Friday, August 31, 2018

Cerita Silat Serial Dewi Maut Jilid 33



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
             Serial Dewi Maut
                        Jilid 33


TENTU saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jeri. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itu pun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka dia pun meragu untuk turun tangan.

Akan tetapi dalam saat-saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

"Singggg...!"

Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

"Singggg...!"

Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, yaitu sebatang pedang yang berlika-liku bagaikan ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

"Wuuut-wuuuttt...!" Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Karena terpaksa tiga orang itu kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya langsung menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu.

Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga walau pun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani dipakai untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

"Plak-plak-plakkk...!"

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Siankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangan kirinya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang sangat kuat menyambar ke depan dan biar pun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khikang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!

Bun Houw meloncat ke atas lantas kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, sekarang tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, ada pun tangan kirinya dengan jari-jari yang terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya sehingga pendeta wanita tua ini lantas terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah menjadi pucat.

Bun Houw segera menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar pula suara Bouw Thaisu,

"Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!"

"Wuuut-wuuuuuttt...!"

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik sambil mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai dari pada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

"Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!" Bun Houw berseru dan dia pun balas menyerang.

Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang semuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang sangat dahsyat mendorong mereka biar pun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li merasa terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jeri lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang dulu pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Sekarang mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi untuk menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

"Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya," kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

"Bukan salah mereka. Mereka adalah pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia."

"Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu dari pada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kau bantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku memiliki akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita."

Pek-hiat Mo-ko mengangguk kemudian sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat melalui tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan keempat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sinkang sangat kuat. Cepat dia pun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, dan disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

"Prattt...! Dessss...!"

Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan. Akan tetapi sambil tersenyum kakek itu sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

"Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang sendiri ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa girang.

Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru itu dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itu pun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia tidak lebih dahulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu melawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biar pun kakek ini mempunyai kekebalan yang begitu istimewa.

Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lainnya! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

"Trang-trang-trakk-breetttt...!"

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor ada pun ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko.

Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum akhirnya dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

"Tahan...! Cia Bun How, kau lihat ini...!" Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang lalu menoleh, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

"Hong-moi...!" Tanpa disadarinya lagi Bun Houw berseru girang ketika melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

"Cia Bun Houw, kau pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!"

"Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!" Tiba-tiba In Hong berseru nyaring.

Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan ‘nona Hong’ yang dulu itu, dengan ‘Hong-moi’ yang dulu itu!

"Hong-moi...!" Kembali dia mengeluh dan meragu.

"Cia Bun Houw, engkau adalah putera dari ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan pedulikan aku!" Kembali In Hong berkata. "Jangan sampai kau merendahkan nama ayahmu."

"Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!" Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

"Hek-hiat Mo-li!" Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khikang-nya hingga suaranya terdengar amat berwibawa sehingga menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. "Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong tetapi aku pun dapat membunuh kalian semua!"

"Ha-ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kau kira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kau pun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?"

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu sudah terkurung oleh seratus orang anak buah yang terlihat kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biar pun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!"

"Houw-ko, jangan gila...!" In Hong menjerit. Tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya. "Hong-moi, sudah sepatutnya kalau lelaki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Lagi pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Bila engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang mereka tawan!" Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.

"Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?" Hek-hiat Mo-li berteriak.

"Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, barulah aku mau menyerah tanpa syarat."

"Houw-ko...!" In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak dikiranya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

"Bagaimana ji-wi locianpwe?" Bun Houw mengejek. "Kalian memilih aku mengamuk dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?"

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li kemudian mereka bicara dalam Bahasa Sailan. "Memang dia lebih berharga dari pada gadis ini," kata Pek-hiat Mo-ko.

"Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita itu? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu."

Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, "Cia Bun Houw, kami mau menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu."

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. "Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah."

Kakek dan nenek itu marah sekali, mereka merasa terhina. "Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau kau tidak percaya kepada kami, kami pun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mau menyerah?"

"Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai yang melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar janji pada saat di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Waktu itu aku telah keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanji dan lebih baik mati dari pada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!"

"Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji dari pada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!" kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. "Mo-li, bebaskan nona ini!"

"Ehh, ehhh, nanti dulu, Moli!" Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. "Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, dan kalian harus ingat ini!"

"Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!" Hek-hiat Mo-li menjawab. "Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu apa bila urusan kita semua sudah selesai, tetapi sekarang urusan belum selesai, bantuanmu pun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Bila mana sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisar pun kami dapat mengambilnya, apa lagi di tempat lain!"

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantah pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang sangat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap lagi gadis yang sudah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, dari pada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.

Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki dan tangan In Hong, lalu membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat sebab pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.

Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. "Hong-moi, engkau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu." Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.

Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. "Houw-ko... tidak boleh begini...," katanya dengan suara berbisik.

"Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!"

"Tapi... tapi... kau...?"

"Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kau maafkan semua kesalahanku yang sudah-sudah..."

"Houw-koko!" In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Kemudian dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. "Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!"

"Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka."

"Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh menonton sandiwara?!" bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

"Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu," berkata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.

Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya kemudian berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. "Nah, sekarang aku menyerah."

"Engkau memang sungguh seorang muda yang sangat gagah!" Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

"Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!" kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.

Bun Houw mengangguk. "Maaf, anggota tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja."

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, "Biar kuikat saja dengan ini." Dan kakek ini pun lalu mengikat sepasang tangan pemuda itu di belakang tubuhnya.

Tali ini bukan tali sembarangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleh apa pun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tahanan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bebaskan dia!"

"Hong-moi...!" Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah pucat saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong!

Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah dan pipinya basah. Kini dia tak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.

"Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!" Bun Houw menjadi bingung sekali.

Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, segera menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw mempergunakan pedang hitamnya yang ujungnya telah dirusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang.

Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.

"Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak dan Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong.

Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini mempunyai kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.

"Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau begini tidak tahu malu untuk melanggar janji?" Bun Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, kedua lengannya tetap saja tak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tak mungkin dapat dibikin putus.

"Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?" Pek-hiat Mo-ko berkata.

Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. "Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!"

Sambil menangkis serangan Hek I Siankouw yang dilakukan dengan penuh kebencian, In Hong menjawab, "Tidak! Jika engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!"

Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika cahaya keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.

"Hong-moi, pergilah...!" kembali Bun Houw berteriak.

Akan tetapi In Hong sudah marah bagaikan seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu serta lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang telah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu.

Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu serentak menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, lalu ujung itu diterima oleh seorang teman di seberangnya. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke mana pun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!

In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak jika dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu.

Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang sangat kuat, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sinkang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itu pun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah berhasil ke pinggir mendekati mereka yang semakin panik dan jeri sebab tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!

"Mundur!" teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tidak mampu bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.

Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya segera berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan terus didesak sedemikian rupa hingga gadis itu menjadi kerepotan juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apa lagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula.

Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan diri, dia sudah roboh akibat totokan istimewa yang dilakukan Pek-hiat Mo-ko dengan ujung tongkat. Tubuh In Hong terguling dan segera dia pun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar ke dekat Bun Houw.

Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdengar Bun Houw mengeluh kecewa. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!

“Dukkk! Dukkk!"

Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, maka kedua orang muda itu mengeluh dan tidak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka sudah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan sesudah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekali pun!

"Kenapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe," Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko sesudah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.

Pek-hiat Mo-ko tersenyum. "Sungguh pun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu, mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang sangat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman."

Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang sangat hebat. "Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!"

Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan. "Ampun... maafkan kalau saya salah bicara..."

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat sekali dengan mukanya. "Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!" Dia kemudian mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai. "Sekarang, kau bersama isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!"

Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu memiliki tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat.


                  ***************


Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi dia rebah menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu.

Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, namun terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Bagaimana pun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.

Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang pada lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar.

Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukulan. Tidak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama,

"Kita bebas...!"

Bun Houw mengangguk. "Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali."

In Hong segera turun, lalu memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, "Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita membasmi mereka dan lolos dari sini?"

Bun Houw menggelengkan kepala lalu duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja!

"Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Mereka pun bukanlah orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain."

In Hong terkejut. "Aihhh... habis bagaimana?"

"Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, mengapa engkau kembali?" Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.

In Hong kini berdiri sambil memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik.

"Kau kira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau telah mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan nyawamu terancam. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidup aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan bila sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu."

"Dan kau gagal..."

"Lebih baik gagal dan bersama-sama menghadapi kematian dari pada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak."

Hening sejenak. "Hong-moi..."

"Hemmm...?"

"Agaknya engkau ini..."

"Ya...?"

"Angkuh bukan main!"

"Maksudmu?"

"Sedikit pun engkau tidak sudi menerima budi orang..."

"Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapa pun!"

"Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan..."

"Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!"

"Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberikan Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) padaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah saling terikat oleh persahabatan!"

"Dan pedang itu terampas oleh mereka!" In Hong berkata kecewa.

"Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!" Bun Houw berkata kemudian tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, "Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!"

Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!

"Kita harus mencari akal supaya dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan..."

"Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu."

"Tapi kita akan celaka..."

"Kurasa tidak, Hong-moi. Sebenarnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Apa bila mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga."

"Ssstttt...!" In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata.

Keduanya segera memandang dengan penuh perhatian pada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu per satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman.

Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap dan merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.

"Iblis, aku tak sudi makan dan minum suguhanmu!" In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.

"Hong-moi, apa gunanya itu?" Pada waktu gadis itu memandangnya, dia berkedip sambil menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.

"Ha-ha-ha!" Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar.

Ternyata suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong segera mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata,

"Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!"

Mendadak terdengar suara Hek I Siankouw. "Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakan pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit."

"Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?"

"Biarkan aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku."

"Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka sekali menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas menjaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan engkau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!" kata Ang-bin Ciu-kwi.

"Siankouw, harap engkau jangan cari-cari perkara. Engkau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Bila engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kau bunuh gadis itu pun kami tidak mencampuri," kata Coa-tok Sian-li.

Hek I Siankouw menghela napas panjang. Dia pun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapa pun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka.

"Hong-moi, mari kita makan dulu, mumpung masih panas-panas." Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.

"Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka."

"Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?"

Dibujuk demikian, In Hong termenung, kemudian dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi beserta sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga,

"Siapa tahu masakan ini mengandung racun!"

Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging kemudian makan dengan enaknya. "Tidak mungkin," katanya. "Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, kenapa mereka harus meracun kita? Pula, banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, kenapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita."

In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat.

Bun Houw lalu turun dari pembaringan. Setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang telah tertutup lagi dari luar itu, dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw mau pun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mereka maka dia pun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti.

Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.

Sementara itu, Hek I Siankouw dan kedua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. "Jangan khawatir, aku juga akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina, juga rusak nama dan kehormatan mereka, sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!" Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka.

"Memang menyenangkan sekali!" Coa-tok Sian-li berkata.

"Asyik sekali kalau menonton itu!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Andai kata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tak akan marah. Justru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu di dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?" kata pula Hek I Siankouw.

"Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!" Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.

Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapat suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biar pun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja.

KINI In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan dia pun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali dua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang sangat aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimana pun juga.

Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu lantas disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata,

"Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!"

Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tak perlu terlalu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apa lagi ketika lampu penerangan di luar kamar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi semakin terang, dan dia dapat mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di pinggir pembaringan sambil berbisik,

"Hong-moi, hati-hatilah..."

"Ada apakah, Houw-koko?"

"Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, tapi entah apa." Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam.

Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan jari-jari tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka pun melekat.

Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam laksana lautan yang sukar dijajaki dalamnya, bibir yang sedikit terbuka seakan-akan menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang panjang bagaikan tangkai bunga.

Dia terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.

"Ahhh...!" In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.

"Maaf, Hong-moi...!" Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Sekarang napas mereka agak memburu.

In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Akan tetapi mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai!

Seperti didorong oleh tenaga yang tidak nampak, Bun Houw melangkah maju, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya ini? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu sambil tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.

"Hong-moi..." Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak dara itu.

Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

"Ada apa... koko...?"

Dara itu mengangkat mukanya. Benar saja, mukanya merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!

"Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan ehh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!" Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menunggu kemarahan dara itu, andai kata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.

Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga!

"Terima kasih... Houw-ko..." suaranya tersendat-sendat.

Mereka masih saling pandang, dan akhirnya, tidak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya bagaikan mabok dan tidak sadar, Bun Houw lalu merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya.

Kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh,

"Houw-ko..."

"Hong-moi ah, Hong-moi..." Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul birahinya yang sangat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya supaya menjadi satu dan tak akan terpisah lagi dengan dia!

"Hi-hi-hik!"

Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan bagaikan ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum bahwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw melepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.

In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

"Hong-moi... ahh… celaka... kita keracunan...!" Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

"Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi..."

"Dalam arak mungkin..."

"Ha-ha-ha!" terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi. "Memang kau pintar sekali, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada di dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kau ceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha-ha!"

"Hi-hik, sebetulnya bukan racun yang berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih tepat dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!"

"Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!" In Hong membentak marah. "Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!"

"Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!" Bun Houw juga berteriak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

"Ha-ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apa lagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjinah di dalam kamar tahanan!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Dan aku juga ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh temanku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!" terdengar suara Hek I Siankouw.

Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Ternyata itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu birahi agar dalam keadaan tidak sadar mereka berdua melakukan hubungan kelamin, berjinah di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka.

Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebar luaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!

"Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!" Bun Houw membentak marah.

"Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!" In Hong juga berteriak. "Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!"

"Hik-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan mengira pengantinnya cekcok!" Coa-tok Sian-li mengejek.

"Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan," terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, atau setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!

Mereka berdiri saling berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu birahi yang menyesakkan dada.

"Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?"

In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan. "Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku rasanya panas bukan main... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko..."

"Demikian pula keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Kau duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sinkang untuk mengusir hawa yang memabokkan."

Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu birahi yang makin kuat.


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara mana pun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak sekali selir.


Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguh pun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat.

Obat ini juga sekaligus merupakan racun, akan tetapi pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab yang bisa mendatangkan rangsangan birahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekali pun, juga bagi raja sendiri yang telah kekurangan gairah itu bisa dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu obat ini akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuat pun.

Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, karena itu tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sejenis lalat istimewa yang hanya hidup di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, kemudian dicampur arak. Sama sekali tidak merubah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain.

Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sinkang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka berdua akan sanggup menyelamatkan diri dengan pengerahan sinkang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah serta otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu birahi sehingga biar pun mereka telah mengerahkan sinkang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan birahi itu.

Semakin malam, semakin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebenarnya mempunyai gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya. Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali!

Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, bagaikan mata orang mengantuk, agak basah. Hidungnya kembang-kempis dan mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan birahi!

Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Dia pun sudah membuka matanya, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri dan menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

"Ohhh... Houw-ko... ahhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah..." In Hong merintih-rintih memelas sekali.

"Pertahankanlah, Hong-moi. Memang pengerahan sinkang tidak menolong, satu-satunya jalan hanyalah bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhhh..." Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan semakin hebat.

"Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ahhhh, tubuhku panas sekali..." Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

"Hong-moi... jangan, Hong-moi!" Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung saat mendekati pembaringan itu, cepat-cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

"Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan...," In Hong mengeluh dan setengah terisak.

"Pertahankan, adikku, pertahankan..."

"Ohhh, Houw-ko..." In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu.

Bun Houw cepat memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka gadis itu. Akhirnya In Hong terisak sambil menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

"Houw-koko..." Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

"Bagaimana, Hong-moi..."

"Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak peduli... kau lakukanlah sekehendak hatimu..." kedua lengan In Hong yang merangkul itu semakin menguat dan mukanya dibenamkan pada dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.

Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan dia pun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh dari pada berpelukan itu.

"Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus tetap kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!"

"Houw-ko..." In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini.

In Hong masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi dia berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana. "Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku..."

"Hong-moi, tidak...!" Bun Houw yang hampir tak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling.

Dia segera duduk bersila sambil memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

"Kau benar... Houw-ko, kau benar..."

Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanyalah isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, terbuka di sana sini akibat dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju yang terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tidak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.

Bun Houw sendiri masih berjuang melawan diri sendiri, karena sesudah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya bagaikan dibakar dan keadaannya malah semakin menderita lagi. Mendengar suara rintihan disertai isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya sedikit diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja maka Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

"Hong-moi, ahhh, Hong-moi..."

Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong birahi. Kini Bun Houw yang sudah tak kuat menahan lagi, dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itu pun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak, dan akhirnya dorongan nafsu telah membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu.

Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

"Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!" teriaknya.

"Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi..." Bun Houw kembali hendak merangkul.

Akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga tubuh Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

"Houw-ko...!" Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat-cepat turun dan berlutut. "Kau... kau tidak apa-apa...?"

Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi pada waktu Bun Houw hendak menciumnya, sekuat tenaga gadis ini menekan gairahnya sendiri lantas dia memalingkan muka.

"Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga..."

"Ahhh, Hong-moi..."

"Maafkan, aku, koko..." In Hong meronta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri.

Bun Houw menjambak rambutnya sendiri. "Ahhh, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati dari pada tunduk kepada mereka..."

Untung bagi Bun Houw bahwa pada saat-saat terakhir itu In Hong disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang semenjak kecil memang jauh dari pada penghambaan nafsu birahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya.

Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinahan atau hubungan kelamin bagaikan yang diharapkan oleh dua orang suami isteri cabul di luar tempat tahanan itu, dan oleh Hek I Siankouw yang tidak turut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguh pun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinahan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu.

Waktu itu sudah hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang itu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

"Koko..."

"Hong-moi..."

Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu sambil merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan lagi, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

"Hong-moi, hanya inilah satu-satunya jalan, maafkan aku..." Tangannya segera bergerak dan menotok tengkuk In Hong.

Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dara itu sudah terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

"Terkutuk!"

"Keparat!"

Suami isteri di luar tempat tahanan itu langsung menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka sudah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan sekarang, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!

Hampir pada umumnya manusia mempunyai kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau hanya mendengar penuturan orang mau pun membaca. Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada!

Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelajaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.

Yang paling penting adalah menghadapinya sebagai sebuah kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandang penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencela, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan?

Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan di dalam hubungan kelamin (sex). Apakah cabul kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau kita melihat binatang yang besar, terutama manusia, melakukan hubungan sex, lantas timbul istilah cabul?

Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex memiliki daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu birahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu birahi dianggap cabul!

Padahal, tidak ada peristiwa apa pun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu birahi. Hubungan sex merupakan sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu birahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI!

Pikiran kita menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah birahi kita sendiri.

Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kenikmatan tertentu, menjadi satu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.

Kenyataan itu hanya bisa terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, iri hati, kemarahan, kebencian dan segalanya itu tidak terletak di tempat yang jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri!

Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun juga, kesenangan lahir mau pun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber dari semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!

In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi!

Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini sudah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa berhutang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apa lagi ketika pemuda itu, yang sudah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di hadapan subo-nya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh! Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu.

Kini terbukalah matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subo-nya itu tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Cia Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya.

Hatinya semakin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu sudah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, dia pun merasa iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dengan dara itu. Akan tetapi, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apa pun juga.

Pada waktu dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri!

Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang dia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan, sejak sore-sore dia sudah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, namun secara diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan.

Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentar pun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu pada waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tidak tertahankan olehnya. Baiknya In Hong sudah menggeletak pingsan, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!

Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke dalam kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak bagaikan orang yang tidak bernyawa lagi, langsung meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu. Cepat dia memeriksa dan legalah hatinya pada saat melihat bahwa Bun Houw ternyata masih bernapas, malah bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw lalu dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu.

Dia tidak tahu dengan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, sebab itu dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan.

Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan ada pun gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung sekali, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya.

Sungguh pun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya seperti orang mabok itu, akan tetapi akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.

"Eh... ehh, taihiap...!" Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu.

Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tidak lama kemudian dia malah sudah balas memeluk dan balas menciumi, tak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lantas terguling di atas pembaringan Si Kwi, dan mereka melupakan segala-galanya.

Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah dikarenakan di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak mau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu.

Akan tetapi kali ini, pada saat pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu merayunya lebih hebat seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid Hek I Siankow!

Saat itu Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu birahinya yang bernyala-nyala itu. Andai kata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertaruhkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.

Terjadilah hubungan itu dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu sudah menipis.

Begitu sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia segera tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan!

Penyesalan yang amat hebat, ditambah rasa kaget yang luar biasa besarnya, ditambah pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, pengerahan tenaga kemauan yang amat hebat pada waktu dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.

"Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!" Mendadak terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu.

Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang semakin menebal rasa kasih sayangnya terhadap pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walau pun tidak secara sah, kini bagaikan disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang sudah terjadi. Dia pun tidak menyesal, hanya khawatir karena dia sudah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela.

"Liong Si Kwi, engkau sangat hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk."

Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera menyambar siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.

"Ha-ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang hanya untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau sudah membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis, kemudian mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini?"

Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apa lagi laporan Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subo-nya lagi.

Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja dari pada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya sama sekali berubah dari pada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok. Kini mengertilah dia bahwa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia.

Kini dia dapat menduga mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak terus menciuminya, dan dia mengerti pula mengapa In Hong juga pingsan. Ternyata mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu?

Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Dia pun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangsang yang sangat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada setan itu!

"Aku harus cepat melapor kepada subo!" pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat-cepat dia melarikan diri ke kamar subo-nya.

Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apa lagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subo-nya dan minta tolong pada subo-nya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subo-nya akan semua hal dengan terus terang, subo-nya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!

"Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!" katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat.

Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw sudah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengan siang-kiam di kedua tangan.

"Si Kwi, apakah yang telah terjadi?" tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar tapi karena tidak melihat siapa pun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya.

Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sebagai sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang diharapkan dapat menolongnya dan menolong Bun Houw.

"Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu..."

"Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!" gurunya membentak.

"Subo, teecu sudah jatuh cinta... sejak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu sudah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu..."

Gurunya mengerutkan alisnya. "Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?"

Gadis itu cepat mengangkat muka, memandang wajah subo-nya dengan penuh harapan. "Jadi... subo... setuju...?"

"Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan."

"Ah, terima kasih, subo...!" Si Kwi berseru girang dan memberi hormat. "Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya..."

Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah. "Apa?! Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?" bentak gurunya.

"Ah, tidak...! Tidak begitu, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi..."

"Malam tadi mengapa? Hayo katakan!"

"Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya."

"Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka..." Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. "Si Kwi!" Dia membentak, "Ceritakan, apa yang terjadi!"

Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia sudah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.

"Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw... kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo..."

"Dessss...!" Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangan gurunya.

Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biar pun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi bagaimana pun pemuda itu adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan.

Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu sebab dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sebenarnya ada pertalian batin yang kuat antara dia dengan gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, maka nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!

"Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!"

"Harap subo sudi mengampuni teecu!" kata pula Si Kwi. "Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan juga sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta padanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!" Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan.

Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah pada waktu dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan dia pun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin sangat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan selamanya tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek.

"Aku pun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri..."

"Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo..." Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu. "Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo..."

"Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kau kira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!"

"Akan tetapi... subo..."

"Tutup mulut! Tidak ada tetapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan lagi kau memperlihatkan muka kepadaku!"

"Subo...!"

"Aku tidak mempunyai murid semacammu! Pergiiiii...!" Hek I Siankouw membentak dan mengusir.

Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya.

Tokouw ini memang sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia kemudian sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat.

Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu sudah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang meski air mata masih membanjiri pipinya.

"Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusir dia pergi dari sini!" Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu.

"Hemm... agaknya tadi malam banyak terjadi hal-hal hebat di sini," kata Hek-hiat Mo-li. "Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!" Ucapan lanjutan itu bernada keras.

"Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, tetapi gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"

"Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan kedua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?" kata Coa-tok Sian-li.

"Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertiga juga turut bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?"

"Hemmm... apakah sesungguhnya yang sudah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?" Pek-hiat Mo-ko membentak marah.

"Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua senangi, maka kami bertiga sudah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu."

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah. "Hemmm, lalu?" tanya Hek-hiat Mo-li.

"Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan dua tawanan itu, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok akibat racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya dan menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang lalu menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu masih ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini." Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi.

Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu karena hal ini dilakukan sebagai ‘pukulan simpanan’ kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama untuk melindungi muridnya!....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12