Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 17



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 17



Kita dianugerahi hati akal pikiran yang mengangkat kita menjadi mahluk termulia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu. Namun, justeru hati akal pikiran manusia yang menimbulkan malapetaka di dunia ini, karena nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?

Jalan satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran dimana seluruh anggauta tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Kalau sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.

Setelah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek Tok Siansu menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena diisi banyak makanan dan arak.

"Heh-heh-heh, kalian dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, engkau tadi mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taijin, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?"

"Lo-cian-pwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."

"Hemm, lalu mengapa kalian bersikap baik kepada piceng? Pinceng Hek Tok Siansu tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?"

Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh. Terhadap orang seperti itu mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan.

Dari julukan kakek itu saja mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya saja Racun Hitam (Hek. Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.

"Lo-cian-pwe, kami kakak beradik amat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Lo-cian-pwe, kami dapat menduga bahwa Lo-cian-pwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Lo-cian-pwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang dangkal." kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat.

Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang makin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk dan mengamati kedua orang muda itu.

"Kalian mengaku sebagai pembantu-pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang amat terkenal sebagai seorang pembantu kaisar yang amat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa ?”

"Lo-cian-pwe, harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami hanya ingin mengajak Lo-cian-pwe untuk menghadap Cang Tai-jin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai tingkat orang-orang pandai. Kalau Lo-cian-pwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Tai-jin. Pasti Lo-cian-pwe akan diterima dengan senang."

"Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apalagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang.
"Lo-cian-pwe, pendapat Lo-cia-pwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiripun ingin mendapatkan kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidaklah mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin, akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Lo-cian-pwe, kami perkenalkan Lo-cian-pwe dengan Cang Taijin dan akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Lo-cian-pwe agar kita bertiga kelak akan mampu menduduki tempat yang berarti di istana kaisar.”

Hek Tok Siansu merasa tertarik. Sejak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban Tok Siansu, dia tidak pernah hidup senang, selalu dalam perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas. Kini Ban Tok Siansu sudah tidak ada, dan dia sendiripun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya dalam kemuliaan dan kesenangan? Pula, selama puluhan tahun dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu itu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati?

Akan tetapi, yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu pantas mengaku dirinya sebagai guru mereka.

"Omitohud, kalau kalian mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Akan tetapi pinceng harus mengenal benar kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian murid sendiri? Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi."

Setelah berkata demikian, kakek itu keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi.

Mereka tiba di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek Tok Siansu tertawa senang.

"Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengan yang pendek tergantung di kedua sisi badan.

"Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Lo-cian-pwe Hek Tok Siansu lebih dahulu." kata Liong Bi dan iapun melangkah maju menghampiri kakek itu.

Hek Tok Siansu tersenyum. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dan membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.

"Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilalnya."

"Baik, Lo-cian-pwe. Sambut seranganku!"

Liong membentak dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat sekali. Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena iapun ingin menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya.

Kakek itu diam-diam terkejut dan kagum. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan kecepatan yang jauh diatas dugaannya semula. Dia masih menggeser kaki ke belakang dan kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.

"Dukk!"

Akibatnya, tubuh Liong Bi terpental dan iapun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek Tok Siansu terdorong mundur dua langkah.

“Omitohud……..engkau boleh juga, Nona!” kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku ini!"

Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yang menggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok!

Liong Bi terkejut dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang telah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali kalau dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini menjadi sekutu dan kawan.

Di lain pihak, Hek TokSiansu menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini.

Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih! Untung saja ia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Kiranya dia berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tidak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya.

Ketika dahulu dia berdua dengan Ban Tok Siansu, dialah yang menjadi pembantu karena Ban Tok Siansu sebagai suhengnya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apalagi mengaku muridnya, berarti mereka ini dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan!

Tiba-tiba Hek Tok Siansu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah dan gerakan tubuhnya berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman keluar dari gulungan serangan itu!

Liong Bi terkejut bukan main. Iapun bertanding dengan sungguh-sungguh karena ia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan iapun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini ia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika ia memainkan ilmu ini.

Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek Tok Siansu, Liong Bi terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.

“Brettt……!!”

Liong Bi meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya berubah merah, kedua tangannya menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka.

“Aih, Lo-cian-pwe nakal………” katanya manja.

“Omitohud, sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya." kata Hek Tok Siansu dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa kakek ini tidak dapat disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya.

Kakek kulit hitam ini tidak menjadi hamba nafsu berahinya, dan penyobekan bajunya tadi bukan karena watak cabulnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa dia lebih unggul.

"Ilmu kepandaian Lo-cian-pwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan sejujurnya karena ia maklum kalau mereka bertanding sungguh-sungguh, ia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini.

Hek Tok Siansu tertawa senang.
"Engkaupun hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah, Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar”.

"Baik, Lo-cian-pwe. Sambutlah seranganku ini!"

Liong Ki menerjang maju dan seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh, untuk mengalahkan lawan. Karena dia tadi melihat betapa gerakan kakek itu ketika menyerang dan mengalahkan Liong Bi mendatangkan angin dan gelombang dahsyat, maka begitu menyerang diapun menggunakan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat.

"Omitohud…...!!”

Hek Tok Siansu berseru kaget dan kagum. Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarag dia menghadapi permainan silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan main. Pemuda ini ternyata lebih lihai daripada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dia pelajari dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!

Karena dia merasa bahwa kalau sampai dia kalah oleh pemuda ini, bukan saja dia akan gagal memperoleh kedudukan tinggi, juga tentu pemuda itu tidak jadi menariknya dan mengakuinya sebagai guru di depan Cang Taijin, maka Hek Tok Siansu juga tidak berani main-main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmunya yang memiliki gerakan aneh-aneh, yaitu ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun berkeliaran di sekitar Pegunungan Himalaya dan negara-negara sekitarnya.

Pertandingan itu memang seru dan hebat bukan main. Setiap kali keduanya terpaksa bertemu tangan mengadu tenaga, ternyata Liong Ki masih kalah kuat dan terdorong mundur sampai empat lima langkah, sedangkan lawannya hanya terdorong mundur dua langkah. Namun, dalam hal kecepatan Liong Ki dapat mengimbangi kakek itu, dan diapun memiliki lebih banyak ilmu silat tinggi yang tidak dikenal kakek itu dan membuat kakek itu agaknya sukar untuk mengalahkannya.

Setelah lewat empat puluh jurus kakek itu lalu berjongkok dan mendorong dengan kedua tangan ke depan, seperti seekor katak besar hendak meloncat. Dari kedua telapak tangannya menyambar tenaga dahsyat disertai uap hitam!

Liong Ki mengenal ilmu pukulan yang amat berbahaya, maka diapun meloncat ke samping untuk menghindar. Baru saja kedua kakinya kembali ke atas tanah, kakek itu sudah menerjangnya lagi, sekali ini tubuh kakek itu bergulingan seperti seekor trenggiling. Kaki tangannya menyerang ketika dia bergulingan itu dan menghadapi serangan aneh ini, Liong Ki terkejut dan terdesak. Kemanapun ia mengelak, tubuh yang bergulingan itu selalu mengejarnya. Akhirnya, terpaksa Liong Ki menyambut kedua tangan lawan dengan tangannya ketika dalam keadaan jongkok seperti katak kakek itu sudah menghantamnya lagi.

"Plakk!"

Dua pasang tangan bertemu dan saling melekat, dan pada saat itu, kaki Hek Tok Siansu menendang, mengenai paha Liong Ki dan tubuh pemuda itupun terjengkang!

Namun Liong Ki dapat meloncat bangun dengan cepat dan diapun memberi hormat kepada kakek itu.

"Kepadaian Locianpwe sungguh dahsyat, aku mengaku kalah."

Hek Tok Siansu tertawa bergelak sambil meraba-raba dagunya yang tak berjenggot.
"Ha-ha-ha, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dua orang muda selihai kalian. Bahkan andaikata aku mempunyai murid, kiranya dia akan kalah kalau bertanding melawan seorang diantara kalian. Hebat, memang sudah pinceng dengar bahwa kini banyak bermunculan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi. Tentu saja pinceng merasa bangga kalau diperkenalkan sebagai guru kalian. Pinceng mau kalian ajak menghadap Menteri Cang, dan suka bekerja sama dengan kalian. Namun sebaiknya, kalian sebagai murid-murid angkat harus membantuku mencari seseorang sampai dapat.”

"Tentu saja kami mau membantumu, Suhu!" kata Liong Ki dan mendengar sebutan itu, Hek Tok Siansu tersenyum. "Katakan siapakah orang itu dan dimana tinggalnya, pasti kami akan berusaha mencarinya. Kalau perlu kami dapat mengerahkan pasukan penyelidik…….."

"Bagus, itulah yang pinceng kehendaki. Orang yang pinceng cari-cari itu juga seorang pemuda yang lihai seperti engkau, namanya Tang Hay….."

"Hay Hay…..?" teriak Liong Ki

"Pendekar Mata Keranjang?" Liong Bi juga berseru sambil bangkit berdiri dari atas batu besar dimana ia tadi duduk.

"Oh, kalian sudah mengenal dia, bukan? Bagus sekali. Dimana dia sekarang?"

Liong Bi yang cerdik mendahului Liong Ki agar jangan salah bicara.
"Kami memang mengenal Tang Hay atau Hay Hay Si Mata Keranjang itu, Suhu, akan tetapi kami tidak tahu dimana dia sekarang. Akan tetapi, apakah hubungan Suhu dengan dia dan mengapa pula Suhu mencari Hay Hay?"

Mereka tentu saja khawatir mendengar orang yang dicari kakek ini Hay Hay, musuh besar mereka! Kalau kakek ini sanak keluarga atau sahabat baik Hay Hay, celakalah mereka.

Hek Tok Siansu adalah seorang yang merasa dirinya datuk yang menduduki tingkat tinggi, maka dia tidak merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu karena tidak ada yang ditakutinya di dunia ini. Mendengar pertanyaan Liong Bi tadi, mulutnya yang selalu tersenyum sinis itu kini menyeringai.

"Tang Hay adalah musuhku dan pinceng mencari dia untuk membunuhnya”.

Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Hati mereka lega dan senang, akan tetapi mereka cerdik dan ingin yakin lebih dahulu.

"Lo-cian-pwe, apakah yang telah dilakukan Tang Hay maka Lo-cian-pwe hendak membunuhnya ? Apa dosanya?

"Ha-ha-ha, dosanya besar sekali! Bersama Kim Mo Siankouw, Tang Hay telah membunuh tiga orang suhengku yang bernama Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Aku sudah berhasil membunuh Kim Mo Siankauw, tinggal Tang Hay yang belum dapat kutemukan."

Barulah hati kedua orang muda itu yakin dan merasa gembira bukan main. Apalagi Liong Bi yang sudah mendengar tentang tiga orang pendeta Lama yang dimaksudkan oleh Hek Tok Siansu tadi. Tiga orang pendeta Lama itu adalah tiga orang sakti yang berusaha untuk memberontak di Tibet dan dapat dihancurkan oleh Dalai Lama dan pasukannya. Kiranya Hay Hay juga membantu pembasmian pemberontakan itu.

“Kalau begitu, sungguh kebetulan sekali, Suhu!" kata Liong Ki dengan girang. "Ketahuilah bahwa kamipun membenci anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu itu! Dia adalah musuh besar kami pula!"

"Hemm, begitukah? Pinceng juga sudah mendengar bahwa pemuda bernama Tang Hay itu anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu (penjahat pemetik bunga Si Kumbang Merah). Dia harus membayar kematian tiga orang suhengku. Akan tetapi kenapa pula kalian memusuhinya?"

“Anak jai-hwa-cat itu sombong dan jahat bukan main, Suhu." kata Liong Bi. "Aku pernah bertemu dengan dia dan hampir saja dia memperkosaku, kalau saja tidak muncul kakak Liong Ki yang menyelamatkan aku."

"Benar, dia memang jahat dan kejam, penjahat cabul seperti ayahnya. Julukannya saja Pendekar Mata Keranjang. Akupun pernah bentrok beberapa kali dengan penjahat itu. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menyelidiki dimana pemuda jahat itu berada, Suhu. Sekarang, marilah kita meghadap Cang Taijin dan Suhu akan kami perkenalkan dengan beliau."

Mereka bertiga meninggalkan hutan, kembali ke kota dan langsung menuju ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang menerima kunjungan Hek Tok Siansu dengan gembira. Menteri yang bijaksana ini memang pandai menghargai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Apalagi ketika kakek gundul itu diperkenalkan oleh dua orang pembantunya sebagai guru mereka, dia menyambut dengan hormat.

Setelah berbincang-bincang sejenak, dengan ramah Menteri Cang memberi ijin kepada Liong Ki yang mohon perkenan agar untuk sementara "gurunya" tinggal bersama dia di kamarnya. Bahkan kepada Menteri Cang, Liong Ki mengatakan dia akan membujuk gurunya agar suka melatih ilmu kepada keluarga Cang dan kepada para perwiranya.

Ketika Liong Ki dan Liong Bi meninggalkan ruangan dalam dimana mereka tadi diterima Cang Taijin, sambil mengajak Hek Tok Siansu, dan mereka menuju ke perumahan di belakang dalam komplek lingkungan istana menteri itu, mereka berjumpa dengan Mayang.

Gadis ini memang sudah mulai merasa tidak senang kepada Liong Ki dan Liong Bi, walaupun perasaan itu dipendamnya saja didalam dada karena tidak ada alasan yang dapat dijadikan bukti. Sikapnya dingin saja ketika ia berjumpa dengan tiga orang itu, hanya diam-diam ia heran melihat dua orang itu berjalan bersama seorang kakek pendeta gundul berjubah kuning.

"Mayang, perkenalkan. Ini adalah guru kami…….” kata Liong Ki.

Mayang mengerutkan alisnya. Setahunya, guru Liong Ki atau Sim Ki Liong adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya di pulau Teratai Merah.

"Gurumu……?” gumamnya.

"Ini adalah guruku, suhu Hek Tok Siansu.”

L.iong Bi memotong cepat dan Liong Ki yang menyadari kesalahannya cepat menyambung.

"Sekarang menjadi guruku pula, Mayang. Aku telah mengangkat lo-cian-pwe ini menjadi guruku”.

Mayang mengangguk-angguk, walaupun masih agak ragu, namun keterangan pemuda itu masuk akal. Bisa saja dia mengangkat guru orang lain lagi karena gurunya di pulau Teratai Merah sudah tidak mengakuinya lagi, pula apa salahnya kalau dia berguru lagi kepada orang pandai? Dengan sikap acuh saja ia lalu meninggalkan mereka.

"Siapakah nona itu? Ia seperti bukan gadis Han." kata Hek Tok Siansu tertarik.

"Memang ia peranakan Tibet, Suhu. Sebetulnya ia jahat sekali dan dapat menjadi penghalang kemajuan kita. Aku sudah ingin melenyapkannya saja, akan tetapi selalu dilarang kakak Liong Ki karena dia dan gadis itu saling mencinta, atau lebih tepat, dia tergila-gila kepada Mayang."

“Mayang?"

“ya, nama gadis itu Mayang. Ia terbawa oleh kami kesini, akan tetapi agaknya ia tidak suka kepada kami, atau hendak mengambil jalan sendiri. Agaknya ia hendak memikat hati Cang-kongcu, putera Menteri Cang dengan kecantikannya dan kalau ia berhasil, kami yakin ia tentu akan mempergunakan kekuasaanya untuk medesak kami." kata pula Liong Bi.

"Omitohud, alangkah jahatnya. Memang sudah sepatutya kalau ia dilenyapkan." Kata kakek itu.

Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi merasa girang dan mereka maklum bahwa mereka boleh mengandalkan tenaga bantuan kakek ini.

"Suhu," kata Liong Ki, "sebaiknya memang Mayang itu dilenyapkan, akan tetapi aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya dan aku tidak tega membunuhnya. Aku ingin agar ia dapat kutundukkan, menjadi milikku dan kalau sudah begitu, aku dapat menguasai dan mempengaruhinya agar ia selalu taat kepadaku. Kuharap dalam hal ini Suhu suka membantuku."

"Omitohud, engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri Liong Ki. Kulihat kepandaian kalian sudah cukup hebat, apa sukarnya menundukkan seorang gadis muda seperti itu? Memang masih memerlukan bantuan pinceng?"

"Suhu tidak tahu, Mayang itu memiliki kepandaian yang cukup lihai. Iapun kebal terhadap ilmu sihir. Dan iapun amat berbahaya bagi Suhu sendiri!” kata Liong Bi.

"Heh? Berbahaya bagi pinceng? Kenapa?”

"Ia adalah murid Kim Mo Sian-kouw."

Hwesio itu terbelalak.
"Omitohud! Jadi ia murid Si Rambut Emas itu? Kalau ia tahu bahwa gurunya mati di tanganku, tentu ia akan memusuhiku. Kalau begitu, memang sudah sepatutnya ia dilenyapkan." kata Hek Tok Siansu.

"Lebih dari itu, Suhu, ia adalah adik tiri dari Tang Hay. Ia juga puteri Si Kumbang Merah, berlainan ibu." Kata Liong Ki.

"Bagus, bagus! Serahkan ia kepada pinceng. Pinceng akan melenyapkan tanpa ada yang mengetahuinya, jangan khawatir……"

“Ah, tidak, Suhu. Maksudku bukan begitu. Aku cinta padanya, dan akan merasa sayang sekali kalau ia dilenyapkan. Aku menghendaki agar ia jatuh ke dalam pelukanku, agar ia menjadi milikku dan kalau sudah begitu tentu ia akan tunduk kepadaku."

"Ooh-ho-ho-hoh, kiranya begitu maksudmu? Cinta memang dapat membuat orang melakukan apa saja. Baik, pinceng akan membantumu. Apa yang harus pinceng lakukan? Menangkapnya, menelikungnya lalu menyerahkan kepadamu?" .

"Tidak, suhu. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Mayang. Aku terlalu mencintanya. Kita harus menggunakan cara halus dan akan kuberitahu kepada suhu kalau saatnya tiba, sekarang ini ada dua hal penting yang kami berdua harapkan bantuan dari suhu."

"Hemm, bantuan apalagi yang kalian harapkan dari pinceng?"

Kini Liong Bi yang menjelaskan.
"Suhu, kami ingin sekali meningkatkan kedudukan kami. Menteri Cang mempunyai dua orang anak. Yang laki-laki bernama Cang Sun dan yang perempuan bernama Cang Hui. Nah, kalau aku dan koko Liong Ki dapat berjodoh dengan mereka, tentu dengan sendirinya derajat dan tingkat kedudukan kami akan naik. Dan sebagai guru kami, tentu suhu juga terangkat derajatnya. Kami berdua sudah melakukan usaha pendekatan dan hampir berhasil, akan tetapi selalu Mayang itu yang menghalangi dan menggagalkan usaha kami. Kami mohon bantuan suhu agar Cang-kongcu itu tergila-gila kepadaku, dan Cang-siocia tergila-gila kepada kakak Liong Ki.

“Ho-ho-ha-ha! Demikian banyaknya permintaan bantuan dari kalian kepadaku! Dan apa imbalannya? Kalau hanya makan minum enak saja, setiap saat aku dapat memperolehnya tanpa susah payah.”

“Ingat, Suhu. Kami sudah berjanji akan membantu mencarikan Tang Hay, musuh besarmu itu. Dan kedua, di istana keluarga Cang ini Suhu mendapat kedudukan baik sebagai guru kami, bahkan kami dapat memintakan kepada Cang Taijin agar Suhu memperoleh pangkat yang resmi. Dan ketiga, kalau kami berdua sudah menjadi mantu keluarga Cang, berarti kedudukan Suhu ikut naik dan kita dapat meningkatkan lagi kedudukan kita karena sudah semakin dekat dengan istana kaisar. Bukankah itu berarti bahwa kita bertiga akan menikmati nama besar, kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda?"

Hwesio itu tertawa dan perut gendutnya terguncang-guncang. Dia merasa gembira sekali telah dapat berkenalan dengan dua orang muda yang cerdik ini.

"Ha-ha-ha-ha, kalian memang berjodoh sekali dengan pinceng. Kalian masih muda namun sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan yang lebih lagi, kalian memiliki kecerdikan luar biasa. Baik, pinceng akan membantu kalian."

"Kui Hong. Bagaimanakah engkau ini? Sudah sering datang pinangan, namun engkau selalu menolak. Engkau sudah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun- lun-pai yang gagah, bahkan dia putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana engkau menolaknya pula? Sungguh kami merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada puterinya.

"Maaf, Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikitpun keinginan untuk menikah. Kalau dipaksakan, tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa dan aku yakin Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan? Biarlah aku seperti sekarang ini, di samping Ayah dan Ibu, mengurus Cin-ling-pai."

Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong jauh berbeda dengan gadis lincah jenaka yang dahulu lagi. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya seperti dahulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini merapat, dan kalau dahulu ia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang pendiam, kaku dan seperti mayat hidup saja.

"Kui Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya berkata. "Kurasa para peminang itu memenuhi segala syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan, ada pula seorang pendekar yang memiliki nama terkenal, akan tetapi engkau selalu menolak. Bahkan diperkenalkanpun tidak mau. Seolah-olah engkau memang sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah ?”

Gadis itu mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang amat menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus.

"Ayah, menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup menjadi teman. Bagaimana mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal, sama sekali tidak kusukai? Daripada kelak menderita sengsara disamping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta."

Gadis itu menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Setelah saling pandang dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan, akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya,

"Kui Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?"

Bagaikan disengat kalajengkit rasanya ketika Kui Hong mendengar disebutnya nama ini oleh ibunya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini. Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Ia mengangkat muka memandang kepada ayah ibuya dan melihat betapa mereka mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Muncul perlawanan dalam hatinya. Selama ini ia menderita batin karena penolakan ayah ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya masih bertanya apakah ia masih tetap mencinta pemuda itu!

"Ibu dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja? Tentu saja aku masih mencinta Hay-koko, dan sampai matipun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan dialah aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi? Ayah dan Ibu sudah tidak setuju, kenapa mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?"

Suami isteri itu kembali saling pandang.
"Kui Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay………"

Kui Hong bangkit berdiri, tusukan pada jantungnya terasa semakin menghujam dalam.
"Ayah, tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak karena Hay-koko adalah seorang anak haram, lahir dari perkosaan, ayahnya seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!"

Dalam suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya.

"Perlukah Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali dan menekan-nekan, menggosok-gosok luka di hatiku agar pecah kembali?"

"Kui Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau memperoleh jodoh seorang laki-laki keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat melupakan dia, masih tetap mencintanya, dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau memang hanya menjadi isterinya saja yang akan membahagiakan hatimu, kami juga tidak dapat melarangmu……….."

Kui Hong terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya.
"Apa maksud Ibu dan Ayah……..?”

Kini Hui Song berkata,
"Sudah lama aku dan ibumu memperbincangkan soal ini, Kui Hong. Akhirnya kami bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tidak akan melarangmu lagi. Kau carilah dia dan ajaklah dia kesini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu itu."

Kui Hong terbelalak, merasa seperti dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya, tadinya menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik,

"Ibu……, Ibu…….., benarkah…….?"

Ceng Sui Cin tersenyum. Matanya basah.
"Benar, Anakku. Kami teringat bahwa kamipun pernah memiliki nenek moyang yang menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami."

"Ibu………..!"

Kui Hong menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian ia melepaskan ibunya dan menubruk ayahnya.

"Ayah………!”

Suami isteri itu merasa terharu. Sekarang mereka yakin benar bahwa puteri mereka ini amat mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti saja kepada mereka, Kui Hong mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dari kekasihnya, demi mentaati orang tua.

"Kui Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, ajak dia kesini. Aku ingin mengenalnya lebih baik." kata Hui Song.

"Akan tetapi, tahukah engkau kemana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya.

Kui Hong tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk.
"Aku pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu, dia berada dimana sekarang. Akan tetapi aku akan mencarinya, sampai dapat! Pernah dia berkata bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal disana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan disana. Apalagi dia mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!”

Setelah berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai kepada ayahnya, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai pada keesokan harinya dan ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong secara hebat, yang tidak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana manjur sekalipun.

Gadis itu seperti telah menemukan dirinya kembali, telah kembali seperti dahulu, lincah gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja.

Ceng Sui Cin merangkul anaknya.
"Aku akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan dia dan mengajaknya pulang kesini, Kui Hong."

"Terima kasih, Ibu, dan jangan khawatir, aku pasti akan dapat menemukannya dan mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal."

Kui Hong mencium pipi ibunya yang basah, dan kini ia tidak menangis lagi, melainkan tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian, iapun berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagaika seekor burung terbang meninggalkan sarangnya.

Memang Kui Hong telah menemukan kembali dirinya. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang membuat ia jatuh sakit, ia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah hidup. Biarpun ia giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan nenek moyangnya itu yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun ia bekerja seperti boneka hidup saja. Ia tidak memperdulikan dirinya sendiri sehingga tubuhnya kurus, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay Hay.


cerita silat online karya kho ping hoo


Kini, harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya, mengembalikan gairahnya. Ia tahu benar bahwa Hay Hay amat mencintanya, bahwa kepergian pemuda itu meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati. Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong!


Pemuda itu meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang tuanya. Ia dapat membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan hati hancur. Ia yakin benar bahwa Hay Hay, biarpun putera Ang-hong-cu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu Orang boleh menjulukinya Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang gembira, suka bergurau suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita.

Karena keterbukaannya itulah maka dia dikatakan-mata kerajang, padahal ia tahu benar bahwa dilubuk hatinya, Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan hamba nafsu berahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan dia. Dahulupun ia pernah mengira bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan ayahnya, suka berjina dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi sekarang ia sudah yakin.

Kui Hong melakukan perjalanan cepat. Ia tidak tahu bahwa baru tiga hari setelah ia meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di dagunya, mendakl gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang berilmu tinggi.

Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian. Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu muncul Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu yang mendendam karena menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena ketua Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian.

Ceng Hok Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta pertanggungan jawab. Terjadilah bentrokan dimana Ban Tok Siansu bertanding melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu, akan tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang hebat dari Ban Tok Siansu. Hek Tok Siansu membawa jenazah suhengnya dan pergi.

Keluarga Siangkoan menjadi geger. Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang amat parah, pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan tetapi tidak mampu menyembuhkan sama sekali. Mereka lalu membagi tugas. Han Siong melakukan pengejaran kepada Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar, sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimiliki Hay Hay.

Han Siong telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulut Hay Hay pergi bersama Kui Hong. Setidaknya, di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan dapat memperoleh keterangan dimana adanya Hay Hay. Demikianlah, pagi hari itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalut Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai melalui lereng yang lain.

Karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya. Maka Bi Lian melupakan urusannya sendiri. Andaikata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya mungkin ia akan berduka sekali. Betapa tidak? Ia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah dirayakan dan terjadikan kegegeran itu yang kini membuat ia terpisah dari suaminya!

Ia menjadi isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang sesungguhnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu, semua ini tidak ia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya.

Keluarga Cia di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan tetapi ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan ingin mecari Cia Kui Hong atau Tang Hay, merekapun segera menyambutnya dengan ramah. Dari Kui Hong mereka telah mendengar banyak tentang Siagkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, iapun tidak ingin berhenti lama.

"Kemanakah adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya.

"Menurut Kui Hong, ia akan mencarinya ke kota raja." jawab Ceng Sui Cin.

"Kalau begitu, harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat berhenti lama, saya ingin segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang terkena pukulan beracun."

Demikianlah, dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga ia menuruni kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Ia mengambil jalan ke arah kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat.

Akan tetapi karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh. Jarak antara mereka pada permulaan saja sudah tiga hari. Bagaimanapun juga, keduanya mengambil jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja.

Sejak pertama kali melihat Hek Tok Siansu yang diaku guru oleh Liong Ki dan Liong Bi, hati Mayang merasa tidak enak sekali. la dapat menduga bahwa tentu kakek itu lihai bukan main dan jelas bukan guru Liong Ki. Ia tahu benar bahwa guru Liong Ki adalah Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Kalau kedua orang itu mengakui kakek gendut itu sebagai guru dan mengajak mereka ke istana Menteri Cang, tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi di balik perbuatan itu. Ia harus waspada.

Ia menemui Cang Hui dan Teng Cin Nio di kamar mereka dan dengan berbisik-bisik ia memberitahu kepada mereka akan kecurigaannya terhadap kakek gundul yag perutnya gendut itu.

“Aku mengenal guru Liong Ki, maka dengan pengakuannya sebagai guru terhadap kakek itu tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Aku merasa curiga sekali. Adik Hui dan adik Cin, mulai sekarang kalian harus berhati-hati menjaga diri dan bersikap pura-pura tidak menaruh curiga apapun. Jangan khawatir, aku selalu siap siaga menjaga kalian dan seluruh keluarga Cang."

"Mayang, apakah tidak sebaiknya kalau kuperingatkan ayah agar dia menangkap dan memeriksa mereka?" kata Cang Hui.

Mayang menggeleng kepala.
"Tanpa bukti, bagaimana mungkin ayahmu bertindak? Ayahmu adalah seorang yang bijaksana, tentu tidak mau bertindak tanpa bukti."

"Kalau begitu, akan kuberitahu kepada kakak Sun." kata Cang Hui.

Mayang mengangguk.
"Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dia menjadi kaget dan gelisah."

Cang Hui tersenyum melihat Mayang mengkhawatirkan kakaknya.
"Ada engkau disini, apakah dia perlu khawatir?"

Mayang menunduk dan melirik ke arah Cin Nio yang juga menjadi merah mukanya.
"Kami semua mengharapkan perlindunganmu, mayang." kata Cin Nio yang merasa salah tingkah. Ia sudah mendengar dari sepupunya bahwa Cang Sun yang dicintanya akan tetapi tidak membalas itu jatuh hati kepada Mayang.

"Kamipun tidak akan tinggal diam, Mayang. Aku dan Cin Nio mulai sekarang akan selalu membawa pedang untuk menjaga diri. Kalau perlu, di waktu mandi atau tidurpun kami akan selalu membawa pedang!" kata Cang Hui bergurau karena ia merasa telah bicara terlalu banyak tadi sehingga menimbulkan suasana yang kikuk kepada dua orang gadis itu.

"Benar, Mayang. Dan kita juga harus berlatih lebih tekun. Gerakan pedang dengan jurus Ular Hitam Menyelam Samudera itu masih belum juga dapat kulakukan dengan baik." kata Cin Nio.

Mayang lalu melatih kedua orang gadis itu di taman bunga belakang kamar mereka. Pada sore hari itu, setelah mandi, Mayang berjalan-jalan di taman bunga seorang diri, melamun. Sesungguhnya ia sudah merasa bosan harus menipu keluarga Cang dengan berpura-pura menjadi sabahat Liong Ki dan Liong Bi. Betapa inginnya untuk membuka rahasia mereka itu kepada keluarga Cang, bahwa yang bernama Liong Ki sebenarnya bernama Sim Ki Liong, sedangkan Liong Bi sama sekali bukan adiknya, melainkan seorang wanita bernama Su Bi Hwa.

Atau ia dapat. meninggalkan mereka begitu saja. Namun, disitu ada Cang Hui dan Cin Nio yang disayangnya, dan ada pula….. Can Sun! Berat rasanya meninggalkan mereka. Apalagi, Cang Taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, bersikap baik dan lembut kepadaya. Bersama keluarga Cang, ia merasa seperti bersama keluarga sendiri.

Akan tetapi, cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah lenyap sama sekali. Kini ia semakin yakin bahwa ada hubungan gelap yang memisahkan dan Su Bi Hwa. Ia merasa seperti dipermainkan saja. Kalau dahulu ia merasa iba kepada Ki Liong, mengharapkan dia akan bertaubat dan kembali ke jalan benar, menjadi pendekar, kini harapannya itu lenyap sama sekali. Sim Ki Liong agaknya tidak akan mau kembali ke jalan benar. Teringat ia akan usaha Liong Bi untuk memikat Cang Sun seperti diceritakan Gang Hui, dan ia melihat sendiri betapa Liong Ki berusaha memikat Cang Hui. Seringkali ia termenung memikirkan dua peristiwa mencurigakan itu.

Dan kini ia seperti menyadari apa artinya semua itu.. Agaknya Liong Ki sudah bersekongkol dengan Liong Bi. Jelas bahwa mereka yang sejak pertama sudah menggunakan siasat agar dapat diterima bekerja pada keluarga Cang itu, dengan jalan Liong Ki berkedok menculik Cang Sun lalu muncul Liog Bi menolongnya, kini mempunyai cita-cita yang lebih besar lagi.

Agaknya kedua orang itu sengaja hendak memikat putera dan puteri Menteri Cang. Kalau mereka dapat menjadi mantu Menteri Cang, berarti kedudukan mereka meningkat dan menjadi kuat! Tidak, mereka tidak boleh berbuat seperti itu. Mereka tidak boleh dibiarkan saja, dan ia yang akan menentang. Kalau memang putera dan puteri Menteri Cang jatuh cinta kepada mereka, tentu saja ia tidak akan mencampuri. Akan tetapi kalau Liong Ki dan Liong Bi mempergunakan daya pikat, dan menggunakan sihir apalagi kekerasan, ia harus melindungi keluarga Cang.

Mayang tenggelam ke dalam lamunan sampai-sampai ia tak menyadari bahwa senja telah lewat, lampu-lampu telah dinyalakan oleh para petugas, bahkan beberapa buah lampu tihang di dalam taman juga sudah dinyalakan. Malam mulai tiba, menyelimuti bumi dengan sayap hitamnya. Makin gelap, semakin asyik pula Mayang melamun, mengenangkan masa lalunya sejak ia kecil sampai sekarang.

Tiba-tiba teguran lembut menyentaknya bangun dari dalam lamunan.
"Mayang, engkau disini...?"

Ia cepat bangkit dan membalikkan tubuh. Kiranya ia sudah berhadapan dengan penegurnya tadi, yaitu Cang Sun. Wajah Mayang menjadi kemerahan karena lamunannya tadi justeru baru tiba pada diri Cang Sun. Dalam lamunan tadi ia membayangkan semua pengalamannya yang menyangkut perasaan cintanya, pertama kepada Hay Hay yang gagal karena pemuda itu ternyata kakaknya sendiri, kedua cintanya kepada Sim Ki Liong yang kinipun gagal dan putus karena ternyata pemuda itu tidak berubah menjadi orang baik-baik, dan ketiga ia sedang melamunkan Cang Sun yang dihormati dan dikagumi walaupun pemuda bangsawan itu tidak pandai silat. Dan tiba-tiba orangnya muncul, seperti menjawab lamunannya saja. Tentu kemunculan tiba-tiba ini membuatnya kaget dan juga tersipu.

"Ah, kiranya Cang-kongcu (tuan muda Cang)………" katanya tersenyum, sudah dapat memulihkan dan menenangkan hatinya.

Melihat gadis itu memberi hormat kemudian hendak melangkah pergi meninggalkannya, Cang Sun berkata lembut.

"Mayang, jangan pergi, aku ingin bicara denganmu."

Mayang menahan langkahnya dan memandang kepada pemuda itu dengan mata penuh pertanyaan. Lampu taman yang muram membuat mereka seperti bayang-bayang, akan tetapi dalam jarak dekat, mereka dapat saling pandang dengan cukup jelas. Mayang melihat betapa wajah pemuda itu bersungguh-sungguh seolah ada urusan penting sekali yang hendak dibicarakan dengannya.

"Ada urusan apakah, Kongcu?" tanyanya, melangkah maju mendekat.

"Duduklah, Mayang, agar kita dapat bicara dengan santai."

Mayang mengangguk, duduk di atas bangku, dan pemuda itupun duduk diatas bangku lain, berhadapan dengannya dalam jarak tiga meter. Angin malam bersilir sejuk, dan bulan mulai muncul di timur, melumasi puncak-puncak pohon dengan emas.

"Nah, katakan, ada urusan apakah, Cang-kongcu?" tanya pula Mayang, kini jantungnya agak berdebar karena selama ia berada di istana keluarga Menteri Cang, baru sekali ini ia duduk berdua saja dengan pemuda itu.

"Mayang, sebelumnya aku minta maaf kalau apa yang hendak kubicarakan ini tidak berkenan di hatimu, apalagi kalau sampai menyinggungmu. Maukah engkau berjanji sebelumnya bahwa engkau akan memaafkan aku?" ,

Gadis itu terbelalak namun matanya tetap sipit lucu dan mulutnya tersenyum ramah, lalu mengangguk.

"Tentu saja, Kongcu."

"Dan maukah engkau berjanji akan menjawab semua pertanyaanku dengan terus terang, apa adanya?"

Mayang kembali mencoba melebarkan matanya yang sipit.
"Aih, ada apa sih, Kongcu? Engkau membuat aku tegang. Tentu saja aku akan menjawab sejujurnya." ,

"Mayang, kemarin aku mendengar dari adikku Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki. Benarkah apa yang dikatakan adikku itu?"

Mayang merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kenapa pemuda ini menanyakan hal itu? Akan tetapi ia sudah berjanji akan menjawab dengan jujur dan .memaafkan kalau tersinggung, maka iapun mengangguk.

"Benar, Kongcu."

Wajah pemuda itu nampak cerah dan bersemangat ketika dia mendengar jawaban ini.
"Kalau begitu benar! Sungguh tidak kusangka sama sekali, Mayang. Tadinya aku mengira bahwa engkau benar tunangan dan calon isteri Liong Ki!"

“Kami hanya sahabat, Kongcu. Kami akrab sebagai sahabat.”

“Sekarang pertanyaanku yang kedua, harap kau jawab dengan sejujurnya, Mayang. Biarpun kalian tidak bertunangan, akan tetapi apakah kalian saling mencinta? Maksudku, apakah engkau cinta kepada Liong Ki?"

Mayang mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah pemuda itu.
“Kongcu, aku sudah berjanji akan memaafkan semua singgungan dan menjawab sejujurnya, akah tetapi setidaknya aku ingin sekali tahu mengapa Kongcu hendak mengetahui rahasia pribadiku, hal-hal yang menyangkut perasaan hatiku? Apa hubungannya semua itu dengan Kongcu?”

“Hubungannya dekat sekali, Mayang. Jawablah dulu sejujurnya, baru nanti akan kujelaskan kepadamu mengapa aku mengajukan semua pertanyaanku ini. Nah, kuulangi pertanyaanku, apakah engkau mencinta Liong Ki?”

Mayang menguatkan perasaan hatinya.
“Kongcu minta agar aku menjawab sejujurnya. Kalau aku mengatakan tidak mencintanya, maka jawaban itu bohong, akan tetapi kalau aku mengatakan mencintanya, itupun tidak benar. Sesungguhnya begini, Kongcu. Pernah aku tertarik dan suka kepadanya, bahkan mencintanya dan mau berkorban untuknya, akan tetapi akhir-akhir ini cintaku terhadap dirinya pudar dan luntur. Nah, itulah jawabanku yang sebenarnya. Saat ini aku tidak berbohong kalau kukatakan bahwa aku tidak cinta lagi kepadanya."

Cang sun mengerutkan alisnya.
"ehh? Apakah cinta dapat berubah-ubah, apakah dari cinta akan timbul benci? Mengapa begitu, Mayang? Atau, engkau tidak dapat dan tidak mau memberi penjelasan mengapa cintamu terhadap Liong Ki berubah?"

"Kongcu, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Tadinya aku mengira bahwa dia benar-benar mencinta diriku, akan tetapi setelah aku mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa dia hanya mempunyai cinta nafsu berahi belaka, aku sadar bahwa dia bukanlah pria yang kudambakan menjadi jodohku. Nah, hanya itu yang dapat kukatakan kepadamu, Kongcu, dan semua jawabku itu adalah sejujurnya seperti yang kujanjikan tadi."

Sepasang mata pemuda itu bersinar girang mendengar jawaban Mayang, lalu dia berkata.

"Sekarang datang giliranku untuk menjelaskan mengapa aku ingin mengetahui urusan pribadimu. Begini, Mayang, orang tuaku selalu mendesak aku untuk menikah, akan tetapi aku belum dapat mentaati perintah mereka karena aku belum mendapatkan seorang gadis yang kuanggap cocok untuk menjadi sisihanku, belum ada gadis yang kucinta……. "

"Aku mendengar dari adik Cang Hui, bahwa engkau amat mencinta enci Cia Kui Hong, Kongcu." Mayang memotong.

Cang Sun tidak terkejut atau heran mendengar ini. Dari Cang Hui ia sudah tahu bahwa pergaulan antara adiknya dan Mayang amatlah eratnya sehingga mungkin saja Cang Hui menceritakan segala tentang dirinya.

"Memang benar, Mayang. Akan tetapi seperti kau katakan tadi, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Aku mencintanya, akan tetapi ia tidak membalas cintaku, dan dengan terus terang ia mengakui bahwa ia mencinta pemuda lain. Aku memaklumi dan mencoba untuk melupakannya, akan tetapi sia-sia belaka. Setiap kali ayah ibu hendak menjodohkan aku dengan seorang gadis, aku selalu menolak karena aku teringat kepada Kui Hong, walaupun aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Kemudian muncullah engkau, Mayang. Aku seolah melihat Kui Hong dalam dirimu, seolah menemukan pengganti Kui Hong. Aku langsung jatuh cinta padamu, Mayang. Akan tetapi, ketika aku mendengar bahwa engkau adalah tunangan Liong Ki, tentu saja aku mundur dengan penuh kekecewaan dan kepahitan. Kemudian, kemarin aku mendengar dari Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki, maka hidup kembali semangat dan harapanku, Mayang, dan aku sengaja menemuimu untuk bicara sejujurnya. Mayang, aku cinta padamu. Mungkinkah hatiku dan hatimu yang keduanya menjadi korban cinta yang gagal, dapat dipersatukan, kita saling menghibur, saling mengobati dan saling mengisi?"

Mayang tertegun, mukanya menunduk, jantungnya berdebar. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Cang Sun akan membuat pengakuan cinta yang demikian terbuka dan jujur. Di dasar hatinya, ia merasa bangga dan senang karena ia sendiri memang mengagumi pemuda ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia dapat membalas cinta Cang Sun? Banyak hal mengenai dirinya yang tidak diketahui pemuda bangsawan itu.

Pertama, ia adalah anak Ang-hong-cu, seorang penjahat besar yang amat terkenal. Ke dua, ia hidup sebatangkara, seorang gadis miskin dengan seorang ibu yang janda dan tinggal jauh di puncak Awan Kelabu, di pegunungan Ning-jing-san dekat perbatasan Tibet. Dan yang ketiga, ini merupakan hal yang paling gawat, ia memasuki istana keluarga Menteri Cang secara curang dan rendah, betapa Liong Ki dan liong Bi bersiasat menolong Cang Sun sehingga mereka diterima bekerja disitu dan ia terbawa masuk. Semua ini harus ia ceritakan kepada cang Sun! Sebelum pemuda itu mengetahui segala hal ini dan mau memaafkannya, bagaimana mungkin ia berani menerima uluran cintanya?

"Mayang, kenapa engkau diam saja dan hanya menunduk? Pandanglah aku, jawablah. Aku telah bersikap sejujurnya kepadamu dan kuharap engkaupun bersikap jujur. Aku telah siap andaikata aku harus menderita gagal cinta untuk kedua dan terakhir kali. Kalau engkau memang tidak ada perasaan cinta kepadaku dan tidak dapat menerima cintaku, katakan saja terus terang, aku tidak akan menyalahkanmu. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan berilmu tinggi sedangkan aku hanya seorang pemuda yang lemah……."

“Kongcu, jangan berkata demikian.”

Mayang memotong cepat, mengangkat muka dan memandang dan suaranya agak gemetar,

"biarpun engkau seorang pemuda sastrawan yang tidak pernah belajar ilmu silat, namun aku kagum kepadamu, aku menghormatimu dan aku suka padamu. Akan tetapi tentang cinta, bagaimana seorang gadis seperti aku ini berani……….? Bagaikan seekor burung gagak dengan seekor burung dewata. Kongcu, berilah aku waktu beberapa hari. Pernyataan Kongcu ini terlalu tiba-tiba bagiku, tak tersangka-sangka, membuat aku bingung………”

Cang Sun mengangguk dan tersenyum, lalu bangkit berdiri.
"Baiklah, Mayang. Aku juga mengerti bahwa sebagai seorang gadis, tidaklah semudah itu mengaku tentang cinta. Pergunakan waktumu untuk berpikir dan mengambil keputusan, aku tidak tergesa-gesa. Dan kalau engkau merasa sungkan untuk menyampaikannya kepadaku, boleh kau sampaikan lewat adikku Hui-moi, karena engkau lebih akrab dengannya. Nah, aku harus pergi sekarang. Tidak baik bagimu kalau terlihat orang lain kita berdua saja disini.”

Pemuda itu meninggalkan taman dan Mayang mengikuti langkahnya yang tegap dari belakang. Jantungnya berdebar keras. Dia mencintaku! Cang Sun mencintaku! Demikian hati itu bersorak. Akan tetapi, ia merasa rendah diri, juga merasa khawatir sekali. Bagaimana kalau kelak Cang Sun mengetahui siapa dirinya lalu memutuskan cintanya? Mengapa tidak tadi saja ia berterus terang?

Akan tetapi, sekali berterus terang, ia harus membongkar semua rahasia Liong Ki dan Liong Bi dan tentu terjadi kegemparan. Dan rasanya terlalu berat baginya kalau perasaan bahagia karena pengakuan cinta Cang Sun ini dihancurkan oleh kenyataan tentang dirinya yang membuat Cang Sun menjauhkan diri. Mengerikan kalau sampai terjadi demikian. Biarlah untuk sementara waktu ini ia menikmati perasaan ini, perasaan bahwa ia dicinta oleh Cang Sun, pemuda yang diam-diam dikaguminya itu.

Malam itu di kamarnya Mayang tak dapat tidur pulas sampai jauh malam, hanya rebah telentang sambil melamun. Setelah akhirnya ia pulas, ia bermimpi indah bersama Cang Sun ia berlayar mengarungi samudera luas, berdua saja dan segala kebahagiaan menyelimuti mereka berdua.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Menteri Cang memanggil Liong Ki, Liong Bi dan juga Mayang menghadap.

“Kami hari ini akan melaksanakan tugas perjalanan ke utara yang akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Oleh karena itu, keselamatan keluarga kami disini kami serahkan perlindungannya kepada kalian bertiga.” Demikian, pesan pembesar itu yang di sanggupi oleh tiga orang pembantunya.

Kepergian Menteri Cang membuat Mayang lebih Waspada mengamati gerak-gerik Liong Ki dan Liong Bi, juga Hek Tok Siansu yang tinggal di kamar Liong Ki. Akan tetapi mereka bertiga itu tidak memperlihatkan sikap mencurigakan sehingga hatinya merasa lega. Iapun memesan kepada Cang Hui dan Cin Nio untuk berhati-hati menjaga diri.

Mayang belum berani menceritakan kepada Cang Hui akan pernyataan Cang Sun kepadanya. Apalagi Cin Nio. Ia bahkan merasa kasihan sekali kepada Cin Nio. Cang Hui pernah bercerita kepadanya betapa Cin Nio mencinta Cang Sun dan mengharapkan menjadi jodoh Cang Sun seperti yang diharapkan orang tua pemuda itu, namun Cang Sun tidak membalas cintanya.

Cinta Cang Sun tadinya hanya pada Cia Kui Hong, namun kemudian berpindah kepadanya karena Kui Hong tidak membalas perasaannya itu. Cin Nio adalah seorang gadis yang baik dan Mayang merasa kasihan, tidak sampai hati untuk menceritakan tentang Cang Sun.

Malam itu adalah malam keempat semenjak Menteri Cang meninggalkan istananya. Cang Hui dan Cin Nio mengundang Mayang untuk makan malam di kamar mereka. Dua orang gadis bangsawan ini memang tidur sekamar, sebuah kamar besar dengan dua buah tempat tidur mereka. Makan malam di hidangkan di kamar itu oleh para pelayan yang dipimpin oleh Pek Lan, seorang pelayan kepercayaan Cang Hui.

Tiga orang gadis itu makan minum dengan gembira di dalam kamar itu, dilayani oleh Pek Lan yang menuangkan anggur dalam cawan mereka. Karena beberapa malam mereka kurang tidur, mereka merasa letih dan kini mereka menghibur diri dengan minum anggur yang keras namun lembut.

Setelah makan dan minum beberapa cawan anggur, pipi mereka menjadi kemerahan dan sikap merekapun lebih lincah.

“Mayang, mari kau terima pemberian selamat dariku dengan secawan anggur!” kata Cang Hui sambil memberi isyarat kepada Pek Lan yang dengan sigap sudah mengisi, kembali cawan mereka dengan anggur dari sebuah guci arak.

“Aih, adik Hui, pemberian selamat untuk apa?” tanya Mayang, tersenyum akan tetapi memandang heran.

Cang Hui yang sudah dipengaruhi hawa minuman keras tertawa.
"Hi-hik, ini namanya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Mayang, aku sudah mendengar semua dari Sun-ko tentang kalian, hi-hik."

Panas rasa kedua pipi Mayang mendengar ini dan iapun mengerling ke arah Cin Nio dan mencela,

"Ih, adik Hui kenapa bicara urusan itu…..”

Ia merasa tidak enak sekali terhadap Cin Nio. Ia mengerling dan melihat betapa Cin Nio tersipu, akan tetapi gadis itu dengan gagah mengangkat cawan araknya dan berkata.

"Mayang, akupun merasa senang sekali mendengar itu dan akupun ingin mengucapkan selamat!"

Akan tetapi Mayang menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Terima kasih atas kebaikan kalian, akan tetapi sungguh aku sendiri belum dapat mengambil keputusan dalam hal itu. Nah, mari kita minum untuk kesehatan kita bertiga!"

Setelah makan selesai, mereka minum banyak dan Mayang kelihatan lelah dan mengantuk sekali. Beberapa kali ia harus menyembunyikan kantuknya dan menguap di balik telapak tangan.

“Mayang, kalau engkau mengantuk sekali, rebahlah dulu di pembaringanku.” kata Cin Nio.

Mayang bangkit.
“Sebaiknya aku kembali ke kamarku saja…..”

Akan tetapi ketika ia bangkit berdiri, tubuhnya terhuyung dan cepat Cin Nio merangkulnya dan membimbingnya ke pembaringannya.

"Engkau kelihatan pusing, tidurlah dulu disini."

Mayang tidak membantah karena memang ia merasa betapa kepalanya berat dan matanya sukar dibuka lagi, demikian hebat rasa kantuk menguasainya. Begitu ia merebahkan diri, tanpa membuka sepatu dan baju luar, iapun sudah tidur pulas!

Cin Nio dan Cang Hui saling pandang. Mereka juga merasa lelah dan mengantuk, dan mereka juga tadi minum banyak anggur. Akan tetapi, mereka tidaklah selelah Mayang. Mereka lalu memerintahkan Pek Lan memanggil pembantu dan membersihkan meja makan. Setelah para pelayan pergi, Cang Hui berkata,

"Kasihan sekali Mayang, tentu ia selama beberapa hari dan malam ini tidak pernah mengaso dan kini tertidur saking kelelahan." .

"Sebaiknya biarkan ia tidur di tempatku malam ini, dan aku yang tidur di kamarnya. Kasihan kalau ia harus dibangunkan dan disuruh pindah kamar."

Kata Cin Nio dan Cang Hui mengangguk setuju. Cin Nio membawa pedangnya dan iapun meninggalkan kamar besar menuju ke kamar Mayang di sebelah belakang. Ia membuka pintu kamar yang hanya dirapatkan saja, mengunci pintu dan memeriksa keadaan dalam kamar, kemudian ia melepaskan sepatu dan pakaian luar, meniup padam lampu penerangan dan merebahkan diri di tempat tidur Mayang karena iapun merasa lelah dan mengantuk akibat minum anggur terlalu banyak. Pedangnya ia letakkan di bawah bantal untuk persiapan.

Jauh lewat tengah malam, sesosok bayangan hitam yang mukanya tertutup kain hitam, menyelinap ke kamar Mayang, dengan mudah mencokel daun jendela dan bayangan itu menyelinap masuk, menutupkan kembali daun jendela. Gerakannya demikian gesit dan ringan dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam kamar itu sejak dia menyelinap masuk sehingga para petugas yang melakukan ronda malam tidak melihat atau mendengar sesuatu.

Menjelang pagi, daun pintu kamar itu dibuka dari dalam, bayangan hitam itu menyelinap keluar dan beberapa kali loncatan saja diapun setelah tadi menutupkan kembali daun pintu kamar. Kini, kalau ada orang menempelkan telinganya di daun pintu, tentu dia akan mendengar lapat-lapat suara orang menangis sesenggukkan dari dalam kamar itu.

Mayang membuka matanya, terkejut dan heran melihat dirinya rebah diatas pembaringan dalam kamar Cang Hui dan Cin Nio. Cepat ia bangkit duduk dan melihat Cang Hui juga agaknya baru saja terbangun, ia meloncat turun dan menghampiri pembaringan gadis itu.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12