Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 18
"Apa
yang terjadi? Kenapa aku tidur disini?" tanyanya sambil menekan-nekan
kedua pelipis kepalanya karena masih terasa agak pening.
"Tidak
apa-apa, Mayang. Hanya semalam engkau terlalu lelah atau terlalu banyak minum
sehingga ketika rebahan disitu engkau terus pulas dan kami biarkan sampai pagi
ini."
Hemm, tidak
mungkin ia tertidur pulas karena kelelahan atau hanya karena minum anggur!
Mayang menjadi curiga sekali dan menoleh ke kanan kiri.
"Mana
adik Cin Nio?" tanyanya.
“Melihat
engkau pulas di pembaringannya, ia tidak tega untuk menggugahmu, dan ia
memhiarkan engkau tidur di pembaringannya, sedangkan ia sendiri pergi tidur di
kamarnya.”
Mayang
terbelalak, mukanya berubah pucat. Ia sudah curiga. Tidak mungkin rasanya ia
mabuk hanya karena minum anggur, juga tidak mungkin ia sedemikian lelahnya
sampai tidur semalam suntuk tanpa bangun sebentarpun. Pasti ada hal yang tidak
beres, pikirnya. Dan kini Cin Nio tidur di kamarnya!
"Celaka…..!"
katanya dan sekali berkelebat ia sudah berlari keluar dari kamar itu, menuju ke
kamarnya.
Hari masih
pagi sekali, lampu-lampu penerangan masih belum dipadamkan karena diluar masih
gelap. Ia tiba di depan kamarnya dan membuka daun pintu yang ternyata tidak
terkunci dari dalam. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kamar itu gelap,
remang-remang saja mendapat penerangan dari lampu luar kamar.
Mayang
menahan jeritnya ketika ia melihat tubuh yang tergantung di sudut kamar. Tubuh
Cin Nio! Lehernya terikat kain ikat pinggang dan tubuh itu tergantung dari
tihang. Sekali melompat, Mayang sudah menyambar pedang Cin Nio yang berada
diatas pembaringan, lalu melompat ke atas tangan kanan memondong tubuh yang tergantung,
tangan kiri membabat ikat pinggang di atas kepala gadis itu. Ia melompat turun
lagi sambil memondong tubuh yang masih hangat itu.
Ketika ia
merebahkan tubuh itu dan melepaskan ikatan pada leher, hatinya terasa lega.
Biarpun tinggal satu-satu, Cin Nio masih bernapas! Cepat ia mengurut sekitar
leher gadis itu, perlahan-lahan dan menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan
kedua pundak.
Gadis itu
kini teregah-engah dan pernapasannya mulai pulih. Mayang membuka daun jendela
sehingga lampu yang tergantung di luar jendela menyorot ke dalam kamar. Mayang
kembali menghampiri Cin Nio yang sudah siuman. Gadis ini membuka matanya dan
melihat Mayang duduk di tepi pembaringan ia menangis terisak-isak.
Mayang sudah
melihat keadaan gadis itu. Pakaiannya tidak karuan, hampir telanjang dan di
atas tilam kasur yang putih bersih nampak noda darah. Biarpun ia masih gadis,
namun Mayang sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang telah terjadi atas
diri gadis itu. Cin Nio telah diperkosa orang! Dan yang lebih jelas lagi, ada
orang memasuki kamarnya dengan maksud memperkosa dirinya, akan tetapi yang
menjadi korban bukan dirinya, melainkan Cin Nio yang kebetulan bertukar tempat
tidur dengannya!
"Adik
Cin, siapa yang melakukannya ? Katakan, siapa yang melakukan ini
kepadamu?" tanyanya lirih.
Tangis Cin
Nio semakin menjadi-jadi, dan Mayang memeluknya, berbisik di dekat telinganya,
"Adik
Cin, demi Tuhan, aku yang akan membalaskan penghinaan ini, aku bersumpah!
Jahanam itu sebenarnya mengarah diriku, akan tetapi engkau menjadi korban.
Sekarang hentikan tangismu, urusan ini hanya diketahui oleh kita berdua saja.
Aku berjanji akan menutup rahasia ini, bahkan adik Hui juga tidak perlu tahu.
Nah jangan menangis lagi, cepat bereskan pakaianmu, aku akan membersihkan pembaringan."
Cin Nio
maklum bahwa itulah jalan satu-satunya kecuali kalau ia membunuh diri. Biarpun
ia mati membunuh diri sekalipun, dirinya tidak akan menjadi bersih, bahkan
dengan membunuh diri, maka semua orang tentu akan dapat menduga apa yang telah
terjadi dan ia akan dibicarakan orang, namanya akan tercemar.
Ia harus
mencuci aib ini dengan darah orang yang telah menodainya, sementara itu, ia
menanggung aib dengan diam-diam tak diketahui orang lain kecuali Mayang, gadis
yang berjanji hendak membalas dendam ini. Maka, ia lalu menghentikan tangisnya,
masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, merapikan kembali pakaiannya
sedangkan Mayang cepat membersihkan tempat tidur, dan menghilangkan bekas-bekas
yang dapat mencurigakan hati orang lain.
Ketika Cang
Hui tiba disitu dan mengetuk pintu kamar, semua telah beres dan Cang Hui
disambut oleh Mayang dan Cin Nio yang sudah dalam keadaan rapi.
"Apakah
yang telah terjadi? Cin Nio, kenapa engkau kelihatan pucat?” Cang Hui segera
menegur.
"Ah,
tidak ada apa-apa, adik Hui. Tadi aku hanya salah duga. Karena terbangun di
kamarmu, aku menduga telah terjadi hal-hal yang mencurigakan. Dan aku menggedor
kamar ini sehingga adik Cin terkejut disangkanya terjadi hal-hal yang hebat.
"
“Benar aku
kaget oleh kedatangan Mayang secara mendadak di pagi buta," kata Cin Nio
yang sudah dapat bersikap wajar.
Ketika
mendapat kesempatan bicara empat mata dengan Cin Nio, Mayang minta keterangan
dari gadis itu.
"Sekarang
ceritakan, apa yang telah terjadi, dan siapa yang telah melakukan perbuatan
terkutuk itu, adik Cin."
"Kamar
itu gelap, aku terbangun dan tak mampu bergerak. Aku hampir pingsan karena
menderita penghinaan itu, Mayang. Aku tidak dapat melihat muka orang itu,
selain gelap juga mukanya tertutup kain hitam. Diapun tidak mengeluarkan
kata-kata apapun. Aku sendiri tidak dapat mengeluarkan suara karena tertotok.
Kemudian…. Kemudian….. dia membuka daun pintu dan menyelinap keluar, seperti
iblis saja gerakannya, cepat sekali, dan setelah aku mampu terbebas dari
totokan, aku lalu lalu….. lalu….” Cin Nio menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Ssttt,
tenangkan hatimu, enci Cin. Ingat, engkau harus dapat menyimpan rahasia dan
kuatkan hatimu. Sekarang ini pikiranmu harus selalu dipusatkan untuk membalas
dendam kepada orang itu sehingga tidak kau bayangkan lagi peristiwa itu, tidak
membayangkan kehancuran hatimu. Untung aku datang tidak terlambat. Kalau
terlambat, tentu semua orang akan mengetahui. Percayalah, engkau menjadi korban
karena diriku, maka aku bersumpah untuk membalaskan dendammu ini, adik Cin.”
"Terima
kasih, Mayang, akan tetapi kalau bisa…. aku…. aku ingin membununya dengan kedua
tanganku sendiri!" Cin Nio meraba gagang pedang dan matanya mengeluarkan
sinar penuh dendam.
Mayang
mengangguk.
"Mudah-mudahan
aku akan dapat menangkapnya. Akan tetapi, satu hal yang ingin aku mendapat
penjelasan darimu. Yakin benarkah engkau bahwa jahanam itu bukan seorang yang
berperut gendut?"
Cin Nio
menundukkan mukanya yang berubah merah padam lalu pucat, dan ia menggeleng
kepalanya, tidak tahu mengapa Mayang bertanya demikian, dan iapun malu untuk
bertanya.
Mayang
mengangguk-angguk lagi dan mengepal tinju. Biarpun tadinya ia ragu-ragu, namun
kini ia merasa bahwa tidak ada orang lain lagi yang patut dicurigai kecuali Sim
Ki Liong atau Liong Ki! Bukankah Liong Ki pernah mencoba untuk merayunya,
mengajaknya berbuat mesum? Dan pemuda itu memang pernah menjadi seorang sesat
dan jahat! Kini agaknya dia bukan bertaubat dan kembali ke jalan benar,
melainkan kumat kembali.
Biarpun
belum ada bukti kuat, namun ia akan menyelidiki sampai tuntas! Tadinya timbul
juga persangkaannya bahwa kakek gendut gundul yang diaku sebagai guru oleh Ki
Liong itu yang melakukannya, namun keyakinan Cin Nio bahwa pemerkosanya itu
tidak gendut, membuat dugaannya kembali kepada Liong Ki.
Akan tetapi,
tentu saja tanpa bukti ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu begitu saja,
dan bagaimanapun juga, tentu Liong Ki akan menyangkal. Lalu tiba-tiba matanya
bersinar-sinar! Di kamarnya itu gelap dan selain si pemerkosa, juga Cin Nio
yang tertotok tidak pernah dapat mengeluarkan suara. Besar sekali
kemungkinannya, si pemerkosapun tidak tahu bahwa yang diperkosa bukan ia
melainkan Cin Nio! Ia harus dapat mempergunakan akal untuk memancing, bersikap
seolah-olah ia yang diperkosa dan ia menerima perlakuan ini sebagai hal yang
telah terlanjur! Ia akan pura-pura menuntut pertanggungan jawab, hanya untuk
memancing pengakuan Liong Ki bahwa dialah pemerkosa itu.
"Adik
Cin, harap kau tenangkan hatimu. Aku pasti tidak akan mau sudah sebelum jahanam
itu dapat kutangkap dan kuseret di depan kakimu. Hanya saja, hal ini harus
dilakukan dengan diam-diam, tidak menimbulkan keributan agar rahasia ini jangan
sampai bocor. Kau setuju, bukan?"
Cin Nio
mengangguk pasrah. Dalam, keadaan seperti itu, hanya Mayang satu-satunya orang
yang dipercayanya, satu-satunya orang yang dapat diharapkannya.
Mayang tidak
memberitahukan dugaannya itu kepada Cin Nio. Hal itu bahkan akan berbahaya
sekali. Ia belum mempunyai bukti, dan kalau sampai Cin Nio mendengar kemudian
langsung nekat menyerang Liong Ki, tentu siasatnya akan gagal. Liong Ki akan
menyangkal dan tidak ada bukti atau saksi yang akan dapat membuka rahasianya.
Juga tidak mungkin dapat memancing pengakuan Liong Ki di dalam istana itu.
Kalau sampai terjadi keributan, tentu semua orang akan mengetahuinya.
Besok
pagi-pagi ia akan mengajak Liong Ki keluar kota dan bicara di tempat sunyi, memancing
pengakuan Liong Ki sebagai pemerkosa malam itu. Hatinya diliputi penuh
ketegangan. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Liong Ki memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Kalau ia hanya nekat mengandalkan kepandaiannya,
sukarlah mengalahkan pemuda itu. Apalagi kalau ada Liong Bi yang membantunya,
lebih-lebih lagi kakek gendut yang diakuinya sebagai guru itu. Ia harus
berhati-hati. Kalau terpaksa, ia akan nekat mengamuk, kalau perlu berkorban
nyawa.
Karena
gelisah membayangkan percakapannya dengan Liong Ki esok hari malam itu Mayang
merasa tegang dan untuk rnenghilangkan ketegangan hatinya, iapun memasuki taman
mencari angin dan udara segar.
Belum lama
ia berada disitu, ia mendengar langkah kaki dan muncullah Cang Sun! Agaknya
pemuda ini memang hendak memberi waktu kepadanya utuk berpikir dan mengambil
keputusan. Buktinya sejak pengakuan cintanya itu, sepekan telah lewat dan Cang
Sun tidak pernah menemuinya, seolah pemuda itu sengaja bersembunyi saja untuk
memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir. .
"Mayang…..”
“Oh,
Kongcu….. !" Mayang berkata, agak gugup karena tadi ia sedang melamun
dengan hati yang tegang. "Silakan, Kongcu….." katanya sambil bangkit
berdiri, dengan tangannya mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku.
“Mayang,
sudah cukupkah waktu yang kuberikan kepadamu untuk mempertimbangkan dan
mengambil keputusan? Aku selalu menanti jawabanmu, Mayang."
Mayang
menunduk. Ah, andaikata tidak terjadi peristiwa malapetaka yang menimpa diri
Cin Nio, agaknya tidak akan sukar baginya untuk menjawab. Kini ia sudah tahu
dari sikap Cin Nio bahwa gadis itu merelakan ia menerima cinta kasih Cang Sun
seperti yang dilihat dan didengar ketika ia dan kedua orang gadis bangsawan itu
makan bersama malam itu.
Akan tetapi
kini hatinya sedang risau, dan ia merasa bahwa bukan saatnya yang baik untuk
bicara tentang cinta. Kasihan Cin Nio yang menjadi korban karena dirinya! Dan
Cin Nio juga tahu akan hal itu, bahwa karena ia tidur di kamar Mayang maka
malapetaka itu menimpa dirinya. Dan gadis itu sepatah katapun tidak pernah
mengeluarkan penyesalan kepadanya. Ia merasa seperti berhutang budi kepada Cin
Nio. Kalau saja Cin Nio tidak kasihan melihatnya dan membiarkan ia tidur di
pembaringan gadis itu, kemudian Cin Nio yang mengalah dan tidur di kamarnya,
tentu tidak akan terjadi malapetaka itu menimpa dirinya.
"Kongcu,
aku masih bingung sekali. Pernyataan Kongcu itu merupakan hal yang terlalu
besar bagiku, sehingga bingung aku menghadapinya, sukar untuk mengambil
keputusan."
Cang Sun,
mengerutkan alisnya.
“Mayang, aku
telah bersikap jujur dan aku hanya mengharapkan kejujuranmu pula. Andaikata
engkau tidak mempunyai perasaan sayang sedikitpun kepadaku dan karenanya tidak
dapat membalas cintaku, katakan saja terus terang. AKu tidak akan marah, tidak
akan menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri yang tiada untung. Aku,
tidak ingin engkau membalas cintaku hanya karena merasa berhutang budi, atau
hanya karena kasihan. Sungguh, Mayang, aku menghendaki kejujuran dalam urusan
cinta, karena hal ini menyangkut sisa kehidupan kita sampai akhir hayat.”
Mayang
merasa terharu. Pemuda ini memang hebat. Biarpun tidak pernah mau mempelajari
ilmu silat, namun bijaksana dan wawasannya jauh dan mendalam, dan ia merasa
yakin bahwa pemuda seperti ini akan menjadi suami yang baik, menjadi ayah yang
bijaksana.
“Sama sekali
tidak, Kongcu. Aku tidak akan bersikap tidak jujur dalam hal ini, akan tetapi,
terus terang saja, aku sedang menghadapi persoalan yang amat sulit dan yang tak
dapat kuceritakan kepada siapapun juga, bahkan kepadamupun belum saatnya
kuceritakan. Percayalah kepadaku, Kongcu. Aku menanggapi pernyataanmu itu
dengan setulus hatiku, dan sudah pasti akan tiba saatnya aku akan memberi
jawaban keputusanku. Harap Kongcu bersabar sampai beberapa lama lagi. Aku harap
Kongcu yakin bahwa aku tidak mempermainkan Kongcu, aku bersungguh-sungguh dalam
hal ini. Maukah Kongcu memberi waktu lagi kepadaku dan sebelum aku memberi
jawabanku, Kongcu tidak akan bertanya sesuatu?” .
"Hemm,
sampai kapan, Mayang? Sampai berapa lamanya? Aku seorang manusia biasa, dan
menunggu merupakan pekerjaan yang amat berat."
"Maafkan
aku, Kongcu. Tunggulah sampai aku menyelesaikan urusan pribadiku, mudah-mudahan
tidak lama lagi. Kelak kalau sudah tiba saatnya aku memberi jawaban, semua
persoalan ini akan kujelaskan kepadamu dan aku yakin bahwa engkau akan
membenarkan sikapku sekarang ini, Kongcu."
Cang Sun
tersenyum.
"Mayang,
setidaknya, aku merasa terhibur dengan penguluran waktumu ini. Andaikata engkau
menolak, sudah pasti engkau tidak akan mengulur waktu. Ini aku yakin. Jadi,
dengan mengulur waktu, berarti aku mempunyai harapan. Begitu, bukan?"
Wajah Mayang
berubah kemerahan dan iapun tersenyum, lalu mengangguk.
"Mudah-mudahan
begitu, Kongcu."
“Ha-ha,
wajahmu menjadi merah seperti bunga mawar tersinar matahari pagi! Biarlah, aku
tidak akan membuat engkau merasa canggung, Mayang, dan tidak akan mengganggumu
lagi. Aku berjanji bahwa selama engkau belum memberikan sendiri jawabanmu
kepadaku, aku tidak akan mengganggumu lagi dengan pertanyaan dan desakanku.
selamat malam, Mayang."
"Selamat
malam, Cang-kongcu."
Setelah Cang
Sun meninggalkannya, Mayang semakin termenung. Bermacam pikiran menggeluti
pikirannya, membuat ia merasa pusing. Jelas ia akan merasa berbahagia kalau
sampai dipersunting Cang Sun sebagai isterinya. Betapa akan mudahnya mencintai
seorang pemuda seperti itu. Memang sejak pertama kali bertemu, ia sudah merasa
suka dan kagum, dan dua perasaan itu mempunyai garis lurus menuju ke arah cinta
kasih.
Apalagi
dengan adanya ulah sim Ki Liong, pemuda yang tadinya telah menjatuhkan hatinya.
Kekecewaan dan penyesalan hatinya melihat ulah sim Ki Liong seolah kini hilang
nyerinya, terobati oleh kasih sayang Cang Sun, walau hanya baru dapat ia
nikmati melalui pandang mata pemuda itu, melalui tutur katanya dan pengakuan
cintanya. sebetulnya, ia merasa berbahagia sekali.
Baru saja
kehilangan cintanya yang dikecewakan oleh Sim Ki Liong, ia telah memperoleh
penggantinya yang jauh lebih baik. Dan betapa menyedihkan nasib Cin Nio. Baru
saja Cin Nio mengalami patah hati karena cintanya ditolak oleh Cang Sun, kini tertimpa
malapetaka yang hampir saja membuat ia membunuh diri. Mayang menghela napas
panjang dan melamun di dalam taman itu sampai malam.
Entah berapa
jam ia berada di taman itu, melamun dan memandang bulan sepotong yang sudah
keluar dan cukup tinggi, membuat suasana di taman itu indah sekali. Akhirnya
dengan malas-malasan ia bangkit berdiri untuk kembali kekamarnya.
Akan tetapi,
ketika ia berjalan perlahan-lahan menyelinap diantara pohon-pohon bunga,
tiba-tiba ia melihat dua bayangan hitam berkelebat diluar taman. Sesosok
bayangan lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio, sedangkan sesosok lagi lari
menuju ke kamar Cang Sun. Berdebar rasa jantung Mayang
melihat.bayangan-bayangan itu. Tentu keselamatan Cang Sun dan dua orang gadis
itu terancam!
Sejenak hati
Mayang menjadi bimbang. Siapa yang harus ditolongnya lebih dahulu? Akan tetapi
dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba saja menyelinap akan yang dianggapnya
amat baik untuk menggagalkan niat buruk dua sosok bayangan itu. Ia lari ke
gudang penyimpanan jerami untuk ransum kuda dekat kandang kuda dan dibakarnya
setumpuk jerami yang berada di luar gudang. Karena jerami itu sudah kering
benar, sebentar saja api berkobar.
"Kebakaran……!
Kebakaran……!!”
Mayang
berteriak-teriak sambil memukuli canang tanda bahaya yang tergantung dekat
kandang. Sebentar saja gegerlah ketika semua orang berlarian keluar.
Mayang
sendiri sudah cepat berlari, pertama-tama ia lari menuju ke kamar Cang Hui dan
Cin Nio karena ia amat mengkhawatirkan nasib dua orang gadis itu. Ia masih
sempat melihat sesosok bayangan hitam melompat keluar melalui jendela kamar
itu. Ia mencoba untuk mengejar, namun bayangan itu dengan gesitnya sudah
menghilang di balik wuwungan rumah.
Ia melompat
memasuki kamar dan cepat menutup hidungnya karena tercium bau harum yang aneh.
Tahulah ia bahwa kamar itu telah dipenuhi asap pembius! Ia menyambar selimut,
dikebut-kebutkan selimut itu mengusir asap dan membuka pintu kamar. Asap itupun
cepat terbang pergi melalui lubang jendela dan pintu. Ketika ia menghampiri dua
orang gadis itu, ia melihat mereka sudah tidur pulas atau pingsan, tentu
terpengaruh asap pembius yang harum seperti dupa itu.
Ketika ia
teringat akan Cang Sun, iapun cepat meloncat keluar lagi dan lari ke kamar
pemuda itu. Ia menarik napas lega melihat pemuda itu tertidur sambil duduk di
kursinya, meletakkan kepala di atas meja. Agaknya pemuda itu tadi belum tidur
ketika bayangan hitam meniupkan asap pembius ke kamarnya sehingga ia tertidur
di atas kursinya. Seperti juga di kamar dua orang gadis tadi, Mayang mengusir
asap melalui jendela dan pintu kamar.
Beberapa
orang pengawal muncul dan mereka terbatuk-batuk ketika hendak memasuki kamar.
Melihat Mayang mengebut-ngebutkan selimut mengusir asap yang baunya harum
menyesakkan dada, mereka bertanya apa yang telah terjadi.
"Lihiap,
apakah yang terjadi?" .
"Entah,
ada kebakaran dan rupanya ada penjahat masuk melepas asap beracun untuk membius
Cang-kongcu."
Tiba-tiba
muncul Liong Ki dan Liong Bi. Mereka kelihatan kaget dan tegang, dan ketika
melihat Mayang diluar kamar Cang Sun, Liong Ki berkata,
"Wah,
di kamar nona Cang Hui dan nona Teng Cin Nio juga penuh asap, tapi sudah
kubersihkan bersama para pengawal."
Liong Bi
juga berkata,
"Api
yang membakar gudang sudah dapat kami padamkan. Apa yang terjadi disini,
Mayang?”
Mayang
pura-pura bersikap biasa saja walaupun di dalam hatinya, keras dugaannya bahwa
dua sosok bayangan hitam yang tadi memasuki kamar Cang Sun dan kamar dua orang
gadis itu adalah dua orang yang kini bicara dengan sikap seperti orang yang
ikut berjasa itu.
"Hemm,
rupanya ada dua orang maling hina yang mencoba untuk mencuri barang berharga di
kamar Cang-kongcu dan kamar kedua orang nona itu,” kata Mayang sambil memandang
kepada mereka.
"Heran
sekali, bagaimana gudang itu dapat terbakar tanpa ada yang mengetahuinya,"
kata Liong Bi. "Penjaga hanya mendengar suara gaduh dan melihat bahwa
jerami diluar gudang itu sudah terbakar besar."
“Kalau
begitu, tentu ada orang ketiga yang membakarnya." kata pula Mayang, tentu
saja ia tahu benar karena yang membakarnya adalah ia sendiri.
Bagaimanapun
juga, hatinya lega bahwa siasatnya itu telah menyelamatkan Cang Sun, Cang Hui
dan Cin Nio. Kalau ia tidak melakukan siasat membakar jerami itu, bagaimana
mungkin ia melindungi ketiganya.
"Omitohud…….apakah
yang terjadi sampai ribut begini?" terdengar suara orang dan nampak Hek
Tok Siansu menghampiri mereka, dan kakek gendut ini menggosok-gosok matanya
seolah baru bangun dari tidurnya.
Mayang
memandang kepada kakek itu dan sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, ia
dapat melihat betapa kulit yang hitam kehijauan itu tidak wajar, dan ia dapat
menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu sesat yang amat berbahaya.
"Ada
tiga penjahat besar menyusup masuk ke dalam istana keluarga Cang ini,"
kata Mayang sambil menatap tajam wajah kakek itu.
"Omitohud
..., mana penjahatnya yang begitu berani…..?"
“Kalau kita
baru terbangun setelah semua selesai, tentu para penjahatnya telah lama
menyingkir," kata Mayang dengan suara mengejek.
Kemudian,
setelah menyuruh seorang pengawal yang dipercayanya membangunkan Cang-kongcu
dan memberi keterangan apa yang telah terjadi, Mayang menghampiri Liong Ki yang
berdiri agak menyendiri, kemudian ia berbisik,
"Besok
pagi jam delapan aku menunggumu di danau. Aku ingin bicara urusan penting
antara kita."
Liong Ki
memandang heran, akan tetapi Mayang tidak memberi kesempatan kepadanya untuk
menjawab karena gadis itu sudah melangkah pergi menuju kekamar Cang Hui da Cin
Nio.
Dua orang
gadis itupun sudah sadar dan dikerumuni para pelayan yang tadi terbangun dan
ikut panik. Melihat Mayang, kedua orang gadis itu lalu menyuruh pergi semua
pelayan. Setelah mereka hanya bertiga saja di kamar itu, Cang Hui segera
bertanya kepada Mayang.
"Mayang,
apa yang telah terjadi? Menurut para pelayan, kamar ini tadi penuh asap pembius
dan kami berdua pingsan, dan katanya di gudang ada kebakaran. Mereka mendengar
katanya ada dua atau tiga orang penjahat menyelundup masuk ke istana. Juga
katanya kamar Sun-ko dipenuhi asap pembius seperti kamar kami. Benarkah itu?
Apa yang sesungguhnya terjadi?"
Cin Nio
tidak bicara, akan tetapi pandang matanya kepada Mayang penuh arti, penuh
pertanyaan apakah peristiwa malam ini ada hubungannya dengan malapetaka yang
menimpa dirinya beberapa malam yang lalu.
"Memang
benar, ada dua orang penjahat menyelinap masuk dan melepas asap pembius di
kamar ini dan kamar Cang-kongcu. Akan tetapi, untung bahwa mereka ketahuan
sehingga mereka melarikan diri."
Cang Hui
mengerutkan alisnya.
"Mayang,
sesungguhnya apakah yang terjadi? Siapa mereka dan apa mau mereka itu
melepaskan asap pembius di kamarku dan kamar Sun-ko?"
"Adik
Hui dan adik Cin, harap kalian tenang. Aku sedang menyelidikinya dan kuharapkan
dalam waktu singkat akan dapat menemukan jawabannya. Semua urusan mudah-mudahan
akan dapat kubikin terang dalam waktu dua tiga hari ini."
Berkata
demikian Mayang memandang kepada Cin Nio penuh arti, dan Cin Nio mengerti bahwa
Mayang hendak mengatakan bahwa juga urusan malapetaka yang menimpa dirinya akan
dapat dibikin terang. Hal ini berarti bahwa tentu ada hubungannya antara
peristiwa malam ini dengan malapetaka yang menimpa dirinya.
Pada saat
itu, terdengar suara Cang Sun yang telah berdiri di pintu kamar adiknya.
"Mayang,
apakah yang sebenarnya telah terjadi? Aku mendengar berita yang simpang siur
dari para pengawal, katanya kamarku dipenuhi asap pembius dan aku telah tak
sadar di atas kursiku. Aku ingin mendengar sendiri darimu, apa sebenarnya yang
telah terjadi?"
Cang Hui
mendekati kakaknya.
"sun-ko,
ada penjahat menyusup ke dalam rumah kita. Mereka itu melepas asap pembius di
kamarku dan kamarmu, tentu dengan niat buruk terhadap kita. Dan ada yang
membakar jerami di dekat gudang. Untung Mayang segera datang mengusir asap itu
dan berteriak-teriak sehingga para pengawal berdatangan. Dua penjahat itu telah
melarikan diri."
"Mayang,
apa artinya semua ini?" tanya Cang Sun sambil memandang kepada Mayang.
Agaknya
keterangan adiknya itu masih belum memuaskan hatinya dan ia ingin mendengar
sendiri keterangan Mayang.
"Artinya
bahwa ada penyerang gelap mengancam keluarga Cang, Kongcu, dan aku akan mencoba
untuk membikin terang perkara ini."
Cang Sun
menatap wajah gadis itu penuh selidik.
"Adakah
ini hubungannya dengan urusan pribadimu itu?"
Mayang
mengangguk.
"sekarang
belum waktunya aku bicara banyak, Kongcu. Bersabarlah beberapa hari lagi, pasti
aku akan dapat membongkar semua urusan ini.”
Setelah
berkata demikian, Mayang segera meninggalkan mereka, kembali ke kamarnya karena
ia tidak ingin percakapannya tadi didengar orang lain.
Pada
hari-hari biasa, danau di luar kota raja itu sepi saja, apalagi pada pagi hari
itu. Bukan waktunya orang berlibur. Para pemilik perahu yang biasanya
menyewakan perahu pada para tamu di hari-hari yang ramai, pada hari sepi itu
menggunakan perahu mereka untuk mencoba peruntungan mencari ikan di tengah
danau.
Sejak awal
sekali Mayang telah berada di tepi danau, memandang ke arah timur, ke arah kota
raja. Akhirnya, orang yang dinanti-nanti sejak pagi tadi muncul. Sim Ki Liong
berjalan seorang diri menuju telaga dan dia segera dapat melihat Mayang karena
gadis itu sengaja naik ke atas tepi danau yang menonjol tinggi.
Mayang
melambaikan tangan dan Sim Ki Liong atau Liong Ki berlari menuju ke tempat itu.
Akan tetapi, setelah pemuda itu dekat, Mayang memberi isyarat agar Ki Liong
mengikutinya dan iapun berlari memasuki sebuah hutan yang berada di sebuah
bukit kecil.
Tempat itu
sunyi dan tak nampak seorangpun manusia lain. Mayang ingin bicara denganSim Ki
Liong di tempat sepi agar jangan terdengar orang lain. Diam-diam hatinya merasa
tegang sekali karena kalau benar seperti yang disangkanya bahwa Sim Ki Liong
pelaku pemerkosa akan diri Cin Nio maka hal itu merupakan kepastian baginya
untuk bertindak, menganggap Ki Liong sebagai musuh. Mungkin akan terjadi
bentrokan antara ia dan Ki Liong, dan ia sudah siap siaga untuk menghadapinya.
Dan ia pasti tidak akan tinggal diam sekali ini. Akan dibukanya rahasia Sim Ki
Liong dan Su Bi Hwa kepada Menteri Cang agar kedua orang itu tidak lagi
diterima sebagai pembantu, bahkan ditangkap karena dahulu mereka mengatur
siasat menculik lalu menolong Cang Sun. Ia harus membuat perhitungan dengan Sim
Ki Liong yang telah mengkhianatinya, mengkhianati cintanya.
Setelah tiba
di tempat terbuka di puncak bukit, dikelilingi hutan kecil, Mayang berhenti dan
menanti Sim Ki Liong yang mengejarnya. Kini mereka ,berdiri berhadapan, dalam
jarak empat meter. Ki Liong tersenyum memandang kepada Mayang, senyum yang
penuh arti.
"Mayang,
engkau mengundangku datang kesini, agaknya hendak bicara penting sekali. Ada
urusan apakah, sayang?"
Kata-kata
dan nada suaranya itu terasa oleh Mayang seperti sebatang pisau menusuk
jantungnya, akan tetapi ia pura-pura tidak merasakannya dan ia bahkan menekan
perasaannya sehingga suaranya terdengar datar dan biasa tanpa emosi.
"Liong-ko,
aku mengundangmu kesini agar dapat bicara berdua denganmu. Aku menuntut
pertanggungan jawabmu terhadap diriku!"
Ki Liong
tersenyum dan maju selangkah.
"Tentu
saja, Mayang. Pertanggungan jawab yang bagaimana yang kau maksudkan?
Jelaskanlah, sayang."
Mayang
mengerutkan alisnya dan mengambil sikap pura-pura marah.
“Liong-ko,
setelah apa yang kau lakukan kepadaku beberapa malam yang lalu, sekarang engkau
masih berpura-pura lagi bertanya pertanggungan jawab apa yang
kumaksudkan?"
Setelah
berkata demikian, ia memandang penuh selidik, dan ini bukan lagi bersandiwara
karena memang ia ingin sekali mengetahui reaksi dari pemuda itu ketika
mendengar ucapannya ini.
Mendengar
ucapan itu, Sim Ki liong tertawa.
"Ha-ha-ha,
kiranya itu yang kau maksudkan? Aih, Mayang, bukankah sudah lama sekali kita
saling mencinta? Tentu saja aku akan mempertanggung jawabkan. Sudah berani
berbuat aku tentu berani bertanggung jawab. Nah, katakan, apa yang harus
kulakukan untukmu?"
Ki Liong
bersikap menantang. sambil tersenyum dan jelas bahwa pandang matanya membayangkan
perasaan senang. Agaknya hatinya senang melihat Mayang tidak marah. Akan tetapi
jawaban itu masih belum memuaskan atau belum meyakinkan hati gadis itu.
“Liong-ko,
engkau telah menodai seorang gadis dan sekarang masih bertanya apa yang harus
kau lakukan? Begitu bodohkah engkau, atau memang tidak perduli akan
nasibku?" Ia memancing lagi.
"Mayang,
kekasihku. Sejak dahulu aku mencintamu. Jangan katakan bahwa aku menodaimu,
sayang. Malam itu aku hanya membuktikan rasa cintaku kepadamu. Nah, malam itu
kita telah menjadi suami isteri yang sah. Engkau menghendaki pernikahan, bukan?
Sabarlah, Mayang, kalau sudah tiba saatnya, kita pasti akan menikah.
Heh-heh-heh……. !”
Akan tetapi,
suara tawanya terhenti seketika ketika tiba-tiba saja terjadi perubahan dalam
sikap Mayang. Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluarkan api dan tangan
Mayang sudah menyambar ke depan, meluncur seperti ular mematuk ke arah leher Ki
Liong.
"Haiiiiittttt…….!!"
“Ehh……..
ahhh……!"
Sim Ki Liong
terkejut setengah mati. Biarpun dia amat lihai, akan tetapi datangnya. serangan
itu demikian tiba-tiba, tubuh Mayang menerjang dengan amat cepatnya dan pukulan
yang dilancarkan itu adalah ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular
Hitam) yang amat ampuh.
Tidak ada
kesempatan bagi Ki Liong untuk menangkis lagi, maka sambil mengeluarkan
teriakan nyaring dia sudah melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik
sampai lima kali baru dia terlepas dari ancaman maut pukulan beruntun yang
dilakukan Mayang kepadanya.
“Heii,
Mayang! Ada apakah engkau ini? Gilakah engkau? Bukankah kita Sudah menjadi
suami isteri dan……?”
“Jahanam
busuk! Kiranya benar engkau yang melakukannya! Keparat terkutuk! Sekarang aku
yakin bahwa yang berniat busuk terhadap Cang Hui dan Cang-kongcu tadi malam
tentulah engkau dan komplotanmu, pelacur hina Su Bi Hwa itu! Sekarang
terbukalah semua kedokmu, jahanam! Aku pasti akan membuka rahasiamu kepada
Menteri Cang!"
Wajah Sim Ki
Liong berubah pucat mendengar ini.
"Aih,
Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ingat, engkau telah menjadi isteriku!
Engkau sudah tidak gadis lagi. Kalau bukan aku yang mengawinimu kelak, apakah
engkau akan menjadi seorang yang menderita aib selama hidupmu?" ,
"Sim Ki
Liong, iblis busuk! Aku telah buta dan tolol menganggap seorang manusia iblis
macam engkau akan bertaubat dan kembali ke jalan benar. Kiranya engkau hanya menipu
dan mempermainkan aku! Huh, jangan diikira bahwa akan mudah saja engkau untuk
menghinaku. Yang engkau perkosa pada malam itu bukanlah aku!"
Sepasang
mata Sim Ki Liong terbelalak dan dia memandang tak percaya.
"Bukan
engkau? Tapi….. tapi di kamarmu dan….. kalau bukan engkau lalu siapa ?”
Mayang
tersenyum mengejek.
"Tak
perlu engkau tahu siapa, karena saat inipun aku akan mencabut nyawamu yang tak
berharga!"
Berkata
demikian, Mayang sudah melepaskan senjatanya yang ampuh, yaitu pecutnya yang
panjang. Begitu ia mengayun pecutnya ke atas kepalanya, terdengar bunyi
ledakan-ledakan kecil yang nyaring.
Pada saat
itu muncullah Su Bi Hwa atau yang dikenal sebagai Liong Bi oleh keluarga
Menteri Cang.
"Hi-hi-hik,
Liong koko, sekarang engkau tahu rasa! Sudah sejak dulu kukatakan bahwa bocah
ini berbahaya, sebaiknya dilenyapkan saja. kalau tidak, ia tentu akan membikin
ribut saja dan selalu menggagalkan semua rencana kita.”
Ki Liong
merasa lega melihat munculnya sekutu ini, akan tetapi juga heran karena dia
tidak menyangka.
"Engkaupun
disini, Bi-moi?" tanyanya.
"Tentu
saja! Aku tidak sebodoh engkau, Liong-ko. Aku sudah mencurigainya, maka aku
sudah membuat persiapan yang serba lengkap. Sekarang, mari kita habiskan riwayat
bocah ini agar tidak menjadi penghalang bagi kita."
Melihat
munculnya Su Bi Hwa, Mayang menjadi semakin marah lagi.
"Bagus,
kau siluman betina. Memang akupun sudah mengambil keputusan untuk membasmi
siluman jahat macam engkau!"
Mayang lalu
menggerakkan cambuknya dan menyerang kalang kabut. Cambuknya mengeluarkan suara
bercuitan disusul ledakan-ledakan, menyambar-nyambar dengan ganasnya ke arah
kedua orang itu.
Sim Ki Liong
maklum akan kelihaian Mayang maka diapun sudah mencabut pedangnya, demikian
pula Su Bi Hwa. Mereka maju bersama dan mengeroyok Mayang dengan gerakan pedang
mereka yang lihai.
Kalau hanya
Su Bi Hwa seorang diri, yang melawan Mayang, tentu ia akan kewalahan. Akan
tetapi disitu ada Sim Ki Liong, murid Pendekar Sadis yang amat lihai. Baru
menghadapi Sim Ki Liong seorang diri saja agaknya Mayang tidak akan mampu
mengalahkannya.
Kini Sim Ki
Liong dibantu Su Bi Hwa, maka tentu saja amat berat bagi Mayang untuk
menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi, gadis ini tidak mengenal takut dan
ia sudah nekat untuk melawan mati-matian. Gerakan pecut di tangannya amat
menggiriskan, setiap sambaran pecutnya merupakan sambaran maut yang mengarah
nyawa lawan.
Berbeda
dengan Su Bi Hwa yang, membalas serangan Mayang dengan serangan maut untuk membunuh
pula, Sim Ki Liong agak ragu-ragu dalam serangan balasannya. Bagaimanapun juga,
Sim Ki Liong memang pernah tergila-gila kepada Mayang. Bahkan sampai kini,
belum ada wanita yang dapat menandingi daya tarik Mayang baginya. Agaknya dia
tidak tega kalau harus membunuh Mayang, dan agaknya akan membiarkan Bi Hwa saja
yang membunuhnya. Oleh karena itu, gerakan pedangnya hanya untuk menangkis
serangan Mayang dan mendesak gadis itu sehingga Su Bi Hwa yang nampak lebih
ganas menghujankan serangan.
Kenekatan
Mayang membuat kecepatan dan kekuatannya bertambah, namun karena dua orang
lawannya juga merupakan ahli-ahli pedang yang hebat, terutama sekali Ki Liong,
setelah lewat seratus jurus, mulailah Mayang terdesak hebat. Melihat ini,
mulailah Su Bi Hwa mengejek dan tertawa-tawa.
"Hi-hi-hik,
Mayang, bocah sombong. Bersiaplah engkau untuk mampus!”
Pedangya
membabat ke arah leher Mayang. Mayang mengelak dengan loncatan ke samping, akan
tetapi ketika pecutnya menyambar ganas ke arah Bi Hwa, pedang di tangan Ki
Liong sudah membabat dari samping, kuat bukan main sehingga terdengar suara
keras dan ujung pecut itu terbabat putus oleh pedang Ki Liong! Melihat ini Su
Bi Hwa menggerakkan kakinya dan paha kiri Mayang kena ditendangnya.
"Dukk!"
Tak dapat
dicegahnya lagi, tubuh Mayang terpelanting keras. Sambil terkekeh Bi Hwa
membacokkan pedangnya, akan tetapi pedang itu ditangkis oleh pedang di tangan
Ki Liong.
"Tranggg……..!”
"Ehh?
Liong-Ko, apa yang kau lakukan ini?" Bi Hwa berseru kaget.
"Aku
ingin menangkapnya hidup-hidup, Bi-moi!"
Bi Hwa
mengerti dan tertawa.
"Heh-heh,
agaknya karena malam itu ternyata bukan Mayang yang kau tundukkan dalam
kamarnya, engkau masih penasaran? Baiklah, akan kutangkap ia untukmu,
kuhadiahkan padamu untuk hari ini, akan tetapi sesudah itu ia harus dibunuh dan
mayatnya dilenyapkan di dasar danau!" kata Bi Hwa.
Mendengar
ini, Mayang, mengerahkan seluruh tenaganya dan meloncat bangun, tidak
memperdulikan rasa nyeri di pahanya. Hatinya terasa sakit bukan main. Kini
terbukalah matanya dan tahulah ia benar-benar macam apa adanya Sim Ki Liong
yang penah dicintanya. Ia telah mintakan ampun untuk Ki Liong dari Cia Kui
Hong, kemudian di pulau Teratai Merah iapun memintakan ampun untuk Ki Liong
dari Pendekar Sadis dan isterinya.
Dan kini
ternyata Ki Liong hanya memandangnya sebagai alat pemuas nafsunya belaka.
Bahkan demikian kejinya Ki Liong untuk minta kepada Bi Hwa agar ia tidak
dibunuh dulu sebelum digumulinya!
"Jahanam
kau……, terkutuk kau…….!"
Dan dengan
napas terengah-engah saking marahnya ia sudah menyerang lagi dengan cambuknya
yang sudah patah ujungnya, menyerang mati-matian ke arah Ki Liong. Bahkan
hantaman pecutnya dibantu oleh tangan kirinya yang juga melakukan serangan
dengan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang mengandung hawa beracun.
Namun, Ki
Liong mengelak dari pukulan itu dan menangkis hantaman cambuk dengan pedangnya.
Mayang kembali mengamuk, dan karena kini Su Bi Hwa tidak lagi menyerang untuk
membunuh, melainkan untuk merobohkannya dan menangkapnya, maka Mayang tidak terancam
maut lagi. Bagaimanapun juga, tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat
menangkap gadis yang seperti singa betina mengamuk ini begitu saja.
"Wirrr……
!"
Pecut itu
kembali menyambar ke arah kepala Ki Liong. Serangan yang dilakukan penuh dengan
kebencian. Ki Liong menyambut dengan pedang dan sengaja memutar pedang sehingga
pecut itu melibat pedangnya. Kesempatan ini kembali dimanfaatkan Bi Hwa.
Tangannya menampar ke arah pundak Mayang dan gadis ini kembali terpelanting,
sekali ini terpelanting keras dan kepalanya terasa pening. Namun ia telah dapat
melepaskan libatan cambuknya dan ia sengaja menggulingkan tubuhnya sambil
memutar-mutar cambuk melindungi diri.
Memang hebat
gadis ini. Kalau ia tidak bergulingan dan memutar cambuknya, tentu mudah bagi
dua orang pengeroyoknya untuk menotok dan menangkapnya. Namun dengan
bergulingan dan memutar cambuk, kembali ia terlepas. Ia meloncat berdiri lagi
dan walaupun kepalanya pening dan pundaknya nyeri, ia sudah siap untuk melawan
sampai titik darah penghabisan.
"Sim Ki
Liong, jahanam busuk kau……!!"
Ia
berteriak, suara teriaknya melengking nyaring dan kembali ia mengamuk dengan
cambuknya, amukan yang tidak lagi menghiraukan keselamatan dirinya.
Su Bi Hwa
menjadi penasaran dan marah sekali. Kalau menurutkan hatinya, ia ingin segera
membunuh saja gadis peranakan Tibet itu agar tidak menyusahkan lagi. Akan
tetapi ia maklum bahwa kalau hal itu ia lakukan, ia akan rugi karena tentu Ki
Liong akan merasa kecewa dan tidak senang kepadanya.
"Liong-ko,
biar kurobohkan dia dengan jarum agar lebih mudah!" katanya, akan tetapi
sebelum Ki Liong menjawab, tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari kiri, sinar
merah lembut yang menyambar dengan cepat sekali ke arah Su Bi Hwa dan Sim Ki
Liong!
Kiranya
sebelum Bi Hwa mempergunakan jarum-jarumnya, telah ada orang lain yang lebih
dulu menggunakan jarum-jarum merah yang amat lihai, akan tetapi bukan untuk
menyerang Mayang, sebaliknya malah menyerang mereka.
Sim Ki Liong
dan Su Bi Hwa cepat mengelak dan sinar merah lembut itu menyambar lewat. Bukan
jarum-jarum merah itu yang mengejutkan hati mereka, melainkan setelah orangnya
yang menyambitkan jarum itu muncul.
"Siluman
betina busuk, kiranya engkau disini! Dan bersama si murtad Sim Ki Liong
mengeroyok Mayang! Bagus, jangan takut, Mayang. Aku membantumu menghajar
jahanam-jahanam ini!" kata gadis perkasa yang menyambitkan jarum-jarum
merah itu.
Wajah Su Bi
Hwa dan Sim Ki Liong berubah ketika mereka mengenal Cia Kui Hong! Yang menolong
Mayang itu memang Kui Hong. Seperti kita ketahui, Cia Kui Hong meninggalkan
Cin-ling-san setelah ia mendapatkan persetujuan ayah ibunya untuk berjodoh
dengan Tang Hay.
Bagaikan
mendapatkan semangat hidup baru, Kui Hong segera berangkat dan mencari ke kota
raja. Akan tetapi, kebetulan sekali ia lewat di danau itu dan tertarik oleh
keindahan danau. Ia berjalan-jalan di sekitar danau dan tadi ketika ia sudah
mengambil keputusan untuk meninggalkan danau dan pergi ke kota raja, ia
kebetulan lewat dekat bukit itu dan mendengar teriakan marah dari Mayang. Iapun
bergegas naik ke bukit itu dan melihat betapa Mayang didesak dengan hebat oleh
dua orang yang membuat ia marah bukan main.
Dua orang
pengeroyok Mayang itu adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Tentu saja Kui Hong
merasa heran sekali. Bukankah Ki Liong dan Mayang saling mencintai? Bahkan
Mayang sendiri yang pernah mintakan ampun untuk Ki Liong kepadanya! Bagaimana
sekarang Ki Liong malah menyerang Mayang, dan bersama dengan Tok-ciang Bi Mo-li
murid Pek-lian Da-kui itu? Dalam keheranannya, ia tidak banyak membuang waktu
dan mendengar betapa Su Bi Hwa hendak menyerang Mayang dengan jarum, ia
mendahului dan menyambit kedua orang pengeroyok dengan jarum-jarum merahnya.
“Enci Kui
Hong…….!!”
Mayang
berseru girang bukan main ketika melihat siapa penolongnya dan cepat ia
meloncat ke dekat Kui Hong.
"Mayang,
apa yang telah terjadi? Kenapa engku dikeroyok oleh dua orang ini?" Kui
Hong bertanya, penasaran.
"Enci
Kui Hong, jahanam Sim Ki Liong mengkhianatiku, dia bersekongkol dengan iblis
betina itu untuk menguasai keluarga Menteri Cang Ku Ceng."
Kui Hong
membelalakkan matanya.
"Begitu
berani mereka? Kalau begitu dosa mereka sudah melewati ukuran dan mereka layak
dibasmi!”
Kui Hong
membentak dan iapun sudah mencabut sepasang pedangnya, lalu menyerang Ki Liong
dengan sepasang pedang itu. Serangannya hebat bukan main karena ia telah
mengerahkan tenaganya dan memainkan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang
Penakluk Iblis) yang dipelajarinya dari Toan Kim Hong, neneknya.
Ki Liong
yang maklum akan kelihaian gadis ini, tidak banyak cakap lagi dan cepat memutar
pedangya melawan.
Mayang kini
memperoleh angin baik. Biarpun ia sudah menderita luka oleh tendangan pada paha
dan pukulan pada pundaknya, kini melihat munculnya Kui Hong, semangatnya timbul
kembali dan bagaikan seekor singa betina, ia menggunakan cambuknya yang sudah
patah ujungnya untuk menyerang Su Bi Hwa dengan dahsyat.
Kini
terjadilah pertandingan satu lawan satu yang amat seru. Akan tetapi, Ki Liong
segera mulai terdesak oleh sepasang pedang di tangan Kui Hong. Gadis ini,
biarpun hanya menerima keterangan singkat dari Mayang, maklum bahwa Ki Liong,
telah mengkhianati gadis itu dan tentu telah melakukan kejahatan kembali.
Memang ia sudah sangat membenci pemuda murid pulau Teratai Merah yang murtad
ini. Kalau dulu ia mengampuninya adalah karena atas permintaan Mayang. Kini, ia
menyerang untuk membunuh sehingga Ki Liong hanya mampu menangkis dan menjaga
diri, tidak diberi kesempatan lagi untuk balas menyerang.
Adapun Su Bi
Hwa yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan Mayang, kini juga kewalahan
menghadapi desakan Mayang karena gadis peranakan Tibet ini marah sekali
sehingga gerakannya menjadi sangat dahsyat, terutama sekali serangan tangan
kirinya yang menggunakan Hek-coa-tok-ciang.
Tiba-tiba Su
Bi Hwa berseru nyaring.
"Suhu,
keluarlah dan bantulah kami!"
Ki Liong
sendiri merasa heran, mengira bahwa tentu sekutunya itu hanya mempergunakan
siasat menggertak saja. Akan tetapi, betapa girang rasa hatinya ketika
tiba-tiba terdengar suara orang yang amat dikenalnya, suara Hek Tok Siansu!
"Omitohud…….,
banyak benar orang muda perkasa bermunculan!"
Dan sambaran
angin dahsyat menyerang ke arah Kui Hong dari arah kanan! Kui Hong yang sedang
mendesak Ki Liong, ketika mendengar suara itu dan merasakan sambaran angin
pukulan dahsyat, cepat membalik ke arah suara itu dan memindahkan pedang dari
tangan kanan ke tangan kiri yang kini memegang dua batang pedang, lalu tangan
kanannya ia dorongkan kearah dari mana datangnya angin pukulan,
"Desss……!”
Dua tenaga
sakti bertemu di udara lewat telapak tangan Hek Tok Siansu dan Cia Kui Hong.
"Omitohud…..!”
Hek Tok
Siansu berseru kaget dan heran karena tangkisan gadis itu membuat pukulannya
tadi membalik. Jarang di dunia ini ada orang mampu menangkis pukulannya seperti
itu, dan gadis ini masih muda sekali!
"Bi
Hwa, siapakah nona ini?"
Saking heran
dan kagumnya, ia bertanya kepada Bi Hwa. Bagi, Hek T ok Siansu, tidak ada
rahasia lagi tentang Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong karena mereka sudah mengaku
kepadanya tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Su Bi Hwa memang cerdik. Ia
telah mengatur semuanya sehingga kakek itu berada pula disitu, siap membantu.
Bahkan banyak pula orang-orang Pek-lian-kauw sudah siap membantunya.
"Suhu,
ia adalah pangcu (ketua) dari Cin-ling-pai."
"Omitohud,
seorang wanita masih begini muda sudah menjadi ketua perkumpulan besar. Pantas
saja lihai!"
Kui Hong
merasa heran mendengar Bi Hwa menyebut suhu kepada hwesio ini. Setahunya, guru
Bi Hwa adalah Pek-lian Sam-kwi yang ketiganya sudah tewas semua. Bagaimana
tiba-tiba muncul seorang hwesio yang mengaku sebagai guru wanita iblis ini ?
"Lo-cian-pwe,"
katanya dengan sikap tegas. "Aku Cia Kui Hong tidak pernah bermusuhan
denganmu. Tok-ciang Bi Moli ini pernah mengacau Cin-ling-pai, maka aku akan
membunuhnya, dan Sim Ki Liong ini adalah murid murtad dari kakek dan nenekku.
Oleh karena itu, harap Lo-cian-pwe tidak mencampuri urusan kami agar aku tidak
perlu bermusuhan denganmu."
"Omitohud,
nona muda yang sombong. Apa kau kira pinceng takut melawanmu! Ha-ha-ha, dua
orang ini adalah sekutu pinceng, sudah menjadi murid pinceng, tentu saja urusan
mereka adalah urusan pinceng."
Tahulah Kui
Hong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang bentuk dan pakaiannya saja
pendeta, akan tetapi isinya adalah seorang yang condong kepada golongan sesat.
"Kalau
begitu, pendeta palsu, engkaupun hanya akan membikin kacau dunia saja!"
bentaknya dan iapun sudah menyerang dengan sepasang pedangnya.
"Omitohud,
biarlah nona ini menjadi lawan pinceng!" kata Hek Tok Siansu dan dia sudah
menggerakkan kedua tangannya.
Ujung lengan
bajunya menyambar dan ketika kedua ujung lengan baju itu menangkis pedang di
tangan Kui Hong, gadis itu merasa seolah-olah sepasang pedangnya ditangkis oleh
senjata keras yang kuat. Segera terjadi perkelahian diantara mereka.
"Bi-moi,
kau bantu suhu menundukkan Kui Hong, biar aku yang menangkap Mayang!" kata
Ki Liong dengan gembira.
Tak
disangkanya bahwa Bi Hwa sedemikian cerdiknya sehingga kini pihaknya yang lebih
kuat. Bi Hwa juga maklum bahwa kalau ketua Cin-ling-pai itu tidak di kalahkan,
tentu merupakan ancaman baginya, maka tanpa banyak cakap lagi ia membantu Hek
Tok Siansu mengeroyok Kui Hong. Adapun Ki Liong segera menghadapi Mayang.
Kembali
keadaan berubah setelah tadi Kui Hong dan Mayang mampu mendesak dua orang
lawannya. Dengan masuknya Hek Tok Siansu, keadaan kembali tidak menguntungkan
bagi pihak Mayang dan Kui Hong. Kakek ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, yang
kadang amat mengejutkan Kui Hong dan membuat gadis itu terdesak dan hanya dapat
melindungi dirinya saja tanpa dapat membalas menyerang.
Apalagi
disitu terdapat Bi Hwa yang menggunakan pedang mengeroyok dan jelas bahwa iblis
betina ini bersungguh-sungguh hendak membunuhnya, membuat Kui Hong segera
terdesak. Hanya kematangan ilmu pedang Kui Hong yang bersumber kepada ilmu
pedang dahsyat dari neneknya yang membuat gadis itu masih dapat bertahan.
Yang payah
adalah Mayang. Gadis ini sudah terluka, dan menghadapi Ki Liong ia merasa kalah
setingkat, maka segera ia diserang dan didesak hebat oleh Ki Liong yang amat
bergairah untuk menangkapnya hidup-hidup. Kini Ki Liong bagi Mayang merupakan
iblis yang amat jahat, dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertawan, tentu Ki
Liong akan menghina dan memperkosannya. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak
mempunyai perikemanusiaan, tidak tahu malu dan sudah tersesat sampai jauh.
Mayang
menggigit bibirnya dan melawan mati-matian. Sudah dua kali ia terpelanting oleh
tendangan kaki Ki Liong, akan tetapi setiap kali ia meloncat bangun lagi, tidak
merasakan kenyerian yang dideritanya dan melawan terus dengan gigihnya.
Kui Hong
maklum bahwa pihaknya terancam bahaya kalau perkelahian berat sebelah itu dan
membiarkan diri mati konyol. Ia harus melindungi Mayang karena ia dapat melihat
betapa gadis itu terancam oleh Ki Liong. Ia mulai mencari kesempatan untuk
mengajak Mayang melarikan diri lebih dahulu agar terlepas dari himpitan lawan.
Akan tetapi,
tiga orang lawan itu tidak memberi kesempatan dan mendesak terus. Selagi Kui
Hong memutar pedang mencari kesempatan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tahan semua
senjata!”
Ucapan itu
demikian penuh wibawa sehingga seperti tertahan oleh tenaga yang tidak nampak,
lima orang yang sedang berkelahi itu otomatis menghentikan gerakan tangan
mereka.
Hek Tok
Siansu terkejut bukan main karena dia merasakan getaran yang amat kuat dalam
suara itu, getaran yang mengandung kekuatan sihir yang luar biasa kuatnya.
Segera ia memandang dan ternyata yang membentak itupun hanya seorang pria yang
masih amat muda! Sungguh mengherankan hatinya karena demikian banyaknya
bermunculan orang muda yang amat lihai!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.