Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 33
TENTU saja
Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu,
merasa jeri. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya
yang ampuh itu pun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I
Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka dia pun meragu untuk
turun tangan.
Akan tetapi
dalam saat-saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua
kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling
melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk
menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.
"Singggg...!"
Tangan kanan
Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh
kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).
"Singggg...!"
Coa-tok
Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, yaitu sebatang pedang yang berlika-liku
bagaikan ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam
jarum racun ular.
"Wuuut-wuuuttt...!"
Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.
Karena
terpaksa tiga orang itu kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya
langsung menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci
arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu.
Namun Bun
Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan
itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang
secara sempurna, sehingga walau pun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng
Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah
memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani dipakai untuk menangkis
senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia
mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan
tenaga.
"Plak-plak-plakkk...!"
Tiga orang
pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan
otomatis Hek I Siankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan
itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangan kirinya. Coa-tok Sian-li juga
menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah
menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu
berupa uap yang sangat kuat menyambar ke depan dan biar pun hanya arak, akan
tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khikang yang hebat, tidak
kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!
Bun Houw
meloncat ke atas lantas kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata
rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya
itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, sekarang tubuhnya
meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan,
ada pun tangan kirinya dengan jari-jari yang terbuka menghantam ke arah Hek I
Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.
Melihat
suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju
dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram,
sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa
pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya sehingga pendeta wanita
tua ini lantas terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah menjadi pucat.
Bun Houw
segera menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari
samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi.
Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek
I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar
pula suara Bouw Thaisu,
"Siancai,
bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!"
"Wuuut-wuuuuuttt...!"
Bun Houw
cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik sambil mengelak dari sambaran
kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung
lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan
baju ini lebih lihai dari pada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya
yang lain.
"Bagus!
Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua
pengecut ini!" Bun Houw berseru dan dia pun balas menyerang.
Terjadilah
pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang
tua yang semuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun
pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu
kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang
yang sangat dahsyat mendorong mereka biar pun tidak mengenai langsung.
Sementara
itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li merasa terkejut dan
kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jeri lagi
menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang dulu
pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka
pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Sekarang mereka telah
menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut
lagi untuk menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!
"Kalau
kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak
akan mampu merobohkannya," kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.
"Bukan
salah mereka. Mereka adalah pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah
yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin
kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini," kata Hek-hiat Mo-li.
"Engkau
benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia."
"Jangan
kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus
menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu dari
pada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kau
bantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku
memiliki akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan
kita."
Pek-hiat
Mo-ko mengangguk kemudian sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat dan
menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat melalui tangan kanannya. Pek-hiat
Mo-ko terkenal dengan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun dan yang
mendatangkan hawa dingin sekali.
Ketika Bun
Houw yang sedang berusaha merobohkan keempat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba
merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh
seorang yang memiliki sinkang sangat kuat. Cepat dia pun mengerahkan tenaganya
menangkis ke kiri, dan disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan
Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.
"Prattt...!
Dessss...!"
Tangkisannya
membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu
membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan. Akan tetapi sambil tersenyum
kakek itu sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali
tidak melukainya!
"Ha-ha-ha,
Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet
itu datang sendiri ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya,
ha-ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa girang.
Tadi dia
memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru itu dan ternyata lulus dengan
baik karena pukulan hebat itu pun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam
tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.
Bun Houw
menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia tidak lebih
dahulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan
seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu melawan
satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biar pun kakek ini mempunyai
kekebalan yang begitu istimewa.
Berpikir
demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan
dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lainnya! Hebat bukan
main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat
orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang
Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.
"Trang-trang-trakk-breetttt...!"
Sinar emas
itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang
dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak
ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor ada pun ujung
lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu
berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam
kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat
Mo-ko.
Memang Bun
Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum akhirnya
dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek
yang amat lihai itu.
"Tahan...!
Cia Bun How, kau lihat ini...!" Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan
suara nyaring.
Bun Houw
meloncat ke belakang lalu menoleh, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika
dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah
berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.
"Hong-moi...!"
Tanpa disadarinya lagi Bun Houw berseru girang ketika melihat gadis itu
benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat
gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga
tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan
maut!
"Cia
Bun Houw, kau pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan
nyawanya di depan matamu!"
"Jangan
dengarkan dia! Aku tidak takut mati!" Tiba-tiba In Hong berseru nyaring.
Bun Houw
menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani,
tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan ‘nona Hong’ yang dulu
itu, dengan ‘Hong-moi’ yang dulu itu!
"Hong-moi...!"
Kembali dia mengeluh dan meragu.
"Cia
Bun Houw, engkau adalah putera dari ketua Cin-ling-pai yang perkasa.
Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan pedulikan aku!" Kembali In Hong
berkata. "Jangan sampai kau merendahkan nama ayahmu."
"Cia
Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!" Tangan
berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.
"Hek-hiat
Mo-li!" Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khikang-nya hingga suaranya
terdengar amat berwibawa sehingga menggetarkan jantung mereka yang
mendengarnya. "Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong tetapi
aku pun dapat membunuh kalian semua!"
"Ha-ha-ha-ha,
Cia Bun Houw bocah sombong! Kau kira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu
dapat kami bunuh dan kau pun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?"
Ucapan
Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat
itu sudah terkurung oleh seratus orang anak buah yang terlihat kuat-kuat dan
bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia
mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka
memandang ke arahnya.
"Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biar pun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap
In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah
kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong
dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau
apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!"
"Houw-ko,
jangan gila...!" In Hong menjerit. Tanpa disadarinya dia kembali telah
menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.
Bun Houw
tersenyum kepadanya. "Hong-moi, sudah sepatutnya kalau lelaki yang menjadi
tawanan, bukan wanita. Lagi pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu,
melainkan dengan Cin-ling-pai. Bila engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum
tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang mereka
tawan!" Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh
semua orang.
"Cia
Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?" Hek-hiat Mo-li berteriak.
"Sesukamulah
kalau kau hendak membunuhnya tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan
melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan
saja, barulah aku mau menyerah tanpa syarat."
"Houw-ko...!"
In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak dikiranya pemuda
itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan
nyawanya untuk menolong dia!
"Bagaimana
ji-wi locianpwe?" Bun Houw mengejek. "Kalian memilih aku mengamuk dan
membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?"
Pek-hiat
Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li kemudian mereka bicara dalam Bahasa Sailan.
"Memang dia lebih berharga dari pada gadis ini," kata Pek-hiat Mo-ko.
"Akan
tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita itu? Dia
hendak menuntut balas kepada gadis ini," kata Hek-hiat Mo-li.
"Kita
janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis
itu."
Setelah
berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang
masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, "Cia Bun Houw, kami
mau menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau
menyerahlah dan lemparkan pedang itu."
Bun Houw
tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. "Siapa bisa
percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku
ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari
tempat ini, barulah aku akan menyerah."
Kakek dan
nenek itu marah sekali, mereka merasa terhina. "Bocah lancang! Kami adalah
guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang
yang akan melanggar janji? Kalau kau tidak percaya kepada kami, kami pun bisa
tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau
tidak mau menyerah?"
"Aku
adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai yang melanggar
janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar janji pada saat di antara Bayangan
Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Waktu itu aku telah keluar
sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian
tahan! Aku sudah berjanji dan lebih baik mati dari pada melanggar janji, itulah
watak seorang pendekar!"
"Baiklah,
memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji
dari pada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia
kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!" kata Pek-hiat
Mo-ko yang cerdik itu. "Mo-li, bebaskan nona ini!"
"Ehh,
ehhh, nanti dulu, Moli!" Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan
mencegah. "Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu
adalah milikku, dan kalian harus ingat ini!"
"Hek I
Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!" Hek-hiat Mo-li menjawab.
"Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan
kepadamu apa bila urusan kita semua sudah selesai, tetapi sekarang urusan belum
selesai, bantuanmu pun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan
menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai
penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya
kembali? Bila mana sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu
menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisar pun kami dapat
mengambilnya, apa lagi di tempat lain!"
Hek I
Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantah pun tidak akan ada
gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang sangat lihai
dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap lagi gadis yang
sudah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, dari pada sekarang memusuhinya
dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.
Hek-hiat
Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua
belenggu kaki dan tangan In Hong, lalu membebaskan totokannya dengan jalan
menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja
dia tidak cepat meloncat sebab pembebasan totokan dan belenggu itu membuat
seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.
Bun Houw
sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. "Hong-moi, engkau
pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi,
Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu." Bun Houw menyerahkan
Hong-cu-kiam.
Seperti
dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya
masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. "Houw-ko... tidak boleh
begini...," katanya dengan suara berbisik.
"Sudahlah,
Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari
neraka ini!"
"Tapi...
tapi... kau...?"
"Sudahlah,
jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan.
Pergilah, Hong-moi dan... kau maafkan semua kesalahanku yang sudah-sudah..."
"Houw-koko!"
In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus
dua titik air mata. Kemudian dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan
pedang Hong-cu-kiam di depan dada. "Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!"
"Hssshhh,
jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka."
"Hayo
lekas pergi, mengapa kami disuruh menonton sandiwara?!" bentak Ang-bin
Ciu-kwi dengan marah.
"Pergilah,
Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu," berkata pula Bun Houw
sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.
Dengan isak
tertahan In Hong membalikkan tubuhnya kemudian berlari keluar dari pintu
gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat
In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi
memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. "Nah, sekarang aku
menyerah."
"Engkau
memang sungguh seorang muda yang sangat gagah!" Pek-hiat Mo-ko memuji
sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.
"Akan
tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!" kata Hek-hiat Mo-li
dan secepat kilat, jari tangannya menotok.
Bun Houw
mengangguk. "Maaf, anggota tubuhku bergerak otomatis tanpa
kusengaja."
Pek-hiat
Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, "Biar kuikat
saja dengan ini." Dan kakek ini pun lalu mengikat sepasang tangan pemuda
itu di belakang tubuhnya.
Tali ini
bukan tali sembarangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat
di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang
ulet dan tidak dapat dibikin putus oleh apa pun. Setelah dibelenggu kedua
tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tahanan.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bebaskan dia!"
"Hong-moi...!"
Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka
berubah pucat saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In
Hong!
Gadis ini
kelihatan jelas habis menangis, matanya merah dan pipinya basah. Kini dia tak
menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di
tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau
betina yang dirampas anaknya.
"Hong-moi,
pergilah...! Ahhh...!" Bun Houw menjadi bingung sekali.
Sementara
itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, segera menerjang In Hong dengan
senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw mempergunakan pedang hitamnya yang ujungnya
telah dirusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang
pedang.
Melihat
betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw
Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok
Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya
menonton.
"Ha-ha-ha,
tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa
bergelak dan Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong.
Tentu saja
In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah
dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini mempunyai
kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan,
In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk
dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa
mundur.
"Hek-hiat
Mo-li! Apakah engkau begini tidak tahu malu untuk melanggar janji?" Bun
Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia sudah
mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, kedua lengannya tetap saja tak mampu
membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak
mulur sehingga tak mungkin dapat dibikin putus.
"Hemm,
Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami
tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar
janji?" Pek-hiat Mo-ko berkata.
Tentu saja
Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. "Hong-moi,
jangan...! Pergilah lekas!"
Sambil
menangkis serangan Hek I Siankouw yang dilakukan dengan penuh kebencian, In
Hong menjawab, "Tidak! Jika engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk
sampai titik darah terakhir!"
Hek I Siankouw
menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang
Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika cahaya
keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya
dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.
"Hong-moi,
pergilah...!" kembali Bun Houw berteriak.
Akan tetapi
In Hong sudah marah bagaikan seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan
dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu serta lima belas orang
anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang
yang digulung. Inilah pasukan tali yang telah terlatih baik oleh dua orang
kakek dan nenek itu.
Begitu
Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu serentak menggerakkan tangan dan
meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, lalu ujung itu
diterima oleh seorang teman di seberangnya. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong
telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak
karena ke mana pun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!
In Hong
menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang
mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak jika dia bergerak, dan kedudukannya
tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu.
Terdengar
dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi
mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu
ternyata juga terbuat dari bahan yang sangat kuat, akan tetapi Hong-cu-kiam
yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sinkang kuat,
merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali
itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itu pun mulai
menjadi kacau dan In Hong sudah berhasil ke pinggir mendekati mereka yang
semakin panik dan jeri sebab tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini
telah robek-robek!
"Mundur!"
teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot
hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tidak mampu bergerak
lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.
Melihat dua
orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya segera berkelebat menyerang
dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat
itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan terus didesak
sedemikian rupa hingga gadis itu menjadi kerepotan juga. Menghadapi seorang di
antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apa
lagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara
istimewa pula.
Belum sampai
lima puluh jurus dia mempertahankan diri, dia sudah roboh akibat totokan
istimewa yang dilakukan Pek-hiat Mo-ko dengan ujung tongkat. Tubuh In Hong
terguling dan segera dia pun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan
dilempar ke dekat Bun Houw.
Kebetulan
sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling
pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdengar Bun Houw
mengeluh kecewa. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!
“Dukkk!
Dukkk!"
Dua kali
tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, maka kedua
orang muda itu mengeluh dan tidak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena
mereka sudah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua
orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan
oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan sesudah
membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang
amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh
seorang lihai seperti Bun Houw sekali pun!
"Kenapa
mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe," Ang-bin Ciu-kwi mencela
Pek-hiat Mo-ko sesudah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar
ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.
Pek-hiat
Mo-ko tersenyum. "Sungguh pun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor
harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu,
mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah
sandera-sandera yang sangat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati
sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan
menerima hukuman."
Ang-bin
Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang sangat
hebat. "Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati,
kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua
temannya harus dihukum!"
Tiba-tiba
leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga
Si Setan Arak kaget dan ketakutan. "Ampun... maafkan kalau saya salah
bicara..."
Akan tetapi
Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat sekali dengan mukanya.
"Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah
seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!" Dia
kemudian mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab
ke atas lantai. "Sekarang, kau bersama isterimu, harus menjaga baik-baik
dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau
lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!"
Pek-hiat
Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang
tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua
orang itu hanya membantunya karena mereka itu memiliki tujuan pribadi
masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi
kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja
lebih tunduk dan taat.
***************
Bun Houw
siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi dia rebah
menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah
pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua
yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak
terbelenggu.
Hal-hal ini
menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan
itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi,
dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu
yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang
di atas pintu yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, namun
terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Bagaimana pun
juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu,
kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.
Bun Houw
melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat
sebuah lubang pada lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian
dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter
persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh
baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan
lain-lain ke dalam kamar.
Paling
penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu,
dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut
tengkuk gadis itu yang tadi kena pukulan. Tidak lama kemudian gadis itu
mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit
duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama,
"Kita
bebas...!"
Bun Houw
mengangguk. "Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang
kuat sekali."
In Hong
segera turun, lalu memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia
membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, "Kita tidak ditotok, tidak
dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa
sukarnya kita membasmi mereka dan lolos dari sini?"
Bun Houw
menggelengkan kepala lalu duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari
baja!
"Kurasa
tidak begitu mudah, Hong-moi. Mereka pun bukanlah orang-orang bodoh. Sudah
kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula,
kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya
bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan
lain."
In Hong
terkejut. "Aihhh... habis bagaimana?"
"Hong-moi,
tadi engkau sudah dapat lolos, mengapa engkau kembali?" Bun Houw tidak
menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.
In Hong kini
berdiri sambil memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw
akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat
menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat
keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik.
"Kau
kira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau telah mengorbankan dirimu untuk
kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan nyawamu terancam. Aturan
mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidup aku akan merasa tersiksa
oleh penyesalan bila sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri
untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat
kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu."
"Dan
kau gagal..."
"Lebih
baik gagal dan bersama-sama menghadapi kematian dari pada mati sedikit demi
sedikit digerogoti penyesalan kelak."
Hening
sejenak. "Hong-moi..."
"Hemmm...?"
"Agaknya
engkau ini..."
"Ya...?"
"Angkuh
bukan main!"
"Maksudmu?"
"Sedikit
pun engkau tidak sudi menerima budi orang..."
"Tentu
tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada.
Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapa pun!"
"Hemm,
engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan..."
"Aku
tidak mengharapkan kasihan orang...!"
"Akan
tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah
engkau akan itu? Engkau malah sudah memberikan Giok-hong-cu (Burung Hong
Kumala) padaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah
saling terikat oleh persahabatan!"
"Dan
pedang itu terampas oleh mereka!" In Hong berkata kecewa.
"Akan
tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!" Bun Houw berkata kemudian
tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut
yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, "Benda ini
selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!"
Melihat
pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja
jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi
merah dan dia merasa senang bukan main!
"Kita
harus mencari akal supaya dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita
serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan..."
"Ssstt,
jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar
dulu."
"Tapi
kita akan celaka..."
"Kurasa
tidak, Hong-moi. Sebenarnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah
ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini
hanya dijadikan umpan belaka. Apa bila mereka hendak membunuh kita, tentu
agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga."
"Ssstttt...!"
In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata.
Keduanya
segera memandang dengan penuh perhatian pada lubang kecil yang tiba-tiba
terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang
sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok
Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong
masuk ke dalam satu per satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya.
Kemudian juga sebuah poci minuman.
Panci itu
berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap dan merangsang selera
dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air
teh.
"Iblis,
aku tak sudi makan dan minum suguhanmu!" In Hong hendak menendang hidangan
itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.
"Hong-moi,
apa gunanya itu?" Pada waktu gadis itu memandangnya, dia berkedip sambil
menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.
"Ha-ha-ha!"
Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar.
Ternyata
suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong segera mengintai dari
lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan
Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata,
"Memang
bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!"
Mendadak
terdengar suara Hek I Siankouw. "Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li,
kalian dan aku adalah sekawan, lupakan pertikaian antara kita dan kalian
turutilah permintaanku sedikit."
"Hemm,
apakah permintaanmu itu, Siankouw?"
"Biarkan
aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian
sahabatku."
"Wah,
wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka sekali menonton kau melakukan
penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas menjaga di sini,
tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau
mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan engkau memotong lengannya?
Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!" kata Ang-bin
Ciu-kwi.
"Siankouw,
harap engkau jangan cari-cari perkara. Engkau tahu bahwa yang menentukan
hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Bila engkau hendak minta
sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar
kau bunuh gadis itu pun kami tidak mencampuri," kata Coa-tok Sian-li.
Hek I
Siankouw menghela napas panjang. Dia pun tidak berani melanggar perintah dua
orang kakek dan nenek iblis itu, betapa pun sakitnya hatinya dan betapa
inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara
bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak
lagi melihat atau mendengar mereka.
"Hong-moi,
mari kita makan dulu, mumpung masih panas-panas." Bun Houw mengangkati
semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.
"Uhhh!
Aku tidak sudi makan hidangan mereka."
"Hong-moi,
pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan
tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau
makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka
kalau saatnya tiba?"
Dibujuk
demikian, In Hong termenung, kemudian dengan cemberut dia duduk pula di atas
pembaringan dan menerima semangkok nasi beserta sumpitnya. Akan tetapi ketika
dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga,
"Siapa
tahu masakan ini mengandung racun!"
Bun Houw
tersenyum, menyendok sayur dan daging kemudian makan dengan enaknya.
"Tidak mungkin," katanya. "Mereka perlu dengan kita sebagai
sandera, kenapa mereka harus meracun kita? Pula, banyak jalan untuk membunuh
kita yang sudah tidak berdaya, kenapa menggunakan racun dalam makanan seperti
perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan
kita."
In Hong lalu
mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan
sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In
Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat.
Bun Houw
lalu turun dari pembaringan. Setelah menaruh semua perabot makan di depan
lubang bagian bawah pintu yang telah tertutup lagi dari luar itu, dia mengintai
dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek
I Siankouw mau pun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara
mereka maka dia pun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia
memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti.
Akan tetapi,
tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tak mungkin
meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan
yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya
lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai?
Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong
berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di
atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.
Sementara
itu, Hek I Siankouw dan kedua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak
jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. "Jangan khawatir, aku juga
akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar
mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tak akan terjadi. Aku
ingin melihat mereka itu terhina, juga rusak nama dan kehormatan mereka,
sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!" Demikian antara Lin Hek I
Siankouw berkata dan membujuk mereka.
"Memang
menyenangkan sekali!" Coa-tok Sian-li berkata.
"Asyik
sekali kalau menonton itu!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.
"Andai
kata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tak akan marah. Justru mereka
sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu di dalam satu kamar, maka
kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?" kata pula Hek I Siankouw.
"Baikiah,
Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan
menikmati tontonan itu, hik-hik!" Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.
Sore hari
itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapat suguhan makanan dan minuman, bahkan
ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar
lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil,
maka kamar tahanan itu biar pun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak
terlalu terang, hanya remang-remang saja.
KINI In Hong
tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan dia pun minum arak wangi
yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw
yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang
sesungguhnya, secara aneh sekali dua orang muda itu tidak merasa khawatir atau
tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang sangat
aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal
duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimana pun juga.
Ketika
mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat
lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu
lantas disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah
suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata,
"Hi-hi-hik,
selamat menikmati malam pengantin!"
Bun Houw
mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tak
perlu terlalu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu
yang membuat dia menaruh curiga. Apa lagi ketika lampu penerangan di luar kamar
dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi semakin terang, dan dia
dapat mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa
orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong
yang duduk di pinggir pembaringan sambil berbisik,
"Hong-moi,
hati-hatilah..."
"Ada
apakah, Houw-koko?"
"Aku
menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, tapi
entah apa." Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan
tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam.
Rasa hangat
yang aneh menjalar dari sentuhan jari-jari tangan itu, getaran yang luar biasa
menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh
tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata
mereka pun melekat.
Di dalam
cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang
luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat
kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup,
hangat dan begitu dalam laksana lautan yang sukar dijajaki dalamnya, bibir yang
sedikit terbuka seakan-akan menantangnya, napas yang panjang halus agak
tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang
panjang bagaikan tangkai bunga.
Dia
terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah
baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.
"Ahhh...!"
In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.
"Maaf,
Hong-moi...!" Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Sekarang napas mereka
agak memburu.
In Hong
menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam
cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Akan tetapi mata itu mengerling
dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai!
Seperti
didorong oleh tenaga yang tidak nampak, Bun Houw melangkah maju, jantungnya
berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya
ini? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu sambil
tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.
"Hong-moi..."
Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak dara itu.
Pundak itu
tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh.
Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh
In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat
mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh
kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!
"Ada
apa... koko...?"
Dara itu
mengangkat mukanya. Benar saja, mukanya merah sekali setelah kini tertimpa
sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya,
seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!
"Tidak...
eh, aku hanya hendak mengatakan ehh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!"
Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi?
Dia menunggu kemarahan dara itu, andai kata akan menamparnya, dia akan
menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.
Akan tetapi
aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang
membayangkan kebesaran hati yang bangga!
"Terima
kasih... Houw-ko..." suaranya tersendat-sendat.
Mereka masih
saling pandang, dan akhirnya, tidak kuat lagi menahan gelora hatinya yang
membuatnya bagaikan mabok dan tidak sadar, Bun Houw lalu merangkul leher gadis
itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya.
Kini muka
mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan
nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri
kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di
dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh,
"Houw-ko..."
"Hong-moi
ah, Hong-moi..." Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya,
timbul birahinya yang sangat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala
itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya supaya menjadi satu dan tak akan
terpisah lagi dengan dia!
"Hi-hi-hik!"
Suara ketawa
ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar
tadi kini buyar dan bagaikan ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat
mereka maklum bahwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw melepaskan
pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.
In Hong juga
memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri,
bingung dan terkejut.
"Hong-moi...
ahh… celaka... kita keracunan...!" Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya
karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.
"Ahhh...
pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan
tadi..."
"Dalam
arak mungkin..."
"Ha-ha-ha!"
terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi. "Memang kau pintar sekali, putera
Cin-ling-pai. Racun itu berada di dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya.
Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kau ceritakan agar
mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha-ha!"
"Hi-hik,
sebetulnya bukan racun yang berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih
tepat dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam
Pengantin! Bersenanglah kalian!"
"Coa-tok
Sian-li iblis betina cabul!" In Hong membentak marah. "Kalau sekali
aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!"
"Jangan
harap kau dapat mempermainkan kami!" Bun Houw juga berteriak, akan tetapi
jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam
hatinya.
"Ha-ha-ha,
mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tak kuat
menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apa lagi manusia, dan masih muda
seperti kalian! Ha-ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjinah di
dalam kamar tahanan!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.
"Dan
aku juga ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh
temanku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti
seorang pelacur!" terdengar suara Hek I Siankouw.
Mendengar
ini, terkejutlah Bun Houw. Ternyata itulah rencana mereka! Dia dan In Hong
sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu birahi
agar dalam keadaan tidak sadar mereka berdua melakukan hubungan kelamin,
berjinah di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka.
Maksud
mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebar luaskan peristiwa itu untuk
menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap
In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!
"Manusia-manusia
iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan
hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!" Bun Houw membentak
marah.
"Hayo
masuklah kalian ke sini kalau berani!" In Hong juga berteriak. "Akan kuhancurkan
kepala kalian satu demi satu!"
"Hik-hik,
malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan mengira
pengantinnya cekcok!" Coa-tok Sian-li mengejek.
"Sssttt...
isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan,"
terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara
lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, atau setidaknya
suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!
Mereka
berdiri saling berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh
dengan gelora nafsu birahi yang menyesakkan dada.
"Hong-moi...
bagaimana rasanya tubuhmu...?"
In Hong yang
merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan. "Kepalaku pening,
Houw-ko, dan tubuhku rasanya panas bukan main... seolah-olah ada api yang
membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko..."
"Demikian
pula keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita
harus melawannya, Hong-moi. Kau duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa
murni sebanyaknya, pergunakan sinkang untuk mengusir hawa yang
memabokkan."
Bun Houw
sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di
atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu
birahi yang makin kuat.
Akan tetapi
dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu
memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno
di Sailan. Seperti raja-raja di negara mana pun juga di dunia ini di jaman
kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak
sekali selir.
Tentu saja
jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru
belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara
remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua
kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua,
sungguh pun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja
yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka
para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau
obat perangsang yang amat kuat.
Obat ini
juga sekaligus merupakan racun, akan tetapi pada ukuran tertentu merupakan obat
mujarab yang bisa mendatangkan rangsangan birahi sehingga raja yang tua itu
akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekali
pun, juga bagi raja sendiri yang telah kekurangan gairah itu bisa dirangsang
kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu obat ini
akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuat pun.
Coa-tok
Sian-li adalah seorang ahli racun, karena itu tentu saja dia dapat membuat obat
perangsang ini yang dibuatnya dari sejenis lalat istimewa yang hanya hidup di
rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk
halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, kemudian
dicampur arak. Sama sekali tidak merubah rasa arak sehingga mudah saja meracuni
orang lain.
Bun Houw dan
In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sinkang kuat. Kalau hanya
terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka
berdua akan sanggup menyelamatkan diri dengan pengerahan sinkang mengusir hawa
beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah serta otak,
langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu birahi sehingga biar pun
mereka telah mengerahkan sinkang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan
birahi itu.
Semakin
malam, semakin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada
dasarnya sebenarnya mempunyai gairah yang menggelora dan darah yang panas,
hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya.
Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya,
akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali!
Kini,
beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap
lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata
sayu dan setengah terpejam, bagaikan mata orang mengantuk, agak basah.
Hidungnya kembang-kempis dan mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak
dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya.
Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan
birahi!
Bun Houw
juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Dia pun sudah membuka matanya,
memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri dan
menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.
"Ohhh...
Houw-ko... ahhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah..." In Hong merintih-rintih
memelas sekali.
"Pertahankanlah,
Hong-moi. Memang pengerahan sinkang tidak menolong, satu-satunya jalan hanyalah
bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus
mempertahankan... harus ahhhh..." Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya
kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong
menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan semakin hebat.
"Houw-koko...
aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ahhhh, tubuhku panas
sekali..." Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja
sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!
"Hong-moi...
jangan, Hong-moi!" Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung
saat mendekati pembaringan itu, cepat-cepat dia menutupkan kembali baju In Hong
yang setengah terbuka.
"Houw-koko,
panas sekali... aku tak tahan...," In Hong mengeluh dan setengah terisak.
"Pertahankan,
adikku, pertahankan..."
"Ohhh,
Houw-ko..." In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu.
Bun Houw
cepat memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya
menyentuh muka gadis itu. Akhirnya In Hong terisak sambil menyembunyikan
mukanya di dada Bun Houw.
"Houw-koko..."
Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.
"Bagaimana,
Hong-moi..."
"Houw-koko...
selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat,
koko... ah, aku tidak peduli... kau lakukanlah sekehendak hatimu..." kedua
lengan In Hong yang merangkul itu semakin menguat dan mukanya dibenamkan pada
dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada
beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.
Bun Houw
merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan dia pun merangkul akan tetapi dia
menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang
lebih jauh dari pada berpelukan itu.
"Tidak,
Hong-moi, tidak...! Kita harus tetap kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta
padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!"
"Houw-ko..."
In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini.
In Hong
masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir
tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi dia berada di mana dan berada dalam
keadaan bagaimana. "Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah,
aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku..."
"Hong-moi,
tidak...!" Bun Houw yang hampir tak kuat lagi itu melepaskan pelukannya
dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh
terguling.
Dia segera
duduk bersila sambil memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan
hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama
hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang
biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.
"Kau
benar... Houw-ko, kau benar..."
Hening kini
di kamar itu, yang terdengar hanyalah isak tertahan dari In Hong yang masih
rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, terbuka di
sana sini akibat dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju yang terbuka
didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya
morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun
hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tidak dapat dikatakan
bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.
Bun Houw
sendiri masih berjuang melawan diri sendiri, karena sesudah dia berdiam diri
duduk di lantai, dia merasa tubuhnya bagaikan dibakar dan keadaannya malah
semakin menderita lagi. Mendengar suara rintihan disertai isak tangis tertahan
dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat
betapa In Hong rebah terlentang, dadanya sedikit diangkat dan terengah-engah,
kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia
tidak tahan untuk mengawasi saja maka Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung
menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang
gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.
"Hong-moi,
ahhh, Hong-moi..."
Perasaan
kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong birahi. Kini Bun Houw yang
sudah tak kuat menahan lagi, dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itu pun otomatis
menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang
mabok dia berada di antara sadar dan tidak, dan akhirnya dorongan nafsu telah
membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu.
Begitu bibir
mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat
cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu
bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.
"Tidak...!
Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!" teriaknya.
"Hong-moi...
aku tidak tahan lagi... Hong-moi..." Bun Houw kembali hendak merangkul.
Akan tetapi
untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga tubuh Bun Houw
terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti
orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.
"Houw-ko...!"
Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat-cepat turun dan berlutut.
"Kau... kau tidak apa-apa...?"
Dengan mulut
mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong
membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi pada waktu Bun Houw hendak
menciumnya, sekuat tenaga gadis ini menekan gairahnya sendiri lantas dia
memalingkan muka.
"Houw-koko...
kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak
boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga..."
"Ahhh,
Hong-moi..."
"Maafkan,
aku, koko..." In Hong meronta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian
dia menjauhkan diri.
Bun Houw
menjambak rambutnya sendiri. "Ahhh, apa yang kulakukan tadi? Kau benar,
Hong-moi... lebih baik mati dari pada tunduk kepada mereka..."
Untung bagi
Bun Houw bahwa pada saat-saat terakhir itu In Hong disadarkan oleh naluri
kewanitaannya yang semenjak kecil memang jauh dari pada penghambaan nafsu
birahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan
lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak
nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang
menyadarkannya.
Dengan
demikian, tidak sampai terjadi perjinahan atau hubungan kelamin bagaikan yang
diharapkan oleh dua orang suami isteri cabul di luar tempat tahanan itu, dan
oleh Hek I Siankouw yang tidak turut mengintai karena tokouw ini sama sekali
tidak cabul seperti mereka, sungguh pun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga
tak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan
perjinahan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak
sah saja dengan pendeta itu.
Waktu itu
sudah hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang itu sudah mencapai
puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di
tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai.
In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan,
tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw,
tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri
karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.
"Koko..."
"Hong-moi..."
Mereka
otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium
atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati
hendak membelai pemuda itu sambil merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw
tidak tahan lagi, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka
berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut
dirinya lepas.
"Hong-moi,
hanya inilah satu-satunya jalan, maafkan aku..." Tangannya segera bergerak
dan menotok tengkuk In Hong.
Karena dia
sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong
mengeluh, terkulai. Begitu melihat dara itu sudah terkulai, Bun Houw bangkit,
terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.
"Terkutuk!"
"Keparat!"
Suami isteri
di luar tempat tahanan itu langsung menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka
sudah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena
mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan sekarang,
setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!
Hampir pada
umumnya manusia mempunyai kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin
Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan
kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang
terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang
halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau
hanya mendengar penuturan orang mau pun membaca. Kalau toh ada yang menyangkal,
penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan
bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak
suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada!
Dicobanya
dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan
lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara
demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum
padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelajaran-pelajaran tentang
kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak
ada gunanya.
Yang paling
penting adalah menghadapinya sebagai sebuah kenyataan! Menghadapinya,
mendekatinya dan memandang penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan tanpa
mencela, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan
segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka
melihat kecabulan?
Sesungguhnya,
kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan di dalam hubungan
kelamin (sex). Apakah cabul kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil
sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau
kita melihat binatang yang besar, terutama manusia, melakukan hubungan sex,
lantas timbul istilah cabul?
Barangkali
karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex memiliki
daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu birahi kita! Inilah sebabnya
mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu
birahi dianggap cabul!
Padahal,
tidak ada peristiwa apa pun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu birahi.
Hubungan sex merupakan sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang
gairah nafsu birahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI!
Pikiran kita
menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan
lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang
belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang
pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan
pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah birahi
kita sendiri.
Dan bagi
orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton
kecabulan itu yang menimbulkan semacam kenikmatan tertentu, menjadi satu
kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah
menjadi sesuatu yang dicari-cari.
Kenyataan
itu hanya bisa terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan
mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum
dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan,
kemunafikan, iri hati, kemarahan, kebencian dan segalanya itu tidak terletak di
tempat yang jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri!
Dan semua
itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun
juga, kesenangan lahir mau pun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi
sumber dari semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan
kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!
In Hong
rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan.
Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak
melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tidak
lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang
bukan lain adalah Liong Si Kwi!
Seperti kita
ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini sudah diselamatkan oleh Bun Houw ketika
dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa berhutang
budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apa lagi ketika
pemuda itu, yang sudah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga
membelanya di hadapan subo-nya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh!
Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu.
Kini
terbukalah matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya,
subo-nya itu tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis!
Dia harus menyelamatkan Cia Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua
Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya.
Hatinya
semakin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah
perkasa itu sudah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang
dibebaskan. Kemudian, dia pun merasa iri kepada In Hong yang ternyata juga
merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk
membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada
hubungan cinta kasih antara pemuda dengan dara itu. Akan tetapi, rasa cemburu
dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan
cara apa pun juga.
Pada waktu
dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan
isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar
tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat
mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki
kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting
baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat
melarikan diri!
Demikianlah,
karena kebetulan sekali kamar yang dia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu
berdekatan dengan kamar tahanan, sejak sore-sore dia sudah menutup diri di
dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, namun secara
diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah
dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar
tahanan.
Dia bekerja
keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia
berhenti sebentar pun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya,
lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar
itu pada waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar
karena saat itu pengaruh racun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya
yang hampir tidak tertahankan olehnya. Baiknya In Hong sudah menggeletak
pingsan, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!
Liong Si Kwi
yang sudah berhasil masuk ke dalam kamar itu, ketika melihat Bun Houw
menggeletak bagaikan orang yang tidak bernyawa lagi, langsung meloncat
mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu. Cepat dia memeriksa dan legalah
hatinya pada saat melihat bahwa Bun Houw ternyata masih bernapas, malah
bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena
pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya
diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw lalu dihalangi oleh
orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu.
Dia tidak
tahu dengan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu,
sebab itu dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak
di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In
Hong pingsan.
Tadinya
memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka
berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak
lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan ada pun gadis perkasa itu
malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung sekali, akan tetapi akhirnya
dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung
tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya.
Sungguh pun
tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya,
mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya seperti orang mabok
itu, akan tetapi akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar
dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.
"Eh...
ehh, taihiap...!" Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka
matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya
dengan penuh nafsu.
Si Kwi telah
lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka
kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tidak lama kemudian dia
malah sudah balas memeluk dan balas menciumi, tak kalah hebatnya dengan orang
yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lantas terguling di atas pembaringan
Si Kwi, dan mereka melupakan segala-galanya.
Kalau tadi
Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia
tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka
yang sengaja meracuninya, adalah dikarenakan di fihak In Hong masih ada
penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak mau
melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu.
Akan tetapi
kali ini, pada saat pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya
menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu merayunya
lebih hebat seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan
Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki
oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai
itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid Hek I Siankow!
Saat itu Bun
Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada
hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu birahinya yang bernyala-nyala
itu. Andai kata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi,
tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda
ini sadar dan menghentikan perbuatannya.
Akan tetapi
kenyataannya tidaklah demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu
dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang
mempertaruhkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih
hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan
dicinta ini.
Terjadilah
hubungan itu dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap,
meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun
perangsang itu sudah menipis.
Begitu sadar
dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh
kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia segera tahu apa
yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit
duduk, terguling dan roboh pingsan!
Penyesalan
yang amat hebat, ditambah rasa kaget yang luar biasa besarnya, ditambah
pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang
dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, pengerahan
tenaga kemauan yang amat hebat pada waktu dia menekan dorongan nafau bersama In
Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.
"Ha-ha-ha-ha!
Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!" Mendadak terdengar suara
tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu.
Si Kwi yang
tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang semakin menebal rasa
kasih sayangnya terhadap pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan
yang memilikinya, sebagai suaminya walau pun tidak secara sah, kini bagaikan
disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang sudah terjadi. Dia pun tidak
menyesal, hanya khawatir karena dia sudah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw!
Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar
jendela.
"Liong
Si Kwi, engkau sangat hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah
aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku
masuk."
Si Kwi
menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera menyambar
siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi
jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.
"Ha-ha-ha-ha,
tenanglah, manis. Aku datang hanya untuk menonton pertunjukan menarik yang
berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau
sudah membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis, kemudian mari kita
bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I
Siankouw dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini?"
Si Kwi yang
sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut sekali. Maklumlah dia
bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak
tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil
keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apa lagi laporan Ang-bin Ciu-kwi
yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subo-nya
lagi.
Memang,
kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia
dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja dari
pada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya
sama sekali berubah dari pada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar
pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena
pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok. Kini
mengertilah dia bahwa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang
menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia.
Kini dia
dapat menduga mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak
sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak terus
menciuminya, dan dia mengerti pula mengapa In Hong juga pingsan. Ternyata
mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau
tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun
itu?
Dia teringat
akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Dia
pun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangsang yang sangat
hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada
setan itu!
"Aku
harus cepat melapor kepada subo!" pikirnya dan dara itu cepat meloncat,
bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat-cepat
dia melarikan diri ke kamar subo-nya.
Dia terpaksa
meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja
belum tentu dia selamat, apa lagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih
baik dia cepat pergi ke subo-nya dan minta tolong pada subo-nya. Siapa tahu
kalau dia sudah memberi tahu subo-nya akan semua hal dengan terus terang,
subo-nya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!
"Subo...!
Subo... tolonglah teecu, subo...!" katanya sambil mengetuk pintu itu
dengan kuat.
Daun pintu
terpentang lebar dan Hek I Siankouw sudah berdiri di ambang pintu sambil
memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri
di situ dengan muka pucat sekali dan dengan siang-kiam di kedua tangan.
"Si
Kwi, apakah yang telah terjadi?" tanyanya dan dia membiarkan muridnya
memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar tapi karena tidak melihat siapa pun juga
di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya.
Tiba-tiba Si
Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya
adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sebagai sahabat, guru, juga
orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan
hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya
ini yang diharapkan dapat menolongnya dan menolong Bun Houw.
"Subo...
sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu..."
"Si
Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!" gurunya
membentak.
"Subo,
teecu sudah jatuh cinta... sejak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua
Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu sudah
jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu..."
Gurunya
mengerutkan alisnya. "Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?"
Gadis itu
cepat mengangkat muka, memandang wajah subo-nya dengan penuh harapan.
"Jadi... subo... setuju...?"
"Dia
seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia
cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak
lawan."
"Ah,
terima kasih, subo...!" Si Kwi berseru girang dan memberi hormat.
"Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya..."
Tiba-tiba
saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar
marah. "Apa?! Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?"
bentak gurunya.
"Ah,
tidak...! Tidak begitu, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga
Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam
tadi..."
"Malam
tadi mengapa? Hayo katakan!"
"Malam
tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya."
"Eh,
Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan
mereka..." Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh
Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. "Si Kwi!" Dia membentak,
"Ceritakan, apa yang terjadi!"
Dengan suara
terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia sudah membuat jalan
terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw
keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.
"Akan
tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau
terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak
mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw...
kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin
Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar
teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke
sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo..."
"Dessss...!"
Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangan gurunya.
Muka gurunya
sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena
terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat
mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan
amat mudahnya kepada seorang pria, dan biar pun pria itu adalah seorang pemuda
yang harus dia akui pilihan, akan tetapi bagaimana pun pemuda itu adalah
seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan.
Akan tetapi
di lain fihak, hatinya juga terharu sebab dia telah menganggap Si Kwi sebagai
puterinya sendiri dan sebenarnya ada pertalian batin yang kuat antara dia
dengan gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, maka nyawa
dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!
"Murid
murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!"
"Harap
subo sudi mengampuni teecu!" kata pula Si Kwi. "Teecu bersedia untuk
mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi,
teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan
murid, dan juga sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong
dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta padanya, subo, teecu
mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!" Dan murid ini menangis lagi,
menangis dengan penuh kesedihan.
Sepasang
mata Hek I Siankouw menjadi basah pada waktu dia mendengar dan melihat keadaan
muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa
Cinjin dan dia pun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi
isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta,
tentu saja mereka tak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa
Hwa Cinjin sangat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri
saja! Mereka saling setia dan selamanya tidak pernah mencinta orang lain sampai
keduanya menjadi kakek dan nenek.
"Aku
pun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri..."
"Ahhh,
subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo..." Kembali Si
Kwi meratap dengan suara pilu. "Teecu rela mati di depan kaki subo, akan
tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan
selalu membantu subo..."
"Bocah
yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kau kira kita
dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak
perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang
juga!"
"Akan
tetapi... subo..."
"Tutup
mulut! Tidak ada tetapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan lagi
kau memperlihatkan muka kepadaku!"
"Subo...!"
"Aku
tidak mempunyai murid semacammu! Pergiiiii...!" Hek I Siankouw membentak
dan mengusir.
Si Kwi
terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti
oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya.
Tokouw ini
memang sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam
kesukaran. Dan dia kemudian sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar
dari Lembah Naga dengan selamat.
Di tengah
jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li,
Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang
kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu
sudah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan
tenang meski air mata masih membanjiri pipinya.
"Mo-ko
dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku
mengusir dia pergi dari sini!" Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang
mencekam hatinya itu.
"Hemm...
agaknya tadi malam banyak terjadi hal-hal hebat di sini," kata Hek-hiat
Mo-li. "Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!"
Ucapan lanjutan itu bernada keras.
"Kalau
aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, tetapi
gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"
"Eh-eh,
Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam
persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan kedua orang tawanan
itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan
nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh
muridmu ini?" kata Coa-tok Sian-li.
"Coa-tok
Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela
muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertiga juga
turut bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa
kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?"
"Hemmm...
apakah sesungguhnya yang sudah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini,
Siankouw?" Pek-hiat Mo-ko membentak marah.
"Terus
terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok
Sian-li sudah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat
gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula
menonton hal-hal yang mereka berdua senangi, maka kami bertiga sudah bersepakat
untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok
Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu."
Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan
marah. "Hemmm, lalu?" tanya Hek-hiat Mo-li.
"Sementara
itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak
berniat untuk membebaskan dua tawanan itu, melainkan dia membuat terowongan
dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok akibat
racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya dan menyerahkan dirinya kepada
pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang lalu menyangka muridku
hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan
itu masih ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku.
Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian,
tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini." Hek I Siankouw berhenti
sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi.
Dia sengaja
tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si
Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu karena hal ini dilakukan sebagai
‘pukulan simpanan’ kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama untuk
melindungi muridnya!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment