Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 37
DUA orang
kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berhasil, akan
tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya seperti
daun kering tertiup angin, terlempar lantas terguling-guling. Akan tetapi,
kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikit pun.
Sekarang
mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah
menciptakan ilmu yang amat mukjijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh
kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok
Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan
buta, maklum bahwa agaknya hanya pada bagian mata saja dari dua orang itu yang
tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka.
Akan tetapi,
tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi
Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang
lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh
bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi
dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua
lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima
totokan-totokan tongkat yang sangat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena
kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu.
Juga Kun
Liong dan Giok Keng telah terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang
mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi
sangat kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Pendekar ini
makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apa lagi sesudah dia
melihat bahwa di sana terdapat pula puterinya dan Lie Seng yang bagaimana pun
juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai yang gegap gempita, kemudian muncullah pasukan yang langsung
menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak-anak buah Lembah Naga. Ternyata
itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan
pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu
pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok
Gwan ayah dari Tio Sun!
Tentu saja
Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apa lagi
Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu
juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang
bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan
tangan, yaitu Liong Si Kwi!
Memang
sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan
rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai, dan dia langsung menemui komandan
pasukan itu, menceritakan mengenai keadaan Lembah Naga dan mengenai bahayanya
melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga
semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah
Naga pada waktu di lembah ini terjadi pertempuran hebat itu. Andai kata tidak
ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak prajurit yang menjadi korban
keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai.
Hek I
Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi
pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya
karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu
seratus lima puluh orang dan mereka adalah pasukan Kim-i-wi yang terdiri dari
prajurit-prajurit pengawal pilihan sehingga rata-rata memiliki kepandaian yang
tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera
terdesak hebat.
Kini, dengan
bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan kedua
orang pemuda itu langsung terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk
dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk
pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena
bagaimana pun juga, dia merasa sungkan kepada subo-nya, dan menjauhkan diri,
hanya menonton dengan hati tegang.
Munculnya
pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh dua belah fihak
menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng
Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan
Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko.
Bouw Thaisu
dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, ada pun Hek I Siankouw
berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri,
Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk
dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.
Perang kecil
antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan
fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para
tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan
suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang
dari angkasa.
"Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan
biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!"
Mendengar
suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan
terdengarlah suaranya yang mengguntur, "Semuanya mundur, biarkan ketua
Cin-ling-pai bicara dengan mereka!"
Suara
Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup
berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya,
terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini
melangkah maju dan berkata dengan suara lantang,
"Pek-hiat
Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?"
Dari fihak
Lembah Naga muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut
mereka sambil memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah
karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa
fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.
"Ketua
Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?" bentak Pek-hiat Mo-ko.
Dengan
sekilas pandang saja Cia Keng Hong sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya
lebih kuat, apa lagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga
terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak
ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka
dia lalu berkata,
"Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, saat mendengar bahwa kalian telah menahan
Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian
memang sengaja ingin menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan
tetapi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sebenarnya
maksud hati kalian? Bila hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian
maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang,
cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum
pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan
Yap In Hong. Kemudian tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu
kepandaian."
"Hemm,
orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharap-harapkan
kedatanganmu! Memang kami sengaja menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai
di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami
menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar
kami itu. Oleh karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu beserta
sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!"
"Mo-ko
dan Mo-li!" Cia Keng Hong membentak. "Caramu sangat curang! Apa bila
kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi
wakilnya. Kau bebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian
antara kita."
"Kongkong!
Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!" Tiba-tiba terdengar suara
Lie Seng berteriak.
Mendengar
ucapan ini, berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa
puteranya juga tertawan. Sekarang dia memandang tajam kepada mereka dan
bertanya, "Benarkah itu?"
"Benar,
dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!" Hek-hiat
Mo-li berkata dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.
"Bagus,
kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!" Cia Keng Hong
berkata sambil mengelak dan segera balas menyerang. Maka berlangsunglah
pertandingan yang sangat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dengan
kedua orang kakek dan nenek iblis itu.
Cia Keng
Hong adalah seorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biar pun
kini usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih
membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biar
pun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun
gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu
berlatih diri di puncak Cin-ling-pai.
Dengan
ilmunya yang sangat tinggi, yakni Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, dia menghadapi
tongkat kakek dan nenek itu, dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah,
bahkan sebaliknya dia telah mendesak kedua orang lawannya dengan
pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek Sin-kun.
Akan tetapi,
seperti juga dengan Kok Beng Lama, setiap kali pendekar sakti ini berhasil
'kemasukkan' pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko
mau pun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun
lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi!
Cia Keng
Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi,
maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang
mukjijat! Biasanya, ilmu kekebalan yang mukjijat seperti itu diperoleh dengan
cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan
dan biasanya hanya dapat dipecahkan apabila orang menguasai rahasianya. Setiap
ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada
rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah
melukai mereka!
Pada saat
itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari
samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat
dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong segera menggerakkan
kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya lantas secepat kilat dia menangkis dengan
lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat
Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.
"Plakkkk!"
Cia Keng
Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang
dikeluarkan karena limu ini memang amat mukjijat, yaitu Thi-khi I-beng! Seperti
telah kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang
menguasai Thi-khi I-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun
Liong, karena hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan
ilmu mukjijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak
diwarisi ilmu itu.
Tentu saja
dibandingkan dengan Thi-khi I-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng
Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut
bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari
lawan, yang menyedot tenaga sinkang-nya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini
cepat menghentikan pengerahan tenaga sinkang-nya dan sebagai gantinya, dia
mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah!
Cia Keng
Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang
tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi I-beng, bahkan dapat membuyarkan tenaga
Thi-khi I-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal
dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu
sekarang agaknya kakek dan nenek ini pun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat
membuyarkan tenaga Thi-khi I-beng pula!
Tidak ada
seorang pun yang berani maju membantu Cia Keng Hong karena dalam hal
pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi pihak
yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh
perhatian, maklum pula bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu
agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri
tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat
menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan
kalah!
"Ha-ha-ha!"
Kok Beng Lama tertawa. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan
hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, tetapi juga mengandalkan
kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang
lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu
sama sekali!" Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring
sekali, sehingga terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu
seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung.
Pek-hiat
Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati
mereka, karena itu dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab,
melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Namun tidaklah demikian
dengan Hek-hiat Mo-li.
Nenek ini
merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan telah dibuktikan
ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng
Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak mampu
menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan
perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu mampu berbuat apakah? Hal
ini membesarkan hatinya, maka pada saat mendengar ejekan dan penghinaan Kok
Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya.
"Pendeta
gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!" tantangnya.
"Ha-ha-ha!
Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu
karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha." Kok Beng Lama sudah
melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran.
Tentu saja
Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biar pun dia merasa kurang senang karena
masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia
sudah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu
oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek
yang kebal dan tidak dapat terluka ini.
Tepat pada
saat itu pula, terdengar suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu
mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga
dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itu pun terhenti. Di antara
debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang lelaki dan wanita. Mereka
ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang kemudian datang sambil
bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang
mata itu mencorong aneh.
"Omitohud...!
Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!" seru
Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandangan mata dua orang muda
itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te
Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu.
Seperti
telah kita ketahui, sesudah Cia Bun Houw dan Yap In Hong terbebas dari mala
petaka yang akan mencemarkan nama baik serta kehormatan mereka, lolos dari
racun pembangkit nafsu birahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu
menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang sudah
dimiliki In Hong.
Ketika
diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri
dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk saling berhadapan dalam
keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel,
Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga
sudah keluar dan bersiap-siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei
Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka
terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan
meninggalkan tempat itu.
Pada saat
itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya
mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang sudah mencapai tingkat yang amat
tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan
latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar
kamar tahanan.
Suara itu
terdengar agak jauh, tapi kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih
tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu
seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya
yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu.
"Eh,
lihat ini...!" kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu.
Kiranya itulah daun yang sudah ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya
di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu.
Mereka lalu
membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun
cukup jelas untuk dibaca.
"Kelemahan
Hek Pek berada di antara lutut ke bawah."
Hanya itulah
kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi semua itu telah cukup bagi
Bun Houw dan In Hong. "Entah siapa yang menulis ini dan entah benar
ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga,
Hong-moi!"
In Hong
memandang dan terkejutlah Bun Houw ketika dia melihat sinar mata gadis di
depannya itu. Juga In Hong terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan sinar
mata pemuda itu. Sinar mata mereka mencorong dan berkilat!
"Kenapa,
Houw-ko?"
"Matamu...
Hong-moi, matamu..."
"Kenapa?"
"Bukan
main indahnya..."
"Matamu
juga mencorong dengan sinar aneh, Houw-ko, seperti mata gurumu..."
"Benar,
seperti mata suhu. Bukan hanya guruku, akan tetapi gurumu juga."
"Mari
kita keluar."
"Kita
coba lagi menggunakan tenaga Thin-te Sin-ciang."
Mereka
berdua bangkit berdiri dan menghampiri pintu besi, lalu mengerahkan tenaga dan
menghantan ke arah daun pintu yang kokoh kuat itu. Itulah suara keras yang
terdengar oleh semua orang dan membuat semua orang menghentikan pertempuran.
Tenaga
mereka demikian dahsyatnya sehingga bukan hanya daun pintu besi saja yang
bobol, akan tetapi juga bangunan tempat tahanan itu roboh dan debu mengepul
tinggi dan tebal. Mereka berdua lalu keluar dengan wajah berseri karena mereka
merasa girang sekali bahwa usaha mereka berlatih diri dan menyatukan Thian-te
Sin-ciang tadi sudah berhasil baik sekali.
Bun Houw
yang pendengarannya menjadi sangat tajam, tadi sudah tahu bahwa yang bertanding
melawan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li adalah ayahnya dan gurunya, dan
melihat keadaan dua orang kakek dan nenek iblis itu, agaknya ayahnya beserta
gurunya belum berhasil memperoleh kemenangan, maka bersama In Hong dia segera
melangkah maju menghampiri dan berkatalah Bun Houw, suaranya nyaring sekali,
"Ayah!
Suhu! Mereka berdua mempunyai perhitungan yang harus dibereskan sekarang juga
dengan kami berdua, oleh karena itu harap ayah dan suhu sudi mundur dulu untuk
membereskan perhitungan itu."
Kakek dan
nenek itu terkejut bukan kepalang ketika melihat dua orang muda itu ternyata
dapat membobol tahanan. Mereka maklum bahwa sesudah dua orang itu dapat keluar,
maka tidak mungkin lagi mereka mengelakkan pertandingan mati-matian. Maka
mereka lantas berteriak memberi aba-aba kepada semua pembantu mereka, sedangkan
mereka sendiri langsung menerjang Bun Houw dan In Hong.
Bun Houw
diserang oleh Pek-hiat Mo-ko sedangkan In Hong diserang oleh Hek-hiat Mo-li.
Dua orang muda ini mengeluarkan teriakan meleking nyaring dan menyambut
serangan mereka dengan dahsyat.
"Desss...!"
"Desss...!"
Kakek dan
nenek itu terlempar ke belakang oleh hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat
kuat. Mereka terbanting dan bergulingan, namun mereka meloncat bangun lagi dan
menyerang kembali dengan lebih ganas, disambut oleh Bun Houw serta In Hong yang
maklum bahwa mereka itu mempunyai kekebalan mukjijat, bahkan yang mampu menahan
pukulan Thian-te Sin-ciang.
Akan tetapi
mereka berdua sudah tahu dimana letak kelemahan kakek dan nenek iblis itu.
Mulailah mereka menunjukan pukulan-pukulan balasan mereka ke bawah, ke arah
kaki di bawah lutut kakek dan nenek itu yang merasa terkejut sekali dan selalu
melindungi agar kedua kaki mereka tidak sampai terpukul.
Sementara
itu, semua pembantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li juga sudah bergerak, akan
tetapi kini Kok Beng Lama, Cia Keng Hong, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, Tio Hok
Gwan, Tio Sun, Souw Kwi Beng dan pasukan kota raja mengamuk menyambut mereka.
Terjadilah pertempuran hebat sekali, pertempuran mati-matian yang berat sebelah
karena pihak Lembah Naga kini jauh kalah kuat, baik para tokohnya mau pun anak
buahnya.
Bouw Thaisu
yang paling sakti di antara pembantu Lembah Naga, kini dihadapi oleh Kok Beng
Lama yang selalu tertawa-tawa mengejek tosu tua itu, 鈥淗a-ha, tosu bau, sungguh engkau menyalahi
pelajaran Agama To dengan membantu orang-orang busuk semacam kakek dan nenek
iblis itu! Ehh, tosu bau, apakah pelajaran-pelajaran dan ayat-ayat suci itu
hanya untuk pamer belaka?"
"Lama
sombong, tutup mulutmu! Pinto tidak membantu orang, melainkan ingin menuntut
kematian mendiang Thian Hwa Cinjin sahabat pinto."
"Tentu
sahabatmu itu pun bukan orang baik-baik!" kata Kok Beng lama.
"Benar,
locianpwe. Sahabatnya itu adalah bekas ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang
tewas di tangan saya!" Cia Giok Keng yang mendengar percakapan itu berseru
kepada guru adiknya itu, sedangkan dia sendiri menghadapi pengeroyokan beberapa
orang anak buah Lembah Naga.
"Ha-ha-ha-ha,
kiranya sahabatmu itu orang Pek-lian-kauw? Pantas saja!"
Kok Beng
Lama mendesak hebat, akan tetapi Bouw Thaisu adalah seorang yang tinggi ilmunya
pula maka dia dapat menghindar dengan gesit dan membalas dengan serangan yang
cukup dahsyat untuk merobohkan lawannya yang selalu tertawa mengejeknya itu.
Lengan bajunya menyambar-nyambar dengan ganas dan dari ujung kedua lengan baju
itu menyambar tenaga sinkang yang cukup kuat untuk menghancurkan batu karang
atau pun menumbangkan sebatang pohon sebesar tubuh manusia!
Akan tetapi
dengan enaknya Kok Beng Lama menangkis kedua ujung lengan baju yang menyambar-nyambar
itu dengan kedua tangan kosong saja, bahkan setiap tangkisannya membuat kedua
lengan baju Bouw Thaisu tergetar hebat...
Hek I
Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia
Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Walau pun dia telah memainkan pedang hitamnya
dengan sekuat tenaga, juga kadang kala dia mempersiapkan Hek-tok-ting (Paku
Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi
ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tak menggunakan
senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek
berpakaian hitam ini.
Pedang hitam
di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing saat menyambar-nyambar
ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan
mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun yang menyambar, paku
itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu
dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan
oleh senjata rahasianya sendiri. Sesudah tiga kali selalu berakibat
membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku
beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya.
Ang-bin
Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlampau tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun
Liong, ada pun isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok
Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot
sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat
membalas sedikit pun juga.
Sementara
itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng beserta semua
anggota pasukan. Bahkan tampak pula Lie Seng yang mengamuk bahu membahu dengan
Yap Mei Lan, menghadapi para anggota Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat
dan mati-matian sungguh pun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka
roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.
Di antara
para tokoh Lembah Naga, yang lebih dahulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung
lengan bajunya berhasil ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang
tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung
lengan bajunya terobek lantas sepasang telapak tangannya menghantam dada Kok
Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak
tangannya.
Kedua pasang
telapak tangan yang penuh dengan tenaga sinkang itu bertemu di udara. Hebat
bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur.
Bumi seolah-olah berguncang dibuatnya.
Tubuh Bouw
Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke
belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar
lantas dia terpelanting dan roboh miring di atas tanah dengan nyawa putus!
Kok Beng
Lama tertawa bergelak kemudian berkata, "Omitohud, kedua tanganku kembali
berlepotan darah...!"
Tidak lama
sesudah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang
hitam menembus dadanya sendiri! Pada saat dia menyerang dengan jurus nekat,
yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong,
pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan
tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan
didorong oleh loncatan tubuhnya.
Cia Keng
Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu
mengerahkan tenaga sakti pada kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping
sambil mengeluarkan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek
Sin-kun.
Tangkisan
ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga saat mengenai pedang
maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw
sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan
tewas seketika.
Cia Keng
Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tak sengaja membunuh nenek itu dan dia
menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia
masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.
Ang-bin
Ciu-kwi yang kasar itu pun roboh tewas akibat tamparan tangan kiri Kun Liong,
sedangkan isterinya pun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng
sesudah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang
dilepas oleh Coa-tok Sian-li.
Sedangkan
pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih terus bertahan, namun
mereka terdesak hebat dan tidak lama kemudian, orang terakhir dari mereka pun
roboh. Memang hebat bukan main pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada
gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan
musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorang pun di antara mereka
yang melarikan diri sungguh pun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka
sudah pasti kalah. Sekarang tinggal kakek serta nenek iblis itu saja yang
ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!
Bukan main
hebatnya pertandingan antara mereka ini dan walau pun In Hong dan Bun Houw
sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, akan tetapi
ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu.
Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali.
Sungguh pun
dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan
mereka dan telah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut
kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu
terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti
di mana letak kelemahan itu dan biar pun mereka telah beberapa kali berhasil
menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun kedua orang itu hanya
terlempar dan bergulingan, akan tetapi ternyata bukan di situlah letak
kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang
kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman
mereka telah roboh!
Cia Giok
Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama
dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapa pun juga
membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong mampu menandingi kakek
dan nenek itu, dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang
jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu
melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka
terus-menerus diserang.
Tanpa
sengaja Cia Keng Hong berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang
dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan
yang sedang bertanding. Mereka tadi pun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan
nenek iblis itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki
kekebalan yang mukjijat.
"Hemm,
di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?" Kok Beng Lama mengomel
seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.
"Di
mana kalau menurut dugaan locianpwe?" Cia Keng Hong bertanya sambil
menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan
mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mukjijat dan aneh.
"Dan
dugaan taihiap?" tanya pula Kok Beng Lama.
Kedua orang
sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas
tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya
berbunyi sama, yaitu, 'Telapak kaki'. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.
"Locianpwe
harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun
Houw," kata Cia Keng Hong.
Kok Beng
Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang
hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jarak Jauh) dengan
kekuatan khikang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain
yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya!
Bun Houw
mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok
Beng Lama yang parau, "Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak pada
telapak kaki mereka."
Tentu saja
kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka
menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan kini mereka bahkan mulai meragukan
kebenaran pemberi tahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan
betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi dua kaki mereka, agaknya
pemberi tahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang
berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka?
Mengapa
kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin
sekali kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat
akan ilmu kekebalan mukjijat golongan hitam atau kaum sesat, yang berbeda
dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sinkang
yang kuat.
Golongan
sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam,
ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka lalu teringat
bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki
kakek dan nenek itu hanya mungkin bila tubuh mereka itu sudah seperti mati
sehingga pukulan-pukulan sakti tak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh
yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun
yang luar biasa.
Biasanya,
bagian yang dilumuri racun itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena
angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka
bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat.
Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya,
misalnya andai kata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau
duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri tentulah telapak kakinya.
Kini, melihat
betapa punggung, pantat bahkan seluruh bagian tubuh kakek dan nenek itu
benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki
dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek
dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau
berapa bulan!
Jadi, kalau
seluruh anggota tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu
yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, kedua mata mereka pun
merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka,
apa lagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari
arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.
Biar pun Bun
Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengar bisikan dua orang sakti itu,
namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana
dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau
terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang?
Kelihatan pun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.
Dengan
ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja
dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu
yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya
bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat
tinggi.
Kalau saja
Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan ilmu kekebalannya yang mukjijat itu, tentu
sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang
amat hebat itu melindunginya sehingga sungguh pun dia sudah belasan kali
terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan
yang bahkan lebih lihai sekali pun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka
dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan
menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun
Houw dengan mudahnya. Baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal tenaga
sinkang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya dari pada lawannya. Akan tetapi
kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.
In Hong juga
bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat
hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Meski
pun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, akan tetapi
ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk
bisa mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai.
Dia dengan
menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara
bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang
lebih kuat dari pada si nenek iblis. Akan tetapi, karena dia pun tidak berdaya
menghadapi kekebalan nenek itu, keadaannya menjadi berimbang, bahkan
kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa
mempedulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang
In Hong menjadi repot juga dan harus melindungi diri dengan bergerak mundur.
Kini mereka
sudah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka
tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong
terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya
bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal.
Untuk
melindungi diri sendiri, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganya pun cukup
besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan
dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak
begitu sukar, sungguh pun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.
Sementara
itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau paling tidak
supaya dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkan
lawannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu
saja tidak mungkin, maka dia harus mempergunakan akal dan dia pura-pura tidak
menyangka bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Kini dia harus
dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya.
Tadi dia
menganggap bahwa tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia
membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak
membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang
bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan
kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki.
Akan tetapi
setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan
kelihaian serta ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki
lebih dahulu dia harus menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur
dalam jarak yang lebih berdekatan.
Pada saat
tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw
sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah tiba dekat sekali
dengan lehernya. Tiba-tiba saja dia miringkan tubuhnya, membiarkan tongkat
lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya, lalu mendadak dia
menyerang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat
bukan main serangannya itu.
Tentu saja
selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak
terlindung oleh kekebalan. Kakek itu terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya
bagian atas, sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi
betapa terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak
dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan
kanan pemuda yang lihai bukan main itu.
"Haiiiiitttt...!"
Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah
kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap
memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat.
"Hemmm!"
Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kiri digerakkan
menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan
tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.
"Plakk!
Krekkk...!"
Untuk ke
sekian kalinya tubuh Pek-hiat Mo-ko terlempar ke belakang dan tongkatnya patah
menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan
hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya,
maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah.
Muka
Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu
menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan kedua mata
terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu
dapat patah.
Padahal ada
kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap
tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia
membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk
maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya.
Bun Houw
juga telah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan
kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan
menangkap kedua pergelangan tangan lawan.
"Ihhhhh...!"
Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah.
Kedua
pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang
sangat kuat dan walau pun dia sudah mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk
menarik kedua tangannya, tetap saja dia tak mampu meloloskan diri. Dia menjadi
marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan
dengan cara demikian pemuda itu pun tidak akan mampu menang, maka dia tertawa
mengejek.
"Ha-ha-ha,
engkau takut melanjutkan pertempuran?"
"Pek-hiat
Mo-ko, hendak kulihat bagaimana engkau dapat melepaskan peganganku!" Bun
Houw juga mengejek lantas memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek
itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas
akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat
tadi!
Pek-hiat
Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua
pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding
mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itu pun tidak mampu
mendesak gadis bertangan kosong itu yang sekarang memiliki tenaga Thian-te
Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat
pusakanya yang dianggapnya sebagai pertanda akhir hidupnya, maka kakek yang
marah ini menjadi nekat.
"Lepaskan
tanganku!" bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw.
Inilah yang
dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya agar melakukan
tendangan karena hanya pada waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya
itu 'Terbuka' dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw
memang cerdik.
Dia tidak
terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak
berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti
dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan
rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu
terletak di telapak kaki, dan ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar,
dia cepat-cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, kemudian dengan mengurangi
kecepatan gerakan elakannya dia sengaja membiarkan pahanya tertendang.
"Dessss...!"
Bun Houw
menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia
berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia
sudah menggerakkan kaki kirinya menendang kembali, mengarah paha yang baru saja
tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus
selagi bagian itu terasa nyeri.
Namun,
pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah
mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai
ke ujung jari kanan. Melihat kaki kiri mulai menyambar, secara mendadak dia
melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu
menyambar ke bawah, cepat mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan
pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang
bagaimana kerasnya pun tentu akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung
tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu.
Dan
ternyata, tidak seperti anggota badan pada bagian lainnya yang sudah
membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, pada waktu
telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi
remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya!
Pek-hiat
Mo-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik
dan pada saat itu pula tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada
pergelangan tangan lawan langsung menyambar dengan kecepatan seperti kilat ke
arah dadanya.
"Krekkkk...!"
Tubuh
Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya
terguncang hebat. Kekebalannya langsung lenyap setelah telapak kakinya hancur.
Tetapi, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab
kematian bagi orang lain yang bagaimana kuat pun, kakek bermuka putih itu masih
bisa meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun
Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan
tubuh dan kakinya menyambar.
"Desssss...!"
Tubuh yang
seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi
karena memang Pek-hiat Mo-ko sudah menghembuskan napas terakhir pada waktu dia
mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.
"Hong-moi,
mundurlah, biarkan aku menghadapinya," kata Bun Houw sambil mendekati In
Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.
"Tidak,
aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Engkau mundurlah dan jangan
khawatir!" In Hong menjawab.
Gadis ini
merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia
masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw mempunyai tingkat
kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apa lagi
setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa
sanggup mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan
dari Kok Beng Lama.
Akan tetapi,
biar pun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan
sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia
robohkan. Dia tak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat
Mo-ko, maka dia pun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya.
Akan tetapi, walau pun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus
menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apa lagi karena pertempuran itu sedang
ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri
yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw
Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua prajurit
pasukan kota raja juga menonton!
Dengan alis
berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia berlari meninggalkan tempat itu
menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa
sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas
oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik kemudian
melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru,
"Hong-moi,
pakailah pedangmu ini!"
Sekali ini
In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga
merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang
karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Begitu Hong-cu-kiam berada
di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus mampu merobohkan
lawannya. Harus!
"Cring-cring-tranggg...!"
Bunga api
berpijar-pijar pada saat pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat di tangan
Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong
menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mukjijat Thian-te
Sin-ciang.
Aku harus
menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong
berpikir.
"Telapak
kakinya... telapak kakinya...!" Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun
Houw.
In Hong
mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah
dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang
mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak
kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.
Akan tetapi,
In Hong adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga
cerdik sekali. Setelah dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba saja dia merubah
caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu
bergulingan hingga sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!
"Ihhhh...!"
Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.
"Tranggg...!"
Bunga api
berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke
arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk
ke arah mata kanan lawan.
"Ihhhh...!"
Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik.
Hampir saja
matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta,
maka pada waktu lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat
memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar
ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk
melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan
baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat
tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li.
Tepat pada
saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan
tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya
sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi
girang sehingga dia kurang waspada. Baru sesudah sinar emas itu membabat tanah
dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.
"Dessss!"
"Crottttt...!"
Tubuh In
Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang
berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki
kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong
juga terkena pukulan tongkat.
"Hong-moi...!"
Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong
dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk
mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah
sambil menjerit-jerit kesakitan.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan
terkejutlah mereka karena tempat itu sudah dikurung oleh pasukan yang
sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.
"Keparat!"
Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. "Mari kita mengamuk
kepada mereka!"
"Nanti
dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini
lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, dari pada
menyerang," kata Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tidak jadi bergerak.
Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba supaya semua
pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.
"Tahan
semua senjata!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan
besar itu muncullah seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja
Sabutai sendiri!
Semua orang
terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau
peduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di
tangan.
"In
Hong jangan bergerak...!" Yap Kun Liong berseru kepada adiknya.
Mendengar
kesungguhan di dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu lantas menoleh kepada
kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau
saja Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biar pun mereka memiliki
kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam pengeroyokan
ribuan orang prajurit musuh.
Dengan cepat
Bun Houw meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra.
"Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari
kuobati..."
Dengan sikap
mesra Bun Houw segera memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian
melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia
merasa lega, karena tulang pundak dara itu pun tidak patah. Dengan penyaluran
sinkang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri pada pundak itu. Tentu saja semua
orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah
pucat sekali.
Sementara
itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan
prajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang
dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah
maju menyambut dan menjura kepada raja itu.
"Apa
maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?"
tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.
Raja Sabutai
tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat
dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhu-nya, Pek-hiat Mo-ko, juga
telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang.
"Cia-taihiap,
kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo sudah tewas, bahkan suhu telah
tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami
bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali.
Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok.
Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, kini kami datang untuk
mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada
pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap bersama semua
teman taihiap suka membebaskan subo."
Cia Keng
Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan
teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan
mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang
lawan! Maka dia menjura dan menjawab,
"Kami
semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, namun juga
untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda.
Sesudah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kami pun tidak akan terlampau
mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang
pusaka kepada yang berhak memiliki."
"Ha-ha-ha,
Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah,
terimalah Siang-bhok-kiam ini," kata Sabutai sambil menyerahkan Pedang
Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.
"Subo,
marilah pergi bersama kami!" Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu,
lalu dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula
itu.
Semua orang
memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Ternyata orang yang gagah
perkasa ini bukan hanya merupakan seorang yang sanggup menundukkan orang-orang
liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga mempunyai watak gagah
dan berbakti terhadap gurunya. Oleh karena itu semua orang diam saja ketika
Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya
serta para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu sesudah Raja Sabutai menjura
kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun,
"Jangan
lupa untuk menyampaikan apa yang telah kau lihat di tempat kami kepada kaisar,
Tio-sicu!"
Tio Sun
maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia pun mengangguk. Maka
berangkatlah Raja Sabutai pergi meninggalkan Lembah Naga, diiringi oleh ribuan
orang pasukannya.
Sesudah
pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi
masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling berlari menghampiri dan ibu
dengan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata. Demikian pula
Mei Lan berlutut di hadapan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata
berlinang juga merangkul puterinya.
Pertemuan
yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa
banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka
sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan,
karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong
mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan
dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan
ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.
"Ayah...
maafkan aku..." bisik Mei Lan lirih. Kun Liong menggunakan jari-jari
tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah
hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat
memahami semua persoalannya.
Pada saat
itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah berlari menghampiri Bun Houw
dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka
di dalam pundak In Hong.
"Taihiap...
saya harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya
menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi..." Wanita yang
bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya
yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan
mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan sekaligus menyedihkan.
Wajah Bun
Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah
terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya.
Dia tahu bahwa Si Kwi mencinta dirinya, akan tetapi dia marah sekali mengingat
betapa wanita ini menggunakan kesempatan saat dia tercengkeram oleh pengaruh
hawa beracun yang membangkitkan birahinya, sudah melakukan hubungan kelamin
dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal
itu.
Kalau saja
di sana tidak terdapat banyak orang, di antaranya malah ada ayahnya sendiri,
tentu wanita itu telah ditendangnya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan
berkata dengan suara dingin. "Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau
dari sini!"
"Taihiap...!"
Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang
dipuja dan dicintanya itu.
"Pergilah!"
Si Kwi
bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua
orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia
Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang
melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan
kejam, sungguh pun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah
yang tangan kirinya buntung itu.
"Bun
Houw...!" Cia Keng Hong memanggil.
Pemuda itu
terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan
berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong
menatap wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian
mengangguk. Keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan
diri berlutut di depan pendekar sakti itu.
Melihat
sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia
merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum
getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan
sinar mata mengandung iba.
"Houw-ji,
bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?" tanya
ayah itu yang merasa tak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan
demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh
semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara
puteranya dan In Hong, sedikit pun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan
saling mencinta itu.
"Ayah,
di kota raja aku mendengar bahwa Hong-moi diculik orang, maka aku melupakan
segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa
aku membiarkan diriku ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para
sahabat yang gagah datang menolong..."
"Dan
surat untuk ke Yen-tai itu...?"
"Maaf,
ayah. Belum sempat kusampaikan... sebab... sesungguhnya aku... aku tidak dapat
melaksanakan tali perjodohan itu, ayah..."
"Apa...?!"
Ayahnya membentak.
"Maaf,
ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji
untuk hidup berdua dan mati bersama..."
Jantung Cia
Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah
marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu
keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan
puterinya Giok Keng dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena ternyata
puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liong pun mencinta gadis lain.
Kemudian,
dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong untuk menjadi
mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Tetapi hal itu pun
mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara
kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan
Bun Houw itu.
Hal ini
sangat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit
terobati pada saat dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa
dan sekarang tiba-tiba saja dia melihat puteranya dengan In Hong berlutut di
depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!
CIA KENG
HONG mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat
dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan
urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong, "Yap
In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?"
Wajah In
Hong seketika berubah merah. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini!
Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan
tetapi, sejak kecil In Hong hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan
dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu,
kemudian dengan lantang dia menjawab, "Benar, supek, saya mencinta Houw-ko
seperti juga dia mencinta saya."
"Hemm...
benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau
pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kau katakan kepada kami orang tua
dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah
diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?"
"Benar,
supek, dan saya tidak lupa akan hal itu," jawab In Hong dengan suara
lantang dan tenang.
"Dan
engkau sekarang...?"
"Supek,
sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini.
Pada waktu itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah
saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Lagi
pula, karena penuturan Yalima tentang dia dengan Houw-koko, mana mungkin saya
menerima ikatan jodoh dari seseorang yang sudah memiliki pacar? Sekarang lain
lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak
menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling
mencinta."
Ketika
mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, malah
tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan
jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketika dia
mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.
"Ayah,
harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi
merestui cinta kasih antara kami..."
Namun Cia
Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan
kedukaan, dua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah
menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku dapat
memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi
seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan
dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami
Souw Kwi Eng di kota Yen-tai."
"Tidak,
ayah! Tidak, aku tidak mau!" tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras,
mukanya berubah merah.
"Hemmm,
kehormatan lebih berharga dari pada nyawa, anakku."
"Maksud
ayah...?"
"Engkau
boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua
pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan
yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!"
"Ayah,
aku memilih mati! Lebih baik aku mati dari pada harus berpisah dari
Hong-moi!" jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.
"Hemmm...!"
Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.
"Dan
sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!" In
Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya
untuk melindunginya!
"Hemmm,
kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?" Sambil berkata
demikian, tangan kanan Cia Keng Hong sudah memegang gagang pedang
Siang-bhok-kiam kemudian menghunusnya dari sarung pedang!
Bun Houw dan
In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah. Mereka siap untuk
menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama jika tidak boleh hidup
sebagai suami isteri.
"Ho-ho,
nanti dulu, Cia Keng Hong!" Terdengar suara nyaring dan Kok Beng Lama
sudah melompat maju ke hadapan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan
senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan cahaya mencorong. "Enak
saja engkau hendak membunuh muridku! Jangan engkau lupa, Bun Houw dan In Hong
adalah murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan
murid-muridnya dibunuh orang begitu saja, sungguh pun orang itu adalah ayahnya!
Selama hidupku, belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega
untuk membunuh puteranya. Bahkan seekor harimau pun tidak akan membunuh
anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang manusia yang
lebih buas dari pada harimau?"
Cia Keng
Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya pernah
menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia
menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik
napas panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata
dengan suara tenang tidak dikuasai perasaan.
"Kok
Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh tahun
yang kalau tidak betul-betul dirasakan seperti hanya beberapa hari saja
lamanya. Apakah artinya hidup sependek itu apa bila tidak diisi dengan
kehormatan? Apakah artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan
yang dicita-citakan oleh semua manusia? Manusia haruslah mempunyai cita-cita,
menjunjung tinggi cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan
cita-cita seorang pendekar hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan,
menjaga nama agar bersih sampai tujuh turunan!"
"Ha-ha-ha,
betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia membuka mataku
dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-ling-pai juga
bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti pandanganku pada saat
itu! Ha-ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu mengenai cita-cita itu justru merupakan
kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan palsu, oleh
cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan kemurnian
hidup."
Cia Keng
Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah 'pegangan' semua
orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan? "Hemmm,
locianpwe, apa maksud locianpwe?"
"Bun
Hwat Tosu," Kok Beng Lama memandang ke angkasa, "semoga saja
kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang
lain seperti telah membuka kesadaranku." Kemudian dia melangkah maju
mendekati Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, "Cia-taihiap,
apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanyalah merupakan bayangan yang
tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah dari pada kenyataan yang
ada, merupakan bayangan khayal yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin
mencapainya? Bukankah cita-cita itu merupakan sesuatu yang telah digambarkan,
merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapai dengan
cara bagaimana pun." "Agaknya benarlah demikian, locianpwe. Cita-cita
adalah sesuatu yang sangat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa
cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng."
"Benarkah
demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justru karena mengejar
cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, dan saling hantam demi
mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang malah
menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita
menyeleweng dari kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah
digambarkan lebih dulu, dan jika kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya,
bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita
bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka
kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk
memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!"
"Tidak
begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar, yang
tidak baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia agar mendapat kemajuan.
Tanpa cita-cita kita akan mandeg!" bantah Keng Hong.
"Ha-ha-ha,
persis seperti pandanganku tempo hari!" Kakek raksasa itu tertawa,
kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. "Andai kata orang bodoh itu
telah mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang
bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa
diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Begitu pula andaikata
orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidak baikannya, maka
pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan lagi orang tidak baik dan
dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam
keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, maka pengejarannya
itu akan menimbulkan banyak ketidak baikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat
baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk
dapat disebut orang baik sehingga di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh
orang tidak baik terkandung ketidak baikan yang paling jahat! Kita sudah
terbiasa menganggap bahwa cita-cita akan mendatangkan kemajuan, anggapan kuno
yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan
kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita
bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi maka dalam mengejar cita-cita
itu, sudah hampir bisa dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan,
terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu
loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan
tinggi, apakah itu kemajuan namanya?"
Semua orang
yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru satu kali ini
mereka mendengar perdebatan yang aneh itu...
Pendekar
Sakti Cia Keng Hong memandang dengan muka pucat, lalu berkata, "Eh...
nanti dulu, locianpwe... saya menjadi agak bingung. Jadi menurut locianpwe,
kita tidak harus bercita-cita, harus puas dengan keadaan yang sekarang ini
saja? Kita tidak boleh mencari kemajuan? Berarti menjadi orang biasa saja tidak
ada artinya?"
"Ha-ha-ha-ha,
lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu persis dan sama?
Justru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu saat aku membantah
tosu itu!" Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali
tenang.
"Cia-taihiap,
jangan mencari contoh dari anggapan atau pandangan orang lain! Marilah kita selidiki
bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan siapa pun
juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah,
atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus
ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, dan kalau tidak puas ya
tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu akan
menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas
dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai mati pun kita selalu akan
tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidak puasan yang
timbul akibat mengejar keadaan yang lain itu tak akan pernah berubah dan akan
menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari
kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dahulu, apa sih kemajuan yang kita
cari-cari itu? Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa
saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Mengapa semua orang ingin menjadi orang
yang LUAR BIASA? Ha-ha-ha, justru inilah yang menjadi sebab dan sumber
timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai
pada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain dari pada yang lain,
paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semuanya itu kosong
belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita
semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita
baru dipandang bilamana kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan
kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk
kita menjadi manusia-manusia kejam yang hanya mementingkan kesenangan diri
pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang
diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri
pribadi. Kesenangan, kedudukan, cita-cita, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya
tidaklah buruk, tapi PENGEJARANNYA itulah yang sangat jahat! Kekayaan,
misalnya, itu tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah
yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Sebab pengejaran ini yang
membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk
menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi
buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian
yang kita lihat di sekitar kita setiap hari?"
Cia Keng
Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya terpejam, tapi
mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-cita dan
kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itu pun sebenarnya memang
mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang
gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani
mengorbankan anak demi kehormatan!
Terbukalah
matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri agar dipuji, dia hampir saja
membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia tidak mempedulikan lagi
keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini dan dia kembali membuka
matanya yang memandang agak sayu pada Kok Beng Lama yang tersenyum dan matanya
mencorong itu.
"Locianpwe,
saya masih agak bingung. Tadinya saya menganggap bahwa apa yang saya lakukan
ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik Bun
Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu tentu
timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan
benar?"
"Cia-taihiap,"
kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. "Coba dengarkan kata-kata
taihiap tadi baik-baik. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik! Nah,
jawabannya sudah ada di situ, bukan? Taihiaplah yang INGIN dia menjadi orang
gagah dan baik, dan semua orang tua selalu bilang cinta kepada anak-anaknya,
bahwa mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti
yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan
diri sendiri? Ingin senang lewat anaknya! Taihiap akan senang kalau anak
taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan. Bukankah
begitu? Maka, kalau si anak tidak mau menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan
hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama
sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si
anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi
benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap
melihatnya? Begitu jelas!"
"Ahh,
locianpwe..." Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong
dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama!
Sejenak
kakek raksasa ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi
dan menggetarkan udara, akan tetapi dia segera memeluk Keng Hong dan mengangkat
bangun pendekar sakti itu yang kedua matanya menjadi basah.
"Cia-taihiap,
yang terpenting adalah kesadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua
kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka
mata, semakin nampak jelaslah seluruh kenyataan hidup ini, taihiap. Pengekoran
terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata
saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan." Kakek itu menarik
napas panjang. "Dan sebetulnya, mata saya pun baru beberapa hari saja
terbuka pada waktu saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu..."
"Mendiang...?"
Tiba-tiba Mei Lan berseru keras dan meloncat ke dekat Kok Beng Lama, memegang
tangan kakek raksasa itu. "Apakah yang kau maksudkan, locianpwe? Di mana
suhu?"
Kok Beng
Lama menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari dalam
saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. "Kau menanyakan
suhu-mu? Nah, ini dia. Maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar
sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia."
"Aihhh...
suhu...!" Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu.
Semua orang
memandang dan mendengarkan dengan terharu. Kun Liong juga langsung menjatuhkan
diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru puterinya!
Dan dia sendiri pun adalah murid Bun Hwat Tosu yang kini dikabarkan mati oleh
Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh puterinya.
"Heh,
diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena akulah
yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu yang bermain catur dan bertaruh dengan aku
telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, dan dia pun telah
menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie Seng. Sudah,
diamlah, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan mendengar, dia
tentu akan marah jika kematiannya ditangisi. Hayo kau katakan, kenapa engkau
menangis mendengar gurumu mati?" tanya kakek yang wataknya memang aneh itu
kepada Mei Lan.
Mei Lan yang
masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata merah dan air mata
bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang masih berlutut di dekat
puterinya menghela napas dan berkata,
"Gak-hu
ayah mertua bolehkah saya mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan
itu?"
"Anakmu?
Dia ini anakmu? Hemmm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang
anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?"
Mei Lan yang
sedang menangisi kematian suhu-nya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut
dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata,
dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu.
Teringatlah
dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di
Tibet yang amat sakti, dan bahwa kongkongnya itu memang mengasingkan diri di
Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka.
Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi
gurunya!
Kedukaan
karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek
raksasa ini kongkong-nya, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat
yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tak dapat
berkata-kata hanya menangis saja.
"Hayo
katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?" kembali terdengar
suara Kok Beng Lama mengguntur.
Kun Liong
menyusut air matanya. "Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru
saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya sudah menjadi murid
beliau. Kenapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau, menangis saat mendengar
akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali
jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing
orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami
menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang
bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang
yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk
membalasnya."
"Ho-ho-ho,
jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?"
"Sebenarnyalah,
gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana
keadaannya sekarang? Memang kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh
seorang yang kami junjung tinggi dan hormati."
"Ha-ha,
bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang
mati sebenarnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama
sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati,
mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang
dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha-ha! Eh, Mei
Lan, setelah suhu-mu menjadi abu, mau kau apakan sekarang?"
Mei Lan
kelihatan terkejut dan menoleh kepada ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini
tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu
kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak,
"Kongkong...
saya tidak sangka bahwa kongkonglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini
kepada kebijaksanaan kongkong mau diapakan juga, terserah..."
"Ha-ha-ha
engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanyalah
abu! Bukan gurumu lagi! Andai kata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya
pula, tak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu
sendiri, untuk mencari kesenangan bagi dirimu sendiri, karena di dalam
sembahyangmu engkau tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal
memelihara abu nenek moyang atau guru dimaksudkan agar si pemelihara abu itu
senantiasa ingat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi
manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Tetapi
kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat
pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung
dan sebagainya. Kasihanlah bila sudah menjadi abu pun masih hendak diperalat
demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan
tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?"
"Terserah
kepada kongkong," jawab Mei Lan.
"Kau
simpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah,
Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama,
Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan
terhadap dia dan In Hong," Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng
Hong.
Semenjak
tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, "Locianpwe telah
membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya
adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun
Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk
berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri
pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng serta
orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana bisa diputuskan
begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng.
Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk
mempertimbangkan."
Kok Beng
Lama mengerutkan alisnya, lalu beberapa kali dia menggelengkan kepala dan
menghela napas. "Hemmm... benar juga...! Betapa hidup kita ini telah
terikat oleh belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita."
Tiba-tiba
Souw Kwi Beng yang semenjak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya,
yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam sambil menundukkan kepala
terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat
menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat.
"Harap
locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini
sebab menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai
pandangan yang sangat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya.
Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw
taihiap sama sekali tidak ada hubungan cinta kasih dengan saudara saya, Kwi
Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah
didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang akan
menyadarkan adik saya Kwi Eng karena dia pun pasti menyadari bahwa cinta
sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya
ada banyak kesalah sangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... ehhh, adik saya,
menyangka bahwa orang yang dicintanya itu pun membalas cintanya. Saya yakin
bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia bisa menyadari
kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik
dari pada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak."
Cia Keng
Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan.
"Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu semakin
menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahhh, bagaimana aku dapat membiarkan
keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?"
"Ayah,
harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap
bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw." Tiba-tiba Giok Keng yang
sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayahnya. "Tentu
ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tak mau mempedulikan
perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran diri
sendiri, kebenaran yang kaku, kuno dan berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan
oleh nenek moyang, sehingga sikap itu akhirnya mendatangkan banyak sekali
malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya
demikian, apakah ayah tak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya
itu hanya dapat dirasakan apa bila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah
untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?"
"Aihhh,
betapa tepatnya apa yang kau katakan semua itu, sumoi!" terdengar Kun
Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. "Betapa kita semua,
selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi,
hendak memperalat seluruh manusia beserta semua isi alam demi memenuhi
keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan
kesengsaraan hidup..."
Cia Keng
Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang
membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam
dia telah memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan
terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw
memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun
Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu.
Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya
kadang-kadang.
"Aku
tidak akan melarang, akan tetapi bagaimana pun juga, aku tidak dapat pula
memberi persetujuan...," katanya sambil menggeleng kepala dan menarik
napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih
tua!
Dengan
sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi
hormat kepada ayahnya. "Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku
akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup
berdua..." Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga
mencucurkan air mata hendak pergi dari situ.
"Houw-te...!"
Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. "Adikku, ke mana engkau
hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?" Kakak yang
merasa terharu ini menangis.
Bun Houw
menepuk-nepuk bahu kakaknya. "Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah ke
mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu
kembali."
"Hong-moi,
mengapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?" Kun
Liong juga berkata kepada adiknya. "Tinggallah di sana sambil menanti
sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian."
Akan tetapi
In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun
Houw, lalu menjawab, "Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan
jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana, ke neraka
sekali pun aku akan ikut dengan dia."
"Ahh...
kau benar... kau benar...," Kun Liong hanya dapat berkata lemah.
"Nah,
selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami," kata Bun Houw
sambil melambaikan tangan. "Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku
kepada seluruh keluargamu."
Kwi Beng
hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi
dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di
sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua
titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.
Sementara
itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa dari Tibet ini lalu
menceritakan mengenai pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua
telah bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk
menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan kalau dikalahkan dalam satu
pertandingan. Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali
dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu
berkata lemah,
"Aku
puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau..." Dan kakek tua renta itu
tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu
sudah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!
"Wah,
sungguh licik! Engkau masih hutang tiga macam ilmu untuk muridku!" Kok
Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji
catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik lantas roboh
dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan
main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga
macam ilmu.
"Sahabatku
yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau adalah orang yang memegang janjimu
dengan baik," kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia
akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur.
Di dalam
percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan alangkah
baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan
percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi maka dibakarlah
jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah
Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.
"Nah,
dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku
berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira,
ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!" Kok Beng Lama berkata pada
akhir penuturannya.
Yap Kun
Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang
selain mempunyai kesaktian hebat juga sangat bijaksana. Biar pun Mei Lan bukan
anak kandung dari Hong Ing, tetapi oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai
anak sendiri, karena itu boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama.
Tentu saja dia rela untuk menyerahkan puterinya agar digembleng oleh kakek itu.
"Mei
Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhu-mu yang juga adalah
kongkong-mu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu."
Mendengar
ucapan ayahnya, Mei Lan merasa terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air
matanya bercucuran ketika dia bertanya, "Ibu... ibu... kenapa, ayah?"
Kun Liong
menarik napas panjang, dan hanya berkata, "Kelak engkau dapat mendengar
tentang kematian ibumu dari kongkong-mu."
"Tapi...
tapi..." Mei Lan sesenggukan.
Pada saat
itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia segera melepaskan
puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan
alisnya dan wajahnya kelihatan tak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja
merangkulnya dan berkata halus,
"Mei
Lan, aku pernah bersalah pada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa
menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku yang dulu itu.
Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok,
akan tetapi iblis itu sudah tewas pula di tangan ayahmu."
"Ahhh,
ibu...!" Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.
"Mei
Lan, diam kau!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan
suaranya yang menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga
terkejut, segera mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.
"Sudah
kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Pada saat aku
mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali
tidak ada manfaatnya, bahkan mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah
mati, dan pembunuhnya sudah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu
ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!"
Mei Lan
menoleh kepada ayahnya ada pun Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak
ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan
tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan
kerinduan hati mereka.
Giok Keng
dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan
oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama, "Gak-hu, tentu
saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi
membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya
mereka, baik saya mau pun Cia-sumoi hidup sebatang kara. Oleh karena itu, kami
harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan
mengembalikan mereka kepada kami."
Kok Beng
Lama mengangguk. "Baik, lewat tiga tahun dari sekarang aku akan mengantar
mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing." Sesudah berkata demikian,
Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong, kemudian menggandeng Mei Lan dan
Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat
sekali.
Cia Keng
Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para prajurit yang sejak tadi
sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi
roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Dia memandang
kepada puterinya dan berkata,
"Giok
Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san."
Giok Keng
menggelengkan kepalanya. "Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Kelak
sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana."
"Kalau
begitu, aku akan kembali lebih dulu." Kemudian pendekar ini mengangguk
kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka
Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.
Tio Sun juga
pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat
menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia
Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum
bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada
diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini dia pun dapat mengerti akan
keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai.
"Engkau
harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan
kepada Kwi Eng," demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk
agar Tio Sun suka menemani dia pulang.
Padahal dia
hendak mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada
lagi halangannya sesudah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw
telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah
melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di
hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!
Kini
tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang
tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih,
"Selamat
berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini."
"Kurasa
sebaiknya begitu, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat
bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku,
hal itu akan banyak menolong kita untuk melawan kesunyian. Aku akan selalu
ingat kepadamu, sumoi."
"Dan
aku selamanya tak akan melupakan engkau, suheng."
Mereka
kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan
perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas
betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini
tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari
pengotoran nafsu birahi.
Mereka
saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dengan wanita, sebagai
sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki
sungguh pun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban
derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke
Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng
kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembalinya
puteranya.
Pasukan
Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah sudah selesai pula dengan pekerjaan
mereka, lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal
sunyi. Tidak ada seorang pun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat
itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan
orang manusia, sungguh pun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran
darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang
terinjak-injak.
Akan tetapi,
malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah itu,
berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi,
murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang
cantik namun bernasib malang.
Cintanya
terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia sudah menyerahkan
kehormatannya, menyerahkan dirinya. Di dalam lubuk hatinya dia merasa bahwa
semua perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat!
Kini gurunya
sudah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan
semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia
tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal
selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun
Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.
***************
"Ke
mana kita sekarang, Hong-moi?"
"Terserah
kepadamu, koko."
"Aku
tidak mempunyai tujuan."
"Kalau
begitu kita membuat tujuan bersama."
"Ke
mana?"
"Ke
mana pun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko."
"Aku
tidak dapat kembali ke Cin-ling-san."
"Kalau
begitu jangan ke Cin-ling-san."
"Habis
ke mana?"
"Sesukamulah,
biar ke neraka sekali pun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh
berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu."
Mereka
berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw tiba-tiba berhenti,
memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling memandang
wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.
"Hong-moi,
walau pun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah,
akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kau tujukan kepadaku.
Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"
Bibir itu
tersenyum manis sedangkan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali.
Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu.
"Ihhh,
pandang matamu begitu... mengerikan, koko!"
Bun Houw
tertawa. "Katakanlah, moi-moi, katakanlah."
"Aku
cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta kepadamu sejak pertama kali bertemu dengan
dirimu!"
Bun Houw
merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat
telinga kekasihnya, "Hong-moi, aku pun cinta kepadamu, aku mencintamu
dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku."
"Aku
tahu, koko."
"Akan
tetapi..." Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya,
menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya.
Dia
memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya pada saat dia melihat
wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.
"Ada
apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada
sesuatu yang mengganggumu. Aku bisa merasakannya itu dan dapat kulihat dari
kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita
sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi
satu, kita nikmati dan kita pikul bersama."
"Hong-moi..."
Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya.
Biar pun
jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong
menyambutnya dengan bibir tersenyum dan setengah terbuka, menunggu apa yang
akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.
In Hong
memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang pada saat merasa betapa bibirnya
tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan
ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya dan
kelihatan cemas sekali.
"Houw-koko,
ada apakah?" dia bertanya merasa khawatir juga.
"Moi-moi,
aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!" kata Bun
Houw.
"Sudah
kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada
rahasia menghalang di antara kita."
Bun Houw
melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol
keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In
Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah
berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.
"Betapa
sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu
terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, pada waktu
kita berada dalam tahanan..."
"Ahhhh...!"
In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah.
Dia masih
merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah
bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main.
"Akan
tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua
telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?"
"Bukan
berkat keteguhan hatiku, namun berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan
aku... ahhh, aku manusia lemah!"
"Tapi
kita tidak melakukan pelanggaran, koko!"
"Benar,
denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih.
Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di
waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!" Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh
berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.
"Ceritakanlah,
koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia."
"Benar,
aku harus menceritakan kepadamu, betapa pun berat dan sukarnya. Dengarlah, pada
waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba
di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong
Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?"
In Hong
mengangguk. "Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?"
"Liong
Si Kwi muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya
sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah
untuk menolongku, menyelamatkan aku..."
"Hemm,
rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya,
koko."
"Demikianlah
agaknya. Dia lalu memondongku dan membawaku melalui lubang itu hingga sampai di
dalam kamarnya. Niat dia memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah,
keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam
keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama
sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan..." Bun Houw tidak melanjutkan
ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah
kekasihnya.
Berkerut
kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya
sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya mulai
agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan cahaya matanya melembut kembali,
napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat,
"Jadi
kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?"
Bun Houw
mengepal kedua tangannya. "Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu.
Memang kami sudah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali
tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat
itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu..." Bun Houw membuka
matanya yang menjadi merah. "Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah
kubunuh wanita itu!"
"Hushhh...
engkau jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah
mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya."
Bun Houw
menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. "Apa...? Kau... kau tidak
marah...?"
In Hong mengangguk
dan tersenyum. "Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan
tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko."
"Hong-moi...
terima kasih, Hong-moi...!"
Mereka
berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam
ciuman yang sangat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka
sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman
itu, bertaut dan tidak akan terpisahkan lagi. Mereka seperti lupa diri,
masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja
agaknya cepat menyingkir untuk memberikan kesempatan kepada dua orang muda itu
untuk berasyik mesra.
"Hong-mol..."
Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu.
"Hemm..."
In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia menyandarkan
kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan
tadi.
"Engkau
masih ingat kepada Liok Sun?"
"Heh?
Liok Sun? Siapakah dia?"
"Yang
berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di
Kiang-shi."
"Ahh,
di mana engkau dahulu menjadi pengawainya? Majikanmu itukah?"
"Hushhh,
jangan menghina aku!" Bun Houw menghardik sambil mencubit pipi kekasihnya
dengan mesra. "Kau tahu bahwa aku bukan pengawalnya, melainkan hanya
menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan
Dewa."
"Aku
tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?"
"Dia
sudah tewas, moi-moi, dan betapa pun juga, dia adalah seorang yang mempunyai
setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah
meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi."
"Heh,
kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?"
"Sebelum
tewas dia telah meninggalkan pesan bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku.
Anaknya itu bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang
ditinggalkan di Kiang-shi."
"Dia
bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?" In Hong bertanya heran.
"Sesungguhnya
dahulu namanya adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama untuk penyamaran
saja agar dapat menyembunyikan diri."
"Hemm,
belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang
berusia sepuluh tahun!" In Hong mengomel. "Sedangkan kita belum
menikah belum mempunyai rumah."
"Bukan
anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku
mengingkari janji kepada seorang yang telah mati."
In Hong lalu
menghela napas panjang, sengaja hendak menggoda kekasihnya. "Baiklah...
baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh seorang yang belum mempunyai
tempat tinggal tertentu akan tetapi sudah dibebani seorang anak yang besar.
Hehhh..., enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!"
Bun Houw
menjadi gemas sekali dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong
terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw telah
merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan
gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan
melingkari leher pemuda itu.
T A M A T
Serial selanjutnya : Pendekar Lembah Naga
***** Sahabat karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment