapi Yo Bi Kiok juga
terhuyung dengan hati terkejut sekali karena pertemuan tenaga antara kedua
tangannya dengan tangan mereka yang menangkis itu membuat tenaganya membuyar
sehingga dia menjadi bingung menghadapi tenaga Im dan Yang, yaitu tenaga lemas
dan keras yang dipergunakan oleh kedua orang lawannya secara saling membantu.
Maklumlah
dia bahwa kedua orang itu, biar pun andai kata maju satu lawan satu bukan merupakan
lawan berbahaya, akan tetapi sesudah maju bersama ternyata dapat bekerja sama
secara baik sekali dan merupakan lawan yang tangguh. Mengertilah dia mengapa
dua orang itu berkeras untuk maju bersama.
Ketua
Giok-hong-pang ini belum lama telah mengalami peristiwa yang amat memalukan,
yaitu pada saat dia dipermainkan oleh Kok Beng Lama. Maka, kini menghadapi
kakek dan nenek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, dia tidak ingin gagal
dan kedua tangannya sudah meraba gagang pedang panjang dan sepasang pedang
pendek.
Tiba-tiba In
Hong meloncat ke dekat subo-nya dan berbisik, "Subo, sri baginda melarang
penggunaan senjata dalam adu kepandaian ini, biar teecu menghadapi Hek I
Siankouw!" Tanpa menanti jawaban gurunya, In Hong sudah meloncat ke depan
dan menyerang Hek I Siankouw dengan pukulan tangan kirinya.
Akan tetapi,
tepat pada saat Hek I Siankouw menghindarkan serangan ini dengan tubuh
berputar, tiba-tiba saja Hwa Hwa Cinjin sudah melayangkan tangan menampar ke
arah tengkuk In Hong. Elakan dan serangan ini datangnya begitu otomatis,
seakan-akan Hek I Siankouw sendiri yang membalas serangan dengan mempergunakan
tangan Hwa Hwa Cinjin! Hampir saja tengkuk In Hong kena ditampar dan meski pun
dia sudah miringkan tubuhnya, tetap saja pundaknya tercium ujung jari tangan
Hwa Hwa Cinjin hingga terasa panas sekali!
Pada saat
itu pula terdengar suara melengking nyaring dan Yo Bi Kiok sudah menyerang
kakek itu dengan amat dahsyatnya. Hwa Hwa Cinjin cepat mengelak dan Hek I
Siankouw membantunya menangkis. Melihat cara kerja sama yang amat cepat dan
serba otomatis itu, In Hong cepat membantu subo-nya sehingga terjadilah
pertandingan yang amat seru dan hebat.
Sesungguhnya,
apa bila pertandingan itu dilakukan satu lawan satu, baik Hwa Hwa Cinjin mau
pun Hek I Siankouw bukanlah lawan guru dan murid Giok-hong-pang ini, dan
kiranya mereka tidak akan dapat menahan lebih dari tiga puluh jurus. Akan
tetapi, dengan kerja sama amat baiknya dalam ilmu Im-yang-lian-hoat-kun, mereka
berdua dapat menghadapi Yo Bi Kiok dan In Hong dengan amat baiknya.
Guru dan
murid ini tidak dapat bertempur saling membantu seperti dua orang lawannya,
melainkan bertanding mengandalkan gerakan dan tenaga sendiri masing-masing.
Sudah beberapa kali mereka mencoba untuk memancing atau memaksa kedua orang
kakek dan nenek itu agar berpisah, agar pertandingan dapat dilakukan menjadi
dua kelompok, tetapi mereka selalu gagal karena kakek dan nenek itu tidak mau
saling meninggalkan dan terus bergerak mengelak, menangkis atau pun membalas
serangan secara otomatis dan selalu saling melindungi.
"Tiat-po-san...!"
Tiba-tiba Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya sambil menubruk ke arah Hek I
Siankouw.
In Hong
maklum akan maksud subo-nya. Dia dan subo-nya memiliki ilmu kekebalan yang
disebut Tiat-po-san (Ilmu Kebal Baju Besi), yaitu pengerahan sinkang untuk
melindungi tubuh dengan hawa murni sehingga pada suatu saat berani menerima
pukulan karena tubuh di bagian tertentu yang terpukul itu menjadi kebal seperti
besi. Tentu subo-nya ingin merobohkan kedua lawan dengan Tiat-po-san,
membarengi pukulan lawan yang dibiarkan mengenai tubuh yang kebal sambil
melancarkan serangan balasan.
Akan tetapi,
In Hong tidak ingin tubuhnya sampai terpukul lawan meski pun belum tentu lawan
akan cukup kuat untuk menembus pertahanan Tiat-po-san. Dia teringat akan ilmu
pukulan ampuh yang dia terima dari pendeta Lama yang amat sakti itu sebagai
penukaran obatnya untuk menyembuhkan luka-luka akibat Siang-tok-swa yang
diderita oleh anak laki-laki murid pendeta Lama itu.
"Hyaaaatttt...!"
In Hong mengeluarkan suara melengking tinggi sesuai dengan ajaran yang
diterimanya dari pendeta Lama.
Karena
gurunya menyerang Hek I Siankouw, maka dia lalu menyerang Hwa Hwa Cinjin dengan
pukulan Thian-te Sin-ciang. Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke depan,
sehingga bukan hanya mengejutkan Hwa Hwa Cinjin yang diserangnya, melainkan
juga Hek I Siankouw memekik dan Yo Bi Kiok sendiri terbelalak.
Pada saat
itu, Hwa Hwa Cinjin sudah melindungi Hek I Siankouw yang diserang oleh Yo Bi
Kiok tadi, menangkiskan serangan Yo Bi Kiok terhadap Hek I Siankouw dan tokouw
ini otomatis lalu menggerakkan tangan memukul ke arah lambung Yo Bi Kiok. Akan
tetapi, Yo Bi Kiok yang sudah mengerahkan Tiat-po-san tidak mengelak atau pun
menangkis, melainkan langsung saja membalas pukulan itu dengan tamparan ke arah
dada nenek baju hitam itu.
Tentu saja
hal ini sama sekali tidak disangka oleh Hek I Siankouw yang sudah kegirangan
karena pukulannya mengenai lambung. Akan tetapi pada saat itu juga dia terkejut
merasa betapa pukulannya bertemu dengan lambung yang keras bagaikan baja dan
dia sendiri terancam pukulan lawan ke arah dada. Cepat dia miringkan tubuhnya
dan selagi Hwa Hwa Cinjin hendak turun tangan melindunginya, tiba-tiba datang
pukulan dahsyat bukan main dari In Hong yang menggunakan Thian-te Sin-ciang!
“Plakk!
Dessss...!"
Hek I
Siankouw miringkan tubuhnya sehingga pukulan Yo Bi Kiok mengenai pundaknya,
membuat dia terpelanting. Sedangkan Hwa Hwa Cinjin yang berusaha mengelak
sambil menangkis pukulan In Hong, tetap saja tubuhnya terlempar dan terbanting
jatuh sampai bergulingan, bahkan Yo Bi Kiok yang hanya kena sambaran hawa
pukulan muridnya pun terhuyung dengan kaget dan heran sekali.
Raja Sabutai
bertepuk tangan memuji. "Cukup...!" dia berteriak, "Kami
menerima bantuan guru dan murid Giok-hong-pang!"
Meski pun
fihak Wang Cin masih penasaran, akan tetapi mereka tidak berani melanjutkan
pertandingan itu. Apa lagi, dua di antara tiga Bayangan Dewa sudah mengenal
kelihaian Yo Bi Kiok, dan menyaksikan pukulan terakhir yang dilakukan oleh In
Hong tadi, bahkan Bouw Thaisu sendiri menjadi terkejut sekali dan merasa jeri.
Demikianlah,
mulai hari itu, In Hong dan Yo Bi Kiok diterima menjadi pengawal-pengawal Raja
Sabutai, bahkan lima puluh orang prajurit wanita para anggota Giok-hong-pang
yang sudah siap di luar benteng pun lalu diterima menjadi pasukan pembantu dan
diperlakukan dengan hormat di dalam benteng sebagai pasukan istimewa.
Yo Bi Kiok
yang seperti juga In Hong telah dapat menarik rasa suka di hati Raja Sabutai,
diberi kamar yang mewah tak jauh dari kamar raja sendiri, dan ketua
Giok-hong-pang ini lalu mengajak muridnya ke dalam kamarnya agar mereka dapat
berbicara empat mata.
Begitu
memasuki kamar dan menutupkan pintunya, Yo Bi Kiok segera memegang tangan
muridnya kemudian tertawa girang. "Bagus, engkau sudah memperoleh kemajuan
pesat, sekarang dapat menjadi pembantu Raja Sabutai. Sungguh tepat tindakanmu ini,
muridku. Selagi muda engkau memang harus mencari kedudukan dan aku sudah
mendengar akan kekuatan Raja Sabutai yang telah menawan kaisar. Apa bila kelak
dia berhasil merampas kerajaan dan menjadi kaisar, engkau tentu memperoleh
kedudukan tinggi pula."
In Hong
diam-diam merasa terkejut. Sama sekali bukan itulah maksudnya menyelundup ke
dalam benteng ini. Dia memasuki benteng ini sesungguhnya dengan niat melindungi
kaisar yang tertawan di samping hendak menentang Bun Houw. Akan tetapi dia
hanya mendengarkan gurunya bicara terus, tidak berani membantah.
"Begitu
mendengar tentang peristiwa ini, aku lalu mengajak semua anak buah kita ke sini
untuk membantu Raja Sabutai. Inilah saatnya yang amat tepat untuk mencari
kedudukan. Setelah berhasil nanti, jangan khawatir, muridku, aku akan
membantumu supaya engkau dapat menikah dengan pemuda tampan itu..."
"Ehhh?
Apa maksud subo...?" In Hong terkejut sekali dan memandang gurunya dengan
sinar mata tajam penuh selidik.
Yo Bi Kiok
tersenyum lebar sehingga wajahnya yang masih cantik itu kelihatan semakin muda.
Hanya terhadap muridnya ini saja Yo Bi Kiok dapat bersikap sewajarnya dan dapat
bersikap gembira. Terhadap lain orang, bahkan terhadap para anak buahnya, dia
selalu memperlihatkan sikap dingin, keras dan ganas.
"In
Hong, kau kira aku tidak tahu? Sudah lama aku membayangimu dengan diam-diam,
dan aku tahu apa yang terjadi antara engkau dan pemuda she Bun itu."
"Tidak...
tidak ada apa-apa..." In Hong menjadi merah sekali mukanya dan dia mencoba
untuk menyangkal dan menggeleng kepala.
Yo Bi Kiok
memandang dengan senyum masih menghias pada wajahnya. "Aihh, muridku.
Bukankah engkau menganggap gurumu ini sebagai pengganti orang tuamu pula? Coba
katakan, ke mana perginya burung hong kumala di kepalamu, dan dari mana engkau
memperoleh pedang di pinggangmu itu?"
"Ini...
ini... memang kutukar...," In Hong menjawab gugup, tangan kiri meraba
rambut di kepalanya, tangan kanan meraba gagang pedang Hong-cu-kiam.
"Hemm...
tak perlu kau malu-malu terhadap gurumu, In Hong. Aku sangat setuju dengan
pilihanmu itu. Melihat dia seorang pemuda yang baik, bukan seperti pria-pria
lain yang berwatak palsu. Engkau jangan mengulangi sejarah gurumu. Engkau tidak
boleh gagal dalam bercinta. Engkau tidak boleh selemah gurumu di waktu muda
dulu. Apa yang telah kau pilih harus engkau pertahankan mati-matian. Oleh
karena itu, melihat engkau kurang tegas, aku sudah turun tangan menyerang setiap
wanita yang berani jatuh cinta kepada pemuda pilihanmu itu."
"Ohhhh...!"
In Hong memandang gurunya dengan mata terbelalak. "Jadi... jadi subo telah
membunuh orang?"
"Hemmm,
apa salahnya? Gadis dusun itu memang kurang ajar dan tak tahu malu, berani dia
mencoba-coba untuk menggoda pemuda pilihanmu, dia pantas dibunuh."
In Hong
menunduk, teringat dia akan kemarahan Bun Houw kepadanya. Kiranya tuduhan
pemuda itu bukan fitnah kosong belaka, melainkan betul-betul ada orang
terbunuh, hanya yang membunuh adalah subo-nya yang disangka dia.
"Kenapa,
muridku? Apakah engkau tidak senang dengan bantuanku?"
In Hong
masih menunduk. Dia menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, lalu berkata,
"Teecu hanya tidak ingin subo mencampuri urusan dengan... dia itu..."
"Hi-hi-hik-hik!"
Yo Bi Kiok tertawa sambil merangkul muridnya. "In Hong, engkau seperti
anakku sendiri, aku ingin melihat engkau berbahagia. Bagaimana kau suruh agar
aku tak boleh mencampuri? Jangan kau khawatir aku akan mengusahakan agar engkau
berjodoh dengan dia."
"Sudahlah,
subo. Teecu tidak suka bicara tentang urusan itu."
"Baiklah,
sekarang kita bicarakan tentang urusan kita di sini. Kita harus membantu Raja
Sabutai sekuat kita. Dan kaisar yang tertawan itu harus dibunuh. Biar aku
menemui Raja Sabutai sekarang juga! Mari kau ikut!"
In Hong
kaget bukan main. Jantungnya berdebar keras. Entah apa yang mendorongnya, akan
tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan niat gurunya, bahkan dia telah
mengambil keputusan bulat untuk melindungi kaisar sedapatnya!
Dia tidak
suka membantu raja liar itu, apa lagi melihat betapa raja itu dibantu oleh
banyak orang yang tidak disukanya seperti Go-bi Sin-kouw, Bayangan Dewa dan
kawan-kawan mereka itu. Akan tetapi, tentu saja dia tak berani secara berterang
menentang subo-nya, maka tanpa banyak cakap dia segera mengikuti subo-nya
menghadap Raja Sabutai.
Raja Sabutai
yang didampingi oleh isterinya, yaitu Khamila yang nampak cantik jelita dan
wajahnya bercahaya seperti yang biasanya nampak pada wajah seorang calon ibu
muda, menyambut kedatangan Yo Bi Kiok dan In Hong dengan girang, akan tetapi
jelas bahwa raja ini tidak pula melepaskan kewaspadaannya, sebab selain
ditemani oleh isterinya, juga di dalam ruangan itu nampak Hek-hiat Mo-li dan
Pek-hiat Mo-ko yang duduk seperti arca, dan di sekeliling ruangan itu nampak
pula belasan orang pengawal yang melakukan penjagaan.
"Ahhh,
silakan duduk, pangcu, dan kau, nona Hong." Raja Sabutai berkata dengan
girang, "Perkenalkan ini adalah isteriku, Khamila."
Yo Bi Kiok
dan muridnya memandang kagum kepada ratu yang muda dan cantik itu, ada pun
Khamila juga mengangguk sambil tersenyum kepada mereka berdua, terutama dia
memandang kagum kepada In Hong.
"Harap
sri baginda suka memaafkan bahwa saya mohon menghadap dan mengganggu waktu
paduka," Yo Bi Kiok berkata.
"Ahhh,
mengapa pangcu bersikap sungkan? Sebagai pembantu kami, tentu saja kalian boleh
menghadap sewaktu-waktu. Akan tetapi apakah tidak beristirahat lebih
dulu?"
"Ada
keperluan penting sekali yang harus saya sampaikan kepada paduka," kata Yo
Bi Kiok.
"Ceritakanlah."
Raja Sabutai memandang tajam karena dia dapat melihat betapa sikap ketua
Giok-hong-pang itu amat serius.
"Menurut
pendapat saya, tak ada gunanya lagi paduka menahan kaisar sebagai seorang
sandera, dan kini tiba saatnya untuk segera berangkat menyerbu ke
selatan."
"Ehh,
bagaimana kau dapat berkata demikian, pangcu? Apa alasannya?"
"Pertama,
karena kini Kerajaan Beng telah mengangkat seorang kaisar baru."
"Hehhh...?!"
Raja Sabutai berseru kaget. "Mengapa tidak ada berita dari para penyelidik
kami?"
"Memang
hal itu dirahasiakan, akan tetapi saya yang baru saja datang dari selatan tahu
akan hal itu. Yang diangkat menjadi kaisar adalah Kaisar Ceng Ti. Oleh karena
itu, yang paduka tawan sekarang ini bukan lagi kaisar, maka tak ada harganya
lagi untuk dijadikan sandera, lebih baik dibunuh saja."
"Ihhh...!"
Khamila cepat-cepat menutupi mulutnya yang berteriak kecil tadi dengan sapu
tangannya, akan tetapi In Hong yang semenjak tadi memandangnya, melihat betapa
saat mendengar ucapan gurunya ini, seketika ratu itu menjadi pucat sekali
mukanya, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar.
Raja Sabutai
menengok kepada isterinya, kemudian menyentuh lengan isterinya sebagai tanda
menghibur, kemudian dia menoleh lagi kepada Yo Bi Kiok sambil berkata,
"Harap kau lanjutkan, Yo-pangcu. Bagaimana menurut rencanamu?"
"Bekas
kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga
paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum
begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini
adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin
mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi
adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Pada waktu keadaan musuh lemah karena
pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik
sekali?"
Sampai
beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia baru
berkata, "Sebenarnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang
pertahanannya demikian kuat dan tadinya aku hendak mengambil jalan yang lebih
aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi
dengan adanya perubahan ini, tentu saja sangat baik sekali seperti yang kau
usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!"
"Dan
Kaisar Ceng Tung...?" Yo Bi Kiok bertanya.
"Untuk
sementara biarlah dia kami tahan dulu..."
"Akan
tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda." Yo Bi Kiok membantah. "Tentu
akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua
pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat..."
"Biarlah
saya akan menjaganya!" Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.
Yo Bi Kiok
mengangguk-angguk. "Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau
murid saya ini yang tinggal di sini dan menjaganya, tidak akan ada orang yang
mampu membebaskannya."
Raja Sabutai
memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. "Kami tentu percaya kepada
nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga
kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong."
In Hong
mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang padanya dan di
antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera
menjawab, "Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan
nyawa!"
"Bagus!
Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo," Sekarang Raja Sabutai menoleh
ke arah dua orang kakek dan nenek yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil
duduk melenggut saja. "Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan
ke selatan?"
Kakek dan
nenek itu mengangguk dengan kemalas-malasan. "Kami hanya setuju
saja...!" jawab mereka acuh tak acuh.
Maka
sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin
dan menceritakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi
girang sekali dan dia pun segera mempersiapkan semua anak buahnya untuk
membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.
Dalam
kesempatan bertemu berdua saja dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In
Hong, "Muridku, dengarlah baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan
sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng."
In Hong
memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Ternyata gurunya ini
hanya bersiasat saja di hadapan Raja Sabutai, sebenarnya tidak ingin membunuh
kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia lalu
bertanya, "Tetapi, subo..."
"Hushhhh...!"
ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, "kita tidak
boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik
sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu."
Hati In Hong
kecewa lagi dan secara diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata
amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya
sudah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis
dusun yang dikira mencinta pemuda itu, malah sekarang kaisar pun hanya
dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi.
Diam-diam di
dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu
saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa
heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang
yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia
melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan
gurunya?
Mulailah
hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk
dapat menyelamatkan kaisar dari tangan Sabutai dan dari tangan subo-nya
sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai.
Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.
Dua hari
kemudian, Raja Sabutai mulai mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan.
Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan
isterinya, dalam penyerbuan ini Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi
tawanan pun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan
yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas
menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan itu tidak sampai
lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment