Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 36
KETIKA Kim
Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu
melihat Giok Keng, birahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan
gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah,
wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya bisa menangis dan minta
ampun.
Kini,
melihat seorang wanita seperti Giok Keng, yang ‘matang’ bentuk badannya, yang
selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sinkang kuat dan
ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap
hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan
dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat dia mendengar bahwa wanita
menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal
menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng,
pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua
Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya langsung
meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu birahinya!
Bergidik
mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini.
Untung dia lebih dahulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia
memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan
tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak!
Dia harus
membalaskan kematian rekannya Thian Hwa Cinjin dan biar pun dia tidak akan
memperkosa mau pun membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih
bagus, bahkan sangat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw
ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia hendak menyerahkan wanita
ini kepada yang berwajib sebagai ‘siluman’ yang selama ini mengacau Heng-tung!
Akhirnya Kim
Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia pun berkata,
"Omitohud... agaknya keteranganmu itu benar. Akan tetapi, sebelum ada
bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum bisa membebaskanmu
begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti serta saksi, yaitu harta
dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman
yang menculik wanita-wanita."
"Dia
adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can
Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang sudah
mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk
memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan
harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman
itu sudah tertangkap."
"Baik,
kami akan membuktikan semua keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah
penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau
benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!"
"Baik,
suheng," jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi
meninggalkan kamar itu.
"Toanio
tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani
membebaskan toanio. Tunggulah kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu
kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan
persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng," Kim Hwa Cinjin berkata
dengan sikap sopan dan alim, lalu dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng
terbelenggu di atas pembaringan.
Beberapa
orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu, ada pun Giok Keng terpaksa
menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan
hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan
penasaran pada ‘siluman’ itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan
diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi
meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu.
***************
Baru sekali
itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak
tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan
tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, di malam itu, dia kelihatan
termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang
awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu kini
menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari
gedung hartawan Ciong malam kemarin.
"Sialan!"
gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan.
"Uang sialan!" Dia menonjok ke arah kantung itu.
Dia sudah
mengatur akal, dan memang siluman itu pun telah keluar, akan tetapi sekarang
siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga
turut hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagaimana jika sampai pendekar
wanita itu tertimpa mala petaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar
wanita itu celaka. Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar
wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum
berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua
Cin-ling-pai.
"Uang
sialan! Siluman sialan!" dia berkata agak keras dan kembali dia menonjok
ke arah kantung uang.
"Hemm,
kiranya di sini kau sembunyi!" Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan
seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap
tenang sekali.
Melihat
seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can
Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya!
Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang maju menggunakan ginkang-nya
yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia langsung menerkam
bagaikan seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci.
Akan tetapi
sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari
Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan
dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai!
Laki-laki
itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu
menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi mendadak
tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar lelaki itu
menghardik,
"Manusia
busuk! Ternyata engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan di mana kau
sembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!"
"Sialan...!"
Can Pouw memaki gemas. "Siluman sial dangkalan!" Siapa yang tidak
menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu!
"Ehh,
apa maksudmu?" Laki-laki itu menghardik. "Hayo jekas mengaku, siluman
keji!"
"Bagaimana
saya harus mengaku jika bukan saya silumannya?" dia balas bertanya penuh
kemendongkolan.
"Hemmm,
sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di
meja itu hasil curianmu?"
"Memang,
akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang asli!
Sudahlah, siapa pun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang
asli, bila tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya
kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, jika kepada puteri ketua Cin-ling-pai
kau masih juga tak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!"
Orang itu
kelihatan terkejut bukan main. "Apa?! Siapa?! Puteri ketua Cin-ling-pai?
Apa maksudmu? Di mana dia?"
Tubuh Can
Pouw terguncang ke kanan dan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua
tulangnya rontok. "Eh-eehhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan
pertanyaan itu kalau aku kau goncang-goncang seperti ini?"
"Brukkk!"
Tubuh Can
Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata, "Cepat kau
ceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua
Cin-ling-pai?"
Can Pouw
meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki
itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama
beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak
dipicingkan.
Dia melihat
bahwa pria itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda,
berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada
sinar duka pada kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah
seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia
mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang
pendekar, karena tidak mungkin lelaki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan
tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman.
"Hemm,
kalau awak lagi sial!" dia menggerutu. "Sudah dua kali berturut-turut
aku dikira jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua
Cin-ling-pai, kedua oleh kau!"
"Lekas
ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!"
"Baik,
dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki
adanya siluman itu tanpa hasil, lalu mengambil keputusan hendak memancing
siluman itu keluar dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya,
perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai
sehingga hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu
dia dan kemudian malam ini kami berdua menanti akan hasil rencanaku itu yang
disetujui pula oleh Cia-lihiap. Siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai
hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman
itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan pada waktu aku sedang
termenung bingung menanti di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai
pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!"
"Ahh,
ke mana perginya Cia-lihiap...?" Laki-laki itu bertanya dengan nada suara
khawatir.
"Bagaimana
saya tahu?" Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya
dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.
"Sudah
kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap
menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri dan
dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku
tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku
kembali ke sini dan menunggu kembalinya Cia... ehhh, apa ini?" Can Pouw
terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja,
kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia telah menyambar
tubuh Can Pouw lalu dibawanya meloncat keluar dari jendela, kemudian mendekam
tak jauh dari situ.
"Ssstttt,
ada orang datang...!" bisik laki-laki itu kepada Can Pouw.
Mereka
menanti dan jantung Can Pouw berdebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal
seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah!
Tidak lama
kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul.
Hwesio! Mereka itu mempunyai gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan
tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu kedua
bayangan itu kembali berkelebat keluar terus melayang ke atas genteng. Can Pouw
hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan sesudah dia menoleh,
ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula.
Can Pouw
membanting-banting kakinya. "Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang
tadi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula!”
Akan tetapi
dia segera berpikir bahwa tak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi.
Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk
membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya
antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta.
Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong!
Can Pouw
adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta
itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa
tentu ada apa-apanya di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio di
sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu
lagi, cepat dia pun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya,
cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong!
Siapakah
laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia
Giok Keng tadi? Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong!
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari
pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera
Cia Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng.
Namun, Kun
Liong lebih mementingkan penyelidikannya mengenai Lima Bayangan Dewa sampai
akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi
Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai
itu pun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata
telah ditolong oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama.
Sesudah
kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan
isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar mengenai siluman yang sudah mengacau
di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok. Maka dengan hati
penasaran pendekar ini segera menyelidikinya dan kebetulan malam itu dia
melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan pada saat Can Pouw dengan jalan
tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng!
Sekarang
dengan perasaan terheran-heran Kun Liong mengikuti dua orang hwesio yang
mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu
memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi,
Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar
besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua
kakinya di tiang melintang.
Alangkah
kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di
atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung
berisi uang emas.
"Suheng,
inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di
penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, karena itu kami
hanya dapat membawa karung ini saja."
"Nah,
losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?" terdengar Giok Keng berkata.
"Nanti
dulu, toanio. Memang benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw
belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya
ditipu saja! Betapa pun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan
semuanya ini kepada yang berwajib. Kami masih merasa ragu-ragu karena bagaimana
kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai,
bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?"
"Losuhu
keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!" Tiba-tiba terdengar suara
orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan seorang laki-laki berdiri di
dalam kamar itu.
Tentu saja
Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka
bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, sekaligus merupakan
tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat
ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya
sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka!
"Yap-suheng...!"
"Cia-sumoi,
tenanglah," kata Kun Liong.
Mendengar
sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sute-nya yang bermuka bopeng sudah
mengeluarkan teriakan keras maka berbondong-bondong datanglah belasan orang
hwesio mengepung kamar itu.
Akan tetapi
Kim Hwa Cinjin yang pernah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap,
yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat supaya
anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap
di dada dia berkata,
"Omitohud...
banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di
Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa
maksud kedatangan sicu di sini?"
Kun Liong
cepat menjura, kemudian berkata dengan sikap hormat. "Saya bernama Yap Kun
Liong, tinggal di kota Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya
menyelidiki dan tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emas ke
sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng
juga ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu sudah salah tangkap
dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan
tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!"
"Omitohud...
pinceng benar-benar menjadi bingung," Kim Hwa Cinjin berkata. "Sumoi
dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, namun kemarin malam
hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang
katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah,
Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap
Cia-toanio yang perbuatannya amat mencurigakan itu. Akan tetapi, sesudah sicu
muncul, ada saksi bahwa dia adalah benar puteri ketua Cin-ling-pai, maka tidak
ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!"
"Biarkan
saya yang melepaskannya!" kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan.
Jari-jari
tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan
pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk
melancarkan darah.
"Maaf,
toanio," Kim Hwa Cinjin menjura. "Kami hanya menjalankan kewajiban
kami, dan bagaimana pun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar
setempat bersama Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak
terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi
menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk
menghilangkan rasa tak enak dan kekagetan Cia-toanio."
Si muka
bopeng itu mengangguk lantas keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar
suaranya dari kamar belakang, "Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh?
Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?"
Tiba-tiba
banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah
Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri,
menangkis dan mengelak.
"Cia-lihiap,
awas, mereka itu bukan hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka semua adalah
tosu-tosu Pek-lian-kauw!" Terdengar suara teriakan keras kemudian
muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong
sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong!
Bagaimana
Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti
yang telah kita ketahui, Can Pouw merasa curiga melihat bahwa yang mengambil
karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi
memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, saat dia tiba di situ, semua anak
buah Pek-lian-kauw telah berkumpul dan mengurung kamar besar atas isyarat sute
dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong.
Karena kuil
itu sepi akibat ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk
menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang hingga mendengar isak tangis
tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat
beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas
pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan
karena mereka itu kelihatannya takut sekali!
Can Pouw
tidak berani masuk karena melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka
dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya dalam sebuah kamar gudang dia
melihat hwesio-hwesio asli Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan mulut
mereka disumbat!
Can Pouw
cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, lalu bersama dengan ketua itu yang
telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang telah menyergap
mereka dan menguasai kuil, dia cepat pergi ke kamar yang terkurung dan membikin
ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata
rahasia.
Tentu saja
Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat bahwa rahasia
mereka kini sudah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio
palsu itu lantas mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng
dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh...!
Akan tetapi
orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama
sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali ketika
melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw
yang menyamar. Can Pouw juga mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio,
sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lainnya
membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya mengeroyok Kun Liong dan Giok
Keng.
Pertempuran
hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi
pertempuran itu sendiri sama sekali tidak berimbang. Belasan orang yang
dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya itu sama sekali bukanlah
lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Memang harus
diakui bahwa kepandaian ketiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin,
cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu
dan bukan apa-apa. Oleh karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut
penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar
itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak
buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya!
Ketika Can
Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke
sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang
bergerak-gerak, lalu tiba-tiba dia membentak, "Lihat ini!" Dan dia
sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara
jari-jari tangannya.
"Heiiiii,
itu punyaku!" teriak seorang di antara dua orang pengeroyoknya yang
bermata juling.
Kiranya
kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan
dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana sudah dicopet
oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya!
"Nah,
ambillah!" kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu
mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw
bergerak dari bawah menendang.
"Dessss...!”
“Auwwwww...!"
Si juling terkejut dan berteriak, lantas berloncatan dengan kaki kiri sambil
memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya
itu kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik.
Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum.
"Heh-heh-heh,
dan ini punya siapa?" Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut
berupa burung terbuat dari emas dihias mutiara, yang dicopetnya dari saku baju
pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu langsung kembang kempis
ketika orangnya sudah mengenali barangnya.
"Si
copet busuk! Kembalikan barangku!" hardiknya.
"Boleh,
mari ambillah!" Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya.
Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil
memperhatikan kaki Can Pouw.
"Plokkk!”
“Aduhhh...!"
Kiranya sekali ini Can Pouw bukannya mempergunakan kakinya, melainkan
menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan ujungnya runcing keras
untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu langsung menjadi
remuk dan darah mengucur deras.
Sambil
tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang
pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika
itu pertempuran sudah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang
tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin beserta dua orang
sute-nya berhasil meloloskan diri dengan mempergunakan selampe merah yang
mengeluarkan debu merah beracun.
Semua hwesio
Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang
menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian. Dengan
girang Giok Keng dapat menemukan kembali pedangnya dan setelah mewakilkan
kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun
Liong serta Giok Keng cepat pergi meninggalkan kuil itu di waktu itu juga,
yaitu lewat tengah malam menjelang pagi!
Can Pouw
dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, kemudian mengumpulkan
gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah
dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian,
baik dari para hwesio dan dari para pembesar mau pun dari semua penghuni kota
Heng-tung.
Berkat
jasanya yang besar, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di kota
Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh
kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai
penasehat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong.
Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat.
Tentu saja
dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling
Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-ci Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu).
Jari-jarinya yang seribu sekarang bukan lagi digunakan untuk mencopet,
melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk
anggapannya sendiri.
***************
"Terima
kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku."
"Ahhh,
hal itu tidak perlu disebut lagi, sumoi. Aku malah mempunyai berita yang jauh
lebih menyenangkan bagimu."
"Lie
Seng?" Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan.
Kun Liong
mengangguk.
"Bagaimana
dengan dia, suheng? Dan di mana dia?"
"Dia
selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku..."
"Kok
Beng Lama...?" Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar.
Kun Liong
mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng
yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri
dan dia pun mengatakan bahwa racun yang jahat itu sudah berhasil dikeluarkan
dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari
Giok-hong-pang.
Giok Keng
mendengarkan dengan jantung berdebar-debar, dengan perasaan bercampur aduk.
Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu
malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai
dulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang
dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan penyebab yang menimbulkan keributan
dan mala petaka, malah menjadi penyelamat puteranya.
Teringatlah
dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak
benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat
bisa saja terjadi perubahan pada orang itu!
"Jadi...
kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru
mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?"
"Yang
menculik puteramu memang jelas Bi Kiok, akan tetapi yang membunuh Hong Khi
Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa."
"Hemm,
Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!" Giok Keng berkata
geram.
"Tidak
perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh
isteriku?"
Giok Keng
terkejut sekali. "Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?"
Kun Liong
mengangguk. "Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah."
"Bukankah
dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng," kata Giok
Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini.
Kun Liong
lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata
berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang
sakti sesudah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja
adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan
dia pun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi
karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.
"Apa?
Karena cinta kepadamu, suheng?"
Kun Liong
mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu
muda dulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik,
ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang.
"Karena
aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku sudah menikah dengan Hong
Ing, lalu dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia
hampir mati." Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok
di benteng Raja Sabutai.
Mendengar
cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang. "Ternyata bahwa
cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka..."
"Memang,
kalau cinta hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta
Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang
dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi..."
"Sudahlah,
sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng sudah selamat, akan tetapi
engkau... masih ada Mei Lan yang belum kau ceritakan. Bagaimana dengan
dia?"
Wajah Kun
Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Aku
belum menemukan jejaknya, sumoi."
"Aku
justru sedang menyelidikinya, mulai dari Leng-kok di mana dia menghilang dan
saat aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat
menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena
menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini."
"Aku
sendiri pun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar
tentang siluman itu lalu kebetulan dapat bertemu denganmu di sini, sumoi."
Tiba-tiba
Giok Keng berkata, "Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong
adikmu?"
Kun Liong
terkejut dan memandang wanita cantik itu. "Apa maksudmu, sumoi? Apa yang
terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana
kaisar?"
"Jadi kau
belum tahu tentang penculikan itu?"
"Penculikan?
Apa? Siapa...?"
"Aku
pun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dialah yang baru
mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja
Sabutai dan dibawa keluar tembok besar..."
"Ehhh...?"
Kun Liong terkejut sekali mendengar berita ini. "Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?"
"Kurasa
orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, walau pun maling, ternyata dapat dan boleh
dipercaya, suheng."
"Kalau
begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!"
"Aku
akan membantumu, suheng."
"Jangan,
sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar..."
"Suheng,
apakah kau masih meragukan perasaanku yang sangat menyesal dan berdosa terhadap
dirimu? Apakah kau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini?
Andai kata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri
ke sana untuk menolong In Hong."
Kun Liong
menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di
dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya satu wanita inilah yang
akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas
panjang dan mengangguk, berkata lirih, "Baiklah, sumoi. Mari kita pergi."
Mereka
berdua tidak berbicara apa-apa lagi, melainkan mengerahkan seluruh kekuatan
mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara.
***************
Biar pun
pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati,
akan tetapi tidak membuat kedua orang pemuda itu menjadi takut. Sesudah
berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng langsung
melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat
dari Si Kwi.
Tentu saja
mereka maklum bahwa memasuki Lembah Naga sama artinya dengan masuk ke goa naga
siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja tentu
mereka tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka
bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat
bertemu dengan In Hong dan Bun Houw supaya mereka dapat menyampaikan rahasia
kelemahan dua orang kakek dan nenek iblis seperti yang telah mereka ketahui
dari Ratu Khamila.
Akan tetapi,
dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah
Naga, mereka telah diawasi dan semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh
fihak musuh!
Oleh karena
itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang
seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar
itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan
belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!
Melihat
munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal
takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat
gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan
waspada dalam tiap perbuatannya.
Melihat
bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri
menghadang itu jelas menunjukkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu
memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya,
"Kami mohon maaf apa bila mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya
di manakah letaknya Lembah Naga?"
"Huah-ha-ha!"
Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar
dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. "Sudah berada di depan mulut
naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua
ekor kelinci ini untukmu?" setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin
Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng.
Tio Sun
cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis
dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu
menghindar dan masih kecipratan arak pada lehernya, terasa panas dan sakit
seperti jarum. Hal ini membuat dia marah sekali, tangan kirinya bergerak dan
nampak sinar kilat berkelebat lantas sebatang pisau terbang menyambar ke arah
leher Ang-bin Ciu-kwi.
"Tranggg...!"
Pisau itu
tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan
tetapi Bouw Thaisu cepat berkata,
"Ciu-kwi,
tahan dahulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang
datang!"
Ang-bin
Ciu-kwi mau menurut dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok
Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena nafsu birahi
wanita cabul ini sudah terbangkit ketika dia melihat seorang pemuda yang
bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!
"Orang
muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?" Bouw
Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus.
Tio Sun
melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai
ini, biar pun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada
gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan.
"Saya
bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja
datang ke Lembah Naga untuk mencari keterangan mengenai nona Yap In Hong yang
kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga."
"Hemm,
sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!" Bouw Thaisu
berseru kagum juga. "Apakah kalian ini utusan kaisar?"
"Bukan,
akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biar pun kami bukan
langsung menjadi utusan kaisar, akan tetapi saya adalah putera dari Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan, bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan
sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The
Hoo. Oleh karena itu..."
Mendadak
terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek, "Bagus
sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka berdua
merupakan keturunan musuh-musuh kami!"
Tio Sun dan
Kwi Beng terkejut karena biar pun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun
mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang
sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti
hingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula.
Akan tetapi
dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena
begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu sudah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I
Siankouw sudah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap
menghadapi segala bahaya. Oleh karena itu, begitu melihat kakek dan nenek itu
bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.
"Dukkk!"
Tio Sun
terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan
kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut sekali. Tadi, karena
telah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang memiliki ilmu
tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk
menangkis. Akan tetapi ujung lengan baju kakek itu ternyata mengandung tenaga
yang bukan main kuatnya hingga dia tergetar dan terhuyung.
Karena
maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu
lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang
pada tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di
tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia langsung menerjang
maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan seperti biasanya, kakek ini
hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.
Sementara
itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah
terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga meski
pun Kwi Beng sudah mengamuk, mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan
semua tenaganya, tetapi belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas
dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh
Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun.
Tentu saja
pemuda ini menjadi semakin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah
kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju
lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai dari pada dia.
Pemuda
perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I
Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap
oleh Bouw Thaisu lantas sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw
mengenai lututnya hingga membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun
ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus.
Tubuh dua
orang pemuda yang sudah diringkus kaki dan tangannya itu diseret ke dalam
sebuah rumah besar, lalu dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li
yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah
Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi Beng duduk di atas lantai menghadapi kakek
dan nenek yang duduk di atas kursi itu.
"Benarkah
engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?"
Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun.
Pemuda ini
mengangguk.
"Hemm,
mengapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Mengapa
mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?" tanya pula
Pek-hiat Mo-ko.
Tio Sun
memandang dengan sikap tenang. "Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu
akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri
untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong."
"Ha-ha-ha,
nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?"
"Tentu
saja aku tahu. Pada saat engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua
Cin-ling-pai, aku sudah melihat kalian."
Tiba-tiba
Hek-hiat Mo-li yang semenjak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada
pemuda itu. "Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana
engkau tadi berani mengaku bahwa engkau adalah cucu murid The Hoo?"
Kwi Beng
balas memandang dengan dua mata melotot, "Nenek gila! Dengarlah baik-baik.
Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo,
sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian
agar membebaskan nona Yap In Hong!"
"Heh-heh-heh-hi-hik!"
Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kanannya bersinar-sinar aneh.
"Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan
burung nazar, heh-heh-heh!"
"Benar!
Bawa mereka keluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu akan datang
orang-orang yang lebih penting untuk menolong mereka dan menghadapi kita, tapi
kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!" kata
Pek-hiat Mo-ko.
Para anak
buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu,
dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan
mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio
Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa
terlindung apa pun.
Kedua orang
pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun
segera mendapat kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa
Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas sehingga nampak darah di pergelangan
tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta
dengan kuat, Tio Sun berkata,
"Tenanglah,
Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang
kuat sekali dan tak mungkin bisa kita putuskan begitu saja. Tidak baik
membuang-buang tenaga dan lebih tidak baik kalau sampai darah kita keluar
karena hal itu akan menarik perhatian burung-burung di sana-sini."
Kwi Beng
mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar
bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan
di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan
bangkai yang liar dan buas!
Wajah Kwi
Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya,
hatinya penuh iba. "Engkau takut, Beng-te?"
Kwi Beng
memandang kepadanya, lalu mengangguk.
"Tidak
aneh, aku pun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi engkau jangan
khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebenarnya adalah
binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang
hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa
kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana
takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada
Cia-taihiap atau nona Yap."
Kwi Beng
kelihatan termenung, tak lagi mempedulikan burung-burung itu. "Ah,
bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh..."
"Nona
Yap? Kiranya tidak mungkin. Apa bila mereka itu hendak membunuh nona Yap In
Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh
ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek bersama nenek gila itu tentu
menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan agar memancing datangnya
orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua
Cin-ling-pai dan lain-lain."
Mereka kini
tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh
mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang
saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia takkan
mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah
disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong
dengan taruhan nyawa.
In Hong!
Dara yang sudah membetot semangatnya, yang merampas hatinya, dara yang
dicintanya, namun... bagaimana kalau ternyata gadis itu tidak membalas cinta
kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa dari pada keadaan
jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari
ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata,
seperti orang dalam semedhi.
Kwi Beng
merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu,
yang dicintanya hingga membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak mempedulikan
dia, apa lagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya,
kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu
mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya
dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan
ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.
"Tio-twako...!"
Tio Sun
membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua mata
Kwi Beng basah.
"Ehhh,
kau menangis, Beng-te?" tanyanya kaget dan kecewa karena tidak disangkanya
pemuda itu demikian lemah dan cengeng.
"Tidak,
twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku..."
Tio Sun
menarik napas lega dan tersenyum. "Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa
bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar
sejati."
"Twako,
aku menderita sekali..."
Tio Sun yang
tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia
menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan.
"Aku mengerti, Beng-te, aku pun menderita. Siapa yang tidak menderita
dalam keadaan seperti kita ini?"
"Bukan
itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya bila dibandingkan
dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku."
"Maksudmu?"
"Aku
merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta
itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku,
twako."
Tio Sun
mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia dengan semua peristiwa yang dialaminya bersama
pendekar muda Cia Bun Houw dan semakin menebal dugaannya bahwa besar
kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta
Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara
dia dan Kwi Beng.
"Mudah-mudahan
dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan engkau tidak bernasib seperti
aku..."
"Eh?
Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu,
benarkah?"
Tio Sun
mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah
memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap
saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan
dia melihat betapa Tio Sun bagaikan orang disambar petir dan seperti orang
sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah,
mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?
"Twako...
maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?"
Tio Sun
merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.
"Ahh,
maaf, twako... sungguh kasihan kau...," Kwi Beng berkata dengan hati
terharu.
Akan tetapi
Tio Sun sudah berhasil menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh,
kemudian memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. "Kuharapkan engkau tidak
akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andai kata begitu, andai kata
nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan
hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah
berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan
ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang
kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau
orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita
harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang
kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin
memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan
diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih
orang lain, demi kebahagiaan dia."
Kwi Beng
memandang dengan mata terbelalak, kadang kala dikejapkan untuk mengusir air di
dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan
bercampur pula dengan air mata keharuan.
"Twako...
kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng
belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali memiliki
seorang ipar seperti engkau, Tio-twako."
"Terima
kasih, Beng-te."
Sekarang
mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Matahari makin panas karena makin
mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang
terbang mengelilingi angkasa di atas kepala mereka, seakan-akan mereka itu
hendak memeriksa apakah sudah tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan
daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap
di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh
mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan
suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba!
Kwi Beng
bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya sehingga
seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang
mata Kwi Beng tertuju ke depan.
"Twako...
lihat...," dia berbisik.
"Sstttt...!"
Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar ini pun sudah membuka matanya yang
sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat mendatangi ke arah
mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka.
Kiranya
mereka itu adalah dua orang anak-anak, yang seorang perempuan, yang seorang
lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang
laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah
Mei Lan dan Lie Seng!
Seperti kita
ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng
dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng
dikepung lalu ditangkap. Mereka tak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi
di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat
pada tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei
Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.
Pada waktu
mengenali dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada
bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati
Tio Sun. Ternyata kedua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan
demikian berarti dua orang kakek itu pun bukan orang Lembah Naga!
Betapa pun
juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan
orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang memiliki ilmu yang lihai, akan
tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah.
Karena itu,
Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. "Nona, lekas kau tinggalkan kami...
harap kau bantu kami menyelundup ke dalam... dan kau cari nona Yap In Hong dan
Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah.
Cepat...!"
Mei Lan
adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio
Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apa lagi dia
mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu
tertawan di sini?
Dia
mengangguk kemudian cepat pergi dari situ, berlari dengan cepat sekali ke arah
yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah
perkampungan Lembah Naga.
Sedangkan
Lie Seng terus melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan
Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu
yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara
bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak-anak buah Lembah Naga yang
memang bertugas menjaga sampan itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada
orang luar datang mereka dapat cepat melapor.
"Tangkap
bocah itu!"
"Kejar
yang perempuan! Dia lari ke dalam...!"
Lie Seng
yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan
keberanian yang mengagumkan. Salah seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam
mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan
mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan
meringkusnya!
Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil 'Dipancing'
hanyalah dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan
belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu,
kiranya yang mereka tangkap hanya teri!
"Ikat
bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!" bentak
Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai
tidak memeriksa lebih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan
sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!
Tio Sun dan
Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga
belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut,
ketika dengan kasar anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga
di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!
Setelah para
anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu,
burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan
bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan
seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung
nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.
"Phuhhh!
Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nanti!"
Burung itu
terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga
leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu sangat mudah dan
enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.
"Ehh,
adik kecil. Kau tidak takut?"
Lie Seng
menoleh ke arah Kwi Beng, bibirnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang
wajar. "Takut? Takut apa?"
"Takut
kepada burung-burung itu, takut kepada kematian."
"Huh,
siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka
perlu ditakuti?" Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar
keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang
terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.
"Adik
kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong
kami?"
"Aku
she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dengan
Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian.
Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha
membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula."
Bocah ini
mempunyai watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan
padat.
"Apakah
anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?" tanyanya.
"Bukan.
Aku pun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling
bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian."
"Adik
Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas semua usaha kalian menolong kami.
Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal
sekali..."
"Bukan
salah kalian. Tak perlu disesalkan."
Tio Sun
kembali tertegun. "Kau tidak menyesal? Dan juga tidak khawatir? Apakah
engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?"
Lie Seng
menjawab singkat, "Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andai kata
tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?"
Tentu saja
Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.
"Adik
kecil, engkau sungguh luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu
dan engkau datang dari keluarga mana?" Tio Sun mendesak karena dia sudah
merasa amat tertarik.
Lie Seng
menatap bergantian pada mereka berdua. Bukan wataknya untuk menceritakan
keadaan keluarga, apa lagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia
melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia
menjawab singkat.
"Yang
kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku."
"Ohhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena
mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun
Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai...!
***************
Berbeda
dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga
mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah
Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan.
Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui
jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang
mengerikan!
Dua orang
ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan sudah sering kali dalam kehidupan mereka, keduanya
berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan
mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka
menjadi bingung juga.
Beberapa
kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki
daerah rumpun ilalang yang merupakan padang ilalang yang seperti lautan,
seolah-olah tidak ada batasnya. Dan lorong yang kecil dan berupa jalan setapak
itu sudah membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembali ke lorong yang sama!
"Ini
tentunya merupakan jalan rahasia yang menyesatkan," akhirnya Giok Keng
berkata karena sudah kehabisan kesabaran. "Suheng, lebih baik kita
memotong jalan, menerobos ilalang saja!" Sambil berkata begitu, pendekar
wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan
tubuhnya.
"Ihhhh...!"
Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan.
Cepat dia
menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki
pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk maka belitannya pun mengendur.
Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa
yang datang dan menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah,
pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong
disambar sinar pedangnya.
"Sumoi,
kita pergi menjauhi tempat ini!" kata Kun Liong.
Biar pun
mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di
sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.
Akhirnya
mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat
padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan
sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan
berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata
mereka terhalang.
"Aihhhh...
indah sekali!" Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya
karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di
tangan. "Kita dapat melakukan perjalanan cepat jika begini," katanya
sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.
"Clupp...!"
"Aihhh...!
Suheng...!" Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget
hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak
hingga sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek.
Betapa pun dia telah mengerahkan ginkang-nya, namun tetap saja kedua kakinya
sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!
"Tahan...!
Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikit pun juga!" Kun
Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat
seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu
karena hal itu berarti dia pun akan ikut terjeblos pula. "Pertahankan,
jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk
menolongmu!"
Akan tetapi
dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan. Pendekar wanita itu
menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian
terdengarlah wanita itu berseru. "Tidak perlu, suheng... lekas tolong...
kau sambut ini...!"
Tangan Giok
Keng telah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang
selalu dilibatkan di pinggangnya sebab benda ini merupakan senjatanya yang
ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan lantas
ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.
"Pegang
kuat-kuat, sumoi!" kata Kun Liong, kemudian pendekar ini mulai mengerahkan
tenaganya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.
Walau pun
agak susah payah dan hati-hati sekali supaya sabuk merah itu tidak putus,
akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di
atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh,
"Aduhhh...
suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!"
Dia cepat
menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel pada betisnya,
wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh
Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor
lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu!
Kun Liong
membunuh lintah-lintah itu, kemudian dia memondong tubuh Giok Keng yang hampir
pingsan saking ngeri dan jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di
tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.
"Ahhh,
suheng...!" Giok Keng terisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun
Liong.
Sejenak
mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh
peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang
memang semenjak dahulu saling tertarik akan tetapi tidak memperoleh kesempatan
untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum
pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing
memperkuat dorongan itu.
"Sumoi..."
"Suheng,
aku cinta padamu, suheng... ahh, baru sekarang aku merasakan hal itu..."
"Sumoi,
aku pun cinta kepadamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan
hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita
saling mencinta, dan justru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan
jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang
melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat
engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkau pun tentu begitu pula, kalau memang
engkau cinta padaku..."
"Suheng,
aku cinta padamu... bukan untuk itu saja... oohhh..." Tubuh itu menjadi
lemas dan Giok Keng roboh pingsan.
Kun Liong
kaget bukan main. Cepat dia membersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh
Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas
alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan.
Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng
keracunan, biar pun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan
kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingsan.
Kun Liong
cepat mencuci pakaian Giok Keng yang penuh lumpur, memeras airnya dan beberapa
kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar
dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke
tubuh Giok Keng yang masih pingsan.
Dibantu oleh
hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, maka sebentar saja hawa
beracun dari gigitan lintah-lintah tadi sudah lenyap dan Giok Keng mengeluh,
lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat
bahwa tubuhnya sudah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan
memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.
Akan tetapi
kedua pipinya berubah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.
"Syukur
engkau tidak apa-apa, sumoi," kata Kun Liong.
Giok Keng
menarik nafas panjang. "Hemm, sungguh berbahaya sekali... terima kasih
atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kau lakukan
untukku, suheng."
Kun Liong
tersenyum, memegang tangan wanita itu kemudian menariknya berdiri sambil
tersenyum dan berkata, "Masih perlukah sikap sungkan-sungkan dan kata-kata
tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?"
Dengan
saling berpegangan tangan mereka diam tanpa bergerak, hanya saling pandang dan
sadar, mata mereka seolah-olah menyorot hingga ke dasar lubuk hati
masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.
"Mari
kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi."
"Baik,
suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat
berbahaya."
Keduanya
lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegangan
tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling
menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andai kata
tadi mereka saling bergandengan pada saat kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun
Liong dapat seketika menolongnya.
Berkat ilmu
mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat berhati-hati, akhirnya kedua
orang pendekar ini dapat melewati Padang Bangkai, memasuki perkampungan,
kemudian menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka memasuki
daerah Lembah Naga.
Sekarang
kedua orang itu merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan
kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni dari pada perasaan cinta
yang hanya menuntut pemuasan nafsu birahi semata. Lebih mirip cinta antara
sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih dari pada
keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu
bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan
atas kesalahan diri sendiri.
Matahari
sudah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok
Keng menahan seruannya lantas menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang
bergerak dan beterbangan di atas sebatang pohon.
Kun Liong
juga memandang dan berkata, "Agaknya itu adalah burung-burung
rajawali..."
"Bukan,
suheng. Burung rajawali lebih besar, seperti burung elang."
Mereka mempercepat
langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan
lebih jelas.
"Ahh,
burung nazar, burung pemakan bangkai!" kata Kun Liong.
"Mari
kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan
lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan untuk menanti
bila di bawah terdapat makhluk yang mereka harapkan akan mati tak lama
lagi."
"Mari,
sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!"
Mereka kini
menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, akan tetapi masih tetap
waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat
di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.
"Ahh,
benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka
mati," kata Kun Liong.
Mereka cepat
memasuki lapangan. Dari jauh kelihatan oleh mereka dua orang laki-laki dewasa
dan seorang anak laki-laki terikat pada tonggak kayu salib masing-masing dalam
keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan
berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat.
Tiba-tiba
terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan
sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu
salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh
ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban
sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.
"Seng-ji...!"
teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak
itu bukan lain adalah puteranya!
"Ibu...!"
Lie Seng juga berteriak girang.
"Sumoi,
nanti dulu...!" Kun Liong berseru.
Akan tetapi
Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat
di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari
menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk
melindungi Giok Keng dan pada saat itu pula dari empat penjuru menyambar anak
panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng!
Tentu saja
wanita itu tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat-cepat mencabut
Gin-hwa-kiam lalu memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong sudah
tiba di sampingnya dan pendekar ini juga langsung meruntuhkan banyak anak panah
dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung
mereka hingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia
dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang.
Ketika Kun
Liong memandang, dia melihat orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I
Siankouw, serta dua orang lain yang tidak dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin
Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembang Naga yang mengurung
tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!
Giok Keng
tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk
merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah supaya
dia dapat membebaskan puteranya. Akan tetapi, Hek I Siankouw sudah
menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu
dengan pedang hitamnya.
Kun Liong
juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi dia pun segera
disambut oleh Bouw Thaisu yang langsung menyerangnya dengan kedua ujung lengan
bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang sudah dinanti-nanti
oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh sangat banyak dan lihai, maka begitu
bergerak dia sudah mempergunakan gerakan-gerakan dari ilmu mukjijat yang
didapatkannya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga baru dalam beberapa gebrakan
saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat
mundur sambil mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak peduli dan
terus mendesak, sekarang dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan
Putih) yang mukjijat.
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali
mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang.
"Ahhhh...!"
Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat pada waktu
tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi dia pun merasa
penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang
ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.
"Plakkk!"
Kun Liong
mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan
berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi I-beng.
"Aughhhh...
lepaskan...!" Bouw Thaisu berseru keras saat merasa betapa tenaga sinkang
dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada
lengan lawan. Betapa pun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya
itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar.
"Wuuttt...
pyarrr...!"
Terpaksa Kun
Liong harus melepaskan Bouw Thaisu karena guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi
mengancam kepalanya ada pun dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah
yang mengancam kedua matanya.
Bouw Thaisu
terhuyung dan mukanya agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung
lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah
menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main.
Sementara
itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak
buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Akan tetapi, mengingat bahwa puteranya
diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini
menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, bagai seekor harimau
betina diganggu anaknya.
Juga Kun
Liong, meski pun dikeroyok oleh banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan
keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya,
segera mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor
naga sakti.
"Ayah...!"
tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki
medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah
Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.
"Mei
Lan...!" Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main.
Dia merasa
girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu.
Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu,
girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan
khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.
Mei Lan ikut
mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang
anak buah Lembah Naga, tak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau
Coa-tok Sian-li.
Tentu saja
di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi
untuk diajak berbicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja
perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangan kata untuk
bercakap-cakap, bahkan untuk melirik ke arah puterinya itu saja dia kekurangan
waktu!
Sementara
itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama Mei Lan, cepat menengok
dan dia pun girang bukan kepalang melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang
dicari-cari itu berada di situ.
"Plakkk!"
Giok Keng
terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak segera berjungkir balik dan
pedangnya menyambar merobohkan seorang anak buah Lembah Naga yang tadi sempat
menghantam punggungnya dengan ruyung. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit,
akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah sesudah dia
melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula!
Kun Liong
maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu
mereka, maka kedua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng
menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan
tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat
melawan lagi.
Mengingat
akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang
amat hebat dengan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat
orang-orang selihai Bouw Thaisu sekali pun sampai meloncat mundur sedangkan
Ang-bin Ciu-kwi bersama isterinya sampai terdorong ke belakang akibat sambaran
angin pukulan-pukulan sepasang tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang
anak buah Lembah Naga yang terlempar dan terbanting. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik,
"Lan-ji,
kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!"
Mei Lan
memang cerdik. Dia mengangguk karena dia segera tahu apa yang dimaksudkan oleh
ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka
menghadapi musuh yang begitu banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa
menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya,
berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak
mempedulikan apa-apa lagi, melainkan bermesraan berdua di dalam kamar!
Tentu saja
gadis cilik ini tidak tahu apa yang terjadi ketika dia berhasil sampai di
tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk
berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dengan dua telapak tangan mereka
saling menempel dengan mesra! Oleh karena itu, setelah dia memanggil-manggil
tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus dia sampaikan menurut
apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.
Kini Mei Lan
cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh
gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan ginkang, berlari meninggalkan
gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, serta Lie
Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa ia
mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa,
semakin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu.
"Terima
kasih, adik yang baik, terima kasih...," suara Kwi Beng ini makin
menggugupkan Mei Lan.
"Jangan
berterima kasih dulu! Kau belum bebas!" Akhirnya Mei Lan berkata karena
suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dirinya gugup. Dia sendiri
tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini
untuk dibebaskan lebih dulu!
Akan tetapi,
pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah
Naga sudah menerjang maju pada waktu mereka melihat usaha Mei Lan untuk
membebaskan tawanan. Maka Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan
Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang
itu lebih dahulu.
Sebatang
golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan pada
saat golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke
arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas
dan cepat Mei Lan menyambar golok itu lantas membacok ke arah punggung lawan.
Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga
bacokannya sehingga sasarannya pun berubah ke bawah.
"Crokkkk!"
"Aduhh...!"
Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah sebab yang terbacok
adalah daging tebal dari pinggulnya.
"Trangg-tranggg...!"
Berturut-turut
Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi
karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal
dan berat sekali, maka tangkisan yang ketiga kalinya melawan pedang seorang
anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya.
Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka!
Mei Lan
cepat-cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah, dan pada waktu tiga
orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini
bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng langsung
memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut
tanpa dia mampu menolong sama sekali.
Tio Sun dan
Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun
sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat
terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti
harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu.
Pemegang
tombak itu menjadi sangat gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu
menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan
tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan.
Mei Lan
maklum akan bahaya yang mengancamnya. Maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas,
membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya kemudian dengan lincahnya dia cepat
miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak
itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya
yang kecil menendang bawah pusar.
"Bocah
setan!" teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya.
Akan tetapi
Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba, kemudian ketika si pemegang tombak
mendoyong ke depan, dia langsung menyelinap ke belakang tubuh si pemegang
tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri.
Pada saat
itu pula pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya, dan dengan kakinya, Mei Lan
mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara
tiba-tiba.
"Desss....!"
Pundak si
pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya
gelayaran.
"Bagus!
Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet
itu!" Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan
mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan
matanya kembali karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah
datang mengeroyok Mei Lan!
Sekali ini
keadaan Mei Lan betul-betul terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh
terlentang ketika pahanya terkena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu
sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik
itu.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam
orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar
suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang
seperti badai mengamuk.
"Suhu...!"
Lie Seng berteriak girang. "Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!"
Ternyata
yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar,
didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap kali digerakkan
mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia
menggerakkan tangan, tentu ada dua atau tiga orang anak buah Lembah Naga yang
terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa
mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!
"Kok
Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" tiba-tiba saja
terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko beserta Hek-hiat Mo-li
yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat.
Agaknya
sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan
mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut
untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah
dihajar jatuh bangun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka
adalah senjata mereka yang sangat berbahaya, maka begitu kedua orang kakek dan
nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya sempat mengeluarkan suara ketawa satu
kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang
lihai itu.
"Enci
Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!" Lie Seng berteriak.
Sekali ini
Mei Lan lari menghampiri Lie Seng, dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie
Seng tidak sekuat ikatan di tangan kedua orang pemuda itu, dia dapat
membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut
mengamuk melawan anak buah Lembah Naga!
Akan tetapi,
Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini
dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat
Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah
mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan
Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela diri pula karena sudah
ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya.
Pertandingan
itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang
dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Telah beberapa kali
pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil
mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dahulu pernah dia
gunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu.
Akan tetapi,
sekali ini Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan
Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan
sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali
tidak terluka!
"Ha-ha-ha-ha,
Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak mampu melukai kami lagi!"
Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan
hebatnya.
Tentu saja
Kok Beng Lama menjadi sangat terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Dia
segera mengerahkan semua tenaganya dan kembali menggunakan Thian-te
Sin-ciang.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment