Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 01



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 01



Pegunungan Cin-ling-san berderet panjang dengan puncak-puncaknya yang tinggi menembus awan, dari barat ke timur. Terletak di perbatasan tiga propinsi, yaitu Propinsi Kan-si dan Shen-si di utara, dan Propinsi Secuan di selatan. Dari pegunungan inilah mengalir air sungai Wei-ho di sebelah utara yang kemudian memuntahkan airnya ke sungai Huang-ho, dan di selatan mengalir sungai Han-sui yang kemudian bergabung dengan sungai Yang-ce.

Karena adanya sumber-sumber air yang besar, maka permukaan gunung Cin-ling-pai nampak kehijauan, tanahnya subur dan para penghuni dusun-dusun di daerah itu tak pernah kekurangan makan. Pemandangan alamnya amat indah, bahkan ada beberapa bukit yang ditumbuhi banyak macam tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat.

Pegunungan Cin-ling-san bukan hanya terkenal karena keindahan alamnya, kesuburan tanahnya dan kesejukan hawanya, akan tetapi bagi dunia kang-ouw terutama sekali karena disitu terdapat sebuah perkumpulan para pendekar yang bernama Cin-ling-pai.

Perkumpulan orang gagah ini berada di sebuah lereng dekat puncak, lereng yang subur dan landai. Karena banyak anggauta cin-ling-pai tinggal disitu, maka lereng ini merupakan suatu perkampungan tersendiri dimana terdapat bangunan-bangunan yang dikelilingi pagar tembok.

Tidak kurang dari seratus orang anggauta Cin-ling-pai berkumpul disitu, bersama keluarga mereka. Di tengah perkumpulan ini berdiri sebuah bangunan tua yang paling besar, berdiri seperti bersandar pada sebuah bukit, dan ini merupakan rumah tinggal keluarga ketua Cin-ling-pai.

Cin-ling-pai amat terkenal di dunia kang-ouw karena banyak pendekar dari perkumpulan ini membuat nama besar di dunia ramai dan mengangkat nama tinggi Cin-ling-pai sehingga perkumpulan itu diakui sebagai sebuah perkumpulan-perkumpulan besar di waktu itu.

Pada waktu itu, perkumpulan orang-orang gagah lainnya yang terkenal adalah Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Im-yang-pai dan masih banyak partai atau perkumpulan lain akan tetapi semua itu merupakan cabang atau pecahan dari perkumpulan-perkumpulan besar itu.

Sejak beberapa turunan, Cin-ling-pai dipimpin oleh keluarga Cia. Keluarga ini terkenal sebagai ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi. Banyak macam ilmu silat tinggi yang hebat-hebat dimiliki keluarga ini sehingga nama Cin-ling-pai menjulang tinggi di dunia persilatan. Apalagi karena sepak terjang keluarga ini selalu menentang kejahatan dengan gigih, maka mereka dikenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.

Kurang lebih seratus tahun yang lalu, Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang bernama Cia-Bun-Houw, seorang yang membuat nama besar sehingga bukan hanya namanya yang terkenal, melainkan juga dia membawa nama Cin-ling-pai menjadi terkenal di seluruh dunia persilatan. Yang menggantikan Cia Bun Houw sebagai ketua Cin-ling-pai adalah Cia Kong Liang yang pada waktu itu telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh dua tahun dan tidak aktif lagi melainkan lebih banyak bertapa di dalam kamarnya di bagian belakang bangunan keluarga ketua Cin-ling-pai yang besar itu. Cia Kong Liang digantikan oleh puteranya, Cia Hui Song yang membuat nama Cin-ling-pai semakin harum dengan sepak terjangnya sebagai pendekar yang gagah perkasa.

Pada waktu itu, biarpun Cia Hui Song baru berusia kurang lebih empat puluh empat tahun, namun dia telah mengundurkan diri dari Cin-ling-pai. Memang dia tidak berbakat menjadi seorang ketua, lebih suka hidup bebas dan berkelana bersama isterinya, yaitu Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Dan kedudukan ketua Cin-ling-pai di serahkan kepada ketua baru yang dipilih melalui ujian dan pertandingan. Akhirnya, kedudukan ketua baru dipegang oleh puterinya, yaitu Cia Kui Hong, seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa pula.

Cia Kui Hong baru berusia sembilan belas tahun ketika ia menjadi ketua Cin-ling-pai, hampir dua tahun yang lalu. Sesungguhnya, sebagai seorang gadis pendekar yang memiliki darah petualang yang sama seperti ayahnya. Kui Hong tidak suka menjadi ketua. Kalau ia ikut dalam pemilihan ketua, hal itu ia lakukan karena ia melihat seorang murid baru Cin-ling-pai yang tak disukanya di calonkan oleh kakek Cia Kong Liang menjadi ketua. Ia tidak suka kepada Tan Cun Sek, murid itu, dan untuk mencegah agar orang yang bukan keluarga Cia ini menjadi ketua baru, Kui Hong mengikuti pemilihan ketua. Ia berhasil mengalahkan Tan Cun Sek dan gadis inilah yang dipilih menjadi ketua baru menggantikan ayahnya!

Kemudian ternyata bahwa Tan Cun Sek memang bukan orang baik-baik. Setelah ia dikalahkan Kui Hong dalam pemilihan ketua Cin-ling-pai, dia minggat dan mencuri pusaka Cin-ling-pai, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Akhirnya, dalam pertempuran melawan para pendekar, Tan Cun Sek tewas dan pedang Hong-cu-kiam kembali ke tangan Cia Kui Hong. Semua peristiwa itu di ceritakan dalan kisah SI KUMBANG MERAH.

Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai hampir dua tahun yang lalu, ia menyerahkan kepengurusan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu tokoh Cin-ling-pai yang masih susiok (paman seperguruan) sendiri. Ia sendiri pergi merantau untuk mencari Tang Cun Sek dan merampas kembali pusaka Hong-cu-kiam.

Gouw Kian Sun ternyata cukup pandai memimpin Cin-ling-pai. Apalagi masih ada kakek Cia Kong Liang yang menjadi pengawas dan penasihat, walaupun kakek ini lebih banyak bertapa di dalam kamarnya. Dan Gouw Kian Sun yang usianya empat puluh dua tahun dan belum berkeluarga itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Dia telah menguasai semua ilmu dari Cin-ling-pai, kecuali beberapa ilmu rahasia yang tidak di kuasai sembarang murid.


                   ***************

 Diantara ilmu-ilmu silat dari keluarga Cia di Cin-ling-pai, yang paling ampuh antara lain adalah ilmu Toat-po-san, semacam ilmu kekebalan yang membuat kulit tubuh keras dan kuat menahan pukulan dan bahkan bacokan senjata tajam. Thian-te Sin-ciang merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandung tenaga sin-kang amat kuatnya. Siang-bhok-kiam-sut adalah ilmu pedang khas Cin-ling-pai yang asalnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu akan tetapi kini dapat pula dimainkan dengan pedang baja yang ringan. Thai-kek Sin-kun adalah ilmu silat yang amat halus namun kokoh kuat, bukan saja dapat dipergunakan untuk memperkuat tubuh sebagai latihan senam lahir batin, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai ilmu bela diri yang ampuh.

Di samping ilmu silat tangan kosong Thai-kek Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, Cin-ling-pai memiliki pula ilmu silat tangan kosong San-in Kun-hwat (Silat Awan Gunung) dan Im-yang Sin-kun. Juga ilmu tongkat pasangan Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga) amat tangguh.

Akan tetapi, semua ilmu silat Cin-ling-pai itu merupakan ilmu silat tinggi yang tentu saja masih ada tandingannya, yaitu ilmu-ilmu dari partai-partai persilatan besar. Hanya ada satu ilmu Cin-ling-pai yang amat ditakuti semua tokoh kang-ouw. Ilmu itu di sebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Kekuatan Mengganti Semangat). Ilmu ini sebenarnya merupakan kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang bekerja di tubuh orang yang menguasai ilmu itu, dan hebatnya, setiap kali bagian tubuh lawan menempel pada tubuh pemilik ilmu ini, maka tenaga sin-kang lawan akan terhisap dan pindah ke dalam tubuh si pemilik ilmu.

Ilmu ini amat di takuti orang, karena orang yang lebih tinggi ilmu silatnya pun dibuat tidak berdaya kalau menghadapi ilmu “menyedot sin-kang lawan” ini. Sayang tidak sembarang orang mampu menguasai ilmu ini. Untuk menguasainya, dibutuhkan bakat yang besar dan juga keadaan tubuh yang sesuai. Oleh karena itu, jarang tokoh Cin-ling-pai menguasai Thi-khi-i-beng. Hanya ayah dari mendiang Cia Bun Houw yang bernama Cia Keng Hong yang dapat menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Bahkan Cia Bun Houw juga tidak mampu mewarisinya. Apalagi Cia Kong Liang putera Cia Bun Houw, dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng.

Puteranya yang lebih lihai, yaitu Cia Hui Song, juga tidak dapat menguasai ilmu luar biasa itu, apalagi Cia Kui Hong. Seolah-olah ilmu yang amat hebat itu telah lenyap dari Cin-ling-pai karena tidak ada lagi keturunan Cin-ling-pai yang menguasainya. Untuk masa itu, kiranya hanya satu orang saja yang menguasainya, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang menjadi majikan penghuni Pulau Teratai Merah!

Demikianlah sedikit catatan mengenai Cin-ling-pai dan para tokohnya. Pada waktu itu, ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong, sudah lama meninggalkan Cin-ling-pai dan yang mewakilinya mengatur perkumpulan itu adalah Gouw Kian Sun. dia dibantu oleh seorang murid Cin-ling-pai lain yang termasuk murid keponakannya bernama Ciok Gun, murid berusia tiga puluh dua tahun yang sudah terkenal karena kegagahannya.

Berkat kesungguhan hati dua orang inilah maka biarpun Cin-ling-pai ditinggalkan ketuanya sampai lama, namun semua murid Cin-ling-pai taat dan mematuhi peraturan, dan selalu menjaga nama baik perkumpulan dengan setia.

Pagi yang cerah sekali. Matahari sudah mulai memancarkan cahayanya yang hangat. Ciok Gun bersama dua orang anggauta Cin-ling-pai yang lain memasuki sebuah hutan di bukit sebelah barat perkampungan mereka dengan membawa busur dan anak panah.

Pagi hari itu Ciok Gun keluar sendiri untuk berburu di hutan. Bulan itu banyak terdapat ayam hutan dan kelinci di hutan yang mereka masuki itu. Hanya pada bulan-bulan tertentu banyak kelinci gemuk dan ayam hutan berkeliaran di situ dan itulah waktu untuk berburu.

Ciok Gub adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun yang bertubuh jangkung dan tegap. Di antara murid Cin-lingpai tingkat kedua, dialah merupakan murid terpandai, maka dia dipercaya oleh sesioknya, Gouw Kian Sun, untuk menjadi wakil dan pembantu utamanya. Bahkan untuk mengamati dan memimpin latihan silat, Ciok Gun mewakili susioknya itu.

Dua orang temannya adalah para sutenya yang juga bertingkat dua dan mereka telah memiliki ilmu silat Cin-ling-pai yang cukup tangguh. Mereka berdua itu adalah Teng Sin yang berusia duapuluh lima tahun dan Koo Ham berusia dupuluh tujuh tahun. Teng Sin berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar, sedangkan Koo Ham tinggi kurus dengan kulit kehitaman.

Mereka berdua itu walaupun belum setangguh Ciok Gun, namun sudah merupakan dua orang pendekar yang berkepandaian tinggi dan sukar dikalahkan. Tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu pada pagi hari ini berburu, selain untuk bersenang-senang, juga hasilnya nanti akan mereka serahkan kepada susiok mereka, Gouw Kian Sun dan para susiok lain, yaitu para murid tingkat pertama dari Cin-ling-pai.

Diantara tiga orang murid tangguh Cin-ling-pai itu, hanya Koo Ham yang sudah menikah walaupun dia dan isterinya belum mendapatkan turunan. Teng Sin dan Ciok Gun belum berumah tangga, masih membujang walaupun Teng Sin sudah berusia duapuluh lima tahun dan Ciok Gun bahkan sudah tiga puluh dua tahun.

Setelah memasuki hutan, Teng Sin yang wataknya gembira itu berbisik.
“Lihat di pohon besar sana itu ada ayam-ayam hutan. Mari kita berlomba, siapa diantara kita yang dapat lebih dulu menjatuhkan seekor!”

Koo Ham tersenyum.
“Hemm, mana engkau menandingi Ciok-suheng yang ahli menggunakan panah?”

Ciok Gun tersenyum pula.
“Aih, belum tentu. Hasil-hasil berburu tidak di tentukan sepenuhnya oleh keahlian memanah. Juga nasib memegang peran penting. Yang bernasib terang dalam berburu, setiap langkah kakinya membawa dia berhadapan langsung dengan binatang buruan, sebaliknya kalau bintang sedang gelap, sehari penuh tak pernah bertemu dengan seekorpun binatang buruan.”

Setelah dekat dengan pohon besar itu, mereka melihat ada tiga ekor ayam hutan bertengger di cabang pohon dan bergerak-gerak dengan gesitmya. Mereka segera mengambil tempat yang enak, mempersiapkan busur dan anak panah lalu membidik dan menyusup dekat.

Mereka sudah menarik tali busur. Akan tetapi milik Ciok Gun meluncur lebih dulu dan lebih cepat dan sasarannya terkena dengan tepat. Seekor ayam hutam jatuh ke bawah dengan leher ditembusi anak panah. Dua ekor ayam hutan melayang jatuh pula dengan perut tertembus anak panah yang dilepas Teng Sin dan Koo Ham. Mereka bertiga cepat mengambil ayam hutan itu dan saling memperlihatkan kepada teman.

“Nah, kau lihat! Mana kita mampu menandingi kepandaian Ciok-suheng?” kata Koo Ham sambil tertawa.

Teng Sin harus mengakui keunggulan suhengnya itu. Anak panahnya dan anak panah Koo Ham menembus perut ayam hutan sedangkan anak panah Ciok Gun menembus leher! Tentu saja yang menembus leher itu lebih baik karena daging badan ayam tidak rusak oleh anak panah dan masih utuh, tidak seperti bidikan mereka yang menembus perut dan tentu saja hal ini merugikan karena sebagian daging ayam itu menjadi rusak.

Akan tetapi untuk membidik ke arah leher sungguh tidak mudah. Sedikit saja selisihnya akan gagal! Mereka masih belum sanggup membidik leher dan mengenai dengan tepat seperti yang dilakukan suheng mereka.

Bagaimanapun juga, memanah ayam hutan yang gerakannya demikian lincah dan gesit, bukan pekerjaan yang mudah dan mereka bertiga itu sudah membuktikan kelihaian mereka. Apalagi memanah lawan seorang manusia, betapa akan mudahnya untuk merobohkan lawan itu bagi mereka!

Belum setengah hari lamanya, tiga orang murid Cin-ling-pai yang gagah ini telah membunuh dua puluh lebih ayam hutan dan belasan ekor kelinci. Mereka lalu bersepakat untuk pulang ke perkampungan mereka karena hasil buruan itu sudah cukup banyak.

Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari hutan, di lereng bukit yang sunyi itu, tiba-tiba mereka berhadapan dengan dua orang yang entah muncul dari mana, tahu-tahu sudah berada di depan mereka seperti setan.

Tentu saja tiga orang murid Cin-ling-pai itu terkejut sekali. Mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah banyak pengalaman, maka mereka dapat menduga bahwa tentu dua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga gerakan mereka amatlah cepatnya. Mereka lalu mengamati penuh perhatian karena belum pernah mereka melihat dua orang ini di daerah itu.

Yang seorang adalah seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya kekuning-kuningan namun cukup tampan, mulutnya tersenyum mengandung ejekan. Rambutnya yang masih hitam itu digelung ke atas dan mengkilap oleh minyak, di jepit jepitan rambut dari emas, dan pakaiannya adalah jubah pendeta. Di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang).

Adapun orang kedua amat menarik perhatian. Ia seorang wanita yang usianya sekitar duapuluh sampai duapuluh lima tahun. Sukar menaksir usia wanita ini sebenarnya karena wajahnya yang cantik manis itu tertutup bedak tebal. Bibir dan pipinya di warnai merah. Kalau pria itu cukup pesolek, wanita muda ini lebih pesolek lagi. Pakaiannya gemerlap indah, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya di ukir dan diwarnai indah, gambar bunga-bunga dan kupu-kupu. Wanita inipun tersenyum manis dan agaknya ia yang menjadi juru bicara karena temannya, pria yang berpakaian seperti pendeta tosu (pendeta agama To) itu diam saja, hanya mengelus jenggot sambil tersenyum mengejek.

“Kalian bertiga adalah murid-murid Cin-ling-pai yang terkenal itu, bukan?” tanya si wanita dan ketika ia bicara, gerak bibirnya jelas menunjukkan kegenitannya.

Mulut itu memang nampak penuh gairah menantang dan ketika ia bicara, bibirnya bergerak-gerak memikat, nampak giginya berderet rapi dan putih, dan rongga mulutnya yang merah. Lidah yang kecil panjang berwarna merah muda itu kadang menjilat bibir penuh daya pikat.

Namun tiga orang murid Cin-ling-pai itu adalah tiga orang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin bersih dan teguh. Ciok Gun segera menjawab dengan pandang mata penuh selidik dan alis berkerut karena dia merasa tidak suka melihat sikap wanita cantik itu yang jelas bukan seorang wanita sopan.

“Memang benar kami murid-muri Cin-ling-pai dan pada saat ini kami berada di daerah kami sendiri. Sebaliknya ji-wi (anda berdua) adalah orang asing. Ji-wi siapakah, dari mana dan ada keperluan apa berada di daerah ini?” Pertanyaan ini cukup tegas dan tidak ramah walaupun nadanya halus dan sopan.

Wanita itu tertawa, tertawa bebas sehingga mulutnya terbuka lebar namun karena ia memang cantik, sikapnya ini tidak membuat ia nampak buruk.

“Heh-heh-heh, alangkah gagahnya! Tentu engkau yang bernama Ciok Gun, murid utama Cin-ling-pai dan engkau yang membantu Gouw Kian Sun memimpin Cin-ling-pai, bukan?”

Diam-diam Ciok Gun terkejut. Wanita asing ini agaknya tahu segala tentang Cin-ling-pai. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan wanita ini seorang sahabat baik ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong yang kini sedang merantau dan belum pulang, pikirnya. Dia harus berhati-hati dan tidak bersikap kurang hormat.

“Benar sekali nona. Ketua kami, yaitu Cia-pangcu, tidak berada di rumah dan yang mewakilinya adalah su-siok Gouw Kian Sun, sedangkan saya hanya diperintahkan untuk membantu su-siok.”

Wanita itu tersenyum manis, lalu memandang kepada Teng Sin dan Koo Ham.
“Dan dua orang ini murid-murid Cin-ling-pai tingkat rendahan?”

Wajah Ciok Gun berubah merah. Sahabat ketuanya atau bukan, wanita ini sikapnya amat buruk, lancang mulut dan sombong.

“Mereka adalah dua orang suteku!” katanya, tidak begitu hormat lagi. “Sesungguhnya, siapakah ji-wi dan ada keperluan apa…….”

“Ciok Gun, mulai saat ini engkau tidak membantu Gouw Kian Sun atau Cia Pangcu (Ketua Cia) lagi, melainkan membantu aku!”

“Ba ….. baik….. eh, apa artinya ini?” Ciok Gun terkejut bukan main karena di luar keinginannya, begitu saja dia menyanggupi untuk menjadi pembantu wanita yang tidak di kenalnya itu! Hanya dengan memaksa hatinya memberontak dia dapat menahan diri dan kini dia memandang dengan mata terbelalak. “Nona, apa maksudmu? Apa artinya semua ini?”

Kembali wanita itu tertawa.
“Ha-ha-heh-heh! Artinya, laki-laki yang gagah, bahwa mulai saat ini akulah yang berkuasa dan engkau harus mentaati semua perintahku!”

Selagi Ciok Gun masih tertegun karena bukan saja terheran mendengar ucapan itu, akan tetapi juga karena ucapan itu ditujukan kepadanya, dia seperti terpengaruh kekuatan yang aneh, dua orang sutenya yang tidak terpengaruh sudah menjadi marah bukan main.

“Sungguh lancang mulut!” bentak Teng Sin marah sambil mengepal tinju dan melangkah dekat.

“Siapakah engkau ini wanita yang berani bersikap kurang ajar terhadap suheng?” Koo Ham juga membentak sambil melangkah maju.

Wanita itu memandang kepada mereka dengan tersenyum mengejek, lalu ia mengibaskan tangannya ke arah mereka seperti orang mengusir lalat sambil berkata,


 “Huh, kalian ini dua orang anak kecil tahu apa?”

Tentu saja dua orang murid Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Mereka adalah tokoh-tokoh Cin-ling-pai tingkat dua yang sudah memiliki kegagahan dan kepandaian tinggi, dan kini diperlukan seperti dua orang anak kecil oleh seorang perempuan muda!

“Nona, kami adalah pendekar-pendekar yang tidak sudi menyerang wanita, kecuali kalau wanita itu seorang penjahat yang patut dibasmi. Karena itu, kalau engkau seorang wanita baik-baik, pergilah dari sini dan jangan sampai membuat kami marah!” kata Teng Sin dengan sikap gagah.

Bagaimanapun marahnya, dia masih ingat bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita dan tidak ada alasan bagi mereka untuk saling bermusuhan.

Wanita itu tersenyum memandang kepada Teng Sin dari kepala sampai ke kaki seperti orang yang sedang menaksir sebuah benda dagangan.

“Hemmm, engkau ini anak kecil mengaku pendekar? Kalau aku bukan orang baik-baik dan tidak mau pergi dari sini, engkau akan bisa berbuat apakah?”

“Keparat! Kalau begitu terpaksa aku harus mengusirmu dengan kekerasan!” bentak Teng Sin.

“Hi-hik, kukira engkau tidak mampu, cucuku!” wanita itu mengejek.

Ini sudah keterlaluan dan Teng Sin menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Tentu saja dia masih belum tega untuk mencelakai wanita itu, hanya ingin memberi hajaran saja, maka dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dia menampar ke arah pundak kiri wanita itu. Biarpun dia murid tingkat dua, akan tetapi Teng Sin telah dapat menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang cukup kuat sehingga ketika tangannya menyambar dengan tamparan itu, terdengar suara dan angin menyambar keras.

“Wuuuuttt…….. plakk!”

Tamparan itu mengenai pundak kiri wanita itu karena memang tidak di tangkis atau dielakkan. Teng Sin terbelalak karena merasa khawatir sekali melihat betapa tamparannya itu mengenai pundak lawan tanpa di tangkis atau dielakkan. Kiranya wanita itu tidak pandai ilmu silat!

Akan tetapi dia semakin menjadi heran karena tangannya mengenai pundak yang begitu lunak seperti segumpal daging tanpa tulang saja dan tenaga Thian-te Sin-ciang itu seperti tenggelam dan lenyap pada saat itu tangan kiri wanita itu bergerak secepat kilat sehingga tidak nampak. Tangan itu dengan jari terbuka menusuk ke arah dada Teng Sin.

“Hukkkk…..!”

Teng Sin terjengkang dan darah segar muncrat dari mulutnya. Koo Ham dan Ciok Gun terkejut sekali. Mereka berlutut memeriksa dan…… ternyata Teng Sin telah tewas! Di ulu hatinya nampak tanda merah kehitaman, bekas telapak tangan wanita itu dan baju bagian dada itu hancur!

Dengan mata terbelalak Koo Ham memandang sutenya yang tewas, lalu dia melompat sambil mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya.

“Iblis betina, engkau berani membunuh saudaraku?” bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, dan karena dia maklum betapa lihainya wanita itu, begitu menyerang dia memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah dipelajarinya, walaupun belum sempurna benar.

Sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran pedang, wanita itu berseru.
“Aih, inilah Siang-bhok Kiam-sut? Kaku sekali!”

Kembali ia mengelak sampai tiga kali berturut-turut ketika Koo Ham mendesaknya dengan serangan pedang.

“Tentu saja kaku, karena selain ilmunya itu belum sempurna, juga seharusnya untuk ilmu itu dipergunakan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum)!” tiba-tiba pendeta yang sejak tadi hanya memandang saja, menjawab ucapan wanita itu.

“Wah, kalau begitu bocah ini tidak ada gunanya!” kata wanita itu dan pada saat itu, pedang di tangan Koo Ham sudah menyambar dengan tusukan ke arah lambung.

Wanita itu menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Pedang meluncur ke dekat lambung dan begitu tangan kirinya bergerak, ia telah menangkap pedang itu dengan tangan kiri!

Koo Ham yang merasa marah karena kematian Teng Sin tidak peduli dan cepat dia menarik pedangnya untuk membuat tangan wanitu itu tersayat. Akan tetapi pedangnya tidak bergerak seolah di jepit bukan dengan tangan melainkan dengan jepitan baja yang amat kuat! Kembali dia mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya, dan pada saat itu, tangan kanan wanita itu bergerak. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga Koo Ham tidak menduganya.

“Takk!” jari-jari tangan yang kecil halus itu menampar pelipis kepalanya dan tubuh Koo Ham terpelanting roboh di dekat mayat Teng Sin.

Ketika Ciok Gun memandang, ternyata Koo Ham telah tewas pula dan di pelipis kepala yang tertampar itupun terdapat tanda bekas jari tangan merah kehitaman!

Ciok Gun maklum betapa gawatnya keadaan. Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati sekali melihat betapa dua orang sutenya tewas di tangan wanita itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa agaknya orang itu memusuhi Cin-ling-pai, maka dia menahan kemarahannya dan ingin tahu siapa mereka dan mengapa begitu kejam membunuh dua orang murid Cin-ling-pai.

Karena maklum bahwa wanita ini lihai bukan main, Ciok Gun sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang melintang di depan dada, dia memandang wanita itu dengan mata tajam penuh selidik.

“Siapakah sesungguhnya engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?”

Wanita itu terkekeh lalu menoleh kepada tosu yang sejak tadi berdiri diam saja itu.
“Suhu, lihat betapa gagahnya dia! Hayo suhu, kenapa engkau sejak tadi diam saja? Membiarkan seorang wanita bekerja kelelahan. Sekarang giliranmu untuk menghadapi Ciok Gun ini. Akan tetapi ingat, jangan bunuh dia, suhu, sesuai dengan rencana kita.”

“Hemm, untuk mengurus cacing ini saja harus aku turun tangan sendiri?” Tosu itu mengomel, akan tetapi dia melangkah maju menghadapi Ciok Gun. “Ciok Gun, seperti telah dikatakan oleh muridku tadi, mulai saat ini engkau harus menjadi pembantu kami. Ketahuilah bahwa kami akan menjadikan Cin-ling-pai bangkit kembali menjadi perkumpulan besar yang akan merajai seluruh perkumpulan dan partai persilatan. Dan engkau akan membantu kami!”

“Aku tidak sudi!” Ciok Gun membentak. “To-tiang, engkau ini agaknya seorang pendeta, kenapa bersikap begini kejam membiarkan muridmu membunuh dua orang suteku? Siapakah engkau?”

“Aku bernama Kim Hwa Cu, masih ada dua orang suhengku bernama Siok Hwa Cu dan Lan Hwa Cu. Ia adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, murid kami bertiga. Sekarang mau tidak mau engkau harus menjadi pembantu kami!”

Ciok Gun belum pernah mendengar nama tiga orang pendeta itu, akan tetapi dia merasa pernah mendengar di dunia kang-ouw disebutnya nama Tok-ciang Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun).

“Biar sampai mati aku tidak sudi! Sekarang kalian harus mempertanggung jawabkan kematian dua orang suteku!” berkata demikian, diapun menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada tosu di depannya itu.

Tosu yang bernama Kim Hwa Cu itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya. Dia menggerakkan tangan menangkis dan ujung lengan baju yang lebar dan panjang menyembunyikan tangannya itu menyambut pedang.

“Plakk!”

Ciok Gun berseru kaget karena tangkisan ujung lengan baju itu sedemikian kuatnya sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya lagi dan terpental lepas dari tangannya dan terlempar sampai jauh! Hampir dia tidak percaya akan apa yang dialaminya.

Dua orang surtenya, masing-masing dalam segebrakan saja tewas di tangan wanita cantik genit itu, sedangkan dia sendiri dalam segebrakan saja sudah kehilangan pedangnya melawan tosu yang tinggi kurus ini. Bagaimana mungkin ini? Ketuanya sendiripun tidak mungkin dapat membuat dia melepaskan pedang dalam segebrakan saja!

Ciok Gun adalah murid tingkat dua yang sudah ahli. Bahkan diantara para murid setingkat dia yang paling lihai dan diapun ahli dalam ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung). Maka, biarpun pedangnya sudah terlempar, dia tidak mau menyerah dan kini dia sudah menyerang dengan kedua tangan kosong, memainkan ilmu silat San-in Kun-hoat!

Dua kali pukulan dan tendangannya dihindari tosu itu dengan elakan.
“Bi Hwa, perhatikanlah. Inilah San-in Kun-hoat!” kata kakek itu sambil terus mengelak, seolah memberi kesempatan kepada Ciok Gun untuk mempertontonkan ilmu silat itu.

“Hemm, sudah lumayan gerakannya.” Wanita itupun memberi komentar. “Tapi jangan kau lukai dia, suhu. Dialah yang akan membantu kita.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Bi Hwa. Nah, kurobohkan dia!” kata tosu itu.
.
Tentu saja Ciok Gun yang mendengarkan percakapan itu terkejut dan diapun cepat memasang kuda-kuda untuk membela dirinya yang akan di robohkan tosu itu.

Akan tetapi pada saat itu, dua ujung lengan baju menyambar dari kanan kiri. Demikian cepatnya dan demikian dahsyatnya sehingga biarpun Ciok Gun berusaha untuk menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan, tetap saja pundaknya tersentuh ujung lengan baju dan diapun roboh tertotok dan pingsan!

Ciok Gun membuka matanya. Sejenak dia nanar dan merasa tubuhnya panas. Ketika nanarnya hilang dan dia menyadari bahwa dia berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar, dia terkejut dan dia segera teringat akan peristiwa di dalam hutan itu. Mimpikah dia! Mimpi buruk tentang kedua orang sutenya yang tewas? Dimana dia?

Dia bangkit duduk dan makin kaget mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat dan tadi tubuhnya tertutup selimut. Dan ada yang bergerak di sebelahnya. Dia menoleh dan Ciok Gun berseru kaget. Wanita cantik itu berada di dekatnya, juga tanpa pakaian. Wanita yang dilihatnya dalam “mimpi” telah membunuh dua orang sutenya. Bukan mimpi kalau begitu! Teringatlah dia betapa dia melawan tosu yang amat lihai dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan!

“Keparat……!” serunya dia hendak meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba wanita itu merangkulnya dan diapun tidak mampu meronta.

“Ciok Gun, hendak kemana engkau? Ingat, engkau adalah pembantuku, pembantu kami. Aih, engkau memang gagah…..”

Wanita itu mendekap dan mencium. Ciok Gun hendak meronta tetapi tidak dapat dan diapun seperti tenggelam ke dalam lautan yang amat panas. Dia tidak lagi menyadari apa yang dia lakukan dengan wanita itu. Ada dorongan dalam tubuhnya yang membuat dia seperti mabuk, seperti dalam mimpi, namun nalurinya membisikkan bahwa dia telah melakukan hal yang sungguh tidak pantas, yang berlawanan dengan suara hatinya.

Setelah semua berlalu, Ciok Gun terengah-engah dan setelah dorongan hasrat yang tidak wajar itu terpuaskan, diapun ingat kembali. Dia menyadari bahwa dirinya terpengaruh bius dan obat racun perangsang yang membuat dia lupa segala. Dia meronta dan teringat bahwa wanita cantik di sampingnya yang kini rebah telentang dengan mata terpejam dan mulut tersenyum itu adalah orang yang telah membunuh Teng Sin dan Koo Ham. Wanita ini adalah iblis betina yang amat jahat. Membunuh dua orang sutenya. Menawan dia bahkan kini menggunakan cara yang amat keji untuk memaksa dia melakukan perbuatan yang amat menjijikkan bagi kesadarannya.

“Jahanam kau!”

Dan diapun mengerahkan tenaganya memukul kepala wanita yang rebah tersenyum dan memejamkan mata itu.

“Wokkk!”

Bukan kepala wanita itu yang terkena hantamannya melainkan bantal yang tadi ditidurinya dan sebelum Ciok Gun dapat menyerang lagi, sebuah totokan jari tangan wanita itu membuat dia roboh lemas di atas pembaringan.

“Hi-hik, Ciok Gun, engkau masih saja liar dan ganas!” kata wanita itu sambil merangkul kembali dan menciumi Ciok Gun yang terpaksa hanya mampu memejamkan mata karena tidak mampu bergerak untuk menghindar. Bahkan sisa hawa panas yang membuat dia dibakar hasrat itu masih ada sehingga diam-diam dengan hati ngeri dia merasakan kenyataan betapa belaian wanita itu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi tubuhnya!

Dia hendak meronta, hendak menolak, namun tubuhnya seolah bukan miliknya lagi dan tidak dapat dikuasainya. Karena tubuhnya kini tertotok dan tidak mampu bergerak, maka terjadi perang perasaan di dalam dirinya antara melayani rayuan dan belaian wanita itu dan menolaknya.

Dan tiba-tiba ketika wanita itu mendengar rintih dan desahnya, totokan pada tubuhnya dibebaskan dan diapun sekali lagi tenggelam ke dalam gairah nafsu yang berkobar dan tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.

Setelah ulangan itu selesai, Ciok Gun merasa demikian tidak berdaya sehingga dia menangis di atas pembaringan yang dianggapnya mendatangkan peristiwa jahanam yang menghancurkan segala martabatnya itu. Dan wanita itu merangkul dan membelainya, menghiburnya.

“Ciok Gun, sudahlah, tenangkan hatimu. Engkau sudah menjadi kekasihmu, bukan? Nah, mulai sekarang engkau menjadi pembantuku dan kita akan selalu hidup senang…..”

“Tidak……! Tidak sudi…..!”

Ciok Gun meronta dan melompat turun dari atas pembaringan. Dia maklum bahwa menghadapi wanita ini, dia tidak berdaya dan kalau dia menyerangpun dia tidak akan menang. Dia sudah ternoda, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi para pemimpin Cin-ling-pai dan menceritakan semua ini? Dia lalu meloncat ke arah dinding dan bermaksud untuk membenturkan kepalanya ke dinding itu agar kepalanya pecah. Mati lebih baik daripada apa yang dia alami waktu itu!

“Plakk!”

Kepalanya tidak membentur dinding melainkan di tahan oleh tangan lembut wanita itu dan di lain saat, diapun sudah roboh kembali karena di totok secara aneh oleh wanita yang bukan main lihainya itu.


“Hemm, keras kepala!”

Kini wanita itu tidak lagi bersikap lembut. Ia mengangkat tubuh Ciok Gun yang sudah tidak mampu bergerak dan melemparkannya ke atas pembaringan kembali. Ia lalu mengenakan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.

Dengan rambut masih awut-awutan, bedak luntur dan pemerah bibir dan pipi juga “berserakan”, wanita itu memasuki sebuah ruangan yang luas dimana duduk tiga orang pria yang berpakaian pendeta. Seorang diantara mereka adalah pendeta yang tadi bersamanya menghadang perjalanan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.

Melihat munculnya wanita itu dengan wajah dan rambut kusut, tosu yang tadi mengaku bernama Kim Hwa Cu tertawa akan tetapi pandang matanya membayangkan iri dan tak suka hati.

“Bagus! Kami menunggu disini dan engkau lupa diri bersenang-senang sepuasnya dengan tawananmu, ya?”

Wanita itu cemberut, lalu dengan sikap kasar duduk di atas kursi menghadapi meja dan menuangkan arak dalam cawan lalu meminumnya sampai tiga kali. Sikapnya sama sekali tidak menghormat kepada tiga orang pendeta itu!

Siapakah mereka? Seperti pengakuan tosu pertama itu kepada Ciok Gun tadi, mereka itu adalah Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus bermuka kuning yang usianya sekitar lima puluh tahun. Adapun dua orang tosu lainnya adalah dua orang suhengnya (kakak seperguruan). Yang berperut gendut pendek bermuka hitam dan bermata lebar adalah Siok Hwa Cu, berusia limapuluh enam tahun. Tosu ketiga yang paling tua, usianya sekitar enampuluh tahun bernama Lan Hwa Cu. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya kasar, akan tetapi sikapnya lembut seperti wanita.

Tiga orang ini boleh jadi tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, apalagi di daerah Cin-ling-san. Akan tetapi di dunia barat dan utara, mereka ini di kenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw). Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan golongan sesat berkedok agama yang suka memberontak terhadap pemerintah. Pek-lian-kauw memiliki banyak sekali orang pandai, dan tiga orang ini adalah tiga diantara para tokoh besarnya yang telah memiliki kesaktian yang sukar di cari tandingan!

Adapun wanita itu adalah murid mereka bertiga, ya murid ya kekasih! Keadaan seperti ini tidaklah aneh di dalam dunia golongan sesat, dimana aturan dan kesusilaan oleh mereka yang berkuasa dan yang lebih kuat. Su Bi Hwa, gadis berusia duapuluh lima tahun itu, sejak kecil menjadi murid Pek-lian Sam-kwi. Semua ilmu tiga orang sakti itu telah dipelajarinya dalam kejahatan dan kekejian, gadis ini tidak memalukan tiga orang gurunya sehingga ia mendapat julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun)!

Ia seorang wanita yang selain lihai, juga berwatak kejam dan cabul. Bukan saja secara terang-terangan ia membiarkan dirinya menjadi kekasih tiga orang gurunya, terutama sekali Kim Hwa Cu yang terkenal paling cabul diantara mereka bertiga, juga ia begitu menyerahkan diri kepada pria manapun yang disukainya. Tiga orang gurunya tidak dapat melarang, juga tidak mau melarangnya. Inilah “kebebasan” yang dianut oleh orang-orang golongan sesat, dimana tidak ada lagi peraturan, tidak ada lagi kesusilaan, tidak ada lagi hukum dan kesopanan. Akan tetapi justeru inilah yang menimbulkan kerukunan dan persatuan diantara mereka!

Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan murid mereka ini datang jauh dari barat dan mereka membawa tugas yang diperintahkan pimpinan pusat Pek-lian-kauw. Gerakan Pek-lian-kauw selalu gagal dimana-mana, bukan saja karena kekuatan pemerintah, melainkan terutama sekali karena adanya para pendekar yang selalu menentangnya. Maka, tahulah para pimpinan pusat Pek-lian-kauw bahwa selama mereka tidak dapat menguasai para pendekar, tidak dapat merajai dunia kang-ouw, akan sukarlah bagi mereka untuk mengalahkan pemerintah.

Dan Pek-lian Sam-kwi kini mendapat tugas yang amat berat dan sulit, yaitu berusaha dengan cara apapun untuk dapat menguasai dunia persilatan, menundukkan para pendekar dan para tokoh kang-ouw, baik golongan putih maupun golongan hitam. Para pucuk pimpinan Pek-lian-kauw yakin akan kesanggupan dan kemampuan Pek-lian Sam-kwi yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu dari Pek-lian-kauw yang selain lihai ilmu silatnya dan kuat ilmu sihirnya, juga mereka memiliki seorang murid yang terkenal kecerdikannya, yaitu Su Bi Hwa yang berjuluk Tok-ciang Bi Moli, yang dalam hal ilmu silat, hanya sedikit di bawah tingkat guru-gurunya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sekuat Pek-lian Sam-kwi, namun ia memiliki kecerdikan yang mengalahkan semua gurunya.

Su Bi Hwa yang mengatur untuk menguasai dan “meminjam” nama Cin-ling-pai untuk mengacau dunia para pendekar dan menguasai mereka! Dan untuk melaksanakan siasat yang amat berbahaya itu, diam-diam mereka memilih bukit itu yang tidak berapa jauh dari perkampungan Cin-ling-pai sebagai tempat persembunyian mereka. Disitu mereka membangun sebuah rumah yang tersembunyi dalam hutan, sebuah rumah yang lengkap dengan segala peralatan, bahkan yang mereka pasangi alat-alat rahasia.


cerita silat online karya kho ping hoo


Mereka telah mulai dengan rencana mereka, yaitu dengan menyelidiki semua keadaan di Cin-ling-pai, para pemimpin mereka, kekuatan dan kelemahan mereka dan pada hari itu, mereka telah mulai turun tangan, membunuh dua orang murid Cin-ling-pai yang mereka kubur secara rahasia, dan menawan Ciok Gun. Mereka hendak menundukkan Ciok Gun dan menjadikan pembantu wakil ketua Cin-ling-pai itu sebagai boneka mereka!


Demikianlah keadaan empat orang yang penuh rahasia itu. Tentu saja Bi Hwa merasa mendongkol, kecewa dan marah sekali melihat betapa bujuk rayunya terhadap Ciok Gun telah gagal! Biarpun dengan penggunaann obat bius dan obat perangsang dia telah dapat memaksa Ciok Gun jatuh ke dalam pelukannya, namun bukan ini yang menjadi tujuannya. Ia ingin agar tokoh Cin-ling-pai itu benar-benar jatuh cinta dan taat kepadanya.

Kiranya pria gagah itu sama sekali tidak mau tunduk, bahkan hampir saja mau membunuh diri! Maka, dengan hati mendongkol ia lalu menotok Ciok Gun dan setelah melemparnya ke atas pembaringan, ia lalu menghampiri ruangan dimana tiga orang gurunya berada. Dan ia di sambut dengan teguran Kim Hwa Cu yang sedikit banyak membayangkan perasaan cemburu!

Hal ini membuat hati Bi Hwa semakin mengkal lagi. Ia duduk di atas kursi, menghadapi tiga orang gurunya dan menjawab teguran Kim Hwa Cu yang mengatakan bahwa ia hanya bersenang-senang dengan tawanan.

“Sam-suhu (guru ke tiga) menganggap aku bersenang-senang, ya? Huh, kalau tidak ingat akan tugas, sudah kuhancurkan kepala Ciok Gun itu!”

“Ehhh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi?” tanya Lan Hwa Cu, guru pertama, suaranya tinggi seperti suara wanita, dan kalau bicara matanya melirik genit.

Diantara Pek-lian Sam-kwi, orang pertama yang paling tua ini yang menganggap Bi Hwa sebagai murid dan seperti anak sendiri karena dia tidak pernah bersikap mesra terhadap Bi Hwa dan terhadap wanita manapun juga. Lan Hwa Cu ini mempunyai kelainan dan dia lebih suka mendekati seorang pemuda tampan ketimbang seorang gadis cantik.

“Dia keras kepala. Sampai bagaimanapun tidak mau tunduk malaupun pengaruh obat itu telah membuat dia meniduriku. Akan tetapi, perasaan hatinya tak pernah tunduk, bahkan tadi hampir saja dia membunuh diri.”

“Huh-huh! Kalau begitu bunuh saja dia. Tidak ada gunanya!” kata Siok Hwa Cu yang berwatak kasar, keras dan kejam.

Kim Hwa Cu juga mengagguk-angguk.
“Benar, kalau tidak dibunuh, untuk apa?”

Bi Hwa makin cemberut.
“Ji-suhu (guru kedua) dan Sam-suhu (guru ke tiga) hanya mau mudahnya saja, tanpa menggunakan kecerdikan sehingga aku khawatir tugas kita akan gagal kalau menuruti kata-kata kalian.”

Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu saling pandang dan menggerakkan pundak. Mereka harus mengakui bahwa menghadapi murid ini, mereka tidak berdaya, karena mereka tidak dapat menduga akal apa yang akan dipergunakan oleh murid yang cantik dan amat cerdik itu.

“Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu marah terus. Hayo ceritakan, setelah Ciok Gun tak berhasil kau bujuk untuk membantu kita, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya terhadap dia?”

“Twa-suhu (guru tertua), tidak ada lain jalan. Kita harus mengubah rencana. Ciok Gun kita jadikan mayat hidup dan melalui dia, kita melumpuhkan para pimpinan Cin-ling-pai. Dapat diatur begini ……”

Gadis itu lalu bicara berbisik-bisik walaupun mereka merasa yakin bahwa disitu tak mungkin ada yang ikut mendengarkan. Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan pandang mata mereka ditujukan kepada mulut gadis yang berbicara itu dengan penuh kagum.

Pagi hari yang cerah. Matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang sudah membakar langit timur. Namun, cahaya kemerahan itu sudah dapat mengusir sisa kegelapan yang ditinggalkan sang malam. Cahaya itu pula yang mendatangkan suasana gembira. Setiap batang rumput, setiap helai daun, tenggelam dalam suasana gembira itu, berseri basah oleh embun bermandikan sinar keemasan bagaikan puteri-puteri jelita baru keluar dari dalam danau. Burung-burung juga berdendang senang, berkicau saling menyahut sambil menari berloncatan dari ranting ke ranting, siap untuk memenuhi tugas kehidupan mereka, yaitu mencari makan setiap hari.

Dilereng yang sunyi dan segar indah berseri itu, nampak dua orang manusia yang berjalan-jalan dengan wajah yang ceria pula. Dua orang itu merupakan dua keadaan yang amat berlawanan, namun merupakan perpaduan yang membuktikan kekuasaan alam.

Seorang kakek berusia tujuhpuluh dua tahun dan seorang anak laki-laki berusia lima tahun! Seorang manusia yang sudah tiba di ambang akhir perjalanan hidup, dan seorang manusia lain yang baru saja muncul dari ambang pertama dan sedang bertumbuh, menggambarkan awal dan akhir sebuah perjalanan hidup manusia yang hanya dibatasi oleh usia, oleh sang waktu yang melesat cepat tanpa terasa. Kakek itu akhirnya akan mati, dan anak itupun akhirnya akan menjadi seperti kakek itu, siap untuk mati pula, mungkin kelak dia akan menggandeng tangan seorang cucunya seperti dia sekarang digandeng oleh kakeknya.

Kakek itu biarpun usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun masih nampak gagah dan tubuhnya masih tegap. Wajahnya anggun dan mudah dilihat bahwa dia dahulu tentu seorang pria yang amat ganteng. Langkah juga masih gagah dan perutnya tidak menggendut seperti perut kebanyakan pria yang sudah berusia lanjut, juga tidak kurus kering melainkan tubuh itu masih padat.

Dia adalah Cia Kong Liang, kakek yang dahulu pernah menjadi ketua Cin-ling-pai, kakek dari ketua yang sekarang, yaitu nona Cia Kui Hong. Sudah belasan tahun kakek ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bersamadhi, atau berjalan-jalan di puncak-puncak bukit sunyi, merasa lebih akrab dengan alam daripada dengan manusia lain. Dan pada pagi hari itu, dia berjalan-jalan bersama cucunya, anak laki-laki berusia lima tahun yang bernama Cia Kui Bu itu.

Cia Kui Bu adalah anak kedua dari Cia Hui Song, pendekar Cin-ling-pai yang pernah menjadi ketua. Isterinya bernama Ceng Sui Cin, seorang wanita yang mempunyai kepandaian silat tinggi, tiada banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya karena wanita ini adalah puteri tunggal dari Pendekar sadis Ceng Thin Sin majikan Pulau Teratai Merah dan isterinya Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), kini seorang nenek yang berusia tujuh puluh tahun yang kepandaiannya setingkat dengan suaminya!

Akan tetapi, Ceng Sui Cin ini adalah ibu tiri dari Cia Kui Bu. Anak tunggal Ceng Sui Cin adalah Cia Kui Hong yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Adapun Cia Kui Bu adalah putera Cia Hui Song dari seorang isteri muda bernama Bi Nio yang sudah meninggal, akan tetapi anak ini sejak kecil dirawat Ceng Sui Cin seperti anaknya sendiri sehingga diapun menganggap bahwa ibunya adalah Ceng Sui Cin.

Baru kemarin Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama anak mereka itu, pulang dari perjalanan mereka ke Pulau Teratai Merah, berkunjung ke tempat kediaman orang tua Sui Cin. Mereka beristirahat di tempat itu sampai berbulan-bulan dan baru kemarin mereka kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi puteri mereka yang menjadi ketua, Cia Kui Hong, belum pulang dari perantauannya.

Tentu saja kedatangan mereka itu disambut gembira oleh semua anggauta Cin-ling-pai. Terutama sekali kakek Cia Kong Liang merasa girang bukan main melihat cucunya, Cia Kui Bu. Dan pada pagi hari itu, seperti telah dijanjikannya semalam kepada cucunya, kakek itu mengajak Cia Kui Bu berjalan-jalan.

Cuaca masih gelap ketika tadi mereka meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Setelah berbulan-bulan tinggal di Pulau Teratai Merah, setiap hari hanya menikmati keindahan pemandangan alam pulau yang dikepung air laut itu, tentu saja kini keindahan alam di pegunungan merupakan keindahan yang lain sama sekali dan mendatangkan kegembiraan di hati anak itu. Dia berlari-lari mengejar-ngejar kelinci, meneriaki burung-burung dan kakeknya terbawa oleh kegembiraan cucunya.

Kesenangan melalui panca indera dikemudikan oleh nafsu, oleh karena itu selalu berakhir dengan kebosanan dan dengan pengejaran akan kesenangan yang lain. Inilah sebabnya mengapa orang-orang kota merasa gembira kalau pergi ke dusun, sebaliknya orang dusun senang kalau pergi ke kota. Penduduk pantai tidak lagi menikmati keindahan pemandangan tepi laut dan merindukan keindahan pemandangan di pegunungan, sebaliknya penghuni gunung bosan akan pemandangan di pegunungan dan akan mengagumi keindahan pemandangan di tepi laut.

“Kong-kong (kakek), ada kijang disana. Mari kita tangkap!” Tiba-tiba Cia Kui Bu berlari cepat mendaki lereng sebuah bukit.

“Heii, Kui Bu, hati-hati jangan lari sembarangan!”

Kakek itu berseru dan mengejar. Dia dapat menyusul dan menggandeng tangan cucunya dan mereka berlarian mengejar seekor kijang muda yang seperti hewan lainnya kalau masih muda suka bermain-main. Kijang itu seolah mengajak mereka bermain, berlari-lari sambil berloncatan kecil, kalau jarak antara mereka terlalu jauh, ia berhenti dan seperti menanti, kalau sudah dekat ia lari lagi.








Cia Kong Liang membiarkan cucunya bergembira dan mengejar kijang itu. Dia hanya menjaga agar cucunya jangan sampai terjatuh ke dalam jurang. Tanpa terasa mereka telah tiba di tepi hutan lebat yang berada di lereng bukit itu.

Kijang itu melompat ke dalam hutan dan lenyap di balik semak belukar. Ketika Cia Kui Bu yang digandeng kakeknya hendak mengejar, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul seorang laki-laki yang berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka.

Cia Kong Liang berhenti dan memandang.
“Haii, Ciok Gun! Kenapa engkau belum pulang? Semua orang disana menantimu. Sejak kemarin pagi engkau pergi berburu dan sampai sekarang belum pulang. Dimana Teng Sin dan Koo Ham?”

Ciok Gun nampak ragu-ragu sejenak, lalu memberi hormat kepada kakek itu.
“Sukong, sute Teng Sin dan Koo Ham baik-baik saja. Nanti teecu (murid) akan pulang.”

Cia Kong Liang memandang dengan heran. Memang Ciok Gun tidak pandai bicara, malu-malu walaupun dia amat setia kepada Cin-ling-pai. Akan tetapi mengapa pagi ini sikapnya kelihatan demikian dingin dan bahkan kaku? Sebelum dia bertanya, Kui Bu sudah berlari ke arah Ciok Gun.

“Suheng…..!” serunya gembira.

Karena berbulan-bulan meninggalkan Cin-ling-pai, setelah pulang Kui Bu bersikap ramah kepada semua orang, sebagai pelepasan rindunya. Apalagi kepada Ciok Gun dan Gouw Kian Sun, dua orang yang dekat dengan keluarga Cin-ling-pai. Maka ketika melihat Ciok Gun yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) kakaknya, atau juga murid keponakan orang tuanya, dia lalu lari menghampiri dengan gembira.

“Ciok-suheng, mana hasil buruanmu?” tanyanya setelah dia sampai di depan Ciok Gun.

Tiba-tiba Ciok Gun menyambar tubuh Kui Bu dan memondongnya, terus mengajaknya lari kedalam hutan.

“Heii, Ciok-suheng, kita kemana….?”

Kui Bu berseru heran akan tetapi gembira karena mengira bahwa tentu Ciok Gun akan mengajaknya bermain-main. Akan tetapi kakek Cia Kong Liang merasa heran dan curiga. Ada sesuatu dalam sikap Ciok Gun yang dianggapnya aneh sekali.

“Ciok Gun, berhenti……!” bentaknya dan diapun melompat dan mengejar.

Akan tetapi Ciok Gun tidak mau berhenti dan berlari terus, dikejar oleh Cia Kong Liang. Akhirnya, Ciok Gun yang memondong Kui Bu tiba di depan sebuah pondok yang dari luar nampak sederhana saja.

Kakek itu memandang heran. Bukit ini sunyi dan biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah mendaki bukit ini, akan tetapi seingatnya, tidak pernah ada orang tinggal disini karena bukit ini jauh dari dusun-dusun lain, juga masih liar dan berbahaya.

Ketika dia hendak mengejar masuk pondok melalui pintunya yang terbuka lebar, tiba-tiba muncul tiga orang pria berpakaian pendeta dan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu berada paling depan dan agaknya sengaja menyambut sambil tersenyum-senyum.

“Selamat datang di pondok kami, lo-cian-pwe Cia Kong Liang!” kata Su Bi Hwa sambil tersenyum manis sekali.

Kakek itu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal empat orang ini, akan tetapi karena wanita muda itu menyambutnya dengan sikap hormat, diapun membalas penghormatannya dan berkata.

“Siapakah nona, dan harap nona menyuruh Ciok Gun keluar mengajak cucuku.”

“Ci-lo-cian-pwe, sekarang lo-cian-pwe telah menjadi tamu kami, seperti juga anak Cia Kui Bu itu. Mari, lo-cian-pwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam.”

Biarpun sudah amat tua, namun kakek Cia Kong Liang masih waspada dan pengalamannya yang banyak membuat dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang tidak boleh dipercaya begitu saja.

“Harap suruh Ciok Gun keluar membawa cucuku dulu, baru kita bicara!” Lalu dia mengerahkan khi-kang, suaranya menggetar ketika dia ke arah pondok itu. “Ciok Gun, aku su-kongmu yang bicara ini. Kuperintahkan engkau keluar mengajak Kui Bu!”

Bukan main hebatnya suara itu, melengking dan seperti menggetarkan jantung semua orang. Diam-diam empat orang itu terkejut dan harus mereka akui bahwa kakek yang sudah tua ini tidak boleh di pandang ringan. Su bi Hwa lalu berteriak pula ke arah pintu pondok.

“Ciok Gun, engkau tinggal saja di dalam dan jaga baik-baik Cia Kui Bu. Engkau tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Ini aku Su Siocia (Nona Su) yang bicara!”

Dari dalam pondok terdengar suara Ciok Gun,
“Baik, Su Siocia!”

Kakek itu terbelalak. Tidak mungkin cucu muridnya itu begitu saja mentaati wanita ini dan berani membangkang terhadap perintahnya. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar!

“Nona, apa artinya ini? Apa yang kau lakukan kepada Ciok Gun?”

Kini gadis itu tertawa dan begitu tertawa kakek itupun mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang kejam dan amat jahat.

“ha-ha-hi-hi-hik! Cia-lo-cian-pwe, tidak perlu engkau mencoba untuk memerintah Ciok Gun. Dia sekarang telah menjadi hambaku yang setia.”

“Akan kuambil sendiri cucuku kalau begitu!”

Cia Kong Liang meloncat ke arah pintu, akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan wanita itu telah menghadang di depan pintu.

“Nona, minggir! Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Aku hanya ingin mengambil kembali cucuku!” bentak Cia Kong Liang, kini sikapnya angkuh dan tegas, penuh wibawa.

“Lo-cian-pwe, ini rumah kami dan tanpa seijin kami, engkau atau siapapun tidak boleh memasukinya!” kata gadis itu sambil tetap tersenyum.

Wajah Cia Kong Liang berubah merah. Dia sudah marah sekali.
“Nona, apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menculik cucuku dan hendak menahannya di dalam pondokmu ini?”

“Boleh saja kau anggap demikian, Cia Kong Liang,” kata Bi Hwa dan kini ia menanggalkan kedoknya, tidak lagi bersikap hormat.

“Hemm, tidak semestinya aku seorang tua berkelahi melawan seorang muda apalagi seorang gadis! Sekali lagi, kuminta engkau membebaskan cucuku dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!”

Bi Hwa tertawa.
“Ha-ha-heh-heh, justeru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk melawanku, Cia Kong Liang!”

“Keparat!”

Kakek itu sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan, hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah dapat menjadi seorang yang penyabar sekali. Andaikata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini tidak mungkin dia tinggal diam. Cucunya di sekap di dalam pondok itu! Diapun menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok.

Su Bi Hwa menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita itu ke samping. Karena ia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ketika mendorong.

“Plakk!”

Gadis itu menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, tidak terkejut karena ia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka tentu saja amat tangguh.

Sebaliknya, Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak dua puluh lima tahun itu sanggup menangkis dorongannya dan membuat dia terdorong mundur tiga langkah!

“Bagus, kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan menyerangmu untuk menolong cucuku!”

Setelah berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tangannya yang kiri menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah perut.

“Haiiiiitttt…….!”

Bi Hwa cepat meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu dan membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula di tangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat jelas betapa lihainya lawannya walaupun seorang wanita yang masih muda. Maka dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa.

Sampai lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu, dan ia mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.

“Lihat, suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada, Bi Hwa berseru.

“Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu.

Mendengar ini, Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka telah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik

“Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru dan sambil mengelak terus. Ia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andaikata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini, tenaga kakek itu sudah banyak berkurang, dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi maka biarpun Bi Hwa terdesak, tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah.

Karena mainkan Thian-te Sin-ciang membutuhkan pengerahan banyak tenaga, maka setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat.

“Hemm, ini San-in Kun-hwat dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji.

Mereka diam-diam mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Memang dalam tugas mereka, seperti telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai.

Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Adapun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi-i-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tanaga dalam yang mujijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sin-kang lawan, betapapun kuat tenaga sin-kang lawan itu!

Karena itulah, maka setelah kini berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, mereka ingin menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka.

Melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tidak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja, diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya.

Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan dia turun kembali, tangannya telah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau!


Melihat ini, Bi Hwa cepat meloncat menjauhi dan berkata kepada tiga orang gurunya,
“Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat suhu hadapi aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!”

Kini Kim Hwa Cu yang meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api.

“Tahan….!”

Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring dan dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul.

“Cia Kong Liang, lebih baik engkau menyerah dengan baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.”

“Hemm, melihat pakaianmu, agaknya engkau ini seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, to-tiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, kenapa kalian menguasai Ciok Gun, dan menangkap cucuku?”

Kim Hwa Cu tertawa dan menyilangkan sepasang pedangnya.
“Orang tua, urusan kami tidak perlu engkau mengetahui. Kalau engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji untuk membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tidak akan mengganggumu.”

Biarpun dia marah sekali dan tidak percaya kepada omongan orang itu, namun karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Cia Kong Liang menahan kemarahannya,

“Katakan, apa permintaanmu itu?”

“Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan kedua adalah ilmu Thi-khi-i-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-ki-i-beng!” jawab Kim Hwa Cu.

Wajah kakek itu sampai menjadi pucar saking kaget dan marahnya.
“Yang kau sebut adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai, aku lebih baik mati daripada membuka rahasia perkumpulan kami!”

Tiba-tiba Bi Hwa mendengus marah.
“Huh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia, tangkap dia. Akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan nada suara mengkal.

Kim Hwa Cu tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau telah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, majulah dan perlihatkan kepadaku sampai dimana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!”

Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan diapun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Biarpun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat kakek ini seperti bertambah tenaga dan semangatnya. Sepasang dahan pohon itu bergerak bagaikan sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan.

Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu dapat membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Bahkan Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu.

“Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji.

“Sudahlah, Sam Suhu. Robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancing agar dia mengeluarkan Thi-khi-i-beng!” terdengar Bi Hwa berseru dan Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya.

Dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia menyimpan sepasang pedangnya dan menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong.

Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi, tadipun ketika melawan Bi Hwa dia sudah tidak mampu menandinginya, apalagi kini guru gadis itu yang maju. Dari pertemuan tenagapun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah.

"Dukk!"

Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itupun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengelauarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat bagaikan singa terluka.

Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak.

"Plakk!" kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan pada punggungnya, cukup keras sehingga dia terpelanting!

Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum bangkit berdiri. Akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan.

Tiba-tiba dua buah tangan yang halus namun kuat sekali mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Bukan main nyeri rasa kedua pundak itu, membuat kedua lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan.

Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah.
"Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"

"Hemm, aku yakin bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorangpun ahli silat membiarkan diri terancam maut tanpa mempergunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng."

"Kalau begitu, kita harus tawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Melalui Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini dan bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita adu domba kekuatan para pendekar!"

Ketika kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu dan yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah ketika dia melihat cucunya terbelenggu kaki tangannya dan menggeletak miring di atas lantai.

Ada pula Cik Gun berdiri seperti patung dan wanita cantik itu duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya, maka iapun tidak berusaha untuk meronta.

"Ah, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?"

Bi Hwa menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi dan iapun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah.

"Iblis betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. " Aku sudah kalah, kalau kalian hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apapun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!"

"Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun telah menjadi pembantu kami yang setia. Maka, kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada kami. Kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga kalau kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu.".......
























Terima kasih telah membaca Serial ini.


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12