Friday, August 31, 2018

Cerita Silat Serial Dewi Maut Jilid 36



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
             Serial Dewi Maut
                         Jilid 36


KETIKA Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu melihat Giok Keng, birahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah, wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya bisa menangis dan minta ampun.

Kini, melihat seorang wanita seperti Giok Keng, yang ‘matang’ bentuk badannya, yang selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sinkang kuat dan ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat dia mendengar bahwa wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya langsung meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu birahinya!

Bergidik mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini. Untung dia lebih dahulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak!

Dia harus membalaskan kematian rekannya Thian Hwa Cinjin dan biar pun dia tidak akan memperkosa mau pun membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih bagus, bahkan sangat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia hendak menyerahkan wanita ini kepada yang berwajib sebagai ‘siluman’ yang selama ini mengacau Heng-tung!

Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia pun berkata, "Omitohud... agaknya keteranganmu itu benar. Akan tetapi, sebelum ada bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum bisa membebaskanmu begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti serta saksi, yaitu harta dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang menculik wanita-wanita."

"Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang sudah mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman itu sudah tertangkap."

"Baik, kami akan membuktikan semua keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!"

"Baik, suheng," jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi meninggalkan kamar itu.

"Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani membebaskan toanio. Tunggulah kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng," Kim Hwa Cinjin berkata dengan sikap sopan dan alim, lalu dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu di atas pembaringan.

Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu, ada pun Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan penasaran pada ‘siluman’ itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu.


                 ***************


Baru sekali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, di malam itu, dia kelihatan termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu kini menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari gedung hartawan Ciong malam kemarin.

"Sialan!" gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan. "Uang sialan!" Dia menonjok ke arah kantung itu.

Dia sudah mengatur akal, dan memang siluman itu pun telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga turut hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagaimana jika sampai pendekar wanita itu tertimpa mala petaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka. Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai.

"Uang sialan! Siluman sialan!" dia berkata agak keras dan kembali dia menonjok ke arah kantung uang.

"Hemm, kiranya di sini kau sembunyi!" Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap tenang sekali.

Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang maju menggunakan ginkang-nya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia langsung menerkam bagaikan seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci.

Akan tetapi sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai!

Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi mendadak tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar lelaki itu menghardik,

"Manusia busuk! Ternyata engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan di mana kau sembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!"

"Sialan...!" Can Pouw memaki gemas. "Siluman sial dangkalan!" Siapa yang tidak menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu!

"Ehh, apa maksudmu?" Laki-laki itu menghardik. "Hayo jekas mengaku, siluman keji!"

"Bagaimana saya harus mengaku jika bukan saya silumannya?" dia balas bertanya penuh kemendongkolan.

"Hemmm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di meja itu hasil curianmu?"

"Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang asli! Sudahlah, siapa pun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang asli, bila tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, jika kepada puteri ketua Cin-ling-pai kau masih juga tak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!"

Orang itu kelihatan terkejut bukan main. "Apa?! Siapa?! Puteri ketua Cin-ling-pai? Apa maksudmu? Di mana dia?"

Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan dan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua tulangnya rontok. "Eh-eehhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan pertanyaan itu kalau aku kau goncang-goncang seperti ini?"

"Brukkk!"

Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata, "Cepat kau ceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua Cin-ling-pai?"

Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak dipicingkan.

Dia melihat bahwa pria itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka pada kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin lelaki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman.

"Hemm, kalau awak lagi sial!" dia menggerutu. "Sudah dua kali berturut-turut aku dikira jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai, kedua oleh kau!"

"Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!"

"Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, lalu mengambil keputusan hendak memancing siluman itu keluar dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya, perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai sehingga hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dia dan kemudian malam ini kami berdua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui pula oleh Cia-lihiap. Siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan pada waktu aku sedang termenung bingung menanti di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!"

"Ahh, ke mana perginya Cia-lihiap...?" Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir.

"Bagaimana saya tahu?" Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.

"Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri dan dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku kembali ke sini dan menunggu kembalinya Cia... ehhh, apa ini?" Can Pouw terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja, kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia telah menyambar tubuh Can Pouw lalu dibawanya meloncat keluar dari jendela, kemudian mendekam tak jauh dari situ.

"Ssstttt, ada orang datang...!" bisik laki-laki itu kepada Can Pouw.

Mereka menanti dan jantung Can Pouw berdebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah!

Tidak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul. Hwesio! Mereka itu mempunyai gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu kedua bayangan itu kembali berkelebat keluar terus melayang ke atas genteng. Can Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan sesudah dia menoleh, ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula.

Can Pouw membanting-banting kakinya. "Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang tadi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula!”

Akan tetapi dia segera berpikir bahwa tak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi. Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta. Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong!

Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa tentu ada apa-apanya di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio di sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu lagi, cepat dia pun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong!

Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia Giok Keng tadi? Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong!

Seperti sudah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera Cia Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng.

Namun, Kun Liong lebih mementingkan penyelidikannya mengenai Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itu pun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah ditolong oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama.

Sesudah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar mengenai siluman yang sudah mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok. Maka dengan hati penasaran pendekar ini segera menyelidikinya dan kebetulan malam itu dia melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan pada saat Can Pouw dengan jalan tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng!

Sekarang dengan perasaan terheran-heran Kun Liong mengikuti dua orang hwesio yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua kakinya di tiang melintang.

Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas.

"Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, karena itu kami hanya dapat membawa karung ini saja."

"Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?" terdengar Giok Keng berkata.

"Nanti dulu, toanio. Memang benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya ditipu saja! Betapa pun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semuanya ini kepada yang berwajib. Kami masih merasa ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?"

"Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan seorang laki-laki berdiri di dalam kamar itu.

Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, sekaligus merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka!

"Yap-suheng...!"

"Cia-sumoi, tenanglah," kata Kun Liong.

Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sute-nya yang bermuka bopeng sudah mengeluarkan teriakan keras maka berbondong-bondong datanglah belasan orang hwesio mengepung kamar itu.

Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang pernah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat supaya anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata,

"Omitohud... banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu di sini?"

Kun Liong cepat menjura, kemudian berkata dengan sikap hormat. "Saya bernama Yap Kun Liong, tinggal di kota Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya menyelidiki dan tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emas ke sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng juga ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu sudah salah tangkap dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!"

"Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung," Kim Hwa Cinjin berkata. "Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, namun kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap Cia-toanio yang perbuatannya amat mencurigakan itu. Akan tetapi, sesudah sicu muncul, ada saksi bahwa dia adalah benar puteri ketua Cin-ling-pai, maka tidak ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!"

"Biarkan saya yang melepaskannya!" kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan.

Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah.

"Maaf, toanio," Kim Hwa Cinjin menjura. "Kami hanya menjalankan kewajiban kami, dan bagaimana pun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat bersama Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tak enak dan kekagetan Cia-toanio."

Si muka bopeng itu mengangguk lantas keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar suaranya dari kamar belakang, "Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh? Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?"

Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri, menangkis dan mengelak.

"Cia-lihiap, awas, mereka itu bukan hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka semua adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw!" Terdengar suara teriakan keras kemudian muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong!

Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti yang telah kita ketahui, Can Pouw merasa curiga melihat bahwa yang mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, saat dia tiba di situ, semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul dan mengurung kamar besar atas isyarat sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong.

Karena kuil itu sepi akibat ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang hingga mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu kelihatannya takut sekali!

Can Pouw tidak berani masuk karena melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya dalam sebuah kamar gudang dia melihat hwesio-hwesio asli Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan mulut mereka disumbat!

Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, lalu bersama dengan ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang telah menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepat pergi ke kamar yang terkurung dan membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata rahasia.

Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat bahwa rahasia mereka kini sudah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio palsu itu lantas mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh...!

Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali ketika melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw yang menyamar. Can Pouw juga mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lainnya membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya mengeroyok Kun Liong dan Giok Keng.

Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak berimbang. Belasan orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya itu sama sekali bukanlah lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Memang harus diakui bahwa kepandaian ketiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu dan bukan apa-apa. Oleh karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya!

Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang bergerak-gerak, lalu tiba-tiba dia membentak, "Lihat ini!" Dan dia sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-jari tangannya.

"Heiiiii, itu punyaku!" teriak seorang di antara dua orang pengeroyoknya yang bermata juling.

Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana sudah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya!

"Nah, ambillah!" kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak dari bawah menendang.

"Dessss...!”

“Auwwwww...!" Si juling terkejut dan berteriak, lantas berloncatan dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya itu kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum.

"Heh-heh-heh, dan ini punya siapa?" Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dihias mutiara, yang dicopetnya dari saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu langsung kembang kempis ketika orangnya sudah mengenali barangnya.

"Si copet busuk! Kembalikan barangku!" hardiknya.

"Boleh, mari ambillah!" Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil memperhatikan kaki Can Pouw.

"Plokkk!”

“Aduhhh...!" Kiranya sekali ini Can Pouw bukannya mempergunakan kakinya, melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan ujungnya runcing keras untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu langsung menjadi remuk dan darah mengucur deras.

Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika itu pertempuran sudah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin beserta dua orang sute-nya berhasil meloloskan diri dengan mempergunakan selampe merah yang mengeluarkan debu merah beracun.

Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian. Dengan girang Giok Keng dapat menemukan kembali pedangnya dan setelah mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun Liong serta Giok Keng cepat pergi meninggalkan kuil itu di waktu itu juga, yaitu lewat tengah malam menjelang pagi!

Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, kemudian mengumpulkan gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik dari para hwesio dan dari para pembesar mau pun dari semua penghuni kota Heng-tung.

Berkat jasanya yang besar, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di kota Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai penasehat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong. Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat.

Tentu saja dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-ci Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya yang seribu sekarang bukan lagi digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri.


                ***************


 Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan yang indah di langit timur, mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng,

"Terima kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku."

"Ahhh, hal itu tidak perlu disebut lagi, sumoi. Aku malah mempunyai berita yang jauh lebih menyenangkan bagimu."

"Lie Seng?" Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan.

Kun Liong mengangguk.

"Bagaimana dengan dia, suheng? Dan di mana dia?"

"Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku..."

"Kok Beng Lama...?" Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar.

Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri dan dia pun mengatakan bahwa racun yang jahat itu sudah berhasil dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari Giok-hong-pang.

Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar-debar, dengan perasaan bercampur aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai dulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan penyebab yang menimbulkan keributan dan mala petaka, malah menjadi penyelamat puteranya.

Teringatlah dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa saja terjadi perubahan pada orang itu!

"Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?"

"Yang menculik puteramu memang jelas Bi Kiok, akan tetapi yang membunuh Hong Khi Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa."

"Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!" Giok Keng berkata geram.

"Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh isteriku?"

Giok Keng terkejut sekali. "Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?"

Kun Liong mengangguk. "Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah."

"Bukankah dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng," kata Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini.

Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang sakti sesudah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan dia pun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.

"Apa? Karena cinta kepadamu, suheng?"

Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu muda dulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang.

"Karena aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku sudah menikah dengan Hong Ing, lalu dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia hampir mati." Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di benteng Raja Sabutai.

Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang. "Ternyata bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka..."

"Memang, kalau cinta hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi..."

"Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng sudah selamat, akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kau ceritakan. Bagaimana dengan dia?"

Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Aku belum menemukan jejaknya, sumoi."

"Aku justru sedang menyelidikinya, mulai dari Leng-kok di mana dia menghilang dan saat aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini."

"Aku sendiri pun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar tentang siluman itu lalu kebetulan dapat bertemu denganmu di sini, sumoi."

Tiba-tiba Giok Keng berkata, "Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong adikmu?"

Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu. "Apa maksudmu, sumoi? Apa yang terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana kaisar?"

"Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?"

"Penculikan? Apa? Siapa...?"

"Aku pun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dialah yang baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja Sabutai dan dibawa keluar tembok besar..."

"Ehhh...?" Kun Liong terkejut sekali mendengar berita ini. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?"

"Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, walau pun maling, ternyata dapat dan boleh dipercaya, suheng."

"Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!"

"Aku akan membantumu, suheng."

"Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar..."

"Suheng, apakah kau masih meragukan perasaanku yang sangat menyesal dan berdosa terhadap dirimu? Apakah kau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Andai kata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong."

Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya satu wanita inilah yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk, berkata lirih, "Baiklah, sumoi. Mari kita pergi."

Mereka berdua tidak berbicara apa-apa lagi, melainkan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara.


                   ***************

Biar pun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati, akan tetapi tidak membuat kedua orang pemuda itu menjadi takut. Sesudah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng langsung melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat dari Si Kwi.

Tentu saja mereka maklum bahwa memasuki Lembah Naga sama artinya dengan masuk ke goa naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja tentu mereka tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw supaya mereka dapat menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek dan nenek iblis seperti yang telah mereka ketahui dari Ratu Khamila.

Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi dan semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh fihak musuh!

Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!

Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan waspada dalam tiap perbuatannya.

Melihat bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas menunjukkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya, "Kami mohon maaf apa bila mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah Naga?"

"Huah-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. "Sudah berada di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?" setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng.

Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu menghindar dan masih kecipratan arak pada lehernya, terasa panas dan sakit seperti jarum. Hal ini membuat dia marah sekali, tangan kirinya bergerak dan nampak sinar kilat berkelebat lantas sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher Ang-bin Ciu-kwi.

"Tranggg...!"

Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata,

"Ciu-kwi, tahan dahulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!"

Ang-bin Ciu-kwi mau menurut dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena nafsu birahi wanita cabul ini sudah terbangkit ketika dia melihat seorang pemuda yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!

"Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?" Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus.

Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai ini, biar pun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan.

"Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja datang ke Lembah Naga untuk mencari keterangan mengenai nona Yap In Hong yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga."

"Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!" Bouw Thaisu berseru kagum juga. "Apakah kalian ini utusan kaisar?"

"Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biar pun kami bukan langsung menjadi utusan kaisar, akan tetapi saya adalah putera dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The Hoo. Oleh karena itu..."

Mendadak terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek, "Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka berdua merupakan keturunan musuh-musuh kami!"

Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biar pun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti hingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula.

Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu sudah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I Siankouw sudah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap menghadapi segala bahaya. Oleh karena itu, begitu melihat kakek dan nenek itu bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.

"Dukkk!"

Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut sekali. Tadi, karena telah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang memiliki ilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk menangkis. Akan tetapi ujung lengan baju kakek itu ternyata mengandung tenaga yang bukan main kuatnya hingga dia tergetar dan terhuyung.

Karena maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang pada tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia langsung menerjang maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan seperti biasanya, kakek ini hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.

Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga meski pun Kwi Beng sudah mengamuk, mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya, tetapi belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun.

Tentu saja pemuda ini menjadi semakin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai dari pada dia.

Pemuda perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw Thaisu lantas sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai lututnya hingga membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus.

Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki dan tangannya itu diseret ke dalam sebuah rumah besar, lalu dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi Beng duduk di atas lantai menghadapi kakek dan nenek yang duduk di atas kursi itu.

"Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?" Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun.

Pemuda ini mengangguk.

"Hemm, mengapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Mengapa mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?" tanya pula Pek-hiat Mo-ko.

Tio Sun memandang dengan sikap tenang. "Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong."

"Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?"

"Tentu saja aku tahu. Pada saat engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua Cin-ling-pai, aku sudah melihat kalian."

Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang semenjak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada pemuda itu. "Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana engkau tadi berani mengaku bahwa engkau adalah cucu murid The Hoo?"

Kwi Beng balas memandang dengan dua mata melotot, "Nenek gila! Dengarlah baik-baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!"

"Heh-heh-heh-hi-hik!" Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kanannya bersinar-sinar aneh. "Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!"

"Benar! Bawa mereka keluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu akan datang orang-orang yang lebih penting untuk menolong mereka dan menghadapi kita, tapi kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!" kata Pek-hiat Mo-ko.

Para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa terlindung apa pun.

Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas sehingga nampak darah di pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata,

"Tenanglah, Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan tak mungkin bisa kita putuskan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga dan lebih tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik perhatian burung-burung di sana-sini."

Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan bangkai yang liar dan buas!

Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya, hatinya penuh iba. "Engkau takut, Beng-te?"

Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk.

"Tidak aneh, aku pun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi engkau jangan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebenarnya adalah binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-taihiap atau nona Yap."

Kwi Beng kelihatan termenung, tak lagi mempedulikan burung-burung itu. "Ah, bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh..."

"Nona Yap? Kiranya tidak mungkin. Apa bila mereka itu hendak membunuh nona Yap In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek bersama nenek gila itu tentu menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan agar memancing datangnya orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai dan lain-lain."

Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia takkan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong dengan taruhan nyawa.

In Hong! Dara yang sudah membetot semangatnya, yang merampas hatinya, dara yang dicintanya, namun... bagaimana kalau ternyata gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa dari pada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam semedhi.

Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya hingga membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak mempedulikan dia, apa lagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.

"Tio-twako...!"

Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.

"Ehhh, kau menangis, Beng-te?" tanyanya kaget dan kecewa karena tidak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.

"Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku..."

Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. "Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati."

"Twako, aku menderita sekali..."

Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan. "Aku mengerti, Beng-te, aku pun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?"

"Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku."

"Maksudmu?"

"Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako."

Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia dengan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan semakin menebal dugaannya bahwa besar kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.

"Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan engkau tidak bernasib seperti aku..."

"Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?"

Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun bagaikan orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?

"Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?"

Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.

"Ahh, maaf, twako... sungguh kasihan kau...," Kwi Beng berkata dengan hati terharu.

Akan tetapi Tio Sun sudah berhasil menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, kemudian memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. "Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andai kata begitu, andai kata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiaan dia."

Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang kala dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.

"Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali memiliki seorang ipar seperti engkau, Tio-twako."

"Terima kasih, Beng-te."

Sekarang mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi angkasa di atas kepala mereka, seakan-akan mereka itu hendak memeriksa apakah sudah tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba!

Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya sehingga seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.

"Twako... lihat...," dia berbisik.

"Sstttt...!" Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar ini pun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat mendatangi ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka.


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak, yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!


Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat pada tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.

Pada waktu mengenali dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Ternyata kedua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itu pun bukan orang Lembah Naga!

Betapa pun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang memiliki ilmu yang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah.

Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. "Nona, lekas kau tinggalkan kami... harap kau bantu kami menyelundup ke dalam... dan kau cari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!"

Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apa lagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini?

Dia mengangguk kemudian cepat pergi dari situ, berlari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga.

Sedangkan Lie Seng terus melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak-anak buah Lembah Naga yang memang bertugas menjaga sampan itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.

"Tangkap bocah itu!"

"Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!"

Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Salah seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil 'Dipancing' hanyalah dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri!

"Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!" bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa lebih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasar anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!

Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.

"Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nanti!"

Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu sangat mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.

"Ehh, adik kecil. Kau tidak takut?"

Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, bibirnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar. "Takut? Takut apa?"

"Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian."

"Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?" Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.

"Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dengan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula."

Bocah ini mempunyai watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan padat.

"Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?" tanyanya.

"Bukan. Aku pun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian."

"Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas semua usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal sekali..."

"Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan."

Tio Sun kembali tertegun. "Kau tidak menyesal? Dan juga tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?"

Lie Seng menjawab singkat, "Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andai kata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?"

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.

"Adik kecil, engkau sungguh luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari keluarga mana?" Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik.

Lie Seng menatap bergantian pada mereka berdua. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apa lagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat.

"Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku."

"Ohhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai...!


                  ***************


Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

Dua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah sering kali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga.

Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupakan padang ilalang yang seperti lautan, seolah-olah tidak ada batasnya. Dan lorong yang kecil dan berupa jalan setapak itu sudah membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembali ke lorong yang sama!

"Ini tentunya merupakan jalan rahasia yang menyesatkan," akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. "Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!" Sambil berkata begitu, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

"Ihhhh...!" Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan.

Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk maka belitannya pun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa yang datang dan menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

"Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!" kata Kun Liong.

Biar pun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.

Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

"Aihhhh... indah sekali!" Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. "Kita dapat melakukan perjalanan cepat jika begini," katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

"Clupp...!"

"Aihhh...! Suheng...!" Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak hingga sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapa pun dia telah mengerahkan ginkang-nya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

"Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikit pun juga!" Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia pun akan ikut terjeblos pula. "Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!"

Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan. Pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengarlah wanita itu berseru. "Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kau sambut ini...!"

Tangan Giok Keng telah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggangnya sebab benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan lantas ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.

"Pegang kuat-kuat, sumoi!" kata Kun Liong, kemudian pendekar ini mulai mengerahkan tenaganya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.

Walau pun agak susah payah dan hati-hati sekali supaya sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh,

"Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!"

Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel pada betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu!

Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian dia memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri dan jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.

"Ahhh, suheng...!" Giok Keng terisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong.

Sejenak mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang semenjak dahulu saling tertarik akan tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu.

"Sumoi..."

"Suheng, aku cinta padamu, suheng... ahh, baru sekarang aku merasakan hal itu..."

"Sumoi, aku pun cinta kepadamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkau pun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku..."

"Suheng, aku cinta padamu... bukan untuk itu saja... oohhh..." Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan.

Kun Liong kaget bukan main. Cepat dia membersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, biar pun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingsan.

Kun Liong cepat mencuci pakaian Giok Keng yang penuh lumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan.

Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, maka sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi sudah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya sudah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.

Akan tetapi kedua pipinya berubah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.

"Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi," kata Kun Liong.

Giok Keng menarik nafas panjang. "Hemm, sungguh berbahaya sekali... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kau lakukan untukku, suheng."

Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu kemudian menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata, "Masih perlukah sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?"

Dengan saling berpegangan tangan mereka diam tanpa bergerak, hanya saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot hingga ke dasar lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.

"Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi."

"Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya."

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegangan tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andai kata tadi mereka saling bergandengan pada saat kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya.

Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat berhati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melewati Padang Bangkai, memasuki perkampungan, kemudian menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah Lembah Naga.

Sekarang kedua orang itu merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni dari pada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu birahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih dari pada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri.

Matahari sudah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya lantas menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak dan beterbangan di atas sebatang pohon.

Kun Liong juga memandang dan berkata, "Agaknya itu adalah burung-burung rajawali..."

"Bukan, suheng. Burung rajawali lebih besar, seperti burung elang."

Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas.

"Ahh, burung nazar, burung pemakan bangkai!" kata Kun Liong.

"Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan untuk menanti bila di bawah terdapat makhluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi."

"Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!"

Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, akan tetapi masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.

"Ahh, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati," kata Kun Liong.

Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh kelihatan oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat pada tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat.

Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.

"Seng-ji...!" teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!

"Ibu...!" Lie Seng juga berteriak girang.

"Sumoi, nanti dulu...!" Kun Liong berseru.

Akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu pula dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng!

Tentu saja wanita itu tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat-cepat mencabut Gin-hwa-kiam lalu memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga langsung meruntuhkan banyak anak panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung mereka hingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang.

Ketika Kun Liong memandang, dia melihat orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, serta dua orang lain yang tidak dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembang Naga yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!

Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah supaya dia dapat membebaskan puteranya. Akan tetapi, Hek I Siankouw sudah menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu dengan pedang hitamnya.

Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi dia pun segera disambut oleh Bouw Thaisu yang langsung menyerangnya dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang sudah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh sangat banyak dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah mempergunakan gerakan-gerakan dari ilmu mukjijat yang didapatkannya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga baru dalam beberapa gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak peduli dan terus mendesak, sekarang dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang mukjijat.

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang.

"Ahhhh...!" Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat pada waktu tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi dia pun merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.

"Plakkk!"

Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi I-beng.

"Aughhhh... lepaskan...!" Bouw Thaisu berseru keras saat merasa betapa tenaga sinkang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada lengan lawan. Betapa pun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar.

"Wuuttt... pyarrr...!"

Terpaksa Kun Liong harus melepaskan Bouw Thaisu karena guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya ada pun dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah yang mengancam kedua matanya.

Bouw Thaisu terhuyung dan mukanya agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main.

Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Akan tetapi, mengingat bahwa puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, bagai seekor harimau betina diganggu anaknya.

Juga Kun Liong, meski pun dikeroyok oleh banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya, segera mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor naga sakti.

"Ayah...!" tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.

"Mei Lan...!" Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main.

Dia merasa girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.

Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li.

Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak berbicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangan kata untuk bercakap-cakap, bahkan untuk melirik ke arah puterinya itu saja dia kekurangan waktu!

Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama Mei Lan, cepat menengok dan dia pun girang bukan kepalang melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang dicari-cari itu berada di situ.

"Plakkk!"

Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak segera berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan seorang anak buah Lembah Naga yang tadi sempat menghantam punggungnya dengan ruyung. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah sesudah dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula!

Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu mereka, maka kedua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat melawan lagi.

Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang amat hebat dengan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekali pun sampai meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi bersama isterinya sampai terdorong ke belakang akibat sambaran angin pukulan-pukulan sepasang tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga yang terlempar dan terbanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik,

"Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!"

Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia segera tahu apa yang dimaksudkan oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka menghadapi musuh yang begitu banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak mempedulikan apa-apa lagi, melainkan bermesraan berdua di dalam kamar!

Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa yang terjadi ketika dia berhasil sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dengan dua telapak tangan mereka saling menempel dengan mesra! Oleh karena itu, setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus dia sampaikan menurut apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.

Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan ginkang, berlari meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, serta Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa ia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa, semakin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu.

"Terima kasih, adik yang baik, terima kasih...," suara Kwi Beng ini makin menggugupkan Mei Lan.

"Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!" Akhirnya Mei Lan berkata karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dirinya gugup. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini untuk dibebaskan lebih dulu!

Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah Naga sudah menerjang maju pada waktu mereka melihat usaha Mei Lan untuk membebaskan tawanan. Maka Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu lebih dahulu.

Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan pada saat golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu lantas membacok ke arah punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannya pun berubah ke bawah.

"Crokkkk!"

"Aduhh...!" Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah sebab yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya.

"Trangg-tranggg...!"

Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka!

Mei Lan cepat-cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah, dan pada waktu tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng langsung memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia mampu menolong sama sekali.

Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu.

Pemegang tombak itu menjadi sangat gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan.

Mei Lan maklum akan bahaya yang mengancamnya. Maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas, membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya kemudian dengan lincahnya dia cepat miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya yang kecil menendang bawah pusar.

"Bocah setan!" teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya.

Akan tetapi Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba, kemudian ketika si pemegang tombak mendoyong ke depan, dia langsung menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri.

Pada saat itu pula pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya, dan dengan kakinya, Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara tiba-tiba.

"Desss....!"

Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya gelayaran.

"Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet itu!" Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan matanya kembali karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang mengeroyok Mei Lan!

Sekali ini keadaan Mei Lan betul-betul terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh terlentang ketika pahanya terkena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk.

"Suhu...!" Lie Seng berteriak girang. "Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!"

Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap kali digerakkan mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia menggerakkan tangan, tentu ada dua atau tiga orang anak buah Lembah Naga yang terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!

"Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko beserta Hek-hiat Mo-li yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat.

Agaknya sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bangun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka yang sangat berbahaya, maka begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya sempat mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.

"Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!" Lie Seng berteriak.

Sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng, dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan kedua orang pemuda itu, dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga!

Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya.

Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Telah beberapa kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dahulu pernah dia gunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu.

Akan tetapi, sekali ini Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka!

"Ha-ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak mampu melukai kami lagi!" Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan hebatnya.

Tentu saja Kok Beng Lama menjadi sangat terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Dia segera mengerahkan semua tenaganya dan kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12