Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 31
IN HONG
kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini mempunyai kekebalan
tubuh yang sangat hebat sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak
merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun
serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak
berkurang!
Melihat
betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, dia pun lalu mengeluarkan
seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang
pernah dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh.
Bouw Thaisu
yang memperhatikan semua gerakan In Hong menjadi amat kagum. Dalam gerakan
silat In Hong ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai, tetapi sudah
berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu
simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu
itu.
Seorang
gadis semuda itu sanggup menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat
Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat
dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya.
"Plakkk!
Dukkk!"
Tubuh nenek
itu terhuyung-huyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena
ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang
terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya
terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi!
Kini In Hong
mulai merasa seram! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar
akan kekebalan sehebat itu, apa lagi menyaksikannya!
Karena
ternyata bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong itu lebih lihai sehingga
tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering berhasil memukul
lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu menjadi semakin kagum.
Pek-hiat
Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki
gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak
akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Walau pun sekarang dia memiliki
kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga
tidak mudah merobohkan lawan.
Seratus
jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh
dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah
pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang,
tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat!
In Hong
menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin
buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia menujukan
serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!
"Aihhhhh…!"
Nenek itu menjerit marah.
Sekarang
Pek-hiat Mo-ko mengepal tinjunya. Agaknya dia pun terkejut sehingga siap-siap
untuk membantu kawannya. Betapa pun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka
tidak dapat membuat biji mata mereka kebal!
Oleh karena
Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk
menusuk mata itu dengan jari tangannya pun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya
hanya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itu pun kebal!
Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada
saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya
yang terbuka.
"Desss...!
Plakkk...!"
Tubuh nenek
itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera
meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas lalu dia pun
roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis
melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In
Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan
nenek itu mengandung racun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In
Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.
"Heh-he-he-heh!"
Nenek itu meloncat dekat.
"Dessss…!"
Tubuh dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.
"Cukup,
Mo-li!" Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In
Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam
kamar lalu menutup pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan
matanya karena kepalanya pening.
"Racun
itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga
hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat
mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang
saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw
Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalaskan
kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar!
Biarlah dalam tiga hari ini kau ingat baik-baik agar engkau pertimbangkan
permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!"
Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko lalu mengajak tiga orang kawannya
untuk melanjutkan makan minum.
"Kita
harus bersiap-siap," kata Pek-hiat Mo-ko. "Sudah kurang lebih
setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis
ini memiliki hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya adalah putera
ketua Cin-ling-pai, maka tak mustahil bila sekarang mereka itu sudah mulai
menuju ke sini."
"Tidak
hanya di sini kita harus bersiap-siap," sambung Hek-hiat Mo-li. "Akan
tetapi jalan yang menuju ke lembah ini hanya satu, yaitu melalui Padang
Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk
berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang
Bangkai dan menuju ke sini."
"Keadaan
sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai,"
kata Hek I Siankouw. "Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang
Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku."
"Ha-ha-ha,
baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan
sungguh-sungguh."
"Dan
ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kau serahkan
gadis keparat itu padaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di
depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!" kata nenek berpakaian hitam ini gemas.
"Ha-ha-ha-ha,
jangan khawatir. Sesudah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan
kepalanya kepadamu," jawab Pek-hiat Mo-ko.
"Dan
pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai
untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku," kata Bouw Thaisu.
Hek I
Siankouw segera mengeluarkan suara melengking tinggi dan tidak lama kemudian
terdengar suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya sesosok bayangan
merah. Kiranya dia adalah seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima
tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali.
Gadis ini
adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang
sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah. Gurunya menghendaki
agar dia menikah dengan seorang lelaki pilihan, seorang pangeran atau
setidaknya putera seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang
mempunyai kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan!
Tentu saja
sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah
pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur
sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan
biar pun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun
keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, dia pun takut kepada
gurunya yang dalam hal ini amat galak!
"Subo…!"
kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah.
Sepasang
pedang yang bersarung dan bergagang terukir indah tergantung di punggung,
gagangnya tampak di atas kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya.
Pakaiannya sederhana akan tetapi terbuat dari sutera merah dan menempel ketat
mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia
adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang
siap untuk dipetik.
Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu
mengerutkan alisnya sambil berkata, "Siankouw, apakah bijaksana mengutus
muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang
pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar
melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya."
"Hemm,"
Hek I Siankouw mendongkol. "Dia mencari mampus kalau berani mengganggu
muridku, pula, Si Kwi mampu menjaga diri sendiri." Kemudian nenek
berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, "Ehhh, Si Kwi, beranikah
engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li,
majikan-majikan Padang Bangkai?"
Gadis itu
yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin
Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu senang menggoda wanita muda, menjadi merah
mukanya, dan dia pun meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi
senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu
Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, "Tentu saja teecu berani,
subo."
"Ha-ha-ha-ha-ha,
jangan khawatir, anak baik!" kata Hek-hiat Mo-li. "Kalau si pemabok
gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan
mundur teratur!"
"Liong
Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke
Padang Bangkai!" kata Pek-hiat Mo-ko. "Temuilah suami isteri mabok
itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu
musuh-musuh akan mulai berdatangan, karena itu mereka harus bersiap-siap dengan
waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andai kata ada lawan yang tangguh mampu
melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di
sini!"
"Baik,
locianpwe," jawab Si Kwi.
Nona ini
melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa gadis yang ditawan itu duduk
bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (semedhi). Dara
murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, malah sesungguhnya, Hek I
Siankouw sendiri pun dahulunya adalah seorang tokouw, yaitu pendeta wanita
Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai.
Akan tetapi,
dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak ke dalam perangkap nafsu birahi dan mereka
itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, lalu mengadakan hubungan
gelap dan selanjutnya menjadi kekasih. Karena Hwa Hwa Cinjin ialah sute dari
mendiang Toat-beng Hoatsu yang terbunuh di tangan The Hoo, maka dia pun terkena
bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai
yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoatsu.
Ke mana pun
Hwa Hwa Cinjin pergi, apa lagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I
Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin
kekasihnya semenjak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw
menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru
Sabutai itu sambil mengajak muridnya.
Sungguh pun
wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi
tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak sebagai
seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia
tidak pernah menganggap bahwa subo-nya itu jahat, pula dia tidak menganggap
bahwa orang-orang yang kini dibantu subo-nya itu jahat, karena dianggapnya
mereka, seperti juga subo-nya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam
dianggapnya bukanlah perbuatan yang jahat.
Kini melihat
betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan
tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justru gadis di
dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supek-nya, yaitu Hwa Hwa Cinjin,
begitu menurut keterangan subo-nya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan
sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itu pun
menjadi pengganti orang tuanya.
"Subo,
kenapa dia itu tidak dibunuh saja?"
"Justru
dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si
Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan
kita," jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. "Sekarang
berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah
orang-orang setengah gila!"
Gadis itu
mengangguk, lantas memberi hormat dan meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari
tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. "Ginkang muridmu itu pinto
lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!"
"Memang
betul, Thaisu. Si Kwi pernah menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa
Cinjin hingga ginkang-nya menjadi matang dan lumayan. Karena ginkang-nya itulah
maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya sehingga orang menjuluki
dia Ang-yan-cu (Si Walet Merah)," jawab Hek I Siankouw dengan bangga.
***************
Tempat In
Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang
kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu
bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja
Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang
tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik
untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu.
Tempat itu
berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki
Pegunungan Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat
di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga
dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan bagaikan seekor naga yang
tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga.
Lembah Naga
terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat
banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas,
juga hutan-hutan lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak
bertepi, diselingi oleh gurun-gurun pasir yang tandus.
Bila
didatangi dari barat, timur dan selatan, jalan menuju ke Lembah Naga itu hanya
ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain
yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang
Bangkai ini.
Mengapa
dinamakan Padang Bangkai? Sebenarnya padang itu adalah padang rumput yang luas,
akan tetapi keadaannya demikian aneh. Banyak sekali binatang yang terjebak dan
mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak.
Bahkan kadang-kadang terlihat pula tulang-tulang manusia yang berserakan di
sekitar padang itu. Mereka adalah orang-orang yang melakukan perjalanan lewat
di tempat itu dan tersesat, kemudian akhirnya mati akibat kelaparan atau
kehausan. Karena seringnya orang melihat bangkai binatang atau manusia di
tempat ini, maka padang itu lalu dinamakan Padang Bangkai!
Memang
sangat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput
biasa, dengan rumput-rumput yang hijau segar laksana beludru, akan tetapi bagi
mereka yang sudah mengenal daerah itu, di bagian yang rumputnya hijau segar
tanpa mengenal musim itu, baik pada musim panas mau pun di musim semi tetap
saja hijau segar itu, justru merupakan tempat maut yang paling mengerikan.
Salah sangka
dapat membuat banyak manusia mau pun binatang yang kebetulan lewat, terperosok
ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri
karena rumput hijau segar itu seakan-akan merupakan umpan atau perangkap yang
kalau diinjak ternyata di bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot
apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya.
Lumpur
lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali
sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya!
Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegangan kepada rumput-rumput
dan biar pun demikian tetap saja orang atau binatang itu akan mati dengan
separuh tubuh masih di luar.
Ada pula
bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini
mengandung racun yang berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lainnya
yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu
akan roboh dan tewas.
Juga
terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang
dapat menyesatkan karena luas sekali dan karena lorong di antara alang-alang
tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu
lorong setapak yang di kanan kirinya diapit oleh alang-alang tinggi! Orang
dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka
amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yang menghuni di dalam rumpun
alang-alang lebat itu.
Dan jalan
umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang
hanya terdiri dari beberapa buah rumah. Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang
memang sengaja dibuat, yaitu dengan mengalirkan air dari Sungai Luan-ho ke
sekeliling dusun itu.
Kalau orang
hendak melanjutkan perjalanan, mau tak mau orang itu harus menyeberangi sungai
dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi
pada sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan
melalui dusun itu, maka orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut
yang bagian bawahnya terdiri dari lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun
menghadang jalan!
Untuk
mengelilingi dusun dengan perahu pun tentu saja bisa, jadi tanpa melewati
dusun, akan tetapi di sana tidak ada sebuah pun perahu, dan andai kata ada
orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun,
tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh
anak buah Padang Bangkai!
Sesungguhnya
tempat ini pun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai
yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalangi musuh yang
hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali,
sesudah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang
besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan
terlantar.
Baru pada
beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi
penghuni di situ. Bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang
jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, sekaligus juga
melayani segala kebutuhan mereka.
Siapakah dua
orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Tentu saja mereka
bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri
biasa, melainkan lebih tepat jika dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling
memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang.
Yang lelaki
berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar. Wajahnya
yang membayangkan kekasaran serta keberanian itu selalu berwarna merah, matanya
lebar dan jarang sekali orang melihat dia lepas dari guci arak. Dialah yang
dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang mempunyai
tenaga besar dan bisa membunuh orang dengan amat kejam, mencekik leher orang
dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa
guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok!
Isterinya
berusia empat puluhan tahun. Wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan
sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih
ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang
baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di
balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa
gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan
jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam
jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai
tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang
dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!
Saat
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan
hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak mau melanjutkan
serangan ke selatan bahkan berdamai dengan kaisar, dan terutama sekali
menyuguhkan isterinya kepada kaisar, dua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal
di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai.
Dan Raja
Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini
yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini
menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan
nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka
lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah
Naga.
Tentu saja
suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan
nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah lantas menyerang mereka. Akan
tetapi keduanya terkejut karena dengan sangat mudahnya suami isteri itu dihajar
jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta
ampun!
Kakek dan
nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk
menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu mereka
pun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan
ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai lalu diberikan kepada mereka sebagai
tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang
dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.
Demikianlah
sedikit keterangan mengenai Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu
hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga
puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai!
Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita serta enam orang pria, dipimpin
oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah.
Dua puluh
sembilan wanita lainnya yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki
gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan
paling muda tiga puluh tahun. Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang
mereka, kecuali wanita yang menjadi pimpinan dan yang berpakaian serba hijau
itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula
sepasang pedang pendek.
Ada pun enam
orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah
yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan biar
pun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh
tahun dan bertubuh tegap serta gerakannya gesit, tetapi sikap mereka terhadap
para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh!
Siapakah
mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu
bukan lain adalah anggota-anggota Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat
dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong! Mereka
adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas.
Seperti
telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan
menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah
Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang telah dibunuh oleh Yo Bi Kiok.
Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok
membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu.
Setelah Yo
Bi Kiok tewas, anak buahnya itu lalu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi
isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri. Akan
tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke
Telaga Setan dan kemudian menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang
kematian ketua mereka!
Kini jumlah
mereka tinggal tiga puluh orang serta belasan orang laki-laki yang selama ini
menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, mulai dari
keperluan makan sampal keperluan sex! Ada pun yang menjadi pemimpin mereka,
setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ,
adalah Bhe Kiat Bwee.
Di permulaan
cerita ini sudah diceritakan tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang
kekasih yang tercinta dari mendiang Kiang Ti, yaitu ketua dari Ui-hong-pang
yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok.
Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai
benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu birahi belaka.
Oleh karena
itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia
diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, maka timbul rasa
bencinya terhadap pria pada umumnya. Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang
dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, dia pun lalu menjadi anggota
Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua
Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi
dari Yo Bi Kiok!
Ketua
Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga
dia, hidupnya sudah dirusak oleh seorang laki-laki, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee
dirusak kehormatannya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak
hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan sudah meninggalkan sebuah kitab
pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia
meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat
Bwee berubah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di
antara para anggota Giok-hong-pang!
Setelah
semua anggota Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua
mereka ini ternyata mempunyai kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan
sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja dengan senang hati mereka
lalu menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka.
Ketika
mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua
Giok-hong-pang menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur
upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh ketua mereka, kemudian dia
mengumpulkan seluruh sisa anggota Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh
orang termasuk dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka
yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana!
Akan tetapi,
di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong
itu sudah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Marahlah Bhe Kiat
Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan,
berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In
Hong.
Tiga orang
pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan pernah membantu Raja
Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan mereka pun tahu bahwa
mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga
puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang
pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan
pelayan.
Menjelang
sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka mulai
menghadapi padang yang sangat luas. Dari tempat itu mereka dapat melihat
bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu.
"Malam
ini juga kita harus dapat tiba di dusun depan itu," kata Bhe Kiat Bwee
sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan. "Kita bermalam di sana dan
besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga."
Teman-temannya
mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat
ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja
Sabutai, berkata, "Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka
berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang
Bangkai. Lihatlah di sana itu, bukankah itu adalah kerangka manusia? Dan di
sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini
menyeramkan sekali dan tentu berbahaya."
Bhe Kiat
Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Biar pun berbahaya,
kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan
tali panjang yang kita bawa!"
Segulung
tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu
dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian dia memimpin
teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan supaya mereka semua
bersikap hati-hati dan jangan sembrono.
Tak lama
kemudian, ketika melalui jalan setapak yang pada kanan kirinya penuh dengan
rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat
Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara
teman mereka yang menginjak rumput hijau itu sudah amblas disedot oleh lumpur
di bawah rumput.
Wanita ini
menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin
cepat pula tubuhnya disedot ke bawah! Seorang temannya cepat hendak
menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan dia pun menjerit karena
kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang
diinjaknya.
"Kalian
diam...! Jangan bergerak sedikit pun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak
rumput hijau itu!" Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia
sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu.
Mereka yang
sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam
sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu.
Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi biar pun dia telah mengerahkan seluruh
tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan
teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai,
tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!
"Satu
demi satu!" Kiat Bwee tidak kehilangan akal. "Kalian berdua jangan
bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian
tenggelam!"
Dua orang
yang sudah amat ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee
membuat sebuah jeratan pada ujung tali, lalu dilemparkannya ke arah orang kedua
yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat sekali sehingga
jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat
pinggangnya. Seperti gila wanita itu pun memegangi tali, karena dia maklum
bahwa di situlah nyawanya tergantung.
Tiba-tiba
terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya
terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.
"Jangan
bergerak!" Kiat Bwee berseru keras dan marah.
Akan tetapi
wanita itu semakin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya
kepalanya pun terbenam, tinggal kedua lengannya yang masih terus meronta dan
jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itu pun tidak lama
karena segera kedua tangan itu pun lenyap ditelan rumput-rumput hijau.
Semua orang
masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan hebat itu, dan tiba-tiba
wanita kedua itu pun menjerit-jerit, "Aduuhhh... augghh... aihhhh,
lekas... lekas... tolong aku...!"
Dia mulai
pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat
pinggang wanita itu. Teman-temannya segera membantu, kemudian dengan pengerahan
tenaga, mereka pun dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena
amat sulit mencabut tubuh itu, apa lagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit
bagaikan orang gila.
Wanita yang
meronta-ronta seperti gila itu akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka
lebih mudahlah bagi Kiat Bwee beserta teman-temannya untuk membetotnya keluar
dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, mulai dari
dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah
ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat-cepat
membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan
bersih.
“Aaihhhhh...!"
"Hiiiiihhhhh...!"
Jeritan-jeritan
mengerikan langsung terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju
wanita itu, karena ternyata di balik pakaian itu terlihat banyak binatang yang
seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari
tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada hingga ke kaki, di
situ menempel ratusan ekor binatang yang bentuknya mirip seperti lintah,
warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih
halus itu.
Pantas saja
wanita itu menjerit-jerit. Ternyata selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur
tadi, dia telah dikeroyok oleh ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan
memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit serta daging, mengisap
darah langsung dari bagian-bagian yang lunak!
Biar pun
dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan
teman-temannya dapat mencabuti semua lintah-lintah itu dari tubuh teman mereka,
tetapi wanita itu tak dapat hidup lebih lama, bahkan tidak sadar lagi dari
pingsannya. Tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu
bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking
banyaknya menjadi sangat berbahaya dan mematikan juga!
Terpaksa
mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah
keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata,
"Kita
maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong,
kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus semakin
berhati-hati."
Sekarang
mereka mempergunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak
sampai terjebak seperti dua orang kawan mereka tadi. Ketika mereka menghadapi
padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata,
"Jalan
kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian
harus siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan
musuh."
Rombongan
yang telah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan
kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka
berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka hingga akhirnya
rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan tubuh mereka
sehingga mereka tak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun
alang-alang!
Kiat Bwee
mengeluarkan sehelai sapu tangan merah dan dicabik-cabiknya sapu tangan ini
menjadi potongan-potongan kecil-kecil, lalu setiap sepuluh langkah dia
melemparkan sepotong cabikan sapu tangan merah ke atas tanah yang mereka
lewati. Memang wanita ini cerdik bukan main. Dia tahu bahwa lorong di antara
rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan,
karena itu dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada
lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka
kembali.
Dan
dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua ‘dinding’ alang-alang itu
mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar
pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai
memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai!
Banyak
pasang mata pria yang terbelalak dengan mulut menyeringai dan mengilar. Para
anak buah Padang Bangkai itu memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki
tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang
melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka!
Rombongan
wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil
itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi
mereka kebingungan, mendadak terdengar suara mendesis-desis dan muncullah
ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu lalu
menyerang mereka dengan ganas!
"Awas,
lekas mundur...!" Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang
pedang pendek yang semenjak tadi telah dipegangnya untuk membabat putus dua ekor
ular yang menyerang dirinya.
Akan tetapi
anak buahnya yang kaget itu menjadi panik sehingga terjadilah pengeroyokan
ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka pun terkena gigitan
pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular
itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!
"Mundur...!"
Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak.
Akan tetapi
kembali ada dua orang memekik lalu roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata
adalah dua di antara enam orang lelaki yang membawakan perbekalan mereka.
Terpaksa beberapa orang wanita anggota Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu
dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran
kemarahan ular-ular itu.
Untung bagi
mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan
kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat
mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat
menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee.
Tentu saja
mereka tidak dapat menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu
sudah dibersihkan oleh anggota Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan
wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu.
Kini
terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima
ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena
binatang-binatang itu agaknya sudah kelaparan. Kiat Bwee dan anak buahnya
terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri
dan balas menyerang.
Terjadilah
pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai
ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, namun akhirnya lima ekor harimau
buas itu pun menggeletak mati. Akan tetapi di fihak rombongan itu pun ada
delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran mau pun gigitan harimau buas
itu, belum lagi dihitung beberapa orang yang terluka!
Kemudian
terdengar pula bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring, dan di dalam
kegelapan malam itu, dari kanan kiri segera menyambar jala-jala hitam yang amat
kuat, meringkus tiga belas orang wanita beserta dua orang laki-laki yang masih
mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh lantas meronta-ronta seperti sekelompok
ikan kena jaring, akan tetapi segera muncul belasan orang laki-laki tinggi
besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka
satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan.
Ketika Kiat
Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka sudah berada di
sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki dan tangan
mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi.
Di hadapan
mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang
bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang
pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka berdua bukan
lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang
berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang
matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.
"Inikah
pemimpinnya?" terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang
berdiri di situ.
Anak-anak
buahnya yang semuanya berwajah menyeramkan dan bertubuh besar-besar itu berdiri
menyeringai dengan wajah girang sekali. Mereka ini terdiri dari lima belas
orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.
"Benar,
twako!" jawab seorang di antara mereka.
Para anak
buah itu semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak
tertua, namun anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau
nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang
kasar yang tidak mempedulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya
yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!
“Ha-ha-ha!
Eh, perempuan manis, kenapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang
Bangkai? Siapakah kalian?"
Bhe Kiat
Bwee menjawab berani, "Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami
hendak mencari nona kami, Yap In Hong."
"Hemm,
suamiku, engkau memang tolol. Bukankah semenjak tadi sudah kukatakan tadi bahwa
wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggota-anggota
Giok-hong-pang? Mereka adalah anak-anak buah musuh, perlu apa ditanya
lagi?" Coa-tok Sian-li berkata, suaranya terdengar halus dan ramah biar
pun kata-katanya kasar terhadap suaminya.
"Ha-ha-ha,
engkau benar, isteriku! Engkau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi
pemimpin, siapa namamu?"
"Namaku
Bhe Kiat Bwee."
"Nama
yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?"
"Dia
adalah pelayan kami."
"Pelayan?
Pelayan saja? Wah, mengapa pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh
saja?" Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.
"Membunuh
mereka sekarang pun belum terlambat, twako." kata seorang anak buahnya
yang bermata merah dan dia telah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala
salah seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.
"Plakkk!”
“Aduuuhhh...!"
Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi
bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li ketika nyonya itu menangkisnya.
Memang
kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak sangat kuat itu
menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan pada saat tangan
itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li.
"Manusia
lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?" Nyonya itu membentak,
akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih tersenyum.
"Ampunkan
saya, twanio..." Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan.
"Bawa
mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh
mereka mandi yang bersih!" kata pula nyonya itu.
Si mata
merah mengangguk-angguk, lalu bersama seorang kawan lainnya dia membawa pergi
dua orang laki-laki yang ditawan itu.
"Ha-ha-ha!"
Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. "Engkau sungguh masih bernafsu besar,
isteriku. Sekaligus engkau mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan
biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha-ha-ha, kau membikin
aku menjadi iri, isteriku! Perempuan ini pun kelihatannya boleh juga!" Dia
lalu menggerakkan tangan ke depan.
"Breeeetttt...!"
Sekali dia
merenggut dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang
menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja
rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak
seluruhnya.
"Ha-ha-ha,
benar saja dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!" perintahnya dan
kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.
"Mereka
ini adalah musuh-musuh kita," berkata pula Coa-tok Sian-li, "Boleh
kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka
itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau.
Nah, bawa mereka pergi!"
Para anak
buah itu bersorak girang kemudian seperti harimau-harimau kelaparan mereka
menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak
berdaya itu. Terdengar jeritan dan rintihan di antara mereka, diseling gelak
tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita
itu dari situ.
Malam penuh
kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah
rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu
mereka secara buas sekali!
Dua belas
orang wanita anggota Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara arak
dan daging, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh
manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan dari pada kebuasan binatang liar mana
pun juga!
Sukarlah
untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan
keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari
neraka. Semakin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, semakin menggila
lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, semakin keras pula mereka
tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka
bagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi.
Orang yang
menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan
merasa muak, ngeri sekaligus juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang
demikian ganas dan buasnya, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan.
Akan tetapi, kalau saja dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang
berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan
lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi.
Di dalam
kamar ini, suami-isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga tengah
berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu birahi yang
menjijikkan di mana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul
di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka!
Ang-bin
Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang
diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee serta dua orang laki-laki pelayan
Giok-hong-pang sehingga wanita dan kedua orang laki-laki itu menjadi seperti
gila diamuk nafsu birahi mereka. Dalam keadaan setengah sadar mereka memenuhi
segala keinginan suami isteri itu, melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam
keadaan biasa tentu akan membuat mereka malu bukan main. Akan tetapi mereka
telah terbius oleh racun sehingga mereka mampu melakukan apa pun juga agar bisa
melampiaskan dorongan mukjijat yang membangkitkan gairah nafsu birahi mereka.
Menjelang
pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua
orang laki-laki muda yang dibikin kuat oleh arak beracun, lalu menyeret mereka
pergi keluar kamar. Tidak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan
dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang sengaja
dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan
menyayat hati dari kedua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat
ekor anjing hutan itu. Teriakan-teriakan itu semakin lama semakin melemah dan
akhirnya berhenti sama sekali, dan yang terdengar hanyalah suara anjing makan
daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar.
Coa-tok
Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata
berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. Dia
lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia
melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini
mendengkur dengan enaknya.
***************
Pagi-pagi
sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju ke Padang
Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid dari Hek I
Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah
mengenal jalan dan sudah diberi tahu akan rahasia serta keganasan tempat-tempat
itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat
padang rumput hijau dan bagian lain yang berbahaya, melainkan dia hendak
langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu.
Akan tetapi
tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia
mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-rintihan
wanita! Tidak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncullah lima belas
orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang Bangkai.
Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang wanita yang
semuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam keadaan
menyedihkan sekali.
"Ha-ha-ha,
sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!"
"Semalam
pun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti tadi malam selama tiga
malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!"
"Aku
pun sudah puas!"
"Dan
mereka ini bisa menjemukan!"
Si Kwi yang
mengintai, memandang dengan kedua mata terbelalak. Jantungnya berdebar serta
dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak
boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita
telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah
padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali!
Hampir saja
dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya
sendiri. Hanya sepasang matanya saja yang terbelalak memandang ketika
wanita-wanita itu dilemparkan lantas jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan
tetap segera terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu
terbanting terus saja tenggelam sampai ke pinggang!
"Aughhhh...
tolooongggg...!"
"Aduhhh...
lepaskan aku...!"
Mereka
menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu meronta,
tubuh mereka amblas semakin dalam pula. Lima belas orang anggota Padang Bangkai
itu menonton sambil tertawa-tawa, seakan-akan pemandangan itu merupakan
tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Malah mereka mulai
bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang dapat bertahan paling lama!
Si Kwi
hampir tak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua. Mulai tampak
wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai digigiti
lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan mengenai
tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh
telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah.
Wanita-wanita
itu makin hebat meronta-ronta. Ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis
pada wajah mereka dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena
perlahan-lahan, kepalanya mulai terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang
menegang dan mencengkeram.
Tentu saja
pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita itu menjadi makin ketakutan. Suara
jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang melihat
betapa semua temannya lenyap dan merasakan seluruh tubuhnya bagaikan ditusuki
jarum dan dibakar, tiba-tiba malah tertawa bergelak. Melihat wajah yang cantik
itu tertawa seperti itu, dengan matanya yang menjadi liar, Si Kwi bergidik dan
maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya!
Sambil
tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini, sibuk menerima
uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan dari wanita
itu pun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan matanya saja
yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang mengerikan
ini pun lenyap.
Tidak ada
bekasnya lagi dari dua belas orang wanita itu dan rumput-rumput di situ tetap
hijau segar seakan-akan mendapat rabuk dari mayat dua belas orang wanita itu.
Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan
dengan tenang tanpa mempedulikan lima belas orang itu.
"Heiii...
masih ada satu lagi...!" Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka
semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi.
"Ah,
bukan! Dia bukan teman mereka."
"Dia
ini masih muda. Hemm, manisnya!"
Bermacam-macam
komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai, seperti sekumpulan
serigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak menyerangnya karena
mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu, juga karena mereka
menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-hong-pang.
Mereka tidak
mau lancang bertindak sembarangan. Apa bila tadi malam mereka berani
memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena telah mendapat
ijin dari majikan mereka! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru,
seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin.
"Hei,
nona! Siapa engkau?" tanya si mata merah yang agaknya selalu menjadi
pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu.
Si Kwi
memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka. "Siapa adanya aku
tak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!" jawabnya.
Mereka
membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa.
“Ha-ha-ha,
si manis ini galak sekali!"
"Tunggu
aku menjinakkan dia!"
"Tangkap
saja dulu dan laporkan ke dalam!"
"Biar
aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!"
Si mata
merah menjadi curiga ketika melihat sikap Si Kwi begitu menantang, maka dia
mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah maju
menghadapi Si Kwi.
"Nona,
engkau sudah memasuki wilayah kami, maka harus mengaku siapa namamu dan mau apa
engkau melanggar wilayah kami."
"Minggirlah
kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"
kata Si Kwi.
"Wah-wah,
bocah ini kurang ajar sekali!" terdengar teriakan, dan mereka kini
mengurung makin rapat.
"Tunggu...!
Biarlah kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin bertemu
dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali."
"Biarlah
aku mencobanya!"
"Aku
saja!"
"Biar
kutangkap dia untukmu!"
Mereka
seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk ke arah Si
Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali untuk
menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya.
Akan tetapi,
Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan sekali, dia
sekarang dapat melampiaskan kebenciannya kepada laki-laki yang dianggapnya
sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergap dari
depan belakang, dia segera mengubah kedudukan kakinya dengan memiringkan tubuh
sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan
dari kanan kiri. Kedua tangannya lalu bergerak secepat kilat, dengan dua jari
tangan kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka.
"Hukkk!
Hukkk!"
Dua orang
laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah terhenti. Pada
saat itu pula, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka dengan
jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali, tubuh
mereka sudah terlempar ke arah rumput hijau!
"Bresss…!
Bresss…!"
Karena
mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat terbanting, maka seketika
mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke dada!
"Tolonggg...!
Tolooonggg...!" Mereka berteriak dengan mata terbelalak ketakutan. Karena
mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali tak berani bergerak,
hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-sini.
Tentu saja
teman-temannya menjadi sangat terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan tali
panjang, lantas melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas
orang itu segera mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang
sial itu.
"Aduhhh...
aduhhh... cepat... mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan itu...!" yang
seorang berteriak-teriak ketakutan, tubuhnya yang terbenam itu terasa
seolah-olah dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang
menjadi korban keganasan mereka tadi.
"Auwwww...
aduhhh... mati aku...!" Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak
dan mukanya pucat sekali.
Akhirnya,
dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat aman. Cepat
mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh mereka dan
memberi obat penawarnya. Dan mereka langsung tertawa geli ketika melihat bahwa
yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata sudah ditempeli seekor lintah
besar pada anggota rahasianya!
"Ehh,
mana dia?"
"Iblis
betina itu telah pergi!"
"Itu
lihat...! Dia menuju ke sarang kita!"
"Kejar...!"
Tiga belas
orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah terhindar dari bahaya
maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang telah berlari cepat memasuki padang
alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya pula. Memang jalan
kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu ruwet dan
berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan tempat maut
itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak ada
mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan.
Yang
berbahaya adalah jalan yang ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin,
yaitu dari selatan. Tapi jalan ini pun sudah diketahui oleh Si Kwi karena
memang gurunya sudah mengenal daerah berbahaya ini dan telah menceritakan
kepada muridnya.
***************
Pagi hari
itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama isterinya. Sepagi
itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah telanjang itu masih
belum dilepaskannya. Wanita yang belum sadar benar karena terus dilolohi arak
dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang gila, Kiat Bwee
terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, ada pun Coa-tok Sian-li melihat
dengan muka membayangkan kejemuan hatinya.
Tiba-tiba
mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh dikejar oleh anak
buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, malah Ang-bin
Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi tiba di
depan mereka.
Gadis itu
memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu tentu lupa lagi kepadanya, dan
walau pun dia pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi hanya sebentar saja
tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini datang menghadap Hek-hiat
Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga.
Sesudah tadi
menyaksikan kebuasan para anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita
itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah
telanjang pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas
sehingga sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Twako!
Twako...! Dia sudah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah dia
melemparkan dua teman kita ke rumput maut!" dari jauh si mata merah sudah
berteriak-teriak.
"Ahhhh?!"
Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan didorongnya Kiat
Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee tidak marah,
bahkan tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini telah menjadi setengah gila
akibat minum obat bius.
"Hemm,
kau bocah sombong, patut diberi hajaran!" Ang-bin Ciu-kwi yang sudah
menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, segera menubruk dan dalam
tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan
tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada
gadis itu dalam pukulan yang dahsyat!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment