Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 34
ANG BIN CIU
KWI bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh Hek I Siankouw
memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa dia
mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak
melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi!
Dan dia pun tahu bahwa Hek I Siankouw memang sengaja tidak menceritakan niatnya
hendak memaksa Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw
berpakaian hitam itu.
"Keterangan
yang diberikan Siankouw barusan memang benar, ji-wi locianpwe," katanya
mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak mengerti
akan uluran tangan Hek I Siankouw. "Memang tadinya kami hanya ingin
main-main sebab Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh,
malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada
ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi.
Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu."
"Memang
harus kuakui bahwa muridku ini telah bersalah dan karena cintanya dia menjadi
murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Karena itu, sebagai
hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Harap saja
kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini, karena jelas
bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kalian orang-orang tua cukup bijaksana
terhadap orang muda yang gila cinta!"
Setelah dua
orang kakek dan nenek itu mendengarkan keterangan Hek I Siankouw dan Ang-bin
Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum bahwa
tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka dia
masih tetap waspada. Biar pun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan
muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu
ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin
atas kesalahan yang telah dilakukannya.
Dan benar
saja dugaannya. Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring, "Mendengar semua
keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampuni muridmu,
akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Karena itu, sebelum kami
membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa dosanya
telah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus membantu kami
sampai selesai."
Hek I
Siankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba saja dia berkata, "Si Kwi,
kau sudah merasa berdosa terhadap aku?"
"Teecu
menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo."
"Ke
sinilah!"
Gadis itu
menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut.
"Singgg...!
Crattt!" Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya menyambar ke
depan.
Si Kwi
menjerit kemudian tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang telah terbabat
pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih berlutut dan
mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung itu.
Dengan
tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, kemudian menghampiri
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu.
"Mo-ko dan Mo-li, kuharap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan
muridku ini, dan aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai."
"Ha-ha-ha,
engkau benar-benar mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua tangannya
dibuntungi, akan tetapi karena engkau bertindak sendiri dengan suka rela,
biarlah ini pun cukup," keta Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang
berkulit halus itu.
Hek I
Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan pundaknya, lalu
menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung dan membalutnya dengan
sapu tangannya. Setelah selesai, dia pun berkata dengan suara gemetar,
"Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?"
Si Kwi
maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subo-nya dan sebagai penggantinya,
subo-nya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi, subo-nya
berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti
subo-nya telah menyerahkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil
menangis dia berlutut dan mencium kaki subo-nya sambil berkata,
"Subo,
terima kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo..."
"Pergilah!
Pergilah...!" Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuhnya,
memalingkan muka tak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya
menghapus dua butir air matanya.
Si Kwi
bangkit lalu dengan cepat pergi dari sana. Air matanya bercucuran di sepanjang
kedua pipinya.
***************
Ketika Bun
Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong sedang duduk di pinggir
pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini segera teringat akan
semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi
yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia sudah bermain cinta dengan
seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat.
"Ah,
kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu amat pucat
dan tubuhmu lemah sekali." In Hong memegang pundaknya dan dengan halus
menyuruh pemuda itu berbaring kembali.
Akan tetapi
Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan itu, matanya
dipejamkan dan alisnya berkerut. "Hong-moi... apa yang terjadi...?
Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?"
Dia membuka
mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata memang di tempat itu
terdapat bekas galian yang sudah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh
penyesalan.
Tadinya dia
mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanyalah mimpi belaka, akan tetapi
begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar tahanan dan yang sudah
ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman itu bukanlah sekedar
mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan seorang gadis,
kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjinah!
"Ohhhh...!"
"Kenapa,
Houw-ko?" In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda itu
menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah dia hendak
mengusir sesuatu dari depan matanya.
Tanpa
melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw lantas bertanya lagi,
"Hong-moi... demi Tuhan... kau ceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi
semalam?"
"Houw-ko,
aku sendiri pun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya kepadamu. Engkau
tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau pingsan dan aku
tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, pada saat aku siuman, aku
melihat engkau telah rebah di lantai dan..." Wajah gadis itu menjadi merah
sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan
ceritanya.
Bun Houw
menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi merah dan
bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak, "Dan
bagaimana, Hong-moi? Ceritakanlah... ceritakanlah...!"
"Kau...
kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu bertumpuk di
dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak apa-apa,
hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku mengenakan pakaian pada tubuhmu,
kemudian memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai kau
sadar..."
"Dan
lubang itu...?" Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut
kamar.
"Entahlah,
sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi sesungguhnya
ketika aku sedang pingsan atau pulas?" Kembali In Hong memegang lengan
pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi.
"Aku
tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius dan seperti orang
gila..." Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.
Akan tetapi
tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tidak mungkin dapat dia
lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pembaringan,
bersama Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu!
Dan mengapa
pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan? Tentu untuk
menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh
obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ahhh,
ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan
menyesal sekali!
"Aku
malu... aku malu...!" Tak terasa lagi bibirnya berbisik.
"Houw-koko,
sudahlah. Memang amat memalukan bila mengenangkan kembali peristiwa semalam
yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan kita itu terjadi
karena di luar kesadaran kita, bukan? Kita berdua telah minum arak beracun!
Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi
sesuatu di antara kita? Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai
terseret... ahhh, dan semua ini berkat kekuatan batinmu, koko."
"Tidak...!
Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku berterima
kasih kepadamu, dan aku minta maaf..."
"Sudahlah.
Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat keluar dari
tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha untuk
membongkar pintu ini..."
"Hemmm,
sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku dahulu,
mencari obat untukku, engkau berjumpa dengan keponakanku, Lie Seng, putera
enci-ku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat
memainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi,
engkau sumoi-ku."
"Bukan.
Kepada suhu-mu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya sebagai
guru. Bagaimana pun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari
ayahmu, maka kita pun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan."
"Hong-moi
coba kau tampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!"
"Apa
maksudmu? Apa gunanya?"
"Aku
hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu." Bun Houw
segera berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan terlentang.
Meski pun
belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya oleh pemuda itu,
akan tetapi karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya, In Hong
lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah telapak
tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian
yang jauh lebih lihai dari pada tingkatnya.
"Tarrrr...!"
Terdengar
bunyi nyaring seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu bertemu. In Hong
merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung.
"Engkau
hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu, telah dapat
menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian"
"Baru
seperempat bagian?" In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan hati
kecewa. "Kukira sudah hampir sempurna!"
Bun Houw
tersenyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara dengan In Hong,
dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang mendatangkan
penyesalan amat besar di hatinya itu.
"Hong-moi,
kau belum mengetahui kehebatan sebenarnya dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu
seoranglah yang sudah mempunyai ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau
suhu berada di sini, pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat
bagian sudah hebat, Hong-moi."
"Dan
engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!"
"Ahhh,
mana bisa aku menandingi suhu? Paling-paling aku baru menguasai setengahnya
atau lebih sedikit. Karena itu, meski pun kita menggabungkan tenaga, tidak akan
mungkin kita sanggup menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil
kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latihan
khusus."
"Pikiran
itu baik sekali, Houw-ko."
Bun Houw
lalu menyuruh gadis itu duduk bersila di hadapannya, di atas pembaringan itu.
Mereka berdua lalu duduk bersila dengan kaki melintang di atas kedua paha,
punggung mereka lurus dan kedua lengan mereka dilonjorkan hingga kedua telapak
tangan mereka saling bertemu, dengan jari-jari tangan lurus ke atas.
"Sekarang
kendurkanlah seluruh urat syarafmu, Hong-moi, sedikit pun jangan melakukan
perlawanan dan kau ikuti saja dorongan hawa dariku, kemudian terus ikuti sampai
engkau dapat melakukan latihan ini sendiri." Bun Houw lalu memberi tahu
tentang teori-teorinya melatih diri untuk memperkuat tenaga sinkang Thian-te
Sin-ciang.
"Mula-mula
gerakkan hawa melalui sepanjang Ci-kiong-hiat, lalu naik ke Koan-goan-hiat,
turun kembali ke Tiong-teng-hiat lalu akhirnya berhenti dan dipusatkan di
Thian-te-hiat-to," demikian Bun Houw mulai memberi petunjuk sambil
mengerahkan sinkang-nya melalui telapak tangan gadis itu.
In Hong
merasakan hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui kedua telapak
tangannya. Perasaan ini mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman yang
menyelimuti seluruh tubuhnya itu, apa lagi ketika dia teringat bahwa hawa itu
datang dari Bun Houw, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terguncang!
Hal ini
terasa oleh Bun Houw dan pemuda ini menjadi terkejut karena ada hawa melawan
dari In Hong, bukan melawan melainkan ‘menyambut’. Namun hal itu sama saja
karena dapat menghalangi penembusan jalan-jalan darah itu dengan hawa murninya.
"Harap
kau jangan membiarkan pikiran berkeliaran, Hong-moi. Pikiran harus kosong dan
seluruh perasaan berpusat kepada perjalanan hawa sakti..."
"Maaf,
Houw-ko... aku tidak sengaja," In Hong menjawab dan kedua pipinya merah
sekali karena merasa jengah.
Melihat
sepasang pipi yang begitu kemerahan dan halus menyegarkan, cepat-cepat Bun Houw
memejamkan matanya agar jangan melihat sepasang pipi yang demikian dekatnya!
Demikianlah,
dua orang muda itu mulai dengan latihan mereka dan mereka hampir tidak peduli
akan hidangan yang disuguhkan melalui lubang kecil. Hanya kalau mereka sudah
merasa lelah dan lapar saja mereka berhenti, makan dan mengaso.
Sesudah
menerima petunjuk dari Bun Houw dan sudah hafal benar akan cara berlatih untuk
memperkuat tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, dua hari kemudian In Hong sudah
mulai berlatih sendiri, dan Bun Houw juga mempergunakan kesempatan itu untuk
berlatih, karena dia pun perlu memperkuat tenaganya agar kelak dapat digabung
dengan tenaga In Hong untuk mencoba membobolkan pintu baja itu.
***************
Meriah
sekali pesta yang diadakan oleh Raja Sabutai di tempat tinggalnya yang baru
itu, di tepi sebuah sungai yang bergabung dengan Sungai Nun-kiang di utara.
Pesta besar itu diadakannya untuk merayakan lahirnya sang putera, hal yang amat
dinanti-nantikan dan diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh Sabutai.
Isterinya
yang tercinta, Khamila, telah melahirkan seorang putera yang sehat dan montok,
dan yang tangisnya amat nyaring dan terdengar sebagai nyanyian yang paling
merdu bagi telinga Sabutai dan Khamila.
Pesta untuk
merayakan kelahiran putera Sabutai itu dihadiri semua kepala Suku Nomad yang
banyak terdapat di luar tembok besar utara, dari suku-suku kelompok kecil
sampai yang besar, dan di antara para tamu itu terdapat pula orang-orang Han
dari dalam tembok besar. Mereka ini adalah para pedagang yang suka membawa
barang-barang dagangan dari selatan, untuk diperdagangkan dan ditukar dengan
barang-barang dari utara.
Sungguh pun
perjalanan yang mereka tempuh sangat jauh dan sukar, akan tetapi karena
keuntungannya cukup baik, maka banyak pula yang berani menempuhnya. Selain para
pedagang, juga banyak hadir tokoh-tokoh persilatan di perbatasan, karena
Sabutai selain terkenal sebagai seorang raja atau kepala suku yang besar, juga
di antara tokoh-tokoh kang-ouw dia terkenal pula sebagai seorang ahli silat
yang lihai.
Di samping
hidangan yang berlimpah-limpah dan tari-tarian serta nyanyian daerah yang
diselenggarakan untuk menghibur para tamu, juga Sabutai mengadakan pertandingan
silat dan gulat dengan hadiah-hadiah yang menarik. Hal ini dilakukan dengan
harapan supaya kelak puteranya menjadi seorang gagah perkasa, maka kelahirannya
disambut dengan pertandingan-pertandingan ketangkasan, yaitu yang umum di
antara mereka adalah silat terutama sekali gulat.
Banyak juga
yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pertandingan itu. Akan tetapi, Raja
Sabutai merasa kecewa melihat bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian biasa saja. Maka ketika menurut giliran maju seorang
pegulat yang sudah cukup terkenal di antara para Suku Nomad, seorang pegulat
yang tubuhnya seperti gajah, kokoh kuat dan kekar, berhadapan dengan seorang
ahli silat bangsa Han di antara para tokoh perbatasan, Sabutai menjadi girang
dan tertarik sekali.
"Akan
kutambah hadiahnya!" dia berseru gembira. "Siapa di antara kalian
yang menang, selain hadiah yang telah disediakan untuk tiap pemenang, akan
kutambah dengan sebuah hadiah lagi yang boleh dipilih oleh si pemenang di
antara barang-barang sumbangan yang kuterima hari ini!" Dia menudingkan
telunjuknya ke arah meja besar yang penuh dengan barang sumbangan yang ditumpuk
di situ setelah dicatat satu demi satu oleh pembantu yang menerimanya.
Tentu saja
semua orang menjadi gembira dan tegang. Memang jarang dipertandingkan seorang
ahli silat melawan seorang ahli gulat, dan kini timbullah pertaruhan-pertaruhan
di antara mereka. Bagi yang belum mengenal kebiasaan mereka, tentu akan merasa
heran mendengar betapa di antara para kepala Suku Nomad itu, selain
mempertaruhkan kuda mereka yang terbaik, atau ternak-ternak mereka, juga ada
yang mempertaruhkan anak perempuan mereka, bahkan ada pula yang mempertaruhkan
isteri atau selir mereka!
Sabutai
memandang penuh perhatian. Dia sudah mengenal jago gulat itu dan tahu akan
ketangguhannya. Tentu saja bagi dia sendiri, jago gulat itu bukan apa-apa,
karena dia tahu bahwa jago gulat itu hanya mengandalkan tenaga besar dan
cara-cara meringkus dan melontarkan lawan, di samping mempunyai tubuh yang kuat
dan kebal seperti gajah.
Akan tetapi
yang menarik perhatiannya adalah ahli silat itu. Dia tak mengenal tokoh-tokoh
kang-ouw perbatasan ini secara dekat, akan tetapi melihat cara jago silat itu
memasang kuda-kuda, dia maklum bahwa akan terjadi pertandingan yang seru dan
menarik.
Ahli silat
itu mempunyai kuda-kuda yang kuat dan sikapnya begitu meyakinkan, dengan kedua
lutut ditekuk seperti orang menunggang kuda, lengan kanan ditekuk di depan dada
dengan tangan miring di depan dada, lengan kiri di depan pusar, juga ditekuk
dan tangan kirinya miring di depan pusar. Dengan kuda-kuda kokoh seperti itu,
maka bagian tubuh atas dan bawah telah terjaga rapat dan kedua tangan pun sudah
siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu melakukan penyerangan dari atas atau
bawah.
Seorang
wasit yang mewakili Raja Sabutai, yaitu seorang di antara panglimanya yang juga
merupakan seorang ahli, baik dalam ilmu gulat mau pun silat, memberi tanda
dengan tangannya ke arah pembantunya yang langsung membunyikan canang tanda
dimulainya pertandingan itu. Si wasit lalu berdiri di sudut dan mulailah dua
orang itu bergerak.
Memang
menegangkan sekali pertandingan ini. Bukan seperti pertandingan antara dua
orang jago gulat yang saling tubruk dan saling mencengkeram, berusaha saling
banting, mengandalkan ketepatan saat dan gerakan reflex dibantu oleh penggunaan
tenaga besar yang tepat pada waktunya, atau seperti pertandingan di antara dua
orang jago silat yang saling serang mengandalkan kecepatan dan ketepatan
pukulan atau tendangan, namun karena masing-masing menghadapi lawan yang
mempunyai kepandaian berbeda, mereka berdua menjadi hati-hati sekali.
Si jago
gulat berdiri dengan dua lengan dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, tangannya
siap untuk menangkap atau mencengkeram di depan, kedua kakinya agak terpentang
dan dia agak membungkuk, sikapnya seperti seekor orang hutan besar menghadapi
lawan. Ke mana pun lawan bergerak, dia memutar tubuh menghadapinya!
Sedangkan si
jago silat masih menanti-nanti saat yang tepat, memilih-milih sasaran untuk
serangannya dan dia mengatur langkah, digesernya dan perlahan-lahan memutari
tubuh si jago gulat dengan perlahan, selalu merubah-rubah kedudukan kedua
tangannya sesuai dengan kedudukan sepasang kakinya, apakah menghadapi lawan
dengan miring ataukah langsung berhadapan.
"Hyaaaattt...!"
Tiba-tiba si jago silat itu menyerang dari samping setelah dengan cepat dia
melangkah ke samping kiri lawan, dengan pukulan cepat ke arah lambung.
"Hehhhhh!"
Si jago gulat mengelak dan tangannya yang panjang mencengkeram ke arah rambut
kepala lawan. Akan tetapi jago silat itu pun sudah cepat melompat ke belakang
menghindarkan diri, memutar tubuhnya dan menendang dari depan ke arah perut
lawan.
"Dukkk!"
Lengan yang
besar itu menangkis dan ketika tangannya menyambar, kembali lawannya dapat
menarik kaki sehingga sambaran itu luput.
Kembali ahli
silat itu bergerak mengitari si ahli gulat yang tetap tenang saja, sama-sama
mencari kesempatan. Tiba-tiba saja, sekali ini tanpa mengeluarkan teriakan,
jago silat itu meloncat ke atas, kakinya melayang ke arah muka jago gulat itu
dengan kerasnya.
Jago gulat
itu menghindarkan diri dengan elakan, akan tetapi dengan cepat sekali tangan
kanan jago silat itu menghantam tengkuk lawan. Jago gulat yang melihat
kecepatan ini kaget, dia miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tetap saja
pundaknya terkena pukulan.
"Bukkk!"
Dia
terhuyung-huyung, akan tetapi pemukulnya juga cepat meloncat ke belakang karena
tangannya bertemu dengan daging yang tebal dan keras! Karena berbesar hati
sudah berhasil menghantam pundak, jago silat itu kini melakukan serangan
bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan ternyata siasatnya berhasil baik.
Berkali-kali dia dapat menggunakan kedua tangan atau kakinya untuk menghantam
dan menendang lawan dan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuh lawan.
Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulan itu mengenai tubuh si jago
gulat, akan tetapi pukulan-pukulan serta tendangan-tendangan itu tidak
merobohkan lawan, hanya membuat si jago gulat terhuyung.
Sorak-sorai
dan tepuk tangan mulai terdengar, ada pula ejekan-ejekan terhadap si jago
gulat, terutama mereka yang bertaruh memegang ahli silat itu. Tentu saja di
depan Raja Sabutai, para tamu tidak berani bersikap melewati batas, akan tetapi
dalam kesempatan seperti di tempat ini, bukan hal mustahil apa bila gelanggang
pertandingan juga dijadikan gelanggang pertempuran antara para penjudi itu yang
tentu saja dibela oleh anak buah masing-masing!
Pertandingan
dilangsungkan terus dengan serunya. Jago silat itu sudah berhasil memukul
beberapa kali sehingga pukulan yang mengenai muka jago gulat itu membuat bibirnya
pecah dan berdarah. Akan tetapi pada saat si ahli silat menendang, tulang
kering kakinya bertemu dengan tulang kaki si jago guiat yang besar dan kuat,
sehingga biar pun tulang kakinya yang kecil itu tidak patah, cukup mendatangkan
rasa nyeri dan membuat dia agak terpincang!
Jago gulat
itu menjadi marah sekali. Kini dia mulai aktip menyerang seperti seekor kerbau
yang terluka,. Namun serangan-serangannya yang berupa cengkeraman dan tangkapan
kedua tangan itu selalu berhasil dielakkan oleh si jago silat yang lincah,
selalu menubruk atau menangkap angin kosong belaka, dan sebagai jawabannya,
tentu terdengar suara 'Tak!' atau 'Pak!' akibat tangan jago silat itu berhasil
memukul atau menampar. Sekarang lebih banyak lagi darah keluar ketika sebuah
pukulan si jago silat tepat mengenai hidung si jago gulat sehingga muncratlah
darah segar dari lubang hidung raksasa itu.
Bagaikan
serigala-serigala yang haus darah, para penonton berteriak-teriak penuh nafsu
menjagoi pilihan masing-masing. Yang menjagoi ahli silat menjadi berbesar hati
karena melihat jagonya lebih banyak membagi pukulan, sedangkan yang menjagoi si
ahli gulat juga tidak putus harapan karena biar pun sering kali dipukul, si
jago gulat yang kokoh kuat itu belum juga roboh, sedangkan si jago silat
sebaliknya malah kelihatan lelah sekali. Hal ini karena si jago silat lebih
banyak bergerak, sedangkan si jago gulat hanya berdiri dan bergerak sedikit
sekali.
Setelah
beberapa kali menerima hantaman dan tendangan berturut-turut, tiba-tiba si jago
gulat berhasil menangkap pergelangan lengan lawannya! Si jago silat meronta,
akan tetapi percuma saja karena pegangan itu bukan main kuatnya. Karena maklum
bahwa dia tidak akan mampu melepaskan diri, si jago silat segera menggunakan
sebelah tangannya lagi untuk menusuk mata lawan dengan jari tangan. Jago gulat
itu miringkan mukanya, akan tetapi tetap saja pipinya kena ditusuk dan kembali
darah mengucur.
"Haarrgghhh...!"
Jago gulat mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang.
Dia maklum
betapa bahayanya untuk terus memegang lengan lawannya itu, maka sekali dia
merendahkan diri dan mengerahkan tenaga sambil memegang pinggang lawan, dia
telah mengangkat tubuh si jago silat tinggi-tinggi di atas kepalanya. Terdengar
pekik dan sorak-sorai penonton menyambut kemenangan si jago gulat ini saat
tiba-tiba si jago gulat melontarkan tubuh jago silat yang tak berapa besar itu
sehingga terlempar sampai jauh ke arah para tamu!
Jago silat
itu berteriak kaget, maklum bahwa nyawanya kini terancam bahaya. Tubuhnya sudah
tidak dapat dikuasainya lagi dan dia dilontarkan seperti peluru cepatnya,
menimpa ke arah dua orang tamu yang duduk semeja di sudut yang agak sunyi.
Akan tetapi,
seorang di antara dua tamu itu, yang berpakaian sederhana, berbangsa Han,
bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit, pakaiannya yang berwarna kuning itu
penuh debu tanda bahwa dia sudah melakukan perjalanan jauh, tiba-tiba bangkit
berdiri lantas dengan tenangnya dia mengulur tangan kirinya dan ketika tubuh si
jago silat itu menimpa ke arah mejanya, dia menggerakkan tangan kirinya dan
tahu-tahu tubuh itu telah mencelat ke atas mematahkan daya luncurnya, dan
ketika turun kembali, disambutnya dengan tangan kiri dan si jago silat itu
dapat turun dengan lunak dan sama sekali tidak terluka.
Si jago
silat memandang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang berpakaian kuning
sederhana itu dengan mata terbelalak, kemudian dia menjura sambil berkata
perlahan, "Terima kasih," dan berjalan terhuyung kembali ke
tempatnya, disambut oleh penyesalan dan celaan teman-temannya yang merasa
kecewa mengapa ahli silat yang sudah lebih banyak membagi pukulan itu sampai
dapat terpegang kalah, dan lain-lain.
Sabutai
bermata tajam sekali. Dia segera mengenali orang pandai ketika melihat pemuda
pakaian kuning tadi menerima tubuh si jago silat secara demikian mudahnya.
Walau pun sebagian besar para tamu tidak tahu akan hal itu, tetapi dia sendiri
mengerti bahwa hanya orang yang memiliki sinkang amat kuat saja yang akan mampu
menyambut tubuh yang dilontarkan demikian kuatnya itu secara demikian rupa.
Karena itu Sabutai lalu memberi perintah kepada seorang pengawalnya dan
pengawal ini lalu cepat-cepat menghampiri dua orang tamu tadi tanpa diketahui
orang lain.
Pengawal itu
dengan suara perlahan menyampaikan perintah atau pesan Sabutai bahwa dua orang
itu dipanggil menghadap Raja Sabutai itu karena hendak ditanya tentang suatu
urusan penting sekali.
Dua orang
pemuda itu saling pandang dan merasa girang karena memang kedatangan mereka di
tempat ini adalah untuk berbicara dengan Sabutai. Hanya kebetulan saja ketika
mereka datang, tempat itu sedang penuh tamu karena Sabutai mengadakan pesta
untuk merayakan kelahiran puteranya.
Siapakah
mereka itu? Tentu saja dari pakaian pemuda yang tadi secara mengagumkan
menerima tubuh si jago silat, mudah diduga bahwa dia bukan lain adalah Tio Sun,
ada pun pemuda kedua yang berambut agak kuning keemasan sedangkan matanya agak
biru itu bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Richardo de Gama!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Tio Sun ditangisi oleh Kwi Beng agar pemuda
ini suka menolongnya, yaitu untuk dapat menemaninya mencari In Hong yang
dicinta oleh Kwi Beng dan agar membantu perjodohannya dengan In Hong karena
orang tuanya telah menyatakan tidak setuju. Sesungguhnya, permintaan seperti
ini jauh lebih berat dari pada andai kata pemuda keturunan Portugis itu minta
kepadanya untuk membantu menghadapi musuh yang lihai.
Akan tetapi,
baru saja Tio Sun sendiri menderita patah hati karena ternyata gadis yang
dicintanya, yang diam-diam dicintanya, yaitu Kwi Eng saudara kembar Kwi Beng,
sudah ditunangkan dengan Cia Bun Houw! Karena itu, dia merasa tidak tega kepada
Kwi Beng dan dia memenuhi permintaan pemuda itu. Apa lagi karena dia pun ingin
cepat-cepat menjauhi Kwi Eng sebelum luka di hatinya menjadi makin parah.
Mereka
berdua pergi ke kota raja ketika mendengar bahwa Yap In Hong telah berada di
kota raja, bahkan kini telah menjadi seorang puteri! Akan tetapi, seperti
halnya Bun Houw yang datang ke kota raja, mereka mendengar akan peristiwa
penculikan atas diri In Hong yang dilakukah oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat
Mo-li.
Tentu saja
mereka menjadi terkejut bukan main dan karena Tio Sun pernah membantu Bun Houw
dan Cia Keng Hong, maka dia sudah tahu ke mana harus mencari Sabutai. Menurut
perkiraannya, kakek dan nenek yang menjadi guru Sabutai itu tentunya berada
bersama raja itu, maka dia lalu mengajak Kwi Beng untuk langsung pergi keluar
tembok besar di utara dan mencari di mana adanya Sabutai dan kedua orang
gurunya itu.
Inilah
sebabnya mengapa dua orang muda itu kini berada di tempat pesta itu, dan secara
tidak disengaja Tio Sun dapat menarik perhatian Sabutai sehingga kini dia dan
Kwi Beng dipanggil oleh Sabutai yang tertarik menyaksikan kelihaian Tio Sun
tadi.
Pertandingan
masih berlangsung terus, akan tetapi Sabutai sudah tidak memperhatikan lagi
karena memang dianggapnya tidak begitu menarik. Dia kini dihadap oleh dua orang
pemuda itu, dan dengan ramah Sabutai lalu menanyakan nama mereka, juga dia
sangat memperhatikan Kwi Beng yang matanya agak biru dan rambutnya agak
keemasan itu.
"Nama
saya Tio Sun dan sahabat saya ini bernama Souw Kwi Beng," jawab Tio Sun
sesudah memberi hormat. "Karena kebetulan kami berdua lewat di sini dan
mendengar akan perayaan yang diadakan oleh paduka di sini, maka kami lalu
memberanikan diri datang menonton keramaian. Atas kelancangan ini, harap paduka
sudi memaafkan kami."
"Ahhh...!"
Sabutai menjadi makin tertarik karena ternyata bahwa pemuda itu amat hormat
kepadanya dan pandai membawa diri. "Kami malah merasa girang dan beruntung
sekali menerima kedatangan ji-wi sicu yang pandai. Kalau boleh kami mengetahui,
ji-wi hendak ke manakah dan ada keperluan apa sampai jauh-jauh ke tempat
ini?"
"Kami
berdua hendak mencari kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,"
kata Tio Sun dengan terang-terangan.
Dia sudah
mendengar bahwa Raja Sabutai ini sudah berdamai dengan kaisar, maka dia tidak
khawatir memberi tahukan maksud kedatangan mereka kepadanya. Apa lagi karena
semenjak tadi mereka tidak melihat adanya dua orang guru raja ini, bahkan
ketika mereka bertanya-tanya kepada beberapa orang tamu, mereka pun tidak ada
yang tahu mengapa guru-guru raja itu tidak muncul di dalam pesta. Maka,
terpaksa dia mengaku terus terang dengan harapan akan memperoleh keterangan
dari raja ini.
"Ha...?
Tahukah kalian siapakah dua orang tua yang kau sebut tadi, Tio-sicu?"
tanyanya, memandang dengan tertarik.
"Kami
telah mendengar bahwa dua locianpwe itu adalah guru-guru paduka. Oleh karena
itulah maka sekalian kami hendak mohon petunjuk paduka, di mana kami kiranya
akan dapat bertemu dengan mereka."
Sabutai
menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kagum. "Tio-sicu dan Souw-sicu,
sungguh aku kagum sekali kepada kalian! Masih begitu muda tetapi sudah memiliki
nyali harimau dan hati naga! Sudah tahu bahwa yang kalian cari itu adalah
guru-guruku, akan tetapi secara terang-terangan kalian menanyakannya kepadaku,
seolah-olah kalian berani menghadapi kami dengan bala tentara kami yang ribuan
orang jumlahnya!"
Tio Sun
menjura lagi dan berkata, "Adanya kami berdua berani datang ke sini,
karena kami sudah mendengar akan nama paduka yang besar sebagai seseorang yang
dapat menghargai kegagahan."
"Ha-ha-ha,
jangan kira kami tidak tahu akan maksud kedatangan kalian. Bukankah kalian
mencari kedua orang guruku itu berhubung dengan diculiknya nona Yap In
Hong?"
Tio Sun
tidak terlalu terkejut mendengar ini karena dia sudah menduga akan kecerdikan
Raja Sabutai. Akan tetapi Souw Kwi Beng terkejut sekali dan karena dia merasa
bahwa rahasia mereka sudah ketahuan, maka dia segera berkata dengan gagah dan
nyaring,
"Benar!
Nona Yap In Hong sudah diculik maka kami sengaja datang untuk mencari dan
menolongnya dan kalau perlu kami akan mengadu nyawa dengan para penculiknya, siapa
pun adanya mereka itu!"
Tio Sun
terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan mengeluarkan
kata-kata yang demikian sembrono. Dia khawatir kalau-kalau Raja Sabutai menjadi
marah dan berbahayalah kalau begitu, maka dia cepat berkata, "Maafkan,
sahabat saya ini amat mengkhawatirkan nona Yap yang amat dicintanya. Tentu
paduka maklum..."
Memang
tadinya muka Raja Sabutai telah memperlihatkan kemarahan ketika mendengar
kata-kata Kwi Beng, akan tetapi begitu mendengar ucapan Tio Sun, dia tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha-ha, apa yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang
muda yang mabok cinta! Lautan api akan ditempuhnya, barisan golok akan
diterjangnya! Apakah kalian ini utusan pribadi kaisar untuk menyelamatkan nona
Yap In Hong?"
Tio Sun
cepat-cepat mendahului Kwi Beng. "Dapat dikata demikianlah, sri baginda.
Ayah saya adalah seorang bekas pengawal yang amat setia dan karenanya, saya pun
seorang yang selalu akan membela kaisar. Karena nona Yap In Hong telah menjadi
seorang puteri istana yang dipercaya oleh kaisar, maka tentu saja kaisar amat
marah mendengar puteri itu diculik orang. Di antara banyak utusan kaisar yang
mendapat perintah untuk mencari dan menyelamatkan nona Yap, termasuk kami
berdua."
Kwi Beng
tentu saja merasa heran sekali mendengar ucapan ini. Mereka menjadi utusan
kaisar? Heran dia kenapa Tio Sun harus membohong seperti itu. Dianggapnya
perbuatan ini tidak bijaksana dan tidak gagah! Menunjukkan rasa takut dan
hendak bersembunyi di balik nama kaisar. Akan tetapi dia segera mengerti ketika
mendengar raja itu berkata,
"Ahh,
Kaisar Ceng Tung memang seorang yang mengenal budi! Aku telah memberi tahu
kepada beliau bahwa urusan culik-menculik ini sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan aku, sungguh pun yang melakukannya adalah guru-guruku.
Namun dalam hal ini, mereka berdiri sendiri, dan nanti kita bicarakan lebih
lanjut tentang di mana kalian dapat bertemu dengan mereka, kalau kupandang
kalian memang pantas untuk bertemu dengan mereka!"
Sabutai
segera memerintahkan pelayan supaya menambah hidangan makanan dan arak,
kemudian raja ini menjamu mereka. Ini merupakan suatu kehormatan yang besar
sekali dan banyak pandang mata para tamu diarahkan ke meja itu dan menduga-duga
siapa adanya dua orang muda yang tadinya diundang oleh Raja Sabutai dan kini
mereka dijamu itu.
Sesudah dua
orang muda itu makan dan minum sampai kenyang, tiba-tiba saja terdengar
sorak-sorai dan kiranya para tamu tengah menyambut kemenangan seorang pegulat
yang berkulit hitam, bertubuh seperti raksasa dan karena dia hanya mengenakan
cawat saja maka kulit hitam yang berkeringat itu kelihatan berkilauan
mengkilap. Nampak otot-otot membelit-belit seluruh tubuh yang amat kuat itu. Si
pegulat hitam ini dinyatakan sebagai pemenang karena berturut-turut dia sudah
memenangkan lima pertandingan dan kini dia mengangkat kedua tangan ke atas
membuat isyarat menantang siapa lagi yang berani bertanding melawan dia di atas
panggung!
Raja Sabutai
memandang kepada pegulat hitam itu dan dia pun tersenyum. Dia mengenal pegulat
itu yang berjuluk Biruang Hitam, seorang pegulat yang selain mempunyai tenaga
yang amat kuat, juga telah menguasai ilmu gulat dengan baiknya sehingga dalam
hal ilmu gulat, dia sendiri akan sukar mengalahkan Biruang Hitam itu. Maka
timbullah pikirannya untuk mempergunakan si Biruang Hitam itu menguji utusan
Kaisar Ceng Tung ini.
"Tio-sicu,
seperti yang kukatakan tadi, tidak sembarang orang dapat bertemu dengan dua
orang guruku itu. Apa lagi menyelamatkan nona Yap In Hong! Hal itu merupakan
tugas amat besar yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pandai yang
mempunyai tekad dan keberanian besar saja."
"Kami
berdua tidak berani mengaku sebagai orang-orang pandai, akan tetapi apa bila
paduka suka memberi tahu di mana kami dapat menjumpai locianpwe Pek-hiat Mo-ko
dan Hek-hiat Mo-li, kami bertekad untuk menolong nona Yap In Hong dengan
taruhan nyawa seperti yang dikatakan oleh adik Souw Kwi Beng tadi."
"Ha-ha-ha,
tidak begitu mudah, sicu. Untuk dapat berjumpa dengan kedua orang guruku itu
sedikitnya harus mempunyai kepandaian seperti si Biruang Hitam itu. Nah,
mampukah Tio-sicu menandingi dia?"
Tio Sun
menoleh dan memandang ke arah raksasa hitam yang masih berdiri tegak sambil
memandang ke sekeliling dan menantang dengan sikap angkuh itu. Dia maklum bahwa
betapa pun juga, dia harus dapat meyakinkan hati raja ini agar dia dapat diberi
petunjuk. Dia pun sudah mendengar bahwa Sabutai paling suka nonton orang
bertanding silat dan merasa simpati pada orang-orang yang pandai ilmu silat.
Agaknya, tanpa memperlihatkan kepandaian, dia tidak akan bisa memperoleh
petunjuk dari raja ini. Maka dia mengangguk dan berkata perlahan,
"Akan
saya coba untuk menandingi dia, sri baginda."
Sabutai
tertawa gembira dan dia bertepuk-tepuk tangan dengan keras sehingga semua orang
menoleh kepadanya. Juga raksasa hitam itu cepat membalik ke arah Raja Sabutai
dan memberi hormat.
"Saudara
sekalian, kebetulan sekali ada seorang utusan dari selatan datang menghadiri
pesta ini dan dialah yang sanggup untuk menandingi si Biruang Hitam!"
Mendengar
ini, semua tamu bertepuk dan bersorak gembira. Tadi mereka sudah merasa
khawatir bahwa pertunjukan adu silat dan gulat itu hanya akan berakhir sampai
di situ saja karena munculnya Biruang Hitam yang sudah berturut-turut
mengalahkan lima orang lawan dan agaknya sudah tidak ada lagi yang berani maju.
Maka mendengar bahwa ada utusan dari selatan yang hendak menandingi Biruang
Hitam, tentu saja mereka menjadi gembira sekali, maklum bahwa mereka akan
menyaksikan pertandingan yang hebat dan mungkin mati-matian karena jagoan dari
selatan tentulah seorang ahli silat dan Biruang Hitam paling benci kepada orang
selatan yang pandai silat!
"Nah,
Tio-sicu, silakan," kata Sabutai kepada Tio Sun.
Tio Sun
bangkit berdiri, menjura kepada Sabutai kemudian memandang kepada Souw Kwi
Beng. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan berkata,
"Tio-twako,
hati-hatilah... dia kelihatan kuat sekali."
Tio Sun
mengangguk dan sesudah sekali lagi menjura ke arah Sabutai, dengan langkah
tenang dia segera menghampiri panggung lalu meloncat ke atas panggung,
berhadapan dengan Biruang Hitam.
Raksasa
hitam ini menyeringai dan mengeluarkan suara gerengan bagai seekor biruang pada
waktu melihat bahwa calon lawannya hanyalah seorang tinggi kurus dan berpakaian
sebagai orang Han! Dia amat membenci orang Han, apa lagi seorang Han yang
pandai silat! Dan calon lawannya ini bertubuh kecil, terlalu kecil baginya!
Tiga kali tubuh lawan ini dijadikan satu barulah sama dengan dia.
TIO SUN juga
memandang lawannya dengan penuh perhatian. Seorang lawan yang amat berbahaya,
pikirnya. Jelas bahwa Biruang Hitam ini mempunyai tenaga otot yang sangat
besar, mungkin lima kali lebih besar dari pada tenaga manusia biasa. Dan kedua
lengan yang hitam berbulu itu amat kuat dan panjang, dengan jari-jari tangan
yang panjang dan yang dapat diduganya tentu mempunyai kekuatan mencengkeram
atau menangkap yang amat kuat. Celakalah kalau sampai kena dicengkeram oleh
jari-jari tangan itu.
Dia harus
mengandalkan kecepatan gerakannya, karena betapa pun kuatnya, raksasa hitam ini
karena besarnya tubuh tentu lamban gerakannya dan dengan mengandalkan
kegesitannya, mungkin dia akan menang. Pula, dia adalah putera seorang yang
berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati). Ayahnya, Ban-kin-kwi Tio
Hok Gwan, terkenal memiliki tenaga yang amat besar dan dia pun telah
mempelajari penghimpunan tenaga itu sehingga dia pun merupakan seorang yang
bertenaga besar. Namun, dalam hal tenaga luar, jelas bahwa dia tidak mungkin
dapat menandingi raksasa di depannya itu.
"Aku
telah siap!" katanya kepada raksasa itu yang kelihatan ragu-ragu.
Agaknya
Biruang Hitam itu mengerti maksud ucapan Tio Sun, karena raksasa ini segera
mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan kedua lengannya bergerak menyambar ke
depan dari kanan kiri seperti terkaman seekor biruang yang marah.
"Wuuutttt...!
Wuuutttt...!"
Dua
tangannya yang lebar dengan jari-jari terbuka itu sampai mengeluarkan angin
saking kuatnya dia menggerakkan kedua tangan dari kanan dan kiri yang
mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan langkah ke belakang, Tio Sun
dapat mengelak dengan mudah dan saat raksasa hitam itu melanjutkan serangannya
dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat mengelak ke samping dengan
lincahnya.
Biruang
Hitam menggereng marah. Kini dia menerjang kembali dengan pukulan kepalan
tangan sebesar kepala Tio Sun sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah,
hendak menangkap kaki pendekar itu.
Kembali Tio
Sun cepat mengelak lantas dari samping dia sengaja memasang diri untuk
ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyung, si raksasa
hitam menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan dua lengan terpentang untuk
mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri.
Memang
inilah yang dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu ‘terbuka’,
secepat kilat dia lalu menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan
tenaga dengan maksud membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan.
Tentu saja
gerakan Tio Sun ini sangat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka oleh si
Biruang Hitam yang lamban. Maka, sebelum dia tahu apa yang terjadi, dadanya
sudah kena dipukul lawan.
"Bukkk!"
Pukulan yang
keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi akibatnya
bukannya tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah tubuh
Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya!
Pukulannya
yang mengenai dada itu seakan-akan memukul bola karet yang sangat kuat sehingga
membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh
terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga
kali ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik.
Sorak-sorai
menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si raksasa kena
pukulan keras akan tetapi yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang Hitam
tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan, persis
seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya, hidungnya
mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai.
Souw Kwi
Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia meraba ke
pinggangnya di mana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini tidak
terlepas dari pandangan mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum menonton
pertandingan di atas panggung itu.
Semua mata
ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang melihat raksasa
hitam itu kini sudah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan memandang
dengan sikap waspada hingga akhirnya pendekar itu tersudut. Biruang Hitam
menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya sudah
menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke belakang
raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, dua lengan yang panjang
itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleh Tio Sun yang
mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang sangat kuat dan
tubuhnya kebal ini. Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga, pikirnya.
Setelah
memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya kembali Tio Sun
mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini dia
mempergunakan ginkang-nya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum
lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk
lawan.
"Bresssss…!"
Kembali
tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang turun dengan dua kaki
terlebih dahulu sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini, langsung dia mengerahkan tenaga pada kedua
tangannya dan menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan.
"Bukk!
Desss…!"
Hantaman-hantaman
itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi
Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya dilindungi oleh karet
yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik dan meraih sehingga
pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang panjang dan kuat
itu.
Tentu saja
Tio Sun yang tidak menyangka sama sekali bahwa lawan tidak roboh, bahkan
terguncang pun tidak oleh dua pukulannya tadi, amat terkejut ketika tahu-tahu
pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seakan-akan tulang pundaknya akan
hancur diremas oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat mengerahkah
ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit pundaknya licin
bagai belut kemudian dengan gerakan lincah dia merenggutkan tubuhnya dan
meloncat mundur.
"Breetttt...!"
Pundaknya
terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di pundak itu robek dan hancur di
tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa.
Tio Sun
terkejut sekali. Kiranya lawan ini lebih hebat dari pada yang disangkanya.
Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa
melukainya, sebab dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa
juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak
sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja
bisa tewas oleh manusia raksasa yang memiliki tenaga gajah dan cara
berkelahinya buas seperti harimau ini.
Di antara
para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan, taruhan yang berjumlah
tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggulan sehingga yang
bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya hanya untuk
selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan kemenangan
Biruang Hitam.
Akan tetapi
hanya sebentar mereka yang bertaruh ini ramai menambah taruhan mereka karena
seluruh perhatian mereka segera dicurahkan kembali ke atas panggung di mana
Biruang Hitam telah menghujani serangan kepada Tio Sun yang kembali hanya
mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya.
Makin lama,
Biruang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan dan
cengkeramannya hanya mengenai tempat kosong belaka. Peluhnya membasahi seluruh
tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia semakin
bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya.
Souw Kwi
Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia bahwa kini
Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan kecepatan
gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban gerakan
Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan dapat
tertangkap lagi seperti tadi.
Dugaannya
ini memang benar. Tio Sun yang maklum akan berbahayanya apa bila sampai dirinya
tertangkap lawan mempergunakan ginkang-nya dan dengan mudah dia mengelak terus
sambil menanti datangnya kesempatan.
Kesempatan
itu tiba pada saat si Biruang Hitam menghentikan serangan dan menghapus
keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun memekik
keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar ke arah
muka lawan.
"Plakkk!"
Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung Biruang Hitam itu.
"Currrrr...!"
Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam.
Bagaimana
pun kebalnya, tak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka
begitu kena dihantam dengan keras, darahnya lantas mengucur.
"Ourrgghh...!"
Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah Biruang Hitam.
Dengan
membabi buta dia pun menyerang sambil menggereng dan mendengus-dengus penuh
kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap tubuh
Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-tulangnya akan
dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti!
Namun Tio
Sun tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke
sana-sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan di samping mengelak,
juga dia selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian
yang dianggapnya tidak kebal.
"Plakkk!"
Kini telinga
kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa itu terputar karena dia
merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang memenuhi telinganya. Rasa
nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu menyerang lagi.
Tio Sun
mengelak menjauhi, kemudian pada waktu raksasa itu menubruk, dia melompat ke
samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang
paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.
"Dukkk!"
Tio Sun
meringis dan menarik kembali kakinya yang terasa amat nyeri. Kakinya bertemu
dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggota kelamin si Biruang
Hitam ini sudah mengeras seperti besi? Tak mungkin! Dan Tio Sun mengerti bahwa
tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi.
Biruang
Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, sekarang memukul lagi ke arah
telinga kanan.
"Plakkk!"
Kembali
tubuh itu terputar-putar dan kini tibalah saatnya bagi Tio Sun untuk menghajar
lawannya, maka dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua telinga, hidung,
dan mata. Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini bersorak-sorak dan
tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah.
Dengan
kecepatan kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, segera menggunakan dua
jari tangan menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya
tidak akan dapat menembus kekebalan. Sekarang, setelah lawannya mulai lemah,
dia mengerahkan tenaga dan dengan mudah dia dapat menotok kedua pundak lawan
yang telanjang tepat mengenai jalan darah sehingga dua lengan panjang itu kini
tergantung lumpuh!
Tio Sun yang
juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya. Setelah kedua
tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang maju, menendang
lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti kilat dia
menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga kemudian mengangkat tubuh
raksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah
panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan
rebah pingsan di situ!
Sorak-sorai
memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah mereka yang menang
bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-kesenangan yang
didapatkan atas kemenangan itu. Raja Sabutai bangkit dari tempat duduknya
ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai memuji,
"Sungguh
Tio-sicu amat lihai!"
Tio Sun
menjura. "Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja saya tadi
dapat mengalahkan dia." Kemudian dia menatap wajah raja itu tajam-tajam
dan berkata, "Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk di mana
adanya..."
"Nanti
dulu, sicu. Duduklah. Pesta belum lagi berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah kami
saksikan dan memang sicu adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan
tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu."
Tio Sun
merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa sebagai
putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja Kwi Beng mempunyai kepandaian
yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng masih
terlampau muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya
sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia
berkata,
"Sri
baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu? Para tamu juga tentu
telah menjadi bosan karenanya. Bagaimana jika adik Souw ini memperlihatkan
kepandaiannya memainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang
sangat hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga
tidak dapat terlihat oleh mata? Tentu saja untuk permainan ini, tidak
diperlukan adu kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh
orang."
Sabutai
mengangguk-angguk sambil tertawa. "Seorang ahli senjata rahasia, heh?
Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya."
Tio Sun
terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek dan nenek
lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng
bagaimana pun juga bukanlah lawannya. "Mana bisa adik Souw harus
menghadapi paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?" dia mengajukan
keberatan.
Raja Sabutai
tertawa. "Kami hanya menguji kepandaiannya memainkan senjata rahasia,
bukan bertanding." Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas
panggung.
Semua tamu
kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai yang sakti itu kini hendak
bertanding? Semua mata memandang ke arah pemuda tampan berambut agak keemasan
yang mengikuti di belakang sri baginda dengan sikap tenang.
"Saudara-saudara
sekalian. Pemuda ini pun seorang utusan dari selatan yang lihai. Anda sekalian
tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah mengalahkan pegulat
hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu akan menunjukkan
kemahirannya menggunakan senjata rahasia."
Semua orang
bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka, senjata yang
mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau batu yang
disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga sangat
mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah.
Kabarnya, sekali
menarik gendewa, raja ini sekaligus mampu meluncurkan tujuh batang anak panah,
dan semua menuju ke sasaran dengan tepatnya! Atas isyarat raja, seorang
pengawal datang berlari dengan dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah
alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari
kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya
digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwarna hitam.
Atas
perintah Sabutai, sasaran itu lalu dipasang dalam jarak seratus langkah.
Kemudian Sabutai menerima gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal
lain, dan dia menoleh ke arah Kwi Beng sambil tersenyum.
"Souw-sicu,
di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah, oleh karena itu
ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu mampu menandingi anak panah
kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya."
Sebelum
pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang sekaligus tiga batang anak panah di
gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan tali sehingga
terdengar suara menjepret, maka meluncurlah tiga batang anak panah dengan
cepatnya menuju sasaran.
Menggunakan
tiga batang anak papah sekaligus dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli,
akan tetapi untuk ditujukan kepada tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak
panah ditujukan kepada sasaran yang sama, sungguh merupakan hal yang sangat
sukar dan jarang dapat dilakukan orang. Akan tetapi, ketika tiga batang anak
panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah semua orang dengan kagum bahwa sang
raja itu menujukan ketiga batang anak panahnya kepada sasaran yang sama!
"Cep-cep-cepp!"
Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap di sasaran, dan
tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah lingkaran itu.
Tepuk sorak
gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini. Raja Sabutai sambil tersenyum
mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan kebisingan itu, kemudian dia
menghadapi Kwi Beng sambil berkata, "Nah, Souw-sicu, dapatkah senjata
rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak panahku?"
"Akan
saya coba, sri baginda," pemuda ini berkata sambil memandang tajam ke arah
sasaran yang jaraknya seratus langkah itu.
Dia melihat
betapa sasaran inti, yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang
itu, telah penuh oleh tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi
bagi senjata rahasianya, maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit
dirinya. Akan tetapi, Kwi Beng memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga
saudara kembarnya dan memiliki kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya,
maka setelah mengincar dengan seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik
dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya,
kemudian kedua tangan itu bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar
berkilauan ke arah sasaran.
Pemuda ini
berturut-turut, hampir berbareng saat pelemparannya saking cepatnya, telah
menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti
oleh pandang mata semua tamu. Secara diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan
cara pemuda itu melemparkan pisau demikian cepatnya.
"Cap-cap-capp!"
Tiga batang pisau itu menancap dan tiga batang anak panah bergoyang-goyang.
Pada saat
semua mata memandang, sejenak suasana hening saking herannya, kemudian lepaslah
tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa ketiga batang pisau itu
dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah yang tiga tadi!
Raja Sabutai
mengangguk-angguk, akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum sekali akan tetapi
juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin rusak tiga batang
anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan pemuda ini dan dia
lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di gendewa yang masih
dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah semua tamu diam.
"Souw-sicu,
kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu adalah benda
tak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu ingin aku
melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak panah yang
kulepas di udara."
Jika saja
pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup, maka hati Sabutai
sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu sudah
menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan senjata
rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang,
"Akan
saya coba, sri baginda."
Sabutai
menjadi sangat penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak
panahnya? Betapa pun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran
pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat dari pada luncuran anak
panahnya, dan pisau itu sampai bagaimana pun tidak akan mampu menyusul anak
panahnya, apa lagi mengenainya.
Dan memang
pemuda ini pun tahu bahwa pisau terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai
anak panah yang diluncurkan, akan tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini.
Semua mata para tamu kini memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan,
karena mereka pun kesemuanya adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa
luncuran anak panah, apa lagi yang dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang
kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh sambitan biasa.
Gendewa menjepret
ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah sebatang anak panah ke
angkasa! Pada saat itu pula, tangan kanan Kwi Beng sudah bergerak mencabut
senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang sudah dipersiapkan
dan diisinya, kemudian dengan ketepatan seorang jago tembak terlatih dia
membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya.
"Darrrrr...!"
Semua orang
terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua mata, termasuk juga mata
Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran ketika melihat anak
panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi dua, jatuh
di depan kaki raja itu.!
Dalam
keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah sekali
melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada saat
itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang aneh
itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang masih
mengepulkan asap.
Ketika para
tamu yang tadi juga tercengang kini bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji
kehebatan senjata rahasia pemuda itu, barulah Sabutai menjadi sadar dan dengan
muka jelas membayangkan kekaguman dia memandang senjata api di tangan kanan Kwi
Beng sambil bertanya,
"Apakah
itu?"
Melihat sikap
raja yang jelas sekali kelihatan sangat tertarik dan kagum kepada senjata
apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata, "Ini adalah
senjata api, sri baginda."
Sabutai
menyentuh pistol yang masih hangat itu dan memuji, "Hebat bukan
main..."
Sambil
tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata, "Apa bila paduka
suka memberi petunjuk supaya kami dapat tahu di mana adanya nona Yap In Hong,
sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka."
Sepasang
mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri. "Benarkah? Akan tetapi tidak
ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya."
"Saya
akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya."
Sabutai tertawa
girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu kembali ke tempat
duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan senyum puas karena
dia maklum bahwa temannya ini telah mendatangkan kesan baik kepada Sabutai yang
juga tersenyum-senyum.
Seperti
seorang anak kecil menimang-nimang permainan baru, Sabutai memegang dan
meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi gurunya.
Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain-lain.
Sabutai yang
memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan pada saat dia mencobakan
pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali tembakan saja
Sabutai sudah mampu mengenai mulut kepala di dalam gambar sasaran, disambut
tepuk tangan para tamu.
Kwi Beng menyerahkan
semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh butir mesiu dan pistol itu
kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan pistol dan peluru-pelurunya,
lalu dia berkata,
"Tio-sicu
dan Souw-sicu, kalian ternyata adalah tamu-tamu yang sangat menyenangkan dan
kurasa cukup gagah dan berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biar
pun kami merasa sangsi sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira
kalian tidak akan mampu melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, sesudah
kedua orang guru kami itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru
kalian berdua, biar pun ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu
pasti tidak akan dapat menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan
yang luar biasa sekali sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak
akan mampu melukai mereka luar dalam!"
"Kami
bukan hendak melawan siapa pun bila tidak terpaksa, yang kami kehendaki hanya
agar nona Yap In Hong dibebaskan," kata Tio Sun.
Sabutai
tersenyum dan menarik napas panjang. "Kami rasa tidak begitu mudah. Ilmu
baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga kami
sendiri pun belum pernah mempelajari ilmu itu. Akan tetapi sesuai dengan janji
kami tadi, biarlah ji-wi sekarang mengetahui di mana suhu dan subo menahan nona
Yap In Hong, yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat
tikungan Sungai Luan-ho. Nah, di situ ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo,
juga di sanalah nona Yap ditawan."
Tio Sun dan
Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura sambil
mengucapkan terima kasih, lalu segera berpamit untuk melanjutkan perjalanan
mereka ke Lembah Naga saat itu juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan
berkali-kali dia menarik napas panjang.
"Sayang...
sungguh saya akan selalu menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini
harus membuang nyawa secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami
tidak berhak untuk mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu..."
Pada saat
itu, seorang pengawal datang dengan cepat dan memberi hormat, lalu melapor
dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh dua orang pemuda itu.
Mendengar
laporan itu, Sabutai berseri wajahnya dan berkata, "Tio-sicu dan
Souw-sicu, tunggu sebentar! Baru saja pengawal kami melaporkan bahwa isteri
kami mendengar akan kunjungan utusan kaisar dan kini beliau minta kepada ji-wi
untuk menjenguk putera kami. Kami adalah sahabat kaisar, maka ji-wi sebagai
utusan kaisar tentu juga merupakan sahabat kami pula. Bagaimana ji-wi dapat
bercerita di kota raja tentang putera kami kalau ji-wi tidak menjenguknya? Nah,
isteri kami telah mengundang, harap ji-wi suka masuk ke dalam sebentar."
Tentu saja
Tio Sun dan Souw Kwi Beng tidak berani menolak undangan yang ramah ini dan
mereka berdua kemudian diantar oleh empat orang pengawal menuju ke dalam yang
ternyata suasananya tenteram dan tenang, tidak seramai di tempat pesta itu.
Mereka
melalui ruangan-ruangan dan lorong-lorong, dan akhirnya mereka tiba di tempat
kediaman Puteri Khamila. Di dalam sebuah kamar yang amat bersih dan sejuk,
terdapat sebuah ayunan bayi yang dijaga oleh lima orang pelayan wanita.
Agaknya, para pelayan itu sudah menerima perintah dari Puteri Khamila, karena
begitu melihat keempat orang pengawal yang mengantar dua orang pemuda asing
itu, mereka cepat-cepat mundur dan mempersilakan mereka masuk.
"Ji-wi
(tuan berdua) dipersilakan masuk dan menjenguk pangeran," kata seorang di
antara empat pengawal itu dengan bahasa Han yang lancar akan tetapi kaku.
Tio Sun
bersama Souw Kwi Beng lalu melangkah memasuki kamar itu dan menghampiri ayunan
bayi. Mereka menjenguk dan melihat seorang bayi yang amat sehat dan mungil,
sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya.
Dua orang
pemuda itu tentu saja memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam mereka
memuji bahwa putera Sabutai ini memang seorang anak bayi yang sangat sehat dan
tampan, juga biar pun masih bayi sudah membayangkan keagungan.
Pada saat
itu pula terdengar suara kaki melangkah dari dalam dan semua pelayan, juga
empat orang pengawal itu cepat menjatuhkan diri berlutut. Souw Kwi Beng dan Tio
Sun menengok dan mereka terkejut melihat seorang wanita yang berpakaian indah,
keluar dari pintu dalam dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah permaisuri
atau isteri Raja Sabutai, maka mereka cepat memberi hormat dengan menjura
sampai dalam.
"Saya
mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari kaisar, benarkah?" suara Khamila
yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda itu
menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu
seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar.
Tio Sun yang
tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan kaisar, tentu saja tidak berani
menyangkal lagi. "Benar, kami berdua datang dari kota raja."
"Kalian
diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?" kembali sang
puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar.
"Maaf,
harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... ehhh, agaknya sri baginda
kaisar belum mendengar tentang kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, maka kami
hanya diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, ada pun kami hanya kebetulan
mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat
mencari nona Yap."
"Dan
kalian sudah tahu tempatnya?"
"Berkat
kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu."
Hening
sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan tidak ada pelayan yang
berani mengangkat muka memandang sang puteri.
"Saya
mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-manusia
utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu pada tubuh mereka.
Sampaikan kepada kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku ini
pun memiliki tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar
apakah itu pun merupakan tanda dari Tuhan."
Tio Sun dan
Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan seorang ibu di mana pun sama saja,
tak peduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang permaisuri, yaitu harapan
agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan bahagia!
"Kami
menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang pangeran
diberi berkah dan panjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota
raja," jawab Tio Sun tanpa berani menyebut kaisar karena bagaimana dia
berani menghadapi kaisar untuk menyampaikan semua ini?
"Terima
kasih. Kalian menghadapi tugas yang sangat berat. Nah, kalian pergilah,"
sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas terlipat dan
berbisik, "Bukalah jika menemui kesulitan." Kemudian puteri itu
memberi perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar.
Sambil
menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi hormat
diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan kamar
itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut mereka,
Tio Sun cepat memberi hormat dan berkata,
"Putera
paduka sungguh sehat dan tampan, semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia
panjang."
"Ha-ha-ha-ha,
terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang lihai seperti
sicu."
Dua orang
pemuda itu segera berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat itu,
langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka mencari
tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah mereka
ketahui dari Raja Sabutai.
Di tengah
perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya dari Puteri
Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah.
Menemukan
kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke bawah!
Tio Sun dan
Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir mendengar keterangan
Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru yang hebat, yaitu
kekebalan yang tidak terlawan oleh pukulan sakti atau pun senjata pusaka.
Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak nanti
membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya.
Maka setelah
membaca tulisan Puteri Khamila, selain terheran-heran juga mereka merasa girang
sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek kertas
itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek dan
nenek iblis itu kepada mereka.
Tentu saja
dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl merasa kaget,
bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong diculik oleh
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia sudah berhutang budi kepada In Hong,
bahkan bersama dengan In Hong dia sudah meloloskan Kaisar Ceng Tung dari
tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis yang
menjadi guru suaminya, dia pun merasa penasaran sekali. Akan tetapi, dia pun
maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi
kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk
bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
Sabutai yang
amat cinta kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia kedua
gurunya diketahui isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan
bahwa kedua orang gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang
sangat mukjijat dan bahwa dia sendiri masih belum tahu kelemahannya dengan
pasti, hanya tahu bahwa kelemahannya itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke
bawah.
Maka, ketika
Khamila mendengar bahwa ada dua orang utusan kaisar hadir dalam pesta, cepat
dia menuliskan rahasia kelemahan itu pada selembar kertas, lalu dia mengundang
dua orang utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia
mempunyai dua maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya kepada
ayah kandungnya, yaitu Kaisar Ceng Tung, dan yang kedua, dia dapat membocorkan
rahasia kekebalan dua orang kakek dan nenek yang menculik In Hong.
***************
Tio Sun dan
Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah Naga telah nampak
dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan mengintai. Akan
tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang rumput dan
alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padang Bangkai
yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu neraka.
Hari masih
pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun yang berwatak
hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlahan-lahan dan dengan
penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala kemungkinan.
Tiba-tiba
dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di belakangnya. Mereka
berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa pula suara tangis
lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak akan terdengar
oleh mereka.
Dengan
isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju perlahan dan
tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju menghampiri
ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara tangisan
itu, di tempat yang begini sunyi, penuh dengan rumput alang-alang tinggi dan
tidak nampak orangnya yang menangis.
Ketika
mereka tiba di rumpun alang-alang yang berada di pinggir jalan setapak, mereka
amat terkejut karena melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda
yang cantik, yang menangis sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup
batang dan daun alang-alang yang malang melintang menjadi alas tubuhnya.
Wanita itu
menangis sedih sekali, sesenggukan hingga air matanya membasahi seluruh
wajahnya yang cantik. Tangan kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan
tangan kirinya... buntung sebatas pergelangan tangan dan dibungkus oleh kain
putih yang masih membekas darah merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan
itu terjadi belum lama ini.
Dua orang
pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah lengan kiri
yang sudah tidak bertangan lagi itu. "Apa yang terjadi, nona?" Kwi
Beng yang memang berperasaan halus dan mudah terharu itu bertanya sambil
melangkah mendekati.
Gadis itu
terkejut, kemudian menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia
memandang. Ketika melihat bahwa di hadapannya sudah berdiri dua orang laki-laki
yang tidak dikenalnya, laksana seekor harimau yang marah, dia berteriak keras
dan tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan
tangan kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan
tubuhnya berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian
serba merah.
"Ehh...?"
Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan serangan gadis itu
membuat dia tidak sempat lagi mengelak.
"Dukkk!"
Dua lengan
bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang kalau saja dia tidak
cepat-cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga yang amat kuat
meski pun tangannya tinggal satu!
"Ehhh,
nanti dulu, nona!" Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia
berseru, "Beng-te, awas...!"
Kwi Beng
cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli melempar pisau
terbang, tentu saja dia segera maklum apa artinya benda-benda hitam kecil yang
menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga Tio Sun
sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh gadis
berpakaian merah itu.
Akan tetapi
gadis itu sudah menyerang lagi, sekarang menyerang Tio Sun dengan tangan
tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak, kemudian sesudah mengelak tiga kali, dia
tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu sambil berkata,
"Tahan
dulu, nona. Mari kita bicara!"
"Bicara
apa lagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!" Nona itu membentak,
meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah
bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan
bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.
"Plakkk!"
Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh Kwi Beng yang
menjadi terhuyung.
"Twako,
gadis ini gila...!" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun
cepat meloncat ke depan menghadang, dan tiba-tiba nampak cahaya berkelebat pada
saat gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah
menyerang Tio Sun dengan pedangnya!
"Hemmm...!"
Tio Sun segera mengelak, dan melihat betapa gadis itu menyerang secara kalang-kabut
dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi.
Harus
diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu
silat yang selain memiliki sinkang yang lebih kuat dari pada Kwi Beng, juga
mempunyai kecepatan yang amat luar biasa dan ilmu silatnya pun tinggi. Akan
tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa
kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.
"Minggir,
Beng-te!" serunya.
Dia tahu
betapa bahayanya menghadapi seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan
seperti ini hanya tahu menyerang secara nekat saja sehingga kelihaiannya
menjadi bertambah. Dia pun cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan
melolos pula sabuknya yang dapat dipergunakan sebagai pecut.
"Tringg-cringgg...
tarrr...!"
Dua pedang
bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-nyambar. Namun
gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang makin nekat.
Tio Sun
adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tak mau sembrono dalam segala
tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini, tentu saja dia
tidak mau menurunkan tangan besi, tak mau melukai apa lagi membunuh orang yang
sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa mengamuk seperti itu.
Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan mencari kesempatan baik.
Memang dalam
hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih menang jauh, maka kecepatan gerakan
wanita itu tidak membuat pemuda ini menjadi bingung. Dengan tenang dia hanya
membiarkan gadis itu menyerang terus dan tiba-tiba dia menangkis sambil
mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati).
"Trangggg...!”
“Aihh...!"
Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas dari tangannya. Akan tetapi, betapa
kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah dilucuti senjatanya itu tiba-tiba
menubruknya dan menyerang terus dengan tangan tunggalnya secara nekat!
"Ahhh,
kau sungguh nekat...!" kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua kali
ujung sabuknya menotok sehingga wanita itu pun mengeluh dan roboh tertotok,
tubuhnya lemas dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti
lumpuh!
Akan tetapi
kedua matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu
menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak, "Kalian bunuhlah aku dan
aku malah akan berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian
memperkosa aku, ingatlah, biar sampai mati pun arwahku akan menjadi setan dan
terus mengejar kalian untuk membalas dendam!"
Wajah kedua
orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata, "Nona, kau ini
menganggap kami berdua orang macam apakah? Kami tidak sudi melakukan perbuatan
terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa melihat
engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian."
Kini pandang
mata gadis itu berubah seperti orang baru sadar dan terheran. "Siapakah
kalian? Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh aku?"
Tio Sun
menggelengkan kepala. "Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-li,
bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, hendak
menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?"
"Ohhh...!"
Gadis itu kelihatan kaget sekali, memandang mereka berdua bergantian penuh
perhatian. "Ahh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun
Houw...!" Setelah berkata demikian dia menangis lagi.
Tentu saja
Tio Sun dan Kwi Beng terkejut bukan main mendengar ini dan Tio Sun cepat
membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit
duduk dan berkata berulang kali. "Maafkan aku... maafkan aku...,"
sambil menangis.
Tio Sun dan
Kwi Beng juga ikut duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi oleh rumpun
ilalang sehingga tidak nampak dari jauh.
"Nona,
agaknya ada kesalah fahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami adalah anak
buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira bahwa nona
adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang ceritakanlah
dengan jelas, siapakah nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka?
Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kau sebut-sebut tadi?"
"Ah,
dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan dia.
Dengar, aku adalah Liong Si Kwi, murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang
juga berada di Lembah Naga, membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong
memang ditawan di sana untuk memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek
itu. Akan tetapi yang muncul adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona
Yap In Hong, Cia Bun Houw kini pun tertangkap sehingga mereka berdua ditawan.
Aku... aku... mencoba untuk membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan
ketahuan... dan aku..." Dia bicara tergagap-gagap dan memandang lengan
kirinya yang buntung.
"Engkau
lalu dibuntungi tangan kirimu?" Tio Sun bertanya dan gadis itu mengangguk.
"Betapa
kejamnya!" Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju.
Gadis itu
memandang kepada mereka berdua bergantian, seakan-akan hendak menaksir apakah
benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.
"Kalian
hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?" tanyanya.
"Benar!
Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, bila perlu dengan
taruhan nyawa kami!" Kwi Beng berkata dengan penuh semangat.
Si Kwi,
gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng, kemudian
menarik napas panjang dan berkata lirih, "Aihhh... engkau agaknya juga
menjadi korban cinta..."
Kwi Beng
menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya. "Apa? Apa maksudmu?"
"Tidak
apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu Lembah Naga.
Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu." Kini sikap Si Kwi sudah tenang
kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh dengan
tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang jalan
menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.
"Akan
tetapi, anak buah Padang Bangkai sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan ketua
mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah bagi
kalian untuk menyeberangi padang ini. Biar pun begitu, begitu tiba di Lembah
Naga kalian akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai
dan berbahaya seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus
orang, juga mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku
Hek I Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua
Padang Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga,
bukankah hal itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?"
Akan tetapi
Kwi Beng masih tetap bersemangat ada pun Tio Sun tenang saja mendengar cerita
itu, sungguh pun di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk
bersikap hati-hati sekali sesudah mendengar penuturan ini. "Aku tidak
takut. Bagaimana pun juga aku harus berusaha untuk menolong dan menyelamatkan
nona In Hong!"
Tio Sun
memandang kepada nona itu dan berkata, "Nona Liong Si Kwi, kami berterima
kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang sahabat
yang baik sekali. Bahkan engkau sampai mengorbankan sebelah tanganmu untuk
menolong Cia-taihiap."
Mendengar
ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka sekali.
Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka berdua
segera bangkit berdiri.
"Nona
Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi terima
kasih," kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi,
menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.
Tio Sun
menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu, melanjutkan
perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata amat
berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti Tio
Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia bertanya,
"Tio-twako,
dia kenapakah?"
Kembali Tio
Sun menarik napas panjang. Dia tidak menjawab langsung melainkan berkata lirih
seperti kepada dirinya sendiri, "Betapa banyaknya di dunia ini manusia
dipermainkan dan menjadi korban cinta..."
"Eh,
kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi? Dia juga mengatakan bahwa aku
menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?"
"Aku
tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi melihat keadaan gadis itu,
menurut dugaanku agaknya tidak salah lagi bahwa dia telah jatuh cinta kepada
Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berkhianat dan berusaha menolong
Cia-taihiap, namun dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh
kasihan dia."
Tio Sun
menghentikan kata-katanya karena hatinya bagaikan ditusuk ketika dia teringat
akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia memandang kepada
Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang menyedihkan itu
jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta dan
tergila-gila kepada Yap In Hong.
Biar pun
mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi, akan tetapi dua
pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati Padang Bangkai
dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai itu sudah
kosong dan ditinggalkan penghuninya sehingga tanpa banyak kesukaran mereka
dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.
***************
Pohon di
tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk beristirahat di
dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta
yang sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati
kesejukan yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang
berlindung dari panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua
renta itu dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan
biji-biji catur putih dan hitam silih berganti.
Dia sedang
bertanding catur melawan dirinya sendiri! Kadang-kadang kakek tua renta itu
menarik napas panjang seperti orang yang kecewa sekali sebab tidak memperoleh
musuh bertanding yang tentu akan menggembirakan sekali.
Kakek itu
sudah sangat tua, usianya sukar ditaksir karena paling sedikit tentu sudah ada
seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis serta jenggotnya sudah putih
semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan tubuhnya
kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis.
Segala
sesuatu pada diri kakek ini tampak tua sekali, kecuali kedua matanya! Sepasang
mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara terbuka dan
seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah amat lama
memandang dunia ini.
Seorang dara
remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang lebih lima belas
tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan sudah ada dua
tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa dia memiliki
watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam itu pun
menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan.
Semenjak
tadi dara remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur
sendiri. Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini
adalah seorang pemain catur yang ahli, maka meski pun dia sendiri sudah bisa
bermain catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi
kakek itu karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai
penonton pun dia mulai bosan.
Kembali
kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu kelihatan
berduka. Kerut-merut pada dahinya bertambah dan sepasang matanya ditujukan ke
atas papan catur seperti orang sedang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi
dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan semakin tidak sabar.
"Suhu,
kalau suhu tidak senang bermain catur sendiri, mengapa suhu memaksa diri?"
Teguran ini
membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah dara itu.
"Hemmm...?
Apa...?" katanya pikun.
"Teecu
tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa hari ini
bila suhu bermain catur, selalu terlihat berduka dan berulang kali menarik
napas panjang. Jika permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan kedukaan,
kenapa suhu tidak berhenti saja?"
Kakek itu
memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang, lalu
bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke depan.
Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu yang sudah
tua sekali dan puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan
tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke
tempat-tempat sunyi.
Di dalam
cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu yang amat lihai ini pernah
menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian dia menghilang dan tak ada
kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak gunung dan di goa-goa tepi laut.
Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek ini muncul dan
telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong. Dara remaja itu adalah
Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya ikut kakek ini dan menjadi
muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang menjadi gurunya ini adalah
guru dari ayahnya sendiri!
Mendengar
ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu lalu menarik napas panjang. Kemudian
terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, "Melihat
kelemahan diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih? Sudah puluhan tahun
lamanya aku berhasil melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi,
tidak menginginkan apa-apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak
dirongrong oleh pikiran dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!"
"Memang
sekarang bagaimana, suhu?" gadis itu mendesak sambil menatap wajah tua
yang menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.
"Kau
lihatlah sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang
lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang
kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang
lawan bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku,
bahkan dalam mimpi! Akan tetapi hingga sekarang aku belum juga mendapatkan
lawan yang seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali? Ini
tandanya bahwa aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan
lain hanya mimpi belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu
hanya merupakan mimpi, maka betapa menyedihkan itu!"
"Memang
suhu belum mati." kata pula si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata
yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.
"Kalau
saja sudah, alangkah baiknya!" kakek itu menghela napas panjang.
"Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, namun yang
terpenting adalah mati dari semua keinginan dan kehendak, mati aku-nya, mati
keinginannya mengejar kesenangan."
Dara remaja
yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti dilukis.
"Akan
tetapi, suhu. Apa bila sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya mengejar
kesenangan, bila sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu sama saja
dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu? Bukankah hidup
seakan tidak ada gunanya lagi?"
Kakek itu
tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu. "Justru
sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan
sajalah yang dapat menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang
sudah tak ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang betul-betul bahagia. Orang
yang tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi
kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya
didapatkan, ketidak puasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu
penuh ketidak puasan sehingga hidupnya selalu menjadi sengsara."
"Akan
tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi
kepuasan?" dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.
“Sama sekali
bukan, Mei Lan. Bukan menantang atau menolak kesenangan, melainkan TIDAK
MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah
segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena hidupnya adalah kesenangan
itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan
karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya
adalah kepuasan itu sendiri!"
"Akan
tetapi, kalau sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama
saja dengan mati?"
"Nah,
itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar hidup
apa bila semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar
kesenangan dan keenakan itu sudah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati,
yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua
gara-gara papan catur ini!" Dia berkata gemas dan memandang ke arah papan
caturnya. "Aku menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur,
bahkan di dalam hati aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum
berjumpa dengan seorang lawan catur yang setingkat! Aihhh…, sungguh aku seorang
tua yang tolol!" Bun Hwat Tosu yang biasanya bersikap halus itu, kini
menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan berteriak keras, "Haii,
segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan aku!"
Tiba-tiba
terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya. "Bagus! Aku
datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!"
Tentu saja
Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biar pun dia tergolong seorang anak
yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini dia merasa
betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di tengah hari
yang terik dan terang itu? Benarkah suara dewa dari angkasa yang menyambut
tantangan suhu-nya itu?
Dia bangkit
dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada
suhu-nya, dia melihat kakek itu tersenyum memandang ke depan. Mei Lan mengikuti
arah pandang mata gurunya dan sekarang dia melihat betapa rumpun ilalang jauh
di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan tampak bayangan orang berkelebat bagai
terbang melayang di atas rumpun ilalang itu! Dia memandang terbelalak penuh
kekaguman...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment