Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 30
TIO SUN yang
bijaksana itu ternyata sudah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti
biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga
merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk
Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya.
Permintaan
ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang
muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka
bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk bisa
berjodoh dengan dara yang dicintanya itu sudah lenyap sama sekali, sekarang
sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng bagaikan sikap seorang kakak
terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itu pun merasa
seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka.
Keakraban
inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan sehingga pada suatu hari,
ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, dengan muka sedih
pemuda ini mengeluarkan isi hatinya.
"Tio-twako,
setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau
seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sesungguhnya aku menderita
sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan
kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku.
Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga."
Melihat
wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut
dan merasa heran. Dia lalu memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil
tersenyum, "Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini
bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau masih muda,
mempunyai orang tua dan saudara yang sangat baik, berkepandaian cukup tinggi,
hartawan dan apa pun yang kau kehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih
menderita, tekanan batin?"
"Justru
yang kukehendaki tidak terlaksana, twako."
Tio Sun
menarik napas panjang. Demikianlah adanya hidup! Manusia, juga termasuk dia
sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar
jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!
"Beng-te,
apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?"
"Tio-twako,
jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong."
Tio Sun
tidak terkejut mendengar ini. Dari senda gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia
sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia pun tersenyum. "Mengapa orang
jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu,
Beng-te? Kau mencinta siapa pun, apa halangannya?"
Kwi Beng
menarik napas panjang. "Akan tetapi, twako. Cintaku ini takkan mungkin
dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju."
Tio Sun
memandang heran. "Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?"
"Ketika
aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami
kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi
kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan
cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke
Cin-ling-pai untuk membicarakan urusan jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu
sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku
kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!"
Tio Sun
menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih
demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan
‘ngambek’ kepada ibunya!
"Menolak
bagaimana maksudmu, Beng-te?"
"Aku
minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi
ibu keberatan."
"Mengapa?"
"Pertama,
karena tadinya kami belum tahu siapa sebetulnya nona itu, hanya tahu sebagai
penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi
bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal
cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri sudah mengatakan bahwa hal itu
sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa
kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah
mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu
lebih-lebih merasa tidak setuju lagi."
"Hemm...
mengapa pula?"
"Kata
ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak
mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong
sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar
adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa
keberatan yang terutama adalah soal perbedaan usia itu. Menurut ibu, seorang
calon suami haruslah lebih tua dari pada calon isteri."
"Siapa
yang mengharuskan, Beng-te?"
"Entahlah,
akan tetapi begitulah kata ibu. Pendek kata, ibu menolak dan hatiku hancur,
twako."
Tio Sun
tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh
cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia
sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun
Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia
menderita karena cinta sepihak.
Sedangkan
Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biar pun
belum diketahui apakah dara yang dicintanya itu akan menerima atau membalas
cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga
akan menderita cinta yang gagal?
"Aku
merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu
ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?"
Pemuda yang
usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun, kemudian memandang
dengan matanya yang kebiruan, penuh permohonan. "Twako, sudikah twako
menolongku?"
Tio Sun
merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini
memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seakan-akan dia menghadapi
Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!
"Tentu
saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi
dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?"
"Aku
mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In
Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak
nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong."
"Ahhh...?"
Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan
permintaan seperti itu. "Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada,
bagaimana aku berani lancang..."
Tiba-tiba
saja Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun!
"Kalau
twako tidak mau menolongku, maka habislah harapanku...," katanya dengan
suara seperti orang hendak menangis.
Tio Sun
cepat-cepat membangunkan pemuda itu. "Duduklah, Beng-te dan mari kita
bicara dengan baik dan dengan tenang."
"Akan
tetapi twako tidak mau menolongku..."
"Baiklah,
aku mau menolongmu, akan tetapi atas dasar desakan dan permintaanmu saja. Kalau
kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang..."
"Aku
yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya
karena desakanku dan permohonan tolong dariku."
Tio Sun
merasa terdesak. "Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung
mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau terlebih dulu
diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi
hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan
begitu kelak hatimu tidak sampai patah karena penolakan dari fihaknya."
"Tidak,
tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku,
karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku
sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimana pun tentu ibu akan
menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona
itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya
lamaran itu tak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa
dia pun... ehh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari
tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya baik sekali terhadapku."
"Hemm,
Beng-te. Pertolongan merupakan kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali
tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik
belum tentu membayangkan cinta."
"Aku
yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kau pikir lebih
dahulu menemui nona itu, aku pun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini
untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong sendiri akan tetapi untuk
mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku sangat mengharapkan bantuanmu, twako.
Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi."
"Ehh...?
Tentu orang tuamu akan melarang."
"Tidak!
Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja bahwa twako hendak pergi ke
kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan."
Tio Sun
menarik napas panjang. "Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan amat
tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te."
"Tidak,
twako. Aku yang akan bertanggung jawab mengenai hal itu. Kalau twako berpamit
dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka,
karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama
twako, apa salahnya itu?"
Akhirnya Tio
Sun tidak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada
pemuda remaja ini. Pula, dia pun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai,
karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan
kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik
secepat mungkin dan sejauh mungkin dia pergi agar tidak usah berjumpa lagi
dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu.
Pada saat
Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng,
mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan
tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun,
ketika Kwi Beng minta perkenan dari orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke
kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena
mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang
rewel!
"Aku
juga ikut...!" katanya manja.
"Maria,
engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh
menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!" kata Yuan de Gama mencegah.
"Dan
kau harus ingat bahwa sekarang engkau sudah terikat, Kwi Eng. Bagaimana kalau
ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau sedang tidak berada di rumah?
Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu."
Diingatkan
akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu
berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorang pun di
antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah
pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seakan-akan tertinggal di
rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga
beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika
pemuda ini bicara kepadanya.
***************
Malam yang
gelap. Langit hitam pekat, tidak tampak sebuah pun bintang. Padahal malam itu
sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul
pada malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit.
Biar di kota
raja sekali pun, tempat tinggal orang-orang yang lebih beruang dibandingkan
dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantungkan di luar rumah tidak
mampu menembus kegelapan yang tebal itu. Penerangan yang dibandingkan dengan
kekuatan malam gelap itu amat lemah, bahkan mendatangkan bayang-bayang yang
menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam
lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera serta
lampu besar yang dinyalakan oleh para penjaga keamanan.
Pada malam
yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar.
Toko-toko dan restoran-restoran amat sepi hingga mereka itu menutup dagangan
mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang memiliki keperluan penting sekali,
dan lelaki iseng yang tidak betah di rumah lantas keluar untuk mencari hiburan,
kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih
nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan
jendelanya
Seorang
laki-laki setengah tua yang sudah mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya,
digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah
sebab langkah si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap. Keduanya
bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan
kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras
itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga
pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa
penolakan dan menimbulkan kegembiraan.
"Heeee,
manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!" Tiba-tiba
yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di
sepanjang jalan raya itu.
"Manusia
terbang... he-he-heh, ya benar... manusia terbang..." sambung yang
setengah mabok.
Semua orang
di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka
tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya
supaya dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa ngeri karena
bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas dari pada orang
yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia
terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di
malam gelap itu?
Dan bukan
tidak mungkin karena malam itu memang amat menyeramkan, bahkan setiap
bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar
penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan.
Tetapi kalau
kebetulan di atas genteng rumah-rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi
yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan mengetahui
bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena
sebenarnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja
di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga
seperti dua ekor kucing berlari-larian di atas genteng-genteng itu, tanpa
menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana!
Pada saat
dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar
biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka lalu mendekam dan menanti dengan
penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar
tembok istana itu.
Pintu
gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal
luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke
arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan
perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan
memegang lentera yang terang.
Bayangan
yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek,
memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih,
telunjuk tangannya yang kecil ditudingkan ke arah menara. Si muka putih
langsung mengangguk, dan dia pun menunjuk ke arah enam orang peronda yang
datang dari depan. Keduanya lalu mengangguk berbarengan.
Agaknya
tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke
depan, dengan setengah merangkak bagai seekor harimau sedang mengintai korban
mendekati menara. Sesudah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang
penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, dari dada
sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur dengan segebung anak
panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat
menyerang setiap pengacau dari atas dengan anak panah mereka.
Sementara
itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar,
sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada waktu si muka hitam
menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka
putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan
menara.
Terdengarlah
suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjagaan mereka
dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup dengan suara
berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu
besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas
tanah.
Enam orang
peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak
mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa
begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas
tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja
bayangan dua orang itu sudah lenyap ke sebelah dalam tembok istana!
Kalau orang
melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas
dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang
luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau
yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang
keji.
"Kenapa
tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?" si muka pucat berbisik
ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik
semak-semak.
"Nanti
saja ketika kembali, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hi-hik!"
bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. "Pula, masih ada belasan
batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana."
"Jangan
banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung lalu
secepat mungkin kita harus pergi dari sini."
"Baik,
Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita
tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat."
Keduanya
cepat mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup
gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu
Pengawal Baju Emas yang merupakan barisan pengawal bayangan atau yang melakukan
tugas penjagaan keamanan secara rahasia. Mereka ini memang terdiri dari
orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat.
Siapakah
adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan
membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian
lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam,
sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat
menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!
Dan memang
sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan
lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li
(Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti sudah dituturkan di bagian depan,
Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu
adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan.
Ketika
dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke berbagai
negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang amat sakti itu pernah
berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan
beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, ternyata tidak ada
gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris
tewas dan biar pun mereka akhirnya tertolong, namun muka mereka yang tadinya
normal kini berubah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti
kapur ada pun yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena
racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik dan meracuni
diri mereka sendiri.
Dengan
dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini lalu memperdalam ilmu
mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, sesudah
merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya lantas turun gunung
dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain
memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa
jumlahnya, mereka lalu mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai.
Mereka menurunkan
ilmu kepada Raja Sabutai sambil mengharapkan bahwa melalui bala tentara
Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, dan kalau mungkin menduduki
Kerajaan Beng-tiauw sehingga dengan demikian mereka akan dapat berhadapan
dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa prajurit Kerajaan Beng!
Karena
harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak gerik
dan usaha murid mereka, bahkan mereka pun tidak ambil peduli ketika melihat
isteri Sabutai oleh murid mereka itu ‘diserahkan’ kepada Kaisar Ceng Tung hanya
disebabkan Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, oleh
karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini sangat
menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan
rencana yang lebih besar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka.
Akan tetapi,
ketika Sabutai merubah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan
hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke
pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek dan nenek itu kecewa bukan main.
Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam.
Mereka kini
sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, sudah meninggal dunia. Maka
mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat
The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua
Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud
memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The
Hoo!
Kalau di
waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini
tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka
masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan
orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri.
Selain itu,
melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian
mereka melihat pula pukulan sakti itu juga dipergunakan oleh In Hong meski pun
belum sempurna, mereka berdua merasa agak jeri. Bukan jeri menghadapi
orang-orang muda itu, tetapi jeri kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan
muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan
itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau
pukulan apa pun juga!
Sesudah
Sabutai mengundurkan diri, mereka pun meninggalkan murid itu dan membawa
Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di
kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka lalu
melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan
ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya
mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka!
Setelah
menguasai ilmu sakti ini barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan
dendam mereka tanpa mengandalkan bantuan pasukan Sabutai yang sudah berdamai
dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan
Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung!
Pertama-tama
mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap sudah
merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinahi isterinya, dan kedua
untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh
semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang
kini sudah tidak ada lagi itu.
Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti
keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatnya pengawal Kim-i-wi dan
setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya
berdua saja, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada
pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa
lentera dan kentongan.
Mereka
berunding sebentar setelah tadi menghitung jarak waktu antara perondaan para
pengawal Kim-i-wi. Kini mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong
kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak
lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang telah mereka perhitungkan,
berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi. Dua orang kakek dan nenek itu pun
menerkam dari balik semak-semak pohon kembang.
Dua orang
Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan
nenek itu, gerakan mereka terlalu lamban sehingga jari-jari tangan kakek dan
nenek iblis itu tahu-tahu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi
itu dan mereka pun tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu
dilempar ke dalam semak-semak, lantas dua orang kakek dan nenek itu cepat
berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani
meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan
selanjutnya.
***************
Sementara
itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di
dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di tempat
itu tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dahulu dia
diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca,
dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh
keluar masuk di seluruh bagian istana maka dia boleh pula memasuki gedung
perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.
Karena
selama tinggal di istana In Hong memang kurang pekerjaan, maka dia banyak
membaca dan mulailah terbuka hati serta pikiran In Hong betapa selama ikut
dengan gurunya dia sudah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya
dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang
ditemukan dan kemudian menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali
termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang
ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan
diri dari kakaknya.
Sekarang dia
melihat betapa kakaknya sudah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain
kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang
dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh dari pada manis kepadanya. Dia
merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia sudah
memperlihatkan sikap manis.
Tiba-tiba
terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di
istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang
menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah
seluruh istana!
Mendengar
tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, lalu
sekali tangannya bergerak dia telah memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin
penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan segera
menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak
peduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada
di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar!
Dengan
gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan
dan tak mempedulikan para anggota pasukan Kim-i-wi yang berserabutan dengan panik.
Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di
depan kamar kaisar, mayat-mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di
sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan
kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan sedang
dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan
kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar.
Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh
semua sedangkan dua bayangan itu sudah menerjang pintu kamar kaisar!
"Sing-singg-singgg...!"
Tampak
sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang masih duduk dengan tenang di atas
pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya
bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau
terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!
"Sri
baginda, cepat lari...!" In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang
masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang
kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang dia
tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak
agar kaisar melarikan diri.
"Heh-heh-heh,
kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu
itu!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang
mencengkeram ke arah dada In Hong.
Cengkeraman
ini cepat dan kuat bukan kepalang, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu
mengandung racun yang sangat berbahaya. Akan tetapi In Hong yang
mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat
dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu
dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti
datangnya maut!
"Desssss...!"
Tubuh In
Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek
muka putih juga terjengkang.
"Sri
baginda, cepat lari...!" In Hong berseru lagi.
Akan tetapi
kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, masih enak-enak saja
sehingga In Hong semakin bingung dan cepat dia meloncat ke hadapan kaisar lalu
menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.
"Dukkkk!"
Kembali
tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itu pun roboh
bergulingan. Ternyata bahwa bila melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat
setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya
kagetnya, agaknya dua orang kakek dan nenek itu sama sekali tidak terpengaruh
oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang
telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan
terhadap hawa pukulan sakti itu.
Selagi In
Hong meloncat bangun, dia sudah diserang lagi oleh kakek muka putih dengan
pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan
kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.
"Lari...!
Lari...!" teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek
muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar.
"Celaka...!"
In Hong berteriak ngeri.
"Krakkkk…!"
Kepala
kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum
dan paku-paku ke arah pemukulnya, yaitu si nenek itu.
"Aihhhh...!"
Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja
sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan
marah sekali!
Kiranya
‘kaisar’ itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di
dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot
macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan semenjak dulu
setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri.
Tadi, begitu
mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan
menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di dalam kamarnya
dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai
seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biar pun orangnya sudah meninggal dunia,
tetapi ciptaannya masih demikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa
tingginya tingkat kepandaian panglima yang kesaktiannya disohorkan orang
seperti dewa itu!
"Para
panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!" Terdengar suara kaisar, dan
kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari
atas bawah depan belakang dan kanan kiri, dan mereka mengenal suara kaisar ini!
In Hong
girang bukan main ketika melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya
sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, "Kakek nenek iblis, kalian
telah gagal!"
Bukan main
marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main
biar pun dia sudah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta. "Keparat
jahanam, engkau yang menggagalkan kami!"
"Dia
Puteri Pelindung Kaisar? Hemmm, kita tangkap saja dia!" Pek-hiat Mo-ko
berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.
"Dessss…!"
In Hong
menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biar pun nenek itu sudah
mencoba menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek
itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.
In Hong terbelalak,
hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan meski pun dia sendiri
menguasai ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), akan tetapi ilmu
kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan
Ilmu Thian-te Sin-ciang.
Akan tetapi
nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tak merasakan
sesuatu dan telah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini
mempunyai kekebalan yang luar biasa dan andai kata tadi jarum dari dalam kepala
arca itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.
"Heh-heh-heh,
itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!" nenek itu
tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong.
Tentu saja
In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat-cepat
mengerahkan seluruh tenaganya kemudian menghantamkan kedua tangannya beruntun
ke arah dada dan lambung kakek itu.
"Dukkk!
Dessss…!"
Pukulan
Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai lambung dan dada.
Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, bahkan cepat menangkap
dua pergelangan tangan In Hong yang tidak sempat mengelak karena kedua
lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.
"Plakkk!"
Sebelum In
Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya telah disambar oleh tangan
kiri Hek-hiat Mo-li hingga tubuhnya seketika menjadi lemas tak mampu bergerak.
Pada saat
itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi sedang berserabutan masuk dari
pintu dan jendela.
"Mo-ko,
kau pondong dia!" Hek-hiat Mo-li berteriak sambil melemparkan tubuh In
Hong kepada kawannya.
Pek-hiat
Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan segera memanggulnya, kemudian dia
bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang
mengepung dengan pedang di tangan.
"Awas,
jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!" teriak seorang
panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira
dan panglima itu.
Dua orang
kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang,
terdengar pedang berkerontangan karena terlempar ke kanan kiri disusul robohnya
empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek
dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.
"Kejar...!"
Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng
bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Akan tetapi gerakan kakek dan
nenek itu memang hebat bukan main, ginkang mereka jauh lebih sempurna dari pada
para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.
"Jangan
lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan
sampai terkena dia sendiri!"
"Jangan
lukai Puteri Pelindung Kaisar!"
Karena
teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak
panah pun tak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang
memiliki kepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke
arah kaki kedua orang itu. Akan tetapi, dengan mudah kakek dan nenek itu
mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka,
bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka
rasakan sama sekali!
Melihat
bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang
sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong lalu memutar-mutar
tubuh dara itu ketika dia dengan temannya keluar dari tembok istana dan tidak
ada seorang pun pengawal yang berani menyerang mereka!
Dengan
‘perisai’ hidup yang istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang
ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya.
Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta
itu, akan tetapi suara ini pun segera menghilang dan para pengawal sibuk
mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua
orang itu telah lenyap.
Peristiwa
itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh
kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan
pengawal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk segera mengerahkan tenaga pengawal
dan mencari dara itu sampai dapat!
"Kakek
dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!" kata kaisar yang marah itu.
"Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Apa bila dia yang
menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!"
Peristiwa
itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja,
seorang kakek dan seorang nenek yang bagaikan iblis, dapat memasuki istana dan
membunuh sepuluh orang penjaga serta dua belas orang pengawal Kim-i-wi,
memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan bisa menculik Puteri
Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai?
Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha
mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat
itu juga penjagaan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan
barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja.
***************
Mereka
berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali
mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak
sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan.
Kamar
tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter dan seluruhnya terbuat dari dinding
baja yang sangat kuat. Pintunya juga terbuat dari baja tebal yang kokoh, hanya
ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin
dipakai meloloskan diri andai kata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan
sekali pun. Seekor gajah pun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan
dalam kamar tahanan ini.
"Mo-ko,
mengapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan
menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?" Hek
I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sebenarnya nenek berpakaian
serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan
kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin.
Pek-hiat
Mo-ko tertawa. "Banyak sekali sebab-sebabnya kenapa kami belum membunuh
dia, Siankouw. Coba kami hendak menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw
Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab
itu?"
"Karena
dia sudah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak menyiksa dia
dulu sebelum membunuhnya!" jawab Hek I Siankouw.
"Ha-ha-ha,
itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja," kini Hek-hiat Mo-li
yang berkata.
Bouw Thaisu
berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang, "Kalian hendak
memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di
sini."
"Bagus!
Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!" kata Pek-hiat Mo-ko.
"Aha,
setan tua," Hek I Siankouw berkata, "Tentu kau hendak menjadikan dia
semacam sandera supaya kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang
lain-lain kalau mereka muncul."
"Hemm,
kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sandera pun! Akan tetapi pikiranmu
itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau
perlu."
Hek-hiat
Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya
tidaklah akan begitu mudah jika saja mereka tidak ‘dilindungi’ oleh keselamatan
In Hong. Andai kata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu
mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu.
"Akan
tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak."
"Pinto
(aku) mengerti sekarang," tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir
sejenak. "Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid dari ketua
Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tidak dapat disangsikan lagi
bahwa dialah yang dahulu telah berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang
diperebutkan itu. Karena itu sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku
untuk mendapatkan pusaka itu!"
Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya merasa terkejut dan kagum
mendengar tebakan yang memang amat tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa
dan menggerak-gerakkan tangannya.
"Ha-ha-ha,
memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur
yang amat sakti! Kiranya selain mempunyai ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki
kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami
dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari
bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?"
Bouw Thaisu
dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka
itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia
kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka
ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang konon
katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.
"Ketahuilah
bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!"
Keterangan
ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang
sejak tadi sudah siuman itu turut mendengarkan dan menjadi kaget dan heran. Dia
diam saja dan tetap rebah terlentang di atas lantai namun dia ikut mendengarkan
dengan penuh perhatian karena meski pun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris
ilmu-ilmu dari bokor emas itu, akan tetapi dia pun tidak pernah mendengar akan
riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiri pun tidak mengetahuinya,
karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai
milik Panglima The Hoo yang hilang lalu diperebutkan dan akhirnya berkat
kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.
"Milik
kalian?" Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh
kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu adalah
milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan
orang-orang asing dari Sailan ini?
"Akan
tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo
yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!"
"Benar,
akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu,
bukan? Dia merampasnya dari kami!"
"Manusia
pengecut dan pembohong besar!" Tiba-tiba saja In Hong tidak dapat menahan
kemarahannya mendengar ucapan itu. "Kalian berdua selain pengecut, juga
pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi
rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!"
Mendengar
ucapan In Hong yang kini sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw
membenarkan. "Memang demikian, Mo-ko!" kata Bouw Thaisu.
"Ha-ha-ha,
kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya
bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Ehh, Yap In Hong,
kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang dulu terjatuh ke tangan
mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu
kepada kami yang berhak memilikinya."
Pek-hiat
Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu sudah menjadi
sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka
yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka mempunyai
kekuasaan yang besar.
Karena
kekuasaan inilah maka mereka berdua akhirnya dapat menguasai sebuah bokor emas
yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Dahulu, ratusan
tahun yang lalu, bokor emas ini ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio
sakti yang turut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh kaisar dari
Kerajaan Goan-tiauw atau Kerajaan Mongol yang ketika itu menguasai Tiongkok,
bahkan yang sudah menaklukkan Sailan dan semua negara di selatan dan barat.
Ketika
hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti
ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya,
disembunyikan pada suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan
tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan, dia kemudian menyuruh membuat
bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah
dalam bokor emas itu.
Raja Sailan
hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa, akan tetapi dua orang
lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang
tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu
itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang juga mengadakan perjalanan ekspedisi
tiba pula di Sailan.
Raja Sailan
yang sadar akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang,
menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana
sambil membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor
emas itu!
Saat
mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang
dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran.
Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka
dan terjadilah pertandingan hebat.
Panglima The
Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok, lalu seorang
diri dia menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh dari
Sailan yang mempunyai banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua
kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni
diri mereka sendiri.
Mereka
melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas
itu. Panglima The Hoo tidak mengejar mereka, melainkan menyuruh para
pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan.
Raja Sailan
girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang
berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang
mengandung rahasia, maka dia pun membawa bokor emas itu pulang ke Tiongkok.
Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia
bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu
lenyap di dasar sungai.
Berita
tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw
lantas mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam
cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu jatuh ke tangan Yo Bi Kiok.
Sampai meninggal dunia, Panglima The Hoo sendiri belum pernah mengetahui akan
pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan
Sailan itu.
Tentu saja
penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit dan dikatakannya bahwa bokor emas
itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The
Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!
"Demikianlah,"
Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. "Memang pada waktu itu kami kalah
oleh The Hoo dan dia dapat merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang
kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepatnya, menghendaki semua
pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah
adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!"
"Memang
milik kalian kalau begitu riwayatnya," Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi
Bouw Thaisu diam saja.
"Pek-hiat
Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!" Tiba-tiba In Hong berkata. "Kau
sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukannya milikmu, juga bukan
milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang
meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak
atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah orang yang
berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya,
maka mendiang subo yang berhak."
"Hemm,
dan sekarang subo-mu sudah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi
tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada
kami," kata Hek-hiat Mo-li. "Engkau sudah kalah oleh kami, berarti
kami yang kini berhak merampas pusaka itu."
"Sungguh
tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana berani bilang bahwa
kalian menang dariku?"
"Ehh,
ehh, bocah sombong! Kau kira aku tidak mampu mengalahkanmu?" Hek-hiat
Mo-li membentak marah.
In Hong
sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku
saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki
dia hidup telah memberinya makan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar
setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap
terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang,
"Hek-hiat
Mo-li, kalau benar engkau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan
menggunakan kecurangan."
"Baik,
aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!" Hek-hiat Mo-li sudah
meloncat bangun.
"Hati-hatilah
Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang
sudah tidak berdaya lagi?" kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya
dara itu.
Bouw Thaisu
hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa
kini dua orang iblis ini sudah menguasai ilmu yang sangat hebat, yaitu
kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata
yang bagai mana ampuh sekali pun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati!
Akan tetapi
Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, "Boleh kau coba ketangguhanmu
terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai kau bunuh dia. Kita
masih amat memerlukannya."
"Aku
tahu!" jawab Hek-hiat Mo-li.
Kemudian dia
menekan sebuah tombol yang terhubungkan dengan sebuah alat. Kuncinya lalu
terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari
baja berat itu terbuka.
"Keluarlah,
bocah sombong!"
In Hong
maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia
mengalahkan keempat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar
ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain
yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba
untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi
kalau dikatakan takut!
Ruangan itu
luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan ke tengah ruangan itu, lantas
membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata, "Nah, majulah
Hek-hiat Mo-li!"
Hek-hiat
Mo-li meloncat ke hadapan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan
penuh selidik, kemudian dia membentak, "Jaga seranganku ini!"
Cepat kedua
tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri
menghantam ke arah pusar. Gerakannya sangat dahsyat dan cepat, mendatangkan
angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat.
Namun dengan
tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan
kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya
bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir
kuat.
"Desssss...!"
Itulah pukulan
Thian-te Sin-ciang yang sangat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan
nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai.
Hek I
Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, tapi Pek-hiat Mo-ko
sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja.
Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah
meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan
lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment