Friday, August 31, 2018

Cerita Silat Serial Dewi Maut Jilid 37



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
             Serial Dewi Maut
                         Jilid 37


DUA orang kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berhasil, akan tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya seperti daun kering tertiup angin, terlempar lantas terguling-guling. Akan tetapi, kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikit pun.

Sekarang mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah menciptakan ilmu yang amat mukjijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan buta, maklum bahwa agaknya hanya pada bagian mata saja dari dua orang itu yang tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka.

Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima totokan-totokan tongkat yang sangat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu.

Juga Kun Liong dan Giok Keng telah terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi sangat kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Pendekar ini makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apa lagi sesudah dia melihat bahwa di sana terdapat pula puterinya dan Lie Seng yang bagaimana pun juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita, kemudian muncullah pasukan yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak-anak buah Lembah Naga. Ternyata itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun!

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apa lagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi!

Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai, dan dia langsung menemui komandan pasukan itu, menceritakan mengenai keadaan Lembah Naga dan mengenai bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah Naga pada waktu di lembah ini terjadi pertempuran hebat itu. Andai kata tidak ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak prajurit yang menjadi korban keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai.

Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pasukan Kim-i-wi yang terdiri dari prajurit-prajurit pengawal pilihan sehingga rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera terdesak hebat.

Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan kedua orang pemuda itu langsung terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena bagaimana pun juga, dia merasa sungkan kepada subo-nya, dan menjauhkan diri, hanya menonton dengan hati tegang.

Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh dua belah fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko.

Bouw Thaisu dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, ada pun Hek I Siankouw berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri, Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.

Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang dari angkasa.

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!"

Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan terdengarlah suaranya yang mengguntur, "Semuanya mundur, biarkan ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!"

Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang,

"Pek-hiat Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?"

Dari fihak Lembah Naga muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut mereka sambil memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.

"Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?" bentak Pek-hiat Mo-ko.

Dengan sekilas pandang saja Cia Keng Hong sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya lebih kuat, apa lagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka dia lalu berkata,

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, saat mendengar bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian memang sengaja ingin menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan tetapi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sebenarnya maksud hati kalian? Bila hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan Yap In Hong. Kemudian tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu kepandaian."

"Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharap-harapkan kedatanganmu! Memang kami sengaja menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami itu. Oleh karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu beserta sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!"

"Mo-ko dan Mo-li!" Cia Keng Hong membentak. "Caramu sangat curang! Apa bila kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi wakilnya. Kau bebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian antara kita."

"Kongkong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!" Tiba-tiba terdengar suara Lie Seng berteriak.

Mendengar ucapan ini, berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa puteranya juga tertawan. Sekarang dia memandang tajam kepada mereka dan bertanya, "Benarkah itu?"

"Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!" Hek-hiat Mo-li berkata dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.

"Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!" Cia Keng Hong berkata sambil mengelak dan segera balas menyerang. Maka berlangsunglah pertandingan yang sangat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dengan kedua orang kakek dan nenek iblis itu.

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biar pun kini usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biar pun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih diri di puncak Cin-ling-pai.

Dengan ilmunya yang sangat tinggi, yakni Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu, dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah, bahkan sebaliknya dia telah mendesak kedua orang lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek Sin-kun.

Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, setiap kali pendekar sakti ini berhasil 'kemasukkan' pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko mau pun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi!

Cia Keng Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mukjijat! Biasanya, ilmu kekebalan yang mukjijat seperti itu diperoleh dengan cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya hanya dapat dipecahkan apabila orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai mereka!

Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong segera menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya lantas secepat kilat dia menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.

"Plakkkk!"

Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mukjijat, yaitu Thi-khi I-beng! Seperti telah kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang menguasai Thi-khi I-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun Liong, karena hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan ilmu mukjijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak diwarisi ilmu itu.

Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi I-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sinkang-nya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini cepat menghentikan pengerahan tenaga sinkang-nya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah!

Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi I-beng, bahkan dapat membuyarkan tenaga Thi-khi I-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu sekarang agaknya kakek dan nenek ini pun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi I-beng pula!

Tidak ada seorang pun yang berani maju membantu Cia Keng Hong karena dalam hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi pihak yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, maklum pula bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah!

"Ha-ha-ha!" Kok Beng Lama tertawa. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, tetapi juga mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu sama sekali!" Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali, sehingga terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung.

Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, karena itu dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Namun tidaklah demikian dengan Hek-hiat Mo-li.

Nenek ini merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan telah dibuktikan ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak mampu menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu mampu berbuat apakah? Hal ini membesarkan hatinya, maka pada saat mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya.

"Pendeta gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!" tantangnya.

"Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha." Kok Beng Lama sudah melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran.

Tentu saja Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biar pun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia sudah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak dapat terluka ini.

Tepat pada saat itu pula, terdengar suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itu pun terhenti. Di antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang lelaki dan wanita. Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang kemudian datang sambil bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang mata itu mencorong aneh.

"Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!" seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandangan mata dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu.

Seperti telah kita ketahui, sesudah Cia Bun Houw dan Yap In Hong terbebas dari mala petaka yang akan mencemarkan nama baik serta kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu birahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang sudah dimiliki In Hong.

Ketika diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk saling berhadapan dalam keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah keluar dan bersiap-siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat itu.

Pada saat itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan.

Suara itu terdengar agak jauh, tapi kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu.

"Eh, lihat ini...!" kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu. Kiranya itulah daun yang sudah ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu.

Mereka lalu membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca.

"Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah."

Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi semua itu telah cukup bagi Bun Houw dan In Hong. "Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong-moi!"

In Hong memandang dan terkejutlah Bun Houw ketika dia melihat sinar mata gadis di depannya itu. Juga In Hong terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata pemuda itu. Sinar mata mereka mencorong dan berkilat!

"Kenapa, Houw-ko?"

"Matamu... Hong-moi, matamu..."

"Kenapa?"

"Bukan main indahnya..."

"Matamu juga mencorong dengan sinar aneh, Houw-ko, seperti mata gurumu..."

"Benar, seperti mata suhu. Bukan hanya guruku, akan tetapi gurumu juga."

"Mari kita keluar."

"Kita coba lagi menggunakan tenaga Thin-te Sin-ciang."

Mereka berdua bangkit berdiri dan menghampiri pintu besi, lalu mengerahkan tenaga dan menghantan ke arah daun pintu yang kokoh kuat itu. Itulah suara keras yang terdengar oleh semua orang dan membuat semua orang menghentikan pertempuran.

Tenaga mereka demikian dahsyatnya sehingga bukan hanya daun pintu besi saja yang bobol, akan tetapi juga bangunan tempat tahanan itu roboh dan debu mengepul tinggi dan tebal. Mereka berdua lalu keluar dengan wajah berseri karena mereka merasa girang sekali bahwa usaha mereka berlatih diri dan menyatukan Thian-te Sin-ciang tadi sudah berhasil baik sekali.

Bun Houw yang pendengarannya menjadi sangat tajam, tadi sudah tahu bahwa yang bertanding melawan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li adalah ayahnya dan gurunya, dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek iblis itu, agaknya ayahnya beserta gurunya belum berhasil memperoleh kemenangan, maka bersama In Hong dia segera melangkah maju menghampiri dan berkatalah Bun Houw, suaranya nyaring sekali,

"Ayah! Suhu! Mereka berdua mempunyai perhitungan yang harus dibereskan sekarang juga dengan kami berdua, oleh karena itu harap ayah dan suhu sudi mundur dulu untuk membereskan perhitungan itu."

Kakek dan nenek itu terkejut bukan kepalang ketika melihat dua orang muda itu ternyata dapat membobol tahanan. Mereka maklum bahwa sesudah dua orang itu dapat keluar, maka tidak mungkin lagi mereka mengelakkan pertandingan mati-matian. Maka mereka lantas berteriak memberi aba-aba kepada semua pembantu mereka, sedangkan mereka sendiri langsung menerjang Bun Houw dan In Hong.

Bun Houw diserang oleh Pek-hiat Mo-ko sedangkan In Hong diserang oleh Hek-hiat Mo-li. Dua orang muda ini mengeluarkan teriakan meleking nyaring dan menyambut serangan mereka dengan dahsyat.

"Desss...!"

"Desss...!"

Kakek dan nenek itu terlempar ke belakang oleh hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat kuat. Mereka terbanting dan bergulingan, namun mereka meloncat bangun lagi dan menyerang kembali dengan lebih ganas, disambut oleh Bun Houw serta In Hong yang maklum bahwa mereka itu mempunyai kekebalan mukjijat, bahkan yang mampu menahan pukulan Thian-te Sin-ciang.

Akan tetapi mereka berdua sudah tahu dimana letak kelemahan kakek dan nenek iblis itu. Mulailah mereka menunjukan pukulan-pukulan balasan mereka ke bawah, ke arah kaki di bawah lutut kakek dan nenek itu yang merasa terkejut sekali dan selalu melindungi agar kedua kaki mereka tidak sampai terpukul.

Sementara itu, semua pembantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li juga sudah bergerak, akan tetapi kini Kok Beng Lama, Cia Keng Hong, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, Tio Hok Gwan, Tio Sun, Souw Kwi Beng dan pasukan kota raja mengamuk menyambut mereka. Terjadilah pertempuran hebat sekali, pertempuran mati-matian yang berat sebelah karena pihak Lembah Naga kini jauh kalah kuat, baik para tokohnya mau pun anak buahnya.

Bouw Thaisu yang paling sakti di antara pembantu Lembah Naga, kini dihadapi oleh Kok Beng Lama yang selalu tertawa-tawa mengejek tosu tua itu, a-ha, tosu bau, sungguh engkau menyalahi pelajaran Agama To dengan membantu orang-orang busuk semacam kakek dan nenek iblis itu! Ehh, tosu bau, apakah pelajaran-pelajaran dan ayat-ayat suci itu hanya untuk pamer belaka?"

"Lama sombong, tutup mulutmu! Pinto tidak membantu orang, melainkan ingin menuntut kematian mendiang Thian Hwa Cinjin sahabat pinto."

"Tentu sahabatmu itu pun bukan orang baik-baik!" kata Kok Beng lama.

"Benar, locianpwe. Sahabatnya itu adalah bekas ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang tewas di tangan saya!" Cia Giok Keng yang mendengar percakapan itu berseru kepada guru adiknya itu, sedangkan dia sendiri menghadapi pengeroyokan beberapa orang anak buah Lembah Naga.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya sahabatmu itu orang Pek-lian-kauw? Pantas saja!"

Kok Beng Lama mendesak hebat, akan tetapi Bouw Thaisu adalah seorang yang tinggi ilmunya pula maka dia dapat menghindar dengan gesit dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat untuk merobohkan lawannya yang selalu tertawa mengejeknya itu. Lengan bajunya menyambar-nyambar dengan ganas dan dari ujung kedua lengan baju itu menyambar tenaga sinkang yang cukup kuat untuk menghancurkan batu karang atau pun menumbangkan sebatang pohon sebesar tubuh manusia!

Akan tetapi dengan enaknya Kok Beng Lama menangkis kedua ujung lengan baju yang menyambar-nyambar itu dengan kedua tangan kosong saja, bahkan setiap tangkisannya membuat kedua lengan baju Bouw Thaisu tergetar hebat...

Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Walau pun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang kala dia mempersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tak menggunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini.

Pedang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing saat menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun yang menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri. Sesudah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlampau tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, ada pun isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikit pun juga.

Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng beserta semua anggota pasukan. Bahkan tampak pula Lie Seng yang mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggota Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguh pun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.

Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dahulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya berhasil ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek lantas sepasang telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya.

Kedua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sinkang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah berguncang dibuatnya.

Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar lantas dia terpelanting dan roboh miring di atas tanah dengan nyawa putus!

Kok Beng Lama tertawa bergelak kemudian berkata, "Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!"

Tidak lama sesudah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Pada saat dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya.

Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti pada kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluarkan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek Sin-kun.

Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga saat mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika.

Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.

Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itu pun roboh tewas akibat tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinya pun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng sesudah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li.

Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih terus bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tidak lama kemudian, orang terakhir dari mereka pun roboh. Memang hebat bukan main pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarikan diri sungguh pun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah. Sekarang tinggal kakek serta nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!

Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan walau pun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, akan tetapi ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali.

Sungguh pun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan telah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biar pun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun kedua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, akan tetapi ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!

Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapa pun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong mampu menandingi kakek dan nenek itu, dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.

Tanpa sengaja Cia Keng Hong berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadi pun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mukjijat.

"Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?" Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.

"Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?" Cia Keng Hong bertanya sambil menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mukjijat dan aneh.

"Dan dugaan taihiap?" tanya pula Kok Beng Lama.

Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu, 'Telapak kaki'. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.

"Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw," kata Cia Keng Hong.

Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jarak Jauh) dengan kekuatan khikang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya!

Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau, "Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak pada telapak kaki mereka."

Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan kini mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberi tahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi dua kaki mereka, agaknya pemberi tahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka?

Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekali kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mukjijat golongan hitam atau kaum sesat, yang berbeda dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sinkang yang kuat.

Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka lalu teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu hanya mungkin bila tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa.

Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andai kata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri tentulah telapak kakinya.

Kini, melihat betapa punggung, pantat bahkan seluruh bagian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan!

Jadi, kalau seluruh anggota tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, kedua mata mereka pun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apa lagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.

Biar pun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengar bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatan pun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.

Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi.

Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan ilmu kekebalannya yang mukjijat itu, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga sungguh pun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekali pun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal tenaga sinkang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya dari pada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.

In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Meski pun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, akan tetapi ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk bisa mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai.

Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat dari pada si nenek iblis. Akan tetapi, karena dia pun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadaannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa mempedulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan harus melindungi diri dengan bergerak mundur.

Kini mereka sudah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal.

Untuk melindungi diri sendiri, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganya pun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguh pun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.

Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau paling tidak supaya dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkan lawannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin, maka dia harus mempergunakan akal dan dia pura-pura tidak menyangka bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Kini dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya.

Tadi dia menganggap bahwa tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki.

Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian serta ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki lebih dahulu dia harus menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur dalam jarak yang lebih berdekatan.

Pada saat tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah tiba dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba saja dia miringkan tubuhnya, membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya, lalu mendadak dia menyerang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main serangannya itu.

Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Kakek itu terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya bagian atas, sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.

"Haiiiiitttt...!" Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat.

"Hemmm!" Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kiri digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.

"Plakk! Krekkk...!"

Untuk ke sekian kalinya tubuh Pek-hiat Mo-ko terlempar ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah.

Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan kedua mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu dapat patah.

Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya.

Bun Houw juga telah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan.

"Ihhhhh...!" Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah.

Kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang sangat kuat dan walau pun dia sudah mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menarik kedua tangannya, tetap saja dia tak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian pemuda itu pun tidak akan mampu menang, maka dia tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?"

"Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana engkau dapat melepaskan peganganku!" Bun Houw juga mengejek lantas memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat tadi!

Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itu pun tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang sekarang memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat pusakanya yang dianggapnya sebagai pertanda akhir hidupnya, maka kakek yang marah ini menjadi nekat.

"Lepaskan tanganku!" bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw.

Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya agar melakukan tendangan karena hanya pada waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya itu 'Terbuka' dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw memang cerdik.

Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, dan ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat-cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, kemudian dengan mengurangi kecepatan gerakan elakannya dia sengaja membiarkan pahanya tertendang.

"Dessss...!"

Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang kembali, mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri.

Namun, pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari kanan. Melihat kaki kiri mulai menyambar, secara mendadak dia melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar ke bawah, cepat mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana kerasnya pun tentu akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu.

Dan ternyata, tidak seperti anggota badan pada bagian lainnya yang sudah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, pada waktu telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya!

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan pada saat itu pula tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada pergelangan tangan lawan langsung menyambar dengan kecepatan seperti kilat ke arah dadanya.

"Krekkkk...!"

Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya langsung lenyap setelah telapak kakinya hancur. Tetapi, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuat pun, kakek bermuka putih itu masih bisa meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.

"Desssss...!"

Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko sudah menghembuskan napas terakhir pada waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.

"Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya," kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.

"Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Engkau mundurlah dan jangan khawatir!" In Hong menjawab.

Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw mempunyai tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apa lagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama.

Akan tetapi, biar pun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka dia pun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya. Akan tetapi, walau pun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apa lagi karena pertempuran itu sedang ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua prajurit pasukan kota raja juga menonton!

Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia berlari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik kemudian melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru,

"Hong-moi, pakailah pedangmu ini!"

Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus mampu merobohkan lawannya. Harus!

"Cring-cring-tranggg...!"

Bunga api berpijar-pijar pada saat pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang.

Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir.

"Telapak kakinya... telapak kakinya...!" Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw.

In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.

Akan tetapi, In Hong adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Setelah dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba saja dia merubah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan hingga sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!

"Ihhhh...!" Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.

"Tranggg...!"

Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.

"Ihhhh...!" Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik.

Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka pada waktu lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li.

Tepat pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru sesudah sinar emas itu membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.

"Dessss!"

"Crottttt...!"

Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.

"Hong-moi...!" Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.

Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu sudah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.

"Keparat!" Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. "Mari kita mengamuk kepada mereka!"

"Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, dari pada menyerang," kata Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tidak jadi bergerak. Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba supaya semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.

"Tahan semua senjata!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncullah seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri!

Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau peduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan.

"In Hong jangan bergerak...!" Yap Kun Liong berseru kepada adiknya.

Mendengar kesungguhan di dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu lantas menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau saja Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biar pun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam pengeroyokan ribuan orang prajurit musuh.

Dengan cepat Bun Houw meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra. "Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati..."

Dengan sikap mesra Bun Houw segera memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itu pun tidak patah. Dengan penyaluran sinkang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri pada pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali.

Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan prajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.

"Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?" tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.

Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhu-nya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang.

"Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo sudah tewas, bahkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, kini kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap bersama semua teman taihiap suka membebaskan subo."

Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab,

"Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, namun juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Sesudah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kami pun tidak akan terlampau mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki."

"Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini," kata Sabutai sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.

"Subo, marilah pergi bersama kami!" Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, lalu dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu.

Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Ternyata orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan seorang yang sanggup menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga mempunyai watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Oleh karena itu semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya serta para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu sesudah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun,

"Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang telah kau lihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!"

Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia pun mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi meninggalkan Lembah Naga, diiringi oleh ribuan orang pasukannya.

Sesudah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling berlari menghampiri dan ibu dengan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata. Demikian pula Mei Lan berlutut di hadapan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya.

Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.

"Ayah... maafkan aku..." bisik Mei Lan lirih. Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya.

Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah berlari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong.

"Taihiap... saya harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi..." Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan sekaligus menyedihkan.

Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencinta dirinya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan saat dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan birahinya, sudah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu.

Kalau saja di sana tidak terdapat banyak orang, di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu wanita itu telah ditendangnya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. "Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!"

"Taihiap...!" Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.

"Pergilah!"

Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguh pun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.

"Bun Houw...!" Cia Keng Hong memanggil.

Pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong menatap wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk. Keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu.

Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.

"Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?" tanya ayah itu yang merasa tak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikit pun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.

"Ayah, di kota raja aku mendengar bahwa Hong-moi diculik orang, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diriku ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong..."

"Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?"

"Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... sebab... sesungguhnya aku... aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah..."

"Apa...?!" Ayahnya membentak.

"Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama..."

Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya Giok Keng dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena ternyata puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liong pun mencinta gadis lain.

Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong untuk menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Tetapi hal itu pun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu.

Hal ini sangat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati pada saat dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba saja dia melihat puteranya dengan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!

CIA KENG HONG mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong, "Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?"

Wajah In Hong seketika berubah merah. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan tetapi, sejak kecil In Hong hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab, "Benar, supek, saya mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya."

"Hemm... benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kau katakan kepada kami orang tua dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?"

"Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu," jawab In Hong dengan suara lantang dan tenang.

"Dan engkau sekarang...?"

"Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini. Pada waktu itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Lagi pula, karena penuturan Yalima tentang dia dengan Houw-koko, mana mungkin saya menerima ikatan jodoh dari seseorang yang sudah memiliki pacar? Sekarang lain lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta."


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, malah tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketika dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.


"Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi merestui cinta kasih antara kami..."

Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan kedukaan, dua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku dapat memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami Souw Kwi Eng di kota Yen-tai."

"Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!" tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras, mukanya berubah merah.

"Hemmm, kehormatan lebih berharga dari pada nyawa, anakku."

"Maksud ayah...?"

"Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!"

"Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati dari pada harus berpisah dari Hong-moi!" jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.

"Hemmm...!" Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.

"Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!" In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya untuk melindunginya!

"Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?" Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong sudah memegang gagang pedang Siang-bhok-kiam kemudian menghunusnya dari sarung pedang!

Bun Houw dan In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah. Mereka siap untuk menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama jika tidak boleh hidup sebagai suami isteri.

"Ho-ho, nanti dulu, Cia Keng Hong!" Terdengar suara nyaring dan Kok Beng Lama sudah melompat maju ke hadapan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan cahaya mencorong. "Enak saja engkau hendak membunuh muridku! Jangan engkau lupa, Bun Houw dan In Hong adalah murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan murid-muridnya dibunuh orang begitu saja, sungguh pun orang itu adalah ayahnya! Selama hidupku, belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega untuk membunuh puteranya. Bahkan seekor harimau pun tidak akan membunuh anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang manusia yang lebih buas dari pada harimau?"

Cia Keng Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik napas panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata dengan suara tenang tidak dikuasai perasaan.

"Kok Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh tahun yang kalau tidak betul-betul dirasakan seperti hanya beberapa hari saja lamanya. Apakah artinya hidup sependek itu apa bila tidak diisi dengan kehormatan? Apakah artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang dicita-citakan oleh semua manusia? Manusia haruslah mempunyai cita-cita, menjunjung tinggi cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan cita-cita seorang pendekar hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan, menjaga nama agar bersih sampai tujuh turunan!"

"Ha-ha-ha, betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia membuka mataku dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-ling-pai juga bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti pandanganku pada saat itu! Ha-ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu mengenai cita-cita itu justru merupakan kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan palsu, oleh cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan kemurnian hidup."

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah 'pegangan' semua orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan? "Hemmm, locianpwe, apa maksud locianpwe?"

"Bun Hwat Tosu," Kok Beng Lama memandang ke angkasa, "semoga saja kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang lain seperti telah membuka kesadaranku." Kemudian dia melangkah maju mendekati Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, "Cia-taihiap, apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanyalah merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah dari pada kenyataan yang ada, merupakan bayangan khayal yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu merupakan sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapai dengan cara bagaimana pun." "Agaknya benarlah demikian, locianpwe. Cita-cita adalah sesuatu yang sangat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng."

"Benarkah demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justru karena mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, dan saling hantam demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang malah menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita menyeleweng dari kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah digambarkan lebih dulu, dan jika kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!"

"Tidak begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar, yang tidak baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia agar mendapat kemajuan. Tanpa cita-cita kita akan mandeg!" bantah Keng Hong.

"Ha-ha-ha, persis seperti pandanganku tempo hari!" Kakek raksasa itu tertawa, kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. "Andai kata orang bodoh itu telah mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Begitu pula andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidak baikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan lagi orang tidak baik dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, maka pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidak baikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik sehingga di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidak baikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita akan mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi maka dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir bisa dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?"

Semua orang yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru satu kali ini mereka mendengar perdebatan yang aneh itu...

Pendekar Sakti Cia Keng Hong memandang dengan muka pucat, lalu berkata, "Eh... nanti dulu, locianpwe... saya menjadi agak bingung. Jadi menurut locianpwe, kita tidak harus bercita-cita, harus puas dengan keadaan yang sekarang ini saja? Kita tidak boleh mencari kemajuan? Berarti menjadi orang biasa saja tidak ada artinya?"

"Ha-ha-ha-ha, lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu persis dan sama? Justru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu saat aku membantah tosu itu!" Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali tenang.

"Cia-taihiap, jangan mencari contoh dari anggapan atau pandangan orang lain! Marilah kita selidiki bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan siapa pun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, dan kalau tidak puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu akan menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai mati pun kita selalu akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidak puasan yang timbul akibat mengejar keadaan yang lain itu tak akan pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dahulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu? Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Mengapa semua orang ingin menjadi orang yang LUAR BIASA? Ha-ha-ha, justru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai pada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain dari pada yang lain, paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semuanya itu kosong belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang bilamana kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia kejam yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, kedudukan, cita-cita, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, tapi PENGEJARANNYA itulah yang sangat jahat! Kekayaan, misalnya, itu tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Sebab pengejaran ini yang membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar kita setiap hari?"

Cia Keng Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya terpejam, tapi mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-cita dan kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itu pun sebenarnya memang mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani mengorbankan anak demi kehormatan!

Terbukalah matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri agar dipuji, dia hampir saja membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia tidak mempedulikan lagi keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini dan dia kembali membuka matanya yang memandang agak sayu pada Kok Beng Lama yang tersenyum dan matanya mencorong itu.

"Locianpwe, saya masih agak bingung. Tadinya saya menganggap bahwa apa yang saya lakukan ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik Bun Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu tentu timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan benar?"

"Cia-taihiap," kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. "Coba dengarkan kata-kata taihiap tadi baik-baik. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik! Nah, jawabannya sudah ada di situ, bukan? Taihiaplah yang INGIN dia menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua selalu bilang cinta kepada anak-anaknya, bahwa mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin senang lewat anaknya! Taihiap akan senang kalau anak taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak mau menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap melihatnya? Begitu jelas!"

"Ahh, locianpwe..." Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama!

Sejenak kakek raksasa ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi dan menggetarkan udara, akan tetapi dia segera memeluk Keng Hong dan mengangkat bangun pendekar sakti itu yang kedua matanya menjadi basah.

"Cia-taihiap, yang terpenting adalah kesadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka mata, semakin nampak jelaslah seluruh kenyataan hidup ini, taihiap. Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan." Kakek itu menarik napas panjang. "Dan sebetulnya, mata saya pun baru beberapa hari saja terbuka pada waktu saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu..."

"Mendiang...?" Tiba-tiba Mei Lan berseru keras dan meloncat ke dekat Kok Beng Lama, memegang tangan kakek raksasa itu. "Apakah yang kau maksudkan, locianpwe? Di mana suhu?"

Kok Beng Lama menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari dalam saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. "Kau menanyakan suhu-mu? Nah, ini dia. Maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia."

"Aihhh... suhu...!" Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu.

Semua orang memandang dan mendengarkan dengan terharu. Kun Liong juga langsung menjatuhkan diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru puterinya! Dan dia sendiri pun adalah murid Bun Hwat Tosu yang kini dikabarkan mati oleh Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh puterinya.

"Heh, diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena akulah yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu yang bermain catur dan bertaruh dengan aku telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, dan dia pun telah menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie Seng. Sudah, diamlah, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan mendengar, dia tentu akan marah jika kematiannya ditangisi. Hayo kau katakan, kenapa engkau menangis mendengar gurumu mati?" tanya kakek yang wataknya memang aneh itu kepada Mei Lan.

Mei Lan yang masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata merah dan air mata bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang masih berlutut di dekat puterinya menghela napas dan berkata,

"Gak-hu ayah mertua bolehkah saya mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan itu?"

"Anakmu? Dia ini anakmu? Hemmm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?"

Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhu-nya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu.

Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kongkongnya itu memang mengasingkan diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi gurunya!

Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek raksasa ini kongkong-nya, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tak dapat berkata-kata hanya menangis saja.

"Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?" kembali terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.

Kun Liong menyusut air matanya. "Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya sudah menjadi murid beliau. Kenapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau, menangis saat mendengar akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk membalasnya."

"Ho-ho-ho, jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?"

"Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana keadaannya sekarang? Memang kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati."

"Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang mati sebenarnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhu-mu menjadi abu, mau kau apakan sekarang?"

Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh kepada ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak,

"Kongkong... saya tidak sangka bahwa kongkonglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini kepada kebijaksanaan kongkong mau diapakan juga, terserah..."

"Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanyalah abu! Bukan gurumu lagi! Andai kata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya pula, tak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan bagi dirimu sendiri, karena di dalam sembahyangmu engkau tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal memelihara abu nenek moyang atau guru dimaksudkan agar si pemelihara abu itu senantiasa ingat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung dan sebagainya. Kasihanlah bila sudah menjadi abu pun masih hendak diperalat demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?"

"Terserah kepada kongkong," jawab Mei Lan.

"Kau simpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah, Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama, Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan terhadap dia dan In Hong," Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong.

Semenjak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, "Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng serta orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana bisa diputuskan begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng. Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan."

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya, lalu beberapa kali dia menggelengkan kepala dan menghela napas. "Hemmm... benar juga...! Betapa hidup kita ini telah terikat oleh belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita."

Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang semenjak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam sambil menundukkan kepala terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat.

"Harap locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini sebab menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak ada hubungan cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang akan menyadarkan adik saya Kwi Eng karena dia pun pasti menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalah sangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... ehhh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itu pun membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia bisa menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik dari pada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak."

Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan. "Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu semakin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahhh, bagaimana aku dapat membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?"

"Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw." Tiba-tiba Giok Keng yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayahnya. "Tentu ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tak mau mempedulikan perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran diri sendiri, kebenaran yang kaku, kuno dan berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek moyang, sehingga sikap itu akhirnya mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan apa bila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?"

"Aihhh, betapa tepatnya apa yang kau katakan semua itu, sumoi!" terdengar Kun Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. "Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia beserta semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup..."

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam dia telah memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu. Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya kadang-kadang.

"Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimana pun juga, aku tidak dapat pula memberi persetujuan...," katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua!

Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi hormat kepada ayahnya. "Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup berdua..." Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata hendak pergi dari situ.

"Houw-te...!" Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. "Adikku, ke mana engkau hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?" Kakak yang merasa terharu ini menangis.

Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. "Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah ke mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu kembali."

"Hong-moi, mengapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?" Kun Liong juga berkata kepada adiknya. "Tinggallah di sana sambil menanti sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian."

Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun Houw, lalu menjawab, "Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana, ke neraka sekali pun aku akan ikut dengan dia."

"Ahh... kau benar... kau benar...," Kun Liong hanya dapat berkata lemah.

"Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami," kata Bun Houw sambil melambaikan tangan. "Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku kepada seluruh keluargamu."

Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.

Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa dari Tibet ini lalu menceritakan mengenai pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua telah bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan kalau dikalahkan dalam satu pertandingan. Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata lemah,

"Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau..." Dan kakek tua renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu sudah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!

"Wah, sungguh licik! Engkau masih hutang tiga macam ilmu untuk muridku!" Kok Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik lantas roboh dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam ilmu.

"Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau adalah orang yang memegang janjimu dengan baik," kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur.

Di dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan alangkah baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi maka dibakarlah jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.

"Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!" Kok Beng Lama berkata pada akhir penuturannya.

Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang selain mempunyai kesaktian hebat juga sangat bijaksana. Biar pun Mei Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, tetapi oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai anak sendiri, karena itu boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama. Tentu saja dia rela untuk menyerahkan puterinya agar digembleng oleh kakek itu.

"Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhu-mu yang juga adalah kongkong-mu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu."

Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan merasa terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air matanya bercucuran ketika dia bertanya, "Ibu... ibu... kenapa, ayah?"

Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata, "Kelak engkau dapat mendengar tentang kematian ibumu dari kongkong-mu."

"Tapi... tapi..." Mei Lan sesenggukan.

Pada saat itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia segera melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus,

"Mei Lan, aku pernah bersalah pada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku yang dulu itu. Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi iblis itu sudah tewas pula di tangan ayahmu."

"Ahhh, ibu...!" Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.

"Mei Lan, diam kau!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suaranya yang menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut, segera mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.

"Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Pada saat aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah mati, dan pembunuhnya sudah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!"

Mei Lan menoleh kepada ayahnya ada pun Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan kerinduan hati mereka.

Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama, "Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya mereka, baik saya mau pun Cia-sumoi hidup sebatang kara. Oleh karena itu, kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan mengembalikan mereka kepada kami."

Kok Beng Lama mengangguk. "Baik, lewat tiga tahun dari sekarang aku akan mengantar mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing." Sesudah berkata demikian, Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong, kemudian menggandeng Mei Lan dan Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para prajurit yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Dia memandang kepada puterinya dan berkata,

"Giok Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san."

Giok Keng menggelengkan kepalanya. "Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Kelak sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana."

"Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu." Kemudian pendekar ini mengangguk kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.

Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini dia pun dapat mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai.

"Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan kepada Kwi Eng," demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk agar Tio Sun suka menemani dia pulang.

Padahal dia hendak mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya sesudah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!

Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih,

"Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini."

"Kurasa sebaiknya begitu, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku, hal itu akan banyak menolong kita untuk melawan kesunyian. Aku akan selalu ingat kepadamu, sumoi."

"Dan aku selamanya tak akan melupakan engkau, suheng."

Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari pengotoran nafsu birahi.

Mereka saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dengan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki sungguh pun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembalinya puteranya.

Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah sudah selesai pula dengan pekerjaan mereka, lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal sunyi. Tidak ada seorang pun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang manusia, sungguh pun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang terinjak-injak.

Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang.

Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia sudah menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya. Di dalam lubuk hatinya dia merasa bahwa semua perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat!

Kini gurunya sudah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.


                 ***************


"Ke mana kita sekarang, Hong-moi?"

"Terserah kepadamu, koko."

"Aku tidak mempunyai tujuan."

"Kalau begitu kita membuat tujuan bersama."

"Ke mana?"

"Ke mana pun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko."

"Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san."

"Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san."

"Habis ke mana?"

"Sesukamulah, biar ke neraka sekali pun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu."

Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw tiba-tiba berhenti, memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling memandang wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.

"Hong-moi, walau pun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kau tujukan kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"

Bibir itu tersenyum manis sedangkan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu.

"Ihhh, pandang matamu begitu... mengerikan, koko!"

Bun Houw tertawa. "Katakanlah, moi-moi, katakanlah."

"Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta kepadamu sejak pertama kali bertemu dengan dirimu!"

Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat telinga kekasihnya, "Hong-moi, aku pun cinta kepadamu, aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku."

"Aku tahu, koko."

"Akan tetapi..." Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya.

Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya pada saat dia melihat wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.

"Ada apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bisa merasakannya itu dan dapat kulihat dari kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi satu, kita nikmati dan kita pikul bersama."

"Hong-moi..." Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya.

Biar pun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong menyambutnya dengan bibir tersenyum dan setengah terbuka, menunggu apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.

In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang pada saat merasa betapa bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya dan kelihatan cemas sekali.

"Houw-koko, ada apakah?" dia bertanya merasa khawatir juga.

"Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!" kata Bun Houw.

"Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada rahasia menghalang di antara kita."

Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.

"Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, pada waktu kita berada dalam tahanan..."

"Ahhhh...!" In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah.

Dia masih merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main.

"Akan tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?"

"Bukan berkat keteguhan hatiku, namun berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan aku... ahhh, aku manusia lemah!"

"Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!"

"Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!" Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.

"Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia."

"Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapa pun berat dan sukarnya. Dengarlah, pada waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?"

In Hong mengangguk. "Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?"

"Liong Si Kwi muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku..."

"Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya, koko."

"Demikianlah agaknya. Dia lalu memondongku dan membawaku melalui lubang itu hingga sampai di dalam kamarnya. Niat dia memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan..." Bun Houw tidak melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah kekasihnya.

Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya mulai agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan cahaya matanya melembut kembali, napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat,

"Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?"

Bun Houw mengepal kedua tangannya. "Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami sudah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu..." Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah. "Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!"

"Hushhh... engkau jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya."

Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. "Apa...? Kau... kau tidak marah...?"

In Hong mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko."

"Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!"

Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam ciuman yang sangat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisahkan lagi. Mereka seperti lupa diri, masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja agaknya cepat menyingkir untuk memberikan kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berasyik mesra.

"Hong-mol..." Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu.

"Hemm..." In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan tadi.

"Engkau masih ingat kepada Liok Sun?"

"Heh? Liok Sun? Siapakah dia?"

"Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di Kiang-shi."

"Ahh, di mana engkau dahulu menjadi pengawainya? Majikanmu itukah?"

"Hushhh, jangan menghina aku!" Bun Houw menghardik sambil mencubit pipi kekasihnya dengan mesra. "Kau tahu bahwa aku bukan pengawalnya, melainkan hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa."

"Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?"

"Dia sudah tewas, moi-moi, dan betapa pun juga, dia adalah seorang yang mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi."

"Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?"

"Sebelum tewas dia telah meninggalkan pesan bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku. Anaknya itu bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang ditinggalkan di Kiang-shi."

"Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?" In Hong bertanya heran.

"Sesungguhnya dahulu namanya adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama untuk penyamaran saja agar dapat menyembunyikan diri."

"Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang berusia sepuluh tahun!" In Hong mengomel. "Sedangkan kita belum menikah belum mempunyai rumah."

"Bukan anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati."

In Hong lalu menghela napas panjang, sengaja hendak menggoda kekasihnya. "Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh seorang yang belum mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi sudah dibebani seorang anak yang besar. Hehhh..., enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!"

Bun Houw menjadi gemas sekali dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw telah merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher pemuda itu.

                 T A M A T


Serial selanjutnya : Pendekar Lembah Naga



***** Sahabat karib.com *****





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12