Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 01
Pegunungan
Cin-ling-san berderet panjang dengan puncak-puncaknya yang tinggi menembus awan,
dari barat ke timur. Terletak di perbatasan tiga propinsi, yaitu Propinsi
Kan-si dan Shen-si di utara, dan Propinsi Secuan di selatan. Dari pegunungan
inilah mengalir air sungai Wei-ho di sebelah utara yang kemudian memuntahkan
airnya ke sungai Huang-ho, dan di selatan mengalir sungai Han-sui yang kemudian
bergabung dengan sungai Yang-ce.
Karena
adanya sumber-sumber air yang besar, maka permukaan gunung Cin-ling-pai nampak
kehijauan, tanahnya subur dan para penghuni dusun-dusun di daerah itu tak
pernah kekurangan makan. Pemandangan alamnya amat indah, bahkan ada beberapa
bukit yang ditumbuhi banyak macam tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat.
Pegunungan
Cin-ling-san bukan hanya terkenal karena keindahan alamnya, kesuburan tanahnya
dan kesejukan hawanya, akan tetapi bagi dunia kang-ouw terutama sekali karena
disitu terdapat sebuah perkumpulan para pendekar yang bernama Cin-ling-pai.
Perkumpulan
orang gagah ini berada di sebuah lereng dekat puncak, lereng yang subur dan
landai. Karena banyak anggauta cin-ling-pai tinggal disitu, maka lereng ini
merupakan suatu perkampungan tersendiri dimana terdapat bangunan-bangunan yang
dikelilingi pagar tembok.
Tidak kurang
dari seratus orang anggauta Cin-ling-pai berkumpul disitu, bersama keluarga
mereka. Di tengah perkumpulan ini berdiri sebuah bangunan tua yang paling
besar, berdiri seperti bersandar pada sebuah bukit, dan ini merupakan rumah
tinggal keluarga ketua Cin-ling-pai.
Cin-ling-pai
amat terkenal di dunia kang-ouw karena banyak pendekar dari perkumpulan ini
membuat nama besar di dunia ramai dan mengangkat nama tinggi Cin-ling-pai
sehingga perkumpulan itu diakui sebagai sebuah perkumpulan-perkumpulan besar di
waktu itu.
Pada waktu
itu, perkumpulan orang-orang gagah lainnya yang terkenal adalah Siauw-lim-pai,
Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Im-yang-pai dan masih
banyak partai atau perkumpulan lain akan tetapi semua itu merupakan cabang atau
pecahan dari perkumpulan-perkumpulan besar itu.
Sejak
beberapa turunan, Cin-ling-pai dipimpin oleh keluarga Cia. Keluarga ini
terkenal sebagai ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi. Banyak macam
ilmu silat tinggi yang hebat-hebat dimiliki keluarga ini sehingga nama
Cin-ling-pai menjulang tinggi di dunia persilatan. Apalagi karena sepak terjang
keluarga ini selalu menentang kejahatan dengan gigih, maka mereka dikenal
sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.
Kurang lebih
seratus tahun yang lalu, Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang
bernama Cia-Bun-Houw, seorang yang membuat nama besar sehingga bukan hanya
namanya yang terkenal, melainkan juga dia membawa nama Cin-ling-pai menjadi
terkenal di seluruh dunia persilatan. Yang menggantikan Cia Bun Houw sebagai
ketua Cin-ling-pai adalah Cia Kong Liang yang pada waktu itu telah menjadi
seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh dua tahun dan tidak aktif lagi melainkan
lebih banyak bertapa di dalam kamarnya di bagian belakang bangunan keluarga
ketua Cin-ling-pai yang besar itu. Cia Kong Liang digantikan oleh puteranya,
Cia Hui Song yang membuat nama Cin-ling-pai semakin harum dengan sepak
terjangnya sebagai pendekar yang gagah perkasa.
Pada waktu
itu, biarpun Cia Hui Song baru berusia kurang lebih empat puluh empat tahun,
namun dia telah mengundurkan diri dari Cin-ling-pai. Memang dia tidak berbakat
menjadi seorang ketua, lebih suka hidup bebas dan berkelana bersama isterinya,
yaitu Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Dan
kedudukan ketua Cin-ling-pai di serahkan kepada ketua baru yang dipilih melalui
ujian dan pertandingan. Akhirnya, kedudukan ketua baru dipegang oleh puterinya,
yaitu Cia Kui Hong, seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa pula.
Cia Kui Hong
baru berusia sembilan belas tahun ketika ia menjadi ketua Cin-ling-pai, hampir
dua tahun yang lalu. Sesungguhnya, sebagai seorang gadis pendekar yang memiliki
darah petualang yang sama seperti ayahnya. Kui Hong tidak suka menjadi ketua.
Kalau ia ikut dalam pemilihan ketua, hal itu ia lakukan karena ia melihat
seorang murid baru Cin-ling-pai yang tak disukanya di calonkan oleh kakek Cia
Kong Liang menjadi ketua. Ia tidak suka kepada Tan Cun Sek, murid itu, dan
untuk mencegah agar orang yang bukan keluarga Cia ini menjadi ketua baru, Kui
Hong mengikuti pemilihan ketua. Ia berhasil mengalahkan Tan Cun Sek dan gadis
inilah yang dipilih menjadi ketua baru menggantikan ayahnya!
Kemudian
ternyata bahwa Tan Cun Sek memang bukan orang baik-baik. Setelah ia dikalahkan
Kui Hong dalam pemilihan ketua Cin-ling-pai, dia minggat dan mencuri pusaka
Cin-ling-pai, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Akhirnya, dalam pertempuran melawan
para pendekar, Tan Cun Sek tewas dan pedang Hong-cu-kiam kembali ke tangan Cia
Kui Hong. Semua peristiwa itu di ceritakan dalan kisah SI KUMBANG MERAH.
Ketika Kui
Hong meninggalkan Cin-ling-pai hampir dua tahun yang lalu, ia menyerahkan
kepengurusan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu tokoh Cin-ling-pai yang
masih susiok (paman seperguruan) sendiri. Ia sendiri pergi merantau untuk
mencari Tang Cun Sek dan merampas kembali pusaka Hong-cu-kiam.
Gouw Kian
Sun ternyata cukup pandai memimpin Cin-ling-pai. Apalagi masih ada kakek Cia
Kong Liang yang menjadi pengawas dan penasihat, walaupun kakek ini lebih banyak
bertapa di dalam kamarnya. Dan Gouw Kian Sun yang usianya empat puluh dua tahun
dan belum berkeluarga itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Dia telah
menguasai semua ilmu dari Cin-ling-pai, kecuali beberapa ilmu rahasia yang
tidak di kuasai sembarang murid.
Diantara
ilmu-ilmu silat dari keluarga Cia di Cin-ling-pai, yang paling ampuh antara
lain adalah ilmu Toat-po-san, semacam ilmu kekebalan yang membuat kulit tubuh
keras dan kuat menahan pukulan dan bahkan bacokan senjata tajam. Thian-te
Sin-ciang merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandung tenaga sin-kang
amat kuatnya. Siang-bhok-kiam-sut adalah ilmu pedang khas Cin-ling-pai yang
asalnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu akan tetapi kini
dapat pula dimainkan dengan pedang baja yang ringan. Thai-kek Sin-kun adalah
ilmu silat yang amat halus namun kokoh kuat, bukan saja dapat dipergunakan
untuk memperkuat tubuh sebagai latihan senam lahir batin, akan tetapi juga
dapat dipergunakan sebagai ilmu bela diri yang ampuh.
Di samping
ilmu silat tangan kosong Thai-kek Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, Cin-ling-pai
memiliki pula ilmu silat tangan kosong San-in Kun-hwat (Silat Awan Gunung) dan
Im-yang Sin-kun. Juga ilmu tongkat pasangan Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang
Naga) amat tangguh.
Akan tetapi,
semua ilmu silat Cin-ling-pai itu merupakan ilmu silat tinggi yang tentu saja
masih ada tandingannya, yaitu ilmu-ilmu dari partai-partai persilatan besar.
Hanya ada satu ilmu Cin-ling-pai yang amat ditakuti semua tokoh kang-ouw. Ilmu
itu di sebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Kekuatan Mengganti Semangat). Ilmu ini
sebenarnya merupakan kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang bekerja di tubuh
orang yang menguasai ilmu itu, dan hebatnya, setiap kali bagian tubuh lawan
menempel pada tubuh pemilik ilmu ini, maka tenaga sin-kang lawan akan terhisap
dan pindah ke dalam tubuh si pemilik ilmu.
Ilmu ini
amat di takuti orang, karena orang yang lebih tinggi ilmu silatnya pun dibuat
tidak berdaya kalau menghadapi ilmu “menyedot sin-kang lawan” ini. Sayang tidak
sembarang orang mampu menguasai ilmu ini. Untuk menguasainya, dibutuhkan bakat
yang besar dan juga keadaan tubuh yang sesuai. Oleh karena itu, jarang tokoh
Cin-ling-pai menguasai Thi-khi-i-beng. Hanya ayah dari mendiang Cia Bun Houw
yang bernama Cia Keng Hong yang dapat menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Bahkan
Cia Bun Houw juga tidak mampu mewarisinya. Apalagi Cia Kong Liang putera Cia
Bun Houw, dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng.
Puteranya
yang lebih lihai, yaitu Cia Hui Song, juga tidak dapat menguasai ilmu luar
biasa itu, apalagi Cia Kui Hong. Seolah-olah ilmu yang amat hebat itu telah
lenyap dari Cin-ling-pai karena tidak ada lagi keturunan Cin-ling-pai yang
menguasainya. Untuk masa itu, kiranya hanya satu orang saja yang menguasainya,
yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang menjadi majikan penghuni Pulau
Teratai Merah!
Demikianlah
sedikit catatan mengenai Cin-ling-pai dan para tokohnya. Pada waktu itu,
ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong, sudah lama meninggalkan Cin-ling-pai dan
yang mewakilinya mengatur perkumpulan itu adalah Gouw Kian Sun. dia dibantu
oleh seorang murid Cin-ling-pai lain yang termasuk murid keponakannya bernama
Ciok Gun, murid berusia tiga puluh dua tahun yang sudah terkenal karena
kegagahannya.
Berkat
kesungguhan hati dua orang inilah maka biarpun Cin-ling-pai ditinggalkan
ketuanya sampai lama, namun semua murid Cin-ling-pai taat dan mematuhi
peraturan, dan selalu menjaga nama baik perkumpulan dengan setia.
Pagi yang
cerah sekali. Matahari sudah mulai memancarkan cahayanya yang hangat. Ciok Gun
bersama dua orang anggauta Cin-ling-pai yang lain memasuki sebuah hutan di
bukit sebelah barat perkampungan mereka dengan membawa busur dan anak panah.
Pagi hari
itu Ciok Gun keluar sendiri untuk berburu di hutan. Bulan itu banyak terdapat ayam
hutan dan kelinci di hutan yang mereka masuki itu. Hanya pada bulan-bulan
tertentu banyak kelinci gemuk dan ayam hutan berkeliaran di situ dan itulah
waktu untuk berburu.
Ciok Gub
adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun yang bertubuh jangkung
dan tegap. Di antara murid Cin-lingpai tingkat kedua, dialah merupakan murid
terpandai, maka dia dipercaya oleh sesioknya, Gouw Kian Sun, untuk menjadi
wakil dan pembantu utamanya. Bahkan untuk mengamati dan memimpin latihan silat,
Ciok Gun mewakili susioknya itu.
Dua orang
temannya adalah para sutenya yang juga bertingkat dua dan mereka telah memiliki
ilmu silat Cin-ling-pai yang cukup tangguh. Mereka berdua itu adalah Teng Sin
yang berusia duapuluh lima tahun dan Koo Ham berusia dupuluh tujuh tahun. Teng
Sin berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar, sedangkan Koo Ham tinggi kurus
dengan kulit kehitaman.
Mereka
berdua itu walaupun belum setangguh Ciok Gun, namun sudah merupakan dua orang
pendekar yang berkepandaian tinggi dan sukar dikalahkan. Tiga orang tokoh
Cin-ling-pai itu pada pagi hari ini berburu, selain untuk bersenang-senang,
juga hasilnya nanti akan mereka serahkan kepada susiok mereka, Gouw Kian Sun
dan para susiok lain, yaitu para murid tingkat pertama dari Cin-ling-pai.
Diantara
tiga orang murid tangguh Cin-ling-pai itu, hanya Koo Ham yang sudah menikah
walaupun dia dan isterinya belum mendapatkan turunan. Teng Sin dan Ciok Gun
belum berumah tangga, masih membujang walaupun Teng Sin sudah berusia duapuluh
lima tahun dan Ciok Gun bahkan sudah tiga puluh dua tahun.
Setelah
memasuki hutan, Teng Sin yang wataknya gembira itu berbisik.
“Lihat di
pohon besar sana itu ada ayam-ayam hutan. Mari kita berlomba, siapa diantara
kita yang dapat lebih dulu menjatuhkan seekor!”
Koo Ham
tersenyum.
“Hemm, mana
engkau menandingi Ciok-suheng yang ahli menggunakan panah?”
Ciok Gun
tersenyum pula.
“Aih, belum
tentu. Hasil-hasil berburu tidak di tentukan sepenuhnya oleh keahlian memanah.
Juga nasib memegang peran penting. Yang bernasib terang dalam berburu, setiap
langkah kakinya membawa dia berhadapan langsung dengan binatang buruan,
sebaliknya kalau bintang sedang gelap, sehari penuh tak pernah bertemu dengan
seekorpun binatang buruan.”
Setelah
dekat dengan pohon besar itu, mereka melihat ada tiga ekor ayam hutan
bertengger di cabang pohon dan bergerak-gerak dengan gesitmya. Mereka segera
mengambil tempat yang enak, mempersiapkan busur dan anak panah lalu membidik
dan menyusup dekat.
Mereka sudah
menarik tali busur. Akan tetapi milik Ciok Gun meluncur lebih dulu dan lebih
cepat dan sasarannya terkena dengan tepat. Seekor ayam hutam jatuh ke bawah
dengan leher ditembusi anak panah. Dua ekor ayam hutan melayang jatuh pula
dengan perut tertembus anak panah yang dilepas Teng Sin dan Koo Ham. Mereka
bertiga cepat mengambil ayam hutan itu dan saling memperlihatkan kepada teman.
“Nah, kau
lihat! Mana kita mampu menandingi kepandaian Ciok-suheng?” kata Koo Ham sambil
tertawa.
Teng Sin
harus mengakui keunggulan suhengnya itu. Anak panahnya dan anak panah Koo Ham
menembus perut ayam hutan sedangkan anak panah Ciok Gun menembus leher! Tentu
saja yang menembus leher itu lebih baik karena daging badan ayam tidak rusak
oleh anak panah dan masih utuh, tidak seperti bidikan mereka yang menembus
perut dan tentu saja hal ini merugikan karena sebagian daging ayam itu menjadi
rusak.
Akan tetapi
untuk membidik ke arah leher sungguh tidak mudah. Sedikit saja selisihnya akan
gagal! Mereka masih belum sanggup membidik leher dan mengenai dengan tepat
seperti yang dilakukan suheng mereka.
Bagaimanapun
juga, memanah ayam hutan yang gerakannya demikian lincah dan gesit, bukan
pekerjaan yang mudah dan mereka bertiga itu sudah membuktikan kelihaian mereka.
Apalagi memanah lawan seorang manusia, betapa akan mudahnya untuk merobohkan
lawan itu bagi mereka!
Belum
setengah hari lamanya, tiga orang murid Cin-ling-pai yang gagah ini telah
membunuh dua puluh lebih ayam hutan dan belasan ekor kelinci. Mereka lalu
bersepakat untuk pulang ke perkampungan mereka karena hasil buruan itu sudah
cukup banyak.
Akan tetapi,
baru saja mereka keluar dari hutan, di lereng bukit yang sunyi itu, tiba-tiba
mereka berhadapan dengan dua orang yang entah muncul dari mana, tahu-tahu sudah
berada di depan mereka seperti setan.
Tentu saja
tiga orang murid Cin-ling-pai itu terkejut sekali. Mereka adalah
pendekar-pendekar yang sudah banyak pengalaman, maka mereka dapat menduga bahwa
tentu dua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga gerakan mereka
amatlah cepatnya. Mereka lalu mengamati penuh perhatian karena belum pernah
mereka melihat dua orang ini di daerah itu.
Yang seorang
adalah seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi
kurus, mukanya kekuning-kuningan namun cukup tampan, mulutnya tersenyum
mengandung ejekan. Rambutnya yang masih hitam itu digelung ke atas dan
mengkilap oleh minyak, di jepit jepitan rambut dari emas, dan pakaiannya adalah
jubah pendeta. Di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang).
Adapun orang
kedua amat menarik perhatian. Ia seorang wanita yang usianya sekitar duapuluh
sampai duapuluh lima tahun. Sukar menaksir usia wanita ini sebenarnya karena
wajahnya yang cantik manis itu tertutup bedak tebal. Bibir dan pipinya di
warnai merah. Kalau pria itu cukup pesolek, wanita muda ini lebih pesolek lagi.
Pakaiannya gemerlap indah, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang
sarungnya di ukir dan diwarnai indah, gambar bunga-bunga dan kupu-kupu. Wanita
inipun tersenyum manis dan agaknya ia yang menjadi juru bicara karena temannya,
pria yang berpakaian seperti pendeta tosu (pendeta agama To) itu diam saja,
hanya mengelus jenggot sambil tersenyum mengejek.
“Kalian
bertiga adalah murid-murid Cin-ling-pai yang terkenal itu, bukan?” tanya si
wanita dan ketika ia bicara, gerak bibirnya jelas menunjukkan kegenitannya.
Mulut itu
memang nampak penuh gairah menantang dan ketika ia bicara, bibirnya bergerak-gerak
memikat, nampak giginya berderet rapi dan putih, dan rongga mulutnya yang
merah. Lidah yang kecil panjang berwarna merah muda itu kadang menjilat bibir
penuh daya pikat.
Namun tiga
orang murid Cin-ling-pai itu adalah tiga orang pendekar yang gagah perkasa dan
berbatin bersih dan teguh. Ciok Gun segera menjawab dengan pandang mata penuh
selidik dan alis berkerut karena dia merasa tidak suka melihat sikap wanita
cantik itu yang jelas bukan seorang wanita sopan.
“Memang
benar kami murid-muri Cin-ling-pai dan pada saat ini kami berada di daerah kami
sendiri. Sebaliknya ji-wi (anda berdua) adalah orang asing. Ji-wi siapakah,
dari mana dan ada keperluan apa berada di daerah ini?” Pertanyaan ini cukup
tegas dan tidak ramah walaupun nadanya halus dan sopan.
Wanita itu
tertawa, tertawa bebas sehingga mulutnya terbuka lebar namun karena ia memang
cantik, sikapnya ini tidak membuat ia nampak buruk.
“Heh-heh-heh,
alangkah gagahnya! Tentu engkau yang bernama Ciok Gun, murid utama Cin-ling-pai
dan engkau yang membantu Gouw Kian Sun memimpin Cin-ling-pai, bukan?”
Diam-diam
Ciok Gun terkejut. Wanita asing ini agaknya tahu segala tentang Cin-ling-pai.
Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan wanita ini seorang sahabat baik ketuanya,
yaitu nona Cia Kui Hong yang kini sedang merantau dan belum pulang, pikirnya.
Dia harus berhati-hati dan tidak bersikap kurang hormat.
“Benar
sekali nona. Ketua kami, yaitu Cia-pangcu, tidak berada di rumah dan yang
mewakilinya adalah su-siok Gouw Kian Sun, sedangkan saya hanya diperintahkan
untuk membantu su-siok.”
Wanita itu
tersenyum manis, lalu memandang kepada Teng Sin dan Koo Ham.
“Dan dua
orang ini murid-murid Cin-ling-pai tingkat rendahan?”
Wajah Ciok
Gun berubah merah. Sahabat ketuanya atau bukan, wanita ini sikapnya amat buruk,
lancang mulut dan sombong.
“Mereka
adalah dua orang suteku!” katanya, tidak begitu hormat lagi. “Sesungguhnya,
siapakah ji-wi dan ada keperluan apa…….”
“Ciok Gun,
mulai saat ini engkau tidak membantu Gouw Kian Sun atau Cia Pangcu (Ketua Cia)
lagi, melainkan membantu aku!”
“Ba …..
baik….. eh, apa artinya ini?” Ciok Gun terkejut bukan main karena di luar
keinginannya, begitu saja dia menyanggupi untuk menjadi pembantu wanita yang
tidak di kenalnya itu! Hanya dengan memaksa hatinya memberontak dia dapat
menahan diri dan kini dia memandang dengan mata terbelalak. “Nona, apa
maksudmu? Apa artinya semua ini?”
Kembali
wanita itu tertawa.
“Ha-ha-heh-heh!
Artinya, laki-laki yang gagah, bahwa mulai saat ini akulah yang berkuasa dan
engkau harus mentaati semua perintahku!”
Selagi Ciok
Gun masih tertegun karena bukan saja terheran mendengar ucapan itu, akan tetapi
juga karena ucapan itu ditujukan kepadanya, dia seperti terpengaruh kekuatan
yang aneh, dua orang sutenya yang tidak terpengaruh sudah menjadi marah bukan
main.
“Sungguh
lancang mulut!” bentak Teng Sin marah sambil mengepal tinju dan melangkah
dekat.
“Siapakah
engkau ini wanita yang berani bersikap kurang ajar terhadap suheng?” Koo Ham
juga membentak sambil melangkah maju.
Wanita itu
memandang kepada mereka dengan tersenyum mengejek, lalu ia mengibaskan
tangannya ke arah mereka seperti orang mengusir lalat sambil berkata,
Tentu saja
dua orang murid Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Mereka adalah
tokoh-tokoh Cin-ling-pai tingkat dua yang sudah memiliki kegagahan dan
kepandaian tinggi, dan kini diperlukan seperti dua orang anak kecil oleh
seorang perempuan muda!
“Nona, kami
adalah pendekar-pendekar yang tidak sudi menyerang wanita, kecuali kalau wanita
itu seorang penjahat yang patut dibasmi. Karena itu, kalau engkau seorang
wanita baik-baik, pergilah dari sini dan jangan sampai membuat kami marah!”
kata Teng Sin dengan sikap gagah.
Bagaimanapun
marahnya, dia masih ingat bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita dan tidak
ada alasan bagi mereka untuk saling bermusuhan.
Wanita itu
tersenyum memandang kepada Teng Sin dari kepala sampai ke kaki seperti orang
yang sedang menaksir sebuah benda dagangan.
“Hemmm,
engkau ini anak kecil mengaku pendekar? Kalau aku bukan orang baik-baik dan
tidak mau pergi dari sini, engkau akan bisa berbuat apakah?”
“Keparat!
Kalau begitu terpaksa aku harus mengusirmu dengan kekerasan!” bentak Teng Sin.
“Hi-hik,
kukira engkau tidak mampu, cucuku!” wanita itu mengejek.
Ini sudah
keterlaluan dan Teng Sin menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Tentu
saja dia masih belum tega untuk mencelakai wanita itu, hanya ingin memberi
hajaran saja, maka dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dia menampar ke arah pundak
kiri wanita itu. Biarpun dia murid tingkat dua, akan tetapi Teng Sin telah
dapat menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang cukup kuat sehingga ketika tangannya
menyambar dengan tamparan itu, terdengar suara dan angin menyambar keras.
“Wuuuuttt……..
plakk!”
Tamparan itu
mengenai pundak kiri wanita itu karena memang tidak di tangkis atau dielakkan.
Teng Sin terbelalak karena merasa khawatir sekali melihat betapa tamparannya
itu mengenai pundak lawan tanpa di tangkis atau dielakkan. Kiranya wanita itu
tidak pandai ilmu silat!
Akan tetapi
dia semakin menjadi heran karena tangannya mengenai pundak yang begitu lunak
seperti segumpal daging tanpa tulang saja dan tenaga Thian-te Sin-ciang itu
seperti tenggelam dan lenyap pada saat itu tangan kiri wanita itu bergerak
secepat kilat sehingga tidak nampak. Tangan itu dengan jari terbuka menusuk ke
arah dada Teng Sin.
“Hukkkk…..!”
Teng Sin
terjengkang dan darah segar muncrat dari mulutnya. Koo Ham dan Ciok Gun
terkejut sekali. Mereka berlutut memeriksa dan…… ternyata Teng Sin telah tewas!
Di ulu hatinya nampak tanda merah kehitaman, bekas telapak tangan wanita itu
dan baju bagian dada itu hancur!
Dengan mata
terbelalak Koo Ham memandang sutenya yang tewas, lalu dia melompat sambil
mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya.
“Iblis
betina, engkau berani membunuh saudaraku?” bentaknya dan diapun sudah menyerang
dengan pedangnya, dan karena dia maklum betapa lihainya wanita itu, begitu
menyerang dia memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah
dipelajarinya, walaupun belum sempurna benar.
Sambil
melompat ke samping untuk mengelak sambaran pedang, wanita itu berseru.
“Aih, inilah
Siang-bhok Kiam-sut? Kaku sekali!”
Kembali ia
mengelak sampai tiga kali berturut-turut ketika Koo Ham mendesaknya dengan
serangan pedang.
“Tentu saja
kaku, karena selain ilmunya itu belum sempurna, juga seharusnya untuk ilmu itu
dipergunakan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum)!” tiba-tiba pendeta yang sejak
tadi hanya memandang saja, menjawab ucapan wanita itu.
“Wah, kalau
begitu bocah ini tidak ada gunanya!” kata wanita itu dan pada saat itu, pedang
di tangan Koo Ham sudah menyambar dengan tusukan ke arah lambung.
Wanita itu
menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Pedang meluncur ke dekat lambung dan
begitu tangan kirinya bergerak, ia telah menangkap pedang itu dengan tangan
kiri!
Koo Ham yang
merasa marah karena kematian Teng Sin tidak peduli dan cepat dia menarik
pedangnya untuk membuat tangan wanitu itu tersayat. Akan tetapi pedangnya tidak
bergerak seolah di jepit bukan dengan tangan melainkan dengan jepitan baja yang
amat kuat! Kembali dia mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya, dan pada
saat itu, tangan kanan wanita itu bergerak. Demikian cepatnya gerakan itu
sehingga Koo Ham tidak menduganya.
“Takk!”
jari-jari tangan yang kecil halus itu menampar pelipis kepalanya dan tubuh Koo
Ham terpelanting roboh di dekat mayat Teng Sin.
Ketika Ciok
Gun memandang, ternyata Koo Ham telah tewas pula dan di pelipis kepala yang
tertampar itupun terdapat tanda bekas jari tangan merah kehitaman!
Ciok Gun
maklum betapa gawatnya keadaan. Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati
sekali melihat betapa dua orang sutenya tewas di tangan wanita itu. Akan tetapi
diapun maklum bahwa agaknya orang itu memusuhi Cin-ling-pai, maka dia menahan
kemarahannya dan ingin tahu siapa mereka dan mengapa begitu kejam membunuh dua
orang murid Cin-ling-pai.
Karena
maklum bahwa wanita ini lihai bukan main, Ciok Gun sudah mencabut pedangnya.
Dengan pedang melintang di depan dada, dia memandang wanita itu dengan mata
tajam penuh selidik.
“Siapakah
sesungguhnya engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?”
Wanita itu
terkekeh lalu menoleh kepada tosu yang sejak tadi berdiri diam saja itu.
“Suhu, lihat
betapa gagahnya dia! Hayo suhu, kenapa engkau sejak tadi diam saja? Membiarkan
seorang wanita bekerja kelelahan. Sekarang giliranmu untuk menghadapi Ciok Gun
ini. Akan tetapi ingat, jangan bunuh dia, suhu, sesuai dengan rencana kita.”
“Hemm, untuk
mengurus cacing ini saja harus aku turun tangan sendiri?” Tosu itu mengomel,
akan tetapi dia melangkah maju menghadapi Ciok Gun. “Ciok Gun, seperti telah
dikatakan oleh muridku tadi, mulai saat ini engkau harus menjadi pembantu kami.
Ketahuilah bahwa kami akan menjadikan Cin-ling-pai bangkit kembali menjadi
perkumpulan besar yang akan merajai seluruh perkumpulan dan partai persilatan.
Dan engkau akan membantu kami!”
“Aku tidak
sudi!” Ciok Gun membentak. “To-tiang, engkau ini agaknya seorang pendeta,
kenapa bersikap begini kejam membiarkan muridmu membunuh dua orang suteku?
Siapakah engkau?”
“Aku bernama
Kim Hwa Cu, masih ada dua orang suhengku bernama Siok Hwa Cu dan Lan Hwa Cu. Ia
adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, murid kami bertiga. Sekarang mau tidak mau
engkau harus menjadi pembantu kami!”
Ciok Gun
belum pernah mendengar nama tiga orang pendeta itu, akan tetapi dia merasa
pernah mendengar di dunia kang-ouw disebutnya nama Tok-ciang Bi Mo-li (Iblis
Betina Cantik Tangan Beracun).
“Biar sampai
mati aku tidak sudi! Sekarang kalian harus mempertanggung jawabkan kematian dua
orang suteku!” berkata demikian, diapun menyerang dengan pedangnya, menusuk ke
arah dada tosu di depannya itu.
Tosu yang
bernama Kim Hwa Cu itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya. Dia
menggerakkan tangan menangkis dan ujung lengan baju yang lebar dan panjang
menyembunyikan tangannya itu menyambut pedang.
“Plakk!”
Ciok Gun
berseru kaget karena tangkisan ujung lengan baju itu sedemikian kuatnya
sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya lagi dan terpental lepas dari
tangannya dan terlempar sampai jauh! Hampir dia tidak percaya akan apa yang
dialaminya.
Dua orang
surtenya, masing-masing dalam segebrakan saja tewas di tangan wanita cantik
genit itu, sedangkan dia sendiri dalam segebrakan saja sudah kehilangan
pedangnya melawan tosu yang tinggi kurus ini. Bagaimana mungkin ini? Ketuanya
sendiripun tidak mungkin dapat membuat dia melepaskan pedang dalam segebrakan
saja!
Ciok Gun
adalah murid tingkat dua yang sudah ahli. Bahkan diantara para murid setingkat
dia yang paling lihai dan diapun ahli dalam ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat
Awan Gunung). Maka, biarpun pedangnya sudah terlempar, dia tidak mau menyerah
dan kini dia sudah menyerang dengan kedua tangan kosong, memainkan ilmu silat
San-in Kun-hoat!
Dua kali
pukulan dan tendangannya dihindari tosu itu dengan elakan.
“Bi Hwa,
perhatikanlah. Inilah San-in Kun-hoat!” kata kakek itu sambil terus mengelak,
seolah memberi kesempatan kepada Ciok Gun untuk mempertontonkan ilmu silat itu.
“Hemm, sudah
lumayan gerakannya.” Wanita itupun memberi komentar. “Tapi jangan kau lukai
dia, suhu. Dialah yang akan membantu kita.”
“Ha-ha-ha,
jangan khawatir, Bi Hwa. Nah, kurobohkan dia!” kata tosu itu.
.
Tentu saja
Ciok Gun yang mendengarkan percakapan itu terkejut dan diapun cepat memasang
kuda-kuda untuk membela dirinya yang akan di robohkan tosu itu.
Akan tetapi
pada saat itu, dua ujung lengan baju menyambar dari kanan kiri. Demikian
cepatnya dan demikian dahsyatnya sehingga biarpun Ciok Gun berusaha untuk
menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan, tetap saja pundaknya tersentuh
ujung lengan baju dan diapun roboh tertotok dan pingsan!
Ciok Gun
membuka matanya. Sejenak dia nanar dan merasa tubuhnya panas. Ketika nanarnya
hilang dan dia menyadari bahwa dia berada di atas sebuah pembaringan dalam
sebuah kamar, dia terkejut dan dia segera teringat akan peristiwa di dalam
hutan itu. Mimpikah dia! Mimpi buruk tentang kedua orang sutenya yang tewas?
Dimana dia?
Dia bangkit
duduk dan makin kaget mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat dan
tadi tubuhnya tertutup selimut. Dan ada yang bergerak di sebelahnya. Dia
menoleh dan Ciok Gun berseru kaget. Wanita cantik itu berada di dekatnya, juga
tanpa pakaian. Wanita yang dilihatnya dalam “mimpi” telah membunuh dua orang
sutenya. Bukan mimpi kalau begitu! Teringatlah dia betapa dia melawan tosu yang
amat lihai dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan!
“Keparat……!”
serunya dia hendak meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba wanita itu
merangkulnya dan diapun tidak mampu meronta.
“Ciok Gun,
hendak kemana engkau? Ingat, engkau adalah pembantuku, pembantu kami. Aih,
engkau memang gagah…..”
Wanita itu
mendekap dan mencium. Ciok Gun hendak meronta tetapi tidak dapat dan diapun
seperti tenggelam ke dalam lautan yang amat panas. Dia tidak lagi menyadari apa
yang dia lakukan dengan wanita itu. Ada dorongan dalam tubuhnya yang membuat
dia seperti mabuk, seperti dalam mimpi, namun nalurinya membisikkan bahwa dia
telah melakukan hal yang sungguh tidak pantas, yang berlawanan dengan suara hatinya.
Setelah
semua berlalu, Ciok Gun terengah-engah dan setelah dorongan hasrat yang tidak
wajar itu terpuaskan, diapun ingat kembali. Dia menyadari bahwa dirinya
terpengaruh bius dan obat racun perangsang yang membuat dia lupa segala. Dia
meronta dan teringat bahwa wanita cantik di sampingnya yang kini rebah
telentang dengan mata terpejam dan mulut tersenyum itu adalah orang yang telah
membunuh Teng Sin dan Koo Ham. Wanita ini adalah iblis betina yang amat jahat.
Membunuh dua orang sutenya. Menawan dia bahkan kini menggunakan cara yang amat
keji untuk memaksa dia melakukan perbuatan yang amat menjijikkan bagi
kesadarannya.
“Jahanam
kau!”
Dan diapun
mengerahkan tenaganya memukul kepala wanita yang rebah tersenyum dan memejamkan
mata itu.
“Wokkk!”
Bukan kepala
wanita itu yang terkena hantamannya melainkan bantal yang tadi ditidurinya dan
sebelum Ciok Gun dapat menyerang lagi, sebuah totokan jari tangan wanita itu
membuat dia roboh lemas di atas pembaringan.
“Hi-hik,
Ciok Gun, engkau masih saja liar dan ganas!” kata wanita itu sambil merangkul
kembali dan menciumi Ciok Gun yang terpaksa hanya mampu memejamkan mata karena
tidak mampu bergerak untuk menghindar. Bahkan sisa hawa panas yang membuat dia
dibakar hasrat itu masih ada sehingga diam-diam dengan hati ngeri dia merasakan
kenyataan betapa belaian wanita itu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi
tubuhnya!
Dia hendak
meronta, hendak menolak, namun tubuhnya seolah bukan miliknya lagi dan tidak
dapat dikuasainya. Karena tubuhnya kini tertotok dan tidak mampu bergerak, maka
terjadi perang perasaan di dalam dirinya antara melayani rayuan dan belaian
wanita itu dan menolaknya.
Dan
tiba-tiba ketika wanita itu mendengar rintih dan desahnya, totokan pada
tubuhnya dibebaskan dan diapun sekali lagi tenggelam ke dalam gairah nafsu yang
berkobar dan tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.
Setelah
ulangan itu selesai, Ciok Gun merasa demikian tidak berdaya sehingga dia
menangis di atas pembaringan yang dianggapnya mendatangkan peristiwa jahanam
yang menghancurkan segala martabatnya itu. Dan wanita itu merangkul dan
membelainya, menghiburnya.
“Ciok Gun,
sudahlah, tenangkan hatimu. Engkau sudah menjadi kekasihmu, bukan? Nah, mulai
sekarang engkau menjadi pembantuku dan kita akan selalu hidup senang…..”
“Tidak……!
Tidak sudi…..!”
Ciok Gun
meronta dan melompat turun dari atas pembaringan. Dia maklum bahwa menghadapi
wanita ini, dia tidak berdaya dan kalau dia menyerangpun dia tidak akan menang.
Dia sudah ternoda, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi para pemimpin
Cin-ling-pai dan menceritakan semua ini? Dia lalu meloncat ke arah dinding dan
bermaksud untuk membenturkan kepalanya ke dinding itu agar kepalanya pecah.
Mati lebih baik daripada apa yang dia alami waktu itu!
“Plakk!”
Kepalanya
tidak membentur dinding melainkan di tahan oleh tangan lembut wanita itu dan di
lain saat, diapun sudah roboh kembali karena di totok secara aneh oleh wanita
yang bukan main lihainya itu.
“Hemm, keras
kepala!”
Kini wanita
itu tidak lagi bersikap lembut. Ia mengangkat tubuh Ciok Gun yang sudah tidak
mampu bergerak dan melemparkannya ke atas pembaringan kembali. Ia lalu
mengenakan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menutupkan kembali daun
pintu kamar itu dari luar.
Dengan
rambut masih awut-awutan, bedak luntur dan pemerah bibir dan pipi juga
“berserakan”, wanita itu memasuki sebuah ruangan yang luas dimana duduk tiga
orang pria yang berpakaian pendeta. Seorang diantara mereka adalah pendeta yang
tadi bersamanya menghadang perjalanan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.
Melihat
munculnya wanita itu dengan wajah dan rambut kusut, tosu yang tadi mengaku
bernama Kim Hwa Cu tertawa akan tetapi pandang matanya membayangkan iri dan tak
suka hati.
“Bagus! Kami
menunggu disini dan engkau lupa diri bersenang-senang sepuasnya dengan
tawananmu, ya?”
Wanita itu
cemberut, lalu dengan sikap kasar duduk di atas kursi menghadapi meja dan
menuangkan arak dalam cawan lalu meminumnya sampai tiga kali. Sikapnya sama
sekali tidak menghormat kepada tiga orang pendeta itu!
Siapakah
mereka? Seperti pengakuan tosu pertama itu kepada Ciok Gun tadi, mereka itu
adalah Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus bermuka kuning yang usianya
sekitar lima puluh tahun. Adapun dua orang tosu lainnya adalah dua orang
suhengnya (kakak seperguruan). Yang berperut gendut pendek bermuka hitam dan
bermata lebar adalah Siok Hwa Cu, berusia limapuluh enam tahun. Tosu ketiga
yang paling tua, usianya sekitar enampuluh tahun bernama Lan Hwa Cu. Tubuhnya
tinggi besar dan wajahnya kasar, akan tetapi sikapnya lembut seperti wanita.
Tiga orang
ini boleh jadi tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, apalagi di daerah
Cin-ling-san. Akan tetapi di dunia barat dan utara, mereka ini di kenal dengan
sebutan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw). Mereka adalah tokoh-tokoh
besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan golongan sesat
berkedok agama yang suka memberontak terhadap pemerintah. Pek-lian-kauw
memiliki banyak sekali orang pandai, dan tiga orang ini adalah tiga diantara
para tokoh besarnya yang telah memiliki kesaktian yang sukar di cari tandingan!
Adapun
wanita itu adalah murid mereka bertiga, ya murid ya kekasih! Keadaan seperti
ini tidaklah aneh di dalam dunia golongan sesat, dimana aturan dan kesusilaan
oleh mereka yang berkuasa dan yang lebih kuat. Su Bi Hwa, gadis berusia
duapuluh lima tahun itu, sejak kecil menjadi murid Pek-lian Sam-kwi. Semua ilmu
tiga orang sakti itu telah dipelajarinya dalam kejahatan dan kekejian, gadis
ini tidak memalukan tiga orang gurunya sehingga ia mendapat julukan Tok-ciang
Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun)!
Ia seorang
wanita yang selain lihai, juga berwatak kejam dan cabul. Bukan saja secara
terang-terangan ia membiarkan dirinya menjadi kekasih tiga orang gurunya,
terutama sekali Kim Hwa Cu yang terkenal paling cabul diantara mereka bertiga,
juga ia begitu menyerahkan diri kepada pria manapun yang disukainya. Tiga orang
gurunya tidak dapat melarang, juga tidak mau melarangnya. Inilah “kebebasan”
yang dianut oleh orang-orang golongan sesat, dimana tidak ada lagi peraturan,
tidak ada lagi kesusilaan, tidak ada lagi hukum dan kesopanan. Akan tetapi
justeru inilah yang menimbulkan kerukunan dan persatuan diantara mereka!
Tiga orang
tokoh Pek-lian-kauw dan murid mereka ini datang jauh dari barat dan mereka
membawa tugas yang diperintahkan pimpinan pusat Pek-lian-kauw. Gerakan
Pek-lian-kauw selalu gagal dimana-mana, bukan saja karena kekuatan pemerintah,
melainkan terutama sekali karena adanya para pendekar yang selalu menentangnya.
Maka, tahulah para pimpinan pusat Pek-lian-kauw bahwa selama mereka tidak dapat
menguasai para pendekar, tidak dapat merajai dunia kang-ouw, akan sukarlah bagi
mereka untuk mengalahkan pemerintah.
Dan Pek-lian
Sam-kwi kini mendapat tugas yang amat berat dan sulit, yaitu berusaha dengan
cara apapun untuk dapat menguasai dunia persilatan, menundukkan para pendekar
dan para tokoh kang-ouw, baik golongan putih maupun golongan hitam. Para pucuk
pimpinan Pek-lian-kauw yakin akan kesanggupan dan kemampuan Pek-lian Sam-kwi
yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu dari Pek-lian-kauw yang selain lihai ilmu
silatnya dan kuat ilmu sihirnya, juga mereka memiliki seorang murid yang
terkenal kecerdikannya, yaitu Su Bi Hwa yang berjuluk Tok-ciang Bi Moli, yang
dalam hal ilmu silat, hanya sedikit di bawah tingkat guru-gurunya, dan biarpun
ilmu sihirnya tidak sekuat Pek-lian Sam-kwi, namun ia memiliki kecerdikan yang
mengalahkan semua gurunya.
Su Bi Hwa
yang mengatur untuk menguasai dan “meminjam” nama Cin-ling-pai untuk mengacau
dunia para pendekar dan menguasai mereka! Dan untuk melaksanakan siasat yang
amat berbahaya itu, diam-diam mereka memilih bukit itu yang tidak berapa jauh
dari perkampungan Cin-ling-pai sebagai tempat persembunyian mereka. Disitu
mereka membangun sebuah rumah yang tersembunyi dalam hutan, sebuah rumah yang
lengkap dengan segala peralatan, bahkan yang mereka pasangi alat-alat rahasia.
Mereka telah
mulai dengan rencana mereka, yaitu dengan menyelidiki semua keadaan di
Cin-ling-pai, para pemimpin mereka, kekuatan dan kelemahan mereka dan pada hari
itu, mereka telah mulai turun tangan, membunuh dua orang murid Cin-ling-pai
yang mereka kubur secara rahasia, dan menawan Ciok Gun. Mereka hendak
menundukkan Ciok Gun dan menjadikan pembantu wakil ketua Cin-ling-pai itu
sebagai boneka mereka!
Demikianlah
keadaan empat orang yang penuh rahasia itu. Tentu saja Bi Hwa merasa
mendongkol, kecewa dan marah sekali melihat betapa bujuk rayunya terhadap Ciok
Gun telah gagal! Biarpun dengan penggunaann obat bius dan obat perangsang dia
telah dapat memaksa Ciok Gun jatuh ke dalam pelukannya, namun bukan ini yang
menjadi tujuannya. Ia ingin agar tokoh Cin-ling-pai itu benar-benar jatuh cinta
dan taat kepadanya.
Kiranya pria
gagah itu sama sekali tidak mau tunduk, bahkan hampir saja mau membunuh diri!
Maka, dengan hati mendongkol ia lalu menotok Ciok Gun dan setelah melemparnya
ke atas pembaringan, ia lalu menghampiri ruangan dimana tiga orang gurunya
berada. Dan ia di sambut dengan teguran Kim Hwa Cu yang sedikit banyak
membayangkan perasaan cemburu!
Hal ini
membuat hati Bi Hwa semakin mengkal lagi. Ia duduk di atas kursi, menghadapi
tiga orang gurunya dan menjawab teguran Kim Hwa Cu yang mengatakan bahwa ia
hanya bersenang-senang dengan tawanan.
“Sam-suhu
(guru ke tiga) menganggap aku bersenang-senang, ya? Huh, kalau tidak ingat akan
tugas, sudah kuhancurkan kepala Ciok Gun itu!”
“Ehhh?
Kenapa begitu? Apa yang terjadi?” tanya Lan Hwa Cu, guru pertama, suaranya
tinggi seperti suara wanita, dan kalau bicara matanya melirik genit.
Diantara
Pek-lian Sam-kwi, orang pertama yang paling tua ini yang menganggap Bi Hwa
sebagai murid dan seperti anak sendiri karena dia tidak pernah bersikap mesra
terhadap Bi Hwa dan terhadap wanita manapun juga. Lan Hwa Cu ini mempunyai
kelainan dan dia lebih suka mendekati seorang pemuda tampan ketimbang seorang
gadis cantik.
“Dia keras
kepala. Sampai bagaimanapun tidak mau tunduk malaupun pengaruh obat itu telah
membuat dia meniduriku. Akan tetapi, perasaan hatinya tak pernah tunduk, bahkan
tadi hampir saja dia membunuh diri.”
“Huh-huh!
Kalau begitu bunuh saja dia. Tidak ada gunanya!” kata Siok Hwa Cu yang berwatak
kasar, keras dan kejam.
Kim Hwa Cu
juga mengagguk-angguk.
“Benar,
kalau tidak dibunuh, untuk apa?”
Bi Hwa makin
cemberut.
“Ji-suhu
(guru kedua) dan Sam-suhu (guru ke tiga) hanya mau mudahnya saja, tanpa
menggunakan kecerdikan sehingga aku khawatir tugas kita akan gagal kalau
menuruti kata-kata kalian.”
Kim Hwa Cu
dan Siok Hwa Cu saling pandang dan menggerakkan pundak. Mereka harus mengakui
bahwa menghadapi murid ini, mereka tidak berdaya, karena mereka tidak dapat
menduga akal apa yang akan dipergunakan oleh murid yang cantik dan amat cerdik
itu.
“Sudahlah,
Bi Hwa. Tidak perlu marah terus. Hayo ceritakan, setelah Ciok Gun tak berhasil
kau bujuk untuk membantu kita, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya
terhadap dia?”
“Twa-suhu
(guru tertua), tidak ada lain jalan. Kita harus mengubah rencana. Ciok Gun kita
jadikan mayat hidup dan melalui dia, kita melumpuhkan para pimpinan
Cin-ling-pai. Dapat diatur begini ……”
Gadis itu
lalu bicara berbisik-bisik walaupun mereka merasa yakin bahwa disitu tak
mungkin ada yang ikut mendengarkan. Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan
pandang mata mereka ditujukan kepada mulut gadis yang berbicara itu dengan
penuh kagum.
Pagi hari
yang cerah. Matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang sudah membakar
langit timur. Namun, cahaya kemerahan itu sudah dapat mengusir sisa kegelapan
yang ditinggalkan sang malam. Cahaya itu pula yang mendatangkan suasana
gembira. Setiap batang rumput, setiap helai daun, tenggelam dalam suasana
gembira itu, berseri basah oleh embun bermandikan sinar keemasan bagaikan
puteri-puteri jelita baru keluar dari dalam danau. Burung-burung juga
berdendang senang, berkicau saling menyahut sambil menari berloncatan dari
ranting ke ranting, siap untuk memenuhi tugas kehidupan mereka, yaitu mencari
makan setiap hari.
Dilereng
yang sunyi dan segar indah berseri itu, nampak dua orang manusia yang
berjalan-jalan dengan wajah yang ceria pula. Dua orang itu merupakan dua
keadaan yang amat berlawanan, namun merupakan perpaduan yang membuktikan
kekuasaan alam.
Seorang
kakek berusia tujuhpuluh dua tahun dan seorang anak laki-laki berusia lima
tahun! Seorang manusia yang sudah tiba di ambang akhir perjalanan hidup, dan
seorang manusia lain yang baru saja muncul dari ambang pertama dan sedang
bertumbuh, menggambarkan awal dan akhir sebuah perjalanan hidup manusia yang
hanya dibatasi oleh usia, oleh sang waktu yang melesat cepat tanpa terasa.
Kakek itu akhirnya akan mati, dan anak itupun akhirnya akan menjadi seperti kakek
itu, siap untuk mati pula, mungkin kelak dia akan menggandeng tangan seorang
cucunya seperti dia sekarang digandeng oleh kakeknya.
Kakek itu
biarpun usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun masih nampak gagah dan
tubuhnya masih tegap. Wajahnya anggun dan mudah dilihat bahwa dia dahulu tentu
seorang pria yang amat ganteng. Langkah juga masih gagah dan perutnya tidak
menggendut seperti perut kebanyakan pria yang sudah berusia lanjut, juga tidak
kurus kering melainkan tubuh itu masih padat.
Dia adalah
Cia Kong Liang, kakek yang dahulu pernah menjadi ketua Cin-ling-pai, kakek dari
ketua yang sekarang, yaitu nona Cia Kui Hong. Sudah belasan tahun kakek ini
lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bersamadhi, atau
berjalan-jalan di puncak-puncak bukit sunyi, merasa lebih akrab dengan alam
daripada dengan manusia lain. Dan pada pagi hari itu, dia berjalan-jalan
bersama cucunya, anak laki-laki berusia lima tahun yang bernama Cia Kui Bu itu.
Cia Kui Bu
adalah anak kedua dari Cia Hui Song, pendekar Cin-ling-pai yang pernah menjadi
ketua. Isterinya bernama Ceng Sui Cin, seorang wanita yang mempunyai kepandaian
silat tinggi, tiada banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya karena
wanita ini adalah puteri tunggal dari Pendekar sadis Ceng Thin Sin majikan
Pulau Teratai Merah dan isterinya Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam Sin
(Malaikat Selatan), kini seorang nenek yang berusia tujuh puluh tahun yang
kepandaiannya setingkat dengan suaminya!
Akan tetapi,
Ceng Sui Cin ini adalah ibu tiri dari Cia Kui Bu. Anak tunggal Ceng Sui Cin
adalah Cia Kui Hong yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Adapun Cia Kui Bu
adalah putera Cia Hui Song dari seorang isteri muda bernama Bi Nio yang sudah
meninggal, akan tetapi anak ini sejak kecil dirawat Ceng Sui Cin seperti
anaknya sendiri sehingga diapun menganggap bahwa ibunya adalah Ceng Sui Cin.
Baru kemarin
Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama anak mereka itu, pulang dari perjalanan
mereka ke Pulau Teratai Merah, berkunjung ke tempat kediaman orang tua Sui Cin.
Mereka beristirahat di tempat itu sampai berbulan-bulan dan baru kemarin mereka
kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi puteri mereka yang menjadi ketua, Cia Kui
Hong, belum pulang dari perantauannya.
Tentu saja
kedatangan mereka itu disambut gembira oleh semua anggauta Cin-ling-pai.
Terutama sekali kakek Cia Kong Liang merasa girang bukan main melihat cucunya,
Cia Kui Bu. Dan pada pagi hari itu, seperti telah dijanjikannya semalam kepada
cucunya, kakek itu mengajak Cia Kui Bu berjalan-jalan.
Cuaca masih
gelap ketika tadi mereka meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Setelah
berbulan-bulan tinggal di Pulau Teratai Merah, setiap hari hanya menikmati
keindahan pemandangan alam pulau yang dikepung air laut itu, tentu saja kini
keindahan alam di pegunungan merupakan keindahan yang lain sama sekali dan
mendatangkan kegembiraan di hati anak itu. Dia berlari-lari mengejar-ngejar
kelinci, meneriaki burung-burung dan kakeknya terbawa oleh kegembiraan cucunya.
Kesenangan
melalui panca indera dikemudikan oleh nafsu, oleh karena itu selalu berakhir
dengan kebosanan dan dengan pengejaran akan kesenangan yang lain. Inilah
sebabnya mengapa orang-orang kota merasa gembira kalau pergi ke dusun,
sebaliknya orang dusun senang kalau pergi ke kota. Penduduk pantai tidak lagi
menikmati keindahan pemandangan tepi laut dan merindukan keindahan pemandangan
di pegunungan, sebaliknya penghuni gunung bosan akan pemandangan di pegunungan
dan akan mengagumi keindahan pemandangan di tepi laut.
“Kong-kong
(kakek), ada kijang disana. Mari kita tangkap!” Tiba-tiba Cia Kui Bu berlari
cepat mendaki lereng sebuah bukit.
“Heii, Kui
Bu, hati-hati jangan lari sembarangan!”
Kakek itu
berseru dan mengejar. Dia dapat menyusul dan menggandeng tangan cucunya dan
mereka berlarian mengejar seekor kijang muda yang seperti hewan lainnya kalau
masih muda suka bermain-main. Kijang itu seolah mengajak mereka bermain,
berlari-lari sambil berloncatan kecil, kalau jarak antara mereka terlalu jauh,
ia berhenti dan seperti menanti, kalau sudah dekat ia lari lagi.
Cia Kong
Liang membiarkan cucunya bergembira dan mengejar kijang itu. Dia hanya menjaga
agar cucunya jangan sampai terjatuh ke dalam jurang. Tanpa terasa mereka telah
tiba di tepi hutan lebat yang berada di lereng bukit itu.
Kijang itu
melompat ke dalam hutan dan lenyap di balik semak belukar. Ketika Cia Kui Bu
yang digandeng kakeknya hendak mengejar, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul
seorang laki-laki yang berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka.
Cia Kong
Liang berhenti dan memandang.
“Haii, Ciok
Gun! Kenapa engkau belum pulang? Semua orang disana menantimu. Sejak kemarin
pagi engkau pergi berburu dan sampai sekarang belum pulang. Dimana Teng Sin dan
Koo Ham?”
Ciok Gun
nampak ragu-ragu sejenak, lalu memberi hormat kepada kakek itu.
“Sukong,
sute Teng Sin dan Koo Ham baik-baik saja. Nanti teecu (murid) akan pulang.”
Cia Kong
Liang memandang dengan heran. Memang Ciok Gun tidak pandai bicara, malu-malu
walaupun dia amat setia kepada Cin-ling-pai. Akan tetapi mengapa pagi ini
sikapnya kelihatan demikian dingin dan bahkan kaku? Sebelum dia bertanya, Kui
Bu sudah berlari ke arah Ciok Gun.
“Suheng…..!”
serunya gembira.
Karena
berbulan-bulan meninggalkan Cin-ling-pai, setelah pulang Kui Bu bersikap ramah
kepada semua orang, sebagai pelepasan rindunya. Apalagi kepada Ciok Gun dan
Gouw Kian Sun, dua orang yang dekat dengan keluarga Cin-ling-pai. Maka ketika
melihat Ciok Gun yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) kakaknya, atau
juga murid keponakan orang tuanya, dia lalu lari menghampiri dengan gembira.
“Ciok-suheng,
mana hasil buruanmu?” tanyanya setelah dia sampai di depan Ciok Gun.
Tiba-tiba
Ciok Gun menyambar tubuh Kui Bu dan memondongnya, terus mengajaknya lari
kedalam hutan.
“Heii,
Ciok-suheng, kita kemana….?”
Kui Bu
berseru heran akan tetapi gembira karena mengira bahwa tentu Ciok Gun akan
mengajaknya bermain-main. Akan tetapi kakek Cia Kong Liang merasa heran dan
curiga. Ada sesuatu dalam sikap Ciok Gun yang dianggapnya aneh sekali.
“Ciok Gun,
berhenti……!” bentaknya dan diapun melompat dan mengejar.
Akan tetapi
Ciok Gun tidak mau berhenti dan berlari terus, dikejar oleh Cia Kong Liang.
Akhirnya, Ciok Gun yang memondong Kui Bu tiba di depan sebuah pondok yang dari
luar nampak sederhana saja.
Kakek itu
memandang heran. Bukit ini sunyi dan biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak
pernah mendaki bukit ini, akan tetapi seingatnya, tidak pernah ada orang tinggal
disini karena bukit ini jauh dari dusun-dusun lain, juga masih liar dan
berbahaya.
Ketika dia
hendak mengejar masuk pondok melalui pintunya yang terbuka lebar, tiba-tiba
muncul tiga orang pria berpakaian pendeta dan seorang wanita muda yang cantik.
Wanita itu berada paling depan dan agaknya sengaja menyambut sambil
tersenyum-senyum.
“Selamat
datang di pondok kami, lo-cian-pwe Cia Kong Liang!” kata Su Bi Hwa sambil
tersenyum manis sekali.
Kakek itu
mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal empat orang ini, akan tetapi karena
wanita muda itu menyambutnya dengan sikap hormat, diapun membalas
penghormatannya dan berkata.
“Siapakah
nona, dan harap nona menyuruh Ciok Gun keluar mengajak cucuku.”
“Ci-lo-cian-pwe,
sekarang lo-cian-pwe telah menjadi tamu kami, seperti juga anak Cia Kui Bu itu.
Mari, lo-cian-pwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam.”
Biarpun
sudah amat tua, namun kakek Cia Kong Liang masih waspada dan pengalamannya yang
banyak membuat dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang tidak
boleh dipercaya begitu saja.
“Harap suruh
Ciok Gun keluar membawa cucuku dulu, baru kita bicara!” Lalu dia mengerahkan
khi-kang, suaranya menggetar ketika dia ke arah pondok itu. “Ciok Gun, aku
su-kongmu yang bicara ini. Kuperintahkan engkau keluar mengajak Kui Bu!”
Bukan main
hebatnya suara itu, melengking dan seperti menggetarkan jantung semua orang.
Diam-diam empat orang itu terkejut dan harus mereka akui bahwa kakek yang sudah
tua ini tidak boleh di pandang ringan. Su bi Hwa lalu berteriak pula ke arah
pintu pondok.
“Ciok Gun,
engkau tinggal saja di dalam dan jaga baik-baik Cia Kui Bu. Engkau tidak boleh
keluar sebelum kuperintahkan! Ini aku Su Siocia (Nona Su) yang bicara!”
Dari dalam
pondok terdengar suara Ciok Gun,
“Baik, Su
Siocia!”
Kakek itu
terbelalak. Tidak mungkin cucu muridnya itu begitu saja mentaati wanita ini dan
berani membangkang terhadap perintahnya. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar!
“Nona, apa
artinya ini? Apa yang kau lakukan kepada Ciok Gun?”
Kini gadis
itu tertawa dan begitu tertawa kakek itupun mengerti bahwa dia berhadapan
dengan seorang wanita yang kejam dan amat jahat.
“ha-ha-hi-hi-hik!
Cia-lo-cian-pwe, tidak perlu engkau mencoba untuk memerintah Ciok Gun. Dia
sekarang telah menjadi hambaku yang setia.”
“Akan
kuambil sendiri cucuku kalau begitu!”
Cia Kong
Liang meloncat ke arah pintu, akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan wanita
itu telah menghadang di depan pintu.
“Nona,
minggir! Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Aku hanya ingin
mengambil kembali cucuku!” bentak Cia Kong Liang, kini sikapnya angkuh dan
tegas, penuh wibawa.
“Lo-cian-pwe,
ini rumah kami dan tanpa seijin kami, engkau atau siapapun tidak boleh
memasukinya!” kata gadis itu sambil tetap tersenyum.
Wajah Cia
Kong Liang berubah merah. Dia sudah marah sekali.
“Nona,
apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menculik cucuku dan hendak
menahannya di dalam pondokmu ini?”
“Boleh saja
kau anggap demikian, Cia Kong Liang,” kata Bi Hwa dan kini ia menanggalkan
kedoknya, tidak lagi bersikap hormat.
“Hemm, tidak
semestinya aku seorang tua berkelahi melawan seorang muda apalagi seorang
gadis! Sekali lagi, kuminta engkau membebaskan cucuku dan aku tidak akan
menggunakan kekerasan!”
Bi Hwa
tertawa.
“Ha-ha-heh-heh,
justeru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk
melawanku, Cia Kong Liang!”
“Keparat!”
Kakek itu
sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan,
hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah dapat menjadi seorang yang
penyabar sekali. Andaikata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan
mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini
tidak mungkin dia tinggal diam. Cucunya di sekap di dalam pondok itu! Diapun
menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok.
Su Bi Hwa
menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita itu ke samping.
Karena ia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te
Sin-ciang ketika mendorong.
“Plakk!”
Gadis itu
menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya, keduanya terdorong ke
belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, tidak terkejut karena
ia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka
tentu saja amat tangguh.
Sebaliknya,
Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak dua puluh
lima tahun itu sanggup menangkis dorongannya dan membuat dia terdorong mundur
tiga langkah!
“Bagus,
kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan
menyerangmu untuk menolong cucuku!”
Setelah
berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat
Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tangannya yang kiri
menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah
perut.
“Haiiiiitttt…….!”
Bi Hwa cepat
meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu dan membalas dengan tendangan
kilat yang dapat pula di tangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat
jelas betapa lihainya lawannya walaupun seorang wanita yang masih muda. Maka
dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa.
Sampai lima
jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu, dan ia mengandalkan kegesitan
gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.
“Lihat,
suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” sambil meloncat untuk
menghindarkan tonjokan ke arah dada, Bi Hwa berseru.
“Benar, Bi
Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan
tenaga,” kata Kim Hwa Cu.
Mendengar
ini, Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya
itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka telah mengenal Im-yang Sin-kun!
Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya
dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik
“Wah,
Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru dan sambil mengelak terus.
Ia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat
Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andaikata Cia Kong Liang tidak setua
itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu
menandinginya. Kini, tenaga kakek itu sudah banyak berkurang, dan gerakannya
pun tidak secepat dulu lagi maka biarpun Bi Hwa terdesak, tetap saja wanita itu
mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah.
Karena
mainkan Thian-te Sin-ciang membutuhkan pengerahan banyak tenaga, maka setelah
beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini
dia memainkan San-in Kun-hwat.
“Hemm, ini
San-in Kun-hwat dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji.
Mereka
diam-diam mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Memang dalam tugas mereka,
seperti telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai
Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka
Cin-ling-pai.
Yang pertama
adalah pedang pusaka berupa pedang yang pernah menggemparkan dunia persilatan
puluhan tahun yang lalu, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik
pendekar sakti Cia Keng Hong. Adapun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang
pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu
Thi-khi-i-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tanaga dalam
yang mujijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sin-kang
lawan, betapapun kuat tenaga sin-kang lawan itu!
Karena
itulah, maka setelah kini berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua
dari Cin-ling-pai, mereka ingin menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan
kepada mereka.
Melihat
betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tidak dapat merobohkan lawan,
hanya mampu mendesak saja, diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung
sekali. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan
mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib
cucunya.
Ketika
perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang
meloncat ke atas dan dia turun kembali, tangannya telah mematahkan sebatang
dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua
bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, terdengar angin
menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau!
Melihat ini,
Bi Hwa cepat meloncat menjauhi dan berkata kepada tiga orang gurunya,
“Suhu, ini
tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat suhu hadapi aku sudah
lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!”
Kini Kim Hwa
Cu yang meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah
mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia menggerakkan
sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan
api.
“Tahan….!”
Tiba-tiba
Cia Kong Liang berseru nyaring dan dia meloncat ke belakang, menahan dua
tongkat dahan pohon itu, matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan
pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul.
“Cia Kong
Liang, lebih baik engkau menyerah dengan baik. Kami hanya ingin bertanya
kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.”
“Hemm,
melihat pakaianmu, agaknya engkau ini seorang pendeta, seorang tosu. Kalau
benar demikian, apa artinya semua ini, to-tiang? Kalau kalian datang ke
Cin-ling-pai untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, kenapa kalian menguasai
Ciok Gun, dan menangkap cucuku?”
Kim Hwa Cu
tertawa dan menyilangkan sepasang pedangnya.
“Orang tua,
urusan kami tidak perlu engkau mengetahui. Kalau engkau dapat memenuhi dua
permintaan kami, kami berjanji untuk membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami
tidak akan mengganggumu.”
Biarpun dia
marah sekali dan tidak percaya kepada omongan orang itu, namun karena maklum
bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Cia Kong Liang menahan
kemarahannya,
“Katakan,
apa permintaanmu itu?”
“Hanya ada
dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu
Harum, dan kedua adalah ilmu Thi-khi-i-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu
dan rahasia ilmu Thi-ki-i-beng!” jawab Kim Hwa Cu.
Wajah kakek
itu sampai menjadi pucar saking kaget dan marahnya.
“Yang kau
sebut adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai, aku lebih baik mati
daripada membuka rahasia perkumpulan kami!”
Tiba-tiba Bi
Hwa mendengus marah.
“Huh,
orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala. Sam Suhu, tidak perlu banyak
cakap lagi dengan dia, tangkap dia. Akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan
nada suara mengkal.
Kim Hwa Cu
tertawa.
“Ha-ha-ha,
engkau telah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, majulah dan
perlihatkan kepadaku sampai dimana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari
Cin-ling-pai!”
Kakek itu
mengeluarkan suara melengking nyaring dan diapun sudah menggerakkan dua batang
kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga.
Biarpun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi
membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat kakek
ini seperti bertambah tenaga dan semangatnya. Sepasang dahan pohon itu bergerak
bagaikan sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat
berbahaya bagi lawan.
Akan tetapi
yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang
di tangan Kim Hwa Cu itu dapat membendung gelombang serangan sepasang tongkat.
Bahkan Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak
dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu.
“Bagus!
Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji.
“Sudahlah,
Sam Suhu. Robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancing agar dia mengeluarkan
Thi-khi-i-beng!” terdengar Bi Hwa berseru dan Kim Hwa Cu teringat akan
kewajibannya.
Dua kali
pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang
tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia
menyimpan sepasang pedangnya dan menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong.
Tokoh tua
Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh
kenekatan. Akan tetapi, tadipun ketika melawan Bi Hwa dia sudah tidak mampu
menandinginya, apalagi kini guru gadis itu yang maju. Dari pertemuan tenagapun
dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah.
"Dukk!"
Pundak kiri
Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itupun terhuyung ke
belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengelauarkan
keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat bagaikan singa terluka.
Mereka
saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek
Cin-ling-pai itu semakin terdesak.
"Plakk!"
kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan pada punggungnya, cukup keras
sehingga dia terpelanting!
Akan tetapi
dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum
bangkit berdiri. Akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari
bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan.
Tiba-tiba
dua buah tangan yang halus namun kuat sekali mencengkeram kedua pundaknya dari
belakang. Bukan main nyeri rasa kedua pundak itu, membuat kedua lengannya
lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu
tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia
roboh terkulai dan pingsan.
Su Bi Hwa
menyumpah-nyumpah.
"Sialan!
Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"
"Hemm,
aku yakin bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil
memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya,
tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada
seorangpun ahli silat membiarkan diri terancam maut tanpa mempergunakan ilmu
simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai
Thi-khi-i-beng."
"Kalau
begitu, kita harus tawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan.
Melalui Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini dan bantuan Ciok Gun
yang kita jadikan mayat hidup, kita adu domba kekuatan para pendekar!"
Ketika kakek
Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas
lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya,
namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek
seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu dan yang
membuat dia mengerutkan alisnya adalah ketika dia melihat cucunya terbelenggu kaki
tangannya dan menggeletak miring di atas lantai.
Ada pula Cik
Gun berdiri seperti patung dan wanita cantik itu duduk di atas bangku dan
tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok dan tidak
mampu menggerakkan kaki dan tangannya, maka iapun tidak berusaha untuk meronta.
"Ah,
kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?"
Bi Hwa
menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi dan iapun duduk di atas
bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar
marah.
"Iblis
betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. " Aku sudah kalah, kalau kalian
hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan
apapun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!"
"Kakek
Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala
besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun
telah menjadi pembantu kami yang setia. Maka, kuharap engkau suka menyerahkan
Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada kami. Kami
berjanji akan membebaskan kalian bertiga kalau kami sudah menerima dua pusaka
Cin-ling-pai itu.".......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment