Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 17
Kita
dianugerahi hati akal pikiran yang mengangkat kita menjadi mahluk termulia.
Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih
banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu. Namun, justeru
hati akal pikiran manusia yang menimbulkan malapetaka di dunia ini, karena
nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga
mutlak berbahaya karena menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?
Jalan
satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan yang
mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran dimana seluruh anggauta
tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh
nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Kalau sudah begitu, manusia
akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang
bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada
fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.
Setelah
dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah
makan terbesar, Hek Tok Siansu menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai
senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena diisi banyak
makanan dan arak.
"Heh-heh-heh,
kalian dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, engkau tadi mengatakan
kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taijin,
siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik
kepadaku?"
"Lo-cian-pwe,
nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya bernama Liong Bi. Kami berdua
bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan
pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."
"Hemm,
lalu mengapa kalian bersikap baik kepada piceng? Pinceng Hek Tok Siansu tidak
pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik
kepadaku?"
Liong Ki dan
Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan
seorang yang sakti dan berwatak aneh. Terhadap orang seperti itu mereka harus
bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama
sekali tidak boleh dijadikan lawan.
Dari julukan
kakek itu saja mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang
lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya saja Racun Hitam (Hek. Tok),
dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang
pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.
"Lo-cian-pwe,
kami kakak beradik amat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai.
Begitu bertemu dengan Lo-cian-pwe, kami dapat menduga bahwa Lo-cian-pwe adalah
seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Lo-cian-pwe merupakan
kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan
kami yang dangkal." kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat.
Kakek gundul
gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang makin
mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk dan mengamati
kedua orang muda itu.
"Kalian
mengaku sebagai pembantu-pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang amat terkenal
sebagai seorang pembantu kaisar yang amat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian
sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki
kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi
berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa ?”
"Lo-cian-pwe,
harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami hanya ingin
mengajak Lo-cian-pwe untuk menghadap Cang Tai-jin. Beliau adalah seorang
pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai tingkat orang-orang pandai.
Kalau Lo-cian-pwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Tai-jin. Pasti
Lo-cian-pwe akan diterima dengan senang."
"Heh-heh-heh,
pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apalagi yang remeh. Kalau kaisar
sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."
Liong Ki dan
Liong Bi saling pandang.
"Lo-cian-pwe,
pendapat Lo-cia-pwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua.
Kami sendiripun ingin mendapatkan kedudukan di istana kaisar, akan tetapi
tidaklah mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping
Cang Taijin, akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah,
Lo-cian-pwe, kami perkenalkan Lo-cian-pwe dengan Cang Taijin dan akan kami akui
sebagai guru kami. Kami siap membantu Lo-cian-pwe agar kita bertiga kelak akan
mampu menduduki tempat yang berarti di istana kaisar.”
Hek Tok
Siansu merasa tertarik. Sejak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun
lamanya bersama mendiang Ban Tok Siansu, dia tidak pernah hidup senang, selalu
dalam perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus,
kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang
pantas. Kini Ban Tok Siansu sudah tidak ada, dan dia sendiripun sudah tua.
Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak
sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya dalam kemuliaan dan
kesenangan? Pula, selama puluhan tahun dengan susah payah dia mempelajari
segala macam ilmu itu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau
hasilnya tidak dinikmati?
Akan tetapi,
yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali
tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih
dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu pantas mengaku
dirinya sebagai guru mereka.
"Omitohud,
kalau kalian mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Akan tetapi pinceng harus
mengenal benar kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana
mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian murid sendiri? Mari kita
ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak
ragu-ragu lagi."
Setelah
berkata demikian, kakek itu keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan
Liong Bi.
Mereka tiba
di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti
dan Hek Tok Siansu tertawa senang.
"Nah,
sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin
mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut
gendutnya menonjol ke depan, kedua lengan yang pendek tergantung di kedua sisi
badan.
"Kak
Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Lo-cian-pwe Hek Tok Siansu lebih
dahulu." kata Liong Bi dan iapun melangkah maju menghampiri kakek itu.
Hek Tok
Siansu tersenyum. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini cukup gagah karena
mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan
hatinya dan membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini memiliki kepandaian yang
cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.
"Liong
Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat
menilalnya."
"Baik,
Lo-cian-pwe. Sambut seranganku!"
Liong
membentak dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat sekali. Kedua tangannya
menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara
bertubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja
mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena
iapun ingin menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan
sekutunya.
Kakek itu
diam-diam terkejut dan kagum. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan kecepatan
yang jauh diatas dugaannya semula. Dia masih menggeser kaki ke belakang dan
kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu.
Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya!
Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.
"Dukk!"
Akibatnya,
tubuh Liong Bi terpental dan iapun membuat gerakan salto jungkir balik tiga
kali, sedangkan tubuh Hek Tok Siansu terdorong mundur dua langkah.
“Omitohud……..engkau
boleh juga, Nona!” kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku
ini!"
Dan kini
kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar
itu menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah. Gerakannya tidak nampak
terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu
mendatangkan angin dahsyat yang menggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon
rontok!
Liong Bi
terkejut dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebatan ke sana sini,
menghindarkan diri dari sambaran tangan dan ujung lengan baju itu. Bahkan Liong
Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti
yang telah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan
menguntungkan sekali kalau dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini
menjadi sekutu dan kawan.
Di lain
pihak, Hek TokSiansu menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu
pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih
dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang
dahsyat ini.
Akan tetapi,
gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih! Untung saja ia tadi
maju seorang diri. Kalau kakaknya memiliki kepandaian seperti adiknya, dan
mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Kiranya
dia berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tidak akan mengecewakan
untuk dijadikan sekutu atau pembantunya.
Ketika
dahulu dia berdua dengan Ban Tok Siansu, dialah yang menjadi pembantu karena
Ban Tok Siansu sebagai suhengnya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda
ini bekerja sama dengan dia, apalagi mengaku muridnya, berarti mereka ini dapat
menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan!
Tiba-tiba
Hek Tok Siansu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah dan
gerakan tubuhnya berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu
menyerang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman
keluar dari gulungan serangan itu!
Liong Bi
terkejut bukan main. Iapun bertanding dengan sungguh-sungguh karena ia hendak
menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, ia mengeluarkan
suara melengking tinggi dan iapun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh,
yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan
silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini ia pelajari dari mendiang
tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua
tangannya ketika ia memainkan ilmu ini.
Akan tetapi,
begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek Tok Siansu, Liong Bi
terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.
“Brettt……!!”
Liong Bi
meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya berubah merah, kedua
tangannya menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka.
“Aih,
Lo-cian-pwe nakal………” katanya manja.
“Omitohud,
sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin
merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya."
kata Hek Tok Siansu dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa
kakek ini tidak dapat disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya.
Kakek kulit
hitam ini tidak menjadi hamba nafsu berahinya, dan penyobekan bajunya tadi
bukan karena watak cabulnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa dia lebih
unggul.
"Ilmu
kepandaian Lo-cian-pwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan
sejujurnya karena ia maklum kalau mereka bertanding sungguh-sungguh, ia tidak
akan mampu mengalahkan kakek ini.
Hek Tok
Siansu tertawa senang.
"Engkaupun
hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah,
Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar”.
"Baik,
Lo-cian-pwe. Sambutlah seranganku ini!"
Liong Ki
menerjang maju dan seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan
tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh, untuk mengalahkan
lawan. Karena dia tadi melihat betapa gerakan kakek itu ketika menyerang dan
mengalahkan Liong Bi mendatangkan angin dan gelombang dahsyat, maka begitu
menyerang diapun menggunakan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru
angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat.
"Omitohud…...!!”
Hek Tok
Siansu berseru kaget dan kagum. Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang
dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarag dia menghadapi permainan
silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan main.
Pemuda ini ternyata lebih lihai daripada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak
tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dia pelajari
dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!
Karena dia
merasa bahwa kalau sampai dia kalah oleh pemuda ini, bukan saja dia akan gagal
memperoleh kedudukan tinggi, juga tentu pemuda itu tidak jadi menariknya dan
mengakuinya sebagai guru di depan Cang Taijin, maka Hek Tok Siansu juga tidak
berani main-main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmunya yang
memiliki gerakan aneh-aneh, yaitu ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun
berkeliaran di sekitar Pegunungan Himalaya dan negara-negara sekitarnya.
Pertandingan
itu memang seru dan hebat bukan main. Setiap kali keduanya terpaksa bertemu
tangan mengadu tenaga, ternyata Liong Ki masih kalah kuat dan terdorong mundur
sampai empat lima langkah, sedangkan lawannya hanya terdorong mundur dua
langkah. Namun, dalam hal kecepatan Liong Ki dapat mengimbangi kakek itu, dan
diapun memiliki lebih banyak ilmu silat tinggi yang tidak dikenal kakek itu dan
membuat kakek itu agaknya sukar untuk mengalahkannya.
Setelah
lewat empat puluh jurus kakek itu lalu berjongkok dan mendorong dengan kedua
tangan ke depan, seperti seekor katak besar hendak meloncat. Dari kedua telapak
tangannya menyambar tenaga dahsyat disertai uap hitam!
Liong Ki
mengenal ilmu pukulan yang amat berbahaya, maka diapun meloncat ke samping
untuk menghindar. Baru saja kedua kakinya kembali ke atas tanah, kakek itu
sudah menerjangnya lagi, sekali ini tubuh kakek itu bergulingan seperti seekor
trenggiling. Kaki tangannya menyerang ketika dia bergulingan itu dan menghadapi
serangan aneh ini, Liong Ki terkejut dan terdesak. Kemanapun ia mengelak, tubuh
yang bergulingan itu selalu mengejarnya. Akhirnya, terpaksa Liong Ki menyambut
kedua tangan lawan dengan tangannya ketika dalam keadaan jongkok seperti katak
kakek itu sudah menghantamnya lagi.
"Plakk!"
Dua pasang
tangan bertemu dan saling melekat, dan pada saat itu, kaki Hek Tok Siansu
menendang, mengenai paha Liong Ki dan tubuh pemuda itupun terjengkang!
Namun Liong
Ki dapat meloncat bangun dengan cepat dan diapun memberi hormat kepada kakek
itu.
"Kepadaian
Locianpwe sungguh dahsyat, aku mengaku kalah."
Hek Tok
Siansu tertawa bergelak sambil meraba-raba dagunya yang tak berjenggot.
"Ha-ha-ha,
selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dua orang muda selihai kalian.
Bahkan andaikata aku mempunyai murid, kiranya dia akan kalah kalau bertanding
melawan seorang diantara kalian. Hebat, memang sudah pinceng dengar bahwa kini
banyak bermunculan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi. Tentu saja
pinceng merasa bangga kalau diperkenalkan sebagai guru kalian. Pinceng mau
kalian ajak menghadap Menteri Cang, dan suka bekerja sama dengan kalian. Namun
sebaiknya, kalian sebagai murid-murid angkat harus membantuku mencari seseorang
sampai dapat.”
"Tentu
saja kami mau membantumu, Suhu!" kata Liong Ki dan mendengar sebutan itu,
Hek Tok Siansu tersenyum. "Katakan siapakah orang itu dan dimana
tinggalnya, pasti kami akan berusaha mencarinya. Kalau perlu kami dapat
mengerahkan pasukan penyelidik…….."
"Bagus,
itulah yang pinceng kehendaki. Orang yang pinceng cari-cari itu juga seorang
pemuda yang lihai seperti engkau, namanya Tang Hay….."
"Hay
Hay…..?" teriak Liong Ki
"Pendekar
Mata Keranjang?" Liong Bi juga berseru sambil bangkit berdiri dari atas
batu besar dimana ia tadi duduk.
"Oh,
kalian sudah mengenal dia, bukan? Bagus sekali. Dimana dia sekarang?"
Liong Bi
yang cerdik mendahului Liong Ki agar jangan salah bicara.
"Kami
memang mengenal Tang Hay atau Hay Hay Si Mata Keranjang itu, Suhu, akan tetapi
kami tidak tahu dimana dia sekarang. Akan tetapi, apakah hubungan Suhu dengan
dia dan mengapa pula Suhu mencari Hay Hay?"
Mereka tentu
saja khawatir mendengar orang yang dicari kakek ini Hay Hay, musuh besar
mereka! Kalau kakek ini sanak keluarga atau sahabat baik Hay Hay, celakalah
mereka.
Hek Tok
Siansu adalah seorang yang merasa dirinya datuk yang menduduki tingkat tinggi,
maka dia tidak merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu karena tidak ada yang
ditakutinya di dunia ini. Mendengar pertanyaan Liong Bi tadi, mulutnya yang
selalu tersenyum sinis itu kini menyeringai.
"Tang
Hay adalah musuhku dan pinceng mencari dia untuk membunuhnya”.
Mendengar
ini, Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Hati mereka lega dan senang, akan
tetapi mereka cerdik dan ingin yakin lebih dahulu.
"Lo-cian-pwe,
apakah yang telah dilakukan Tang Hay maka Lo-cian-pwe hendak membunuhnya ? Apa
dosanya?
"Ha-ha-ha,
dosanya besar sekali! Bersama Kim Mo Siankouw, Tang Hay telah membunuh tiga
orang suhengku yang bernama Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Aku
sudah berhasil membunuh Kim Mo Siankauw, tinggal Tang Hay yang belum dapat
kutemukan."
Barulah hati
kedua orang muda itu yakin dan merasa gembira bukan main. Apalagi Liong Bi yang
sudah mendengar tentang tiga orang pendeta Lama yang dimaksudkan oleh Hek Tok
Siansu tadi. Tiga orang pendeta Lama itu adalah tiga orang sakti yang berusaha
untuk memberontak di Tibet dan dapat dihancurkan oleh Dalai Lama dan
pasukannya. Kiranya Hay Hay juga membantu pembasmian pemberontakan itu.
“Kalau
begitu, sungguh kebetulan sekali, Suhu!" kata Liong Ki dengan girang.
"Ketahuilah bahwa kamipun membenci anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu itu! Dia
adalah musuh besar kami pula!"
"Hemm,
begitukah? Pinceng juga sudah mendengar bahwa pemuda bernama Tang Hay itu anak
jai-hwa-cat Ang-hong-cu (penjahat pemetik bunga Si Kumbang Merah). Dia harus
membayar kematian tiga orang suhengku. Akan tetapi kenapa pula kalian
memusuhinya?"
“Anak
jai-hwa-cat itu sombong dan jahat bukan main, Suhu." kata Liong Bi.
"Aku pernah bertemu dengan dia dan hampir saja dia memperkosaku, kalau
saja tidak muncul kakak Liong Ki yang menyelamatkan aku."
"Benar,
dia memang jahat dan kejam, penjahat cabul seperti ayahnya. Julukannya saja
Pendekar Mata Keranjang. Akupun pernah bentrok beberapa kali dengan penjahat
itu. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menyelidiki dimana pemuda jahat itu
berada, Suhu. Sekarang, marilah kita meghadap Cang Taijin dan Suhu akan kami
perkenalkan dengan beliau."
Mereka
bertiga meninggalkan hutan, kembali ke kota dan langsung menuju ke istana
Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang menerima kunjungan Hek Tok Siansu dengan
gembira. Menteri yang bijaksana ini memang pandai menghargai orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Apalagi ketika kakek gundul itu diperkenalkan oleh
dua orang pembantunya sebagai guru mereka, dia menyambut dengan hormat.
Setelah
berbincang-bincang sejenak, dengan ramah Menteri Cang memberi ijin kepada Liong
Ki yang mohon perkenan agar untuk sementara "gurunya" tinggal bersama
dia di kamarnya. Bahkan kepada Menteri Cang, Liong Ki mengatakan dia akan
membujuk gurunya agar suka melatih ilmu kepada keluarga Cang dan kepada para
perwiranya.
Ketika Liong
Ki dan Liong Bi meninggalkan ruangan dalam dimana mereka tadi diterima Cang
Taijin, sambil mengajak Hek Tok Siansu, dan mereka menuju ke perumahan di
belakang dalam komplek lingkungan istana menteri itu, mereka berjumpa dengan
Mayang.
Gadis ini
memang sudah mulai merasa tidak senang kepada Liong Ki dan Liong Bi, walaupun
perasaan itu dipendamnya saja didalam dada karena tidak ada alasan yang dapat
dijadikan bukti. Sikapnya dingin saja ketika ia berjumpa dengan tiga orang itu,
hanya diam-diam ia heran melihat dua orang itu berjalan bersama seorang kakek
pendeta gundul berjubah kuning.
"Mayang,
perkenalkan. Ini adalah guru kami…….” kata Liong Ki.
Mayang
mengerutkan alisnya. Setahunya, guru Liong Ki atau Sim Ki Liong adalah Pendekar
Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya di pulau Teratai Merah.
"Gurumu……?”
gumamnya.
"Ini
adalah guruku, suhu Hek Tok Siansu.”
L.iong Bi
memotong cepat dan Liong Ki yang menyadari kesalahannya cepat menyambung.
"Sekarang
menjadi guruku pula, Mayang. Aku telah mengangkat lo-cian-pwe ini menjadi
guruku”.
Mayang
mengangguk-angguk, walaupun masih agak ragu, namun keterangan pemuda itu masuk
akal. Bisa saja dia mengangkat guru orang lain lagi karena gurunya di pulau
Teratai Merah sudah tidak mengakuinya lagi, pula apa salahnya kalau dia berguru
lagi kepada orang pandai? Dengan sikap acuh saja ia lalu meninggalkan mereka.
"Siapakah
nona itu? Ia seperti bukan gadis Han." kata Hek Tok Siansu tertarik.
"Memang
ia peranakan Tibet, Suhu. Sebetulnya ia jahat sekali dan dapat menjadi
penghalang kemajuan kita. Aku sudah ingin melenyapkannya saja, akan tetapi
selalu dilarang kakak Liong Ki karena dia dan gadis itu saling mencinta, atau
lebih tepat, dia tergila-gila kepada Mayang."
“Mayang?"
“ya, nama
gadis itu Mayang. Ia terbawa oleh kami kesini, akan tetapi agaknya ia tidak
suka kepada kami, atau hendak mengambil jalan sendiri. Agaknya ia hendak
memikat hati Cang-kongcu, putera Menteri Cang dengan kecantikannya dan kalau ia
berhasil, kami yakin ia tentu akan mempergunakan kekuasaanya untuk medesak
kami." kata pula Liong Bi.
"Omitohud,
alangkah jahatnya. Memang sudah sepatutya kalau ia dilenyapkan." Kata
kakek itu.
Mendengar
ini, Liong Ki dan Liong Bi merasa girang dan mereka maklum bahwa mereka boleh
mengandalkan tenaga bantuan kakek ini.
"Suhu,"
kata Liong Ki, "sebaiknya memang Mayang itu dilenyapkan, akan tetapi aku sudah
terlanjur jatuh cinta padanya dan aku tidak tega membunuhnya. Aku ingin agar ia
dapat kutundukkan, menjadi milikku dan kalau sudah begitu, aku dapat menguasai
dan mempengaruhinya agar ia selalu taat kepadaku. Kuharap dalam hal ini Suhu
suka membantuku."
"Omitohud,
engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri Liong Ki. Kulihat kepandaian
kalian sudah cukup hebat, apa sukarnya menundukkan seorang gadis muda seperti
itu? Memang masih memerlukan bantuan pinceng?"
"Suhu
tidak tahu, Mayang itu memiliki kepandaian yang cukup lihai. Iapun kebal
terhadap ilmu sihir. Dan iapun amat berbahaya bagi Suhu sendiri!” kata Liong
Bi.
"Heh?
Berbahaya bagi pinceng? Kenapa?”
"Ia
adalah murid Kim Mo Sian-kouw."
Hwesio itu
terbelalak.
"Omitohud!
Jadi ia murid Si Rambut Emas itu? Kalau ia tahu bahwa gurunya mati di tanganku,
tentu ia akan memusuhiku. Kalau begitu, memang sudah sepatutnya ia
dilenyapkan." kata Hek Tok Siansu.
"Lebih
dari itu, Suhu, ia adalah adik tiri dari Tang Hay. Ia juga puteri Si Kumbang
Merah, berlainan ibu." Kata Liong Ki.
"Bagus,
bagus! Serahkan ia kepada pinceng. Pinceng akan melenyapkan tanpa ada yang
mengetahuinya, jangan khawatir……"
“Ah, tidak,
Suhu. Maksudku bukan begitu. Aku cinta padanya, dan akan merasa sayang sekali
kalau ia dilenyapkan. Aku menghendaki agar ia jatuh ke dalam pelukanku, agar ia
menjadi milikku dan kalau sudah begitu tentu ia akan tunduk kepadaku."
"Ooh-ho-ho-hoh,
kiranya begitu maksudmu? Cinta memang dapat membuat orang melakukan apa saja.
Baik, pinceng akan membantumu. Apa yang harus pinceng lakukan? Menangkapnya,
menelikungnya lalu menyerahkan kepadamu?" .
"Tidak,
suhu. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Mayang. Aku terlalu
mencintanya. Kita harus menggunakan cara halus dan akan kuberitahu kepada suhu
kalau saatnya tiba, sekarang ini ada dua hal penting yang kami berdua harapkan
bantuan dari suhu."
"Hemm,
bantuan apalagi yang kalian harapkan dari pinceng?"
Kini Liong
Bi yang menjelaskan.
"Suhu,
kami ingin sekali meningkatkan kedudukan kami. Menteri Cang mempunyai dua orang
anak. Yang laki-laki bernama Cang Sun dan yang perempuan bernama Cang Hui. Nah,
kalau aku dan koko Liong Ki dapat berjodoh dengan mereka, tentu dengan
sendirinya derajat dan tingkat kedudukan kami akan naik. Dan sebagai guru kami,
tentu suhu juga terangkat derajatnya. Kami berdua sudah melakukan usaha
pendekatan dan hampir berhasil, akan tetapi selalu Mayang itu yang menghalangi
dan menggagalkan usaha kami. Kami mohon bantuan suhu agar Cang-kongcu itu
tergila-gila kepadaku, dan Cang-siocia tergila-gila kepada kakak Liong Ki.
“Ho-ho-ha-ha!
Demikian banyaknya permintaan bantuan dari kalian kepadaku! Dan apa imbalannya?
Kalau hanya makan minum enak saja, setiap saat aku dapat memperolehnya tanpa
susah payah.”
“Ingat,
Suhu. Kami sudah berjanji akan membantu mencarikan Tang Hay, musuh besarmu itu.
Dan kedua, di istana keluarga Cang ini Suhu mendapat kedudukan baik sebagai
guru kami, bahkan kami dapat memintakan kepada Cang Taijin agar Suhu memperoleh
pangkat yang resmi. Dan ketiga, kalau kami berdua sudah menjadi mantu keluarga
Cang, berarti kedudukan Suhu ikut naik dan kita dapat meningkatkan lagi
kedudukan kita karena sudah semakin dekat dengan istana kaisar. Bukankah itu
berarti bahwa kita bertiga akan menikmati nama besar, kedudukan tinggi,
kemuliaan dan harta benda?"
Hwesio itu
tertawa dan perut gendutnya terguncang-guncang. Dia merasa gembira sekali telah
dapat berkenalan dengan dua orang muda yang cerdik ini.
"Ha-ha-ha-ha,
kalian memang berjodoh sekali dengan pinceng. Kalian masih muda namun sudah
memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan yang lebih lagi, kalian memiliki
kecerdikan luar biasa. Baik, pinceng akan membantu kalian."
"Kui
Hong. Bagaimanakah engkau ini? Sudah sering datang pinangan, namun engkau
selalu menolak. Engkau sudah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat
engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun- lun-pai yang
gagah, bahkan dia putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana engkau menolaknya pula?
Sungguh kami merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada
puterinya.
"Maaf,
Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikitpun keinginan untuk menikah.
Kalau dipaksakan, tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa dan aku yakin
Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan? Biarlah aku
seperti sekarang ini, di samping Ayah dan Ibu, mengurus Cin-ling-pai."
Cia Hui Song
dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka
mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong jauh berbeda dengan gadis lincah
jenaka yang dahulu lagi. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya
seperti dahulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini merapat, dan kalau dahulu
ia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang pendiam,
kaku dan seperti mayat hidup saja.
"Kui
Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya berkata. "Kurasa para
peminang itu memenuhi segala syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan,
ada pula seorang pendekar yang memiliki nama terkenal, akan tetapi engkau
selalu menolak. Bahkan diperkenalkanpun tidak mau. Seolah-olah engkau memang
sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah ?”
Gadis itu
mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri
itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang amat
menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus.
"Ayah,
menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup
menjadi teman. Bagaimana mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang
yang sama sekali tidak kukenal, sama sekali tidak kusukai? Daripada kelak
menderita sengsara disamping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup
seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku
menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta."
Gadis itu
menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua
sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Setelah saling pandang
dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan,
akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya,
"Kui
Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?"
Bagaikan
disengat kalajengkit rasanya ketika Kui Hong mendengar disebutnya nama ini oleh
ibunya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini.
Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Ia
mengangkat muka memandang kepada ayah ibuya dan melihat betapa mereka
mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Muncul
perlawanan dalam hatinya. Selama ini ia menderita batin karena penolakan ayah
ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya masih bertanya apakah ia masih
tetap mencinta pemuda itu!
"Ibu
dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta
kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja? Tentu saja aku masih
mencinta Hay-koko, dan sampai matipun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan
dialah aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi? Ayah dan Ibu sudah
tidak setuju, kenapa mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?"
Suami isteri
itu kembali saling pandang.
"Kui
Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah
tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay………"
Kui Hong
bangkit berdiri, tusukan pada jantungnya terasa semakin menghujam dalam.
"Ayah,
tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak
karena Hay-koko adalah seorang anak haram, lahir dari perkosaan, ayahnya
seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!"
Dalam
suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari
sepasang matanya.
"Perlukah
Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali dan menekan-nekan, menggosok-gosok luka di
hatiku agar pecah kembali?"
"Kui
Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin
mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu
menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau
memperoleh jodoh seorang laki-laki keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan
masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat
melupakan dia, masih tetap mencintanya, dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau
memang hanya menjadi isterinya saja yang akan membahagiakan hatimu, kami juga
tidak dapat melarangmu……….."
Kui Hong
terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya.
"Apa
maksud Ibu dan Ayah……..?”
Kini Hui
Song berkata,
"Sudah
lama aku dan ibumu memperbincangkan soal ini, Kui Hong. Akhirnya kami
bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih
Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tidak akan melarangmu lagi. Kau carilah
dia dan ajaklah dia kesini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu
itu."
Kui Hong
terbelalak, merasa seperti dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya, tadinya
menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik,
"Ibu……,
Ibu…….., benarkah…….?"
Ceng Sui Cin
tersenyum. Matanya basah.
"Benar,
Anakku. Kami teringat bahwa kamipun pernah memiliki nenek moyang yang
menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah
bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami."
"Ibu………..!"
Kui Hong
menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian ia melepaskan ibunya dan
menubruk ayahnya.
"Ayah………!”
Suami isteri
itu merasa terharu. Sekarang mereka yakin benar bahwa puteri mereka ini amat
mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti saja kepada mereka, Kui Hong
mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dari kekasihnya, demi mentaati
orang tua.
"Kui
Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, ajak dia kesini. Aku ingin
mengenalnya lebih baik." kata Hui Song.
"Akan
tetapi, tahukah engkau kemana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya.
Kui Hong
tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk.
"Aku
pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu, dia berada dimana
sekarang. Akan tetapi aku akan mencarinya, sampai dapat! Pernah dia berkata
bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal
disana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan disana. Apalagi dia
mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi
pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!”
Setelah
berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai
kepada ayahnya, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai pada keesokan harinya
dan ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang
Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa
keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong
secara hebat, yang tidak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana
manjur sekalipun.
Gadis itu
seperti telah menemukan dirinya kembali, telah kembali seperti dahulu, lincah
gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah
yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja.
Ceng Sui Cin
merangkul anaknya.
"Aku
akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan
dia dan mengajaknya pulang kesini, Kui Hong."
"Terima
kasih, Ibu, dan jangan khawatir, aku pasti akan dapat menemukannya dan
mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal."
Kui Hong
mencium pipi ibunya yang basah, dan kini ia tidak menangis lagi, melainkan
tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian, iapun
berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagaika seekor burung terbang
meninggalkan sarangnya.
Memang Kui
Hong telah menemukan kembali dirinya. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang
membuat ia jatuh sakit, ia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah
hidup. Biarpun ia giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan
nenek moyangnya itu yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan
menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun
ia bekerja seperti boneka hidup saja. Ia tidak memperdulikan dirinya sendiri
sehingga tubuhnya kurus, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut
tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay
Hay.
Kini,
harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya,
mengembalikan gairahnya. Ia tahu benar bahwa Hay Hay amat mencintanya, bahwa
kepergian pemuda itu meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati.
Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong!
Pemuda itu
meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang
tuanya. Ia dapat membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan
hati hancur. Ia yakin benar bahwa Hay Hay, biarpun putera Ang-hong-cu, sama
sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu Orang boleh
menjulukinya Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang
gembira, suka bergurau suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa
kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita.
Karena
keterbukaannya itulah maka dia dikatakan-mata kerajang, padahal ia tahu benar
bahwa dilubuk hatinya, Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan
hamba nafsu berahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan
dia. Dahulupun ia pernah mengira bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan
ayahnya, suka berjina dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi
sekarang ia sudah yakin.
Kui Hong
melakukan perjalanan cepat. Ia tidak tahu bahwa baru tiga hari setelah ia
meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di
dagunya, mendakl gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan
menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang berilmu tinggi.
Gadis itu
bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian. Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian
menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu
muncul Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu yang mendendam karena menganggap bahwa
kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena ketua Siangkoan
Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian.
Ceng Hok
Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini
menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta
pertanggungan jawab. Terjadilah bentrokan dimana Ban Tok Siansu bertanding
melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu, akan
tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang hebat dari
Ban Tok Siansu. Hek Tok Siansu membawa jenazah suhengnya dan pergi.
Keluarga
Siangkoan menjadi geger. Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang amat parah,
pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga
ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan
tetapi tidak mampu menyembuhkan sama sekali. Mereka lalu membagi tugas. Han
Siong melakukan pengejaran kepada Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar,
sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun
yang dimiliki Hay Hay.
Han Siong
telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke
Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulut Hay Hay pergi
bersama Kui Hong. Setidaknya, di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan dapat
memperoleh keterangan dimana adanya Hay Hay. Demikianlah, pagi hari itu, dengan
mempergunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama
sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalut Kui Hong meninggalkan
Cin-ling-pai melalui lereng yang lain.
Karena
pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya. Maka Bi Lian
melupakan urusannya sendiri. Andaikata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya
mungkin ia akan berduka sekali. Betapa tidak? Ia baru saja melangsungkan
pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah
dirayakan dan terjadikan kegegeran itu yang kini membuat ia terpisah dari
suaminya!
Ia menjadi
isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang
sesungguhnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu, semua ini
tidak ia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya
tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya.
Keluarga Cia
di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan
tetapi ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan ingin mecari Cia Kui Hong atau
Tang Hay, merekapun segera menyambutnya dengan ramah. Dari Kui Hong mereka
telah mendengar banyak tentang Siagkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar
bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, iapun tidak
ingin berhenti lama.
"Kemanakah
adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya.
"Menurut
Kui Hong, ia akan mencarinya ke kota raja." jawab Ceng Sui Cin.
"Kalau
begitu, harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat berhenti lama, saya
ingin segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk
meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang
terkena pukulan beracun."
Demikianlah,
dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga ia menuruni
kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Ia mengambil jalan ke arah
kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat.
Akan tetapi
karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering
berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar
tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh. Jarak antara mereka
pada permulaan saja sudah tiga hari. Bagaimanapun juga, keduanya mengambil
jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja.
Sejak
pertama kali melihat Hek Tok Siansu yang diaku guru oleh Liong Ki dan Liong Bi,
hati Mayang merasa tidak enak sekali. la dapat menduga bahwa tentu kakek itu
lihai bukan main dan jelas bukan guru Liong Ki. Ia tahu benar bahwa guru Liong
Ki adalah Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Kalau kedua orang
itu mengakui kakek gendut itu sebagai guru dan mengajak mereka ke istana
Menteri Cang, tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi di balik perbuatan
itu. Ia harus waspada.
Ia menemui
Cang Hui dan Teng Cin Nio di kamar mereka dan dengan berbisik-bisik ia
memberitahu kepada mereka akan kecurigaannya terhadap kakek gundul yag perutnya
gendut itu.
“Aku
mengenal guru Liong Ki, maka dengan pengakuannya sebagai guru terhadap kakek
itu tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Aku merasa curiga sekali. Adik
Hui dan adik Cin, mulai sekarang kalian harus berhati-hati menjaga diri dan
bersikap pura-pura tidak menaruh curiga apapun. Jangan khawatir, aku selalu
siap siaga menjaga kalian dan seluruh keluarga Cang."
"Mayang,
apakah tidak sebaiknya kalau kuperingatkan ayah agar dia menangkap dan
memeriksa mereka?" kata Cang Hui.
Mayang
menggeleng kepala.
"Tanpa
bukti, bagaimana mungkin ayahmu bertindak? Ayahmu adalah seorang yang
bijaksana, tentu tidak mau bertindak tanpa bukti."
"Kalau
begitu, akan kuberitahu kepada kakak Sun." kata Cang Hui.
Mayang
mengangguk.
"Akan
tetapi hati-hati, jangan sampai dia menjadi kaget dan gelisah."
Cang Hui
tersenyum melihat Mayang mengkhawatirkan kakaknya.
"Ada
engkau disini, apakah dia perlu khawatir?"
Mayang
menunduk dan melirik ke arah Cin Nio yang juga menjadi merah mukanya.
"Kami
semua mengharapkan perlindunganmu, mayang." kata Cin Nio yang merasa salah
tingkah. Ia sudah mendengar dari sepupunya bahwa Cang Sun yang dicintanya akan
tetapi tidak membalas itu jatuh hati kepada Mayang.
"Kamipun
tidak akan tinggal diam, Mayang. Aku dan Cin Nio mulai sekarang akan selalu
membawa pedang untuk menjaga diri. Kalau perlu, di waktu mandi atau tidurpun
kami akan selalu membawa pedang!" kata Cang Hui bergurau karena ia merasa
telah bicara terlalu banyak tadi sehingga menimbulkan suasana yang kikuk kepada
dua orang gadis itu.
"Benar,
Mayang. Dan kita juga harus berlatih lebih tekun. Gerakan pedang dengan jurus
Ular Hitam Menyelam Samudera itu masih belum juga dapat kulakukan dengan
baik." kata Cin Nio.
Mayang lalu
melatih kedua orang gadis itu di taman bunga belakang kamar mereka. Pada sore
hari itu, setelah mandi, Mayang berjalan-jalan di taman bunga seorang diri,
melamun. Sesungguhnya ia sudah merasa bosan harus menipu keluarga Cang dengan
berpura-pura menjadi sabahat Liong Ki dan Liong Bi. Betapa inginnya untuk
membuka rahasia mereka itu kepada keluarga Cang, bahwa yang bernama Liong Ki
sebenarnya bernama Sim Ki Liong, sedangkan Liong Bi sama sekali bukan adiknya,
melainkan seorang wanita bernama Su Bi Hwa.
Atau ia
dapat. meninggalkan mereka begitu saja. Namun, disitu ada Cang Hui dan Cin Nio
yang disayangnya, dan ada pula….. Can Sun! Berat rasanya meninggalkan mereka.
Apalagi, Cang Taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, bersikap baik dan
lembut kepadaya. Bersama keluarga Cang, ia merasa seperti bersama keluarga
sendiri.
Akan tetapi,
cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah lenyap sama sekali. Kini ia semakin yakin
bahwa ada hubungan gelap yang memisahkan dan Su Bi Hwa. Ia merasa seperti
dipermainkan saja. Kalau dahulu ia merasa iba kepada Ki Liong, mengharapkan dia
akan bertaubat dan kembali ke jalan benar, menjadi pendekar, kini harapannya
itu lenyap sama sekali. Sim Ki Liong agaknya tidak akan mau kembali ke jalan
benar. Teringat ia akan usaha Liong Bi untuk memikat Cang Sun seperti
diceritakan Gang Hui, dan ia melihat sendiri betapa Liong Ki berusaha memikat
Cang Hui. Seringkali ia termenung memikirkan dua peristiwa mencurigakan itu.
Dan kini ia
seperti menyadari apa artinya semua itu.. Agaknya Liong Ki sudah bersekongkol
dengan Liong Bi. Jelas bahwa mereka yang sejak pertama sudah menggunakan siasat
agar dapat diterima bekerja pada keluarga Cang itu, dengan jalan Liong Ki
berkedok menculik Cang Sun lalu muncul Liog Bi menolongnya, kini mempunyai
cita-cita yang lebih besar lagi.
Agaknya
kedua orang itu sengaja hendak memikat putera dan puteri Menteri Cang. Kalau
mereka dapat menjadi mantu Menteri Cang, berarti kedudukan mereka meningkat dan
menjadi kuat! Tidak, mereka tidak boleh berbuat seperti itu. Mereka tidak boleh
dibiarkan saja, dan ia yang akan menentang. Kalau memang putera dan puteri
Menteri Cang jatuh cinta kepada mereka, tentu saja ia tidak akan mencampuri.
Akan tetapi kalau Liong Ki dan Liong Bi mempergunakan daya pikat, dan
menggunakan sihir apalagi kekerasan, ia harus melindungi keluarga Cang.
Mayang
tenggelam ke dalam lamunan sampai-sampai ia tak menyadari bahwa senja telah
lewat, lampu-lampu telah dinyalakan oleh para petugas, bahkan beberapa buah
lampu tihang di dalam taman juga sudah dinyalakan. Malam mulai tiba,
menyelimuti bumi dengan sayap hitamnya. Makin gelap, semakin asyik pula Mayang
melamun, mengenangkan masa lalunya sejak ia kecil sampai sekarang.
Tiba-tiba
teguran lembut menyentaknya bangun dari dalam lamunan.
"Mayang,
engkau disini...?"
Ia cepat
bangkit dan membalikkan tubuh. Kiranya ia sudah berhadapan dengan penegurnya
tadi, yaitu Cang Sun. Wajah Mayang menjadi kemerahan karena lamunannya tadi
justeru baru tiba pada diri Cang Sun. Dalam lamunan tadi ia membayangkan semua
pengalamannya yang menyangkut perasaan cintanya, pertama kepada Hay Hay yang
gagal karena pemuda itu ternyata kakaknya sendiri, kedua cintanya kepada Sim Ki
Liong yang kinipun gagal dan putus karena ternyata pemuda itu tidak berubah
menjadi orang baik-baik, dan ketiga ia sedang melamunkan Cang Sun yang dihormati
dan dikagumi walaupun pemuda bangsawan itu tidak pandai silat. Dan tiba-tiba
orangnya muncul, seperti menjawab lamunannya saja. Tentu kemunculan tiba-tiba
ini membuatnya kaget dan juga tersipu.
"Ah,
kiranya Cang-kongcu (tuan muda Cang)………" katanya tersenyum, sudah dapat
memulihkan dan menenangkan hatinya.
Melihat
gadis itu memberi hormat kemudian hendak melangkah pergi meninggalkannya, Cang
Sun berkata lembut.
"Mayang,
jangan pergi, aku ingin bicara denganmu."
Mayang
menahan langkahnya dan memandang kepada pemuda itu dengan mata penuh
pertanyaan. Lampu taman yang muram membuat mereka seperti bayang-bayang, akan
tetapi dalam jarak dekat, mereka dapat saling pandang dengan cukup jelas.
Mayang melihat betapa wajah pemuda itu bersungguh-sungguh seolah ada urusan
penting sekali yang hendak dibicarakan dengannya.
"Ada
urusan apakah, Kongcu?" tanyanya, melangkah maju mendekat.
"Duduklah,
Mayang, agar kita dapat bicara dengan santai."
Mayang
mengangguk, duduk di atas bangku, dan pemuda itupun duduk diatas bangku lain,
berhadapan dengannya dalam jarak tiga meter. Angin malam bersilir sejuk, dan
bulan mulai muncul di timur, melumasi puncak-puncak pohon dengan emas.
"Nah,
katakan, ada urusan apakah, Cang-kongcu?" tanya pula Mayang, kini
jantungnya agak berdebar karena selama ia berada di istana keluarga Menteri
Cang, baru sekali ini ia duduk berdua saja dengan pemuda itu.
"Mayang,
sebelumnya aku minta maaf kalau apa yang hendak kubicarakan ini tidak berkenan
di hatimu, apalagi kalau sampai menyinggungmu. Maukah engkau berjanji
sebelumnya bahwa engkau akan memaafkan aku?" ,
Gadis itu
terbelalak namun matanya tetap sipit lucu dan mulutnya tersenyum ramah, lalu
mengangguk.
"Tentu
saja, Kongcu."
"Dan
maukah engkau berjanji akan menjawab semua pertanyaanku dengan terus terang,
apa adanya?"
Mayang
kembali mencoba melebarkan matanya yang sipit.
"Aih,
ada apa sih, Kongcu? Engkau membuat aku tegang. Tentu saja aku akan menjawab
sejujurnya." ,
"Mayang,
kemarin aku mendengar dari adikku Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan
dengan Liong Ki. Benarkah apa yang dikatakan adikku itu?"
Mayang
merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kenapa pemuda ini menanyakan hal itu?
Akan tetapi ia sudah berjanji akan menjawab dengan jujur dan .memaafkan kalau
tersinggung, maka iapun mengangguk.
"Benar,
Kongcu."
Wajah pemuda
itu nampak cerah dan bersemangat ketika dia mendengar jawaban ini.
"Kalau
begitu benar! Sungguh tidak kusangka sama sekali, Mayang. Tadinya aku mengira
bahwa engkau benar tunangan dan calon isteri Liong Ki!"
“Kami hanya
sahabat, Kongcu. Kami akrab sebagai sahabat.”
“Sekarang
pertanyaanku yang kedua, harap kau jawab dengan sejujurnya, Mayang. Biarpun
kalian tidak bertunangan, akan tetapi apakah kalian saling mencinta? Maksudku,
apakah engkau cinta kepada Liong Ki?"
Mayang
mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah pemuda itu.
“Kongcu, aku
sudah berjanji akan memaafkan semua singgungan dan menjawab sejujurnya, akah
tetapi setidaknya aku ingin sekali tahu mengapa Kongcu hendak mengetahui
rahasia pribadiku, hal-hal yang menyangkut perasaan hatiku? Apa hubungannya
semua itu dengan Kongcu?”
“Hubungannya
dekat sekali, Mayang. Jawablah dulu sejujurnya, baru nanti akan kujelaskan
kepadamu mengapa aku mengajukan semua pertanyaanku ini. Nah, kuulangi
pertanyaanku, apakah engkau mencinta Liong Ki?”
Mayang
menguatkan perasaan hatinya.
“Kongcu
minta agar aku menjawab sejujurnya. Kalau aku mengatakan tidak mencintanya,
maka jawaban itu bohong, akan tetapi kalau aku mengatakan mencintanya, itupun
tidak benar. Sesungguhnya begini, Kongcu. Pernah aku tertarik dan suka
kepadanya, bahkan mencintanya dan mau berkorban untuknya, akan tetapi
akhir-akhir ini cintaku terhadap dirinya pudar dan luntur. Nah, itulah
jawabanku yang sebenarnya. Saat ini aku tidak berbohong kalau kukatakan bahwa
aku tidak cinta lagi kepadanya."
Cang sun
mengerutkan alisnya.
"ehh?
Apakah cinta dapat berubah-ubah, apakah dari cinta akan timbul benci? Mengapa
begitu, Mayang? Atau, engkau tidak dapat dan tidak mau memberi penjelasan
mengapa cintamu terhadap Liong Ki berubah?"
"Kongcu,
cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Tadinya aku mengira bahwa dia
benar-benar mencinta diriku, akan tetapi setelah aku mengetahui dengan penuh
keyakinan bahwa dia hanya mempunyai cinta nafsu berahi belaka, aku sadar bahwa
dia bukanlah pria yang kudambakan menjadi jodohku. Nah, hanya itu yang dapat
kukatakan kepadamu, Kongcu, dan semua jawabku itu adalah sejujurnya seperti
yang kujanjikan tadi."
Sepasang
mata pemuda itu bersinar girang mendengar jawaban Mayang, lalu dia berkata.
"Sekarang
datang giliranku untuk menjelaskan mengapa aku ingin mengetahui urusan
pribadimu. Begini, Mayang, orang tuaku selalu mendesak aku untuk menikah, akan
tetapi aku belum dapat mentaati perintah mereka karena aku belum mendapatkan
seorang gadis yang kuanggap cocok untuk menjadi sisihanku, belum ada gadis yang
kucinta……. "
"Aku
mendengar dari adik Cang Hui, bahwa engkau amat mencinta enci Cia Kui Hong,
Kongcu." Mayang memotong.
Cang Sun
tidak terkejut atau heran mendengar ini. Dari Cang Hui ia sudah tahu bahwa
pergaulan antara adiknya dan Mayang amatlah eratnya sehingga mungkin saja Cang
Hui menceritakan segala tentang dirinya.
"Memang
benar, Mayang. Akan tetapi seperti kau katakan tadi, cinta tidak mungkin
bertepuk sebelah tangan. Aku mencintanya, akan tetapi ia tidak membalas
cintaku, dan dengan terus terang ia mengakui bahwa ia mencinta pemuda lain. Aku
memaklumi dan mencoba untuk melupakannya, akan tetapi sia-sia belaka. Setiap
kali ayah ibu hendak menjodohkan aku dengan seorang gadis, aku selalu menolak
karena aku teringat kepada Kui Hong, walaupun aku sudah tidak mengharapkannya
lagi. Kemudian muncullah engkau, Mayang. Aku seolah melihat Kui Hong dalam
dirimu, seolah menemukan pengganti Kui Hong. Aku langsung jatuh cinta padamu,
Mayang. Akan tetapi, ketika aku mendengar bahwa engkau adalah tunangan Liong
Ki, tentu saja aku mundur dengan penuh kekecewaan dan kepahitan. Kemudian,
kemarin aku mendengar dari Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong
Ki, maka hidup kembali semangat dan harapanku, Mayang, dan aku sengaja
menemuimu untuk bicara sejujurnya. Mayang, aku cinta padamu. Mungkinkah hatiku
dan hatimu yang keduanya menjadi korban cinta yang gagal, dapat dipersatukan,
kita saling menghibur, saling mengobati dan saling mengisi?"
Mayang
tertegun, mukanya menunduk, jantungnya berdebar. Tidak disangkanya sama sekali
bahwa Cang Sun akan membuat pengakuan cinta yang demikian terbuka dan jujur. Di
dasar hatinya, ia merasa bangga dan senang karena ia sendiri memang mengagumi pemuda
ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia dapat membalas cinta Cang Sun? Banyak
hal mengenai dirinya yang tidak diketahui pemuda bangsawan itu.
Pertama, ia
adalah anak Ang-hong-cu, seorang penjahat besar yang amat terkenal. Ke dua, ia
hidup sebatangkara, seorang gadis miskin dengan seorang ibu yang janda dan
tinggal jauh di puncak Awan Kelabu, di pegunungan Ning-jing-san dekat
perbatasan Tibet. Dan yang ketiga, ini merupakan hal yang paling gawat, ia
memasuki istana keluarga Menteri Cang secara curang dan rendah, betapa Liong Ki
dan liong Bi bersiasat menolong Cang Sun sehingga mereka diterima bekerja
disitu dan ia terbawa masuk. Semua ini harus ia ceritakan kepada cang Sun!
Sebelum pemuda itu mengetahui segala hal ini dan mau memaafkannya, bagaimana mungkin
ia berani menerima uluran cintanya?
"Mayang,
kenapa engkau diam saja dan hanya menunduk? Pandanglah aku, jawablah. Aku telah
bersikap sejujurnya kepadamu dan kuharap engkaupun bersikap jujur. Aku telah
siap andaikata aku harus menderita gagal cinta untuk kedua dan terakhir kali.
Kalau engkau memang tidak ada perasaan cinta kepadaku dan tidak dapat menerima
cintaku, katakan saja terus terang, aku tidak akan menyalahkanmu. Engkau
seorang gadis yang gagah perkasa dan berilmu tinggi sedangkan aku hanya seorang
pemuda yang lemah……."
“Kongcu,
jangan berkata demikian.”
Mayang
memotong cepat, mengangkat muka dan memandang dan suaranya agak gemetar,
"biarpun
engkau seorang pemuda sastrawan yang tidak pernah belajar ilmu silat, namun aku
kagum kepadamu, aku menghormatimu dan aku suka padamu. Akan tetapi tentang
cinta, bagaimana seorang gadis seperti aku ini berani……….? Bagaikan seekor
burung gagak dengan seekor burung dewata. Kongcu, berilah aku waktu beberapa
hari. Pernyataan Kongcu ini terlalu tiba-tiba bagiku, tak tersangka-sangka,
membuat aku bingung………”
Cang Sun
mengangguk dan tersenyum, lalu bangkit berdiri.
"Baiklah,
Mayang. Aku juga mengerti bahwa sebagai seorang gadis, tidaklah semudah itu
mengaku tentang cinta. Pergunakan waktumu untuk berpikir dan mengambil
keputusan, aku tidak tergesa-gesa. Dan kalau engkau merasa sungkan untuk
menyampaikannya kepadaku, boleh kau sampaikan lewat adikku Hui-moi, karena
engkau lebih akrab dengannya. Nah, aku harus pergi sekarang. Tidak baik bagimu
kalau terlihat orang lain kita berdua saja disini.”
Pemuda itu
meninggalkan taman dan Mayang mengikuti langkahnya yang tegap dari belakang.
Jantungnya berdebar keras. Dia mencintaku! Cang Sun mencintaku! Demikian hati
itu bersorak. Akan tetapi, ia merasa rendah diri, juga merasa khawatir sekali.
Bagaimana kalau kelak Cang Sun mengetahui siapa dirinya lalu memutuskan
cintanya? Mengapa tidak tadi saja ia berterus terang?
Akan tetapi,
sekali berterus terang, ia harus membongkar semua rahasia Liong Ki dan Liong Bi
dan tentu terjadi kegemparan. Dan rasanya terlalu berat baginya kalau perasaan
bahagia karena pengakuan cinta Cang Sun ini dihancurkan oleh kenyataan tentang dirinya
yang membuat Cang Sun menjauhkan diri. Mengerikan kalau sampai terjadi
demikian. Biarlah untuk sementara waktu ini ia menikmati perasaan ini, perasaan
bahwa ia dicinta oleh Cang Sun, pemuda yang diam-diam dikaguminya itu.
Malam itu di
kamarnya Mayang tak dapat tidur pulas sampai jauh malam, hanya rebah telentang
sambil melamun. Setelah akhirnya ia pulas, ia bermimpi indah bersama Cang Sun
ia berlayar mengarungi samudera luas, berdua saja dan segala kebahagiaan
menyelimuti mereka berdua.
Pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Menteri Cang memanggil Liong Ki, Liong Bi dan juga
Mayang menghadap.
“Kami hari
ini akan melaksanakan tugas perjalanan ke utara yang akan memakan waktu kurang
lebih satu bulan. Oleh karena itu, keselamatan keluarga kami disini kami
serahkan perlindungannya kepada kalian bertiga.” Demikian, pesan pembesar itu
yang di sanggupi oleh tiga orang pembantunya.
Kepergian
Menteri Cang membuat Mayang lebih Waspada mengamati gerak-gerik Liong Ki dan
Liong Bi, juga Hek Tok Siansu yang tinggal di kamar Liong Ki. Akan tetapi
mereka bertiga itu tidak memperlihatkan sikap mencurigakan sehingga hatinya
merasa lega. Iapun memesan kepada Cang Hui dan Cin Nio untuk berhati-hati
menjaga diri.
Mayang belum
berani menceritakan kepada Cang Hui akan pernyataan Cang Sun kepadanya. Apalagi
Cin Nio. Ia bahkan merasa kasihan sekali kepada Cin Nio. Cang Hui pernah
bercerita kepadanya betapa Cin Nio mencinta Cang Sun dan mengharapkan menjadi
jodoh Cang Sun seperti yang diharapkan orang tua pemuda itu, namun Cang Sun
tidak membalas cintanya.
Cinta Cang
Sun tadinya hanya pada Cia Kui Hong, namun kemudian berpindah kepadanya karena
Kui Hong tidak membalas perasaannya itu. Cin Nio adalah seorang gadis yang baik
dan Mayang merasa kasihan, tidak sampai hati untuk menceritakan tentang Cang
Sun.
Malam itu
adalah malam keempat semenjak Menteri Cang meninggalkan istananya. Cang Hui dan
Cin Nio mengundang Mayang untuk makan malam di kamar mereka. Dua orang gadis
bangsawan ini memang tidur sekamar, sebuah kamar besar dengan dua buah tempat
tidur mereka. Makan malam di hidangkan di kamar itu oleh para pelayan yang
dipimpin oleh Pek Lan, seorang pelayan kepercayaan Cang Hui.
Tiga orang
gadis itu makan minum dengan gembira di dalam kamar itu, dilayani oleh Pek Lan
yang menuangkan anggur dalam cawan mereka. Karena beberapa malam mereka kurang
tidur, mereka merasa letih dan kini mereka menghibur diri dengan minum anggur
yang keras namun lembut.
Setelah
makan dan minum beberapa cawan anggur, pipi mereka menjadi kemerahan dan sikap
merekapun lebih lincah.
“Mayang,
mari kau terima pemberian selamat dariku dengan secawan anggur!” kata Cang Hui
sambil memberi isyarat kepada Pek Lan yang dengan sigap sudah mengisi, kembali
cawan mereka dengan anggur dari sebuah guci arak.
“Aih, adik
Hui, pemberian selamat untuk apa?” tanya Mayang, tersenyum akan tetapi
memandang heran.
Cang Hui
yang sudah dipengaruhi hawa minuman keras tertawa.
"Hi-hik,
ini namanya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Mayang, aku sudah
mendengar semua dari Sun-ko tentang kalian, hi-hik."
Panas rasa
kedua pipi Mayang mendengar ini dan iapun mengerling ke arah Cin Nio dan
mencela,
"Ih,
adik Hui kenapa bicara urusan itu…..”
Ia merasa
tidak enak sekali terhadap Cin Nio. Ia mengerling dan melihat betapa Cin Nio
tersipu, akan tetapi gadis itu dengan gagah mengangkat cawan araknya dan
berkata.
"Mayang,
akupun merasa senang sekali mendengar itu dan akupun ingin mengucapkan
selamat!"
Akan tetapi
Mayang menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Terima
kasih atas kebaikan kalian, akan tetapi sungguh aku sendiri belum dapat
mengambil keputusan dalam hal itu. Nah, mari kita minum untuk kesehatan kita
bertiga!"
Setelah
makan selesai, mereka minum banyak dan Mayang kelihatan lelah dan mengantuk
sekali. Beberapa kali ia harus menyembunyikan kantuknya dan menguap di balik
telapak tangan.
“Mayang,
kalau engkau mengantuk sekali, rebahlah dulu di pembaringanku.” kata Cin Nio.
Mayang
bangkit.
“Sebaiknya
aku kembali ke kamarku saja…..”
Akan tetapi
ketika ia bangkit berdiri, tubuhnya terhuyung dan cepat Cin Nio merangkulnya
dan membimbingnya ke pembaringannya.
"Engkau
kelihatan pusing, tidurlah dulu disini."
Mayang tidak
membantah karena memang ia merasa betapa kepalanya berat dan matanya sukar
dibuka lagi, demikian hebat rasa kantuk menguasainya. Begitu ia merebahkan
diri, tanpa membuka sepatu dan baju luar, iapun sudah tidur pulas!
Cin Nio dan
Cang Hui saling pandang. Mereka juga merasa lelah dan mengantuk, dan mereka
juga tadi minum banyak anggur. Akan tetapi, mereka tidaklah selelah Mayang.
Mereka lalu memerintahkan Pek Lan memanggil pembantu dan membersihkan meja
makan. Setelah para pelayan pergi, Cang Hui berkata,
"Kasihan
sekali Mayang, tentu ia selama beberapa hari dan malam ini tidak pernah mengaso
dan kini tertidur saking kelelahan." .
"Sebaiknya
biarkan ia tidur di tempatku malam ini, dan aku yang tidur di kamarnya. Kasihan
kalau ia harus dibangunkan dan disuruh pindah kamar."
Kata Cin Nio
dan Cang Hui mengangguk setuju. Cin Nio membawa pedangnya dan iapun
meninggalkan kamar besar menuju ke kamar Mayang di sebelah belakang. Ia membuka
pintu kamar yang hanya dirapatkan saja, mengunci pintu dan memeriksa keadaan
dalam kamar, kemudian ia melepaskan sepatu dan pakaian luar, meniup padam lampu
penerangan dan merebahkan diri di tempat tidur Mayang karena iapun merasa lelah
dan mengantuk akibat minum anggur terlalu banyak. Pedangnya ia letakkan di
bawah bantal untuk persiapan.
Jauh lewat
tengah malam, sesosok bayangan hitam yang mukanya tertutup kain hitam,
menyelinap ke kamar Mayang, dengan mudah mencokel daun jendela dan bayangan itu
menyelinap masuk, menutupkan kembali daun jendela. Gerakannya demikian gesit
dan ringan dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam kamar itu sejak dia
menyelinap masuk sehingga para petugas yang melakukan ronda malam tidak melihat
atau mendengar sesuatu.
Menjelang
pagi, daun pintu kamar itu dibuka dari dalam, bayangan hitam itu menyelinap
keluar dan beberapa kali loncatan saja diapun setelah tadi menutupkan kembali
daun pintu kamar. Kini, kalau ada orang menempelkan telinganya di daun pintu,
tentu dia akan mendengar lapat-lapat suara orang menangis sesenggukkan dari
dalam kamar itu.
Mayang
membuka matanya, terkejut dan heran melihat dirinya rebah diatas pembaringan
dalam kamar Cang Hui dan Cin Nio. Cepat ia bangkit duduk dan melihat Cang Hui
juga agaknya baru saja terbangun, ia meloncat turun dan menghampiri pembaringan
gadis itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment